Anda di halaman 1dari 11

ANAK YANG HILANG (I)

Pastor Eric Chang | Lukas 15:11-32 |

Hari ini kita akan mempelajari tentang ajaran Yesus di Lukas 15:11-32
mengenai Perumpamaan tentang Anak yang Hilang, begitulah sebutan umum
bagi perumpamaan ini. Anda mungkin akan berkata, “Saya sudah tahu isi
perumpamaan ini.” Bisa jadi Anda sudah tahu, tetapi apakah Anda
memahaminya? Bagi Anda yang non-Kristen atau juga yang baru menjadi
Kristen, biar saya uraikan secara ringkas isi perumpamaan ini.

ANAK PEMBOROS

Ada seorang kaya yang mempunyai dua anak. Dan si anak yang bungsu
berkata kepada ayahnya, “Berikanlah bagian warisanku sekarang juga,” lalu
ayahnya memberi bagian warisan kepada anak itu. Kemudian si bungsu ini
pergi membawa bagian warisannya ke negeri yang jauh. Ketika ia di rantau,
ia berfoya-foya dan menghabiskan harta warisannya, dan ia jatuh miskin. Ia
mulai kelaparan. Akhirnya ia berhasil juga mendapatkan satu pekerjaan, dan
tampaknya, hanya pekerjaan sebagai pemelihara babi saja yang dapat ia
kerjakan dengan baik, suatu pekerjan yang sebenarnya orang Yahudi tidak
diizinkan untuk melakukannya. Tentu saja ia menerima upah dan makan dari
pekerjaannya, namun ternyata tidak cukup dan ia masih saja kelaparan. Ia
lalu tergiur untuk menikmati makanan babi supaya perutnya dapat
dikenyangkan.
Dan Alkitab menyebutkan, lalu ia menyadari keadaannya. Ia terbangun dari
mimpinya. Selama ini ia menjalani hidupnya di alam mimpi, namun sekarang,
ia mulai melihat dunia nyata. Tahukah Anda bahwa menjadi seorang Kristen
itu artinya melihat dunia nyata? Artinya kita terbangun dari mimpi. Dan
kemudian si bungsu itu berkata, “Saya akan pulang ke rumah ayahku.” Ia
mulai menyadari betapa kurang ajarnya sikap yang sudah ia perlihatkan
kepada ayahnya dulu. Dan ia juga mulai menyadari bahwa ayahnya sudah
sangat berbaik hati kepadanya. Ayahnya telah bersikap sangat bijak. Jadi,
buat pertama kalinya ia mulai mampu menghargai ayahnya dengan setulus
hati. Kita sudah sangat terbiasa menganggap pasti kebaikan ayah kita,
demikian pula dengan hal-hal baik yang lainnya. Ada banyak ayah yang baik
di dunia ini, dan Anda juga tahu betapa mudahnya orang menggangap pasti
orang-orang baik. Kembali kepada si bungsu ini, ia lalu berpikir, “Ayahku
adalah orang yang sangat baik. Aku akan pulang kepadanya dan berkata,
‘Bapa, aku telah berdosa kepadamu dan kepada Allah. Aku tidak meminta
untuk diterima sebagai anak lagi.'” Jika ia menjadi anak lagi, maka ia akan
menerima warisan lagi, bukankah begitu? Akan tetapi ia sudah
menghabiskan jatah warisannya. Ia tidak berhak untuk menerima warisan
apa-apa lagi. Jadi si bungsu ini memutuskan untuk berkata, “Berilah saya
tempat di antara para budakmu, bapa.”
Kemudian ia berangkat menuju rumahnya. Ketika ia mulai mendekati
rumahnya, anak-anak di kampung melihat kedatangannya dan berseru-seru,
“Hei! Itu kan anak orang kaya yang tinggal di kampung kita!” Desa-desa
orang Yahudi sangat mirip dengan desa-desa di Tiongkok. Ada banyak anak
kecil yang bermain-main di jalanan. Sambil bermain-main, mereka mulai
saling mengenal satu dengan yang lain, dan juga mengenal semua orang di
kampungnya. Ketika mereka melihat si bungsu yang ‘lama menghilang’ itu
sedang berjalan ke kampung, mereka berlarian ke rumah si orang kaya
sambil berteriak-teriak, “Coba tebak, siapa orang yang sedang jalan menuju
kampung kita!?” Lalu mereka memberitahu dia bahwa anaknya yang bungsu
sudah kembali ke kampung.
Dapat Anda bayangkan betapa bahagianya sang ayah! Ia segera berlari
menyambut anaknya. Dan ia langsung menyuruh para hambanya untuk
mengambil jubah yang terbaik, bukan sekadar jubah yang bagus tetapi
yang terbaik, dan cincin permata, dan memakaikannya ke anaknya yang
bungsu itu. Ia juga menyuruh para budaknya untuk memakaikan sandal di
kaki anaknya. Ini adalah tindakan untuk mengakui anak bungsu itu sebagai
tuan hamba karena memakaikan sandal di kaki seseorang adalah suatu
tindakan mengakui bahwa orang itu adalah majikannya. Itu sebabnya
Yohanes Pembaptis berkata, “Bahkan sekadar mengikatkan tali kasut Yesus
pun aku ini tidak layak.” Demikianlah, sang ayah melanjutkan tindakannya
dengan berkata, “Sembelihlah anak lembu gemukan,” bukan sekadar anak
lembu yang gemuk melainkan anak lembu yang digemukkan khusus untuk
keperluan pesta. Dan mereka bergembira ria karena sang ayah berkata,
“Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali” (Luk.15:24 ).
Anak yang sulung sedang bekerja di ladang karena ia adalah orang yang
rajin bekerja. Ketika ia sampai di rumah dan mendengar suara musik serta
melihat pesta yang sedang berlangsung, ia membatin, “Apa ini? Apakah
mereka sedang mengadakan pesta?” Lalu ia bertanya kepada salah seorang
budak di situ, “Apa yang sedang terjadi?”
“Oh, adikmu sudah pulang kembali!” Dan mereka mengira bahwa ia akan
senang dengan kabar itu.
Tetapi tidak, si sulung ini bergegas mendatangi ayahnya, dan berkata
dengan marah, “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah
aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa
memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-
sahabatku” (Luk.15:29 ). Ia lupa bahwa sebagai anak yang sulung, ia berhak
atas warisan yang dua kali lipat dibanding anak yang lain. Tampaknya,
kemungkinan, ia berharap untuk menikmati lebih dari sekadar jatah yang dua
kali lipat itu.

BUKANKAH ANAK SULUNG TELAH DIPERLAKUKAN DENGAN TIDAK


ADIL?

Anda mungkin akan berkata, “Baiklah, kami semua sudah tahu isi cerita ini.”
Tapi apakah Anda mengerti arti kisah ini? Apa yang sedang disampaikan
oleh Yesus buat kita? Anda mungkin menjawab, “Mudah saja! Poinnya
adalah bahwa si bungsu ini anak yang jahat. Ia pergi meninggalkan
rumahnya, namun ketika ia pulang dan bertobat, ayahnya sangat gembira
menerima kedatangannya.” Akan tetapi cerita ini begitu panjang, sulit sekali
diterima bahwa poin yang mau disampaikan hanya sesingkat itu.
Saya perlu mengajukan pertanyaan ini, “Mengapa ada dua anak?” Mengapa
Yesus tidak memberikan kisah tentang seorang kaya dengan satu anak yang
jahat yang meninggalkan rumahnya? Apa peranan anak yang sulung di
dalam kisah ini? Apakah ia hanya sekadar dimasukkan sebagai bumbu
cerita, seperti yang biasa dilakukan seorang pelajar yang tidak tahu jawaban
apa lagi yang harus ditulisnya dalam ujian dan mengarang tambahan di
sana-sini agar jawabannya terkesan banyak? Buat apa Yesus menambahkan
bumbu cerita di dalam kisah ini?
Dan juga, kita merasa bahwa si sulung ini tampaknya kurang mendapat
perlakuan yang adil. Sang ayah tidak menyangkal bahwa si sulung ini sudah
melayaninya dengan baik selama ini. Ia juga tidak menyangkal bahwa si
sulung ini selalu mematuhinya. Yang pasti anak yang sulung ini adalah anak
yang jauh lebih baik. Anggaplah Anda memiliki dua orang anak. Anak yang
sulung adalah anak yang rajin bekerja dan selalu taat, namun anak yang
bungsu adalah anak yang pemboros, nakal, tidak taat dan akhirnya ia
minggat ke negeri yang jauh. Anak yang mana yang lebih Anda sukai? Tentu
Anda memilih yang sulung. Dan tentunya, jika si bungsu itu kembali, Anda
akan berkata, “Kamu sudah pulang? Baiklah, kamu akan kuberikan tempat di
antara para pelayan untuk melihat apakah kamu tidak akan
mengecewakanku lagi.” Sang ayah di dalam kisah ini tampaknya terlalu
dipengaruhi oleh perasaan. Anda mungkin akan berkata bahwa ia telah
menganggap pasti kualitas baik anak sulungnya. Jadi tentunya, simpati Anda
akan terarah pada anak yang sulung ini.
Di samping itu, si anak sulung ini memang punya alasan tepat ketika ia
mengajukan protesnya. “Lihat, anak ini sudah memboroskan hartamu. Dan
apa yang sedang engkau lakukan sekarang? Apakah engkau sedang
mendorongnya untuk melakukan hal ini lagi dengan mengadakan pesta
besar untuknya?” Tampaknya, ketika si anak bungsu ini berkata bahwa ia
sangat menyesal dengan perbuatannya, sang ayah justru menyahut, “Ah,
tidak perlu menyesal. Tidak apa-apa. Mari kita nikmati saat-saat yang indah
bersama.” Jadi Anda mungkin akan berkata, “Tidak masuk akal! Bukan
begitu caranya memperlakukan anak yang riwayat hidupnya seburuk itu!”

HARUSKAH KITA BERBUAT DOSA AGAR BISA BERTOBAT?

Mari kita teruskan dengan pertanyaan yang lebih lanjut. Di Lukas 15:7, yaitu
Perumpamaan tentang Domba yang Hilang (beberapa ayat sebelum
perumpamaan ini), Yesus berkata,

“Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa
yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan
orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”

Anda mungkin berkata, “Kali ini saya benar-benar dibuat pusing. Saya tidak
dapat mengikuti logika ini. Bukankah seharusnya ada alasan untuk
bersukacita atas 99 orang yang benar itu?” Namun Yesus berkata, “Kita tidak
bersukacita atas mereka yang 99 orang itu. Kita hanya bersukacita atas satu
orang yang bertobat.” Coba Anda pikirkan, kelihatannya malah tidak enak
menjadi orang yang benar karena tidak ada orang yang akan bersukacita
buat Anda. Terlebih lagi, disebutkan bahwa surga bersukacita atas satu
orang berdosa yang bertobat. Akan tetapi bukankah seharusnya lebih baik
jika kita menjadi orang benar yang tidak memerlukan pertobatan? Bukankah
itu lebih baik ketimbang jatuh di dalam dosa dan harus bertobat? Apakah
mungkin seorang yang berbuat dosa itu lebih baik? Apakah karena ia
melakukan pertobatan? Mengapa surga tidak bersukacita atas orang yang
tidak berbuat dosa?
Anda mungkin akan berpikir, “Jika demikian halnya, saya lebih baik keluar
dan berbuat dosa karena sebagai orang benar ternyata saya tidak
menimbulkan sukacita di surga! Saya ingin agar surga bersukacita!
Tampaknya logika yang masuk akal adalah bahwa semakin besar dosa yang
Anda lakukan, akan semakin baik jadinya, karena Anda akan semakin
banyak bertobat. Kalau saya berbuat semakin banyak dosa dan bertobat,
maka akan semakin bersukacita surga jadinya.”
Bagaimana menurut Anda? Apakah saya sudah menyampaikan hal yang
salah? Jika Anda mengaku mengerti arti kisah ini, tolong beritahu saya apa
artinya. Tampaknya, menjadi anak yang sulung itu tidak menguntungkan
karena ia selalu taat kepada ayahnya. Tidak? Apakah menaati ayah itu tidak
baik? Saya benar-benar kehilangan pegangan sekarang. Bagaimana Anda
akan memahami kisah ini? Pengajaran Yesus mengandung makna yang jauh
lebih mendalam ketimbang apa yang kita bayangkan, dan jawaban yang
dangkal hanya akan menyesatkan kita.

ANAK YANG MANAKAH ANDA SEKARANG INI?

Anak yang manakah Anda? Apakah Anda anak yang bungsu atau anak yang
sulung? Pikirkanlah hal itu. Anda tergolong yang mana? Sudah jelas bahwa
perumpamaan ini dimaksudkan untuk mengena terhadap setiap orang yang
mendengarkannya. Yesus menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua
macam orang: satu seperti si anak sulung, dan satu lagi seperti si anak
bungsu. Yang manakah Anda?
Apakah Anda mengaku termasuk yang bungsu? Kapan Anda pernah
memboroskan harta yang diberikan kepada Anda? Kapan Anda pernah pergi
jauh dan terpaksa menjadi pemelihara babi? Anda akan berkata, “Yah, itu
kan makna rohaninya.” Kalau begitu, beritahukan saya apa makna
rohaninya. Kapan Anda pernah menjadi pemelihara babi secara rohani? Atau
apakah Anda termasuk yang sulung? Apakah Anda selalu taat? Anda akan
berkata, “Ya, itulah saya. Saya selalu taat kepada orang tua saya. Saya
selalu menjadi anak yang baik. Saya memenuhi semua yang diharapkan oleh
orang tua saya. Saat mereka berkata, ‘Bekerjalah di ladang,’ saya segera
pergi ke ladang. Saat mereka berkata, ‘Belajarlah yang tekun,’ saya segera
belajar. Selama ini saya adalah anak yang baik.” Nah, apakah Anda merasa
termasuk sebagai anak yang sulung? Jadi, anak yang manakah Anda?
Hal ini sangat menarik. Jika ada orang yang berkhotbah tentang
perumpamaan ini dan berkata, “ini hanya sekadar sebuah kisah tentang
pertobatan, tentang orang yang berbalik kepada Allah.” Saya ingin sekali
melakukan periksa-silang terhadap orang itu, mengikuti istilah kaum
pengacara. Dan sesudah melakukan periksa-silang itu, saya ingin tahu
apakah ia memang memahami arti perumpamaan ini.
Apakah Anda masih yakin bahwa Anda benar-benar paham arti dari
perumpamaan tentang anak yang hilang ini? Dapatkah Anda menjawab
setiap pertanyaan yang sudah diajukan tadi? Atau apakah Anda justru
merasa rugi karena tidak cukup banyak berbuat dosa, atau karena sudah
melewatkan kesempatan untuk berbuat dosa selama ini? Atau apakah Anda
akan berpikir, “Sayang sekali, pada waktu masih belum menjadi Kristen,
saya tidak cukup dalam terlibat dosa! Mungkin kalau saya terlibat dalam
pembunuhan, hasilnya akan lebih hebat karena saya, seorang pembunuh,
dapat bertobat dan memberi sukacita yang besar bagi surga! Sungguh hebat!
Tapi menjadi pembunuh mungkin terlalu berlebihan, karena saya harus
melewatkan waktu yang lama di dalam penjara, sekalipun sudah bertobat.
Mungkin menjadi seorang yang keranjingan seks dan kemudian bertobat.
Kemudian seluruh surga bergema dalam sukacita bagi saya! Sungguh luar
biasa!” Inikah hal yang Anda pikirkan?
Kadang kala, saat mendengarkan kesaksian hidup seseorang, pernahkah
Anda amati bahwa mereka cenderung membesar-besarkan dosa yang
pernah mereka lakukan? Sebenarnya, mereka mungkin hanya melakukan
kurang dari separuh kejahatan yang mereka gembar-gemborkan pernah
mereka lakukan. Mereka hanya ingin membual tentang betapa jahatnya
mereka dahulu, sampai-sampai kesaksiannya menjadi mirip dengan cerita
kriminal. Akan tetapi mereka sebenarnya tidak sehebat itu jika Anda tahu
cerita sesungguhnya.
Apakah Yesus bermaksud untuk mengatakan, “Sayang sekali, dosa yang
kalian perbuat masih kurang hebat. Sayang sekali, selama ini kalian justru
menjadi anak yang taat kepada orang tua dan tidak menimbulkan sukacita di
surga. Akan lebih mantap hasilnya jika kalian mengerjakan dosa yang
besar!” Apakah itu maksudnya? Jadi Anda mungkin berpikir, “Mumpung
masih belum terlambat. Saya akan menutupi apa yang masih kurang. Saya
akan mengambil cuti dan mengumbar dosa selama dua bulan, lalu kembali
dan bertobat di gereja.” Inikah maksud Yesus?
Sudah banyak pertanyaan yang saya ajukan, tetapi bagaimana
menjawabnya? Saya sungguh kagum dengan isi ajaran Kristus! Jika ada
orang yang memberikan penjelasan yang dangkal atau palsu tentang
pengajaran Yesus, orang itu tidak akan dapat membelanya. Dapat dikatakan
bahwa Yesus menyampaikan ajarannya dengan cara yang dapat
melindunginya dari serangan. Mari kita mulai mencari jawaban bagi
pertanyaan-pertanyaan itu.

POLA DUA ANAK DI DALAM PERJANJIAN LAMA

Perbuatan apa yang telah dilakukan oleh si bungsu terhadap kakaknya


sehingga si sulung mejadi sangat tidak senang? Ketika saya memberikan
penekanan pada peristiwa si bungsu menerima jubah yang terbaik, cincin
permata dan sandal (Lukas.15:22), sangatlah penting untuk dipahami kalau
hal itu bermakna bahwa sang ayah telah memberi kedudukan lebih tinggi
pada si anak bungsu. Hal ini penting untuk dapat memahami mengapa si
sulung mengajukan protes. Bukan sekadar kepulangan si bungsu itu yang
membuatnya tidak senang, tetapi yang terutama adalah kenyataan bahwa si
bungsu ini diberi kedudukan yang lebih tinggi dari pada dia. Anak yang
bungsu menggantikan posisi anak yang sulung. Dapatkah Anda melihat poin
ini? Jadi Anda boleh bersimpati kepada si sulung.
Mengapa ada dua anak? Ketika saya memberi petunjuk ini, beberapa dari
Anda yang sudah akrab dengan si Perjanjian Lama akan segera teringat
pada contoh yang tersedia di sana. Dan Anda akan segera memahami
mengapa dikisahkan tentang dua anak. Dan Anda segera tahu bagian mana
dari Perjanjian Lama yang bercerita tentang anak bungsu yang menggusur
kedudukan anak sulung.
Esau dan Yakub adalah dua orang anak. Jika Anda meletakkan
perumpamaan tentang anak yang hilang ini di samping kisah tentang Esau
dan Yakub, Anda akan segera dapat melihat kesejajaran keduanya. Anda
mulai segera melihat bahwa perumpamaan ini dibuat untuk mengarahkan
perhatian kita ke masa Perjanjian Lama. Anda akan melihat bahwa
kesejajarannya sangat dekat. Esau adalah orang yang selalu sibuk di
ladang, dan di Lukas 15:25 kita membaca bahwa si sulung baru pulang dari
ladang. Dan sama seperti si anak bungsu ini, Yakub juga pergi ke negeri
yang jauh, dan mendapat perlakuan yang buruk di sana. Ia harus menerima
tindakan kecurangan dan segala tekanan dari pamannya. Dan juga, pada
akhirnya, Yakub kemudian menggantikan kedudukan kakaknya ketika ia
mengambil alih hak kesulungan itu. Banyak orang yang tidak puas atas
tindakan Yakub yang seperti itu. Akan tetapi mereka lupa akan satu hal.
Alkitab memberitahu kita bahwa Esau sendiri yang meremehkan hak
kesulungannya. Apakah Yakub menginginkan hak kesulungan itu karena ia
tergiur oleh harta ayahnya? Tidak sama sekali. Yang ia inginkan hanya
berkat dari hak itu. Jika Anda membaca bagian tentang kisah ini di Kejadian
25 dan selanjutnya, Anda akan melihat bahwa tindakan Yakub ini bukan
bertujuan untuk mengincar jatah harta warisan anak sulung. Ia tidak pernah
mengincar hal seperti itu. Tidak cukup waktu untuk membahas hal itu
sekarang ini, namun yang perlu kita perhatikan adalah, tidak seperti Esau,
Yakub adalah orang yang sangat peduli dengan perkara rohani. Itu sebabnya
ia menghendaki berkat dari ayahnya. Bukan harta yang diincarnya. Anda
harus memperhatikan hal ini baik-baik.
Daud dan Saul adalah contoh sejajar pada tingkatan yang berbeda. Di sini
Anda juga melihat betapa Daud menggeser kedudukan Saul. Dan posisi raja
diambil dari Saul dan diberikan kepada Daud. Dan sekali lagi, sebagai anak
yang bungsu, Daud harus melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya di
padang belantara selama bertahun-tahun.
Namun, di dalam setiap contoh kasus, kasih Allah tertuju kepada anak yang
bungsu. Allah berkata, “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau”
(Rom.9:13 ) karena Esau hanya tertarik pada perkara duniawi dan bukannya
hal-hal yang berasal dari Allah. Hal ini bukan berarti bahwa Yakub
senantiasa adalah orang yang sangat rohani. Seperti si anak bungsu ini,
Yakub juga mengadakan perjalanannya menuju negeri yang jauh, dan ia
bertemu dengan Allah. Pada saat ia sedang tidur, Allah datang kepadanya,
dan seluruh hidupnya berubah total sebagai akibat dari peristiwa ini. Dengan
cara yang sama, Daud juga mengalami perubahan di dalam masa
pengembaraannya di padang belantara. Dan Allah berkata tentang Daud,
“Inilah orang yang menyenangkan hatiKu.”
Jika Anda sudah memahami paralel-paralel dari Perjanjian Lama ini, Anda
akan mengerti bahwa kedua anak itu mewakili dua macam orang yang
berbeda. Dan perlu Anda ingat bahwa mereka yang mendengarkan
perumpamaan itu adalah orang-orang Yahudi, dan mereka segera dapat
memahami apa yang Yesus ajarkan karena mereka paham isi Perjanjian
Lama.

KUNCI PEMAHAMAN: MATI BAGI YANG LAMA DAN HIDUP BAGI YANG
BARU

Apa yang ingin Yesus ajarkan di dalam perumpamaan ini? Satu-satunya


jalan untuk memahaminya adalah dengan mempelajari hal yang disampaikan
sebanyak dua kali dalam perumpamaan ini: “Sebab anakku ini telah mati dan
menjadi hidup kembali.” Kunci pemahaman dari perumpamaan ini ada di ayat
24 dan 32. Sekarang Anda dapat melihat betapa pentingnya mati dan
menjadi hidup kembali.
Sekarang Anda mulai dapat melihat bahwa ketika Yesus menceritakan
bahwa si bungsu sudah kembali, Ia tidak sekadar menyatakan bahwa ketika
Anda kembali kepada Allah, Anda hanya perlu berkata, “Maaf, sekarang saya
kembali. Selama ini saya menjadi orang yang jahat. Dan karena sekarang
saya sudah berkata, ‘Maaf, Tuhan,’ maka saya sudah boleh menjadi orang
Kristen.” Apakah Anda mengira, seperti yang sering disampaikan oleh
banyak penginjil, bahwa Yesus sekadar berkata, “Marilah, kamu semua yang
sudah berbuat dosa, sampaikan maafmu kepada Allah dan Ia akan
memaafkan serta menjadikan kamu sebagai anak”? Dalam hal ini, apa
kesalahan si sulung yang tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak perlu
disesali? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab. Apakah Anda akan berkata
bahwa berbuat jahat itu lebih baik ketimbang tidak pernah berbuat jahat?
Jika ajaran Yesus seperti itu, kita akan masuk dalam keadaan tanpa
harapan.
Apakah Anda menjadi Kristen karena ajaran seperti itu? Sebagai contoh, jika
Anda benar-benar menyesal, Anda hanya perlu datang ke gereja dan
berkata, “Ya Allah, maafkan saya, dan sekarang saya sudah
menandatangani buku ini untuk mengikrarkan ketaatan saya seperti yang
diminta oleh pendeta.” Dan selanjutnya, Anda boleh menjalani hidup bahagia
selamanya. Jika Anda masuk Kristen karena ajaran seperti itu, maka sial
sekali, Anda justru melangkah jauh dari maksud Yesus dalam perumpamaan
ini.
Atau seperti orang tua yang menegur anaknya, “Bilang maaf!” Dan si anak
berkata, “Maaf.” Dan orang tuanya menyahut, “Tidak, kamu belum terlihat
menyesal. Tunjukkan penyesalan kamu!” Lalu si anak berkata, “Saya sangat
menyesal.” Kemudian orang tuanya berkata, “Masih belum kelihatan
menyesal. Kamu harus tunjukkan penyesalan yang lebih mendalam!”
Akhirnya si anak malah kesal, “Harus seperti apa lagi? Seberapa besar
penyesalan yang bisa dibilang benar-benar menyesal?” Apakah ajaran yang
terkandung di dalam perumpamaan ini hanya seperti itu? Tapi penjelasan
seperti ini cukup sering kita dengar.
Jika Anda pikirkan baik-baik, Anda akan berkata, “Nah, jika hanya itu
tuntutan keselamatan, jika hanya sekadar meminta maaf kepada Allah yang
dibutuhkan, saya akan berkata, ‘Ya Allah, maafkan saya.'” Kebanyakan
orang sudah sangat puas jika Anda berkata, “Maaf,” tanpa peduli seberapa
besar penyesalan Anda, cukup dengan mendengar kata maaf dari Anda.
Tentunya, Allah pasti memaafkan saya jika saya meminta maaf pada-Nya.
Dalam hal ini, setiap orang pasti bisa menjadi seorang Kristen. Pada saat
baptisan, orang itu akan ditanya, “Apakah kamu menyesal?” Ketika
jawabannya adalah, “Iya, saya menyesal.” Maka orang itu segera
dibenamkan ke dalam air dan dibaptis. Kedengarannya mungkin seperti
cerita dalam komik, tapi bukankah hal itu yang sering terjadi?
Apakah kita akan mengatakan bahwa ini adalah ajaran dari Yesus? Apakah
Anda tidak mau mengaku bahwa Anda mengira ini adalah ajaran dari Yesus?
Anda pikir Anda sudah mengerti isi perumpamaan ini, bukankah begitu? Jika
ini adalah ajaran yang dipegang oleh kebanyakan orang Kristen, maka tidak
heran kalau Gereja dipenuhi oleh orang-orang yang berkata, “Aku
menyatakan penyesalanku di tahun 1956. Dan ketika aku selesai
mengucapkan hal itu, mereka membenamkanku di air. Nah, sekarang aku
sudah jadi orang Kristen. Dan selanjutnya, aku selalu mengucapkan maaf
jika diperlukan.”
Izinkan saya mengajukan pertanyaan: Apakah Anda mengira bahwa
kesalahan dari si sulung ini adalah karena ia tidak pernah meminta maaf?
Apakah ia selalu taat kepada ayahnya sehingga ia tidak perlu berkata maaf
di sepanjang hidupnya? Bagaimana jika suatu saat ayahnya berkata, “Bilang
maaf”? Tidakkah ia akan meminta maaf? Karena jika sang ayah
menyuruhnya meminta maaf dan ia tidak mau melakukan, maka itu berarti ia
sudah tidak taat. Nah, jika si anak sulung juga tahu bagaimana menyesali
suatu perbuatan, lalu mengapa si bungsu bisa menjadi lebih baik dari pada
dia?
Anda akan selalu mengalami kesulitan dalam memahami perumpamaan ini
jika tidak memahami makna dari mati dan hidup. Poinnya bukan pada
pernyataan maaf si bungsu, tetapi pada kematiannya! Ia sudah berubah
sekarang. Ia adalah ciptaan baru. Ia tidak sekadar pulang dan meminta
maaf. Poin yang penting ini diulangi sampai dua kali. Kita tidak boleh gagal
dalam mengamatinya. Si bungsu sudah berpisah dengan masa lalunya. Ada
sesuatu yang mati di dalam dirinya. Dan ini adalah poin yang sangat penting.
Ia bangkit sebagai manusia yang baru. Ia kembali kepada ayahnya dengan
watak yang sama sekali baru. Ia berkata, “Aku telah bedosa terhadap bapa.
Aku tidak layak lagi menjadi anakmu. Berilah aku tempat di antara para
pelayanmu.” Dapatkah Anda melihat perubahan penuh, kerendahan hati, di
sini? Dapatkah Anda melihat perbedaan total antara anak yang dengan
angkuh pergi membawa harta kekayaannya untuk berfoya-foya dengan anak
yang mati melalui pertobatan? Sekarang kita dapat melihat apa artinya
kalimat “Lalu ia menyadari keadaannya” (Luk.15:17 ). Seluruh cara
berpikirnya sudah berubah. Itulah arti sejati dari pertobatan. Lalu ia
menyadari keadaannya, berarti ia sadar bahwa diri yang lama ini harus
mati. Ia tidak dapat pulang ke ayahnya kecuali sebagai manusia baru.
Dan alasan sambutan yang meriah dari sang ayah adalah karena ia sudah
melihat perubahan total dalam sikap yang terlihat dari ucapan anaknya itu. Ia
melihat bahwa anaknya ini sudah menjadi orang yang berbeda. Ini adalah
poin utama dan penting yang harus kita pegang. Menjadi seorang Kristen
berarti menjadi manusia baru. Itu sebabnya saya menyampaikan berulang
kali, menjadi Kristen itu bukan sekadar datang kepada Allah dan berkata,
“Maafkan saya.” Bukan sekadar berkata, “Aku akan mempercayai semua
yang Anda mau saya percayai.” Allah tidak tertarik dengan hal itu. Ia ingin
melihat adanya transformasi total.
MENGERTIKAH ANDA TENTANG PERLUNYA MENJADI MANUSIA BARU

Kalau pokok ini sudah bisa dipahami dengan jelas, mari kita amati lagi
tentang kedua orang anak tersebut. Memang benar bahwa si ayah memiliki
dua anak, minimal dalam pengertian anak kandung, akan tetapi anak yang
mana yang bisa diajaknya berkomunikasi? Anak yang mana yang benar-
benar punya hati untuk memahami dia? Anak yang mana yang tidak sekadar
merupakan anak dari kelahiran jasmani tetapi juga memiliki tingkat hubungan
bapa-anak yang baru di tataran rohani dan moral? Jelaslah, si anak bungsu
telah menjadi anak yang sejati. Si sulung hanya sekadar anak kandung
melalui kelahiran jasmani saja. Hal ini sangat penting untuk dipahami.
Sekarang kita dapat menanyakan hal ini, anak yang manakah Anda? Yang
penting bukanlah seberapa banyak dosa yang telah Anda perbuat seolah-
olah dosa telah menjadi hal penting sehingga kita harus bergegas membuat
sebanyak mungkin dosa karena daftar dosa kita masih kurang panjang. Hal
ini bukanlah pokoknya. Poinnya adalah bahwa si sulung ini tidak pernah
menjadi manusia baru karena ia tidak merasa perlu untuk menjadi
manusia baru. Ia selalu menganggap bahwa dirinya sudah cukup baik. Ia
selalu berpikir bahwa ia benar. Akan tetapi si bungsu dapat melihat seperti
apa dirinya sesungguhnya dan ia akhirnya menjadi manusia baru.
Sekarang Anda mestinya dapat mengerti maksud dari perkataan
Yesus, seluruh surga bersukacita, bukan karena orang-orang yang
menganggap bahwa mereka tidak memerlukan pertobatan. Tidak dapat
disangkal bahwa mereka memang tak pernah melakukan pembunuhan.
Mereka juga tidak pernah berbuat zinah. Mereka memang tidak pernah
berbuat jahat. Anda tidak dapat menyangkal bahwa mereka adalah orang-
orang benar karena mereka memang tidak pernah melakukan satupun dosa-
dosa itu. Namun apa gunanya bersukacita atas orang-orang yang membeku
dalam watak lamanya?
Hari ini, bisakah Anda berkata, “Tuhan, saya menyadari sekarang bahwa
yang Engkau kehendaki adalah seorang manusia baru. Saya selama ini
merasa sudah cukup baik. Saya sekarang menyadari bahwa saya ini masih
belum cukup baik. Saya menyadari sekarang bahwa sekalipun saya belum
pernah melakukan hal-hal yang jahat namun bukan berarti bahwa saya tidak
dapat berbuat dosa-dosa itu. Ini lebih disebabkan oleh karena saya tidak
memiliki kesempatan untuk itu. Saya masih menyadari bahwa saya harus
ditransformasi; saya harus menjadi manusia baru”? Apakah Anda seorang
manusia baru?
Bagi mereka yang sedang menunggu saat baptisan dan ingin menjadi
Kristen, saya tekankan sekali lagi bahwa Allah tidak berkata, “Marilah, dan
nyatakanlah penyesalan.” Akan tetapi yang Allah katakan adalah, “Marilah,
dan jadilah manusia baru yang serupa dengan Kristus.” Lalu, Ia akan
memberi Anda jubah yang terbaik, dan Anda selanjutnya akan menjadi
pewaris bersama Kristus (Kol.3:5-10, 12-14). Anda akan menjadi anak Allah
yang sejati. Jangan mengira bahwa Allah hanya melihat di permukaannya
saja dan hanya menghendaki tanggapan yang dangkal terhadap Firman-
Nya. Ia menghendaki perubahan yang total.
Dan karakteristik dari Yakub dan Daud adalah: mereka mudah dibentuk.
Dengan kata lain, karakteristik seorang manusia baru adalah bahwa ia
menyerahkan seluruh hidupnya di tangan Allah sehingga Allah dapat
membentuk dia ke dalam gambaran dan keindahan yang utuh dari Kristus.
Itulah ciri dari ciptaan baru. Apakah Anda punya ciri itu? Dan jika Anda
belum menjadi Kristen, bersediakah Anda menjadi seperti itu? Inilah
keindahan kehidupan Kristen yang digambarkan oleh lagu berikut:

Pakailah jalanMu Tuhan, pakailah jalanMu


Engkau Penjunan, aku tanah liat
Bentuklah aku, jadikan aku baru
Aku menunggu dan berserah sepenuhnya

Marilah kita tanamkan Firman Allah ini di dalam hati kita.

Anda mungkin juga menyukai