Anda di halaman 1dari 568

2018

ISSN 2087-1279
Vol. 1 No. 7 Tahun 2016

PENYIDIKAN PENYAKIT HEWAN

Surveilans dan Investigasi penyakit Hewan


Pengembangan Metode
Ekonomi Veteriner
Analisis Resiko
Pengetahuan, Sikap & Praktik Dalam
Pengendalian Penyakit Hewan
Penanganan Penyakit Zoonotik
Analisis dan Pengembangan Produksi
Terkait SIWAB

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
A
PROSIDING PENYIDIKAN PENYAKIT HEWAN

Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan (RATEKPIL)


Tahun 2018

TIM PENYUSUN

Penanggung Jawab

Drh. Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Ph.D


Direktur Kesehatan Hewan

Ketua

Drh. Boethdy Angkasa, MSi.


Kepala Subdit. Pengamatan Penyakit Hewan

Sekretaris

Drh. M.M. Hidayat, M.Sc

Anggota

Drh. Syafrison Idris, Msi


Drh. Purnama Martha OS, M.Si
Drh. Dhony K Nugroho
Drh. Siti Yulianti
Drh. Fifit Fitriani
Drh. Abrar
Dian Efendi, A.Md
Mulyadi

Diterbitkan oleh:

Sub-Direktorat Pengamatan Penyakit Hewan


Direktorat Kesehatan Hewan
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Jl. Harsono RM No. 3, Gedung C, Lantai 9,
Pasar Minggu, Jakarta 12550
Telp./Fax.: (+6221) 7815783
E-Mail: p2hditkeswan@gmail.com
Website: keswan.ditjenpkh.pertanian.go.id

Kegiatan ini turut di dukung oleh

Biosecurity Engagement Program (BEP)


Food and Agriculture Organization (FAO) – Indonesia
Australia Indonesia Partnership Emerging Infectious Disease (AIPEID)

B Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KATA PENGANTAR

Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL) dan Surveilans merupakan


agenda tahunan dari Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Pada kesempatan
tahun 2018 ini, RATEKPIL telah dilaksanakan di Yogyakarta tanggal 2
sampai dengan 4 April 2018.

Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan (RATEKPIL) adalah


pertemuan ilmiah bagi petugas instansi pemerintah di bidang kesehatan
hewan baik di pusat, dinas maupun unit pelaksana teknis di pusat dan daerah,
yang telah secara rutin diselenggarakan setiap tahunnya. Pertemuan ini
bertujuan untuk menjadi forum bagi para petugas instansi pemerintah untuk
mendiskusikan hasil kerja, review makalah, penelitian, dan penyidikan di
bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner sehingga dapat
bermanfaat bagi peserta pertemuan. Selain itu juga mendiskusikan materi
dari narasumber yang ahli dibidangnya berkaitan dengan ilmu atau informasi
yang dapat memperkaya pengetahuan peserta pertemuan. Setiap makalah
yang dipresentasikan didokumentasikan dalam prosiding RATEKPIL sebagai
bentuk timbal balik dan dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Sebanyak 125 makalah diterima oleh Panitia kemudian diseleksi untuk dapat
ditampilkan dalam RATEKPIL 2018. Seleksi dilakukan oleh Tim penilai
abstrak RATEKPIL dan Surveilans Tahun 2018 yaitu:
1) Drh. Anak Agung Gde Putra, M.Sc, Ph.D, SH, (Asosiasi Epidemiologi
Veteriner Indonesia)
2) Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si, (Fakultas Kedokteran Hewan IPB)
3) Dr. Drh. Widagdo Sri Nugroho, (Fakultas Kedokteran Hewan UGM)
4) Drh. Pebi Purwo Suseno, (Direktorat Kesehatan Hewan)
5) Drh. Imron Suandy, MPVH, (Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner)
6) Drh. Albert T Muljono, M.Sc, (AIP EID)

Metode seleksi yang digunakan adalah blind selection method dimana Tim
Penilai hanya mendapat informasi Judul Abstrak, batang tubuh abstrak dan
Nomor Abstrak tanpa mengetahui penulis dari Abstrak tersebut. Masing
Masing Abstrak dinilai oleh tiga orang anggota tim penilai. Tim penilai
kemudian mengirimkan kepada panitia Nomor urut dan nilai dari masing
masing Abstrak.

Kriteria penilaian Abstrak yang digunakan adalah Kontribusi terhadap


Pencegahan dan pengendalian penyakit hewan, Kualitas penulisan serta
relevansi tulisan terhadap forum RATEKPIL. Dari hasil penilaian Tim,
Panitia mengurutkan Peringkaat Nilai dari masing masing Abstrak.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
i
Pemakalah Podium diberikan kepada Penulis dengan Nilai peringkat 30
besar, sementara Pemakalah Poster diberikan kepada Penulis dengan Nilai
Abstrak peringkat 31-70. Panitia juga memperhatikan aspek keterwakilan
dan proporsi dalam menentukan peringkat Abstrak.

Sebagai bentuk apresiasi terhadap antusias keikutsertaan peserta dalam


Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan (RATEKPIL) dan
Surveilans tahun 2018 ini, makalah didokumentasikan dalam Prosiding
Penyidikan Penyakit Hewan. Dengan diterbitkannya prosiding ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan dan informasi kesehatan hewan terkini serta
memberikan ide dan solusi kendala pelayanan kesehatan hewan di lapangan,
sehingga dapat ditindaklanjuti sebagai bahan pengambilan kebijakan bagi
sistem kesehatan hewan nasional dan memantapkan kegiatan pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia.

Pada RATEKPIL tahun 2018 ini makalah-makalah dikelompokkan


dalam beberapa kategori yaitu surveilans dan investigasi penyakit hewan,
pengembangan metode, ekonomi veteriner, analisis resiko, penanganan
penyakit zoonotik, analisis pengembangan produksi terkait program UPSUS
SIWAB dan pengetahuan, sikap dan praktik dalam pengendalian penyakit
hewan. Semoga Prosiding ini dapat bermanfaat untuk pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan serta dapat digunakan sebagai rujukan
dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit di Indonesia.

Jakarta, April 2018

Direktur Kesehatan Hewan

Drh. Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Ph.D

ii Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ..................................................................................... i


Daftar Isi................................................................................................. iii

PODIUM

SURVEILANS DAN INVESTIGASI PENYAKIT HEWAN

1. Hasil Investigasi Kasus Kematian Dan Penurunan Produksi Telur


Pada Sentra Peternakan Unggas Komersial Di Jawa Timur,
Jawa Tengah Dan Di Yogyakarta Tahun 2018
(Hendra Wibawa, Dkk)........................................................................ 1
2. Investigasi Kasus Kematian Sapi Po Di Kabupaten Purbalingga
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017
(Yuyun Purwaningsih, Dkk)................................................................ 12
3. Temuan Penyakit Inclusion Body Hepatitis Pada Sampel Surveilans
Pasif Kasus Kematian Tinggi Unggas Broiler Di Wilayah Kerja
Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta (Dewi Pratama, Dkk).......... 19
4. Faktor Risiko Leptospirosis Pada Sapi Potong Di Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Sleman , Daerah Istimewa Yogyakarta
(Niken Widarini, Dkk)......................................................................... 24
5. Serosurveilans Rabies Di Nusa Tenggara Timur Tahun 2016
(Hilda Susiyanti Debora Berek).......................................................... 34
6. Gambaran Dan Sebaran Kasus Suspek Hpai Di Jawa Barat Tahun
2015-2017 Dalam Mendukung Roadmap Indonesia Bebas Ai
Tahun 2020 (Studi Kasus Data Iskhnas) (Imas Yuyun, Dkk).............. 43
7. Kasus Pertama Low Pathogenic Avian Influenza Subtipe H9n2
Pada Peternakan Ayam Petelur Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi
Selatan Indonesia (Muflihanah, Dkk).................................................. 51
8. Identifikasi Pasteurella Multocida Type A Dari Tonsil Sapi Sehat
Di Provinsi Bali, Ntb Dan NTT Tahun 2016 Dan 2017
(Ni Luh Dartini, Dkk).......................................................................... 66
9. Surveilans Penyakit Surra Pada Kuda Di Jakarta Utara Tahun 2017
(Inanusantri)........................................................................................ 72
10. Kajian Sindrom Prioritas GGA Dalam Isikhnas Dan Program
Vaksinasi Rabies Di Provinsi Kalimantan Barat
(Purnama Martha Os, Dkk)................................................................. 79
11. Surveilans Brucellosis Di Madura Tahun 2017 Dan Rencana
Strategis Penerapan Sistem Informasi Kesehatan Hewan
Geographical Information System (Gis) (Vivy Eny Martuti, Dkk)..... 85
12. Kejadian Goiter Pada Kambing Peranakan Etawa Yang Diduga
Disebabkan Oleh Tanaman Goitronik Di Wilayah Kerja Balai
Veteriner Bukittinggi (Dwi Inarsih, Dkk)............................................ 101

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
iii
13. Sensitivitas Isolat Escherichia Coli Patogen Dari Swab Kloaka
Dan Organ Ayam Petelur Terhadap Oksitetrasiklin, Ampisilin
Dan Kanamisin (Arie Khoiriyah, Dkk)................................................111

PENGEMBANGAN METODE

14. Uji Postulat Koch Virus Avian Influenza Subtipe H9n2


A/Chicken/Sidrap/07170094-44o/2017
(Ketut Karuni Nayanakumari Natih, Dkk).......................................... 117
15. Aplikasi Kuning telur Untuk Mendeteksi Antibodi Penyakit Pada
Unggas (Rama Darmawan, Dkk)........................................................ 127
16. Brucella melitensis: Respon Serologis Terhadap Kambing Yang
Mendapat Infeksi Buatan Dengan Kuman Brucella melitensis
Biovar 1 (Siswani, Dkk)...................................................................... 134
17. Optimasi Program Amplifikasi Rt-Pcr Penyakit Jembrana Pada
Gen Gag Secara Utuh Untuk Sekuensing Dan Analisis Genetik
(Liza Angeliya, Dkk)........................................................................... 144
18. Pewarnaan Immunoperoxidase (Ipx) Pada Biakan Sel Madin-Darby
Bovine Kidney (Mdbk) Sebagai Salah Satu Upaya Untuk
Mendapatkan Isolat Lokal Virus Bovine Viral Diarrhea (Bvd)
(Suryo Purnomo Edi, Dkk).................................................................. 151
19. Potensi Vaksin Antraks Dengan Variasi Dosis Dan Lama
Penyimpanan (Dina Ristiana, Dkk)..................................................... 161
20. Pengembangan Imunohistokimia Untuk Deteksi Bovine
Pasteurellosis Pada Kasus Pneumonia Enzootika Pedet Di Balai
Veteriner Lampung (Joko Susilo, Dkk)............................................... 168
21. Respon Pemberian Jahe Merah (Zingiber Officinale Var Rubra)
Terhadap Nilai Perlukaan Sekum Dan Produksi Ookista Pada
Ayam Broiler Yang Terinfeksi Eimeria Tenella
(Eka Zakiah Nasution, Dkk)................................................................ 180

EKONOMI VETERINER

22. Partial Budget Analysis Rekomendasi Pemberian Premiks Pada


Sapi Penderita Gangguan Reproduksi Di Provinsi Di.Yogyakarta
Pasca Program Upsus Siwab (Basuki Rochmat Suryanto, Dkk)......... 188

ANALISIS RESIKO

23. Pentingnya Pengawasan lalu Lintas Unggas Terhadap Penyebaran


kasus HPAI di Provinsi Jawa Timur Selama Periode Januari –
Desember 2017 (Yunita Widayati, dkk).............................................. 198

iv Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PENGETAHUAN, SIKAP DAN PRAKTIK DALAM
PENGENDALIAN PENYAKIT HEWAN

24. Deteksi Antibodi Rabies Pada Sapi Dan Kambing Kasus Gigitan
Hpr (Hewan Pembawa Rabies) Pasca Var (Vaksin Anti Rabies)
Di Kabupaten Darmasraya, Sumatera Barat (Yulfitria, Dkk).............. 203
25. Optimalisasi Penerapan Prinsip Kesejahteraan Hewan (Animal
Welfare) Pada Hewan Coba Di Bbvet Wates Untuk Mendukung
Diagnosis Laboratorium (Heni Dwi Untari, Dkk)............................... 209
26. Peran Bhabinkamtibmas Dan Karang Taruna Dalam Pelaksanaan
Vaksinasi Rabies Di Provinsi Kalimantan Barat
(Nur Hidayatullah, Dkk)...................................................................... 218

PENANGANAN PENYAKIT ZOONOTIK

27. Membangun Sistem Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit


Zoonosis Dan Penyakit Infeksi Emerging (Pie) Di Kabupaten
Ketapang Kalimantan Barat Melalui Pendekatan One Health
(Ahmad Mike Ariyanto, Dkk)............................................................. 225

ANALISIS DAN PENGEMBANGAN PRODUKSI TERKAIT


PROGRAM SAPI INDUKAN WAJIB BUNTING (SIWAB)

28. Identifikasi Penyebab Kasus Gangguan Reproduksi Pada Sapi Di


Jawa Tengah, Jawa Timur Dan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun
2015 Dan 2017 (Indarto Sudarsono, Dkk).......................................... 233
29. Efektivitas Penggunaan iSIKHNAS dalam Program UPSUS
SIWAB di Kabupatan Lombok Tengah Tahun 2017
(Dinar Wahyu Hartawan, dkk)............................................................. 242

POSTER

SURVEILANS DAN INVESTIGASI PENYAKIT HEWAN

30. Hasil Sero Surveilans Dalam Rangka Pembebasan Brucellosis Di


Propinsi Banten Tahun 2012 – 2017 (Yuliyanti, Dkk)........................ 253
31. Identifikasi Virus Reassortant H5N1 Clade 2.3.2.1c Dari Outbreak
Highly Pathogenic Avian Influenza Pada Unggas Di Indonesia
Tahun 2015-2016 (Hendra Wibawa, Dkk).......................................... 265
32. Surveilans Avian Inluenza (Ai) Di Pasar Unggas Hidup Di Wilayah
Kerja Balai Veteriner Subang Tahun 2016 (Sunarno)......................... 274
33. Monitoring Dan Surveilans Penyakit Hewan Menular Pada Sapi
Bali Di Bptu Hpt Denpasar Dan Dompu Tahun 2016
(Ni Made Sri Handayani).................................................................... 281
34. Hasil Surveillance Bebas Penyakit Ai Pada Beberapa Kompartemen
Breeding Farm Unggas Di Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner
Wates (Elly Puspitasari Lubis, Dkk)................................................... 290

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
v
35. Penyidikan Kejadian Kematian Sapi Bali yang Diduga Disebabkan
Oleh Jembrana Di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik
Kecamatan Pangkalan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016
(Eka Oktarianti, Dkk).......................................................................... 296
36. Surveilans Salmonellosis Pada Ayam Petelur (Layer) Di Jawa Timur,
Jawa Tengah Dan Di Yogyakarta Tahun 2015, 2016 Dan 2017
(Cicilia Setyo Rini).............................................................................. 307
37. Prevalensi Fasciolosis Pada Sapi Bali Di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2017 (Veronika Matutina).............................................. 311
38. Resistensi Isolat Escherichia Coli Dari Ayam Broiler Terhadap
Beberapa Antibiotik (Tri Widayati, Dkk)............................................ 318
39. Kemajuan Penanganan Rabies Bali : Analisis Tahun 2012-2017
(Monica Septiyani, Dkk)..................................................................... 323
40. Gambaran Titer Antibodi Rabies Pada Anjing Lokal Pasca
Vaksinasi Di Kalimantan Barat Tahun 2017 (Candra Arika, Dkk)...... 331
41. Isolasi Virus Avian Influenza Pada Sel Primer Chicken Embryo
Fibroblast (Cef) Dan Sel Kultur Mardin-Darby Bovine Kidney
(Mdbk) (Desi Puspita Sari, Dkk)......................................................... 339
42. Komparasi Uji Serologis Untuk Deteksi Infeksi Trypanosoma
Evansi Pada Kerbau (Rochmadiyanto, Dkk)....................................... 346
43. Surveillans Deteksi Antigenik Dan Respon Imun Pasca Vaksinasi
Pada Program Pembebasan Classical Swine Fever Di Propinsi
Sulawesi Utara Tahun 2017 (Ferra Hendrawati, Dkk)........................ 357
44. Identifikasi Penyakit Jembrana Dengan Rt-Pcr Konvensional Pada
Kasus Kematian Sapi Bali Di Desa Hang Tuah Kabupaten Kampar
Provinsi Riau (Anisah Hanoum)......................................................... 371
45. Penyebaran Penyakit Parasit Darah Pada Sapi Dan Kerbau Di
Wilayah Kerja Bbvet Wates Tahun 2017 (Ari Puspita Dewi, Dkk).... 375
46. Kasus Kematian Sapi Bali Di Jorong Tompek Nagari Salareh Aia
Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2017 (Sri Hilmayeni, Dkk)....................................................... 382
47. Survey Triangulasi Pada Hewan Domestik Di Pulau Sulawesi :
Hasil Pengujian Round 1 Sulawesi Utara Dan Gorontalo Tahun
2016 (Muflihanah, Dkk)...................................................................... 392
48. Pemeriksaan Dan Identifikasi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi
Bali Di Nusa Tenggara Timur Tahun 2017
(Hilda Susiyanti Debora Berek)......................................................... 403
49. Kejadian Rabies Di Provinsi Kalimantan Barat Selama Periode
2014 – 2017 (Huibert Hendrian Umboh, Dkk)................................... 412
50. Investigasi Kematian Sapi Mendadak Diduga Akibat Pneumonia
Di Tanjungsari, Gunungkidul (Romli Ainul Kusumo, Dkk)............... 420

vi Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PENGEMBANGAN METODE

51. Aplikasi Drit (Direct Rapid Immunohistochemistry Test ) Untuk


Mendeteksi Antigen Virus Rabies Pada Jaringan Otak
(Ibnu Ramadani).................................................................................. 427
52. Reisolasi Kandidat Masterseed Virus Tantang High Pathogenic
Avian Influenza Subtipe H5n1 (Ramlah, Dkk).................................... 432
53. Perbandingan Keamanan Dan Potensi Vaksin Septicaemia
Epizootica Menggunakan Antigen Crude Product Dan Antigen
Murni (Evy Indah Setyorinie, Dkk).................................................... 439
54. Penggunaan Konsensus Primer Pcr Protokol Predict Dalam
Mengkonfirmasi Keberadaan Bovine Herpesvirus 1 (Bohv-1) Pada
Sapi Aceh Di Bptu – Hpt Indrapuri (Lilik Prayitno, Dkk).................. 447
55. Identifikasi Virus Classical Swine Fever Pada Babi Di Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2016 (Faisal, dkk)........................................... 458
56. Identifikasi Profil Protein Isolat Trypanosoma Evansi Dengan
Metode Sds-Page (Ichwan Yuniarto, Dkk).......................................... 467
57. Korelasi Kekerdilan Sapi Simmental Dengan Defisiensi Mineral
Tubuh (Bahagia Sari)........................................................................... 474
58. Isolasi Dan Identifikasi Salmonella Sp Dan Escherichia Coli
Dalam Rangka Pemetaan Resistensi Antimikroba Di Peternakan
Ayam Petelur Dan Pedaging Di 5 Provinsi Di Pulau Jawa
(Irma Rahayuningtyas, Dkk)............................................................... 482

EKONOMI VETERINER

59. Analisis Biaya Dan Manfaat: Vaksinasi Dan Pembasmian Vektor


Terhadap Penyakit Jembrana Di Kabupaten Seluma, Bengkulu
(Tri Guntoro, Dkk).............................................................................. 495

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PRAKTIK DALAM


PENGENDALIAN PENYAKIT HEWAN

60. Penerapan Cara Keamanan Biologik Dan Keselamatan Biologik


Yang Baik (Good Biosafety And Biosecurity Practices) Di Fasilitas
Laboratorium Biosafety Level 3 (Bsl-3)/Animal Biosafety Level 4
(Absl-4) (Muhammad Zahid, Dkk)..................................................... 499
61. Dinamika Virus Avian Influenza Subtipe H5n1 Di Wilayah Balai
Veteriner Tahun 2004-2017 (Eko Agus Srihanto, Dkk)...................... 507

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
vii
ANALISIS DAN PENGEMBANGAN PRODUKSI TERKAIT
PROGRAM SAPI INDUKAN WAJIB BUNTING (SIWAB)

62. Kombinasi Hormon Pmsg Dan Hcg Untuk Pengobatan Kasus


Hipofungsi Gangguan Reproduksi Pada Sapi / Kerbau Di Kegiatan
Upsus Siwab 2017 (Wahyuni, Dkk).................................................... 514
63. Evaluasi Keberhasilan Inseminasi Buatan (Ib) Program Upsus
Siwab Di Kalimantan Barat Berdasarkan Data Isikhnas Tahun 2017
(Ahmad Mike Ariyanto, Dkk)............................................................. 523
64. Faktor Penyebab Kesembuhan Sapi Potong Yang Mengalami
Gangguan Reproduksi Di Kecamatan Nanggulan Kab. Kulon
Progo Tahun 2017 (Estu Widodo)....................................................... 529
65. Gambaran Hasil Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Program
Upsus Siwab Periode April-Juni 2017 Kabupaten Klaten
(Ely Susanti)........................................................................................ 537

TAMBAHAN

66. Deteksi Kejadian Dan Pengendalian Trypanosomiasis Pada Sapi Bali


di Sumatera Utara................................................................................ 548

viii Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL INVESTIGASI KASUS KEMATIAN DAN PENURUNAN
PRODUKSI TELUR PADA SENTRA PETERNAKAN UNGGAS
KOMERSIAL DI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN DI
YOGYAKARTA TAHUN 2018

Hendra Wibawa, Ully Indah Apriliana, Rama Dharmawan, Dewi Pratamasari,


Basuki Rochmat Suryanto, Dwi Hari Susanta, Nur Rohmi Farhani, Suhardi, Desi Puspita Sari,
Enggar Kumorowati, Bagoes Poermadjaja.

Balai Besar Veteriner Wates


Korespodensi penulis pertama : hendra.wibawa@pertanian.go.id

ABSTRAK

Berbagai permasalahan pernyakit unggas terjadi pada tahun 2017. Walaupun virus Low
Pathogenic Avian Influenza (LPAI) H9N2 berhasil diisolasi dari outbreak penyakit penurunan
produksi telur pada peternakan layer di awal 2017, terdapat keraguan apakah kasus ini diakibatkan
infeksi tunggal virus H9N2 atau ko-infeksi dengan agen lainnya serta dipengaruhi masalah
manajemen peternakan. Selain itu, dilaporkan adanya peningkatan kasus kematian pada broiler
sejak pertengahan 2017. Investigasi kasus dilakukan Balai Besar Veteriner Wates dengan tujuan
untuk mengetahui distribusi kasus di lapangan, penyebab penyakit, dan faktor resiko yang berkaitan
dengan penurunan produksi telur dan kematian pada sentra peternakan unggas komersial di Propinsi
Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

Metodologi investigasi meliputi pemilihan daerah berdasarkan laporan kasus dan resiko
penyakit di daerah populasi tinggi unggas komersial layer, broiler, dan ayam jawa super di 10
kabupaten (Kendal, Semarang, Karanganyar, Sleman, Bojonegoro, Lamongan, Tulungagung, Blitar,
Kediri, dan Malang), pengambilan sampel, wawancara dengan peternak, dan uji laboratorium untuk
diagnosis dan deteksi agen penyakit, serta identifikasi faktor resiko dengan pendekatan case-control
study.

Jumlah peternakan yang disurvei sebanyak 58 peternakan komersial Sektor-3, terdiri dari:
35 peternakan layer (550 ekor), 20 broiler (340 ekor), dan 3 jawa super (45 ekor). Definisi kasus
ditetapkan berdasarkan tanda klinis: pada layer adalah penurunan produksi telur > 40% dengan
atau tanpa disertai kematian; pada broiler dan jawa super adalah gangguan pernafasan, pencernaan,
motorik, atau pertumbuhan diikuti kematian > 10%. Teridentifikasi 27 peternakan kasus (case) dan
31 peternakan non-kasus (control). Kasus pada layer terjadi sejak Maret 2017; kematian sporadik
pada broiler terjadi pada Juli, September, Desember 2017 dan Januari 2018; dan kematian pada Jawa
super terjadi pada November-Desember 2017. Kasus penurunan produksi telur > 40% ditemukan
di semua kabupaten, dimana 14 dari 19 kasus pada layer (73.7%) memiliki tanda klinis gangguan
pernafasan dan penurunan produksi. Pada broiler dan jawa super, 6 dari 8 kasus penyakit (75.0%)
memiliki tanda klinis berak putih, stunting, kesusahan berjalan, dan kematian. Lebih dari 69%
unggas layer menunjukkan respon antibodi tinggi (titer HI > 16) terhadap virus ND, AI subtipe H5
(AI-H5), dan AI subtipe H9 (AI-H9). Sebaliknya, proporsi antibodi tinggi terhadap ND, AI-H5, AI-
H9 pada unggas broiler dan jawa super bervariasi dari 7-51%. Virus AI-H9 tidak terdeteksi di semua
peternakan, tetapi virus AI-H5, virus ND, bakteri Mycoplasma gallisepticum, parasit Eimeria sp.,
perubahan histopatologis inclusion body hepatitis (IBH), kadar protein kasar yang rendah (<18%),
dan kandungan aflatoxin yang tinggi (>50 µg/Kg) berhasil dideteksi dari beberapa peternakan
dengan tanda-tanda klinis di atas.

Hasil ini mengindikasikan bahwa kasus penyakit pada unggas komersial tidak hanya
disebabkan oleh infeksi tunggal agen, tetapi lebih bersifat multifaktor, melibatkan beberapa agen
dan dipengaruhi kondisi lingkungan/manajemen peternakan. Investigasi lanjutan diperlukan untuk
mengetahui apakah antibodi tinggi terhadap H9 disebabkan kekebalan vaksinasi atau akibat paparan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
1
infeksi virus AI H9 lapang. Biosekuriti dan manajemen, termasuk perbaikan mutu pakan dan
peningkatan kekebalan unggas melalui vaksinasi, perlu ditingkatkan untuk mencegah kasus serupa
di masa mendatang.

Kata kunci : Investigasi outbreak, penurunan produksi, agen penyakit, unggas komersial, faktor
resiko.

PENDAHULUAN

Penurunan performa produksi baik pada layer (kuantitas dan kualitas


telur) maupun broiler (bobot dan kualitas daging) memegang peranan
penting terhadap nilai ekonomi peternakan unggas komersial. Beberapa hal
mempengaruhi produksi unggas komersial terutama adalah faktor pakan,
manajemen dan kesehatan unggas (Mashishi, 2001). Penuruanan produksi
baik pada peternakan layer atau broiler, dapat disebabkan oleh kurangnya
intake (kuantitas) pakan/minum atau rendahnya kandungan protein dan
mineral (kualitas) pakan, buruknya kualitas bibit, masalah brooding dan
keseragaman, lemahnya biosekuriti, atau infeksi agen penyakit (viral,
bakterial, parasit) yang menimbulkan morbiditas dan mortalitas tinggi.
Usman and Diarra (2008) melaporkan bahwa peningkatan angka kematian/
kasus menurunkan keuntungan bersih peternakan unggas komersial.
Selanjutnya, tingginya angka culling di sebuah peternakan biasanya berkaitan
dengan rendahnya kualitas pakan dan bibit ayam, kesalahan pemeliharaan
dan ketidakberesan manajemen, outbreak penyakit unggas menular, dan
rendahnya standar kesehatan unggas (Usman and Diarra, 2008).

Diantara beberapa kasus penyakit unggas yang terjadi pada tahun 2017,
kasus penurunan produksi telur yang cukup tajam (80-90% produksi turun
menjadi 40-50%) pada layer dan kasus kematian di atas normal (>10%) pada
broiler umur 2-4 minggu adalah kasus-kasus yang mendominasi pemberitaan
dan laporan kasus penyakit pada tahun 2017, khususnya pada peternakan
unggas komersial Sektor 3. Namun terdapat keraguan apakah kasus penyakit
unggas ini hanya disebabkan oleh infeksi tunggal agen atau melibatkan
infeksi bersama beberapa agen lainnya seperti virus Avian Influenza (AI),
virus Newcastle Disease (ND), virus Infectious Bronchitis (IB), Fowl
Adenovirus, bakteri mycoplasma, parasite, dan dipengaruhi oleh masalah
manajemen peternakan.

Merespon hal ini, investigasi kasus penyakit dilakukan Balai Besar


Veteriner (BBVet) Wates dengan tujuan untuk mengetahui distribusi kasus di
lapangan, mendiagnosa agen penyebab penyakit, dan mengidentikasi faktor-
faktor resiko yang berkaitan dengan penurunan produksi telur dan kematian
pada sentra peternakan unggas komersial di Propinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah dan DI Yogyakarta.

2 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
MATERI DAN METODE

Team investigasi dibentuk oleh BBVet Wates menidaklanjuti informasi/


laporan kasus penyakit di lapangan. Anggota team terdiri staff medik
dan paramedik BBVet Wates dan dibantu oleh staff dari dinas kabupaten.
Investigasi kasus dilakukan pada tanggal 22-26 Januari 2018. Metodologi
investigasi kasus penyakit dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:

a) Melakukan verifikasi kejadian kasus penyakit di lapangan:


- Team investigasi melakukan kontak dengan dinas yang membidangi
fungsi peternakan atau kesehatan hewan untuk memverifikasi ada
tidaknya laporan kasus di lapangan.

b) Menentukan definisi kasus berdasarkan tanda klinis:


- Definisi kasus pada layer ditetapkan berdasarkan tanda klinis
penurunan produksi telur > 40% dengan disertai atau tanpa disertai
kematian, sedangkan kasus pada broiler dan jawa super adalah
gangguan pernafasan, pencernaan, motorik, atau pertumbuhan
diikuti dengan kematian > 10%.

c) Menentukan target sampling (daerah dan spesies):


- Penentuan daerah investigasi berdasarkan laporan kasus pada tahun
2017 dan resiko penularan antar peternakan di wilayah dengan
kepadatan unggas tinggi (sentra produksi unggas) di Jawa Timur,
Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Di tiga provinsi ini dipilih 10
kabupaten, yaitu: Kendal, Semarang, Karanganyar, Malang, Kediri,
Blitar, Tulungagung, Lamongan, Bojonegoro, dan Sleman.
- Target spesies adalah ayam layer, broiler dan jawa super yang
dipelihara intensif dengan tujuan produktivitas/komersial.
- Target peternakan adalah peternakan layer, broiler dan jawa super
yang pernah atau sedang mengalami masalah sesuai dengan definisi
kasus di atas (case farms). Peternakan yang belum/tidak sedang
bermasalah dengan kasus penyakit (control farms) juga disertakan
dalam sampling untuk keperluan studi kontrol dan kasus (case
control study).

d) Melakukan pengambilan sampel dan koleksi data lapangan melalui


wawancara:
- Pengambilan sampel dilakukan pada 4-8 peternakan di tiap
kabupaten, dimana dari masing-masing peternakan disampling
15-20 ekor unggas. Jenis sampel yang diambil antara lain: serum
(individu unggas), swab orofaring (5 swabs dipool dalam 1 media
transfer), swab lingkungan (2 swabs dipool dalam 1 media transfer),
sampel pakan, dan bangkai unggas jika ada kasus.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
3
- Untuk menghindari resiko penularan antar peternakan, petugas
sampling (team investigasi) menggunakan SOP pengambilan
sampel yang telah dibuat berdasarkan prinsip-prinsip biosafety-
biosecurity dan animal welfare.

e) Melakukan pengujian dan diagnosa laboratorium:


- Jenis pengujian yang dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap
virus HPAI H5 clade 2.1.3, H5 clade 2.3.2, LPAI H9 dan virus ND
dengan teknik HI (serologi), diagnosa agen penyakit dengan teknik
PCR (biologi molekuler) untuk deteksi virus AI, virus AI subtipe
H5 (AI-H5) dan subtipe H9 (AI-H9), virus ND, virus IBH, teknik
isolasi virus pada telur ayam bertunas (virologi), teknik isolasi
dan identifikasi Mycoplasma (bakteriologi), identifikasi Eimeria
atau coccidia (parasitologi), pemeriksaan patologi anatomi dan
histopalogi, uji kadar protein dan kadar aflatoxin dalam pakan.

f) Menetapkan dan menguji hipotesa:


- Hipotesa kerja (H1) ditetapkan bahwa: “Infeksi agen penyakit dan
biosekuriti yang lemah berkaitan
dengan kasus penurunan produksi dan kematian pada unggas
komersial”. Analisa regresi dengan metode binomial logistic
regression dalam program R (version 3.3.3, https://www.r-project.
org) dilakukan untuk melihat apakah faktor-faktor resiko yang
berkaitan dengan agen penyakit dan manajemen/biosekuriti
berhubungan dengan kasus penyakit unggas komersial yang telah
terjadi di lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Waktu kejadian dan distribusi kasus penyakit

Jumlah peternakan yang disampling sebanyak 58 peternakan unggas


komersial. Semua tergolomg Sektor-3, terdiri dari: 35 peternakan layer (550
ekor sampel), 20 peternakan broiler (340 ekor) dan 3 peternakan jawa super
(45 ekor). Pada peternakan layer yang dikunjungi, kasus penurunan produksi
telur > 40% telah terjadi sejak Maret 2017 dan selalu ditemukan setiap bulan
s.d Januari 2018, kecuali April 2017; kasus kematian pada broiler terjadi
sporadik sejak Juli 2017 dan dilaporkan kembali pada September 2017,
Desember 2017, serta Januari 2018 dan terakhir; serta kasus kematian
pada jawa super hanya dilaporkan dua kali yaitu pada bulan November dan
Desember 2017 (Gambar 1).

4 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 1. Waktu kejadian kasus penurunan produksi telur pada layer dan
kematian ayam pada broiler dan jawa super di peternakan unggas
yang dikunjungi (Maret 2017 - Januari 2018).

Nampak kurva histogram kasus memiliki tipe intermittent common


source (WHO, 2008), dimana outbreak penyakit menurun pada waktu tertentu
tetapi kemudian muncul kembali. Hal ini menunjukkan bahwa sumber infeksi
kemungkinan masih ada dalam populasi unggas atau di lingkungan sehingga
menimbulkan outbreak/kasus baru pada waktu yang berbeda.

Gambar 2. Distribusi peternakan kasus dan peternakan kontrol pada masing-


masing kabupaten (A) dan distribusi berdasarkan jenis unggas
yang dipelihara (B).

Dari definisi kasus yang telah ditetapkan, teridentifikasi 27 peternakan


kasus dan 31 peternakan kontrol. Distribusi peternakan kasus dan peternakan
kontrol relatif sama di setiap kabupaten. Berdasarkan jenis/tipe peternakan,
distribusi peternakan kasus dan control pada layer tidak jauh berbeda
(Gambar 2A). Jumlah peternakan kontrol pada broiler minimalnya 2 kali lipat
dibanding peternakan kasus (Gambar 2B), sebaliknya jumlah peternakan
kontrol pada jawa super setengah dari jumlah peternakan kasus.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
5
Tanda klinis, deteksi agen penyakit dan respon antibodi

Sebanyak 14 dari 19 kasus pada layer (73.7%) memiliki tanda klinis


gangguan pernafasan dan penurunan produksi; kasus pada broiler memiliki
tanda klinis berak putih, stunting, kesusahan berjalan, dan kematian;
sedangkan pada jawa super hanya dua kasus penyakit yang dijumpai yaitu
dengan tanda klinis gangguan pernafasan, kematian, susah berjalan serta
berak putih (Tabel 1).

Tabel 1. Tanda klinis historis dan hasil diagnosa laboratorium (deteksi agen
atau kandungan bahan pakan)

Jawa % per total


Tanda klinis kasus historis Layer Broiler
Super kasus
Mati mendadak dan jengger biru 5 0 0 18.5%
Gangguan pernafasan dan kematian > 10% 0 0 1 3.7%
Gangguan pernafasan dan penurunan produksi telur 40-50% 14 0 0 51.9%
Gangguan pernafasan, menggigil dan depresi seperti gumboro 0 2 0 7.4%
Gangguan pernafasan, susah berjalan, dan berak putih 0 1 1 7.4%
Stunting, berak putih, kematian > 10% 0 2 0 7.4%
Stunting, gangguang pernafasan, dan susah berjalan 0 1 0 3.7%
Jawa % per total
Deteksi patogen pada sampel (teknik uji) Layer Broiler
Super farm
AI Subtipe H9 virus (PCR) 0 0 0 0.0%
AI Subtipe H5 virus (PCR) 6 0 1 12.1%
ND virus (PCR) 15 9 0 41.4%
Mycoplasma gallinarum (Isolasi) 11 1 0 20.7%
Eimeria sp. (Mikroskopis) 5 8 2 25.9%
Inclusion body hepatitis syndrome (Histopatologis) 1 3 0 6.9%
Kadar protein pakan rendah <18% (Biokimia) 8 2 0 17.2%
Total aflatoxin pakan tinggi >50 µg/Kg (Toksisitas) 9 0 0 15.5%

Virus ND adalah agen penyakit yang paling banyak terdeteksi, khususnya


pada 24 dari 58 peternakan (41.4%) yang dikunjungi. Selanjutnya ditemukan
agen penyebab coccidioisis, Eimeria sp, pada 15 peternakan (25.9%), diikuti
bakteri Mycoplasma gallisepticum yang menyebabkan mycoplasmosis
pada 12 peternakan (20.7%), virus AI-H5 yang menyebabkan HPAI pada 7
peternakan (12.1%), dan temuan histopatologi yang mengarah pada dugaan
infeksi Fowl Adenovirus yang mengakibatkan inclusion body hepatitis
terutama pada peternakan broiler (6.9%). Beberapa permasalahan pakan juga
ditemukan, diantaranya kadar protein kasar yang rendah dibawah 18% pada
10 peternakan (17.2%) dan total aflatoxin yang tinggi melebihi 50 µg/Kg
pada 9 peternakan (Tabel 1).

Lebih dari 69% dari total unggas layer yang disampling menunjukkan
respon antibodi tinggi (titer hambatan aglutinasi sel darah merah ayam atau
titer HI > 16) terhadap antigen ND, AI-H5, dan AI-H9. Sebaliknya proporsi
antibodi tinggi terhadap antigen ND, AI-H5, AI-H9 pada broiler dan jawa
super bervariasi dari 7-51% (Tabel 2).
6 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 2. Proporsi titer antibody terhadap virus ND, AI-H5 dan AI-H9 pada
unggas

Hasil Uji Serologi HI Layer Broiler Jawa Super Total


ND:
Titer Ab tinggi (>16) 526 (95.6%) 71 (20.1%) 23 (51.1%) 620 (66.3%)
Titer Ab rendah (<16) 24 (4.4%) 269 (79.2%) 22 (48.9%) 315 (33.7%)
AI-H5:
Titer Ab tinggi (>16) 395 (71.8%) 35 (10.3%) 6 (13.3%) 436 (46.6%)
Titer Ab rendah (<16) 155 (28.2%) 305 (89.7%) 39 (86.7%) 499 (53.4%)
AI-H9:
Titer Ab tinggi (>16) 382 (69.5%) 26 (7.6%) 4 (8.9%) 412 (44.1%)
Titer Ab rendah (<16) 168 (30.5%) 314 (92.4%) 41 (91.1%) 523 (55.9%)
Total (ekor) 550 340 45 935

Besarnya proporsi antibodi titer tinggi pada layer, khususnya antibodi


terhadap AI-H5 (71.8%) dan ND (95.6%), dapat disebabkan oleh vaksinasi
yang dilakukan secara rutin di sebagian besar peternakan layer. Selanjutnya,
perlu diinvestigasi lebih lanjut apakah temuan titer antibodi tinggi terhadap
AI-H9 pada 382 unggas layer (69.5%) disebabkan oleh respon kekebalan
adaptif akibat vaksinasi atau kekebalan alami akibat paparan infeksi virus
LPAI H9N2 sebelumya. Investigasi kasus sebelumnya melaporkan bahwa
virus LPAI H9N2 terdeteksi sebagai agen penting pada kasus penurunan
produksi telur pada peternakan layer sejak akhir 2016 (Muflihanah, 2017).
Namun, tidak menutup kemungkinan unggas sudah mendapatkan vaksinasi
H9N2. Hal ini didukung adanya keterangan dari beberapa peternak yang
dikunjungi, khususnya di Kabupaten Malang dan Kediri, yang menyatakan
bahwa unggas sudah divaksinasi dengan vaksin H9N2 setelah outbreak
penyakit pada awal tahun 2017.

Faktor resiko

Untuk melihat apakah ada hubungan antara ekspose agen penyakit


dengan kasus penyakit analisa korelasi (correlation) dan analisa regresi
logis (logistic regression) dilakukan dengan pendekatan case control study.
Ditemukan korelasi positif antara temuan agen penyakit AI, ND, coccidosis,
mycoplasmosis, serta temuan kadar protein rendah dan aflatoxin terhadap
timbulnya kasus penyakit pada unggas (Tabel 3). Tetapi, diagnosa positif
virus AI-H5 memiliki korelasi (Cor = 0.29 [95% CI: 0.04-0.51]) dan odds
ratio (OR=8.57 [95% CI: 1.33-168.26]) yang lebih tinggi dibandingkan hasil
diagnosa agen lain dan kualitas pakan terhadap terjadinya kasus penyakit
pada unggas komersial. Hasil ini mengindikasikan bahwa dibandingkan
dengan agen kausatif lain yang berhasil diidentifikasi pada investigasi ini,

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
7
infeksi virus AI-H5 memiliki resiko lebih tinggi terhadap terjadinya kasus
penurunan produksi dan kematian pada unggas komersial (Tabel 3).

Peternakan yang menerapkan biosekuriti 3-zona dan memiliki kandang
isolasi memiliki resiko yang lebih rendah terjadinya kasus penyakit
dibandingkan dengan peternakan yang tidak menerapkan biosekuriti dan
tidak memiliki kandang isolasi bagi unggas sakit. Peternakan dengan staff
yang tinggal di luar area peternakan, pemilik/staff yang sering berkunjung ke
pasar tradisional, dan yang sering menerima kunjungan penjual atau pembeli
produk unggas memiliki resiko lebih tinggi terhadap kasus penyakit (Tabel
4).

Tabel 3. Analisa korelasi dan regresi logis terhadap hubungan diagnosis


dan kasus penyakit

Diagnosis Kontrol Kasus Correlation Analysis Regression Analysis


Jumlah Farm 31 27 Cor (95% CI) p OR (95% CI) p
Avian Influenza H5 (PCR):
Negatif 30 21 1.00 -
Positif 1 6 0.29 (0.04-0.51) 0.03 8.57 (1.33-168.26) 0.05
Newcastle Disease (PCR):
Negatif 19 15 1.00 -
Positif 12 12 0.06 (-0.20-0.31) 0.67 1.26 (0.44-3.65) 0.66
Coccidiosis (Mikroskopis):
Negatif 25 18 1.00 -
Positif 6 9 0.16 (-0.10-0.40) 0.23 2.08 (0.64-7.23) 0.23
Mycoplasmosis (Isolasi):
Negatif 24 22 1.00 -
Positif 7 5 0.05 (-0.30-0.21) 0.70 0.78 (0.20-2.80) 0.70
IBH syndrome (histopatologis):
Negatif 28 26 1.00 -
Positif 3 1 -0.12 (-0.36-0.15) 0.37 0.36 (0.02-3.00) 0.39
Kadar protein kasar (Biokimia):
Normal 26 22 1.00 -
Rendah (<18%) 5 5 0.03(-0.23-0.29) 0.81 1.18 (0.29-4.77) 0.81
Total aflatoxin (Toksisitas):
Normal 27 22 1.00 -
Tinggi (>50 µg/Kg) 4 5 0.08 (-0.18-0.33) 0.56 1.53 (0.36-6.86) 0.56

8 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 4. Analisa univariable dan multivariable logistic regression antara
faktor resiko dan kasus penyakit

Faktor Kontrol Kasus Univariable analysis Multivariable analysis


Jumlah Farm 31 27 OR (95%CI) p OR (95%CI) p
Jenis Farm:
Jawa Super 1 2 1.00 - 1.00 -
Broiler 14 6 0.21 (0.01-2.65) 0.24 0.45 (0.01-13.15) 0.66
Layer 16 19 0.59 (0.03-6.76) 0.68 0.84 (0.02-23.69) 0.92
Lama Beternak:
1-5 tahun 15 13 1.00 - 1.00 -
5-10 tahun 6 6 1.15 (0.29-4.56) 0.89 0.84 (0.13-4.92) 0.85
>10 tahun 10 8 0.92 (0.28-3.04) 0.84 0.59 (0.11-2.84) 0.51
Biosekuriti 3-Zona:
Tidak 17 21 1.00 - 1.00 -
Ya 14 6 0.35 (010-1.06) 0.07 0.34 (0.08-1.33) 0.13
Tempat tinggal staf kandang:
Di dalam lingkungan 13 7 1.00 - 1.00 -
Di luar lingkungan farm 18 20 2.06 (0.69-6.58) 0.20 1.59 (0.34-7.97) 0.56
Kandang isolasi:
Tidak 9 13 1.00 - 1.00 -
Ya 22 14 0.44 (0.15-1.28) 0.14 1.28 (0.29-5.94) 0.75
Tamu yang sering berkunjung:
Tidak ada 9 5 1.00 - 1.00 -
Penjual/Pembeli 4 14 6.30 (1.41-33.43) 0.02 7.16 (1.18-57.13) 0.04
Peternak lain 4 4 1.80 (0.30-11.12) 0.51 2.17 (0.23-22.52) 0.50
Technical Services 14 4 0.51 (0.10-2.44) 0.40 0.62 (0.10-3.60) 0.59
Pergi ke pasar lokal (LBM):
Tidak Pernah 26 19 1.00 - 1.00 -
Jarang 3 5 2.28 (0.49-12.24) 0.30 1.24 (0.17-10.19) 0.83
Sering 2 3 2.05 (0.31-16.76 0.45 2.15 (0.18-27.50) 0.53

Dari beberapa faktor resiko yang dianalisa, odds ratio faktor kunjungan
penjual /pembeli produk unggas ke peternakan lebih tinggi dan signifikan
(OR = 7.16 [CI 95%: 1.18-57.13]) dibanding faktor resiko lainnya. Temuan
ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa
kunjungan ke peternakan dengan tujuan membeli/menjual unggas atau
produk unggas meningkatkan resiko terjadinya penularan agen penyakit
(Wibawa et al., 2018; Durr et al., 2016, Idris et al., 2010). Hal ini dapat
disebabkan penjual/pembeli produk unggas mungkin memiliki kontak
sebelumnya dengan unggas sakit di peternakan lain atau di pasar sebelumnya
sehingga meningkatkan resiko penyakit pada peternakan yang dikunjungi
berikutnya.

KESIMPULAN

Distribusi kasus penyakit terjadi diseluruh kabupaten yang dikunjungi


dengan besaran kasus bervariasi dari 1-7 kasus. Pada layer tanda klinis yang
sering dijumpai adalah gangguan pernafasan disertai penurunan produksi
dengan hasil diagnosa positif AI, ND, dan mycoplasmosis. Pada broiler
dan jawa super tanda klinis yang dijumpai adalah berak putih, stunting,
gangguan pernafasan disertai kematian dengan hasil diagnosa positif ND,
coccidiosis, mycoplasmosis. Ada kemungkinan tanda klinis pada broiler
dapat disebabkan infeksi agen lain seperti virus Gumboro (IBD virus)
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
9
dan virus IBH (Fowl Adenovirus). Lemahnya biosekuriti peternakan dan
kunjungan pedagang/penjual keluar masuk kandang memiliki resiko yang
tinggi terhadap terjadinya kasus penyakit pada unggas. Berdasarkan data
lapangan yang diperoleh, hasil diagnosa laboratorium, dan analisa faktor
resiko dapat dibuktikan bahwa hipotesis kerja (H1) dapat diterima. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kasus penurunan produksi dan kematian
pada unggas komersial Sektor-3 berkaitan dengan infeksi agen penyakit dan
lemahnya praktek biosekuriti peternakan.

SARAN

1. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui apakah proporsi


antibodi tinggi terhadap AI-H9 disebabkan kekebalan dari vaksinasi
atau berasal dari kekebalan alami akibat paparan virus H9 lapang.
2. Biosekuriti dan manajemen (pengetatan dan pembatasan lalu lintas
kandang, perbaikan mutu pakan dan vaksinasi terhadap agen infeksius
dan menular), perlu ditingkatkan untuk mencegah kasus serupa di masa
mendatang.

KETERBATASAN PENELITIAN

Meskipun investigasi kasus yang telah dilakukan berhasil


mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya kasus penyakit pada
unggas komersial, terdapat beberapa keterbatasan antara lain:
a) Masalah bias penelitian, disebabkan oleh kelemahan dalam mengingat
atau menentukan ada tidaknya kasus penyakit unggas yang terjadi
sebelumnya oleh peternak (recall bias), keterbukaan peternak tentang
kasus yang terjadi di peternakannya (response bias), dan permasalahan
peternak dalam mendiskripsikan tanda klinis atau kesalahan interviewer
dalam menentukan klasifikasi kasus (information bias).
b) Masalah sensitivitas pengujian, disebabkan waktu sampling dilakukan
setelah kasus penyakit pada unggas berakhir sehingga beberapa agen
penyakit lain tidak terdeteksi (misalnya virus AI-H9 tidak terdeteksi
dari pengujian virologi dan molekuler akibat antibodi netralisasi telah
terbentuk).

10 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA

Durr, P.A., Wibowo, M.H., Tarigan, S., Artanto, S., Rosyid, M.N., Ignjatovic,
J., 2016. Defining “Sector 3” Poultry Layer Farms in Relation to
H5N1-HPAI-An Example from Java, Indonesia. Avian Diseases 60,
183-190.

Idris, S., Palupi, M.F., Sudiana, E., Unger, F., 2010. Qualitative risk
assessment of HPAI H5N1 transmission between small-scale
commercial broiler chicken farms in Bogor, Indonesia. Africa/
Indonesia Team Working Paper No. 33 October 2010. International
Food Policy Research Institute. http://www.ifpri.org/publication/
qualitative-risk-assessment-hpai-h5n1-transmission-between-small-
scale-commercial.

Mashihi, M.S.K. 2001. Factors affecting egg production and quality. Animal
Health for Developing Farmers. ARC-Onderstepoort Veterinary
Institute, South Africa.

Muflihanah, Andesfha, E. Wibawa, H., Zenal, F.C., Hendrawati, F., Siswani,


Wahyuni, Kartini, D., Rahayuningtyas, I., Hadi, S., Poermadjaja, B.,
Mukartini, S., Tjatur Rasa, F.S. 2018. Kasus pertama low pathogenic
avian influenza subtype H9N2 pada peternakan ayam petelur di
Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Indonesia. Procceding Rapat
Teknis dan Pertemuan Ilmiah 2018, Yogyakarta, Indonesia.

Usman, B.A and Diarra, S.S. 2008. Prevalent diseases and mortality in egg
type layers: An overview. International Journal of Poultry Science,
7(4): 304-310.

WHO-World Health Organization. 2008. Foodborne disease outbreak:


Guidelines for investigation and control. WHO Press, Geneva,
Switzerland.

Wibawa, H., Karo-Karoa, D; Pribadi, E.S., Bouma, A., Bodewes, R., Vernooij,
H., Diyantoro, Sugama, A., Muljono, D.H., Koch, G., Tjatur Rasa,
F.S., , Stegeman, A. 2018. Exploring contacts facilitating transmission
of influenza A(H5N1) virus between poultry farms in West Java,
Indonesia: a major role for backyard farms?. Preventive Veterinary
Medicine. https://doi.org/10.1016/j.prevetmed.2018.04.008.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
11
INVESTIGASI KASUS KEMATIAN SAPI PO DI KABUPATEN
PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2017

Yuyun Purwaningsih, Saiful Latif, Hermawan Setiyadi

Laboratorium Kesehatan Hewan Banyumas


Balai Veteriner Boyolali

ABSTRAK

Pada awal bulan Februari 2017 telah dilaporkan adanya kematian 1 ekor Sapi potong jenis
peranakan ongole di Desa Kalitinggar Kecamatan Padamara Kabupaten Purbalingga. Dari laporan
kasus tersebut tim Laboratorium Kesehatan Hewan Banyumas Balai Veteriner Boyolali dan tim
dari bidang Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten Purbalingga melakukan invertigasi penyebab
kematian sapi PO tersebut.

Investigasi penyebab kematian dengan melakukan anamnesa yaitu sebelumnya terjadi sapi
sakit sebanyak 2 ekor, dengan gejala demam,nafsu makan turun,kencing darah/hemoglobinuria
(pada sapi yang mati) . Dilakukan pengambilan sampel darah pada 1 ekor sapi yang mati untuk
diuji bakteri dan parasit darah dan juga dilakukan pengambilan sampel pada sapi yang masih hidup
sejumlah 4 ekor yang berada dalam satu kandang berupa sampel darah dan feses untuk diuji parasit
darah, identifikasi telur cacing fasciola sp. , RBT.

Dari hasil pemeriksaan preparat ulas darah diperoleh hasil pada sampel sapi yang mati positif
ditemukan parasit darah Babesia sp. Dan hasil pemeriksaan dari uji identifikasi bakteri yang ditanam
dari sampel darah yang diambil ditemukan bakteri E.coli . Dan hasil dari 4 sampel yang berada
dalam satu kandang diperoleh hasil 1 (satu) positif Babesia sp. 3 (tiga) negatif, hasil pemeriksaan
RBT semuanya menunjukkan hasil negatif, hasil dari identifikasi telur cacing ditemukan 1 sampel
positif Fasciola sp. Dari hasil diatas disimpulkan bahwa penyebab kematian sapi PO tersebut adalah
karena infeksi parasit darah Babesia sp (Babesiosis)

Kata Kunci : Sapi PO, Babesia sp, Kencing berdarah/Hemoglobinuria,.parasit darah

PENDAHULUAN

Pada awal bulan Februari 2017 telah dilaporkan adanya kematian 1


ekor Sapi potong jenis peranakan ongole di Desa Kalitinggar Kecamatan
Padamara Kabupaten Purbalingga dengan gejala klinis yaitu demam,nafsu
makan turun,kencing darah. Untuk mengetahui penyebab kematian sapi
tersebut maka tersebut tim Laboratorium Kesehatan Hewan Banyumas Balai
Veteriner Boyolali dan tim dari bidang Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten
Purbalingga melakukan investigasi terhadap penyebab kematian sapi PO
tersebut. Dalam pelaksanaannya tim investigasi melakukan pengambilan
sampel pada sapi yang lainnya dalam satu kandang dengan sapi yang mati
tersebut.

Parasit darah merupakan salah satu penyebab penyakit ternak yang


cukup penting di Indonesia. Parasit darah antara lain trypanosoma, babesia,
dan anaplasma dilaporkan secara endemik di Indonesia. Kejadian penyakit
karena parasit darah tidak terlepas dari peranan vektor yang menularkan
penyakit tersebut. Vektor yang potensial sebagai penyebar surra adalah lalat
Tabanus dan untuk babesia / anaplasma adalah caplak terutama Boophilus

12 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
microplus. Parasit darah dapat pula ditularkan secara mekanik melalui
jarum suntik yang terkontaminasi dengan darah terinfeksi jika jarum yang
sama digunakan secara bergantian untuk menyuntik beberapa ekor hewan.
(Anonimus,1994)

Babesia merupakan parasit yang terletak di dalam sel darah merah dan
juga diluar sel darah merah di dalam lumen kapiler paru-paru, ginjal, hati
dan sebagainya, disitu mereka memperbanyak diri tak terbatas dengan cara
pembelahan multiple.Protozoa ini kemudian bereproduksi secara aseksual,
pertama di dalam sel usus caplak betina, kemudian dalam telur dan larva
yang sedang berkembang, dan akhirnya di dalam sel kelenjar ludah anak
caplak. (Levine, 1978)

Siklus hidup Babesia adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Siklus Hidup Babesia

Klasifikasi parasit penyebab penyakit Babesiosis


Phylum : Apicomplexa
Subklas : Piroplasma
Ordo : Piroplasma
Famili : Babesidae
Genus : Babesia
Spesies : Babesia bovis dan Babesia bigemina (sapi)
Apabila specimen darah yang terinfeksi oleh parasit ini diwarnai dengan
pewarnaan Romanowsky, akan terlihat sitoplasma yang berwarna biru
dengan masa khromatin berwarna merah dan biasanya pada satu ujung.
Butir-butir khromatin yang berbentuk benang berasal dari massa khromatin
yang lebih besar. Dengan bentuk buah pir yang membentuk sudut dengan
kedua ujung runcing berdekatan.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
13
Dalam upaya perkembangan populasi ternak terutama sapi, diperlukan
langkah pengendalian penyakit, yaitu tindakan pencegahan timbulnya
patogenitas dari agen penyakit ke inangnya. Salah satu penyakit ternak yang
cukup penting dan bersifat endemik adalah parasit darah karena penyakit
tersebut dapat menimbulkan kerugian berupa pertumbuhan terhambat,
penurunan berat badan, penurunan daya kerja, penurunan daya reproduksi
(Nasution, 2007), penurunan produksi susu, dan aborsi (Kocan et al., 2003).
Kasus penyakit yang disebabkan oleh parasit darah umumnya bersifat akut,
namun terkadang dapat menyebabkan kematian pada hewan yang terinfeksi
(Soulsby, 1982). Babesia merupakan parasit darah yang ditularkan oleh
caplak, dapat menyebabkan penyakit klinik pada induk semang mamalia
dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar jika terjadi
wabah. Penyakit ini ditandai dengan adanya demam, anemia hemolitik,
hemoglobinuria dan akhirnya kematian. Oleh karena itu, pencegahan,
diagnosa, pengendalian dan pengobatanterhadap penyakit ini harus dilakukan
dengan cepat dan tepat sehingga tidak menmbulkan kerugian yang besar bagi
masyarakat melalui penurunan produktifitas dan kematian ternak.

Dengan adanya investigasi dan pengambilan sampel ini diharapkan


dapat menjawab penyebab kematian Sapi PO tersebut diatas sehingga
penanganan dan pengendalian kasus ini dapat dilakukan dengan cepat dan
terarah. Untuk itu pemeriksaan laboratorium dilakukan terhadap penyakit
yang dicurigai sebagai penyebab kematian sapi tersebut seperti penyakit
akibat parasit darah (babesia)

TUJUAN

1. Mengetahui penyebab kematian sapi potong jenis PO yang ada di


Kabupaten Purbalingga
2. Memberikan rekomendasi penanggulangan penyakit pada sapi kepada
Pemerintah daerah berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.

MATERI DAN METODE

Materi

Sampel darah dari bangkai seekor sapi dan 4 sampel darah (edta dan non
edta), feses dari sapi yang berada dalam satu kandang.

Metode

Investigasi dilakukan oleh tim Lab.Keswan Banyumas Balai Veteriner


Boyolali dengan tim dari Bidang Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten
Purbalingga. agar mengarah kepada diagnosa yang tepat maka dilakukan
tahapan investigasi sebagai berikut :
14 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
1. Inspeksi lapangan dengan mengujungi tempat kematian sapi, melakukan
pengamatan dan pengumpulan data / informasi melalui wawancara
dengan petugas peternakan dan peternak seperti kronologis kejadian
kematian, sejarah penyakit, jumlah hewan sakit (morbiditas) dan jumlah
hewan yang mati (mortalitas)
2. Pengamatan gejala klinis
3. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan laboratorium. Pengambilan
sampel dilakukan pada sapi yang mati dan sapi yang ada dalam satu
kandang. Sampel yang diambil berupa darah (darah edta dan serum
darah), dan feses.
4. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan : Pemeriksaan parasit darah,
identifikasi bakteri, pemeriksaan RBT, dan pemeriksaan gastrointestinal

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pada pengumpulan informasi dari petugas dan peternak diperoleh hasil


sebagai berikut populasi sapi di kandang tersebut jumlah 5 ekor dimana
dalam satu kandang tersebut 2 ekor sapi sakit yang satu kemudian mati, 3
ekor sapi baik-baik saja , gejala klinis sapi yang sakit yaitu hewan lemah,
demam, nafsu makan turun, kencing darah (pada sapi yang mati), sapi yang
mati berumur 3 tahun, jenis kelamin betina. Pada sapi yang mati sampel
yang diambil berupa darah dimana saat pengambilan sampel darah encer dan
berwarna hitam, dan untuk sapi yang berada dalam satu kandang sampel
yang diambil berupa darah dan serum serta feses.
Hasil dari pengujian sampel yang diambil dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 1. Hasil pengujian sampel yang diambil.

Hasil pengujian
No Kode sampel Parasit Parasit Keterangan
Bakteri RBT
darah internal
1 Sp 1 Babesia sp E.Coli Sapi yang mati
2 Sp 2 Babesia sp Negatif Negatif Sapi yang sakit
3 Sp 3 Negatif Negatif Negatif
4 Sp 4 Negatif Fasciola sp Negatif
5 Sp 5 Negatif Negatif Negatif

Dibawah ini adalah gambar ulas darah dari sampel darah sapi yang mati dan
sapi yang sakit tapi hidup. Terlihat dari hasil ulas darah keduanya ditemukan
parasit darah Babesia sp

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
15
Gambar 2. Babesia sp pada sampel Gambar 3. Babesia sp pada sampel
kode sp 1 ( sapi yang kode sp 2 (sapi sakit /
mati) hidup)

PEMBAHASAN

Dari hasil pemeriksaan sampel yang diambil diperoleh hasil pemeriksaan


ulas darah sapi yang mati dan yang sakit ditemukan adanya parasit darah
Babesia sp. Dimana Sampel darah dari sapi yang mati saat diambil encer
sehingga saat dibuat ulas darah tidak optimal seperti yang terlihat pada
gambar 1 diatas. Sedangkan sampel sapi yang sakit tapi hidup ditemukan
juga adanya parasit darah Babesia sp.

Infeksi Babesia sp bisa terjadi secara perakut, akut, kronis maupun tidak
terlihat. Pada umumnya babesiosis ditandai dengan keadaan hewan lemah,
kehilangan nafsu makan dan demam, temperatur badan dapat meningkat
sampai 41 0 – 41,50C dalam waktu 2 atau 3 hari. Hewan yang terinfeksi
memperlihatkan kenaikan suhu rektal yang beringan dengan timbulnya parasit
dalam darah. Infeksi oleh Babesia bigemina ditandai dengan adanya urine
yang berwarna merah (hemoglubinuria), anemia yang diikuti dengan ikterus.
Pada bedah bangkai terlihat hati membesar berwarna kekuningan, pucat .
Penggumpalan cairan empedu dalam kantong empedu akibat obstruksi dari
saluran-salurannya oleh cairan empedu yang menggumpal akan mewarnai
hati menjadi belang kekuningan sampai kemerahan atau coklat mahoni.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosa babesiosis adalah
pola kejadian penyakit, misalnya kejadian musiman fluktuasi infestasi caplak
atau ewan peka dimasukkan dalam daerah endemik; babesiosis biasanya
terjadi pada sapi yang berumur sekitar 1-3 tahun. (Anoimus,1994). Variasi
kehebatan dan lamanya serangan tergantung dari umur hewan, musin dalam
setahun,derajat penularan serta pernah tidaknya hewan tersebut terinfeksi.

Untuk kasus akut masa inkubasi berlangsung antara 1 – 2 minggu,


serangan penyakit terjadi tiba-tiba dan hewan terlihat depresi, kehilangan
nafsu makan, temperatur tubuh tunggi, respirasi meningkat, pada tahap
perusakan eritrosit selaput-selaput lendir pucat dan ikterus kemudian
hewan terlihat mengeluarkan urin berwarna merah kehitaman yang disebut

16 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
hemoglobinuria. Hewan secara cepat mengalami ikterus akibat masukknya
hemoglobin ke dalam saluran empedu (Christensen,1956). Pada kasus akut
ini kematian dapat terjadi 4-8 hari setelah tampak gejala klinis dan hewan
yang bertahan hidup akan mengalami tahap kronis (Soulsby,1982)

Oleh karena diagnosa penyakit berdasarkan penemuan parasit dalam


preparat ulas darah, maka pemeriksaan mikroskopik dari ulas darah tebal
atau tipis merupakan metode yang biasa untuk penyakit yang akut. Pada
sediaan apus darah yang diwarnai dengan giemsa, Babesia terlihat sebagai
sitoplasma berwarna biru terang dengan latar belakang sel eritrosit yang
berwarna merah jambu pucat.

Pada saat pengambilan sampel ditemukan adanya caplak pada tubuh


sapi yang sakit dimana posisi sapi ini berdekatan dengan sapi yang mati, ini
menunjukkan bahwa vektor caplak menyebabkan penularan terhadap parasit
darah ini. Yang mana sapi tersebut juga menunjukkan gejala demam, nafsu
makan turun tapi tidak sampai menyebabkan kematian.

Pengendalian penyakit Babesiosis harus mempertimbangkan


pengendalian vektor, dikarenakan penyakit Babesiosis di tularkan
oleh caplak, pencegahan dan control bergantung pada eliminasi atau
penghilanagan caplak. Hal ini bisa dilakukan dengan regular dipping, yang
bisa menghilangkan paling tidak pada satu area dasar untuk peternakan

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan gejala klinis, kronologis kejadian kasus dan pemeriksaan


laboratorium penyebab kematian sapi PO tersebut disebabkan oleh infeksi
parasit darah Babesia sp (Babesiosis). Vektor caplak berperan dalam
penularan penyakit babesiosis ini terbukti sapi yang berada dekat (disamping)
sapi yang mati terinfeksi juga oleh parasit darah Babesia sp. Kasus penyakit
yang disebabkan oleh parasit darah umumnya bersifat akut, namun terkadang
dapat menyebabkan kematian pada hewan yang terinfeksi.
Untuk mencegah terhadap infeksi parasit darah perlu penerapan prinsip
manajemen pemeliharaan yang baik, sehingga dapat mencegah timbulnya
kejadian infeksi parasit darah khususnya Babesia sp.

KETERBATASAN ATAU LIMITASI

Keterbatasan sampel pada hewan yang mati menyebabkan data


pendukung yang di dapat kurang optimal.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
17
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1994. Petunjuk Diagnosa Parasit Darah Trypanosoma, Babesia,


Anaplasma Puslitbangnak, Badan Litbang Pertanian, Bogor

Anonimus. 2013. Susanfashella.blogspot.co.id/2013/03/Babesiosis-dan-


penanggulanggannya.htpl

Anonimus.2014.Babesiosis- Penyakit Ruminansia pada Sapi , www.situs-


peternakan.com/2014/11/babeiosis-penyakit-ruminansia-pada-sapi.
htpl

Christensen, J.F.1956. Cattle Tick Fever (texas Fever, Bovine Piroplasmosis)


In M.G Fincher, W.J Gibbons, Karl Meyer , Disease of Cattle.
American Veterinary Publication,Inc.,Evanston,Illinois

Levine ,ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner, Gadjah Mada


University Press

Nasution AYA.2007.Parasit Darah Pada Ternak Sapi Dan Kambing di Lima


Kota Jambi (skripsi)).Bogor.(ID).Institut Pertanian Bogor

Soulsby, E,J,I,.1982. Helminths, Arthropds and Protozoa of Domesticated


Animals, Bailliere Tindal, London

18 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TEMUAN PENYAKIT INCLUSION BODY HEPATITIS PADA
SAMPEL SURVEILANS PASIF KASUS KEMATIAN TINGGI
UNGGAS BROILER DI WILAYAH KERJA BALAI BESAR
VETERINER WATES YOGYAKARTA
Dewi Pratamasari1, Enggar Kumorowati2, Suci Nurani3, Sutopo4
1,2
Medik Veteriner Muda , 3 Paramedik Pelaksana Lanjutan, Paramedik Penyelia4

Balai Besar Veteriner Wates


1,2,3,4

E-mail: dewiibu0@gmail.com

ABSTRAK

Sekitar satu tahun belakangan ini dilaporkan adanya kasus kematian tinggi pada peternakan
unggas komersial khususnya ayam broiler, namun dari hasil diagnosa belum diketahui penyebabnya.
Dimulai pada akhir Desember 2017 BBVet Wates menerima sampel organ dari Technical service
perusahaan di wilayah kabupaten Demak. Populasi ayam pada farm terserang sebanyak 23.000
ekor berumur 23 hari dengan total kematian 6000 ekor. Gejala klinis yang nampak mirip penyakit
Infectious Bursal Disease (Gumboro disease) yaitu ayam mengalami kelesuan, depresi, gemetar,
bulu kusam berdiri, anoreksia.

Tujuan dari penyidikan ini adalah untuk mengetahui penyebab kasus kematian unggas Broiler
melalui pendekatan pengamatan dan analisa patologi anatomi dan histopatologi dari sampel-sampel
kasus yang diterima BBVet Wates dalam bentuk organ hati dalam formalin.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa terjadi perubahan patologi anatomi hati pucat, rapuh
dan membesar. Pengujian sampel hati dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi menggunakan
pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Hasil pengujian menunjukkan adanya benda inklusi intranuklear
pada sel hepatosit, multifokal nekrotik hepatitis, dan infiltrasi sel – sel limfoid disekitar pembuluh
darah (perivaskuler kaffing). Dari pengujian patologi anatomi di lapangan dan pengujian histopatologi
di laboratorium menunjukkan perubahan yang khas yaitu adanya inclusion body hepatitis dan infiltrasi
sel sel radang pada pembuluh darah yang kemungkinan disebabkan oleh infeksi virus. Jika temuan
patologi dan histopatologi ini dikaitkan dengan data keparahan penyakit di lapangan dan studi literatur
ada kemungkinan jika kematian unggas Broiler bisa disebabkan oleh infeksi virus Adenovirus Group
1 yang menyebabkan terjadinya inclusion body hepatitis pada unggas broiler. Penelitian lebih lanjut
diperlukan seperti isolasi virus dan PCR/Sequencing untuk peneguhan diagnosa temuan ini.

Kata kunci : Inclusion Body Hepatitis, adenovirus, histopatologi, pewarnaan Hematoksilin dan
Eosin

PENDAHULUAN

Sektor perunggasan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya


mencapai swasembada pangan di Indonesia. Sektor ini berkembang cukup
pesat dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya peternak
perunggasan nasional. Namun kita menghadapi kendala masalah kesehatan
unggas dengan adanya penyakit infeksius yang menimbulkan kematian
tinggi dan kerugian ekonomi cukup besar. Beberapa tahun terakhir telah
terjadi kasus kematian tinggi pada unggas broiler yang diduga disebabkan
oleh infeksi adenovirus yang menyebabkan penyakit IBH (Inclusion
Body Hepatitis). Penyakit IBH (Inclusion Body Hepatitis) adalah infeksi
adenovirus pada ayam muda yang bersifat cepat dan angka kematiannya
tinggi dalam suatu kandang atau kelompok ayam. Patologi anatomi pada hati

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
19
menunjukkan perdarahan ptechiae, hati membesar, pucat kekuningan dan
rapuh. Secara mikroskopik pada sel hati terdapat benda inklusi intranuklear
yang dapat bersifat eosinofilik atau basofilik dan solid. Penyakit IBH
pertama kali muncul di USA pada tahun 1963 (Helmboldt. 1963; Akoso.
1993). Setelah itu banyak kasus IBH terjadi di berbagai negara. Di Iran telah
terisolasi fowl adenovirus dari kasus IBH pada farm broiler dan breeder
selama kurun waktu 2013 – 2016. Di India melaporkan kasus IBH pada
farm broiler berumur 25 hari pada tahun 2017 (Dutta B. et. al. 2017). Di
Indonesia sendiri pertama kali dilaporkan di Jawa (Kabupaten Semarang)
dan DKI Jakarta pada tahun 1985 (Akoso. 1993)

Laporan kasus kematian tinggi pada peternakan unggas komersial


khususnya pada ayam broiler di Indonesia kembali terjadi pada tahun 2017.
Balai Besar Veteriner Wates menerima sampel organ hati dalam formalin
dari Technical service perusahaan swasta di wilayah Jawa Tengah pada akhir
Desember 2017. Populasi ayam pada farm terserang sebanyak 23.000 ekor
berumur 23 hari dengan total kematian 6000 ekor. Gejala klinis yang nampak
mirip penyakit Infectious Bursal Disease (Gumboro) yaitu ayam mengalami
kelesuan, depresi, gemetar, bulu kusam berdiri, anoreksia.

TUJUAN

Tujuan dari penyidikan ini adalah untuk mengetahui penyebab kasus


kematian unggas Broiler melalui pendekatan pengamatan dan analisa
patologi anatomi dan histopatologi dari sampel kasus yang diterima BBVet
Wates dalam bentuk organ hati dalam formalin.

MATERI DAN METODE

Materi pengujian berupa sampel organ ayam yang berasal dari


surveilans pasif kiriman dari peternakan ayam komersial (ayam broiler) di
wilayah kerja BBVet Wates dengan gejala klinis ayam mengalami kelesuan,
depresi, gemetar, bulu kusam berdiri, anoreksia dan terjadi kematian tinggi.
Ayam dinekropsi dilapangan kemudian diambil organ hatinya dan dikirim ke
laboratorium BBVet Wates untuk pemeriksaan histopatologi.

Bahan yang digunakan adalah formalin 10%, alkohol 80%, alkohol


90%, alkohol absolut, aquades, eosin, Mayers hematoxilin, paraffin, xylol,
entelan.

Metode pemeriksaan histopatologi dilakukan terhadap organ hati yang


telah difiksasi dengan formalin 10% dan diproses menjadi preparat dengan
tissue prosesor otomatis kemudian dipotong setebal 4µ dan diwarnai dengan
pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE).

20 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Diagnosa berdasarkan temuan karakteristik post-mortem dan
pemeriksaan histopatologi.

HASIL

Pada pemeriksaan patologi anatomi ditemukan hati terlihat lebih pucat


dengan warna kekuningan, konsistensi rapuh dan ukuran membesar dengan
perdarahan multiple petechiae hemoragik.
Hasil pengujian mikroskopik dapat dilihat dalam tabel berikut:

Hasil uji laboratorium


No Id Hewan Kode sampel Jenis sampel Histopatologi
1 1 1 Organ dalam formalin Hemoragik, infiltrasi
2 1 2 Organ dalam formalin sel – sel imfoid di sekitar
pembuluh darah, benda
3 1 3 Organ dalam formalin inklusi intranuklear,
multifokal nekrotik hepatitis

Pemeriksaan secara mikroskopis menunjukkan didalam sel- sel hati


ditemukan adanya benda inklusi intranuklear yang bersifat eosinofilik
dengan halo space (ruang kosong disekitar nucleus). Keradangan multifokal
nekrotik hepatitis juga terjadi disertai perdarahan hemoragik.

PEMBAHASAN

Catatan sejarah kasus menyebutkan bahwa kematian ayam broiler terjadi


pada umur 23 hari dengan kematian total 6000 ekor dari seluruh populasi
23.000 ekor. Hal ini menunjukkan kematian telah mencapai sekitar 26% dari
populasi dengan umur ayam sekitar 3 minggu. IBH dapat menyerang ayam
berumur 3-15 minggu dengan kejadian paling sering pada umur 4-8 minggu
(Akoso, 1993), namun pernah dilaporkan kematian tinggi karena IBH pada
ayam broiler umur 2 hari di Kermanshah Iran (Rahimi, 2015). Pemeriksaan
patologi anatomi pada sampel menunjukkan hati tampak lebih pucat dengan
warna kekuningan, konsistensi rapuh dan ukuran membesar disertai dengan
perdarahan multiple petechiae hemoragik. Menurut Dinev (2014) perubahan
patologi anatomi pada kasus IBH antara lain hati membesar, warna pucat
kekuningan, perdarahan petechial hemoragik dan tekstur rapuh.

Hasil pemeriksaan secara mikroskopis didalam sel- sel hati ditemukan


adanya benda inklusi intranuklear yang bersifat eosinofilik dengan halo
diseputar nucleus (Gambar 1). Keradangan multifokal nekrotik hepatitis
juga terjadi disertai perdarahan hemoragik (Gambar 2 dan 3). Hal ini
sesuai dengan literature yang menyebutkan pada pemeriksaan histopatologi
ditemukan adanya peningkatan degenerasi dan nekrosis sel hati serta
intranuklear inclusion bodi dalam sel parenkim hati (Sander J. 2002). Lesi

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
21
nekrosis pada hati dapat disebabkan oleh infeksi penyakit viral (Jubb K.V.F.,
1985). Randall C.J (1985) mengatakan pada Inclusion Body Hepatitis
perubahan mikroskopisnya adalah adanya intranuklear inclusion bodi
pada sel hepatosit yang dapat bersifat eosinophilik dengan ruang halo atau
basophilic dan solid.

Gambar 1. Benda inklusi intranuklear Gambar 2 Multifokal nekrotik dan


dengan halo (panah) mononuklear sel (A)
Perbesaran 40x Perbesaran 40x

Gambar 3. Hemoragik hepatitis (A) Gambar 4. Infiltrasi sel-sel limfoid


perivaskuler kaffing
Perbesaran 40x Perbesaran 40x

Pada organ hati ditemukan adanya perivaskuler kaffing dengan infiltrasi
sel – sel limfoid disekitar pembuluh darah (Gambar 4.). Infiltrasi sel
– sel limfoid biasa terjadi pada infeksi penyakit virus. Diagnosis IBH
diambil berdasarkan typikal lesi – lesi gross patologi dan catatan sejarah
penyakitnya. Pendekatan prinsipal dalam diagnostic IBH adalah melalui
investigasi histopatologi yang membantu mendeteksi keberadaan benda
inklusi intranuklear (Dinev, 2014).

22 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KESIMPULAN

Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa kasus kematian broiler


pada surveilans pasif di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Wates diduga
disebabkan oleh infeksi penyakit IBH (Inclusion Body Hepatitis)

SARAN

Perlu dilakukan studi dan pengujian lebih lanjut seperti sequencing dan
isolasi virus pada kasus yang secara histopatologi terdiagnosa IBH (Inclusion
Body Hepatitis) untuk mendapatkan agen infeksi adenovirus.

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B. T. Dr., 1993. Manual Kesehatan Unggas. Panduan bagi petugas


teknis, penyuluh dan peternak. Penerbit Kanisius. Cetakan pertama:
Hal. 68 – 70.

Dinev Ivan, 2014. Diseases of Poultry: A Colour Atlas. The PuoltrySite –


Puoltry News, Healt, Welfare, Diseases, Markets and Economics 5m
Publishing, Benchmark House, England.

Dutta B., Deka Pankaj, Gogoi SM., Sarmah M., Bora MK., Pathak DC., 2017.
Pathology of inclusion body hepatitis Hydropericardium syndrome
(IBH – HPS) in broiler chicken. International Journal of Chemical
Studies 2017; 5 (3): 456 – 461

Jubb K.V.F., Kennedy Peter C., Palmer Nigel, 1985. Pathology of Domestic
Animals. Third Edition. Academic Press. London. P.255

Rahimi M., Haghighi Z.M.S., 2015. Adenovirus-like inclusion body hepatitis


in a flock of broiler chickens in Kermanshah province Iran. Veterinary
Research Forum. 2015 Winter; 6(1):95-98.

Randall, C.J., 1985. A Colour Atlas of Diseases of the Domestic Fowl


and Turkey. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food Veterinary
Laboratory, Eskgrove Lasswade, Midlithian, Scotland, Wolfe Medical
Publications Ltd.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
23
FAKTOR RISIKO LEPTOSPIROSIS PADA SAPI POTONG
DI KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN,
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Niken Widarini1 dan Estu Widodo2

1
Medik Veteriner di Puskeswan Prambanan , 2Medik Veteriner di Puskeswan Nanggulan
Koresponden : nikenwidarini@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi, serovar penyebab, dan faktor risiko kejadian
leptospirosis pada sapi potong di kecamatan prambanan kab. Sleman DIY. Sebanyak 45 sampel
sapi potong diperiksa secara klinis, dan diambil darahnya untuk pemeriksaan leptospira dengan
microscopic aglutination test (MAT). Hasil MAT digunakan sebagai variabel dependen (Y),
sedangkan variabel independen (X) adalah faktor peternak, ternak, kandang, dan pakan. Analisis
yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat dengan chi square, odd ratio. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sapi positif leptospirosis dengan uji MAT sebanyak 8,9% (4/45). Leptospirosis
sebagian besar disebabkan oleh Leptospira serovar hardjo (75,0%). Faktor risiko yang berpengaruh
terhadap kejadian leptospirosis adalah faktor keguguran (OR=20,893), hewan yang diberi pakan
tambahan konsentrat (OR=8,055) dan tempat menaruh konsentrat yang banyak terdapat tikus
(OR=4,917). Faktor keguguran, hewan yang diberi tambahan pakan konsentrat dan kandang menaruh
konsentrat yang terdapat tikus meningkatkan risiko kejadian leptospirosis.

Kata kunci: leptospirosis, sapi potong, prevalensi, faktor risiko

ABSTRAK

The purpose of this study was to determine the prevalence, serovar, and risk factors of leptospirosis
on cattle in Prambanan , Sleman, DIY. A total of 45 cattle samples were clinically examined and
blood was collected for Leptospira examination using microscopic agglutination test (MAT). Results
of MAT were used as dependent variable (Y), while breeders, cattle, shed, and feed factors were
used as the independent variable (X). Univariate analysis and bivariate analysis with chi square,
odds ratio were implemented to analyze the data. The results showed that cattle were positively
leptospirosis which 8,9% (4/45). Mostly, leptospirosis cases were caused by hardjo serovar (75.0%).
Risk factors influencing the prevalence of leptospirosis were caused by some factors such as abortion
(OR=20,893), cattle with added feed concentrate (OR=8,055) and the existing mice in concentrate
warehouse (OR=4,917). Factors of abortion, feed combine with concentrate and the existing mice in
concentrate warehouse provides a greater risk of leptospirosis infection.

Key words: beef cattle, leptospirosis, prevalence, risk factors

PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang penting secara


ekonomi, infeksi pada ternak yang menyebabkan abortus, kelahiran mati,
infertilitas, dan turunnya produksi susu. Banyak aspek leptospirosis pada
hewan ternak yang kurang dipahami, sebagian karena sulit didiagnosis,
kompleksitas hubungan host-leptospire, dan perubahan pola infeksi.( Bolin
CA,2005) . Leptospirosis dianggap sebagai penyakit zoonosis yang serius
mengalami peningkatan prevalensi dan distribusinya di seluruh dunia (Bharti
et al., 2003, Levett, 2001). Kesadaran akan penyakit ini telah meningkat
secara secara cepat di dunia internasional dalam dekade terakhir, baik pada
negara-negara berkembang maupun negara-negara industri. Leptospirosis

24 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
disebabkan oleh infeksi leptospira patogenik: spirochet motil berbentuk
heliks yang termasuk dalam famili Leptospiracae, genus Leptospira. Secara
global, penyakit ini diklaim menginfeksi jutaan orang setiap tahunnya dan
menyebabkan kerugian pada dunia peternakan dalam jumlah yang besar.
kejadian leptospirosis seringkali tidak dilaporkan kasusnya karena terkendala
pada gejala klinis yang tidak nampak dan kesulitan diagnostik (Cachay &
Vinetz, 2005).

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia dan disebabkan infeksi oleh


spirochete Leptospira. Leptospira patogen sebelumnya diklasifikasikan
sebagai anggota spesies Leptospira interrogans; dan leptospira patogen
sekarang teridentifikasi pada 7 spesies Leptospira. Terdapat sekitar 200
serovars Leptospira patogen yang telah teridentifikasi di seluruh dunia.
Serovars diidentifikasi berdasarkan antigen pada permukaan organisme
(Bolin CA,2005).

Microscopic agglutination test (MAT) adalah teknik yang paling umum


digunakan untuk mendiagnosis leptospirosis pada hewan. Keuntungan
teknik ini karena merupakan Serologi yang murah, cukup sensitif, dan
tersedia dengan mudah. MAT menggunakan pencampuran pengenceran
serum dengan leptospira aktif. Keberadaan antibodi ditandai dengan adanya
aglutinasi leptospira (Bolin CA,2003).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan sapi potong sebagai objek penelitian, dan


beberapa serovar leptospira untuk uji Micro Agglutination Test. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret - September 2017. Jumlah sampel yang
digunakan dihitung dengan rumus n=4PQ/L2 (Martin et al., 1989)

Dengan asumsi prevalensi sebesar 0,17 (Susanti,2015). Sampel


dikoleksi dari 45 ekor sapi di dua dusun terpilih di Kecamatan Prambanan
Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel darah dari 25 ekor
sapi dari dusun Gunung Cilik desa Sambirejo kecamatan Prambanan dan
20 ekor sapi dari dusun Jobohan desa Bokoharjo kecamatan Prambanan
diambil menggunakan tabung venoject tanpa antikoagulan dan dipisahkan
untuk diambil serumnya. Serum diperiksa dengan metode microscopic
agglutination test (MAT) di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

Prosedur MAT, Serum disimpan pada suhu -20ºC sampai dilakukan


pemeriksaan dengan microscopic agglutination test (MAT) Antigen
yang digunakan untuk MAT adalah antigen hidup dari biakan Leptospira
interrogans serovar icterohemorrhagiae, javanica, celledoni, canicola,
ballum, pyrogenes, cynopteri, rachmati, australis, pomona, grippotyphosa,
hardjo, bataviae, dan tarassovi. Kultur yang digunakan berumur 5-9 hari,
ditumbuhkan dalam medium EMJH cair dan diinkubasi pada 28-30° C.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
25
Konsentrasi antigen adalah ± 2x108 leptospira/ml. Serum diencerkan dengan
PBS perbandingan 1 : 25, kemudian 50 μl serum tersebut diisikan pada
lubang microplate dan ditambahkan 50 μl antigen Leptospira interrogans.
Selanjutnya, diinkubasi pada 28-30° C selama 2 jam. Campuran serum antigen
dipindahkan ke kaca objek (tidak ditutup dengan kaca penutup) dengan
diluter dan dibaca dengan mikroskop fase kontras pada pembesaran 100x.
Serum yang menunjukkan reaksi 50% aglutinasi atau lebih dilakukan titrasi.
Serum yang menunjukkan reaksi 50% aglutinasi atau lebih pada pemeriksaan
pendahuluan kemudian diencerkan dengan PBS perbandingan 1 : 50, 1 : 200,
1 : 800 dan 1 : 3200. Sebanyak 50 μl masing-masing enceran serum tersebut
kemudian diteteskan ke dalam lubang-lubang microplate, dan masing-
masing enceran tersebut ditambah 50 μlantigen (Leptospira interrogans).
Selanjutnya, diinkubasi pada suhu 28-30°C selama 2 jam. Pembacaan
dilakukan seperti pada pemeriksaan pendahuluan. Titik akhir pembacaan
adalah 50% aglutinasi atau lebih (diperkirakan dari jumlah leptospira bebas,
yaitu 50% atau kurang) dan titer didefinisikan sebagai enceran akhir tertinggi
serum dalam campuran serum-antigen yang menunjukkan 50% aglutinasi
atau lebih (Susanti,2015).

Data faktor risiko diambil dengan wawancara, pengamatan dan


pemeriksaan sampel peternak, ternak, pakan, dan kandang. Data dependen
adalah hasil pemeriksaan MAT. Data independen meliputi : (a) Data peternak
yaitu : pengetahuan tentang leptospirosis; (b) Data ternak yaitu : umur,
seks, ras, kondisi ternak, asal, Body Condition Score (BCS), digembalakan,
dipekerjakan, dimandikan di telaga/sungai; (c) Data pakan yaitu: jenis pakan,
adanya tikus di sawah dan gudang, tempat pemberian pakan dan sumber air
minum; dan (d) Data kandang meliputi : bentuk kandang, adanya umbaran,
lantai kandang, kebersihan kandang, adanya ternak lain dalam kandang,
jarak kandang dan tempat pembuangan limbah, adanya drainase, adanya
pengolahan limbah, dan adanya tikus dalam kandang.

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui deskripsi variabel


peternak, ternak, pakan dan kandang. Analisis bivariat dengan uji Chi-
Square dilakukan untuk mengetahui asosiasi antara penyakit dengan faktor
penyebab. Variabel yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis, diukur
besarnya risiko dengan Odd Ratio.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sapi potong di


kecamatan Prambanan kabupaten sleman adalah sapi dewasa (84,4%), betina
(84,4%), kondisi tubuh sedang (95,6%), Sebagian besar sapi adalah sapi yang
beli dari pasar (53,3%), sapi tidak pernah dipekerjakan, dan tidak pernah
digembalakan,sebagian kecil sapi di mandikan disungai (31,1%). Pakan
sapi sebagian besar berupa rumput, jerami dan hanya sedikit yang ditambah
26 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
konsentrat (13,7%) . Sebagian besar hijauan yang ditanam terdapat tikus di
sawah (88,9%), Untuk gudang tempat konsentrat sebagian besar terdapat
tikus (82,2%). Sebagian besar air minum berasal dari sumur (57%), dan
makan pada tempat permanen (68,9%). Kondisi kandang yang ada sebagian
besar kotor (57,8%) walaupun insentisitas pembersihan kandang sebagian
besar (95,8%) sudah lebih dari dua kali dalam sebulan, kandang tidak ada
yang memiliki umbaran. Jarak kandang dengan saluran air sebagaian besar
kurang dari 10 m (55,66%).Sebagian besar ternak sapi tidak dicampur dengan
ternak lain (93,3%). Kandang sapi yang ada sebagian besar juga terdapat
tikus dikandang (93,3%). Hanya sedikit kandang yang memiliki drainase
yaitu 37,8%. Semua kandang tidak ada unit pengolah pupuk kandang.
Dalam riwayat kasus, terdapat terdapat 6,7% sapi yang pernah mengalami
keguguran.

Tabel 1. Hasil Deskriptif

No Faktor penyebab Hasil


1 Umur sapi
- ≤ 2 tahun 15,6%
- > 2 tahun 84,4%
2 Jenis kelamin
- Betina 84,4%
- jantan 15,6%
3 Body Condition Score
- 2-4 95,6%
- > 4 or <2 4,4%
4 Asal ternak
- Pasar 53,3%
- Hasil peranakan sendiri 46,7%
5 Ternak digembalakan
- Ya 0%
- tidak 100%
6 Ternak dipakai kerja disawah
- ya 0%
- tidak 100%
7 Ternak dimandikan di sungai
- ya 31,1%
- tidak 68,9%
8 Ternak diberi konsentrat
- ya 13,7%
- tidak 86,3%
9 Sawah tempat hijuan banyak tikusnya
- ya 88,9%
- tidak 11,1%
10 Gudang penyimpanan konsentrat banyak tikusnya
- ya 82,2%
- tidak 17,8%

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
27
No Faktor penyebab Hasil
11 Tempat pakan permanen
- ya 68,9%
- tidak 31,1%
12 Sumber air dari PAM
- ya 57,8 %
- tidak 42,2%
13 Kandang ada umbaran
- ya 0%
- tidak 100%
14 Kebersihan kandang
- kotor 57,8%
- bersih 42,2%
15 Frekuensi pembersihan kandang
- 2 kali sebulan ≥ 4,4%
- > 2 kali sebulan 95,6%
16 Jarak kandang dengan saluran air
- < 10 m 55,6%
- > 10 m 44,4%
17 Sapi dicampur dengan ternak lain
- Ya 6,7%
- tidak 93,3%
18 Kandang sapi terdapat tikus
- ya 93,3%
- tidak 16,7%
19 Kandang memiliki drainase
- ya 37,8%
- tidak 62,2%
20 Kandang memiliki pengolah kotoran sapi
- ya 0%
- tidak 100%
21 Sapi mengalami keguguran
- ya 6,7%
- tidak 93,3%
22 Hasil uji MAT sapi
- positif 13,3%
- negatif 86,7%
23 Pengetahuan tentang lepto pada peternak
- Penyuluhan 44,4%
- Media lain 55,6%
24 Bentuk kandang
- Koloni 13,3%
- Baterei 86,7%

Hasil uji MAT yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 4 sampel


dari 45 sampel (8,9%) dinyatakan positif Leptospira, 3 sampel terinfeksi
leptosprira terinfeksi serovar hardjo dan satu sampel terifeksi leptospira
serovar tarrasovi. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyani
et all (2016) bahwa di Yogyakarta khusus di daerah aliran sungai Progo
28 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Leptospira yang menginfeksi sapi potong di daerah tersebut, sebagian besar
terinfeksi Leptospira serovar hardjo. Ini juga sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Susanti (2015) bahwa leptospira yang ditemukan
pada sapi potong dikabupaten Kulon Progo sebagian besar serovar hardjo.
Leptospirosis pada sapi umumnya disebabkan oleh infeksi L. interrogans
serovar hardjo. Serovar tersebut dihubungkan dengan aborsi, lahir mati,
lahir lemah, mastitis, penurunan produksi susu dan infertilitas pada ternak
(Kocabiyik and Cetin, 2003).

Analisis bivariat dengan Chi-Square dilakukan untuk semua variabel


independen terhadap variabel dependen guna mengetahui ada tidaknya
asosiasi antar keduanya. Hasil analisis ini diperoleh variabel independen
yang menunjukkan adanya asosiasi dengan variabel dependen pada tingkat
signifikansi 95% (p<0,05),yaitu variabel keguguran (p=0,000) dengan nilai
OR=20,893, hewan yang diberi pakan tambahan konsentrat (p=0,005) dengan
nilai OR=8,055 dan tempat menaruh konsentrat yang banyak terdapat tikus
(p=0027) dengan nilai OR=4,917.

Tabel. 2. Hasil Bivariat

No Faktor Penyebab p OR
1 Umur sapi 0,903 0,015
2 Jenis kelamin 0,936 0,007
3 Body Condition Score 0,570 0,322
4 Asal ternak 0,860 0,031
5 Ternak digembalakan - -
6 Ternak dipakai kerja disawah - -
7 Ternak dimandikan di sungai 0,412 0,674
8 Ternak diberi konsentrat 0,005* 8,055
9 Sawah tempat hijuan banyak tikusnya 0,352 0,865
10 Gudang penyimpanan konsentrat banyak tikusnya 0,027* 4.917
11 Tempat pakan permanen 0,283 1,153
12 Sumber air dari PAM 0,636 0,224
13 Kandang ada umbaran - -
14 Kebersihan kandang 0,193 1,696
15 Frekuensi pembersihan kandang 0,119 2,435
16 Jarak kandang dengan saluran air 0,556 0,346
17 Sapi dicampur dengan ternak lain 0,292 1,113
18 Kandang sapi terdapat tikus 0,482 0,495
19 Kandang memiliki drainase 0,809 0,058
20 Kandang memiliki pengolah kotoran sapi - -
21 Sapi mengalami keguguran 0,000* 20,893
22 Pemilik menderita lepto 0,119 2,435
23 Pengetahuan tentang lepto pada peternak 0,346 0,556
24 Bentuk kandang 0,302 1,065

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
29
Leptospirosis telah terbukti menyebabkan kematian, gangguan
reproduksi dan penurunan produksi pada ternak (Gilmour 2007) aborsi, lahir
mati, keturunan lemah, nefritis interstisial kronis, kinerja reproduksi yang
buruk dan pertumbuhan yang buruk (Ellis, 1994, Ayanegui-Alcérreca, 2006).

Leptospira terbukti juga menginfeksi organ reproduksi dan mempengaruhi
kinerja reproduksi ternak (Ellis etal., 1986) Beberapa penelitian telah
mencoba untuk menemukan dan menjelaskan hubungan antara leptospirosis
subklinis dan kinerja reproduksi terutama pada industri ternak dan babi
(Grooms, 2006). Satu studi menganalisis data kesuburan dan menunjukkan
penurunan tingkat konsepsi sapi yang terinfeksi Leptospira serovar Hardjo
(Dhaliwal et al., 1996). Inilah yang menjadikan bahwa Leptospira serovars
Hardjo bovis dan Pomona adalah patogen yang menyebabkan kerugian
reproduksi pada ternak di seluruh dunia (Grooms 2006).

Laporan tentang Pomona menyatakan bahwa hal itu dapat menyebabkan
efek klinis yang lebih parah seperti badai aborsi(Knott and Dadswell 1970;
Gilmour 2007), tapi kejadian Pomona kurang penting secara ekonomi dari
pada Hardjobovis (Givens 2006). Ini terjadi juga pada rusa, Leptospirosis
kronis menyebabkan gangguan kesuburan, kematian neonatal,aborsi dan
penurunan produksi susu (Lilenbaum et al. 2008).

Leptospira dapat diisolasi dari organ reproduksi pada sapi potong, seperti
pada plasenta (Ellis and Michna 1977), oviduct dan uterus (Ellis et al. 1986;
Ellis and Thiermann 1986) fetus yang diaborsikan (Ellis et al. 1982a; Ellis et
al. 1982b; Langoni et al. 1999). Infeksi yang persiten leptospira Hardjobovis
dilaporkan menurunkan conception rates and fertilitas (Dhaliwal et al. 1996),
Meningkatkan services per conception(S/C) and memperpanjang calving
interval (CI). Juga menyebabkan kematian embrio dini, aborsi, stillbirth dan
weak calf syndrome (Smythet al. 1999).

KESIMPULAN

Kejadian leptospirosis pada sapi potong di kecamatan Prambanan Kab.


Sleman adalah sebesar 8,9% (4/45). Leptospirosis sebagian besar disebabkan
oleh Leptospira serovar hardjo (75,0%). Faktor risiko yang berpengaruh
terhadap kejadian leptospirosis adalah faktor keguguran (OR=20,893), hewan
yang diberi pakan tambahan konsentrat (OR=8,055) dan tempat menaruh
konsentrat yang banyak terdapat tikus (OR=4,917). Faktor keguguran, hewan
yang diberi tambahan pakan konsentrat dan kandang menaruh konsentrat
yang terdapat tikus meningkatkan risiko kejadian leptospirosis pada sapi
potong di kecamatan Prambanan.

30 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
SARAN

Dalam upaya pencegahan penularan leptospirosis, kepada peternak


dianjurkan menjaga kandangnya agar bersih dan kering, sinar matahari dapat
masuk ke dalam kandang. Kejadian keguguran supaya dilaporkan kepada
petugas puskeswan dan dilakukan desinfeksi kandang.
Sangat membantu apabila tersedia rapid tes kit leptospira dalam peneguhan
diagnosa terhadap kejadian abortus pada sapi.

KETERBATASAN

Pengujian terhadap leptospira sangat terbatas dan biaya cukup mahal.

ACKNOWLEDGEMENT

The authors received financial support for the research, Agriculture and food
service Sleman and Kulon Progo, the Center for Veterinary Research, Bogor

DAFTAR PUSTAKA

Ayanegui-Alcérreca, M. A., 2006: Epidemiology and control of leptospirosis


in farmed deer in New Zealand. Massey University, Palmerston North,
New Zealand.

Bharti, A. R., J. E. Nally, J. N. Ricaldi, M. A. Matthias, M. M. Diaz, M. A.


Lovett, P. N. Levett, R. H. Gilman, M. R. Willig, E. Gotuzzo and J. M.
Vinetz, 2003: Leptospirosis: a zoonotic disease of global importance.
Lancet Infect Dis, 3, 757-771.

Bolin CA,2005, ,Leptospirosis In Cattle: Disease Review And Update


Proceeding of the NAVC North American Veterinary Conference Jan.
8-12, 2005, Orlando, Florida
Cachay, E. R. and J. M. Vinetz, 2005: A global research agenda for
leptospirosis. J Postgrad Med, 51, 174-178.

Dhaliwal, G. S., R. D. Murray, H. Dobson, J. Montgomery and W. A.


Ellis, 1996: Reducedconception rates in dairy cattle associated
with serological evidence of Leptospirainterrogans serovar hardjo
infection. Vet Rec, 139, 110-114.

Ellis, W. A., 1994: Leptospirosis as a cause of reproductive failure. Vet Clin


North Am Food Anim Pract, 10, 463-478.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
31
Ellis, W. A., J. G. Songer, J. Montgomery and J. A. Cassells, 1986: Prevalence
of Leptospira interrogans serovar hardjo in the genital and urinary
tracts of nonpregnant cattle. Vet Rec, 118, 11-13

Gilmour M. Leptospirosis Abortion in Beef Cows. Proceeding of the Soceity


of Sheep & Beef Cattle Veterinarians of the NZVA 37, 63-6, 2007

Grooms, D. L., 2006: Reproductive losses caused by bovine viral diarrhea


virus and leptospirosis. Theriogenol, 66, 624-628

Kocabiyik, A. L. and Cetin, C. (2003) Detection of antibodies to Leptospira


interrogans serovarhardjo by the microscopic agglutination test
andenzyme-linked immunosorbent assay in cattle sera. Indian Vet. J.
80: 969-971.

Levett PN. Leptospirosis. Clinical Microbiology Reviews 14, 296-326, 2001

Martin SW, AH Meek, P Willeberg. 1987. Veterinary Epidemiology.


Principles andMethods. 1st ed. Ames. Iowa State University Press.
P32

Mulyani Guntari Titik, Bambang Sumiarto, Wayan Tunas Artama, Sri


Hartati, Juwari, Sugiwinarsih, Henricus Roby Cahya Putra, dan Estu
Widodo (2016) Kajian Leptospirosis Pada Sapi Potong Di Daerah
Aliran Sungai Progo Daerah Istimewa Yogyakarta The Study of Bovine
Leptospirosis in Progo Watershed, Yogyakarta Jurnal Kedokteran
Hewan Vol. 10 No. 1, Maret 2016 P-ISSN : 1978-225X; E-ISSN :
2502-5600

Radostitis, O.M., et al., Veterinary Medicine. 9 ed. 2000, London: WB


Saunders.

Ramos, A. C. F., G. N. Souza and W. Lilenbaum, 2006: Influence of


leptospirosis on reproductive performance of sows in Brazil.
Theriogenol, 66, 1021-1025.

Siegel. 1992. Statistix Analytical Software Version 4.0 User’s Manual.

Susanti (2015) Microscopic Agglutination Test untuk Diagnosis Leptospirosis


pada Sapi Potong di Kabupaten Bantul dan Kulonprogo Microscopic
Agglutination Test for Diagnosis of Leptospirosisin Beef Cattle from
Bantul and Kulon Progo JSV 33 (1), Juli 2015 Jurnal Sain Veteriner
ISSN : 0126 – 0421

32 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Smythe, L., M. Dohnt, M. Symonds, L. Barnett, M. Moore, D. Brookes
and M. Vallanjon, 2000: Review of leptospirosis notifications in
Queensland and Australia: January 1998-June 1999. Commun Dis
Intell, 24, 153-157.

Widiasih Dyah Ayu, Wayan T. Artama, Adi Heru Husodo, Tjut Sugandawaty
Djohan, Fred Unger, 2014, Spatial Analysis Of Topography And
River Watershed Factors For Leptospirosis Cases In Kulon Progo,
Yogyakarta Province, Indonesia International Livestock Research
Institute (ILRI) and the International Development Resource Centre
(IDRC) report. 5September 2014

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
33
SEROSURVEILANS RABIES DI NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2016

Hilda Susiyanti Debora Berek

UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur


hildasusie@gmail.com

ABSTRAK

Rabies sejak pertama kali dilaporkan pada November 1997 di Kabupaten Flores Timur, masih
menjadi topik permasalahan yang belum mampu diselesaikan di Nusa Tenggara Timur khususnya di
daratan Flores.Tahun 2015 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) di NTT sebanyak 7.386
kasus, yang merupakan kasus terbanyak kedua setelah Propinsi Sulawesi Utara. Hingga tahun 2016
tercatat lebih dari 200 orang meninggal di NTT karena rabies, terutama di Pulau Flores dan Lembata.
Pemberantasan Rabies di NTT sampai sekarang belum memberikan hasil yang memuaskan.
Penanganan penyakit rabies perlu dilakukan secara tepat sasaran dengan memprioritaskan perhatian
pada faktor-faktor pemeliharaan yang berkaitan dengan vaksinasi dan titer antibodi protektif.

Surveilans untuk mengetahui prevalensi status kekebalan pada anjing post vaksinasi Rabies
di NTT, telah dilakukan pengambilan sampel di 9 Kabupaten Daratan Flores dan Lembata pada
bulan April sampai dengan Desember 2016. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan
sebanyak 2.079 sampel serum darah. Pengujian laboratorik dilakukan pada Laboratorium Pengujian
dan Penyidikan Veteriner UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT dengan metode Indirect
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay).

Hasil surveilans post vaksinasi Rabies menunjukkan bahwa anjing-anjing di daratan Flores
dan Lembata Nusa Tenggara Timur yang memiliki titer antibodi protektif terhadap rabies 49,49%
(1.029/2.079) dan yang tidak protektif 50,51% (1.050/2.079). Cakupan vaksinasi pada anjing-
anjing di daratan Flores diatas 70%, namun efektifitas vaksinasi hanya sebesar 50,25%. Beberapa
hal kemungkinan menjadi penyebabnya adalah status kesehatan hewan saat divaksin, umur, dan
perbedaan bangsa anjing/breed. Kemungkinan yang lain mutu vaksin, cara penanganan vaksin di
lapangan kurang tepat, dan frekuensi vaksinasi. Kurangnya perhatian petugas vaksinator tentang
pentingnya rantai dingin (cold chain) di lapangan merupakan faktor penyebab potensi vaksin anti
rabies yang digunakan menurun.

Kata Kunci : Rabies, protektif, anjing, surveilans, Nusa Tenggara Timur

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat penting artinya bagi


kesehatan masyarakat, karena apabila penyakit tersebut menyerang manusia
dan terlambat mendapat perawatan medis akan mengakibatkan kematian.
Rabies sejak pertama kali dilaporkan pada November 1997 di Kabupaten
Flores Timur, masih menjadi topik permasalahan yang belum mampu
diselesaikan di Nusa Tenggara Timur khususnya di daratan Flores. Tahun
2015 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) di NTT sebanyak 7.386
kasus, yang merupakan kasus terbanyak kedua setelah Propinsi Sulawesi
Utara (Pusdatin, 2016). Hingga tahun 2016 tercatat lebih dari 200 orang
meninggal di NTT karena rabies, terutama di Pulau Flores dan Lembata.
Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1997, jumlah kasusnya juga terus

34 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
naik, walaupun sudah dilakukan prosedur standar untuk mengurangi kasus
rabies yakni eliminasi. Eliminasi dilakukan dalam kurun tahun 1997-2001
namun upaya ini menimbulkan kontraversi di tengah masyarakatnya yang
begitu dekat dengan anjing dalam keseharian, bahkan bagian dari pola makan
mereka. Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi
anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil. Di daerah-daerah
tertentu, kasus rabies bahkan semakin meningkat (Adjid et al., 2005).

Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan


eliminasi anjing liar, disamping program sosialisasi, dan pengawasan lalu
lintas hewan penular rabies (HPR). Vaksinasi massal merupakan cara yang
efektif untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Vaksinasi merupakan
metode pengendalian rabies yang paling utama, namun informasi mengenai
respon serologis terhadap anjing yang divaksinasi masih terbatas.

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Veteriner sebagai bagian dari Dinas


Peternakan Provinsi NTT telah melaksanakan surveilans post vaksinasi
rabies di daratan Flores dan Lembata. Hasil surveilans ini dapat menjadi
acuan dalam pengambilan tindakan, baik dalam usaha pencegahan
penyebaran penyakit maupun mengetahui prevalensi post vaksinasi dan
menentukan strategi pemberantasan. Selain itu hasil pemeriksaan dapat
dijadikan pembanding untuk surveilans di waktu-waktu mendatang untuk
melihat perkembangan suatu penyakit.

Tujuan

Mengetahui prevalensi status kekebalan pada anjing di Propinsi Nusa


Tenggara Timur, sehingga dapat menggambarkan seberapa besar efektivitas
program vaksinasi yang telah dilakukan.

MATERI DAN METODA

Materi

Pada surveilans ini unit yang diamati adalah anjing yang berpemilik.
Sebanyak 2.079 ekor anjing berpemilik yang sudah divaksinasi Rabies
diambil sampel serumnya untuk mengetahui tingkat kekebalan terhadap
penyakit rabies.

Surveilans dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Desember


2016 di daratan Flores dan Lembata wilayah Nusa Tenggara Timur.
Pengujian sampel serum anjing menggunakan KIT ELISA Rabies produksi
PUSVETMA Surabaya, dengan metode Indirect Elisa yang dilakukan di

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
35
Laboratorium Pengujian dan Penyidikan Veteriner UPT Veteriner Dinas
Peternakan Propinsi NTT.

Metode

Medote Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
sekunder. Pengambilan data primer dilakukan melalui wawancara langsung
dengan pemilik anjing dan mengisi formulir pengambilan spesimen yang
meliputi: tanggal, tempat pengambilan, nama pemilik anjing, sex, umur, dan
status vaksinasi. Sampel darah diambil kira kira sebanyak 2-3 cc dan ditangani
secara aseptik. Data sekunder jumlah populasi anjing yang divaksinasi
diperoleh dari Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Povinsi NTT.

Teknik Sampling

Surveilans ini menggunakan metode sampling tahapan berganda.


Pemilihan kabupaten dilakukan berdasarkan daerah tertular Rabies di
Propinsi NTT. Pemilihan sampel kecamatan dan desa diambil secara
random proporsional. Pemilihan pemilik anjing sampel dilakukan secara
proporsional. Semua hasil pemeriksaanya akan di masukkan dalam format
yang sudah dirancang dalam komputer kemudian dianalisa secara deskriptif.

Prosedur Pengujian

Sampel serum diinaktivasi selama 30 menit pada suhu 560C. Serum


Kontrol Positif K 4 EU; K 2 EU; K 1 EU; K 0,5 EU; K 0,25 EU dan K 0,125
EU; Serum Kontrol ST 1 EU, Serum Kontrol Negatif dan serum sampel yang
sudah diencerkan dimasukkan ke dalam sumuran mikroplat sebanyak 100 µl
(duplo) sesuai urutan. Pada sumuran H11 dan H12 ditambahkan 100µl PBST
sebagai blank. Mikroplat ditutup dengan plastik adsorben dan diinkubasikan
pada suhu 370C selama 60 menit. Buka tutup plastik adsorben dan buang
cairan dalam mikroplat, cuci dengan 200 µl PBST sebanyak 4-5 kali dan
tapping hingga tidak ada gelembung udara di dalam sumuran. Tambahkan
Konjugat Protein A pengenceran 1 : 16.000 sebanyak 100 µl pada semua
sumuran. Tutup Mikroplat dengan plastik adsorben dan diinkubasikan pada
suhu 370C selama 60 menit. Kemudian dicuci lagi dengan PBST sebanyak
4-5 kali.Tambahkan substrat 100 µl setiap sumuran dan biarkan dalam tempat
gelap selama 10 menit sambil melihat perubahan warna yang terjadi. Setelah
muncul warna ditambahkan larutan stopper 100 µl setiap sumuran, kemudian
dibaca menggunakan alat ELISA READER dengan panjang gelombang 405
nm. Dari hasil nilai Optical Density tersebut selanjutnya dibuat kurva untuk
mengetahui Elisa Unit titer antibodi (Meslin,1996).

36 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Hasil akhir pengujian Elisa menggunakan persamaan garis yang
dinyatakan dalam kesetaraan Ekuivalen Unit (EU).

Interpretasi hasil sebagai berikut :

EU Titer Interpretasi Hasil


EU Sampel ≥ 0,5 EU Nilai titer antibodi Rabies cukup Positif
EU Sampel < 0,5 EU Nilai titer antibodi Rabies tidak cukup Negatif

HASIL

Hasil uji Elisa terhadap 2.079 sampel serum anjing tahun 2016 di UPT
Veteriner, menunjukkan 1.029 sampel positif antibodi Rabies dan 1.050
sampel negatif antibodi Rabies, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Seropositif Rabies pada Anjing di NTT Tahun 2016

JUMLAH ELISA RABIES SEROPOSITIF


NO KAB/KOTA SAMPEL (%)
NEGATIF POSITIF
1 Lembata 123 39 84 68,29
2 Flores Timur 133 109 24 18,05
3 Sikka 384 203 181 47,14
4 Ende 481 185 296 61,54
5 Nagakeo 199 73 126 63,32
6 Ngada 242 106 136 56,20
7 Manggarai 200 100 100 50,00
8 Manggarai Timur 193 126 67 34,72
9 Manggarai Barat 124 109 15 12,10
T O TAL 2.079 1.050 1.029 49,49

Dari 2.079 sampel serum yang diambil ada 98,12% (2.040/2079) yang
divaksin rabies dan 1,88% (39/2.079) yang tidak divaksin rabies (Tabel 2.).

Tabel 2. Status Vaksinasi pada Anjing di NTT Tahun 2016

NO KABUPATEN VAKSIN TIDAK VAKSIN JUMLAH


1 Lembata 123 - 123
2 Flores Timur 98 35 133
3 Sikka 380 4 384
4 Ende 481 - 481
5 Nagakeo 199 - 199

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
37
NO KABUPATEN VAKSIN TIDAK VAKSIN JUMLAH
6 Ngada 242 - 242
7 Manggarai Timur 193 - 193
8 Manggarai 200 - 200
9 Manggarai Barat 124 - 124
TOTAL 2.040 39 2.079

Tabel 3 memperlihatan efektifitas vaksinasi yaitu persentase anjing


yang kebal terhadap rabies setelah mendapat vaksinasi adalah 50,25%
(1025/2040), sedangkan anjing yang telah divaksin tetapi tidak menunjukkan
respon kekebalan protektif sebesar 49,75% (1015/2040).

Dalam surveilans ini sampel anjing yang berjenis kelamin jantan


sebanyak 40,89% (850/2079) dan yang berjenis kelamin betina sebanyak
59,11% (1229/2079). Persentase titer protektif rabies berdasarkan jenis
kelamin menunjukkan bahwa prevalensi antibodi protektif lebih tinggi pada
anjing betina yaitu sebesar 58,60% (603/1029) dan pada anjing jantan hanya
41,40% (426/1029). Demikian juga berdasarkan umur anjing yang diambil
sampelnya dalam surveilans ini terdapat kecenderungan umur anjing diatas
satu tahun respon antibodinya lebih baik. Persentase antibodi protektif paling
tinggi pada umur 36 bulan yaitu 52,82% (159/301), umur 24 bulan 51,23%
(188/367), 12 bulan 50,18% (276/550), dan dibawah 12 bulan47,98%
(368/767).

Tabel 3. Efektifitas Vaksinasi pada Anjing di NTT Tahun 2016

PROTEKTIFITAS
NO KABUPATEN JUMLAH POSITIF
(%)
1 Lembata 123 84 68,29
2 Flores Timur 98 23 23,47
3 Sikka 380 178 46,84
4 Ende 481 296 61,54
5 Nagakeo 199 126 63,32
6 Ngada 242 136 56,20
7 Manggarai Timur 193 67 34,72
8 Manggarai 200 100 50,00
9 Manggarai Barat 124 15 12,10
T O TAL 2.040 1.025 50,25

Interval waktu antara vaksinasi dengan pengambilan sampel (periode


pasca vaksinasi) menunjukkan bahwa respon antibodi protektif pada anjing
yang divaksin 2-4 bulan yang lalu lebih tinggi daripada yang lainnya yaitu
56,22% (488/868), disajikan pada Tabel 4.
38 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 4. Persentase titer protektif rabies berdasarkan umur, jenis kelamin
dan periode pasca vaksinasi

JUMLAH TITER JUMLAH PROTEKTIFITAS


VARIABEL
≥ 0,5 EU SAMPEL (%)
1. Umur
1 - 11 bulan 368 767 47,98
12 bulan 276 550 50,18
24 bulan 188 367 51,23
36 bulan 159 301 52,82
blank 38 94 40,43
2. Jenis Kelamin
Betina 603 1029 58,60
Jantan 426 1029 41,40
3. Periode Pasca Vaksinasi
0 - 2 bulan 244 460 53,04
2 - 4 bulan 488 868 56,22
4 - 6 bulan 21 86 24,42
6 - 12 bulan 142 396 35,86
blank 130 230 56,52

PEMBAHASAN

daratan Flores dan Lembata Propinsi NTT berdasarkan hasil surveilans


tahun 2016 sebesar 49,49%. Adanya titer antibodi terhadap virus rabies
indikasi adanya respon vaksin atau adanya infeksi. Vaksinasi dapat
meningkatkan respon antibodi, karena peranan antigen spesifik/virus
vaksin yang telah dilemahkan mampu menstimulasi sel B lymphosit untuk
memproduksi protein khusus/antibodi dalam waktu 24-48 jam setelah
vaksinasi, dan perannya akan digantikan sel B memory yang mampu bertahan
selama satu tahun tergantung kualitas, dosis, dan pelaksanaan vaksinasi
(Tizard, 2004).

Hasil surveilans menunjukkan bahwa cakupan vaksinasi pada anjing


di daratan Flores dan Lembata sebesar 98,12%. Dibia et al., (2015) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa anjing yang tidak divaksin di Bali beresiko
terinfeksi rabies 19,13 kali lebih besar dibandingkan dengan anjing yang di
vaksinasi rabies.

Efektifitas vaksinasi yaitu persentase anjing yang kebal terhadap rabies


setelah mendapat vaksinasi sebesar 50,25%. Hal ini menunjukkan bahwa
pelaksanaan vaksinasi yang dilakukan di daratan Flores dan Lembata hanya
mampu melindungi 50,25% dari populasi anjing. Beberapa hal kemungkinan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
39
menjadi penyebabnya adalah status kesehatan hewan saat divaksin, umur,
perbedaan bangsa anjing, mutu vaksin, cara penanganan vaksin di lapangan
kurang tepat, dan frekuensi vaksinasi. Kurangnya perhatian petugas vaksinator
tentang pentingnya rantai dingin (cold chain) di lapangan merupakan faktor
penyebab potensi vaksin anti rabies yang digunakan menurun. Lestari dan
Made, (2005) menyatakan bahwa mutu vaksin dan cara penanganan vaksin di
lapangan yang tidak tepat kemungkinan sebagai salah satu penyebab tingkat
kekebalan kelompok / herd immunity belum mencapai angka memuaskan.

Berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat bahwa prevalensi antibodi


protektif lebih tinggi pada anjing betina sebesar 58,60% dan pada anjing
jantan hanya 41,40%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Ohore et al., (2007)
bahwa anjing betina lebih tinggi prevalensi antibodi rabies dibandingkan
anjing jantan karena kecenderungan pemilik memelihara anjing untuk tujuan
breeding, sehingga anjing betina harus divaksin agar dapat menurunkan
kekebalannya juga kepada anaknya.

Persentase antibodi protektif paling tinggi pada umur 36 bulan yaitu


52,82% dan persentase terendah pada umur dibawah 12 bulan 47,98%.
Tepsumethanon et al., (1991) dalam penelitiannya tentang pengaruh umur
terhadap respon neutralising antibody pada anjing menyebutkan bahwa
level antibodi setelah vaksinasi pada anjing umur lebih dari satu tahun paling
tinggi dibandingkan umur 6-12 bulan dan dibawah 3 bulan. Hal ini karena
anjing yang berumur lebih dari satu tahun sistem immunnya sudah sempurna
sehingga daya tahan hidup dan kemampuannya menangkal penyakit lebih
baik.

Periode pasca vaksinasi yaitu interval waktu antara vaksinasi dengan


pengambilan sampel menunjukkan bahwa respon antibodi protektif pada
anjing yang divaksin 2-4 bulan yang lalu lebih tinggi daripada yang lainnya
yaitu 56,22%. Ohore et al., (2007) menyebutkan bahwa titer antibodi
tertinggi dicapai antara 3-6 bulan pasca vaksinasi dan terendah antara 9-12
bulan pasca vaksinasi.

Hasil surveilans ini menunjukkan empat ekor anjing memiliki kekebalan


tetapi tidak pernah divaksinasi, anjing-anjing tersebut berasal dari Kabupaten
Sikka (3 ekor) dan Kabupaten Flores Timur (1 ekor). Sudardjat, (2003)
menyebutkan adanya antibodi netralisasi pada anjing geladak yang tidak
pernah divaksin, membuktikan paling tidak anjing tersebut pernah tertular/
kontak dengan virus rabies.

40 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Titer antibodi protektif rabies di daratan Flores dan Lembata Propinsi


Nusa Tenggara Timur tahun 2016 adalah 49,49 %. Cakupan vaksinasi rabies
di Propinsi NTT sebesar 98,12%. Hal ini sesuai dengan rekomendasi WHO
bahwa 70% dari populasi anjing di daerah tertular harus dikebalkan untuk
mencegah penyebaran dan memberantas rabies.

Pelaksanaan vaksinasi yang dilakukan di daratan Flores dan Lembata


hanya mampu melindungi 50,25% dari populasi anjing. Beberapa hal
kemungkinan menjadi penyebabnya adalah status kesehatan hewan saat
divaksin, umur, perbedaan bangsa anjing, mutu vaksin, cara penanganan
vaksin di lapangan kurang tepat, dan frekuensi vaksinasi.

Tingkat kekebalan anjing terhadap rabies di daratan Flores dan Lembata


Propinsi NTT ternyata behubungan dengan status vaksinasi, umur, jenis
kelamin dan periode pasca vaksinasi.

Saran

Berdasarkan hasil surveilans ini disarankan kepada Pemerintah Daerah


Kabupaten di daratan Flores dan Lembata Propinsi NTT agar program
vaksinasi massal rabies perlu dilaksanakan secara berkelanjutan sehingga
cakupan vaksinasi dapat ditingkatkan dengan memperhatikan aplikasi
vaksin yang sesuai standar. Membuat peraturan meliputi kewajiban registrasi
anjing, vaksinasi rabies bagi anjing, vaksinasi rabies anjingnya diatas umur 6
bulan, dan mencegah anjingnya kontak dengan anjing liar.

Evaluasi pelaksanaan program vaksinasi harus dilakukan secara aktif


dan terencana untuk menjamin status kekebalan anjing. Sosialisasi kepada
masyarakat umum tentang faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan
kekebalan protektif anjing terhadap rabies harus dilakukan secara kontinyu
dalam rangka penanggulangan dan pemberantasan rabies.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
41
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2016. Jangan ada lagi kematian akibat Rabies. Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.

Adjid R.M.A., A. Sarosa, T. Syapriati dan Yuningsih. 2005. Penyakit


Rabies di Indonesia dan Pengembangan Teknik Diagnosisnya. Wartazoa. 15
(4) : 165-172.

Dibia I Nyoman, Bambang Sumiarto, Heru Susetya, Anak Agung Gde


Putra, Helen Scott-Orr. 2015. Faktor-faktor resiko Rabies pada anjing di Bali.
Jurnal Veteriner September 2015 Vol. 16 No. 3 : 389-398. BBVet Denpasar.

Lestari, I. dan Made, N.D., 2005. Review rabies. Balai Besar Pengujian
Mutu Obat dan Sertifikasi Obat Hewan. Lokakarya Nasional Penyakit
Zoonosis.

Meslin, F. X, Koplin, M.M, Koprowski, H., Laboratory Techniques in


Rabie. 1996. Word Health Organization, Geneva.

Ohore, O.G, Emikpe, B.O, and Oluwayelu, D.O. 2007. The seroprofile
of Rabies antibodies in companion urban dogs in Ibadan, Nigeria. Journal of
animal and veterinary advances 6 (1): 53-56, 2007.

Sudardjat, S. 2003. Peranan anjing geladak sebagai reservoir rabies


pada beberapa daerah enzootik di Indonesia. Media Kedokteran Hewan, Vol
19, 2; 44-49.

Tepsumethanon W., Polsuwan C., Cgutivongse S., Wilde H., 1991.


Immune response to rabies vaccine in Thai dogs : A preliminary report,
vaccine, 9: 627-630

Tizard, I, 2004. Veterinary immunology, 7nd edition, Sounders Coy,


Philadelphia, London, Toronto, Mexico city, Rio de janairo, Sidney, Tokyo.

42 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
GAMBARAN DAN SEBARAN KASUS SUSPEK HPAI
DI JAWA BARAT TAHUN 2015-2017 DALAM MENDUKUNG
ROADMAP INDONESIA BEBAS AI TAHUN 2020
(STUDI KASUS DATA ISKHNAS)

Imas Yuyun1 , Etih Sudarnika2, Supriyanto3

1. Subdit P3H Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian


2. Fakultah Kedokteran Hewan IPB
3. Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat
Koresponden: iim_drh@yahoo.com

ABSTRAK

Jawa Barat merupakan wilayah resiko tinggi dengan kasus HPAI terjadi sepanjang tahun
dan menyerang semua jenis unggas. Memiliki 18 Kabupaten/Kota dan sentra peternakan unggas
komersil. Pemerintah telah mencanangkan Roadmap Indonesia Bebas AI tahun 2020 dengan tahapan
Pulau Jawa menjadi target pembebasan pada tahun 2020 termasuk provinsi Jawa Barat. Tujuan kajian
ini adalah untuk mengetahui apakah Jawa Barat masih menjadi wilayah resiko tinggi selama tahun
2015-2017 dan mengetahui jenis unggas dan penyebaran kasus di Jawa Barat tahun 2015-2017.

Data berasal dari Laporan iSIKHNAS nomor 392 berupa data sindrom penyakit prioritas yang
dikirim oleh petugas kesehatan hewan pada Januari 2015 s.d Desember 2017. Definisi suspek kasus
HPAI adalah kematian meningkat pada unggas. Data diolah menggunakan fungsi grafik pada pivot
table Microsoft Excel. Peta sebaran penyakit dibuat menggunakan Quantum GIS.

Jumlah laporan sindrom HPAI pada unggas di Jawa Barat selama kurun waktu 3 tahun (2015
- 2017) menunjukan variasi yang cukup menarik. Tren peningkatan suspek kasus pada musim
penghujan dan menurun di musim kemarau. Suspek kasus yang dilaporkan pada tahun 2016 sebanyak
72 kasus, meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2015 sebanyak 30 kasus. Sedangan
tahun 2017, suspek HPAI menurun drastis menjadi 26 kasus.

Ayam petelur merupakan jenis unggas yang paling banyak terserang pada tahun 2016,
sedangkan tahun 2015 dan 2017 kematian unggas paling banyak menyerang pada itik. Tahun 2015
kematian unggas sangat tinggi terjadi di kabupaten Indramayu, Sukabumi dan Purwakarta. Tahun
2016, kematian unggas paling tinggi berpindah ke kabupaten Kuningan, Ciamis dan Majalengka.
Tahun 2017 berubah menjadi Kabupaten Bandung, Ciamis dan Kota Cimahi. Sentra perunggasan di
wilayah priangan timur, populasi unggas komersial terutama ayam pedaging, petelur, pejantan dan
itik sangat tinggi. Faktor resiko dan analisa dampak ekonomi telah diketahui. Strategi pembebasan
HPAI di Jawa Barat harus di evaluasi dan ditingkatkan.

Kata kunci : HPAI, Jawa Barat, unggas komersial, iSIKHNAS

PENDAHULUAN

Latar belakang

Penyakit Avian Influenza (AI) merupakan penyakit viral akut pada


unggas yang disebabkan oleh virus Influenza type A subtype H5 dan H7
(Anonim. 2014). Berdasarkan patotipenya, virus AI dibedakan menjadi Highly
Pathogenic Avian Influenza (HPAI) atau tipe ganas dan Low Pathogenic
Avian Influenza (LPAI) atau tipe kurang ganas. Tanda yang paling menciri
untuk HPAI adalah tingkat kematian yang tinggi yang mencapai 100%. Salah
satu gejala penyakit AI adalah kematian mendadak pada unggas (Anonim,
2014). Penyakit AI telah menyerang semua jenis unggas di Indonesia sejak
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
43
tahun 2004. Penyakit AI bersifat zoonosis dan berpotensi terjadinya pandemi
yang dapat mnyebabkan kematian pada manusia maka berbagai upaya terus
dilakukan untuk mengendalikan dan memberantas penyakit tersebut (Bahri,
S dkk 2013).

Berdasarkan jumlah kasus HPAI yang terjadi sepanjang tahun, Indonesia


terbagi menjadi 3 kategori wilayah yaitu wilayah resiko tinggi (high risk),
resiko sedang (medium risk) dan resiko rendah (low risk). Pemerintah telah
melaksanakan program pengendalian dan pemberantasan HPAI secara
komprehensif di semua rantai perunggasan termasuk rantai pemasaran
ungags (Anonim, 2014).

Jawa Barat merupakan wilayah resiko tinggi dengan jumlah kasus HPAI
terjadi sepanjang tahun dan menyerang semua jenis unggas. Jawa Barat
memiliki 18 Kabupaten/Kota dan sebagian besar wilayahnya merupakan
sentra peternakan unggas.

Berdasarkan data Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal


Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian tahun 2017,
Penyakit AI telah menular ke 31 Provinsi dari 34 Provinsi di Indonesia.
Sedangkan Provinsi yang bebas HPAI adalah Maluku, Maluku Utara dan
Papua (SK Mentan Tahun 2016). Pemerintah telah mencanangkan Roadmap
Indonesia Bebas AI tahun 2020 dengan tahapan Pulau Jawa menjadi target
pembebasan pada tahun 2020 termasuk provinsi Jawa Barat.

Sejak tahun 2014, Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional


terintegrasi (iSIKHNAS) telah diperkenalkan kepada semua petugas
dinas baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/kota. Khusus di Jawa
Barat, iSIKHNAS mulai diterapkan pada tahun 2015 dan semua kegiatan
penanganan dan pengendalian penyakit wajib dilaporkan. Laporan sindrom
prioritas adalah salah satu jenis laporan di iSIKHNAS yang memuat
informasi penyakit prioritas (Rabies, Avian Infuenza, Brucellosis, Anthrax
dan Hog cholera).

Tujuan

Untuk mengetahui apakah Jawa Barat masih menjadi wilayah resiko


tinggi dengan ditandai masih tingginya kasus suspek HPAI selama tahun
2015-2017. Kajian ini menunjukan hasil analisa data dari laporan syndrom
prioritas khususnya penyakit HPAI dengan gejala kematian meningkat pada
unggas. Selain itu kajian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah laporan
kasus suspek HPAI selama tahun 2015-2017. Hasil kajian ini bermanfaat
sebagai bahan masukan kepada Pemerintah baik Pusat maupun Provinsi Jawa
Barat untuk mendukung program pemberantasan penyakit AI di Indonesia
yang tertuang dalam Roadmap Indonesia Bebas AI Tahun 2020.

44 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
MATERI DAN METODE

Kajian ini menggunakan data Provinsi Jawa Barat yang ada di Laporan
iSIKHNAS nomor 392. Data yang tersedia merupakan data sindrom penyakit
prioritas yang dikirim oleh petugas kesehatan hewan pada Januari 2015
hingga Desember 2017 dengan tipe file csv.

File csv diunduh untuk masing-masing tahun. Data tersebut berisi


laporan kematian unggas mendadak dengan suspek penyakit HPAI. Kemudian

data disatukan dalam buku excel yang sama. Definisi suspek kasus HPAI

adalah kematian  unggas mendadak. Data yang telah ada kemudian diolah
menggunakan pivot table dan fungsi grafik pada Microsoft Excel. Peta

sebaran penyakit dibuat menggunakan Quantum GIS.
          
          
           
 HASIL
         
         
Jumlah laporan sindrom HPAI pada unggas di Jawa Barat selama kurun waktu
           
           
3 tahun (2015 - 2017) menunjukan variasi yang cukup menarik (Gambar


1). Kasus yang dilaporkan pada tahun 2016 sebanyak 72 kasus, meningkat


lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2015 sebanyak 30 kasus. Sedangan


tahun 2017, kejadian HPAI menurun drastis menjadi 26 kasus. Tahun 2015

pelatihan pelaporan penyakit melalui iskhnas baru dilakukan kepada para
            
             
petugas dinas di kabupaten, sehingga jumlah laporan yang masuk pada tahun

ini relatif masih rendah. Tahun 2016 semua petugas dinas telah mendapatkan


pelatihan pelaporan penyakit sehingga data yang dilaporkan cukup banyak.






Gambar 1. Kejadian sindrom HPAI selama tahun 2015-2017

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
45

10000 9131

8000 7484
5936
6000
2015
4000 2016
2167
2000 1499 2017
818 678 226 166
341 79 233 240
0
Ayam ayam Layer Broiler Puyuh Entog Itik
kampung


Gambar
 2. Jenis unggas tertular yang dilaporkan sepanjang tahun 2015-2017

          
Dari 
gambar
2 
terlihat
total jumlah
  unggas yang mengalami
  kematian
   
mendadak dengan suspek HPAI. Ayam petelur merupakan jenis unggas

yang paling banyak terserang pada tahun 2016 yaitu sebanyak 9.131 ekor,
sedangkan tahun 2015 dan 2017 kematian unggas paling banyak menyerang
pada itik sebanyak 1.499 ekor dan 5.936 ekor.
A

A


B 

Gambar 3. Peta Penyebaran unggas mati di Jawa Barat tahun 2015 (A),
2016 (B), 2017 (C)

46 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Pada gambar 3 bagian (A) terlihat bahwa pada tahun 2015, kematian
unggas sangat tinggi terjadi di kabupaten Indramayu dengan jumlah 2.846
ekor, diikuti oleh Kabupaten Sukabumi sebanyak 455 ekor dan Purwakarta
175 ekor. Pada tahun 2015, jumlah wilayah dengan suspek kasus HPAI
sebanyak 7 Kabupaten/Kota dan meningkat menjadi 10 Kabupaten/kota
pada tahun 2016.

Sedangkan pada gambar 3 bagian (B) menunjukan bahwa wilayah


dengan total kematian unggas paling tinggi berada di Kabupaten Kuningan
10.860 ekor, Ciamis 2.167 ekor dan Majalengka sebanyak 5337 ekor selama
tahun 2016. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah kasus yang meningkat
tajam pada tahun 2016.

Kematian unggas pada tahun 2017 terlihat pada gambar 3 bagian (C).
Wilayah tertinggi kematian unggas suspek HPAI berada di Kabupaten
Bandung sebanyak 2.919 ekor diikuti oleh Ciamis 1500 ekor dan Kota
Cimahi sebanyak 595 ekor.

PEMBAHASAN

Jumlah suspek kasus HPAI pada tahun 2015 berdasarkan definisi


sindrom kematian mendadak pada unggas sebanyak 30 kasus, jauh lebih
rendah dibanding tahun 2016 yang mencapai 72 kasus. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh petugas dinas yang baru mendapatkan pelatihan cara
pengiriman laporan ke iSIKHNAS sejak awal tahun 2015 sehingga masih
banyak kasus suspek HPAI yang belum terlaporkan. Tahun 2017 kasus
suspek HPAI di Jawa Barat mengalami penurunan yang cukup signifikan
yaitu sebanyak 36 % dari tahun 2016. Pengendalian dan penanggulangan
penyakit dilapangan disinyalir berhasil dilakukan oleh petugas dinas baik
di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota sehingga kasus pada tahun
2017 dapat diturunkan menjadi 26 kasus yang dilaporkan. Pemerintah telah
menetapkan strategi pengendalian HPAI di indonesia yang meliputi Strategi
Utama dan strategi penunjang. Strategi utama meliputi (1) Deteksi, Lapor dan
Respon (DLR) Cepat ; (2) Biosekuriti ; (3) Vaksinasi ; (4) Penataan/Sanitasi
rantai pasar unggas; (5) Kompartementalisasi dan Zoning; (6) Surveilans;
(7) Pengawasan lalu lintas. Strategi Penunjang meliputi (1) Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE); (2) Kemitraan pemerintah dan swasta (Public
Private Partnership) ; (3) Legislasi (Anonimus, 2014).

Jika kita kaitkan dengan perubahan musim, dari gambar 1 menunjukan


tren peningkatan kasus suspek HPAI pada bulan-bulan penghujan
yaitu antara bulan Desember hingga April setiap tahun. Gambar 1 juga
menunjukan bahwa terdapat puncak kasus suspek HPAI dengan jumlah
25 kasus pada bulan Februari 2016 dan 11 kasus pada bulan Maret 2017.
Hal ini sesuai dengan pola penyakit musiman sepanjang tahun yang sudah
diketahui berdasarkan data Penyakit AI hasil laporan SMS Gateway tahun

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
47
2009-2014. Dari hasil tersebut maka ini memberi keyakinan bahwa tren yang
diidentifikasi oleh iSIKHNAS mencerminkan situasi epidemiologi penyakit
AI yang sesungguhnya di lapangan meskipun data ini bukan merupakan
pengamatan yang sudah dikonfirmasi oleh uji laboratorium.

Untuk mengantisipasi kondisi cuaca ekstrim curah hujan tinggi dan


kejadian banjir di beberapa daerah di Indonesia yang berpotensi risiko
meningkatnya kejadian AI pada unggas dan penyakit menular strategis
lainnya, maka telah diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan No. 04041/PK.310/F.III/2016 tanggal 4 November
2016 dan Surat Edaran Direktur Kesehatan Hewan No. 30034/PK.320/
F4/01/2017 tanggal 30 Januari 2017 tentang Peningkatan Kewaspadaan dan
Pengendalian Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS), antara lain :

1) Penyuluhan kepada masyarakat agar melapor ke petugas kesehatan


terdekat bila mengetahui adanya unggas sakit/mati mendadak
2) Tindakan 3 Cepat (Deteksi, Lapor dan Respon Cepat Pengendalian
Penyakit)
3) Penerapan Biosekuriti dengan model 3 Zona (Bersih, Antara, Kotor)
guna mengamankan peternakan agar tidak terserang masuknya berbagai
kuman penyakit unggas
4) Penerapan Vaksinasi 3 Tepat (Vaksin, Jadwal, Tehnik vaksinasi)
5) Tindakan Sanitasi pada sepanjang rantai pemasaran unggas
6) Surveilans investigasi oleh Laboratorium Veteriner guna mengetahui
sumber penularan, epidemiologi dan dinamika virus AI
7) Kompartementalisasi dan zona bebas AI
8) Masyarakat menerapkan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS)
Masyarakat

Pada gambar 3 menunjukan bahwa total kematian unggas paling tinggi


berada di wilayah Indramayu dengan jumlah 2.846 ekor. Selain Indramayu,
wilayah dengan kematian unggas tinggi adalah Purwakarta dan Bandung.
Jenis unggas yang mati akibat suspek HPAI keseluruhan adalah itik dan
entog. Sedangkan tahun 2016, wilayah dengan jumlah kematian unggas
paling tinggi berpindah ke kabupaten Kuningan, Ciamis dan Majalengka.
Tahun 2017 wilayah yang tertular suspek HPAI dengan ditandai kematian
unggas mendadak adalah Kabupaten Bandung, Ciamis dan Kota Cimahi.
Kabupaten Ciamis merupakan sentra perunggasan di wilayah priangan timur,
populasi unggas komersial terutama ayam pedaging, petelur, pejantan dan
itik sangat tinggi. Adanya peternak yang menjual unggas sakit dapat menjadi
penyebab menyebarnya virus ke daerah lain.

48 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tahun 2017 jenis unggas yang terserang sangat bervariasi yaitu ayam,
itik, entog, ayam petelur dan puyuh. Beberapa faktor risiko penyebaran
virus AI dapat diidentifikasi, seperti para pengepul telur dan pedagang yang
bebas keluar masuk peternakan berperan penting sebagai penyebar virus AI
(Zakaria, 2011). Peternakan ayam komersial berpotensi sebagai salah satu
sumber penularan penyakit Avian influenza (Zakaria, 2011).  Peternak itik
dengan sistem angon tiap musim panen padi ke wilayah lain juga menjadi
faktor risiko penyebaran virus.

Pengendalian HPAI di sektor unggas komersial perlu ditingkatkan,


seperti pelaksanaan biosekuriti 3 zona, vaksinasi 3 Tepat dan perbaikan
manajemen peternakan. Petugas dinas yang telah dilatih sebagai Petugas
Pelayanan Veteriner (PPV) berkompetensi Pelayanan Veteriner Unggas
Komersial (PVUK) harus ditingkatkan baik dalam segi kualitas maupun
kuantitas di tiap kabupaten/kota sehingga pembinaan ke peternak unggas
komersial khususnya sektor 3 skala kecil dan menengah dapat dilaksanakan
dengan baik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Tren yang diidentifikasi oleh iSIKHNAS mencerminkan situasi


epidemiologi penyakit AI yang sesungguhnya di lapangan meskipun data ini
bukan merupakan pengamatan yang sudah dikonfirmasi oleh uji laboratorium.
Kelemahan yang ada pada studi ini, yaitu studi ini berdasarkan data informasi
iSIKHNAS yang tentunya sangat dipengaruhi oleh keaktifan petugas dalam
melaporkan kasus, kemampuan petugas dalam mendeteksi, merespon dan
mendiagnosa kasus, serta cakupan wilayah yang dapat diakses oleh petugas,
yang memungkinkan ada perbedaan antar kabupaten/kota yang melakukan
pelaporan. Studi ini diharapkan dapat memberikan informasi awal dalam
kebijakan strategi pengendalian dan pembebasan HPAI di Jawa Barat.

Ayam petelur merupakan jenis unggas yang paling banyak terserang


pada tahun 2016 yaitu sebanyak 9.131 ekor, sedangkan tahun 2015 dan 2017
kematian unggas paling banyak menyerang pada itik sebanyak 1.499 ekor
dan 5.936 ekor. Untuk meningkatkan kualitas data yang dapat di analisa
maka diperlukan pelaporan kasus suspek HPAI yang telah terhubung dengan
diagnosa laboratorium sehingga data yang tersaji merupakan data akurat
dan positif kasus HPAI. Peningkatan kesadaran petugas maupun peternak
untuk mengirimkan laporan suspek prioritas HPAI ke iSIKHNAS harus
terus dilakukan sehingga dapat menggambarkan situasi sebenarnya. Untuk
meningkatkan keberhasilan pengendalian dan pemberantasan penyakit HPAI
di Indonesia khususnya sektor unggas komersial maka praktek biosekuriti ,
vaksinasi dan perbaikan manajemen harus dilaksanakan di semua wilayah.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
49
KETERBATASAN ATAU LIMITASI

Data ini menggunakan Laporan cache iSIKHNAS no 392 yaitu suspek


kasus HPAI dengan gejala kematian mendadak pada unggas di Jawa Barat
pada tahun 2015-2017, sehingga tidak mencerminkan kasus positif HPAI
sebenarnya dan kematian unggas dapat disebabkan karena penyakit lain pada
unggas.

Pada laporan iSIKHNAS terdapat jenis ayam yang tidak spesifik


sehingga jumlah total spesies ayam (kampung, pedaging, petelur) yang
terserang kurang akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Manual Penyakit Unggas. Direktorat Kesehatan Hewan.


Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian. Jakarta. Hal 6-15.

Anonim, 2013. http://wiki.isikhnas.com/w/Penyakit_Avian_Influenza_


HPAI. Diakses berkala

Bahri.S dkk. 2013. Arah Penelitian Mendukung Rencana Bebas Penyakit


Avian Influenza Pada Unggas Tahun 2020 di Indonesia. Jakarta :
IAARD. 2013 [internet].(diunduh 2018 Maret 24). Tersedia pada http://
peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/booklet/ai_2020_2014.
pdf?secure=1

Zakaria, F. 2011. Thesis Deteksi dan faktor Resiko kejadian AI pada


peternakan unggas komersial di kabupaten Maros. [internet]. UGM.
Yogyakarta. Tersedia pada http://etd.repository.ugm.ac.id/index.
php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=h
tml&buku_id=52701&obyek_id=4

50 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KASUS PERTAMA LOW PATHOGENIC AVIAN INFLUENZA
SUBTIPE H9N2 PADA PETERNAKAN AYAM PETELUR DI
KABUPATEN SIDRAP, SULAWESI SELATAN INDONESIA

Muflihanah1, Ernes Andesfha2, Hendra Wibawa3, Farida Camallia Zenal4, Ferra Hendrawati1,
Siswani1, Wahyuni1, Dina Kartini2, Irma Rahayuningtyas2,
Sulaxono Hadi1, Sri Mukartini2, Bagoes Poermadjaja3 , Fadjar Sumping Tjatur Rasa5

1. Balai Besar Veteriner Maros


2. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
3. Balai Besar Veteriner Wates
4. Food and Agriculture Organization Emergency Centre for Transboundary Diseases Indonesia
5. Direktorat Kesehatan Hewan
muflibd@yahoo.com, ernesandesfha@ymail.com, hi.wibawa@gmail.com, ferradic7@gmail.com,
fyca_farida@yahoo.com,
siswani nink@yahoo.com, wahyunipurnama@gmail.com, sulaxonohadi@yahoo.com,
bagoes208@yahoo.com

ABSTRAK

Low pathogenic avian influenza subtiype H9N2 virus pertama kali didiagnosa pada peternakan
ayam layer di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Indonesia pada Desember 2016 dengan
gejala klinis berupa gangguan pada saluran pernafasan yang ditandai dengan muka bengkak, sesak
nafas, discharge dari hidung, kurang nafsu makan dan feses berwarna kehijauan. Kejadian penyakit
terjadi dalam kurun waktu 3 – 14 hari dengan tingkat mortalitas rata-rata dibawah 5 % dan terjadi
penurunan produksi telur sebanyak 50 - 80%.

Dari hasil pengujian laboratorium dengan real time PCR menunjukkan positif Avian Influeza
Type A, negatif subtype H5 dan H7 serta positif H9. Hasil isolasi virus pada Telur Embrio Bertunas
(TAB) dengan uji rapid aglutinasi hasilnya tidak mengaglutinasi sel darah merah. Hasil histopatologi
pada jaringan organ menunjukkan hasil suspect terhadap virus. Pengujian laboratorium dengan
menggunakan teknik isolasi virus dan real time PCR. Dari isolasi virus setelah dilakukan penanaman
di telur embrio, menunjukkan terjadi kematian embrio, seluruh organ embrio mengalami pendarahan,
tetapi cairan allantois tidak mengaglutinasi sel darah merah ayam. Kemudian cairan allantois diambil
untuk pengujian real time PCR menunjukkan hasil positif tipe A, negatif H5, negatif H7 dan positif
H9.

Hasil Sequencing terhadap tiga isolat A/Chicken/Sidrap/07161511-1/2016, A/Chicken/


Sidrap/07161511-61/2016, A/Chicken/Sidrap/07170094-44OA/2017 memiliki kesamaan genetik
98% H9N2. Hasil pohon filogentik menunjukkan sampel yang diuji nampak dari kelompok atau
lineage Asia Y280-H9N2.

Kata Kunci : Avian Influenza, H9N2, Ayam petelur

PENDAHULUAN

Virus H9N2 adalah salah satu virus avian influenza (AI) yang memiliki
sifat keganasan pada unggas yang rendah sehingga digolongkan dalam
kelompok low pathogenic avian influenza (LPAI) (OIE, 2008). Virus ini telah
ditemukan di beberapa negara di wilayah Asia, Timur Tengah dan Afrika,
dimana menyebabkan kerugian ekonomi khususnya dari sektor pertanian/
peternakan karena terjadi hambatan pertumbuhan dan fertilitas unggas serta
penurunan produksi. Meskipun virus H9 di klasifikasikan LPAI, kematian
di lapangan pernah di laporkan lebih dari 50%. Virus ini juga berpotensi

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
51
zoonotik karena kasus infeksi H9N2 pada manusia pernah dilaporkan di
Hongkong, China, Bangladesh dan Mesir, serta telah dibuktikan bahwa virus
ini berperan sebagai donor internal gen prekursor subtype virus lain, seperti
H5N1 yang menyebabkan kasus flu burung (bird flu) pada manusia di Hong
kong tahun 2007 atau H7N9 dan H10N8 di Cina pada tahun 2013 dan 2015
(Peacock, et al., 2016)

Pada bulan Desember 2016 telah dilaporkan kasus penyakit pada ayam
petelur di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan Indonesia dengan gejala
klinis berupa gangguan pada saluran pernafasan yang ditandai dengan muka
bengkak, sesak nafas, discharge dari hidung, kurang nafsu makan dan feses
berwarna kehijauan. Kejadian penyakit terjadi dalam kurun waktu 3 – 14
hari dengan tingkat mortalitas rata-rata dibawah 5 % dan terjadi penurunan
produksi telur sebanyak 50 - 78%. Investigasi dan pengujian laboratorium
dengan teknik real time PCR dan isolasi kasus penyakit dilakukan oleh
Balai Besar Veteriner Maros (BBVet Maros), dilanjutkan dengan identifikasi
agen penyakit dengan teknik virologi dan DNA sequencing bekerja sama
dengan laboratorium Sequencing Partner, Balai Besar Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Bogor dan laboratorium rujukan AI
Nasional, Balai Besar Veteriner Wates (BBVet Wates). Hasil investigasi
dan identifikasi agen penyakit mengindikasikan bahwa gejala klinis dan
patologis berupa penurunan produksi telur dan mortalitas pada ayam petelur
disebabkan oleh virus LPAI subtipe H9N2. Peningkatan angka mortalitas
kemungkinan bisa terjadi disebabkan oleh adanya infeksi sekunder bakteri
sehingga memperparah derajat penyakit pada unggas.

MATERI DAN METODE

Koleksi Data Kasus

Investigasi dilakukan berdasarkan laporan dari Dinas yang membidangi


fungsi peternakan dan kesehatan hewan pada tanggal 15 -17 Desember
2016 di Desa Tanete Kecamatan Maritengngae dan dilakukan penelusuran
kembali pada tanggal 2 – 4 Februari 2017 berdasarkan hasil pengujian
laboratorium dan laporan dari petugas bahwa kasus yang sama terjadi di
Desa Bulo Kecamatan Pancarijang. Kemudian dilakukan pengumpulan data
termasuk riwayat penyakit, spesies, gejala klinis, perkembangan tanda-tanda
dari waktu ke waktu, lalu lintas, faktor lingkungan, pengambilan spesimen
unggas dan lingkungan serta pengujian laboratorium.

Pengujian Laboratorium

Pengujian laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan patologi


anatomi dan histopatologi, deteksi dan identifikasi agen penyakit dengan
teknik real time polymerase chain reaction (RT-PCR) dengan algoritma
deteksi AI dan isolasi dengan teknik kultur virus pada telur ayam bertunas di
BBVet Maros.
52 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Identifikasi dan konfirmasi agen penyakit menggunakan teknik Sanger
dideoxy sequencing AI dilakukan di BBPMSOH dan selanjutnya dengan
teknik Next Generation Sequencing (NGS) di BBVet Wates. Prosedur Sanger
DNA sequencing AI menggunakan protokol yang telah dikembangkan dan
 
divalidasi oleh  
laboratorium rujukan 
OIE Asia   Australian
Pasifik,   
Animal

Health Laboratory
 (AAHL) Australia,
 menggunakan
   sepasang
 primer dengan
 
panjang amplikon 682 bp (H9-KD-654F: GACACAACAACGAGTGTGGC,

H9-KD-1335R : GCCCATATA TCTTGGATTTGAT). Untuk primer N2

  
menggunakan 
reference dari  et
Fereidouni 
al
Veterinary   
Microbiology

135 (2009)
 253–260
dengan panjang
amplikon
 362  bp (IVA-N2-F
:
GCATGGTCCAGYTCAAGYTG, IVA-N2-R
  : CCYTTCCAGTTGTCTCT
 
GCA).
          
          
     

HASIL

Investigasi kejadian penurunan produksi telur dan kematian unggas

Kasus penyakit di Kabupaten Sidrap terjadi pada ayam petelur mulai

tanggal 1 Oktober 2016 sampai tanggal 2 Februari 2017. Berdasarkan

laporan dan investigasi, kejadian kasus kematian unggas bermula dari Desa
Tanete Kecamatan
  Maritengnga, Desa Bulo
   dan Desa
 Cipotakari Kecamatan
   
  serta
Pancarijang Desa
  
Talawe  
Kecamatan  
Watangsidenreng 
serta laporan
          
terakhir kasus yang sama telah menyebar di sentra peternakan di
           Desa
Allakuang Kecamatan
 Maritenggae
  dan Desa
 Teteaji
 Kecamatan Tellulimpoe.
   
Laporan kasus
 penyakit
  baru
 di Desa Talawe Kecamatan
 Sidenreng
  diperoleh
 
 
ketika tim berada di  
Desa Bulo   
Kecamatan  
Pancarijang, dan kasus 
baru saja
            
berlangsung selama dua hari. Lokasi kasus secara keseluruhan di Kecamatan

Pancarijang dapat dilihat pada peta dibawah ini (Gambar 1)





Gambar 1. Lokasi Kasus

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
53

Tabel 1. Laporan Kematian Ayam secara keseluruhan di Kabupaten Sidrap

No
 Bulan Kematian Jumlah Kematian
1. Oktober
2016    150

2. Nopember 2016 536
   
3. Desember
 2016   1070
4. 2017 
Januari   2905
   
Total     4661


3500

3000

2500

2000

1500

1000

500

0
Oktober 2016 Nopember 2016 Desember 2016 Januari 2017


Gambar 2. Kurva Epidemik kasus penyakit di Kabupaten Sidrap



          
Dari gambaran kurva epidemik, kematian unggas di mulai pada bulan
Oktober 2016.
  Gambaran
 kurva
   epidemik
 pada kasus
 penyakit
  pada ayam
 

petelur tertinggi pada bulan Januari 2017 dengan rata-rata angka mortalitis

sebesar
 2,73 %. Data kematian unggas dan penurunan produksi secara
keseluruhan
  disimpulkan
 pada Tabel
2 
di bawah ini :   



Tabel 2. Data Kematian Ayam Petelur dan Penurunan Produksi 
Telur di

   

Kecamatan
 
Pancarijang,
 
Kabupaten


 Sidrap
 



   
 
   


 Tingkat
    Jumlah
   Penurunan
 
  Tingkat Produksi Penurunan
Populasi Produksi
No  Tahun  Bulan
 Desa Pemilik
 (Ekor)

Kematian

Mortalitas

Telur

(Rak/ Telur
Produksi

  (Ekor) (%) Hari) Telur
 (Rak/hari)
         (%)
 

1  2016 Nopember Peternak 1 13800 100 0.72
Tanete     500  200  60
 
2    Nopember Bulo 
 Peternak 1
 6000
 200
 3.33
 178
  85  52.2

3   Desember Tanete Peternak 2 6000 80 1.33 27 7 74.1
4   Desember Tanete Peternak 3 1800 35 1.94 40 9 77.5
5   Januari Cipotakari Peternak 1 11000 450 4.09 150 40  73.3
6 2017 Januari Bulo Peternak 2 69000 500 0.72 1500 700 53.3
7   Januari Bulo Peternak 4 13000 200 1.54 200 100 50
8   Januari Bulo Peternak 5 14000 200 1.43 250 105 58
9   Januari Bulo Peternak 6 5500 200 3.64 80 53 33.8

54 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tingkat
Penurunan
Jumlah Tingkat Produksi Penurunan
Populasi Produksi
No Tahun Bulan Desa Pemilik Kematian Mortalitas Telur (Rak/ Produksi
(Ekor) Telur
(Ekor) (%) Hari) Telur
(Rak/hari)
(%)
10 Januari Bulo Peternak 3 20000 950 4.75 250 120 52

11 Januari Cipotakari Peternak 2 8000 140 1.75 203 70 65.5

12 Januari Cipotakari Peternak 3 8000 600 7.50 130 30 76.9

Rata-rata 2,73 % 60,55%

Gejala Klinis dan Patologi Anatomi

Gejala klinis yang ditemukan pada ayam petelur dari kasus penyakit di
beberapa lokasi di atas berupa gangguan pernafasan, muka bengkak, pial dan
jengger sianosis, berak hijau, dan penuruan nafsu makan dan minum, hingga
tidak mampu berdiri (Gambar 3). Telur yang dihasilkan dari peternakan yang
terkena kasus nampak abnormal (ukuran kecil dan kerabang tipis dan mudah
pecah) (Gambar 4):

Gambar 3. Gejala Klinis pada Ayam

Gambar 4. Ukuran telur di bawah normal dan kerabang yang mudah pecah

Diagnosa awal/sementara dengan gejala klinis tersebut adalah


sementara adalah IB (Infectiouse Bronchitis), dengan diagnosa banding
adalah Low Patogenic AI, EDS, ND, Colibacillosis, CRD. Namun setelah
dilakukan nekropsi dari unggas yang menunjukkan sakit/mati tampak
adanya pendarahan pada otot dada, pendarahan terjadi pada beberapa
organ, pendarahan pada ovarium dan bentuk folikelnya tidak beraturan serta
peradangan juga ditemukan pada saluran pernafasan (Gambar 5). Selain itu
juga dtemukan adanya pendarahan dan kongesti pada bagian organ hati, usus,

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
55
jantung dan otak serta limpa tampak membesar dan adanya titik pendarahan
pada ovarium (Gambar 6).

A B C D
Gambar 6. Perubahan Patologi pada Ayam (A) Pendarahan pada Organ
Vicceral, (B) Pendarahan pada Usus, (C) Pendarahan pada Otak,
(D) Pendarahan pada Ovarium

A B C D
Gambar 7. Perubahan Patologi pada Ayam Sakit (A) Lapisan jelly pada
lemak perut (B) Hati dan serosa usus relatif normal, (C) Limpa
membesar , (D) Terjadi titik pendarahan pada ovarium

Hasil pengujian Laboratorium: PCR dan Isolasi Agen Penyakit

Untuk mendeteksi keberadaan agen penyakit dari sampel-sampel ayam


yang sakit/mati, dilakukan pengujian realtime PCR, isolasi agen, dan melihat
gambaran histopatologi.

Tabel 3. Hasil Pengujian Real time PCR Kasus Pertama di Desa Tanete
Kecamatan Maritenggae

Kode Jumlah Hasil Uji (Ct Value)


No No Epi Hewan Jenis Sampel
Sampel Smapel
MA H5 H7 H9
1. 7161511 1 sd 5 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 5 (pooled) 25.17 Undet Undet 22.27
2. 7161511 6 sd 10 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 5 (pooled) 28.8 Undet Undet 28.35
3. 7161511 11 sd 15 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 5 (pooled) 38.11 Undet Undet Undet

56 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kode Jumlah Hasil Uji (Ct Value)
No No Epi Hewan Jenis Sampel
Sampel Smapel MA H5 H7 H9
4. 7161511 16 sd 20 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 5 (pooled) 32.05 Undet Undet 30.35
5. 7161511 22 sd 26 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 5 (pooled) 37.18 Undet Undet 38.99
6. 7161511 36 sd 40 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 5 (pooled) 33.34 Undet Undet 34.77
7. 7161511 41 sd 45 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 5 (pooled) 28.32 Undet Undet 28.5
8. 7161511 51 sd 55 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 5 (pooled) 33.88 Undet Undet 33.34
9. 7161511 56 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 1 36.81 Undet Undet 27.66
10. 7161511 57 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 1 22.51 Undet Undet 22.03
11. 7161511 59 Ayam Layer Swab Oropharyngeal 1 23.87 Undet Undet 22.49
12. 7161511 61 Ayam Layer Organ 1 21.15 Undet Undet 19.41
Total 44

Dari hasil pengujian laboratorium dengan real time PCR menunjukkan


positif Avian Influeza Type A, negatif subtype H5 dan H7 serta positif H9.
Hasil isolasi virus pada Telur Embrio Bertunas (TAB) dengan uji rapid
aglutinasi hasilnya tidak mengaglutinasi sel darah merah. Hasil histopatologi
pada jaringan organ menunjukkan hasil dugaan terhadap infeksi virus
ditunjukkan pada Gambar 8 sebagai berikut :

A B

C D

Gambar 8. Hasil pengujian histopatologi (A). ovarium : banyak regresi sel


telur dan perdarahan, (B) Jantung mengalami pembengkakan,
(C) Paru-paru perdarahan diffuse, (D) Perivascular cuffing pada
otak dan gliosis

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
57
Dari isolasi virus setelah dilakukan penanaman di telur embrio, menunjukkan
terjadi kematian embrio, seluruh organ embrio mengalami pendarahan, tetapi
cairan allantois tidak mengaglutinasi sel darah merah ayam.

Gambar 9. Pendarahan Pada Embrio

Kemudian cairan allantois diambil untuk pengujian real time PCR


menunjukkan hasil positif tipe A, negatif H5, negatif H7 dan positif H9.
Setelah dilakukan N typing hasilnya negatif N8, N6, N9 dan N1, tetapi positif
N2. Hasil pengujian real time PCR dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini:

Tabel 4. Hasil Pengujian Real time PCR Cairan Allantois

Kode Jenis Tanggal Uji Hasil Uji


No No Epi Hewan
Sampel Sampel Type A MA H5 H7 H9
1. 7170094 S2 (44) Ayam Layer allantois 8-Feb-17 26.2 Undet Undet 32.35
2.. 7170094 O2 (44) Ayam Layer allantois 8-Feb-17 13.79 Undet Undet 15.42

Untuk konfirmasi pengujian maka dilakukan sequencing terhadap


sampel yang memiliki nilai Ct yang tinggi. Sequencing gen hemagglutinin
(HA) dilakukan di BBPMSOH Bogor dan whole genome sequencing
di BBVet Wates. Identifikasi subtype HA telah dilakukan di BBPMSOH
bersamaan dengan dengan sampel dari survei pada pasar unggar hidup/live
bird market (LBM) dari FAO-Project pada LBM di wilayah Jabodetabek
dimana telah terdeteksi positif H9N2 dengan teknik PCR. Adapun sampel
yang diuji DNA sequencing yaitu A/Chicken/Sidrap/07161511-1/2016 (Ct
: 22.27), A/Chicken/Sidrap/07161511-61/2016 (Ct : 19.41) dan A/Chicken/
Sidrap/07170094-44OA/2017 (Ct : 15.42)

Analisis Filogenetik dan Molekuler Sekuens

Hasil analisa filogenetik gen HA menunjukkan bahwa sampel-sampel


yang disequencing terdeteksi dan teridentifikasi sebagai virus AI subtipe H9
dan diidikasikan memiliki kekerabatan genetik yang tinggi dengan virus-
virus yang sebelumnya terdeteksi sebagai virus LPAI H9N2 .

58 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding



















 


 







 
 
 
 






 

  
 
 


 


 


  


 

  

 

 

  



Gambar10. Pohon filogenetik 
  dari isolat-isolat
 H9N2yang diisolasi
 dari
 
 ayam dan sampel
 lingkungan
    (sampel diberi tanda
  kotak


 
merah). 
Analisis  
menggunakan NJ
tree, dengan 
model 
substitusi
       

 nukleotida (Tamura-Nei (TN93) dengan 1000 boostrap replikasi.
       
  Empat
 lineage
  yang

  digunakan
  yaitu
 Y280,
 
 G1,

 Y439

 dan

 Korean
 –
like          
lineage.

         


 Motif
 CS isolat
 H9N2 Indonesia
  lainnya
yang telah
 diupload
 di genbank
  
juga memiliki motif CS yang sama yaitu RSSR. Menurut Li et al., 2003

isolat
semua  
H9N2  
sekarang ini memiliki
motif  
Arg-Ser-Ser-Arg (RSSR)

sebagai karakteristik virus LPAI H9 pada unggas.


         


 
 11.
Gambar Motif
asam-asam
amino
pada
daerah
 site
cleavage  
/pemotongan

proteolitik (diberi kotak merah) dari isolat H9N2.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL) 59
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
PEMBAHASAN

Hasil kegiatan investigasi dan pengujian laboratorium menunjukkan


bahwa kasus H9N2 terjadi sangat cepat dan menyebar di beberapa peternakan
ayam petelur di Kabupaten Sidrap. Dari wawancara dengan peternak dan
pemantauan di lokasi kasus, faktor risiko penyebaran terjadinya penyakit
yaitu manajemen biosecurity yang masih rendah (pekerja dan keluarga pekerja
yang bebas keluar masuk kandang, mobil pengangkut pakan, pengangkut
feces tanpa adanya desinfeksi), banyaknya burung liar di dalam dan sekitar
kandang, cuaca yang ekstrim, manajemen vaksinasi khususnya rantai dingin
dan kebersihan kandang. Menurut El Houadfi et al., 2016 bahwa kejadian
H9N2 di Marocco, burung liar, unggas domestik dan manusia memberikan
kontribusi tebesar dalam penyebaran H9N2.

A B

C D

Gambar 12. Faktor risiko penyebaran penyakit dari lingkungan (A) Burung
Liar dalam Kandang, (B) Kebersihan di Bawah Kandang, (C)
Lingkungan terbuka , (D) Akses lalu lintas

Tindakan yang dilakukan peternak yaitu pengobatan dengan antibiotik


dan pemberian vitamin. Peternak ada yang memberikan antibiotik manusia
ke masing-masing ayam. Bahkan beberapa peternak melaporkan bahwa
ketika kasus penyakit terjadi ada yang melakukan vaksinasi AI, IB, ILT
dan ND sehingga immunosupresif. Menurut Gu et al., 2017 virus H9N2
akan mengakibatkan perubahan pada organ tubuh dan immunosupressif
pada unggas yang terinfeksi. Vaksin AI yang digunakan sebagian besar
menggunakan clade 2.3.2.1 dan beberapa peternak menggunakan clade
2.1.3. Ketika terjadi perbaikan kondisi ayam, produksi telur mulai meningkat
60 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
tetapi telur yang dihasilkan ukurannya di bawah normal dan kerabang yang
mudah pecah.

Hasil pohon filogentik menunjukkan 5 sampel yang diuji nampak


dari kelompok atau lineage Asia Y280-H9N2, demikian pula isolat H9N2
Indonesia yang telah diupload di genbank. Sebagaimana diketahui H9N2
lineages Y280 dan G1 banyak ditemukan pada unggas Asia terutama di ayam
dan puyuh (Guan et al., 2000, Li et al., 2003). A/quail/Hongkong/G1/97
(G1-like) termasuk dalam menghasilkan pathogenic tinggi virus H5N1 pada
tahun 1997 (Guan et al., 1999) dan menjadi donor gen internal ke-6 pada
unggas dan manusia isolasi virus H5N1 (Guan et al., 2000). Virus A/duck/
Hongkong/Y280/97 (Y280-like) terutama berhubungan dengan infeksi pada
ayam yang menyebabkan gejala klinis ringan (Guan et al., 2000) dan telah
berhasil diisolasi pada babi di China Selatan (Peiris et al., 2001).

Namun, jika diperhatikan lebih lanjut ada kecenderungan bahwa virus-


virus LPAI H9N2 asal Indonesia membentuk cluster filogenetik tersendiri
yang unik. Konfirmasi lebih lanjut apakah virus-virus H9N2 merupakan
cluster lain dari lineage Y280 dapat dibuktikan setelah terkumpul beberapa
isolat baru yang lebih lengkap sehingga cluster H9N2 Indonesia tersebut
dapat didukung dengan data statistik dan jarak genetik yang signifikan.

Homologi nukleotida (nt) dan asam amino (aa) kelima sampel positif
H9N2 yaitu 99.3 -100% dan 98.9 – 100%. Sedangkan homologi nt dan aa
terhadap sampel H9N2 Indonesia yang telah diupload di Genbank sebesar
98.6 – 100% dan 98.2 – 100%. Homologi kelima sampel terhadap lineage
Y280 sebesar 88.2 – 89.5% (nt) dan 88.4-91.9% (aa), sedangkan terhadap
lineage lainnya (G1, Korean dan Y439) yaitu 76.9-86.7% (nt) dan 84.2-
88.4% (aa).

Hasil analisis asam amino pada bagian cleavage site (CS) bersifat
monobasic yaitu RSSR (aa 335 – 338) (Gambar 10), dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sampel-sampel yang diuji baik dari unggas dan LBM
termasuk dalam kelompok low pathogenic avian influenza

Receptor binding site (RBS) adalah hal yang penting bagi spesifisitas
reseptor sel dan menentukan variasi host (Gambaryan et al., 2002, Ha et al.,
2001), residu asam amino pada posisi 110, 161, 163, 191, 198, 234, 235 dan
236 molekul HA. Dari lima sampel positif H9N2, terdapat satu sampel (A/
chicken/Sidrap/07161511-61/2016) yang tidak dapat dianalisa asam amino
bagian RBS dikarenakan hasil sequencing pada bagian awal kurang optimal.
Hasil analisis asam amino keempat sampel lainnya yaitu pada asam amino
234 terdapat mutasi asam amino dari Q (Glutamine) menjadi L (Q234L,
sedangkan asam amino tidak mengalami perubahan yaitu glysine (G236G).
Substitusi Q234L pada HA protein pada virus kelompok HPAI berkontribusi

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
61
terhadap patogenesitas pada mamalia dan meningkatnya afinitas virus AI
terhadap α2, 6 sialic acid reseptor yang ditemukan banyak terdapat pada
saluran respirasi tikus dan manusia (Matrosovich et al., 2001). Kajian Wan
et al menyatakan substitusi Q234L ditemukan pada lineage G1, Y280 dan
G9 yang diisolasi di Hongkong, memungkinkan virus H9N2 lebih mudah
menginfeksi sel-sel yang tidak bersilia dan tumbuh lebih efisien di kultur sel
epitel saluran nafas manusia sehingga meningkatkan keparahan infeksi pada
manusia (Wan et al., 2007). Perlu dikaji lebih lanjut dengan uji tantang pada
beberapa spesies, termasuk mamalia, untuk membuktikan apakah perubahan
asam-asam amino yang ditemukan berpengaruh pada peningkatan atau
perubahan sifat pengikatan reseptor virus pada sel dan berpotensi patogenik
pada mamalia.

Kajian Jakhesara et al 2014 tentang infeksi H9N2 pada layer ditemukan


gejala klinis seperti kesulitan bernafas, kepala bengkak, nasal discharge,
penurunan nafsu makan, jengger cyanotic dan flock yang terkena infeksi
H9N2 gejala klinisnya terlihat selama 3-4 minggu dengan penurunan
produksi sampai 40%. Persentase kematian 2-3% dan 10-30% pada flock
unggas yang terkena di fase grower dan layer. Pemeriksaan post mortem
ditemukan fibrino-caseative pada sinus infraorbitalis, kongesti pada mukosa
trachea dengan material caseos, edema pada dinding oviduct, fibrine plaques
pada ovari dan sumbatan caseos pada percabangan Jakhesara et al., 2014).

Beberapa laporan di negara lain menyebutkan bahwa virus LPAI


H9N2 telah ditemukan pada unggas dan menyebabkan wabah penyakit AI
dengan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Selama tahun 1990 outbreak di
poultry yang disebabkan oleh subtype H9 terutama H9N2 telah dilaporkan di
Jerman, Itali, Ireland, Afrika Selatan, USA, China dan Timur Tengah, Saudi
Arabia dan Pakistan (Alexander, 2000, Banks, 2000). Pada tahun 1997 virus
H9N2 telah diisolasi dari beragam spesies unggas termasuk ayam, bebek,
kalkun, puyuh, angsa, merpati di wilayah Asia, Timur Tengah, Eropa dan
Afrika dan untuk pertama kali dari manusia di Hong Kong dan China tahun
1999 (Peiris et al., 1999, Peiris et al., 2001, Guo et al., 1999). H9N2 dapat
muncul sebagai patogen pada manusia melalui reassortment pada host antara
seperti babi (Peiris et al., 2001). Virus H9N2 menyebabkan masalah penyakit
yang signifikan pada unggas sehingga merugikan ekonomi yang besar
karena terjadi penurunan produksi telur atau angka kematian yang tinggi
dengan co-infeksi dengan infeksi pathogen seperti infectious bronchitis
virus (HaghighatJahromi et al., 2008), Staphylococcus aureus, Avibacterium
paragallinarum, Escherichia coli atau tekanan imunitas (Kishida et al.,
2004).

62 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KESIMPULAN

Berdasarkan gejala klinis yang ditemukan, persentase mortalitas yang


rendah, penurunan produksi yang sangat signifikan hingga 80%, kondisi
dan kualitas telur yang ditemukan, status dan jenis vaksinasi yang telah
dilakukan, serta pengujian laboratorium dengan teknik PCR dan hasil DNA
sequencing dengan analisis BLAST, asam amino pada CS, dan filogentik
dapat disimpulkan bahwa kasus yang terjadi pada unggas di peternakan layer
di Kabupaten Sidrap disebabkan oleh infeksi virus AI dari golongan LPAI
subtype H9N2.

DAFTAR PUSTAKA

AAHL (2016). In House Australian Animal Health Laboratory (AAHL),


Geelong, Australia.

Alexander, D.J. (2000) A review of avian influenza in different bird species.


Vet. Microbiol. 74: 3-13.

Banks, J., Speidel, E.C., Harris, P.A. and Alexander, D.J. (2000). Phylogenetic
analysis of influenza A viruses of H9 haemaggutinin subtype. Avian
Pathol. 29: 353-360.

Chaipan, C., Kobasa, D., Bertram, S., Glowacka, I., Steffen, I., Solomon
Tsegaye, T., Takeda, M., Bugge, T., Kim, S., Park, Y., Marzi, A., &
Pohlmann, S. (2009). Proteolytic Activation of the 1918 Influenza
Virus Hemagglutinin Journal of Virology, 83 (7), 3200-3211
DOI: 10.1128/JVI.02205-08

El Houadfi, M., Siham F., Saadia N., Jean-Luc G., Mariette F. D., 2016. First
outbreaks ang phylogenetic analyses f Avian Influenza H9N2 viruse
isolated from poultry flock in Marocco. Virology Journal 13.140

Fereidouni S.R, Starick E, Grund C, Globig A, Mettenleiter T.C, Beer


M, Harder T (2009). 260 Rapid molecular subtyping by reverse
transcription polymerase chain reaction of the neuraminidase gene of
avian influenza A viruses. Veterinary Microbiology 135 (2009) 253–
260.

Gambaryan A, Webster R, Matrosovich M (2002) Differences between


influenza virus receptors on target cells of duck and chicken. Arch
Virol 147: 1197–1208. 36.

Gu, M., Lijun X, Xiaoquan, W., Xiufan, L.. 2017. Current situation of H9N2
subtype Avian Influenza in China. Veterinary Research DOI 10.1186/
s13567-017-0453-2

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
63
Guan, Y., K. F. Shortridge, S. Krauss, P. S. Chin, K. C. Dyrting, T. M. Ellis, R.
G. Webster, and M. Peiris. 2000. H9N2 influenza viruses possessing
H5N1-like internal genomes continue to circulate in poultry in
southeastern China. J. Virol. 74:9372–9380

Guan, Y., K. F. Shortridge, S. Krauss, and R. G. Webster. 1999. Molecular


characterization of H9N2 influenza viruses: were they the donors
of the “internal” genes of H5N1 viruses in Hong Kong? Proc. Natl.
Acad. Sci. USA 96:9363–9367.

Guo YJ, Li JW, Cheng I: Discovery of humans infected by avian influenza A


(H9N2) virus. Chin J Exp Clin Virol 1999, 15:105-108.

Ha Y, Stevens DJ, Skehel JJ, Wiley DC (2001) X-ray structures of H5 avian


and H9 swine influenza virus hemagglutinins bound to avian and
human receptor analogs. Proc Natl Acad Sci U S A 98: 11181–11186.

HaghighatJahromi M, Asasi K, Nili H, Dadras H, Shooshtari AH: Coinfection


of avian influenza virus (H9N2 subtype) with infectious bronchitis
live vaccine. Arch Virol 2008, 153:651-655

Hall, T (1999). Hall, T. (1999). BioEdit: a user-friendly biological sequence


alignment editor and analysis program for Windows 95/98/NT.
Nucleic Acids Symp Ser 41: 95-98.

Jakhesara, SJ, Bhatt VD, Patel NV, Prajapati KS, Joshi CG. 2014. Isolation
and characterization of H9N2 influenza virus isolates from poultry
respiratory disease outbreak. SpringerPlus 2014, 3:196.

Kawaoka, Y., S. Krauss, and R. G. Webster. 1989. Avian-to-human


transmission of the PB1 gene of influenza A viruses in the 1957 and
1968 pandemics. J. Virol. 63:4603–4608.

Kida, H., T. Ito, J. Yasuda, Y. Shimizu, C. Itakura, K. F. Shortridge, Y.


Kawaoka, and R. G. Webster. 1994. Potential for transmission of
avian influenza viruses to pigs. J. Gen. Virol. 75:2183–2188.

Kishida N, Sakoda Y, Eto M, Kida H: Co-infection of Staphylococcus aureus


or Haemophilus paragallinarum exacerbates H9N2 influenza A virus
infection in chickens. Arch Virol 2004, 149:2095-2104.

Li, K. S., K. M. Xu, J. S. M. Peiris, L. L. M. Poon, K. Z. Yu, K. Y. Yuen,


K. F. Shortridge, R. G. Webster, and Y. Guan. 2003. Characterization
of H9 subtype influenza viruses from the ducks of southern China:
a candidate for the next influenza pandemic in humans? J. Virol.
77:6988–6994.
64 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Matrosovich MN, Krauss S, Webster RG: H9N2 influenza A viruses from
poultry in Asia have human virus-like receptor specificity. Virology
2001, 281:156-162.

Peiris M, Yuen KY, Leung KH, Chan PL, Lai SIp, RW M, Orr K, Shortridge
KF: Human infection with influenza H9N2. Lancet 1999, 354:916-
917.

Peiris S, Guan Y, Markwell D, Ghose P, Webster RG, Shortridge KF:


Cocirculation of avian H9N2 and contemporary “human” H3N2
influenza A viruses in pigs in southeastern China: potential for genetic
reassortment? J Virol 2001, 75:9679-9686.

Tamura K, Stecher G, Peterson D, Filipski A, and Kumar S (2013) MEGA6:


Molecular Evolutionary Genetics Analysis Version 6.0. Molecular
Biology and Evolution 30: 2725-2729.

Wan H, Perez DR: Amino acid 226 in the hemagglutinin of H9N2 influenza
viruses determines cell tropism and replication in human airway
epithelial cells. J Virol 2007, 81:5181-5191..

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
65
IDENTIFIKASI PASTEURELLA MULTOCIDA TYPE A
DARI TONSIL SAPI SEHAT DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT
TAHUN 2016 DAN 2017
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Anak Agung Gde Semara Putra

Balai Besar Veteriner Denpasar


niluhdartini@yahoo.co.id, i ketut narcana.rara@gmail.com, aagputra@gmail.com

ABSTRAK

Pasteurella multocida (P.multocida) merupakan bakteri patogen pada ternak ruminansia dan
unggas. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh P.multocida adalah Septicaemia Epizootica
(SE) / Haemorrhagic septicaemia (HS) dan septicaemia pasteurellosis pada sapi dan kerbau,
pneumonia dan septicaemia pasteurellosis pada kambing dan domba, pneumonia, atropic rhinitis
dan septicaemia pada babi, serta fowl cholera pada unggas. P.multocida sering ditemukan sebagai
flora normal pada nasopharyng dan saluran pernapasan bagian atas. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keberadaan P.multocida pada sapi sehat. Sampel tonsil diambil dari beberapa rumah
potong hewan (RPH) di Provinsi Bali, NTB, dan NTT tahun 2016 dan 2017. Di Laboratorium
sampel tonsil dikultur pada media agar darah, koloni yang dicurigai P.multocida di subkultur untuk
pemurnian dan identifikasi lebih lanjut. Identifikasi P.multocida dilakukan berdasarkan sifat koloni,
morfologi, dan uji biokimia. Isolat Pasteurella multocida yang diidetifikasi selanjutnya dilakukan
typing dengan diuji PCR menggunakan primer spesifik untuk P.multocida type B penyebab SE
(KTSP61 dan KTT72) dan P.multocida type A (RGPMA5 dan RGPMA6). Dari 619 sampel tonsil
dapat diidentifikasi 8 P.multocida. Hasil PCR menunjukkan bahwa semua isolat P.multocida yang
diuji adalah type A, dengan memperlihatkan pita fragment sekitar 564-bp. Semua sampel negatif
P.multocida type B penyebab SE.

Kata-kata kunci : Pasteurella multocida type A, PCR, tonsil sapi

PENDAHULUAN

P. multocida dibagi menjadi berbagai serotipe dan masing-masing


serotipe akan menggambarkan sifat penyakitnya. Berdasarkan sistem
Carter, identifikasi serotipe dengan metode uji hemaglutinasi tidak langsung
membagi P. multocida ke dalam 5 tipe antigen kapsul, yaitu tipe A, B,
D, E dan F, sedangkan menurut sistem Heddleston, dengan metode gel
diffusion precipitin test kuman ini dibagi menjadi 16 tipe antigen somatik,
yaitu tipe 1 sampai 16. P.multocida dapat hidup secara normal di dalam
saluran pernafasan bagian atas. Jika kondisi tubuh menurun, maka kuman
ini akan bersifat pathogen dan menimbulkan gejala penyakit seperti napsu
makan menurun, penurunan berat badan, bulu kusam dan berdiri, oedem,
dan diare. Jika penyakit berlanjut dapat menimbulkan kematian. P.multocida
merupakan bakteri patogen pada ternak ruminansia dan unggas. Beberapa
penyakit yang disebabkan oleh P.multocida adalah Septicaemia Epizootica
(SE) / Haemorrhagic septicaemia (HS) dan septicaemia pasteurellosis pada
sapi dan kerbau, pneumonia dan septicaemia pasteurellosis pada kambing
dan domba, pneumonia, atropic rhinitis dan septicaemia pada babi, serta
fowl cholera pada unggas (Sugun MY, et. al.2016), snuffles pada kelinci
(Krishna S.V. et. al.2017).

66 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Di Indonesia, SE dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan
oleh P.multocida type B2, merupakan salah satu penyakit menular pada
ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal
(OIE, 2010; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum di beberapa
Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan
terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara
ekonomis sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga
karena turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya
biaya untuk penanggulangannya, (Farooq et al., 2007). Penyakit ini dikenal
lama di Indonesia sebagai penyakit merugikan secara ekonomi, akibat dari
kematian ternak, penurunan berat badan, kehilangan tenaga kerja (pembajak),
dan biaya untuk pencegahan maupun pengobatannya.

Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan


penyakit yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan
pemberantasannya. Program pengendalian dan pemberantasan SE di
Indonesia secara umum masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah
melalui vaksinasi massal hanya di kantung-kantung penyakit di suatu
wilayah. Kegiatan ini masih belum efektif karena belum dilakukan secara
intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayah
atau pulau yang bebas dari SE dapat diwujudkan dengan melakukan program
pemberantasan yang terencana, melaksanakan program vasinasi massal yang
mencakup seluruh populasi, dan dilanjutkan dengan program monitoring dan
surveilans yang intensif terhadap keberadaan P.multocida pada hewan rentan.
Untuk mengetahui keberadaan P.multocida pada sapi sehat di wilayah kerja
BBVet Denpasar, maka telah dilakukan survei di Rumah Potong Hewan
(RPH) di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara
Timur (NTT). Sampel tonsil diambil dari beberapa rumah potong hewan
(RPH) di Provinsi Bali, NTB, dan NTT pada tahun 2016 dan 2017

MATERI DAN METODE

Sampel dan lokasi: sampel tonsil diambil dari sapi sehat di Rumah
Potong Hewan (RPH) di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Sampel tonsil yang
telah diambil disimpan dalam keadaan beku sampai dibawa ke laboratorium.

Isolasi dan identifikasi P.multocida: sampel tonsil untuk isolasi dan


identifikasi P.multocida diuji dengan cara kultur pada media agar dan uji
biokimia (Cowan and Stell, 1974; Carter and Cole., 1990). Sampel dikultur
pada media agar darah, kemudian diinkubasikan pada 37oC semalam.
Koloni yang dicurigai P.multocida dilakukan subkultur pada media BA dan
MC, inkubasikan pada 37oC semalam, untuk pemurnian dan mengetahui
pertumbuhannya pada media MC. Koloni yang dicurigai diwarnai dengan
pewarnaan Gram’s dan amati morfologinya secara mikroskopis dengan
menggunakan minyak immersi dan pembesaran mikroskop 1000x.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
67
P.multocida adalah Gram’s negatif, ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat
coccoid. Selanjutnya dilakukan uji biokimia dan gula-gula. P.multocida
yang diidentifikasi selanjutnya disimpan dalam media glycerol deef untuk
pengujian selanjutnya.

Polymerase chain reaction (PCR): Primer yang digunakan untuk


deteksi P.multocida type A dan P.multocida type B penyebab SE (OIE, 2012)
adalah:

1. Primer sequences untuk HS-causing type-B-specific PCR


KTT72 5’-AGG-CTC-GTT-TGG-ATT-ATG-AAG-3’
KTSP61 5’-ATC-CGC-TAA-CAC-ACT-CTC-3’

2. Primers sequences untuk Pasteurella multocida tipe A spesifik PCR


RGPMA5: 5’-AAT-GT-TTG-CGA-TAG-TCC-GTT-AGA-3’
RGPMA6: 5’-ATT-TGG-CGC-CAT-ATC-ACA-GTC-3’

Semua PCR dilakukan dalam final volume 25ul, DNA template (50 ng)
ditambahkan ke dalam campuran PCR (volume total 25 μl) yang mengandung
1 × buffer PCR, 200 μm setiap dNTPs, 1,5 mM MgCl2, 20 pmol masing-
masing primer dan 1 unit Taq DNA polymerase. Kondisi amplifikasi adalah
sebagai berikut: denaturasi awal pada 95°C selama 10 menit; 30 siklus 94°C
untuk 1menit untuk denaturasi, aneling 55°C selama 1 menit, ektension
72°C selama 2 menit, dilanjutkan dengan PCR final step 72oC selama 10
menit. Produk yang diperkuat dipisahkan dengan gel agarose elektroforesis
(gel agarose 1,5%) dalam buffer 0,5 x TBE pada 5 v / cm selama 2 jam.
Amplifikasi PCR menghasilkan produk sebesar 564 bp untuk P.multocida
type A dan 620bp untuk P.multocida type B penyebab SE.

HASIL

Sebanyak 619 sampel tonsil yang diterima selama tahun 2016 dan
2017, tiga ratus tujuh puluh tiga (373) tahun 2016 dan dua ratus dua puluh
enam (226) tahun 2017. Dari 619 tonsil yang diuji dapat diidentifikasi 8
P.multocida, yaitu 7 isolat tahun 2016 dan satu (1) tahun 2017 (Tabel 1).
Koloni yang dicrigai P.multocida dengan ciri berwarna putih keabu-abuan,
tidak tumbuh pada media MC, tidak menghemolise darah pada media
BA, dengan pewarnaan Gram’s adalah gram’s negative, cocco-bacilli dan
kadang-kadang terlihat bipolar, catalse positif, dan oxidase positif. Hasil
PCR menunjukkan bahwa semua isolat P.multocida yang diuji adalah type A,
dengan memperlihatkan pita fragment sekitar 564-bp. Semua sampel negatif
P.multocida type B penyebab SE.

68 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Jumlah sampel dan hasil isolasi identifikasi P.multocida tahun
2016-2017

Tahun 2016 Tahun 2017


Jumlah Jumlah Positif Jumlah Jumlah Positif
Provinsi Sampel P.multocida Sampel P.multocida
Bali 269 6 (2,23%) 50 0
NTB 49 1 (2,04%) 80 1 (1,25%)
NTT 75 0 96 0
Jumlah 393 7 (1,78%) 226 1 (0,44%)

PEMBAHASAN

Pada tahun 2016 dapat diisolasi 7 P. multocida dari sampel tonsil sapi
secara klinis sehat yang diambil dari RPH Tabanan dan Gianyar semuanya P.
multocida type A, tidak ditemukan P. multocida tipe B2 (penyebab SE). Hal
ini sesuai dengan hasil Penelitian Dartini, et al., 1996, menemukan bahwa
P. multocida dapat diisolasi dari beberapa RPH yang ada di Provinsi Bali,
setelah dilakukan uji typing dengan metode indirect haemagglutinasi dan
HS antigen ELISA semua isolate yang diperoleh adalah P. multocida tipe
A bukan tipe B2 penyebab SE. Hasil penelitian Shayegh J, et al., 2010 di
Iran menemukan bahwa dari 166 sampel yang diuji dapat diidentifikasi 26
P.multocida, dua puluh dua (22) isolat dari sapi dan kerbau sehat. Diantara
22 isolat tersebut 7 isolat P.multocida type A, masing-masing satu isolate
dari sapi sehat, satu isolate dari sapi dengan pneumonia, satu isolate dari
sapi dengan mastitis dan empat (4) isolat dari kerbau sehat. P.multocida
umumnya merupakan bakteri pathogen dan dapat dideteksi pada sampel
tracheobronchial lavage sebesar 26,4% dari sapi sehat, 32,6% dari sapi
suspected sakit, dan 42,3% dari sapi sakit (Dabo S.M, 2008).

P. multocida dapat hidup secara normal di dalam saluran pernafasan


bagian atas. Jika kondisi tubuh menurun, maka kuman ini akan bersifat
pathogen dan menimbulkan gejala penyakit seperti napsu makan menurun,
penurunan berat badan, bulu kusam dan berdiri, oedem, dan diare. Jika
penyakit berlanjut dapat menimbulkan kematian. Bakteri tersebut dapat
menyebabkan beberapa panyakit penting pada hewan, antara lain pneumonia
pada sapi dan SE pada sapi dan kerbau. Ada lima type P. multocida
berdasarkan antigen capsulnya yaitu type A, B, D, E dan F, dengan metode
IHA dan PCR. P. multocida type A merupakan salah satu bakteri yang
berhubungan dengan pneumonia pada sapi. Bakteri tersebut sering dapat
diisolasi dari kasus pneumonia sapi dan sapi sehat (Shayegh J, et al., 2010).

P. multocida adalah bakteri Gram-negatif patogen diklasifikasikan


menjadi, lima serotipe kapsuler dan 16 serotipe somatik. P. multocida
serotipe A komensal pada nasofaring sapi, patogen pada sapi dan sering

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
69
dapat diisolasi dari bovine respiratory disease (BRD),. P.multocida type
A merupakan salah satu penyebab utama kasus bovine respiratory disease
(BRD) (Dabo S.M, 2008), P.multocida type A merupakan penyebab penyakit
pada hewan antara lain snuffles infeksi saluran pernapasan bagian atas pada
kelinci (Krishna S.V. et. al.2017), juga berhubungan dengan bovine pneumia,
dan P.multocida type A sering dapat diisolasi dari kasus pneumonia pada sapi
dan sapi sehat (Shayegh J, et al., 2010). Kasus penyakit saluran pernapasan
dapat berkontribusi terhapat kerugian ekonomi dan pembangunan socio-
ekonomi pada peternak (Kabeta T. et. al. 2015). Kasus penyakit yang
disebabkan oleh P.multocida type A di Provinsi Bali, NTB, dan NTT belum
pernah dilaporkan. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
patogenitas P.multocida type A.

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:

1. Semua isolate P.multocida yang dapat diisolasi dari tonsil sapi secara
klinis sehat dari beberapa RPH di Provinsi Bali, NTB, dan NTT tahun
2016 dan tahun 2017 adalah P.multocida type A.
2. Tidak ditemukan P.multocida type B penyebab SE.

SARAN

Untuk mengetahui peranan/patogenitas P.multocida type A yang


teridentifikasi terhadap ternak sapi , kerbau dan ternak lainnya, maka perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its


Significance, Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8):
234-240.

Carter.G.R. and Cole J.R. (1990). Diagnostic Procedures in Veterineray


Bakteriologu and Mycology. 5th ed. Academic Press inc. San Diago,
California. Hal. 129 – 139.

Cowan.S.T. and Steel’s (1974). Manual for the Identification of Medical


Bacteria. 2nd ed.Cambridge University Press.93-95.

Dabo S.M; Taylor J.D; and Confer A.W. (2008). Pasteurella multocida
and bovine respiratory disease. Animal Health research Reviews
8(2):129-150. DOI:10.1017/S1466252307001399.

70 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Dartini N.L. and Ekaputra A 1996. Abatoar Survei. Kumpulan Abstrak.
International Workshop on Diagnosis and Control of Haemorrhagic
Septicaemia. Kuta, Denpasar, Bali 28-30 Mei 1996.

Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007.
Status Haemorrhagic Septicaemia Based On Epidemiology In
Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.

Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006.
Characterisation of Pasteurella multocida Isolated from Rabbits in
the Czech Replublic. Veterinarni Medicina.51(5):278-283

Kabeta T; Fikuda T; Zenebe T; and Kebede G. (2015). Review on the


Pneumonic Pasteurellosis of Cattle. Academic Journal of Animal
Disease 4(3):177-184.DOI: 10.5829/idosi.ajad.2015.4.3.9674.

Krisna S.V.; Agarwal R.K.; and Nagaleekar V.K. (2017). Capsular Typing
and antibiogram Study of Pasteurella multocida Isolates of Rabbit
Origin Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci.6(12): 4352 4357.https://doi.
org/10.20546/ijcms.2017.612.499.

OIE,(2012). Haemorrhagic Septicaemia. Terrestrial Manual 2012. Chapter


2.4.12. hal. 1- 13.

Sugun MY; Kwaga JKP; Kazeem MH; Ibrahim NDG. And Turaki AU (2016)
Isolation of Uncommon Pasteurella multocida Strains from Cattle in
North Central Nigeria. J Vaccines Vaccin 7.3

Shayegh J; Atashpaz S; Salehi T.Z; and Hejazi M.S. (2010) Potential of


Pasteurella multocida isolated from healthy and diseased cattle and
buffaloes in induction of diseases. Bull Vet Inst Pulawy 54 (299-304).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
71
SURVEILANS PENYAKIT SURRA PADA KUDA
DI JAKARTA UTARA TAHUN 2017

Inanusantri

Suku Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian


Kota Administrasi Jakarta Utara

ABSTRAK

Dalam rangka persiapan pelaksanaan Asian Games XVIII tahun 2018, telah dilakukan surveilans
pertama penyakit surra pada kuda di wilayah Jakarta Utara. Lomba ketangkasan kuda merupakan
salah satu olah raga yang di pertandingkan. Penyakit surra merupakan salah satu penyakit yang
harus bebas di areal EDFZ (Equine Disease Free Zone). Adapun kecamatan yang terdapat populasi
kuda di Jakarta Utara sebanyak 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan Koja dan
Kecamatan Kelapa Gading. Jenis sampel yang diambil berupa sample darah kuda di Jakarta Utara
pada tanggal 27 Juli 2017. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 17 sampel darah yang terdiri atas
Kecamatan Tanjung Priok 11 sampel, Kecamatan Koja 5 sampel dan Kecamatan Kelapa Gading 1
sampel. Jenis pengujian yang digunakan adalah uji Elisa yang dilaksanakan oleh Balai Veteriner
Subang. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengujian menunjukkan bahwa dari 17 sampel
yang diuji diperoleh semua sample seronegatip. Data ini menunjukkan bahwa seroprevalensi surra
pada kuda di Jakarta Utara sebesar 0%. Ini berarti tidak terdapat prevalensi antibodi penyakit surra
pada kuda yang berada di Jakarta Utara, hal ini perlu dipertahankan. Pengawasan lalulintas ternak
kuda kewilayah Jakarta Utara perlu diperhatikan, mengingat peternak sering mengganti kudanya
karena alasan ekonomi.Oleh karena itu diperlukan peran aktif dari instansi terkait untuk melakukan
sosialisasi untuk suksesnya Asian Games XVIII 2018.

Kata kunci :Surra, Surveilans dan Jakarta Utara

PENDAHULUAN

Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian masuk di dalam


susunan Panitia Daerah Pendukung Penyelenggaraan Asian Games XVIII
Tahun 2018 dalam Bidang Kesehatan dan Sosial sebagai anggota. Adapun
tugas Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian tertuang dalam
Keputusan Gubernur Nomor 790 Tahun 2017 tentang Panitia Daerah
Pendukung Penyelenggaraan Asian Games XVIII Tahun 2018 menyediakan
dukungan fasilitas medis pada kesehatan hewan kuda dalam penyelenggaraan
Equestrian serta melaksanakan koordinasi terkait zona bebas penyakit hewan
kuda di sekitar kawasan Equestrian. Zona bebas penyakit hewan kuda
mengacu kepada standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) yaitu
konsep Equine Disease Free Zone (EDFZ).

Adapun kegiatan yang dilakukan di tahun 2017 untuk mendukung dalam


proses pembentukan EDFZ seperti surveilans penyakit kuda. Surveilans
penyakit hewan pada kuda bekerja sama dengan Balai Besar Penelitian
Veteriner Bogor dan Balai Veteriner Subang. Salah satunya surveilans
penyakit Surra, yang bekerja sama dengan Balai Veteriner Subang.

Trypanosomiasis atau surra adalah penyakit parasit darah yang


disebabkan oleh agen Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui gigitan

72 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
lalat penghisap darah (haematophagus flies). Trypanosoma evansi adalah
merupakan salah satu penyakit hewan menular (PHM) penting pada ternak
kuda dan ruminansia besar, khususnya ternak sapi dan kerbau. Penyebaran
parasit protozoa Trypanosoma evansi ini sangat luas hampir diseluruh
pulau besar di Indonesia dan dapat menyerang berbagai jenis hewan ternak
dan satwa liar. Kejadian penyakit sangat bervariasi tergantung kepekaan
hewan dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Hewan unta, kuda dan anjing
sangat peka terhadap infeksi Trypanosama evansi, penyakit terjadi sangat
cepat, bersifat akut dan sangat fatal. Sedangkan ternak ruminansia (sapi,
kerbau, kambing, dan ruminansia lainnya) relatif lebih tahan dari serangan
penyakit umumnya berlangsung lebih lambat, bersifat kronis dan bahkan
tanpa menunjukkan gejala klinis/sub klinis. Akan tetapi penyakit dapat juga
bersifat akut dan mewabah pada ternak ruminansia tersebut ketika hewan
mengalami stres, misalnya karena dipekerjakan atau difungsikan terlampau
berat, akibat kekurangan pakan/air, dan faktor kondisi lingkungan kritis dan
cuaca yang ekstrim (Soulsby, 1982)

Secara historis, Trypanosoma Evansi pertama kali ditemukan oleh


Grifit Evans pada tahun 1880 pada unta dan bangsa kuda di Distrik Dara
Ismail Khan, Punjab, India dan selanjutnya diketahui mewabah pada kuda,
unta dan kerbau di beberapa wilayah di India. Selanjutnya pada akhir abad
19 dilaporkan telah menyebar ke beberapa negara diantaranya Turkestan,
Annam Selatan, Burma, Malaysia, Philipina dan Indonesia (Jawa dan
Sumatra). Dan di Vietnam mewabah pada tahun 1978 sampai tahun 1980an.
Dari populasi 650.000 ekor kerbau di Vietnam 20.000 ekor diantaranya
mati setiap tahunnya. Di Asia Tenggara penyakit ini dapat ditemukan pada
kuda, sapi dan kerbau. Di Indonesia kasus pertama kali dilaporkan tahun
1897 pada populasi kuda di Semarang, Jawa Tengah. Tahun 1898 terjadi
penyakit surra di Keresidenan Tegal, Jawa Tengah. Tahun 1901 terjadi wabah
penyakit surra di Keresidenan Pasuruan Jawa Timur. Pada tahun 1968-1969
wabah terjadi lagi di Jawa Tengah. Pada era yang sama wabah surra terjadi
dibeberapa daerah di Indonesia termasuk Flores Nusa Tenggara Timur tahun
1971. Sementara pada tahun 1974-1976 terjadi peningkatan penyakit surra
di Nusa Tenggara Barat (Sukanto,I.P.et al. 1992). Didalam sistem peredaran
darah T. Evansi mengambil glukosa sebagai sumber nutrisinya sehingga
apabila hewan terinfeksi tidak memperoleh asupan nutrisi yang baik maka
akan terjadi penurunan kadar gula dalam darah. Kemampuan T. Evansi
menghasilkan racun (trypanotoxin) dan melisiskan sel darah merah akan
mengakibatkan anemia pada inang.

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan diperkirakan mencapai ratusan


milyar rupiah setiap tahun akibat kematian hewan ternak, kehilangan tenaga
kerja, penurunan berat badan ternak, abortus dan akibat gangguan reprodksi
lainnya (Anonimus, 1991).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
73
TUJUAN

Adapun tujuan dari surveilans pertama penyakit surra ini adalah untuk
memperoleh informasi mengenai kasus Tripanosomiasis pada kuda di Jakarta
Utara dalam rangka pelaksanaan Asian Games XVIII, karena penyakit surra
merupakan salah satu penyakit yang harus bebas di areal EDFZ ( Equine
Disease Free Zone ).

MATERI DAN METODA

Materi

Data untuk penulisan ini diperoleh dari kegiatan survailans Equine


Disease Free Zone (EDFZ). Pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan
pada tanggal 27 Juli 2017. Sampel darah diambil dari kuda yang dipelihara
dari 3 Kecamatan di Jakarta Utara. Lokasi pengambilan sampel adalah
Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan Koja dan Kecamatan Kelapa Gading.
Surveilans penyakit surra pada kuda bekerja sama dengan Balai Veteriner
Subang. Sampel darah kemudian dibawa secara aseptis dan dingin ke Balai
Veteriner Subang untuk dianalisis. Sampel yang diperoleh adalah 17 sampel
darah.

Metode

Sampel darah kuda yang diambil dibiarkan membeku, serum yang


muncul dipisahkan dari darah dengan cara dituang kedalam mikrotube yang
bersih kemudian dibawa ke Laboratorium untuk diuji. Pengujian sampel
darah menggunakan metodei Enzyme Linkked Sorben Assays (ELISA).
Teknik Elisa bekerja dengan cara mendeteksi antibodi spesifik terhadap
trypanosoma. Prinsip metode ini adalah adanya reaksi antara enzim bertaut anti
immunoglobulin (enzyme-linked anti-immunoglobulins) dan antigen terlarut
pada ELISA plat. Enzym yang digunakan adalah peroxidase. Konjugat enzim
akan berikatan dengan kompleks antigen antibodi dan kemudian bereaksi
dengan substrad sehingga menghasilkan perubahan warna. Perubahan warna
terjadi akibat adanya ikatan dengan substrat. Intensitas warna dapat dibaca
melalui ELISA Reader sehingga menghasilkan nilai Opticak Density (OD)
sesuai dengan ada tidaknya antibodi

HASIL

Hasil pengujian secara serologis terhadap 17 sampel darah dari 3


Kecamatan di Jakarta Utara adalah sebagai berikut :

74 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Distribusi seroprevalensi antibodi Tripanosomiasis di Jakarta
Utara 2017

Kecamatan Jumlah Negatif Antibodi Positif Antibodi Seroprevalensi


Sampel Surra Surra

Tanjung Priok 11 11 0 0
Koja 5 5 0 0
Kelapa Gading 1 1 0 0
Total 17 17 0 0

Pada tabel 1 terlihat hasil pengujian surra pada masing-masing


kecamatan di Jakarta Utara. Jumlah sampel darah sebanyak 17 sampel yang
berasal dari 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan Koja
dan Kecamatan Kelapa Gading.

PEMBAHASAN

Pada tabel 1 terlihat hasil pengujian surra pada masing-masing


kecamatan di Jakarta Utara. Jumlah sampel darah sebanyak 17 sampel yang
berasal dari 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan Koja
dan Kecamatan Kelapa Gading. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
pengujian menunjukkan bahwa dari 17 sampel yang diuji diperoleh semua
sample seronegatip. Data ini menunjukkan bahwa seroprevalensi surra
pada kuda di Jakarta Utara sebesar 0%. Ini berarti tidak terdapat prevalensi
antibodi penyakit surra pada kuda yang berada di Jakarta Utara.

Hampir semua kuda yang di pelihara di Jakarta Utara digunakan sebagai


kuda delman, hanya ada 1 ekor kuda digunakan untuk tunggang. Kuda-
kuda delman tersebut dipelihara di areal yang tidak layak seperti kolong
tol, disamping timbunan sampah dan di areal tanah garapan yang tidak jelas
kepemilikannya. Pemilik kuda membuat bedeng/kamar sebagai tempat
tinggal persis disamping kandang. Hampir setiap hari kuda dipergunakan
sore hari, kecuali hari libur digunakan mulai pagi sampai petang.

Kejadian infeksi T. evansi telah tersebar luas di kebanyakan daerah


penghasil ternak di Indonesia dengan derajat seroprevalensi pada kerbau
lebih tinggi dari pada sapi di daerah pemeliharaan yang sama, sementara
pada kuda jauh lebih rendah dari pada sapi atau kerbau. Bervariasi derajat
prevalensi antibodi terhadap Trypanosomiasis/surra selain karena faktor
genetik (genetic host) . Juga faktor kondisi setiap individu hewan terutama
terkait manajemen pemeliharaan (Payne et al, 1991). Melihat kondisi
pemeliharaan kuda di Jakarta Utara yang sangat memprihatikan dengan
kondisi lingkungan yang digemari oleh vektor dan lalu lintas (menukar) kuda
sering dilakukan, maka sangat dikhawatirkan akan menjadi daerah tertular
penyakit surra.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
75
Terbentuknya antibodi oleh organ-organ pertahanan tubuh hewan yang
disekresikan kedalam sirkulasi darah merupakan pertanda khas adanya
respon imun terhadap adanya infeksi T. evansi (Luckins, AG, 1983). Respon
imun kuda terhadap infeksi T. evansi pada kuda kurang baik karena faktor
genetik, sehingga kuda sangat rentan terhadap serangan infeksi T. evansi
dan penyakit berlangsung cepat/perakut, akut dan gejala klinis yang dapat
diamati berupa demam, anemia, edema, pincang karena paralisis dan lebih
lanjut terlihat gejala syaraf berupa gerakan berputar. Apabila tidak segera
mendapat pengobatan yang tepat biasanya berakhir dengan kematian.

Tindakan pencegahan dan pengawasan lalulintas ternak di daerah bebas


harus dilakukan uji cepat, seperti MHCT, ulas darah dan pemeriksaan natif.
Apabila ditemukan kasus positif, maka ternak tersebut harus dimusnahkan
atau dikembalikan ke daerah asal setelah mendapat pengobatan dan
penyemprotan dengan insektisida. Apabila ditemukan kasus negatif, maka
ternak harus diisolasi/dikandangkan selama 2 – 3 bulan untuk diamati lebih
lanjut, sebelum dilepas. Selama periode isolasi dilaksanakan pemeriksaan
darah dengan interval waktu 2-3 minggu. Surveilans penyakit surra pada
kuda di Jakarta Utara dilakukan sebanyak 3 kali.

Penanganan hewan terinfeksi penyakit surra di daerah bebas adalah


pemusnahan (stamping out) ternak yang menderita penyakit ditujukan untuk
menghilangkan agen penyakit. Jika dilakukan pengobatan dapat dilakukan
pengobatan dapat digunakan drug of choice dengan bahan aktif suramin,
melarsomin dehidrocloride atau deminazen aciturat.

Secara umum pengendalian vektor dapat dilakukan dengan cara


penyemprotan menggunakan insektisida, pemasangan perangkap,
pengasapan dan menjaga kebersihan lingkungan kandang. Pengendalian
vektor lalat Tabanid (Tabanus spesies) ditujukan pada lalat dewasa dengan
cara melakukan penyemprotan di dinding kandang, semak-semak dan
pepohonan, sedangkan untuk lalat Muscid (Stomoxys calcitran. Hipobosca
sp dan lain-lain) ditujukan terutama pada telur dan larva dengan cara
penyemprotan feses ternak, selain penyemprotan lalat dewasa.

Equine Disease Free Zone (EDFZ) merupakan zona yang dinyatakan


bebas dari berbagai jenis penyakit spesifik pada kuda. Salah satu penyakit
pada kuda adalah penyakit surra. Penyakit surra merupakan penyakit yang
disebabkan oleh organisme protozoa trypanosoma, yang berenang-renang
di dalam darah hewan terinfeksi melalui gigitan lalat. Dari hasil suveilans
tidak terdapat penyakit surra pada kuda di Jakarta Utara. Ini berarti wilayah
Jakarta Utara bebas terhadap penyakit surra, yang berarti telah memenuhi
syarat EDFZ terhadap salah satu penyakit spesifik pada kuda.

76 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Berdasarkan surat Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementrian Pertanian Nomor 14044/PK/330?F/02/2018 tanggal 14 Februari
2018 tentang pemberlakuan Equine Disease Free Zone Provinsi DKI
Jakarta. Pemberlakuan dan penerapan Equine Disease Free Zone (EDFZ)
harus sudah dimulai sejak 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan kegiatan
Asian Games cabang olahraga berkuda, oleh karena itu sejak tanggal 15
Februari 2018, maka wilayah corn zone, surveillance zone dan Protection
zone diberlakukan ketentuan EDFZ.

Pembentukkan EDFZ meliputi Jakarta International Equistrian Park


(JIEP) Pulomas sebagai zona inti (corn zone), wilayah propinsi Jakarta
lainnya (kecuali Kabupaten Kepulauan Seribu) sebagai zona surveilans
(surveillance zone) dan wilayah kabupaten Bogor, Depok, Tanggerang serta
Bekasi sebagai zona perlindungan (protection zone).

Pembentukkan EDFZ merupakan kegiatan kolaborasi antara pemerintah


provinsi DKI Jakarta dengan Kementerian Pertanian, Indonesian Asian
Games Organizing Commitee (INASGOC), PT Pulomas Jaya, Pordasi
dibantu oleh seorang konsultan yang direkomendasikan OIE yaitu Susane
Munstermann

Dalam penerapan EDFZ di wilayah Jakarta Utara perlu dilakukan:


1. Melakukan pengawasan dan pengendalian kuda secara ketat di lokasi
pemeliharaan kuda.
2. Melarang masuknya kuda baru.
3. Pengosongan aktivitas kuda pada radius 8-10 Km dari JIEP Pulomas
Jakarta Timur.
4. Terkait pelaksanaan Asian Games yang bertepatan dengan Idul Adha
tahun 2018 diterbitkan instruksi 123 tahun 2017 tentang pengendalian
penampungan dan pemotongan hewan radius 1 km dari equistrian venue
Pulomas dalam rangka dukungan menjelang Asian Games XVIII tahun
2018.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari 3 kecamatan hasil surveilan penyakit surra di Jakarta Utara tahun


2017 dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Seroprevalensi surra pada kuda di Jakarta Utara sebesar 0%. Ini berarti
tidak terdapat prevalensi antibodi penyakit surra pada kuda yang berada
di Jakarta Utara.
2. Wilayah Jakarta Utara bebas terhadap penyakit surra, yang berarti telah
memenuhi syarat EDFZ terhadap salah satu penyakit spesifik pada
kuda.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
77
Saran

1. Sejak diterapkannya ketentuan EDFZ pada tanggal 15 Februari 2018,


maka kuda dilarang masuk ke Wilayah DKI Jakarta. Hal itu perlu
ditegaskan kepada pemilik kuda mengingat mereka sering menukar
kudanya dengan alasan ekonomi.
2. Terkait pelaksanaan Asian Games bertepatan dengan Idul Qurban maka
perlu pemberitahuan sedini mungkin kepada masyarakat (penjual hewan
qurban, pemilik lahan, pengurus masjid/musolla) yang berada radius 1
Km dari equistrian venue untuk tidak melakukan penampungan dan
pomotongan hewan qurban dalam rangka mendukung penyelenggaraan
Asian Game XVIII tahun 2018.
3. Monitoring penyakit surra hendaknya terus dilakukan mengingat
penyakit tesebut mudah menular dan peternak sering mengganti
kudanya.

KETERBATASAN

Keterbatasan dalam kegiatan surveilans ini adalah tidak adanya pemilik


kuda ketika petugas datang dan sulitnya penanganan kuda untuk diambil
sampel darahnya. Selain itu ada beberapa ekor kuda yang masih berada
diluar kota karena dibawa oleh pemiliknya untuk mudik lebaran, dan kuda
diberdayakan di daerah wisata pantai selama liburan Idul Fitri.

DAFTAR PUSTAKA

Anominus, 1991. Data Ekonomi Akibat Penyakit Hewan Tahun 1990.


Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan,
Departemen Pertanian, Jakarta.

Luckins A.G, 1983. Development Serological Assay for Studies on


Trypanosomiasis of Livestock in Indonesia. Consultan Report No. 13
Research Institut for Veterinary Science, Bogor. Pp. 6-8

Payne. R.C Sukamto, I.P, Djauhari, D, Partoutomo, S., Jone, TW;Luckins,A.J


and Boid,R.,1991. Trypanosoma evansi infection in cattle, buffalo and
horses in Indonesia. Veterinary Parasitology, 38.253-256

Soulsby, E.J.L, 1996. Helminths Anthropods and Protozoa of Domesticated


Animals, 7th Edition, Bailliere Tindall, Britis.

Sukanto, I.P; R.C. Payne, Saroso, H. Yusuf, S.H. dan Graydon, R., 1989..
Penyakit Hewan, Survey Parasitologik dan Serologik Trypanosomiasis
di Madura Vol.XX, No.36: 85 – 87.

78 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KAJIAN SINDROM PRIORITAS GGA DALAM ISIKHNAS DAN
PROGRAM VAKSINASI RABIES DI PROVINSI
KALIMANTAN BARAT
Purnama Martha Oktavia Simanjuntak, Ahmad Mike Ariyanto

Subdit Pengamatan Penyakit Hewan - Direktorat Kesehatan Hewan, Dinas Pangan, Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat

ABSTRAK

Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah bebas Rabies yang ditetapkan Menteri Pertanian
tahun 2014 namun menjadi daerah tertular Rabies serta menjadi daerah Kejadian Luar Biasa (KLB)
Rabies pada tahun yang sama sampai saat ini. Tujuan studi adalah untuk mengetahui jumlah dan
distribusi sindrom GGA di Provinsi Kalimantan Barat, mengetahui cakupan program vaksinasi
Rabies di Provinsi Kalimantan Barat, serta membandingkan data vaksinasi Rabies di iSIKHNAS
dengan data yang tersedia di Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan
Barat. Metode studi dilakukan dengan mengunduh data laporan iSIKHNAS no.392 dan no.407,
serta data dari dinas terkait, kemudian dilakukan pengolahan data menggunakan Microsoft Excel.
Hasilnya pada tahun 2017 sindrom gila galak (GGA) terlaporkan sebanyak 150 kasus gigitan dengan
kasus gigitan tertinggi dilaporkan di Kabupaten Kapuas Hulu, sedangkan di Kota Pontianak dan Kota
Singkawang tidak dilaporkan adanya kasus gigitan. Vaksinasi Rabies berdasarkan data iSIKHNAS
memiliki cakupan berkisar dari 0.017% sampai dengan 1.051%, sedangkan menurut data dinas
terkait cakupan vaksinasi berkisar dari 3.20% sampai dengan 88.67%.

Kata Kunci : Rabies Kalimantan Barat; GGA; vaksinasi; iSIKHNAS.

PENDAHULUAN

Rabies atau yang dikenal juga dengan nama hydrophobia dan lyssa
adalah encephalitis akut yang disebabkan oleh virus dalam genus Lyssavirus
famili Rhabdoviridae, bersifat zoonosis dan hampir seluruhnya fatal tanpa
penanganan post-exposure prophylaxis (PEP) yang tepat. Rabies bermula
sekitar 3000 SM dari kata ‘rabha’ yang berarti kekejaman. Rabies adalah
salah satu zoonosis yang paling khas yang diketahui dengan baik selama lebih
dari 4300 tahun (Takayama, 2008). Rabies bagi sebagian negara berkembang
masih dinilai sebagai penyakit yang terlupakan atau disepelekan (neglected
disease) karena Rabies pada hewan dianggap tidak merugikan secara
ekonomi. Jika dikaji lebih lanjut diketahui bahwa kerugian akibat Rabies
terkait multisektor. Kerugian akibat Rabies di negara-negara berkembang
tidak hanya karena kematian anjing dan manusia. Infeksi Rabies pada ternak
di daerah pedesaan akan menyebabkan kerugian ekonomi akibat menurunnya
produktifitas dan kematian ternak. Akibatnya terjadi penurunan pendapatan
bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari peternakan (Wera et
al, 2013). Rabies juga dapat menimbulkan keresahan sosial di masyarakat,
penurunan angka kunjungan wisatawan, dan meningkatnya angka kesakitan
pada manusia. Negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum
mampu memberantas Rabies karena rendahnya prioritas terhadap penyakit
ini, baik dari kesehatan manusia maupun kesehatan hewan.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
79
Vaksinasi sebagai program utama dilakukan dengan target setidaknya
70% dari populasi anjing di wilayah endemik agar didapat kekebalan
kelompok yang cukup untuk mengendalikan penyakit rabies dan kontrol
populasi dilakukan dengan pembatasan gerak, kontrol habitat dan kontrol
reproduksi (World Health Organization, 2005). Vaksinasi pada anjing telah
menjadi program yang memberikan hasil yang berarti untuk mengendalikan
Rabies di beberapa negara endemis (Kamoltham et al., 2003, Cleaveland et
al, 2003 dan Belotto et al, 2005).

Provinsi Kalimantan Barat ditetapkan sebagai daerah bebas Rabies oleh


Menteri Pertanian tahun 2014 namun pada tahun yang sama kembali menjadi
daerah tertular rabies dan sampai saat ini juga berstatus KLB. Sebanyak 24
penduduk di Provinsi Kalimantan Barat meninggal akibat Rabies pada tahun
2017.

TUJUAN

Tujuan dari kegiatan ini adalah:


1. Mengetahui jumlah dan distribusi sindrom GGA pada anjing di Provinsi
Kalimantan Barat.
2. Mengetahui cakupan program vaksinasi Rabies pada anjingdi Provinsi
Kalimantan Barat.
3. Membandingkan data vaksinasi Rabies pada anjing di iSIKHNAS
dengan data yang tersedia di Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2017.

MATERI DAN METODE

Data sindrom prioritas dapat diperoleh melalui data laporan ISIKHNAS


no. 392 sedangkan data mengenai program vaksinasi dapat diperoleh melalui
data laporan ISIKHNAS no. 407. Data dilengkapi dengan data populasi anjing
tahun 2017 dari Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Kalimantan Barat, serta data populasi manusia tahun 2017 dari Badan Pusat
Statistik Provinsi Kalimantan Barat sebagai informasi tambahan. Seluruh
data diolah menggunakan excel dan quantum GIS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pada tahun 2017 sindrom gila galak (GGA) merupaka sindrom prioritas
yang paling banyak dan satu-satunya yang dilaporkan melalui iSIKHNAS
seperti pada Gambar 1a. Gila galak yang dilaporkan berdasarkan adanya
gigitan anjing pada manusia yaitu sebanyak 108 kasus gigitan. Kasus gigitan
tertinggi dilaporkan di Kabupaten Kapuas Hulu, sedangkan di Kota Pontianak
dan Kota Singkawang tidak dilaporkan adanya kasus gigitan seperti terlihat
pada Gambar 1b.
80 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
            

            




Gambar 1a. Grafik Laporan Sindrom Prioritas di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2017 melalui iSIKNAS; Diagram 1b. Pie persentase
gigitan anjing di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017

Vaksinasi Rabies telah dilakukan di semua kabupaten/kota di wilayah


Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2017. Vaksinasi Rabies berdasarkan
data iSIKHNAS memiliki cakupan berkisar dari 0.017% sampai dengan
1.051%, sedangkan menurut data dinas terkait cakupan vaksinasi berkisar
dari 3.20% sampai dengan 88.67% (Tabel 1).

Tabel 1. Data vaksinasi Rabies pada anjing di Provinsi Kalimantan Barat


Tahun 2017

Cakupan
HPR Cakupan Vaksinasi
Populasi tervaksin Vaksinasi (Data
No Kab/Kota (Data iSIKHNAS)
Anjing Dinas)
(Ekor) (%) (%)
1 Ketapang 9,869 5750 58.26 0.19
2 Melawi 9,870 4,920 49.85 0.29
3 Sintang 10,357 5,903 57.00 0.10
4 Kapuas Hulu 15,211 13,487 88.67 0.60
5 Bengkayang 29,714 950 3.20 0.16
6 Sanggau 39,341 8,868 22.54 0.17
7 Sekadau 12,101 6,808 56.26 0.41
8 Landak 53,851 23,000 42.71 0.02
9 Mempawah 16,676 4,300 25.79 0.14
10 Singkawang 5,730 2,500 43.63 0.02
11 Pontianak 4,270 1648 38.59 0.07
12 Kubu Raya 3,680 617 16.77 0.11

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
81
Cakupan
HPR Cakupan Vaksinasi
Populasi tervaksin Vaksinasi (Data
No Kab/Kota (Data iSIKHNAS)
Anjing Dinas)
(Ekor) (%) (%)
13 Kayong Utara 1,522 1,000 65.70 1.05
14 Sambas 5,925 1,000 16.88 0.12
  218,117 80,751 37.02 0.37

Terdapat perbedaan antara data di iSIKHNAS dengan data manual


yang terdapat di Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Kalimantan Barat dengan selisih yang cukup besar.

PEMBAHASAN

Pelaporan penyakit hewan melalui iSIKHNAS sangat membantu


deteksi penyakit hewan yang ada di Indonesia. Penyakit hewan prioritas
dapat dilaporkan dengan menggunakan sindrom P agar mendapatkan
respon secepat mungkin. Pelaporan populasi sebenarnya sudah tersedia di
iSIKHNAS namun masih terkendala identifikasi hewan. Perlu sebuah sistem
identifikasi hewan yang baik agar tidak terjadi pelaporan anjing yang sama
lebih dari satu kali ke dalam iSIKHNAS.

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan


Barat pernah menyatakan pada bulan Juni 2017 bahwa terdapat tiga wilayah
yang masih bebas Rabies di Kalimantan Barat yaitu Kota Pontianak, Kota
Singkawang, dan Kabupaten Sambas. Namun melihat data pelaporan sindrom
prioritas di iSIKHNAS diketahui bahwa terdapat satu gigitan di Kabupaten
Sambas. Program vaksinasi Rabies telah dilakukan di seluruh kabupaten/
kota di Provinsi Kalimantan Barat termasuk di daerah yang dinyatakan bebas
untuk mengendalikan Rabies. Jika dibandingan dengan data populasi anjing,
maka cakupan vaksinasi yang dilaksanakan masih sangat jauh dari idealnya
(70%) karena masih berkisar 0.017% sampai dengan 1.051%.

Gambar 2 Peta Geografis Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017 : a. Populasi anjing; b. Jumlah Gigitan anjing; c. Insidensi gigitan anjing

Gambar 2. Peta Geografis Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017 : a. Populasi
             
anjing;
 b. JumlahGigitan anjing; c. Insidensi gigitan
 anjing
 
            
            

Prosiding
  Penyakit
Penyidikan   
Hewan 
Rapat dan
Teknis  
Pertemuan  (RATEKPIL)
Ilmiah   
82             
     dan Surveilans 
 Kesehatan
Hewan Tahun 2018
    
             
             
          
          
Peta populasi, jumlah kasus gigitan, dan insidensi tidak menunjukkan
adanya pola tertentu. Namun jika dapat diperoleh data pelengkap lainnya
ada kemungkinan diketahui penyebab jumlah kasus gigitan yang tergolong
banyak justru ditemukan pada daerah dengan populasi anjing yang rendah.
Demikian pula dengan insidensi kasus gigitan anjing, ada kecenderungan
insidensinya lebih tinggi di daerah Selatan daripada di daerah Barat. Data
lainnya yang perlu dilengkapi antara lain sistem pemeliharaan anjing
(diliarkan atau tidak), sikap dan perilaku masyarakat terhadap anjing di
wilayah tersebut, penggolongan penduduk berdasarkan usia, serta tujuan
pemeliharaan anjing. Data yang dilaporkan di iSIKHNAS juga sangat
dipengaruhi oleh keaktifan petugas dinas setempat di daerah tersebut
serta ada tidaknya program lain yang menjadi prioritas di daerah tersebut.
Rendahnya data program vaksinasi Rabies di iSIKHNAS dapat disebabkan
karena berbagai hal, misalnya terbatasnya kemampuan penyediaan vaksin,
kekurangan petugas vaksinasi, atau dapat disebabkan tidak dilaporkannya
vaksinasi yang dilakukan melalui iSIKHNAS.

KESIMPULAN

1. Sindrom GGA masih cukup banyak dilaporkan di Provinsi Kalimantan


Barat namun jumlahnya dengan laporan manual
2. Cakupan program vaksinasi di Provinsi Kalimantan Barat belum merata
di seluruh Kabupaten/Kota dan jumlahnya secara total masih sangat
rendah
3. Belum seluruh sindrom GGA dan program vaksinasi dilaporkan melalui
iSIKHNAS

SARAN

1. Diperlukan komitmen petugas yang melaporkan sindrom ke iSIKHNAS


agar data di iSIKHNAS lebih lengkap
2. Program vaksinasi Rabies di Provinsi Kalimantan Barat harus lebih
digalakkan agar mencapai cakupan minimal 70% populasi.
3. Perlu diketahui faktor risiko lainnya yang dapat mempengaruhi
terjadinya kasus gigitan anjing di Provinsi Kalimantan Barat sehingga
dapat dibuat program pengendalian dan pencegahan gigitan yang sesuai.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
83
DAFTAR PUSTAKA

Belotto, A., Leanes, L.F., Schneider, M.C., Tamayo, H., dan Correa, E., 2005.
Overview of rabies in the Americas. Virus Research 111 : 5-12.

Cleaveland, S., Kaare, M., Tiringa, P., Mlengeya, T., dan Barrat, J., 2003.
A dog rabies vaccination campaign in rural Africa: impact on the
incidence of dog rabies and human dog-bite injuries. Vaccine 21:
1965–1973.

Kamoltham, T., Singhsa, J., Prosaranee, U., Sonthon, P., Mathean, P. dan
Thinyounyong, W., 2003. Elimination of human rabies in a canine
endemic province in Thailand : five – year programme. Bulletin of the
World Health Organization 81:375-381.

Takayama, N., 2008, Rabies: a preventable but incurable disease, J Infect


Chemother 14:8–14, DOI 10.1007/s10156-007-0573-0.

Wera, E., Velthuis, A. G. J., Geong, M., Hogeveen, H., 2013, Costs of Rabies
Control: An Economic Calculation Method Applied to Flores Island,
PLoS One.; 8(12): e83654., doi: 10.1371/journal.pone.0083654.

World Health Organization, 2005. WHO expert consultation on rabies : first


report. World Health Organization, Technical report series 931.

84 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
SURVEILANS BRUCELLOSIS DI MADURA TAHUN 2017 DAN
RENCANA STRATEGIS PENERAPAN SISTEM INFORMASI
KESEHATAN HEWAN
GEOGRAPHICAL INFORMATION SYSTEM (GIS)
Imam Rochadi 1, Vivy Eny Martuti 2

Medik Veteriner – UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura

ABSTRACT

Brucellosis is a disease of economic and reproductive disorder that is zoonotic and has an impact
on the productivity of cattle population in Madura. Laboratory UPT Livestock Breeding and Animal
Health Madura Animal Husbandry Office of East Java Province in collaboration with Veterinary
Center Wates Jogjakarta has been conducting surveillance brucellosis since 2011-2017. Madura
Island declared free against Brucellosis in cattle according to Minister of Agriculture Decree no. :
237 / Kpts. / PD.650 / 4/2015 issued on April 7, 2015, on the statement of Madura Island, East Java
Province free from bucellosis disease in Madura cattle. Surveillance in 2017 aims to monitor the
Madura region to maintain brucellosis-free status in Madura cattle, early warning system and run
a national animal health information system. Surveillance in 2017 is using the method of Sampling
for Detect Disease in four districts of Bangkalan, Sampang, Pamekasan and Sumenep. Examination
of madura cow serum samples by Rose Bengat Test (RBT) was followed by Complement Fixation
Test (CFT) and Polymerase Chain Reaction (PCR) with a target sample of 3,000 head of cattle. The
realization of implementation from January to December 2017 has been tested as many as 3,000
samples of madura calf serum with negative results of brucellosis (p <0.05) and prevalence of 0.0%
(table 1). If there is a positive test result RBT will be confirmed on BBVet Wates for CFT and PCR test.
Then the results of collaboration with Veterinary Center Wates Jogjakarta has tested as many as 1,000
tails and with the result 1000 Brucellosis negative samples (p <0,05) with prevelansi 0,0% (table 2).
Sample data processing information system using infolab as basic data isihknas 2017. To know the
potential of incident and spreading pattern after free Madura brucellosis determination using spatial
data base and map appearance descriptively combined with Data Management Investigation Mobile
(MAGPI) data system which is compatible with Geographic Information System (GIS).

Key word : Surveillance, Brucellosis, GIS

ABSTRAK

Brucellosis adalah suatu penyakit ekonomi dan gangguan reproduksi yang bersifat zoonosis dan
berdampak pada produktifitas menurun populasi sapi di Madura. Laboratorium UPT Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur yang bekerja sama
dengan Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta telah melaksanakan surveillence brucellosis sejak
tahun 2011-2017. Pulau Madura dinyatakan bebas terhadap Brucellosis pada sapi menurut SK
Menteri Pertanian No. : 237/Kpts./ PD.650/4/2015 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2015,
tentang pernyataan Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur bebas dari penyakit bucellosis pada sapi
Madura. Surveilans pada tahun 2017 bertujuan monitoring wilayah Madura untuk mempertahankan
status bebas brucellosis pada sapi Madura, kewaspadaan dini penyakit (early warning system) serta
menjalankan sistem informasi kesehatan hewan nasional. Surveilans tahun 2017 ini mengunakan
metode Sampling for Detect Disease di empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan
dan Sumenep. Pemeriksaan sampel serum sapi madura dengan metode uji Rose Bengat Test (RBT)
dilanjutkan dengan uji Complement Fixation Test (CFT) dan Polymerase Chain Reaction (PCR)
dengan target sampel sebanyak 3.000 ekor sapi. Realisasi penyelenggaraan dimuali bulan Januari
hingga Desember 2017 telah diuji sebanyak 3.000 sampel serum sapi madura dengan hasil negatif
brucellosis (p<0,05) dan prevalensi 0,0% (tabel 1). Jika terdapat hasil hasil uji positif RBT akan
dikonfirmasikan di BBVet Wates untuk uji CFT dan PCR. Kemudian hasil kolaborasi dengan Balai
Besar Veteriner Wates Jogjakarta telah menguji sebanyak 1.000 ekor dan dengan hasil 1000 sampel
serum negatif Brucellosis (p<0,05) dengan prevelansi 0,0% (tabel 2). Sistem informasi pengolahan
data sampel menggunakan infolab sebagai data dasar isihknas 2017. Untuk mengetahui potensi
kejadian serta pola penyebaran pasca penetapan Madura bebas brucellosis menggunakan data base

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
85
spasial dan penampilan peta secara diskriptif yang dikombinasikan dengan sistem data Manajemen
Data Investigation Mobile (MAGPI) yang sangat kompatibel dengan Geographic Information
System (GIS)

Kata Kunci : Surveilans, Brucellosis, GIS

PENDAHULUAN

Madura merupakan pulau yang memiliki populasi sapi terbesar dan


sangat potensial dalam kesediaan bibit sapi potong di Jawa Timur pada
tahun 2017. Badan pusat statistik Jawa Timur pada tahun 2017 mencatat
jumlah pupulasi sebanyak 905.313 ekor tersebar di 4 kabupaten, yakni :
Bangkalan (205.181 ekor), Sampang (196.807 ekor), Pamekasan (142.463
ekor) dan Sumenep (360.862 ekor). Selain itu di Pulau Sapudi dicanangkan
sebagai pulau sapi dan untuk melestarikan plasma nutfah yang merupakan
aset besar bagi Negara dan Provinsi Jawa Timur merupakan kantong ternak
pertama di Indonesia. Sebagai sentra sapi dengan populasi mencapai 98%
dari populasi nasional, Madura menghadapi masalah brucellosis dengan
angka prevalensi yang masih cukup tinggi. Status bebas penyakit brucellosis
yang merupakan penyakit hewan menular strategis (PHMS) sesuai
Peraturan Menteri Pertanian Nomor. 59/ Permentan/HK.060/8/2007 perlu
dipertahankan kelangsungannya oleh Laboratorium keswan dan kesmavet di
UPT. Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan
Provinsi Jawa Timur. Surveilans brucellosis dilakukan di Laboratorium
serologi UPT Madura yang telah mendapat sertifikat ISO 17025 yang
bekerja sama dengan Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Veteriner Wates
Jogjakarta telah dilaksanakan sejak tahun 2011-2017.

Brucellosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri


genus Brucella dan dikategorikan oleh OFFICE INTERNATIONAL DES
EPIZOOTIES (OIE) sebagai penyakit zoonosis (ALTON et al., 1988). Bakteri
Brucella oleh WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO) diklasifikasikan
sebagai mikroba kelompok BSL III (OIE, 2004). Setiap spesies Brucella
mempunyai hewan target sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada
sapi. Brucellosis pada hewan betina yang terinfeksi biasanya asimptomatik,
sedangkan pada hewan bunting dapat menyebabkan plasentitis yang berakibat
terjadinya abortus pada kebuntingan bulan ke-5 sampai ke-9. Jika tidak
terjadi abortus, bakteri Brucella dapat dieksresikan ke plasenta, cairan fetus,
kelenjar susu, kelenjar getah bening, leleran vagina (OIE, 2004). Infeksi
pada hewan terjadi secara persisten seumur hidup, dimana kuman Brucella
dapat ditemukan di dalam darah, urin, susu dan semen (BRUCELLOSIS
FACT SHEET, 2003). Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi yang
besar di Wilayah ataupun Negara (Blood and Radostits, 1994). Kerugian
ekonomi akibat brucellosis pada sapi dapat terjadi antara lain karena sterilitas,
infertilitas, kematian dini anak sapi dan penurunan hingga penghentian
produksi. (Ristic & McIntyre, 1981).

86 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tingginya populasi serta sanitasi dan higiene kandang yang kurang
memadai memudahkan penularan penyakit melalui kontak langsung. Selain
itu tidak telihatnya gejala klinis pada ternak reaktor brucellosis (Noor, 2006).
Penularan sangat dimungkinkan dengan adanya mobilitas ternak yang begitu
tinggi dari Jawa ke Madura melalui pelabuhan kecil di sekitar pulau Madura.
Kejadian kasus Brucellosis pada sapi di Madura masih belum banyak, yakni
pada tahun 2011 terdapat 2 positif brucellosis di Kabupaten Bangkalan dan
Sampang dan pada tahun 2014 terdapat 1 positif brucellosis di Kabupaten
Bangkalan pada Sapi Perah (Samkhan, 2011 dan 2014).

Pada tahun 2015 setelah Madura menjadi wilayah yang bebas


brucellosis, maka untuk menjaga potensi penularan masih perlu diadakan
monitoring untuk mempertahankan wilayah bebas dan mensukseskan
Program Pemerintah yakni Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan (GBIB),
Program Gangguan Reproduksi (PGR) serta Program Upaya Khusus
Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB). Kegiatan surveilans ini
berdampak signifikan dalam meningkatkan populasi dan persediaan sapi
dalam skala Nasional. Wilayah Indonesia yang masih belum bebas zoonosis
dapat menjadikan Madura sebagai acuan untuk melaksananakan program
surveilans bebas brucellosis sehingga berdampak pada meningkatnya
produksi ternak dan laju ekonomi yang meningkat. Program ini efektif untuk
mencegah zoonosis, pengamatan lalu lintas ternak, prevalensi wilayah serta
penentuan kebijakan lanjutan. Penyajian data hasil surveilans berupa infolab
dan isihknas 2017 dan berbasis Geographical Information System (GIS).
Informasi pengolahan data dapat dilakukan dengan cara on line melalui
Manajemen Data Investigation Mobile (MAGPI) yang kompatibel dengan
Geographic Information System (GIS) dan mudah untuk diaplikasikan secara
nasional maupun internasional.

TUJUAN

Tujuan Surveilans :
1. Memantau dalam rangka mempertahankan Status Bebas Brucellosis
pada sapi di Pulau Madura.
2. Menghitung tingkat prevalensi brucellosis dan tindakan kuratif preventif
jika ada kasus positif brucellosis.
3. Peningkatan populasi ternak sapi potong sapi Madura sebagai ketahanan
pangan hewani.
4. Surveilans berbasis sistem informasi geografis dapat mengendalikan
penyakit brucellosis yang berpotensi zoonosis dan pencegahannya.
5. Daerah di Indonesia yang belum bebas brucellosis dan zoonosis dapat
segera melaksanakan program surveilans pembebasan wilayah.
6. Pengawasan ekonomi perdagangan melalui lalu lintas ternak yang
terdapat di Madura.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
87
MATERI DAN METODE

Materi

Materi pada Surveilans ini adalah sampel serum darah sapi diuji dengan
Rose Bengal Test (RBT) dikonfimasi dengan Complement Fixation Test
(CFT) dan Polymerase Chain Reaction (PCR) Pengujian RBT dilakukan
Laboratorium Serologi UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan
Madura dan uji konfirmasi CFT dan PCR sebagai uji konfirmasi Brucellosis
di Balai Besar Veteriner Wates
Data yang diambil pada Surveilans Brucellosis ini adalah :
- Data primer dari hasil pengujian sampel dengan Rose Bengal Test (RBT)
dan Polymerase Chain Reaction (PCR)
- Data sekunder berupa kuesioner mencakup identitas dan alamat
peternak, kepemilikan sapi serta bangsa, umur dan kelamin sapi.

Metode :

Pengambilan spesimen dalam rangka Surveilans Brucellosis di keempat


Kabupaten di Madura dengan metode Sampling for Detect Disease, yakni
pengambilan sampel secara Proposive Sampling (Martin et al, 1987),
diambil berdasarkan risiko dasar yang ada dan pernah didapat selama survei
di madura sejak tahun 2011, resiko kemungkinan menyebabkan kejadian
kasus brucellosis di madura, antara lain :
- Kelompok peternak sapi Madura dan non Madura binaan UPT Madura
dan dinas kabupaten.
- Pusat perdagangan sapi, pasar sapi yang sering diperdagangkan sapi non
madura.
- Pusat penampungan sementara hewan transit di pelabuhan sekitar
wilayah Madura.
- Peternak sapi perah yang kemungkinkan akan melalulintaskan ternak
dari jawa ke madura.
- Daerah yang sejak tahap I survei 2011 s/d. 2014 pernah positif uji RBPT
dan CFT, dusun yang pernah terjadi kasus dan dusun sekitarnya diambil
sampelnya.
- Daerah yang terdapat sapi campuran antara sapi madura dan non madura.
- Tempat yang pernah diinformasikan oleh peternak terdapat keguguran,
kesulitan melahirkan, lama tidak terjadi kebuntingan dan mengalami
gangguan reproduksi lain-nya.
- Informasi melalui on line dengan sistem Manajemen Data Investigation
Mobile (MAGPI) yang kompatibel dengan Geographic Information
System (GIS) untuk menentukan lokasi yang berpotensi secara
epidemiologi terdapat penyakit Brucellosis.

88 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TAHAPAN STRATEGI SAMPLING, adalah sbb :
1. Polulasi Target
2. Kerangka Sampling
3. Jumlah Besaran Sampel
4. Metode Sampling

Ad. 1. POPULASI TARGET (Target Population)


Populasi Target pada Survei “Surveillance of Detect Disease” adalah
populasi keseluruhan Sapi di Pulau Madura sebanyak 905.313 ekor, yang
mempunya andil masuknya kembali Brucellosis ke Madura, yang mempunyai
potensi menyebabkan terinfeksinya sapi oleh Penyakit Brucellosis, dengan
rincian :
- Kabupaten Bangkalan sebanyak 205.181 ekor
- Kabupaten Sampang sebanyak 196.807 ekor
- Kabupaten Pamekasan sebanyak 142.463 ekor
- Kabupaten Sumenep sebanyak 360.862 ekor

Ad. 2 KERANGKA SAMPLING (Sampling Frame)


Diperlukan struktur populasi sapi potong di setiap desa di 4 (empat)
Kabupaten, yang terdapat populasi sapi potongnya (Sumber dari Dinas yang
membidangi Peternakan setempat), secara targeted sampling dari beberapa
desa di ke 4 (empat) Kabupaten, yakni :
- Kabupaten Bangkalan 18 Kecamatan terdiri dari 247 desa
- Kabupaten Sampang 14 Kecamatan terdiri dari 186 desa
- Kabupaten Pamekasan 13 Kecamatan terdiri dari 179 desa
- Kabupaten Sumenep 27 Kecamatan terdiri dari 321 desa

Ad. 3 JUMLAH BESARAN SAMPEL (Sample Size)


Jumlah Besaran Sampel dihitung dengan formula “Sampling for Detect
Disease” dengan menggunakan Program Survey Toolbox, Populasi Target
905.313 ekor, dengan Tingkat Sensitifitas uji RBT sebesar 79.9% dan
Spesifisitas 99.6% (Susanti, 2013). Kejadian Detect Disease Brucellosis
pada Tahap I di Madura tahun 2014 dari 4.053 ekor sapi, terdapat 1 ekor
positif Brucellosis (0.025). Maka dari hasil hitungan dengan menggunakan
Program Survey Toolbox tersebut, memerlukan sampel sebanyak 4.000 ekor
untuk sampel Pulau Madura.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
89
Gambar 1. PROGRAM SURVEY TOOLBOX (FreeCalc Version 2)



Ad. 4 METODE SAMPLING (Sampling Methods)

           
 Menerapakan
 
“Sampling for

Detect  
Disease” yakni dengan 
cara 

proporsive sampling atau Targeted Sampling yang ditentukan berdasarkan

 risiko (Samkhan dkk, 2014) sebelumnya dan mendatangi lokasi peternak di


dusun yang terpilih, mengambil sampel serum darah pada semua kepemilikan
sapi di peternak yang terpilih tersebut serta melakukan wawancara langsung

  pada peternak dengan
  kuesioner.
       


METODE PELAKSANAAN SURVEILANS :

LAPANGAN :


1. Pengambilan sampel secara Targeted dari desa dan dusun yang terpilih.

 2. Menghimpun
 data 
   sekunder
 melalui
kuesioner
dengan variable
   yang
 
 mendukung terjadinya brucellosis pada sapi.
   3.  
Pengambilan sampel yang
 
pada survei 
terdahulu 
positif uji  
RBPT.
             
4. Pengambilan sampel di pasar dan tempat penampungan sapi.
  5.
Daerah
yang banyak
 sapi non
  madura.
       


6. Pengambilan sampel pada daerah pelabuhan kecil yang tidak terpantau
oleh UPT Madura.



LABORATORIUM :

1. Semua
   sampel serum
   darah sapi
  yang
 diambil dilakukan
 pengujian
  Rose
 
Bengal Test (RBT) terhadap Brucellosis.

    
2. Dari uji RBPTyang
dinyatakan (+) 
positif,  uji
dilakukan konfirmasi
 

dengan uji
    Complement
  Fixation Test (CFT)
 dan Polymerase
 Chain 
 
Reaction (PCR) sebagai uji konfirmasi Brucellosis di Balai Besar

 Veteriner Wates

  3. Daerah
 yang pernah
 terjadi
 kasus positif
  baik RBPT
 maupun
 CFT  

dan sekitar dusun kejadian kasus, diambil ulang 3-4 minngu sesudah

            
dinyatakan positif oleh Laboratorium.


90 Prosiding

Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)

dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
             
             
            
MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA STATISTIK :
1. Analisis Data dengan menggunakan Program Statistik Student Edition
2002.
2. Data yang diambil berupa :
- Data Primer : data hasil uji RBPT
- Data Skunder : data kuesioner yang didapat sewaktu tanya jawab
dengan peternak untuk karakteristik system peternakan, sapi serta
tatalaksana pemeliharaan dan kesehatan.
3. Data Primer dan Sekunder dibuat himpunan data (dataset) secara manual
dan computerized dengan Program Infolab dan Isihknas sebagai lembar
hasil uji.
4. Data hasil pengujian diinput melalui Data Investigation Mobile
(MAGPI) yang kompatibel dengan Geographic Information System
(GIS) untuk penetapan lokasi epidemiologi brucellosis di Madura

HASIL DAN DISKUSI

Hasil :

1. Tersedianya data dan informasi aktual serta mutakhir tentang kejadian


infeksi Brucellosis pada sapi diseluruh kawasan peternakan di wilayah
Madura.
2. Implikasi dari pembebasan Brucellosis di Pulau Madura, merupakan
salah satu dalam mensukseskan program untuk peningkatan populasi
sapi nasional.

Hasil surveilans tahun 2017 :

Dari hasil surveilans tahun 2017, realisasi surveilans Brucellosis di


Pulau Madura periode bulan Januari hingga Desember 2017 dari target
sampel sebanyak 4.000 ekor sapi, telah diambil sampel oleh UPT Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura sebanyak 3.000 ekor sapi dan yang
dilaksankan oleh UPT Madura bekerjasama dengan Besar Veteriner Wates
sebanyak 1.000 dengan hasil uji laboratorium 4.000 sampel serum sapi
dinyatakan negatif Brucellosis dengan pengujian RBPT dan uji konfirmasi
CFT serta PCR. Persentase prevalensi 0,0% menjadikan Madura dinyatakan
tetap bebas dari brucellosis.

Daerah yang dilakukan surveilans oleh UPT Pembibitan Ternak dan


Kesehatan Hewan Madura meliputi 4 Kabupaten (Bangkalan, Sampang,
Pamekasan dan Sumenep) terdiri dari 21 Kecamatan, 31 Desa. Daerah yang
dilakukan surveilans oleh UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan
Madura bekerjasama dengan Besar Veteriner Wates meliputi 4 Kabupaten
(Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) terdiri dari 7 Kecamatan,
8 Desa.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
91
Tabel 1. Lokasi Surveilans UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan
Madura

Kabupaten/ Kecamatan/ Tanggal Jenis Jenis Jenis Jumlah Diagnosa Jumlah Persentase-
No.
Kota Desa Kejadian Hewan Sampel Pengujian Sampel Laboratorium Positif Prevalensi
Arosbaya/ 20 Maret Sapi Negatif
1 Bangkalan Serum RBPT 105 0 0%
Lajing 2017 Madura Brucellosis
Arosbaya/ 21 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 74 0 0%
Lajing 2017 Madura Brucellosis
Arosbaya/ 22 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 106 0 0%
Lajing 2017 Madura Brucellosis
Arosbaya/ 23 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 60 0 0%
Belung 2017 Madura Brucellosis
Arosbaya/ 20 April Sapi Negatif
Serum RBPT 159 0 0%
Berbeluk 2017 Madura Brucellosis
Tanjung Bumi/ 16 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 151 0 0%
Tagungguh 2017 Madura Brucellosis
Tanjung Bumi/ 17 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 106 0 0%
Talango 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 18 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 97 0 0%
Bandung 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 31 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 50 0 0%
Sambian 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 31 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 36 0 0%
Sambian 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 31 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 23 0 0%
Cangkarman 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 31 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 23 0 0%
Konang 2017 Madura Brucellosis
TOTAL
TOTAL SAMPEL BANGKALAN 990 0
POSITIF
Tambelangan/ 21 Maret Sapi Negatif
2 Sampang Serum RBPT 101 0 0%
Somber 2017 Madura Brucellosis
Pangarengan/ 22 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 159 0 0%
Panyirangan 2017 Madura Brucellosis
Sokobanah/ 30 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 95 0 0%
Sokobanah 2017 Madura Brucellosis
Camplong/ 18 Mei Sapi Negatif
Serum RBPT 75 0 0%
Batu Karang 2017 Madura Brucellosis
Sampang/ 19 Mei Sapi Negatif
Serum RBPT 63 0 0%
Bekotem 2017 Madura Brucellosis
Torjun/ 19 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 47 0 0%
Krampon 2017 Madura Brucellosis
Kedundung/ 24 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 47 0 0%
Kramat 2017 Madura Brucellosis
Robatal/ 7 Novem-
Sapi Negatif
Gunung ber Serum RBPT 34 0 0%
Madura Brucellosis
Rancak 2017
TOTAL
TOTAL SAMPEL SAMPANG 621 0
POSITIF
Larangan/ 8 Februari Sapi Negatif
3 Pamekasan Serum RBPT 17 0 0%
Grujugan 2017 Madura Brucellosis
Larangan/ 9 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 46 0 0%
Grujugan 2017 Madura Brucellosis
Larangan/ 18 April Sapi Negatif
Serum RBPT 4 0 0%
Grujugan 2017 Madura Brucellosis

92 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kabupaten/ Kecamatan/ Tanggal Jenis Jenis Jenis Jumlah Diagnosa Jumlah Persentase-
No.
Kota Desa Kejadian Hewan Sampel Pengujian Sampel Laboratorium Positif Prevalensi
Kadur/ Karta- 2 Agustus Sapi Negatif
Serum RBPT 116 0 0%
genah Tengah 2017 Madura Brucellosis
Pakong/ 7 Agustus Sapi Negatif
Serum RBPT 81 0 0%
Seddur 2017 Madura Brucellosis
9 Agustus Sapi Negatif
Waru/ Bajur Serum RBPT 103 0 0%
2017 Madura Brucellosis
Pakong/ 2 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 78 0 0%
Pakong 2017 Madura Brucellosis
Larangan/ 18 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 1 0 0%
Grujugan 2017 Madura Brucellosis
TOTAL
TOTAL SAMPEL PAMEKASAN 446 0 0%
POSITIF
Kalianget/ 9 Maret Negatif
4 Sumenep 0% Serum RBPT 52 0 0%
Kalimook 2017 Brucellosis
31 Juli Negatif
Rubaru/ Talaga 0% Serum RBPT 99 0 0%
2017 Brucellosis
Dasuk/ 1 Agustus Negatif
0% Serum RBPT 29 0 0%
Beringin 2017 Brucellosis
Dasuk/ Dasuk 1 Agustus Negatif
0% Serum RBPT 24 0 0%
Laok 2017 Brucellosis
Dasuk/ Gel- 1 Agustus Negatif
0% Serum RBPT 88 0 0%
buden 2017 Brucellosis
2 Agustus Negatif
Dungkek 0% Serum RBPT 97 0 0%
2017 Brucellosis
7 Agustus Negatif
Bluto/ lobuk 0% Serum RBPT 21 0 0%
2017 Brucellosis
Bluto/ Aing 7 Agustus Negatif
0% Serum RBPT 68 0 0%
Bajakenek 2017 Brucellosis
Guluk-guluk/ 9 Agustus Negatif
0% Serum RBPT 117 0 0%
Guluk-guluk 2017 Brucellosis
6 Septem-
Kalianget/ Negatif
ber 0% Serum RBPT 35 0 0%
Kalimook Brucellosis
2017
27 Septem-
Manding/ Sapi Negatif
ber Serum RBPT 56 0 0%
Gadin Madura Brucellosis
2017
27 Septem-
Manding/ Sapi Negatif
ber Serum RBPT 53 0 0%
Gadin Madura Brucellosis
2017
28 Septem-
Manding/ Sapi Negatif
ber Serum RBPT 77 0 0%
Gadin Madura Brucellosis
2017
Manding/ 3 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 57 0 0%
Gadin 2017 Madura Brucellosis
21 Novem-
Kalianget/ Sapi Negatif
ber Serum RBPT 70 0 0%
Kalimook Madura Brucellosis
2017
TOTAL
TOTAL SAMPEL SUMENEP 943 0
POSITIF
TOTAL
TOTAL KESELURUHAN 3000 0
POSITIF

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
93
Tabel 2. Lokasi Surveilans Kolaborasi Upt Pembibitan Ternak dan
Kesehatan Hewan Madura Dengan Balai Besar Veteriner Wates

Jumlah Hasil Pemeriksaan Persentase


Tanggal Kabupaten Kecamatan dan Desa
sampel serum Prevalensi
17-07-2017 Arosbaya, Lajing 161 Negatif 0%
Bangkalan
18-07-2017 Arosbaya, Belung 89 Negatif 0%
19-07-2017 Sampang, Panggung 170 Negatif 0%
Sampang
20-07-2017 Camplong, Bato Karang 80 Negatif 0%
24-07-2017 Kota Sumenep, Kacongan 167 Negatif 0%
Sumenep
25-07-2017 Dasuk, Beringin 83 Negatif 0%
26-07-2017 Kadur, Kartagenah Tengah 166 Negatif 0%
Pamekasan
27-07-2017 Pakong, Seddur 84 Negatif 0%
TOTAL KESELURUHAN 1000

Tabel 3. Prevalensi brucellosis dengan metode uji rbt tahun 2017

DIAGNOSA JENIS JUMLAH JUMLAH


NO. PREVALENSI
HASIL PENGUJIAN SAMPEL POSITIF SAMPEL

1. Brucellosis Sapi Madura 0 3000 0/3000 x 100% = 0%

2. Brucellosis Sapi Madura 0 1000 0/1000 x 100% = 0%


Gambar 2. Grafik Prevalensi Brucellosis Tahun 2017



100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10% 0%
0% 0% 0%
0%
Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep

%Prevalensi



Pembahasan

           
 
Hasil   
pemeriksaan 
4.000 
sampel 
diinput ke
sistem 
informasi 
laboratorium
           
infolab dan masuk sebagai data dasar isihknas 2017 sebagai laporan penyakit

 hewan nasional. Kemudian menghasilkan laporan hasil pengujian (LHP)

sebagai arsip untuk Laboratorium UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan
Hewan Madura dan Balai Besar Veteriner Wates Yogjakarta.

94 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
 60%
 
50%          
  40% 
30%
       
  
20%          

10%
0%
0% 0% 0% 0%
 Bangkalan Gambar 3.Input Data Infolab
Sampang Pamekasan Sumenep


%Prevalensi




           
           
            





 
 Gambar 4. Epidemiologi Data Dasar Survei Lapangan]



 

 Gambar 5. Lembar Hasil Pengujian (LHP) Laboratorium


 




Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
95

 Gambar 6. Input Data Isihknas


Tindak lanjut dari Infolab dan Isihknas adalah dengan Sistem informasi
geografis (GIS) yang merupakan sistem informasi berbasis komputer yang
 didesain untuk menghimpun, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi,

menganalisis
 dan 
menampilkan berbagai
  bentuk
 informasi dengan
   referensi
   
geografis.
 Sistem
 informasi
 geografis
 mempunyai
 kemampuan
  mengolah
 
basis data sekaligus menampilkan informasi berkesinambungan baik secara


spasial maupun non spasial. Sehingga memakai GIS dalam surveilans

penyakit 
menular strategisseperti
brucellosis
 
sangat  dalam
menarik    
sistem

informasi surveilans epidemiologi brucellosis.

         
Pemanfaatan
  GIS dalam
  surveilans
 epidemiologi brucellosis
   dapat
  
menghasilkan
  data yang
 disajikan dalam bentuk
 spasial,
 seperti
  peta wilayah
    

termasuk sungai, rawa dan persawahan sebagai data dasar yang diperoleh

melalui pengamatan wilayah. Data non spasial seperti angka morbiditas
            
dan pola hidup masyarakat diperoleh melalui survei cepat kemudian diolah

menjadi peta faktor.
 GIS 
 dilakukan pada
 daerah 
endemik brucellosis
 dan   

memiliki faktor 
  resiko seperti populasi
 sapi
 madura yang 
 tinggi,
pola
  
hidup masyarakat
 
yang  
kurang sehat 
seperti 
tidak   
membersihkan tangan  

sehabis kontak dengan sapi dan kotorannya, pengamatan lalu lintas ternak,
           
perdagangan
 ternak.
        

Penyidikan penyakit hewan menular strategis sudah selayaknya

 memakai piranti lunak GIS yang akan berdampak pada peningkatan
 pemanfaatan sistem informasi yang cepat dan akurat. Perangkat lunak yang

tersedia semakin beragam meliputi aplikasi MAGPI dari yang berbayar

 hingga freeware tersedia. Sebaran penyakit, transmisi, statistik spasial,
 dan berbagai kegiatan dapat dianalisis secara spasial dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografis dan dapat dihubungkan langsung ke Google
Map, sehingga informasi penyakit yang dihasilkan dapat lebih komprehensif.
Sistem Informasi Geografis mencakup beberapa kegiatan utama berupa input
data, manajemen basis data, proses analisis, dan penyajian data hasil, seperti
yang terlihat dalam gambar berikut ini.
96 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding




 Gambar 7. Layout Magpi








 

 
Gambar 
8. Tampilan Awal Magpi Input Data Dasar



  




  




 
 




 

  



Hasil data magpi surveilans brucellosis 

sapi Madura seperti jumlah
populasi, penyebaran hewan dan kasus
penyakit brucellosis menghasilkan
    

peta penyakit. Peta penyakit akan mempermudah kita untuk membaca
 pola
suatu penyakit, seperti emerging disease  atau reemerging disease pada
brucellosis. 

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat
Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018 
97




          




 
Peta penyakit
  hasil
  surveilens brucellosis
   sapi Madura
 tahun 
  2017
 


  Gambar 9. Kabupaten Bangkalan
 







Gambar 10. Kabupaten Sampang 



 



Gambar 11. Kabupaten Pamekasan

 


 Gambar 12. Kabupaten Sumenep 



 


  
 
           
-
 

--  
 
 
  
 
  
 

  


Prosiding


98 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
--   
  

 
 
dan Surveilans
   
Kesehatan Hewan

Tahun
 
2018
 
 
             


-            
-   
  
   
 
  
  
 
  
         

KESIMPULAN

- Berdasarkan amanat Komisi Ahli Kesehatan Hewan, pasca pembebasan


wajib melakukan surveilans yang berkesinambungan.
- Pada Surveilans Tahun 2017 Pasca Pembebasan, dari hasil yang didapat
maka Pulau Madura dapat dikatakan masih aman terkendali terhadap
Brucellosis.
- Sebagai daerah bebas masih perlu untuk monitoring pengawasan
keluar masuknya atau perpindahan sapi, pengisolasian sapi reaktor dan
vaksinasi sapi sehat serta penanganan produk susu dan proses kelahiran
secara aseptik pada sapi reaktor .
- Surveilans yang memakai metode GIS sangat penting dilakukan agar
dapat diperoleh gambaran brucellosis yang mendekati kenyataan
sebenarnya, sehingga dapat dilakukan serangkaian tindakan pencegahan
lebih lanjut.
- Hasil peta penyakit dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan hewan
adalah kesehatan kelompok (herd health) melalui pengelolaan penyakit
dalam populasi (Disease management inpopulation), dan sesuai
tanggung jawab pemerintah, pelayanan yang diberikan mencakup
pencegahan penyakit hewan (Preventive veterinary medical services)
dengan tetap memperhatikan aspek pelayanan kesehatan masyarakat
veteriner (Veterinary public health services).

SARAN

- Untuk tahap selanjutnya diharapkan surveilans dapat dilakukan lebih


luas lagi jangkauannya sehingga akan lebih menyakinkan bahwa Pulau
Madura bersih masih bebas dari Brucellosis.
- Perlu dilakukan surveilans setiap tahun secara berkesinambungan untuk
menjaga Pulau madura dari kemungkinan Brucellosis dari daerah lain,
terutama dari daerah tapal kuda Provinsi Jawa Timur yang prevalensi
Brucellosis masih cukup tinggi.
- Perlu lebih luas jangkauan surveilans ke daerah rawan masuknya
Brucellosis, seperti pelabuhan kecil tanpa pengawalan petugas dinas
terkait.
- Perlu diidentifikasi sapi non madura, terutama pada perdagangan di
pasar, sapi PO dan perah yang berasal dari Jawa.
- Sosialisasi di wilayah lain yang belum terbebas dari Brucellosis agar
mengikuti program bebas brucellosis dan menggunakan aplikasi GIS
dan MAGPI seperti yang telah dilakukan oleh UPT Pembibitan Ternak
dan Kesehatan Hewan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
99
LIMITASI ATAU KENDALA SURVEILANS

- Perlu komitmen bersama antar institusi Dinas yang membawahi Bidang


Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam hal lalu lintas ternak, baik antar
Kabupaten atau Kota, Provinsi dan antar Pulau, dalam hal pelarangan
melalu lintaskan dari daerah tertular ke daerah bebas

DAFTAR PUSTAKA

ALTON, G.G ., J .M. JONES, R .D. ANGUS and J.M. VERGER. 1988 .
Techniques for the brucellosis laboratory . Institute National de la
Recherche Agronomique . Paris . pp. 34 - 60 .

Blood, D.C. and Radostits, O.M. 1994. Veterinary Madicine. Belliere. Tindal.
Philadenphia.

BRUCELLOSIS FACT. SHEET . 2003 . Brucellosis . Centre for Food

Martin, S.W., A.H. Meek and Willeberg. 1987. Veterinary Epidemiology


Principles and Methods. Univ. Press. Iowa States. p 35.

Noor, S.M. 2006. Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis pada Sapi


Perah di Pulau Jawa. Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam
Pengendalian Penyalit Strategispada ternak Ruminansia besar.

OIE. 2004 . Manual standards for diagnostic test and vaccines for terrestrial
animals : Bovine Brucellosis.(internet).(diunduh 2018 april 23). Tersedia
pada : http ://www.oie.int/eng/normes/mmanual/a summry.htm

Ristic, M. and I. McIntyre . 1981 . Diseases of Cattle in the Tropics .


Economic and Zootic Relevance.

Martinus Nijhoff Publisher . Boston, London .

Samkhan. 2011. Laporan Surveilans Seroepidemiologi Brucellosis pada sapi di


Madura Tahap I Tahun 2011. Balai Besar Veteriner Wates. Hal : 15-17.

Samkhan. 2014. Laporan Surveilans Seroepidemiologi Brucellosis pada sapi


di Madura Tahap IV Tahun 2014. Balai Besar Veteriner Wates. Hal :
12-14.

Samkhan, Ikaratri, R dan Isnaini, M.F. 2014. Analisis Risiko Kualitatif


masuknya Brucellosis ke Pulau Madura Pasca Pembebasan. Buletin
Laboratorium Veteriner. Vol. 15. Nomer 1. Tahun 2015. Artikel 1.
Edisi : Januari-Maret. Hal : 2-9.

100 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KEJADIAN GOITER PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA
YANG DIDUGA DISEBABKAN OLEH TANAMAN GOITRONIK
DI WILAYAH KERJA BALAI VETERINER BUKITTINGGI
Dwi Inarsih, Katamtama Anindita, Ibenu Rahmadani, Niko Febrianto

Balai Veteriner Bukiitinggi


ummufaqih@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penyakit goiter merupakan penyakit yang muncul akibat kekurangan asupan iodium.
Kekurangan kandungan iodium bisa terjadi baik secara langsung diakibatkan oleh kandungan iodium
dalam tanah yang memang rendah maupun secara tidak langsung yang disebaabkan karena ada
faktor penghambat atau menghalangi atau mengganggu dari kerja kelenjar tiroid. Tujuan kegiatan
untuk menyelidiki kemungkinan dari penyebab pada kasus-kasus sejenis dan mempunyai kesamaan
pada ternak kambing PE (Peranakan Etawa) di beberapa wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi.
Metode yang digunakan pada kasus yang terjadi yaitu berdasarkaan anamnesa, gejala klinis, patologi
klinis dan histopatologi serta memperhatikan kondisi lingkungan sekitar kasus yang merupakan
daerah penghasil sayur seperti bunga kol, brokoli, kubis, Lobak, Sawi, bayam dll. Dimana tanaman
tersebut merupakan sumber goitronik yang tinggi. Adanya kematian pada kambing PE terutama
yang baru lahir dalam keadaan lemah yang hanya mampu bertahan hidup 1 hingga 4 minggu serta
adanya pembesaran kelenjar Tiroid. Kejadian ini terjadi berulang pada beberapa ekor kambing PE.
Daerah kasus merupakan daerah penghasil sayuran dilereng gunung marapi dan singgalang, propinsi
Sumatera barat. Dari kadaver yang mengalami pembengkaan kelenjar tiroid, setelah dilakukan
pemeriksaan histopalogi terlihat adanya hiperplastik goiter. Pada beberapa kasus yang belum
terlambat kejadiannya telah di terapi dengan mineral berupa garam beryodium pada induk selama
bunting dan pada fetus yang lahir. Serta terjadi kesembuhan pada kasus yang di tangani secara cepat
dan tepat. Kasus-kasus ini terjadi pada daerah-daerah penghasil sayuran. Dan kejadian ini terjadi
diduga karena ternak memakan tanaman yang mengandung zat Goitronik.

Kata Kunci : Goitronik, Kambing PE, Balai Veteriner Bukittinggi

PENDAHULUAN

Kambing peranakan etawa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut warna


bulu beragam mulai dari merah coklat, belang putih, bercak hitam atau
kombinasi dari ketiga warna. Bagian belakang terdapat bulu yang lebat
dan panjang. Kepala terlihat tegak. Memiliki tanduk yang melengkung ke
belakang. Telingan melebar dan menggantung. Tinggi gumba jantan sekitar
90-100 cm, sedangkan betina 70-90 cm. Panjang badan sekitar 85-105 cm
untuk jantan dan 65-85 untuk betina. Bobot dewasa jantan mencapai 90 Kg,
sedangkan betina dewasa mencapai 70 Kg.

Dalam satu ekor kambing peranakan etawa dapat menghasilkan susu


mencapai 235 kg/ms laktasi dengan kualitas baik dibandingkan dengan
yang dihasilkan oleh kambing etawa, hal inilah yang menjadikan kambing
peranakan etawa lebih banyak dikembangbiakkan.

Penyakit gondok (goither) dan Lahir lembek (ricketsia) merupakan


penyakit dengan tingkat mortalitas yang paling tinggi.  100% peternak
mengaku pernah atau sedang menghadapi penyakit-penyakit tersebut pada
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
101
ternak mereka, dengan tingkat kematian mencapai 70%, dengan tingkat
kejadian pada anak sebesar 65%.Anak kambing penderita gondok, yang
dapat bertahan hidup hingga 3 sampai 4 minggu, beberapa ekor anak mampu
bertahan hidup hingga dewasa, akan tetapi derita penyakit gondok tetap
terbawa.  Penyakit ini secara nyata menurunkan nafsu makan (menyusui)
pada anak, sehingga kebanyakan peternak menyusukan anak kambing dengan
susu krim (komersil) atau perahan dari induk mereka.  Selain membutuhkan
penanganan khsusus untuk mempertahankan agar ternak mereka mampu
bertahan hidup, peternak nantinya akan dipertemukan lagi dengan masalah
rendahnya nilai jual kambing dewasa yang menderita Gondok (ternak
terlihat cacat atau tidak sempurna). Salah satu upaya yang telah dilakukan
oleh peternak adalah dengan menambahkan garam dapur pada air atau dalam
bambu jilatan yang biasa digantung dalam kandang.  Akan tetapi, garam
dapur komersil yang diberikan yang pada labelnya dinyatakan mengandung
yodium, tidak menunjukkan pengaruh apa-apa pada pencegahan dan
penyembuhan penyakit gondok tersebut.

Pada hewan yang sedang bunting, kebutuhan iodiumnya akan meningkat


dikarenakan metabolisme tubuhnya lebih giat. Hal ini dimaksudkan untuk
menunjang proses-proses perkembangan embrio yang sedang dikandungnya.
Domba yang sedang bunting 100 hari atau kurang, memperlihatkan kadar
iodium dalam kelenjar tiroidnya sama dengan kadar iodium dalam kelenjar
tiroid fetus yang sedang dikandungnya. Tetapi pada umur kebuntingan 120
hari sampai saatnya melahirkan, kandungan iodium dalam kelenjar tiroid
fetus mencapai 4 kali lebih tinggi dari kandungan iodium yang terdapat pada
kelenjar tiroid induknya. Hal ini menunjukkan bahwa pada umur kebuntingan
lebih dari 120 hari, kelenjar tiroid fetus domba mulai berfungsi dan periode
ini dianggap sebagai periode kritis terhadap gondok bawaan (congenital
goitre). Bila pada saat ini induknya mengalami defisiensi iodium, maka
kelenjar tiroid fetus akan lebih giat bekerja sehingga terjadi hyperplasia atau
hypertrophy, dan anak domba yang dilahirkan akan memperlihatkan keadaan
gondok, serta biasanya mati dalam waktu beberapa hari. Jika anak domba
yang menderita gondok ini dapat bertahan hidup, maka 5 atau 6 minggu
kemudian gondoknya akan mengecil. Oleh karena itu jarang ditemukan
kejadian gondok pada domba yang telah dewasa (Bahri, 1983).

Kejadian investigasi pertama pada tahun 2013 pada bulan agustus di


kabupaten Tanah Datar, kecamatan Salimpaung. Pada saat itu dilakukan
investigasi pada 2 buah kandang kelompok peternakan kambing peranakan
etawa (PE), yang pertama di kelompok ternak Lawang mandiri dengan
alamat Jorong lawang, Nagari Lawang mandahiling, kecamatan Salimpaung,
kabupaten Tanah Datar. Sedangkan yang kedua di kelompok ternak Kambul
sibe dengan alamat Jorong Pde Jaya, Nagari Salimpaung, kecamatan
Salimpaung, kabupaten Tanah Datar. Pada kedua kandang kelompok tersebut

102 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
mempunyaki kasus yang sama yaitu adanya kematian pada kambing yang
disertai dengan adanya pembengkakan pada kelenjar tiroid.

Menurut anamnesa yang diperoleh dari petani ternak kambing


didatangkan dari Jogjakarta 4 bulan sebelum team investigasi datang ke
lokasi, baik di kandang kelompok 1 maupun 2. Dan ada keterangan tambahan
lainnya dimana kejadian kematian dengan adanya pembengkakan kelenjar
tiroid tersebut pernah terjadi di kandang kelompok ke 2 sekitar tahun 2007,
dimana waktu itu kambing peranakan etawa didatangkan dari Lampung.

Kejadian kedua pada tahun 2014 pada bulan september ada datang
kadaver kambing dengan kondisi pembesaran kelenjar tiroid dan dilakukan
nekropsi dan di lakukan prosesing histopatologi pada beberapa organ. Sampel
ini dikirim dari daerah bernama Lubuah baru desa Tobo Ladang / Guguah
Randah, kecamatan IV koto, kabupaten Agam. Yang merupakan wilayah
kerja puskeswan koto hilalang, kecamatan Ampek Angkek, kabupaten Agam.
Pada kasus kejadian kedua merupakan sampel pasif servis dimana kami tidak
bertemu langsung dengan klien.

Sementara kejadian ketiga terjadi pada tahun 2017 pada bulan september
dimana 
terjadi
kematian pada beberapa ekor kambing peranakan etawa yang
        
sudah lahir beberapa hari maupun pada hewan dewasa. Kejadian ini terjadi

          
kandang
kelompok talago susu di Jorong Lapau Pajak, Nagari Pakan Sinayan,
         
Kecamatan IV
 Koto, 
kabupaten Agam. Berdasarkan
   anamnesa yang
   di dapat

kejadian
ini  baru
terjadi    
beberapa bulan  
sedangkankambing
 PE 
         
yang ada
sudah dipelihara
  lama, hal
 yang
ditemui dilapangan
  yaitu bahwa
  kambing
 
tersebut
di beri pakan berupa daun ketela singkong. Dan dari gejala klinis

yang ada berupa pembengkaan kelenjar tiroid pada anak kambing yang baru

lahir. 
          

Dari ketiga kasus tersebut, semuanya ditandai dengan kelahiran lemah,


bulu tidak tumbuh, pembengkakan di kelenjar tiroid pada anak kambing dan

umumnya tidak mampu bertahan hidup sampai minggu ke 4. Pada kambing

dewasa 
ada juga yang menampakkan gejala pembengkakan kelenjar tiroid

akan tetapi tidak semuanya menimbulkan kematian.


angka mortalitas pada anak


kambing PE
100%
80%
60%
40% angka mortalitas pada
20% anak kambing PE
0%

Prosiding
 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)

103
dan Kesehatan
Surveilans  Hewan

Tahun
02018  

            
           
          
Ketiga kasus yang terjadi di Sumatera Barat, semuanya merupakan
daerah dataran tinggi yaitu lereng gunung Marapi dan Singgalang. Semuanya
merupakan daerah yang subur dan merupakan penghasil sayur – sayuran
seperti cabe, tomat, kol, kobis, sawi, terong dll. Serta sebagai penghasil
tanaman ubi singkong karena sebagai daerah wisata kuliner sanjai yang
menggunakan bahan dasar utama mayoritas adalah ubi singkong.

Balai Veteriner Bukittinggi merupakan salah satu UPT Kementerian


Pertanian yang mempunyai tugas dan fungsi dalam monitoring, surveilans
dan investigasi penyakit pada hewan, dimana itu semua merupakan kegiatan
yang sangat menunjang tujuan dari pemerintah dalam swasembada daging
dan bahan pangan asal hewan untuk rakyat Indonesia. Sementara wilayah
kerja Balai Veteriner Bukittinggi sendiri meliputi propinsi Sumatera barat,
Riau, jambi dan Kepulauan Riau.

TUJUAN

Tulisan ini untuk mengungkapkan kemungkinan penyebab pada kasus-


kasus sejenis dan mempunyai kesamaan pada ternak kambing PE (Peranakan
Etawa) yang ada wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi.

MATERI METODE

Metode yang digunakan pada kasus yang terjadi yaitu berdasarkaan


anamnesa, gejala klinis, patologi anatomi dan histopatologi serta
memperhatikan kondisi lingkungan sekitar kasus yang merupakan daerah
penghasil sayur serta memperhatikan manajemen pemberian pakan dimana
tanaman tersebut merupakan sumber goitronik yang tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Pemeriksaan Patologi anatomis umumnya kambing lahir dalam


keadaan pembengkakan kelenjar tiroid, darah berwarna gelap dan tidak
tumbuh bulu. Setelah sekitar 2 minggu pertumbuhan bulu sudah mulai
terlihat akan tetapi anak kambing masih dalam keadaan lemah dan pada
akhirnya tidak bertahan hidup sampai 4 minggu.

104 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kadaver pasif service Gambaran Patologi anatomi pada
pembesaran kelenjar tiroid

Kadaver aktif service terlihat Kadaver aktif service pembngkaan


pembengkaan kelenjar tiroid secara kelenjar tiroid secara simetris
simetris

Anak kambing yang mulai tumbuh Anak kambing yang sakit tidak
bulu akhirnya mati bertahan hidup lebih 4 minggu

Dari Patologi anatomi yang ada, langkah selanjutnya yaitu dilakukan


prosesing pembuatan preparat histologi yang kemudian dilakukan pembacaan
dan didapat hasil histopatologi: severe kronik difuse hiperplastik goiter
(Jawaban Hasil Pemeriksaan, 2014)

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
105
Oedema hemorhagika pulmo (200 X) Oedema hemorhagika pulmo (400X)

severe kronik difuse hiperplastik goitersevere kronik difuse hiperplastik


(200 X) goiter (400 X)
Dari hasil pemeriksaan histopatologi kadaver anak kambing, terlihat pada
paru-paru mengalami perubahan severe akut diffuse oedema hemorhagika,
hal ini memberi petunjuk bahwa kematian anak kambing kemungkinan
disebabkan oleh septisemia, kerusakan akibat virus atau toksin dan proses
kematian secara akut yang ditandai dengan perdarahan di alveoli.

Berikut disampaikan skema distribusi lesi paru-paru untuk


mempermudah skreening penyebab penyakit menurut G Mason, 2015.

106 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Dan hasil pemeriksaan histopatologi kelenjar tiroid terjadi perubahan
proliferasi epitel tiroid, masa koloid mengecil, timbunan eritrosit dalam
pembuluh darah. Dari perubahan tersebut maka diagnosa morfologinya
adalah severe kronik difuse hiperplastik goiter (seperti terlihat pada gambar
diatas).

Perlu diketahui goiter adalah pembesaran dari glandula tiroidea yang


tidak disebabkan oleh tumor. Dan secara morfologi goiter dibedakan menjadi

1. Colloid goiter yaitu pembesaran glandula tiroidea yang disebabkan oleh


defisiensi yodium yang ringan ditandai dengan acini (folikel) meluas
dan banyak masa koloid dalam acini, epitel acini menjadi pipih
2. Hyperplastik goiter yaitu pembesaran glandula tiroidea yang disebabkan
oleh karena defisiensi yodium, berkurangnya tiroksin menyebabkan
pituitari melepaskan hormon tirotropik lebih banyak sehingga
merangsang timbulnya hiperplastik goiter ditandai dengan proliferasi
epitel kelenjar tiroidea, masa koloid berkurang bahkan kadang – kadang
tidak ada.

Kurangnya yodium pada diet makanan yang mengandung komponen


goitronik dapat menyebabkan severe hyperplasia sel folikel tiroid dan goiter.

Gondok (goiter) terjadi akibat adaptasi yang salah kelenjar tiroid


terhadap rangsangan TSH. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid
yang diedarkan ke dalam darah. Hormon tiroid yang beredar di dalam
darah akan memberi sinyal ke kelenjar hipofise untuk mengurangi sekresi
TSH. Bila hormon tiroid yang beredar sedikit, maka kelenjar hipofise akan
mengeluarkan lebih banyak TSH. Bila keadaan ini berlangsung lama, maka
kelenjar tiroid akan bereaksi dengan memperbesar sel-sel tirosit dan folikel
tiroid, sehingga kelenjar tiroid menjadi lebih besar. Ukuran kelenjar tiroid
yang membesar ini disebut goiter (gondok).

Semua senyawa yang dapat menyebabkan pembesaran kelenjar gondok


(tiroid) disebut goitrogen. Senyawa-senyawa tersebut dapat langsung
mempengaruhi kelenjar tiroid atau secara tidak langsung melalui thyroid
stimulating hormone (TSH).

Goitrogen terbagi menjadi antithyroid sulfurated compounds dan


flavonoids. Yang termasuk dalam antithyroid sulfurated compounds adalah
tiosianat, isotiosianat, goitrin dan disulfide alifatik.

1. Tiosianat berasal dari glukosinolate oleh ensim tioglukosidase dapat


menghasilkan progoitrin. Progoitrin ini oleh kuman di dalam lumen
usus seperti Escherichia coli dan Proteus vulgaris dapat diubah menjadi
goitrin yang bersifat goitrogenik. Sayuran yang banyak mengandung
tiosianat adalah kobis, kembang kobis dan brokoli, Tiosianat juga
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
107
dapat berasal dari glikosida sianogenik, yang banyak terdapat di dalam
singkong, ubi manis dan rebung. Glikosida sianogenik di dalam singkong
adalah linamarin yang oleh ensim linamarase menghasilkan asam
sianida (HCN) yang sangat beracun, maka tubuh akan mengubahnya
menjadi SCN- yang kurang beracun. Linamarin juga dapat dipecah
sempurna dan menghasilkan HCN oleh bakteri usus seperti golongan
Klebsiella. Tiosianat telah dibuktikan menghambat ambilan (uptake)
iodide oleh kelenjar tiroid
2. isotiosianat yang banyak terdapat dalam minyak mustard yang memiliki
bau khas. Alil-tiosianat terdapat dalam minyak mustard yang terdapat
dalam kobis. Detoksikasi senyawa ini juga menghasilkan SCN- seperti
halnya pada tiosianat.
3. Goitrin berasal dari progoitrin yang terdapat dalam kobis dan keluarga
Brassica lainnya.
4. disulfida alifatik yang terdapat dalam berambang dan bawang. Senyawa
ini menghambat ensim tiroperoksidase.

Sedangkan flavonoids yaitu pigmen yang memberi warna tumbuh-


tumbuhan, baik itu buah-buahan maupun sayuran dan biji-bijian dengan cara
menghambat sintesis hormon tiroid pada fase organifikasi iodium, karena itu
suplementasi iodium seringkali tidak berhasil mencegah efek goitrogeniknya.
Bahan makanan tertentu dapat mengandung beberapa macam senyawa
(Dewi, 2015).

Dari ketiga kasus di Sumatera Barat mempunyai amnanesa yang hampir


sama yaitu adanya kematian pada kambing PE terutama yang baru lahir
dalam keadaan lemas dan tidak berbulu, walaupun setelah sekitar 2 minggu
pertumbuhan bulu sudah mulai terlihat akan tetapi anak kambing masih
dalam keadaan lemah yang hanya mampu bertahan hidup 1 hingga 4 minggu
dan adanya pembesaran pada kelenjar tiroid.

Dan dari ketiga daerah terletak dilereng gunung Marapi dan gunung
Singgalang, propinsi Sumatera barat yang merupakan bagian dari wilayah
kerja Balai Veteriner Bukittinggi. Dimana ketiganya mempunyai kesamaan
yaitu daerah menghasil sayuran antara lain kobis, kol, brokoli dan sejenisnya.
Selain itu pada kasus ketiga yaitu di kelompok talago susu di Jorong Lapau
Pajak, Nagari Pakan Sinayan, Kecamatan IV Koto, kabupaten Agam, selain
daerahnya merupakan penghasil sayuran, kelompok tersebut juga nampak
pakan yang di berikan berupa daun ketela singkong. Dimana daun singkong
di ketahui mempunyai kandungan sianida yang cukup tinggi.

Dari kadaver yang mengalami pembengkaan kelenjar tiroid, setelah


dilakukan pemeriksaan histopalogi terlihat adanya hiperplastik goiter. Pada
beberapa kasus yang belum terlambat kejadiannya telah di terapi dengan
mineral berupa garam beryodium pada induk selama bunting dan pada fetus

108 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang lahir. Serta terjadi kesembuhan pada kasus yang di tangani secara cepat
dan tepat.

Hal yang menarik pada kejadian ini adalah bahwa terjadi pengulangan
kasus-kasus tersebut terjadi pada sekitar bulan Agustus dan September,
bulan-bulan tersebut masuk dalam musim penghujan yang biasanya para
petani di lereng gunung Marapi dan Singgalang melakukan tanam sayur-
sayuran seperti kobis, kol, dan sejenisnya, karena pada saat itu memeng
waktu yang tepat untuk menanami sayuran dan bukan jenis tanaman seperti
cabe, tomat, dan lain sebagainya. Dan informasi dari petugas lapangan
bahwa pada kejadian kasus goiter tersebut ternak di memang beri sayuran
berupa kobis, kol, lobak dan sejenisnya oleh petani peternak.

Dalam hal ini masalah gondok dan lahir lembek pada anak kambing
dianggap sangat krusial karena kedua kelainan ini bukan hanya mengakibatkan
angka morbiditas yang tinggi, namun angka mortalitas dapat mencapai 100%
terutama pada anak kambing (cempe). 

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan anamnesa, perubahan patologi anatomis, gambaran


histopatologi serta kondisi lingkungan sekitar kandang ternak kambing PE
maka kasus tersebut merupakan kejadian goiter yang terjadi terjadi diduga
karena ternak memakan tanaman yang mengandung zat Goitronik yaitu zat
aktif yang bersifat anti tyroxin, walaupun dalam tubuh sendiri sebenarnya
tidak mengalami kekurangan iodine.

Diharapkan pengobatan bisa dilakukan dengan pemberian asupan


garam yodium pada ternak yang menunjukkan goiter, dan yang tidak kalah
pentingnya adalah menghentikan pemberian sayuran seperti kobis, kol.
Serta pakan berupa daun singkong yang kesemuanya itu merupaka sumber
makanan yang menandung zat Goitronik.

KETERBATASAN ATAU LIMITASI

Dalam investigasi terhadap kejadian goiter yang terjadi di wilayah


kerja Balai Veteriner Bukittinggi belum di dukung adanya pengujian
terhadap kandungan iodium darah pada ternak. Diharapkan apabila ada hasil
pengukuran dari kadar Iodium pada darah ternak kambing etawa tersebut
semakin dapat meneguhkan penyebab dari kejadian goiter tersebut.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
109
DAFTAR PUSTAKA

Atabany dll. 2002. Performa Produksi, Reproduks dan Nilai Ekonomis


Kambing Peranakan Etawa di Peternakan Barokah. Bogor. Med. Pet.
Vol. 24 No. 2

Dewi YLR. 2015. Senyawa Goitronik dalam bahan makanan. Bioedukasi.


Volume 8. Nomor 2. Halaman 24-27. ISSN : 1693-2654

Garry Mason. 2015. Patologi Kardiopulmonal. Lokakarya Pelatihan


Pengambilan Spesimen dan Diagnostik Penyakit. Bogor.

Jawaban Hasil Pemeriksaan (JHP). 2013. Balai Penyidikan dan Pengujian


Veteriner Bukittinggi. no epi 525

Jawaban Hasil Pemeriksaan (JHP); 2014. Balai Penyidikan dan Pengujian


Veteriner Bukittinggi. no epi 607

McGavin M D and Zachary J F. 2007. Pathologic Basic of Veterinery Dieses.


Mosby Inc. an affiliate of Elsevier Inc. Hal 35; 724-725.

Bahri S. 1983. Peranan Iodium pada Ternak (Domba Bunting). Bogor.


Wartazoa. Vol 1. No 1.

Turner C D and Bagnara J T. 1988. Endokrinologi umum. Surabaya. Airlangga


university press.

110 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
SENSITIVITAS ISOLAT ESCHERICHIA COLI PATOGEN DARI
SWAB KLOAKA DAN ORGAN AYAM PETELUR TERHADAP
OKSITETRASIKLIN, AMPISILIN DAN KANAMISIN
Arie Khoiriyah, Ratna Ermawati

Balai Veteriner Lampung


arikhoiriyah@gmail.com

ABSTRAK

Kolibasillosis adalah penyakit infeksius pada unggas yang disebabkan oleh bakteri Escherichia
coli (E. coli) patogen sebagai agen primer ataupun sekunder. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pola kepekaan Escherichia coli penyebab kolibasillosis terhadap antibiotik Oksitetrasiklin, ampisilin
dan kanamisin pada ayam petelur di desa Gadingrejo Utara, Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolate E. coli patogen yang diisolasi
dari swab kloaka dan organ ayam petelur sebanyak 5 sampel. Tahap pertama pada penelitian ini
yaitu sampel diisolasi di media EMBA yang kemudian diidentifikasi dengan pewarnaan gram dan uji
biokimia dengan TSIA, TW, SCA dan MRVP. Isolat yang positif E. coli diuji kepekaannya terhadap
antibiotik oksitetrasiklin, ampisilin dan kanamisin dengan metode Kirby-Bauer dan dianalisa secara
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa 100% isolat Escherichia coli patogen asal
ayam petelur resisten terhadap ampicillin, 60% resisten terhadap oxytetracyclin dan 40% resisten
terhadap kanamycin.

Kata Kunci : Escherichia coli patogen, ayam petelur, oksitetrasiklin, ampisilin, kanamisin

PENDAHULUAN

Perkembangan peternakan ayam ras petelur di Indonesia sangat pesat.


Pesatnya perkembangan tersebut tidak hanya didorong oleh peluang pasar
yang masih terbuka tetapi juga oleh kebijakan pemerintah. Ada banyak
faktor lain yang dapat menentukan keberhasilan kemajuan peternakan ayam
petelur antara lain manajemen pemeliharaan, kondisi lingkungan yang
mendukung, cuaca dan manajemen kesehatan. Penyakit merupakan salah
satu resiko yang seringkali harus dihadapi dalam usaha peternakan ayam,
Berbagai jenis penyakit sering menimbulkan gejala yang hampir serupa,
sehingga untuk melakukan diagnosa diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan
lebih lanjut termasuk pemeriksaan laboratorium (Retno dkk., 1998).

Akhir-akhir ini bakteri Escherichia coli menjadi perhatian setelah


ditemukan sejumlah kasus menyangkut Escherichia coli pathogen yang
semakin banyak dijumpai di lapangan. Adanya infeksi pada jaringan atau
organ-organ tertentu, seperti radang kantong udara (air sacculitis), enteritis,
arthritis, radang mata, infeksi alat reproduksi dan radang bursa sternalis
merupakan beberapa contoh infeksi yang disebabkan bakteri Escherichia
coli pathogen. Telur tetas seringkali menjadi sasaran infeksi Escherichia
coli dan menyebabkan kematian awal pada anak ayam (Krisnaningsih, dkk.
2005).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
111
Berbagai usaha untuk mengatasi kolibasilosis telah banyak dilakukan
khususnya dengan menggunakan antibiotik seperti gentamisin, kolistin,
kloramfenikol, streptomisin, doksisiklin, dan lain-lain. Pemberian antibiotika
yang tidak tepat guna untuk mengatasi infeksi E.coli dapat menyebabkan
resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut (Barus, 2013).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kepekaan Escherichia


coli penyebab kolibasillosis terhadap antibiotik Oksitetrasiklin, ampisilin
dan kanamisin pada ayam petelur di desa Gadingrejo Utara, Kecamatan
Gadingrejo Kabupaten Pringsewu.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini menggunakan 5 isolat bakteri Escherichia coli dari kasus


kolibasillosis pada ayam petelur di desa Gadingrejo Utara, Kecamatan
Gadingrejo Kabupaten Pringsewu yang telah diuji patogenesitasnya pada
mencit. Media isolasi dan identifikasi adalah Eosin Methylene Blue Agar
(EMBA), yang kemudian diidentifikasi dengan pewarnaan gram dan uji
biokimia dengan TSIA, TW, SCA dan MRVP, Brain Heart Infusion (BHI)
serta Mueller Hinton Agar sebagai media uji sensitivitas. Antibiotika yang
digunakan Oksitetrasiklin, Ampisilin dan Kanamisin.

Uji Sensitivitas terhadap antibiotika metode Kirby Bauer (Atlas, 1995).


Kultur bakteri yang telah dimurnikan dan diidentifikasi yang kekeruhannya
telah disesuaikan dengan kekeruhan standart 0,5 Mc.Farland, kemudian
diratakan ke permukaan media Mueller Hinton Agar dengan cara merendam
lidi kapas steril selama 10 hingga 15 detik dalam suspensi bakteri, kemudian
dipulaskan pada media MHA hingga merata. Didiamkan beberapa saat agar
usapan kultur bakteri benar-benar meresap pada media. Disc antibiotik
ditempelkan pada permukaan media, beri jarak antara disc satu dengan yang
lain. Inkubasikan selama 18 sampai 24 jam dengan suhu 37°C. Amati dan
ukur diameter zona hambatnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolat E. coli patogen berasal dari sampel swab kloaka, organ dan
drag lingkungan ayam petelur yang berasal dari desa Gadingrejo Utara,
Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu. Isolat diambil dari ayam
petelur yang menderita koliseptikemia yang ditandai dengan mortalitas tinggi,
menurunnya produksi telur, menurunnya kualitas telur yang ditandai dengan
tipisnya cangkang telur. Isolat E.coli yang positif diuji patogenesitasnya
dengan menyuntikkan isolat pada mencit. Setelah 24 jam mencit mengalami
kematian dan diisolasi jantungnya di media agar darah. Koloni yang tumbuh
ditanam di media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA), yang kemudian
diidentifikasi dengan pewarnaan gram dan uji biokimia dengan TSIA, TW,
SCA dan MRVP.
112 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Pada media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) koloni yang tumbuh
berwarna hijau metalik. Hasil identifikasi yang dilakukan pada uji biokimia
yaitu pada uji SIM hasil positif ditandai bakteri yang tidak bergerak hanya
tumbuh di tempat dimana sel tersebut ditanam. Pada uji Simmons’s citrate
hasil positif ditandai bakteri yang diuji negatif, sehingga bakteri tidak mampu
meningkatkan pH media yang merubah indikator brom thymol blue dalam
media dari warna hijau menjadi biru. Pada uji TSIA hasil positif ditandai
perubahan media menjadi asam dan berwarna kuning dan terlihat gas, sehingga
media bergerak ke atas. Pada uji MR-VP warna kuning menunjukkan reaksi
negatif dan warna merah menunjukkan reaksi positif. Pada uji indol, apabila
warna merah cherry pada permukaan membentuk cincin menandakan reaksi
indol positif. Berdasarkan hasil uji-uji yang digunakan untuk isolasi dan
identifikasi bakteri, maka dapat disimpulkan ayam layer tersebut mengalami
infeksi bakteri Escherichia coli (kolibasillosis).

Menurut Berhoff dan Vinal (1986) menjelaskan bakteri E. coli patogen


terbukti virulen pada mencit. Hal ini dibuktikan dengan kematian mencit
dalam waktu 24 jam. Lebih lanjut Malleta et.alI (2003) menjelaskan E.
coli yang mampu menyebabkan penyakit di luar saluran pencernaan dan
infeksinya meluas disebut sebagai Avian Pathogenic Escherichia Coli
(APEC).

Hasil uji sensitivitas Escherichia coli pathogen pada ayam petelur


menunjukkan adanya variasi reaksi masing-masing isolate terhadap
beberapa jenis antibiotik yang digunakan yaitu ampicillin,oxytetracyclin,
dan kanamycin seperti terlihat pada Tabel 1.

Ampicillin menurut CLSI (2017) dikatakan sensitif jika memiliki


diameter zona terang 17 mm, zona intermediet 14-16 mm, resisten ≤
13 mm. Oxytetracyclin dikatakan sensitif jika memiliki diameter zona
terang 15 mm, zona intermediet 12-14 mm, resisten ≤ 11 mm. Sedangkan
kanamycin dikatakan sensitif jika memiliki diameter zona terang 18 mm,
zona intermediet 14-17 mm, resisten ≤ 13 mm.

Tabel 1. Hasil analisa uji sensitivitas (rerata zona terang dalam mm) 5 isolat
E. coli pathogen pada ayam petelur terhadap preparat ampicillin
(AMP), oxytetracyclin (OT), kanamycin (K)

Zona Hambat Antibiotika (mm)


Isolat
AMP (10 µg) OT (30 µg) K (30 µg)
Swab cloaca (A11) 12,6 15,1 13,48
(R) (S) (I)
Swab cloaca (A12) 15 16 14
(R) (S) (I)

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
113
Zona Hambat Antibiotika (mm)
Isolat
AMP (10 µg) OT (30 µg) K (30 µg)
Organ Ginjal (F10) 1,93 2,23 1,20
(R) (R) (R)
Organ Usus (H3) 2,3 3 3
(R) (R) (R)
Drag lingkungan (F1) 8,91 0 15,1
(R) (R) (I)

Tabel 2. Persentase resistensi 5 isolat E. coli pathogen pada ayam petelur


terhadap preparat ampicillin (AMP), oxytetracyclin (OT),
kanamycin (K)

Persentase (%)
Antibiotik sensitif Intermediet Resisten
Sensitif Resistensi
Ampicillin 0 0 5 0 100
Oxytetracyclin 2 0 3 40 60
Kanamycin 0 3 2 0 40

Tabel 2 menunjukkan persentase resistensi yang berbeda pada kelima


isolate Escherichia coli terhadap ampicillin,oxytetracyclin, dan kanamycin
yaitu 100% isolat Escherichia coli patogen asal ayam petelur resisten
terhadap ampicillin, 60% resisten terhadap oxytetracyclin dan 40% resisten
terhadap kanamycin.

Antibiotik kanamycin merupakan preparat yang memiliki zona terang


yang dikategorikan intermediet (Tabel 2). Menurut Krisnaningsih, dkk.
2005, interpretasi intermediet menunjukkan kemungkinan aktivitas tidak
optimal yang akan dicapai oleh antibiotik tersebut dalam penggunaan klinis
terhadap infeksi karena bakteri yang sama. Penggunaan antibiotik dengan
interpretasi intermediet sebaiknya dihindari dan diganti dengan antibiotic
lain dari golongan yang sama namun memiliki potensi dan spectrum lebih
baik. Para praktisi sering mengambil kebijakan dengan menaikkan dosis
antibiotic interpretasi intermediet untuk memperoleh hasil pengobatan
yang optimal. Hal ini merupakan salah satu penyebab berkembangnya sifat
resistensi bakteri terhadap antibiotik, terutama untuk kepentingan terapi atau
pengobatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa E. coli multi resisten terhadap


ketiga antibiotika yang digunakan, yaitu terhadap ampisilin, oksitetrasiklin
dan kanamycin. Ketidakmampuan antibiotika tersebut melawan E. coli,
disebabkan obat-obatan tersebut sering digunakan oleh peternak untuk
pengobatan penyakit bakterial pada ayam. Selain itu, jenis obat tersebut secara
umum juga digunakan sebagai imbuhan pakan (Tarmudji, 2003). Pemakaian
antibiotika yang monoton dan tanpa prosedur yang benar akan menimbulkan
peningkatan resistensi bakteri. Penggunaan antibiotika oleh peternak untuk
114 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
terapi maupun sebagai imbuhan pakan, menyebabkan ternak tumbuh lebih
cepat, dan disisi lain juga dapat meningkatkan resistensi organisme saluran
pencernaan terhadap antibiotika (Bhaskara et al., 2012).

Resistensi E. coli terhadap antibiotik ampisilin dapat disebabkan oleh


kemampuan bakteri menghasilkan enzim b-lactamase yang disandi oleh
gen dalam plasmid faktor R. Mekanisme resistensi terhadap Ampisilin yang
berhubungan dengan permeabilitas membran, termasuk terjadinya mutasi
membran terluar yang umumnya disandi secara kromosomal sehingga lebih
stabil dibandingkan dengan sifat resistensi yang disandi oleh gen pada
plasmid (Krisnaningsih et al., 2005).

Penggunaan antibiotika dalam pakan ternak yang tidak sakit diduga


sebagai penyebab terjadinya resistensi E. coli terhadap antibiotika. Pemberian
antibiotika yang tidak sesuai dosis pada pakan ternak unggas dengan tujuan
pencegahan penyakit, dapat menyebabkan terganggunya dan matinya
bakteri flora normal yang sensitif terhadap antibiotika tersebut. Sementara
kelompok yang resisten dan patogen akan tetap tumbuh. Pemakaian
antibiotika sebagai pakan tambahan pada unggas (ayam) merupakan suatu
permasalahan mendasar yang harus ditangani secara berkelanjutan, karena
akan berdampak pada terjadinya resistensi berganda terhadap berbagai obat-
obatan antimicrobial.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa uji kepekaan E. coli patogen yang


diisolasi dari swab kloaka, organ dan drag lingkungan ayam petelur yang
terinfeksi kolbasillosis di desa Gadingrejo Utara, Kecamatan Gadingrejo
Kabupaten Pringsewu menunjukan bahwa 100% isolat Escherichia coli
patogen asal ayam petelur resisten terhadap ampicillin, 60% resisten terhadap
oxytetracyclin dan 40% resisten terhadap kanamycin. Bakteri E. coli patogen
penyebab kolibasillosis pada ayam petelur di daerah tersebut sudah resisten
terhadap antibiotika oksitetrasiklin, ampisilin dan Kanamycin.

SARAN

Penggunaan antibiotika oksitetrasiklin, ampisilin, dan kanamycin


haruslah berdasarkan anjuran dokter hewan, dan sangat perlu diperhatikan
oleh para peternak, mengingat angka resisten antibiotika tersebut tinggi.
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dan tidak sesuai dosis yang melalui
pakan, minum maupun secara parenteral untuk pencegahan maupun untuk
tujuan pengobatan infeksi bakteri pada unggas harus dihentikan.

KETERBATASAN

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
115
Pada penelitian ini hanya menggunakan parameter 3 golongan
antibiotik untuk mengetahui sensitivitas E. coli patogen. Pada penelitian
selanjutnya dapat digunakan golongan antibiotik yang lain untuk mengetahui
sensitivitasny dan dapat dilanjutkan dengan uji tapis antibiotik pada produk
asal hewan untuk mengetahui kemungkinan adanya residu antibiotik .

DAFTAR PUSTAKA

Atlas, R.M.1995. Principles of Microbiology. Mosby-Year Book.Inc.,


Missouri. Pp: 261-268, 360-374

Barus DO, Gelgel KTP, Suarjana IGK. 2013. Uji kepekaan bakteri
Esherichia coli asal ayam pedaging terhadap antibiotik doksisiklin,
gentamisin dan tiamfenikol. Indon Med Vet 2(5): 538545.

Bhaskara IBM, Budiasa K, Tono Pg K.2012. Uji Kepekaan Escherichia


Colisebagai Penyebab Kolibasilosis Pada Babi Muda Terhadap
Antibiotika Oksitetrasiklin, Streptomisin,Kanamisin Dan Gentamisin.
Indomedvet 1( 2): 186 – 201

CLSI. 2017. Performa Standards for Antimicobial Susceptibility Testing.


27thEdition. Pp : 33, 36-37

Krisnaningsih, FMM, Widya A, Wibowo MH., 2005. Uji Sensitivitas Isolat


Escherichia coli PatogenPada Ayam Terhadap Beberapa Jenis
Antibiotika. Jurnal SainVet. Volume I. 1(1): 13-18.

Luhung, YGA., Suarjana IGK, Gelgel KTP. 2017. Sensitivitas isolate E.coli
patogen dari organ ayam pedaging terinfeksi koliseptikemia terhadap
oxytetracyclin, ampicillin dan sulfametoksazol. Buletin Veteriner
Udayana. Volume 9 No.1: 60-66. pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-
2712 Pebruari 2017

Retno,F.dkk., 1998. Petunjuk Mendiagnosa Penyakit Ayam. Bandung :


Medion

Tarmudji. 2003. Kolibasilosis pada ayam: etiologi, patologi dan


pengendaliannya. Wartazoa 13(2): 65-73.

116 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
UJI POSTULAT KOCH VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE
H9N2 A/CHICKEN/SIDRAP/07170094-44O/2017
Ketut Karuni Nayanakumari Natih, Nur Khusni Hidayanto, Ramlah, Cynthia Devy Irawati,
Dina Kartini, Sri Mukartini

Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan


ketutkaruni@yahoo.com

ABSTRAK

Dalam rangka pengendalian penyakit Avian Influenza (AI) subtipe H9N2 yang menyerang beberapa
daerah di Indonesia pada akhir tahun 2015, Balai Besar Pengujian Mutu Sertifikasi Obat Hewan
mendapat tugas untuk melakukan uji pemurnian isolat A/chicken/Sidrap/07170094-44O/2017
sebagai kandidat seed vaksin dan dilanjutkan dengan uji Postulat Koch untuk membuktikan
kemurnian kandidat seed vaksin AI subtipe H9N2. Sebanyak 10 ekor ayam SPF umur 25 minggu
diinokulasi virus AI subtipe H9N2 106 EID50 secara intranasal. Pengamatan dilakukan selama 21
hari terhadap gejala klinis, produksi telur, dan asupan pakan. Pengambilan darah dilakukan pada pre
inokulasi, dan pasca inokulasi hari ke-7, ke-14 dan ke-21. Nekropsi dilakukan pada hari ke-5 dan hari
ke-21 pasca inokulasi. Re-isolasi dilakukan dengan menginokulasi suspensi limpa dan oviduct pada
TAB SPF umur 10 hari. Gejala klinis terlihat adanya diare pada hari pertama, perubahan pada bentuk
dan ukuran telur pada hari ke-3, penurunan asupan pakan pada hari ke-4 dan penurunan produksi
telur menjadi 66.07 % pada 2 minggu pasca inokulasi. Secara PA ditemukan adanya hyperemia
pada trachea, pneumonia, hati rapuh dan kekuningan, hemoragi pada indung telur, penimbunan
cairan putih telur pada oviduct dan vasa injeksi pada otak. Hasil histopatologi menunjukkan adanya
tracheitis, pneumonia hemoragika, hepatitis, salphingitis dan perivascular cuffing dan vaskulitis pada
otak. Hasil uji HI pre inokulasi menunjukkan negatif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2,
H5N1 dan ND, sedangkan pada pasca inokulasi menunjukkan positif antibodi terhadap antigen AI
subtipe H9N2 dan negatif antibodi terhadap antigen AI H5N1 dan ND. Re-isolasi menunjukkan
hasil murni virus AI subtipe H9N2. Uji stabilitas menunjukkan hasil yang stabil dari sampel master
seed, working seed dan Postulat Koch yang homolog 100% pada nukleotida dan asam amino.
Berdasarkan hasil uji Postulat Koch tersebut membuktikan bahwa virus AI subtipe H9N2 A/chicken/
Sidrap/07170094-44O/2017 yang sudah murni AI subtipe H9N2 bisa dijadikan sebagai seed vaksin.

Kata kunci : Postulat Koch, Avian Influenza, H9N2

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Avian Influenza (AI) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh


virus Influenza tipe A, termasuk dalam keluarga Orthomyxoviridae. Virus
ini dibedakan menjadi beberapa subtipe berdasarkan protein antigen yang
melapisi permukaan virus yaitu Haemaglutinin (HA) dan Neuraminidase
(NA), sehingga penamaan subtipe berdasarkan HA dan NA, yaitu HxNx,
contohnya H5N1, H9N2 dan lain-lain. Menurut patogenisitasnya dapat
dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI)
dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) (Hewajuli dan Dharmayanti
2008; Swayne and Halvorson 2008, OIE 2015).

Penyakit unggas karena virus AI subtype H9N2 awal keberadaannya di


Indonesia tidak diketahui dengan pasti karena gejala klinisnya yang hampir

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
117
sama dengan beberapa penyakit akibat virus lain. Virus AI subtipe H9N2
ini telah ada pada akhir tahun 2015, tapi banyak dilaporkan pada tahun 2017
sehingga menjadi perhatian Pemerintah untuk mendapat penanganan khusus.

Laporan kasus terjangkitnya virus H9N2 pertama kali ditemukan


di peternakan Sulawesi Selatan, kemudian virus ini menyebar di usaha
peternakan petelur di Jawa Timur, Jawa Tengah hingga ke Banten. Saat
ini sudah hampir menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Penyakit ini
kebanyakan menyerang ayam petelur umur 36-60 minggu. Mortalitas
umumnya rendah sebesar < 5-10 %, ditandai dengan gejala penurunan
produksi telur sampai 40-60% dari produksi yang normal, sehingga
menimbulkan kerugian ekonomi bagi peternak. Sepanjang tahun 2017
telah dilakukan surveilans virus AI subtipe H9N2 oleh Balai Veteriner
Kementerian Pertanian di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah
dan DI Yogyakarta.

Usaha Pemerintah untuk memberantas dan mencegah penyakit AI


subtipe H9N2 adalah dengan program vaksinasi. Produksi vaksin AI subtipe
H9N2 memerlukan waktu, terutama untuk proses isolasi, purifikasi dan
karakterisasi virus. Vaksin yang diproduksi secara nasional harus aman dan
berkualitas. (Anonim 2017)

Tujuan

Dalam rangka pengendalian penyakit AI subtipe H9N2 tersebut, Balai


Besar Pengujian Mutu Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) mendapat tugas
untuk melakukan uji validasi, pemurnian isolat A/chicken/Sidrap/07170094-
44O/2017 sebagai kandidat seed vaksin dan dilanjutkan dengan uji Postulat
Koch untuk membuktikan kemurnian kandidat seed vaksin AI subtipe H9N2.

MATERI DAN METODA

Bahan yang digunakan dalam uji Postulat Koch (PK) adalah 20 ekor
ayam Spesific Pathogen Free (SPF) umur 25 minggu dengan produktivitas
telur kurang lebih 85%, isolat virus AI subtipe H9N2 A/chicken/
Sidrap/07170094-44O/2017, antigen AI subtipe H9N2, antigen H5N1 (AI
clade 2.1.3 A/chicken/West Java-Subang/29/2007 dan AI clade 2.3.2 strain
A/duck/Sukoharjo/BBVW1428-9/2012, antigen Newcastle Disease (ND),
TAB SPF umur 9-10 hari, Phosphate Buffer Saline (PBS), sel darah merah
dari ayam SPF, media virus, formalin 10%, organ limpa dan oviduct yang
diambil dari ayam pada hari ke-5 pasca inokulasi virus. Reagen ekstraksi
Polymerase Chain Reaction (PCR), primer H9N2 (AAHL In House ,
Fereidouni et al, 20019) dan sequencing.

Pengujian Postulat Koch dilakukan didalam fasilitas Biosafety Level-3


(BSL-3). Prosedur uji PK adalah sebagai berikut: sebanyak 10 ekor ayam
118 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
SPF umur 25 minggu diinokulasi sebanyak 0.1 mL virus AI subtipe H9N2
106 EID50 secara intranasal, sedangkan 10 ekor lainnya sebagai kelompok
kontrol. Pengamatan dilakukan selama 21 hari terhadap gejala klinis,
produksi telur, dan asupan pakan. Pengambilan darah dilakukan pada
pre inokulasi, dan pasca inokulasi hari ke-7, 14 dan 21 untuk selanjutnya
dilakukan uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutination Inhibition/HI).
Nekropsi dilakukan pada hari ke-5 dan hari ke-21 pasca inokulasi. Re-isolasi
dilakukan dengan inokulasi suspensi limpa dan oviduct pada TAB SPF umur
10 hari. Uji stabilitas dilakukan terhadap seed awal (master seed/MS), pasase
di TAB SPF (working seed/WS) dan pasase di ayam SPF (hasil re-isolasi
dari limpa ayam uji PK) dengan metode PCR konvensional yang dilanjutkan
dengan sequencing. Selanjutnya hasil sequencing di analisa bioinformatika

untuk mengetahui
 apakah
  ketiga 
 sampel tersebut
homolog meskipun
  telah
dilakukan perlakuan
   yang berbeda
  (OIE
  2015).   
            

HASIL
              
        
 
Pengamatan 
pada uji
Postulat Koch terhadap
 
gejala
klinis 
adalah, diare

pada
 hari pertama, penurunan nafsu makan pada hari ke-4, perubahan pada
bentuk
 telur pada hari ke-3 dan penurunan produksi telur pada 2 minggu

pasca inokulasi. Perubahan pada telur yang teramati seperti kerabang kasar

dan tidak rata, kerabang tipis, dan telur yang tidak berkerabang. Ukuran telur

juga kelihatan lebih kecil dari ukuran normal.



Rataan produksi telur pada kelompok inokulasi virus 1 minggu dan 2

minggu
pre inokulasi adalah 88.57% dan 84.29%, sedangkan menjelang
 
inokulasi 
sebesar  
92.14 %. Pada 
2 minggu
pasca produksi
inokulasi   telur
          
mengalami
 penurunan menjadi
  66.07%.
 Produksi telur meningkat
    kembali
pada pengamatan minggu ketiga menjadi 73.21% (Gambar 1).




 Gambar 1. Rataan Produktivitas Telur


Hasil titer antibodi uji Postulat Koch dapat dilihat pada Tabel 1. Titer
          
antibodi pre inokulasi
    menunjukkan
  negatif
antibodi
terhadap antigen AI
 
subtipe H9N2,
   H5N1 dan ND
   yaitu <8, 
  sedangkan pada
  pasca 
inokulasi

    Penyakit
 Rapat
 
dan   
Prosiding Penyidikan

Hewan Teknis
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL) 119


menunjukkan positif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2 dengan
nilai titer >16. Titer antibodi pasca inokulasi juga negatif antibodi terhadap
antigen AI H5N1 dan ND. Pada Gambar 2 terlihat rataan titer antibodi yang
meningkat dari minggu ke-1 sampai ke-3 pasca inokulasi,yaitu sebesar
198.86 menjadi 416 dan 2176.

Tabel 1. Hasil Titer Antibodi Uji Postulat Koch dengan Uji Hambatan
Hemaglutinasi

Titer HI Pre in- Titer HI Hr ke-7 Titer HI Hr ke-14 Titer HI Hr ke-21


Kode okulasi Pasca Inokulasi Pasca Inokulasi Pasca inokulasi
No
Ayam Virus Ag Virus Virus Ag Virus
H9N2 H5N1 H9N2 H5N1
H9N2 H5N1 ND H9N2 H5N1 ND
1 911 <8 <8 <8 nekropsi nekropsi nekropsi nekropsi nekropsi nekropsi nekropsi
2 912 <8 <8 <8 16 <8 128 <8 1024 <8 <8
3 913 <8 <8 <8 32 <8 128 <8 1024 <8 <8
4 914 <8 <8 <8 <8 <8 256 <8 1024 <8 <8
5 915 <8 <8 <8 512 <8 1024 <8 4096 <8 <8
6 916 <8 <8 <8 256 <8 512 <8 4096 <8 <8
7 917 <8 <8 <8 nekropsi nekropsi nekropsi nekropsi nekropsi nekropsi nekropsi
8 918 <8 <8 <8 256 <8 256 <8 4096 <8 <8
9 919 <8 <8 <8 64 <8 512 <8 1024 <8 <8
10 920 <8 <8 <8 256 <8 512 <8 1024 <8 <8

2500.00
2176
2000.00
1500.00
1000.00
500.00 198.86 416
0.00
Minggu ke 1 Minggu ke 2 Minggu ke 3

Gambar 2. Rataan Titer Antibodi Pasca Inokulasi

Hasil nekropsi menunjukkan gejala klinis penyakit AI subtipe H9N2


dengan perubahan Patologi Anatomi (PA) sebagai berikut : ditemukan
adanya hiperemia pada trachea, pneumonia, hati rapuh dan kekuningan,
hemoragi pada indung telur, penimbunan cairan putih telur pada oviduct dan
vasa injeksi pada otak. Secara histopatologi : ditemukan adanya hemoragi
pada tunika mukosa trachea, adanya kongesti, hemoragi disertai infiltrasi sel-
sel radang limfosit pada dinding alveoli dan bronchiolus paru-paru, adanya
infiltrasi limfosit pada tunika muskularis oviduct, adanya infiltrasi limfosit,
hemoragi, nekrosis pada hepatosit hati dan adanya kongesti, hemoragi,
120 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
infiltasi limfosit di sekitar dinding pembuluh darah (perivascular cuffing)
dan vasculitis paracelebrum otak (Gambar 3).

Vasa injeksi otak Penimbunan cairan putih telur pada


oviduct

Hemoragi, edema, infiltrasi Infiltrasi sel-sel mononuclear pada


sel-sel mononuclear dan infundibulum
polymorphonuclear pada alveolus

Gambar 3. Beberapa Gambaran Patologi dan Histopatologi

Pengamatan kematian embrio tahap isolasi virus AI H9N2 kembali


(re-isolasi) dari organ limpa dan oviduct yang diinokulasikan ke TAB SPF
terjadi pada hari ke-4 pasca inokulasi. Secara serologi dari organ limpa
menunjukkan positif virus H9N2 dengan titer HA lambat 128 dan HI 512.
Sedangkan dari organ oviduct juga menunjukkan positif virus H9N2 dengan
titer HA lambat 128 dan HI 512..Hasil re-isolasi yang diuji secara molekuler
dengan PCR menunjukkan positif virus H9N2 pada 682 bp (H9) dan 362
bp (N2).

Uji stabilitas dilakukan dengan metode PCR terhadap 3 sampel yaitu


MS, WS dan hasil re-isolasi dari limpa ayam uji PK yang menunjukkan
hasil positif terhadap virus AI subtipe H9N2 (Tabel 2). Dari PCR dilanjutkan
ke sequencing. Hasil sequencing sampel MS dan PK diperoleh panjang
nukleotida 650 pada gen HA. Homologi nukleotida dan asam amino dari
ketiga sampel tersebut adalah 100%. Analisis residu asam amino pada
bagian Reseptor Binding Site (RBS) ketiga sampel menunjukkan hasil yang

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
121
sama. Pada asam amino nomor 234 diperoleh Leusin (L) dan asam amino
nomor 236 diperoleh Glysine (G). Analisis asam amino pada Cleavage Site
(CS) dari ketiga sampel menunjukkan hasil yang sama yaitu pada asam
amino nomor 333 – 338 adalah PSRSSR yang bersifat monobasic yang
menunjukkan bahwa ketiga sampel merupakan LPAI.

Tabel 2. Hasil Uji Stabilitas dengan Metode PCR

No Sampel H9 N2

1 A/chicken/Sidrap/07170094-44O/2017 (MS) +682bp +362 bp


2 A/chicken/ Sidrap/07170094-44O/2017 (WS) +682bp +362 bp
3 A/chicken /Sidrap/07170094-44O/2017(PK) +682bp +362 bp

PEMBAHASAN

Adanya kajian kasus penurunan produksi telur pada peternakan ayam


yang disebabkan virus AI subtipe H9N2, membuat Pemerintah untuk
menetapkan program vaksinasi dengan menggunakan seed lokal. Balai
Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan mendapat tugas untuk
menyiapkan seed vaksin AI subtipe H9N2. Proses pembuatan seed vaksin
ini membutuhkan waktu yang panjang karena melalui proses validasi,
pemurnian dan karakterisasi dengan uji Postulat Koch..

Zhao et al 2016 mengatakan sebagian besar ayam yang terpapar virus


AI subtipe H9N2 tidak menginduksi tanda-tanda klinis atau kematian pada
ayam, meskipun ada beberapa isolat menunjukkan patogenisitas pada ayam
dan hampir semuanya ayam yang terinfeksi akan melepaskan virus/shedding
dari trachea. Temuan ini menunjukkan bahwa penyakit atau kematian
dipeternakan unggas tempat asal virus H9N2 ini diisolasi tidak disebabkan
oleh virus H9N2 saja tapi juga disebabkan oleh koinfeksi dengan patogen
lainnya seperti ND, Infectious Bronchitis (IB) dan Egg Drop Syndrome (EDS).
Sehingga pelaksanaan uji PK dengan fasilitas BSL-3 dengan menggunakan
ayam/telur SPF.

Gejala klinis awal dari terpaparnya virus AI subtipe H9N2 menyebabkan


struktur feses ayam menjadi lebih encer dan menurunnya nafsu makan
sehingga asupan pakan berkurang. Produksi telur pada ayam layer menurun
karena virus AI subtipe H9N2 menyerang oviduct. Awal infeksi virus AI
subtipe H9N2 menyebabkan bentuk dan ukuran telur berubah. Kerabang
telur menipis sampai telur tidak berkerabang.

Nekropsi dilakukan pada hari ke-5 saat masa inkubasi virus AI subtipe
H9N2 untuk melihat perubahan pada organ tubuh. Hasil patologi anatomi
adalah ditemukan adanya hiperemia pada trakhea, pneumonia, hati rapuh
122 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
dan kekuningan, hemoragi pada indung telur, penimbunan cairan putih telur
pada oviduct dan vasa injeksi pada otak. Perubahan itu adalah khas pada
ayam layer yang terserang oleh virus AI subtipe H9N2. Virus AI subtipe
H9N2 merupakan jenis virus influenza yang bersifat LPAI, meskipun tidak
mematikan akan tetapi dapat menyebabkan penurunan kekebalan tubuh
unggas dan kerusakan pada beberapa organ (Anonim 2017)

Pengambilan darah pre inokulasi untuk mengetahui titer awal dari ayam
yang akan diinokulasi dengan virus AI subtipe H9N2. Hasil titer antibodi
pre inokulasi negatif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2, H5N1 dan
ND. Hasil ini menunjukkan bahwa kelompok ayam yang digunakan bebas
dari paparan virus AI subtipe H9N2, H5N1 dan ND. Nilai titer antibodi
pasca inokulasi positif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2 dengan
nilai titer ≥16, negatif terhadap antigen H5N1 dan ND. Nilai titer antibodi
meningkat dari 1 minggu sampai 3 minggu pasca vaksinasi dengan rataan
198.86 menjadi 416 dan 2176. Menurut Hadipour et al 2011, titer antibodi
yang positif menandakan bahwa dalam tubuh hewan terdapat antibodi yang
menunjukkan telah terjadi infeksi atau paparan virus AI subtipe H9N2 pada
tubuh hewan. Nilai titer antibodi meningkat diperoleh dari sistem pertahanan
tubuh yang merespon paparan virus AI yang diinokulasi.

Re-isolasi bertujuan untuk melihat apakah perubahan yang ditimbulkan


akibat inokulasi virus AI subtipe H9N2 murni atau sama dengan virus yang
diinokulasikan. Kematian embrio yang diawali pada hari ke-4 merupakan
gejala dari virus LPAI. Hasil re-isolasi secara biakan didalam inang
asli dengan menggunakan TAB SPF dan secara molekuler dengan PCR
menunjukkan positif virus AI subtipe H9N2. Adapun untuk uji stabilitas
virus sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah virus H9N2
yang diuji, tetap sama dari awal sampai setelah dilakukan pasase baik di
telur maupun di ayam. Uji stabilitas ini diperlukan untuk memastikan tidak
adanya perubahan dari virus saat nanti dijadikan sebagai master seed dalam
pembuatan vaksin.

Gen hemagglutinin (HA) merupakan bagian dari virus influenza


yang berperan dalam proses penempelan pada sel reseptor inang dan
berperan penting dalam pelepasan RNA virus ke dalam sel dengan cara
menggabungkan virus dan membrane sel inang. Virus influenza yang tidak
mengalami pembelahan pada gen HA sehingga tidak menghasilkan protein
HA1 dan HA2 tidak akan terjadi penggabungan antara virus dan membran
sel inang sehingga tidak bersifat infeksius. Begitu pentingnya terjadi proses
pembelahan pada gen HA di bagian CS maka asam amino di CS sangat
penting di analisa yang merupakan salah satu cara menggolongkan suatu
subtipe virus influenza termasuk HPAI atau LPAI. Pada LPAI subtipe H9N2
tidak terdapat pengulangan asam amino ariginin (R) dan Lysine (K), bersifat
monobasic asam amino yaitu RSSR. Analisis asam amino pada CS dari

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
123
ketiga sampel menunjukkan hasil yang sama yaitu pada asam amino nomor
333 – 338 adalah PSRSSR yang bersifat monobasic yang menunjukkan
bahwa ketiga sampel merupakan virus LPAI.

Dengan adanya virus AI subtipe baru ini di Indonesia maka Pemerintah


melakukan langkah-langkah untuk mengendalikan virus ini. Pengendalian
infeksi virus AI subtype H9N2 selain dengan program vaksinasi juga adanya
penerapan tindakan biosekuriti yang ketat, perbaikan mutu pakan, pemberian
vitamin dan pemberian immunostimulan. Ditjen PKH Kementerian Pertanian
melalui sistem Influenza Virus Monitoring online (IVM) telah membangun
sistem pengawasan penyebaran virus flu burung, sehingga dapat dilakukan
analisa melalui identifikasi, karakterisasi dan sequenzing DNA (Anonim
2017). Selain itu peranan unggas lain juga harus diperhatikan. Zhao et
al (2016) mengatakan bahwa virus AI subtype H9N2 pada bebek bisa
ditransmisikan ke ayam, dan ayam yang terinfeksi dapat melepaskan virus
untuk waktu yang lama, sehingga menyebabkan sirkulasi penularan virus di
antara bebek dan ayam.

Pemantauan secara terus menerus pada unggas penting untuk mencegah


munculnya virus AI subtipe H9N2, karena virus AI subtipe H9N2 dapat
melakukan gabungan dengan subtipe virus influenza A lainnya, menghasilkan
virus influenza baru. H9N2 adalah donor gen internal untuk virus H5N1,
H7N9, dan H10N8 (Lin et al 2017). Gen-gen tersebut dapat membuat virus
semakin berbahaya. Seluruh virus itu bisa menjadi pandemik jika berhasil
melakukan mutasi yang tepat untuk menyebar pada manusia, atau bergabung
dengan virus flu umum milik manusia.

Dengan tersediannya seed vaksin AI subtipe H9N2 lokal A/chicken/


Sidrap/07170094-44O/2017 ini diharapkan dapat digunakan sebagai seed
vaksin nasional yang aman dan berkualitas yang diproduksi sehingga dapat
mengendalikan penyakit AI subtipe H9N2 di Indonesia.

KESIMPULAN

Pengamatan gejala klinis uji Postulat Koch terlihat adanya diare


pada hari pertama, perubahan pada bentuk dan ukuran telur pada hari ke-
3, penurunan asupan pakan pada hari ke-4 dan penurunan produksi telur
menjadi 66.07 % pada 2 minggu pasca inokulasi.

Secara PA ditemukan adanya hiperemia pada trachea, pneumonia, hati


rapuh dan kekuningan, hemoragi pada indung telur, penimbunan cairan
putih telur pada oviduct dan vasa injeksi pada otak. Hasil histopatologi
menunjukkan adanya tracheitis, pneumonia hemoragika, hepatitis,
salphingitis dan perivascular cuffing dan vaskulitis pada otak.

124 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Hasil uji HI pre inokulasi menunjukkan negatif antibodi terhadap
antigen AI subtipe H9N2, H5N1 dan ND, sedangkan pada pasca inokulasi
menunjukkan positif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2 dan negatif
antibodi terhadap antigen AI H5N1 dan ND.

Re-isolasi menunjukkan hasil murni virus AI subtipe H9N2. Uji


stabilitas menunjukkan hasil yang stabil dari sampel master seed, working
seed dan Postulat Koch yang homolog 100% pada nukleotida dan asam
amino.

Berdasarkan hasil uji Postulat Koch tersebut membuktikan bahwa virus


AI subtipe H9N2 A/chicken/Sidrap/07170094-44O/2017 yang sudah murni
AI subtype H9N2, sehingga isolat tersebut dapat dijadikan sebagai seed
vaksin AI subtipe H9N2 untuk produksi vaksin nasional.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Balai Besar Veteriner Maros,


Balai Besar Veteriner Wates, Pusvetma dan PT Vaksindo

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2017. Virus LPAI H9N2 Menyerang Unggas, Peternak Diminta


Perketat Biosecurity [diunduh 2018 Maret 27]. Tersedia pada http://
www.trobos.com/detail-berita/2017/12/29/57/9681/virus-lpai-h9n2-
menyerang-unggas-peternak-diminta-perketat-biosecurity

Fereidouni SR, Starick E, Grund C, Globig A, Mettenleiter TC, Beer M,


Harder T. 2009. Rapid molecular subtyping by reverse transcription
polymerase chain reaction of the neuraminidase gene of avian
influenza A viruses. Veterinary Microbiology 135: 253–260

Hadipour MM, Habibi G, Vosoughi A. 2011. Prevalence of antibodies to


H9N2 AIV in backyard chickens around Maharlo Lake in Iran. Pak
Vet J. 31: 192-194

Hewajuli DA, Dharmayanti NLPI. 2008. Wartazoa. 4(2).

Lin TN, Nonthabenjawan N, Chaiyawong S, Bunpapong N, Boonyapisitsopa


S, Janetanakit T, Mon PP, Mon HH, Oo KN, Oo SM, Mar Win M,
Amonsin A. 2017. Influenza A (H9N2) Virus, Myanmar, 2014–2015.
Emerg Infect Dis. 23(6):1041-1043.

OIE. 2015. Avian Influenza (Infection With Avian Influenza Viruses ).


Chapter 2.3.4

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
125
Swayne DE, Halvorson DA. 2008. Influenza In: Saif,YM; Barnes HJ; Fadl
AM; Glisson JR; McDougald LR and Swayne DE (Eds). Disease of
poultry. (12th Edn). Ames Iowa State University Press. 153-184.

Tavakkoli H, Asasi K, Mohammadi A. 2011. Effectiveness of two H9N2


low pathogenic Avian Influenza conventional inativated oil emulsion
vaccines on H9N2 viral replication and shedding in broiler chickens.
Iranian Journal of Veterinary Research. 12(3).

Wiyono A, Indriani R, Dharmayanti NLPI, Damayanti R, Parede L, Syafriati


T, Darminto. 2004. Isolasi dan karakterisasi virus Highly Pathogenic
Avian Influenza Subtipe H5 dari ayam asal wabah di Indonesia. JITV.
9 (1).

Zhao K, Jin C, Huang Y, Zang H, Xue J, Tian H, Yuan Y, Li X, Liu W, Tian


K. 2016. Phatogenicity of duck-originated H9N2 influenza viruses on
chickens. Journal of Vaccines and Immunology 2(1): 023-025.

126 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
APLIKASI KUNING TELUR UNTUK MENDETEKSI ANTIBODI
PENYAKIT PADA UNGGAS
Rama Dharmawan1; Rina Astuti Rahayu2

Medik Veteriner Laboratorium Virologi-Serologi Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta

Jl Jogja – Wates Km 27 , Gunung Gempal, Giripeni, Kulonprogo, Yogyakarta


*Korespondensi penulis: sangpencerah5@gmail.com ; rinaastutirahayu@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pada peternakan ayam layer umumnya memiliki riwayat vaksinasi yang panjang, dan beberapa
vaksin tentu telah mengalami boster beberapa kali, namun dalam beberapa kasus peternak tidak
mengijinkan ayamnya untuk diambil sampel darahnya, oleh karena itu harus ada solusi untuk
mendapatkan serum tanpa harus mengambil darah unggas, metode ini bertujuan untuk memisahkan
antibodi (IgY) dari kuning telur melalui prosedur presipitasi (Polson et al.; 1980). Ada dua langkah
penting dalam memisahkan IgY. yang pertama adalah pengangkatan lipid dan yang kedua adalah
presipitasi total IgY dari supernatan. Setelah dialisis terhadap buffer (biasanya PBS), Kemurnian
ekstrak kuning telur sekitar 80% dan tergantung pada umur ayam petelur (Diana Pauly et al ; 2011).

Hasil ekstraksi kuning telur akan diperoleh serum yang dapat diaplikasikan untuk pengujian HI
test titer virus, pada pengujian kali ini menggunakan 45 telur ayam layer dari 9 peternak atau setiap
peternak memberikan 5 butir telur untuk dilakukan Empat jenis pengujian antibodi penyakit terhadap
AI H5 clade 2.1.3 dan 2.3.2 , ND dan AI H9N2., dari pengujian tersebut diperoleh hasil sebagai
berikut dari perternak 1-9 semua terdeteksi antibodinya, dan variasi titer antibodi yang di peroleh
adalah 0 – 256 untuk AI H5 calde 2.1.3 ; 0 – 128 untuk AI H5 clade 2.3.2; 8 – 2048 untuk AI H9N2
dan 2 - 512 untuk penyakit ND, namun rata-rata diperoleh umumnya memiliki titer antibodi tinggi
atau ≥ 16 pada ke empat pengujian.

Kesimpulan dari hasil tersebut maka penggunaan serum dari kuning telur untuk deteksi antibodi
penyakit penyakit AI dan ND dan dapat dikembang untuk penyakit lain seperti pulorum, EDS dan IB

Kata Kunci : Boster, Antibodi, Lipid, AI H5 clade 2.1.3 dan 2.3.2 , ND dan AI H9N2

PENDAHULUAN

Pada peternakan ayam layer umumnya memiliki riwayat vaksinasi yang


panjang, dan ada beberapa vaksin tentu telah mengalami boster beberapa
kali, namun dalam kondisi tertentu para peternak layer sulit atau tidak
mengijinkan ayamnya untuk diambil sampel darahnya, oleh karena itu
harus ada solusi untuk mendapatkan serum tanpa harus mengambil darah
unggas pada peternakan layer yang kita inginkan. metode ini bertujuan untuk
memisahkan antibodi (IgY) dari kuning telur melalui prosedur presipitasi
(Polson et al.; 1980). Ada dua langkah penting dalam memisahkan IgY.
yang pertama adalah pengangkatan lipid dan yang kedua adalah presipitasi
total IgY dari supernatan. Setelah dialisis terhadap buffer (biasanya PBS),
Kemurnian ekstrak kuning telur sekitar 80% dan tergantung pada umur ayam
petelur (Diana Pauly et al ; 2011).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
127
Protein pada kuning telur terdiri dalam dua bagian yaitu granula dan
plasma. Protein granula tersusun atas α dan β lipovitellin (70%), phosvitine
(16%) dan lipoprotein dalam takaran rendah (12%) (Burley & Cook, 1961).
Beberapa protein ini berfungsi sangat penting karena karakteristik (Baldwin,
1986). Pada Protein plasma terdiri dari α, β dan γ-livetins dengan tingkat
protein rendah (McCully et al., 1962). Protein α dan β livetin ini diidentifikasi
mirip serum ayam yang terkadung didalam telur di bagian albumin dan α
2-glikoprotein (Hatta et al., 1990). γ-livetins adalah imuno globulin ayam,
yang disekresikan dari plasma darah ke dalam folikel telur telah masak
(L¨osch et al., 1986). Bahkan, immunoglobulin pada kuning telur sesuai
dengan imunoglobulin IgG serum darah dan dikenal sebagai IgY (Leslie &
Clem, 1969). Sedangkan imunoglobulin pada serum darah, yang lain Ig M
dan Ig A, dapat ditemukan dominan dalam putih telur (Rose et. Al., 1974)

Tujuan

1. Untuk Mendeteksi hasil vaksinasi pada peternakan layer tanpa harus


mengambil darah secara langsung
2. Sebagai metode alternative untuk mendiagnosa penyakit unggas yang
dapat diaplikasikan secara serologis
3. Sebagai bahan investigasi jika ada kasus di suatu peternakan tidak
terlaporkan.

MATERI DAN METODE

Materi

Telur ayam yang diperoleh dari peternakan ayam layer di daerah Jawa
Tengah, yang di peroleh dari 9 peternak yang diambil 5 butir telur per
peternak sehingga diperoleh total sampel telur 45 butir, semua telur hanya di
berikan kode Peternak 1-9 dan dalam beberapa variasi umur. Peternak yang
memberikan telurnya adalah peternak yang diduga mengalami penurunan
produksi telur 90/40

Metode

Antibodi diekstraksi dari kuning telur dengan metode pengambilan


kuning telur (2 ml) dengan hati-hati dipisahkan dari putih dengan “Pipet 1
ml “ untuk memperoleh kuning telur yang murni., dan ditampung dalam tube
15 ml tambahkan 1 bagian PBS, Vortex sampai tercampur merata, inkubasi 5
menit, tambahkan 6 ml chloroform absolut, campur sampai merata selama 20
menit, selanjutnya sentrifuge 6000 -7000 rpm selama 15 menit, maka protein
akan terpisah menjadi 3 bagian didalam tabung, bagian cairan kuning dan
padat di tengah dan di atas cairan jernih, dan cairan jernih tersebut dapat kita
ambil karena mengandung IgY dan kita sebut sebagai serum dari telur. Serum
selanjutnya di lakukan pengujian HI test untuk diketahui titer antibodinya,
128 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
pengujian deteksi titer antibodi menggunakan 5 antigen, 1) A/chicken/West
Jawa/subang 29/2007 dari pusvetma,AI H5N1 clade 2.1.3 , 2) isolate A/
chicken/Barru/BBVM 41-13/2013, (H5N1; clade 2.1.3), dari BBVet Wates,
3) isolate A/chicken/Semarang/04141225-07/2014 (H5N1; clade 2.3.2.1c)
BBVet Wates 4) Newcastle Disease (ND) Pusvetma dan 5) isolate A/chicken/
Banyumas/04170832-01/2017 (H9N2) BBVet Wates.

HASIL

Semua telur ayam sudah dilakukan pemurnian agar diperoleh antibodi


(IgY) serum dari kuning telur, untuk pengujian HI test diperoleh hasil sebagai
berikut untuk peternak 1 seperti tampak pada Graph batang 1 dan Graph
batang 2 dalam beberapa warna

Graph 1 memperlihatkan hasil uji dengan menggunakan serum kuning telur


dapat bereaksi dengan baik dengan pengujian HI test dengan menggunakan
5 antigen referent terlihat titer Log 2 untuk AI H5N1 dalam interval 4 -6,
sedangkan untuk titer log 2 ND 3 – 5 dan terlihat paling tinggi titer log 2
H9N2 dalam interval 8-10 dan semua setabil tinggi merata, artinya peternak
sudah melakukan vaksinasi dan melakukan boster.

Graph 2 memperlihat hasil uji dengan menggunakan serum kuning telur


juga bereaksi dengan baik dengan pengujian HI test dengan menggunakan
5 antigen referent terlihat titer Log 2 untuk AI H5N1 dalam interval 3 - 8,
sedangkan untuk titer log 2 ND 2 – 5 dan terlihat paling tinggi titer log 2 H9N2
dalam interval 6 - 9 dan semua setabil tinggi, artinya peternak kemungkinan
sudah melakukan vaksinasi dan boster.

Dari gambaran perwakilan 2 analisa tersebut hasil uji HI test serum


kuning telur dari 2 peternak terhadap 5 antigen tampak semua memperlihatkan
hasil uji yang baik dan hasil diperoleh seperti pengujian dengan serum yang
berasal dari darah ayam, untuk melihat keseluruhan proses pengujian HI
test terhadap 45 telur dari 9 peternak layer seperti terlihat pada tampilan
Graph.3

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
129
Graph 3 korelasi antara pengujian serum kuning telur terhadap 5 antigen AI
H5N1, AI H9N2 dan ND

Pada graph 3 memperlihatkan bahwa semua serum kuning telur dari


peternak bereaksi baik dengan antigen yang diujikan, ada hal menarik yang
terlihat ada gambaran 2 reaksi yang kuat terlihat pada kasus ini yaitu deteksi
AI H9N2 isolate A/chicken/Banyumas/04170832-01/2017 (H9N2) dari
BBVet Wates. dan isolate AI H5N1 clade 2.1.3 A/chicken/Barru/BBVM 41-
13/2013 (H5N1; clade 2.1.3) dari BBVet Wates dan diikuti dengan antigen
ND dari pusvetma, hal yang menarik di sini jika kita cermati yaitu gambaran
(pattern) dari graph 4

Graph 4 korelasi antara antigen) A/chicken/West Jawa/subang 29/2007


dari pusvetma, AI H5N1 clade 2.1.3 dibandingkan dengan isolate A/chicken/
Barru/BBVM 41-13/2013,

Antigen subang 29 sudah menjadi hal yang umum digunakan sebagai


bahan deteksi titer AI dari hasil vaksinasi yang dilaksanakan dipeternakan
unggas, antigen ini ditetapkan antigen deteksi AI laboratorium, sejak 2010.
sebagai antigen ini juga untuk mengetahui sejauh mana homologeninitas
strain vaksin AI dari pihak produsen swasta gunakan, dari tinjauan graph
4 maka terlihat antigen subang 29 potensi deteksinya sudah menurun di
bandingkan dengan antigen A/chicken/Barru/BBVM 41-13/2013, yang
dalam waktu dekat akan di komersialkan, hal ini sesuai pernyataan (Fenner.
et al, 2011) tingkat homologenitas sebuah isolat akan mencerminkan tingkat
130 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
kuat tidaknya sebuah avinitas dan aviditas sebuah ikatan antara antigen dan
antisera dan berdasarkan hasil rekomendasi pemilihan isolate A/chicken/
Barru/BBVM 41-13/2013, seperti tampak pada gambar 1 pemerintah telah
menetapkan 4 isolat AI H5N1 yang akan digunakan sebagai isolate tantang
untuk strain vaksin baru yang akan diproduksi produsen vaksin.

Gambar 1 Mapping antigenik dengan menggunakan isolate 2012-2014 pada


program IVM online

Terlihat bahwa spot warna merah mewakili gambaran letak isolate AI


H5N1 clade 2.1.3.2 dan spot biru merupakan gambaran letak isolate AI
2.3.2.1.c, tampak bahwa isolate AI H5N1 2.1.3 sudah banyak di tinggalkan
oleh isolate AI H5N1 clade 2.3.2.1.c karena sejak tahun 2014 – 2018 mejadi
isolate yang paling dominan, begitu juga AI H5N1 2.1.3 mengalami pergeseran
posisinya sehingga mengurangi potensi ikatan avinitas dan aviditas, sehingga
untuk ke depan akan lebih tepat memperbaharui antigen uji labolatoris untuk
pengujian, dari gambaran tersebut juga kita dapat menggunakan A/chicken/
Semarang/04141225-07/2014 (H5N1; clade 2.3.2.1c) digunakan sebagai
antisera yang relevan untuk identifikasi virus jika kita dapat menumbuhkan
virusnya. Pada grap 3 menunjukkan bahwa gambaran berwarna ungu H9N2
menunjukan titer yang kuat di bandingkan dengan H5N1 dan ND, hal ini
berarti bahwa peternakan layer yang di ambil sampel telurnya menunjukkan
sudah melakukan vaksinasi secara illegal pada peternakannya, dan ini perlu
difikirkan antisera maupun antigen untuk mendeteksi isolate maupun hasil
vaksinasinya. Dan tentunya perlu kajian yang mendalam terkait seeding virus
LPAI ini karena peternak sudah terlanjur sudah beredar dan sudah terbiasa
memvaksinasi unggasnya, padahal jika berdasarkan teori, menyatakan
bahwa AI strain H9N2 dapat bertukar tempat atau internal gen dengan strain
AI yang lain. Hal inilah yang perlu diwaspadai terutama bahaya terjadinya
pandemi.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
131
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Penggunaan serum dari kuning telur berdasarkan pengujian yang telah


dilakukan ternyata dapat digunakan untuk beberapa penyakit dan untuk
mendeteksi riwayat hasil vaksinasi ternak ayam
2. Penggunaan serum dari kuning telur dapat digunakan sebagai data
monitoring penggunaan antigen subang 29 yang telah di tetapkan tahun
2010 , dengan membandingkan dengan penggunaan antigen A/chicken/
Barru/BBVM 41-13/2013 sesuai dengan rekomendasi tahun 2015.
3. Telah terdeteksi penggunaan vaksin H9N2 pada peternakan layer
yang diambil telurnya, sedangkan pada saat itu belum ada legalitas
penggunaan vaksin tersebut, tanpa mempertimbangkan karakterisasi
virus yang digunakan.
4. Penggunaan Serum dari kuning telur dapat digunakan sebagai bahan
dan data awal untuk kegiatan investigasi dan masih diperlukan validasi
uji dengan menggunakan serum darah untuk perbandingan hasil
5. Perlu pemantauan penggunaan vaksin H9N2 karena telah beredar
dilapangan untuk melihat karakterisasi virus ini terhadap virus –virus
AI yang lain.

KETERBATASAN DAN LIMITASI

Kajian ini masih terbatas untuk pengujian penyakit AI dan ND, sehingga
perlu kedepannya untuk memvalidasi hasil yang yang di peroleh dan untuk
penyakit yang lain mungkin juga bisa untuk digunakan baik dengan pengujian
HI test maupun Elisa.

DAFTAR PUSTAKA

BURLEY, R. W. & COOK, W. H. (1961) Isolation and composition of


avian yolk granules and their constituent alpha and beta-lipovitellins,
Canadian Journal of Biochemical Physiology, 39, 1295.

BALDWIN, R. E. (1986) Functional properties of eggs in foods, in Egg


Science and Technology (STADELMAN, W. J. & COTTERILL, O.
J., Eds), Macmillan, Basingstoke, pp. 345–383.

HATTA, H., KIM, M. & YAMAMOTO, T. (1990) A novel isolation method


for henn egg yolk antibody, ‘IgY’, Agricultural and Biological
Chemistry, 54, 2531– 2535.

MCCULLY, K. A., MOK, C. C. & COMMON, R. H. (1962) Papar


electrophoretic characterization of proteins and lipoproteins of hen’s
egg yolk, Canadian Journal of Biochemical Physiology, 40, 937.

132 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
LESLIE, G. A. & CLEM, L. W. (1969) Phylogeny of immunoglobulin
structure and function. III.

Immunoglobulin of the chicken, Journal of Experimental Medicine, 130,


1337.

ROSE, M. E., ORLANS, E. & BUTTRESS, N. (1974) Immunoglobulin


classes in hen’s egg: their segregation in yolk and white, European
Journal of Immunology, 4, 521–523.

L¨O SCH, U., SCHRANNER, I., WANKE, R. & J¨U RGENS, L. (1986)
The chicken egg, an antibody source, Journal of Veterinary Medicine
Series B Infectious Diseases and Veterinary Public Health, 33, 609–
619.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
133
BRUCELLA MELITENSIS: RESPON SEROLOGIS TERHADAP
KAMBING YANG MENDAPAT INFEKSI BUATAN DENGAN
KUMAN BRUCELLA MELITENSIS BIOVAR 1
Siswani1, Rosmiaty2 , Titis F.D1, Muflihanah1

Medik Veteriner Balai Besar Veteriner Maros1


Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Maros2
email: siswani.nink@yahoo.com

ABSTRAK

Brucellosis pada ruminansia kecil, khususnya kambing dan domba merupakan penyakit menular
yang sangat penting terutama dari aspek kesehatan masyarakat (Public health) mengingat penyakit
ini menyebabkan dampak zoonosis yang tinggi berupa kematian pada manusia. Penyebab utama
brucellosis pada kambing domba disebabkan oleh kuman Brucella melitensis. Brucellosis ini
menyebakan kerugian ekonomi yang besar, antara lain terjadinya keguguran, ternak lahir lemah,
penurunan produksi susu dan peradangan pada persendian

Di Indonesia status kejadian brucellosis pada kambing dan domba belum banyak diketahui atau
dilaporkan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang epidemiologi
penyakit, dampak zoonosis dan ekonomi yang disebabkan oleh brucellosis dan juga keterbatasan
pemahaman tentang metode diagnosis penyakit ini. Keterbatasan bahkan ketidaktersedianya data
tentang kejadian penyakit ini di Indonesia berdampak pada terhambatnya perdagangan internasional
terutama dalam proses ekportasi komoditas ternak kambing dan domba dimana negara pengimport
mempersyaratkan tentang status brucellosis di tingkat negara maupun individu ternak.

Sebagai laboratorium rujukan nasional untuk penyakit brucellosis, maka pengembangan


metode diagnosis brucellosis pada kambing dan domba di Balai Besar Veteriner Maros ini sangat
diperlukan sebagai dasar dan pendukung pelaksanaan surveilans terhadap penyakit ini di Indonesia.
Laboratorium Rujukan juga mempunyai tugas untuk menyiapkan bahan standard yang dibutuhkan
dalam pengujian, terutama kontrol standard dalam pengujian serologis. Tujuan dari penelitian ini
adalah melihat respon serologis yang ditimbulkan pada kambing yang telah infeksi oleh kuman
Brucella melitensis biovar 1 melalui intra konjungtiva, kemudian dilakukan pengambilan serum
secara berkala dan selanjutnya contoh serum diperiksa secara serologis dengan metode RBT dan
CFT secara paralel. Titer yang muncul akan diamati dan akan diseleksi sebagai kandidat dalam
pembuatan kontrol positif standard.

Hasil penelitian menunjukkan titer antibodi kambing yang diifeksi kuman Brucella melitensis
muncul pada minggu ke-2 pasca infeksi dengan titer CFT 4/8. Titer antibodi kambing mencapai
puncak pada minggu ke-11, yaitu 4/256 titer CFT, dan mulai terjadi penurunan titer pada minggu
ke-28.

Kata kunci: Brucella melitensis, serologis

PENDAHULUAN

Brucellosis pada ruminansia kecil khususnya kambing dan domba


merupakan penyakit menular yang sangat penting terutama dari aspek
kesehatan masyarakat (Public health) mengingat penyakit ini menyebabkan
dampak zoonosis yang tinggi berupa kematian pada manusia. Penyakit ini
pada kambing dan domba ini utamanya disebabkan oleh kuman Brucella
melitensis, meskipun secara sporadis bisa juga disebabkan oleh kuman
Brucella abortus. Kejadian brucellosis pada kambing dan domba hampir
134 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
sama dengan kejadian pada sapi, hal ini menyebakan kerugian ekonomi yang
besar sebagai akibat antara lain terjadinya keguguran, ternak lahir lemah,
orchitis, gejala syaraf, dan peradangan pada persendianDi Indonesia status
kejadian brucellosis pada kambing dan domba belum banyak diketahui atau
dilaporkan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh masih belum dipahaminya
tentang epidemiologi penyakit, dampak zoonosis dan ekonomi yang
disebabkannya dan juga keterbatasan pemahaman tentang metode diagnosis
penyakit ini. Keterbatasan bahkan ketidaktersedianya data tentang kejadian
penyakit ini di Indonesia berdampak pada terhambatnya perdagangan
internasional terutama dalam proses ekportasi komoditas ternak kambing
dan domba dimana negara pengimport mempersyaratkan tentang status
brucellosis di tingkat negara maupun individu ternak.

Kambing dan domba secara parenteral terinfeksi dengan dosis kuman


B.melitensis yang cukup tinggi, baik kuman yang virulen maupun yang
dilemahkan (attenuated) serta baik hewan bunting maupun tidak bunting.
Respon serologis secara alamiah akan muncul pada minggu ke-2 sampai ke-
4, namun respon hewan bervariasi dan tidak bersamaan, sedangkan hewan
yang diinfeksi dengan kuman B.melitensis biovar 1 dengan dosis tinggi akan
mengalami peningkatan titer antibodi pada minggu pertama pasca infeksi
(Alton, 1990). Pola dari respon serologi dalam peningkatan immunoglobulin
sangat jarang dibahas pada ruminansia kecil, namun tidak berbeda jauh
dengan ruminansia besar seperti sapi. Produksi Ig M akan diikuti oleh
munculnya Ig G setelah 1-2 minggu, Ig M akan menurun pada fase infeksi
kronis, namun sebaliknya Ig G akan mendominasi setelah 27 minggu.

MATERI DAN METODA

Respon Serologis terhadap Brucella melitensis

Dalam penelitian digunakan 7 (tujuh) ekor kambing lokal betina


berumur sekitar 1-2 tahun milik Balai Besar Veteriner Maros, yang dibagi
menjadi 3 (tiga) kelompok. Kelompok pertama terdiri dari kambing bunting
(16 minggu dan 18 minggu) 2 ekor yang diinfeksi dengan kuman Brucella
melitensis biovar 1 secara intra conjuctiva, kelompok kedua adalah kambing
tidak bunting tapi pernah ada riwayat abortus namun diinfeksi dengan kuman
Brucella melitensis biovar 1, kelompok ketiga adalah kelompok yang tidak
diinfeksi (kontrol). Dosis kuman yang diinfeksi pada kedua kelompok
kambing tersebut sebanyak 2.40 x 10-5 mol/I (standard Mc Farland). Setelah
diinfeksi, sampel darah diambil setiap hari di awal pasca infeksi dan
selanjutnya contoh darah diambil setiap minggu. Sampel darah atau serum
selanjutnya diuji secara serologis dengan metode Rose Bengal Test (RBT)
dan Complement Fixation Test (CFT) secara bersamaan.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
135
Uji Serologis Brucellosis

Sampel serum diuji secara serologis, yaitu dengan metode RBT dan
CFT sesuai dengan prosedur standard OIE. Dalam pengujian RBT digunakan
antigen AHVLA, UK yang berisi kuman Brucella abortus namun antigen
ini lebih sensitif untuk ruminansia kecil, seperti kambing/domba. Untuk
prosedur uji RBT pada kambing/domba sesuai dengan standard OIE sedikit
dimodifikasi perbandingan antara antigen dengan antibodi, yaitu 1:3 (25 µl:75
µl), hal ini berbeda dengan uji RBT pada ternak sapi dimana perbandingan
antigen dengan antibody 1:1. Untuk prosedur uji CFT tidak ada perubahan
dengan prosedur pengujian sampel sapi, namun untuk inaktivasi serum pada
waterbath sedikit ditingkatkan suhunya, yaitu sekitar 60-62⁰ Celsius untuk
meminimalisir cross reaksi.

Penentuan kriteria hasil reaksi RBT


Amati adanya aglutinasi pada plate
Nilai 0 (negatif) bila tidak ada aglutinasi, campuran antigen
a]. dan serum tetap homogen dan berwarna ungu kemerah-
merahan.
Nilai +1, bila terjadi aglutinasi ringan berupa butiran halus
b]. dengan tepi dikelilingi partikel halus membentuk garis
yang terputus-putus.
Nilai +2, bila terjadi aglutinasi sedang berupa butiran
c]. seperti pasir dengan tepi pinggiran tebal yang dibentuk oleh
partikel aglutinasi.
Nilai +3, bila terjadi aglutinasi sempurna berupa butiran
e].
yang sangat jelas dan kasar.

Setelah dilakukan pengujian RBT, kemudian dilanjutkan dengan
pengujian Complement Fixation Test (CFT).Sebelum dilakukan uji CFT
semua sampel serum diinaktivasi di waterbath pada suhu 60°C selama 30
menit.Antigen CFT yang digunakan adalah antigen produksi ID.Vet Lot:
AG-BRU-002 yang berisi suspensi Brucella abortusbiovar 1 strain 99
weybridge yang telah diinaktivasi dengan pemanasan dan penambahan
phenol. Antigen CFT ini bisa digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
Brucella abortus, Brucella melitensis dan Brucella suis dengan titer 1/100.
Complement yang digunakan dalam pengujian ini adalah complement ID.Vet
Lot FCPLT-5ML-024 dengan titer complement yang digunakan untuk uji
CFT adalah 1/25, haemolysine yang digunakan adalah haemolysinstandard
produksi Daede Behring Lot: 302177dengan titer 1/1000.Buffer CFT yang
digunakn untuk pengenceran adalah Veronal buffer ID.Vet Lot: FVB-
1L-004 dengan mengencerkan 9,8gram (1 vial) veronal buffer dengan 1 liter
aquades steril . Prosedur uji CFT pada kambing domba tidak berbeda dengan
pengujian CFT pada sapi (B.abortus), hanya saja suhu pada saat inaktivasi
136 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
serum ditingkatkan menjadi 60-62°C (Nielsen, 2005).Prosedur uji CFT
sebagai berikut :

1. Sampel serum diinaktivasi terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu


60°C.
2. Tambahkan 25 μl buffer CFT pada semua lubang plate, dari kolom (A1-
H1).
3. Tambahkan 25 μl serum sampel pada lubang plate mikrotiter mulai deret
lubang A1 s/d F1, dan lubang G1 sebagai kontrol serum positif serta
lubang H1 sebagai kontrol negative. Lakukan pengenceran bertingkat
dengan mangambil 25 μl dari kolom 1 ditransfer ke kolom 2 ( kolom
1 sebagai kontrol anti-komplementer). Kemudian ambil lagi serum 25
μl dari kolom 2 transfer ke kolom 3 dan kocok 5 kali. Selanjutnya dari
kolom 3 diencerkan secara seri ke kolom berikutnya sehingga diperoleh
pengenceran bertingkat(1:4; 1:8; 1:16; 1:32; 1:64; 1:128; 1:256; 1:512;
1:1024) dan seterusnya terakhir 25 μl dibuang.
4. Tambahkan 25 μl buffer CFT pada kolom 1 untuk memenuhi volume 50 μl.
5. Tambahkan 25 μl antigen mulai dari kolom 2 (A2 s/d H2) dan selanjutnya
sampai kolom terakhir (A12 s/d H12). Pembacaan uji ini dimulai pada
pengenceran 1:4 yaitu pada lubang kolom kedua.
6. Tambahkan komplemen sebanyak 25 μl ke dalam semua lubang.
Siapkan komplemen titrasi balik dan plate kontrol sel.
7. Goyang perlahan plate untuk mencapur reagen, tutup plate dengan
microtiter lid khusus atau dengan cover plate. Kemudian inkubasi plate
pada suhu 37° C selama 30 menit.
8. Sambil menunggu masa inkubasi berakhir buat eritrosit tersensitisasi
yaitu dengan mencampur sama banyak haemolysin dan RBC domba 3%
(sel tersensitisasi). Kemudian aduk perlahan-lahan dan diinkubasikan
(menggunakan inkubator atau waterbath) pada suhu 37°C selama 15
menit dan tiap 5 menit digoyang/dishaker supaya tercampur baik.
9. Keluarkan plate dari inkubator dan tambahkan 25 μl sel tersensitisasi
pada semua lubang.
10. Tutup plate kembali dan inkubasikan pada suhu 37° C selama 30 menit
sambil dishaker dalam incubator atau alternatif lainnya adalah dengan
hand tapping.
11. Keluarkan plate dari inkubator, kemudian simpan dalam lemari es
sekurang-kurangnya 12 jam atau selama satu malam. Alternatif lainnya
adalah dengan menggunakanplate sentrifuge selama 5 menit pada 1000
rpm kemudian simpan dalam lemari es (4° C) selama 1 jam, kemudian
interpretasi hasil

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
137
Interpretasi hasil

Hasil reaksi fiksasi sempurna (reaksi 4+) akan terlihat adanya endapan
eritrosit di dasar plate sedangkan supernatannya jernih atau tidak berwarna.
Reaksi negatif (dinilai dengan 0), ditandai dengan adanya lysis sempurna,
kita tidak akan melihat adanya endapan eritrosit sedangkan supernatan akan
berwarna merah (haemoglobin). Variasi derajat lysis tidak sempurna dinilai
dengan 1+, 2+ dan 3+. Pada kolom kontrol anti-komplementer akan terlihat
adanya haemolysis sempurna.

Semua pengujian tersebut, baik pengujian RBT maupun pengujian


CFT menggunakan kontrol positif serum standard (antiserum) khusus untuk
Brucella melitensis produksi AHVLA, UK. Penggunaan serum kontrol
positif standard internasional ini dimaksudkan untuk menstandardisasi
pengujian dan memberikan jaminan terhadap hasil pengujian yang dilakukan
(J.McGiven et al, 2011).

HASIL

Rose Bengal Test (RBT). Sebanyak 280 sampel serum kambing yang
diuji dengan metode RBT yang telah dimodifikasi dengan menggunakan
antigen AHVLA, yaitu antigen RBT standard yang lebih sensitif untuk
kambing dan domba.

Complement Fixation Test (CFT). Dengan jumlah sampel serum yang


sama dengan sampel serum yang di uji RBT, semua sampel serum tersebut
diuji dengan metode CFT. Prosedur yang digunakan adalah prosedur standard
OIE (chapter 2.4.3) yang biasa digunakan untuk mendeteksi B.abortus, dalam
hal ini tidak ada perbedaan teknik pengujian dengan yang biasa digunakan
untuk sapi. Antigen CFT yang digunakan adalah antigen produksi ID.Vet
Lot: AG-BRU-002 yang berisi suspensi Brucella abortus biovar 1 strain
99 weybridge yang telah diinaktivasi dengan pemanasan dan penambahan
phenol. Antigen CFT ini bisa digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
Brucella abortus, Brucella melitensis dan Brucella suis dengan titer 1/100.
Complement yang digunakan dalam pengujian ini adalah complement ID.Vet
Lot FCPLT-5ML-024 dengan titer complement yang digunakan untuk uji
CFT adalah 1/25, haemolysine yang digunakan adalah haemolysin standard
produksi Daede Behring Lot: 302177 dengan titer 1/1000. Buffer CFT yang
digunakan untuk pengenceran adalah Veronal buffer ID.Vet Lot: FVB-
1L-004 dengan mengencerkan 9,8gram (1 vial) veronal buffer dengan 1 liter
aquades steril .

138 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Hasil pengujian RBT dan CFT, munculnya titer antibodi dapat
dilihat pada tabel berikut

Minggu Minggu
No.Epi Jum. Sampel
Ke (RBT) Ke (CFT)
Hitam (01) 40 2 2
Merah (02) 40 2 2
Putih Bintik (03) 40 2 2
Putih (04) 40 Neg Neg
Coklat (Kontrol Negatif) (05) 40 Neg Neg
Hitam (Kontrol Negatif) (06) 40 Neg +2
Pincang (Kontrol 40 Neg
Negatif) (07)
PC AHVLA 1 +1 +1
NC AHVLA 1 Neg Neg

Gambar 1. Kurva fluktuasi titer antibodi berdasarkan hasil uji CFT.

PEMBAHASAN

Brucellosis yang disebabkan oleh Brucella melitensis merupakan penyakit


zoonosis yang membawa dampak kerugian ekonomi bagi dunia paternakan,
terutama yang berkaitan dengan importasi ternak dan juga ancaman bagi
kesehatan manusia yang cukup serius (O.Shahaza et al, 2009). Brucella
melitensis merupakan agen utama penyebab brucellosis pada kambing dan
domba, keguguran serta produk-produk yang dihasilkan dari ternak tersebut
dapat menjadi sumber penularan infeksi. Prevalensi penyakit ini di Indonesia
belum diketahui secara pasti, kemungkinan penyebabnya adalah program
pemberantasan dan pengendalian brucellosis masih terfokus pada ternak sapi
(B.abortus), selain itu kurangnya pemahaman mengenai metode standard
yang digunakan dalam mendiagnosa Brucella melitensis menjadi faktor
utama kejadian ini tidak terdeteksi. Gejala klinis dari penyakit ini seringkali
terabaikan sehingga sulit menegakkan diagnosa secara klinis, oleh karena

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
139
itu pengujian serologis menjadi sangat penting dalam mendignosa penyakit.
Rose Bengal Test (RBT) dan Complement Fixation Test (CFT) merupakan
uji yang umum digunakan dalam mendiagnosa brucellosis pada kambing dan
domba (Farina, 1985;Alton, 1990; MacMilan,1990) dan pengujian ini diakui
untuk kepentingan perdagangan internasional (OIE,2008) meskipun uji
serologis lainnya, seperti iElisa, cElisa, FPA, Coombs test dapat digunakan.

Brucella adalah bakteri fakultatif intraseluler, setelah masuk kedalam


tubuh, organisme tersebut menguasai system pertahanan tubuh baik
seluler maupun humoral. Dalam percobaan ini diperoleh hasil bahwa yang
terbentuk pada kambing yang infeksi kuman Brucella melitensis biovar 1
mulai terdeteksi pada minggu ke-2 pasca infeksi dan mencapai puncaknya
pada minggu ke-11, yaitu 4/256 titer CFT, dan mulai terjadi penurunan
titer pada minggu ke-28. Kelompok yang bunting mengalami keguguran
setelah 4 minggu pasca infeksi, hal ini sesuai dengan (Nielsen, 1990) bahwa
kambing/domba yang bunting akan mengalami keguguran pada minggu ke
4-12 setelah diinfeksi secara parenteral maupun intra conjungtiva. Kambing
(04) mengalami abortus dan beberapa organ, seperti kotiledone, hati, limpa,
fetus, dan isi perut diisolasi, diperoleh hasil yang positif terhadap Brucella
melitensis. Hal ini memperkuat dan mendukung diagnosa secara serologis
serta dapat dijadikan kandidat dalam pembuatan kontrol serum positif
terstandard dalam pengujian Brucella melitensis. Keguguran biasa terjadi
pada saat kebuntingan diatas 2 bulan, anak lahir cenderung lemah bahkan
sampai mati. Kematian atau tidak berkembangnya janin disebabkan oleh
gangguan suplai darah karena adanya organisme yang menyerang kotiledon
sehingga mengalami nekrotik.

Dosis infektif dari kuman Brucella melitensis yang diinokulasikan


melalui intraconjunctiva adalah 2x10-4 untuk kambing dan 4x10-5untuk domba
(Nielsen, 1990). Konsentrasi antibody yang terbentuk juga dipengaruhi
oleh sifat dan lamanya antigen berada dalam tubuh. Protein antigen dengan
bobot molekul besar dengan sifat kimiawi kompleks akan lebih bersifat
antigenic dibandingkan dengan antigen polimer besar sederhana dengan
subunit berulang seperti lemak, asam nukleat dan karbohidrat (Tizard, 1982).
Pada umumnya kambing yang mendapat infeksi Brucella akan ditemukan
dalam kelas Ig M, IgG1 dan IgG2 (Rice dan Boyes, 1971). Ig M merupakan
antibody dominan pada brucellsis stadium kronis, yang dalam hal ini IgG1
lebih banyak dibandingkan IgG2. Terbentuknya antigen sangat dipengaruhi
oleh virulensi B.melitensis, karena B.melitensis yang virulen akan mampu
tumbuh dan berkembang biak dalam sel fagosit, sehingga infeksinya
akan berlangsung lama atau kronis. Menurut Tizard (1982), terbentuknya
antibody dalam tubuh inang tidak lepas dari peranan makrofag. Sisa antigen
yang terikat pada membran makrofag akan menstimulasi limfosit B (sel B)
untuk memperbanyak diri dan kemudian memproduksi antibody dan sel B
memori, sehingga apabila terjadi infeksi laten akan berakibat bahwa antigen

140 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
B.melitensis akan tetap tinggal dalam tubuh inang dalam jangka waktu lama.
Dengan demikian proses pembelahan sel B dan produksi antibody terus
berlangsung dan dapat dideteksi oleh uji serologis (Tizard, 1982).

RBT dan CFT adalah metode yang sudah umum dikenal dalam
mendiagnosa B.abortus pada sapi, namun uji ini direkomendasikan secara
internasional untuk digunakan dalam mendiagnosa B.melitensis pada
kambing dan domba, hanya saja memerlukan modifikasi dalam teknik
pengujian untuk meningkatkan sensitifitasnya (Blasco et al, 1994a; 1994b).
Sebagai screening test, RBT untuk mendiagnosa B. melitensis memiliki
sensitifitas yang rendah, hal ini terkait dengan standardisasi antigen
yang digunakan dalam pengujian B. melitensis. Rekomendasi dari Uni
Eropa menyebutkan bahwa suspensi antigen dalam buffer lactat pada pH
3,65±0,05 yang mampu mengaglutinasi pada pengenceran 1:47,5 (21 IU/
ml) standard internasional antiserum B. abortus tetapi memberikan reaksi
negatif pada pengenceran 1:55 (18,2IU/ml) dari serum yang sama (Council
Directive 64/432/EEC, 1964). Gambaran standardisasi ini lebih cocok
diterapkan untuk mendiagnosa infeksi B.abortus pada sapi (MacMillan,
1990) sehingga sensitifitasnya menurun pada pengujian untuk mendiagnosa
B. melitensis pada kambing dan domba (Falade, 1978,1983; Blasco 1994
a). Untuk meningkatkan sensitifitas pengujian secara signifikan khususnya
Rose Bengal Test (RBT) maka dilakukan modifikasi dengan meningkatkan
volume serum dari 25µl menjadi 75 µl (Blasco, 1994). Hal ini sejalan dengan
pengujian RBT pada serum kambing yang dilakukan di Balai Besar Veteriner
Maros, demikian juga dengan uji Complement Fixation Test (CFT) yang
banyak digunakan sebagai uji konfirmasi pada sapi namun pengujian ini juga
efektif untuk diagnosa pada kambing dan domba (Farina, 1985;MacMilan,
1990; Alton, 1990). Namun ada beberapa kelemahan pada saat melakukan
pengujian CFT pada sampel serum kambing dan domba didapatkan hasil
sensitifitas pengujian CFT (88,6%) lebih rendah disbanding dengan RBT
(92,1%) (Blasco, 1994a,b), selain itu pengujian CFT memiliki kompleksitas
dalam pengujian, variabilitas reagen, prozones, aktivitas anticomplementary
dari serum, dan subjektivitas dalam penentuan titer antibodi. Oleh karena itu
penggunaan dua metode uji serologis secara bersama-sama diperlukan dalam
mendiagnosa B. melitensis pada kambing dan domba untuk mendapatkan
sensitivitas yang lebih tinggi selain penggunaan kontrol serum standard dan
antigen yang sesuai dan lebih sensitif (European Commission, 2001).

Penggunan kontrol serum standard pada pengujian merupakan hal


yang penting untuk memberikan jaminan kualitas pada hasil pengujian, hal
ini seperti yang tercantum pada tabel 1. Serum kontrol positif dan negatif
standard yang digunakan adalah kontrol serum internasional produksi
Animal Veterinary Laboratory Agency (AHVLA, UK) yang digunakan
sebagai standard acuan oleh laboratorium referensi internasional. Dasar
standardisasi pengujian adalah adanya kontrol serum standard nasional dan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
141
internasional. Serum standard internasional adalah standard referensi primer
yang bertindak sebagai bahan referensi untuk melakukan kalibrasi metode
uji dan bahan serta sebagai prototype yang akan digunakan untuk kalibrasi
secara nasional. Rekomendasi OIE saat ini adalah bahwa setidaknya ada tiga
standard serum yang harus diproduksi, yaitu serum standard positif kuat,
serum standard positif lemah dan serum standard negatif. Serum standard
tersebut harus dihasilkan dari hewan yang menunjukkan respon imun yang
khas.

KESIMPULAN DAN SARAN

Respon serologi mulai muncul pasca inokulasi pada kambing yang


diinfeksi terlihat pada minggu ke 2 dan mencapai puncak titer antibody pada
minggu ke-18, kemudian terjadi penurunan titer antibody pada minggu ke-
28. Kelompok kambing yang bunting mengalami keguguran pada minggu
ke-4 pasca infeksi. Berdasarkan hasil uji RBT dan CFT diperoleh gambaran
titer antibody yang fluktuatif, namun untuk kambing kode 04 cukup stabil
dan hasil isolasi organ abortus menunjukkan hasil positif. Hal ini cukup
menjadi dasar untuk dijadikan kandidat serum standar nasional Brucella
melitensis sehingga sesuai dengan rencana Balai Besar Veteriner Maros
kedepan, yaitu memproduksi Indonesia Brucella melitensis Serum Standard
(IBmSS) sebagai kontrol serum standard nasional yang akan digunakan oleh
seluruh laboratorium veteriner di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Alton,G.G, 1990. Brucella melitensis. In: Nielsen, K. and J.R. Duncan (Ed),
Animal Brucellosis. Florida: CRC Press, Inc.

Blasco,J.,B. Garin-Bastuji,C.Marin, G. Gerbier,J.Fanlo, M.P. Jimenez de


Bagues, 1994. Efficacy of different Rose Bengal and Complement
Fixation Test antigens for the diagnosis of Brucella melitensis
infection in sheep and goats. Vet. Rec.,134(16):415-420

Farina, R. 1985. Current Serological Methods in B.melitensis Diagnosis,


p.139-146. In M. Plommet and J.M. Verger (ed) Brucella melitensis.
Martinus Nijhof Publ., Dordecht, The Netherlands.

European Union (2008). Commision Decision 2008/984/EC of 10


December 2008 amending Annex C to Council Directive 64/432/
EEC and Decision 2004/226/EC as regards diagnostic test for bovine
brucellosis. Off J. Eur. Union,31/12/2008.

MacMilan,A.,1990. Conventional Serological Test. In: Nielsen, K., D and


J.R. Duncan (Eds). Animal Brucellosis. Florida: CRC Press, Inc.,pp:
156-170.
142 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Nielsen, K.,D. Gall,P.Smith, R.Bermudez, F.Moreno, T.Renteria, A. Ruiz,
L. Aparicio,S. Vazquez, A. Dajer, E. Luna, L. Samartino and G.
Halbert, 2005. Evaluation of Serological Test for Detection of Caprine
Antibody to Brucella melitensis. Small Ruminant. Res., 56(1-3):253-
258.

Nielsen, K.W., W. Cherwonogrodzky, R. Duncan, and D.R. Budle. 1989.


Enzymed Linked Immunosorbant Assay for Differentiation of The
Antibody Response of Cattle Naturally Infected with Brucella abortus
or Vaccinated with Strain 19.

OIE (Office International des Epizooties), 2008. Caprine and Ovine


Brucellosis, chapter 2.4.3 and 2.7.2 of Diagnostic Test and Vaccines
for Teresteial Animals.

Tizard, J. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. 2nd Ed. Saunders


Company. Philadephia

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
143
OPTIMASI PROGRAM AMPLIFIKASI RT-PCR PENYAKIT
JEMBRANA PADA GEN GAG SECARA UTUH UNTUK
SEKUENSING DAN ANALISIS GENETIK
Angeliya L dan Srihanto E. A.

Balai Veteriner Lampung


Email penulis pertama: liza_angeliya@yahoo.com

ABSTRAK

Penyakit Jembrana disebabkan oleh lentivirus dari fam.ilia retroviridae. Wabah penyakit
Jembrana saat ini terjadi di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Sebanyak 21 kabupaten/kota
sudah terkonfirmasi positip penyakit Jembrana. Virus penyakit Jembrana menyandi 3 gen utama
yaitu gag, pol dan env. Pengujian telah dilakukan secara molekuler menggunakan tehnik RT-PCR
pada gen gag secara parsial. Data dan penelitian awal tentang gen gag secara utuh masih sangat
kurang. Penelitian ini bertujuan memperoleh suhu annealing yang optimal pada gen gag secara utuh
yang nantinya akan digunakan untuk sekuensing dan analisis genetik. Primer yang digunakan pada
gen gag sepanjang 1311 bp dibagi dalam 3 region. Desain primer dilakukan dengan perangkat lunak
Primer3 dan terbagi menjadi 3 region dengan 1 pasang primer pada masing-masing region. Panjang
amplikon yang didapatkan yaitu 468 bp, 719 bp dan 638 bp. Annealing masing-masing region pada
suhu 500C, 530C, 550C, 580C, 600C, 630C dan 650C. Optimasi program RT-PCR penyakit Jembrana
gen gag berjalan dengan baik. Suhu annealing optimal untuk region 1, 2 dan 3 adalah 530C, 550C
dan 600C. Primer tersebut dapat digunakan untuk melakukan sekuensing dan analisis genetik virus
Jembrana.

Kata kunci: Penyakit Jembrana, optimasi, annealing, sekuensing.

PENDAHULUAN

Penyakit Jembrana disebabkan oleh Virus Penyakit Jembrana yaitu


bovine lentivirus dari familia retroviridae. Kejadian penyakit pada sapi
Bali dilaporkan pada tahun 1964 di kabupaten Jembrana propinsi Bali.
(Kertayadnya et al, 1993). Kasus serupa terjadi di wilayah kerja Balai
Veteriner Lampung tahun 1976 di kecamatan Rama Dewa, Lampung Tengah
propinsi Lampung sehingga saat itu dikenal dengan nama penyakit Rama
Dewa. Penyakit ini menginfeksi sapi bali di Kabupaten Bengkulu Selatan
propinsi Bengkulu tahun 1994 dan Kabupaten Ogan Komering Ulu propinsi
Sumatera Selatan tahun 1999 (Prabowo, 2000).

Wabah penyakit Jembrana mulai terjadi kembali tahun 2016 hingga


saat ini. Laporan tahunan balai veteriner lampung (2017) menginformasikan
bahwa sebanyak 21 kabupaten/kota sudah terkonfirmasi positip penyakit
Jembrana baik secara klinis maupun melalui uji RT-PCR. Uji RT-PCR deteksi
virus penyakit jembrana dengan target gen gag parsial menggunakan primer
JDV1 dan JDV3 dengan fragmen pita DNA sepanjang 360 bp (Desport et al,
2007).

144 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Virus Penyakit Jembrana menyandi 3 gen yaitu gag, pol dan env.
Gen gag dalam virus penyakit jembrana merupakan gen yang conserve
sehingga potensial sebagai target amplifikasi. Sub unit capsid pada gen
tersebut menyandi protein mayor dan antigen yang bersifat imunodominan
serta bereaksi positif dengan antibodi hewan yang terinfeksi virus penyakit
Jembrana. Gen gag subunit capsid sering digunakan sebagai sumber vaksin
dan untuk deteksi serologik penyakit Jembrana (Barboni et al., 2001; Burkala
et al., 1998; Hartaningsih et al., 1994; Kertayadnya et al., 1993). Data dan
penelitian awal tentang gen gag secara utuh masih sangat kurang sehingga
primer didisain secara utuh sebagai langkah awal dalam analisa genetik.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan memperoleh suhu annealing amplifikasi RT-


PCR penyakit Jembrana pada gen gag secara utuh yang optimal sehingga
primer tersebut dapat digunakan untuk sekuensing dan analisis genetik.

MATERI

Bahan-bahan yang diperlukan pada teknik molekuler antara lain:


Purelink viral RNA/DNA minikit (Invitrogen) yang terdiri dari: viral lysis
buffer, wash buffer (I dan II), proteinase K (20 mg/mL), carrier RNA,
Nukleasease free water, viral spin columns with collection tubes, wash tubes
2,0 mL, recovery tubes 1,5 mL, purelink filter plate, receiver plate, deep well
plate dan foil tape; Primer forward dan reverse (Tabel. 2); Super Script III
One Step RT-PCR Platinum Taq HiFi (Invitrogen) yang terdiri dari: Super
Script III RT/Platinum Taq mix, 2x reaction mix (0,4 mM dari masing-masing
dNTP dan 6mM MgSO4), 50mM MgSO4; TBE buffer 1 x; Sybr safe dan 100
bp DNA Ladder (Invitrogen). Plasma sapi bali yang menunjukkan gejala
klinis penyakit Jembrana yang digunakan sebagai kontrol positif, plasma
sapi sehat sebagai kontrol negatif, dan plasma sapi positif penyakit BVD
serta nuclease free water (NFW) sebagai non template control (NTC).

Primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA didesain oleh Eko Agus
Srihanto menggunakan perangkat lunak Primer3. Primer spesifik untuk virus
Jembrana dengan target gen Gag utuh sepanjang 1311 bp terbagi dalam 3
region. Primer yang didesain memiliki produk amplikon 476, 718 dan 636
bp pada masing-masing region. Sekuens primer yang digunakan dapat dilihat
di Tabel 1.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
145
Tabel 1. Sekuens primer yang digunakan

Kode Sekuens (5’-3‘) Posisi Produk


JDVgag-EL.1F : ACAACCAAGTGAGGTGAGTACTTG LTR
476
JDVgag-EL.1R : GACTCCCTTTCTCTGATTGTCCAT 544 - 567
JDVgag-EL.2F : CGTTTCCAGTCGTTGGATTTAC 401 - 422
718
JDVgag-EL.2R : CCATACCCTCCAATGCTGTAAC 1097 - 1118
JDVgag-EL.3F : ATGCAGAGACACTTATAGGCAGTG 964 - 987
636
JDVgag-EL.3R : ATCTATCAAAGCCCTAACCCACCT 1576 - 1599

METODE

Ekstraksi RNA dilakukan dengan menggunakan Purelink Viral RNA/


DNA minikit. Prosedur yang digunakan sesuai dengan petunjuk pabrik
(Invitrogen). Sebanyak 200 µl suspensi sampel ditambah dengan 200 µl
lysis buffer, carrier 5,88 µl dan 25 µl Proteinase K dicampurkan dalam
tube 1,5 ml. Suspensi divortex dan diinkubasikan pada suhu 560C selama
15 menit. Suspensi ditambah 250 µl alkohol absolut dan diinkubasikan pada
suhu ruang selama 5 menit. Suspensi ditransfer ke dalam spin column dan
disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Collection tube
diganti dan ditambahkan 500 µl Wash Buffer pada spin column. Collection
tube disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit. Cairan pada
colection tube dibuang. Collection tube ditambahkan lagi 500 µl Wash
Buffer, kemudian disentrifus dengan kecepatan 10.000 rpm selamab1 menit.
Collection tube diganti dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm
selama 1 menit. Collection tube diganti dengan recovery tube ukuran 1,5
ml dan ditambahkan 50 µl nuclease free water (NFW). Recovery tube yang
berisi NFW diinkubasikan dalam suhu ruang selama 1 menit, kemudian
disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit. Dioxynucleic acid
(RNA) yang diperoleh dapat langsung segera diamplifikasi atau disimpan
dalam freezer bersuhu -200C/-800 C.

Amplifikasi DNA digunakan tehnik RT-PCR. Optimasi dilakukan untuk


mendapatkan suhu annealing. Annealing temperatur didapatkan dari melting
temperature primer yang digunakan. Perhitungan melting temperature
digunakan rumus : 2 (AT) + 4 (GC) (Cateno-Anoles et.al, 1991). Volume
total reaction mix untuk masing-masing region adalah 25 µl yang terdiri atas
12,5 µl PCR 2x Mix, SS III Platinum taq, primer forward dan reverse masing-
masing 1 µl dengan konsentrasi 20 pmol, 7 µl NFW dan 2,5 µl template
RNA. Thermocycler disiapkan dengan program sebagai berikut: Reverse
transcriptase (suhu 500 selama 30 menit), pre denaturasi (suhu 950C selama
5 menit); denaturasi (suhu 950C selama 20 detik); annealing masing-masing
region (suhu 500C, 530C, 550C, 580C, 600C, 630C dan 650C selama 45 detik);
ekstensi (suhu 720C selama 1 menit) sebanyak 35 siklus; ekstensi akhir (suhu
720C selama 5 menit).
146 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Elektroforesis DNA dilakukan pada gel agarose 1,5 % dengan pewarnaan
sybrsafe dalam larutan TBE buffer 1 x. Gel produk amplifikasi PCR
divisualisasikan di atas UV transiluminator dan hasilnya didokumentasikan
dengan kamera. Analisis hasil amplifikasi berdasarkan ukuran dari masing-
masing fragmen atau pita DNA dibandingkan dengan posisi pita dari marker.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode uji RT-PCR terhadap penyakit Jembrana dilakukan sebagai


metode deteksi yang mempunyai akurasi tinggi dan lebih cepat dibandingkan
dengan metode uji lainnya. Pengembangan metode uji RT-PCR dengan
primer baru dibutuhkan tahap optimasi untuk menentukan suhu annealing
yang sesuai. Penghitungan dan penetapan suhu annealing yang tepat sangat
penting bagi keberhasilan proses optimasi program RT-PCR (Pestana et
al., 2010). Perlekatan antara oligonukleotida primer dengan untas tunggal
cetakan DNA dipengaruhi suhu annealing. Suhu annealing didapatkan dari
perhitungan suhu melting primer yang didesain. Suhu annealing biasanya
berselisih 3-50C lebih rendah dari suhu melting. Suhu annealing pada program
RT-PCR digunakan suhu berkisar anatar 50-650C. Perhitungan melting
temperature digunakan rumus : 2 (AT) + 4 (GC) (Cateno-Anoles et.al, 1991).
Suhu yang digunakan pada optimasi ini bertingkat mulai 500C, 530C, 550C,
580C, 600C, 630C dan 650C. Semua suhu yang digunakan menunjukkan hasil
positip akan tetapi dipilih suhu yang menghasilkan amplikon dengan pita
DNA yang paling terang, jelas dan tunggal.

Amplikon primer region 1 yang dihasilkan pada suhu 530C menunjukkan


band yang lebih terang dibandingkan dengan suhu optimasi yang lainnya,
Region 2 pada suhu 550C, dan region 3 pada suhu 630C diperoleh hasil
gambar pita DNA yang terang dan tunggal. Suhu annealing yang disarankan
digunakan dari hasil optimasi adalah suhu 530C, 550C dan 630C untuk region
1, 2 dan 3 dengan amplikon masing-masing sepanjang 476 bp, 718 bp dan
636 bp. Hasil ini sesuai dengan desain primer yang menginisiasi gen Gag
pada masing-masing region posisi sekuen nukleotida LTR-576, 401-1118
dan 967-1599 dapat dilihat pada gambar 1, 2 dan 3.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
147
Gambar 1. Hasil optimasi program amplifikasi RT-PCR Virus Jembran gen
Gag primer Region 1

Keterangan : M : marker; 1&2: suhu 530C; 3&4: suhu 550C; 5&6: suhu
580C; 7&8: suhu 600C; 9&10: suhu 630C; 11&12: suhu 650C;
13: Kontrol negatif (plasma sapi sehat); 14: Kontrol negatif
(plasma sapi BVD); 15: NTC (Non Template Control)

Gambar 2. Hasil optimasi program amplifikasi RT-PCR Virus Jembran gen


Gag primer Region 2

Keterangan : M: marker; 1: suhu 500C; 2: suhu 530C; 3: suhu 550C; 4: suhu


580C; 5: suhu 600C; 6: suhu 630C; 7: suhu 650C; 8: Kontrol
negatif (plasma sapi sehat); 9: Kontrol negatif (plasma sapi
BVD); 10: NTC (Non Template Control)

Gambar 3. Hasil optimasi program amplifikasi RT-PCR Virus Jembran gen


Gag primer Region 3

148 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Keterangan : M: marker; 1&2: suhu 500C; 3&4: suhu 530C; 5&6: suhu
550C; 7&8: suhu 560C; 9&10: suhu 580C; 11&12: suhu 600C;
13: Kontrol negatif (plasma sapi sehat); 14: Kontrol negatif
(plasma sapi BVD); 15: NTC (Non Template Control)

Primer yang digunakan spesifik terhadap virus penyakit Jembrana dan


tidak mengamplifikasi penyakit lain pada sapi. Hal ini terlihat dari penggunaan
sampel plasma sapi positif penyakit BVD dan plasma sapi sehat yang tidak
teramplifikasi menggunakan primer tersebut. Plasma tersebut selain sebagai
kontrol negatif juga dapat digunakan untuk mengetahui spesifitas perimer
yang digunakan. Uji spesifisitas dilakukan dengan melakukan amplifikasi
DNA sampel dari penyakit lainnya. Uji spesifisitas dilakukan dengan tujuan
untuk memastikan bahwa primer yang didesain hanya mendeteksi gen target
gag pada virus penyakit jembrana dan tidak mampu mendeteksi gen ataupun
penyakit lain.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah memperoleh


suhu annealing optimal untuk primer region 1, 2 dan 3 adalah 530C, 550C dan
600C. Primer yang digunakan spesifik dan tidak mengamplifikasi penyakit
lain pada sapi. Primer tersebut dapat digunakan untuk melakukan sekuensing
dan analisis genetik virus penyakit Jembrana. Penelitian ini perlu dilanjutkan
dengan Sekuensing dan Analisis genetik terhadap virus penyakit jembrana di
Wilayah Kerja Balai Veteriner Lampung. Hasil sekuensing diharapkan akan
diperoleh sekuen gen gag utuh, jarak genetik dan nilai homologi dibandingkan
dengan virus penyakit jembrana terdahulu maupun yang terjadi di Indonesia
saat ini serta Philogenic tree.

Keterbatasan dari penelitian ini adalah sampel ataupun RNA penyakit


yang lain pada sapi sebagai kontrol negatif terbatas. Sampel ataupun RNA
penyakit yang lain juga dapat digunakan untuk mengetahui spesifitas dari
Primer yang digunakan selain sebagai kontrol negatif. Kontrol Negatif pada
penelitian ini hanya menggunakan sampel plasma sapi positif penyakit BVD
dan sampel plasma dari sapi yang sehat.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
149
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2017. Laporan Tahunan Balai Veteriner Lampung. Tersedia pada:


http;//bvetlampung.ditjennak.pertanian.go.id

Barboni, P., Thompson, I., Brownlie, J., Hartaningsih, N. and Collins, M.E.
2001. Evidence for the presence of two bovine lentiviruses in the
cattle population of Bali. J. Vet. Microbiol. 80: 313-327.

Burkala, E.J., Narayani, I., Hartaningsih, N., Kertayadnya, G., Berryman,


D.I. and Wilcox, G.E. 1998. Recombinant Jembrana disease virus
proteins as antigens for detection of antibody to bovine lentivirus. J.
Vir. Methods. 74: 39-46.

Cateno-Anolles, G., Bassam, B.J and Gresshoff, P.M. 1991. High resolution
DNA amplification fingerprinting using very short arbitrary
oligonucleotide primers. Biotechnology. 9 : 553-557

Desport, M., Steward, M.E., Wilcox, G.E., 2007. Sequence Analysis of


Jembrana Disease virus Replication Dynamics in vivo reveals strain
variation and atypical responses to infection. Virology. 386: 310-316

Hartaningsih, N., Wilcox, G.E., Kertayadnya, G. and Astawa, M. 1994.


Antibody response to Jembrana disease virus in Bali cattle. J. Vet.
Microbiol. 39: 15-23.

Kertayadnya, G., Wilcox, G.E., Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Coelen,


R.D., Collins, M.E and Brownlie, J. 1993. Characteristic of a retrovirus
associated with Jembrana disease in Bali cattle. J. Gen. Virol. 74:
1765-1778.

Pestana, E.A., Belak, S., Diallo, A., Crowther, J.R., Viljoen, G.J. 2010. Early,
Rapid and Sensitive Veterinary Molecular Diagnostics – Real Time
PCR Applications. New York. LondonSpringer Dordrecth Heidelberg.

Prabowo, H. 2000. Kasus Penyakit Jembrana pada Sapi bali di Kecamatan


Belitang OKU Timur Sumatera Selatan. Velabo volume XV. 01: 15-17

150 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEWARNAAN IMMUNOPEROXIDASE (IPX) PADA BIAKAN
SEL MADIN-DARBY BOVINE KIDNEY (MDBK) SEBAGAI
SALAH SATU UPAYA UNTUK MENDAPATKAN ISOLAT
LOKAL VIRUS BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD)
Suryo Purnomo Edi, Lukman, Afif Ibrahim, Trian Mahawan, Sodirun

Balai Veterner Subang


email : spurnomo.e@gmail.com

ABSTRAK

Bovine Viral Diarrhea (BVD) adalah salah satu penyakit viral yang dapat menurunkan
reproduksi dan produktifitas pada sapi. Berdasarka pengujian secara laboratoris, penyakit BVD
telah menjangkiti sapi-sapi di wilayah kerja Balai Veteriner Subang. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan isolat lokal asal Provinsi Jawa Barat. Sebanyak 9 serum sapi yang pada pengujian
sebelumnya menggunakan Antigen Capture ELISA (ACE) dinyatakan positif antigen virus BVD,
digunakan sebagai sampel pada penelitian ini. Sampel berasal dari Provinsi Jawa Barat yang diambil
pada tahun 2016 dan 2017. Sampel diinokulasikan ke biakan sel Madin-Darby Bovine Kidney
(MDBK). Pewarnaan Immunoperoxidase (IPX) digunakan untuk menentukan adanya infeksi virus
BVDV pada biakan sel MDBK. Sebagai uji konfirmasi digunakan metode polymerase chain reaction
(PCR). Dari 9 sampel yang diuji didapatkan 2 sampel positif BVD dan juga menjadi isolat lokal virus
BVD. Penerapan metode isolasi virus BVD di Balai Veteriner sangatlah penting mengingat metode
tersebut menurut OIE merupakan gold standard pengujian diagnostik terhadap BVD. Isolat lokal
virus BVD tersebut selanjutnya perlu dikarakterisasi lebih lanjut dan dapat digunakan sebagai bahan
biologis untuk lebih memahami virus BVD yang bersirkulasi di Indonesia.

Kata kunci : BVD, isolat lokal, IPX, gold standard

PENDAHULUAN

Salah satu program yang sedang dijalankan oleh Direktorat Jenderal


Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tahun 2018 adalah Upaya Khusus
Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB). Untuk mencapai keberhasilan
terhadap program tersebur, dibutuhkan sapi dengan status reproduksi yang
baik. Adanya ganguan reproduksi pada sapi tentunya akan mengganggu
jalannya program UPSUS SIWAB. Gangguan reproduksi pada sapi dapat
bersifat menular dan tidak menular (Beveridge, 1983). Adanya penyakit
reproduksi yang bersifat menular akan memberi dampak sangat luas pada
peternakan di Indonesia.

Beberapa penyakit reproduksi menular yang telah terdeteksi pada


sapi – sapi khususnya pada sapi potong di Indonesia adalah Brucellosis,
Leptospirosis, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Viral
Diarrhea (BVD), Bluetongue dan Toxoplasmosis (Adjid, 2004). Salah
satu penyakit reproduksi menular yang perlu diwaspadai adalah BVD,
karena selain menimbulkan gangguan reproduksi dapat pula menimbulkan
imunosupresif sehingga terjadi infeksi sekunder (Houe, 1999). Adanya
infeksi infeksi BVD menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan sektor
terhadap peternakan.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
151
Hal utama yang perlu diwaspadai pada infeksi virus BVD adalah
adanya infeksi persiten (IP). Sapi dengan IP menjadi sumber penularan
virus BVD di dalam suatu peternakan. Sapi IP akan mengeluarkan virus
sepanjang hidupnya yang akan menyebabkan infeksi virus BVD akan tetap
ada di peternakan tersebut (Lanyon et al., 2014). Virus BVD terbagi dalam
dua biotipe, yaitu non-cytopathogenic (NCP) and cytopathogenic (CP),
berdasarkan efeknya pada kultur sel (Gamlen et al., 2010). Adanya virus
BVD dengan biotipe NCP dalam suatu peternakan dapat menjadi salah satu
tanda bahwa di peternakan tersebut terdapat sapi dengan IP. Karena sumber
penularan virus BVD NCP adalah sapi IP (Brownlie, 1990). Program untuk
mengendalikan infeksi BVD sebagian besar adalah dengan menghilangkan
sapi IP pada suatu peternakan (Linberg dan Alenius, 1999).

Untuk mengetahui adanya infeksi virus BVD pada sapi diperlukan


pengujian diagnostik yang mampu mendeteksi infeksi virus atau mampu
mendeteksi adanya antigen spesifik terhadap virus BVD dan juga pengujian
yang mampu mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap virus BVD (Saliki
dan Dubovi, 2004). Sebagai laboratorium kesehatan hewan tingkat nasional,
Balai Veteriner dituntut mampu mendeteksi adanya infeksi virus BVD
dengan berbagai jenis pengujian diagnostik. Metode pengujian diagnostik
yang menjadi gold standard menurut OIE adalah isolasi virus BVD. Selama
ini yang metode pengujian diagnostik yang sudah diterapkan di Balai
Veteriner Subang adalah RT-PCR, ELISA untuk mendeteksi antigen spesifik
terhadap virus BVD dan ELISA untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik
terhadap BVD. Untuk melengkapi pengujian diagnostik terhadap penyakit
BVD maka Balai Veteriner Subang mencoba menerapkan pengujian isolasi
terhadap virus BVD.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengujian


diagnostik di Balai Veteriner Subang yaitu dengan melakukan isolasi dan
identifikasi virus BVD. Dengan menerapkan metode isolasi dan identifikasi
virus BVD maka diharapkan akan mendapakan isoalat lokal virus BVD asal
Provinsi Jawa Barat. Isolat yang akan didapat akan diketahui biotipenya
sehingga akan membantu untuk lebih memahami karakter virus BVD yang
bersirkulasi di Provinsi Jawa Barat.

MATERI DAN METODE

Sampel

Penelitian ini menggunakan sampel serum sapi yang positif terhadap


antigen spesifik BVD (ELISA) dari tahun 2016 dan 2017 asal Provinsi Jawa
Barat. Kontrol positif virus BVD CP menggunakan isolat BVD strain Singer
dan kontrol positif virus BVD NCP menggunakan isolat BVD 0475-WI.
152 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Rincian sampel penelitian.

No. ID sampel Tahun


1 0816399/046 2016
2 0816339/047 2016
3 0816439/007 2016
4 0816439/010 2016
5 0816627/179 2016
6 0817381/053 2017
7 0817529/008 2017
8 0817542/005 2017
9 0817545/112 2017

Isolasi virus

Untuk mengisolasi virus BVD pada penelitian ini digunakan sel


lestari yaitu Madin-Darby Bovine Kidney (MDBK). Sel MDBK dikultur
menggunakan Minimum Essential Medium Eagle SIGMA (cat M4655)
dengan suplemen horse serum Gibco® (cat 16050-122). Serum sampel
Sebanyak 25 µl dimasukkan ke dalam empat sumuran dari 96-well tissue
culture microplate. Kemudian tambahkan 100 µl suspense sel MDBK
dengan konsentrasi 150.000 sel/ml. Mikroplat kemudian diinkubasikan pada
suhu 37ºC dengan CO2 5% selama empat hari. Amati secara mikroskopis
adanya sitopatologi. Setelah empat hari kultur sel dibekukan ke dalam -80ºC
dan sebanyak 50 µl supernatant dari cairan kultur sel tersebut dilintaskan
(passaged) ke kultur sel yang baru. Ulangi kultur sebanyak tiga kali.

Pewarnaan IPX

Reagen yang digunakan untuk pewarnaan immunoperoxidase (IPX)


adalah sebagai berikut : Tween® 20 Merck (cat 8.22184.0500) sebagai
bahan PBST untuk pencucian, BVDV 1-2 MAb VMRD (cat 348) sebagai
antibodi primer, Goat Anti-Mouse (H+L) HRP Conjugate BIO-RAD (cat
170-6516) sebagai antibodi sekunder, 3-Amino-9-ethyl-carbazole SIGMA
(cat A6926-100TAB) sebagai substrat. Langkah-langkah pewarnaan IPX
yaitu, mikroplat yang sudah diinfeksi dengan serum sampel kemudian
difiksasi dengan 20% aseton. Mikroplat kemudian dicuci dengan PBS.
Buang cairan PBS lalu tambahkan 50 µl antibodi primer ke masing-masing
sumuran. Mikroplat diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 15 menit. Setelah
inkubasi kemudian mikroplat dicuci dengan PBST sebanyak tiga kali. Buang
cairan PBST kemudian tambahan 50µl antibodi sekunder ke masing-masing
sumuran. Mikroplat diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 15 menit. Setelah
inkubasi kemudian mikroplat dicuci dengan PBST sebanyak tiga kali. Buang
cairan PBST kemudian tambahan 100µl substrat ke masing-masing sumuran.
Mikroplat diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 30 menit. Mikroplat kemudian

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
153
diamati menggunakan mikroskop inverted. Hasil positif ditunjukkan dengan
adanya presipitat berwarna merah pada sitoplasma kultur sel MDBK.

RT-PCR

Cairan kultur sel diekstraksi menggunakan Rneasy® Mini Kit (250)


Qiagen (cat 74106). Kemudian master mix menggunakan QIAGEN®
OneStep RT-PCR Kit (cat 210210). Langkah-langkah ekstraksi dan master
mix sesuai dengan instruksi manual dari masing-masing kit yang digunakan.
5’ untranslated region (UTR) dari isolate virus kemudian diamplifikasi
menggunakan metode RT-PCR menggunakan primer 324-326 (Vilcek et al.,
1994).

Tabel 2. Desain primer 324-326 (Vilcek et al., 1994).

Primer Sequence Produk


324 5’ ATG CCC WTA GTA GGA CTA GCA 3’ 285 bp
326 5’ TCA ACT CCA TGT GCC ATG TAC 3’

HASIL

Dari sembilan sampel dengan perincian lima sampel berasal dari tahun
2016 dan empat sampel berasal dari tahun 2017 yang diuji, sejumlah dua
sampel menunjukkan hasil positif pada pewarnaan immunoperoxidase (IPX).
Hasil yang sama ditunjukkan oleh pengujian RT-PCR (Tabel. 3).

Kedua sampel positif tersebut adalah 0816627/179 berasal dari tahun


2016 dan 0817545/112 berasal dari tahun 2017. Kedua sampel positif
merupakan BVD dengan biotipe non cytopathogenic (NCP).

Tabel 3. Hasil pengujian dengan pewarnaan immunoperoxidase (IPX)


kemudian dikonfirmasi dengan pengujian RT-PCR. Keterangan :
(-) : Negatif, (+) : Positif, NCP : non cytopathogenic.

No ID sampel Tahun IPX RT-PCR Biotipe


1 0816399/046 2016 - -
2 0816339/047 2016 - -
3 0816439/007 2016 - -
4 0816439/010 2016 - -
5 0816627/179 2016 + + NCP
6 0817381/053 2017 - -
7 0817529/008 2017 - -
8 0817542/005 2017 - -
9 0817545/112 2017 + + NCP

154 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMBAHASAN

Virus Bovine Viral Diarrhea termasuk dalam genus Pestivirus dan


family Flaviviridae (Becher dan Thiel, 2011). Untuk mengetahui adanya
BVD dalam suatu peternakan sapi dibutuhkan pengujian diagnostic yang
akurat, efisien dan efektif. Saat ini sudah tersedia berbagai macam pengujian
untuk mendeteksi virus BVD, antigennya maupun antibodinya. Hasil dari
pengujian diagnostik tersebut akan bervariasi tergantung status infeksi dari
virus BVD pada saat ini ataupun kejadian yang telah lalu (Lanyon et al.,
2014).

Isolasi virus menjadi gold standard untuk diagnosis virus BVD.


Akan tetapi saat ini penggunaan RT-PCR lebih sering digunakan dan telah
diterima sebagai standard untuk diagnosis terhadap virus BVD (Herting et
al., 1991). RT-PCR lebih disukai daripada isolasi virus karena menghemat
waktu pengujian, lebih murah, tidak membutuhkan fasilitas untuk kultur sel
dan memiliki sensitivitas yang tinggi (Kim dan Dubovi, 2003). Pengujian
diagnostik terhadap virus BVD terus berkembang dan mengalami kemajuan.
Saat ini telah tersedia beberapa komersial kit enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA) untuk mendeteksi antigen BVD pada beberapa sampel seperti
serum, susu dan potongan telinga (ear notches). Pengujian dengan ELISA
sangat simpel, menghemat biaya, tidak memerlukan fasilitas sel kultur
dan tidak terpengaruh terhadap lamanya penyimpanan sampel (Saliki dan
Dubovi, 2004).

Immunohistochemistry (IHC) adalah salah satu metode yang popular


untuk mendeteksi adanya antigen BVD di Amerika Serikat. IHC sangat
cocok untuk sampel dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi memiliki
beberapa kekurangan yaitu sampel yang digunakan hanya terbatas pada
sampel jaringan, membutuhkan tenaga kerja yang intesif bekerja, rentan
terhadap kesalah teknis, penilaiannya secara subyektif, membutuhkan tenaga
yang berpengalaman untuk menjamin keakurasian hasil pengujian (Driskell
dan Ridpath, 2006).

Untuk mengetahui lebih lanjut terhadap status infeksi BVD di suatu


peternakan dibutuhkan metode pengujian diagnostik yang komprehensif.
Untuk itu laboratorium pengujian penyakit hewan perlu mengusai berbagai
macam teknik pengujian diagnostik terhadap virus BVD. Isolasi virus
menjadi salah satu pengujian yang penting dalam mendiagnosis BVD.
Dengan isolasi virus kita akan mendapatkan isolat virus yang akan dapat
digunakan sebagai bahan biologis untuk lebih memahami virus BVD yang
bersirkulasi di Indonesia.disamping itu pula dengan isolasi virus kita akan
mengetahui biotipe dari isolat virus BVD.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
155
Biotipe virus BVD sangat penting untuk diketahui. Biotipe virus BVD
ada dua, yaitu non-cytopathogenic (NCP) dan cytopathogenic (CP). Biotipe
tersebut berdasarkan efek yang ditimbulkan oleh virus BVD pada kultur
sel. CP akan menimbulkan apoptosis pada kultur sel sedangkan NCP tidak
(Gamlen et al., 2010). Pada penelitian kali ini didapatkan isolat virus BVD
dengan biotipe NCP (Tabel. 3). Hasil isolasi kemudian dikonfirmasi dengan
pengujian RT-PCR terhadap virus BVD menunjukkan hasil yang sesuai
(Gambar. 2). Adanya virus BVD NCP menunjukkan bahwa di peternakan
sapi tersebut terdapat sapi dengan infeksi persisten (IP) karena sumber
penularan dari virus BVD NCP adalah sapi IP (Browlie, 1990). Virus BVD
NCP menjadi penyebab infeksi akut dan dapat ditularkan melalui berbagai
macam cairan tubuh seperti leleran hidung, urin, susu, semen, air liur, air mata
dan cairan ketuban (Meyling et al., 1990). Pada sapi yang tidak bunting dan
tidak memiliki imunitas terhadap virus BVD, NCP BVD akan menyebabkan
infeksi akut, menimbulkan viremia hingga antibodi terbentuk (Howard,
1990). Infeksi akut akan berdampak pula pada sistem reproduksi yang akan
menyebabkan turunnya conception rates (Mc Gowan et al., 1993), aborsi
dan kelainan kongenital (Sprecher et al., 1991). Pada sapi pejantan akan
menyebabkan penurunan densitas dan motilitas serta akan meningkatkan
abnormalitas sperma (Paton et al., 1989). Infeksi pada sapi betina bunting
setelah hari ke tigapuluh dan selama trimester pertama kebuntingan akan
melahirkan pedet dengan IP (Brownlie et al., 1998). Infeksi antara 80-150
hari kebuntingan akan menyebabkan kelainan teratogenik terhadap fetus
(Brown et al., 1974). Sapi indukan non-IP yang membawa fetus dengan IP
dikenal sebagai sapi “Trojan”. Induk tersebut nampak kebal terhadap virus
BVD dan nampak sehat, pada kenyataannya menyimpan sumber potensi
infeksi virus yaitu di dalam pedet yang belum lahir. Sekali pedet itu lahir
maka maka akan menyebarkan virus BVD dalam jumlah besar (Brownlie et
al., 1998).

Untuk memvisualisasikan adanya virus BVD pada kultur sel


diperlukan teknik immunostaining. Immunostaining merupakan bagian dari
imunositokimia (Immunocytochemistry/ ICC). Imunositokimia didefinisikan
sebagai identifikasi adanya antigen yang terikat dengan sel atau jaringan
secara in situ, melalui reaksi spesifik antara antigen dan antibodi. Keuksesan
imunositokimia dikarenakan beberapa factor yaitu : preservasi dari bentuk
antigen yang dapat dikenali oleh antibodi, pemakaian antibodi yang sesuai,
serta pemilihan label yang tepat (Brooks, 2001).

Pada penelitian kali ini digunakan antibodi monoklonal. Antibodi


monoclonal yang digunakan adalah immunoglobulin G anti virus BVD
yang diproduksi pada tikus. Antibodi monoklonal memiliki kelebihan yaitu
spesifitasnya yang absolut yang berarti hasil pelabelannya sangat bersih.
Monoklonal antibodi biasanya didapat dari tikus atau mencit, mewakili
immunoglobulin yang diproduksi dari satu klon sel immortal yang diarahkan
pada stu epitop saja (Brooks, 2001).
156 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Hal yang penting pada metode ICC adalah deteksi ikatan antigen dan
antibodi akan berikatan dengan antibodi sekunder. Antibodi sekunder yang
dipakai harus sesuai dengan antibodi primer. Sebagai contoh bila yang
digunakan sebagai antibodi primer adalah IgG dari tikus maka antibodi
sekunder yang digunakan adalah antibodi anti IgG tikus. Apabila yang
digunakan sebagai antibodi sekunder adalah anti IgM tikus maka tidak akan
sesuai. (Brooks, 2001). Pada penelitian ini digunakan antibodi sekunder
anti IgG tikus yang dilabel dengan Horse Radish Peroxidase (HRP). Maka
antibodi sekunder tersebut akan berikatan dengan antibodi primer yang
digunakan.

Label enzim yang paling umum digunakan adalah Horse Radish


Peroxidase (HRP) dan alkali fosfatase. Saat ini banyak tersedia antibodi
primer dan sekunder dan reagen imunositokimia lainnya yang diberi label
dengan senyawa-senyawa ini. Prinsipnya menggunakan label enzim apa
pun adalah bahwa reaksi label enzim dengan substrat ditambah kromogen
yang larut akan menghasilkan produk berwarna yang mengendap atau yang
tidak larut sehingga dapat terlihat oleh mikroskop cahaya. Untuk reaksi
Horse Radish Peroxidase (HRP) dengan hidrogen peroksida plus kromogen
3-amino-9-ethylcarbazole (AEC) menghasilkan presipitat merah seperti
yang ditunjukkan pada gambar 1 (Graham et al., 1965).

Gambar 2. Hasil pewarnaan immunoperoxidase (IPX) dengan perbesaran


400X menunjukkan hasil positif terlihat adanya distribusi
antigen BVD pada sitoplasma dari sel MDBK (berwarna merah
bata), (A) Sampel 0816627/179; (B) Sampel 0817545/112

Metode RT-PCR digunakan untuk konfirmasi hasil pewarnaan IPX.


Primer yang digunakan pada penelitian kali ini adalah primer 324 dan
326 (Vilcek et al., 1994). Produk PCR yang dihasilkan adalah 285 bp
(Gambar. 2). Hasil pengujian menggunakan pewarnaan IPX dengan RT-PCR
menunjukkan hasil yang sama (Tabel. 3).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
157
Gambar 2. Hasil RT-PCR dengan produk 285 bp, (A) sampel tahun 2016
(1: Marker 100 bp, 2 : 0816399/046, 3 : 0816339/047, 4 :
0816439/007, 5 : 0816439/010, 6 : 0816627/179, 7 : kontrol
negatif, 8 : strain Singer, 9 : 0475-WI ); (B) untuk sampel tahun
2017 (1 : Marker 100 bp, 2 : 0817381/053, 3 : 0817529/008, 4
: 0817542/005, 5: 0817545/112, 6 : kontrol negatif, 7 : strain
Singer, 8 : 0475-WI)

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada penelitian ini berhasil mendapatkan dua isolat lokal virus BVD asal
provinsi Jawa Barat (0816627/179 dan 0817545/112). Kedua isolate virus
BVD tersebut termasuk dalam virus NCP BVD.Balai Veteriner Subang telah
berhasil melaksanakan metode diagnostik isolasi dan identifikasi virus BVD.
Isolat virus BVD yang diperoleh perlu dikarakterisasi lebih lanjut (genotipe,
subgenotipe, dan lain-lain). Isolat virus BVD dapat digunakan untuk bahan
biologis pengujian laboratoris seperti menjadi antigen untuk pengujian
Serum Neutralization Test (SNT) untuk lebih memahami virus BVD yang
bersirkulasi di Provinsi Jawa Barat dan di Indonesia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adjid, A., 2004. Strategi Alternatif Pengendalian Penyakit Reproduksi


Menular Untuk Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Potong.
Wartazoa, 14(3), pp.125–132.

Becher, P., Thiel, H.J., 2011. Pestivirus (Flaviviridae). In: Tidona, C.A.,
Darai, G. (Eds.), Springer Index of Viruses, Second Ed. Springer
Verlag, Heidelberg, Germany, pp. 483–488.

Beveridge, W.I.B. 1983. Animal health in Australia. Vol. 4: Bacterial diseases


of cattle, sheep and goats. Australian Bureau ofAnimal Health.
Canberra.

158 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Brown, T.T., deLahunta, A., Bistner, S.I., Scott, F.W., McEntee, K., 1974.
Pathogenetic studies of infection of the bovine fetus with bovine viral
diarrhoea virus. I. Cerebellar atrophy. Veterinary Pathology 11, 486–
505.

Brownlie, J., 1990. Pathogenesis of mucosal disease and molecular aspects


of bovine virus diarrhoea virus. Veterinary Microbiology 23, 371–382.

Brownlie, J., Hooper, L.B., Thompson, I., Collins, M.E., 1998. Maternal
recognition of foetal infection with bovine virus diarrhoea virus
(BVDV) – The bovine pestivirus. Clinical and Diagnostic Virology
10, 141–150.

Driskell, E.A., Ridpath, J.F., 2006. A survey of bovine viral diarrhea virus
testing in diagnostic laboratories in the United States from 2004 to
2005. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 18, 600–605.

Gamlen, T., Richards, K.H., Mankouri, J., Hudson, L., McCauley, J.,
Harris, M., Macdonald, A., 2010. Expression of the NS3 protease of
cytopathogenic bovine viral diarrhea virus results in the induction of
apoptosis but does not block activation of the beta interferon promoter.
Journal of General Virology 91, 133–144.

Graham, R. C., Ludholm, U., and Karnovsky, M. J. (1965) Cytochemical


demonstration of peroxidase activity with 3-amino-9-ethylcarbazole.
J. Histochem.Cytochem. 13, 150–152.

Hertig, C., Pauli, U., Zanoni, R., Peterhans, E., 1991. Detection of bovine
viral diarrhea (BVD) virus using the polymerase chain reaction.
Veterinary Microbiology 26, 65–76.

Houe, H., 1999. Epidemiological features and economical importance


of bovine virus diarrhoea virus (BVDV) infections. Veterinary
Microbiology 64, 89–107.

Howard, C.J., 1990. Immunological responses to bovine virus diarrhoea


virus infections. Revue Scientifique et Technique (International Office
of Epizootics) 9, 95–103.

Kim, S.G., Dubovi, E.J., 2003. A novel simple one-step single-tube RT-
duplex PCR method with an internal control for detection of bovine
viral diarrhoea virus in bulk milk, blood, and follicular fluid samples.
Biologicals 31, 103–106.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
159
Lindberg, A.L.E., Alenius, S., 1999. Principles for eradication of bovine viral
diarrhoea virus (BVDV) infections in cattle populations. Veterinary
Microbiology 64, 197–222.

McGowan, M.R., Kirkland, P.D., Richards, S.G., Littlejohns, I., 1993.


Increased reproductive losses in cattle infected with bovine pestivirus
around the time of insemination. Veterinary Record 133, 39–43.

Meyling, A., Houe, H., Jensen, A.M., 1990. Epidemiology of bovine virus
diarrhoea virus. Revue Scientifique et Technique (International Office
of Epizootics) 9, 75–93.

Paton, D.J., Goodey, R., Brockman, S., Wood, L., 1989. Evaluation of the
quality and virological status of semen from bulls acutely infected
with BVDV. Veterinary Record 124, 63.

Saliki, J.T., Dubovi, E.J., 2004. Laboratory diagnosis of bovine viral diarrhea
virus infections. Veterinary Clinics of North America – Food Animal
Practice 20, 69–83.

Sprecher, D.J., Baker, J.C., Holland, R.E., Yamini, B., 1991. An outbreak of
fetal and neonatal losses associated with the diagnosis of bovine viral
diarrhea virus. Theriogenology 36, 597–606.

Vilcek, S., Herring, A.J., Herring, J.A., Nettleton, P.F., Lowings, J.P.,
Paton, D.J., 1994. Pestivirus isolated from pigs, cattle and sheep can
be allocated into at least three genogroups using polymerase chain
reaction and restriction enonuclease analysis. Arch. Virol. 136 (3-4),
309-323.

160 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
POTENSI VAKSIN ANTRAKS DENGAN VARIASI DOSIS DAN
LAMA PENYIMPANAN
Dina Ristianaa, Widya Asmarab, A.E.T.H. Wahyunib

Pusat Veteriner Farma, bFakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada


a

E-mail:dina.drh@gmail.com

ABSTRAK

Antraks adalah penyakit yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Antraks termasuk salah satu
penyakit hewan strategis dan bersifat zoonosis. Pengendalian Antraks adalah dengan vaksinasi.
Vaksinasi pada ternak kadang tidak dilakukan sesuai dosis anjuran, sehingga menimbulkan kematian
pada kambing/domba dan keguguran pada sapi bunting trimester pertama. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui potensi vaksin Antraks apabila diberikan ½ dan ¼ dosis dengan lama penyimpanan
sampai dengan 2 tahun pada suhu 2-8 °C berdasarkan jumlah kandungan spora dan uji tantang.
Vaksin yang digunakan yaitu vaksin Anthravet® (Pusvetma) baru (kurang dari 3 bulan) dan lama
(telah disimpan selama dua tahun). Penghitungan jumlah kandungan spora dilakukan dengan metode
Total Plate Count (TPC), uji tantang digunakan hewan coba 70 marmut dewasa yang dibagi menjadi
7 kelompok yaitu kelompok I diberikan vaksin Antraks dosis ¼ penyimpanan lama, kelompok
II dosis ¼ penyimpanan baru, kelompok III dosis ½ penyimpanan lama, kelompok IV dosis ½
penyimpanan baru, kelompok V dosis 1 penyimpanan lama, kelompok VI dosis 1 penyimpanan
baru, dan kelompok kontrol diberikan NaCl fisiologis. Uji tantang dilakukan pada hari ke-21 setelah
vaksinasi menggunakan 200 minimum lethal dose (MLD) B. anthracis strain 17JB. Pengamatan
dilakukan terhadap daya hidup marmut sampai 10 hari setelah uji tantang. Hasil yang didapatkan,
jumlah kuman per dosis pada vaksin lama 9,42x106 CFU/ml dan vaksin baru 9,34x106 CFU/ml.
Hasil uji tantang dosis ¼ penyimpanan baru paling rendah(60%), berbeda nyata dengan dosis 1
penyimpanan lama dan dosis 1 penyimpanan baru yang menghasilkan protektivitas paling tinggi
(100%). Kesimpulan yang dapat diambil yaitu jumlah kandungan spora dosis ¼ dan ½, pada vaksin
baru dan lama masih memenuhi standar OIE (2012) dan FOHI (2013), namun untuk uji tantangnya
tidak memenuhi syarat; potensi vaksin Antraks pada penyimpanan sampai dengan 2 tahun masih
tetap bagus selama diberikan dalam dosis 1.

PENDAHULUAN

Antraks adalah penyakit yang utamanya menyerang hewan herbivora,


meskipun semua mamalia termasuk manusia dan beberapa spesies unggas
seperti burung onta, bebek dan elang dapat terserang (WHO, 2008).
Kematian bisa sangat tinggi, terutama pada herbivora. Penyebab Antraks
adalah spora dari B. anthracis. Penyakit ini memiliki distribusi di seluruh
dunia dan bersifat zoonosis (OIE, 2012).

Penyebaran penyakit Antraks di Indonesia semakin meluas ditunjukkan


dengan ditemukannya kasus Antraks di daerah-daerah yang sebelumnya
dinyatakan bebas. Faktor perdagangan dan transportasi dari daerah endemis
diduga menjadi penyebab utama penyebaran penyakit ini (Vitta, 2016).
Kontrol yang ketat terhadap lalu lintas ternak sangat diperlukan, demikian
juga vaksinasi di daerah endemis.

Vaksinasi pada sapi indukan diperkirakan dapat menimbulkan keguguran


pada kebuntingan trimester pertama yang belum terdeteksi kebuntingannya,
sedangkan pada kambing domba vaksinasi dapat menimbulkan kematian.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
161
Hal ini menimbulkan kekecewaan peternak dan merupakan masalah bagi
petugas. Beberapa petugas memberikan vaksin Antraks yang kurang dari
dosis anjuran pemerintah agar kasus serupa tidak terulang. Dosis yang tidak
tepat perlu diteliti protektifitasnya.

Semua vaksin adalah zat biologis sensitif yang semakin kehilangan


potensinya dengan penyimpanan (yaitu kemampuan untuk memberikan
perlindungan terhadap penyakit). Penurunan potensi jauh lebih cepat ketika
vaksin terkena suhu di luar yang direkomendasikan (Jula and Jabbari, 2007).
Dosis vaksin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi
pada respons imun yang dihasilkan. Ketika dosis terlalu tinggi, maka akan
mengakibatkan kematian karena septikemia atau sirkulasi basilus dalam
darah dan jumlah toksin yang dihasilkan (Ezzell et al., 1984).

Jumlah organisme cukup dan adjuvan yang kuat akan menghasilkan


kekebalan yang maksimal. Bakteri masih sempat membentuk toksin di
dalam tubuh hospes sebelum akhirnya difagosit. Adjuvan akan melepaskan
bakteri vaksin sedikit demi sedikit sehingga kekebalan yang dihasilkan
lama (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Jumlah spora yang kurang akan
menghasilkan kekebalan yang lemah. Respon kekebalan yang lemah tidak
mampu melindungi hospes dari paparan strain virulen pada saat diuji tantang,
sehingga hewan akan terinfeksi dan mati.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi vaksin Antraks apabila


diberikan ½ dan ¼ dosis dengan lama penyimpanan sampai dengan 2 tahun
pada suhu 2-8 °C, berdasarkan jumlah kandungan spora dan uji tantang.

MATERI DAN METODE

Penghitungan jumlah kandungan spora. Vaksin yang digunakan


dalam penelitian ini adalah Vaksin Anthravet® produksi Pusat Veteriner
Farma (Pusvetma) yang merupakan vaksin aktif berisi spora B. anthracis
strain 34F2 yang memiliki masa kedaluwarsa 2 tahun. Vaksin yang digunakan
berasal dari 2 batch yaitu vaksin baru (No. Batch 06/16, exp. Desember
2018), dan vaksin yang memasuki masa kedaluwarsa (No. Batch 15/14,
exp. Desember 2016). Vaksin yang disimpan kurang dari 3 bulan (baru)
dan yang telah disimpan selama 2 tahun (lama) dihitung jumlah kandungan
sporanya dengan metode Total Plate Count (TPC). Caranya masing-masing
vaksin diambil 1 ml dan diencerkan pada media HIB sampai pengenceran
10-7. Pada pengenceran 10-5, 10-6 dan 10-7masing-masing diambil 1 ml untuk
diinokulasikan pada plate yang telah berisi media HIA. Inokulasi diulang
tiga kali pada tiap pengenceran, lalu dilapisi HIA cair bersuhu 45°C sampai
seluruh permukaan plate tertutup. Inkubasi dilakukan pada 37°C selama 20-
24 jam kemudian dihitung jumlah koloni yang tumbuh. Vaksin dikatakan
162 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
baik bila mengandung spora 2-10x106 CFU per dosis untuk sapi yaitu 1
ml (FOHI, 2013). Skema pengenceran vaksin untuk penghitungan jumlah
kandungan spora dapat dilihat pada Gambar 1.



Gambar
1. Pengenceran vaksin untuk penghitungan jumlah kandungan
            
 spora.
          
           
Uji tantang.
 Vaksinasi
  pada penelitian
   ini
digunakan
  hewan
coba
            
70 marmut dewasa yang dibagi menjadi 7 kelompok yaitu kelompok
            
I
diberikan vaksin Antraks dosis ¼ penyimpanan lama, kelompok II
            dosis
¼
penyimpanan baru, kelompok III dosis ½ penyimpanan lama, kelompok
          
IV dosis ½ penyimpanan baru, kelompok V dosis 1 penyimpanan lama,
          
kelompok VI dosis 1 penyimpanan baru, dan kelompok kontrol diberikan


NaCl 
fisiologis.  
Perlakuan 
1 dosis  divaksin
marmut   0,5
 ml,

½  
dosis marmut

divaksin 0,25 ml, dan perlakuan ¼ dosis marmut divaksin 0,125
 ml. Kontrol,
marmut
 diberikan larutan NaCl fisiologis 0,5 ml. Vaksin dikatakan aman
apabila minimal 80% marmut 
yang telah divaksin tetap hidup (FOHI, 2013).

   
Uji tantang dilakukan terhadap semua marmut dalam penelitian ini, baik
pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Uji tantang dilakukan

  
pada hari ke-21 setelah vaksinasi menggunakan

200 minimum lethal dose
(MLD) B. anthracis strain 17JB. Pengamatan
  dilakukanterhadap daya hidup
marmut sampai 10 hari setelah uji tantang.  Vaksin dikatakan memenuhi
syarat apabilasemua marmut 
yang telah 
divaksin hidup 
dan semua kontrol

mati (OIE, 2012).  Pembagian kelompok
 perlakuan
 dapat dilihat
 pada Tabel 1.


Tabel 1. Perlakuan 
Penelitian  

   
 Jumlah marmut
Perlakuan Dosis Vaksin Lama Simpan
    (ekor)
P1 ¼ (0,125 ml) Lama (2 tahun) 10
P2 ¼ (0,125 ml) Baru (3 bulan) 10
P3 ½ (0,25 ml) Lama (2 tahun) 10

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
163
Jumlah marmut
Perlakuan Dosis Vaksin Lama Simpan
(ekor)
P4 ½ (0,25 ml) Baru (3 bulan) 10
P5 1 (0,5 ml) Lama (2 tahun) 10
P6 1 (0,5 ml) Baru (3 bulan) 10
K 0 (NaCl Fis 0,5 ml)   10

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah One Way Anova.

HASIL

Penghitungan jumlah kandungan spora. Jumlah B. anthracis dalam


vaksin Antraks menurut standard FOHI 2013 adalah 2-10x106 CFU/ml.
Menurut OIE, jumlah B. anthracis dalam vaksin sedikitnya 2-10x106 CFU/
ml. Penghitungan jumlah B. anthracis yang dilakukan pada penelitian ini
menunjukkan hasil 9,34x106 CFU/ml untuk vaksin baru dan 9,42x106 CFU/
ml untuk vaksin kedaluwarsa. Menurut FOHI (2013) dan OIE (2012) jumlah
ini sesuai standard. Jumlah tersebut adalah jumlah B. anthracis dalam satu
dosis vaksin yang diharapkan dapat menimbulkan kekebalan yang protektif
terhadap paparan B. anthracis di lapangan. Pemberian dosis vaksin yang
kurang dari anjuran tentunya akan mendapatkan jumlah kuman yang kurang
pula. Berikut jumlah kuman yang didapatkan masing-masing hewan coba
pada penelitian ini (Tabel 2):

Tabel 2. Jumlah kuman per perlakuan.

Lama Jumlah kuman per Standard FOHI Standard OIE


Perlakuan Dosis
Simpan dosis (2013) (2012)
P1 Dosis ¼ 24 bulan 2,36 x 106 CFU/ml memenuhi memenuhi
P2 Dosis ¼ 3 bulan 2,34 x 10 CFU/ml
6
memenuhi memenuhi
P3 Dosis ½ 24 bulan 4,71 x 10 CFU/ml 6
memenuhi memenuhi
P4 Dosis ½ 3 bulan 4,67 x 106 CFU/ml memenuhi memenuhi
P5 Dosis 1 24 bulan 9,42 x 10 CFU/ml
6
memenuhi memenuhi
P6 Dosis 1 3 bulan 9,34 x 106 CFU/ml memenuhi memenuhi
K Dosis 0 - 0 CFU/ml - -

Uji Tantang. Kelompok perlakuan setelah divaksin diamati untuk


mengetahui keamanan vaksin. Pengamatan yang dilakukan pada hewan
coba masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan 100% hewan coba
marmut tetap hidup setelah vaksinasi. Pengamatan yang dilakukan setelah
uji tantang, perlakuan ¼ dosis penyimpanan lama terdapat 80% hewan tetap
hidup, perlakuan ¼ dosis penyimpanan baru terdapat 60% hewan yang tetap
hidup, perlakuan ½ dosis penyimpanan lama terdapat 90% hewan yang tetap
hidup, perlakuan ½ dosis penyimpanan baru terdapat 80% hewan yang tetap

164 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
hidup, sedangkan perlakuan dosis 1 baik penyimpanan lama maupun baru
terdapat 100% marmut tetap hidup setelah diuji tantang. Data kematian
marmut dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini :

Tabel 5. Hasil Uji Tantang

Post vaksinasi Uji Tantang


Lama Standard OIE/
Dosis Jumlah (jumlah hewan (jumlah hewan
Simpan FOHI
hidup) hidup)
Lama 10 10/10 8/10 tidak memenuhi
Dosis 1/4
baru 10 10/10 6/10 tidak memenuhi
Lama 10 10/10 9/10 tidak memenuhi
Dosis 1/2
Baru 10 10/10 8/10 tidak memenuhi
Lama 10 10/10 10/10 memenuhi
Dosis 1
Baru 10 10/10 10/10 memenuhi
Dosis 0 Kontrol 10 10/10 0/10  

Keterangan : Standard OIE (2012) dan FOHI (2013) yaitu minimal 8/10
marmut tetap hidup setelah vaksinasi dan 10/10 marmut tetap hidup setelah
uji tantang.

PEMBAHASAN

Penghitungan jumlah kandungan spora. Jumlah kuman vaksin


baru pada saat mendapat ijin beredar dari Pusvetma adalah 9,33x106 CFU/
ml, saat akan digunakan pada penelitian ini (3 bulan penyimpanan) jumlah
kuman adalah 9,34x106 CFU/ml. Waktu penyimpanan 3 bulan pada 2-8
°C tidak menurunkan jumlah kuman yang ada. Vaksin lama pada saat
mendapat ijin beredar dari Pusvetma, jumlah kumannya sebesar 10,2x106
CFU/ml, saat akan digunakan pada penelitian ini (penyimpanan 25 bulan)
jumlah kumannya sebesar 9,42x106 CFU/ml. Penurunan jumlah kuman pada
penelitian ini sebesar 0,78x106 CFU/ml atau sebesar 7,65%. Jula dan Jabbari
(2007) mencatat penurunan jumlah spora selama 24 bulan penyimpanan pada
4-8 °C adalah 3,2%. Banyak faktor yang mempengaruhi daya tahan hidup
spora, diantaranya adalah suhu, zat kimia, radiasi, pH, kekeringan, walaupun
spora Antraks dikenal sangat tahan terhadap agen-agen tersebut (WHO,
2008). Penurunan jumlah kandungan spora pada penelitian ini kemungkinan
disebabkan oleh lamanya penyimpanan.

Uji Tantang. Menurut OIE (2012) dan FOHI (2013), vaksin dikatakan
aman/baik apabila tidak kurang dari 80% marmut tetap hidup setelah
divaksin. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini masing-masing
kelompok perlakuan menunjukkan 100% hewan coba marmut tetap hidup
setelah vaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin yang digunakan
toksisitasnya tidak tinggi sehingga aman digunakan.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
165
Uji statistik yang dilakukan pada data diatas menunjukkan P5 (dosis 1
penyimpanan lama) dan P6 (dosis 1 penyimpanan baru) memiliki protektivitas
paling tinggi, yang berbeda nyata dengan P2 (dosis ¼ penyimpanan baru).
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dosis vaksin Antraks berpengaruh
terhadap hasil uji potensi.

Lama penyimpanan sampai dengan 2 tahun tidak berpengaruh terhadap


hasil uji potensi, terbukti dari P1 (dosis ¼ penyimpanan lama) tidak berbeda
nyata dengan P2 (dosis ¼ penyimpanan baru). Hasil yang sama juga
didapat pada perlakuan yang lain, yaitu P3 (dosis ½ penyimpanan lama)
yang tidak berbeda nyata dengan P4 (dosis ½ penyimpanan baru), serta P5
(dosis 1 penyimpanan lama) yang tidak berbeda nyata dengan P6 (dosis
1 penyimpanan baru). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Hanifah, dkk. (2016) yang menunjukkan persentasi marmut yang masih
hidup sebesar 87,28 % untuk yang divaksin dengan masa simpan 18 bulan,
84,53 % untuk masa simpan 24 bulan. Vaksin menunjukkan penurunan
potensi setelah disimpan selama 30 bulan dengan persentasi marmut yang
hidup sebesar 76,52%.

Dosis ½ dan ¼ tersebut dilihat dari jumlah kuman masih memenuhi


standard FOHI (2013) dan OIE (2012), namun potensinya tidak memenuhi
syarat yaitu semua hewan harus tetap hidup setelah diuji tantang. Hal tersebut
mungkin dikarenakan formulasi vaksin memang bukan untuk dosis ½ dan ¼,
namun untuk 1 dosis. Jumlah kuman yang sedikit bila disertai adjuvan yang
kuat akan mampu memberikan respon imun yang protektif. Vaksin Antraks
yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar adjuvan saponin yang
lebih rendah daripada OIE, sehingga dibutuhkan jumlah kuman yang lebih
tinggi untuk menghasilkan respon imun protektif yaitu dosis 1.

Vaksin cair dapat mempertahankan potensinya hingga 2 tahun (OIE,


2012). Menurut Jula dan Jabbari (2007), potensi vaksin cenderung menurun
pada penyimpanan yang lebih lama. Perbedaan potensi vaksin dipengaruhi
banyak hal diantaranya faktor hospes seperti genetik, jenis kelamin,
umur, status gizi, serta PENYAKIT LAIN YANG MEMPENGARUHI
KEKEBALAN.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat


diambil kesimpulan bahwa jumlah kandungan spora dosis ¼, ½, dan 1 pada
vaksin baru dan lama masih memenuhi standard OIE (2012) dan FOHI
(2013), namun hasil uji tantangnya tidak memenuhi syarat. Dengan demikian
potensi vaksin Antraks pada suhu penyimpanan 2-8 °C sampai dengan 2
tahun masih tetap bagus selama diberikan dalam dosis 1. Rekomendasi yang
bisa diberikan dari penelitian ini adalah vaksin masih bisa disimpan sampai
dengan 2 tahun dan dosis terbaik adalah 1 dosis.

166 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Saran. Saran yang dapat diberikan adalah diperlukan penelitian lebih
lanjut tentang potensi vaksin Antraks dengan variasi dosis pada hospes
alami Antraks agar dapat diperoleh hasil yang sesuai kondisi lapangan; serta
diperlukan pengembangan Kit ELISA agar dapat diketahui tingkat proteksi
yang didapat dari vaksinasi yang telah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K. G. dan Rengganis, I. 2010. Imunologi Dasar. Edisi 9. Balai


Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 564.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian


Republik Indonesia. 2013. Farmakope Obat Hewan Indonesia Jilid I
(Sediaan Biologik) Edisi 4. Jakarta.

Ezzell, J.W., Ivins, B.E., dan Leppla, S.H. 1984. Immunoelectrophoretic


analysis, toxicity, and kinetics of in vitro production of the protective
antigen and lethal factor components of Bacillus anthracis toxin.
Infection and Immunity. 45:761–767.

Hanifah, S., Kusumastuti, M. D., Wriningati, Lestari, N. 2016. Pengkajian


Masa Kedaluwarsa Vaksin Anthravet®. Bulletin Veteriner Farma. 13(2)

Jula, M. G. and Jabbari, A. 2007. Stability and Potency studies of Anthrax


Vaccine (Bacillus anthracis 34F2 Sterne strain) in Iran. Archives of
Razi Institute. 62(3): 145-149.

OIE. 2012. Terrestrial Manual. Chapter 2.1.1 Anthrax.

Vitta, R. E. 2016. Wabah Anthrax Pacitan. Direktorat Kesehatan Hewan.


http://keswan.ditjennak.pertanian.go.id/?p=941 diakses tangal 11
Desember 2016

WHO. 2008. Anthrax in humans and animals. 4th ed. ISBN 978 92 4 154753 6

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
167
PENGEMBANGAN IMUNOHISTOKIMIA UNTUK DETEKSI
Bovine Pasteurellosis PADA KASUS PNEUMONIA ENZOOTIKA
PEDET DI BALAI VETERINER LAMPUNG
Joko Susilo, Bayu Triwibowo, Ahyul Heni

Balai Veteriner Lampung


Koresponden penulis pertama: jokosusilobvet@gmail.com

ABSTRAK

Bovine Pasteurellosis merupakan patogen yang sering menimbulkan penyakit pernafasan pada sapi
dan tersebarluas di seluruh dunia termasuk di Indonesia serta menimbulkan kerugian ekonomi yang
cukup besar. Agen bakterial penyebab Bovine Pasteurellosis meliputi Pasteurella multocida dan
Pasteurella (Mannheimia) haemolytica. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengembangan
teknik diagnosa imunohistokimia (IHK) untuk mendeteksi Pasteurella multocida dan Mannheimia
haemolytica pada pneumonia enzootika pedet. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
4 sampel paru pedet yang telah dilakukan isolasi dan identifikasi oleh Laboratorium Bakteriologi
Balai Veteriner Lampung periode sampel tahun 2018. Empat sampel yang sama selanjutnya
diproses di laboratorium Patologi untuk dilakukan pengujian histopatologi dan imunohistokimia.
Poliklonal antibodi dibuat dengan menyuntikan masing masing antigen yaitu; Pasteurella multocida
dan Mannheimia haemolytica yang telah dikarakterisasi oleh Laboratorium Bakteriologi terhadap
dua kelinci berbeda. Teknik imunohistokimia menggunakan sistem berlabel polimer. Perubahan
histopatologi seluruh sampel paru menunjukkan lesi bronchopneumonia suppurativa, oedema
pulmonum, koagulatif nekrosa, pneumonia granulomatosa, pneumonia fibrinosa, infiltrasi dan
akumulasi polimorfonuklear netrofil dan makrofag. Hasil imunohistokimia dengan menggunakan
antibodi andti Pasteurella multocida menunjukan adanya ikatan antigen-antibodi yang kuat pada
cairan oedema pulmonum, bagian sentral dan tepi granulomatosa, di sekitar area infiltrasi netrofil
dan makrofag, serta septa interlobularis dan pleura. Hasil imunohistokimia dengan menggunakan
antibodi anti Mannheimia haemolytica isolat Lampung menunjukan adanya ikatan antigen-antibodi
yang kuat pada jaringan paru yang mengalami nekrosa koagulasi dan fibrin.

Kata kunci : Histopatologi, imunohistokimia, Mannheimia haemolytica, Pasteurella multocida,


pneumonia enzootika.

PENDAHULUAN

Agen viral penyebab penyakit pernafasan komplek pada sapi adalah


Bovine herpesvirus 1 (Infectious Bovine Rhinotracheitis), bovine viral diare
(bovine pestivirus), virus Bovine parainfluenza 3 dan bovine respiratory
syncytial virus. Agen bakteri penyebab penyakit ini meliputi Mannheimia
haemolytica, Pasteurella multocida, Mycoplasma bovis dan Haemophilus
somnus (Ellis, 2001; Booker et al., 2008). Pasteurella multocida dan
Mannheimia haemolytica merupakan bakteri patogen utama pada penyakit
pernafasan komplek pada sapi yang meliputi pneumonia enzootika pada
pedet dan shipping fever pada sapi potong (Lillie,1974; Watts et al., 1994;
Fulton et al., 2000; Welsh et al.,2004).

Diagnosa secara imunohistokimia tampak reaksi ikatan antigen-antibody


pada jaringan dapat digunakan untuk kasus pneumonia enzootika pedet
dengan Pasteurella multocida dan Mannheimia haemolytica sebagai agen
penyebabnya. Pasteurella multocida menyebabkan pneumonia kronis lobar
168 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
disebut dengan “pneumonia enzootika” (Hansen et al., 2010). Mannheimia
haemolytica menyebabkan pneumonia fibrinosa akut pada sapi, P. multocida
sangat umum menjadi kontributor kondisi tersebut (Dabo et al., 2008). Isolat
Pasteurella multocida serogroup A adalah satu penyebab terbesar penyakit
pernafasan komplek pada sapi atau pedet (Blanco-Viera et al., 1995; Ewers
et al., 2006; Autio et al.,2007; Nikunen et al., 2007).

Gejala klinis antara pneumonia enzootika dengan shipping fever mirip,


dan pneumonia enzootika pada pedet lebih mudah didiagnosa sering terjadi
akibat stress saat pengangkutan dan setelah proses penyapihan (Virtala et
al., 1996). Pneumonia enzootica umumnya terjadi pada pedet baru lahir
dan berkembang hingga umur 2-6 bulan (Ames, 1997). umur 4 minggu - 6
minggu (Waltner-Toews et al.,1986; Curtis et al., 1988a; Van Donkersgoed
et al., 1993). morbiditas mencapai 15% (Waltner-Toews et al., 1986) hingga
29% (Van Donkersgoed et al., 1993). Angka kematian berkisar antara 5%
(Waltner-Toews et al., 1986) hingga mendekati 10% (Sivula et al., 1996b),
atau bronchopneumonia dengan lesi berbeda diikuti berbagai tipe eksudat.

Lesi tersebut meliputi fibrinosuppuratif akut (Gagea et al., 2006), fibrino


purulent subakut hingga kronik (Mosier, 1997), eksudat fibrin hingga fibrino-
purulent (Dungworth, 1985), suppuratif dan fibrino-nekrotik (Tegtmeieret
al., 1999). Terjadi pleuritis fibrinosa hingga fibrino-purulen, pelebaran septa
interlobular terisi oleh edema. Daghleish et al.(2010) menjelaskan perubahan
histopatologi paru meliputi terjadinya bronchopneumonia suppuratifa berat
pada lobus kranial kanan dan kiri,5 lobus sentral dan lobus asesorius.
Infiltrasi sel radang polymorphonuklear neutrophils (PMN) berat pada
lobus kaudal kanan dan menyebar ke dalam alveoli dan rongga bronchiolus.
Infiltrasinetrofil, makrofag, hemoragi dan cairan edema pada alveoli dan
parenkim paru. Septa alveoli mengalami penebalan, terjadi kongesti dan
kadang terjadi edema.Infiltrasi netrofil juga terlihat pada bronchus, pada
lumen epithelium repirasi terlihat koloni bakteri. Bronchial associated
lymphoid tissue (BALT) terlihat melebar, sebagian strukturnya mengalami
deplesi.

Pencegahan penyakit umumnya dengan vaksinasi menunjukkan


hasil proteksi yang berbeda terhadap M. Haemolytica, P. multocida, dan
Haemophilus somnus pada ternak potong (Larson and Step, 2012). Pemberian
antimikroba pada 20% sampai 50% sapi potong dapat untuk mencegah
penyakit (Checkley et al.,2010). Kejadian resistensi antimikrobia terhadap
penyakit pernafasan komplek, hasil vaksinasi yang kurang memuaskan dan
mortalitas yang cukup tinggi menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup
besar industri ternak (Watts et al.,1994).

Imunohistokimia juga dapat digunakan untuk membedakan pneumonia


yang disebabkan oleh Pasteurella multocida dan/atau Mannheimia

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
169
haemolytica (nama lain Pasteurella haemolytica) pada kasus lapang (Haritani
et al., 1990).

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Mengetahui gambaran histopatologi paru dengan Pasteurella multocida
dan Mannheimia haemolytica sebagai agen penyebab penyakit
pneumonia enzootika pedet
2. Meneguhkan diagnosa histopatologi dengan melihat reaksi ikatan
antigen-antibody yang terjadi pada jaringan menggunakan teknik
imunohistokimia pada kasus pneumonia enzootika pedet dengan
Pasteurella multocida dan Mannheimia haemolytica sebagai agen
penyebab penyakit pneumonia enzootika pedet

MATERI DAN METODE

Materi
Bahan dan alat

Alat yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi yaitu


pisau skalpel, inkubator, slide glass, tissue cassette, tissue processor, tissue
embedding, mikrotom, waterbath, hot plate, moist chamber, mikroskop
binocular (Olympuz, Japan). Alat yang digunakan untuk pembuatan preparat
imunohistokimia meliputi becker glass 500 ml, microwave, hot plate 70oc.
Peralatan lain yang digunakan kandang kelinci, spuit ukuran 1 ml dan 10 ml,
sentrifus, inkubator, magnetic stirrer, gelas beker, laminary airflow, lampu
bunzen, ose, tabung reaksi, slide glass dan mikro pipet.

Bahan media yang digunakan untuk pembuatan antigen Pasteurella


multocida adalah Aquadestilata, NaCl fisiologis, formalin fisiologis 0,3%.
Bahan untuk membuat preparat histopatologi yaitu buffered neutral formalin
10%, xylol, ethanol bertingkat (70%, 80%, 90% dan absolut), akuades,
paraffin cair, pewarna Hematoxilin dan Eosin, entelan, gelas obyek dan gelas
penutup. Bahan untuk imunohistokimia yaitu glass slide coated polilysine,
antigen retrival solution (Citrate buffer, pH 6,0). Seperangkat kit IHK Dako
envision®+ Dual Link System-HRP (DAB+) yang terdiri dari dual endogenous
enzyme block (0,3% H2O2, levamizole dan sodium azide), label polimer-HRP
(goat anti mouse dan goat anti rabbit), subtrat buffer (DAB+ subtrat buffer)
serta DAB+chromogen. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah 4
sampel paru pedet yang telah dilakukan isolasi, identifikasi dan dilakukan
karakterisasi oleh laboratorium Bakteriologi Balai Veteriner Lampung
dengan hasil positif Pasteurella multocida dan Mannheimia haemolytica.

170 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Metode
Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada januari – februari 2018. Pembuatan


antigen Pasteurella multocida dan Mannheimia haemolytica dilaksanakan
di Laboratorium Bakteriologi, pembuatan poliklonal antibodi dilakukan di
Instalasi Hewan Percobaan, dan proses pembuatan preparat histopatologis,
pengamatan slide histopatologi dan pengujian imunohistokimia dilaksanakan
di Laboratorium Patologi, Balai Veteriner Lampung.

Pembuatan antigen P. multocida

Isolat murni P. multocida dan Mannheimia haemolytica 24 jam


ditumbuhkan pada media Tryptose Soya Agar diinkubasi pada 37oC.
Koloni pertumbuhan P. multocida dan Mannheimia haemolytica dipanen
dengan NaCl fisiologis, dilakukan pencucian 3 kali dengan NaCl fisiologis.
Suspensi bakteri dalam NaCl fisiologis dipanaskan 100oC selama 150 menit,
selanjutnya dilakukan sentrifus 3000 rpm, selama 10 – 15 menit. Pellet
(endapan) disuspensikan dengan 0,3% formalin fisiologis. Pengecekan
sterilitas dilakukan dengan menumbuhkan pada media TSA. Suspensi
dinyatakan steril dibuat konsentrasi 109 sel/ml standart Mc Farland. Suspensi
bakteri P. multocida, yang akan dipakai sebagai antigen untuk mengimunisasi
kelinci (Dawkins et al, 1990). Suspensi diinjeksikan terhadap kelinci secara
intraperitonial setiap minggu dengan dosis berturut-turut 0,5 ml, 1 ml, 2
ml dan 3 ml. Pengulangan imunisasi pada setiap minggunya dengan dosis
bertingkat dimaksudkan untuk meningkatkan titer antibodi (Garvey et al.,
1977).

Pengukuran titer antibodi dengan metode widal

Pengukuran titer antibodi dilakukan pada minggu ke-5 dengan metode


widal. Pertama, disiapkan 2 baris tempat yang masing masing berisi 12
tabung. Baris pertama disiapkan untuk mengukur titer antiserum antigen O
kelinci pertama, baris kedua untuk kelinci ke-2. Tabung pertama diisi dengan
1,8 ml NaCl fisiologis, tabung ke 2 sampai ke 12 diisi NaCl fisiologis masing
masing 1 ml. Tabung pertama ditambahkan antiserum dari kelinci yang aka
diuji sebanyak 0,2 ml, kemudian dicampur homogen dengan mikropipet
dan dihindari munculnya gelembung udara. Sebanyak 1 ml dari tabung 1
dipindahkan ke tabung 2 dengan pipet steril dan dicampur hingga homogen.
Sebanyak 1 ml suspensi dari tabung 2 dipindahkan ke tabung 3, dilakukan
hal yang sama hingga tabung ke 11. Sisa 1 ml dari tabung ke 11 kemudian
dibuang. Masing masing tabung dari 1 sampai 12 ditambahkan 1 ml antigen
dengan konsentrasi 5 x 108 dicampur homogen dengan menggoyangkan
(shaking) rak sebanyak 3-4 kali. Rak ditempatkan pada waterbath suhu 37oC
selama 18 jam. Pembacaan titer antibodi berdasarkan hasil aglutinasi yang

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
171
terjadi pada masing masing tabung dilakukan dengan hati hati. Titer antibodi
masing masing tabung tersebut; tabung 1(10), 2(20), 3(40), 4(80), 5(160),
6(320), 7(640), 8(1280), 9(2560), 10(5120), 11(10240), dan 12 (kontrol
negatif). Antibody standar memiliki syarat minimal titer antibody lebih dari
640, panen antibodi dilakukan jika titernya lebih dari 640 (Garvey et al.,
1977).

Titer kurang dari 640 maka dilakukan penyuntikan kembali dengan dosis
3 ml. Darah diambil pada minggu ke-5 dengan spuit melalui vena auricularis
di telinga sebanyak 12 ml dari masing-masing kelinci untuk mendapatkan
serum kurang lebih 7-8 ml. Serum terbentuk setelah satu jam pengambilan
darah dan disentrifugasi untuk mendapatkan jumlah serum yang maksimal.
Serum yang didapat kemudian diinaktifasi selama 56oC selama 30 menit
dengan tujuan untuk mencegah kerusakan antibodi terhadap komplemen
yang masih aktif. Serum siap digunakan untuk pengujian immunohistokimia,
selanjutnya dapat disimpan di dalam refrigerator dengan suhu 4oC.

Pembuatan Preparat Histopatologi ( HE dan IHK )

Pembuatan preparat histopatologi dilakukan pada 4 sampel dengan


hasil isolasi dan identifikasi positif Pasteurella multocida dan Mannheimia
haemolytica melalui tahap fiksasi, dehidrasi, embedding, parafin blok,
pemotongan, pewarnaan dan mounting. Fiksasi dilakukan dengan menyimpan
potongan jaringan ke dalam buffered neutral formalin 10% selama 24 jam.
Jaringan didehidrasi menggunakan tissue processor yang di dalamnya
terdapat ethanol bertingkat 70%, 80%, dan 90%, absolut I, absolut II, absolut
III, masing-masing dilakukan selama 60 menit. Setelah dehidrasi selesai
kemudian dilakukan penjernihan dengan menggunakan xylol I, xylol II dan
xylol III. Jaringan selanjutnya diinfiltrasi parafin cair 2 kali masing-masing
1 jam, dicetak, kemudian dipotong dengan mikrotom 3-5 mikron (Suvarna
et al., 2013).

Pewarnaan HE dimulai dengan deparafinisasi menggunakan xylol I,


xylol II dan xylol III masing-masing dilakukan selama 5 menit. Preparat
dimasukkan ke dalam ethanol absolut I, absolut II, absolut III, ethanol 90%,
ethanol 80% dan ethanol 70% masing-masing selama 5 menit. Preparat
selanjutnya dibilas dengan aquadest dan direndam dalam Hematoxilin
selama 5 menit, kemudian dibilas kembali menggunakan air mengalir selama
5 menit, selanjutnya direndam dalam Eosin selama 3-5 menit. Preparat
direndam ke dalam ethanol 70%, ethanol 80%, ethanol 90%, absolut I,
absolut II dan absolut III masing-masing selama 3 menit, xylol I, xylol II dan
xylol III masing-masing 5 menit. Tahap terakhir ditutup dengan entelan dan
gelas penutup (Suvarna et al., 2013).

172 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Teknik pewarnaan imunohistokimia berlabel polimer, slide jaringan
dideparafinisasi pada xylene 1, 2, 3 masing masing 5 menit. Rehydrasi
dilakukan pada ethanol 100% 3 kali masing masing 5 menit, ethanol 90%,
80% 70% masing masing 2 menit. Slide dicuci dengan aquadest 5 menit di
lanjutkan 5 menit dalam PBS. Aktivitas endogenous peroxidase dan alkaline
phospatase dihambat dengan endogenous enzyme block yang mengandung
3% H2O2, levamizole dan sodium azide selama 10 menit. Slide dicuci dengan
PBS 3 kali masing masing 5 menit. Pembukaan epitope (retrieval antigen)
dengan citrat buffer pada microwave sebanyak 2 kali masing masing selama 5
menit. Slide dalam larutan citrat buffer ditunggu sampai dingin, dikeringkan
dan jaringan pada slide dilingkari dengan Dako pen. Slide dicuci dengan
PBS 3 kali masing masing 5 menit. Masing masing slide digenangi dengan
poliklonal antibodi terhadap P.multocida dan Mannheimia haemolytica yang
diencerkan dengan dako diluent pengenceran 1: 400 selama 30 menit pada
suhu kamar, kemudian dicuci dengan PBST (0.05% v/v Tween20 ) 2 kali
dan PBS 2 kali masing masing 5 menit. Slide dinkubasi dengan Labelled
Polymer-HRP selama 30 menit. Cuci dengan PBST (0.05% v/v Tween20 )
2 kali dan PBS 2 kali masing masing 5 menit. Slide diinkubasi pada Subtrat
buffer + DAB+ chromogen dengan perbandingan 1ml Subtrat buffer : 20 µl
DAB+ chromogen selama 10 menit. Slide dicuci dengan air mengalir 5 menit
dan dilakukan counter stain pada hematoxylin selama 2 menit. Slide dicuci
dengan air mengalir 5 menit, slide diteteskan dengan lem DAKO ultramount,
ditempatkan pada hot plate suhu 70°C selama 20 menit. Slide dilakukan
clearing pada xylene 3 kali masing masing 5 menit diikuti coverslip dan
dilakukan pengamatan dengan mikroskop (Taylor, C.R. and Rudbeck, L.,
2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan Berdasarkan Anamnesa sampel

Pemeriksaan terhadap 4 sampel berdasarkan hasil anamnesa yang


diterima oleh Balai Veteriner Lampung pada Januari 2018, dari 4 sampel paru
yang telah dipilih menunjukkan hasil positif koinfeksi Pasteurella multocida
dan Mannheimia haemolytica berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi
Laboratorium Bakteriologi Balai Veteriner Lampung. Seluruh sampel paru
berasal dari pedet perusahaan sapi potong di Lampung dapat dilihat pada
tabel 1.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
173
Tabel 1. Anamnesa sampel paru berdasarkan identitas pedet, breed, jenis
kelamin, umur dan gejala klinis yang terjadi sebelum mati

Identitas
Jenis Breed Umur Gejalak linis
pedet Kelamin (hari) sebelum Pedet mati
063922 Steer Wagyu 119 Gangguan pernafasan,
diare
178353 Betina Wagyu 24 Gangguan pernafasan
276713 Jantan Wagyu 66 Gangguan pernafasan,
diare
17914 Jantan Wagyu 10 Gangguan pernafasan

Pemeriksaan Histopatologi dan Immunohistokimia

Pemeriksaan histopatologi terhadap 4 sampel paru tersebut secara


umum menunjukan perubahan histopatologi alveoli yang meliputi nekrosis
kaseosa, infiltrasi dan/atau akumulasi netrofil, makrofag, koloni bakteri,
cairan edema, alveoli ditemukan abses, granulomatosa dan fibrin. Septa
interlobularis menebal terisi oleh infiltrasi dan/atau akumulasi netrofil,
makrofag, fibrin, dan cairan edema. Lumen bronchus atau bronchiolus diisi
oleh masa eosinofilik yang diduga koloni bakteri, netrofil dan hancuran sel.
Perubahan histopatologi masing masing sampel paru ditunjukan oleh Tabel 2.

Tabel 2. Perubahan histopatologi paru pedet pada kasus pneumonia


enzootika dengan Pasteurella multocida dan Mannheimia
haemolytica sebagai agen penyebabnya

No. Pedet Perubahan histopatologi

063922 Lumen alveoli terjadi akumulasi netrofil, makrofag, fibrin, koloni


bakteri, trombus dan multinuclear giant cell . Lumen bronchus
dan kapiler terisi oleh netrofil dan bakteri
178353 Nekrosa kasoesa, bentukan abses di lumen alveoli, fibrin,
infiltrasi neutrofil, makrofag, koloni bacteria, dan trombus.
Nekrosis pada epitel bronchus / bronchiolus. Lumen bronchus /
bronchiolus terisi oleh koloni bakteri dan netrofil
276713 Bentukan granuloma berbatas jaringan ikat, infiltrasi netrofil
dan makrofag pada alveoli. Koloni bakteri pada area nekrosa,
multinuclear giant cellpada alveoli. Lumen bronchiolus diisi
oleh sel radang dan bakteri.
17914 Lumen alveoli terdapat edema, nekrosa kaseosa, fibrin, bentukan
granuloma, neutrofil, makrofag, koloni bakteri. Lumen bronchus/
bronkhioli terisi oleh koloni bakteri dan netrofi

174 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Hasil pewarnaan imunohistokimia menunjukkan terjadinya ikatan
antigen antibody terhadap Pasteurella multocida dan Mannheimia
haemolytica pada semua sampel tersebut sesuai yang dijelaskan pada tabel 3.

Tabel 2. Hasil pewarnaan imunohistokimia paru pedet pada kasus


pneumonia enzootika dengan Pasteurella multocida dan
Mannheimia haemolytica sebagai agen penyebabnya

Isolasi identifikasi Isolasi identifikasi Imunohistokimia Imunohistokimia


Eartag
P. multocida M. haemolytica P. multocida M. haemolytica
063922 + + +++ ++
178353 + + +++ +++
178677 + + ++ +++
17914 + + +++ +++

Gambar 1. (A). Paru pedet 17914 terlihat cairan oedema, akumulasi sel
radang netrofil, limfosit dan makrofag pada lumen alveoli
serta koloni bakterial (pewarnaan HE). (B). Hasil pewarnaan
imunohistokimia dengan antibodi anti Pasteurella multocida
paru pedet 17914, positif reaksi di sekitar cairan oedema dan
akumulasi sel radang lumen alveoli

Gambar 2. (A). Paru pedet 17914 terlihat nekrosa koagulasi, akumulasi sel
radang netrofil dan makrofag serta fibrin pada lumen alveoli
(pewarnaan HE). (B). Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan
antibodi anti Mannheimia haemolytica pada paru pedet 17914,
positif reaksi terlihat di sekitar nekrosa koagulasi, akumulasi sel
radang netrofil dan makrofag serta fibrin pada lumen alveoli

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
175
Gambar 3. (A). Lumen alveoli pedet no 276713 terlihat bentukan granuloma
(G) yang dibatasi oleh jaringan ikat (Ji), dikelilingi oleh netrofil
(N), makrofag (M) (pewarnaan HE). (B) Hasil pewarnaan
imunohistokimia dengan antibodi anti Pasteurella multocida
pada paru pedet no 276713, positif reaksi terlihat pada sentra
granuloma ( ) dan pada bagian tepi granuloma ( ) di lumen
alveoli

M
N
Ji
G

276713 N

Gambar 4. (A) Lumen bronchiolus (L) pedet no 276713 diisi oleh masa
eosinofilik ( ), dan nekrosa epitel bronchiolus (pewarnaan
HE). (B) Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi anti
Mannheimia haemolytica, positif reaksi pada lumen bronchus
( ) dan pada bagian tepi bronchiolus ( ) di lumen alveoli.

276713

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Histopatologi pada sampel paru pedet pada pneumonia enzootika


meliputi bronchopneumonia suppurativa, edema pulmonum, pneumonia
fibrinosa, infiltrasi neutrofil, abses pada alveoli, dan pneumonia
granulomatosa
2. Hasil pengujian dengan imunohistokimia menunjukkan bahwa
Pasteurella multocida dan Mannheimia haemolytica merupakan
patogen penyebab pneumonia enzootika pada pedet yang diuji di Balai
Veteriner Lampung

176 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Saran

Pengujian imunohistokimia untuk penelitian selanjutnya dapat


digunakan untuk mendeteksi antigen lain penyebab pneumonia enzootika
pada pedet mengingat penyakit ini sangat penting bagi perkembangan
peternakan di Indonesia. Diagnosa yang tepat untuk deteksi penyakit dengan
imunohistokimia berlabel polimer dapat dikembangkan untuk mendiagnosa
penyakit lainya.

DAFTAR PUSTAKA

Ames, T.R., Markham,R.J.F., Opuda-Asibo,J., Leininger, J.R.and


Maheswaran, S.K. 1984.

Autio, T., Pohjanvirta, T., Holopainen, R., Rikula, U., Pentika-inen, J.,
Huovilainen, A., Rusanen, H., Soveri, T., Sihvonen, L. and Pelkonen,
S. 2007. Etiology of respiratory disease in nonvaccinated, non-
medicated calves in rearing herds.Veterinary Microbiology 119: 256–
265. 52

Blanco-Viera, F.J., Trigo, F.J., Jaramillo-Meza, L. and Aguilar-Romero, F.


1995. Serotypes of Pasteurella multocida and Pasteurella haemolytica
isolated from pneumonic lesions in cattle and sheep from Mexico.
Revista Latino americana de Microbiologia 37: 121–126.

Booker, C.W., Abutarbush, S.M., Morely, P.S., Jim, G.K. 2008.


Microbiological and histopathological findings in cases of fatal
bovine respiratory disease of feedlot cattle in western Canada.Can.
Vet. J. 49:473–481.

Checkley, S.L., Campbell, J.R., Chirino-Trejo, M., Janzen, E.D., Waldner,


C.L.2010. Associations between antimicrobial use and the prevalence
of antimicrobial resistance in fecal Escherichia coli from feedlot cattle
in western Canada.Can. Vet. J. 51:853–861.

Dabo, S. M., Taylor, J. D. dan Confer, A. W., 2008. Pasteurella multocida


and bovine respiratory Disease. Animal Health Research Reviews
8(2); 129–150

Dagleish, M.P., Finlayson, J., Bayne, C., MacDonald, S., Sales, J. and
Hodgson, J.C. 2010. Characterization and Time Course of Pulmonary
Lesions in Calves after Intratracheal Infection with Pasteurella
multocida A:3. University of Edinburgh, Edinburgh, UK

Ellis, J. A. 2001. The immunology of the bovine respiratory disease complex.


Vet. Clin. Food Anim. 17:535–549.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
177
Ewers, C., Lubke-Becker, A., Bethe, A., Kiebling, S., Filter, M. and Wieler,
L.H. 2006. Virulence genotype of Pasteurella multocida strains
isolated from different hosts with various disease status. Veterinary
Microbiology 114: 304–317.

Fulton, R.W.2009. Bovine respiratory disease research (1983–2009). Anim


Health Res Rev10:131–139

Gagea, M.I., Bateman, K.G., Van-Dreumel, T., McEwen, B.J., Carman


,S.,Archambault, M., Shanahan, R.A. and Caswell, J.L. 2006. Diseases
and patogens associated with mortality in Ontario beef feedlots.
Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 18: 18–28. 55

Garvey, J.S., Cremer, N.E., Sussdorf, D.H.1977. Methods ini Immunology


3rd Edition. A Laboratory text for Instruction and Research.W.A.
Benjamin Inc. Massachusetts.

Hansen, M.S., Pors, S.E., Jensen, H.E., Bille-Jensen, V., Bisgaard, M.,
Flachs, E.M., Nielsen, O.L. 2010. An investigation of the pathology
and pathogens associated with porcine respiratory disease complex in
Denmark. J Comp Path 143:120–131

Haritani, M., Narita, M., Murata, H., Hashimoto, K. and Takizawa, T.1989.
Immunoperoxidase evaluation of pneumonic lesions induced by
Pasteurella multocida in calves. American Journal of Veterinary
Research 50: 2162–2167.

Haritani M, Nakazawa M, Hashimoto K, Narita M, Tagawa Y & Nakagawa


M (1990). Immunoperoxidase evaluation of relationship of necrotic
lesions and causative bacteria in lungs of calves with naturally
acquired pneumonia. American Journal of Veterinary Research,
50(12): 1975-1979.

Larson, R.L., Step, D.L.2012.Evidence-based effectiveness of vaccination


against Mannheimia haemolytica, Pasteurella multocida, and
Haemophilus somnus in feedlot cattle for mitigating the incidence and
effect of bovine respiratory disease complex. Vet. Clin. North Am. Food
Anim. Pract.28:97–106.http://dx.doi.org/10.1016/j.cvfa.2011.12.005.

Lillie, L.E. 1974. The bovine respiratory disease complex. Canadian


Veterinary Journal 15: 233–242. 57

Mosier, D.A. 1997. Bacterial Pneumonia. Veterinary Clinics of North


America: Food Animal Practice 13: 483–493.

178 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Nikunen, S., Hartel, H., Orro, T., Neuvonen, E., Tanskanen, R., Kivela, S.L.,
Sankari, S., Aho, P., Pyrala, S., Saloniemi, H. and Soveri, T. 2007.
Association of bovine respiratory disease with clinical status and acute
phase proteins in calves. Comparative Immunology, Microbiology and
Infectious Diseases 30: 143–151. 58

Sivula, N., Ames, T., Marsh, W. and Werdin, R. 1996b. Descriptive


epidemiology of morbidity and mortality in Minnesota dairy heifer
calves. Preventive Veterinary Medicine 27: 155– 171.

Suvarna, S.K., Layton, C., Bancroft, J.D. 2013. Bancroft’s Theory and
Practice of Histological Techniques, 7th edition. Queen‟s Medical
Centre, Nottingham, UK

Taylor, C.R., Rudbeck, L. 2013. Immunohistochemical Staining Methods


Sixth Edition. Denmark : Dako Press

Tegtmeier, C., Uttenthal, A., Friis, N.F., Jensen, N.E. and Jensen, H.E. 1999.
Pathological and microbiological studies on pneumonic lungs from
Danish calves. Zentralblatt furVeterinar medizin B 46: 693–700.

Van-Donkersgoed, J., Ribble, C.S., Boyer, L.G. and Townsend, H.G. 1993.
Epidemiological study of enzootic pneumonia in dairy calves in
Saskatchewan.Canadian Journal of Veterinary Research 57: 247–254.

Virtala, A.M., Mechor, G.D., Grohn, Y.T., Erb, H.N. and Dubovi, E.J. 1996.
Epidemiologic and Pathology Characteristics of Respiratory Tract
Disease in Dairy Heifers during the First Three Months of Life.Journal
of the American Veterinary Medical Association 208: 2035–2042.

Waltner-Toews, D., Martin, S. and Meek, A. 1986.Dairy calf management,


morbidity and mortality in Ontario Holsteinherds. II. Age and seasonal
patterns. Preventive Veterinary Medicine 4.

Watts, J.L., Yancey, Jr. R.J., Salmon, S.A. and Case, C.A.1994. A 4-year
survey of antimicrobial susceptibility trends for isolates from cattle
with bovine respiratory disease in North America. Journal of Clinical
Microbiology 32: 725–731. 60

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
179
RESPON PEMBERIAN JAHE MERAH (ZINGIBER
OFFICINALE VAR RUBRA) TERHADAP NILAI PERLUKAAN
SEKUM DAN PRODUKSI OOKISTA PADA AYAM BROILER
YANG TERINFEKSI EIMERIA TENELLA
Eka Zakiah Nasution1, Endang Susanti Prihatiningsih1, Ma’ruf Tafsin2, Nevy Diana Hanafi2

1
Laboratorium Bakteriologi - Balai Veteriner Medan
Fakultas Pertanian – Universitas Sumatera Utara, Medan
2

Corresponding author Eka Zakiah Nasution, eka.nasution86@gmail.com

ABSTRAK

Koksidiosis atau penyakit berak darah merupakan penyakit parasiter pada ayam pedaging.
Penyakit tersebut dapat menimbulkan banyak kerugian seperti penurunan efisiensi pakan, hambatan
pertumbuhan, sampai pada kematian. Penyakit ini mudah berkembang di Indonesia karena sesuai
dengan suhu optimum untuk pertumbuhan Eimeria (210C- 320C), serta kelembaban yang cukup
agar ookista dapat bersporulasi. Ookista yang sudah bersporulasi dapat menginfeksi induk semang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar respon pemberian jahe merah terhadap
ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella yang meliputi nilai perlukaan sekum dan produksi
ookista. Ayam broiler sebanyak 80 ekor dibagi dalam 5 perlakuan dan 4 ulangan. Eimeria tenella
diinfeksikan dengan dosis 10.000 ookista/ekor dan larutan jahe merah diberikan dengan konsentrasi
1%. Perlakuan terdiri atas KP (Kontrol Positif), KO (Kontrol Obat Koksidiostat), K1 (Larutan
jahe merah 1%, yang diolah dalam bentuk serbuk), K2 (Larutan jahe merah 1%, yang diekstraksi
menggunakan ethanol), K2 (Larutan jahe merah 1%, yang diekstraksi menggunakan air). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan jahe merah berpengaruh nyata (P<0,05)
dalam menurunkan produksi ookista. Jahe merah yang diekstraksi menggunakan ethanol lebih baik
dibandingkan dengan jahe merah yang diekstraksi menggunakan air atau dalam bentuk serbuk.
Penilaian skor lesi sekum tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara semua perlakuan. Perlakuan jahe
merah menunjukkan hasil lebih baik dari pada perlakuan menggunakan koksidiostat dan kontrol
positif.
Kata Kunci: Jahe Merah, Eimeria tenella, Lesi, Ayam Broiler

PENDAHULUAN

Sektor peternakan unggas di Indonesia mengalami kemajuan pesat


dikarenakan jumlah permintaan akan protein hewani semakin meningkat.
Agar produk unggas dapat dipertahankan, maka perlu dilakukan upaya
pengawasan rutin supaya hewan tidak terserang penyakit. Salah satu penyakit
yang sering muncul pada ayam pedaging adalah koksidiosis.

Koksidiosis merupakan penyakit parasiter pada ayam pedaging yang


banyak mendatangkan kerugian yang tidak sedikit, dengan akibat berupa
penurunan efisiensi penggunaan pakan dan hambatan pertumbuhan, sampai
pada kematian (Iskandar et al., 2000). Penyakit tersebut mudah berkembang
di Indonesia karena sesuai dengan suhu optimum untuk perkembangan
Eimeria yaitu 210C- 320C, serta kelembaban yang cukup agar ookista dapat
bersporulasi. Ookista yang sudah bersporulasi dapat menginfeksi induk
semang (Allen and Fetterer, 2002).

180 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Sejak krisis moneter yang terjadi di Indonesia sampai saat ini harga
obat-obatan buatan pabrik (impor) sangat mahal, sehingga tidak terjangkau
oleh para peternak, khususnya peternak dalam skala menengah ke bawah
(Zainuddin et al., 2006). Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia
bertempat tinggal di pedesaan, sehingga masalah distribusi, komunikasi
yang kurang lancar menyebabkan daerah tersebut sukar dijangkau oleh obat
modern dan tenaga veteriner (Iskandar dan Husein, 2003).

Berdasarkan hal tersebut peternak berupaya mencari alternatif lain


dengan memanfaatkan beberapa tanaman obat sebagai obat tradisional yang
disebut jamu hewan yang dapat diberikan dalam bentuk larutan melalui air
minum dan atau dalam bentuk simplisia (tepung) yang dicampur kedalam
ransum sebagai “feed additive” maupun “feed supplement” (Zainuddin
et al., 2006). Berdasarkan pemikiran di atas, maka perlu dilakukan suatu
penelitian untuk melihat respon pemberian larutan jahe pada ayam pedaging
yang terinfeksi Eimeria tenella sehingga dapat mengurangi akibat yang
ditimbulkan oleh penyakit koksidiosis.

TUJUAN

Untuk mengetahui seberapa besar respon pemberian jahe merah terhadap


ayam pedaging yang terinfeksi Eimeria tenella yang meliputi nilai perlukaan
sekum dan produksi ookista.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di kandang percobaan Laboratorium Biologi Ternak


Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan dan Laboratorium
Parasitologi Balai Veteriner Medan.

Pembiakan Isolat Eimeria tenella : Setelah mendapat isolat E.tenella,


kemudian disporulasikan dengan penambahan larutan kalium bikromat
2-2,5% (5-10 kali dari sampel) selama 1-2 hari dalam suhu kamar (260C
– 280C). Tutup cawan Petridis dengan sedikit terbuka untuk memberikan
kesempatan udara masuk. kemudian disimpan dalam refrigerator sampai
digunakan.

Pembuatan Larutan Jahe Merah : Penelitian ini menggunakan 3


macam pengolahan jahe yang nantinya akan digunakan sebagai larutan.
Adapun bentuk pengolahan jahe yang dimaksud adalah :
a. Serbuk Jahe : Jahe merah segar dicuci kemudian disayat tipis-tipis dan
dikeringkan dalam oven pada temperatur 370C selama 48 jam sampai
kering, lalu dibuat serbuk dengan cara digiling. Larutan dibuat dengan
cara yang tertera dalam Farmakope Indonesia, sehingga diperoleh
larutan dengan kepekatan 1 gr serbuk kering dalam 1 ml (Depkes.
RI. 1979 dikutip dari Iskandar et al, 2000). Larutan pekat tadi akan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
181
diencerkan kembali dengan air menjadi 100 ml, sehingga konsentrasi
1% dari larutan jahe tersebut nantinya akan mengandung 10 mg jahe /
ml.
b. Ekstraksi Jahe Menggunakan Ethanol : jahe merah segar (bersih)
dikeringkan dengan oven hingga diperoleh jahe kering dengan kadar
air 8-11%. Jahe kering digiling kemudian disaring sehingga dihasilkan
bubuk jahe berukuran 30 mesh. Sebanyak 250 gram bubuk jahe di
ekstrak 4 kali dengan menggunakan pelarut etanol (500 ml). Ekstrak
yang diperoleh berupa oleoresin yang konsistensinya semi padat
berwarna coklat. Untuk menghomogenkan hasil ekstrak jahe dengan air
pada saat pembuatan larutan perlu penambahan larutan CMC (Carboxyl
Methyl Cellulosa) 1%. Perbandingan dosis serbuk dengan hasil ekstrak
adalah 1 : 5. Sehingga Larutan ekstrak jahe merah menggunakan ethanol
dibuat dengan konsentrasi 1% ( 2mg jahe/ ml).
c. Ekstraksi Jahe Menggunakan Air : Ekstraksi jahe dilakukan terhadap
bubuk jahe. Setiap 25 gr bubuk jahe membutuhkan 125 ml air. Ekstraksi
dilakukan sebanyak 4 kali. Untuk memperoleh ekstrak jahe, filtrat
dikeringbekukan sehingga pelarut dan air yang ada menguap. Larutan
ekstrak jahe merah menggunakan air dibuat dengan konsentrasi 1%
(2mg jahe/ml).

Uji In Vivo : Penelitian ini menggunakan 80 ekor anak ayam pedaging


umur satu hari (DOC) Strain Cobb 500 yang diacak ke dalam 5 perlakuan
(KP, KO, K1, K2, K3) dengan 4 ulangan, dan masing-masing ulangan terdiri
atas 4 ekor. Pada umur 23 hari, lima perlakuan ayam (KP,KO,K1,K2,K3)
diinfeksi dengan Eimeria tenella sebanyak 10.000 ookista/ekor per oral.
Lima hari pasca diinfeksi E.tenella, diberikan perlakuan berupa larutan jahe
sebanyak 1ml/ekor per oral (K1, K2, K3), dan aquadest (KP) selama 3 hari,
istirahat 2 hari, lalu diberi kembali selama 3 hari (sistem 3-2-3), begitu juga
dengan pemberian koksidiostat (sesuai petunjuk pemakaian). Enam hari
pasca diinfeksi E.tenella, ekskreta ayam ditampung setiap hari. Masing –
masing perlakuan diambil ekskreta sebanyak 2 sampel perkandang, kemudian
dikoleksi dan dipisahkan berdasarkan perlakuan selama 1 minggu. Hari ke-
13 pasca infeksi E.tenella, semua kelompok ayam dipotong untuk diambil
sekumnya. Peubah yang diamati adalah nilai perlukaan sekum dan produksi
ookista setiap gram isi sekum. Penilaian skor perlukaan terhadap koksidiosis
sekum dengan cara JOHNSON dan REID (1970). Hasil pengamatan di
analisis secara statistik.

HASIL

Rata-rata produksi ookista per gram ekskreta yang ditampung selama


tujuh hari pada ayam yang terinfeksi E.tenella dapat dilihat pada Tabel 1.

182 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Rata-rata produksi Ookista per gram (OPG) ekskreta pada ayam
yang terinfeksi E-tenella setelah pemberian larutan jahe merah
(Zingiber Officinale Var Rubra)

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada hari ke-6 pasca infeksi terlihat rata-
rata produksi ookista tertinggi pada perlakuan KP (9425), sedangkan terendah
pada perlakuan K2 (4025). Hasil analisis statistik dengan menggunakan
Anava (Analisis Varian) menunjukkan bahwa pemberian larutan jahe merah
1% memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dalam menurunkan produksi
ookista pada ayam pedaging yang terinfeksi E. tenella. Hal ini terlihat dari
hasil perlakuan K1,K2,K3 < kontrol positif (KP). Sedangkan perlakuan obat
koksidiostat (KO) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
dengan perlakuan larutan jahe merah 1% (KO=K2=K3).

Selanjutnya pada hari ke-7 dan ke-8 pasca infeksi, hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05)
diantara perlakuan KP,KO,K1,K3. Jumlah ookista keempat perlakuan
ini terlihat mengalami peningkatan. Namun, keempat perlakuan tersebut
(KP,KO,K1,K3) berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan K2.

Pada hari ke-12 pasca infeksi menunjukkan bahwa tidak terdapat


perbedaan yang nyata (P>0,05) antara perlakuan obat koksidiostat (KO)
dengan perlakuan larutan jahe merah 1% (K1,K2,K3) dalam menurunkan
produksi ookista. Sedangkan perlakuan K2 berbeda nyata (P<0,05) dengan
perlakuan kontrol positif (KP).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
183
Keterangan :
KP = Infeksi E.tenella
KO = Infeksi E.tenella + koksidiostat
K1 = Infeksi E.tenella + lar.jahe merah serbuk 1%
K2 = Infeksi E.tenella + lar.jahe merah ekstrak ethanol 1%
K3 = Infeksi E.tenella + lar.jahe merah ekstrak air 1%

Gambar 1. Rata-rata Produksi Ookista Per Gram (OPG) Ekskreta Pada


Ayam yang Terinfeksi E.tenella Setelah Pemberian Larutan Jahe
Merah (Zingiber officinale var Rubra)

Hasil pengamatan skor lesi sekum pada ayam pedaging tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan persentase skor lesi sekrum pada ayam pedaging umur 35
hari

Hasil analisis statistik dengan menggunakan Anava menunjukkan


bahwa pemberian larutan jahe merah memberikan pengaruh yang tidak
nyata (P>0,05) dalam menurunkan skor lesi sekum pada ayam pedaging
yang terinfeksi E.tenella. Perlakuan yang menunjukkan rataan skor lesi
sekum tertinggi adalah perlakuan KP (kontrol positif) dan K1 (larutan jahe
serbuk 1%) yaitu sebesar 0,56%, sedangkan rataan skor lesi sekum terendah
(ringan) pada perlakuan K2 (larutan jahe ekstrak ethanol 1%) yaitu sebesar
0,37%. Hal ini berarti bahwa pemberian jahe merah efektif dan memberi
respon dalam mencegah kerusakan jaringan / perdarahan pada sekum ayam
pedaging.

184 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 2. Grafik penilaian derajat perlukaan sekum pada ayam pedaging
yang diinfeksi 10.000 ookista E.tenella per ekor. Skor 0, +1, +2,
+3, dan +4 menunjukkan derajat perlukaan (skor lesi) sekum.

Berdasarkan derajat perlukaan jaringan dan perdarahan pada sekum


ayam, maka skor lesi untuk semua perlakuan masih tergolong ringan. Hal
ini disebabkan skor lesi yang ditimbulkan masih berkisar antara 0-1. Jika
diurutkan berdasarkan skor lesi sekum terendah (ringan) ke tertinggi, maka
didapatkan urutan sebagai berikut yaitu K2, KO, K3, K1, KP. Perlakuan K2
lebih ringan jika dibandingkan dengan perlakuan KO, K3, K1,KP.

PEMBAHASAN

Ookista per Gram Ekskreta

Ookista merupakan hasil fertilisasi mikrogamet dan makrogamet pada


stadium seksual. Ookista E. tenella akan keluar bersama ekskreta dalam
keadaan belum bersporulasi, dan akan bersporulasi dalam waktu 1-2 hari
setelah mendapatkan oksigen, suhu yang sesuai, dan lingkungan yang
lembab (Tampubolon, 1996).

Maudya (1994) menyatakan bahwa pada hari ke-6 dan ke-7 setelah
infeksi, produksi ookista akan meningkat karena pada hari tersebut perdarahan
sudah agak berkurang. Puncak sekresi ookista adalah pada hari ke-8 dan akan
menurun pada hari ke-9 sesudah infeksi. Selanjutnya akan berangsur-angsur
menurun pada hari ke-11, tampak ookista tinggal sedikit tetapi kemungkinan
masih tetap ditemukan dalam tinja sampai beberapa bulan sesudah infeksi
(Reid et al., 1984). Ookista yang tertinggal dalam tubuh ayam akan berfungsi
sebagai stimulant untuk membentuk kekebalan (Sanda, 1985).

Jahe merah mengandung komponen bioaktif berupa oleoresin dan


gingerol. Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang berinteraksi
dengan sel protozoa melalui proses adsorbsi dengan melibatkan ikatan
hidrogen. Fenol pada kadar rendah berinteraksi dengan protein membentuk
kompleks protein fenol. Ikatan antara protein dan fenol adalah ikatan yang
lemah dan segera mengalami peruraian. Fenol yang bebas, akan berpenetrasi

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
185
kedalam sel, menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein. Pada
kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein sehingga membran sel
mengalami lisis (Juliantina et al., 2008).

Daya antikoksi terhadap ookista E.tenella terjadi melalui lisisnya


memberan sel E.tenella. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat (Achyad
dan Rosyidah, 2000) yang menyatakan bahwa oleoresin dan gingerol bersifat
anti inflamasi dan anti bakteri. Konsistensi keberadaan senyawa kimia pada
suatu sediaan asal herbal dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya tempat
tumbuh, waktu panen, cara ekstraksi dan pelarut yang digunakan.

SLS (Skor Lesi Sekum)

Infeksi oleh Eimeria tenella sebagai penyebab koksidiosis akan


senantiasa berimplikasi pada kerusakan sel epitel jaringan usus, khususnya
pada bagian mukosa dan submukosa sekum (Iskandar, 2006). Meskipun
pemberian larutan jahe merah memberikan pengaruh yang tidak nyata
(P>0,05) dalam menurunkan skor lesi sekum, namun jahe merah memberi
respon dalam mencegah kerusakan jaringan / perdarahan pada sekum ayam
pedaging. Selain itu, cara pengolahan herbal dan senyawa aktif oleoresin,
minyak atsiri, dan gingerol yang terdapat pada bahan baku herbal yaitu jahe
merah dapat bekerja efektif dalam menekan infeksi E.tenella. Senyawa yang
terdapat pada jahe merah dapat mengefektifkan penyerapan makanan ke
dalam tubuh dengan kandungan antioksidan yang tinggi dan daya antiradang
yang kuat (Goto et al., 2005). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Iskandar
et al (2000) yang menyatakan bahwa infuse jahe merah sebanyak 1% dapat
bermanfaat sebagai koksidiostat pada ayam pedaging.

Berdasarkan derajat perlukaan jaringan dan perdarahan pada sekum


ayam, maka skor lesi untuk semua perlakuan masih tergolong ringan.
Perlakuan KP yang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan
perlakuan K1, K2, K3, dan KO diduga karena jumlah ookista yang diberikan
belum cukup untuk memberikan dampak pada ayam pedaging. Selain itu,
hal tersebut dimungkinkan respon tubuh ayam segera membentuk antibodi
sehingga dapat mencegah kerusakan jaringan dan perdarahan pada sekum
ayam pedaging. Hal ini sesuai dengan pendapat (Endang et al, 2000) yang
menyatakan bahwa berat ringannya serangan koksidiosis dipengaruhi oleh
jumlah parasit yang menyerang (dosis infeksi), daya kebal, dan umur induk
semang.

186 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KESIMPULAN

a. Perlakuan yang diberi larutan jahe merah ekstrak ethanol 1% (K2)


efektif dalam menurunkan produksi ookista dan menunjukkan hasil
yang terbaik dibandingkan perlakuan lain.
b. Pemberian obat koksidiostat dan larutan jahe merah menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata dalam menurunkan nilai perlukaan sekum.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, P.C, Fettere, R. H, 2002. Clinical Microbiology Reviews: Recent


Advanceins Biology and Immunobiology of Eimeria Species and in
Diagnosis and Conffol of Infection with These Coccidian Parasites of
Poultry. l. Soc. Microbiol Vol. l5.No. 1:58-65.

Dep.Kes.RI, 1979. Farmakope Indonesia. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Ed. III. Jakarta. hal. 12-13.

Endang S, Mufasirin, Ririen. 2000. Kajian Histopatologis Pada Sekum


Anak Ayam Akibat Pemberian Sporokista Eimeria tenella. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.

Goto H, Y. Sasaki, H. Fushimi, N. Shibahara, Y. Shimada, K. Komatsu,


2005. Effect of Curcuma Herbs on Vasomotion and Hemorheology in
Spontaneously Hypertensive Rat. American J. of Chinese Medicine.
33 : 449-457.

Iskandar, T, Murdiati, T.B, dan Subekti, D.T, 2000. Pengaruh Pemberian Infus
Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra) Terhadap Koksidiosis
Sekum Pada Ayam Pedaging. Balai Penelitian Bogor. Bogor.

Sanda A, 1985. Immunoprophylaxis of Coccidiosis in Chicks. Monatshefie


for veterinar medizin 40 (5) : 165-167. vol.9 No.6. pp .229.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
187
PARTIAL BUDGET ANALYSIS REKOMENDASI PEMBERIAN
PREMIKS PADA SAPI PENDERITA GANGGUAN REPRODUKSI
DI PROVINSI DI.YOGYAKARTA PASCA PROGRAM
UPSUS SIWAB

Basuki Rochmat Suryanto1, Caecilia Ika2, Tri Widyaningsih2, Bagoes Poermadjaja1

1
Balai Besar Veteriner Wates
Dinas Pertanian Provinsi DI. Yogyakarta
2

Koresponden Penulis Utama : bsuryanto3@gmail.com

ABSTRAKS

Ekonomi dapat memberikan informasi yang akan membantu dalam pengambilan keputusan
kesehatan hewan untuk mengalokasikan sumber daya secara efektif. Analisis ekonomi juga
memberikan informasi tentang nilai sosial investasi dan memungkinkan diperolehnya informasi
yang lebih baik untuk pengambilan keputusan ( Roshton, 2017). Partial Budget Analysis merupakan
sebuah alat/ model analisis untuk mengukur berbagai perubahan dalam usaha. Kajian ini bertujuan
untuk memberikan gambaran tentang nilai manfaat dan beaya untuk intervensi berupa pemberian
premiks dengan kandungan vitamin dan mineral lengkap, sebagai upaya pencegahan gangguan
reproduksi pada sapi di wilayah D.I Yogyakarta. Penghitungan Partial Budget Analysis dilakukan
dengan menginventarisir berbagai factor yang berkaitan dalam bidang finansial peternakan, antara
lain : program pemberian premiks kepada aseptor program gangrep, pendapatan tambahan serta
anggaran yang harus dikeluarkan. Parameter yang dinilai adalah Net Present Value ( NPV ), Benefit
Cost Ratio ( BCR ) dan Internal Rate Of Return ( IRR ) sebagai nilai kelayakan terhadap intervensi
dan investasi yang dilakukan. Pada kajian ini sebagai baseline Partial Budget Analysis adalah
Program Penanggulangan Gangguan Reproduksi berupa pemberian premiks,vitamin, hormon dan
obat cacing. Apabila program UPSUS SIWAB berhenti maka skenario intervensi dalam kajian ini
adalah pemberian premiks sebagai program yang direkomendasikan untuk dilakukan pemerintah
daerah. Hasil dari perhitungan dengan metode Partial Budget Analysis didapatkan NPV sebesar Rp
37.154.391.440. BCR sebesar 9.6 dan IRR sebesar 644.72% yang dapat dimaknai bahwa program
pemberian premiks dengan kandungan vitamin dan mineral lengkap dapat digunakan sebagai program
lanjutan secara mandiri oleh lembaga yang menangani peternakan, setelah program penanggulangan
Gangguan Reproduksi berakhir.

Kata Kunci : Gangguan Reproduksi, Partial Budget Analysis, Ekonomi

PENDAHULUAN

Kekurangan pakan khususnya untuk daerah tropis yang panas ternasuk


di Indonesia, merupakan salah satu penyebab penurunan efisiensi reproduksi
karena selalu diikuti oleh adanya gangguan reproduksi menuju timbulnya
kemajiran pada ternak betina maupun jantan. Pakan sebagai factor yang
menyebabkan gangguan reproduksi dan kemajiran sering bersifat majemuk,
artinya kekurangan suatu zat dalam ransum diikuti oleh kekurangan zat pakan
yang lain. Tidak semua vitamin yang ada dialam ini diperlukan oleh tubuh
hewan karena sebagian vitamin dapat dibuat oleh tubuh sendiri seperti vitamin
B, vitamin C dan vitamin K yang dapat diseintesa oleh rumen pada ternak
ruminansia. Sebaliknya vitamin A,D dan E yang tidak larut dalam air sering
dijumpai kekurangan dalam ransum, diikuti terjadinya gangguan reproduksi
baik pada yang betina maupun jantan.Ketiga vitamin yang larut dalam
minyak ini tidak dapat disintesa oleh tubuh, sehingga harus tersedia dalam

188 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ransum pakan sehari-hari dalam jumlah yang cukup. Kekurangan vitamin A
dalam ransum dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesuburan sampai
pada tingkat kemajiran. Gangguan kesuburan ini berbentuk tidak timbulnya
birahi, atau bila ada birahi dan terjadi perkawinan akan menghasilkan angka
kebuntingan yang rendah. Kekurangan vitamin D pada hewan betina dapat
menyebabkan tidak munculnya birahi, sedangkan kekurangan vitamin
E dapat menyebabkan terhambatnya hewan betina mencapai dewasa
kelamin. Beberapa macam mineral termasuk mineral jarang (trace mineral)
mempunyai peranan penting dalam proses reproduksi yang normal pada
ternak. Kebutuhan mineral dalam pakan yang normal sebenarnya sangat
sedikit dan kebutuhan akan meningkat sesuai dengan bertambahnya berat
badan atau adanya kebuntingan dan laktasi. Adanya kekurangan mineral
dapat menurunkan efisiensi reproduksi pada ternak (Hardjopranjoto, 1995).
Gangguan reproduksi dapat diantisipasi dengan memperhatikan beberapa
faktor diantaranya : 1. Seleksi genetik. 2. Manajemen pakan yang baik
sehingga mendukung kesuburan saluran reproduksi. 3. Manajemen kesehatan
yang baik meliputi kesehatan sapi program pengobatan dan vaksinasi) ,
kebersihan kandang dan lingkungan (sanitasi dan desinfeksi) sehingga dapat
meminimalisasi agen patogen (bakteri, virus, jamur, protozoa) yang dapat
mengganggu kesehatan sapi. 4. Penanganan masalah reproduksi dengan
prosedur yang baik dan benar sehingga mengurangi kejadian trauma fisik
yang akan menjadi faktor predisposisi gangguan reproduksi (Anonim, 2014).
Kajian ini bertujuan untuk memberikan program alternative setelah Program
UPSUS SIWAB selesai, yaitu dengan mempertimbangkan besar dana dan
kemanfaatan,lebih yaitu dengan pemberian premiks sebagai pakan tambahan.

MATERI DAN METODE

Materi

Data Program Ganggguan Reproduksi 2017 ( Laporan cache gangguan


reproduksi individu )

Data www. isikhnas 2017 difilter untuk Daerah Istimewa Yogyakarta

Data harga produk dan bahan serta operasional dalam program


Penanggulangan Gangguan Reproduksi 2017 oleh Balai Besar Veteriner
Wates

Metode

Langkah-langkah yang ditempuh dalam mengukur perubahan finansial


dengan analisis partial budget adalah :

1. Buat tabel analisis partial budget dengan excell


2. Analisis berbagai perubahan, dan mencatat perubahan-perubahan
tersebut, serta pengelompokan berdasarkan: (A) Peningkatan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
189
pendapatan, (B) Pengurangan atau penghapusan biaya, dan Kenaikan
Biaya (C), dan Pengurangan atau penghapusan pendapatan (D)
3. Pengelompokan perubahan finansial tersebut menurut komponen
keuntungan, dan komponen kerugian
4. Menghitung jumlah masing-masing perubahan fianansial, yaitu : Total
Keuntungan (A+B), dan Total kerugian (C+D).
5. Menghitung jumlah perubahan pendapatan (net income change), yaitu
(E-F) sesuai tabel di atas.
6. Interpretasi dari net income change tersebut ( Firmasnyah, 2013 )
7. Menghitung NPV, BCR dan IRR sebagai nilai kelayakan terhadap
investasi dan atau intervensi yang diambil

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel. 1. Anggaran Parsial untuk Penanganan Gangrep Program UPSUS


SIWAB Per Ekor selama 1 tahun

Biaya Manfaat
Penghematan
Biaya baru Rp Rp
biaya
Pemberian Premiks 1 kg per ekor 24,000    
Pemeriksaan Reproduksi dan Operasional 100,000    
Petugasper ekor
Pemberian Vitamin Injeks 13,125    
Pemberian Obat Cacing 9,000    
Pemberian Hormon PGF 70,000    
GnRH 187,000    
Kehilangan pendapatan   Pendapatan  
baru
Tidak ada   Produksi Anak 5,000,000
Sapi
       
Total 403,125   5,000,000
Manfaat dikurangi biaya 4,596,875

Baseline : Program Gangrep ( Premiks,vit,hormon,obat cacing )


Skenario 1 : Pemberian Premiks saja
Data kesembuhan gangrep Yogyakarta 54,48% www.isikhnas .com

190 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel. 2. Anggaran Parsial untuk Penanganan Gangrep Pasca Program
UPSUS SIWAB Per Ekor selama 1 tahun

Biaya Manfaat
Penghematan
Biaya baru Rp Rp
biaya
Pemberian Premiks 3 bulan sekali(4x per th) 96,000 Pemberian 13125
Vitamin
Injeks
Pemeriksaan Reproduksi 4x per 200,000 Pemberian 9000
tahun@50.000 Obat Cacing
Pemberian 70000
Hormon PGF
GnRH 187000
   
Kehilangan pendapatan Pendapatan  
baru
Tidak ada Produksi 5,000,000
Anak Sapi
   
Total 296,000   5,279,125
Manfaat dikurangi biaya 4,983,125

Baseline : Program Gangrep ( Premiks,vit,hormon,obat cacing )


Skenario 1 : Pemberian Premiks saja
Data kesembuhan gangrep Yogyakarta 54,48% www.isikhnas .com

Tabel. 3. Data dasar

DATA UTAMA angka satuan %


Aseptor Gangrep Yogyakarta 2017* 7,237 ekor  
Sembuh 2017* 3,943 ekor 54.48
Tidak sembuh 2017* 2,203 ekor 30.44
       
Harga Anak sapi 5,000,000 Rp  
Operasional Medik/paramedik 10,000 Rp  
Tingkat Diskonto 5.00%    

Keterangan : *( isikhnas, 2017 )

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
191
Tabel 4. Partial Budget

192
  Butir Tahun Total      

  0 1 2 3 4  
Aseptor Program Gangrep Sapi Yogya- 100% 30,4% 25,4% 20,4% 15,4%
karta:
Biaya
Modal

Biaya berulang
Pemberian Premiks 1 kg per ekor 173,688,000 52,872,000 176,467,008 141,729,408 106,991,808 651,748,224
Pemeriksaan Reproduksi dan Operasion- 723,700,000 220,300,000 367,639,600 295,269,600 222,899,600 1,829,808,800
al Petugasper ekor
Pemberian Vitamin Injeks 94,985,625 0 0 0 0 94,985,625
Pemberian Obat Cacing 65,133,000 0 0 0 0 65,133,000
Pemberian Hormon PGF 506,590,000 0 0 0 0 506,590,000

Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
GnRH 1,353,319,000 0 0 0 0 1,353,319,000
Biaya total 2,917,415,625 273,172,000 544,106,608 436,999,008 329,891,408 4,501,584,649
Manfaat
Pemberian Vitamin Injeks 0 28,914,375 28,875,630 19,377,068 14,627,786 91,794,859
Pemberian Obat Cacing 0 19,827,000 19,800,432 13,287,132 10,030,482 62,945,046

Prosiding
  Butir Tahun Total      

  0 1 2 3 4  
Pemberian Hormon PGF 0 154,210,000 154,003,360 103,344,360 78,014,860 489,572,580

Prosiding
GnRH 0 411,961,000 411,408,976 276,077,076 208,411,126 1,307,858,178
Produksi Anak Sapi 5,000,000 19,715,000,000 11,000,240,000 7,381,740,000 5,572,490,000 43,669,470,000
Manfaat total 5,000,000 20,329,912,375 11,614,328,398 7,793,825,636 5,883,574,254 45,621,640,663
Manfaat dikurangi biaya sebelum -2,912,415,625 20,056,740,375 11,070,221,790 7,356,826,628 5,553,682,846 41,125,056,014
dilakukan penghitungan diskonto

Biaya terdiskonto 2,917,415,625 260,163,810 493,520,733 377,496,174 271,402,478 4,319,998,819


Manfaat terdiskonto 5,000,000 19,361,821,310 10,534,538,229 6,732,599,620 4,840,431,100 41,474,390,259
Manfaat terdiskonto dikurangi biaya -2,912,415,625 19,101,657,500 10,041,017,497 6,355,103,447 4,569,028,622 37,154,391,440
terdiskonto

dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018


NPV 37,154,391,440
BCR 9.6
IRR 644.72%

Tahun
Butir

Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


0 1 2 3 4
Manfaat kumulatif dikurangi biaya -2,912,415,625 17,144,324,750 28,214,546,540 35,571,373,168 41,125,056,014

193
*Jumlah aseptor TAHUN
0 1 2 3 4
7237 2200 1838 1476 1114

* Data kesembuhan gangrep Yogyakarta 54,48% www.isikhnas.com


* Asumsi kesembuhan 5% tiap tahun

Perhitungan NPV, BCR dan IRR

Untuk membandingkan biaya dan manfaat yang terjadi Pada tahun-


tahun yang berbeda perlu diubah nilai dari faktor yang mempengaruhi
menjadi nilai sekarang. Untuk perubahannya dilakukan dengan teknik yang
dikenal sebagai discounting. Perhitungan diskonto membutuhkan tarif yang
dikenal sebagai nilai diskon. Tingkat diskonto tidak harus sama dengan
tingkat bunga yang ditawarkan di bank.

Tabel dibawah ( Tabel 2 ) membandingkan uang yang dibelanjakan


pada awal perubahan dengan uang yang diperoleh setelah empat tahun.
Tabel ini memperlakukan uang di masa depan, yaitu dalam empat tahun,
sebagai setara dengan uang yang dikeluarkan hari ini. Ini merupakan cara
untuk mengubah jumlah uang yang diperoleh di masa depan menjadi nilai
kini. Sebagaimana dijelaskan dalam presentasi, kita dapat melakukan hal ini
dengan menghitung diskonto dan kita perlu tingkat diskonto (kadang-kadang
disebut juga faktor diskonto).

Prinsip Penganggaran Partial

Anggaran parsial didasarkan pada prinsip bahwa perubahan usaha


kecil memiliki dampak pada satu atau beberapa bagian sebagai berikut.
1. Peningkatan pendapatan 2. Pengurangan atau penghapusan biaya 3.
Kenaikan biaya 4. Pengurangan atau penghapusan pendapatan. Dampak dari
efek di atas akan menjadi perubahan keuangan positif dikurangi perubahan
keuangan negative ( Tigner,2006). Nilai Net Income change positif
menunjukkan bahwa pendapatan peternak akan meningkat karena adanya
perubahan, sedangkan Nilai Net Income negatif mengindikasikan bahwa
perubahan tersebut akan mengurangi pendapatan peternak.

Anggaran parsial hanya mencakup sumber daya yang akan diubah, tidak
mempertimbangkan sumber daya dalam bisnis yang tidak berubah. Hanya
perubahan yang sedang dipertimbangkan dievaluasi karena kemampuannya
untuk meningkatkan atau menurunkan pendapatan usaha peternakan.

Perhitungan Beaya Manfaat

Dalam analisis ini digunakan tingkat diskonto 5% . Untuk dapat


membandingkan biaya dan manfaat yang terjadi pada tahun berbeda, dilakukan
konversi nilai-nilainya ke nilai kini, yang dilakukan dengan menggunakan
194 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
teknik discounting.
Rumus discounting adalah sebagai berikut:
Xt
Nilai kini (Present Value atau PV) =
(1+r)t
dengan PV adalah nilai kini
X t adalah jumlah uang dalam tahun t,
r adalah tingkat diskonto (dituliskan sebagai suatu
proporsi: yakni 5% = 0,05), dan
t adalah jumlah tahun dari tanggal kini.

Dalam tabel di atas, terlihat biaya dan manfaat tanpa penghitungan


diskonto dalam tahun 1, dan biaya sejumlah Rp 20,329,912,375. Nilai kini
dari biaya dihitung dengan teknik discounting dengan cara berikut:
20,329,912,375
Nilai sekarang (PV) dari biaya tahun 1 =
(1+0.05)1
20,329,912,375
Nilai sekarang (PV) dari biaya tahun 1 =
1.05
Nilai sekarang (PV) dari biaya tahun 1 = 260,163,810
Pada tahun 4, jumlah manfaat adalah Rp 5,883,574,254 dan penghitungan
nilai sekarang dari manfaat pada tahun itu adalah sebagai berikut
5,883,574,254
Nilai sekarang (PV) dari manfaat pada tahun 4 =
(1+0.05)4
5,883,574,254
Nilai sekarang (PV) dari manfaat pada tahun 4 =
1.2155
Nilai sekarang (PV) dari manfaat pada tahun 4 = 4,840,431,100

Net Present Value / NPV adalah selisih antara jumlah nilai sekarang
manfaat dan jumlah dari nilai sekarang dari biaya. Dari perhitungan pada
tabel didapatkan nilai NPV sebesar Rp 37,154,391,440,- untuk program 7.237
ekor sapi ( target gangrep yogya 2017) . Nilai NPV positif menunjukkan
investasi dan intervensi dapat diterima.

BCR ( Benefit Cost Ratio) Rasio biaya manfaat = nilai sekarang dari
manfaat tambahan dibagi dengan nilai sekarang dari biaya tambahan,
dihitung dengan membagi jumlah nilai sekarang manfaat dengan jumlah
nilai sekarang. Roshton, 2013 menyatakan bahwa nilai BCR lebih dari 1
layak untuk dipertimbangkan. Dalam perhitungan didapatkan IRR 9.60 (
untuk masa proyek 4 tahun) yang artinya investasi dan atau intervensi layak
dipertimbangkan untuk dilakukan.

IRR adalah perhitungan Investasi Internal Rate Of Return (IRR). IRR


merupakan tingkat diskonto yang akan membuat NPV sama dengan nol ,
dalam perhitungan ini IRR menunjukkan angka 644.72%.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
195
Manfaat dari program pemberian premiks saja didapatkan pada tahun ke-
3, setelah program Upsus siwab berhenti dan dilanjut dg program alternative,
dan menurun seiring menurunnya prosentase sapi gangrep

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil dari perhitungan dengan metode analisis partial budget


menunjukkan manfaat dan beaya yang berpengaruh positif apabila dilakukan
intervensi berupa pemberian premiks dengan kandungan lengkap

Saran

1. Perlu dilakukan program alternative sebagi program tindak lanjut dari


program penanggulangan gangguan reproduksi, sehingga keberhasilan
dan efek positif program yang sudah berjalan baik, dapat dilanjutkan
2. Memberikan rekomendasi tindaklanjut program penanggulangan
gangguan reproduksi dengan program pemberian premiks dari
pemerintah, dan bahan yang lain diharapkan dapat dipenuhi oleh
peternak sendiri.
3. Perlu dilakukan perhitungan ekonomi terhadap hal-hal prinsip, seperti
pemberian premiks dengan obat cacing, pemberian premik dengan
hormone, serta perlu dilakukan perbandingan lebih lanjut terhadap nilai-
nilai anggaran parsial untuk program Upsus Siwab Penanggulangan
Gangguan Reproduksi dengan nilai-nilai anggaran parsial program
alternative sebagai program lanjutan..

KETERBATASAN

1. Kajian ini mempunyai keterbatasan pada pembahasan seputar bidang


ekonomi , seperti harga produk, tingkat inflasi dan perubahan –
perubahan yang terkait waktu sehingga kajian akan berbeda apabila
dilakukan dalam tahun yang berbeda, musim yang berbeda, adanya
wabah penyakit, adanya perubahan ketersediaan pakan dan berbagai
factor yang dapat berpengaruh terhadap performans ternak.
2. Kajian ini hanya mengkaji beaya dan manfaat saat program
penanggulangan gangguan reproduksi dan pemberian premik lengkap
saja, belum sampai pada produk lain yang diberikan pada program
tersebut ( obat cacing, mineral dan hormon )
3. Perlu dilakukan perhitungan terhadap pemakaian produks secara
bersamaan dibandingkan dengan pemakaian produk yang lain
4. Nilai Internal Rate Of Return (IRR) menunjukkan angka yang over
estimate, diatas 100% dengan nilai ini maka perlu dilakukan kajian
untuk penyesuaian aplikasi program alternatif tersebut terhadap kondisi
nyata di lapangan seperti besarnya operasional petugas yang dipengaruhi

196 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
jarak ke lokasi peternakan, tingkat kesembuhan yang akan dipengaruhi
berbagai factor seperti musim panen, curah hujan serta berbagai kondisi
yang belum masuk dalam kajian ini

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Petunjuk Teknis Penanggulangan Gangguan Reproduksi.


Hal : 18. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian.

Anonim. 2017. Laporan Evaluasi Program Upsus Siwab 2017. Paparan


Laporan. Hotel JW Mariot 10-11 Desember 2017

Firmansyah. C. 2003. Partial Budget. .http://infosasatoan.blogspot.com/p/


manajemen-usahaternak.html diunduh 16 Okt 2017

Hardjpranjoto. S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Buku Ajar. Airlangga


University Press. Surabaya. Hal : 175-179

Laporan Cache Gangguan Reproduksi Individu dan Pengobatan Provinsi


DI.Yogyakarta 2017. www.isikhnas.com diunduh 22 Februarai 2018

Laporan Cache Gangguan Reproduksi Individu Perkembangan Kasus


Provinsi DI.Yogyakarta 2017. www.isikhnas.com diunduh 22
Februarai 2018

Rusthon. J. 2009. The Economics of Animal Health and Production. E-book.


.www.cabi.org. Oxfordshire OX10 8DE. UK. 2009

Tigner R. 2006. Partial Budgeting: A Tool To Analyze Farm Business


Changes. Https://Www.Extension.Iastate.Edu/Agdm/Wholefarm/
Html/C1-50.Html. Diunduh 14 Okt 2017

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
197
PENTINGNYA PENGAWASAN LALU LINTAS UNGGAS
TERHADAP PENYEBARAN KASUS HPAI DI PROPINSI JAWA
TIMUR SELAMA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2017
Yunita Widayati1, Nurhayati2
yunitawidayati@yahoo.com

Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian

PENDAHULUAN

Propinsi Jawa Timur merupakan sentra dari unggas (Statistik Direktorat


Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan , 2016). Tetapi di propinsi ini
juga banyak dilaporkan adanya kasus kematian unggas. Untuk melakukan
pencegahan dan penyebaran lebih terkendali maka perlu pengawasan lalu
lintas yang lebih ketat. Dari hasil laporan iSIKHNAS dapat diketahui daerah
mana saja yang mensupplay unggas ke Propinsi Jawa Timur dan kemana saja
Propinsi Jawa Timur mengirimkan unggasnya.

Lalu lintas merupakan hal yang penting diperhatikan, tetapi kadangkala


di dinas pengawasan lalu lintas ini tidak berjalan dengan baik. Hal ini
terkendala dengan keterbatasan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM)
dan wilayah yang luas sehingga banyak pintu-pintu perbatasan yang tidak
dijaga. Sebenarnya banyak sekali keuntungan jika kita mempunyai informasi
tentang lalu lintas unggas, terutama jika terjadi wabah/kasus di Propinsi Jawa
Timur, kita dapat melakukan penelusuran asal unggas tersebut sehingga di
daerah asal dapat dilakukan intervensi sehingga penyebaran tidak meluas
ke daerah lain. Sebaliknya upaya yang dilakukan propinsi Jawa Timur
adalah melakukan pengawasan lalu lintas yang ketat dan penutupan didaerah
tersebut.

Tujuan dari penulisan ini untuk melihat daerah asal dan daerah tujuan
pengiriman unggas dari propinsi Jawa Timur sehingga menghambat
penyebaran kasus HPAI. Selain itu kita akan tahu pada bulan apa saja terjadi
peningkatan pengeluaran dan permintaan terhadap unggas di Propinsi Jawa
Timur.

MATERI DAN METODOLOGI

Data lalu lintas unggas di Propinsi Jawa Timur diperoleh dari data
laporan iSIKHNAS Pemasukan dan Pengeluaran unggas. Laporan yang di
ambil dari iSIKHNAS untuk pemasukan unggas No. 408 sedangkan untuk
pengeluaran unggas dari JAwa Timur No. 075.

Data yang dibutuhkan adalah daerah asal,daerah tujuan, jenis unggas,


dan periode tahun 2017.

Kita memilih Propinsi asal dan tujuan adalah Jawa Timur. Jenis unggas

198 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang dipilih ayam, broiler, layer, ayam kampong dan DOC. Untuk Periode
waktunya dipilih Januari 2017 sampai dengan Desember 2017.
Data tersebut diolah dengam Ms. Excel dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari analisa lalu lintas unggas yang masuk dan keluar di Propinsi Jawa
Timur disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan pemasukan dan pengeluaran unggas di Propinsi


Jawa Timur 2017

Dari gambar (1) terlihat sebanyak 1.250 kali frekuensi unggas yang keluar
dari propinsi Jawa Timur. Dari jumlah frekuensi tersebut, 39.7% unggas
dikirim ke Propinsi Jawa Tengah. Jumlah total propinsi yang menerima
unggas dari Jawa Timur ada 29 propinsi. Dilihat dari gambar (1) frekuensi
penerimaan unggas di Jawa Tengah paling banyak sebanyak 496 kali/tahun.
Sehingga jika ada kasus/ wabah Avian Influenza di Propinsi Jawa Timur,
maka peluang untuk tertular AI di Jawa Tengah juga tinggi. Jika dilihat pada
gambar (2) kabupaten/kota di Jawa Tengah yang banyak menerima unggas
dari Jawa Timur adalah Kabupaten Boyolali 162 kali/tahun kemudian diikuti
Kubu Raya, Kendal, dan Mataram.

Gambar 2. Grafik kabupaten penerima unggas dari Propinsi Jawa Timur

Frekuensi pemasukan unggas ke Jawa Timur sebanyak 338 kali. berasal


dari 21 propinsi di Indonesia. Untuk Jawa Timur mendapatkan pemasukan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
199
unggas tertinggi dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sebanyak 26%
unggas yang masuk ke Jawa Timur berasal dari Jawa Tengah. Jika dilihar
pada gambar (3) Kota Rembang merupakan pemasok unggas tertinggi
sebanyak 64 kali/tahun.

Gambar 3. Grafik Pemasukan Unggas ke Propinsi Jawa Timur Periode


Tahun 2017

Dari gambar (3) dapat dilihat propinsi Jawa Tengah merupakan propinsi
yang banyak memasukan unggas dan menerima unggas dari Jawa Timur.

Gambar 4. Grafik perbandingan pemasukan dan pengeluaran unggas di


Propinsi Jawa Timur Tahun 2017

Dari grafik (4) perbandingan untuk pemasukan dan pengeluaran unggas


di Propinsi Jawa Timur per bulan selama periode tahun 2017. Jumlah
pengeluaran unggas dari propinsi Jawa Timur lebih tinggi dibandingkan
pemasukan unggas ke Jawa Timur.

Peningkatan pemasukan terjadi pada bulan April dan Juni 2017.


Sedangkan terjadi peningkatan pengeluaran sejak bulan Juli sampai
November. Peningkatan pemasukan pada bulan April sampai Juni disebabkan
karena kebutuhan DOC untuk persiapan Idul Fitri. Pengeluaran meningkat
pada bulan Juli sampai akhir tahun, disebabkan permintaan terhadap unggas
meningkat pada waktu Idul Fitri dibulan Juli 2017 dan kemudian Idul Adha
di awal September sampai menjelang akhir tahun.

200 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 6. Peta lalu lintas pemasukan dan pengeluaran unggas di Propinsi
Jawa Timur Periode Januari – Desember 2017.

Dari gambar (3) diatas terlihat lalu lintas unggas dipropinsi Jawa Timur
baik yang masuk maupun yang keluar sangat banyak sekali dan komplek.
Sehingga jika ada kasus perlu diperhatikan asal daerah unggas dan daerah
tujuan unggasnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan :

 Propinsi Jawa Timur menerima unggas dari 19 propinsi dan mengirim


unggas ke 22 Propinsi di Indonesia.
 lalu lintas yang berasal dan menerima unggas tertinggi dari Jawa
Tengah, hal tersebut dapat mempengaruhi situasi kejadian AI, karena
kedua provinsi tersebut masih berstatus endemis.
 Untuk mencegah penyebaran HPAI, diperlukan pencegahan, dengan
pengawasan lalu lintas unggas dan melakukan analisis risiko unggas
 Permintaan akan kebutuhan unggas akan meningkat menjelang
Ramadhan sampai akhir tahun, sehingga penting untuk menjaga check
point di pintu-pintu lalu lintas unggas.

Saran

 Perlu detail informasi detail unggas yang lebih lengkap. Didalam


iSIKHNAS hanya disebutkan jenis unggas Ayam, ayam kampong,
Broiler, Layer dan DOC.
 Diperlukan data yang lebih lanjut untuk daerah asal unggas, apakah
daerah tersebut merupakan daerah resiko tinggi, sedang dan rendah
untuk kasus HPAI. Sehingga dapat dipastikan unggas yang masuk ke
Propinsi Jawa Timur berasal dari daerah bebas atau resiko rendah.
 Tujuan dari analisa ini ini mengetahui wilayah mana saja yang
mensupplay Propinsi Jawa Timur dan kemana saja unggas dari Jawa
Timur dikirim, sehingga dapat dipantau lebih detail.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
201
DAFTAR PUSTAKA

Pedoman teknis pengawasan lalu lintas hewan, Direktorat Kesehatan Hewan,


Dirjen ProduksiPeternakan dan Departemen Pertanian 2000.

http://karantinasby.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/07/
PERMENTAN-TKH-UNGGAS-nomor-37-Tahun-2014.pdf

https://www.k4health.org/sites/default/files/Guidelines%20for%20the%20
Prevention%2C%20Control%20and%20Eradication%20of%20
Animal%20Infectious%20Diseases%20Influenza%20In%20
Poultry_2005.pdf

Buku Statistik Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,


Kementan, 2016

202 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DETEKSI ANTIBODI RABIES PADA SAPI DAN KAMBING
KASUS GIGITAN HPR (HEWAN PEMBAWA RABIES) PASCA
DIVAKSIN RABIES DI KABUPATEN DHARMASRAYA,
SUMATERA BARAT
1)
Yul Fitria, 2)Yoli Zulfanedi, 1)Rahmi Eka Putri

1)
Balai Veteriner Bukittinggi
Dinas Pertanian Kabupaten Dharmasraya
2)

yulfitria@yahoo.com, yolizulfanedi.yz@gmail.com,

ABSTRAK

Telah terjadi gigitan anjing terduga rabies pada 16 ekor sapi dan 1 ekor kambing di Nagari Pulau
Mainan, Kecamatan Koto Salak, kabupaten Darmasraya, propinsi Sumatera Barat, tanggal 17
Oktober tahun 2017. Gigitan pada daerah hidung. Pertolongan pertama pada hewan dilakukan
vaksinasi dengan vaksin yang tersedia sebagai vaksin antirabies. Penyuntikan dilakukan 3 kali secara
intramuskular pada hari ke 0, 7, dan 14 (sapi) sedangkan kambing 1,7 dan 14. Pengambilan serum
darah dilakukan pada hari ke 0, 7, 14 dan 120. Dilakukan pengujian deteksi antibodi rabies dengan
metode RFFIT (Rapid Fluorescent Foci Inhibition Test) pada seluruh sampel. Ditemukan antibodi
pada sapi dengan nilai 0,5 dan >2 IU/ml. 2 ekor sapi mati 20 hari setelah gigitan dengan gejala agresif
dan hipersalivasi, kambing mati setelah 23 hari pasca gigitan. Kesimpulan tindakan pada ternak
pasca gigitan HPR bisa dilakukan penyuntikan Vaksin dengan suntikan pada hari 0,7 dan 14 pasca
gigitan dan pengukuran titer antibodi dengan metoda RFFIT.

Kata Kunci : Deteksi antibodi , HPR, VAR

PENDAHULUAN

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang mematikan dan tersebar di seluruh


dunia (Baxter, 2012). WHO memperkirakan 55.000 orang meninggal setiap
tahun karena rabies di seluruh dunia, 99 persen berada di Afrika dan Asia.
Di Indonesia pada tahun 2016 ada 86 orang meninggal karena rabies, dengan
kasus gigitan 64.774 orang. (Infodatin,2017). Kasus rabies hewan sampai
tahun 2015 adalah 1.416 ekor. (Infodatin, 2016), data kasus gigitan pada
hewan tidak ada, seperti pada kasus manusia, kasus gigitan lebih banyak.

OIE belum menetapkan penatalaksanaan terhadap kasus gigitan pada


hewan. Hewan yang digigit hewan pembawa rabies umumnya adalah hewan
kesayangan dan hewan ternak produktif yang akan mengakibatkan kerugian
secara ekonomis pada peternak. Data ternak dengan kasus rabies adalah di
BVet Bukittinggi adalah

Melihat banyak nya hewan ternak yang digigit HPR positif rabies
mengharuskan kita mempunyai prosedur penatalaksanaan hewan yang
tergigit rabies. Hasil ini hanya penelitian awal karena ada kasus gigitan
yang banyak terjadi di Sumatera Barat. Seperti yang terjadi di Kabupaten
Dharmasraya, telah terjadi gigitan anjing terduga rabies pada 16 ekor sapi
dan 1 ekor kambing di Nagari Pulau Mainan, Kecamatan Koto Salak,
kabupaten Darmasraya, propinsi Sumatera Barat, tanggal 17 Oktober tahun
2017. Lokasi gigitan umumnya terjadi di area hidung pada 15 ekor sapi dan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
203
di pelipis mata pada seekor sapi dan kambing. Pertolongan pertama pada
hewan dilakukan vaksinasi dengan vaksin yang tersedia sebagai vaksin
antirabies. Penyuntikan dilakukan 3 kali secara intramuskular pada hari ke
0, 7, dan 14 (sapi) sedangkan kambing pada hari ke 1,7 dan 14. Dua ekor
sapi mati 20 hari setelah gigitan dengan gejala agresif dan hipersalivasi,
kambing mati setelah 23 hari pasca gigitan. Dan sapi yang lain tetap hidup
sehat sampai sekarang, ada satu ekor sapi melahirkan karena waktu digigit
sedang bunting 6 bulan. Anjing yang menggigit berwarna putih merah, tapi
tidak bisa ditangkap peternak, dengan gejala lari sempoyongan, ekor turun,
melawan saat ditangkap, kepastian anjing tersebut menggigit sapi karena
dilihat oleh peternak tersebut. Dan sapi dan kambing yang mati juga tidak
ada konfirmasi rabies karena sapi langsung dikubur.

TUJUAN

Tujuan tulisan ini adalah melihat gambaran titer antibodi pada hewan
ternak pasca gigitan hewan tersangka rabies dengan metode RFFIT sehingga
dapat dianalisa sehingga dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya untuk
penanganan hewan ternak pasca gigitan hewan pembawa rabies disangka
rabies.

MATERI DAN METODE

Materi

Pengambilan darah sapi dan kambing pada hari 0, 7 , 14 dan 4 bulan


pasca vaksinasi. Sebanyak 17 serum.

Metode (kronologis kejadian)

Anjing terduga rabies menggigit 16 ekor sapi dan 1 ekor kambing di


Nagari Pulau Mainan, Kecamatan Koto Salak, kabupaten Darmasraya,
propinsi Sumatera Barat, tanggal 17 Oktober tahun 2017. Lokasi
gigitan umumnya terjadi di area hidung pada 15 ekor sapi dan di pelipis
mata pada seekor sapi dan kambing. Pertolongan pertama pada hewan
dilakukan vaksinasi dengan vaksin yang tersedia sebagai vaksin antirabies.
Penyuntikan dilakukan 3 kali secara intramuskular pada hari ke 0, 7, dan 14
(sapi) sedangkan kambing pada hari ke 1,7 dan 14. Dua ekor sapi mati 20
hari setelah gigitan dengan gejala agresif dan hipersalivasi, kambing mati
setelah 23 hari pasca gigitan. Dan sapi yang lain tetap hidup sehat sampai
sekarang, ada satu ekor sapi melahirkan karena waktu digigit sedang bunting
6 bulan. Anjing yang menggigit berwarna putih merah, tapi tidak bisa
ditangkap peternak, dengan gejala lari sempoyongan, ekor turun, melawan
saat ditangkap, kepastian anjing tersebut menggigit sapi karena dilihat oleh
peternak tersebut. Dan sapi dan kambing yang mati juga tidak ada konfirmasi
rabies karena sapi langsung dikubur.

204 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Serum dilakukan pengujian titer antibodi dengan uji netralisasi RFFIT

HASIL

Tabel 1. Hasil Titer Antibodi Rabies pada ternak yang di Vaksin Rabies

TITER
TITER TITER
ANTIBODI HARI
IDENTITITAS ANTIBODI ANTIBODI KEADAAN
NO 120
TERNAK HARI 1 HARI 14 SEKARANG
(4 BULAN)
(IU/ml) (IU/ml)
(IU/ml)
1. Sapi, umur 4 tahun, < 3 Sehat
kondisi baik
2. Sapi, umur 5 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
3. Sapi, umur 5 tahun, < < Sehat
kondisi baik
4. Sapi, umur 3 tahun, < 0,5 Sehat
kondisi baik
5. Sapi, umur 4 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
6. Sapi, umur 3 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
7. Sapi, umur 6 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
8. Sapi, umur 1 tahun, < 1,1 Mati, pada hari ke 20
kondisi BCS 2 pasca gigitan, gejala
pada hari ke 18
9. Sapi, umur 5 tahun, < 3,2 Dijual, kondisi sehat,
kondisi baik terpantau
10. Sapi, umur 6 tahun, < 0,5 Dijual, kondisi sehat,
kondisi baik terpantau
11. Sapi, umur 6 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
12. Sapi, umur 4 tahun, < 1,1 Sehat
kondisi baik
13. Sapi, umur 5 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
14 Sapi, umur 3 tahun, < 1,1 Sehat
kondisi baik
15 Sapi, umur 6 tahun, < >2 Mati pada hari ke 21,
kondisi BCS 2 gejala hari ke 21
16. Sapi, umur 3 tahun , < 1,5 Sehat
kondisi bunting 6 bulan
17. Kambing, umur , < 0,5 Mati hari ke 21,
kondisi scabies, BCS 2 gejala hari ke 20

Keterangan : Titer protektif ≥0,5 IU/ml

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
205
Gambar 1. Lokasi gigitan pada sapi Gambar 2. Lokasi Gigitan pada
Kambing

Pada gambar sapi simmental, Pada kambing terlihat bekas gigitan


kondisi baik, dengan lokasi gigitan di beberapa tempat di dekat mata,
di area hidung atas mata dan kondisi kambing kurus
dan scabies.

PEMBAHASAN

Perlakuan vaksinasi pada sapi dan kambing dilakukan dengan vaksin


yang tersedia pada Dinas Pertanian Dharmasraya, dilakukan berulang hari
ke 1, 7 dan 14 setelah gigitan secara Intra Muskular pada sapi dan hanya
pada kambing yang dilakukan Sub Kutan. Terlihat hasil titer antibodi
bervariasi secara individual. Hal ini disebabkan kondisi individual hewan
dalam merespon keberadaan virus rabies inaktif yang ada dalam vaksin
yang disuntikkan. Hasil titer antibodi dapat dilihat pada tabel 1. Dan bersifat
sangat variatif. Pengujian baru dilakukan pada serum pada minggu ke 2
pasca vaksinasi sedangkan pengujian untuk serum pasca vaksinasi setelah 3
bulan sedang dalam proses pengujian.

Sapi yang mati adalah sapi dalam kondisi kurus dan nafsu makan sudah
tidak bagus dari awal setelah digigit anjing, begitu juga dengan sapi umur
1 tahun kondisi kurus. Umumnya sapi dengan kondisi baik, nafsu makan
baik membuat antibodi juga baik. Ada sapi dengan titer antibodi <0,5 IU/ml
kondisi tubuh baik, tapi tidak mengalami kematian pada hari ke 21. Kematian
yang terjadi pada tiga ekor hewan terjadi pada hari ke 21.

Kepastian tentang anjing yang menggigit tersebut rabies tidak dapat


dikonfirmasi dengan uji laboratorium karena anjing tidak bisa ditangkap,
alat yang tidak memadai untuk membuka kepala dan pengakuan dari petugas
Dinas setempat kalau setiap kasus rabies memang jarang dikirim ke Balai
Veteriner Bukittinggi karena jarak yang jauh dari BVet. Konfirmasi positif
berdasar gejala klinis dan akan langsung saran VAR dari Dinas Kesehatan
setempat. Hal ini sangat disayangkan karena tidak ada konfirmasi rabies
positif secara laboratoris. Demikian juga untuk dua ekor sapi dan satu ekor
kambing. Gejala klinis yang digambarkan pada anjing melalui wawancara

206 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
pada enam orang peternak yang menyaksikan anjing yang menggigit sapi
mereka berwarna putih merah, ekorturun, berlari sempoyongan dan melawan
saat ditangkap masyarakat. Begitu juga untuk sapi dan kambing yang mati
dengan gejala agresif, dan hipersalivasi.

Dari 16 ekor sapi dan satu ekor kambing yang digigit dua ekor sapi
mati memang dalam kondisi tidak baik, sedang kambing juga dalam kondisi
tersebut. Banyak pembahasan yang akan dikaji yaitu tidak ada konfirmasi
positif sapi yang digigit benar rabies secara laboratoris, tapi dari gejala yang
ditimbulkan mengarah pada rabies. Di Sumatera Barat khususnya walaupun
tidak ada tatalaksana kasus gigitan anjing tersangka rabies untuk hewan ternak
dan hewan kesayangan, Balai Veteriner Bukittinggi tetap menganjurkan hal
seperti ini dengan melakukan vaksinasi dengan penatalaksanaan seperti VAR
yang dilakukan pada manusia.

Gambar 3. Sapi Nomor 8 yang mati Gambar 4. Sapi nomor 15 yang mati
pada hari ke 21. pada hari ke 21 setelah
gigitan

Respon imun yang diukur secara RFFIT adalah respon imun humoral
yang disebut antibodi karena aktifitas limfosit B dan T. Tapi ada Limfosit T
juga membuat respon imun seluler, sehingga aktifitas ini tidak terpantau oleh
RFFIT. (Subowo, 2009). Hal ini kemungkinan yang terjadi pada sapi yang
tidak mati walaupun titer antibodinya <0,5 IU/ml. Respon imun seluler dan
humoral bergabung dalam reaksi menghadapi virus rabies yang ada.

Perkembangan respon imun yang terjadi dalam tubuh baik secara humoral
maupun seluler dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor metabolik
karena hormon tertentu seperti steroid akan menghambat perkembangan
respon imun terhadap benda asing, faktor infeksi konsentrasi tinggi, faktor
gizi, karena kekurangan gizi bisa menyebabkan imunodefisiensi. Kemudian
faktor sawar anatomik, seperti kasus scabies, respon tubuh lebih fokus pada
reaksi mukosa terlebih dahulu kemudian akhirnya infeksi lain terabaikan.
Kemudian juga karena faktor fisiologik seperti stress akan menghambat
respon imun terbentuk. Yang terakhir faktor umur, perkembangan organ dan
fungsi imun berkembang sejalan umur, tapi pada kejadian lanjut usia respon
imun semakin menurun.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
207
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari kasus ini dapat disimpulkan apabila ada kejadian kasus gigitan
HPR pada hewan ternak atau hewan kesayangan sangat memungkinkan
dilakukan penyuntikan vaksin rabies dengan tatalaksana pada hari 1, 7 dan
14 pasca gigitan.

Saran

Penyuntikan vaksin bisa dilakukan pada hari 1, 7, dan 21 seperti


penatalaksanaan pada manusia, dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang hal tersebut dengan perbandingan antara dua penyuntikan. Hal ini
akan sangat membantu peternak karena ternaknya digigit hewan tersangka
rabies.

KETERBATASAN

Keterbatasan di lapangan sangat mempengaruhi mendapatkan uji


konfirmasi rabies, dan pengujian lanjutan hasil uji serum sedang dilakukan
lebih lanjut dengan dana yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Baxter, JM. 2012. One in A Million,or One in Thousand : What is the


Morbidity of rabies in India?. Journal of Global Health, Edinburgh University
Global Health Society, Scotland, UK

Infodatin, 2016. Jangan Ada Lagi Kematian akibat Rabies. Kemenkes


RI. Download Maret 2018

Infodatin. 2017. Situasi Rabies di Indonesia. Kemenkes RI. Download


Maret 2018

Infodatin. 2014. Situasi dan Analisis Rabies dan Strategi eliminasi


Rabies 2020

OIE. 2011. OIE Teresterial Manual.

208 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
OPTIMALISASI PENERAPAN PRINSIP KESEJAHTERAAN
HEWAN (ANIMAL WELFARE) PADA HEWAN COBA DI BBVET
WATES UNTUK MENDUKUNG DIAGNOSIS LABORATORIUM
Heni Dwi Untari1, Basuki Rochmad Suryanto2, Zaza Famia3, Suprihatin1

1
Instalasi Kandang Hewan Percobaan BBVet Wates Yogyakarta,
2
Laboratorium Epidemiologi BBVet Wates Yogyakarta,
3
Laboratorium Biotek BBVet Wates Yogyakarta
Koresponden Penulis Pertama: hduntari@gmail.com

ABSTRAK

Hewan percobaan atau hewan coba merupakan hewan laboratorium, yang dipelihara khusus
untuk tujuan percobaan dan lain sebagainya. Kesejahteraan hewan (animal welfare) adalah hewan
yang memiliki keadaan fisiologis dan psikologi yang sesuai untuk menunjang kualitas hidupnya.
Kesejahteraan hewan menjadi suatu hal yang sangat penting dan prinsip dalam manajemen
pemeliharaan hewan mencakup hewan coba maupun peternakan rakyat pada umumnya.
Prinsip kesejahteraan hewan mewajibkan semua hewan yang dipelihara atau hidup bebas di alam
memiliki hak-hak/kebebasan, meliputi bebas dari rasa haus/lapar, bebas dari rasa ketidaknyamanan,
bebas dari rasa sakit/cedera, bebas untuk mengekspresikan perilaku alamiah, dan bebas dari rasa
takut dan tertekan. Penelitian ini dengan melakukan pengamatan dari tahun 2015, 2016 dan 2017
tentang pemeliharaan hewan coba seperti, ayam petelur, mencit, marmut, kelinci, domba dan sapi di
instalasi kandang hewan percobaan (IKHP) BBVet Wates.

Pemeliharaan dengan memperhatikan prinsip animal welfare, pemeriksaan hewan yang intensif,
adanya masukan dari kunjungan pre assessment kesmavet pusat dan perbaikan fasilitas IKHP adalah
hasil dari optimalisasi penerapan kesejahteraan hewan. Penerapan kesejahteraan hewan di IKHP
BBVet Wates telah mengalami perubahan yang lebih baik secara nyata dalam menerapkan prinsip
kesejahteraan hewan, dengan adanya dokumentasi dan data hasil pemeriksaan laboratorium yang
baik, sehingga mampu memberikan benefit bagi hewan coba dengan semakin layak dan meningkat
mutu produknya yang dimanfaatkan untuk diagnosis laboratorium. Membentuk tim komisi etik
kesejahteraan hewan dan membuat SOP menjadi salah satu solusi dalam optimalisasi penerapan
kesejahteraan hewan coba di laboratorium maupun peternakan rakyat sebagai sampel hewan coba
di lapangan.

Kata kunci : optimalisasi, penerapan, kesejahteraan hewan, hewan coba, laboratorium, diagnosis

ABSTRACT

Animals or experimental animals are laboratory animals, which are maintained exclusively
for experimental purposes and so forth. Animal welfare is an animal that has physiological and
psychological conditions appropriate to support the quality of life. Animal welfare becomes a very
important thing and the principle of animal husbandry management, including both animal and
animal husbandry in general. The principle of animal welfare requires all animals that are kept or
live freely in nature to have rights / freedoms, including free from thirst / hunger, free from discomfort,
free from pain / injury, free to express natural behavior, and free from feeling fear and depression. The
study was conducted by observing from 2015, 2016 and 2017 on the maintenance of experimental
animals such as, laying hens, mice, marmots, rabbits, sheep and cows at the experimental animal
cage installation (IKHP) BBVet Wates.

Maintenance by observing animal welfare principle, intensive animal examination, input from
pre assessment of central kesmavet and improvement of IKHP facility is the result of optimizing
animal welfare application. The application of animal welfare in IKHP BBVet Wates has undergone
a significantly better change in applying animal welfare principles, with good documentation and
laboratory results data, so as to provide benefits for the animals with increasingly feasible and
increasing the quality of their products used for the diagnosis laboratory. Establishing a team

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
209
of animal welfare ethics committees and making SOP become one of the solutions in optimizing
the application of animal welfare in the laboratory as well as livestock farming as a sample of
experimental animals in the field.

Keywords: optimization, application, animal welfare, animal try, laboratory, diagnosis

PENDAHULUAN

Hewan percobaan (hewan coba) merupakan hewan laboratorium yang


dipelihara khusus untuk tujuan percobaan dan lain sebagainya. Kesejahteraan
hewan (animal welfare) adalah hewan yang memiliki keadaan fisiologis dan
psikologi yang sesuai untuk menunjang kualitas hidupnya. Kesejahteraan
hewan menjadi suatu hal yang sangat penting dan prinsip dalam manajemen
pemeliharaan hewan mencakup hewan coba atau yang sering disebut juga
hewan laboratorium maupun peternakan rakyat pada umumnya. Perhatian
pemerintah terkait Kesrawan terbukti dengan adanya Kebijakan yang
diamanatkan dalam UU NO 18 tahun 2009 pasal 66-67 jo Undang-Undang
Nomor. 41 tahun 2014 dan PP No.95 tahun 2012 tentang Kesmavet dan
Kesrawan.

Hewan coba yang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor


18 Tahun 2009, disebut dengan “hewan laboratorium” adalah hewan
yang dipelihara khusus sebagai hewan percobaan, penelitian, pengujian,
pengajaran, dan penghasil bahan biomedik ataupun dikembangkan menjadi
hewan model untuk penyakit manusia (Sulaksono. 1987).

Dalam kesejahteraan hewan (kesrawan), di United Kingdom (UK)


dikenal dengan lima kebebasan (five freedom) yaitu hewan harus bebas
dari rasa lapar dan haus; bebas dari rasa tidak nyaman; bebas dari rasa
nyeri, luka, dan sakit; bebas dari rasa takut dan ketakutan; dan bebas untuk
mengekspresikan perilaku normalnya (termasuk kebutuhan ruang dan
perangkat yang dibutuhkannya, juga bagaimana mereka membutuhkan
interaksi sesama spesiesnya). (Abrianto, 2009). Hewan coba memiliki
peranan yang penting dalam peneguhan diagnosa, antara lain: produk yang
dihasilkan (telur) yang berkualitas mempengaruhi berhasil tidaknya uji di
laboratorium virology, mencit untuk uji rabies. Pengambilan darah marmut,
kelinci dan juga domba digunakan untuk bahan/ media uji di Laboratorium
Bakteriologi dan Kesmavet. (Untari & Suryanto, 2013). Dalam pemeliharaan
hewan coba ini memperhatikan kode etik hewan dan prinsip-prinsip
kesejahteraan hewan. Syarat etis yang dimaksud adalah bernilai manfaat,
disain penelitian untuk mencapai tujuan, tujuan penelitian tidak tercapai bila
hewan coba diganti dengan subjek, manfaat jauh lebih berarti dibandingkan
dengan penderitaan hewan coba. (Tri Widyawati, 2017).

210 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TUJUAN

Pelaksanaan kegiatan ini untuk mendapatkan gambaran penerapan


kesejahteraan hewan di BBVet Wates, Yogyakarta dalam rangka mendukung
diagnosis laboratorium.

MATERI DAN METODE

Materi

1. Materi penelitian adalah hewan coba di Instalasi Kandang Hewan


Percobaan (IKHP) BBVet Wates Yogyakarta yaitu: ayam layer, mencit,
marmut, kelinci, domba dan sapi.
2. Dokumen hasil visitasi dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian
Pertanian) dan Pakar dari IPB

Metode

1. Pengamatan dalam pemeliharaan hewan percobaan dari waktu ke waktu


sejak tahun 2015 sampai 2017
2. Pemeriksaan kesehatan hewan percobaan secara intensif
3. Program visitasi: “Tools for Animal housing and management (pre)
assessment” Subdit

Kesejahteraan Hewan (dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner,


Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian
Pertanian) dan Pakar dari IPB. Metode:yaitu dengan cara monitoring dan
inspeksi fasilitas untuk pemeliharaan hewan dan review dokumen (sistem
Animal based Assesment).

HASIL

Pengamatan pemeliharaan Hewan coba di IKHP BBVet Wates selama


tahun 2015, 2016 dan 2017 terangkum dalam bentuk tabel berikut ini.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
211
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pemeliharaan Hewan Coba Di IKHP Bbvet Wates Dan Peran Dalam Diagnosis Laboratorium

212
PRODUK
NAMA PRINSIP ANIMAL WELFARE DALAM TUJUAN DIAGNOSIS
NO UNTUK KETERANGAN
HEWAN PEMELIHARAAN LABORATORIUM
DIAGNOSIS
1. Ayam Layer -Biosecurity dan biosafety Serum,darah, 1. Isolasi Virus AI dan ND setiap 2 hari sekali untuk
-Sistem kandang umbar litter sekam TAB (Telur 2. RBC untuk media uji test HA/HI. TAB dan satu pekan sekali
-Tidak divaksinasi Ayam Bertunas) untuk RBC
-Ventilasi dan airkulasi baik SAN
-pakan merk pabrik
2. Mencit -Biosecurity dan biosafety Hewan mencit Media uji di laboratorium insidental
-Kandang steinlesteel litter sekam steril muda dan 1 parasitologi untuk peneguhan
-Ventilasi dan airkulasi baik koloni diagnosis surra, serta serologi untuk
-pakan merk pabrik uji rabies.

3. Marmut -kandang umbar dari papan kayu Darah Marmut media komplemen untuk uji 2-3 bulan sekali
-litter dari sekam. Complement Fixation Test (CFT)
-ventilasi dan airkulasi dan penerangan cukup di laboratorium bakteriologi.
- kandang bersih.
-Pemberian pakan secara ad-libitum (hijauan,
wortel) dan konsentrat
4. Kelinci -kandang battery terbuat dari galvanis Darah media haemolysin untuk uji di insidental
-ventilasi dan airkulasi cukup dan kandang bersih. laboratorium bakteriologi.
-Pemberian pakan pada pagi dan sore berupa hijauan
serta konsentrat.

5. Domba -kandang panggung dari kayu. Domba, Darah media Blood Agar untuk uji di Setiap pekan dan

Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
-Pemberian pakan pada pagi dan sore hari berupa laboratorium kesmavet dan bakteri, insidental
rumput dan hijauan lainnya dengan konsentrat dan RBC untuk uji di bakteriologi
-uji coba vaksin anthrax sebelum
penerapan program vaksin anthrax
di Kulon Progo.
6. Sapi -kandang permanen lantai semen dan kondisi bersih. Hewan dan untuk latihan pengambilan sampel insidental
Pemberian pakan pada pagi dan sore berupa rumput Darah
kolonjono dan odot serta konsentrat

Prosiding
Hasil pemeriksaan kesehatan hewan percobaan secara intensif terlihat dalam tabel 2.

Tabel 2. Hasil pemeriksaan laboratorium sampel hewan percobaan di IKHP

Prosiding
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
213
Hasil laporan Visitasi Subdit Kesrawan, Dirkesmavet, Dirjen PKH,
Kementan RI dan Pakar dari IPB
Acuan laporan visitasi: “Tools for Animal housing and management (pre)
assessment” Subdit Kesrawan, Dirkesmavet, Dirjen PKH, Kementan RI dan
Pakar dari IPB pada 5 Desember 2016

INFORMASI UMUM

Fasilitas instalasi kandang hewan coba di BBVet Wates berlokasi terpisah


dari fasilitas utama dengan akses terbatas. Bangunan induk yang digunakan
khususnya untuk pemeliharaan ayam SAN, marmut, domba, kelinci dalam
kondisi yang baik (kokoh). Lokasi pemeliharaan marmut, kelinci dan mencit
saat ini sudah lebih nyaman dengan menggunakan bangunan multiguna.

Gambar 1. Pemeliharaan Hewan coba dengan prinsip animal welfare

Balai Besar Veteriner Wates – Yogyakarta. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Indonesia.
http://bbvetwates.ditjenpkh.pertanian.go.id/

PEMBAHASAN

Pemeliharaan hewan coba di IKHP BBVet Wates dari tahun 2015 sampai
2017 sudah mengalami perbaikan optimal dan memperhatikan prinsip animal
welfare, dengan parameter sebagai berikut :

Nutrisi & air

Tersedia dalam jumlah yang cukup, pakan ayam sesuai formulasinya


dan hewan lainnya menggunakan pakan konvensional. Penentuan jenis pakan
yang sesuai spesies pada pemeliharaan umum maupun kondisi tertentu perlu
ditentukan dan tercatat.

Animal enclosures (desain & material, kebutuhan ruang, social requirements,


bedding & kebutuhan khusus)

Adanya perbaikan fasilitas antara lain dibangunnya kandang SPF dan


renovasi kandang yang lain.

214 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kualitas bangunan induk memiliki konstruksi yang kokoh, tidak memudahkan
hewan untuk lepas.

Kandang mencit terbuat dari stainlessteel yang kokoh dan terkesan bersih.
Umumnya material kandang tidak berpotensi memberikan efek toksik dan
berbahaya untuk hewan.

Hewam coba dipelihara sesuai karakteristik kealamiahan ukuran populasinya,


dengan pengelompokan hewan bersama apabila hewan tersebut social.
Komposisi jantan:betina sudah ideal dalam kandang koloni. Nilai positif
dalam implementasi kesrawan adalah adanya nesting boks seperti pada
marmut dan kelinci.

Desain ruangan (suhu dan kelembaban, ventilasi dan kualitas air, suara,
cahaya)

Suhu dan kelembaban ruangan menyesuaikan dengan kondisi luar


ruangan dan beberapa kandang telah dilengkapi dengan pengukur suhu dan
kelembaban (termometer dan hygrometer).

Fasilitas kandang (close-housed) diupayakan pemasangan exhaust fan untuk


mengurangi cemaran amoniak. Kandang ayam, domba, marmut, kelinci dan
sapi memiliki ventilasi yang baik dengan tata udara yang meminimalisir
cemaran amoniak, pencahayaan cukup.

Pencegahan penyakit dari kontaminasi kotoran, kandang dan alat pakan/


minum telah dilakukan cukup baik yaitu dengan aplikasi desinfektan
Virkon-S™ .

Kebutuhan untuk ekspresi prilaku alamiah hewan dan pengayaan


kandang (enrichment)

Unit kandang marmut telah dilengkapi dengan tabung dan lorong kecil
untuk bersembunyi dan hal ini adalah upaya positif yang perlu diterapkan
pada unit kandang hewan coba lainnya.

Perawatan dan higiena

Secara umum kandang hewan coba terjaga cukup bersih dan alas
kandang (bedding) diganti secara rutin dan untuk menyempurnakan upaya
ini perlu standar kriteria kebersihan yang didokumentasikan.

Prosedur handling dan prosedur dasar

Prosedur handling dan restrain telah diterapkan cukup hati-hati ditandai


dengan minimnya cedera fisik dan mental (penanda stres).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
215
Monitoring kesehatan

Hewan coba yang terdapat di BBVet Wates secara umum menunjukkan


status klinis yang sehat seperti terlihat dalam tabel 2.

Optimalisasi penerapan kesejahteraan hewan coba dalam diagnosis


laboratorium

1. Optimalisasi penerapan kesejahteraan hewan di IKHP BBVet wates


telah menghasilkan produk yang memenuhi standard dan layak yang
digunakan untuk media uji laboratorium dalam rangka mendukung
peneguhan diagnosis laboratorium.
2. Penerapan kesrawan juga dilakukan pada program active service,
surveillance, dan monitoring kesehatan hewan di Wilker BBVet
Wates. Ternak yang yang menjadi obyek pengambilan sampel untuk
uji laboratorium adalah termasuk hewan coba. Penerapan kesrawan
di lapangan antara lain penanganan hewan (handling ternak) ketika
pengambilan sampel, dan pengkondisian lingkungan pra dan pasca
pengambilan sampel. Dalam penerapan kesejahteraan hewan tersebut
maka BBVet Wates membentuk komisi etik kesejahteraan hewan.

KESIMPULAN

Hewan coba merupakan pendukung dalam ketepatan peneguhan


diagnosa di laboratorium. Peneguhan diagnosa tidak dapat berdiri sendiri.
Keberadaan hewan coba sangat diperlukan termasuk hewan coba dalam
pengambilan sampel di lapangan. Dalam penggunaan hewan coba mengacu
pedoman kesejahteraan hewan. Penerapan kesejahteraan hewan BBVet
Wates dengan pembentukan komisi etik kesejahteraan hewan. Demikianlah
pengamatan dari penerapan Kesrawan di BBVet Wates yang sederhana ini.
Akhirnya Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi
pengelola, praktisi dan pengguna hewan laboratorium/coba.

SARAN

Dalam rangka optimalisasi penerapan kesejahteraan hewan maka


membentuk tim komisi etik kesejahteraan hewan dan membuat SOP menjadi
salah satu solusi dalam penerapan kesejahteraan hewan coba di laboratorium
maupun peternakan rakyat sebagai sampel hewan coba di lapangan. Selain
itu perlu juga pengamatan prilaku yang terukur, peningkatan penyediaan
sarana untuk pengayaan kandang. Peningkatan pengetahuan dasar agar
monitoring kesehatan lebih terjadwal, terukur dan terdokumentasi lebih
baik. Restrain dan handling hewan coba diharapkan mengikuti kaidah umum
dengan pengetahuan dasar yang perlu ditingkatkan dan didokumentasikan.

216 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KETERBATASAN ATAU LIMITASI

Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada pengamatan pemeliharaan


hewan coba di IKHP BBVet wates pada tahun 2015 s/d 2017.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous 1, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun


2009.http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Republik_
Indonesia_Nomor_18_Tahun_2009.html. Diakses 6 Juni 2017.

Abrianto, 2009. Kesejahteraan Hewan. http://duniasapi.com/kesejahteraan-


hewan. Diakses pada http://diary-veteriner.blogspot.co.id/2012/02/
kesejahteraan-hewan-laboratorium.html pada 6 Juni 2017.

Sulaksono, M.E. 1987. Dilema Pada Hewan Percobaan Untuk Pemeriksaan


Produk Biologis. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan RI.

UFAW. 1987. The UFAW Handbook on the Care & Management of


Laboratory Animal. UK: Bath Press, Avon.

Untari & Suryanto, 2013. Prosedur Penggunaan Hewan laboratorium BBVet


Wates Yogyakarta.Medium Publishing. Bandung.

Tri Widyawati, 2017. Etik Penggunaan Hewan Percobaan. Pelatihan


Penelitian Kesehatan Dasar Poltekes Medan, Selasa 8 Agustus 2017.
Diakses 20 Maret 2018

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
217
PERAN BHABINKAMTIBMAS DAN KARANG TARUNA
DALAM PELAKSANAAN VAKSINASI RABIES
DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
drh. Nur Hidayatullah1 , drh. Ernawati2

Medik Veteriner Muda 1Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan
Barat, 2Direktorat Kesehatan Hewan
drhdayat123@gmail.com, ernawati_rahmatsyah@yahoo.com

ABSTRAK

Provinsi Kalimantan Barat dinyatakan bebas dari rabies pada Agustus 2014. Namun pada akhir
tahun 2014 ditemukan kembali kasus lyssa di Kabupaten Ketapang. Hingga saat ini dilaporkan bahwa
kasus rabies ditemukan telah pada 11 dari 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat. Wilayah
yang masih belum ditemukan kasus positif baik pada manusia maupun hewan adalah Kabupaten
Sambas, Kota Pontianak dan Singkawang.

Cepatnya penyebaran rabies merupakan imbas dari kondisi yang ada di Provinsi Kalimantan
Barat. Dengan luas wilayah sekitar 147.307 km2 (lebih luas dari Pulau Jawa), populasi HPR
berpemilik yang diliarkan + 190.000 ekor, sedangkan jumlah vaksinator yang sangat terbatas, maka
berdampak pada rendahnya cakupan vaksinasi dan kekebalan kelompok yang terbentuk.

Sejak tahun 2017, Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat
dengan dukungan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian
RI melakukan sebuah terobosan baru dengan melakukan pelatihan tehadap 180 orang yang terdiri
dari anggota Bhabinkamtibmas dan Karang Taruna. Untuk mendukung program pencegahan dan
pemberantasan penyakit rabies, mereka berperan sebagai kader rabies dengan tugas utama melakukan
pendataan HPR, vaksinasi dan sosialisasi di masing-masing wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan cakupan vaksinasi dan sosialisasi terutama untuk wilayah yang sulit dijangkau.

Pelatihan dilaksanakan menggunakan metode partisipatif dengan materi tentang pengetahuan


dasar rabies, pencegahan dan penanganannya. Selain itu, dilakukan praktek vaksinasi ke lapangan
dengan tujuan untuk implementasi materi yang disampaikan, simulasi pelaksanaan vaksinasi serta
membantu peningkatan cakupan vaksinasi di lokasi praktek.

Dengan penambahan jumlah petugas melalui kader vaksinator tersebut berdampak pada
meningkatnya cakupan vaksinasi rabies di Provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2016 jumlah
realisasi vaksinasi rabies mencakup 45.896 dari 184.950 ekor populasi HPR (24,8%). Sedangkan
pada tahun 2017 setelah adanya penambahan kader vaksinator rabies, jumlah vaksinasi HPR
mencakup 81.970 dari 188.518 ekor (43,4%). Melihat terobosan tersebut berdampak signifikan
terhadap cakupan vaksinasi di Kalimantan Barat, program ini akan dilanjutkan untuk tahun-tahun
berikutnya.

Kata kunci : vaksinasi rabies, kader vaksinator, sumber daya manusia, peningkatan cakupan
vaksinasi rabies, rabies kalbar

PENDAHULUAN

Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah provinsi di


Pulau Kalimantan yang memiliki luas sekitar 146.807 km2, dengan predikat
sebagai provinsi dengan wilayah terluas peringkat ke 4 di Indonesia setelah
Irian Jaya (421.891 km2), Kalimantan Timur (202.440 km2) dan Kalimantan
Tengah (152.600 km2). Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu
provinsi di Indonesia yang mempunyai akses jalan darat keluar negeri, karena
mempunyai akses sepanjang 400 km dari pontianak ke Sarawak, Malaysia.

218 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Wilayah Provinsi Kalimantan Barat di bagian timur berbatasan dengan
Provinsi Kalimantan Timur, di bagian selatan berbatasan dengan Laut Jawa
dan Provinsi Kalimantan Tengah, dibagian barat berbatasan dengan Laut
Natuna dan Selat Karimata. Sedangkan di sebelah utara Provinsi Kalimantan
Barat terdapat 4 kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara bagian
Sarawak-Malaysia yaitu Kabupaten Sambas, Sanggau, Sintang dan Kapuas
Hulu.

Pada tahun 2005 yang lalu, ditemukan 1 kasus positif rabies di


Kecamatan Kendawangan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat
dengan 1 orang korban pada manusia. Untuk menanggulangi dan mencegah
perluasan wilayah kasus, Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan
Kesehatan Hewan beserta instansi terkait lainnya melakukan langkah-
langkah pemberantasan diantaranya adalah vaksinasi di wilayah tertular dan
surveilans. Dari surveilans yang dilakukan, didapatkan data bahwa tidak
ditemukan kasus rabies lain di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Hal
ini mendorong untuk melakukan surveilans pembebasan yang dikoordinir
oleh Balai Veteriner Banjarbaru, yang hasilnya dapat menjadi rekomendasi
penetapan wilayah bebas rabies oleh Menteri Pertanian.

Pada tahun 2014 yang lalu merupakan momen yang sangat bersejarah
bagi Provinsi Kalimantan Barat terkait status rabies di wilayah ini. Hal ini
dikarenakan pada tahun 2014, wilayah ini mendapatkan pernyataan bebas
rabies dari Kementerian Pertanian namun tertular kembali setelah ditemukan
kasus positif rabies baik pada manusia (lyssa) dan hewan.

Ditemukan pola penyebaran kasus rabies yang sangat berbeda dengan


kasus rabies yang lalu. Pada kasus yang terjadi di tahun 2005, rabies hanya
ditemukan di Kabupaten Ketapang. Sedangkan pada saat tertular kembali
pada 2014 hingga maret 2018 ini, rabies telah ditemukan di seluruh wilayah
Kabupaten Kota se Provinsi Kalimantan Barat, kecuali Kota Pontianak.

Penyebaran rabies yang cepat ini membuat pihak yang menangani


bidang kesehatan maupun kesehatan hewan baik dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah harus bekerja ekstra keras untuk menekan kasus
baik pada hewan penular rabies (HPR) maupun pada manusia.

Dengan populasi HPR lebih dari 190.000 ekor yang tersebar di 14


wilayah Kabupaten/Kota dengan luas wilayah setara dengan luas Pulau Jawa,
Madura dan Bali tentunya merupakan catatan tersendiri bagi pelaksanaan
program penanggulangan rabies. Terlebih hampir semua HPR dipelihara
dengan cara diliarkan pada kondisi medan yang berat di sebagian wilayah.

Sesuai pedoman pengendalian rabies yang ditetapkan, faktor utama


yang diperlukan adalah pelaksanaan vaksinasi dengan cakupan lebih dari
70% dari populasi HPR untuk mendapatkan kekebalan terhadap rabies
pada kelompok HPR di wilayah endemis. Untuk melaksanakan program ini

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
219
dibutuhkan vaksin beserta fasilitas penunjangnya serta petugas pelaksana
yang cukup.

Selama tahun 2017 stok vaksin pada Dinas Pangan, Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat sebesar 40,4% dari populasi
HPR yang ada. Salah satu alasan masih kurangnya vaksin yang tersedia
adalah masih kurangnya jumlah vaksinator rabies di Kalimantan Barat.

Sampai dengan tahun 2017 tercatat sebanyak 185 orang yang terlibat
dalam pelaksanaan vaksinasi rabies di 14 kabupaten/kota. Personil yang
terlibat dalam vaksinasi rabies antara lain adalah dokter hewan, paramedik
veteriner dan PPL. Berdasarkan luas wilayah dibandingkan dengan populasi
anjing diatas 190.000 ekor, dapat diasumsikan bahwa 1 orang vaksinator
rabies harus melakukan vaksinasi terhadap 1.027 ekor anjing (belum
termasuk HPR lainnya) dengan masing-masing wilayah kerja 796 Km2
(setara dengan luas kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah).

TUJUAN

Penambahan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai kader rabies


dalam penanggulangan rabies di Kalimantan Barat dengan melibatkan
Bhabinkamtibmas dan Karang Taruna bertujuan untuk:
1. Menambah jumlah petugas vaksinasi rabies
2. Meningkatkan jangkauan wilayah vaksinasi & kekebalan kelompok
pada populasi HPR
3. Percepatan dalam melaksanakan vaksinasi rabies
4. Meningkatkan intensitas pelaksanaan sosialisasi
5. Meningkatkan sensitifitas surveilans melalui pelaporan kasus yang
ditemukan.

MATERI DAN METODA

Sebelum melakukan perekrutan kader rabies terlebih dahulu


diidentifikasi lokasi-lokasi yang menjadi prioritas, yaitu desa yang berstatus
tertular dan selama ini sulit dijangkau petugas. Kader yang dipilih adalah
anggota Bhabinkamtibmas dan Karang Taruna, sehingga masing-masing
kader akan memiliki wilayah kerja di lingkungan tempat tinggal/bertugas.

Setelah menentukan lokasi prioritas, dilakukan seleksi calon kader


berdasarkan usulan Polres masing-masing kabupaten bagi Bhabinkamtibmas
dan Dinas yang membidangi fungsi kesehatan hewan kabupaten/kota bagi
anggota Karang Taruna. Kader yang terpilih selanjutnya akan diberikan
pelatihan terkait penanggulangan rabies dan ditugaskan oleh Kepala Dinas
Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat.

220 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL

Dengan adanya penambahan kader rabies di Provinsi Kalimantan


Barat sebanyak 180 orang yang mulai bertugas pada bulan September 2017,
memiliki dampak yang signifikan pada peningkatan cakupan vaksinasi tahun
2017.

Pada tahun 2016 jumlah realisasi vaksinasi HPR di Kalimantan Barat


sebanyak 45.896 ekor dari 184.950 ekor populasi HPR (cakupan vaksinasi
sebesar 24,8%). Pada tahun 2017 setelah adanya penambahan kader rabies,
jumlah realisasi vaksinasi HPR menjadi 81.970 ekor dari 188.518 ekor
(cakupan vaksinasi sebesar 43,4 %).

  Walaupun


 didapatkan peningkatan
  
    
 
cakupan vaksinasi pada
  tahun
 2017



belum menggambarkan
  hasil optimal

   
penambahan kader
  dikarenakan
 


penugasan yang  dilakukan
  

dan ketersediaan vaksin untuk


pelaksanaan kegiatan terealisasi
 sejak bulan September 2017
 
 

Grafik 1. Cakupan vaksinasi HPR tahun 2016 dan 2017 

PEMBAHASAN
 
           
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan penanggulangan rabies di Provinsi


Kalimantan Barat diperlukan penambahan petugas yang menangani untuk

dapat  mengimbangi luasnya wilayah. Pada umumnya, pada 14 wilayah

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat masih kekurangan tenaga yang

menangani kesehatan hewan baik itu medik ataupun paramedik veteriner.

          

Dengan 
 adanya
kerja 
sama antara Dinas 
  Pangan, Peternakan
  dan

Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat dengan
        pihak Kepolisian
Daerah
 Kalimantan
 Barat maka
 untuk
 menanggulangi
  masalah
  diatas,
        
direkomendasikan bahwa petugas Bhabinkamtibmas dapat menjadi kader

rabies di daerah prioritas. Rekomendasi ini dikarenakan beberapa alasan
            
antara
 lain:
 masing
 masing
  petugas
   bertanggung
 jawab
  akan
 keamanan
dan 
kenyamanan di masing-masing wilayah kerjanya, petugas pada umumnya
 
          
dekat dan menjadi panutan masyarakat, meminimalkan penolakan vaksinasi

pada sebagian masyarakat.



Selain
 perekrutan
  petugas
  Bhabinkamtibmas
   dilakukan juga
  
         
pemberdayaan terhadap anggota Karang
 Taruna dan Penyuluh Pertanian di
daerah prioritas. Keterlibatan Karang Taruna merupakan salah satu bentuk

keterlibatan
  masyarakat
  dalam upaya-upaya
  pemberantasan
  penyakit
  rabies

di Kalimantan Barat.


Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
221
Petugas yang terpilih sebagai kader rabies pada tahun 2017 sebanyak
180 orang yang terdiri dari 54 orang petugas Bhabinkamtibmas, 80 orang
anggota Karang Taruna dan 46 orang dari Penyuluh Pertanian. Kader rabies
ini diberikan pelatihan dengan materi berupa teori dan praktek mengenai
pengetahuan tentang rabies, hewan penular rabies, vaksinasi, manajemen
rantai dingin vaksin, komunikasi, tata laksana kasus gigitan terpadu
(TAKGIT).

Setelah mendapatkan teori di dalam ruangan, para kader rabies


melakukan praktek vaksinasi di lokasi lokasi pelatihan. Sebagai fasilitator
dalam pelatihan kader rabies ini melibatkan Master Trainer Rabies tingkat
nasional dari provinsi Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Jawa Barat dan
Kementerian Pertanian RI.

Pelatihan dilaksanakan di 5 Kabupaten dengan pembagian peserta


sebagai berikut:
1. Kabupaten Sanggau diikuti 40 peserta dari Kabupaten Sanggau,
Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sintang
2. Kabupaten Kayong Utara diikuti 30 peserta dari Kabupaten Kayong
Utara
3. Kabupaten Kubu Raya diikuti 30 peserta dari Kabupaten Kubu Raya
dan Melawi
4. Kabupaten Bengkayang diikuti 40 peserta dari Kabupaten Bengkayang
dan Sambas
5. Kabupaten Mempawah diikuti oleh 40 peserta dari Kabupaten
Bengkayang, Sambas dan Kota Singkawang.

222 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kegiatan praktek vaksinasi peserta pelatihan (Foto: drh. Ernawati dan Ely
Marini K., S.Pt.)

Setelah melaksanakan pelatihan, seluruh peserta akan diberikan Vaksin


Anti Rabies (VAR) yang didapatkan di Puskesmas setempat. Tugas pertama
untuk para kader rabies setelah mendapatkan pengebalan adalah melakukan
pendataan populasi Hewan Penular Rabies (HPR) di wilayah masing-
masing dan sosialisasi terkait akan dilaksanakannya vaksinasi massal. Hasil
pendataan HPR yang didapatkan tersebut akan dilaporkan ke Dinas yang
menangani fungsi kesehatan hewan di Kabupaten/kota dan Provinsi. Data
inilah yang akan digunakan sebagai dasar target pelaksanaan vaksinasi
sehingga cakupan vaksinasi dapat tercapai secara maksimal. Selain itu
dengan data tersebut kebutuhan vaksin serta bahan penunjang lainnya dapat
tersedia saat pelaksanaan kegiatan.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
223
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Penambahan kader rabies di Provinsi Kalimantan Barat dapat membantu


dalam peningkatan cakupan vaksinasi di Provinsi Kalimantan Barat.
2. Perlunya penetapan strategi, komitmen dan dukungan dari banyak pihak
untuk keberlanjutan program kader rabies (termasuk persiapan anggaran
yang dibutuhkan).
3. Perlunya penyusunan jadwal dan target sebagai acuan perencanaan
kerja kader rabies serta evaluasi hasilnya.
4. Perlunya pengaturan logistik vaksinasi terutama terkait manajemen
rantai dingin vaksin.
5. Perlunya mentoring dan monitoring kader saat pelaksanaan.
6. Perlunya dilakukan refresher training terhadap kader rabies.

DAFTAR PUSTAKA

Jackson, A.C., 2000. Rabies. Canadian journak of neurological scienes 27.


278-282

Nadin-Davis, S.A. Huang, W. Armstrong, J., Casey, G.A, Bahloul, C, Tordo,


N Wandeler, A.I., 2001. Antigenic and genetic divergence of rabies
viruses from bat species indigenous to Canada.

Steele, J. H. and Fernandez, P.J., 1991. History of rabies and global aspect.
In- Baer, G.M. [ed] The natural history of rabies, 2nd ed.CRC, Boca
Raton Florida. USA

World Health Organisation, 1996. Laboratory Techniques in Rabies, Fourth


Edition, Meslin F.-X., Kaplan M.M & Koprowski H., eds. WHO,
Geneva, Switzerland.

224 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
MEMBANGUN SISTEM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT ZOONOSIS DAN PENYAKIT INFEKSI EMERGING
(PIE) DI KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT
MELALUI PENDEKATAN ONE HEALTH
Ahmad Mike Ariyanto (1), Elidar (2)

Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat (1)
Unit Laboratorium Keswan dan Kesmavet Provinsi Kalimantan Barat (2)

ABSTRAK

Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya sedangkan Penyakit Infeksi Emerging (PIE) berdasarkan WHO adalah penyakit baru
atau penyakit lama yang muncul kembali dengan tingkat insidensi yang tinggi dan menyebabkan
kematian pada manusia serta berada di area geografis baru. PIE 60,3 % berasal dari hewan
(71,8 % berasal dari satwa liar) (kate et al, 2008). Salah satu pendekatan yang digunakan dalam
pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE yaitu menggunakan pendekatan one health.
Pendekatan one health dalam kaitannya ini mengkolaborasikan kesehatan masyarakat, kesehatan
hewan dan kesehatan satwa liar (lingkungan). Kabupaten Ketapang adalah salah satu Kabupaten
di Kalimantan Barat dan juga merupakan Kabupaten dengan wilayah terluas di Kalimantan
Barat. Kabupaten Ketapang merupakan daerah dengan endemis penyakit zoonosis (Rabies) sejak
tahun 2004. Selain itu, Kabupaten Ketapang merupakan daerah dengan tingkat pembukaan lahan
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang sangat tinggi serta banyaknya tenaga luar dalam
pengembangan pertambangan bauksit sehingga terpilih sebagai lokasi uji coba pendekatan one
health ini. Tujuan dalam penulisan ini yaitu menggambarkan proses/kegiatan yang dilakukan dalam
rangka membangun sistem pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE di Kabupaten
Ketapang dengan pendekatan One Health. Rangkaian kegiatan yang dilakukan yaitu pertemuan
stakeholder terkait untuk persamaan persepsi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui
pelatihan petugas kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan kesehatan satwa liar dan simulasi.
Jumlah petugas yang sudah dilatih sebanyak 60 orang. Pembelajaran dari pendekatan one health
yang diterapkan di Kabupaten Ketapang yaitu terbentuknya kolaborasi, komunikasi dan koordinasi
dalam bentuk sharing informasi melalui group whatsapp terkait kasus penyakit zoonosis, investigasi
bersama dan sosialisasi penyakit zoonosis bersama. Hal ini pernah diterapkan pada kasus gigitan
monyet ekor panjang yang diduga Rabies di Kabupaten Ketapang namun belum maskimal, sehingga
masih diperlukan mentoring dan evaluasi dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit
zoonosis dan PIE melalui pendekatan one health dikarenakan belum adanya perencanaan anggaran
secara terpadu.

Kata kunci : Zoonosis, Penyakit Infeksi Emerging (PIE), One Health, Ketapang

PENDAHULUAN

Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan


kepada manusia atau sebaliknya sedangkan Penyakit Infeksi Emerging (PIE)
berdasarkan WHO adalah penyakit baru atau penyakit lama yang muncul
kembali dengan tingkat insidensi yang tinggi dan menyebabkan kematian
pada manusia serta berada di area geografis baru. PIE 60,3 % berasal
dari hewan (71,8 % berasal dari satwa liar) (kate et al, 2008). Dalam era
globalisasi saat seluruh dunia terhubung, Penyakit zoonosis dan PIE menjadi
masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat, karena dapat menimbulkan
kematian, membawa dampak sosial dan kerugian ekonomi yang besar.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
225
Dalam kompleksitas pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
dan PIE membutuhkan pemahaman yang sama bahkan terkadang perbedaan
dan hal yang bertentangan menjadi penghalang dalam penanganan penyakit
zoonosis (Waltner-Toews D. 2017). Berdasarkan hal tersebut diperlukan
suatau pendekatan yang efektif dalam pencegahan dan pengendalian penyakit
zoonosis dan PIE yaitu melalui pendekatan one health. Pendekatan one health
merupakan upaya kolaboratif dari berbagai profesi ilmu kesehatan, bersama
dengan disiplin ilmu dan institusi yang berhubungan-bekerja di tingkat lokal,
nasional, dan global untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi manusia,
hewan peliharaan, marga satwa, tumbuhan dan lingkungan kita (One Health
Comission www.onehealthcomission.org). Pendekatan one health dalam
kaitannya ini mengkolaborasikan kesehatan masyarakat, kesehatan hewan
dan kesehatan satwa liar (lingkungan) terutama dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit zoonosis dan PIE.

Kabupaten Ketapang merupakan salah satu dari 14 Kabupaten/Kota


di Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten terluas dibandingkan dengan
wilayah lainnya serta berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan
Tengah yang nota bene daerah endemis Rabies. Penyakit Rabies di Kalimantan
Barat yang saat ini sedang mewabah, pertama kali juga terjadi di Kabupaten
Ketapang. Dugaan kuat wabah Rabies saat itu tertular dari Kalimantan
Tengah. Selain itu, kondisi Kabupaten Ketapang yang merupakan daerah
dengan tingkat pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit,
pemukiman dan jalan sangat tinggi sehingga habitat satwa liar menjadi hilang,
serta banyaknya tenaga luar asing dalam pengembangan pertambangan
bauksit di Kabupaten tersebut. Dengan kondisi tersebut potensi resiko untuk
terjadinya PIE sangat tinggi dan munculnya insidensi penyakit zoonosis juga
sangat tinggi, sehingga Kementerian Teknis terkait (Kementerian Pertanian,
Kesehatan dan Lingkungan Hidup dan Kehutanan) bekerja sama dengan
FAO ECTAD Indonesia menetapkan Kabupaten Ketapang sebagai salah satu
daerah percontohan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
dan PIE dengan pendekatan one health.

226 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 1. Peta Administratif Kabupaten Ketapang
(sumber : www.petatematikindo.wordpress.com )

TUJUAN

Menggambarkan proses/kegiatan yang dilakukan dalam rangka


membangung sistem pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis dan
PIE di Kabupaten Ketapang dengan pendekatan one health.

MATERI DAN METODE

Materi yang digunakan yaitu modul pelatihan One Health Kementerian


Pertanian bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dengan FAO ECTAD Indonesia.

Metode yang digunakan dalam rangka membangun sistem pencegahan


dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE di Kabupaten Ketapang dengan
pendekatan one health adalah melalui penerapan modul pelatihan one health
sebagai berikut :

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
227

         


        
1. Perencanaan
 time 
 line kegiatan
      
Pertemuan stake holder untuk persamaan persepsi

2.
 
3. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia melalui pelatihan untuk
 
masing-masing petugas kesehatan hewan, kesehatan masyarakat dan
      
kesehatan satwa liar

4. Pelatihan bersama (join training) one health
 
5. Simulasi one health
 
6. Mentoring dan evaluasi
 

Time line One Health di Kabupaten Ketapang

















Gambar 2. Time line one health di Kabupaten Ketapang

Dari rangkaian kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya melalui


pelatihan one health untuk petugas kesehatan hewan dari Puskeswan,
petugas kesehatan masyarakat dari Puskesmas dan petugas kesehatan satwa
liar yaitu Polisi Hutan dan Pengendali Ekosistem Hutan semuanya berjumlah
60 orang. Petugas one health tersebut bekerja secara team sesuai dengan
wilayah kerja masing-masing petugas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penerapan one health di lapangan

Belajar dari kejadian wabah penyakit Rabies di Kabupaten Ketapang


pada tahun 2004 kasus pertama kali terjadi di Kecamatan Kendawangan
Kabupaten Ketapang yang mengakibatkan 1 orang korbang meninggal karena
penyakit Rabies. Berbagai upaya pengendalian dilakukan di Kabupaten
Ketapang dan membutuhkan waktu ± 9 tahun untuk dapat membebaskan
Kalimantan Barat dari penyakit Rabies. Dengan mendapatkan sertifikat bebas

228 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Rabies sesuai dengan SK Menteri Pertanian RI No. 885/Kpts/PD.620/8/2014
tentang Pernyataan Kalimantan Barat Bebas Penyakit Anjing Gila (Rabies).
Rabies kembali mewabah di Kalimantan Barat tahun 2014 di Kecamatan
Kendawangan Kabupaten Ketapang dengan data kasus yaitu 96 GHPR
(Gigitan Hewan Penular Rabies), 7 orang meninggal dan 3 sampel positif
Rabies (FAT). Adanya korban meninggal akibat Rabies saat itu dikarenakan
kurangnya kolaborasi, komunikasi dan koordinasi antar petugas baik itu
petugas kesehatan hewan ataupun kesehatan masyarakat.

Kondisi setelah pelatihan one health, petugas menjadi lebih mengerti


akan tugasnya masing-masing dan hubungan antar petugas menjadi lebih
harmonis, terutama dalam komunikasi kasus penyakit melalui sharing
informasi. Sharing informasi dilakukan melalui sosial media (group
whatssapp), telepon, sms bahkan surat. Hal tersebut diaplikasikan dalam
penanganan kasus gigitan monyet ekor panjang di Desa Suka Bangun Dalam
Kecamatan Delta Pawan Kabupaten Ketapang. Korban GHPR monyet ekor
panjang adalah seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Korban digigit dan
dicakar dibagian punggung dan pinggul. Monyet tersebut menyerang dengan
tiba-tiba dan monyet tersebut merupakan peliharaan warga yang kemudian
dilepaskan. Korban melapor kasus gigitan kepada petugas di Puskesmas.
Melihat kondisi tersebut petugas kesehatan masyarakat segera memberikan
VAR (Vaksin Anti Rabies) pertama dan segera sharing informasi kepada
petugas kesehatan satwa liar dan kesehatan hewan melalui group whatsapp
one health Kabupaten Ketapang. Melihat kondisi tersebut petugas segera
berkoordinas dan berkolaborai untuk melakukan investigasi bersama.
Hasil investigasi bahwa monyet tidak berhasil ditemukan namun monyet-
monyet yang dipelihara warga di daerah kasus segera dilakukan vaksinasi
dan diserahkan ke BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) wilayah
Ketapang. Korban gigitan mendapatkan vaksin lengkap dan sampai saat ini
dalam kondisi sehat.

Gambar 3. Investigasi Gambar 4. Lokasi Gambar 5. Penyerahan


Kasus Gigitan Monyet ke BKSDA
Berdasarkan kasus tersebut dapat dibuat bagan penanganan kasus GHPR
di Kabupaten Ketapang, berikut langkah-langkah penanganan kasus GHPR
yang dilakukan oleh petugas sesuai bagan berikut :

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
229





Bagan  
1. Langkah-langkah dilakukan
yang   
petugas one 
health 
dalam
       
penanganan penyakit zoonosis







 



 


 



   



 



 


Pembelajaran one health di Ketapang

Pendekatan One health efektif diterapkan di Kabupaten Ketapang

setelah bulan Juli 2017. Dari hasil penerapan pendekatan one health di

Kabupaten Ketapang tahun 2017 terjadi grafik penurunan kasus GHPR di




Kabupaten Ketapang adalah sebagai berikut :

           
          
Grafik 1. Penurunan kasus GHPR di Kabupaten Ketapang dari tahun 2014-


2017 



 Kasus GHPR di Ketapang

 322


 


 145

 96

  59

  


(sumber : Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat)


Lyssa di Ketapang 2014-2017
Kasus gigitan tidak akan bisa dihilangkan selama masih ada anjing


yang pemeliharaannya7 dilepas

 liarkan dan tidak dibrangus. Namun,

mempertahankan tidak adanya korban meninggal di Kabupaten Ketapang

dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan one health dalam


pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis di Kabupaten Ketapang.


 
230 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis

2
dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan

Hewan Tahun 2018

Prosiding

 0 0

 322


 


 145

Berikut merupakan grafik



 96 penurunan kasus lyssa di Kabupaten Ketapang
adalah sebagai berikut :
  59

  

Grafik 2. Penurunan lyssa di Kabupaten Ketapang dari tahun 2014-2017





Lyssa di Ketapang 2014-2017

 
 7





 
2 
  

 0 0

(sumber : Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat)

Berdasarkan kondisi tersebut, menurut Cleaveland S et al. bahwa


pendekatan one health menjadi lebih efektif dan memiliki manfaat yang lebih
dalam kesehatan masyarakat terutama saat penanganan penyakit zoonosis.
Hal ini menjadi perhatian bersama bahwa kolaborasi lintas sektoral memang
sangat diperlukan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis.

KESIMPULAN DAN SARAN

Terpilihnya Kabupaten Ketapang sebagai daerah percontohan


dalam pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE melalui
pendekatan one health memberikan kesempatan yang besar terutama dalam
peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia atau petugas
lapangan baik dari sektor kesehatan hewan, kesehatan masyarakat dan
kesehatan satwa liar untuk penanganan penyakit zoonosis dan PIE melalui
deteksi, respon dan lapor dengan cepat dan tepat maka korban meninggal
dapat diminimalisir (terutama kasus GHPR). Selain itu melalui wadah sosial
media yang digunakan untuk sharing informasi memberikan dampak yang
positif terutama dalam penanganan kasus penyakit zoonosis. Pembelajaran
yang didapat dalam rangkaian kegiatan/proses dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit zoonosis dan PIE di Kabupaten Ketapang melalui
pendekatan one health yaitu terbentuknya kolaborasi, komunikasi dan
koordinasi terutama di level operasional atau petugas lapangan di masing-
masing sektor (kesehatan hewan, kesehatan masyarakat dan kesehatan
satwa liar) dalam bentuk sharing informasi kasus, investigasi bersama dan
sosialisasi penyakit zoonosis bersama. Pendekatan one health menjadi lebih
efektif memiliki manfaat yang lebih khususnya dalam kesehatan manusia
dalam konteks penanganan penyakit zoonosis.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
231
Agar rangkaian kegiatan/proses tersebut berjalan dengan baik, sangat
diperlukan sekali mentoring dan evaluasi dalam pelaksanaan pencegahan
dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE di Kabupaten Ketapang melalui
pendekatan one health sehingga dapat teridentifikasi permasalahan dan
solusinya. Selain itu, peran pengambil kebijakan sangat diperlukan dalam
hal ini terutama dalam perencanaan penganggaran secara terpadu untuk
pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE melalui pendekatan
one health dikarenakan sampai saat ini masih belum terencana dengan baik.

KETERBATASAN

Keterbatasan dalam melaksanakan kegiatan ini adalah sebagai berikut :


1. Anggaran terpadu belum ada
2. Masing-masing instansi terkait belum menganggarkan untuk kegiatan
tersebut
3. Belum semua petugas teknis dilatih
4. Kegiatan one health belum menjadi prioritas di kegiatan masing-masing
instansi teknis terkait

DAFTAR PUSTAKA

Cleaveland S et al. 2017. One Health contributions towards more effective and
equitable approaches to health in low- and middle-income countries.
Phil.Trans. R. Soc. B 372: 20160168. http://dx.doi.org/10.1098/
rstb.2016.0168.

Kate, E.J., et al. 2008. Global Trends in Emerging Infectious Diseases.


Nature Vol 451-21.

One Health Commission. Why One Health. www.onehealthcommission.org


[diakses 24 Maret 2018].

Peta Administrasi Kabupaten Ketapang. 2013. [diakses 24 Maret 2018).


Tersedia pada : https://petatematikindo.wordpress.com/2014/09/10/
administrasi-kabupaten-ketapang/ .

Waltner-Toews D. 2017. Zoonoses, One Health and complexity: wicked


problems and constructive conflict. Phil. Trans. R. Soc. B 372:
20160171. http://dx.doi.org/10.1098/rstb.2016.0171.

232 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
IDENTIFIKASI PENYEBAB KASUS GANGGUAN
REPRODUKSI PADA SAPI DI JAWA TENGAH, JAWA TIMUR
DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TAHUN 2015 DAN 2017
Indarto Sudarsono1, Bagoes Poermadjaja1, Rosmita Ikaratri1

1
Balai Besar Veteriner Wates
e-mail : indartojogja@gmail.com

ABSTRAK

Kegiatan Penanggulangan Gangguan Reproduksi telah digulirkan oleh pemerintah melalui


GBIB tahun 2015 dan UPSUS SIWAB tahun 2017, tujuan dari kegiatan tersebut untuk meningkatkan
produksi daging sapi menuju swasembada daging sapi. Balai Besar Veteriner Wates mendapat
alokasi sejumlah anggaran untuk melaksanakan kegiatan Penanggulangan Gangguan Reproduksi
di wilayah D.I Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hasil kegiatan menunjukkan perbedaan
prosentase diagnosa gangguan reproduksi. Beberapa kasus gangguan reproduksi ada yang mengalami
penurunan, sedangkan yang lainnya justru mengalami kenaikan.Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui penurunan dan kenaikan kasus gangguan reproduksi beberapa penyebab perubahan hasil
diagnosa gangguan reproduksi pada tahun 2015 dan 2017. Materi dan metode yang digunakan dengan
mengumpulkan data hasil diagnosa gangguan reproduksi tahun 2015 dan 2017, membandingkan
hasil diagnosanya, melihat faktor-faktor yang berisiko mempengaruhi perubahan hasil diagnosa
gangguan reproduksi pada 2 tahun tersebut, kemudian menganalisis penyebab-penyebabnya. Hasil
dan pembahasan, dari hasil kajian diagnosa gangguan reproduksi tahun 2015 dan 2017 menunjukkan
penurunan kasus Hypofungsi dari 38,5% menjadi 31,8%, sedangkan kasus endometritis mengalami
kenaikan dari 2,5% menjadi 7,0%. Berbagai penyebab yang bisa menurunkan kasus hypofungsi
salah satunya adalah treatment premiks, sedangkan peningkatan kasus metritis juga bisa disebabkan
berbagai hal, salah satunya akibat kurang aseptisnya pelayanan reproduksi.

Kata Kunci : Diagnosa gangguan reproduksi tahun 2015 dan 2017

PENDAHULUAN

Tahun anggaran 2015 balai Besar Veteriner Wates mendapatkan alokasi


sejumlah anggaran untuk mendukung kegiatan Gertak Birahi dan Inseminasi
Buatan (GBIB) berupa kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi,
target untuk pengobatan gagguan reproduksi sejumlah 203.850 akseptor,
dengan realisasi pengobatan sebesar 207.721 akseptor Sedangkan tahun
2017 kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi diadakan lagi untuk
mendukung kegiatan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS
SIWAB), Balai Besar Veteriner Wates juga mendapatkan sejumlah anggaran
untuk kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi dengan alokasi
167.676 akseptor dengan realisasi pengobatan sebesar 169.300 akseptor.
Kegiatan tersebut dilaksanakan di 3 Provinsi yakni di Provinsi Jawa Timur,
Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Distribusi target
penanggulangan gangguan reproduksi per kabupaten dihitung berdasarkan
proporsi populasi ternak sapi di masing-masing kabupaten. Kabupaten dengan
populasi yang tinggi mendapatkan proprosi penanggulangan gangguan
reproduksi lebih besar. Setiap ternak yang mengalami gangguan reproduksi

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
233
diberikan pengobatan, tiga obat wajib yakni obat cacing, vitamin A, D dan E
injeksi dan Premiks, jika perlu dapat ditambahkan dengan treatment obat lain
dengan menyesuaikan hasil diagnosa. Tiga obat wajib tersebut dimaksudkan
untuk meningkatkan performa tubuh dan performa sistem reproduksi.

Kasus gangguan reproduksi yang ditemukan pada kegiatan


penaggulangan gangguan reproduksi adalah kasus silent heat, hypofungsi,
endometritis, corpus luteum persisten, kawin berulang, ovarial cyst,vulvitis,
vaginitis, retensi placenta, invulsi uterus terlambat, pyometra dan mumifikasi
fetus, juga beberapa dan kasus lainnya akan tetapi prosentasenya rendah.
Kasus-kasus yang mendominasi adalah kasus silent heat, hypofungsi dan
endometritis, dan kawin berulang. Gangguan reproduksi yang ditemukan
pada tahun 2015 dan 2017 terjadi pergeseran atau perubahan jumlah kasus
gangguan reproduksi yang disebabkan oleh berbagai sebab.

TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tren perubahan


hasil diagnosa gangguan reproduksi tahun 2015 dan 2017 dan mengetahui
penyebab perubahan hasil diagnosanya.

MATERI DAN METODE

Materi yang digunakan adalah data sekunder laporan tahunan


Penangulangan Gangguan Reproduksi dari Balai Besar Veteriner Wates
tahun 2015 dan Tahun 2017. Metode yang digunakan dengan mengumpulkan
data hasil diagnosa gangguan reproduksi tahun 2015 dan 2017, kemudian
data tersebut diakumulasikan. Data penyakit Gangguan Reproduksi tahun
2015 dan 2017 dibandingkan hasil diagnosanya, melihat faktor-faktor yang
berisiko mempengaruhi perubahan hasil diagnosa gangguan reproduksi pada
2 tahun tersebut, kemudian menganalisis penyebab-penyebabnya.

HASIL

Target penanggulangan gangguan reproduksi pada tahun 2015 sebesar


203.850 akseptor, dengan realisasi pengobatan sejumlah 207.721 akseptor,
dari akseptor tersebut gangguan reproduksi yang berhasil didiagnosa dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut :

234 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Hasil Diagnosa Gangguan Reproduksi Tahun 2015

Dari tabel dapat dilihat bahwa kasus gangguan reproduksi yang memiliki
prosentase besar adalah kasus Hypofungsi sebesar 38,51%, Silent heat
sejumlah 22,73%, Kawin berulang 15,98%, kasus lainnya di bawah 10%,
adapun kasus di bawah 10% yang cukup menonjol adalah Corpus luteum
persisten 7,06%, Kasus Involusi uterus terlambat sebesar 6,16%, sedangkan
kasus lainnya di bawah 5%. Kasus gangguan reproduksi jika dibuat grafik
sebagai berikut :

Target akseptor pada kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi


tahun 2017, sebesar 167.676 akseptor, dari target tersebut berhasil
dilaksanakan pengobatan terhadap gangguan reproduksi sebesar 169.300
akseptor, diagnosa gangguan reproduksi yang berhasil didiagnosa oleh
petugas lapangan dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil Diagnosa Gangguan Reproduksi Tahun 2017

Dari tabel diketahui kasus gangguan reproduksi terbanyak adalah silent


heat sebesar 39,13%, kemudian kasus hypofungsi sebesar 31,83%, kasus
lainnya di bawah 10% adalah kasus endometritis sebesar 7,02%, dan kasus
CLP sebsar 6,96%.

PEMBAHASAN

Kasus gangguan reproduksi tahun 2015 dan 2017 jika disandingkan


dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut :

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
235
Tabel 3. Perbandingan prosentase kasus gangguan reproduksi tahun 2015
dan 2017

40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
            
           
   

             


             



Jika dilihat prosentase kasus gangguan reproduksi tahun 2015 dan

2017 tersebut di atas, maka yang terjadi perubahan mencolok ada 5 kasus

yakni kasus   
Endometritis, kasus 
Hypofungsi,  
Involusi uterus  
terlambat,

Kawin berulang, dan kasus Silent heat. Kasus gangguan reproduksi yang
 
mengalami  
penurunan adalah kasus hypofungsi, involusi uterus   
terlambat

dan kasus kawin berulang, sedangkan kasus endometritis dan kasus silent

heat 
mengalami       
kenaikan.
        

Kasus gangguan reproduksi endometritis pada tahun 2015 sebesar

2,50%, sedangkan pada tahun 2017, terjadi peningkatan yang signifikan

menjadi  
sebesar 7,02%, 
atau terjadi  sebesar
peningkatan 
4,52%.   
Endometritis
           
merupakan peradangan pada lapisan mukosa uterus. Menurut Ball dan

Peters (2004), endometritis merupakan peradangan pada endometrium dan

membran
  mukosa uterus
 yang
 sering disebabkan
 oleh adanya infeksi
 bakteri.

Menurut Noakes et al. (2001), endometritis dan metritis
         merupakan salah
satu
penyebab kemajiran pada ternak. Endometritis pada ternak
 dapat dibedakan
menjadi
 dua, yaitu
 endometritis
 klinis dan endometritis
  subklinis. Secara 
 
        Sapi
klinis, prevalensi endometritis lebih tinggi pada sapi-sapi yang mature. 
dengan
 endometritis
  dapat
 didiagnosa
  berdasarkan
  palpasi
 perektal
 dengan
 
hasil
 berupa
 tidak terabanya
 struktur ovarium.
 Sedangkan
  endometritis
  
subklinis
  dapat didefinisikan
  sedagai inflamasi
 pada
 uterus yang biasanya
 
ditentukan dengan pemeriksaan sitologi, tidak adanya eksudat purulenta di

vagina. 
 Endometritis subklinis biasanya
  terjadi
  ketika proses
  involusi sudah
 

lengkap(sekitar
5
minggu
postpartus). 
Uterus  
merupakan organ yang
 
steril
  
sedangkan di 
vaginaterdapat

banyak 
mikroorganisme,  
mikroorganisme 

dari vagina ini dapat masuk ke uterus terutama pada saat perkawinan atau
 
melahirkan. 
Bila jumlah  
mikroorganisme terlalu 
banyak dan kondisi 
uterus
mengalami
      
gangguan maka dapat terjadi endometritis. Kejadian endometritis  
  
kemungkinan 
besar terjadi 
pada saat   
inseminasi buatan atau  
penanganan
      
kelahiran yang kurang higienis, sehingga banyak bakteri yang masuk ke   

uterus, seperti bakteri non spesifik (E. coli, Staphilylococcus, Streptococcus
          
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding

236 Penyidikan
 
Penyakit 
Hewan Rapat Teknis  
dan Pertemuan   
Ilmiah (RATEKPIL)
        
          
          
dan Salmonella), maupun bakteri spesifik (Brucella sp, Vibrio foetus dan
Trichomonas foetus).

Kasus gangguan reproduksi Hypofungsi tahun 2015 mendominasi


dengan jumlah kasus sebesar 38,51%, sedangkan pada tahun 2017 kasus
hypofungsi mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 31,83%,
atau mengalami penurunan sejumlah 6,68%. Kasus hypofungsi disebabkan
oleh defisiensi nutrisi, lamanya rekondisi fungsi ovarium pasca beranak,
respon suckling / menyusui (endocrine feedback reaction). Selain itu
hipofungsi ovarium dapat diakibatkan oleh manajemen pakan yang buruk,
stres lingkungan dan defisiensi hormon (Herry, 2015), sehingga terjadi
gangguan hormonal. Manajemen pakan yang buruk dimana pemberian pakan
dalam jumlah yang tidak sesuai mengakibatkan nutrisi yang diabsorpsi ke
dalam tubuh ternak tidak memadai dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh
penggunaan energi harian. Hal ini menyebabkan kondisi tubuh ternak
memburuk sehingga mengganggu fungsi tubuh secara keseluruhan maka
dalam pemberian pakan sehari - hari, dibutuhkan nutrisi yang menunjang
saluran reproduksi seperti protein, vitamin A, dan mineral seperti fosfor,
yodium, dan tembaga (Lukman, et al. 2007). Pada Kegiatan penanggulangan
gangguan reproduksi yang dilaksanakan oleh BBVet Wates adalah pemberian
tiga obat wajib terhadap semua ternak yang mengalami gangguan reproduksi
yakni Obat cacing, Premiks dan Vitamin A,D,E injeksi jika diperlukan
ditambah dengan obat lain atau hormon yang sesuai dengan diagnosa, dengan
pemberian 3 obat wajib ini memungkinkan untuk meningkatkan performa
kesehatan ternak yang mengalami gangguan reproduksi. Dimungkinkan
pemberian ketiga obat wajib tersebut dapat menurunkan kasus hypofungsi.
Dan diketahui bahwa operasional kegiatan penanggulangan gangguan
reproduksi tahun 2015 pada bulan september – November 2015 yang waktu
terjadi pada musim kemarau panjang, sedangkan tahun 2017 relatif tidak
terjadi kemarau panjang sehingga pakan cukup tersedia.

Kasus involusi uterus terlambat mengalami penurunan yang cukup


sinifikan, pada tahun 2015 sebesar 6,16%, dan tahun 2017 sebesar 0,95%,
atau terjadi penurunan sebesar 5,22%. Involusi uterus adalah kembalinya
uterus ke fungsi dan ukuran normalnya seperti waktu tidak bunting. Pada
sapi perah dengan kelahiran normal involusi uterus terjadi selama 35-40
hari post partus (Ahmed, 2009). Involusi uterus dapat dipengaruhi beberapa
hal antara lain kontraksi miometrium, eliminasi bakteri dan regenerasi dari
endometrium (Arthur 1996). Involusi uterus harus terjadi secara aseptik akan
tetapi beberapa kondisi di lapangan seperti retensi plasenta memungkinkan
terjadinya kontaminasi patogen di uterus dan dapat menyebabkan kondisi
imunosupresif (Cai, 2000). Dengan adanya kegiatan penanganan gangguan
reproduksi memungkinkan untuk petugas banyak turun di lapangan
sehingga melakukan penanganan yang baik pasca melahirkan hingga dapat
menurunkan kasus involusi uterus terlambat.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
237
Kasus gangguan reproduksi kawin berulang (repeat breeding) adalah
sapi betina yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah
dikawinkan 2 kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan
semen pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981). Kasus
kawin berulang pada tahun 2015 mencapai 15,98%, sedangan pada tahun
2017 kasus tersebut mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi
4,73%, atau mengalami penurunan sebesar 11,25%. Menurut Zemjanis
(1980) secara umum repeat breeding disebabkan oleh dua faktor utama yaitu
kegagalan fertilisasi dan kematian embrio dini. Kegagalan fertilisasi dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyebab antara lain kelainan anatomi
saluran reproduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sperma yang
abnormal, dan kesalahan pengelolaan reproduksi. Menurut Harjopranoto
(1995), kelainan ovulasi dapat menyebabkan kegagalan pembuahan sehingga
akan menghasilkan sel telur yang belum cukup dewasa sehingga tidak
mampu dibuahi oleh sperma dan menghasilkan embrio yang tidak sempurna.
Pada sapi, atau kerbau kasusnya mencapai 13,19% (Hardjopranjoto,
1995). Kesalahan pengelolaan reproduksi dapat berupa : Kurang telitinya
dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk diadakan
inseminasi buatan (Toelihere, 1981). Deteksi birahi yang tidak tepat menjadi
penyebab utama kawin berulang, karena itu program deteksi birahi harus
selalu dievaluasi secara menyeluruh. Saat deteksi birahi salah, birahi yang
terjadi akan kecil kemungkinan terobservasi dan lebih banyak sapi betina
diinseminasi berdasarkan tanda bukan birahi, hal ini menyebabkan waktu
inseminasi tidak akurat sehingga akan mengalami kegagalan pembuahan
(Brunner, 1984); Penyebab kawin berulang meliputi kualitas sperma yang
tidak baik dan teknik inseminasi yang tidak tepat (Brunner, 1984); Sapi
betina yang mengalami metritis, endometritis, cervitis dan vaginitis dapat
menjadi penyebab kawin berulang pada sapi (Brunner, 1984); Manajemen
pakan dan sanitasi kandang yang tidak baik (Toelihere, 1981); Kesalahan
dalam memperlakukan sperma, khususnya perlakuan pada semen beku yang
kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan sperma,
penyimpanan dan thawing yang kurang baik (Toelihere, 1981); Faktor
manajemen lain seperti pemelihara atau pemilik ternak hendaknya ahli
dalam bidang kesehatan reproduksi (Toelihere, 1981). Sejak adanya kegiatan
GBIB dan Penanggulangan Gangguan reproduksi kegiatan pelatihan tenang
reproduksi praktis lebih banyak sehingga meningkatkan kemampuan para
petugas reproduksi di lapangan.

Kasus gangguan reproduksi silent heat pada tahun 2015 sebesar 22,73%
dan meningkat menjadi 39,13 pada tahun 2017 atau mengalami peningkatan
sebesar 16,40%. Proses ovulasi pada sapi silent heat berjalan secara normal
dan bersifat subur, tetapi tidak disertai dengan gejala birahi atau tidak ada
birahi sama sekali. Silent heat terjadi karena rendahnya kadar estrogen dalam
darah. Defisiensi nutrisi : β karotin, P, Co dan berat badan yang rendah akan
menyebabkan kejadian silent heat dan subestrus padi sapi. Kejadian ini sering

238 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
terjadi pada sapi post partus. Sebagai predisposisi dari kasus silent heat dan
sub estrus adalah genetik. Hormon LH pada kejadian silent heat dan sub
estrus mampu menumbuhkan folikel pada ovarium sehingga terjadi ovulasi,
tetapi tidak cukup mampu dalam mendorong sintesa hormon estrogen oleh sel
granulosa dari folikel de Graaf sehingga tidak muncul birahi (Putro, 2008).
Tidak adanya korpus luteum pada siklus berahi sebelumnya menyebabkan
konsentrasi progesteron sangat rendah dalam darah saat ovulasi pertama
setelah melahirkan, hal ini menyebabkan ovarium kurang responsif terhadap
hormon yang dikeluarkan oleh hipofisa anterior. Oleh karena itu, pada siklus
berahi berikutnya menyebabkan silent heat (Hafez, 2000).

Silent heat biasa terjadi pada sapi hasil persilangan. Birahi tenang banyak
terjadi pada sapi Brahman-Cross. Sapi dengan birahi tenang  mempunyai
siklus reproduksi dan ovulasi normal, namun gejala birahinya tidak terlihat.
Birahi tenang akan mengakibatkan peternak tidak dapat mengetahui kapan
sapinya birahi, sehingga tidak dapat dikawinkan dengan tepat. Sifat birahi
sapi  Brahman-Cross  yang cenderung tenang  ini timbul diakibatkan oleh
faktor genetis, manajemen peternakan tradisional, defisiensi komponen-
komponen pakan atau defisiensi nutrisi, perkandangan tradisional, sempit,
kurang gerak, kandang individual, kondisi fisik jelek, kebanyakan karena
parasit interna (cacing), atau dalam proses adaptasi (Putro, 2006). Dengan
adanya cross-breed hasil IB, memperbanyak jumah sapi croos-breed yang
berisiko memperbanyak kasus silent heat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kasus gangguan reproduksi yang yang mengalami penurunan dari tahun


2015 dan tahun 2017 adalah kasus hypofungsi, involusi uterus terlambat
dan kawin berulang. Kasus gangguan reproduksi yang mengalami kenaikan
adalah endometritis dan silent heat, gangguan reproduksi diakibatkan oleh
berbagai sebab yang saling mempengaruhi adapun faktor-faktor penyebab
antara lain kurang hygienisnya saat melakukan inseminasi buatan, adanya
treatment premiks, vitamin A,D,E, obat cacing, faktor musim yang berkaitan
dengan ketersediaan pakan, adanya peningkatan kemampuan petugas, juga
adanya cross-breed dari hasil inseminasi buatan.

Saran

Perlu adanya penelitian yang lebih detail dan spesifik yang mempengaruhi
penurunan dan kenaikan prosentase kasus-kasus gangguan reproduksi.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
239
LIMITASI

Penulisan ini dibatasi pada kasus-kasus gangguan reproduksi dengan


perubahan prosentase mencolok pada tahun 2015 dan tahun 2017, dan
terbatas pada studi pustaka dari penyebab yang mempengaruhi penurunan
dan kenaikan kasus gangguan reproduksi.

DAFTAR PUSTAKA

Herry AH. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran Pada Ternak Menuju


Kemandirian Dibidang Kesehatan Reproduksi Hewan Dan Ketahanan
Pangan Di Indonesia. Makalah. Dalam: Pidato Guru Besar Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, 25 April 2015.

Lukman AS, Wulan CP dan Dian R. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan


Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Toelihere, M.R, 1981, Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi, Edisi Pertama,
Institut Pertanian Bogor,.

Hardjopranjoto, H.S, 1995, Ilmu Kemajiran Pada Ternak, Airlangga


University Press,

Arthur, G.H, 1975, Veterinary Reproduction And Obstetrics, Fourth Edition,


The English Language Book Society And Baillere Tindall.

Zemjanis, R, 1980, Repeat Breeding or Conception Failure in cattle; Current


Theraphy in Theorigenology.,Morrow, D.A, W.B Saunders Company
Philadelphia.

Brunner, M. A, 1984, Repeat Breeding, Dairy Integrated Reproductive


Management, Cornell University, www. Repeat breeding.com

Noakes DE, Parkinson TJ, England GCW. 2001. Arthur’s Veterinary


Reproduction and Obstetrics 8th Edition. Pennsylvania: Harcourt
Publishers Limited

Ball PJH, Peters AR. 2004. Reproduction in Cattle 3rd Edition. Oxford:
Blackwell Publishing.

Ahmed. 2009. Strategy Trials For Prevention of Retained Fetal Membranes


In Frisien Herd In Egypt. J. Global Veterinaria.

Arthur HG. 1996. Veterinary Reproduction & Obstetrics. Saunders Company


Ltd, London.

240 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Cai TQ. 2000. Association between neutrophil functions and periparturient
disorders in cows. J. Vet Res.

Putro, P. P. 2008. Sapi Brahman-Cross, Reproduksi dan Permasalahannya.


Bagian reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta.

Hafez, E.S.E. (2000). Reproduction In Farm Animals 7th Edition. Reproductive


Health Centre, Kiawah Island, South Carolina, USA.

Putro, P. P. 2006. Gangguan Reproduksi pada Sapi Brahman-Cross. Bagian


Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
241
EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI
ISIKHNAS DALAM PROGRAM UPSUS SIWAB DI KABUPATEN
LOMBOK TENGAH TAHUN 2017

(Effectivity of ISIKHNAS for UPSUS SIWAB at Lombok Tengah


District in 2017)

Dinar H. W. Hartawan, Albert T. Mulyono, I Wayan Masa Tenaya, Adjar Sapto Utomo

Balai Besar Veteriner Denpasar


dinar.hwh@gmail.com

ABSTRAK

Program Upaya Khusus Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (UPSUS SIWAB) di
Indonesia bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi protein hewani di Indonesia. Pada tahun
2017, sistem pelaporan yang digunakan dalam UPSUS SIWAB adalah pelaporan melalui ISIKHNAS
dan pengecualian bagi daerah yang belum dapat melaporkan melalui ISIKHNAS dapat menggunakan
laporan manual secara berjenjang dari tingkat kabupaten/kota sampai pusat. Namun penggunaan
ISIKHNAS tidak akan optimal apabila tidak didukung dengan kinerja operator yang melaporkan.
Oleh karena itu kajian untuk melihat efektifitas penggunaan ISIKHNAS dalam progam UPSUS
SIWAB perlu dilakukan mengingat pada tahun 2018 seluruh kegiatan harus dilaporkan melalui
ISIKHNAS. Dari hasil pengunduhan data ISIKHNAS kegiatan Gangguan Reproduksi (Gangrep)
dan Kesembuhan Gangrep, Inseminasi Buatan (IB) dari ternak gangrep yang sembuh di kabupaten
Lombok Tengah tahun 2017, dapat diperoleh hasil sebagai berikut; 1). Pelaporan kasus Gangrep
ISIKHNAS lebih tinggi dari kasus Gangrep manual dengan proporsi 102 % (2955/2907 kasus),
kemungkinan disebabkan adanya duplikasi laporan melalui ISIKHNAS. 2). Pelaporan kesembuhan
menunjukkan proporsi sangat rendah yakni 1,3 % (40/2894 kasus). Dan 3). Proporsi ternak gangrep
yang sembuh dan dilanjutkan dengan IB adalah 75,3 % (2178/2854 Kasus), dengan sebaran
kasus ternak yang tidak di IB dari bulan Maret sampai Desember 2017. Hal ini mengindikasikan
kelemahan dalam koordinasi atau laporan kesembuhan yang sangat rendah sehingga petugas IB
tidak dapat mendapatkan informasi secara akurat. 4). Dari jarak pelaporan kegiatan Insemiminasi
Buatan dan pemeriksaan kebuntingan, diperoleh hasil umur kebuntingan dibawah 2 bulan 10.2
% dan diatas 4 bulan sebesar 22,2 %. Hal ini juga mengindikasikan ketidak efektifan pelaporan
kebuntingan yang ditetapkan dalam pedoman umum UPSUS SIWAB, dimana masa pemeriksaan
kebuntingan seyogyanya dilakukan pada 2 – 4 bulan setelah pelaksanaan Inseminasi Buatan. Dapat
disimpulkan bahwa dengan terjadinya duplikasi pelaporan, diperlukan petugas validator di tingkat
kabupaten/kota yang bertugas memonitor pelaporan tersebut dan penegasan mekanisme pelaporan
melalui ISIKHNAS sehingga tidak terjadi kesalahan interpretasi hasil pelaporan yang menyebabkan
rendahnya tindak lanjut IB pada ternak gangrep yang sembuh di kabupaten Lombok Tengah.

Kata kunci : iSIKHNAS, Ternak Gangrep, Kesembuhan, Inseminasi Buatan,Pemeriksaan kebuntingan.

PENDAHULUAN

Pemenuhan bahan pangan atau konsumsi masyarakat Indonesia terdiri


dari pangan nabati (Asal tumbuhan) dan pangan hewani (asal ternak dan
ikan). Bahan pangan hewani yang berasal dari ternak adalah daging, telur
dan susu yang berfungsi sebagai sumber gizi, utamanya protein dan lemak.
Menghadapi tantangan tersebut, pemerintah perlu menyusun program
peningkatan produksi daging sapi/kerbau dalam negeri, menggunakan
pendekatan yang lebih banyak mengikutsertakan peran aktif masyarakat.
Sejak tahun 2017 pemerintah telah menetapkan Upaya Khusus Percepatan
242 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (UPSUS SIWAB) sebagai
program untuk meningkatkan populasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan
bahan pangan asal hewan tersebut (Anonimous, 2018).

Saat ini, sistem informasi ISIKHNAS digunakan dalam program


tersebut sebagai sistem pelaporan yang terintegrasi dan terkini sekaligus
sebagai syarat pembayaran biaya operasional. Penggunaan ISIKHNAS
memerlukan pemahaman dan pengalaman dalam tata cara teknis pengiriman
laporannya. Monitoring secara berkala dan validasi laporan yang masuk
akan sangat berkaitan dengan akurasi laporan tersebut, sehingga potensi
kesalahan pelaporan yang muaranya adalah kesalahan pembayaran biaya
operasional kegiatan UPSUS SIWAB dapat dihindari. Pelaksanaan kegiatan
dilapangan yang dilakukan oleh personel dan waktu yang berbeda akan dapat
diakomodir dengan kemudahan akses informasi dalam sistem informasi
ISIKHNAS. Sehingga hambatan dalam koordinasi dapat diminimalisir
dengan akses informasi tersebut dengan catatan semua pihak terkait dapat
melaporkan hasil kegiatannya melalui ISIKHNAS secara tepat. Oleh karena
itu maka analisis untuk melihat mengevaluasi hasil pelaporan kegiatan
UPSUS SIWAB tahun 2017 perlu dilakukan untuk mengetahui kelemahan
dan keunggulannya.

METODOLOGI

Materi dan Metode

Kajian ini adalah kajian analisis data sekunder dan data yang digunakan
adalah data pelaksanaan penanganan Gangguan Reproduksi (Gangrep),
perkembangan kasus dan Inseminasi Buatan (IB) yang terekam di ISIKHNAS
serta data penanganan Gangrep Manual dari kabupaten Lombok Tengah
tahun 2017 yang akan digunakan sebagai data pembanding.

Data Analisis

Analisis yang dilakukan dalam adalah 1). analisis deskriptif untuk


melihat akurasi pelaporan pelaksanaan Gangrep dari ISIKHNAS dan
data manual dari Kab. Lombok Tengah 2017; 2). analisis deskriptif untuk
membandingkan pelaporan kesembuhan kasus Gangrep dari ISIKHNAS
dan data manual dari Kab. Lombok Tengah 2017; serta 3). Analisis deskriptif
jumlah kasus Gangrep yang sembuh dan dilakukan IB di Lombok Barat
tahun 2017.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
243
HASIL

Penanganan Gangguan Reproduksi

Pelaksanaan kegiatan penanganan gangguan reproduksi (Gangrep) di


kabupaten Lombok Tengah tahun 2017 dilakukukan di 12 kecamatan. Hasil
kegiatan penanganan gangrep dapat dilihat sebagai berikut ;

Tabel 1. Data Isikhnas dan manual realisasi penanganan Gangguan


Reproduksi dan Kesembuhannya di Lombok Tengah tahun 2017

Realisasi
*Realisasi Jml
Penanganan *Jml Sembuh
Kecamatan Penanganan Gangrep Sembuh
Gangrep Manual
Data Manual Isikhnas
ISIKHNAS
Batukliang 288 306 288 0
Praya Tengah 187 198 187 0
Praya Timur 106 112 106 0
Praya Barat 283 283 283 0
Praya 78 24 78 0
Jonggat 292 306 292 0
Pringgarata 211 226 211 5
Prabadar 259 267 259 8
Pujut 483 490 470 0
Kopang 327 339 327 0
Janapria 135 139 135 0
Batura 258 260 258 27
Grand Total 2,907 2,950 2,894 40
Sumber Data : Dinas Pertanian Lombok Tengah

Berdasarkan rekaman data Dinas Pertanian Lombok Tengah, penanganan


gangguan Reproduksi tahun 2017 sebanyak 2907 kasus. Sedangkan rekaman
data ISIKHNAS menunjukkan bahwa jumlah penanganan Gangguan
Reproduksi di Lombok Tengah sebanyak 2950 kasus. Laporan jumlah
kesembuhan kasus Gangrep di Lombok Tengah sangat berbeda antara data
manual yang menunjukkan jumlah 2894 kasus dengan data ISIKHNAS
yang hanya 40 kasus. Perbedaan jumlah kasus Gangrep tidak terpaut jauh
kemungkinan disebabkan adanya duplikasi atau pengulangan pelaporan
yang dilakukan oleh petugas penanganan Gangrep di kab. Lombok Tengah.
Sedangkan situasi yang berbeda terjadi pada laporan kesembuhannya.
Pelaporan kesembuhan melalui ISIKHNAS sangat rendah dan hanya
dilaporkan oleh tiga kecamatan di Lombok Tengah. Hal ini kemungkinan

244 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
disebabkan dari penentuan indicator kesembuhannya adalah pelaksanaan
Inseminasi Buatan (IB) pada ternak yang mengalami Gangrep tersebut.
Adapun salah satu kepentingan pelaporan kesembuhan melalui ISIKHNAS
adalah kemudahan petugas IB dalam mendapatkan akses informasi terkini

dari status ternak yang mengalami Gangrep tersebut. Sehingga, pelaksanaan
     
tindakan lanjutan terhadap ternak Gangrep yang sembuh tersebut tepat waktu
     
dan tepat sasaran karena setiap ternak akan mendapatkan ID ternak yang
      
sesuai dengan alamat pemiliknya.
 
  Data penanganan kasus Gangrep di kabupaten Lombok Tengah
    
 berdasarkan Diagnosanya dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagai berikut ;
  
 

Gambar   
1. Grafik Diagnosa Gangrep Laporan Isikhnas dan Manual Lombok
 
 
Tengah tahun 2017



Hasil
49.81%
penanganan Gangrep

berdasarkan diagnosa sementara
 14.92% 48.65%
14.54% menunjukkan bahwa kasus Gangrep
14.22%
  14.26% tertinggi di Lombok Tengah tahun
14.4%
  13.59% 2017 disebabkan karena Endometritis
7.64%
 7.11% dengan 1422 berdasarkan data
Diagnosa Sementara

0%
 0.63% ISIKHNAS. Terdapat selisih antara
0%
 
0.42% data manual dan data ISIKHNAS. Hal
0%
 
0.21%
0%
tersebut disebabkan pelaporan
0.21%
ISIKHNAS yang tidak sesuai dengan
   0%
0.18%
0% petunjuk teknis penanganan Gangrep
 0.07%
0% tidak dirubah dan perbaikan hanya
 0.07%
dilakukan pada pelaporan manual di
0%
  0.07%
0.84%
0%
Dinas Pertanian Lombok Tengah.
 Beberapa diagnose yang masuk dalam
0 0.5
  Prosentase (%)
definisi gejala Gangrep dirubah
 Manual Isikhnas
menjadi penyebab dari kasus Gangrep
 tersebut. Contoh kasus Gangrep yang
  menunjukkan gejala peradangan diarahkan  pada definisi Gangrep akibat
 
endometritis. Demikian juga pada gejala kawin berulang yang didefinisikan
     
akibat
 Sistic
 Folikuler
 pada
laporan manual, dan beberapa kasus Gangrep
 
yang lainnya.

  
  Pelaksanaan IB dari 
kasus Gangrep
 

Data kasus Gangrep yang dinyatakan sembuh dan dilakukan IB di


Lombok Tengah tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 2. Berikut ;

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
245
Tabel 2. Data Pelaksanaan IB pada Ternak yang mengalami Gangrep di
Lombok Tengah tahun 2017.

Kecamatan Gangrep IB Selisih Selisih (%)


Batukliang 287 263 24 8.4
Batukliang Utara 259 173 86 33.2
Janapria 138 107 31 22.5
Jonggat 286 116 170 59.4
Kopang 334 273 61 18.3
Praya 23 3 20 86.9
Praya Barat 283 281 2 0.7
Praya Barat Daya 263 261 2 0.8
Praya Tengah 183 174 9 4.9
Praya Timur 106 73 33 31.1
Pringgarata 208 123 85 40.9
Pujut 484 331 153 31.6
Grand Total 2854 2178 676 23.7

Pelaksanaan kegiatan IB di Lombok Tengah tahun 2017 diketahui


sebanyak 2178 ternak dari total kasus Gangrep yang sembuh sebanyak
2854 kasus yang terekam di ISIKHNAS. Sebanyak 676 dari 2854 (23,69 %)
kasus gangrep yang sembuh ternyata tidak dilanjutkan dengan pelaksanaan
IB selama tahun 2017. Dalam pelaksanaan di lapangan, kesembuhan
ternak Gangrep yang ditandai dengan munculnya tanda birahi atau estrus
tidak langsung dilanjutkan dengan Inseminasi Buatan (IB), kadangkala
petugas menunggu hingga satu kali siklus birahi untuk memastikan kembali
kesembuhan ternak tersebut sebelum melakukan IB. sehingga ternak Gangrep
yang sembuh diakhir tahun 2017 berpeluang dilakukan IB pada awal tahun
2018, kecuali terdapat kesalahan koordinasi antara petugas penanganan
gangrep dan petugas IB di kabupaten Lombok Tengah.

Untuk melihat realisasi pelaksanaan ternak yang di IB dari ternak


Gangrep yang sembuh dapat dilihat pada Gambar 2, berikut ;

246 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 2. Jumlah ternak yang dilaporkan Gangrep dan IB di Lombok
Tengah 2017.

800
700
600
Jumlah ternak (ekor)
500
400
300
200
100
0
Maret April Mei Juni Juli Aug Sept Okt Nov Des
Bulan

Lanjut IB Tidak Lanjut IB

Pada grafik diatas digambarkan jumlah ternak gangrep yang sembuh


kemudian sebagian dilakukan IB dan tidak di IB. Digambarkan bahwa
populasi ternak Gangrep yang sembuh tapi tidak dilanjutkan pelaksanaan
IB terjadi dari awal pelaksanaan penanganan Gangrep di kabupaten Lombok
Tengah. Kegiatan penanganan gangrep di Lombok Tengah tercatat dimulai
terlaporkan pada bulan Maret – Desember 2017. Sedangkan hampir disemua
bulan dalam tahun 2017 ditemukan ada populasi ternak gangrep yang telah
dinyatakan sembuh namun tidak dilanjutkan dengan pelaksanaan IB. tindak
lanjut penanganan dari ternak yang sembuh namun tidak di IB juga dapat
menurunkan tingkat produktifitas ternak dalam program UPSUS SIWAB.

Analisis jarak waktu IB dan PKB

Kegiatan pemeriksaan kebuntingan yang dilakukan setelah ternak di IB


menunjukkan bahwa terjadi keterlambatan pelaksanaannya (diatas 4 bulan),
sedangkan pemeriksaan kebuntingan yang dilaporkan telah dilakukan
dibawah 2 bulan juga menunjukkan indikasi bahwa pelaporan kebuntingan
tersebut tidak dilaporkan secara Real time. Menurut Setyo utomo, 2017.,
pemeriksaan kebuntingan ideal adalah diatas 2 bulan dan dinyatakan bahwa
sensitifitas ketepatan pemeriksaan kebuntingan diatas 60 hari sebesar 95 %.
Untuk data jarak waktu pelaksanaan Inseminasi Buatan dan pemeriksaan
kebuntingan dapat dilihat pada table 3. berikut;

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
247
Tabel 3. Data jarak waktu Pelaksanaan IB dan pemeriksaan kebuntingan di
Lombok Tengah tahun 2017.

Umur kebuntingan Jarak waktu IB ke PKB


Bulan IB < 2 bln 2-4 bln > 2 bln < 2 Bln 2-4 bln > 4 bln
March 0 218 242 7 141 312
April 0 450 289 22 154 563
May 1 1,048 326 98 750 527
June 0 1,400 322 163 914 645
July 1 1,945 153 117 1313 669
Aug 0 2,663 109 282 2264 226
Sep 0 2,903 53 440 2391 125
Oct 0 2,329 329 422 1841 395
Nov 0 1,543 41 117 1145 322
Des 0 700 3 67 636
Grand
Total 2 15,199 1,867 1,735 11,549 3,784
Sumber data : ISIKHNAS

Dari total pelaksanaan IB yang dilakukan yaitu sebanyak 33.496 dosis,


catatan kebuntingannya sampai akhir tahun 2017 sebanyak 17.068 ekor.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena pelaksanaan IB pada triwuln
terakhir tahun 2017 belum dapat dilaporkan pelaksanaan pemeriksaan
kebuntingannya atau dapat disebabkan kegagalan pelaksanaan waktu IB.
menurut Tjok Gede Oka Pemayun et al, 2014., bahwa waktu pelaksanaan
IB yang terbaik pada sapi Bali adalah 12 – 24 jam setelah tanda – tanda
birhi muncul. Table 3 menunjukkan bahwa selama tahun 2017 laporan
kebuntingan dari pelaksanaan IB sebanyak 17.068 ekor ternak bunting.
Dari hasil tersebut diketahui 10,2 % (1735/17068) ternak dilaporkan
bunting dengan jarak waktu pelaporan kebuntingan dibawah 2 bulan dari
waktu pelaporan IB di ISIKHNAS. Namun dari hasil umur kebuntingan
yang dilaporkan melalui ISIKHNAS hanya tercatat dua ekor ternak. Hal
ini menunjukkan kemungkinan waktu pelaporan kebuntingan tidak sesuai
dengan umur kebuntingan sebenarnya, hal ini juga mengindikasikan bahwa
pelaporan kebuntingan tersebut belum dapat silakukan secara real time
(Isikhnas, 2018). Demikian juga dengan umur kebuntingan yang dilaporkan
diatas 4 bulan sebanyak 11 % (1867/17068), sedangkan berdasarkan jarak
waktu pelaporan sebanyak 22,2 % (3784/17068). Perbedaan jumlah laporan
kebuntingan dari laporan Isikhnas dan jarak waktu pelaporan IB ke laporan
PKB menunjukkan bahwa kelebihan akses waktu nyata (Real time) dalam
pelaporan isikhnas masih belum dapat sepenuhnya dilakukan.

248 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMBAHASAN

Salah satu manfaat penggunaan ISIKHNAS sebagai tool pelaporan


kegiatan UPSUS SIWAB adalah terbukanya akses informasi secara
online kepada seluruh pihak terkait dalam program tersebut. Harapannya
adalah informasi yang memerlukan tindak lanjut penanganan akan mudah
diterima oleh petugas lainnya yang berwenang untuk menindak lanjuti
seperti tindakan IB dari ternak Gangrep yang telah dinyatakan sembuh.
Selain itu, ISIKHNAS juga dapat menampilkan data keseluruh pihak yang
memiliki otoritas dalam melakukan evaluasi dan monitoring, sehingga
laporan kegiatan tersebut dapat dengan cepat diterima oleh pihak di tingkat
kabupaten, provinsi maupun tingkat pusat atau menjadi data dasar Nasional.
Hal tersebut juga harus dipahami oleh petugas di lapangan sebagai komponen
paling penting dalam terlaksananya pelaporan kegiatan tersebut. Pemahaman
yang kurang menyeluruh dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda dan
berujung pada ketidaklengkapan data yang dikirim melalui ISIKHNAS.
Dalam kasus ini dapat dicontohkan bahwa rendahnya laporan kesembuhan
melalui ISIKHNAS dapat diakibatkan pemahaman dari petugas lapangan
yang menggunakan indicator pelaksanaan IB sebagai tanda kesembuhan.
Sedangkan petugas IB tidak dapat mengetahui akses informasi kesembuhan
ternak gangrep tersebut apabila petugas gangrep tidak melaporkannya
melalui ISIKHNAS.

Limitasi atau keterbatasan analisa dalam makalah ini yang pertama


adalah minimnya laporan kesembuhan dari ternak yang di diagnose
mengalami gangguan reproduksi, sehingga tidak dapat dibandingkan secara
nyata jumlah pola pelaporan melalui isikhnas dan pelaporan manualnya.
Analisis laporan kebuntingan yang tidak dilakukan secara real time juga tidak
sesuai dengan jumlah pelaporan melalui isikhnas terutama umur kebuntingan
dan jarak waktu pelaporan PKB dari waktu pelaporan IB. Hal tersebut dapat
dimungkinkan jika petugas belum melaporkan pelaksanaan IB sampai
dilakukan PKB terhadap ternak yang sama. Sedangkan alasan sebenarnya
terkait keterlambatan pelaporan IB tersebut tidak dapat disampaikan dalam
makalah ini dan diperlukan kajian lanjutan untuk dapat mengidentifikasi
permasalahan tersebut sehingga dapat diperoleh informasi yang lengkap
serta rekomendasi terkait solusi dari permasalahan tersebut.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
249
SIMPULAN DAN SARAN

Dari kajian diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ;


1. Jumlah pelaporan ternak yang mengalami gangrep melalui ISIKHNAS
dan data laporan Manual tidak berbeda jauh, sehingga dapat diasumsikan
bahwa petugas gangrep mampu melaporkan hasil kegiatannya melalui
ISIKHNAS. Perbedaan jumlah laporan yang terjadi kemungkinan
disebabkan oleh adanya duplikasi pelaporan.

2. Jumlah laporan kesembuhan ternak gangrep melalui ISIKHNAS


kemungkinan disebabkan adanya interpretasi bahwa indikator
kesembuhan dapat dilihat dari pelaksanaan IB. hal tersebut dapat
menimbulkan permasalahan bagi petugas IB yang mengharapkan akses
informasi kesembuhan dari petugas gangrep.
3. Kelemahan koordinasi antar lini pelaksana kegiatan penanganan
gangrep dan IB sangat kuat terlihat dari banyaknya ternak gangrep yang
sembuh namun tidak dilanjutkan dengan IB melalui data ISIKHNAS di
Lombok Tengah tahun 2017.
4. Jumlah pelaporan melalui Isikhnas antara umur kebuntingan dan jarak
waktu pelaksanaan IB ke PKB tidak sesuai yang menunjukkan petugas
belum melaporkan kegiatan tersebut secara real time.

Saran dan rekomendasi yang dapat disampaikan terkait efektifitas


penggunaan ISIKHNAS sebagai sistem pelaporan dalam program UPSUS
SIWAB antara lain sebagai berikut ;
1. Potensi selisih pelaporan pelaksanaan kegiatan dalam UPSUS SIWAB
sangat mungkin terjadi akibat duplikasi pelaporan yang dilakukan
petugas lapangan, sehingga dirasa perlu dilatih dan ditunjuk petugas
verifikator yang fungsinya adalah melakukan validasi laporan baik
ditingkat lapangan atau kabupaten supaya data yang masuk ke server
ISIKHNAS merupakan data yang sudah valid. Hal tersebut perlu
dilakukan atau diperkuat lagi melalui harmonisasi ataupun pelatihan
mekanisme pelaporan karena sistem pembayaran operasional kegiatan
program UPSUS SIWAB di tahun 2018 akan menggunakan laporan
yang masuk dalam ISIKHNAS sepenuhnya. Potensi kesalahan jumlah
laporan pelaksanaan kegiatan akan berpengaruh pada kelebihan atau
bahkan kekurangan pembayaran biaya operasional.
2. Peningkatan pemahaman alur laporan atau langkah – langkah laporan
melalui ISIKHNAS yang benar harus ditanamkan kembali kepada
seluruh petugas sehingga tidak terjadi kesalahan komunikasi dari hasil
pelaksanaan kegiatan yang berkelanjutan ini. Pelaksanaan kegiatan
Refresh atau penyegaran yang berkelanjutan akan sangat membantu
menyelesaikan masalah komunikasi dan pemahaman ini.

250 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
3. Kelemahan koordinasi antar lini petugas dalam program UPSUS SIWAB
kemungkinan dapat diatasi dengan komunikasi verbal atau formal tanpa
melalui ISIKHNAS, namun dalam rangka efektifitas proses monitoring
dan evaluasi tingkat Nasional akan sangat membantu apabila seluruh
pelaporan dapat disampaikan melalui ISIKHNAS. Sehingga penerapan
penggunaan ISIKHNAS ini dapat tekankan kembali ke seluruh pihak
terkait melalui sosialisasi dan melalui kebijakan penggunaan ISIKHNAS
secara mutlak dalam program UPSUS SIWAB.

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam penulisan makalah ini, penulis tidak dapat menyelesaikannya tanpa


bantuan dari pihak berkepentingan lainnya. Untuk hal tersebut penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada Kepala Balai dan seluruh jajaran
Balai Besar Veteriner Denpasar, seluruh staf medik veteriner, petugas ATR,
PKB dan IB dilingkup Dinas Pertanian Kab. Lombok Tengah serta tim
Champion Pusat yang telah berkontribusi terkait kegiatan UPSUS SIWAB
dan manajemen pelaporan Isikhnas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2018., Pedoman Umum Pelaksanaan UPSUS SIWAB tahun


2018, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian, Jakarta, 2018.

Tjok Gede Oka Pemayun, I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana, I Made Kota
Budiasa, 2014., Waktu Inseminasi Buatan yang tepat pada Sapi Bali
dan Kadar Progesteron pada Sapi Bunting.,Jurnal Veteriner September
2014. Vol. 15 No. 3 : 425-430. ISSN : 1411 – 8327.

Isikhnas ., 2018., Manfaat dari ISIKHNAS., Wiki. ISIKHNAS.Com/w/


What_Are_The_Benefits%3F/id.

Setyo Utomo ., 2017. Pemeriksaan Kebuntingan., Bahan Presentasi., Http://


andzoc.com/pemeriksaan-kebuntingan-by-setyo-utomo.html

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
251
252 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL SERO SURVEILANS DALAM RANGKA PEMBEBASAN
BRUCELLOSIS DI PROPINSI BANTEN TAHUN 2012 – 2017
Yuliyanti, Panus., A, MSi., Rahmawan A, Sodirun, MP., Selviyanti.Maryamah, E.,

(Alamat email : yuliyanti1998@gmail.com)

Seperti kita ketahui bahwa penyakit Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang perlu
diwaspadai baik pada ternak maupun manusia, karena penyakit ini dapat menyebabkan keguguran
di usia kebuntingan 5-7 bulan. Sehingga pada ternak penyakit ini dapat mengakibatkan kerugian
ekonomis yang cukup besar bagi peternak. Selain itu penyakit Brucellosis termasuk ke dalam 22
jenis Penyakit hewan menular strategis yang ada di Indonesia sesuai dengan Keputusan menteri
Pertanian No 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang PHMS di Indonesia. Propinsi Banten sebagai salah
satu Propinsi di Pulau Jawa dengan jumlah populasi ternak yang cukup tinggi untuk sapidan kerbau
sehingga mempunyai potensi besar dalam perdagangan/ekspor ternak. Syarat suatu wilayah dapat
ekspor ternak antar Negara adalah bebas terhadap penyakit salah satunya adalah Brucellosis. Oleh
karena itu Balai Veteriner Subang dalam rangka mendukung Propinsi Banten dalam penyelenggaraan
perdagangan dan dalam rangka pengendalian penyakit zoonosis melakukan Survei pembebasan
Brucellosis di Propinsi Banten. Tujuan dari surveilans ini adalah untuk mengetahui tingkat prevalensi
penyakit Brucellosis di Propinsi Banten selama 5 tahun (2012-2017).

Metode surveilans yang dilakukan adalah metode surveilans bertahap selama 5 tahun, tahun
2012 dilakukan dengan survei prevalensi (n=4PQ/L2), tahun 2013 – 2017 adalah survei deteksi
penyakit. Metode pengujian yang digunakan sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 828/
Kpts/OT.210/10/98 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Hewan Keluron Menular (Brucellosis)
pada ternak adalah pengujian dengan metode RBT, MRT dan CFT serta metode lain yang dapat
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan (Ditjennak 1998).

Dari hasil surveilans tahun 2012 - 2017dapat diketahui bahwa prevalensi Brucellosis di Propinsi
banten tahun 2012 sebesar 0 % dari jumlah sampel yang diambil sebanyak 5290, hasil surveilans tahun
2013-2014diperoleh prevalensi Brucellosis sebesar 0 % dari jumlah sampel yang diambil sebanyak
1.046, dan hasil surveilanstahun 2015-2016 diperoleh prevalensi sebesar 0,011 %, sedangkan hasil
surveilans tahun 2017 diperoleh prevalensi sebesar 0,011 %. Dari hasil surveilans yang dilakukan
oleh Balai Veteriner Subang selama 5 tahun tingkat prevalensi Brucellosis di propinsi banten di
bawah 0,2 %, maka dari itu Propinsi Banten dapat diusulkan untuk Pembebasan Brucellosis di tahun
2018.


PENDAHULUAN


Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL) 253
        
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018

        


Penyakit Brucellosis merupakan penyakit hewan menular yang ditandai
oleh abortus (keluron) pada kebuntingan tua. Penyakit ini dapat menyerang
semua jenis hewan/ternak termasuk diantaranya Sapi, Kerbau, Kambing
dan Domba bahkan dapat menular ke manusia sehingga termasuk kedalam
penyakit zoonosis. . Penyakit ini menjadi masalah di kalangan peternak,
antara lain karena : (a) sudah menyebar luas ke 25 propinsi di Indonesia,
(b) ada kesan sulit di diagnosa maupun diobati, (c) menghambat laju
populasi ternak, (d) tidak sedikit menimbulkan kerugian ekonomi dan (e)
menular pada manusia (zoonosis) (Setiawan, 1989) . Kerugian ekonomi
akibat brucellosis pada sapi dapat terjadi antara lain karena: (a) abortus, (b)
sterilitas dan infertilitas, (c) kematian dini anak-anak sapi dan (d) penurunan
dan penghentian produksi (Ristic & McIntyre, 1981).Selain Itu kejadian
abortus pada sekelompok sapi yang sedang bunting dapat mencapai 5-90%,
tergantung pada frekuensi penularan, virulensi kuman, kondisi inang dan
sebagainya (Subronto, 1985).

Brucellosis pada sapi disebabkan oleh sejenis kuman (bakteri) yang


disebut Brucella abortus. Kuman ini tergolong genus Brucella, famili
Brucella ceae . Sifat-sifat kuman ini adalah : Gram negatif, berbentuk
batang halus (kokus basilus), panjang 0,6- 1,5 mikron dan lebar 0,5-0,7
mikron (Meyer, 1984). Gejala yang utama dari brucellosis pada sapi adalah
abortus pada umur kebuntingan 6 - 7 bulan ke atas. Abortus sendiri terjadi
karena rapuhnya pertautan placenta fetalis dengan placenta maternalis
sehingga terpisah sebagai akibat bersarangnya kuman brucella di tempat itu
. Setelah abortus 2 - 3 kali biasanya infeksi menjadi menetap atau kronis,
tidak memperlihatkan tanda-tanda klinik dan sapi yang bersangkutan dapat
kembali bunting normal. Akan tetapi sapi-sapi demikian tubuhnya terus
menerus mengeluarkan kuman brucella yang bersifat patogen bagi sapi lain
maupun bagi manusia (dikenal dengan sapi carrier) (Ristic & McIntyre, 1981)
. Gejala klinis brucellosis pada sapi jantan adalah radang pada epididimis,
radang testis (orchitis) dan pembengkakan pada persendian lutut (arthritis)
. Kelainan patologis yang ditemukan pada placenta adalah perdarahan,
nekrose dan ada eksudat bersifat purulen . Pada foetus yang diabortuskan
terjadi autolisis, oedema, haemorhagis pada tenunan dan jaringan tubuh serta
permukaannya dipenuhi oleh mukonium. Pada kelenjar limfe, hati, limpa
dan sumsum tulang serta bagian-bagian lain dari sistem retikulo endotelial
terbentuk nodul granulomotose yang dikenal dengan brucerkel (benjolan)
dan dalam keadaan yang lebih buruk lagi terjadi abses (Fensterbank,
1987).

Menurut OIE, suatu negara atau wilayah (zone) dapat memperoleh


status bebas dari Brucellosis jika memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam Terrestrial Animal Health Code(2011), Chapter 11.3 Article 11.3.2,
yaitu sebagai berikut:

254 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
1. Brucellosis merupakan penyakit yang wajib dilaporkan dalam suatu
negara;
2. Seluruh populasi sapi pada suatu negara atau zone berada dibawah
kendali otoritas veteriner resmi (official veterinary control) dan
dipastikan bahwa prevalensi infeksi Brucellosis tidak melebihi 0,2%
pada semua kelompok (herds) sapi pada suatu negara atau wilayah
(zone) yang bersangkutan;
3. Uji serologis terhadap Brucellosis pada sapi dilakukan secara periodik
pada setiap kawanan (herd), dengan atau tanpa uji MRT;
4. Tidak ada hewan yang divaksinasi Brucellosis selama sekurang-
kurangnya tiga tahun terakhir.
5. Semua reaktor harus dipotong;
6. Hewan yang masuk ke negara atau wilayah (zone) bebas hanya berasal
dari kelompok (herd) yang secara resmi dinyatakan bebas Brucellosis
atau dari kawanan bebas Brucellosis. Ketentuan ini dapat diabaikan
untuk hewan-hewan yang belum divaksinasi, sebelum masuk diisolasi
dan dilakukan uji serologis untuk bovine Brucellosisdengan hasil negatif
pada dua kali pengujian, dengan interval 30 hari antara masing-masing
uji. Pengujian ini tidak dianggap sah pada hewan-hewan betina yang
baru saja melahirkan dalam kurun 14 hari terakhir.

Propinsi Banten sebagai salah satu Propinsi di Pulau Jawa dengan


jumlah populasi ternak yang cukup tinggi untuk sapi dan kerbau sehingga
mempunyai potensi besar dalam perdagangan/ekspor ternak. Syarat suatu
wilayah dapat ekspor ternak antar Negara adalah bebas terhadap penyakit
salah satunya adalah Brucellosis. Oleh karena itu Balai Veteriner Subang
dalam rangka mendukung Propinsi Banten dalam penyelenggaraan
perdagangan dan dalam rangka pengendalian penyakit zoonosis melakukan
Survei pembebasan Brucellosis di Propinsi Banten tahun 2012-2017.

TUJUAN

Tujuan dari kegiatan ini adalah dalam rangka survei pembebasan


penyakit Brucellosis di Propinsi Banten dan dalam rangkamengetahui
tingkat prevalensi penyakit Brucellosis serta mengetahui reactor Brucellosis
di Propinsi Banten selama 5 tahun (2012-2017).

MATERI DAN METODE

Materi

Materi yang digunakan dalam kegiatan ini berupa sampel hasil Surveilans
Penyakit Brucellosis di Propinsi Banten Selama Lima Tahun (2012 – 2017),
sampel yang digunakan berupa serum yang diambil dari hewan sapi potong
dan sapi perah yang diambil dari beberapa peternakan di 8 kabupaten/kota
di Propinsi Banten dengan unit sampling terkecil yang digunakan adalah
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
255
desa. Bahan Pengujian yang digunakan berupa Antigen Brucella Abortus
dari Pusvetma.

Tabel 1. Jumlah populasi sapi yang ada di Provinsi Banten pada tahun 2012

No Kabupaten/Kota Jumlah Populasi


1 Kabupaten Pandeglang 28.198
2 Kabupaten Serang 5583
3 Kabupaten Tangerang 3651
4 Kota Tangerang 1387
5 Kota Tangerang Selatan 920
6 Kabupaten Lebak 920
7 Kota Cilegon 687
8 Kota Serang 167
Total 41.513

Sumber : data Badan Pusat Statistik 2012

Metode

Survei pembebasan yang dilakukan di Propinsi Banten dilakukan


secara bertahap yaitu pada tahun pertama (2012) dilakukan survei untuk
mengetahuiprevalensi dengan menggunakan rumus (n=4PQ/L2, dimana
n = jumlah populasi, P = prevalensi, Q = 1-prevalensi, L = galat standar
error, Perhitungan sampel menggunakan metode 5 tahapan ganda yaitu
negara, provinsi, kabupaten/kota, Kecamatan, kelurahan dan desa). Survei
selanjutnya adalah survei deteksi penyakit yang dilakukan pada tahun
2013-2017dihitung dengan sistem komputerisasi menggunakan program
Win Episcope Online dan juga dilakukan Surveilans Sensus pada desa
reaktor pada tahun 2013, 2014, 2015 dan 2017.Pada setiap tahapan apabila
ditemukan ada reaktor akan dilakukan pemotongan bersyarat (test and
slaughter).

Metode Pengujian penyakit Brucellosis yang digunakan di B-Vet


Subang yaitu metode screening RBT, Elisa Brucellosis dan metode pasti
CFT dan Isolasi Brucellosis dan PCR Brucella. Hal ini mengacu pada:

a. Keputusan Menteri Pertanian No. 828/Kpts/OT.210/10/98 tentang


Pedoman Pemberantasan Penyakit Hewan Keluron Menular (Brucellosis)
pada Ternak, untuk kepentingan pengamatan penyakit secara serologis
dilakukan melalui pengujian dengan metode RBT, MRT dan CFT serta
metode lain yang dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan
(Ditjennak 1998).
b. Uji yang umum digunakan untuk deteksi brucellosis antara lain uji
Rose Bengal Test (RBT), serum agglutination test (SAT), Enzyme
256 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Link Imunosorbent Assay (ELISA), Fluorescence polarisation assay,
Complement Fixation Test (CFT), Polimerase Chain Reaction (PCR)
dan Brucella Milk Ring Test (BMRT) serta isolasi dan identifikasi
bakteri penyebab. Masing –masing uji memiliki keterbatasan terutama
bila dilakukan untuk menapis hewan secara individual (OIE 2008).
c. Metode uji serologis yang dianjurkan OIE untuk perdagangan
internasional adalah Buffer Brucellla Antigen Test, CFT, ELISA dan
Fluorescence polarisation assay.
d. Isolasi B.abortus pada sapi dilakukan dengan mengirimkan cairan,
membran fetus, susu, kelenjar limfe supramamaria dalam keadaan segar
dan dingin ke laboratorium (Nielsen 2002).
e. Dapat pula dilakukan dengan metode PCR.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil sero surveilans Penyakit Brucellosis yang dilakukan di Balai


Veteriner Subang selama lima (2012-2017) adalah sebagai berikut:

A. Hasil Sero Surveilans Prevalensi Tahun 2012

Besaran sampel untuk surveilans prevalensi tahun 2012 dilakukan


dengan menggunakan rumus (n = 9PQ/ L2, dimana n = Besaran sampel, P
= prevalensi/estimasi: 1%, Q = 1-prevalensi, L = galat/ standar error 1%);
maka diperoleh besaran sampel sebesar 891 sampel.Perhitungan besaran
sampel tersebut menggunakan strategi 5 tahapan ganda maka menurut
Martin et a/ (1987)hasil perhitungan tersebut dikalikan dengan 5 sehingga
jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 891 x 5 = 4.455 ekor sapi atau
dibulatkan menjadi 5000 ekor sapi.

a. Populasi target (target population)

Populasi sapi yang menjadi target pengambilan sampel adalah sapi


yang ada di 4 kabupaten/kota di Provinsi Banten (50%). Angka populasi sapi
yang digunakan adalah jumlah populasi pada tahun 2012, kemudian ditiap
kabupaten/kota akan diambil sampel berdasarkan perhitungan proporsi.

Rumus perhitungan jumlah sampel proporsi dari tiap kabupaten/kota


adalah sebagai berikut :
Besaran sampel (proporsi) = Jumlah populasi per tiap kab/kota x 5.000
Jumlah Populasi total kab/kota

Populasi sapi dan proporsi pembagian besaran sampel yang diambil


dan diurutkan berdasarkan jumlah populasi sapi terbanyak dapat dilihat pada
Tabel 2.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
257
Tabel 2. Populasi dan poporsi sampel tahun 2012

Jumlah Populasi Besaran Sampel Berdasarkan
No Kabupaten/Kota
(ekor) proporsi
1. Kabupaten Pandeglang 28.189 3.631
2. Kabupaten Serang 5.583 720
3. Kabupaten Tangerang 3.651 470
4. Kota Tangerang 1.387 179
  Total 38.810 5.000

Empat kabupaten/kota terpilih berdasarkan urutan jumlah populasi terbanyak


adalah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang,
dan Kota Tangerang. Strategi sampling yang digunakan adalah Probability
Proportional Sampling, Simple Random Sampling dan Cluster.

b. Hasil Uji Laboratorium

Sebanyak 5000 sampel yang diambil dari 4 kabupaten/kota kemudian


diuji RBT dan CFT. Hasil pengujian Brucellosis sampel serum pada tahun
2012 dapat dilihat pada Tabel 3.

JUMLAH HASIL UJI RBT HASIL UJI CFT


NO KABUPATEN
SAMPEL POSITIF NEGATIF POSITIF NEGATIF
1 Pandeglang 2450 0 2450 - -
2 Tangerang 1690 0 1690 - -
3 Serang 778 0 778 - -
4 Kota Tangerang 291 0 291 - -
Total 5209 0 5209 - -

Dari tabel 3 diatas terlih, dari jumlah sampel yang ditargetkan


untuk surveilans tahun 2012 minimal adalah 5.000 yang diperoleh adalah
sebanyak 5.209 sampel. Semua sampel tersebut diuji RBT dan CFT, dan
hasilnya menunjukkan seropositif = 0, yang berarti tidak ditemukan reaktor
Brucellosis. Sehingga prevalensi Brucellosis pada tahun 2012 adalah (0/
5209) x 100% = 0%.

Karena dari surveilans prevalensi tahun 2012 adalah = 0%, maka untuk
kegiatan surveilans selanjutnya adalah langsung diteruskan dengan kegiatan
sampling untuk mendeteksi penyakit (detect disease) Brucellosis. Surveilans
ini dilakukan selama 4 tahun berturut-turut yaitu tahun 2013-2016.

258 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
B. Surveilans Deteksi Penyakit Tahun 2013 - 2014

Kegiatan sampling tahun ini merupakan surveilans lanjutan yang


bertujuan untuk mendeteksi penyakit dan memastikan tidak ada reaktor
Brucellosis. Unit sampling yang digunakan adalah desa dan perhitungan
besaran sampel dilakukan dengan menggunakan program WinEpiscope.
Sampel diambil sebanyak 5-10 ekor/desa dari sapi yang berumur > 8 bulan
secara purposive.

Tabel 4. .Hasil pengujian surveilans deteksi penyakit pada 57 desa di 8


kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2013-2014

No Kabupaten/ Kota Realisasi Desa/ ekor (sampel)

Desa Sampel (ekor) Hasil uji CFT Keterangan

1 Cilegon 6 50 Negatif Negatif

2 Kota Serang 1 24 1 positif dipotong bersyarat

3 Kota Tangerang 2 76 Negatif Negatif

4 Kota Tangerang Selatan 4 70 Negatif Negatif

5 Lebak 16 417 Negatif Negatif

6 Pandeglang 1 65 Negatif Negatif

7 Serang 5 110 Negatif Negatif

8 Tangerang 22 594 2 positif dipotong bersyarat

Jumlah 57 1.406

Berdasarkan tabel diatas, hasil surveilans deteksi disease yang dilakukan


di 57 desa dari 8 kabupaten/kota di Banten menunjukkan dari 1.406 sapi
yang diuji terdeteksi ada 3 sampel yang positif yaitu dari 1 ekor sapi dari Kota
Serang dan 2 ekor sapi dari Kabupaten Tangerang. Untuk 3 ekor sapi reaktor
tersebut dilakukan tindakan pemotongan bersyarat di Rumah Potong Hewan
dengan pengawasan Dokter Hewan dari Dinas Provinsi yang diberikan
kewenangan. Sebagai catatan bahwa asal sapi yang positif Kota serang : sapi
transit dari Jateng, dibeli orang Lampung (tidak termasuk sample size, kasus
dianggap 0), dan juga sapi asal dari Kabupaten Tangerang tersebut berasal
dari Kabupaten. Bogor, transit di Kab. Tangerang akan dikirim ke Riau, tidak
termasuk sample size sehingga prevalensinya 0 %.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
259
Tabel 5. Jumlah reaktor yang ditemukan dari hasil surveilans deteksi
penyakit di Provinsi Banten tahun 2013-2014

No Kabupaten/kota Kecamatan Desa Jumlah reaktor


1 Kota Serang Taktakan Drangong 1
2 Tangerang Panongan Mekar Bakti 1
3 Tangerang Jambe Pasir Barat 1
Jumlah 3

C. Surveilans Sensus tahun 2013 dan 2014

Sebagai tindak lanjut dari temuan hasil surveilans deteksi penyakit pada
tahun 2013, maka ditahun yang sama dilakukan surveilans sensus terhadap
desa yang ditemukan reaktor dengan melakukan pengambilan sampel pada
seluruh populasi sapi potong di desa tersebut yang berumur > 8 bulan. Hasil
pengujiannya terlihat pada tabel 5 dibawah ini.

Tabel 6. Hasil pengujian sampel surveilans sensus tahun 2013-2014 dari


seluruh populasi sapi yang berasal dari 3 desa di 2 kebupaten/
kota yang ditemukan ada reaktor pada surveilans deteksi penyakit
diawal tahun 2013

No Kabupaten/kota Kecamatan Desa Jumlah Jumlah Jumlah Keterangan


sampel CFT(-) CFT(+)
1 Kota Serang Taktakan Drangong 14 14 0 Negatif
2 Tangerang Panongan Mekar Bakti 149 149 0 Negatif
3 Tangerang Jambe Pasir Barat 27 27 0 Negatif

Jumlah 190 190 0

Hasil pengujian terhadap sampel dari kegiatan surveilans sensus dari


3 desa di 2 kabupaten/kota yaitu desa Drangong di Kota Serang dan desa
Mekarbakti dan desa Pasir Barat di Kabupaten Tangerang terlihat total
seluruh sampel sebanyak 190 yang terdiri dari 14 serum dari Drangong, 149
serum dari Mekar Bakti dan 27 dari Pasir Barat menunjukkan semuanya
seronegatif Brucellosis. Hal ini berarti tidak ditemukan kembali reaktor di
3 desa tersebut.

260 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
D. Surveilans proporsi tahun 2015-2016

Setelah pelaksanaan surveilans deteksi penyakit dan surveilans sensus


terhadap desa yang ditemukan reaktor pada tahun 2013-2014, maka pada
tahun 2015 dan 2016 dilaksanakan surveilans sensus terhadap seluruh populasi
sapi (potong dan perah) yang ada di semua desa di Provinsi Banten. Hal ini
dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa dana yang untuk melakukan
kegiatan surveilans tersebut cukup yang dibiayai oleh Dinas Peternakan
Provinsi Banten dan Balai Veteriner Subang. Pengambilan sampel dilakukan
di 8 Kabupaten/kota dan diambil dari tiap desa yang ada di setiap kecamatan
yang memiliki populasi sapi baik sapi potong maupun sapi perah.

Tabel 7. Hasil pengujian sampel surveilans proporsi tahun 2015-2016


dari populasi sapi yang berasal dari 8 kabupaten/kota di Provinsi
Banten

No Kabupaten/ Jumlah Jumlah Populasi Realisasi Hasil Ket


  Kota Kecamatan desa   Jumlah Jumlah RBT CFT  
          desa (ekor) Sero(+) Sero(-)    
1 Kab. Pandeglang 35 313 10.169 178 2.565 1 2.564    
2 Kota Serang 8 36 654 20 1.207 2 1.205    
3 Kab. Tangerang 21 151 3.619 96 2.369 0 2.369    
4 Kota Tangerang 8 35 1.328 3 371 0 371    
Kab. Tangerang
5 7 44 920 19 376 0 376    
Selatan
dipotong
6 Kab. Lebak 15 42 1.143 31 843 1 842 1
bersyarat
7 Kab. Cilegon 7 32 748 22 536 0 536    
8 Kota Serang 6 50 190 14 409 0 409    
  JUMLAH 107 703 18.771 383 8.676 4 8.672    

Selama periode 2015-2016, sebanyak 8.676 (49%) sampel serum dari


18.771 populasi sapi yang diambil dari 383 (52,7%) dari total 703 desa yang
memiliki populasi sapi. Dari 8.676 sampel yang diuji, ditemukan hanya 1
ekor reaktor brucellosis (sapi potong) yang berasal dari Desa Kalanganyar,
Kecamatan Rangkas Bitung, Kabupaten Lebak. Sapi tersebut sudah
dijual dan dipotong dibawah pengawasan dokter hewan dan untuk bagain
jeroannya dimusnahkan. Sehingga prevalensi brucellosis untuk tahun 2015-
2016 adalah (1/8.676) x 100% = 0.015%. Hasil Surveilans tahun 2017 dapat
dilihat pada tabel 7. Hasilnya terdapat 1 serum positif brucellosis, dengan
prevalensi 0,015 % .

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
261
No KABUPATEN NEGATIF POSITIF JUMLAH
1 Kota Serang 31 1 32
2 Kota Tangerang Selatan 152   152
3 lebak 109   109
4 Pandeglang 122   122
5 Tangerang 125   125
6 Serang 130   130
7 Kota Tangerang 152   152
8 Cilegon 152   152
JUMLAH 973 1 974

KESIMPULAN

Berdasarkan data-data hasil surveilans yang sudah dilaksanakan dapat


disimpulkan sebagai berikut:
1. Prevalensi Brucellosis di Provinsi Banten tahun 2012 adalah (0/ 5290) x
100% = 0% ;
2. Prevalensi Brucellosis di Provinsi Banten tahun 2013-2014 adalah (0/
1046) x 100% = 0%
3. Prevalensi Brucellosis di Provinsi Banten tahun 2015-2016 adalah (0/
8.676) x 100% = 0,015%
4. Prevalensi Brucellosis di Provinsi Banten tahun 2017 adalah (0/ 8.676)
x 100% = 0,015%
5. Selama periode 2012-2016, prevalensi brucellosis di provinsi Banten
<0,2%
6. Seluruh sapi yang terdeteksi positif brucellosis (reaktor) sudah dilakukan
pemotongan bersyarat
(test and slaughter);
7. Tidak ada vaksinasi dalam kurun 3 (tiga) tahun terakhir.

Berdasarkan angka prevalensi tersebut diatas dan sesuai dengan


ketentuan Terrestrial Animal Health Code Chapter 11.3 Article 11.3.2 maka
Provinsi Banten dapat diusulkan untuk dinyatakan bebas Brucellosis Tahun
2018.

SARAN

1. Surveilans Brucellosis berbasis risiko (Risk Based Surveillance) di


Provinsi Banten harus dilaksanakan secara terus menerus sebagai
kewaspadaan dini terhadap munculnya kasus baru Brucellosis, misalnya
didaerah yang pernah ada kasus pada masa lalu, pasar hewan, atau
daerah perbatasan dengan Provinsi Aceh.
2. Pelaksanaan test and slaughter agar dilaksanakan sesuai ketentuan yang
berlaku yang telah ditetapkan.
262 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
3. Peran serta masyarakat peternak sangat diharapakan yaitu dengan
segera melaporkan kepada petugas / instansi yang membidangi fungsi
kesehatan hewan di wilayah masing-masing apabila mengetahui adanya
ternak sapi yang menunjukkan tanda-tanda klinis seperti keguguran,
kawin berulang, sehingga dapat segera ditindaklanjuti oleh petugas atau
dinas setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus 2. 2000. Pedoman Surveilans dan Monitoring Brucellosis pada


sapi dan kerbau. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal
Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta

Bellanti JA.1993. Immunology III. Wahap AS, penerjemah. Yogyakarta.


Gajah Mada University Press

Cameron, A.R, Survey Toolbox - A Practical Manual and Software Package


for Aktive Surviellance of Livestock Diseases in Developing
Countries, ACIAR Monograph No 54, 330 p, 1999

Cameron, A.R, WinEpiscope - A Practical Manual and Software Package for


Aktive Surviellance of Livestock Diseases in Developing Countries,
ACIAR Monograph No 54, 330 p, 1999

Dewi, A.K. 2009. Kajian Brusellosis pada Sapi dan Kambing Potong yang
Dilalulintaskan di Penyeberangan Merak Banten. Tesis. Institut
Pertanian Bogor.

[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 1998. Pedoman Teknis


Pemberantasan Brucellosis di Indonesia. Jakarta: Ditjennak Deptan.

DOLAN L.A. (1980). Latent carriers of Brucellosis. Veterinary records,


106, 241 - 243 OIE, 2011. Terrestrial Animal Health Code, Chapter
11.3, Article 11.3.2 OIE, 2000. Chapter 6, Surveillance of Bovine
Brucellosis

[Kepmentan] Keputusan menteri pertanian. 2013. Penetapan penyakit


menular strategis. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.

[OIE] Office International et epizootics . 2004. Teresterial Animal Health


Code. OIE Am . J.

Fensterbank, R. 1987. Brucellosis in cattle, sheep and goats. Technical Series


No . 6. O.I .E . Paris.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
263
Frienchick, P.J ., R.J .F . Markham and A.H. Cocharane 1985 . Inhibition
of phagosom lisosom fusion in macrophages by soluble extracts of
virulent B. abortus. Am . J. Vet . Res. 46 (3) :332-335.

Meyer, M.E . 1984. Bruccella . I n Carter, G.R . (Edit) .Diagnosis Procedures


in Veterinary Bacteriology and Mycology. 4th ed. Charles C. Thomas
Publisher. Springfield, Ilinois .

Ristic, M. and I . McIntyre . 1981 . Diseases of Cattlein the Tropics . Economic


and Zootic Relevance. Martinus Nijhoff Publisher . Boston, London .

Siregar EA. 2000. Pendekatan Epidemilogik Pengendalian brucellosis Untuk


Meningkatkan Populasi Sapi di Indonesia. Bogor.

Tono, K.PG., dan Suarjana, I.G.K. 2008. Ilmu Penyakit Bakterial. Fakultas
Kedokteran Hewan Universiotas Udayana. Denpasar, Bali.

264 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
IDENTIFIKASI VIRUS REASSORTANT H5N1 CLADE 2.3.2.1C
DARI OUTBREAK HIGHLY PATHOGENIC AVIAN INFLUENZA
PADA UNGGAS DI INDONESIA TAHUN 2015-2016
Hendra Wibawa1, Rama Dharmawan1, Herdiyanto Mulyawan1, Trian Mahawan2,
Eko A Srihanto3, Yuli Miswati4, Nensy M Hutagaol5, Arif Riyadi6, Dinar H.W. Hartawan7,
Ferra Hendrawati8, Deswarni9, Farida C Zenal10, Nining Hartaningsih10, Bagoes Poermadjaja1.

1
Balai Besar Veteriner Wates, 2 Balai Veteriner Subang, 3 Balai Veteriner Lampung,
4
Balai Veteriner Bukittinggi, 5 Balai Veteriner Medan, 6 Balai Veteriner Banjarbaru,
7
Balai Besar Veteriner Denpasar, 8 Balai Besar Veteriner Maros,
9
Balai Kesehatan Hewan dan Ikan Jakarta, 10 FAO Indonesia, Jakarta
Korespodensi penulis pertama: hendra.wibawa@pertanian.go.id

ABSTRAK

Salah satu sifat virus avian influenza (AI), termasuk virus dari kelompok ganas atau highly
pathogenic AI (HPAI) subtipe H5N1, adalah kemampuan untuk terus berubah melalui mekanisme
mutasi (mutation) dan persilangan/reasorsi (reassortment) genetik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkharakterisasi virus-virus H5N1 terkini dengan pendekatan whole genome sequencing dan
analisis bioinformatika virus AI. Teknik Next Generation Sequncing (NGS) digunakan untuk
sekuensing sampel-sampel yang dikoleksi oleh Balai Besar Veteriner/Balai Veteriner di seluruh
Indoesia dari kasus kematian unggas yang meningkat dari Desember 2015-April 2016. Hasil sekuens
penuh (full-length) genom virus AI (terdiri dari 8 segmen: PB2, PB1, PA, HA, NP, NA, MP, NS) diblast
dalam database genom influenza di Genbank, dilanjutkan analisa filogenetik, dan kharakterisasi
asam-asam amino yang berperan dalam patogenesis virus HPAI. Hasil studi menunjukkan bahwa
reassorsi genetik teridentifikasi pada beberapa segmen gen internal (PB2, M dan NS) dari virus
H5N1 yang saat ini dominan ditemukan pada unggas di Indonesia (clade 2.3.2.1) dengan virus H5N1
yang dideteksi sebelumya (clade 2.1.3.2). Selain itu juga terdeteksi adanya virus-virus reassortant
HPAI H5N1 Clade 2.3.2.1 yang memiliki segmen gen internal PB2 yang diduga berasal dari virus
low pathogenic AI (LPAI). Hasil ini mengindikasikan adanya sirkulasi bersama beberapa virus AI
dari jenis clade dan subtipe yang berbeda-beda sebelum terjadi peningkatan outbreak HPAI pada
awal 2016, yang berdampak terjadinya infeksi campuran (co-infection) pada satu spesies inang
sehingga menghasilkan virus-virus reassortant. Surveilans pada aras molekuler sangat dibutuhkan
untuk terus memonitor perkembangan evolusi virus AI di Indonesia

Kata Kunci: Avian influenza, clade 2.3.2.1c, reassortment, whole genome sequencing, NGS.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang masih melaporkan


outbreak penyakit highly pathogenic avian influenza (HPAI) H5N1 ke badan/
organisasi kesehatan hewan dunia atau Office  International des Epizooties
(OIE) sejak Januari 2014. Virus H5N1 clade 2.1 teridentifikasi pada awal
outbreak penyakit HPAI pada unggas di tahun 2003 (Vijaykrishna et al.,
2008). Golongan virus ini berkembang dan berevolusi menjadi beberapa galur
(sublineage) virus dengan clade 2.1.3.2 dominan ditemukan pada unggas dan
beberapa kasus pada manusia sampai tahun 2013 (WHO/OIE/FAO Working
Group, 2014). Tetapi, sebuah strain baru H5N1, yaitu clade 2.3.2.1c, berhasil
dideteksi dari outbreak penyakit HPAI pada peternakan-peternakan itik di
Jawa Tengah dan Jawa Timur pada bulan Agusuts-September 2012 (Wibawa
et al, 2012). Dalam kurun waktu 2013-2014, kedua golongan virus, clade

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
265
2.1.3.2 dan clade 2.3.2.1c, terdeteksi dan terisolasi dari kegiatan monitoring
dan surveilan baik pada unggas dan pasar unggas hidup di Indonesia (FAO,
2014).

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kharakterisasi virus-virus


HPAI H5N1 terkini yang dikoleksi/isolasi dari kasus-kasus kematian unggas
yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tahun 2015-2016. Pendekatan
studi whole genome sequencing dengan teknik next generation sequencing
(NGS) digunakan untuk melihat susunan atau sekuens gen masing-masing
segmen virus AI (PB2, PB1, PA, HA, NP, NA, M dan NS). Penelitian ini
berhasil mendeteksi dan mengidentifikasi adanya reassorsi genetik antar
kelompok/clade (inter-lineage) atau antar subtipe (inter-subtype) virus-virus
HPAI (H5N1) clade 2.3.2.1c di Indonesia.

MATERI DAN METODE

Sebanyak 17 sampel organ dan 4 sampel swabs oropharyngeal dikoleksi


dari 21 jenis bangsa burung/unggas (ayam, itik, entok, puyuh, dan elang)
dari letupan kasus penyakit AI yang terjadi pada peternakan komersial kecil-
menengan (sektor 3) dan peternakan backyard (sektor 4) di Jawa, Sumatra,
Sulawesi, dan Bali dari bulan Desember 2015-April 2016. Karakterisasi virus
AI dilakukan mengikuti prosedur monitoring virus influenza (Influenza Virus
Monitoring/IVM) yang telah dipublikasi sebelumnya (Hartaningsih et al,
2015). Sampel-sampel dari lapangan diambil dari unggas yang menunjukkan
sakit/mati dan dikirim ke BBVet/BVet atau Laboratorium Kesehatan Hewan
tingkat propinsi di Jakarta untuk konfirmasi dan deteksi cepat menggunakan
uji real-time real-time reverse transcription-PCR (RT-PCR) yang telah
terstandarisasi (Hartaningsih et al, 2015). Sampel yang menunjukkan
positif Influenza A subtipe H5 dengan nilai cycle threshold (Ct) < 28 dari
tiap laboratorium selanjutnya dikirim ke Laboratorium Rujukan Nasional
penyakit AI, BBVet Wates, untuk dilakukan sekuensing keseluruhan genom
(whole-genome sequencing ) virus AI. Keseluruhan 8 segmen genome virus
AI, yaitu polymerase basic 1 (PB1) dan polymerase basic 2 (PB2), polymerase
acidic (PA), hemagglutinin (HA), nucleoprotein (NP), neuraminidase (NA),
matrix (M), and non-structural (NS) protein, dilakukan amplifikasi secara
berkesinambungan menggunakan strategi multiplex RT-PCR (Zhou et al.,
2009) dengan reagent PCR SuperScript III One Step RT-PCR Kit (Invitrogen,
Thermo Scientific). Preparasi pustaka DNA dan sekuensing genom AI
dilakukan sesuai prosedur kerja Nextera XT and Miseq Sequencer (Illumina,
San Diego, CA, USA). Penyusunan, edit dan analisis hasil sekuensing
dilakukan dengan software CLC Genomic Workbench v9.0.1 (QIAGEN,
Aarhus, Denmark). Atas persetujuan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, sekuen-sekuen DNA yang telah disusun dan dianalisis
selanjutnya dikirim ke Genbank dengan nomor akses (accession number)
KY614813-KY615003. Analisa filogenetik dengan rekonstruksi Maximum-

266 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
likelihood (ML) tree dengan model substitusi DNA general time reversible
(GTR) + G dan 1000 replikasi bootstrap dilakukan dalam software MEGA
v7.0.21 (Kumar et al., 2016). Analisa homologi DNA dilakukan dengan tool
pencarian dalam BLAST database influenza virus di GenBank (https://blast.
ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi) and GISAID (http://platform.gisaid.org/epi3/
frontend) selanjutnya diikuti dengan kalkulasi jarak genetik menggunakan
analisa p-distance dalam MEGA v7.0.21.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa filogenetik terhadap segmen gen HA menunjukkan bahwa


20 dari 21 sampel virus H5N1 termasuk dalam golongan clade 2.3.2.1c,
dan hanya 1 sampel virus yang dikoleksi dari Deliserdang, Sumatera Utara
(A/quail/Deliserdang/01160025/ 2016) yang terdeteksi dalam clade 2.1.3.2
(Gambar 1). Tidak ada bukti adanya perubahan signifikan pada struktur
permukaan glikoprotein virus AI sebagaimana topologi pohon filogeni dari
segmen gen NA memiliki kesamaan dengan topologi pohon filogeni HA
(Gambar 1).

Gambar 1. Pohon maximum-likelihood gen-gen HA and NA virus-virus


H5N1 yang dikoleksi dari outbreak penyakit pada unggas
di Indoensia (Desember 2015-April 2016). Lingkaran hitam
sebelum taxon virus menunjukkan sampel-sampel virus H5N1
clade 2.3.2.1c, sedangkan kubus hitam menunjukkan sampel
virus H5N1 yang tergolong dalam clade 2.1.3.2. Nilai bootsrap
≥ 70% dari 1,000 replikasi ditunjukkan pada node yang relevan
dan skala bar menunjukkan subtitusi asam nukleat per site.

Analisa filogenetik lebih lanjut pada segmen gen-gen internal virus AI


(PB2, PB1, PA, NP, M dan NS) memperlihatkan bahwa 12 dari 20 virus
H5N1 clade 2.3.2.1c memiliki arah evolusi yang sama dengan segmen
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
267
gen-gen HA dan NA (Gambar 2). Menariknya perbedaan topologi pohon
filogeni dijumpai pada 5 virus Clade 2.3.2.1c yaitu: A/eagle/Jakarta
Timur/20616-III/2016, A/chicken/Majalengka/ 08160070-001/2016, A/
chicken/Kuningan/08160178-003/2016, A/chicken/Subang/08160018-002/
2016, dan A/muscovy duck/Pekalongan/04160460/2016, serta 3 virus
clade 2.3.2.1c lainnya, yaitu: A/chicken/Pati/04160433/2016, A/chicken/
Sukoharjo/04160454/2016, dan A/chicken/Lamongan/ 04160418/2016,
dimana hal ini merupakan indikasi adanya perbedaan asal atau sumber
segmen gen internal, terutama PB2, MP and NS genes (Gambar 2).

Gambar 2. Pohon filogeni maximum-likelihood dari segmen gen M, NS and


PB2 virus H5N1. Topologi filogenetik gen M, NS dan PB2 5
dari 20 virus H5N1 clade 2.3.2.1c viruses berada dalam kluster
clade 2.1.3.2. Khusus gen PB2 dari 3 virus H5N1 clade 2.3.2.1c
terindikasi kemungkinan berasal dari kelompok virus LPAI dan
skala bar menunjukkan subtitusi asam nukleat per site.

268 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Table 1. Homologi asam nukleat dari virus-virus H5N1 clade 2.3.2.1c yang
dipelajari terhadap beberapa rujukan virus AI.
Homology1, %
H5N1 H5N1
H5N1 clade 2.3.2.1c clade clade H5N2 H5N6 H1N1 H7N1 H7N7
Segment
virus name2 and Genotipe3 2.1.3.2 2.3.2.1c
MY118/ JX7376/
SB29/074 DS025/16 SK1428/12 SI188/99 MO47/01 KO152/06
04 03
91.9- 84.2- 84.4- 84.9-
PB2 89.4-90.8 97.8-99.6 84.6-85.6 84.6-85.5
93.5 85.2 85.3 85.6
92.4- 87.6- 87.8- 88.0-
ck/Lampung Utara/03160217/2016 PB1 93.2-95.4 96.3-99.1 89.4-91.5 87.1-89.0
94.8 89.7 89.7 89.9
ck/LampungUtara/03160218/2016
qa/Sukoharjo/04152003/2015 88.6- 89.0- 92.9- 91.9-
PA 87.3-88.2 98.2-99.4 90.4-91.3 92.8-93.8
dk/Sukoharjo/04160290/2016 89.4 89.9 93.7 92.8
ck/Sleman/04160326/2016 ck/ 90.7- 85.5- 61.7- 64.5-
HA 88.2-89.3 97.8-99.7 53.9-54.4 54.6-55.1
Banyuwangi/04160330/2016 92.2 86.7 62.1 65.3
dk/Klaten/04160386/2016 dk/ 94.6- 90.4- 91.5- 89.8-
Lumajang/04160417/2016 dk/ NP 93.4-94.2 98.3-99.1 91.0-92.0 91.7-92.2
95.6 91.4 92.3 90.5
Lamongan/04160434/2016 ck/ 92.6- 51.2- 55.7- 89.7-
Kediri/04160512/2016 dk/ NA 91.1-92.2 98.2-99.6 89.3-90.0 55.7-56.2
93.8 51.7 56.2 90.5
Sidrap/07160336-3/2016 ck/
94.9- 90.8- 91.9- 89.4-
Denpasar/06160095/2016 M 93.1-93.9 98.4-99.7 90.9-91.8 91.0-91.9
95.9 91.8 92.7 90.2
93.9- 91.9- 92.6- 92.9-
NS 92.5-93.8 98.0-99.4 92.6-94.1 92.6-94.4
95.3 93.3 94.1 94.6
94.5- 85.3- 85.0- 85.6-
PB2 97.5-97.7 91.2-91.5 85.5-85.8 85.4-85.7
94,8 85.6 85,5 86.0
94.1- 88.6- 88.9- 89.3-
PB1 94.8-95.4 98.1-98.7 90.6-91.2 88.1-88.7
94.5 89.6 89.4 89.8
88.7- 89.2- 92.5- 91.6-
ea/Jakarta Timur/20616-III/2016 PA 87.5-87.7 98.0-98.4 90.4-90.9 92.6-93.1
89.0 89.3 92.9 91.9
ck/Majalengka/08160070-001/ 91.3- 86.4- 61.2- 64.6-
HA 88.4-88.7 98.1-98.4 54.1-54.3 54.7-54.9
2016 91.5 86.6 61.5 64.9
ck/Kuningan/08160178-003/2016 94.8- 90.7- 91.7- 90.1-
NP 93.5-94.1 98.4-99.0 91.7-92.2 91.7-92.4
ck/Subang/08160018-002/2016 95.1 91.3 92.2 90.4
md/Pekalongan/04160460/2016 92.2- 51.2- 55.8- 89.5-
NA 90.8-91.5 98.0-98.5 88.9-89.6 55.7-56.5
93.1 51.5 56.0 89.8
95.4- 90.1- 91.1- 89.2-
M 97.9-98.4 93.4-93.8 91.1-91.3 90.8-91.2
95.9 90.5 91.5 89.4
95.3- 90.6- 91.3- 92.5-
NS 97.8-98.0 93.8-94.0 91.8-92.0 91.8-91.9
95.5 90.8 91.5 92.8
84.8- 93.1- 93.2- 93.2-
PB2 83.8-83.9 83.4-83.7 93.5-93.7 92.7-92.7
85.0 93.1 93.3 93.3
93.8- 88.5- 88.7- 88.9-
PB1 94.7-95.4 97.8-98.4 90.1-91.2 88.1-88.5
94.7 89.3 89.2 89.8
88.7- 89.4- 93.1- 92.1-
PA 87.4-87.8 98.2-98.8 90.8-90.8 92.9-93.4
88.7 89.4 93.2 92.1
ck/Pati/04160433/2016 90.5- 85.5- 62.0- 65.1-
HA 88.0-88.6 97.6-98.1 53.9-54.0 54.5-54.8
91.4 86.4 62.1 65.3
ck/Sukoharjo/04160454/2016
95.5- 91.1- 92.0- 90.3-
ck/Lamongan/04160418/2016 NP 94.2-94.3 99.3-99.4 92.1-92.2 92.0-92.1
95.5 91.2 92.1 90.3
92.6- 51.1- 55.6- 89.7-
NA 91.1-91.5 98.5-99.0 89.1-89.6 55.7-56.0
93.1 51.3 55.8 90.0
95.7- 91.3- 92.5- 90.0- 91.50-
M 93.7-94.0 98.7-99.2 91.9-92.0
96.0 91.6 92.6 90.1 91.6
94.3- 92.3- 93.0- 93.8-
NS 93.0-93.9 98.6-99.1 93.3-93.8 93.5-94.0
95.0 93.0 93.8 94.3

1
Homologi ditunjukkan dengan range persentasi (minimum-maksimum) kesamaan asam nukleat
virus-virus yang dipelajari dengan rujukan virus AI.
2
Spesies hewan: ck, chicken; dk, duck; md, Muscovy duck; qa, quail; ea, eagle.
3
Genotipe ditentukan berdasarkan ada tidaknya reassorsi genetik dari virus-virus yang diteliti.

Analisa molekuler terhadap homologi susunan asam nukleat dan asam


amino dari sampel-sampel virus H5N1 clade 2.3.2.1c yang diteliti dan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
269
perbandingannya dengan beberapa rujukan virus AI seperti: strain tantang
H5N1 Indonesia (A/chicken/West Java/Sbg-29/2007), strain vaksin H5N1
clade 2.3.2.1c (A/duck/Sukoharjo/BBVW-1428-9/2012), strain H5N1
clade 2.1.3.2 terkini (A/quail/Deliserdang/ 01160025/2016); dan beberapa
strain virus LPAI (A/duck/Malaysia/F118-08-04/2004[H5N2], A/mallard/
Jiangxi/7376/2003[H5N6], A/duck/Shimane/188/1999[H1N1], A/duck/
Mongolia/47/2001 [H7N1] dan A/environment/Korea/W152/2006[H7N7])
ditunjukkan pada Tabel 1. Kesamaan genetik asam nukleat yang tinggi
terdeteksi pada gen HA (range 97.6-99.7%) dan gen NA (98.0-99.6%) dari
virus-virus H5N1 clade 2.3.2.1c yang diteliti terhadap strain vaksin A/duck/
Sukoharjo/BBVW-1428-9/2012 (Clade 2.3.2.1c). Sebaliknya, homologi
yang rendah
 ditunjukkan dari
   gen-gen
 tersebut
  terhadap
A/chicken/West

      
Java/Sbg-29/2007 (H5N1 clade 2.1.3.2). Hasil ini menunjukkan bahwa
        saat
ini clade 2.3.2.1c
 adalah virus
  H5N1 yang paling sering ditemukan dari

  
kasus-kasus
outbreak penyakit HPAI pada peternakan-peternakan
  unggas
    di
Indonesia.
           

     
Berdasarkan hasil analisa filogenetik dan homologi asam nukleat genom

            
virus AI, representasi proses
    terjadinya
 reassorsi 
  genetik
dari virus
 H5N1

clade 2.3.2.1c di Indonesia dapat
 digambarkan dalam skema

atau ilustrasi
seperti
pada Gambar 3.



PB2 PB2
 PB1
PB2
PB1 PB1
 PA
HA
PA
HA
PA
HA
 NP NP NP
NA NA NA
 M M M
NS NS
 NS


 2.1.3.2 2.3.2.1.c Asian LPAIv


 PB2
PB2 PB2
 PB1 PB1 PB1
PA PA PA
 HA HA HA
 NP
NA
NP
NA
NP
NA
 M M M
NS NS NS


2.3.2.1.c 2.3.2.1.c 2.3.2.1.c
 Genotipe A Genotipe B Genotipe C

Gambar 3. Skema reasorsi genetik virus H5N1 Clade 2.3.2.1c di Indonesia

          
menunjukkan perbedaan konstelasi susunan genom virus AI


(genotipe) menjadi tiga kelompok, yaitu Genotipe A, B dan C.
         
         
           
Data-data yang ditunjukkan di atas menggambarkan bahwa evolusi
           
genotipe H5N1
  clade
 2.3.2.1c
  di Indonesia
  setidaknya
  terbagi
  menjadi
 
            
tiga kelompok genotipe (penggolongan berdasarkan konstelasi
        susunan
genom
virus), yaitu: Genotipe
  A adalah
 virus-virus
  yang
  yang 
 masih murni


keseluruhan genomnya (8 segmen virus AI) berasal dari clade 2.3.2.1c;
Genotipe B adalah virus-virus clade 2.3.2.1c yang telah bereasorsi dengan
clade 2.1.3.2, dimana hal ini bisa dilihat dari kesamaan genetik segmen gen


270 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
internal dari virus clade 2.3.2.1c dari genotipe ini lebih mendekati segmen
gen internal virus clade 2.1.3.2 (A/quail/Deliserdang/01160025/2016), yaitu
PB2 (97.5-97.7%), M (97.9-98.4%), and NS (97.8-98.0%); dan Genotipe
C, adalah virus-virus clade 2.3.2.1c memiliki segmen gen PB2 yang lebih
mirip dengan segmen gen PB2 dari virus-virus LPAI (92.7-93.7%) (Tabel
1). Hasil ini menunjukkan bahwa segmen PB2 dari virus-virus ini (Genotipe
C) mungkin berasal dari virus-virus LPAI yang ada dan telah bersirkulasi
sebelumnya pada unggas tanpa menimbulkan gejala klinis. Investigasi dan
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat prevalensi dan distribusi
virus-virus LPAI pada unggas domestik maupun burung-burung liar di
Indonesia. Meskipun pada periode awal outbreak penyakit HPAI H5N1
clade 2.3.2.1c (Dharmayanti et al., 2014) belum ditemukan adanya reassorsi
genetik, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pertukaran gen internal
dari keturunan virus yang berbeda dari H5N1 clade 2.1 dapat terjadi setelah
virus telah menginfeksi, menyebar, dan memperluas keragaman genetiknya
pada populasi unggas (Lam et al., 2008).

KESIMPULAN

Artikel ini mengungkap hasil penelitian yang menunjukkan bahwa


whole genome sequencing dengan teknik NGS mampu mendeteksi dan
mengidentifikasi virus-virus reassortant H5N1 clade 2.3.2.1c. Pertukaran
genetik terjadi pada segmen-segmen gen internal virus AI dan ini bisa
terjadi antar clade virus H5N1 (inter-lineage reassortment) atau virus-virus
yang memiliki subtipe yang berbeda, yaitu HPAI dan LPAI (inter-subtype
reassortment).

Masih belum jelas kapan dan dimana peristiwa reassorsi genetik tersebut
terjadi. Namun, jika melihat bahwa semua sampel-sampel virus dalam
penelitian ini dikoleksi dari peternakan unggas komersial kecil-menengah
(sektor 3) dan peternakan pekarangan (sektor 4) yang memiliki biosekuriti
rendah dan sering ditemukan pemeliharan campuran antara ayam dan unggas
air, maka ada kemungkinan pertukaran genetik terjadi pada peternakan-
peternakan dengan sistem campuran (mix-farming system) dan biosekuriti
yang rendah ini. Temuan ini juga menggarisbawahi tentang pentingnya
kontinuitas surveilans molekuler untuk memantau evolusi virus influenza.
Penelitian lebih mendalam juga diperlukan untuk menentukan apakah virus
dengan reassortment gen yang teridentifikasi, terutama di PB2, M dan NS,
menimbulkan risiko kesehatan pada spesies selain unggas.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
271
DAFTAR PUSTAKA

Vijaykrishna D, Bahl J, Riley S, Duan L, Zhang JX, Chen H, et al. Evolutionary


dynamics and emergence of panzootic H5N1 influenza viruses. PLoS
Pathog. 2008; 4(9): e1000161. http://dx.doi.org/10.1371/journal.
ppat.1000161

WHO/OIE/FAO. Revised and updated nomenclature for highly pathogenic


avian influenza A (H5N1) viruses. Influenza Other Respir Viruses.
2014; 8(3): 384-388. http://dx.doi.org/10.1111/irv.12230.

Wibawa H, Prijono WB, Dharmayanti NLPI, Irianingsih SH, Miswati Y,


Rochmah A, et al. Disease outbreak investigation in ducks in Central
Java, Yogyakarta, and East Java: Identification of a new clade of avian
influenza subtype H5N1 virus in Indonesia [in Indonesian]. Buletin
Laboratorium Veteriner. 2012; 12(4): 2-9.

FAO-Indonesia. FAO-ECTAD 2014 Annual Report. 2014 [cited 2017 Jan


12]. http://www.fao.org/3/a-be827b.pdf.

Hartaningsih N, Wibawa H, Pudjiatmoko, Rasa FS, Irianingsih SH,


Dharmawan R, et al. Surveillance at the molecular level: Developing
an integrated network for detecting variation in avian influenza
viruses in Indonesia. Prev Vet Med. 2015. http://dx.doi.org/10.1016/j.
prevetmed.2015.02.015

Zhou B, Donnelly ME, Scholes DT, St George K, Hatta M, Kawaoka Y, et


al. Single-reaction genomic amplification accelerates sequencing and
vaccine production for classical and Swine origin human influenza
a viruses. J Virol. 2009; 83(19): 10309-13. http://dx.doi.org/10.1128/
JVI.01109-09

Kumar S, Stecher G, Tamura K. MEGA7: Molecular Evolutionary Genetics


Analysis Version 7.0 for Bigger Datasets. Mol Biol Evol. 2016; 33(7):
1870-4. http://dx.doi.org/10.1093/molbev/msw054

Imai M, Watanabe T, Hatta M, Das SC, Ozawa M, Shinya K, et al. Experimental


adaptation of an influenza H5 HA confers respiratory droplet
transmission to a reassortant H5 HA/H1N1 virus in ferrets. Nature.
2012; 486(7403): 420-8. http://dx.doi.org/10.1038/nature10831

Herfst S, Schrauwen EJ, Linster M, Chutinimitkul S, de Wit E, Munster


VJ, et al. Airborne transmission of influenza A/H5N1 virus between
ferrets. Science. 2012; 336(6088): 1534-41. http://dx.doi.org/10.1126/
science.1213362

272 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Russell CA, Fonville JM, Brown AE, Burke DF, Smith DL, James SL, et al.
The potential for respiratory droplet-transmissible A/H5N1 influenza
virus to evolve in a mammalian host. Science. 2012; 336(6088): 1541-
7. http://dx.doi.org/10.1126/science.1222526

Koel BF, van der Vliet S, Burke DF, Bestebroer TM, Bharoto EE, Yasa IW,
et al. Antigenic variation of clade 2.1 H5N1 virus is determined by
a few amino acid substitutions immediately adjacent to the receptor
binding site. MBio. 2014; 5(3): e01070-14. http://dx.doi.org/10.1128/
mBio.01070

Obenauer JC, Denson J, Mehta PK, Su X, Mukatira S, Finkelstein DB, et


al. Large-scale sequence analysis of avian influenza isolates. Science.
2006; 311(5767): 1576-80. http://dx.doi.org/10.1126/science.1121586

Govorkova EA, Baranovich T, Seiler P, Armstrong J, Burnham A, Guan Y, et


al. Antiviral resistance among highly pathogenic influenza A (H5N1)
viruses isolated worldwide in 2002-2012 shows need for continued
monitoring. Antiviral Res. 2013; 98(2): 297-304.

Dharmayanti NL, Hartawan R, Wibawa H, Balish A, Donis R, Davis CT,


et al. Genetic Characterization of Clade 2.3.2.1 Avian Influenza
A(H5N1) Viruses, Indonesia, 2012. Emerg Infect Dis. 2014; 20(4):
677-80. http://dx.doi.org/10.3201/eid2004.130517

Lam TT, Hon CC, Pybus OG, Kosakovsky Pond SL, Wong RT, Yip CW,
et al. Evolutionary and transmission dynamics of reassortant H5N1
influenza virus in Indonesia. PLoS Pathog. 2008; 4(8): e1000130.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-294X.2012.05577.x

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
273
SURVEILANS AVIAN INLUENZA (AI) DI PASAR UNGGAS
HIDUP DI WILAYAH KERJA BALAI VETERINER SUBANG
TAHUN 2016
Sunarno

Balai Veteriner Subang


Email : ano.keswan@gmail.com

ABSTRAK

Dinamika virus AI di Indonesia menunjukkan adanya perubahan yang signifikan seperti infeksi
awal oleh virus clade 2.1.1, perkembangan menjadi clade 2.1.2 dan 2.1.3, mutasi virus, perubahan
patogenesitas, fenomena escape mutant, reassortant sampai dengan introduksi jenis baru dari clade
2.3.2 dan HxNx. Untuk memonitor perkembangan virus AI di lapangan diperlukan suatu alat/tool,
yaitu longitudinal surveilans di pasar unggas hidup (Live Birds Market Surveilans). Hal tersebut di
dasarkan atas pertimbangan bahwa di pasar unggas hidup merupakan tempat berkumpulnya bermacam
macam jenis unggas sehingga adanya mix infection dan reassorbment virus sangat tinggi. Kegiatan
surveilans dilakukan oleh dinas setelah mendapatkan pelatihan oleh B-Vet Subang bekerjasama
dengan FAO. Wilayah yang diambil sampel terdiri atas 13 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat
dan 3 kabupaten/kota di Propinsi Banten. Tujuan dari surveilans ini untuk memonitor kemajuan
pengendalian AI secara nasional, memonitor sirkulasi virus AI dan mendeteksi awal dari munculnya
virus influenza baru. Petugas sampling pasar (PSP) melakukan profiling pasar, penentuan pasar
sesuai kriteria untuk diambil sampel. Satu pasar diambil sampel satu pool terdiri atas swab telenan,
kain lap, pisau, meja display, bak sampah, ember dan mesin pencabut bulu. Sampel sampel tersebut
diuji dengan menggunakan teknik Reverse Transcriptase Real Time PCR (RRT-PCR) dan sesuai
tahapan alogaritma pengujian. Sampel yang diperoleh dari hasil surveilans di beberapa pasar unggas
hidup di Propinsi Jawa Barat dan Banten sebanyak 512 sampel. Sampel tersebut diuji menggunakan
RRT-PCR. Pengujian yang lain untuk mendapatkan isolat adalah uji isolasi virus menggunakan telur
bertunas. Dari hasil pengujian RRT-PCR diperoleh hasil bahwa 30 sampel positif H5N1 clade 2.3.2.1
dan 6 sampel positif H9N2. Hasil isolasi virus diperoleh hasil bahwa sampel - sampel tersebut positif
AI untuk clade 2.3.2.1, namun untuk H9N2 tidak bisa tumbuh di telur bertunas kemungkinan virus
sudah mati. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar unggas hidup memang merupakan faktor yang
sangat penting terjadinya wabah AI di Indonesia.

Kata kunci : AI, Pasar Unggas Hidup

PENDAHULUAN

Penyakit AI subtipe H5N1 masuk dan menjadi endemik di Indonesia


sejak tahun 2003 dan menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan baik
pada peternakan rakyat maupun komersial. Kasus kematian manusia di
Indonesia akibat dampak zoonosis virus H5N1 masih tertinggi di dunia yang
mencapai lebih dari 300 jiwa pada tahun 2017. Dinamika virus AI di Indonesia
menunjukkan adanya perubahan yang signifikan seperti infeksi awal oleh
virus clade 2.1.1, perkembangan menjadi clade 2.1.2 dan 2.1.3, mutasi virus,
perubahan patogenesis, fenomena escape mutant, reassortant sampai dengan
introduksi jenis baru dari clade 2.3.2. Kendala dalam pengendalian penyakit
avian influenza adalah penyebaran yang cepat ke berbagai wilayah baik oleh
peranan migrasi burung-burung liar maupun penyebaran melalui transportasi
unggas, produk turunanya dan peralatan yang terkontaminasi. Kendala lain
adalah banyaknya varian virus di lapangan akibat mutasi. Dengan genom
274 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
berupa single stranded RNA yang terdiri atas 8 segmen maka virus influenza
dapat bermutasi secara drift maupun shift menjadi virus jenis baru. Di
Indonesia sistem pemasaran unggas lebih banyak dilakukan di pasar-pasar
tradisional atau lebih dikenal dengan pasar becek. Di dalam pasar tersebut
terdapat bermacam-macam jenis unggas yang berasal dari berbagai tempat,
sehingga kemungkinan besar terjadinya mix infection dan reabsorbment virus
tinggi. Hal tersebut yang mendasari pentingnya surveilans di pasar unggas
hidup (pasar tradisional) sangat penting melihat kondisi perkembangan virus
AI yang begitu cepat. Kegiatan surveilans di pasar unggas hidup atau Live
Bird Market Surveilans di fasilitasi oleh Food and Agriculture Organization
(FAO) untuk melakukan pelatihan profiling pasar dan teknik pengambilan
sampel oleh petugas dinas kabupaten/kota. Surveilans dilakukan di wilayah
kerja Balai Veteriner Subang meliputi 14 kabupaten/kota di 2 propinsi yaitu
Jawa Barat dan Banten.

TUJUAN

Surveilans ini bertujuan untuk memonitor kemajuan pengendalian AI


secara nasional, memonitor sirkulasi virus AI dan mendeteksi awal dari
munculnya virus influenza baru.

MATERI DAN METODE

Materi

 Sampel swab lingkungan yang berasal dari pedagang ayam di pasar


tradisonal (LBM) per pool
 Viral Transpot Media (VTM)
 Telur bertunas
 Antisera AI
 Kontrol positif AI
 Kit PCR berupa
a. Kit ekstraksi : Viral ekstraksi RNA/DNA
b. Kit master mix : AgPath One Step RT PCR
c. Primer (AAHL, 2014)

Metode

a. Profiling pasar dan pengambilan sampel

Petugas sampling pasar (PSP) melakukan profiling pasar untuk


menentukan kriteria pasar yang memenuhi persyaratan pengambilan sampel
yaitu di dalam pasar terdapat pedagang yang mempunyai unggas hidup dan
memotong unggas tersebut di tempat. Dari hasil profiling tersebut maka
PSP memilih beberapa pasar yang akan dijadikan objek untuk pengambilan
sampel, satu pasar diambil satu pool sampel. Pengambilan sampel

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
275
menggunakan swab berupa cotton bud dacron (kapas sintetik), karena
apabila menggunakan cotton bud biasa (organik) akan merusak media dalam
VTM sehingga jika di isolasi virus tidak dapat tumbuh. Sampel diambil
dari pedagang ayam berupa swab telenan, kain lap, pisau, meja display, bak
sampah, ember dan mesin pencabut bulu, terdiri dari 5 swab dan dimasukkan
ke dalam VTM. Sampel tersebut disimpan dalam cool box dingin agar tidak
rusak dan PSP mengirimkan sampel tersebut ke Balai Veteriner Subang
untuk dilakukan pengujian.

b. Pengujian dengan metode polymerase chain reaction (PCR)

Tahap pertama sampel dilakukan ekstraksi untuk mendapatkan RNA


virus menggunakan kit ekstraksi geneaid viral RNA/DNA, dengan mengikuti
prosedur yang sudah disediakan dalam kit tersebut. Tahap kedua pembuatan
master mix menggunakan kit Agpath One Step RT PCR, dengan komposisi
sebagai berikut :
- Rnase free water : 3
- 2x PCR Buffer : 12,5
- 25x Enzim : 1
- Primer Probe Mix : 3,5 (tipe A, H5 clade, H7, H9)
Untuk reaksi total 25 ul, dengan penambahan RNA hasil ekstraksi sebanyak
5 ul.
Kondisi PCR saat melakukan penyetelan di mesin adalah sebagai berikut :
1x 45ᵒC 10 menit
1x 95ᵒC 10 menit
45x 95ᵒC 15 detik
60ᵒC 45 detik

Sesuai dengan alogaritma pengujian bahwa jika sampel positif influenza


tipe A, maka dilanjutkan pengujian subtipe HxNx agar diketahui strain virus
AI yang bersirkulasi di pasar unggas hidup.

c. Isolasi virus

Inokulasi virus dengan spuit sebanyak 1 ml dari sampel lapangan di


ruang alantoik menggunakan telur berembrio umur 9 – 11 hari. Diinkubasi
selama 4-7 hari pada suhu 35ᵒC -37ᵒC, setelah itu telur disimpan pada suhu
4ᵒC minimal selama 4 jam. Cairan allantois dipanen menggunakan spuit 10
ml dan dimasukkan pada tabung ukuran 15 ml dan disentrifus 3000 rpm
selama 5 menit agar cairan yang diperoleh terpisah dari sel atau darah yang
melekat. Dilakukan uji hambatan haemaglutinasi untuk menentukan apakah
virus hasil inokulasi merupakan virus AI atau bukan.

276 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL

Dari hasil sampling yang dilakukan di 14 kabupaten/kota diperoleh


1.260 sampel dari 78 pasar, perolehan sampel dan hasil pengujian PCR
influenza A dapat dilihat pada tabel 1.

Jumlah Hasil Uji (tipe A)


No. Propinsi Kabupaten/Kota
sampel Negatif Positif
1 Jawa Barat
Kab. Bandung Barat 108 108 0
Kab. Ciamis 120 120 0
Kab. Indramayu 132 132 0
Kab. Karawang 102 96 6
Kab.Purwakarta 132 132 0
Kab. Subang 120 120 0
Kota Bandung 90 84 6
Kota Banjar 36 36 0
    Kota Cimahi 96 90 6
     
 
Kota Cirebon
 60
 54 6 
  Kota Sukabumi
 48
 48 0 
  
Kota Tasikmalaya 
72 66 6 
2 
Banten 
Kota Cilegon 
84 84 0 
     
Kab. Lebak 60 54 6
     
  Jumlah
 1.260
 1.224
 36
   
Grafik 1. Pengujian PCR influenza A


140
120
100
80
60
40
20
0

Jumlah sampel Hasil Uji (tipe A) Hasil Uji (tipe A)




Hasil sampel positif pengujian influenza A, dilanjutkan dengan uji

subtipe H5

 
  
  
     
     
     
Prosiding
  Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis
  dan Pertemuan
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
Ilmiah (RATEKPIL)  277

     


   

Tabel 2. Hasil uji subtipe H5

Jumlah Hasil Uji (subtipe H5)


No. Propinsi Kabupaten/Kota
sampel Negatif Positif
1 Jawa Barat Kab. Karawang 102 96 6
    Kota Bandung 90 84 6
    Kota Cirebon 60 54 6
    Kota Tasikmalaya 72 66 6
2 Banten Kab. Lebak 60 54 6
Jumlah 384 354 30

Grafik
 2. Pengujian PCR Subtipe H5N1

 
 
Kab. Lebak
Kab. Lebak
Kota Tasikmalaya
Kota
KotaTasikmalaya
Cirebon

KotaKota Cirebon
Bandung
Kota Bandung
Kab. Karawang
Kab. Karawang
0 20 40 60 80 100 120
0 20 40 60 80 100 120
Hasil Uji (subtipe H5 clade 2.3.2.1) Hasil Uji (subtipe H5 clade 2.3.2.1) Jumlah sampel
Hasil Uji (subtipe H5 clade 2.3.2.1) Hasil Uji (subtipe H5 clade 2.3.2.1) Jumlah sampel

Hasil sampel positif influenza A, negatif subtipe H5N1 dilanjutkan



 pengujian subtipe H9N2. Pada kasus ini hanya ditemukan di salah satu pasar
          
kota 
 cimahi.        


 
Grafik 3. Hasil uji PCR subtipe H9N2




120 120

100 100

80 80

60 60

40 40

20 20

0
0
Kota Cimahi
Kota Cimahi
Jumlah sampel Hasil Uji (subtipe H9N2) Hasil Uji (subtipe H9N2)
Jumlah sampel Hasil Uji (subtipe H9N2) Hasil Uji (subtipe H9N2)

             
 
 
 
 
  
 
 
 

 
 
 
 
   
    
  
 
 
             

278 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah

    dan Surveilans
  Kesehatan
(RATEKPIL)
Hewan Tahun
  2018   

Prosiding

          

 
 
 
Hasil isolasi virus untuk sampel – sampel positif PCR yang berasal
dari kabupaten/kota yang berasal dari Karawang, Cirebon, Tasikmalaya,
Bandung dan Lebak virus dapat tumbuh dengan baik di telur bertunas dan di
dapatkan isolat virus. Namun sampel yang berasal dari Cimahi yang positif
PCR, sampel tidak dapat tumbuh di telur.

Persentase sampel hasil pengujian dengan PCR untuk masing masing jenis
uji sebagai berikut :
a. Pengujian influenza A (tipe A) : 2.85%
b. Pengujian subtipe H5N1 : 2.38%
c. Pengujian subtipe H9N2 : 0.47%

PEMBAHASAN

Kegiatan live bird market surveilans merupakan longitudinal survei di


pasar unggas hidup yang memiliki pedagang, yang menjual unggas hidup,
memotong unggasnya di pasar atau menjual karkas unggas. Surveilans ini
harus berjalan secara terus terus agar data yang diperoleh lebih lengkap dan
dapat memonitor perkembangan virus di lapangan, deteksi dini munculnya
varian baru. Menurut Indriani (2010) bahwa hampir 50% terjadinya proses
penularan AI di Indonesia berada di pasar unggas hidup (LBM). Berdasarkan
penelitiannya sampel – sampel positif diperoleh dari meja display dan
ember tempat menampung unggas. Pengambilan sampel dilakukan pada
bulan September, Oktober dan November dengan pertimbangan di bulan
tersebut merupakan awal musim penghujan dan ditandai mulai ditemukan
kasus kematian pada unggas oleh virus AI. Dari hasil pengujian PCR terlihat
pada tebel 1, bahwa 36 sampel positif influenza A (tipe A) dari kabupaten/
kota Karawang, Cimahi, Cirebon, Tasikmalaya, Bandung dan Lebak. Sesuai
alogaritma pengujian PCR maka uji tipe A dilanjutkan pengujian subtipe
HxNx. Terlihat pada tabel 2, sebanyak 30 sampel positif H5N1 clade
2.3.2.1 yang berasal dari kabupaten/kota Karawang, Cirebon, Tasikmalaya,
Bandung dan Lebak. Sedangkan pada grafik 3, terlihat 1 sampel positif
H9N2 berasal dari kota Cimahi. Untuk uji isolasi virus dari hasil sampel
positif PCR subtipe H5NI, virus dapat ditumbuhkan di dalam telur bertunas
dan dihasilkan isolat virus lapang. Namun sampel positif PCR subtipe H9N2,
virus tidak dapat tumbuh di dalam telur bertunas. Hal ini kemungkinan terjadi
karena beberapa faktor diantaranya karakter virus H9N2 yang sangat mild
sehingga sukar tumbuh di telur, virus sudah mati selama masa penyimpanan
sehingga hanya tertinggal materi genetiknya saja. Hasil pengujian sampel
PCR H5NI yang didominasi clade H5 2.3.2.1 mengindikasikan bahwa virus
strain ini sudah menggeser dominasi virus H5 clade 2.1.3 yang lebih dulu
masuk ke Indonesia. Virus ini kemungkinan besar sudah meluas ke berbagai
wilayah sehingga jenis vaksinasi yang digunakan akan sedikit berbeda
untuk meningkatkan protektivitas vaksin terhadap chalange virus lapang.
Penemuan virus H9N2 di LBM merupakan hal sangat menarik karena selama

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
279
melakukan surveilans reguler belum pernah ditemukan virus strain ini. Inilah
hasil deteksi dini munculnya virus strain baru di Indonesia melalui surveilans
di pasar unggas hidup.

KESIMPULAN DAN SARAN

Surveilans pasar unggas hidup sangat penting untuk memonitor


sirkulasi virus AI di pasar dan daerah tangkapannya, dapat digunakan untuk
memonitor clade virus yang berbeda dan dapat digunakan untuk mendeteksi
awal adanya virus influenza baru (H9N2) dan sebagai indikator resiko AI
pada manusia di wilayah yang diambil sampelnya. Agar data yang diperoleh
lebih lengkap dan dianaliasa maka perlu dilakukan surveilans secara berkala
setiap tiga bulan sekali.

KETERBATASAN ATAU LIMITASI

Surveilans di pasar unggas hidup membutuhkan anggaran yang cukup


besar untuk mendukung hasil yang lebih akurat karena surveilans tersebut
tidak bisa dilakukan hanya sekali setahun. Dengan minimya anggaran
surveilans maka pengambilan sampel LBM dilakukan setahun sekali terkait
penyedian reagen kit/reagen pengujian dan biaya perjalanan dinas oleh PSP.

DAFTAR PUSTAKA

AAHL. 2014. Protocol Pengujian Avian Inluenza Secara PCR, CSIRO

Indriani R, dll, 2010. Environmental Sampling for Avian Influenza A (H5N1)


in Live Bird Market, Indonesia. Emerging Infectious Disease. 52:34-
52 doi: 10-1637/8138-101207

280 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
MONITORING DAN SURVEILANS PENYAKIT HEWAN
MENULAR PADA SAPI BALI DI BPTU HPT DENPASAR DAN
DOMPU TAHUN 2016

(MONITORING AND SURVEILLANCE OF INFECTIOUS


ANIMAL DISEASES IN BALI CATTLE IN BPTUHPT DENPASAR
AND DOMPU IN 2016)
Ni Made Sri Handayani

Balai Besar Veteriner Denpasar

ABSTRAK

Telah dilakukan pengambilan sampel serum, darah dan feses dari BPTU HPT Denpasar dan Dompu
sejak Bulan Mei-September 2016. Selama pelaksanaan monitoring sebanyak 4528 sampel berhasil
dikumpulkan dari BPTU HPT Denpasar dan 3311 dari BPTU HPT Dompu. Monitoring ini bertujuan
untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular di BPTU HPT sehingga bibit sapi yang dihasilkan
berkualitas baik , unggul dan tersertifikasi serta menghasilkan bibit sapi yang berkualitas, unggul
dan tersertifikasi. Sampel diuji terhadap penyakit Brucellosis, Jembrana, SE, IBR, BVD, parasit
gastrointestinal dan parasit darah. Hasil pengujian menunjukkan 51,1% sampel seropositif SE,
9% seropositif JD, 2,3% seropositif IBR dan 58,8% seropositif BVD.Sampai saat ini BPTU HPT
Denpasar dan Dompu masih bebas penyakit Brucellosis, Surra dan JD. Untuk mencegah masuknya
penyakit hewan menular ke BPTU HPT Denpasar dan Dompu, perlu dilakukan pemeriksaan dan
pengawasan terhadap hewan baru yang masuk ke BPTU serta dilakukan monitoring secara periodik
dan terstruktur.

Kata Kunci : monitoring, surveilans, penyakit hewan menular, sapi bali

ABSTRACT

Serum, blood and fecal sampling from BPTU HPT Denpasar and Dompu has been conducted since
May-September 2016. During the monitoring period 4528 samples were collected from BPTU HPT
Denpasar and 3311 from BPTU HPT Dompu. This monitoring aims to determine the situation of
infectious animal diseases in BPTU HPT so that the resulting beef cattle are of good quality, superior
and certified.

And produce qualified, superior and certified cows. Samples were tested against Brucellosis,
Jembrana, SE, IBR, BVD, gastrointestinal parasites and blood parasites. Test results showed 51.1%
seropositive samples SE, 9% seropositive JD, 2.3% seropositive IBR and 58.8% seropositive BVD.
Up to now BPTU HPT Denpasar and Dompu are still free of Brucellosis, Surra and JD disease. To
prevent the entry of contagious animal diseases to BPTU HPT Denpasar and Dompu, it is necessary
to inspect and supervise new animals that enter to BPTU and conducted monitoring periodically
and structured.

Keyword : monitoring, surveillance, infectious animal diseases, Bali cattle

PENDAHULUAN

Salah satu fungsi Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar adalah


melaksanakan surveilans penyakit hewan dan pengawasan produk
hewan. Dalam rangka mewujudkan status bebas penyakit hewan menular,
diharapkan BBVet Denpasar mampu memberikan kontribusi teknis terhadap
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perbibitan Pusat yang ada di wilayah kerjanya

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
281
yaitu Balai Perbibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU HPT)
Denpasar.

Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.13/Permentan.OT.140/2/2007


tugas pokok dan BPTU HPT adalah melaksanakan pelestarian, pemuliaan,
pembibitan, produksi dan pengembangan serta penyebaran hasil produksi
bibit Sapi Bali murni, unggul secara nasional.

Beberapa penyakit hewan menular dilarang ada di UPT Perbibitan


seperti Anthrax, Brucellosis, Bovine Genital Campylobacteriosis (BGC),
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Enzootic Bovine Leucosis (EBL),
Trichomonosis, Bovine Viral Diarrhea (BVD), Leptospirosis, Anaplasmosis,
Babesiosis, Theilleriosis, Septichaemia Epizotica (SE), Tuberculosis (TBC),
Surra, Johne’s disease (Para Tuberculosis), Parasit cacing, Parasit darah
dan Orf sapi, terkait hal tersebut maka dilakukan monitoring dan surveilans
di BPTU HPT Denpasar dan Dompu pada Tahun 2016. Monitoring dan
surveilans ini bertujuan mengetahui situasi penyakit hewan menular yang
ada di BPTU-HPT Denpasar dan Dompu dalam upaya menghasilkan bibit
berkualitas, unggul dan tersertifikasi.

Manfaat yang diharapkan dari monitoring dan surveilans ini untuk


dijadikan sebagai acuan evaluasi dalam rangka menghasilkan bibit sapi yang
berkualitas unggul dan tersertifikasi

MATERI DAN METODE

Materi

Bahan yang digunakan dalam monitoring dan surveilans ini meliputi :


KIT Elisa IBR, BVD, JD, antigen J gag C histidin, PBS, konjugate, substrat,
Qamp DNA mini KIT, primer, agarose, kontrol positif dan negatif JD, bahan
uji untuk uji RBT, bahan uji untuk isolasi SE serta bahan uji untuk uji parasit
darah dan parasit gastrointestinal.

Alat-alat yang digunakan seperti mikroplate, mikroskop, waterbath,


inkubator, elisa washer, elisa reader, mesin PCR, Gel Doc, chamber withlock.

Sampel yang diambil pada monitoring dan surveilans ini adalah serum,
darah EDTA, swab, preparat ulas darah dan feses.

Metode

Jenis pengujian yang dilakukan meliputi Elisa (SE, JD, IBR dan
BVD) PCR (JD, IBR dan BVD), uji apung dan sedimentasi (feses) serta uji
mikroskopik (PUD) dan RBT (Brucellosis), isolasi (SE).

282 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Lokasi dan Waktu Kegiatan

Monitoring dan surveilans dilakukan di BPTU HPT Denpasar dan


BPTU HPT Dompu dari Bulan Mei sampai dengan September 2016.

Analisis Data

Semua data sampel hasil uji dan informasi ditabulasikan dan dianalisis
secara deskriptif.

HASIL

Selama pelaksanaan monitoring dan surveilans di BPTU HPT Denpasar


dan Dompu tidak ditemukan gejala klinis yang mengarah ke penyakit SE,
JD, IBR, BVD, Brucellosis. Total jumlah sampel yang berhasil dikumpulkan
dari BPTU HPT Denpasar sebanyak 1.800 sampel sedangkan dari BPTU
HPT Dompu sebanyak 1.350 sampel seperti pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Jumlah Target Sampel dan Pengujian dalam Monitoring dan


Surveilans di BPTU HPT Denpasar Tahun 2017

No Jenis Sampel Jumlah Sampel Pengujian Penyakit


1 Serum 600 IBR, BVD, Brucella ,SE, JD
2 Darah 600 JD
3 PUD 300 Surra
4 Feses 240 Parasit Gastro Intestinal
5 Swab 60 IBR, SE
TOTAL 1.800

Tabel 2 Jumlah Target Sampel dan Pengujian dalam Monitoring dan


Surveilans di BPTU HPT Dompu

No Jenis Sampel Jumlah Sampel Jenis Pengujian


1 Serum Sapi 450 IBR, BVD, RBT Brucella,SE
2 Swab Sapi 450 IBR, SE
3
PUD 225 Surra
4
Feses 225 Parasit Gastro Intestinal
TOTAL 1.350

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
283
Hasil pengujian selengkapnya terhadap sampel tersebut seperti pada
Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Hasil Pengujian Sampel BPTU HPT Denpasar Tahun 2016

Jenis Jenis Jumlah Jumlah Prevalensi


Jenis Penyakit
No Pengujian Sampel Sampel Positif (%)
1 SE Elisa Serum 888 454 51,1
Isolasi Swab 70 0 0
2 Brucellosis RBT Serum 710 0 0
3 JD Elisa Serum 887 80 9,0
PCR Darah 887 0 0
4 IBR Elisa Serum 255 6 2,3
PCR Swab 46 0 0
5 BVD Elisa Serum 187 110 58,8
PCR Swab 4 0 0
6 PGI Apung dan Feses 256 58 22,6
Sedimentasi
7 Parasit Darah Mikroskopis PUD 338 0 0
TOTAL 4528 702 15,0

Hasil pengujian sampel di BPTU HPT Denpasar menunjukkan 51,1%


(454 dari 888 sampel) seropositif SE, 9,0% (80 dari 887 sampel) seropositif
JD, 2,3% (6 dari 255 sampel) seropositif IBR, dan 58,8% (110 dari 187
sampel) Seropositif BVD.

Tabel 4. Hasil Pengujian Sampel BPTU HPT Dompu Tahun 2016

Jenis Jenis Jumlah Jumlah Prevalensi


No Jenis Penyakit
Pengujian Sampel Sampel Positif (%)
1 SE Elisa Serum 836 186 22,2
Isolasi Swab 108 0 0
2 Brucellosis RBT Serum 786 0 0
3 Anthrax Identifikasi PUD 197 0 0
4 IBR Elisa Serum 269 61 22,7
PCR Swab 153 0 0
6 BVD Elisa Serum 299 194 64,0
7 PGI Apung dan Feses 274 106 38,7
Sedimentasi
8 Parasit Darah Mikroskopis PUD 89 0 0
TOTAL 3311 547 16,0

284 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Hasil pengujian sampel di BPTU HPT Dompu menunjukkan 22,3% (186
dari 836 sampel seropositif SE, 22,7% (61 dari 269 sampel) seropositif IBR,
64,0% (194 dari 269 sampel seropositif BVD. Hasil pengujian PCR di BPTU
Denpasar dan Dompu menunjukkan semua sampel negatif IBR dan BVD,
demikian pula halnya dengan isolasi SE menunjukkan semua sampel negatif
Pasteurella multocida. Hasil pemeriksaan terhadap parasit gastrointestinal
cacing Nematoda dan Trematoda sampel dari BPTU Denpasar menunjukkan
positif parasit gastrointestinal yaitu 26,6% (68 dari 256 sampel) positif parasit
gastrointestinal sedangkan sampel dari BPTU HPT Dompu menunjukkan
positif parasit gastrointestinal lebih tinggi yaitu 42,3 (116 dari 274 sampel).
Selain infestasi cacing, jenis protozoa (Eimeria) juga ditemukan di kedua
lokasi dengan prevalensi 1,2% untuk BPTU HPT Denpasar dan 5,1% untuk
BPTU HPT Dompu. Hasil pemeriksaan terhadap parasit darah menunjukkan
semua sampel negatif Trypanosoma. Hasil selengkapnya ditampilkan pada
Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Hasil Uji Penyakit Parasit Gastro Intestinal (PGI) di BPTU HPT
Denpasar dan Dompu Tahun 2016

Jenis Parasit Jlh. Jumlah Prev.


No Lokasi
GastroIntestinal Spl Positif (%)
1 Denpasar Chabertia 256 9* 3,5
Cooperia 1 0,4
Eimeria 3* 1,2
Fasciola 8* 3,1
Mecistocirrus 4* 1,6
Oesophagustomum 1* 0,4
Ostertagia 5* 1,9
Paramphistomum 28 * 10,9
Strongyloides 4* 1,6
Toxocara 2* 0,8
Trichostrongylus 3* 1,2
JUMLAH 256 68 22,6
2 DOMPU Bunostomum 274 2* 0,7
Cooperia 12* 4,7
Eimeria 14 * 5,1
Faciola 14 * 5,1
Mecistocirrus 7* 2,5
Oesophagustomum 5* 1,8
Ostertagia 4* 5,1
Paramphistomum 42* 15,3
Strongylus 4* 1,5
Toxocara 4* 1,5

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
285
Jenis Parasit Jlh. Jumlah Prev.
No Lokasi
GastroIntestinal Spl Positif (%)
Trichostrongylus 3* 1,1
Chabertia 5* 1,8
JUMLAH 274 116 42,3

Tabel 6. Prevalensi Parasit Gastrointestinal pada Sapi Bali di BPTU HPT


Denpasar dan Dompu Tahun 2016.

Lokasi Jumlah Positif Positif Positif Total Prevalensi


BPTU-HPT Sampel Trematoda Nematoda Coccidia (%)
Denpasar 256 36 29 3 68 (26,6%)
Dompu 274 56 56 14 126 (46,0%)
Total 530 92 (17,4%) 84 (15,8%) 17 (3,2%) 194 (36,3%)

Prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi bali di BPTUHPT Denpasar


dan Dompu oleh cacing Trematoda sebanyak 17,4% (92 dari 530 sampel),
Nematoda 15,8% (84 dari 530 sampel) dan Coccidia 3,2% (17 dari 530
sampel). Prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi bali di BPTU-HPT
Pulukan dan Dompu cukup tinggi terutama di BPTU HPT Dompu yaitu
46,0% sedangkan cacing jenis Trematoda merupakan jenis cacing yang
terbanyak menginfeksi ternak sapi yang ada di kedua BPTU HPT yaitu
17,4% (92 dari 530 sampel).

Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa dari 727 sampel


preparat ulas darah sapi bali yang berasal dari BPTU HPT Denpasar dan
Dompu menunjukkan semua sampel negatif Trypanosoma selengkapnya
disajikan pada tabel berikut 7 dan 8.

Tabel 7. Hasil Pengujian Trypanosoma pada Sapi Bali di BPTU HPT


Denpasar dan Dompu Tahun 2016

Lokasi Jumlah Negatif Positif Prevalensi


BPTU HPT Sampel Trypanosoma Trypanosoma (%)
Denpasar 338 338 0 0
Dompu 389 389 0 0
Total 727 727 0 0

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa tidak adanya kejadian


Trypanosomiasis pada sapi bali di BPTU HPT Pulukan dan Dompu, hasil
pengujian laboratorium menunjukkan bahwa di BPTU HPT Denpasar tidak
ditemukan adanya jenis parasit darah. Hasil tersebut mengindikasikan
bahwa sapi bali yang terdapat di BPTU HPT Denpasar bebas dari penyakit
Trypanosomiasis.

286 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 8. Prevalensi Parasit Darah Trypanosoma sp pada Sapi Bali di
BPTUHPTDenpasar dan Dompu Tahun 2016

Lokasi Jumlah Jumlah Prevalensi


No
BPTU HPT Sampel Positif (%)
1 Denpasar 338 0 0
2 DOMPU 389 0 0
TOTAL 727 0 0

PEMBAHASAN

Secara umum beberapa penyakit hewan menular yang diharuskan bebas


di pusat perbibitan tidak ditemukan di BPTU HPT Denpasar dan Dompu.
Hasil pemeriksaan terhadap 530 sampel feses dari BPTU HPT Denpasar
dan Dompu menunjukkan adanya infestasi parasit gastrointestinal dengan
prevalensi 28,5% di BPTU HPT Denpasar dan 46,0% di BPTU HPT Dompu.
Tingginya prevalensi ini kemungkinan disebabkan oleh pemberian obat
cacing yang tidak dilakukan secara periodik atau disebabkan oleh jenis
obat cacing yang tidak tepat. Selain itu menurut Levine (1990) menyatakan
bahwa prevalensi parasit pada ternak dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain letak geografis, kondisi lingkungan, kualitas kandang, sanitasi dan
higiene, kepadatan kandang, temperatur, humiditas, dan vegetasi Pencegahan
penyakit gastrointestinal dapat dilakukan dengan pemberian anthelmitika
secara rutin dan diulang secara berkala setiap 3-4 bulan sekali sehingga
bisa membasmi cacing secara tuntas (Anon., 2004). Menurut Dwinata 2004,
adanya parasit terutama cacing pada hewan di peternakan merupakan salah
satu permasalahan yang sering dihadapi peternak. Pola pemberian pakan,
faktor-faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan curah hujan) serta sanitasi
yang kurang baik dapat mempengaruhi berkembangnya parasit khususnya
cacing gastrointestinal pada hewan ternak (Dwinata, 2004).

Parasit darah Trypanosoma sp tidak ditemukan di BPTU HPT Denpasar


dan Dompu. Parasit darah merupakan masalah kesehatan hewan yang
menimbulkan kerugian ekonomi seperti pertumbuhan terhambat, penurunan
berat badan, penurunan daya kerja, dan penurunan reproduksi (Nasution,
2007). Menurut Kocan et al. 2003 parasit darah juga berpotensi menyebabkan
terjadinya abortus bahkan menyebabkan terjadinya kematian terutama pada
hewan hewan muda.

Iklim tropis merupakan lingkungan ideal untuk perkembangan dan transmisi


parasit sehingga perlu dilakukan pengendalian untuk pencegahan penyakit.
Pengendalian kuratif untuk sapi yang terinfeksi dapat dilakukan dengan
pemberian obat-obatan namun pengendalian bersifat kuratif biasanya tidak
mampu menurunkan tingkat prevalensi. Pengendalian infeksi parasit darah
pada sapi yang efektif dapat dilakukan melalui pendekatan epidemiologi.
Dalam merancang suatu program pengendalian yang tepat dan efektif sangat

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
287
diperlukaan kajian tentang data dasar yang berkaitan dengan jenis parasit,
prevalensi, tingkat parasitemia dan berbagai faktor risiko yang berpengaruh
pada kejadian infeksi parasit darah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil pemeriksaan sampel dapat disimpulkan bahwa :


1. BPTU HPT Denpasar dan Dompu sampai saat ini masih bebas penyakit
Brucellosis dan Surra.
2. Virus JD, IBR dan BVD tidak ditemukan di BPTU HPT Denpasar dan
Dompu.
3. Masih ditemukan adanya parasit gastrointestinal di BPTU HPT Denpasar
dan Dompu.
4. Tidak ditemukan adanya parasit darah Trypanosoma sp di BPTU HPT
Denpasar dan Dompu.

Saran

1. Untuk mencegah masuknya penyakit hewan menular ke BPTU HPT


maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pada ternak secara
periodik dan lebih memperketat pengawasan terhadap hewan baru yang
akan masuk ke BPTU HPT Denpasar dan Dompu.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pada ternak secara periodik
dan lebih memperketat pengawasan terhadap hewan baru yang akan
masuk ke BPTU HPT Denpasar dan Dompu.
3. Perlu dilakukan pemberian anthelmintik dan antiprotozoa serta
dilakukan spraying secara periodik.
4. Surveilan dan monitoring secara periodik dan terstruktur perlu dilakukan
di BPTU HPT Denpasar dan Dompu.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner


Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan
monitoring dan surveilans ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan
kepada Kepala Balai Perbibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak
(BPTU HPT) Denpasar dan Dompu beserta staf serta kepada Medik dan
Paramedik Veteriner di Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu
dalam pengambilan dan pengujian sampel.

288 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. (2004).iIvermectin.http://cal.vet.upenn.edu/dxendopar/drug%20
pages/fenbendazole.htm.Diakses 24 Januari 2017.

Dwinata, M.I. (2004). Prevalensi Cacing Nematoda pada Rusa yang


Ditangkarkan. Jurnal Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana. Bali

Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. (2010).
Review- The Natural History of Anaplasma Marginale.  Vet
Parasitol. 167:95-1070.027.

Levine, N.D. (1990). Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., (1987). Principles and
Methods

Nasution AYA. (2007). Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing
di Lima Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
289
HASIL SURVEILLANCE BEBAS PENYAKIT AI PADA
BEBERAPA KOMPARTEMEN BREEDING FARM UNGGAS DI
WILAYAH KERJA BALAI BESAR VETERINER WATES
Elly Puspasari Lubis1, Tri Parmini1, Surya Purbarini1

1
Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta
Korespodensi
Email : ellypuspasarilubis@gmail.com

ABSTRAK

Penataan kompartemen perlu dilakukan oleh setiap breeding farm agar unggas dan produk
unggas yang dihasilkan memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan dan kualitas unggas dan produk
unggas. Agar proses penataan kompartemen dan penataan zona usaha perunggasan dapat berjalan
secara konsisten maka dipandang perlu menerapkan pedoman penataan kompartemen dan penataan
zona pada breeding farm unggas. Tujuan dilakukan kegiatan ini antara lain untuk mengendalikan
dan memberantas penyakit AI, menjamin agar unggas dan produk unggas yang dihasilkan oleh
breeding farm unggas aman berkualitas dan terbebas dari virus penyakit AI, mencegah masuk dan
menyebarnya penyakit AI melalui lalulintas perdagangan unggas dan produk unggas antar daerah dan
antar negara, dan membuka peluang perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Pengujian
dilakukan dengan titer antibodi AI H5N1 clade 2.3.2 dan titer antibodi AI H5N1 clade 2.1.3 sebanyak
945 serum ayam parent stock. Hasil untuk pengujian antibodi AI clade 2.1.3 pada breeding farm
didapatkan titer antibodi tinggi sebanyak 81,8%, titer antibodi rendah sebanyak 14,8%, dan titer
antibodi negatif sebanyak 3,4%. Pengujian antibodi AI clade 2.3.2 pada breeding farm didapatkan
titer antibodi tinggi sebanyak 88,8%, titer antibodi rendah sebanyak 10,7%, dan titer antibodi negatif
sebanyak 0,5%. Disamping pengujian titer antibodi AI H5N1 clade 2.3.2 dan clade 2.1.3, sampel
serum juga dilakukan uji titer antibodi AI H9N2 DAN RT-PCR. Pengujian RT-PCR diperoleh hasil
semua negatif. Pengujian antibodi AI H9N2 pada breeding farm didapatkan titer antibodi tinggi
sebanyak 38,1%, titer antibodi rendah sebanyak 47,8%, dan titer antibodi negatif sebanyak 14%.
Titer antibodi AI H9N2 pada sampel di breeding farm kemungkinan karena vaksinasi.

Kata Kunci : Kompartemen, Breeding Farm, Titer Antibodi, RT-PCR

PENDAHULUAN

Industri perunggasan saat ini masih mengalami permasalahan dengan


merebaknya penyakit AI di hampir seluruh wilayah Indonesia. Avian
Influenza merupakan penyakit unggas yang sangat menular, mematikan,
dan bersifat zoonosis. Selain itu penyakit ini dapat menyebabkan kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh kematian dan pemusnahan unggas sehingga
untuk mencapai keamanan dan kualitas unggas dan produk unggas harus
diterapkan cara budidaya ternak yang baik atau yang dikenal dengan istilah
Good Farming Practice dan cara budidaya unggas yang baik yang dikenal
dengan istilah Good Farming Practices. Selain itu untuk meningkatkan
status kesehatan hewan dalam breeding farm unggas dilakukan penataan
kompartemen (kompartementalisasi) dan penataan zona (zonafikasi) untuk
menghasilkan unggas dan produk unggas yang aman dan berkualitas.

290 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/OT.140/5/2008
tentang pedoman penataan kompartemen dan penataan zona usaha
perunggasan, kompartemen adalah suatu peternakan dan lingkungannya yang
terdiri dari satu kelompok unggas atau lebih yang memiliki status kesehatan
hewan. Kompartementalisasi dan zonifikasi merupakan salah satu solusi
penting yang telah mendapatkan rekomendasi dari Office Internationale de
Epizooticae (OIE) untuk mengendalikan dan membebaskan suatu kawasan
dan penyakit unggas terutama AI, sekaligus dalam upaya mendukung
terpenuhinya persyaratan dalam perdagangan unggas dan produk ungags
baik antar daerah maupun antar negara.

Agar proses penataan kompartemen dan penataan zona usaha


perunggasan dapat dilakukan maka dipandang perlu menerapkan pedoman
penataan kompartemen dan penataan zona pada breeding farm unggas.
Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta yang mempunyai tugas dan fungsi
dalam melakukan pengamatan, pengidentifikasian, diagnosa, dan pengujian
veteriner ikut berperan serta dalam penataan kompartemen dan penataan
zona breeding farm yaitu melakukan surveillance dengan pengambilan
sampel pada breeding farm unggas (peternakan perbibitan unggas) sesuai
dengan kaidah kesehatan hewan baik yang melakukan vaksinasi maupun
yang tidak melakukan vaksinasi. Balai Besar Veteriner Wates bersama
dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian melakukan surveillance ke breeding farm yang mengajukan
permohonan kompartemen AI.

TUJUAN

Tujuan dilakukan kegiatan ini antara lain untuk mengendalikan dan


memberantas penyakit AI, menjamin agar unggas dan produk unggas yang
dihasilkan oleh breeding farm unggas aman berkualitas dan terbebas dari
virus penyakit AI, mencegah masuk dan menyebarnya penyakit AI melalui
lalulintas perdagangan unggas dan produk unggas antar daerah dan antar
negara, dan membuka peluang perdagangan baik dalam negeri maupun luar
negeri.

MATERI DAN METODE

Desain survei

Surveillance ini mengikuti peraturan Menteri Pertanian Nomor


28/Permentan/OT.140/5/2008 dan surat dinas dari Direktorat Jenderal
Peternakan yaitu surveilans meliputi :

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
291
1. Target populasi dan tempat pelaksanaan kegiatan
Surveillance meliputi populasi dari usaha perunggasan yang ada di
breeding farm unggas (peternakan perbibitan unggas) yang berlokasi di
Kabupaten/Kota Jawa timur, Jawa tengah, dan DI Yogyakarta pada tahun
2017.

2. Metode sampling dan jumlah sampel


a. Jumlah sampel darah merujuk pada tabel tingkat kepercayaan yang
tidak melakukan vaksinasi dengan ketentuan:
− Jumlah sampel darah merujuk pada tabel tingkat kepercayaan
95% dengan asumsi prevalensi 20% (10-20 sampel serum per
flok).
− apabila ada sero positif, maka swab kloaka/trachea harus
diambil dengan ketentuan ;
1) Jumlah sampel dengan tingkat kepercayaan 95% dengan
asumsi prevalensi 2% (100 per flok).
2) Sampel swab kloaka/swab trachea dikumpulkan (pooled)
5 sampel per tabung
b. pengumpulan data surveillance pada usaha perunggasan yang
meliputi vaksinasi dengan ketentuan:
1. dilakukan pada seluruh flok yang divaksin dengan interval
waktu pengambilan paling lambat 6 bulan.
2. pada flok yang divaksin minimum sampel darah/serum dan
swab kloaka yang harus diambil 20 ekor per flok
3. Breeding farm itu biasanya all in and all out, biasanya terpaut
umur 2-3 minggu dan berdasarkan dari layout kandang kita
memilih flok yang akan diambil sampelnya.
4. Sampel swab kloaka/swab trachea dikumpulkan (pooled) 5
sampel per tabung.
5. Jika breeding farm unggas ada unggas sentinel maka dengan
ketentuan bila memungkinkan untuk masing-masing flok
sekurang-kurangnya 20 ekor.

3. Kuisioner
Selain melakukan kegiatan sampling, juga dilakukan kegiatan interview
secara langsung kepada dinas dan peternak untuk menggali informasi yang
berkaitan dengan kasus AI dan faktor resiko penularan AI pada lokasi
peternakan.

4. Pengujian laboratorium
a. Darah / Serum (uji HI AI)
Sampel dalam bentuk darah utuh akan dipreparasi untuk
mendapatkan serum. Serum diuji dengan uji hemaglutination
inhibition (HI) / uji hambatan aglutinasi menggunakan antigen AI
untuk mengetahui adanya zat kebal AI di lapangan, vaksinasi, dan
maternal antibodi.
292 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
b. Sampel Swab (Real-Time PCR dan isolasi virus)
Sampel swab kloaka/swab trachea (5 sampel dipool jadi 1 tabung)
akan diuji screening real-time reverse transcription PCR (rRT-
PCR) gen virus influenza tipe A (Matrix/MA). Swab kloaka/trachea
dari 5 sampel dipool menjadi 1 tabung berdasarkan kelompok umur
(flok) dan diuji rRT-PCR MA. Pool yang positif MA selanjutnya
diuji rRT-PCR H5 dan swab unggas paralel dengan isolasi virus
pada telur ayam bertunas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Surveillance ini dilakukan sebanyak 7 kunjungan pada 8 farm Parent


stock. Jumlah ayam parent stock layer yang telah disampling sebanyak 945
ekor pada tahun 2017. Sampel terdiri dari serum sebanyak 1.134 dan swab
kloaka sebanyak 1.156 yang berasal dari 8 breeding farm untuk Parent stock.
Sampel disampling berdasarkan layout kandang yang dimiliki breeding farm
dan berdasarkan umur. Setiap flok diambil minimal 20 ekor.

Sebanyak 8 breeding farm untuk Parent stock telah melakukan vaksinasi


AI sesuai dengan jadwal yang telah disusun oleh breeding farm. Hasil yang
didapat untuk 8 breeding farm adalah titer antibodi tinggi (HI ≥ 16), titer
antibodi rendah (0 < HI < 16), dan titer antibodi negatif (HI = 0). Hasil
untuk pengujian antibodi AI clade 2.1.3 pada breeding farm didapatkan
titer antibodi tinggi sebanyak 773 sampel (81,8%), titer antibodi rendah
sebanyak 140 sampel (14,8%), dan titer antibodi negatif sebanyak 32 sampel
(3,4%). Pengujian antibodi AI clade 2.3.2 pada breeding farm didapatkan
titer antibodi tinggi sebanyak 839 sampel (88,8%), titer antibodi rendah
sebanyak 101 sampel (10,7%), dan titer antibodi negatif sebanyak 5 sampel
(0,5%). Pengujian antibodi AI H9N2 pada breeding farm didapatkan titer
antibodi tinggi sebanyak 185 sampel (38,1%), titer antibodi rendah sebanyak
232 sampel (47,8%), dan titer antibodi negatif sebanyak 68 sampel (14%).
Pengujian antibodi AI H9N2 pada breeding farm hanya dilakukan pada 485
sampel. Hal ini dilakukan karena keterbatasan sediaan antigen H9N2.

Titer antibodi tinggi AI clade 2.1.3 dan 2.3.2 diperoleh persentase


tinggi dikarenakan respon vaksinasi sedang mencapai puncak (sekitar 3-4
minggu setelah vaksinasi) dan adanya vaksinasi ulang (booster) pada waktu
pengambilan. Rata-rata breeding farm melakukan vaksinasi AI sebanyak 5
kali sampai masa afkir. Selain itu adanya titer antibodi terhadap AI H9N2
pada sampel di breeding farm kemungkinan karena vaksinasi. Hal ini perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap vaksinasi yang digunakan oleh
breeding farm oleh instansi pemerintah yang berwenang. Titer antibodi
rendah dan titer antibodi negatif yang didapat pada breeding farm dikarenakan
beberapa factor seperti jarak pengambilan sampel yang berdekatan dengan
waktu vaksinasi sehingga ayam belum menunjukkan titer antibodi optimum.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
293
Selain itu kemungkinan belum dilakukannya vaksinasi ulangan (booster)
sehingga kekebalan ayam menurun. Perbandingan antara titer antibodi
AI clade 2.1.3 dan clade 2.3.2 tidak jauh beda karena breeding memakai
vaksinasi yang mengandung clade 2.1.3 dan clade 2.3.2 dan pemakaiannya
disesuaikan dengan prosedur yang telah dibuat oleh breeding farm (Gambar
1.).

Pengambilan sampel selain serum juga dilakukan pengambilan yang


berupa swab kloaka sebanyak 1.156. Swab dipool dari 5 sampel dalam 1
tabung vtm berdasarkan kelompok umur (flok) dan diuji rRT-PCR MA.
Sampel diuji screening real-time reverse transcription PCR (rRT-PCR) gen
virus influenza tipe A (Matrix/MA). Hasil yang didapatkan negatif MA AI
dari swab kloaka sebanyak 1.151 dan swab lingkungan sebanyak 235. Hal
ini menunjukkan tidaknya sheeding virus AI pada breeding farm tersebut.

Selain melakukan pengambilan sampel, tim BBVet Wates bersama


dengan Direktorat jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan juga melakukan
pengamatan terhadap lingkungan sekitar farm baik kandang, manajemen
pemeliharaan, dan lingkungan diluar kandang. Hal ini dilakukan untuk
melihat apakah breeding farm sudah melakukan penerapan good breeding
practise dan good farming practise. Saran dan masukan yang diberikan pada
saat surveilans diharapkan ditindaklanjuti dan sebagai acuan peternak serta
dinas dalam pelaksanaan dan penataan kompartemen dan zona pada breeding
farm unggas (peternakan perbibitan unggas).

Gambar 1. Proporsi sampel terdeteksi antibodi pada parent stock

Hasil surveilans yang berupa uji serologis dan uji molekuler sudah
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
sebagai bahan pertimbangan menerbitkan surat keterangan bebas kasus
AI atau surat keterangan bebas AI sebagai bahan pertimbangan pada rapat

294 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
teknik di Kementan Pusat. Hasil dari rapat panitia teknik di Kementan Pusat
memutuskan bahwa 8 breeding farm berhak mendapatkan surat keterangan
atau sertifikat bebas AI.

KESIMPULAN

Titer antibodi tinggi AI clade 2.1.3 dan 2.3.2 yang diperoleh menunjukkan
persentase tinggi dikarenakan respon vaksinasi sedang mencapai puncak
(sekitar 3-4 minggu setelah vaksinasi) dan adanya vaksinasi ulang (booster)
pada waktu pengambilan. Rata-rata breeding farm melakukan vaksinasi AI
sebanyak 5 kali sampai masa afkir. Titer antibodi rendah dan titer antibodi
negatif yang didapat pada breeding farm dikarenakan beberapa factor seperti
jarak pengambilan sampel yang berdekatan dengan waktu vaksinasi sehingga
ayam belum menunjukkan titer antibodi optimum. Selain itu kemungkinan
belum dilakukannya vaksinasi ulangan (booster) sehingga kekebalan ayam
menurun. Perbandingan antara titer antibodi AI clade 2.1.3 dan clade 2.3.2
tidak jauh beda karena breeding memakai vaksinasi yang mengandung clade
2.1.3 dan clade 2.3.2

Selain itu adanya titer antibodi terhadap AI H9N2 pada sampel di


breeding farm kemungkinan karena vaksinasi. Hal ini perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut terhadap vaksinasi yang digunakan oleh breeding farm
oleh instansi pemerintah yang berwenang.

Hasil dari swab kloaka sebanyak 1.151 dan swab lingkungan sebanyak
235 yang didapatkan semua negatif MA AI. Hal ini menunjukkan tidaknya
sheeding virus AI pada breeding farm.

KETERBATASAN

Jadwal kunjungan lapangan dari kegiatan surveillance ini mengikuti


jadwal dari Kementerian Pertanian Pusat dan pengajuan permohonan dari
breeding farm sehingga pengambilan sampel tidak sepenuhnya mengikuti
desain survei pada kegiatan ini terutama pengambilan sampel yang dilakukan
pada unggas yang divaksinasi. Selain itu keterbatasan pengambilan sampel
mengikuti jumlah flok dan umur unggas yang tersedia di breeding farm.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/


OT.140/5/2008 Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

OIE, 2012. Manual Diagnostic Test and Vaccines for Terrestial Animal Word
Organisation for Animal Health chapter 2.3.4.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
295
PENYIDIKAN KEJADIAN KEMATIAN SAPI BALI YANG
DIDUGA DISEBABKAN OLEH JEMBRANA DI JORONG
PANANG NAGARI TANJUANG BALIK KECAMATAN
PANGKALAN KABUPATEN LIMA PULUH KOTA TAHUN 2016
Eka Oktarianti1, Betty Indah Purnama2

1
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota
2
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat
Email : eka.oktarianti0606@gmail.com
Mobilephone : 085272747826

ABSTRAK

Sejak pertama kali outbreak di Sumatera Barat tahun 1992 Balai Veteriner Bukittinggi telah
melakukan monitoring penyakit Jembrana dan belum pernah ditemukan kasus di Kabupaten Lima
Puluh Kota. Pada bulan Oktober tahun 2016, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. Lima
Puluh Kota bersama Balai Veteriner Bukittinggi melakukan penyidikan terhadap kasus kematian
mendadak pada sapi bali di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik Kecamatan Pangkalan Kab. Lima
Puluh Kota dengan gejala diduga terinfeksi Jembrana. Tujuan penyidikan adalah untuk menentukan
defenisi kasus, mengumpulkan data dan informasi, melakukan pengambilan dan pengujian sampel,
mengidentifikasi kemungkinan sumber/rute infeksi, mengidentifikasi faktor-faktor risiko, analisis
data serta pemberian saran tindakan pengendalian. Penyidikan dilakukan melalui pencarian kasus
aktif terhadap ternak yang menunjukkan gejala klinis, wawancara terhadap peternak dengan
kuisioner, obeservasi lingkungan dan pemeriksaan laboratorium (nekropsi bangkai dan PCR)
oleh Balai Veteriner Bukittinggi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analisa sederhana,
pembuatan kurva epidemik, dan perhitungan mortalitas. Berdasarkan kerangka waktu dan kurva
epidemik, kisaran masa inkubasi adalah 4 – 12 hari. Angka mortalitas sebesar 30%. Diagnosa
banding saat kunjungan ke lapangan adalah Bovine Ephemeral Fever (BEF). Peneguhan diagnosa
dilakukan dengan nekropsi dan pemeriksaan secara PCR terhadap ternak yang menunjukkan gejala
klinis. Hasil nekropsi menunjukkan terjadinya pembesaran lien dan perdarahan pada orga jantung,
sedangkan hasil pengujian PCR terhadap serum darah dan organ pada 5 ekor sapi menunjukkan
hasil positif terinfeksi Jembrana. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa penyebab
kematian pada sapi bali adalah terinfeksi penyakit Jembrana Hasil penyidikan menunjukkan bahwa
kemungkinan sumber infeksi berasal dari pemasukan sapi bali dari daerah endemis dan telah
terinfeksi Jembrana, serta kurang optimalnya manajemen pemeliharaan sapi bali oleh peternak.
Pemberian rekomendasi tindakan pengendalian adalah peningkatkan manajemen peternakan dan
biosekuriti, melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi tentang tata cara pemasukan ternak
dari luar daerah.

Kata kunci : Jembrana, sapi bali, penyidikan

PENDAHULUAN

Penyakit Jembrana disebabkan oleh Lentivirus, Famili Retoviridae


(Wilcox, G.E.et al. 1992). Masa inkubasi antara 4 - 12 hari, dengan gejala
klinis berupa demam tinggi 420C, diare berdarah, kebengkakan kelenjer
limfe preskapularis, prefemoralis, dan kelenjer parotis (Dharma et al., 1991),
dapat terjadi kepincangan, keluarnya ingus secara berlebihan, lakrimasi, dan
hipersalivasi. Hipersalivasi disebabkan adanya erosi (luka-luka) pada selaput
lendir mulut. Pada saat demam akan terjadi penurunan limposit terutama sel
limposit B dan trombosit, sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan
(keringat darah) dan penurunan sistem kekebalan tubuh serta kematian
296 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
secara tiba-tiba (Dharma et al., 1994; Soesanto et al., 1990).

Penyakit Jembrana sering menyerang sapi Bali berumur lebih dari 1


tahun dan umur yang paling peka berkisar antara 3 - 4 tahun. Morbiditas
mencapai 60% dengan mortalitas 10%. Penyakit Jembrana bersifat non
kontangius, penularan tidak terjadi secara kontak langsung, dapat terjadi
secara mekanis melalui penggunaan jarum suntik yang tercemar atau melalui
vektor (Dharma dan Putra, 1997), serta melalui rute intranasal, konjungtival
atau oral dan vektor serangga penghisap darah (Soeharsonso et al., 1995). Sapi
yang sembuh dari infeksi JDV akan tetap terinfeksi secara persisten selama
25 bulan tanpa menunjukkan gejala sakit (Soeharsono et al. 1990). Sebagian
besar hewan yang terserang sudah menunjukkan kesembuhan secara klinis 5
minggu setelah infeksi (Hartaningsih et al., 1994). Pemberantasan penyakit
ini menjadi sulit karena hewan yang sembuh dapat menjadi karier (Subronto,
1995).

Balai Veteriner Bukittinggi secara rutin telah melakukan surveilans


terhadap penyakit Jembrana untuk mengetahui titer antibodi terhadap virus
Jembrana dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Sejak tahun
2013 Kabupaten Kampar dan kabupaten lainnya di Provinsi Riau merupakan
daerah endemis penyakit Jembrana. Sepanjang tahun 2016 dilaporkan telah
terjadi kematian sapi bali sebanyak 254 ekor akibat terjangkit penyakit
Jembrana (Anonim. 2017). Pada tahun 2014 penyakit Jembrana terjadi di
Kabupaten Dharmasraya (Miswati, Y. 2016) dan pada akhir tahun 2015 kasus
yang sama juga terjadi di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam
dengan jumlah kematian sapi Bali sebanyak 20 ekor (Hilmayeni. 2016).

Kegiatan penyidikan kematian sapi bali yang diduga disebabkan


Jembrana oleh Tim Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten
Lima Puluh Kota dan Balai Veteriner Bukittinggi dilaksanakan berdasarkan
adanya laporan kasus kematian mendadak pada sapi bali dengan gejala klinis
mengarah pada penyakit Jembrana di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik
Kecamatan Pangkalan. Laporan kematian sapi bali tersebut harus segera
ditindaklanjuti, karena Kecamatan Pangkalan merupakan daerah yang padat
populasi sapi bali, disamping itu Kecamatan Pangkalan merupakan daerah
yang berbatasan langsung dengan daerah endemis penyakit jembrana,
sehingga perlu segera dilakukan kegiatan penyidikan penyakit agar dapat
ditentukan tindakan penanggulangan untuk mencegah penularan dan
penyebarannya.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
297
TUJUAN

Tujuan penyidikan kematian sapi Bali di Nagari Tanjuang Balik Kecamatan


Pangkalan Kabupaten Lima Puluh Kota adalah untuk :
1. Melakukan konfirmasi dan verifikasi diagnosa penyakit
2. Mengidentifikasi sumber penularan dan populasi berisiko
3. Menggambarkan karakteristik epidemiologi
4. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berasosiasi dengan penyakit
5. Merekomendasikan langkah-langkah pengendalian penyakit

METODA

Penyidikan kematian sapi bali di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik


Kecamatan Pangkalan Kabupaten Lima Puluh Kota menggunakan metoda
investigasi wabah dilakukan dengan cara berikut:
1. Deskriptif.
a. Lokasi penyidikan adalah di Jorong Panang, Nagari Tanjuang
Balik, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Limapuluh Kota.
b. Waktu pelaksanaan investigasi dilakukan 2 tahap
- Tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 13 Okober 2017
- Tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 26 - 27 Oktober 2016
c. Defenisi Kasus adalah berdasarkan gejala klinis yaitu demam,
hipersalivasi, berkeringat darah dan dilakukan konfirmasi
laboratorium di Balai Veteriner Bukittingi.
2. Investigasi Laboratorium melalui pengambilan spesimen yang
dilakukan oleh Tim Balai Veteriner Bukittinggi dengan melakukan
nekropsi bangkai dan pengujian PCR terhadap sampel darah dan organ,
berdasarkan informasi tanda klinis atau sindrom di lokasi kejadian
yaitu pada sapi bali milik bapak Rudik, Firdaus dan Sarjuddin, untuk
selajutnya dilakukan pengujian di laboratorium BVet Bukittinggi.
3. Pencarian kasus aktif dilaksanakan melalui survei langsung ke
peternakan, toke atau penjual ternak dan petugas kesehatan hewan UPT
Peternakan dan Puskeswan Wilayah VI.
4. Wawancara dengan kuesioner terhadap peternak di sekitar lokasi
kejadian.
5. Observasi lingkungan dilakukan terhadap kandang dan lingkungan
sekitar.
6. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analisa sederhana,
pembuatan kurva epidemik, dan perhitungan mortalitas.

298 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL

Kronologis Kematian Sapi Bali

Informasi kematian sapi bali dilaporkan pertama kali oleh seorang


peternak dan toke (pengepul ternak) bernama Riki di Jorong Panang Nagari
Tanjuang Balik Kecamatan Pangkalan. Sapi bali yang mati mendadak
tersebut dibeli dari Air Tiris Kabupaten Kampar Propinsi Riau beberapa hari
sebelum terjadi kasus kematian pertama pada sapi bali.

Berdasarkan keterangan dari Riki, ternak yang dibeli dari Kampar


menunjukkan gejala sakit 2 hari setelah dibeli (26 September 2016), dengan
tanda-tanda hipersalivasi, sesak nafas, air seni berwarna coklat dan feses
berdarah. Sapi bali yang sakit tersebut digembalakan di padang rumput
bersama ternak masyarakat lainnya. Keesokan harinya terjadi kematian pada
sapi milik Riki dengan gejala keringat darah dan keluar darah dari lubang
hidung, telinga dan anus. Populasi sapi bali di lokasi tersebut adalah 70 ekor,
telah terjadi kematian mendadak pada 21 ekor, potong paksa 10 ekor dan
sebanyak 35 ekor di jual dalam kondisi sakit. Berikut data laporan kematian
sapi bali :

Tabel 1. Laporan kematian sapi bali

No. Tanggal kematian Jumlah (ekor)


1 28/09/2016 1
2 05/10/2016 1
3 09/10/2016 2
4 10/10/2016 3
5 11/10/2016 6
6 12/10/2016 4
7 13/10/2016 2
8 14/10/2016 1
9 26/10/2016 1
Total 21

Dari data tersebut diatas dapat diketahui bahwa angka mortalitas pada
sapi bali sebesar 30% (21/70). Menurut Putra (2001), angka kematian akibat
Jembrana adalah 31,8% pada sapi betina dan 7,7% pada sapi bali jantan.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
299
  
  
 

           
          





Gambar 1. Gambaran kurva epidemik kasus kematian sapi bali di Jorong


Panang





Gambar 2. Kerangka waktu investigasi kasus kematian sapi bali di Jorong



Panang Nagari Tanjuang Balik Kecamatan Pangkalan








Gambar 3. Pemetaan partisipatif area  kasus
300 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gejala klinis yang teramati pada sapi bali yang mengalami kematian
yaitu adanya hipersalivasi, nafsu makan turun, sesak nafas, beberapa ekor
ternak ada yang menunjukkan gejala feses dan urin berdarah, demam,
berkeringat darah, dan keluar darah dari lubang hidung, telinga dan anus.
Sedangkan perubahan patologi anatomi terjadinya pembesaran limfe dan
perdarahan jantung.

Gambar 4. Perdarahan pada hidung Gambar 5. Pembesaran Lien

Gambar 6. Peradarahan pada telinga Gambar 7. Perdarahan pada jantung

Variabel faktor risiko kematian sapi bali

Wawancara dilakukan terhadap 6 orang peternak yang mengalami


kasus kematian pada sapi bali dengan cara kuisioner dan observasi terhadap
kandang dan lingkungan. Hasil wawancara disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Data deskriptif penyidikan tingkat lapang melalui wawancara


peternak

No. Variabel Jumlah


1. Jumlah sapi (ekor) 1 – 20 (rata-rata 6.5
2. Sistem pemeliharaan
- Ekstensif 4
- Semi ekstensif 2

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
301
No. Variabel Jumlah
3. Tahu penyakit Jembrana
- Ya 0
- Tidak 6
4. Penerapan biosekuriti
1. Desinfeksi
- Ya 0
- Tidak 6
2. Pagar pembatas
- Ya 0
- Tidak 6
5. Sumber air minum
- Sungai 4
- Kolam 2
6. Asal sapi
- Beli 2
- Indukan sendiri 4
7. Umur sapi 1 – 6 tahun
8. Bangsa sapi Bali
9. Disposal
- Dikubur 0
- Dijual 6
10. Pelaporan kasus
- Ada 2
- Tidak ada 4
11. Keluar masuk hewan/kendaraan setelah kasus
- Ada 6
- Tidak ada 0

Pengambilan spesimen

Tim Balai Veteriner Bukittinggi melakukan pengambilan sampel berupa


darah dan sampel organ untuk pemeriksaan PCR. Rincian pengambilan
sampel disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rincian pengambilan spesimen

No. Nama peternak Jenis sampel Uji Hasil


1 Rudik Darah sapi bali PCR Positif
2 Rudik Darah sapi bali PCR Positif
3 Firdaus Darah sapi bali PCR Positif
4 Riki Darah sapi bali PCR Positif
5 Sarjuddin Organ sapi bali PCR Positif

Berdasarkan hasil pemeriksaan PCR tersebut diketahui bahwa semua


sampel (darah dan organ) menunjukkan hasil positif terhadap penyakit
Jembrana. Pada saat dilakukan penyidikan lanjutan (26 oktober 2016), 2

302 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ekor sapi bali milik bapak Rudik yang positif Jembrana pada pemeriksaan
PCR oleh BVet Bukittinggi, menunjukkan gejala sakit dengan tanda-tanda
hipersalivasi, nafsu makan turun, dan demam. Tim penyidikan Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota telah
melarang bapak Rudik menjual sapi bali tersebut, akan tetapi bapak Rudik
tetap menjual sapi sakit itu ke toke dan dibawa lagi ke Kabupaten Kampar.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil investigasi lapang melalui wawancara dan


pengamatan kandang serta lingkungan, bahwa kasus kematian pada sapi bali
di Jorong Panang pertama kali terjadi pada sapi bali milik Bapak Riki yang
dibeli dari Kabupaten Kampar. Bapak Riki memelihara semua sapi balinya
di padang rumput pengembalaan yang berada dekat pemukiman warga,
dimana padangan tersebut juga digunakan oleh peternak lainnya untuk
menggembalakan sapi bali mereka. Kondisi tersebut dapat menjadi faktor
risiko penyebaran penyakit Jembrana.

Dari kurva epidemik dapat dilihat bahwa masa inkubasi penyakit


tersebut kurang lebih 7 hari dan mengalami puncak infeksi pada tanggal 11
Oktober 2016 yaitu sebanyak 6 ekor. Bapak Riki baru melaporkan adanya
kasus kematian mendadak pada sapi bali setelah 2 minggu dari kejadian
pertama kali, yaitu tanggal 12 Oktober 2016 dengan kematian sebanyak
19 ekor. Penyebaran peyakit mulai mengalami penurunan kematian setelah
tim UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III serta tim BVet Bukittinggi
melakukan penyidikan kasus pada tanggal 13 Oktober 2016, dan dilakukan
kegiatan pengendalian penyebaran penyakit melalui komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE) kepada peternak dan masyarakat sekitar daerah kasus.

Risiko kejadian dan penyebaran penyakit Jembrana yang didapatkan


selama penyidikan di lokasi kejadian didukung oleh faktor-faktor antara
lain : ternak yang berasal dari daerah endemis Jembrana, pengawasan lalu
lintas ternak antar daerah dan penerapan manajemen pemeliharaan ternak
yang kurang optimal, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit
Jembrana, sistem pelaporan penyakit dari peternak kepada petugas kesehatan
hewan yang masih lambat.

Kematian ternak pada sapi bali dengan gejala klinis terserang virus
Jembrana di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik Kecamatan Pangkalan
merupakan kasus pertama kali, sehingga masyarakat belum mempunyai
pengetahuan tentang penyakit Jembrana dan faktor-faktor risiko yang dapat
memengaruhi kejadian Jembrana. Sejak tahun 2013, Kabupaten Kampar dan
kabupaten lainnya di Provinsi Riau merupakan daerah endemis Penyakit
Jembrana. Berdasarakan hasil surveilan yang dilakukan Balai Veteriner
Bukittinggi, sepanjang tahun 2016 dilaporkan telah terjadi kematian Sapi

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
303
Bali sebanyak 254 ekor akibat terjangkit penyakit Jembrana. Peternak tidak
mengetahui informasi tersebut dan peternak masih membeli dan memasukkan
ternak dari Kabupaten Kampar yang merupakan daerah endemis sehingga
akan berisiko menularkan penyakit Jembrana di Kecamatan Pangkalan.

Faktor risiko lain yang juga dapat memengaruhi kejadian Jembrana


pada sapi bali adalah biosekuriti yang tidak optimal. Peternak tidak pernah
melakukan penyemprotan desinfektan maupun penyemprotan ektoparasit
pada ternak dan kandang atau lingkungan. Tidak semua ternak dipeliharan
secara intesif didalam kandang, sebagian besar sapi bali di Jorong Panang
dipelihara secara ekstensif dengan cara mengembalakan sapi bali tersebut di
padang rumput bersama-sama dengan ternak masyarakat lainnya. Penanganan
bangkai atau disposal tidak dilakukan secara benar oleh peternak yang
mengalami kasus kematian pada sapi balinya, karena semua bangkai sapi
bali yang mati dijual kepada pengepul untuk dijadikan pakan lele. Bangkai
ternak yang mati tersebut seharusnya segera dikubur atau dibakar sehingga
dapat mengurangi risiko penyebaran penyakit.

Tindakan pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan oleh Dinas


Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota adalah
optimalisasi penerapan program biosekuriti terutama pada kandang yang
sebelumnya pernah mengalami kematian ternak, pelarangan pemasukan ternak
dari daerah yang endemis Jembrana (Kabupaten Kampar), mempercepat
sistem pelaporan apabila terjadi kasus kematian pada sapi bali, melakukan
vaksinasi Jembrana terutama pada daerah kasus, melakukan sosialisasi
tentang penyakit Jembrana kepada masyarakat tidak hanya di daerah kasus
tetapi juga di daerah berisiko atau berpotensi terjadi kasus Jembrana. Tim
investigasi telah membagikan desinfektan untuk menyemprot kandang dan
lingkungan dalam upaya mendukung pencegahan dan penanggulangan
kasus Jembrana di daerah tersebut dan daerah sekitar yang berisiko tertular
penyakit Jembrana (Nagari Pangkalan dan Gunuang Malintang).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penyidikan kasus kematian pada sapi bali yang dilakukan di Jorong


Panang Nagari Tanjuang Balik Kecamatan Pangkalan Kabupaten Lima
Puluh Kota dapat disimpulkan bahwa :
1. Penyebab kematian sapi bali adalah Jembrana berdasarkan pengamatan
gejela klinis, dan pemeriksaan laboratorium BVET Bukittinggi dengan
metode PCR.
2. Sumber penularan adalah pemasukan sapi bali dari daerah endemik
Jembrana (Kabupaten Kampar) dan kurang optimalnya penerapan
manajemen peternakan.

304 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
3. Mortalitas penyakit Jembrana di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik
Kecamatan Pangkalan pada bulan Oktober 2016 adalah 30%, sedangkan
penularan penyakit terjadi secara mekanis dan vektor.
4. Faktor- faktor risiko yang dapat memengaruhi kejadian Jembrana
adalah kurang optimalnya kontrol lalu lintas ternak dari daerah endemis,
penerapan manajemen pemeliharaan ternak dan biosekuriti, rendahnya
pengetahuan masyarakat tentang penyakit Jembrana, serta sistem
pelaporan penyakit dari peternak kepada petugas kesehatan hewan yang
masih lambat.

Saran

1. Vaksinasi jembrana hendaknya dapat dilakukan secepatnya pada sapi


bali di daerah tertular setelah kejadian kematian mendadak pada sapi
bali tersebut dinyatakan positif melalui pemeriksaan laboraturium oleh
Balai Veteriner.
2. Melakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan titer antibodi
setelah dilakukan vaksinasi jembrana sehingga dapat diketahui tingkat
kekebalan sapi bali terhadap Jembrana

LIMITASI

Peternakan sapi bali yang ada di Kecamatan Pangkalan sebagian besar


merupakan peternakan dengan sistem ekstensif. Sapi bali dilepas liarkan di
perkebunan sawit, sehingga peternak tidak mengetahui secara pasti kondisi
ternaknya. Kondisi tersebut menjadi kendala untuk melakukan kontrol
kesehatan dan penerapan manajemen peternakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2017. Upaya Ditjen PKH Kementan atasi Penyakit Jembrana


pada sapi bali di Propinsi Riau. http://ditjennak.pertanian.go.id.
Tanggal posting 27 Januari 2017

Dharma DMN. Ladds PW. Wilcox GE. and Campbell RSF. 1994.
Immunopathology of Experimental Jembrana Disease in Bali Cattle.
Vet. Imunopathol. 44: 31 – 44.

Dharma DMN. Budiantono A. Campbell RSF. and Ladds PW. 1991. Studies
on Experemintal Jembrana Disease In Bali Cattle III. Pathology J.
Comp. Pathol. 105: 397 – 414.

Hardjosubroto W. 1994.  Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT.


Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
305
Hilmayeni S. 2016. Penyakit Jembrana, Kenali dan Waspada. Buletin
Puskeswan 1 Oktober 2016. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Propinsi Sumatera Barat.

Miswati Y. 2016. Gambaran Perkembangan Kasus Penyakit Jembrana di


Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kepri Tahun 2011-2015.
Artikel Balai Veteriner Bukittingi. 20 Januari 2016

Putra AAG. Dharma DMN. and Kalianda J. 1994 Laporan Penyidikan Survei
Seroepedemiologi Penyakit Jembrana di Kab. Tanah Laut, Kalimantan
Selatan.

Putra AAG. 2001. Kajian Ekonomi dan Strategi Penanggulangan Penyakit


Jembrana di Indonesia. In : Hartiningsih N. and Putra AAG. Editor.
Tiga Puluh Tahun Menanklukan Penyakit Jembrana. Prosiding
Seminar Nasional Penyakit Jembrana. Denpasar 9 Okt.2001. p30-50.

Soesanto M. Soeharsono S. Budianto A. Sulistyana K. Tenaya M. and Wilcox


GE. 1990. Studies On Experemintal Jembrana Disesae In Bali Cattle.
II. Clinical Sign And Haematological Changes. J. Comp. Pathol., 103:
61 – 71.

Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak I. Universitas Gadjah Mada Press.


Yogyakarta

Supriyadi A. Prawito P. Nensy MH. Karyanti D. And Murdianto A. 2006.


Ancaman Penyakit Jembrana dan Bovine Viral Diarrhea terhadap
Peternakan Sapi Bali. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. 2006

Wilcox G. Kertanyadnya G. Hartiningsih N. Dharma DMN. Soeharsono


S. and Robertson T .1992. Evidence for Viral Etiology of Jembrana
Disease in Bali Cattle. J. Vet. Microbiology.

306 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
SURVEILANS SALMONELLOSIS PADA AYAM PETELUR
(LAYER) DI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN DI
YOGYAKARTA TAHUN 2015, 2016 DAN 2017
drh. Cicilia Setyo Rini P, M.Sc

Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta


Korespondensi : ciciliasetyorini79@gmail.com

ABSTRAK

Salmonellosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang diprioritaskan internasional


di beberapa negara. Data prevalensi Salmonellosis yang akurat harus diketahui untuk membantu
meningkatkan kesehatan hewan dan produksi peternakan serta menciptakan produk peternakan
yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal). Data prevalensi yang akurat dapat diketahui dengan
melakukan surveilans secara berkesinambungan di suatu daerah. Surveilans Salmonellosis yang
telah dilakukan secara berkesinambungan selama 3 tahun (tahun 2015, 2016 dan 2017) di 7
kabupaten yang sama ini bertujuan mengetahui data prevalensi Salmonellosis yang akurat pada
ayam petelur (layer) di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Surveilans Salmonellosis
pada ayam petelur (layer) tahun 2015 - 2017 dilaksanakan secara berkesinambungan di 7 kabupaten,
yaitu Kabupaten Semarang, Magelang, Tulungagung, Kediri, Pasuruan, Blitar dan Kulon Progo.
Surveilans tidak dapat dilakukan di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2016 karena pemotongan
anggaran kegiatan. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa peternakan ayam petelur (layer)
di setiap kabupaten yang disurvei. Sampel berupa serum ayam untuk pengujian pullorum test dan
swab kloaka ayam untuk pengujian isolasi Salmonella sp. Sampel berupa swab tempat telur juga
diambil pada surveilans Salmonellosis tahun 2017 untuk pengujian isolasi Salmonella sp. Pengujian
dilakukan di laboratorium Balai Besar Veteriner Wates. Sero-prevalensi Salmonellosis tahun 2017
berdasarkan pullorum test cukup tinggi (>40%) di 6 kabupaten (Semarang, Magelang, Tulungagung,
Kediri, Pasuruan, Blitar), sedangkan di Kabupaten Kulon Progo rendah (16,67%). Rata-rata sero-
prevalensi Salmonellosis di 7 kabupaten meningkat tahun 2015 (35,24%), 2016 (57,08%) dan 2017
(57,11%). Hasil isolasi Salmonella sp. dari swab kloaka tahun 2017 menunjukkan hasil positif di
Kabupaten Blitar (1,07%) dan negatif (0%) di 6 kabupaten lainnya. Rata-rata isolasi Salmonella
sp. di 7 kabupaten tahun 2017 menunjukkan hasil positif rendah (0,15%) dan negatif (0%) pada
tahun 2015-2016, sedangkan rata-rata pullorum test positif cukup tinggi : tahun 2017 (57,11%),
2016 (57,08%), 2015 (35,24%). Hasil isolasi dari swab tempat telur tahun 2017 di 7 kabupaten
menunjukkan hasil negatif (0 %) Salmonella sp. Prevalensi Salmonellosis pada ayam petelur (layer)
di Jatim, Jateng dan DI Yogyakarta dapat disimpulkan meningkat dari tahun 2015 sampai tahun 2017
berdasarkan hasil surveilans Salmonellosis (sero-prevalensi dan prevalensi) yang telah dilakukan
berkesinambungan selama 3 tahun di 7 kabupaten. Peningkatan sero-prevalensi dan prevalensi
Salmonellosis ini sebaiknya diperhatikan untuk melakukan pencegahan Salmonellosis pada ayam
dan unggas lainnya.

Kata Kunci : Salmonellosis, ayam petelur

PENDAHULUAN

Salah satu penyakit zoonosis yang diprioritaskan di beberapa negara


seperti Uni Eropa, USA dan Singapura adalah infeksi Salmonella sp.
terutama Salmonella enteritidis. Syarat bebas Salmonellosis didukung
data prevalensi Salmonellosis yang akurat agar dapat melakukan ekspor
ke berbagai negara. Manajemen kesehatan hewan harus diperhatikan untuk
meningkatkan produksi peternakan dan menciptakan produk peternakan
yang ASUH (Aman,Sehat,Utuh,Halal).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
307
TUJUAN

Surveilans ini bertujuan mengetahui prevalensi Salmonellosis pada


ayam petelur (layer) tahun 2015 - 2017 di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI
Yogyakarta.

MATERI DAN METODA

Target surveilans ditentukan menggunakan design sampling. Surveilans


Salmonellosis pada ayam petelur tahun 2015 - 2017 ini telah dilaksanakan di
7 kabupaten, yaitu Kabupaten Semarang, Magelang, Tulungagung, Kediri,
Pasuruan, Blitar dan Kulon Progo. Surveilans Salmonellosis ini tidak dapat
dilakukan di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2016 karena pemotongan
anggaran kegiatan.

Sampel yang diambil dan diuji berupa serum dan swab kloaka ayam
petelur (layer). Sampel serum dan swab kloaka ayam diambil dari peternakan
ayam petelur (layer). Beberapa sampel swab tempat telur juga diambil pada
surveilans Salmonellosis tahun 2017.

Pengujian dilakukan di laboratorium Balai Besar Veteriner Wates.


Sampel serum diuji pullorum test, sedangkan isolasi bakteri Salmonella sp.
dilakukan dari sampel swab kloaka dan swab tempat telur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sero-Prevalensi Salmonellosis Berdasarkan Pullorum Test

90% 82.50%
78.13%
80% 75%
70%
70% 64.24% 65%
58.82% 60%
60% 55.65%
48.96%
50% 43.10% 45% 43.21%
40.56% 38.75%
40% 36.46%
33.22%
30%
18%
20% 15.63% 16.67%

10%
0
0%
Semarang Magelang Tulung Kediri Pasuruan Blitar Kulon Progo
Agung

Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017

308 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Sero-prevalensi Salmonellosis tahun 2017 berdasarkan pullorum test
cukup tinggi (>40%) di 6 kabupaten (Semarang, Magelang, Tulungagung,
Kediri, Pasuruan, Blitar), sedangkan di Kabupaten Kulon Progo rendah
(16,67%).

Rata-rata sero-prevalensi Salmonellosis di 7 kabupaten meningkat pada


tahun 2015 (35,24%), tahun 2016 (57,08%) dan tahun 2017 (57,11%).

Prevalensi Salmonellosis Berdasarkan Isolasi


Salmonella sp. Dari Sampel Swab Kloaka
5%

4%

3%

2%
1.07%
1%
0% 0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0 0%
0%
Semarang Magelang Tulung Kediri Pasuruan Blitar Kulon Progo
Agung

Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017

Hasil isolasi Salmonella sp. dari swab kloaka tahun 2017 menunjukkan
hasil positif di Kabupaten Blitar (1,07%) dan negatif (0%) di 6 kabupaten
lainnya.

Rata-rata isolasi Salmonella sp. dari swab kloaka di 7 kabupaten tahun


2017 menunjukkan hasil positif rendah (0,15%) dan negatif (0%) pada tahun
2015-2016, sedangkan rata-rata pullorum test positif cukup tinggi pada tahun
2017 (57,11%), tahun 2016 (57,08%) dan tahun 2015 (35,24%).

Hasil pullorum test positif yang cukup tinggi tetapi hasil isolasi
Salmonella sp. yang positif rendah atau negatif kemungkinan disebabkan
reaksi silang pullorum test atau ayam pernah terinfeksi Salmonella sp.
sebelum surveilans karena ayam tidak divaksinasi Salmonella. Pullorum
test sebagai screening test sebaiknya diuji validitasnya karena kemungkinan
terjadi reaksi silang dengan bakteri lain.

Hasil isolasi dari swab tempat telur tahun 2017 di 7 kabupaten


menunjukkan hasil negatif (0 %) Salmonella sp.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
309
Hasil surveilans Salmonellosis (sero-prevalensi dan prevalensi)
yang telah dilakukan berkesinambungan selama 3 tahun di 7 kabupaten
menunjukkan peningkatan prevalensi Salmonellosis pada ayam petelur
(layer) pada tahun 2015, 2016 dan 2017 di Jawa Timur, Jawa Tengah dan
DI Yogyakarta. Prevalensi Salmonellosis dapat diketahui dengan pasti jika
surveilans dilakukan secara berkesinambungan di daerah tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil surveilans (sero-prevalensi dan prevalensi) yang telah


dilakukan berkesinambungan selama 3 tahun di 7 kabupaten dapat
disimpulkan bahwa prevalensi Salmonellosis pada ayam petelur meningkat
dari tahun 2015-2017 di Jatim, Jateng dan DIY.

Peningkatan sero-prevalensi dan prevalensi Salmonellosis ini sebaiknya


diperhatikan untuk melakukan pencegahan Salmonellosis pada ayam dan
unggas lainnya. Prevalensi Salmonellosis dapat menurunkan produktivitas
ternak dan kualitas produksi peternakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Pedoman Teknis Surveilans Penyakit Hewan Menular.


Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian
Pertanian. Australian Indonesia Patnership for Emerging Infectious
Disease.

Carter, G.R & John R.C. 1990. Diagnostic Procedures in Veterinary


Bacteriology and Mycology. Fifth edition. Academic Press,Inc.

Herendra, D.C. & Don A.F. 1996. Poultry Diseases and Meat Hygiene.
Iowa State University Press.

Kennedy, D., R.Morris, S.W.Martin, G.Neumann, I.Gardner, C.Baldock,


J.Edwards, P.Blackall, B.Farquharson, A.Brightling, R.Roe, H.Scott-
Orr. 1990. Epidemiological Skills in Animal Health. Proceedings 143
Refresher Course for Veterinarians. University of Sydney.

Sainsbury, D. 1992. Poultry Health and Management (Chickens, Ducks,


Turkeys, Geese, Quail. Third Edition. University of Cambridge.

310 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PREVALENSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI DI PROVINSI
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017
Veronika Matutina. A.Md

UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur


Ika.matutina@yahoo.com

ABSTRAK

Perkembangan peternakan sapi di Nusa Tenggara Timur yang cenderung dikelola secara
tradisional dengan metode penggembalaan menjadi salah satu indikator penyebaran parasit cacing.
Fasciolosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing Fasciola sp. Penyakit cacingan
merugikan secara ekonomi karena dapat menyebabkan penurunan berat badan,penurunan kulitas
daging,kulit, jeroan dan menyebabkan penurunan produktifitas serta dapat menular kepada manusia
(zoonosis), namun pada beberapa kasus dapat pula menyebabkan kematian pada hewan muda.
Surveilans ini dilakukan untuk melihat prevalensi dan tingkat infestasi telur cacing Fasciola sp
pada sapi bali di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Surveilans dilakukan dengan metode pengujian
sedimentasi pada feses sapi yang diambil dari 22 Kota/Kabupaten di wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Timur dengan memperhatikan daerah pemeliharaan (kering dan basah) dianalisa menggunakan chi-
square dan Odds Ratio (OR). Total sampel yang diambil sebanyak 948 sampel feses sapi dengan
prevalensi telur cacing Fasciola sp sebanyak 1,69 % dan hasil perhitungan chi-square sebesar 16,68
(X2tabel= 3.84; α = 0,05, df = 1) menunjukan bahwa ada hubungan antara kejadian fasciolosis dengan
daerah pemeliharaan di wilayah basah. Sedangkan hasil perhitungan OR didapat 11,69; yang berarti
kejadian Fasciolosis pada daerah basah 12 kali lebih tinggi daripada di daerah kering.

Kata Kunci : Fasciolosis, Prevalensi, Surveilans, Sapi Bali, Nusa Tenggara Timur

PENDAHULUAN

Latar belakang

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu wilayah


produsen ternak nasional di Indonesia memiliki populasi sapi potong
984.508 ekor (BPS,2016) dengan luas wilayah 47.931,54 km2 yang secara
administrative terdiri dari 22 Kabupaten/Kota yang tersebar dibeberapa pulau
besar dan kecil. Memiliki musim hujan dan kemarau serta memiliki wilayah
yang tergolong kering dimana hanya 4 bulan yang relative basah( Januari,
Februari, Maret dan Desember) dan sisanya kering (Anonimous,2016a)
Sebagai wilayah yang masih memiliki ketersediaan padang penggembalaan
NTT menjadi daerah yang sangat cocok untuk perkembangan Peternakan.
Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang diternakan hampir
diseluruh wilayah NTT memiliki keunggulan daya adaptasi yang baik,
reproduksi yang tinggi serta kualitas daging yang baik (Dirjennak, 2008),
Namun sapi bali rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri
dan Parasit ( Bandini,2004). Parasit memiliki patogenesis yang rendah namun
bertindak sebagai faktor predisposisi. Penyakit Parasit khususnya cacingan
sering merugikan secara ekonomi karena dapat menyebabkan penurunan
berat badan,penurunan kualitas daging,kulit, jeroan dan menyebabkan
penurunan produktifitas serta dapat menular kepada manusia (zoonosis),

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
311
namun pada beberapa kasus dapat pula menyebabkan kematian pada hewan
muda (Anonimous,2016b).

Fasciolosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing


Fasciola sp atau lebih sering dikenal dengan sebutan cacing hati/cacing daun.
Kerugian ekonomi akibat penyakit ini diperkirakan sekitar 513.6 milyar
setiap tahun (Anonimous, 1990) berupa kerusakan hati yang harus diafkir,
kekurusan, penurunan tenaga untuk membajak terganggunya fertilitas dan
kematian, Ternak juga mengalami penurunan daya tahan terhadap infeksi
bakteri maupun virus.Oleh sebab itu maka pencegahan dan deteksi dini
terhadap penyakit ini harus cepat dilakukan.

Pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan merupakan salah


satu perhatian utama pembangunan peternakan di wilayah NTT dalam
peningkatan populasi sekaligus menjamin keamanan pangan hewani.
Untuk itu Dinas Peternakan Provinsi NTT melalui Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Veteriner melakukan surveilans untuk melakukan kontrol terhadap
penyebaran penyakit dengan melakukan pengambilan sampel pada wilayah
kerja Provinsi NTT didaerah tertular,terancam maupun bebas kemudian
melakukan pengujian di Laboratorium.

TUJUAN

Tujuan surveilans ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan tingkat


infestasi serta penyebaran cacing khususnya Fasciola sp di wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Timur.

MATERI DAN METODE

Materi

Kegiatan Surveilans pengambilan dan pengujian sampel feses sapi


dilakukan di Laboratorium Parasitologi UPT Veteriner dari bulan April – Juni
2017. Pengambilan sampel feses sebanyak 948 sampel dari 22 Kabupaten/
Kota yang tersebar di seluruh wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur. Alat
dan bahan yang diperlukan untuk pengujian dengan metode sedimentasi
(endapan) bahan yang digunakan antara lain; Air Kran, 948 sampel feses,
Larutan methylen blue 1 %, dan formalin 10 %, alat yang diperlukan : Kamar
Hitung whitlock, plastic untuk menimbang feses, gunting,stik, syringe 10 cc,
alat pengaduk feses, saringan, silinder pencampur 250 cc, pipet Pasteur, plug
dan microscop.

312 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Metode

Sampel Feses diambil secara palpasi rectum (langsung dari rectum)


atau yang baru saja dikeluarkan (masih segar) diambil sebanyak 10 gr,
disimpan dalam plastic atau gelas dengan penutup (container), sampel
diawetkan dengan menggunakan formalin 10 %. Untuk pengujian sampel
feses digunakan Teknik Uji sedimentasi(Endapan), yaitu :Timbang feses
sebayak 1 gram, masukkan ke dalam syringe 10 cc yang susdah berisi air
bersih 9 cc, kemudian aduk dengan stik sehingga tercampur rata/homogen.
Masukkan campuran feses dan air yang ada dalam syringe tersebut kedalam
silinder pencampur yang berisi 50 cc air. Aduk larutan feses yang ada dalam
silinder sampai tercampur sempurna, saring larutan feses tersebut. Endapkan
larutan feses yang telah tersaring selama 6 menit, kemudian masukkan
secara perlahan plug kedalam silinder pencampur. Pegang plug kuat-kuat
dan balikkan silinder pencampur sehingga cairan supernatannya terbuang.
Tambahkan air bersih sampai 50 cc kedalam endapan, aduk dengan baik dan
kemudian endapkan kembali selama 6 menit, selanjutnya masukkan plug
kedalam silinder pencampur secara perlahan, pegang kuat-kuat kemudian
balikkan silinder pencampur sehingga tersisa endapan larutan sebanyak
5cc. Lakukan sebanyak 3 kali. Tambahkan 2 tetes larutan methylene blue
1% kedalam endapan. Aduk hingga merata dengan pipet kemudian segera
isap larutan tersebut dengan pipet pasteur dan masukkan kedalam kamar
penghitung telur cacing. Identifikasi dan hitung jumlah telur cacing di bawah
microscop dengan pembesaran 40x.( Whitlock et al. 1948). Telur cacing
Fasciola sp akan terlihat berwarna kuning keemasan saat diamati di bawah
microscop.

Cara Menyatakan hasil :

Untuk menghitung telur cacing pergram feses, dengan menggunakan


1 kamar hitung (chamber) jumlah telur cacing dikalikan dengan factor 10.
Apabila menggunakan 2 kamar maka jumlah telur yang ditemukan di kalikan
dengan 5 faktor. ( Whitlock et al. 1948).

HASIL

Kegiatan surveilans Parasit Internal yang dilakukan UPT Veteriner di 22


Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur dari bulan April
–Juni 2017 dengan total 948 sampel feses. Pemeriksaan surveilans Parasit
Internal khusunya identifikasi dan penyebaran cacing fasciola sp di NTT
dengan rincian sebaran dan prevalensi sebagai berikut ;

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
313
Tabel 1. Sebaraan dan Prevalensi Fasciola Sp diwilayah Provinsi NTT

Prevalensi
No Kabupaten Jumlah Positif
(%)
1 Alor 35 0 0
2 Belu 50 3 6
3 Ende 50 0 0
4 Flores Timur 50 0 0
5 Kab. Kupang 50 0 0
6 Kota Kupang 31 0 0
7 Lembata 51 0 0
8 Malaka 23 1 4,35
9 Manggarai 50 0 0
10 Manggarai Barat 22 3 13,64
11 Manggarai Timur 32 0 0
12 Nagakeo 48 0 0
13 Ngada 50 3 6
14 Rote Ndao 44 0 0
15 Sabu 50 0 0
16 Sikka 44 0 0
17 Sumba Barat 42 0 0
18 Sumba Barat Daya 41 2 4,88
19 Sumba Tengah 50 0 0
20 Sumba Timur 50 2 4
21 TTS 50 0 0
22 TTU 35 2 5,71
JUMLAH 948 16 1,69

Tabel 2. Berdasarkan daerah Pemeliharaan ternak

Daerah Pemeliharaan Positif Negatif


Basah 14 349
Kering 2 583
Total 16 932

Gambar Telur cacing Fasciola yang ditemukan pada sapi bali yang
diperiksa di laboratorium Parasitologi UPT Veteriner dengan metode
Sedimentasi. Pada pemeriksaan dibawah microscop telur cacing fasciola
memiliki morfologi mempunyai operculum, telur tampak kuning keemasan
dan embrional tampak jelas.

314 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
           
        





Gambar 1. Telur Cacing Fasciola sp, yang ditemukan pada sapi Bali

 dilihat dengan perbesaran 40X

PEMBAHASAN


Sistem pemeliharaan sapi di wilayah Nusa Tenggara Timur yang
        
masih menggunakan sistem pemeliharaan tradisional yakni pemeliharaan

secara semi intensif dan ekstensif dimana ternak dipelihara di padang
         
penggembalaan sehingga rentan terkena berbagai macam penyakit. Salah satu
          
penyakit yang paling sering dijumpai adalah Cacingan. Berdasarkan hasil

Surveilans Parasit Internal di Laboratorium Parasitologi UPT Veteriner 2017
 dari
            
948 sampel feses sapi terdapat 16 sampel positif Fasciola sp dan terlihat
   tertinggi
dari tingkat prevalensi   
di Kabupaten 
Manggarai  
Barat (13,64%),
Kabupaten
      
Belu (6%), Kabupaten TTU (5,71%), Kabupaten Sumba Barat  

Daya (4,88%) dan Kabupaten Malaka (4.35%) ( Tabel 1), secara keseluruhan
   
tingkat prevalensi
fasciola
sp di 22  
kabupaten/kota se-NTT 
adalah 1,69 %. 
Fascioliasis
atau
      
penyakit cacing hati merupakan penyakit yang berlangsung 
akut,
subakut,
    
atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola, 
   
Fascioloides, dan  
Dicrocoelium. 
Patogenesis  
Fasciolosis 
pada sapi, kerbau, 
 
domba   
dan kambing akut
dapat berlangsung  kronik.
maupun Yang
  
akut

biasanya karena invasi cacing muda berlangsung secara masif dalam waktu
pendek, dan merusak parenkim hati, hingga fungsi hati sangat terganggu,
serta terjadinya perdarahan ke dalam rongga peritonium. Meskipun cacing
muda hidup di jaringan hati, tidak mustahil juga mengisap darah, seperti
yang dewasa, dan menyebabkan anemia (Subronto dan Tjahajati, 2001)

Penyebaran cacing Fasciola sp jika dilihat dari daerah pemeliharaan


dianalisa menggunakan metode chisquere seperti tabel 2 didapat hasil
perhitungan sebesar 16,68 (X2tabel= 3.84; α = 0,05, df = 1) menunjukan
bahwa ada hubungan antara kejadian fasciolosis dengan daerah pemeliharaan
di wilayah basah. Sedangkan hasil perhitungan Odds Ratio (OR) didapat

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
315
11,69; yang berarti kejadian Fasciolosis pada daerah basah 12 kali lebih tinggi
daripada di daerah kering. Pola beternak atau sistem pemeliharaan (ektensif
dan intensif) dapat mempengaruhi terinfeksinya ternak oleh cacing.(Fahrur
rozy et al) Fasciolosis pada sapi mempunyai prevalensi yang tinggi pada sapi
yang dipelihara secara ekstensif, dimana untuk mendapatkan makanan sapi
mencari sendiri sehingga tidak menjamin kuantitas dan kualitas makanan
sapi tersebut sesuai dengan kebutuhannya(Purwanta dkk,2006)

Penyebaran fasciolosis dipengaruhi oleh beberapa siput Lymnea salah


satunya Lymnea rubiginosa (siput air) sebagai induk semang sementara
metasekaria mengkista pada tumbuh – tumbuhan yang kemudian rumput
tersebut dimakan oleh ternak. Adanya siput air sebagai induk semang
menyebabkan tingginya tingkat penyebaran fasciolosis di daerah basah
dibandingkan dengan daerah kering. Oleh sebab itu cara pemeliharaan
hewan harus lebih diperhatikan khususnya dalam pemberian pakan apalagi
ternak yang dilepas dipadang pengembalaan agar tidak mudah terinfeksi
fasciolosis. Gejala klinis fasciolosis berat badan menurun terus, lemas,lesu
pucat,anemia dan diare. Pencegahan dan pengendalian fascilosis dapat
dilakukan dengan usaha menghindari kelembapan padang rumput sebagai
tempat hidupnya siput, pemberian obat cacing dan perbaikan tata laksana
pemeliharaan ternak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Prevalensi Fasciolosis pada sapi bali di Provinsi Nusa Tenggara Timur


secara keseluruhan adalah 1,69 %, dengan tingkat infestasi tertinggi di
Kabupaten Manggarai Barat (13,64%), dan penyebaran fasciolosis dilihat
dari cara pemeliharaan yang dianalisa menggunakan metode chi-square
dan Odds Ratio (OR), hasil perhitungan chi-square sebesar 16,68 (X2tabel=
3.84; α = 0,05, df = 1) menunjukan bahwa ada hubungan antara kejadian
fasciolosis dengan daerah pemeliharaan di wilayah basah. Sedangkan hasil
perhitungan OR didapat 11,69; yang berarti kejadian Fasciolosis pada daerah
basah 12 kali lebih tinggi daripada di daerah kering.

Pemeriksaan kesehatan ternak harus selalu dilakukan secara berkala,


deteksi awal terhadap fascilosis dengan melakukan pengambilan dan
pemeriksaan sampel feses secara berkala baik sebelum maupun setelah
pemberian obat cacing, Peternak hendaknya lebih memperhatikan cara
pemeliharaan ternak yang baik dengan melakukan perbaikan tata laksana
pemeliharaan ternak, pemberian obat cacing dilakukan secara periodik
dengan pengulangan minimal 3 bulan sekali.

316 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1990. Data Ekonomi Akibat Penyakit Hewan 1990. Direktorat


Kesehatan Hewan Direktorat jendral Peternakan Departemen Pertanian

Anonimous, (2016a). Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ditjen PDT. www.


ditjenpdt.kemendesa.go.id\

Anonimous, (2016b). Informasi dan Deskripsi Singkat Penyakit PHMS


(Penyakit Hewan Menular Strategis). Balai Besar Penelitian Veteriner
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian.
http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/ind/images/publikasi/PHMS

Bandini Y. 2004. Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta

Direktorat Jendral Peternakan, 2008. Konsumsi Hasil ternak per kapita Per
tahun Produk Peternakan di Indonesia Tahun 2007 – 2008. Avaible at
www.ditjennak.go.id./bank%5CTabel_8_2.pdf

Fahrur Rozi, Jully Handoko , Rahmi Febriyanti.2015. Infestasi Cacing Hati


(Fasciola sp.) dan Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) pada Sapi
Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru. JSV 33 (1)
ISSN : 0126 – 0421

Purwanta, Ismaya, N.R.P., dan Burhan,.2006. Penyakit Cacing Hati


(Fasciolosis) pada Sapi Baliu di Perusahaan Daerah Rumah Potong
Hewan (RPH) Kota Makassar. ISSN 1858.4330. Vol.2, No. 2. Jurnal
Agrisistem.

Rencong Dwi Putra, Nyoman Adi Suratman,Ida Bagus Made Oka.2014.


Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali Yang Dipelihara Peternak di
Desa Sobangan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Indonesia
medicus Veterinus 394-402.

Subronto, Tjahajati I. 200. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
317
RESISTENSI ISOLAT ESCHERICHIA COLI DARI AYAM
BROILER TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIK
Tri Widayati1 , Woro Subekti2

1,2
Balai Besar Veteriner Wates
Koresponden penulis pertama: widayatitri3@gmail.com

ABSTRAK

Resistensi bakteri adalah kondisi dimana bakteri mampu membentuk mekanisme pertahanan
terhadap antibiotik yang awalnya efektif. Penggunaan antibiotik yang terus-menerus maupun
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai aturan merupakan pemicu terjadinya resistensi. Bakteri
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang secara normal terdapat dalam saluran
pencernaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepekaan isolate bakteri E. coli
terhadap enam jenis antibiotik yang digunakan dalam bidang peternakan yaitu kanamisin, colistin,
polimixin B, enrofloxasin, trimethoprim, dan sulfonamide. Metodologi dalam penelitian ini meliputi
pengambilan sampel, isolasi bakteri E. coli, dan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik. Sampel-
sampel dikoleksi dari peternakan ayam broiler di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Wates (BBVet
Wates) dari Tulung Agung, Blitar, Pamekasan, Sampang, Batang, Kendal, Magelang, Klaten,
Bantul, dan Sleman. Pengambilan sampel dimulai pada bulan Juli sampai Oktober 2017. Sampel
yang diambil berupa swab kloaka selanjutnya dilakukan isolasi dan identifikasi di laboratorium
BBVet Wates menggunakan media selektif Mac Conkey Agar dan dikonfirmasi dengan uji Indol
Methyl Red Voges-Proskauer dan Citrate (IMVIC). Uji kepekaan menggunakan metode disc diffuse
Kirby-Bouer. Isolat E. coli diinokulasi pada Muller-Hinton Agar, disk yang berisi antibiotik didrop
pada agar tersebut dan diinkubasi pada suhu 37o C selama 24 jam. Zona terang yang terbentuk
diamati dan diameter diukur menggunakan digital kalipper yang telah dikalibrasi. Hasil pengukuran
dibandingkan dengan standar Kirby-bouer. Dari 141 isolat diketahui sebanyak 83% resisten terhadap
sulfonamide, 66% resisten enrofloxasin, 53% resisten trimethoprim, 26% resisten polimixin B, 4%
resisten colistin, dan 1% resisten kanamisin. Resistensi sulfonamide, enrofloxasin, dan trimethoprim
tinggi karena ketiga antibiotik sudah cukup lama digunakan secara luas pada sektor peternakan.
Resistensi terhadap sulfonamid dan trimethoprim disebabkan oleh mutasi pada gen pengkode enzim
yang terlibat dalam jalur metabolisme sintesis asam tetrahidrofolat. Penggunaan yang jarang akibat
memiliki efek yang buruk terhadap ginjal adalah kemungkinan yang menyebabkan resistensi E. coli
trehadap polimixin B, colistin dan kanamisin relativ rendah.

Kata kunci: Resisten, E. coli, antibiotik, uji kepekaan

PENDAHULUAN

Resistensi adalah kondisi dimana bakteri mampu membentuk


mekanisme pertahanan terhadap antibiotik yang awalnya efektif. Resistensi
bakteri terhadap antibiotik menjadi issue global pada saat ini karena
penemuan antibiotik baru tidak sebanding dengan meningkatnya resistensi
bakteri terhadap antibiotik (Saga et.al, 2009). Penyebab terjadinya resistensi
dipicu oleh penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana atau secara terus-
menerus sebagai antibiotic growth promotors (Susan et.al.,2011). Transmisi
resistensi dari hewan ke manusia dapat terjadi melalui bakteri resisten
yang bersifat zoonotik maupun komensal atau transfer gen resisten terjadi
di dalam saluran pencernakan manusia setelah mengkonsumsi produk asal
hewan yang tercemar bakteri resisten (Vuuren, 2001).

318 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Escherichia coli adalah bakteri komensal dan ada beberapa yang bersifat
patogen, merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang. Banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa E. coli telah telah banyak mengalami
resisten terhadap berbagai antibiotik.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui resistensi E.coli yang


diisolasi dari ayam broiler terhadap beberapa antibiotik yang digunakan pada
peternakan.

MATERI DAN METODE

Materi yang digunakan berupa Media Pepton Water, Mac Conkey Agar,
Medium IMVIC, Muller Hinton Agar, Aquades Steril, Disk Antibiotik.

Pengambilan Sampel

Sampel berupa swab kloaka diambil dari peternakan broiler yang siap
panen di sepuluh kabupaten wilayah kerja Balai Besar Veteriner Wates
(BBVet Wates) yaitu ; kabupaten Tulung Agung, Blitar, Pamekasan, Sampang,
Batang, Kendal, Magelang, Klaten, Bantul, dan Sleman. Pengambilan sampel
dimulai pada bulan Juli sampai Oktober 2017.

Isolasi Bakteri

Isolasi bakteri dari sampel swab kloaka dilakukan di BBVet Wates


menggunakan media Mac Conkey. Koloni E.coli yang diperoleh diuji Indol
Methyl Red Voges-Proskauer dan Citrate (IMVIC).

Uji Kepekaan

Uji kepekaan menggunakan metode disk diffusi menurut Kirby-Bouer.


Isolat E.coli ditanam pada agar Mueller-Hinton, selanjutnya tiap-tiap disk
antibiotic diletakkan menggunakan dropper ke dalam biakan agar Mueller-
Hinton dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37o C. Disk antibiotik yang
digunakan adalah sulfonamide, enrofloxasin, trimethoprim, polimixin B,
Colistin, dan kanamisin.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari 141 isolat yang uji kepekaan sebanyak 83% isolat resisten terhadap
sulfonamid, 65.9% resisten terhadap enrofloxasin, 53.2% resisten terhadap
trimetrophim, 26.2% resisten kanamisin, 3.5% resisten colistin, dan 1.4%
resisten polimixin B

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
319
Tabel 1. Pola resistensi antibiotik isolat E coli yang diisolasi dari ayam
broiler di wilayah kerja BBvet Wates

Antibiotik Resistensi (%) Intermediate (%) Sensitif (%)


Sulfonamide 82.98 0 17.02
Enrofloxasin 65.95 14.18 19.85
Trimetrophim 53.19 10.63 38.3
Kanamisin 26.2 3.55 70.21
Colistin 3.54 0.7 96.45
Polimixin B 1.42 12.78 86.52

Dari tabel 1 dapat dilihat E.coli paling banyak mengalami resisten


terhadap sulfonamid diikuti oleh enrofloxasin dan trimetrophim. Hal ini
sejalan dengan penelitian Susanto (2014) 76,3% E coli yang diteliti resisten
terhadap Trimetrophim- sulfametoksasol. Ketiga antibiotik banyak digunakan
pada sektor peternakan. Cara kerja sulfa dan trimetropin adalah meghambat
jalur metabolisme produksi asam tetrahidrofolat, yang merupakan kofaktor
esensial dalam sintesis asam nukleat. Resistensi terhadap sulfonamid
dan trimetoprim disebabkan oleh mutasi pada gen pengkode enzim yang
terlibat dalam jalur metabolisme tersebut. Perubahan enzim yang terjadi
mengakibatkan asam tetrahidrofolat tetap terbentuk tanpa dihambat oleh
sulfonamid dan trimethoprim. Menurut Trouchon et al. (2016) penggunaan
enrofloxasin pada ternak meningkatkan resistensi E.coli terhadap antibiotik
quinolon dan fluoroquinolon. Mekanisme resistensi terhadap enrofloxasin
adanya mutasi pada gen kromosom yang mengkode DNA gyrase atau
topoisonomerase IV . Restensi juga bisa terjadi melalui transpor aktif obat
keluar dari bakteri. Resistensi terhadap colistin dan polimixin B cukup
rendah, hal ini disebabkan oleh penggunaan antibiotik ini pada manusia
cukup terbatas. Seperti diketahui antibiotik colistin memiliki beberapa efek
samping yang kurang bagus ( anonim, 2016). Meskipun penggunaan colistin
pada manusia merupakan pilihan terakhir tetapi penggunaan di bidang
peternakan cukup meluas bahkan digunakan sebagi AGP sebelum dilarang
dengan Permentan Nomor 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan.
Aktivitas kerja polimixin E atau colistin dan polimixin B adalah merusak
membran sel bakteri, sedangkan mekanisme resistensinya berkaitan dengan
hilangnya LPS sel bakteri, reduksi protein membran luar spesifik, penurunan
sel amplop Mg2 + dan kandungan Ca2 +, dan perubahan lipid (Gupta et
al.,2009).

320 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 1. Pola resistensi E.coli dari ayam broiler di wilayah kerja BBVet
Wates

Gambar 1 menunjukkan dari 141 isolat E.coli sebanyak 116 mengalami


multidrug resisten, sebanyak 20 isolat mengalami single resisten dan 5
isolat sensitif terhadap enam jenis antibiotik yang diuji. Hasil ini sejalan
dengan penelitian Susanto (2014) yang menyatakan bahwa 97,4% isolat E.
coli dari ayam broiler di Bogor mempunyai pola resisten multi antibiotik,
sedangkan Hera et.al (2012) menyatakan sebagian besar E coli yang inaktif
mengalami multidrug resisten. Bakteri E. coli merupakan bakteri gram
negatif berdasarkan penelitian Chudori et.al. (2012) bakteri gram negatif
lebih mudah mengalami resisten terhadap antibiotik.

KESIMPULAN

1. Isolat E coli yang diisolasi dari ayam broiler diwilayah kerja BBVet
Wates mengalami resisten terhadap sulfonamid 83% (117/141),
enrofloxasin 65.9% (93/141) , trimethoprim 53.2% (75/141) ,kanamisin
26.2% (37/141) , colistin 3.5% (5/141) dan polimixin B 1.4% (2/141).
2. Pola resistensi E coli terhadap antibiotik adalah 82% (116/141)
mengalami multidrug resisten.

SARAN

Perlunya pengawasan penggunaan antibiotik untuk mengendalikan


resistensi bakteri.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
321
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2016. Biofilm: Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotic Colistin .


https://issuu.com/archaea.itb/docs/colistin_revisi. download tgl 12
Maret 2018.

Chudori. Busyron, Kuswandi M, Peni Indroyudho.2012. Pola Kuman dan


Resistensinya Terhadap Spesimen Pus di RSU dr. Moewardi Tahun
2012. Pharmacon 13(2):70-75

Gupta S, Deepak Govil, Prem N. Kakar, Om Prakash, Deep Arora, Shibani Das,
Pradeep Govil, and Ashima Malhotra. 2009. Colistin and polymyxin
B: A re-emergence. Indian JCrit Care Med.Apr-Jun;13(2):p49-53.

Hera Noviana Pola Kepekaan Antibiotika Escherichia coli yang Diisolasi


dari Berbagai Spesimen Klinis J Kedokter Trisakti. Oktober-Desember
2004, Vol. 23 No. 4.

Tomoo Saga, Keizo Yamaguchi. 2009. History of Antimicrobial Agents and


Resistant Bacteria. JMAJ 52(2): 103–108, 2009.

Susanto Eko. 2014. Escherichia coli Yang Resisten Terhadap antibiotik Yang
di Isolasi dari Ayam Broiler dan Ayam Lokal di Kabupaten Bogor.
Sekolah Pasca Sarjana.Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Susan Maphilindawati N. dan Masniari Poeloengan . 2011. Pemakaian


Antibiotika Pada ternak dan Dampaknya Pada Kesehatan Manusia
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

Trouchon T, Sébastien Lefebvre, 2016. A Review of Enrofloxacin for


Veterinary Use. http://www.scirp.org/journal/ojvm . http://dx.doi.
org/10.4236/ojvm.2016.62006

Vuuren M.V. 2001, Antibiotic Resistance With Special Reference To Poultry


Production . Conf. OIE 2001, 135-146

322 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KEMAJUAN PENANGANAN RABIES BALI : ANALISIS
TAHUN 2012-2017
Monica Septiani, Dinar H.W. Hartawan, Gde Agus Joni Uliantara, I Ketut Wirata,
I Wayan Masa Tenaya

Dinar.hwh@gmail.com, drh.monic@gmail.com
Balai Besar Veteriner Denpasar

ABSTRAK

Penyakit Rabies muncul pertama kali pada akhir tahun 2008 dan masih bersirkulasi sampai
saat ini tahun 2017 di pulau Bali. Segala upaya pengendalian dan pemberantasan telah dilaksanakan
secara seksama. Kemajuan program pengendalian selama tahun 2012 - 2017 yang telah dilakukan
perlu untuk dianalisis sehingga program pemberantasan yang berkesinambungan dapat lebih terarah
dan fokus, yang pada akhirnya dapat membebaskan pulau Bali dari penyakit Rabies. Menurut
hasil surveilans aktif dan pasif oleh Balai Besar Veteriner Denpasar, proporsi kasus positif rabies
dengan uji Fluorescent Antibodi Test (FAT) dari dari tahun 2012 (15.79%) mengalami penurunan
pada tahun 2013 (4.46%), namun kembali meningkat pada tahun berikutnya sampai tahun 2015
(16.74%). Proporsi kasus positif kembali menurun pada tahun 2016 (13.92%) dan pada tahun 2017
(8,7 %). Untuk data unit desa, hasil pada tahun 2012, Rabies terdeteksi di 82 desa. Terjadi penurunan
jumlah desa tertular pada tahun 2013 dengan 39 desa, namun kembali meningkat pada tahun 2014
dengan 100 desa dan tahun 2015 dengan 283 desa. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir dilakukan
pengendalian secara intensif di seluruh wilayah provinsi Bali melalui pencanangan vaksinasi massal
sehingga pada tahun 2016 turun menjadi 153 desa dan terus berkurang sampai tahun 2017 hanya
menyisakan 71 desa tertular Rabies di provinsi Bali. Berdasarkan data perbandingan proporsi kasus
dan seroprotektif Rabies dari tahun 2012 -2017, diketahui bahwa terdapat korelasi antara tingkat
seroprotektif dengan proporsi kasus Rabies, dimana pada saat terjadi penurunan tingkat seroprotektif
terjadi pula peningkatan proporsi kasus Rabies begitupun sebaliknya. Pada tahun 2013 tingkat
seroprotektif Rabies mencapai 68.3% dan mampu menekan proporsi kasus sampai 4.46%. Di tahun
2014 -2015 terjadi penurunan seroprotektif dan diikuti dengan peningkatan kembali proporsi kasus
Rabies. Intensifikasi pelaksanaan vaksinasi Rabies di tahun 2016 dan 2017 kembali mampu menekan
proporsi kasus sampai angka 13.92% dan 8.7%. Dalam upaya pemberantasan penyakit Rabies di
provinsi Bali, salah faktor yang sangat menentukan adalah keberhasilan pelaksanaan vaksinasi
massal. Oleh sebab itu maka komponen pendukung atau faktor - faktor yang mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi di tahun 2016 – 2017 diharapkan minimal dapat dipertahankan.

Kata kunci : Rabies, seroprotektif rabies, FAT rabies, vaksinasi massal

PENDAHULUAN

Rabies pertama kali terdeteksi di Bali pada bulan November 2008 di


Kabupaten Badung dan menyebar secara bertahap di seluruh kabupaten (Putra
et al., 2013). Mengikuti masuknya rabies ke Bali pada tahun 2008, usaha awal
pemerintah untuk memberantas penyakit adalah vaksinasi massal pada anjing
dan eliminasi tertarget. Bahkan pemerintah telah membuat Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Penanggulangan Rabies. Pada
pasal 2 disebutkan bahwa Penanggulangan rabies mencakup: a. pencegahan
rabies; b. pengaturan dan pengawasan pemeliharaan serta peredaran HPR;
c. pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan rabies; dan d.
penetapan dan pencabutan kembali status daerah wabah.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
323
Sedangkan Pencegahan rabies sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a meliputi: a. melaksanakan vaksinasi disertai dengan registrasi
kepemilikan HPR, kartu vaksinasi dan memberikan tanda vaksinasi; b.
melaksanakan sosialisasi; c. melaksanakan pemusnahan secara selektif dan
terarah pada HPR yang tidak teregistrasi, menunjukan gejala penyakit yang
tidak terobati dan pada hewan yang diduga atau yang teridentifikasi penyakit
rabies dan sudah kontak dengan HPR yang terinfeksi; d. melaksanakan
pengendalian kelahiran; dan e. melaksanakan riset dan surveilans. Surveilans
sendiri merupakan salah satu komponen penting dalam program kontrol
penyakit (Townsend et al., 2013). OIE mengembangkan dan mempublikasikan
standar ilmiah yang diperbaharui mengenai: pencegahan dan pengendalian
rabies; kontrol populasi anjing yang liar; pergerakan internasional anjing dan
kucing yang berasal dari negara-negara yang terinfeksi rabies; dan metode
diagnostik dan produksi vaksin dengan standar veteriner. Standar ini telah
diadopsi melalui konsensus oleh semua 181 Negara Anggota OIE. Ada
beberapa indikator yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap
keberhasilan (progress marker) program pemberantasan rabies. Indikator
tersebut antara lain: capaian cakupan vaksinasi dan efikasi vaksin rabies
sebagai in put program. Sementara jumlah rata-rata anjing rabies per bulan,
attack rate rabies, status desa, percepatan penyebaran, kasus gigitan anjing,
jumlah kematian manusia sebagai out come (Putra, 2012)

Merujuk pada peraturan perundang – undangan yang berlaku di wilayah


Republik Indonesia tentang pengendalian penyakit Rabies, langkah –
langkah pengendalian penyakit tersebut telah dilakukan secara seksama di
wilayah provinsi Bali sejak dinyatakan tertular dengan melakukan program
vaksinasi massal, pengendalian lalu lintas HPR serta upaya untuk melakukan
eliminasi selektif dengan memperhatikan aspek kesejahteraan hewan.
Adapun upaya tersebut mengalami dinamika tantangan yang muncul di
setiap tahun pelaksanaannya dapat diatasi dengan kerjasama seluruh pihak
yang terkait. Berdasarkan hal tersebut maka analisis untuk menggambarkan
perkembangan kemajuan program pengendalian Rabies di wilayah provinsi
Bali disajikan dalam laporan sebagai berikut.

TUJUAN

1. Mengetahui proporsi kasus rabies di provinsi Bali tahun 2012-2017.


2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi proporsi kasus rabies di provinsi
Bali tahun 2012-2017.

MATERI DAN METODE

Surveilans penyakit Rabies yang dilakukan pada tahun 2012 – 2017


oleh BB-Vet Denpasar dibagi menjadi tiga kegiatan yaitu; 1). Seroprotektif
Rabies; 2). Deteksi virus Rabies (berbasis Risiko) dan 3). Kajian Terbatas
untuk tujuan tertentu terkait pengendalian Rabies. Studi cross-sectional
digunakan untuk analisa data dari tahun 2012 hingga 2017 dengan definisi

324 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
sebagai kasus jika sampel positif rabies diuji oleh Fluorescent Antibody Test
dan bukan kasus jika sampel diuji negatif oleh Fluorescent Antibody Test.
Sampel diperoleh dari surveilans aktif di seluruh kabupaten kota di provinsi
Bali, yang dilakukan oleh BB-Vet Denpasar bekerja sama dengan petugas
provinsi atau kabupaten; dan dari surveilans pasif di mana sampel dibawa
oleh klinik hewan atau rumah sakit. Sampel yang diuji adalah otak atau
hipokampus dari hewan yang dicurigai menunjukkan gejala rabies dan atau
yang dilaporkan menggigit manusia atau hewan lain. Sampel dikirimkan ke
laboratorium dalam kondisi segar dan diuji dengan Fluorescent Antibody Test
(FAT) di Laboratorium Patologi. Sedangkan sampel serum darah diambil
untuk mengetahui tingkat seroprotektif anjing yang telah divaksin saat
vaksinasi massal berlangsung. Sampel serum darah diuji dengam metode
Enzym Link Immunosorbent Assay (ELISA).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil surveilans dan kajian terbatas yang telah dilakukan


di Balai Besar Veteriner Denpasar pada tahun 2012–2017 dapat dilihat hasil
sebagai berikut.

Tabel 1. Jumlah desa tertular rabies di Provinsi Bali 2012-2017

Total
Kabupaten/Kota 2012 2013 2014 2015 2016 2017
desa
Badung 62 6 2 5 10 9 7
Bangli 72 19 10 14 41 21 8
Buleleng 148 10 6 18 56 33 17
Denpasar 70 3 0 2 0 1 0
Gianyar 51 10 6 8 5 26 7
Jembrana 78 25 7 13 29 18 9
Karangasem 59 5 7 25 89 18 18
Klungkung 43 3 1 7 18 3 0
Tabanan 133 1 0 8 35 24 5
TOTAL 716 82 39 100 283 153 71

Data kasus Rabies pada unit desa, diperoleh informasi bahwa sebanyak
716 desa yang ada di wilayah provinsi Bali. Selama tahun 2012–2017 (Tabel
1) telah dilakukan surveilans untuk mendeteksi virus Rabies dari anjing yang
terkait dengan kasus gigitan pada manusia dan diperoleh hasil pada tahun
2012 terdeteksi Rabies di 82 desa. Terjadi penurunan jumlah desa tertular
pada tahun 2013 dengan 39 desa, namun kembali meningkat pada tahun
2014 dengan 100 desa dan tahun 2015 dengan 283 desa. Dalam kurun waktu
dua tahun terakhir dilakukan pengendalian secara intensif di seluruh wilayah
provinsi Bali melalui pencanangan vaksinasi massal sehingga pada tahun
2016 turun menjadi 153 desa dan terus berkurang sampai tahun 2017 hanya

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
325
menyisakan 71 desa tertular Rabies di provinsi Bali. Peta distribusi rabies
tahun 2012 – 2017 ditunjukkan pada Gambar 1.


2016 2017


             
Gambar 1. 
Peta distribusi rabies
  di provinsi 
 Bali 
dalam tingkat desa pada
   
tahun
 2012-2017. Warna
merah
menunjukkan desa
   dengan

kasus positif rabies, warna hijau menunjukkan desa dengan

 kasus negatif dan warna putih menunjukkan tidak ada sampel

rabies yang dikirimkan dari desa tersebut.
   
 
Tabel 2. Proporsi kasus rabies di Provinsi Bali tahun 2012-2017 (FAT)
 
   

Tahun Jumlahsampel  Positif 
Proporsi Positif (%)

2012 760  121  15.79 

2013 964  43  4.46 
   
2014 1286 130 10.11

2015 3160
    529 16.74
     
2016  
 1480 206
    13.92
     
  
2017 1058  92    8.6  
          

Menurut hasil surveilans aktif dan pasif oleh Balai Besar Veteriner

Denpasar, proporsi kasus positif rabies dengan uji Fluorescent Antibodi Test

(FAT) dari dari tahun 2012 (15.79%) mengalami penurunan pada tahun 2013
(4.46%), namun kembali meningkat pada tahun berikutnya sampai tahun
2015 (16.74%). Proporsi kasus positif kembali menurun pada tahun 2016
(13.92%) dan pada tahun 2017 (8,7 %) (Tabel 2). Hal ini juga tampak pada
Gambar 2 yang menunjukkan grafik kasus Rabies di Bali setiap bulan dari
tahun 2012 sampai 2017.

326 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding 4


Perkembangan Kasus Rabies dari 2012 sampai 2017
Gambar 2.

           

Hal tersebut menunjukkan kemajuan dalam kegiatan pengendalian

penyakit Rabies di Bali yang telah dilakukan selama ini dengan program
          

vaksinasi massal, eliminasi selektif dan pengetatan lalu lintas HPR di seluruh



wilayah kabupaten

 dan kota di provinsi Bali.

           
Hal tersebut juga didukung dengan data realisasi vaksinasi yang

dilakukan oleh
 petugas Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan
Kesehatan Hewan    
di Provinsi Bali
dengan 
data
sepertipada
 
Gambar 3

berikut. 





         



          
5



Grafik 3. Data analisis proporsi kasus, seroprotektif dan realisasi vaksinasi


tahun 2012 –
 2017 di provinsi
  Bali
      

Berdasarkan data realisasi vaksinasi yang diinput oleh Dinas Peternakan


dan Kesehatan Hewan Provinsi
   Bali,
diperoleh peningkatan
  jumlah
  HPR
yang
divaksin setiap tahunnya dari tahun 2012 – 2017 (Gambar 3). Hal tersebut
5
mengindikasikan jumlah HPR yang tervaksin proporsinya meningkat jika
dibandingkan dengan estimasi populasi HPR di provinsi Bali. Data realisasi
tersebut berbanding terbalik dengan proporsi kasus Rabies yang terdeteksi di
seluruh wilayah kabupaten /kota di provinsi Bali. Sehingga mengindikasikan
bahwa cakupan vaksinasi yang telah dilakukan di provinsi Bali mampu
menurunkan kasus Rabies di Bali secara bertahap. Hal tersebut tidak dapat
dilepaskan dari pelaksanaan vaksinasi yang selama ini telah dilakukan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
327
kecuali adanya anomali peningkatan kasus di tahun 2014 – 2015. Putra
          
(2011) menemukan
 bahwa
dengan menggunakan
  indikator
    jumlah kasus
 
rabies, terbukti island-wide mass vaccination program dapat menekan


kejadian
 kasus rabies 
  secara
signifikan jika dibandingkan
    dengan program

vaksinasi
 sebelumnya, yang
   belum
dapat dilaksanakan secara
  serentak
  di
         
seluruh Bali. Selama vaksinasi massal, attack rates rabies juga mengalami
          
penurunan, baik pada tingkat kabupaten maupun di seluruh Bali. Turunnya


attack rate rabies telah menurunkan ancaman kesehatan masyarakat.




Gambar 4. 
Data status vaksinasi hasil pengujian positif Rabies (FAT) tahun

2017 (n=92). Warna merah menunjukkan persentase anjing


positif rabies
   yang
 tidak
 divaksin,
  warna
   hijau
 adalah
 anjing

 positif rabies
  yang
 divaksin.
       
         

Pada tahun
 2017
 diperoleh hasil
  11 dari
92 kasuspositif Rabies
  (FAT)


diketahui merupakan sampel dari anjing dengan status vaksinasi
         (Gambar
4). 
Hal ini menjadi perhatian khusus karena dapat menimbulkan interpretasi

yang salah
 terhadap
 kualitas
 vaksin
  yang
selama 
ini 
digunakan dalam
 
program vaksinasi misal di provinsi Bali. Setelah dilakukan penelusuran


terhadap 11 sampel tersebut diperoleh hasil bahwa tujuh sampel positif

Rabies tersebut diambil dari anjing yang baru divaksin antara 1 – 2 minggu

          
sebelum dilakukan pengambilan sampel. Hal ini mengindikasikan bahwa
         
kemungkinan anjing tersebut sudah memasuki masa inkubasi Rabies pada

saat          
dilakukan vaksinasi. Sedangkan empat sampel lainnya merupakan
          
anjing yang telah divaksinasi dua tahun sebelumnya dan belum dilakukan6
vaksinasi ulang, sehingga dapat disimpulkan pada saat tertular pada anjing
tersebut tidak memiliki titer antibodi yang cukup untuk mencegah terjadinya
infeksi Rabies.

Berdasarkan data perbandingan proporsi kasus dan seroprotektif


Rabies dari tahun 2012 -2017, diketahui bahwa terdapat korelasi antara
tingkat seroprotektif dengan proporsi kasus Rabies, dimana pada saat terjadi
penurunan tingkat seroprotektif terjadi pula peningkatan proporsi kasus
Rabies begitupun sebaliknya. Pada tahun 2013 tingkat seroprotektif Rabies
mencapai 68.3% dan mampu menekan proporsi kasus sampai 4.46%. Di tahun
2014 -2015 terjadi penurunan seroprotektif dan diikuti dengan peningkatan
kembali proporsi kasus Rabies. Intensifikasi pelaksanaan vaksinasi Rabies di

328 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
tahun 2016 dan 2017 kembali mampu menekan proporsi kasus sampai angka
13.92% dan 8.7%. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan vaksinasi yang
dilaksanakan pada tahun 2016 dan 2017 sangat signifikan dalam menekan
angka kasus dan merupakan suatu kemajuan dalam upaya pemberantasan
Rabies di Provinsi Bali.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil sajian data dan analisis diatas, dapat disimpulkan


beberapa hal sebagai berikut ;
1. Proporsi kasus positif rabies di Provinsi Bali telah mengalami dua fase
penurunan dari tahun 2012 sampai 2013 dan tahun 2015 sampai 2017.
Sementara hasil seroprotektif mengalami peningkatan dari tahun 2012 –
2013 dan tahun 2014 sampai 2016.
2. Peningkatan proporsi kasus pada tahun 2014 dan 2015 kemungkinan
disebabkan adanya faktor yang mempengaruhi pembentukan antibodi
protektif pada anjing di lapangan yang diindikasikan dengan turunnya
hasil seroprotektif pada tahun 2014 dan 2015. Hal tersebut dibuktikan
dengan data realisasi vaksinasi yang cenderung meningkat sedangkan
pada tahun tersebut menunjukkan penurunan seroprotektif yang diikuti
dengan peningkatan proporsi kasus positif Rabies.
3. Program pengendalian Rabies menunjukkan peningkatan seroprotektif
ditahun 2016 sampai 2017 yang diikuti dengan penurunan proporsi
kasus positif Rabies di provinsi Bali.

SARAN

Dalam upaya pemberantasan penyakit Rabies di provinsi Bali, salah


faktor yang sangat menentukan adalah keberhasilan pelaksanaan vaksinasi
massal. Oleh sebab itu maka komponen pendukung atau faktor - faktor yang
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi di tahun 2016 – 2017 diharapkan
minimal dapat dipertahankan. Peningkatan terhadap kualitas rekording
data, kuantitas surveilans, dan analisis data serta program vaksinasi yang
berkelanjutan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
penyakit Rabies, sehingga dapat melengkapi bahan kajian untuk program
pemberantasan Rabies di Provinsi Bali.

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar beserta staff yang telah


menyediakan data surveilans aktif dan pasif penyakit Rabies di provinsi
Bali.
2. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, Bidang
Kesehatan Hewan, Kesmavet yang telah menyediakan data vaksinasi
rabies di provinsi Bali.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
329
DAFTAR PUSTAKA

Putra, A.A.G.P. 2011, 56 Epidemiologi Rabies Di Bali: Hasil Vaksinasi


Massal Rabies Pertama Di Seluruh Bali Dan Dampaknya Terhadap
Status Desa Tertular Dan Kejadian Rabies Pada Hewan Dan Manusia
(Epidemiology Of Rabies In Bali: The Outcome Of First Island-Wide
Dog Mass Vaccination On The Status Of Infected Villages, Incidence
Of Rabid Animals, And Human Deaths. Buletin Veteriner, Bbvet
Denpasar, Vol. XXIII, No.78, Juni 2011 ISSN: 0854-901X.

Putra, A.A.G.P. 2012, Analisis Perkembangan Pemberantasan Rabies Di


Provinsi Bali: Pencapaian Dan Tantangan (Analysis Of The Progress
Of Bali Rabies Eradication Program: Achievements And Challenges).
Buletin Veteriner, Bbvet Denpasar, Vol. XXIV, No. 80, Juni 2012
ISSN: 0854-901X 50.

Putra, A.A.G.P., Hampson, K., Giardi, J., Hiby, E., Knobel, D., Mardiana,
W., Townsend, S., and Scott-Orr, H., 2013. Response To A Rabies
Epidemic, Bali, Indonesia, 2008–2011. CDC Emerging Infectious
Disease Journal Volume 19, Number 4—April 2013.

Townsend, S.E., Lebo, T., Cleaveland, S., Fran, Meslin, O.X., Mirand, M. E.,
Putra, A.A.G., Haydon, D.T., and Hampson, K., 2013. Surveillance
Guidelines For Disease Elimination: A Case Study Of Canine Rabies.
Comparative Immunology, Microbiology And Infectious Diseases 36
(2013) 249–261.

World Organization For Animal Health, Home-Animal Health in The World-


Rabies Portal-Controlling Program. [http://www.oie.int/en/animal-
health-in-the-world/rabies-portal/prevention-and-control/]. (diunduh
pada tanggal 2 Fberuari 2018).

330 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
GAMBARAN TITER ANTIBODI RABIES PADA ANJING
LOKAL PASCA VAKSINASI DI KALIMANTAN BARAT
TAHUN 2017
Candra Arika Kustiawan, Elidar, Lutfi Widiarta

Unit Laboratorim Kesehatan Hewan Dan Kesehatan Masayarakat Veteriner


Dinas Pangan, Peternakan Dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat
Jl. Adisucipto, No. 48, Pontianak.Telp:(0561) 584365-584394, Fax: (0561) 584394
Email: laboratoriumkeswankesmavet@gmail.com

ABSTRAK

Rabies merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis yang bersifat zoonosis.
Kalimantan Barat dinyatakan bebas penyakit rabies pada bulan Agustus 2014 berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian RI No 885/Kpts/PD.620/8/2014 tanggal 14 Agustus 2014, namun status bebas
tersebut tidak bertahan lama dengan mewabahnya kembali penyakit rabies di akhir tahun 2014
sampai sekarang. Pada tahun 2017 jumlah kasus gigitan mencapai 2091 dengan jumlah kematian pada
manusia sebanyak 24 orang. Vaksinasi merupakan program prioritas disamping kegiatan Komunikasi,
Informasi dan Edukasi dalam pengendalian dan penanggulangan Rabies. Kegiatan vaksinasi
dilaksanakan pada daerah tertular dan terancam dengan harapan dapat memberikan kekebalan
pada hewan penular rabies dan tidak menularkan pada hewan penular rabies lain maupun manusia.
Keberhasilan vaksinasi dapat dinilai dari cakupan vaksinasi dan kekebalan yang ditimbulkan pasca
vaksinasi melalui pemeriksaan titer antibodi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui titer antibodi
anjing lokal pasca vaksinasi rabies dan memberikan informasi kepada pengambil kebijakan dalam
mengevaluasi program vaksinasi berikutnya. Penilaian menggunakan 696 sampel serum darah anjing
lokal yang diambil dari 14 Kabupaten/Kota dengan metode cluster sampling dan diuji dengan enzym
linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil penelitian menunjukkan dari 696 sampel, 300 sampel
(47,41%) memiliki titer antibodi protektif (seropositif) dan 366 sampel (52,59%) tidak memiliki titer
antibodi protektif (seronegatif). Seropositif adalah nilai di atas atau sama dengan 0,5 EU, sedangkan
seronegatif adalah nilai di bawah 0,5 EU. Penelitian ini menunjukkan rendahnya respon antibodi
setelah vaksinasi pada anjing. Kajian lebih lanjut sebaiknya dilakukan untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi rendahnya respon antibodi.

Kata kunci : Anjing, Rabies, Titer Antibodi, ELISA.

PENDAHULUAN

Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies, dari genus Lyssavirus,


famili Rhabdoviridae (OIE, 2008). Virus penyakit rabies yang menginfeksi
jaringan saraf, menyebabkan radang otak atau ensefalitis dan berakibat fatal
bagi hewan atau manusia yang tertular. Rabies telah menyebabkan kematian
pada manusia dalam jumlah banyak. Berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2010 diperkirakan setiap tahun di dunia
terdapat sekurang-kurangnya 55.000 orang meninggal karena rabies. Rabies
digolongkan sebagai penyakit strategis, karena merugikan baik dari segi
ekonomi maupun kesehatan masyarakat.

Kalimantan Barat dinyatakan bebas penyakit rabies pada bulan


Agustus 2014 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No. 885/Kpts/
PD.620/8/2014 tanggal 14 Agustus 2014, namun status bebas tersebut tidak
bertahan lama dengan mewabahnya kembali penyakit Rabies di akhir tahun

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
331
2014 tepatnya di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Ketapang. Penyakit
rabies terus menyebar ke Kabupaten lainnya, sampai tahun 2017 sudah 12
Kabupaten yang tertular dari 14 kabupaten/Kota yang ada di Kalimantan
Barat dan pada 8 Kabupaten terdapat korban meninggal pada manusia. Pada
tahun 2017 Jumlah kasus gigitan mencapai 2091 dengan jumlah kematian
pada manusia sebanyak 24 orang.

Sejak tertular di akhir tahun 2014, pengendalian terhadap penyakit


rabies ini terus dilakukan yaitu berupa vaksinasi, sosialisasi, pengawasan
lalu lintas hewan penular rabies maupun tindakan eliminasi terhadap hewan
penular rabies liar. Kegiatan vaksinasi dilaksanakan pada daerah tertular dan
terancam dengan harapan dapat memberikan kekebalan pada hewan penular
rabies dan tidak menularkan pada hewan penular rabies lain maupun manusia.
Keberhasilan vaksinasi dapat dinilai dari cakupan vaksinasi dan kekebalan
yang ditimbulkan pasca vaksinasi melalui pemeriksaan titer antibodi.
Sehingga kegiatan vaksinasi bisa dievaluasi dan selanjutnya menjadi bahan
untuk mengoptimalkan upaya pengendalian penyakit rabies.

TUJUAN

1. Untuk mengetahui gambaran dan melakukan kajian hubungan antara


hasil pemeriksaan titer antibodi rabies dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya pada anjing yang telah divaksinasi.
2. Memberikan informasi ilmiah tentang efektifitas vaksinasi yang telah
dilakukan
3. Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan vaksinasi Rabies dalam program
penanggulangan Rabies

MATERI DAN METODE

A. Waktu dan Tempat

Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Juli s/d Desember 2017 di


14 Kabupaten/Kota. Pemeriksaan contoh dilakukan pada Unit Laboratorium
Keswan dan Kesmavet Provinsi Kalimantan Barat.

B. Penentuan Lokasi

Beberapa alasan yang digunakan untuk menentukan lokasi surveilans


adalah :
1. Jumlah hewan yang telah divaksinasi rabies
2. Jumlah populasi hewan penular rabies
3. Daerah kejadian penyakit rabies berdasarkan data penyebaran penyakit
4. Akses dalam mencapai tujuan lokasi surveilans

332 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
C. Metode Sampling

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode cluster sampling


dan dilakukan pengambilan 700 sampel serum darah anjing lokal yang
telah tervaksin di 14 Kabupaten/Kota dan selanjutnya diuji dengan metode
enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Banyaknya sampel ditetapkan
berdasarkan anggaran yang tersedia.

Untuk menetapkan jumlah sampel yang akan diambil dengan


mempertimbangkan data populasi, realisasi dan cakupan vaksinasi pada
tiap Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat (data bersumber dari Bidang
Kesehatan Hewan Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Kalimantan Barat). Data yang diperoleh sebagai berikut:

Tabel 1. Data populasi, realisasi vaksinasi dan target sampel 2017

Jml Peresentase
Realisasi Jumlah
No Kabupaten Populasi cakupan
Vaksinasi Sampel
Anjing vaksinasi
1 Pontianak 4.270 1.648 38,59 % 50
2 Mempawah 16.676 4.300 25,79 % 50
3 Singkawang 5.730 2.500 43,63 % 50
4 Sambas 5.925 1.000 16,88 % 50
5 Bengkayang 29.714 950 3,20 % 50
6 Landak 53.851 23.000 42,71 % 50
7 Sanggau 39.341 8.868 22,54 % 50
8 Sekadau 12.101 6.808 56,26 % 50
9 Sintang 10.357 5.903 57 % 50
10 Melawi 9.870 4.920 49,85 % 50
11 Kapuas Hulu 15.211 13.487 88,67 % 50
12 Ketapang 9.869 5.750 58,26 % 50
13 Kayong Utara 1.522 1.000 65,70 % 50
14 Kubu Raya 3.680 617 16,77 % 50
JUMLAH 218.117 80.751 37,02 % 700

Penentuan jumlah sampel yang diambil di setiap Kabupaten/Kota adalah


sama yaitu 50 sampel per Kabupaten/Kota. Hal ini karena cakupan vaksinasi
yang tidak proporsional di tiap Kabupaten/Kota

Target Sampel

- Tingkat Kabupaten / Kota.


Sampel diambil di 14 Kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat
berdasarkan pelaksanaan vaksinasi rabies

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
333
- Tingkat Kecamatan
Pada masing-masing kabupaten dibuat daftar pasca vaksinasi rabies
terhadap HPR, dipilih 1 Kecamatan setiap Kabupaten / Kota
- Tingkat Desa
Dari setiap kecamatan terpilih dibuat data pasca vaksinasi rabies dan
secara random dipilih 2 desa yang akan ditunjuk sebagai target sasaran
sampling.
- Perekaman Data
Setiap sampling yang diambil direkam seperti no urut, kode contoh,
pemilik, lokasi (Kabupaten, Kecamatan, Desa), Jenis Hewan, jenis
kelamin, ras, umur hewan, status vaksinasi (tanggal dan jenis vaksin),
jenis spesimen.

D. Pengujian Sampel

Pengujian Elisa Rabies di Laboratorium Kesehatan Hewan dan


Kesehatan Masyarakat Veteriner Provinsi Kalimantan Barat. Setiap sampel
serum darah yang diambil akan dilakukan uji serologis dengan metode elisa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dari target 700 sampel dapat terealisasikan sebanyak 696 sampel


sebagai berikut:

Tabel 3. Pengambilan dan realisasi perolehan sampel

Waktu Pengambilan
No Kabupaten Total Serum
Sampel
1 Pontianak 27 sd 28 November 2017 48
2 Mempawah 5 sd 6 Desember 2017 50
3 Singkawang 14 sd 15 Novembe 2017 42
4 Sambas 21 sd 23 November 2017 50
5 Bengkayang 19 sd 21 Juli 2017 50
6 Landak 13 sd 15 Juli 2017 52
7 Sanggau 21 sd 23 Agustus 2017 44
8 Sekadau 9 sd 11 Agustus 2017 56
9 Sintang 13 sd 15 September 2017 52
10 Melawi 25 sd 27 September 2017 47
11 Kapuas Hulu 12 sd 15 September 2017 73
12 Ketapang 31 Okt sd 3 November 2017 46
13 Kayong Utara 22 sd 25 November 2017 34
14 Kubu Raya 27 sd 28 November 2017 52
JUMLAH 696

334 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Dari 696 sampel yang diperoleh, dilaksanakan pengujian terhadap
sampel tersebut di Unit Laboratorium Keswan dan Kesmavet Provinsi
Kalimantan Barat. Hasil uji elisa rabies sebagai berikut:

Tabel 4. Hasil Uji Elisa Rabies

Nilai Hasil Pengujian Kesimpulan


Jumlah
No Kabupaten Seropositif Seronegatif hasil uji
Sampel
(≥ 0,5 EU) (˂0,5 EU) (Protektif)
1 Pontianak 48 54,17 % 26 22
2 Mempawah 50 44,00 % 22 28
3 Singkawang 42 61,90 % 26 16
4 Sambas 50 70,00 % 35 15
5 Bengkayang 50 48,00 % 24 26
6 Landak 52 53,85 % 28 24
7 Sanggau 44 77,27 % 34 10
8 Sekadau 56 28,57 % 16 40
9 Sintang 52 46,15 % 24 48
10 Melawi 47 14,89 % 7 40
11 Kapuas Hulu 73 32,88 % 24 49
12 Ketapang 46 21,74 % 10 36
13 Kayong Utara 34 52,94 % 18 16
14Kubu

Raya  52 
69,23 %  36  16
     
JUMLAH 47,41% 386
  696  330 

Gambar 1. Gambaran Titer Antibodi Rabies Pasca Vaksinasi





Sambas
70 %

Bengkayang
48,00%
Kapuas Hulu
Singkawang 32,88%
61,90% Sanggau
Landak 77,27%
Mempawah 53,85%
44,00%

Pontianak
54,17% Sekadau Sintang
28,57% 33,33%
Kubu Raya
69,23%
Melawi
14,89%

Kayong Utara
52,94%

Ketapang
21,74%

Keterangan :

Persentase Hasil Seropositif


Persentase HasilTanpa Seropositif

Prosiding

Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018  335

          

Berdasarkan data tersebut di atas, menunjukan hasil seropositif
(protektif) anjing pasca vaksinasi yang variatif dengan Kabupaten Sanggau
yang menunjukkan hasil protektif yang tinggi sebesar 77,27% dan Kabupaten
Melawi yang menunjukkan hasil protektif terendah sebesar 14,89%. Hasil
pemeriksaan dari seluruh contoh yang diambil 14 Kabupaten/Kota di
Kalimantan Barat menunjukan titer antibodi protektif sebesar 47,41%.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan dari 696 sampel, 300 sampel (47,41%)


memiliki titer antibodi protektif (seropositif) dan 366 sampel (52,59%)
tidak memiliki titer antibodi protektif (seronegatif). Banyak faktor yang
dimungkinkan mempengaruhi hasil titer antibodi tersebut.

Sampai saat ini tidak diketahui potensi vaksin yang ada di lapangan.
Karena dengan perjalanan panjang selama distribusi, kualitas vaksin
dari tempat produsen sampai di lapangan belum tentu sama. Vaksin yang
digunakan di Kalimantan Barat adalah jenis inaktif. Saat ini dikenal terdapat
dua jenis vaksin rabies yang digunakan pada hewan yaitu live vaccine dan
killed vaccines. Umumnya vaksin yang digunakan saat ini adalah jenis killed
vaccines. Menurut Schultz (2000), vaksinasi rabies memiliki durasi imunitas
minimum kurang lebih selama 3 tahun dan estimasi proteksi relatif sebesar
85%. Vaksin rabies dikelompokkan dalam kelompok vaksin inti, dengan
pengertian sebagai vaksin yang penting dan harus diberikan pada setiap
anjing untuk vaksinasi.

Kerusakan vaksin akibat tidak baiknya rantai dingin selama perjalanan


dan pelaksanaan vaksinasi di lokasi. Karena ada satu hal yang mutlak harus
diperhatikan yaitu tentang penanganan vaksin terutama rantai dingin atau
cold chain, yaitu suatu sistim penyimpanan vaksin dengan suhu antara 2 – 8
derajat Celsius, agar komponen dalam vaksin yang bersifat bioaktif tidak
mengalami kerusakan karena suhu yang terlalu tinggi atau suhu yang terlalu
rendah, sehingga dengan suhu penyimpanan yang tepat, potensi proteksi
vaksin akan tetap terjaga maksimal hingga waktu yang telah ditentukan oleh
pabrik pembuat vaksin, yang ditentukan dengan yang disebut Expiration
Date atau Waktu Kadaluarsa vaksin (Anonimous, 2012).

Aplikasi vaksin yang tidak tepat, tidak memperhatikan umur anjing dan
kondisi kesehatan anjing waktu pelaksanaan vaksinasi menjadi salah satu
penyebab titer yang tidak bagus. Program vaksinasi dilakukan pada umur
12 minggu atau lebih. Untuk vaksin rabies diharapkan dilakukan revaksinasi
pada 1 tahun setelah vaksinasi dan diulang sekali lagi 3 tahun kemudian
(Schultz 2000). Beberapa vaksin inaktif rabies mempunyai durasi minimum
3 tahun. Namun beberapa anakan anjing sebesar 5% gagal untuk membentuk
imunitas terhadap salah satu vaksin inti termasuk juga vaksin rabies. Penyebab

336 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
gagalnya imunitas ini antara lain: keberadaan imunitas secara pasif dari
vaksinasi sebelumnya, mundurnya respon sistem kekebalan, imunogenisitas
vaksin yang lemah, vaksin yang diberikan kurang cukup, ketidakmampuan
genetik untuk merespon antigen dalam vaksin, kejadian immunosupresi,
terlalu banyak komponen dalam vaksin (multiple component vaccine), atau
juga inefektifitas vaksin itu sendiri (Schultz 2000).

Menurut (Roth, 2010), faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan


durasi imunitas pada hewan antara lain faktor vaksin, faktor individu
hewannya termasuk penurunan imunitas karena patogen, dan faktor
patogennya. Adanya maternal antibodi, jarak waktu vaksinasi dan paparan
antigen, perbedaan strain virus, kerusakan vaksin, aplikasi vaksinasi yang
kurang tepat, jadwal vaksinasi yang kurang tepat, variasi ras, imunosupresi
atau imunodefisiensi, defisiensi nutrisi dan berada pada masa awal infeksi
dapat berpengaruh terhadap kegagalan vaksinasi

Dari beberapa faktor tersebut di Kalimantan Barat faktor aplikasi


vaksinasi yang kurang tepat mungkin dapat menjadi salah satu penyebab
rendahnya titer antibodi, karena dalam pelaksanaan vaksinasi sebagian besar
dilakukan oleh kader vaksinator yang terdiri dari pemuda karang taruna dan
Babhinkamtipmas.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil pemeriksaan terhadap 696 sampel serum darah anjing lokal pasca
vaksinasi pada 14 Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat menunjukan bahwa
titer antibodi protektif sebesar 47,41%. Kabupaten yang menunjukkan
hasil protektif yang tinggi adalah Kabupaten Sanggau sebesar 77,27% dan
terendah Kabupaten Melawi sebesar 14,89%.

B. Saran

1. Pelaksanaan vaksinasi Rabies dalam program pengendalian dan


penanggulangan penyakit Rabies merupakan salah satu tindakan
strategis untuk menurunkan kasus positif rabies, untuk itu dalam
pelaksanaannya harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat
mengakibatkan kegagalan vaksinasi.
2. Meningkatkan cakupan vaksinasi minimal harus mencapai 70%.
3. Perbaikan metode surveilans, agar didapatkan gambaran yang sangat
ideal untuk menggambarkan kejadian nyata yang ada di lapangan.
4. Melakukan uji potensi pada vaksin yang sudah sampai di lokasi, untuk
mengetahui potensi vaksin selama dalam perjalanan.
5. Melakukan evaluasi terhadap petugas dan kader vaksinator.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
337
KETERBATASAN

Hal-hal yang menjadi keterbatasan/Kendala dalam kegiatan ini:


1. Sampel serum darah pada anjing pasca vaksinasi sangat sulit diperoleh
karena banyaknya anjing pasca vaksinasi yang mati maupun dikonsumsi
masyarakat.
2. Keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang melakukan pengambilan
sampel.
3. Keterbatasan anggaran yang tersedia
4. Keterbatasan waktu pelaksanaan kegiatan
5. Lokasi pengambilan sampel yang jauh dan medan yang berat.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat.


2017. Laporan Tahunan 2017

Direktorat Kesehatan Hewan, 2015. Pedoman Pengendalian dan


Penanggulangan Rabies.

Direktorat Kesehatan Hewan, 2014. Pedoman teknis Surveilans Penyakit


Hewan Menular.

Anonimous, 2012. Sistim Rantai Dingin Vaksin Atau Cold Chain Vaccine
Siapa Perlu? (diunduh 5 Februari 2018)

James A. Roth* and Anna Rovid Spickler. 2010. Duration of immunity


induced by companion animal vaccines. ISSN 1466-2523.

OIE Terrestrial Manual 2008. Rabies. Chapter 2.1.13

Schultz R.D. 2000. Considerations in designing Effective and Safe


Vaccination Programs Veterinary Medicine; 93:233-254.

338 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA PADA SEL PRIMER
CHICKEN EMBRYO FIBROBLAST (CEF) DAN SEL KULTUR
MARDIN-DARBY BOVINE KIDNEY (MDBK)
Desi Puspita Sari1, Sri Handayani Irianingsih1, M. Afdhal Darul2

1
Medik Veteriner di Laboratorium Virologi BBVet Wates
2
Paramedik di Laboratorium Virologi BBVet Wates

ABSTRAK

Pada awal tahun 2018, banyak kasus penurunan produksi telur dan kematian pada unggas
komersial yang dilaporkan di wilayah kerja BBVet Wates, sehingga jumlah permintaan uji isolasi
virus AI bertambah dan berimplikasi pada peningkatan kebutuhan Telur Ayam Berembrio SAN.
Kajian isolasi virus Avian Influenza pada sel primer Chicken Embryo Fibroblast (CEF) dan sel
kultur Mardin-Darby Bovine Kidney (MDBK) telah dilakukan di Laboratorium Virologi BBVet
Wates. Kajian ini bertujuan untuk melihat perubahan dan respon titer HA sel primer CEF dan sel
kultur MDBK yang diinokulasi virus Avian Influenza. Kajian ini dilakukan dengan metoda inokulasi
virus AI pada media pertumbuhan sel primer CEF P2 dan sel kultur MDBK P142. Sel CEF dibuat
dari 2 telur ayam berembrio (TAB) umur 10 hari. Setelah 24 jam 1 flask sel CEF dilakukan split ke
microplate 24 well,sedangkan sel MDBK dikultur ke microplate 24 well dan flask 25 cm2. Isolat
virus yang digunakan adalah A/Chicken/Sleman/BBVW-242/2017 dengan titer virus 16HA. Isolat
virus diencerkan bertingkat dari 10-2 sampai 10-5 dan diinokulasikan pada sel CEF dan sel MDBK
dengan 3 kali ulangan. Sel MDBK yang dikultur pada flask 25 cm2 diinokulasi virus enceran 10-2. Sel
diinkubasi selama 4 hari pada suhu 37oC. Sel primer CEF dan sel kultur MDBK setelah 1 jam post
infeksi tampak adanya perubahan sel (cytopathic effect/cpe). Virus AI dapat diisolasi pada sel primer
CEF dengan titer virus 4HA pada inokulasi virus enceran 10-2 dan titer 2HA pada virus enceran 10-3.
Pada sel kultur MDBK di microplate 24 well virus AI diidentifikasi pada pengenceran 10-2 dengan
titer virus 2HA dan 10-3 dengan titer 4HA sedangkan sel kultur MDBK di flask 25 cm2 diperoleh titer
virus lebih tinggi 64HA. Berdasarkan hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa sel primer CEF dan
sel kultur MDBK dapat digunakan sebagai media pertumbuhan untuk isolasi virus AI.

Kata kunci : sel CEF, sel MDBK, inokulasi

PENDAHULUAN

Avian influenza (AI) disebut juga flu burung, fowl pest, fowl plaque
atau avian flu dapat terjadi dalam 2 bentuk, yakni Highly Pathogenic Avian
Influenza (HPAI) atau fowl plaque dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)
yang keduanya disebabkan oleh virus Influenza tipe A. Virus ini termasuk
famili Orthomyxoviridae, yang berukuran 80-120 nm, dan berdasarkan
karakter protein M nya dibedakan menjadi 3 tipe yang sangat berbeda secara
antigenik yaitu virus Influenza tipe A, B, dan C. Tipe B dan C hanya ditemukan
pada manusia dan kasusnya bersifat ringan. Sedang tipe A yang utama adalah
menyerang unggas, walaupun juga ditemukan pada manusia, kuda, babi dan
terkadang pada spesies mamalia lainnya. Berdasarkan “spike” haemaglutinin
(HA) dan neuraminidase (NA) pada amplop (pembungkus luar virus) maka
virus influenza ditentukan subtipenya. Virus influenza A memiliki 15 HA
(H1-H15) dan 9 NA (N1-N9) yang berbeda secara antigenik. Hingga saat ini,
Semua wabah penyakit HPAI yang sangat patogen pasti disebabkan subtipe
H5 atau H7, namun tidak sebaliknya (SWAYNE and SUAREZ, 2000)

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
339
Kasus AI H5N1 di Indonesia pertama kali dilaporkan pada bulan
Agustus 2003, menyerang beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Direktur Jenderal Peternakan pada tanggal 25 Januari
2004 dan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Nomor 96/KPTS/PP.620/2/2004 tanggal 3 Pebruari 2004 tentang Pernyataan
Berjangkitnya Wabah Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas
(Avian Influenza) dibeberapa provinsi di wilayah Indonesia,sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 393/
Kpts/PD.620/7/2007, menetapkan bahwa Indonesia telah terjangkit wabah
penyakit AI pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe
H5N1 yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (Ditjennak 2008).

Virus influenza A mempunyai sifat mudah berubah. Antigen permukaan


yang dimiliki virus influenza tersebut dapat berubah secara periodik yang
lebih dikenal dengan istilah antigenic drift (mutasi titik/minor) dan antigenic
shift (pergeseran genetik/mutasi mayor). Antigenic drift merupakan
perubahan yang terjadi akibat mutasi genetik struktur protein permukaan
virus, sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi
sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut, sedangkan
antigenic shift merupakan perubahan genetik virus yang memungkinkan
virus ini menginfeksi secara lintas spesies . Mutasi mayor merupakan
keunikan virus influenza karena genom virus itu terdiri atas delapan potong
RNA, sehingga ketika virus influenza dengan tipe berbeda menginfeksi sel
yang sama akan terjadi pertukaran segemen RNA dalam sel. Kedua sifat
tersebut dapat menyebabkan kejadian pandemi (Stohr 2005).

Mekanisme infeksi virus influenza dimulai dengan perlekatan virus


pada permukaan membran plasma. Reseptor untuk virus influenza adalah
sialoglycolipid atau gangliosides atau sialoglycoprotein. Terminal sialic acid
akan dikenali oleh hemaglutinin (HA) yang berperan dalam perlekatan virus.
Kedudukan reseptor virus pada bagian distal globular hemaglutinin, yaitu
daerah molekul yang menunjukkan sedikit perbedaan yang dikelilingi oleh 3
tempat antigen yang berbeda. Virus akan masuk ke dalam sel dengan bantuan
ikatan paku HA pada mukoprotein yang mengandung terminal N-acetyl
neuraminic acid (NANA = sialic acid) (Manugerra & Hannoun 1999).

Isolasi virus Influenza tipe A pada telur embrio bertunas SPF atau kultur
sel sangat penting untuk epidemiologi investigasi wabah dan untuk beberapa
tujuan lainnya. Karena spektrum susseptibilitasviral mereka mirip dengan
hospes alaminya, sel primer seperti chicken embryo fibroblast (CEF) dan
chicken embryo kidney (CEK) sering digunakan oleh laboratorium untuk
pertumbuhan virus influenza (Lee et al, 2008), sedangkan sel line yang
biasa digunakan adalah sel MDCK. Sel CEF dibuat di laboratorium dengan
menggunakan telur ayam yang Spesifik Antibodi Negatif (SAN) berembrio
umur 9-10 hari. Sel CEF bisa digunakan untuk menumbuhkan berbagai virus
yang menyerang pada unggas salah satunya adalah virus AI.
340 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TUJUAN

Kajian ini bertujuan untuk melihat perubahan dan respon titer HA pada
sel primer CEF dan sel kultur MDBK yang diinokulasi virus Avian Influenza.

MATERI DAN METODA

Materi

Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah Telur Ayam Berembrio
umur 9-11 hari, Sel MDBK P142, Sel CEF, Isolat Virus AI A/Chicken/
Sleman/BBVW-242/2017, Media esensial (MEM), Antibiotik Gentamicyn,
Penicilin Streptomicyn, Gentamicin, Hepes, Fetal Bovine Serum, Fungizone,
PBS steril, Trypsin, Methyline blue

Peralatan yang digunakan dalam kajian ini adalah Flask 25 cm2, Tabung
steril, Mikroplate tissue culture 24 well, ependorf steril, Pipet dan tips filter
steril, Sentrifuge, Mikroskop, Inkubator CO2

Metoda

1. Persiapan Sel CEF


Proses ini dilakukan di Laminar Flow di laboratorium Virologi BBV
Wates. Sel CEF dipreparasi dari 2 embrio ayam umur 10 hari. Embrio
ayam berasal dari telur Spesific Antibody Negatif (SAN) milik IKHP
BBV Wates. Sel CEF ditumbuhkan ke dalam flask 25 cm2 menggunakan
media GM 7%. Pada hari kedua sel CEF yang telah konfluen di split pada
mikroplate tissue culture 24 well menggunakan media pertumbuhan
7%.
2. Persiapan Biakan Sel MDBK
Sel MDBK P142 yang telah konfluen dalam flask 25 cm2 lalu displit
dalam mikroplate tissue culture 24 well dan diberi media pertumbuhan
7%.
3. Inokulasi Virus AI pada Sel CEF dan Sel MDBK
Isolat virus yang digunakan untuk inokulasi pada sel CEF dan sel
MDBK adalah A/Chicken/Sleman/BBVW-242/2017 dengan titer virus
16HA. Isolat virus diencerkan bertingkat dari 10-2 sampai 10-5 dan
diinokulasikan pada sel CEF dan sel MDBK dengan 3 kali ulangan
pada mikroplate 24 well dan sel MDBK di flask 25 cm2 dengan isolat
virus yang diencerkan 10-3. Pada masing-masing mikroplate 24 well
baik untuk sel CEF maupun sel MDBK digunakan 4 well untuk kontrol
negatif dan 4 well untuk kontrol sel. Sel diinkubasi menggunakan
inkubator CO2 selama 4 hari dengan suhu 37oC. Pengamatan dilakukan
selama 4 hari dengan melihat perubahan pada sel dengan terbentuknya
Cytopathic effect (CPE).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
341
4. Panen Virus dan Uji HA
Setelah inkubasi 4 hari post inokulasi, sel CEF dan sel MDBK yang telah
diinokulasi isolat virus AI dilakukan proses pemanenan dengan cara
koleksi cairan sel dengan masing-masing pengenceran dan dilanjutkan
dengan pengujian HA.

HASIL

Tabel 1. Rekaman Inokulasi Isolat A/Chicken/Sleman/BBVW-242/2017


pada sel CEF

1. 10-2 1. 10-2 2. 10-2 3. 10-2 4. Kontrol Sel 5. Kontrol


+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE negatif
- CPE
6. 10-3 7. 10-3 8. 10-3 9. 10-3 10. Kontrol Sel 11. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE negatif
- CPE
12. 10-4 13. 10-4 14. 10-4 15. 10-4 16. Kontrol Sel 17. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE Negatif
- CPE
18. 10-5 19. 10-5 20. 10-5 21. 10-5 22. Kontrol Sel 23. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE Negatif
- CPE

Tabel 2. Rekaman Inokulasi Isolat A/Chicken/Sleman/BBVW-242/2017


pada sel MDBK

2. 10-2 24. 10-2 25. 10-2 26. 10-2 27. Kontrol Sel 28. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE negatif
- CPE
29. 10-3 30. 10-3 31. 10-3 32. 10-3 33. Kontrol Sel 34. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE negatif
- CPE
35. 10-4 36. 10-4 37. 10-4 38. 10-4 39. Kontrol Sel 40. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE Negatif
- CPE
41. 10-5 42. 10-5 43. 10-5 44. 10-5 45. Kontrol Sel 46. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE Negatif
- CPE

342 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 3. Hasil Pengujian Titer HA

No Isolasi Virus A/Chicken/Sle- Titer HA


man/BBVW-242/2017 Sel CEF Sel MDBK Sel MDBK
(mikroplate) (flask 25 cm2)
1 10-2 4 HA 2 HA 64 HA
2 10-3 2 HA 4 HA -
3 10-4 0 0 -
4 10-5 0 0 -

Gambar 1. Sel CEF 1 Gambar 2. Sel CEF Gambar 3. Sel MDBK


jam post inokulasi hari ke 2 post inokulasi hari ke 2 post inokulasi
(enceran 10-2) (enceran 10-2)

PEMBAHASAN

Keterbatasan ketersediaan telur Spesifik Antibodi Negatif (SAN) di


BBV Wates pada awal tahun 2018 dan dengan banyaknya laporan kematian
dan penurunan produksi telur yang menyerang unggas komersial di wilayah
kerja BBV Wates merupakan salah satu alasan dilakukannya kegiatan kajian
ini.

Sel CEF dan sel MDBK yang diinokulasi dengan Isolat virus A/Chicken/
Sleman/BBVW-242/2017, setelah dilakukan pengamatan selama 4 hari
inkubasi post inoklulasi menunjukkan perubahan sel dengan ditemukannya
cytopathic effect (CPE). Hal ini menunjukkan bahwa isolat virus A/Chicken/
Sleman/BBVW-242/2017 diindikasikan termasuk ke dalam kelompok
HPAI. Cytophatic virus membunuh sel di mana mereka bereplikasi. Ketika
kultur sel yang diinokulasi dengan cytophatic virus, maka infeksi virus
menyebar melalui media untuk menginfeksi mulai dari sel yang berdekatan
hingga akhirnya semua sel dapat terinfeksi. Hasil dari kerusakan sel tersebut
adalah cytopathic effect (CPE) (Murphy et al.,1999). CPE dapat diamati
secara langsung dengan mikroskop. Adanya bentukan CPE baik pada sel
CEF maupun sel MDBk yang sudah diinokulasi virus AI. Bentukan CPE
ini tampak terlihat mulai hari ke 1 post inokulasi. Dan pada hari ke 2 post

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
343
inokulasi baik pada sel CEF maupun sel MDBK sudah mulai rusak karena
adanya CPE dan sel terus mengelupas. Setelah diinkubasi selama 4 hari cairan
sel dipanen dann ndikoleksi berdasarkan pengencerannya dan dilanjutkan
dengan melakukan pengujian HA untuk menentukan titer virus.

Setelah hari ke 4 post inokulasi baik sel CEF maupun sel MDBK di
panen. Dengan cara sel CEF dan sel MDBK dalam mikroplate dan flask 25
cm2 di freez thaw sebanyak 3 kali kemudian cairan tissue culture bisa dipanen
dan dilanjutkan dengan pengujian titer HA. Cairan sel CEF dan sel MDBK
di panen dengan cara dikoleksi cairannya sesuai dengan tingkat enceran
pada saat inokulasi. Cairan sel tersebut dikolekasi pada ependorf steril.
Untuk kemudian dilanjutkan untuk pengujian titer HA. Pada saat dilakukan
pengujian HA ternyata hanya pada pengenceran 10-2 dan 10-3 yang ada titer
virusnya. Sedangkan pada pengenceran 10-3 dan 10-4 keduanya menunjukkan
titer virus 0. Hal ini disebabkan karena kandungan virus yang terlalu sedikit
pada saat proses pengenceran isolat yang digunakan untuk inokulasi. Pada
inokulasi isolat AI dengan pengenceran 10-2 pada sel MDBK yang di flask 25
cm2titer virusnya menunjukkan hasil 64 HA. Hal ini tampak berbeda dengan
titer virus di mikroplate yang lebih rendah, hal ini disebabkan karena jumlah
luasan sel dalam flask 25 cm2 lebih banyak dibandingan dalam mikroplate
sehingga virus dalam flask dapat berkembang lebih banyak dan titer virus
pun lebih tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dari kajian yang dilakukan ini dapat disimpulkan


bahwa sel primer CEF dan sel kultur MDBK dapat digunakan sebagai media
pertumbuhan untuk isolasi virus AI. Hal ini dibuktikan dengan perubahan sel
dan adanya titer virus pada cairan tissue culture yang dipanen dan dilakukan
pengujian titer HA. Luasan sel yang akan diinokulasi juga mempengaruhi
titer virus, semakin banyak luasan sel yang diinokulasi maka titer virus juga
akan semakin tinggi. Ketersediaan bahan-bahan dan peralatan laboratorium
yang memenuhi syarat dalam pengujian sangat dibutuhkan untuk mendukung
dalam percepatan pengujian dan diagnosa penyakit.

KETERBATASAN ATAU LIMITASI

Inkubator CO2 yang tidak memenuhi syarat, karena rusaknya katub


selang gas CO2 sehingga inkubator yang digunakan tidak dapat mensuplai
CO2 sesuai kebetuhan sel. Sel diinkubasi tanpa memakai gas CO2. Dan
inkubator yang tersedia di laboratorium Virologi hanya tersedia 1 sehingga
inkubator digunakan secara bersamaan untuk sel yang sedang ditumbuhkan
atau dikembangkan dengan sel yang telah diinokulasi dengan virus.

344 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA

[DITJENNAK] Direktorat Jendral Peternakan. 2008. Prosedur Operasional


Standar Pengendalian Penyakit Avian Influenza. Jakarta: Direktorat
Jenderal Peternakan Departemen Pertanian.

Lee,C-W, Jung. K., Jadhao, S.J. dan Suarez, D.L. (2008). Evaluation of
Chicken Origin (DF-1) and Quail Origin (QT-6) Fibroblast Cell Lines
For Replication of Avian Influenza Viruses. J Viral Methods 153, 22-
28.

Mannugerra JC, Hannoun C. 1999. Influenza and Other Viral Respiratory


Diseases. Paris: Institute Pasteur.

Murphy,F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek,M.C. dan Studdert, M.J.1999.


Veterinary Virology, Third Edition. Academic Press. 81-82.

Stohr K. 2005. Avian influenza and pandemics-research needs and


opportunities. N Engl J Med 352:405-407.

SWAYNE, D.E. and SUAREZ DL. 2000. Highly pathogenic avian influenza.
In: Diseases of Poultry: world trade and public health implications.
BEARD CW and MCNULTY MS (Eds.). Rev Sci Tech Off Int Epiz
19(2): 463-482.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
345
KOMPARASI UJI SEROLOGIS UNTUK DETEKSI INFEKSI
TRYPANOSOMA EVANSI PADA KERBAU
Rochmadiyanto, Khajadatun, Ari Puspita Dewi, Koeswari Imran

Balai Besar Veteriner Wates

ABSTRAK

Salah satu penyakit parasiter endemis pada kerbau di Indonesia adalah surra yang disebabkan
oleh infeksi protozoa T.evansi. Kunci keberhasilan penanggulangan infeksi T. evansi pada
kerbau adalah ketepatan dan kecepatan diagnosis. Kerbau yang terinfeksi T. evansi tidak selalu
menunjukkan gejala patognomonik dan perubahan patologis, sehingga diagnosa laboratorium yang
cepat, tepat, akurat, murah, dan efisien sangat dibutuhkan. Card agglutination test (CATT/T.evansi)
mempunyai sensitifitas 78% dan speisifitas 100% tetapi mengalami kesulitan untuk pemesanan kit.
ELISA antibodi mempunyai sensitifitas 89% dan spesifitas 94%, obyektif, dapat untuk surveilen
skala luas dan metode dapat di standardisasi dengan presisi yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah
menghitung nilai kesesuaian metode Surelisa-Te IgG dan IgM terhadap uji CATT untuk mendeteksi
infeksi T. evansi pada kerbau. Sebanyak 129 ekor kerbau dilakukan pengambilan serum pada vena
jugularis. Setelah darah beku dipisahkan serum disimpan dalam suhu -20º C. Serum dilakukan
pengujian CATT, Surelisa-Te IgG dan Surelisa-Te IgM. Hasil penelitian menunjukkan nilai Kappa
Surelisa-Te IgG terhadap CATT, Surelisa-Te IgM terhadap CATT dan Surelisa IgM terhadap Surelisa
IgG masing-masing 0,26, -0,63 dan 0,11. Nilai kesesuaian yang rendah disebabkan karena masing-
masing metode uji mempunyai kharakteristik berbeda sesuai fase infeksi dalam mendeteksi T. evansi.
Diagnosa surra secara serologis untuk surveilen sebaiknya menggunakan beberapa metode diagnosa
baik serologis maupun parasitologis karena status infeksi kerbau tidak diketahui.

Kata kunci : CATT, Kerbau, Kappa, Surelisa-Te IgG, Surelisa-Te IgM, status infeksi Trypanosoma
evansi

PENDAHULUAN

Diagnosa infeksi T. Evansi pada kerbau sering mengalami kesulitan


karena hewan yang terinfeksi tidak selalu menunjukkan gejala patognomonik
dan perubahan patologis (Dargantes, 2010). Kecepatan dan ketepatan
diagnosa akan sangat mempengaruhi keberhasilan penanggulangan infeksi
T. evansi pada kerbau. Metode ulas darah tipis dengan pewarnaan Giemza
dapat digunakan untuk identifikasi morfologi secara rinci, tetapi metode
ini mempunyai sensitivitas yang rendah karena hospes harus mengalami
parasitemia yang tinggi yaitu 12.500 trypanosoma/ml darah (My et al.,
(2000); 500.000 trypanosoma/ml darah (OIE, 2012) dengan sensitivitas
45,6% (Soodan et al., 1998). Metode hematokrit mampu mendeteksi T. evansi
jika hewan mengalami parasitemia sebanyak 50-200 trypanosoma/ml darah
(OIE, 2012, My et al., 2000; Reid et al., 2001) dengan sensitivitas 71% pada
kerbau (Dargantes, 2010). Card agglutination test for trypanosomosis/T.
evansi (CATT/T.evansi) digunakan untuk mendeteksi antibodi anti T. evansi.
Davison et al. (1999) melaporkan sensitivitas dan spesifitas CATT pada
kerbau di Indonesia masing-masing 77-79% dan 100%. Reid dan Copeman
(2003) melaporkan sensitivitas dan spesifitas CATT pada sapi di Indonesia
masing-masing 83% dan 96% dengan pengenceran serum 1:4. Reid dan
Copeman (2003) melaporkan sensitivitas ELISA antibodi 81% dan spesifitas
346 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
99% pada sapi yang terinfeksi T. evansi di Indonesia. Diagnosa untuk survei
infeksi T. evansi pada kerbau di Indonesia masih menggunakan metode ulas
darah tipis dengan pewarnaan Giemza dan hematokrit. Karena parasitemia
terjadi sewaktu-waktu, peneguhan diagnosa dengan menemukan parasit
sangat sulit (Tampubolon, 1995). Penggantian suatu metode uji dibutuhkan
penelitian nilai sensitivitas dan spesifitas metode uji yang baru (Martin et al.,
1987; Thrusfield, 2005). Apabila uji gold standart tidak tersedia, maka tidak
memungkinkan untuk melakukan uji akurasi (sensitivitas dan spesifitas).
Kesesuaian antara dua uji atau lebih yang berbeda dapat dilakukan penilaian
tanpa menganggap salah satu uji adalah yang terbaik (Thrusfield, 2005). Uji
serolgis diharapkan dapat menjadi alterntif selain uji konvensional untuk
survei dan peneguhan diagnosa penyakit surra sebagai dasar pengobatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian uji CATT dan
SURELISA Kit-Te (IgG dan IgM) sebagai alat peneguh diagnosa penyakit
surra pada kerbau. Hasil penelitian ini akan memberi alternatif pengujian
yang cepat untuk surveilen penyakit surra pada kerbau.

MATERI DAN METODE

Pengambilan spesimen

Sebanyak 129 ekor kerbau diambil sampel serum antara bulan Bulan
Agustus 2017 di Kabupaten Brebes dan Pemalang, Propinsi Jawa Tengah.
Darah diambil dari vena jugularis menggunakan vacutainer EDTA dan non
EDTA (Becton Dickinson). Peralatan harus steril dan sekali pakai untuk
mencegah penularan secara iatrogenic (OIE, 2012, Dargantes, 2010). Sampel
kemudian dimasukkan ke dalam kotak pendingin. Serum disimpan pada suhu
-20ºC setelah dipisahkan klotnya.

Pengujian spesimen

Card Aglutination Test (CATT) T. Evansi. Sampel serum di uji dengan


CATT untuk mengetahui keberadaan antibodi trypanosoma evansi. Kit CATT
dikembangkan oleh Institute of Tropical Medicine, Antwerp, Belgia. 50 µL
antigen RoTat 1.2 dicampur dengan 25 µL serum kerbau dilarutkan dengan
PBS (pH 7.2) dengan perbandingan 1:4 pada kartu yang tersedia. dengan
batang pengaduk campuran antigen dan serum diaduk dengan gerakan
melingkar kemudian diletakkan diatas rotator kemudian diputar selama 5
menit. Sampel dinyatakan positif bila terbentuk butiran biru (OIE, 2012).

Surelisa-Te. ELISA untuk deteksi anti T. evansi IgG menggunakan


SURELISA Kit-Te (Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor). Prosedur uji
sesuai instruksi produsen. Serum diencerkan dengan perbandingan 1:800
(1 µL serum dalam larutan dapar pengencer (dilution buffer) 800 µL).
Nilai densitas optik (OD) diukur dengan ELISA Reader dengan panjang
gelombang pada 450 nm. OD > 0,4 merupakan nilai cut off untuk serum
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
347
positif. Hasil pengukuran Optical Density (OD) yang diperoleh dianalisis
dengan perangkat lunak SpectraElisa untuk mendapatkan interpretasi hasil
uji. Quality Control (QC) Standard and Pippeting harus Passed minimal
Acceptable, jika dibawah Acceptable pengujian harus di ulangi dari awal.
Interpretasi hasil ELISA ada 4 yaitu excellent, good, acceptable, repeat dan
failed. Minimal hasil uji adalah acceptable, jika ada hasil repeat atau failed
maka uji harus diulangi (khusus sampel yang hasilnya repeat atau failed).

Nilai kappa dihitung menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell.


Data dianalisis dengan menggunakan tabel 2 x 2. Rumus penghitungan kappa
adalah sebagai berikut:
OA = (a+d)/n dimana n = (a+b+c+d).
EP+ = x
EP- = x
EP = (EP+) + (EP-)
OA = OP-EP.
MA = 1-EP
Kappa = OA/MA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Besar


Veteriner Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian menggunakan
sebanyak masing-masing 81 sampel darah, preparat ulas darah dan serum
kerbau

Prinsip kerja CATT adalah mendeteksi IgM (agglutinating pentavalent


immunoglobulins yang mempunyai masa hidup singkat). Uji ini sangat cocok
untuk deteksi antibodi yang terbentuk pada awal infeksi atau akhir infeksi.
Akurasi uji CATT sudah mendapatkan validasi dari OIE yaitu spesifitasnya
100% (OIE, 2012).

ELISA antibodi mempunyai kelemahan tidak dapat membedakan


antibodi dari infeksi aktif atau infeksi pada hewan yang sebelumnya terinfeksi
dan sudah sembuh (Dargantes, 2010). Diagnosa penyakit surra dengan
ELISA antibodi cocok untuk otomatisasi dan standarisasi dengan presisi
yang tinggi sehingga ELISA antibodi menjadi tes yang sangat berguna untuk
survei berskala besar untuk menentukan distribusi trypanosomosis (OIE,
2013). SURELISA-Te adalah kit ELISA untuk mendeteksi antibodi spesifik
Trypanosoma evansi merupakan produk diagnostik yang dikembangkan oleh
Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor dengan Balai Veteriner Banjarbaru,
Kalimantan Selatan. Kit ELISA ini dikembangkan untuk mendeteksi antibodi
IgG maupun IgM pada hewan yang terinfeksi Trypanosoma evansi. Penentuan
antibodi IgG dan IgM spesifik terhadap infeksi T.evansi sama dengan metode
ELISA umumnya. Sumuran mikrotiter yang telah dilapisi protein spesifik dari

348 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
T. evansi akan berikatan dengan antibodi anti T. evansi dari serum. Setelah
sumuran dicuci kemudian ditambahkan conjugate maka akan terbentuk
ikatan antigen-antibodi. Komplek imun yang telah terbentuk akan terlihat
berwarna biru apabila ditambahkan substrat Tetrametylenbenzidine (TMB).
Perubahan warna biru dapat dihentikan dengan penambahan asam sulfat
sehingga terbentuk warna kuning. Warna kuning yang terbentuk sebanding
dengan jumlah antibodi IgG/IgM T. evansi di dalam serum. Intensitas warna
kuning dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.

Hasil pengujian serum masing-masing uji ditampilkan dalam Tabel 1.


prevalensi T. evansi menggunakan CATT lebih tinggi dibandingkan Surelisa-
Te IgG maupun IgM. CATT adalah uji komersial dimana antigen terdiri dari
trypanosoma RoTat 1.2, jenis antigen permukaan variabel umum untuk
semua T. evansi. Antigen diaglutinasi oleh antibodi. Uji CATT memiliki
kelebihan dibandingkan pewarnaan Giemza atau hematokrit yaitu cepat,
mudah dilakukan dan dibaca. Oleh karena itu, tes ini dapat digunakan untuk
mempelajari seroprevalensi T. evansi dengan sangat mudah dan sensitif di
bawah kondisi lapangan (Diall et al., 1994; OIE, 2012; Dargantes, 2010).

Dalam penelitian ini deteksi T. evansi dengan Surelisa-Te IgG bisa


menjadi menjadi sarana diagnostik yang praktis dan metode yang lebih
dapat diandalkan (48 % positif) untuk mendeteksi infeksi pada fase akut
dan kronis. Hal ini karena ELISA masih dapat mendeteksi antibodi yang
menurun perlahan setelah terapi obat anti trypanosomal dan tetap tinggi
selama beberapa minggu setelah parasit telah dihilangkan (Luckins et al.,
1979).

Tabel 1. Tabel hasil pengujian 129 sampel dengan CATT dan Surelisa-Te

Hasil Uji
No Metode uji Prevalensi
(+) (-)
1 CATT 89 40 69%
2 Surelisa-Te IgG 62 67 48%
3 Surelisa-Te IgM 14 115 11%

Tabel 2. Tabel perhitungan nilai kappa beserta interpretasinya

No Metode Uji Nilai Kappa Kesesuaian


1 CATT vs Surelisa IgG 0,26 Jelek
2 CATT vs Surelisa IgM 0,08 Jelek
3 Surelisa IgG vs IgM 0,11 Jelek

Tabel 2 menunjukkan bahwa semua metode uji tidak ada yang mempunyai
nilai kesesuaian baik maupun sangat baik. Nilai kappa yang rendaha
menunjukkan bahwa antar metode uji merupakan uji yang berbeda. Uji CATT

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
349
mendeteksi IgM yang terbentuk pada saat awal infeksi dan hanya berumur
pendek. Dari Tabel 1 diketahui sebanyak 69% kerbau sedang mengalami
infeksi akut. Sedangkan Surelisa-Te IgG mendeteksi antibodi pada saat
infeksi kronis maupun akut. Sebanyak 48% kerbau yang di ambil sampelnya
mengalami infeksi kronis maupun akut.

Tabel 3. Tabel rincian pengujian 129 sampel dengan CATT dan Surelisa-Te

Metode Uji
No. Jumlah
CATT Surelisa IgG Surelisa IgM
1 9 + + +
2 43 + + -
3 4 + - +
4 35 + - -
5 1 - + +
6 8 - + -
7 29 - - -
129

Hasil mengejutkan didapat dari pengujian Surelisa-Te IgM. Dari Tabel


3 nilai kappa CATT terhadap Surelisa IgM 0,08 yang menunjukkan bahwa
kedua uji mempunyai perbedaan yang besar padahal sama–sama mendeteksi
IgM. Sebanyak 78 sampel positif CATT tetapi negatif dengan uji Surelisa
–Te IgM. Hal ini kemungkinan besar karena antigen yang digunakan dalam
Surelisa-Te IgM tidak sensitif mendeteksi IgM dari sampel.

Dalam penelitian ini tidak didapatkan nilai kesesuaian yang tinggi antar
metode uji. Hal ini disebabkan karena deteksi T. evansi sangat tergantung
pada fase infeksi yaitu akut, kronis, silence dan relapse. Pada fase infeksi
akut jumlah parasit dalam darah sangat tinggi sehingga memicu terbentuknya
antibodi. Pada fase ini metode uji serologis IgG maupun IgM mampu
mendeteksi T. evansi dengan baik. Pada fase infeksi kronis jumlah parasit
dalam darah sudah turun. Pada fase ini metode parasitologis (pewarnaan
Giemza dan MHCT) kurang sensitif untuk mendeteksi T. evansi, sebaliknya
metode serologis (CATT dan ELISA) mampu mendeteksi infeksi T. evansi
dengan baik, bahkan ELISA mampenyai sensitivitas yang tinggi pada fase
ini. Pada fase infeksi silent (misalnya karena ternak mengalami kekurangan
pakan paada musim kemarau) metode hematokrit tidak mampu mendeteksi
adanya T. evansi, CATT sensitivitasnya rendah sedangkan ELISA masih
mampu mendeteksi dengan baik (nilai sensitivitasnya sedang-tinggi). Fase
infeksi relapse yaitu fase pada saat kondisi tubuh kerbau pulih (setelah
mengalami kekurangan pakan pada musim kemarau misalnya) dimana infeksi
T. evansi juga akan meningkat kembali. Pada fase ini metode uji serologis
IgM dan IgG mampu mendeteksi infeksi T. evansi dengan baik (Desquesnes
et al, 2015 dalam Nurcahyo, 2017). Kondisi tersebut menjelaskan mengapa
350 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
tidak ada metode uji untuk mendeteksi infeksi T. evansi yang benar benar
akurat.

Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa dalam meneguhkan


diagnosa T. evansi membutuhkan lebih dari satu metode uji tetapi beberapa
metode uji untuk saling mendukung hasil diagnosa.. Surelisa-Te IgG bisa
digunakan untuk uji tapis mendeteksi infeksi T. evansi dan bisa dilanjutkan
dengan PCR maupun inokulasi mencit sebagai tes akhir.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner


Wates atas dukungan dana dan material sehingga penelitian ini bisa berjalan
dengan baik. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala
Dinas Peternakan Kabupaten Brebes dan Pemalang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymus. 2014. Penyakit Surra (Trypanosomiasis) dan Pengendaliannya.


Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS). http://
civas.net. Unduh: 23 April 2017.

Alves L.Castarelli, Boechat.V.C., Couto.R. Macedo, Ferreira L.C, Nicolau


J.L, Neves L.B, Millar P.R, Vicente T.T, Oliveira R.V.C, Muniz A.G,
Bonna I.C.F, Amendoeira M.R.R., Silva R.C, Langoni H, Scubach
T.M.P, Menezes R.C. 2014. Sensitivity and Specifity of serological test,
histopathplogy and immunohistochemistry for detection Toxoplasma
gondii infection in domestic chiken. Veterinary Parasitology 346-351.

Aregawi Wedegebrial Gebrezgabher, Kassa Samson Terefe, Tarekgn


Desalegn Kidanie, Brehanu Woldegebriel Tesfamariam, Haile Tilahun
Sisay and Kiflewahid Fikre Zeru. 2015. Parasitological and serological
study of camel trypanosomiasis (surra) and associated risk factor in
Gabi Rasu Zone, Afar, Ethiopia. Journal of Veterinary Medicine and
Animal Health Vol. 7(6), pp. 234-240.

Bennet G.F. 1962. The hematocrit centrifuge for laboratory diagnosis of


hematozoa. Canadian Journal of Zoology 40, 124-125. Birhanu
Hadush, Roge Stijn, Simon Thomas, Baelmans Rudy, Gebrehiwot
Tadesse, Goddeeris Bruno Maria, Buscher Phillipe. 2015. Surra K-SeT,
a new immunochromatographic test for serodiagnosis of Trypanosoma
evansi infection in domestic animal. Veterinary Parasitology 153-157.

Budiharta.S. dan Suardana. I.W., 2007. Buku Ajar Epidemiologi dan


Ekonomi Veteriner. Udayana Press, Surabaya.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
351
Damayanti R, Graydon RJ, Ladds P.W. 1994. The pathology of experimental
Trypanosoma evansi infection in the Indonesian buffalo (Bubalus
bubalis). Journal of Comparative Pathology 110, 237-252.

Dargantes AP, R.S.F. Campbell, D.B. Copeman and S.A. Reid. 2005.
Experimental

Trypanosoma evansi Infection in the Goat. II. Pathology. Journal Comp.


Path. 2005, Vol. 133, 267–276.

Dargantes AP, R.T. Mercado, R.J. Dobson, S.A. Reid. (2009). Estimating the
impact of Trypanosoma evansi infection (surra) on buffalo population
dynamics in southern Philippines using data from cross-sectional
surveys. International Journal for Parasitology 39 1109–1114.

Dargantes A.P. 2010. Epidemiology, control and potential insect vectors


of Trypanosoma evansi (surra) in village livestock in southern
Philippines. School of Veterinary and Biomedical Sciences Division
of Health Sciences Murdoch University.

Davison H.C, Thrusfield M.V, Husein, A, Muharsini, S, Partoutomo, S, Rae


P.F, Masake R And Luckins A.G. 1999. Evaluation of antigen detection
and antibody detection tests for Trypanosoma evansi infections of
buffaloes in Indonesia. Epidemiol. Infect., 123, 149-155.

Davison, H.C, Thrusfield, M.V, Husein, A, Muharsini, S, Partoutomo, S, Rae,


P & Luckins, A.G. 2000. ‘The occurrence of Trypanosoma evansi
in buffaloes in Indonesia, estimated using various diagnostic tests’.
Epidemiology and Infection, Vol. 124, No. 1, pp. 163-72.

Desquesnes M, Bossard G, Thévenon S, Patrel D, Ravel S, Pavlovic D,


Herder S,

Patout O, Lepetitcolin E, Hollzmuller P, Berthier D, Jacquiet P, Cuny G


(2009b) Development and application of an antibody-ELISA to
follow up a Trypanosoma evansi outbreak in a dromedary camel herd
in France. Veterinary Parasitology 162, 214-220.

Desquesnes M, Philippe Holzmuller, De-Hua Lai, Alan Dargantes Zhao-


Rong Lun

and Sathaporn Jittaplapong. 2013a. Trypanosoma evansi and Surra:


A Review and Perspectives on Origin, History, Distribution,
Taxonomy,Morphology, Hosts, and Pathogenic Effects. BioMed
Research International Volume 2013.

352 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Dobson, R.J., Dargantes, A.P., Mercado, RT. And Reid , S.A. 2009. Model
for Trypanosoma evansi (surra), its control and economic impact on
small-hold livestock owners in the Philippines. International journal
for Parasitology, 39 (10).pp 1115-1123.

Desquesnes M, Philippe Holzmuller, De-Hua Lai, Alan Dargantes Zhao-


Rong Lun

and Sathaporn Jittaplapong. 2013b. Trypanosoma evansi and Surra: A Review


and Perspectives on Transmission, Epidemiology and Control, Impact,
and Zoonotic Aspects. BioMed Research International.

Ian Dohoo, Wayne Martin and Henrik Stryhn. 2003. Veterinary Epidemiologic
Research. AVC Inc., University of Prince Edward Island, 550
University Avenue, Charlottetown, Prince Edward Island, Canada.

Elshafie E.I., Sani R.A., Sharma R., Bashir A., Abubakar I.A. 2013.
Serroprevalence and risk factor of Trypanosoma evansi infection in
horse in Peninsular Malaysia. Research in Veterinary Science 94,
285:289.

Fernández D, González-Baradat B, Eleizalde M, González-Marcano E,


Perrone T,

Mendoza M (2009) Trypanosoma evansi: A comparison of PCR and


parasitological diagnostic tests in experimentally infected mice.
Experimental Parasitology 121, 1-7.

Nathan Habila, Mairo H. Inuwa, Idowu A. Aimola, Michael U. Udeh,


Emmanuel

Haruna (2012) Pathogenic mechanisms of Trypanosoma evansi infections


Research in Veterinary Science 93,13–17.

Hisako Kayama, Kiyoshi Takeda. 2010. The innate immune response to


Trypanosoma crzi infection. Microbes and Infection 12, 511-517.

Hilali M, Abdel-Gawad A, Nassar A, Abdel-Wahab A (2006) Hematological


and biochemical changes in water buffalo calves (Bubalus bubalis)
infected with Trypanosoma evansi. Veterinary Parasitology 139, 237-
243.

Holland W.G, Claes F, My L.N, Thanh N.G, Tam P.T, Verloo D, Buscher
P, Goddeeris B, Vercruysse J. 2001a. A comparative evaluation of
parasitological tests and a PCR for Trypanosoma evansi diagnosis in
experimentally infected water buffaloes. Veterinary Parasitology 97,
23-33.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
353
Holland W.G, My L.N, Thanh N.G, Verloo D, Buscher P, Goddeeris B,
Vercruysse

J. 2002. Evaluation of whole fresh blood and dried blood on filter paper disc
in serological test for Trypanosoma Evansi in experimentally infected
water buffaloes. Acta Tropica 81, 159-165.

Holland W.G. 2003. The Diagnosis Of Trypanosoma Evansi And Its


Immunosuppressive Effect In Water Buffaloes And Pigs. Universiteit
Gent.

Juyal.D.P. 2005. Newer Prespectives in Diagnosis and Control of


Trypanosomiasis

(Surra) in Domestic Livestock in India. Departemen of Veterinary


Parasitology College of Veterinary Science, Punjab Agricultureal
University, Ludhiana, India.

Kumar Rajender, Kumar Sanjay, Virmani Nitin, Yadav S.C. 2015.


Transplacental

Transmission of Trypanosoma evansi From Experimentally Infected Donkey


Mare to Neonatal Foal. Journal of Equine Veterinary Scienci 35:337-
341.

Kocher Arthur, Desquesne Marc, Kamyingkird Ketsarin, Yangtara


Sarawut, Leboucher Emilye, Rodtian Pranee, Dargantes Alan, and
Jittapalapong Sathaporn. 2015. Evaluation of an Indirect-ELISA Test
for Trypanosoma evansi (Surra) in Buffaloes and Its Aplication to a
Serolgical Survei in Thailand. BioMed Research International, Article
ID 361037, 8 pages.

Laha. R and Sasmal N.K. 2009. Detection of Trypanosoma evansi infection


in clinically ill cattle, buffaloes and horses using various diagnostic
tests. Epidemiol. Infect., 137, 1583-1585. Cambridge University Press.

Luckins A.G. 1988. Trypanosoma evansi in Asia. Parasitology Today 4, 137-


142.

Luckins A.G. 1992. Diagnostic methods for trypanosomiasis in livestock.


World Animal Review 71, 15-20.

Luckins A.G. 1998a. Epidemiology of surra: unanswered questions. Journal


of Protozoology Research 8, 106-119.

354 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Martin, S.W., Meek, A.H., Willeberg, P. 1987. Veterinary Epidemiology
Principles and Methods. IOWA State Univ. Press.

Moussiaux Nicolas Antoine, Saerens Dirk, Desmecht Daniel. 2008. Flow


cytometric enumeration of parasitaemia and haematologic changes in
trypanosoma-infected mice. Acta Tropica 107 139:144.

Muzari M.O., Burgess G.W., Skerratt L.F., Jones R.E., Duran T.L. Host
preferences of tbanid flies based on identification of blood meals by
ELISA. Veterinary Parasitology 174, 191-198.

My L.N, Holland W.G, Tam P.T, Thanh N.G, Hoan D.H. 2000. Comparative
study of techniques for diagnosis of Trypanosoma evansi in buffaloes
Veterinary Science and Techniques 7, 6-14

Nurcahyo Wisnu, Priyowidodo Dwi, Prastowo Joko. 2016. Trypanosoma


evansi detection and vector identification in Central Java and
Yogyakarta, Indonesia. Proceeding of International Conference of
Tropical Agriculture, Yogyakarta, Indonesia, 25-26 October 2016.

OIE Terresterial Manual. 2012. Trypanosomosis evansi infection (Surra).


Chapter 2.1.21.

OIE Terresterial Manual. 2013. Trypanosomosis (tsetse-transmitted).


Chapter 2.4.17.

Partoutomo.S., Soleh, M, Poijtedy F, Day A, Wilson AJ, dan Copeman DB.


1995. Studi Patogenesis Trypanosoma Evansi Pada Kerbau, Sapi
Friesian Holstein Dan Sapi Peranakan Ongole. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner 1 (1): 41-48.

Payne R.C, Sukanto I.P, Bazeley K, Jones T.W. 1993. The effect of
Trypanosoma evansi infection on the oestrous cycle of Friesian
Holstein heifers. Veterinary Parasitology 51, 1-11.

Reid S.A, Husein A, Copeman D.B. 2001. Evaluation and improvement of


parasitological tests for Trypanosoma evansi infection. Veterinary
Parasitology 102:291–297.

Reid S.A, Copeman D.B. 2003. The development and validation of an


antibody-ELISA to detect Trypanosoma evansi infection in cattle in
Australia and Papua New Guinea. Preventive Veterinary Medicine 61,
195-208.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
355
Solihat L. (2006) Deteksi Antibodi Trypanosoma Evansi Pada Serum Kerbau
dengan Komersial Kit CATT (Card Agglutination Test). Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006.

Sumba AL, Mihok S, Oyieke FA (1998) Mechanical transmission of


Trypanosoma evansi and T. congolense by Stomoxys niger and S.
taeniatus in a laboratory mouse model. Medical and Veterinary
Entomology 12, 417-422.

Tampubolon M.P. 1995. Penelitian Sero-epidemiologik Dari Trypanosoma


evansi Pada Sapid an Kerbau Menggunakan “Card Aglutination Test”
(CATT) di Jawa Barat, Indonesia. Media Veteriner Vol. II (1).

Thekisoe O.M.M, Inoue N, Kuboki N, Tuntasuvan D, Bunnoy W,


Borisutsuwan S,

Igarashi I, Sugimoto C. 2005. Evaluation of loop-mediated isothermal


amplification (LAMP), PCR and parasitological tests for detection
of Trypanosoma evansi in experimentally infected pigs. Veterinary
Parasitology 130, 327-330.

Thrusfield M.V. 2007. Veterinary epidemiology. 3rd edition. Blackwell


Science Limited, Oxford, UK.

Waffa A. Ahmed, Shaimaa A. Majeed, Ameer H. Abdul Ameer, Nawal D


Mahmmod, Nameer I saeed, Luma Y Hanaa. 2016. Sensitivity and
Specifity of Various Serological Test for Detection of Breucella spp.
Infection in Male Goats and Sheep. Advance in Microbiology, 6:98-
103.

Wisnu Nurcahyo. 2017. Penyakit Surra pada Hewan dan Ternak. Samudra
Biru, Yogyakarta.

Yadav S.C, Kumar Rajender, Manuja Anju, Goyal Liza, Gupta A.K. 2014.
Early detection of Trypanosoma evansi infection and monitoring of
antibody levels by ELISA following treatment. J Parasite Dis 38
(1):124-127.

Zelalem Ayana, Diriba Lemma, Birhanu Abera and Eyob Ethica. 2015.
Prevalence of small ruminant trypanosomosis in Assosa and Homosha
districts, Benishangul Gumuz Regional State, North Westh Ethiopia.
Journal of Veterinary and Animal Medicine Vol. 7(5) pp 186-192.

356 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
SURVEILLANS DETEKSI ANTIGENIK DAN RESPON
IMUN PASCA VAKSINASI PADA PROGRAM PEMBEBASAN
CLASSICAL SWINE FEVER DI PROPINSI SULAWESI UTARA
TAHUN 2017
Ferra Hendrawati1, Faizal Zakariya1, Muflihanah1, Dewi Mutisari1, Ratna2, Supri2, Kartika Pricillia1,
Suanti2, Taman Firdaus2, Hana Tioho2, Sulaxono Hadi1, Anak Agung Gde Putra3

Balai Besar Veteriner Maros1


Dinas Pertanian dan Peternakan Propinsi Sulawesi Utara2
Pakar Kesehatan Hewan3
ferradic7@gmail.com

ABSTRAK

Populasi babi di Propinsi Sulawesi Utara sangat tinggi, komoditas ternak babi sebagai satu
aset perekonomian terpenting. Kasus Clasical Swine Fever (CSF) pertama kali terjadi di Sulawesi
Utara pada tahun 1996. Pengendalian CSF yang sudah dilakukan adalah vaksinasi, desinfeksi dan
pembatasan lalu lintas ternak babi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah
memberikan 150.000 dosis vaksin, Balai Besar Veteriner Maros dan Pemerintah daerah Sulawesi
Utara ditugaskan untuk melakukan Vaksinasi dan surveillans CSF. Surveillans CSF bertujuan untuk
mendeteksi keberadaan virus CSF dan mengukur tingkat protektifitas kekebalan pasca vaksinasi CSF.

Vaksinasi dilakukan pada peternakan dan babi berisiko yaitu peternakan skala menengah ke
bawah (≤ 500 ekor). Probability Proporsive Sampling (PPS) dilakukan untuk memilih 1110 ekor babi
pra vaksinasi dan 2261 ekor pasca vaksinasi. Keberadaan Antigenik CSF didapatkan dari 723 ekor
dengan sampling non rambang convinient by judgement pada babi yang menunjukkan gejala demam.
Deteksi Antigenik dilakukan dengan pengujian Konvensional Polymerase Chain Reaction (PCR),
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) antigenik, Immunohistokimia (IHK) yang dilakukan
secara pararel. Protektifitas imun respon diukur dengan menggunakan Enzym Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) antibodi.

Hasil surveillans menunjukkan bahwa vaksinasi telah dilakukan pada 149.463 ekor (99,8%),
Tingkat protektifitas kekebalan pravaksinasi sebesar 8,02% dan pasca vaksinasi sebesar 82,84%.
Peningkatan protektifitas pasca vaksinasi sebesar 74,82%. Penyakit CSF masih ditemukan di Sulawesi
Utara (1,38%) dengan sebaran di kabupaten Tomohon, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa
Tenggara dan Kepulauan Talaud. Faktor risiko yang ditemukan adalah penerapan biosekuriti buruk,
dan pelaporan sindromik CSF serta vaksinasi rutin lemah. Timbulnya penyakit CSF harus menjadi
perhatian bersama terutama peternak babi dan pemerintah daerah. Menurunkan jumlah kasus pada
saat rentang waktu berisiko (high risk period) adalah cara yang paling efektif mengendalikan kasus
CSF dilapangan. Perbaikan penerapan vaksinasi dan biosekuriti harus dilakukan agar dapat segera
bebas dari CSF.

Kata kunci : Classical Swine Fever, vaksinasi, respon imun

ABSTRACT

Swine population in North Sulawesi province is very high, and to be as the one of the most
important economic assets. First case of Clasical Swine Fever (CSF) occurred in in 1996. Control
stategy of CSF that has been done with vaccination, desinfection, and restriction of swine movement.
The Directorate General of Animal Livestock and Health has provided 150,000 doses of vaccine,
Disease Investigation Maros and goverment of North Sulawesi has commissioned to conduct
vaccination and surveillance. The objectives of this study were to detect CSF and to measure the
protectivity immune respons post-vaccination CSF in North Sulawesi.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
357
Vaccination is performed to risk level farm (medium and low level comercial farm). Probability
proporsive Sampling (PPS) was use to choose protectivity level of 11110 swine for pre vaccination
and 2261 for post vaccination. Detection of the presence of antigenic has choose 723 sample with
convinient by judgment with syndrome of CSF. Conventional Polymerase Chain Reaction (PCR),
Antigenic of Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA Ag) , and Immunohistochemistry (IHC)
has done pararel to detect of antigenic of CSF, and antibody of Enzym Linked Immunosorbent Assay
(ELISA Ab) to identification of protectivity immune respons.

The results showed that vaccination has done to 149.463 (99,8%), protectivity level for pre
vaccination is 8,02% and 74,82% for post vaccination. Antigenic of CSF was found in North
Sulawesi (1,38%), distribute in district Tomohon, Minahasa, North Minahasa, South East Minahasa
and Talaud Island. Risk factor of CSF are low level of biosecurity, low report of syndrome of CSF
and low of routine vaccination. The insidence of CSF must be concern for farmer and goverment of
South Sulawesi. Decreasing the number of cases during a high risk period is the most effective way
to control cases of CSF. Improvements of application of vaccination and biosecurity should be done
for freedom of CSF .

Key Word : Classical Swine Fever, vaccination, immune respons

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) adalah penyakit
menular strategis prioritas di wilayah Indonesia yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Pertanian No 4026/Kpts/OT.140/4/2013. Penyakit ini
merupakan penyakit pada babi yang disebabkan oleh virus dengan dampak
nilai ekonomi dan tingkat epidemik yang besar. Terkait dengan pengendalian
letupan kasus atau epidemic cases akan sangat tergantung pada strategi
tindakan pengendalian itu sendiri dan kecepatan deteksi dini di peternakan.

Provinsi Sulawesi Utara adalah propinsi dengan topografi berbukit


dengan iklim tropis, serta memiliki tingkat populasi babi yang tinggi,
sosioreligi masyarakat sulawesi utara di dominasi oleh masyarakat nasrani
yang sangat dominan mengkonsumsi babi sebagai sumber protein hewani.
Wabah CSF terjadi di Sulawesi Utara di tahun 1996 yang dikuatkan dengan
diterbitkannya surat keputusan Kementrian Pertanian pada tanggal tanggal
24 Juni 1996 No. 455/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/1996 (BBPMSOH 2012),
tentang wabah Hog Cholera di Sulawesi Utara. Penanganan daerah wabah
dan penanggulangan penyakit CSF telah dilakukan oleh pemerintah daerah
kab/kota serta propinsi di Sulawesi Utara, dilakukan vaksinasi, desinfeksi
dan pembatasan lalu lintas dan produknya di daerah wabah, sehingga kasus
CSF terjadi sporadik dan cenderung menurun atau terkendali, hingga tahun
2010 sampai dengan 2016 berdasarkan hasil diagnosa Balai Besar Veteriner
(BBV) Maros sudah tidak ditemukan kembali. Ketidak beradaan kasus
CSF menjadikan pemicu untuk dilakukan surveillans representatif dan
peningkatan cakupan vaksinasi secara representatif sehingga keberhasilan
pengendalian melalui vaksinasi CSF dapat terukur tingkat keberhasilannya.

358 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah melakukan
langkah kongkreat dengan memberikan 150.000 dosis vaksin CSF, dan
didukung Balai Besar Veteriner Maros dan Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan di Sulawesi Utara untuk melakukan
vaksinasi CSF dan surveillans dengan tujuan akhir untuk mencapai status
bebas CSF di sulawesiUtara.

Tujuan

Tujuan Surveillans ini adalah untuk melakukan deteksi antigenik


CSF dan mengidentifikasi protektifitas antibodi pasca vaksinasi CSF guna
mencapai status bebas CSF di Sulawesi Utara.

MATERI DAN METODA

Materi

Materi dalam kajian Deteksi dan Serosurveilans dalam rangka


pembebasan CSF di propinsi Sulawesi Utara adalah ternak babi yang dimiliki
oleh peternak yang tersebar di Kota/Kabupaten wilayah propinsi Sulawesi
Utara, dengan tingkat kerentanan / risiko tinggi. Data yang digunakan
dalam kajian epidemiologi ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh langsung dari hasil kuesioner pada tingkat peternak. Model
kuesioner dapat dilihat dalam lampiran 1. Data sekunder adalah data populasi
babi di Sulawesi Utara beserta target pelaksanaan intervensi vaksinasi massal
tahun 2017 sebanyak 150.000 dosis. Data populasi ternak babi di masing
masing kabupaten/kota beserta target vaksinasi massal yang dilakukan di
tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Populasi Babi di Sulawesi Utara dengan Target Vaksinasi CSF


Tahun 2017 (Sumber Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi
Sulawesi Utara).

Kabupaten/ Target Prosentase


No 2012 2013 2014 2015 2016
Kota Vaksinasi Vaksinasi
1. BOLMONG 19.821 22.876 23.109 25.049 27.985 10.194 36,43%
2. MINAHASA 108.363 113.401 113.757 114.896 124.086 45.200 36,43%
3. SANGIHE 59.852 59.277 58.771 51.715 51.835 18.881 36,43%
4. TALAUD 21.297 21.780 22.869 23.276 23.929 8.716 36,43%
5. MINSEL 31.378 31.678 31.998 32.276 34.944 12.729 36,43%
6. MINUT 21.063 22.094 21.527 21.614 21.916 7.983 36,43%
7. BOLMONGUT 1.084 1.127 1.352 1.621 1.945 708 36,43%
8. SITARO 15.231 11.837 12.372 13.401 13.415 4.887 36,43%
9. MITRA 11.415 11.726 14.786 15.509 13.118 4.778 36,43%
10. BOLMONG- 1.318 951 431 558 619 225 36,43%
SEL

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
359
Kabupaten/ Target Prosentase
No 2012 2013 2014 2015 2016
Kota Vaksinasi Vaksinasi
11. BOLMONG- 2.107 2.200 3.085 3.326 3.527 1.285 36,43%
TIM
12. MANADO 4.735 4.783 4.850 4.890 5.359 1.952 36,43%
13. BITUNG 21.787 20.385 21.404 22.473 23.598 8.596 36,43%
14. TOMOHON 73.877 74.100 74.310 77.202 65.100 23.713 36,43%
15. KOTAMOBA- 396 251 337 384 418 152 36,43%
GU
PROPINSI SULUT 393.724 398.466 404.958 408.190 411.795 150.000 36,43%

Unit terkecil dalam Deteksi CSF dalam rangka Pembebasan di Propinsi


Sulawesi Utara ini adalah ternak babi yang dipilih secara Probability
Proporsive Sampling (PPS) hingga tingkat desa dan pada ternak dipilih non
rambang (convinient by judgement) yaitu dipilih berdasarkan pengamatan
lapang yang menunjukkan gejala sakit atau kelainan yang mengarah pada
penyakit CSF berupa demam dengan suhu minimal ≥ 40oC. Model kuesioner
identifikasi faktor penyebab timbulnya penyakit CSF ada pada lampiran 2.

Sedangkan untuk mengetahui protektifitas respon antibodi sampling


pada ternak babi dilakukan sampling secara Probability Proporsive Sampling
(PPS) hingga tingkat desa dan pada ternak babi dipilih secara rambang
sederhana pada anak babi umur 2 minggu sampai dengan 16 minggu dan
atau babi dewasa yang dijadikan sebagai babi indukan yang telah divaksinasi
tahun 2017.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode rambang sederhana berdasarkan


purposif relatif dan dalam penentuan jumlah ternak di tingkat desa terpilih
dilakukan secara non rambang (convinient by judgement) yaitu dipilih
berdasarkan pengamatan lapang yang menunjukkan gejala sakit atau kelainan
yang mengarah pada penyakit CSF berupa demam dengan suhu minimal ≥
40oC. Deteksi antigen CSF ini menggunakan kajian lintas seksional untuk
mengidentifikasi dan mengetahui faktor-faktor Risiko timbulnya penyakit
CSF pada tingkat peternak Babi.

1. Metode Penentuan Besaran Sampel Deteksi CSF

Populasi target dalam penelitian ini adalah populasi babi yang tersebar
di 15 kabupaten/kota se propinsi Sulawesi Utara (Anonim, 2016). Jumlah
sampel babi ditentukan dengan rumus deteksi penyakit :

n = {1 – (1- p1)1/d} {N – D/2} + 1 (Trusfield M, 2005)

360 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
 
CSF pada tingkat peternak Babi.
Populasi target dalam penelitian ini adalah populasi babi yang tersebar di 15
kabupaten/kota  se 
propinsi Sulawesi Utara (Anonim, 2016). Jumlah sampel babi
ditentukan denganPopulasi target penyakit
rumus deteksi dalam penelitian
: ini adalah populasi babi yang tersebar
Keterangan :
kabupaten/kota

  se propinsi Sulawesi
 (Trusfield M, 2005) Utara (Anonim, 2016). Jumlah sampe
n ditentukan
: Besarandengan
sampelrumus
yang digunakan.
deteksi penyakit :
p : Tingkat Kepercayaan (0,95).
n : Besaran D sampel
1
yang digunakan.
: Jumlah hewan

 
sakit dalam populasi  (Trusfield
berisiko. M, 2005)
 : Tingkat Kepercayaan
 (0,95).
N : Jumlah populasi berisiko.
D : Jumlah hewan
n : Besaran sakit dalam
sampel populasi berisiko.
yang digunakan.
N : Jumlah populasi
 :Dengan berisiko.
Tingkat Kepercayaan (0,95).
tingkat konfidensi 95%, galat yang diinginkan 0,05 dan asumsi
Dengan tingkat D :konfidensi
prevalensiJumlah hewan
penyakit 95%,
AIsakitgalat
dalam
tingkat yang /diinginkan
populasi
peternak berisiko.
pedagang 0,05 sebesar
unggas dan asumsi
1%, dan prevalensi
penyakit AI total
tingkat
N : populasi peternak
Jumlah babi
populasi / pedagang
berisiko.
sebesar unggas sebesar 1%, dan
411.795 (Anonim, 2016). Berdasarkan keterangantotal populasi babi
sebesar 411.795Dengan
dan (Anonim,
rumustingkat 2016).
diatas, Berdasarkan
konfidensi
menggunakan 95%, keterangan
aplikasi galat yangdan
Win Episcope rumus
diinginkan
2.0, diatas,
0,05
diperoleh menggunakan
dan asumsi pre
jumlah
aplikasi besaran

penyakit AI,
sampel diperoleh
tingkat
sebanyak 298 jumlah
peternak ekor/ babi besaran
pedagang sampel
(Gambarunggas
1). sebanyak
sebesar 1%, 298
dan ekor
total babi
popula
(Gambar 1). sebesar 411.795 (Anonim, 2016). Berdasarkan keterangan dan rumus diatas, mengg
aplikasi   , diperoleh jumlah besaran sampel sebanyak 298 eko
(Gambar 1).


 
 
 
 
 
 
 
  Perhitungan
 penentuan jumlah sampel Deteksi CSF dengan metode 
Gambar 1. Perhitungan penentuan jumlah sampel Deteksi CSF dengan

  
metode sample detection disease, software Win Episcope 2.0.
Deteksi keberadaan dilakukan
  Perhitungan penentuan sebanyak 2 kalisampel
jumlah pengamatan
Deteksiyaitu
CSFpada masa
dengan pre
metode
vaksinasi dan postDeteksi vaksinasi, sehingga

keberadaan jumlah
pestivirus sampel

dilakukan yang terkumpul

sebanyak secara keseluruhan
2 kali pengamatan
adalah 298 x 2yaitu= 596
Deteksi ekor. dilakukan
pada masa pre vaksinasi dan post vaksinasi, sehingga jumlah sampel yaitu pada m
keberadaan sebanyak 2 kali pengamatan
vaksinasi
yang dan post
terkumpul secaravaksinasi,
keseluruhansehingga
adalah jumlah
298 x 2 =sampel
596 ekor.yang terkumpul secara kesel
2. 
adalah 298 x 2 = 596 ekor.
Deteksi Efikasi
2. Metode pasca Penentuan
vaksinasi CSF dilakukan
Besaran Sampel dengan pengambilan
Deteksi Antibodi serum
Pasca babi di 15
kab/kota se Sulawesi vaksinasi
Utara.CSF Besaran sampel diperoleh dengan
2. rumus estimasi prevalensi
(Cannon and Roe,Deteksi Efikasi: pasca vaksinasi CSF dilakukan dengan pengambilan serum bab
1982) yaitu
Deteksi Efikasi pasca vaksinasi CSF dilakukan dengan pengambilan
serum babi diSulawesi
kab/kota se 15 kab/kota Utara. Besaran sampel
se Sulawesi diperoleh
Utara. Besaran dengan
sampel rumus estimasi pre
diperoleh
(Cannon
dengan
.²  and estimasi
rumus Roe, 1982) yaitu :(Cannon and Roe, 1982) yaitu :
prevalensi
  

 = Jumlah sampel
.² 
  

 = Jumlah sampel
n = Jumlah sampel 5
P exp = Prevalensi terdedah.
d = Presisi 5

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
361
Pengambilan sampel deteksi respon antibodi dilakukan sebanyak dua
 
kali yaitu pada periode prevaksinasi dan periode pasca vaksinasi setelah 30
 

 hari vaksinasi.
         


   
1. Pre Vaksinasi CSF       

 Kriteria Pre Vaksinasi dilakukan pengambilan sampel serum sebanyak
  73

 
ekor berdasarkan 
rumus  (Cannon
estimasi prevalensi    
and Roe, 1982),

 asumsi
 
prevalensi 95% yang     
seronegatif CSF:


.² ()
 = 

.² ()
 = 


1.96² 0.95(1 − 0.95)
=
Maka jumlah sampel serum =  /
pre vaksinasi CSF yang diambil di 15 kab/
1.96² 0.95(1
0.05 − 0.95)

= ek x 15 Kab/Kota
kota adalah 73 = 1.095=  /
ekor.
0.05



2. Post vaksinasi CSF


Kriteria Pasca Vaksinasi Tahap 1 dilakukan pengambilan sampel


 serum pada 3 
  bulan pasca
vaksinasi
pertama sebanyak
 138 ekor
 berdasarkan
 

rumus estimasi prevalensi (Cannon and Roe, 1982), asumsi
 prevalensi 90%
         
yang seropositif rabies :

.² ()
 = 

.² ()
 = 1.96² 0.90(1


− 0.90)

= =  /
1.96² 0.90(1
0.0025− 0.90)
= 
=  /
Maka jumlah sampel 0.0025

serum post vaksinasi CSF yang diambil di 15 kab/
kota adalah 138 ek x 15 Kab/Kota = 2.070 ekor.



   
Total 
sampel
serum
total yang
harus 
dikoleksi guna 
identifikasi  
respon

   
antibodi pre vaksinasi
dan pasca CSF
 
adalah sebanyak
1.095   
ekor + 2.070

ekor = 3.165 ekor

HASIL DAN PEMBAHASAN
 
1. Pengamatan 
Lapangan dan Pencapaian Vaksinasi

   

Pengamatan pelaksanaan  
surveillans deteksiantigenik
 
dan respon 
  
antibodi 
 

pasca vaksinasi 

Classical Swine  

Fever (CSF) 
dilakukan 
 tidak

hanya

melakukan
  pengamatan
  pelaksanaan
 deteksi
lapangan
 sampling
 saja
namun

juga melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan yang telah


dilakukan (action of control point) melalui vaksinasi CSF dan penerapan

 biosekuriti dalam rangka pengendalian dan pemberantasan CSF di Sulawesi


 Utara.         

 
 
 
  
  
 
  
  
          
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
 362      
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)  

          
          

  
        
Pelaksanaan vaksinasi massal CSF sebagi upaya tindakan (action of
control point) dilakukan sejak september hingga oktober 2017 dan evaluasi
antigenik serta respon antibodi dilakukan mulai januari hingga nopember
2017. Capaian vaksinasi CSF yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Cakupan Capaian Vaksinasi massal CSF Tahun Anggaran 2017


Kementrian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.

Termin Vaksinasi CSF Total % Capaian Target


No Kabupaten/Kota
1 2 3 Vaksinasi Vaksinasi Vaksinasi
1. KEP. TALAUD 2.365 736 3.240 6.341 72,75% 8.716
2. TOMOHON 8.038 6.634 5.951 20.623 86,97% 23.713
3. BITUNG 5.257 1.807 1.872 8.936 103,96% 8.596
4. KEP. SANGIHE 3.158 383 3.076 6.617 35,05% 18.881
5. MANADO 2.822 5.902 3.062 11.786 603,79% 1.952
6. BOLMONG 6.767 - 2.955 9.722 95,37% 10.194
7. BOLMONGUT 219 - 210 429 60,59% 708
8. KOTAMOBAGU 382 - 382 251,32% 152
9. BOLMONGSEL 63 - 245 308 136,89% 225
10. KEP. SITARO 57 - 1.248 1.305 26,70% 4.887
11. MINSEL 7.240 4.175 6.270 17.685 138,93% 12.729
12. MINUT - 5.902 4.165 10.067 126,11% 7.983
13. MINAHASA - 14.603 35.429 50.032 110,69% 45.200
14. BOLMONGTIM - - 367 367 28,56% 1.285
15 MINTRA - - 5.043 5.043 105,55% 4.778
PROPINSI SULUT 36.368 40.142 73.133 149.643 99,76% 150.000

Pelaksanaan vaksinasi dikoordinatori oleh Dinas Pertanian dan


Peternakan Provinsi Sulawesi Utara, yang dilakukan secara terpadu dengan
Balai Besar Veteriner Maros dan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan
dan Kesehatan Hewan Se Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara. Hasil
pelaksanaan vaksinasi massal menunjukkan capaian vaksinasi CSF masih
sebesar 99,76% (149.643 ekor) dari target 150.000 ekor.

Kendala lapangan pelaksanaan vaksinasi CSF antara lain yaitu lemahnya


data dan informasi tentang status vaksinasi CSF pada babi yang dimiliki
peternak terutama terhadap vaksinasi mandiri yang mereka lakukan, baik
jenis dan lama vaksinasi terakhir yang digunakan maupun jumlah atau umur
babi yang telah divaksin meskipun kendala tersebut telah diberikan petunjuk
teknis dan form penanda (sticker) yang harus di tempelkan oleh petugas
vaksinator di tiap kandang peternakan babi yang telah divaksin baik yang
divaksinasi dengan vaksinasi massal maupun yang telah mereka vaksinasi
sendiri melalui vaksinasi Mandiri. Form penanda status vaksinasi (sticker)
dalam kandang (flock) dapat dilihat pada lampiran 1. Selain itu kendala lain

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
363
pelaksanaan vaksinasi adalah lemahnya pengetahuan peternak atau petugas
vaksinator tentang penilaian kondisi babi yang sehat atau sakit sehingga hal
ini dapat berakibat fatal yang berakhir dengan kematian pada populasi babi
sebelum dilakukan vaksinasi.

Hasil Pencapaian Target Deteksi Antigenik

Gambar 3. Sebaran Diagnosis Classical Swine Fever 2017

Hasil Pencapaian target sampel surveilans untuk diagnosa dalam


deteksi antigen jumlah individu yang berhasil dikoleksi sebesar 722 ekor
(prevaksinasi 398 ekor dan post vaksinasi 324 ekor), grafik diagnosis deteksi
antigenik di tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada gambar 3.

Hasil diagnosa deteksi antigenik CSF menunjukkan bahwa kasus CSF


masih terjadi di peternakan babi di Sulawesi Utara. Tingkat kejadian CSF di
wilayah Sulawesi Utara sebesar 0,69% (5/722), yang tersebar di Kabupaten
Tomohon 0,93% (1/108), Kepulauan Talaud 2% (1/50), Minahasa 1,85%
(1/54), Minahasa Tenggara 6% (3/50), dan Minahasa Utara 5,66% (3/53).
Rincian asal spesimen diagnosis positif CSF yang tersebar di Sulawesi Utara
dapat dilihat pada Tabel 3 .

Tabel 3. Distribusi Lokasi dan Jenis Sampel Positif Classical Swine Fever
Tahun 2017.

No Tujuan Kab/Kota Kecamatan Desa/Kel Jenis Sampel Jenis Uji Positif


1. Lalu lintas Manado Malalayang Winagun I Limpa c PCR 1
Tomohon 1
2. Lalu lintas Tomohon Paslaten Hati c PCR
Timur
3. Lalu lintas Minahasa Pasan Tolombukan Hati c PCR 1
Tenggara
4. Surveillans Minahasa Tombatu Duo Esamdom Darah Lengkap ELISA Ag 1
Tenggara Dua Limpa, Paru Paru c PCR
5. Lalu lintas Minahasa Utara Ratahan Tosuraya Hati C PCR 1

364 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
No Tujuan Kab/Kota Kecamatan Desa/Kel Jenis Sampel Jenis Uji Positif
6. Surveillans Minahasa Utara Kema Tontalete Hati ELISA Ag 1
Otak, Paru Paru, c PCR
Limpa, Usus
7. Surveillans Kep.Talaud Melonguane Melonguane Darah Lengkap ELISA Ag 1
Timur
8. Surveillans Minahasa Utara Likupang Kaweruan Hati, Limpa, c PCR 2
Selatan Jantung IHK
9. Surveillans Minahasa Pineleng Lotta Otak c PCR 1

Kejadian kasus CSF di Sulawesi Utara tersebut hendaknya menjadi


perhatian bersama terutama bagi peternak dan pemerintah. Menurunkan
jumlah kasus sekecil mungkin pada saat rentang waktu berisiko (high
risk period) adalah cara yang paling efektif dalam mengendalikan kasus
CSF dilapangan. HRP adalah periode waktu saat introduksi virus CSF di
ternak babi hingga deteksi dini di lapangan. Pengendalian wabah menuju
pembebasan akan sangat tepat jika dilakukan di saat yang tepat pula, melalui
manajemen pemeliharaan dengan penerapan biosekuriti dan vaksinasi secara
tepat yang dilakukan secara konsisten.

2. Hasil Pencapaian Protektifitas Antibodi Pra dan Pasca Vaksinasi

Hasil Protektifitas kekebalan pra vaksinasi di Sulawesi Utara hanya


mencapai 8,02% (89/1021), sedangkan pasca vaksinasi CSF (2 - 3 minggu
setelah vaksinasi), kekebalan kelompok di Sulawesi Utara sebesar 82,84%
(1873/2261). Adanya peningkatan nilai protektifitas kekebalan pra dan pasca
vaksinasi hingga 74,82%, hal ini akan dimungkinkan adanya peningkatan
lanjutan akibat interval waktu pengambilan sampel yang dekat. Grafik
perubahan protektifitas pra dan pasca vaksinasi CSF ditiap kabupaten/kota
se Sulawesi Utara dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Grafik Dinamika Protektifitas Pra dan Pasca Vaksinasi CSF


2017.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
365
Peningkatan protektifitas pasca vaksinasi harus didukung dengan sistem
biosekuriti peternakan dan kandang yang kuat dan konsisten melalui variabel
utama biosekuriti (isolasi, pengawasan lalu lintas, kebersihan dan desinfeksi
lingkungan) sehingga kekebalan kelompok yang baik dan sistem biosekuriti
yang handal akan memberikan protektifitas dalam peningkatkan produktifitas
ternak babi di Sulawesi Utara.

Berdasarkan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa mayoritas babi


umur rentan CSF (2 - 16 minggu dan atau babi indukan) pada peternakan
skala kecil dan menengah (≤ 500 ekor) mayoritas telah divaksin CSF 98%
(355/362), namun pola vaksinasi CSF belum dilakukan secara rutin 48%
(175/362). Peternak babi masih banyak hanya mengandalkan vaksinasi massal
CSF yang disubsidi oleh pemerintah 98% (356/362) dibandingkan dengan
swadaya mereka sendiri 2% (6/362), pengamatan status kesehatan babi dan
pencatatan rutinitas status vaksinasi CSF tiap individu atau kelompok masih
lemah 24% (87/362), belum menerapan biosekuriti kandang dan peternakan
secara baik dan konsisten 88% (320/362), desinfeksi kandang yang belum
atau tidak rutin dilakukan 78% (283/362). Lemahnya faktor faktor tindakan
manajemen peternakan (vaksinasi dan biosekuriti) dapat menjadi prekussor
timbulnya letupan sporadik kasus CSF atau penyakit kontagius lainnya
dilapangan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan atas hasil surveillans tahun 2017, maka dapat disimpulkan


bahwa kejadian penyakit CSF di Sulawesi Utara masih ditemukan, dengan
proporsi diagnosa sebesar 0,69% (5/722) dari sampling yang terjaring.
Kejadian penyakit CSF tersebar di Kabupaten Tomohon 0,93% (1/108),
Kepulauan Talaud 2% (1/50), Minahasa 1,85% (1/54), Minahasa Tenggara
6% (3/50), dan Minahasa Utara 5,66% (3/53), dengan demikian maka
propinsi Sulawesi Utara masih dinyatakan wilayah yang tertular terhadap
penyakit CSF. Tingkat protektifitas antibodi pasca vaksinasi CSF di provinsi
Sulawesi Utara sebesar 82,84% (1873/2261).

Saran

Timbulnya penyakit CSF di peternakan babi hendaknya menjadikan


perhatian bersama terutama bagi para peternak babi dan pemerintah daerah.

Menurunkan jumlah kasus sekecil mungkin pada saat rentang waktu


berisiko (high risk period) merupakan cara yang paling efektif dalam
mengendalikan kasus CSF dilapangan. Pelaporan dini dan diagnosa cepat
diperlukan dalam pengendalian kasus di lapangan. Perbaikan penerapan
vaksinasi dan biosekuriti tingkat peternak masih perlu dilakukan dan
366 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ditingkatkan, hal tersebut tidak hanya tugas dari pemerintah saja, namun
diperlukan upaya nyata dari peternak atau pedagang babi agar wilayah
propinsi Sulawesi Utara dapat segera bebas dari CSF.

Berbagai keterbatasan baik teknis maupun administrasi masih


dijumpai selama pelaksanaan surveillans berlangsung, dengan demikian
masih diperlukan perbaikan untuk pelaksanaan surveillans lanjutan guna
meningkatkan status propinsi Sulawesi Utara hingga menjadi bebas antigenik
CSF.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus., 2012. [NAHEMS] National Animal Health Emergency


Management System. Nahems Guidelines: Vaccination For Contagious
Diseases Appendix B: Vaccination For Classical Swine Fever. United
States Department of Agriculture. http://www.cfsph.iastate.edu/pdf/
fad-prep-nahems-appendix-b-classical-swine-fever.

Anonimus., 2013. [OIE] Office International des Epizooties (World


Organization for Animal Health). 2013. Terrestrial Animal Health
Code: Classical Swine Fever. http://www.oie.int/fileadmin/Home/
eng/Health_standards/tahc/2010/en_chapter_ 1.15.2.htm.

Anonimus., 2013. Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts/


OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular
Strategis. Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Anonimus., 2014. MSD Animal Health PORCILIS® PESTI. Merck - Intervet


Schering -Plough Animal Health. http://www.msd-animal health.ph/
products/131_118612/product details_131_118808.aspx.

Alexander, D.J., 2000. A review of avian influenza in different bird species.


Vet Microbiol. 2000; 74: 3 -13.

Klinkenberg D., 2003. Mathematical epidemiology and the control of


classical swine fever virus. Faculty of Veterinary Medicine, Utrecht
University. Dissertation.

LuoY., Li S., Sun.Y, Qiu H.J., 2014. Classical swine fever in China: A
minireview. Vet Microbiol 172(1-2): 1-6.

Martin, S.W., Meek, A. H., and Willeberg, P., 1987. Veterinary Epidemiology.
Iowa state University Press, Ames, Iowa, USA.

Yee, K. S., Carpenter, T. E., Farfer, T. B., dan Cardona, C. J., 2009. An
Evaluation of Transmission Route for Low Pathogenicity Avian

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
367
Influenza Virus Among Chicken Sold in Live Bird Markets. Virology:
394 (2009); 19 – 27.www.elsevier.com/locate/yviro

Thompson S.K., 2012. Sampling. Edisi 3. John Wiley & Sons, Inc: Hoboken,
NJ.

Thrusfield, M., 2005. Veterinary Epidemiology Third Edition. Veterinary


Clinical Studies. Royal (Dick) School of Veterinary Studies University
of Edinburgh. Blackwell Science.

368 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding


1. F
LAMPIRAN (Stiker)
orm Penandaan di 
Peternakan 
Babi 
Pasca  
Vaksinasi

CSF Sulawesi Utara tahun 2017.











































 Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
369



LAMPIRAN 2. Kuesioner Identifikasi Faktor Penyebab CSF.








 

 

 

 




   


 

  

 

  

 

 


















370 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
IDENTIFIKASI PENYAKIT JEMBRANA DENGAN RT-PCR
KONVENSIONAL PADA KASUS KEMATIAN SAPI BALI DI
DESA HANG TUAH KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU
Anisah Hanoum

Medik Veteriner Madya pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau
Email :anisahhanoum@yahoo.com

ABSTRAK

Telah diterima sampel organ limpa sapi Bali pada tanggal 29 Desember 2017 di UPT
Laboratorium Veteriner dan Klinik Hewan Propinsi Riau yang berasal dari desa Hang Tuah, kecamatan
Perhentian Raja, Kabupaten Kampar. Sampel yang dilakukan pengujian berupa organ limpa dari
bangkai sapi Bali.Pengujian yang dilakukan untuk pemeriksaan Jembrana dengan metoda RT-PCR
konvensional. Dari data anamnesa yang diperoleh diketahui bahwa sapi tersebut terlihat sakit sejak
2 (dua) hari sebelumnya dengan gejala demam tinggi, anorexia, pembengkakan pada limpoglandula
(prescapularis dan praefemoralis), keringat darah dan berakhir dengan kematian. Kematian 1 ekor
sapi Bali juga dilaporkan pada tanggal 27 Desember 2017 di daerah yang sama dengan gejala yang
sama. Kemudian kematian masih terus berlangsung pada awal Januari yaitu 1ekor pada tanggal 2
Januari 2018 dan 1 ekor lagi pada tanggal 3 Januari 2018. Pengujianan Jembrana menggunakan
Ekstraksi Kit dari Gen Aid RNA Tissue. Reagen Mix yang dipakai adalah Super Script III One Step
RT-PCR System with Platinum Taq dari Invitrogen untuk amplifikasi Jembrana. Hasil visualisasi
terlihat bahwa sampel dan kontrol positif menunjukkan band 361 bp. Berdasarkan hasil uji tersebut
spesimen positif Jembrana virus, sehingga kematian sapi Bali di desa Hang tuah dapat disimpulkan
disebabkan oleh penyakit Jembrana.

Kata Kunci :Identifikasi, Sapi Bali, Jembrana, RT-PCR

PENDAHULUAN

Penyakit Jembrana pertama kali ditemukan di Provisi Riau pada tahun


2013 sampai saat ini telah menyebar di seluruh kabupaten yang ada di Provinsi
Riau. Penyakit jembrana ditemukan di Kabupaten Kampar juga pada tahun
2013 dan setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus. Penyakit Jembrana
merupakan penyakit viral yang bersifat menular pada sapi Bali, ditandai
dengan demam, peradangan selaput lender mulut (stomatitis), pembesaran
kelenjar limfe preskapularis, prefemoralis dan parotid, terkadang disertai
keringat darah (blood sweating) (Wilcox et al., 1997). Penyakit Jembrana
disebabkan oleh Retrovirus anggota group Lentivirus yang unik dan disebut
Jembrana Disease Virus (JDV). Penyakit Jembrana adalah penyakit yang
menyerang system kekebalan tubuh maka pathogenesis penyakit dimulai
dari masuknya agen penyakit, masa inkubasi yang ditandai oleh upaya virus
memperbanyak diri dalam sel target, tanda klinis dan mati atau kesembuhan
(Chadwick et al., 1995; Desport et al., 2005; Kertayadnya et al.,1993).
Pemeriksaan laboratoris, khususnya pemeriksaan secara histopatologis dan
serologis sangat diperlukan untuk membedakan penyakit-penyakit tersebut.
Kejadian kematian sapi Bali yang terjadi di Desa Hang Tuah Kecamatan
Perhentian Raja Kabupaten Kampar Provinsi Riau yang ditandai dengan
demam tinggi, anorexia, pembengkakan limpoglandula prescapularis dan
atau prefemoralis atau keluar keringat darah dan atau kematian dari akhir

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
371
Desember 2017 sampai minggu pertama Januari 2018 dengan kematian 4 ekor
sapi dengan tanda klinis penyakit Jembrana, walaupun hanya 1 sampel yang
diperoleh organ limpanya yang dikirimkan ke UPT Laboratorium Veteriner
dan Klinik Hewan dan Balai Veteriner Bukittingi dan hasil pemeriksaan PCR
Positif jembrana.

TUJUAN

Tujuan adalah untuk melakukan penyidikan kejadian kematian sapi yang


diduga disebabkan oleh penyakit Jembrana dengan RT-PCR Konvensional di
Desa Hang Tuah, Kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar, Provinsi
Riau yang terjadi pada akhir Desember 2017 s/d minggu pertama Januari
2018.

MATERI DAN METODE

Materi

Materi yang digunakan dalam identifikasi penyakit Jembrana dengan


RT-PCR Konvensional adalah limpa yang berasal dari bangkai sapi bali
yang terduga terinfeksi virus Jembrana. Ekstraksi sampel digunakan
kit Gen Aid RNA Tissue (Gen Aid cat. No. RT300). Amplifikasi DNA
digunakan reagen Super Script III One Step RT-PCR with Platinum
Taq (Invitrogen Cat. No. 12574-026). Deteksi virus Jembrana
digunakan primer JD1 (5’-GCAGCGGAGGTGGCAATTT-3’) dan
(5’-CGGCGTGGTGGTCCACCCC-3’) dengan konsentrasi 20 pmol
(Dessport et al, 2007). Visualisasi hasil digunakan agarose dan marker
ukuran 100 bp.mer JDV1 (20 uM)dan JDV3(20 uM)

Metode

Tahap metode uji yang digunakan meliputi ekstraksi sampel, amplifikasi


DNA dan visualisasi hasil. Metode ekstraksi dari kit yang digunakan mengacu
pada prosedur kerja dari Gen Aid. Amplifikasi DNA dengan Super Script
III One Step RT-PCR with Platinum Taq (catalog No. 12574-026) dengan
volume total 25 µl. Komposisi reagen yang digunakan meliputi 2 X Reaction
Mix sebanyak 12,5 µl, SS III RT sebanyak 1 µl, primer JD1 dan JD1 masing-
masing 1 µl dengan konsentrasi 20 pmol dan RNAse free water sebanyak
4,5 µl. Untuk sampel yang digunakan sebanyak 5 µl. Amplifikasi DNA
digunakan program RT Thermocycler disiapkan dengan program sebagai
berikut: RT (suhu 500 selama 30 menit); pre denaturasi (suhu 940 selama 5
menit); denaturasi (suhu 940C selama 30 detik); annealing (suhu 660 selama
60 detik); elongasi (suhu 720C selama C selama 90 detik); post elongasi
(suhu 720 C selama 10 menit) sebanyak 40 siklus. Analisis hasil dilakukan
di gel agarose dengan dengan voltase 100 V selama 30 menit. Arus listrik

372 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang dialirkan berjalan dari kutup negatip ke kutup positip. Analisis hasil
menunjukkan hasil positip apabila amplikon menunjukkan ukuran 361 bp.

HASIL

Hasil visualisasi hasil dan analisis hasil paada sampel dengan kode no.
11 menunjukkan adanya band dengan ukuran 361 bp. Sedangkan sampel
lainnya tidak ada band yang tervisualisasi sehingga dinyatakan negatip.
Pemeriksaan dilakukan bersamaan dengan sampel lainnya (no, 1-10:
PBMC dan no.12).Sampel dengan kode no. 11 berasal dari Desa Hang
        
Tuah, Kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar. Hasil visualisasi
            
ditampilkan
 pada
  Gambar
 1      


Gambar
1. Hasil visualisasi sampel uji


 
 

     

      

    




 PEMBAHASAN

Pemeriksaan organ limpa (no. 11)  dengan metode uji RT-PCR
         
        adanya
konvensional terhadap penyakit Jembrana menunjukkan band
  yang

tebal pada
 posisi 361
  bp 
seperti
yang
ditunjukkan oleh
    kontrol positif
  (A,


B, C) yang  saat
pada 
itu   
juga. Adapun  
Kontrol  
negatif dan Kontrol  
Internal

tidak ada band. Hal ini menunjukkan bahwa uji berjalan dengan baik dan

tidak ada kontaminan yang terjadi selama proses pengerjaan uji. Band yang

sangat  tebal tersebut juga menunjukkan bahwa konsentrasi DNA sangat

tinggi pada sampel.


 KESIMPULAN DAN SARAN
         

Kesimpulan           


Dari visualisasi gel elektroforesis tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa spesimen organ limpa tersebut positif Jembrana, sehingga kematian

sapi didesa
Hang Tuah kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar
disebabkan 
oleh penyakit Jembrana.
 
 



Prosiding 

Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
373
Saran

• Isolasi dan pengobatan ternak yang sakit


• Pemberantasan vektor untuk menghindari penularan
• Hindari penggunaan jarum suntik bersama antar ternak
• Pengawasan lalu lintas ternak
• Pengetatan penerapan biosekuriti

DAFTAR PUSTAKA

Chadwick BJ, Coelen RJ, Sammels LM, Kertayadnya G, Wilcox GE. 1995.
Genomic sequence analysis identifies Jembrana disease virus as a new
bovine lentivirus. J Gen Virol; 76: 189-92.

Desport, M., Stewart, M.E., Mikosza, A.S., Sheridan, C.A., Peterson, S.E.,
Chavand, O., Hartaningsih, N. and Wilcox, G.E., 2007. Sequence
analysis of Jembrana disease virus strains reveals a genetically stable
lentivirus. Virus Res. 126, 233–244.

Kertayadnya, G., Wilcox, G.E., Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Coelen,


R.J., Cook, R.D., Collins, M.E., Brownlie, J., 1993. Characteristics
of a retrovirus associated with Jembrana disease in Bali cattle. J. Gen.
Virol. 74 (Pt 9), 1765–1778.

Wilcox, G., 1997. Jembrana disease. Aust. Vet. J. 7, 492–493.

374 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PENYEBARAN PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI DAN
KERBAU DI WILAYAH KERJA BBVET WATES TAHUN 2017
Ari Puspita Dewi1, Khadjadatun1, Rochmadiyanto1, Koeswari Imran1

1
Balai Besar Veteriner Wates
Koresponden Penulis Pertama : drh.arisalim@gmail.com

ABSTRAK

Penyakit akibat parasit darah, seperti anaplasmosis, babesiosis, theileriosis dan trypanosomiasis
mempunyai arti yang penting bagi usaha peternakan sapi dan kerbau di Indonesia. Penyakit tersebut
dapat bersifat perakut, akut maupun kronis, yang ditularkan secara mekanik oleh vektor dari agen
penyebab penyakit tersebut. Dampak dari penyakit tersebut dapat menimbulkan kerugian ekonomi
yang sangat besar berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, penurunan
kualitas daging atau kulit atau jeroan, penurunan produktivitas ternak sebagai tenaga kerja, dan
bahkan dapat menyebabkan kematian ternak. Kajian penyakit parasit darah ini bertujuan untuk
mengetahui penyebaran penyakit anaplasmosis, babesiosis, theilleriosis dan trypanosomiasis pada
sapi dan kerbau di wilayah kerja BBVet Wates tahun 2017 dan untuk memberikan rekomendasi
pengobatan yang sesuai dengan agen penyebab penyakit darah tersebut. Sebanyak 5.681 sampel
darah sapi dan 830 sampel darah kerbau yang diperoleh dari wilayah kerja BBVet Wates baik berupa
sampel pelayanan aktif maupun pelayanan pasif yang diduga terinfeksi parasit darah diperiksa dengan
menggunakan metode konvensional yaitu preparat ulas darah tipis dengan pewarnaan Giemsa dan
Haematocrit Centrifugation Technique (HCT) khusus untuk trypanosomiasis. Dari hasil pemeriksaan
darah sapi tersebut diperoleh hasil bahwa sebanyak 12 sampel (0,21%) menunjukkan hasil positif
Anaplasma sp, 264 sampel (4,65%) positif Theileria sp, 18 sampel (0,32%) positif Babesia sp dan 21
sampel (0,37%) positif Trypanosoma sp, sedangkan pemeriksaan darah kerbau menunjukkan hasil
bahwa sebanyak 7 sampel (0,84%) menunjukkan hasil positif Anaplasma sp, 57 sampel (6,87%)
positif Theileria sp dan 68 sampel (8,19%) positif Trypanosoma sp. Hasil pemeriksaan tersebut
menunjukkan bahwa kejadian anaplasmosis, theilleriosis dan trypanosomiasis pada sapi dan kerbau
ditemukan di wilayah kerja BBVet wates, sedangkan babesiosis ditemukan hanya pada sapi saja.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut disarankan untuk dilakukan pengobatan sesuai dengan agen
penyebab parasit darah tersebut, agar penanganan penyakit lebih optimal.

Kata Kunci : Kerbau, metode konvensional, parasit darah, sapi, Wilayah Kerja BBVet Wates

PENDAHULUAN

Sapi dan kerbau merupakan ternak yang mempunyai peranan penting


dalam pemenuhan kebutuhan daging bagi masyarakat Indonesia. Dari
data statistik yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2016, populasi
kerbau di Indonesia sebanyak 1.386.280 ekor, dan mampu menyumbang
produksi daging sebanyak 36.987 ton, sedangkan populasi sapi sebanyak
16.626.421 dengan produksi daging sapi sebanyak 524.109 ton (BPS, 2016).
Pengembangan peternakan sapi dan kerbau banyak menghadapi kendala,
mulai dari tata laksana pemeliharaan sampai dengan masalah penyakit.

Salah satu penyakit yang merugikan peternak adalah penyakit yang


disebabkan oleh parasit darah. Penyakit ini dapat menimbulkan dampak
kerugian ekonomi yang cukup besar bagi peternak sapi dan kerbau di
Indonesia. Dampak yang ditimbulkan dari penyakit tersebut dapat berupa
penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, penurunan kualitas

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
375
daging atau kulit atau jeroan, penurunan produktivitas ternak sebagai tenaga
kerja, penurunan kesuburan, aborsi dan kematian (Dirkeswan, 2014).

Penyakit akibat parasit darah, yang sering dijumpai dan penting di


Indonesia adalah babesiosis, theileriosis, anaplasmosis dan trypanosomiasis.
Penyakit tersebut dapat bersifat perakut, akut dan kronis, yang dapat
ditularkan secara mekanik oleh lalat penghisap darah dan caplak. Penyebaran
penyakit ini sangat tergantung dari banyaknya populasi lalat penghisap darah
dan caplak di daerah tersebut yang menjadi vektor dari parasit penyebab
penyakit. Selain itu penyebaran penyakit parasit darah juga bergantung
kondisi ternak (hospes), tata laksana / manajemen pemeliharaan ternak
dan lingkungan, diantaranya iklim, cuaca, kondisi geografis, dan kondisi
masyarakat di daerah tersebut.

Kegiatan surveilan dan monitoring terhadap parasit darah yang


berkelanjutan sangat diperlukan, untuk mengetahui secara dini agen
penyebab penyakit parasit darah, sehingga penyakit ini tidak berkembang
dan menyebabkan kerugian yang besar. Hasil dari surveilan dan monitoring
parasit darah diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemangku
kebijakan dalam merumuskan kebijakan penanganan kejadian parasit darah
sehingga pencegahan, pengendalian dan pengobatan dapat dilakukan secara
efektif, efisien dan optimal.

TUJUAN

Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran penyakit


anaplasmosis, babesiosis, theileriosis dan trypanosomiasis pada sapi dan
kerbau di wilayah kerja BBVet Wates tahun 2017 serta untuk memberikan
rekomendasi penanganan yang sesuai dengan agen penyebab penyakit darah
tersebut.

MATERI DAN METODE

Sebanyak 5.681 sampel darah sapi dan 830 sampel darah kerbau dengan
pengawet EDTA, yang berasal dari daerah di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Wates Yogyakarta, diperiksa terhadap adanya parasit darah. Sampel
darah yang diperiksa merupakan sampel hasil pelayanan aktif BBVet Wates
dan juga kiriman dari Dinas Peternakan ataupun instansi lain di wilayah kerja
BBVet Wates. Sampel tersebut diperiksa menggunakan metode Haematocrit
Centrifugation Technique (HCT) secara langsung setelah pengambilan darah
(untuk identifikasi Trypanosoma sp) dan preparat ulas darah tipis dengan
pewarnaan Giemsa selama periode Januari s/d Desember 2017.

376 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL

Dari hasil pemeriksaan sampel darah sapi diperoleh hasil, sebanyak


12 sampel (0,21%) menunjukkan hasil positif Anaplasma sp, 264 sampel
(4,65%) positif Theileria sp, 18 sampel (0,32%) positif Babesia sp dan 21
sampel (0,37%) positif Trypanosoma sp. Adapun hasil lengkapnya dapat
dilihat pada tabel 1.


Tabel 1. Hasil pemeriksaan sampel darah sapi terhadap parasit darah



     
      
       
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)

dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
377



 
     
Sedangkan untuk pemeriksaan sampel darah kerbau diperoleh hasil,

sebanyak 7  
sampel (0,84%) menunjukkan hasil Anaplasma
positif  sp, 
       
57 sampel (6,87%) positif Theileria sp, dan 68 sampel (8,19%) positif
Trypanosoma sp. Adapun hasil lengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.



Tabel 2. Hasil pemeriksaan sampel darah kerbau terhadap parasit darah
        
        
       







 


         
         
        


      
       
         
        
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
378 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
     
       




 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel darah sapi dan kerbau baik



sampel darah yang berasal dari pelayanan aktif BBVet Wates dan juga
 Dinas Peternakan ataupun instansi lain di wilayah kerja BBVet
kiriman dari
  
Wates, 
dengan   
menggunakan metode  Centrifugation
Haematocrit  Technique
  
(HCT)  
dan preparat ulas 
darah tipis 
dengan 
pewarnaan Giemsa menunjukkan
   
bahwa
kejadian theileriosis
anaplasmosis,  
dan trypanosomiasis pada sapi
  ditemukan
dan kerbau   kerja
di wilayah  
BBVet 
Wates, sedangkan babesiosis
ditemukan hanya pada sapi saja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
penyakit parasit darah tersebut ada diwilayah kerja BBVet Wates dan sudah
tersebar dibeberapa daerah.

Salah satu faktor yang berpengaruh dalam kejadian penyakit parasit darah
adalah manajeman pemeliharaan, hal tersebut terkait dengan vektor caplak
bertindak sebagai inang antara yang mentransmisi secara biologis, dan lalat
yang mentransmisi secara mekanik (Kocan et al., 2000). Pada peternakan
yang dilakukan dengan metode digembalakan pagi hari dan dikandangkan
sore hari (semi intensif), kadang masih dijumpai ternak yang terinfeksi
oleh parasit darah, infeksi ini diduga berasal dari ternak yang terinfeksi
pada saat digembalakan, dimana pada saat dikandangkan akan menginfeksi
ternak yang letak kandangnya tidak berjauhan. Transmisi tersebut dilakukan
oleh caplak yang menempel pada ternak terinfeksi kemudian menginfeksi
ternak lain melalui gigitan. Nasution (2007) menyatakan bahwa waktu sapi
merumput berpengaruh terhadap infeksi parasit darah. Menurut Himawan
(2009), rumput segar dipagi hari tidak baik untuk ternak, karena caplak
sedang aktif berburu dan sedang berada di puncak rerumputan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut disarankan untuk dilakukan


pencegahan, pengendalian dan pengobatan sesuai dengan agen penyebab
parasit darah tersebut. Ternak ruminansia/hewan rentan lain yang menderita
anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis atau tersangka sakit harus
diasingkan sehingga tidak dapat berhubungan dengan ternak ruminansia/
hewan rentan lain. Jika pada ternak ruminansia/hewan rentan lain yang

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
379
sakit atau tersangka sakit ditemukan caplak, nyamuk dan lalat, maka
vektor tersebut harus dimusnahkan, antara lain dengan pemakaian pestisida
(misalnya dengan menyemprot, menggosok, memandikan atau merendam
hewan) sesuai dengan petunjuk pemakaian. Pencegahan dapat dilakukan
dengan cara mengurangi populasi vektor, melalui dipping, sanitasi kandang,
pemberian repellant serta melakukan manajemen pemeliharaan yang baik
(Dirkeswan, 2014).

Tindakan pencegahan untuk hewan yang terserang trypanosomiasis


dapat dilakukan dengan cara pengeringan tanah dan penertiban pembuangan
kotoran yang merupakan tempat berkembang biaknya lalat dan juga
penyemprotan hewan/kandang dengan asuntol atau insektisida lain yang
sama khasiatnya (Dirkeswan, 2014).

Pengobatan untuk hewan terserang penyakit anaplasmosis, babesiosis,


theileriosis dan trypanosomiasis dapat dilakukan dengan menggunakan
diminazen aceturat. Pemberian diminazen aceturat dilakukan secara IM
dengan dosis 5-10 mg/kg. Imidocarb 1-3 mg/kg secara IM juga dapat
digunakan untuk pengobatan babesiosis sapi. Pengobatan anaplasmosis akut
dapat dilakukan dengan menggunakan tetrasiklin 5-10 mg/kg secara IM atau
IV, chlortetrasiklin 1,5 mg/kg secara PO, dan juga imidocarb propionate
dengan dosis 1,2-2,4 mg/kg secara SC (Anonim, 2018). Selain itu pemberian
terramicin LA juga dilaporkan dapat digunakan untuk pengobatan hewan
yang terserang penyakit anaplasmosis, babesiosis dan theileriosis. Efektiftas
pengobatan sangat tergantung pada deteksi dini penyakit ini.

Pemberian quinapyramin untuk pengobatan penyakit trypanosomiasis


pada sapi, memberikan hasil yang efektif dengan dosis 3 mg/kg (Anonim,
2018). Suramin sangat efektif untuk mengobati trypanosomiasis, namun
sediaan ini tidak dijumpai di Indonesia (Dirkeswan, 2014).

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil pemeriksaan sampel darah sapi dan kerbau di wilayah kerja
BBVetWates, menunjukkan bahwa kejadian anaplasmosis, theilleriosis dan
trypanosomiasis pada sapi dan kerbau ditemukan di wilayah kerja BBVet
wates, sedangkan babesiosis ditemukan hanya pada sapi saja. Penyebaran
penyakit tersebut hampir merata di semua wilayah kerja BBVet Wates.
Walaupun persentase kejadian penyakit relatif kecil, namun perlu menjadi
kewaspadaan kita semua agar kerugian yang ditimbulkan tidak terlalu
memberikan dampak negatif bagi peternak.

Untuk itu, kami menyarankan agar surveilan dan monitoring terhadap


penyakit akibat parasit darah lebih rutin dilaksanakan, dengan cakupan
wilayah / daerah pemeriksaan yang lebih banyak. Sehingga penyebaran
penyakit akibat parasit darah lebih dapat terpantau, dan dapat untuk
380 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
mengoptimalkan pengambilan keputusan dalam penanganan, pengendalian
dan pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2018. Penyakit Parasiter pada Ruminansia. https://anzdoc.com/


bab-ii-penyakit-parasiter-pada-ruminansia-gastrointestinal.html.
Diakses pada 26 Maret 2018.

BPS. 2016, 23 Desember. Output Tabel Dinamis : Produksi Daging Kerbau


menurut Provinsi (Ton), Produksi Daging Sapi menurut Provinsi
(Ton), Populasi Kerbau menurut Provinsi (Ekor), Populasi Sapi
Perah menurut Provinsi (Ekor), Populasi Sapi Potong menurut
Provinsi (Ekor). https://www.bps.go.id/subject/24/peternakan.
html#subjekViewTab4. Diakses pada 26 Maret 2018.

Dirkeswan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan


Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian. Cetakan ke-2.

Himawan, W. 2009. Identifikasi Parasit Darah pada Kerbau Belang (Tedong


Bonga) dan Kerbau Rawa (Swamp Buffalo) di Kabupaten Toraja
Utara, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.

Kocan, KM., E.F. Blouin, A.F. Barbet. 2000. Anaplasmosis Control, Past,
Present and Future. Ann.NY. Acad Sci. 916 : 501 – 509.

Nasution, A.Y.A. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima
Kecamatan, Kota Jambi. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
381
KASUS KEMATIAN SAPI BALI DI JORONG TOMPEK
NAGARI SALAREH AIA KECAMATAN PALEMBAYAN
KABUPATEN AGAM PROVINSI SUMATERA BARAT
TAHUN 2017
Sri Hilmayeni Tri Putri1,Betty Indah Purnama2

1
Medik Veteriner, Dinas Pertanian Kabupaten Agam
2
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat
srihilmayeni@gmail.com

ABSTRAK

Telah dilaksanakan penyidikan kematian sapi bali pada bulan April sampai Juni 2017 di
kelompok Karya Abadi, Jorong Tompek Nagari Salareh Air. Kasus kematian beberapa ekor sapi
bali baru pertama kali terjadi di daerah ini. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan konfirmasi dan
verifikasi diagnosa penyakit, mengidentifkasi sumber penularan penyakit dan populasi berisiko,
menggambarkan karakteristik epidemiologi, mengidentifikasikan faktor-faktor risiko yang
berasosiasi dengan penyakit dan untuk merekomendasikan langkah-langkah pengendalian penyakit.
Metode penyidikan berupa; pengumpulan data dan informasi melalui wawancara menggunakan
kuisioner, pemeriksaan laboratorium dengan pengambilan sampel dan analisa data. Gejala klinis
berupa: demam tinggi, penurunan nafsu makan, lesu, lemah dan depresi. Untuk kasus lanjut disertai
keringat darah dan kematian. Berdasarkan kerangka waktu dan kurva epidemik, kisaran masa
inkubasi sampai terlihat gejala klinis adalah 4 sampai 14 hari. Angka mortalitas sebesar 6% sampai
36%. Diagnosa banding saat kunjungan lapangan adalah parasit darah dan penyakit Jembrana.
Mortalitas sebesar 38% terhadap populasi baru dan 5,79% bagi populasi lama. Berdasarkan hasil
uji PCR (positif) dari Laboratorium BVet Bukittinggi, menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut
positif mengidap JDV. Pengambilan sampel selanjutnya berupa ulas darah setelah kematian masih
berlanjut, meskipun tindakan pencegahan dan pengobatan telah dilakukan. Hasilnya, 78,9% positif
parasit darah. Berdasarkan hasil penyelidikan dengan gejala klinis yang teramati adalah lemah/lesu,
nafsu makan menurun, kadang-kadang ditemukan kondisi seperti keringat darah dimana sapi mati
setelah 3 hari keluar keringat darah serta didukung pula dengan hasil laboratorium maka disimpulkan
bahwa patogenitas penyakit ini cukup tinggi dengan penyebaran yang cepat. Sumber penularan dapat
disebabkan oleh virus ataupun penyakit lain yang ditularkan melalui vektor. Keadaan ini didukung
pula dengan luasnya padang penggembalaan, kepadatan populasi di lokasi tersebut serta kondisi
lingkungan yang lembab. Pemberian rekomendasi tindakan pengendalian adalah peningkatan
sanitasi kandang, manajemen peternakan serta komunikasi, informasi dan edukasi tentang cara
beternak sapi bali yang baik.

Kata Kunci : Jembrana, sapi bali, penyidikan wabah

PENDAHULUAN

Penyakit Jembrana dan Parasit Darah pada sapi bali memiliki beberapa
kesamaan gejala klinis. Jembrana Disease disebabkan oleh Jembrana
Disease Virus=JDV. Gejala klinis berupa demam tinggi, limphadenopati,
limphopenia, keringat darah, mukus berlebihan pada mulut dan hidung.
Keringat darah muncul setelah demam, berlangsung selama 2-3 hari terutama
di daerah panggul, punggung, perut dan skrotum. Kematian terjadi pada 1-2
minggu setelah infeksi (Wilcox et al.,1997). Kematian juga dapat disebabkan
adanya infeksi sekunder (Dharma et al.,1994).

382 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Penyakit parasit darah umumnya disebabkan oleh Theleria sp., Babesia
sp., Anaplasma sp., dan Trypanosoma sp. Sapi terinfestasi parasit darah
secara bersamaan dan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan anemia.
Pada kondisi akut, dapat menyebabkan kematian, masa inkubasinya 2
minggu (Hartiningsih et al.1994). Salah satu gejalanya yang menyerupai
penyakit Jembrana adalah keringat darah.

Kejadian penyakit Jembrana di Kecamatan Ampek Nagari dan


Kecamatan Palembayan yang merupakan sentra peternakan sapi bali di
Kabupaten Agam, menjadi tantangan tersendiri dalam pengendaliannya.
Pada akhir 2015, kematian 20 ekor sapi bali terjadi di Kecamatan Tanjung
Mutiara. Kejadian penyakit parasit darah pada sapi bali di Kabupaten Agam
cukup tinggi, yaitu pada 2014 sampai 2015, dengan prevalensi Theleria
sp. 100%, Anaplasma sp.(10,39%) dan Babesia sp. (5,73%). Diagnosa
berdasarkan pengamatan penyebaran ternak sapi di padang penggembalaan,
hasil pemeriksaan ulas darah dan gejala klinis.

Kegiatan penyidikan kematian dilakukan oleh tim Bvet Regional


Bukittinggi bersama Petugas Puskeswan dan Dinas Pertanian Kabupaten
Agam. Berdasarkan laporan kematian sapi bali dengan gejala klinis mengarah
pada penyakit Jembrana dan Parasit Darah di Jorong Tompek Nagari Salareh
Aia Kecamatan Palembayan.

TUJUAN

Kegiatan investigasi kasus kematian sapi bali ini adalah untuk :


1. Melakukan konfirmasi dan verifikasi diagnosa penyakit.
2. Mengidentifikasi sumber penularan outbreak dan populasi berisiko.
3. Menggambarkan karakteristik epidemiologi.
4. Mengidentifikasikan faktor-faktor risiko yang berasosiasi dengan penyakit.
5. Merekomendasikan langkah-langkah pengendalian penyakit.

MATERI DAN METODE

Penyidikan kejadian kematian sapi bali di Jorong Tompek, Kecamatan


Palembayan Kabupaten Agam pertama kali dilaksanakan pada hari Selasa
tanggal 11 April 2017 oleh Medis Veteriner UPT Puskeswan Wilayah III
Kabupaten Agam. Penyidikan selanjutnya tanggal 25 Mei 2017 dan 13
sampai dengan 15 Juni 2017.

Pengumpulan Data dan Informasi

Informasi dan data-data di lapangan diperoleh berdasarkan hasil


pengamatan lapangan dan wawancara menggunakan kuisioner dengan
peternak.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
383
Pengambilan sampel

Pengambilan sampel yang pertama dilakukan oleh tim dari Dinas


Pertanian Kabupaten Agam dan petugas UPT Puskeswan wilayah III, berupa
sampel darah dalam tabung EDTA. Pengambilan sampel kedua oleh tim dari
BVet Bukittinggi berupa sampel serum darah dan ulas darah. Selanjutnya
sampel dikirim ke BVet Regional Bukittinggi untuk dilakukan pengujian

Analisa Data

Analisa data dilakukan secara deskriptif, pembuatan kurva epidemik


dan perhitungan mortalitas. Definisi kasus adalah sapi bali mati di Jorong
Tompek pada bulan April sampai Juni 2017 dengan gejala; lesu, tidak mau
makan selama 3 hari sebelum akhirnya keluar keringat darah yang didukung
dengan uji PCR dari Laboratorium Bvet Bukitinggi.

HASIL

Kronologis Kejadian Penyakit

Desember 2016, Kelompok Karya Abadi menerima bantuan ternak


21 ekor sapi bali dari luar Sumatera. Kedatangannya tidak disertai surat
keterangan vaksin dan bebas Jembrana. Populasi sapi bali sebelumnya
berjumlah 69 ekor.

Pada 10 April 2017, kelompok menginformasikan kematian 5 ekor sapi


bali baru secara mendadak disertai keringat darah. Keesokkannya dilakukan
vaksinasi Jembrana terhadap 13 ekor sapi baru. Booster pertama dilakukan
pada 15 Mei sekaligus booster tahunan populasi lama sebanyak 46 ekor. 25
Mei, kelompok melaporkan kematian 2 ekor sapi bali baru, disertai keringat
darah. Dugaan, sapi tersebut belum divaksinasi Jembrana.

Pada 13 Juni, kelompok melaporkan kematian satu ekor sapi baru


dan dua ekor sapi anakan disertai keringat darah. Beberapa ekor yang
menunjukkan penurunan nafsu makan, lemah/lesu diobati. 14 Juni kelompok
melaporkan kematian 2 ekor. 15 Juni dilakukan surveilans, pengambilan
sampel darah EDTA dan pengobatan. Sampel dikirim ke Laboratorium BVet
Bukittinggi. 17 Juni, satu ekor sakit. 18 Juni, hasil Laboratorium menyatakan
positif Jembrana. Tindakan yang disarankan; pemberian terapi suportif dan
pengendalian vektor. 19 Juni, dilakukan penyemprotan kandang sebagai upaya
pengendalian vektor. 21 Juni, tim Bvet Bukittinggi melakukan penyidikan
dan pengambilan sampel lanjutan. Hasil Laboratorium menyatakan positif
parasit darah.

384 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Laporan Kematian dan Kesakitan pada Sapi Bali

Kejadian (2017) Jumlah (ekor) Vaksin Jembrana Keterangan


Januari 3 Belum. Sapi baru, mati
10 April 5 Belum Sapi baru, mati
25 Mei 2 Belum Sapi baru, mati
13 Juni 3 Belum 1 sapi baru, 2 sapi lama, mati
14 Juni 2 Sudah Sapi lama, mati
17 Juni 1 Sudah Sapi lama sakit, tidak mati

Data deskriptif diperoleh melalui wawancara peternak menggunakan


kuisioner.

Tabel 2. Data deskriptif investigasi tingkat lapang

Peternak
Variabel
I II III
Vaksinasi JD sapi bali lama Ya Ya Ya
Vaksinasi JD sapi bali baru Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu
Jumlah sakit Tidak Tidak teramati Tidak
teramati teramati
Jumlah mati 1 2 1
Jumlah sembuh Ada 4 3
Perubahan klinis teramati; Nafsu Ya Ya Ya
makan turun, lemah/lesu, muncul
keringat darah sebelum mati
Konfirmasi ke petugas Ya Ya Ya
Sumber air minum; hujan, genangan Ya Ya Ya
Pagar pembatas area penggembalaan Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Isolasi sapi sakit Tidak Tidak Tidak
Tindakan karantina sapi baru Tidak Tidak Tidak
Pemberantasan caplak dan lalat di Tidak Tidak Tidak
tubuh sapi
Sistem pemeliharaan; semi-intensif Ya Ya Ya

Tabel 3. Angka mortalitas

Populasi Awal (ekor) Mati (ekor) Mortalitas (%)


Lama 69 4 5,79
Baru 21 8 38

Angka mortalitas populasi baru 38% , populasi lama 5,79%.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
385


 

386
  


  
 

 



  

  

  

  




Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
                                                                            

Gambar 1.
Kerangka waktu investigasi kasus kematian sapi bali di Jorong Tompek

Prosiding

    
      

5

Kurva Epidemik Kematian Sapi Bali


Jorong Tompek Nagari salareh Aia, Kecamatan Palembayan
4 Kabupaten Agam
Angka Kematian 5

3 4

Angka Kematian
3
2

1
1

0 0
Januari 2017 Januari 2017
10 April 2017 10 April
25 Mei 2017 2017 13
25 Mei
Juni2017 13 Juni14
2017 2017
Juni142017
Juni 2017 1717Juni
Juni 2017
2017

 
 Gambar 2. Kurva epidemik kasus kematian sapi bali di Jorong Tompek
 
 
























Gambar

3. Pemetaan partisipatif area kasus

Pengambilan sampel
 

Pengambilan sampel berupa
  sampel EDTA dan ulas darah. Sampel
 diperiksa di Laboratorium BVet Bukittinggi.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
387
Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 4. Hasil pemeriksaan sampel EDTA

Jumlah Sampel Hasil Uji JDCPCR


Positif Jembrana Negatif Jembrana Keterangan
19 15 3 1 Rusak

Diperoleh 15 sampel positif JD melalui uji JDCPCR.

Tabel 5. Hasil Pemeriksaan sampel ulas darah

Jumlah Sampel Hasil


Tripanosomiasis Anaplasmosis Babesiosis Theileriosis
15 2 6 2 15

Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel ulas darah, sapi yang sakit dan
masih menunjukkan gejala klinis, positif parasit darah (100% Theleriosis).

PEMBAHASAN

Berdasarkan kurva epidemik, penyebab kematian pada kasus pertama


adalah Virus Jembrana Disease (JDV) dengan uji PCR (positif). Gejala klinis;
lemah/lesu, nafsu makan menurun, keringat darah, kematian setelah 3 hari.
Patogenitas tinggi dengan penyebaran cepat. Penyebabnya virus ataupun
penyakit yang ditularkan vektor. Luasnya padang penggembalaan, padatnya
populasi, lingkungan lembab merupakan faktor pendukung penyebaran
penyakit. Menurut Wilcox et al.,1997, gejala JD adalah kelesuan, penurunan
nafsu makan, depresi, keringat darah, kematian mendadak pada kondisi akut.
Masa inkubasinya 4-12 hari. Diagnosis bisa ditegakkan sebelum tahapan
klinis menjadi kronis; 5-15 minggu setelah timbulnya gejala. Secara klinis
kesembuhan tergantung pada masa inkubasi (Hartiningsih et al.,1994).

Lebih 90% kematian akibat JD terjadi pada minggu pertama munculnya


gejala (Putra,2001), yang sembuh menjadi karier. Hewan karier menjadi
sumber penularan secara intermitten tergantung tingkat stres. Penularan dapat
melalui vektor. Insidensinya berkaitan dengan kepadatan populasi. Makin
tinggi populasi, tingkat infeksi juga tinggi (Putra dan Sulistyana,1997).

Berdasarkan investigasi kasus, mortalitas populasi baru 38%, populasi


lama 5,79%. Saat wabah, morbiditas dapat mencapai 65%, mortalitas
15% dan tingkat kematian penderita (case fatality rate) 30% (Putra,2001).
Meskipun vaksinasi JD dilaksanakan setiap tahun dan pengobatan terhadap
sapi sakit terus dilakukan, kematian oleh JDV terus terjadi.

388 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Investigasi kedua dilanjutkan disertai pengambilan sampel ulas darah
untuk mengetahui kemungkinan penyakit lain, yaitu area penggembalaan
merupakan daerah endemis parasit darah. Hasil laboratorium BVet; 78,9%
positif parasit darah. Tindak lanjutnya; pemberian anti parasit pada ternak
yang terinfeksi. Kondisi kandang terbuka dan sistem penggembalaan semi-
intensif, memungkinkan penularan secara cepat.

Faktor risiko JD dan parasit darah di lokasi kejadian: tidak adanya


karantina, kondisi lingkungan yang lembab (areal ladang sawit), sanitasi
tidak baik, banyaknya genangan air dan sistem pemeliharaan semi-intensif
(Nugroho et al.,2014). Sistem pemeliharaan semi-intensif; sapi digembalakan
siang hari, dikandangkan malam hari. Ternakpun memiliki wilayah jelajah
sendiri. Di areal penggembalaan tersedia bak-bak khusus untuk minum,
airnya bersumber dari hujan dan genangan. Tidak adanya pagar pembatas,
menyebabkan sapi lain leluasa keluar masuk area dan berpotensi sebagai
faktor penyebaran penyakit. Tantangan terbesarnya adalah kesehatan ternak,
kualitas pakan dan pengendalian lingkungan yang berkaitan dengan penyakit
jadi tidak terpantau.

Pemberlakuan karantina ternak baru penting dilakukan


(Thrushfield,2005). Selama dikarantina, kondisi sapi harus sehat, terutama
apabila sapi berasal dari daerah endemis penyakit tertentu. Dalam kasus ini,
sapi tidak dikarantina dan sapi sakit tidak diisolasi.

JD dan parasit darah, sama-sama ditularkan melalui vektor; lalat


(Tabanus rubidus) dan caplak (Boophilus microplus) yang merupakan
serangga penghisap darah . Boophilus microplus mampu menularkan
JD secara transovarial, artinya perkembangbiakan JDV di tubuh caplak.
Secara mekanis, penularan karena interrupted feeding hewan penderita,
sehingga caplak mengisap darah hewan sehat. Uji Laboratorium, JDV yang
mengkontaminasi alat mulut nyamuk juga menimbulkan JD pada hewan
coba (Putra dan Sulistyana,2004). Kondisi lingkungan lembab, banyaknya
pohon sawit serta genangan, menyebabkan vektor cepat berkembang biak.
Untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit oleh vektor, dilakukan
penyemprotan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penyebab kematian dari sapi bali tersebut adalah JDV berdasarkan


gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium BVet Bukittinggi yang
positif.
2. Sumber penularan adalah sapi bali yang baru masuk ke lokasi
pemeliharaan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
389
3. Karakteristik epidemiologi penyakit Jembrana menyebar ke seluruh
populasi sapi bali dengan cepat di Jorong Tompek sejak April sampai
Juni 2017 dengan mortalitas 38% terhadap sapi bali baru dan 5,79%
bagi sapi yang lama.
4. Kejadian kematian pada sapi bali di Jorong Tompek Nagari Salareh Aia
Kecamatan Palembayan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: tidak
adanya karantina, kondisi lingkungan yang lembab, sanitasi tidak baik,
tidak adanya pembasmian vektor penyakit, tidak adanya desinfeksi
kandang, sistem pemeliharaan semi-intensif.
5. Langkah pengendalian yang dilakukan adalah, melakukan vaksinasi
Jembrana setiap tahun, pemberantasan vektor penyakit, isolasi ternak
sakit, pengobatan pada ternak sakit dan surveilans.

Saran/Rekomendasi

1. Peternak
Kandang dan lokasi penggembalaan harus dipantau terhadap populasi
caplak dan lalat, begitu juga dengan kebersihan kulit dan badan sapi.
Pencegahan dan pengendalian penyakit dilakukan dengan meminimalisir
faktor risiko. Status gizi ternak ditingkatkan melalui pemberian ransum pakan
yang baik untuk kesehatan dan daya tahan. Meningkatkan kewaspadaan
terhadap penyakit akibat perubahan cuaca dan musim.

2. Petugas Dinas
Kegiatan vaksinasi Jembrana dilaksanakan setiap tahunnya. Adanya
pendampingan teknis terhadap peternak untuk memberikan komunikasi,
informasi dan edukasi mengenai penyakit yang dapat timbul pada sebuah
peternakan.

Kegiatan pengawasan lalu lintas ternak dilaksanakan rutin, tegas dan


memenuhi persyaratan pemasukan ternak sesuai peraturan yang berlaku.

KETERBATASAN

Tidak adanya laporan pemasukkan sapi baru ke areal peternakan


yang dilengkapi dengan SSKH, data vaksinasi jembrana serta hasil
pemeriksaan laboratorium yang menyatakan sapi bebas penyakit menular.
Keterlambatan peternak dalam melaporkan kematian sapinya ke petugas,
yang mengakibatkan data yang diperoleh tidak lengkap.

390 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA

Dharma et al.1994. Immunopathology of Experimental Jembrana Disease in


Bali Cattle. Vet. Immunopathol. 44:31-44.

Nugroho TAE, Usman R, Kasim RA, Sayuti M.2014. Kajian Penyakit


Protozoa Darah Pada Sapi Di Kabupaten Gorontalo. LP UNG.
Tersedia pada :Http://repository.ung.ac.id/get/simlit/1/1985/1/tingkat-
kejadian-penyakit-protozoa-darah

Putra AAG, Sulistyana K.1997. Epidemiological observations of Jembrana


disease in Bali. Jembrana Disease and the Bovine lentiviruses.
Canberra Australia.ACIAR Proc.75:90-95.

Putra AAG, Sulistyana K.2004. Penularan penyakit Jembrana: Peranan


serangga pengisap darah. Buletin Veteriner XVI (64);33-40.

Putra AAG.2001. Kajian Epidemiologi dan Strategi Penanggulangan


Penyakit Jembrana di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Penyakit
Jembrana, Tiga Puluh Tahun Menaklukkan Penyakit Jembrana,
Denpasar 9 Oktober 2001 BPPV Regional VI Denpasar. Hlm.30-50

Thrusfield M.2005. Veterinary Epidemiology 3rdedition, Oxford, UK,


Blackwell Science

Wilcox GE, SSoeharsono, DMN Dharma, JW Copland.1997. Jembrana


Disease and the Bovine Lentivirus. ACIAR proceedings 75;10-75

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
391
SURVEY TRIANGULASI PADA HEWAN DOMESTIK DI PULAU
SULAWESI : HASIL PENGUJIAN ROUND 1 SULAWESI UTARA
DAN GORONTALO TAHUN 2016
Muflihanah1, , Ferra Hendrawati1, Faizal Zakaria1, Titis Furi Djatmikowati1, Wiwik Dariani1,
Fitri Amaliah1, Supri1, Taman Firdaus1, Sitti Hartati Said1, Sulaxono Hadi1,
Farida Camalia Zenal2, Ali Risqi Arasy2, Nining Hartaningsih2, Audi Tri Harsono2

1. Balai Besar Veteriner Maros


2. Food and Agriculture Organization Emergency Centre for Transboundary Diseases Indonesia
muflibd@yahoo.com, ferradic7@gmail.com, faizaldic@gmail.com, titis furi@yahoo.co.id,
wiwikdaeiani@yahoo.com, fite_amaliah@yahoo.com,muh fakhry01@gmail.com, hartaty.said@
yahoo.com, sulaxonohadi@yahoo.com, fyca_farida@yahoo.com, ali arasy@gmail.com, drnining@
gmail.com, auditri harsono@gmail.com,

ABSTRAK

Penyakit zoonosis berdampak pada manusia dan ekonomi secara global. Terdapat kurang lebih
75% penyakit yang baru muncul (emerging diseases) merupakan zoonosis. Dalam era globalisasi
dan perdagangan, perjalanan penyakit ini sangat cepat berpengaruh pada kesehatan masyarakat dan
ekonomi. Melalui program USAID-EPT 2 program, FAO ECTAD Indonesia berkolaborasi dengan
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (BBVet Maros) dan PREDICT2 melakukan
surveilans triangulasi dan pengumpulan sampel ternak (hewan domestik) dalam rangka memahami
potensi penularan patogen dari satwa liar ke hewan domestik dan manusia.

Tujuan surveilans triangulasi adalah untuk mengindentifikasi ancaman virus zoonosis pada
interface penularan patogen pada ternak dari satwa liar yang berisiko tinggi, mengidentifikasi
faktor biologi yang menggerakkan munculnya, penularan dan penyebaran penyakit zoonosis pada
ternak dan kaitannya dengan satwa liar serta memperkirakan risiko relatif spillover patogen yang
tidak dikenal atau dikenal dari satwa liar ke hewan domestik, yang memungkinkan penularan virus
zoonosis antar wilayah.

Desain surveilans adalah berbasis risiko untuk meningkatkan kemungkinan deteksi virus.
dengan populasi target hewan domestik yang diternakkan (sapi, kerbau, kuda, babi, kambing)
yang memiliki keterkaitan (interface) yang tinggi dengan satwa liar di dua Kabupaten Provinsi
Gorontalo (Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato) dan Sulawesi Utara (Kabupaten Bolaang
Mongondow, Minahasa Selatan, Minahasa dan Kota Tomohon).

Telah dilakukan pengujian terhadap 172 sampel swab rektal untiuk mendeteksi lima target
family virus yaitu Influenza (HPAI, Human Flu), Paramyxovirus (Nipah, Hendra), Coronavirus
(SARS, MersCov), Filovirus (Ebola), Flavivirus (JE) menggunakan protokol PREDICT dengan
teknik PCR konvensional. Hasil menunjukkan sebanyak 6,97% sampel presumptif positif terhadap
Influenza A, 0,58% presumptif positif terhadap paramyxovirus, dan 172 sampel presumptif negatif
terhadap Coronavirus, Flavivirus dan Filovirus.

Kata Kunci : Surveilans Triangulasi, Hewan Domestik, Family virus

PENDAHULUAN

Penyakit zoonosis berdampak pada manusia dan ekonomi secara


global. Terdapat kurang lebih 75% penyakit yang baru muncul (emerging
diseases) merupakan zoonosis. Dalam era globalisasi dan perdagangan,
perjalanan penyakit ini sangat cepat berpengaruh pada kesehatan masyarakat
dan ekonomi. Mayoritas Emerging Infectious Diseases (EIDs) pada
392 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
manusia merupakan zoonosis, berasal dari satwa liar dan sebagian besar
disebabkan oleh virus diantaranya Avian Influenza,Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS), Nipah Virus, Ebola, MERS-CoV yang menjadi ancaman
dunia (Anthony et al., 2013). Zoonosis muncul di satwa liar dan mampu
mengeinfeski hewan domestik dan manusia.

Dalam upaya untuk mengidentifikasi dan respon terhadap penyakit


zoonosis baru sebelum menyebar ke manusia, U.S. Agency for International
Development (USAID) membentuk Emerging Pandemic Threats (EPT).
Program EPT terdiri dari empat proyek: PREDICT, RESPOND, IDENTIFY
dan PREVENT. PREDICT berusaha untuk mengidentifikasi penyakit
menular baru yang bisa menjadi ancaman bagi kesehatan manusia.
PREDICT melakukan penelitian yang berfokus pada satwa liar yang paling
mungkin untuk membawa penyakit zoonosis seperti kelelawar, tikus, dan
primata non-manusia. Sehingga berdasarkan hal tersebut maka dilakukan
surveilans tertarget untuk mengoptimalkan langkah-langkah pencegahan
dan pengendalian serta mengurangi ancaman penyakit EID zoonosis pada
masa yang akan datang. Melalui program USAID-EPT 2 program, FAO
ECTAD Indonesia berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan dan PREDICT2 melakukan surveilans triangulasi dan
pengumpulan sampel ternak (hewan domestik) dalam rangka memahami
potensi penularan patogen dari satwa liar ke hewan domestik dan manusia.

Tujuan surveilans triangulasi adalah untuk mengindentifikasi ancaman


virus zoonosis pada interface penularan patogen pada ternak dari satwa liar
yang berisiko tinggi, mengidentifikasi faktor biologi yang menggerakkan
munculnya, penularan dan penyebaran penyakit zoonosis pada ternak dan
kaitannya dengan satwa liar dan memperkirakan risiko relatif spillover
patogen yang tidak dikenal atau dikenal dari satwa liar ke hewan domestik,
yang memungkinkan penularan virus zoonosis antar wilayah

MATERI DAN METODE

Rancangan Studi

Desain surveilans ini merupakan survey longitudinal dengan


pengambilan sampel ternak di wilayah yang sama dan pada waktu yang sama
dengan pengambilan sampel satwa liar oleh PREDICT 2.

Populasi target

Populasi target adalah hewan domestik yang diternakkan (sapi,


kerbau, kuda, babi, kambing) yang memiliki keterkaitan (interface) yang
tinggi dengan satwa liar di dua Kabupaten Provinsi Gorontalo (Kabupaten
Boalemo dan Kabupaten Pohuwato) dan Sulawesi Utara (Kabupaten Bolaang

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
393
Mongondow, Minahasa Selatan, Minahasa dan Kota Tomohon) pada putaran
pertama.

Strategi Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pengambilan sampel acak


pada hewan domestik (ternak) di beberapa daerah tertarget yang berisiko
tinggi. Daerah target tersebut adalah daerah pengambilan sampel satwa
liar PREDICT2 yang memiliki kontak tinggi antara ternak dan satwa liar.
Penentuan daerah bergantung pada tipe sampel satwa liar yang diambil oleh
PREDICT 2 (kelelawar, rodensia). Jika sampel satwa liar PREDICT2 lebih
banyak mengumpulkan kelelawar yang bermigrasi (flying fox, Pteropus spp),
pengambilan sampel ternak akan dilakukan di sepanjang daerah pergerakan
kelelawar, yaitu 30 km di sekitar tempat bertengger atau radius 25-85 km
di sekitar tempat bertengger. Untuk kelelawar non-migrasi (Ascerodon
spp), pengambilan sampel hanya dilakukan dalam 30 km di sekitar populasi
kelelawar. Selain itu pengambilan dilakukan di daerah yang memiliki
interface peridomestik dimana sumber makanan satwa liar (kelelawar/hewan
pengerat) tersedia serta pengambilan di pasar yang mencampur penjualan
satwa liar dan ternak hidup.

Pengambilan sampel dilakukan pada 100 sampel hewan domestik


untuk setiap putaran pengambilan sampel di masing-masing provinsi. Tipe
spesimen adalah serum darah, whole blood, swab oro-pharyngeal/nasal, dan
ulas kloaka/rectal. Untuk setiap hewan diambil 2-4 spesimen sebagai sampel
individu dan ditempatkan ke dalam tube sampel yang terpisah.

Spesimen darah yang diambil akan dimasukkan ke dalam tube blood


vacutainer untuk pengambilan serum dan tabung EDTA.Serum akan
dipisahkan dan dimasukkan ke dalam cryovial untuk kemudian disimpan di
dalam tangki Liquid Nitrogen Gas (LNG) dan spesimen darah dimasukkan
ke dalam tube yang berisi VTM dan Trizol.Swab oropharyngeal/nasal dan
cloacal diambil dan dimasukkan ke dalan tube yang berisi VTM dan Trizol
selanjutnya disimpan di tangki LNG.Protokol terpisah akan digunakan untuk
setiap spesimen yang berbeda dengan mengikuti dan menerapkan protokol
PREDICT 2 untuk pengambilan sampel dan menerapkan rantai dingin untuk
pengiriman dan penyimpanan sampel yang aman.

394 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
         


Gambar 1. Pengambilan sampel pada ternak 




 Pengujian
   Sampel
       

Sampel akan di uji terhadap lima target family virus yaituInfluenza 
(HPAI, Human Flu), Paramyxovirus (Nipah, Hendra), Coronavirus (SARS,
MersCov), Filovirus (Ebola), Flavivirus (JE) menggunakan protokol
PREDICT dengan teknik PCR konvensional di laboratorium Bioteknologi
Balai Besar Veteriner Maros. Pada pengujian ini difokuskan untuk menguji
sampel dari swab rectal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Scooping Visit dan Pengambilan Sampel

Dalam kegiatan surveilans triangulasi di lakukan kegiatan scooping


visit dan pengambilan sampel di lapangan. Adapun hasil kegiatan di jabarkan
berdasarkan lokasi sebagai berikut :

1. Sulawesi Utara

Berdasarkan hasil scooping visit di Propinsi Sulawesi Utara, daerah


ini memiliki risiko tinggi terhadap penularan penyakit satwa liar ke ternak
domestik dan manusia. Hal tersebut dimungkinkan karena keanekaragaman
hayati yang dimiliki oleh Sulawesi Utara. Berbagai jenis satwa liar mulai
dari anoa, babi rusa, babi hutan, yaki, kuskus, tarsius, kelelawar, tupai, tikus,
soasoa, burung rangkong, serta burung Maleo. Di samping itu adanya kultur
beberapa kelompok masyarakat yang mengkonsumsi daging dari satwa liar.
Propinsi Sulawesi Utara memiliki 15 kabupaten/kota yaitu Minahasa, Bolaang
Mongondow, Sangihe, Kepulauan Talaud, Minahasa Selatan, Minahasa
Utara, Bolaang Mongondow Utara, Minahasa Tenggara, Kepulauan Sitaro,

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
395
Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Selatan, Kota Manado,
Kota Bitung, Kota Tomohon dan Kota Kotamobagu Lokasi surveilans
triangulasi dilaksanakan di empat kabupaten/kota yaitu Minahasa, Bolaang
Mongondow, Minahasa Selatan dan Kota Tomohon .

Di Kabupaten Bolaang Mongondow interface antara satwa liar dengan


ternak domestik memiliki risiko tinggi karena berbatasan dengan Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone. Satwa liar seperti kelelawar sering muncul
ke pemukiman ketika terjadi musim buah terutama langsat serta populasi
burung bangau masih banyak di area persawahan.

Pengambilan sampel dilaksanakan di Kecamatan Dumongga Barat di


lima Desa yaitu Desa Ikhwan dengan target ternak sapi, Toraut Tengah (sapi),
Toraut Utara (sapi), Wangga Baru (sapi) dan kambing serta Desa Uuwan
dengan target ternak Babi. Total sampel yang diambil yaitu 25 sampel dengan
rincian 10 ekor sapi dan 15 ekor babi dari dari masing- masing lima peternak
babi dan peternak sapi.

Kabupaten Minahasa Selatan memiliki topografi berbukit-bukit/


pegunungan yang membentang dari utara selatan.Lokasi pengambilan sampel
satwa liar di Kecamatan Modoinding. Setelah dilakukan scooping visitrisiko
interface satwa liar dengan ternak domestik rendah sehingga pengambilan
sampel ternak dilakukandi Kecamatan Tumpaan dimana interface kelelawar
sangat tinggi ke ternak babi, Desa Tawaang Kecamatan Tenga (kelelawar
dan tikus hutan dengan babi dan Desa Lowian Kecamatan Maesaan yaitu
kelelawar dengan sapi. Total sampel yang diambil yaitu 10 ekor babi di
Kecamatan Tumpaan, 10 ekor babi di Kecamatan Tenga dan 5 ekor sapi di
Kecamatan Maesaan.

Kota Tomohon terdapat pasar tradisional yang menjual pangan asal


satwa liar yang tidak biasa untuk dikonsumsi, seperti daging ular, daging babi
hutan, daging monyet, tikus panggang, kelelawar dan kucing bakar. Di sekitar
pasar tidak ada ternak domestik yang dikandangkan. Babi dikandangkan di
kebun jauh dari pemukiman. Pengambilan sampel dilaksanakan Kecamatan
Tomohon Timur yang berbatasan dengan kawasan hutan dengan target
ternak yaitu babi, sapi, kuda dan pengambilan sampel babi sebanyak 5 ekor,
Tomohon Barat 5 ekor babi, Tomohon Selatan 5 ekor kambing, dan Tomohon
Tengah 7 ekor babi dan 3 ekor sapi.

Kabupaten Minahasa memiliki topografi berbukit-bukit/pegunungan.


Terdapat Danau Tondano yang berpotensi datangnya burung liar. Terdapat
pasar ekstrim yang menjual daging satwa liar yaitu di Pasar Langoan dan
Pasar Kawangkoan. Pengambilan sampel ternak dilakukan disekitar Pasar
Kawangkoan dengan jumlah sampel 5 ekor sapidan 5 ekor babi, Kecamatan
Tombulu 5 ekor babi dan Kecamatan Tompaso 5 ekor babi dan 5 ekor kuda.

396 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 2. Interface satwa liar dengan hewan domestik

2. Gorontalo

Lokasi pengambilan sampel di Propinsi Gorontalo di lakukan di dua


kabupaten yaitu Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato. Secara
umum topografi wilayah Kabupaten Boalemo berbukit-bukit dengan batas
terluar bagian selatan adalah Laut Sulawesi dan dibagian utara berbatasan
Kab. Gorontalo Utara, Barat berbatasan Pohuwato dan Timur dengan Kab.
Gorontalo.Wilayah sampling Kecamatan Tilamuta yang memiliki kepadatan
ternak yang cukup dengan diversitas ternak yang beragam. Topografi berbukit
dengan vegetasi tanaman buah (mangga, langsat dan pisang) serta tanaman
perkebunan kelapa yang padat, serta sebagian petani yang juga menanam
jagung sebagai komoditi perkebunan.Kelompok hewan liar yang ditemukan
adalah kelelawar jenis Acerodon spp dan Pteropus spp yang merupakan
kelompok kelelawar pemakan buah, hidup dan bertengger di pucuk kelapa,
dan aktif pada malam hari (nokturnal). Interface antara satwa liar dan hewan
domestik kategori sedang. Wilayah sampling Kecamatan Paguyaman Pantai
memiliki kepadatan dan keragaman ternak yang kurang. Topografi berbukit
dengan vegetasi kelapa, jagung dan bakau.dengan wilayah pesisir pantai.

Pengambilan sampel di Kecamatan Tilamuta diambil 25 ekor sapi


dan Kecamatan Mananggu sebanyak 25 ekor babi.Wilayah sampling
Kecamatan Paguyaman Pantai memiliki kepadatan dan keragaman ternak
yang kurang. Topografi berbukit dengan vegetasi kelapa, jagung dan bakau.
dengan wilayah pesisir pantai.Wilayah dengan padat populasi ternak dan
dimungkinkan interaksi antara ternak domestik dan satwa liar (kelelawar)
adalah di Kecamatan Wonosari.Berdasarkan pengamatanKabupaten
Pohuwatomemiliki vegetasi yang heterogen dengan keanekaragaman
satwa liar dan interaksi hewan domestik yang tinggi. Diversitas dan
keanekaragaman satwa liar dengan hewan domestik di Pohuwato yaitu di
Kecamatan Patilanggio dan Kecamatan Wanggasari. Jumlah sampel yang
diambil yaitu 15 ekor sapi di Kecamatan Wanggasari, 15 ekor sapi di
Kecamatan Patilanggio dan 10 ekor sapi serta 10 ekor babi di Kecamatan
Popayato Timur.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
397
Pengujian Laboratorium

Dalam upaya untuk mengidentifikasi dan respon terhadap penyakit


zoonosis baru sebelum menyebar ke manusia, PREDICT telah mengembangkan
dan mengoptimalisasi protokol untuk mendeteksi dan menemukan virus
pada target family pada hewan yang dapat menyebabkan penyakit dan
epidemik pada manusia termasuk alphavirus, arenavirus, astrovirus,
bunyavirus, coronavirus, filovirus, flavivirus, herpesvirus, orthomyxovirus,
paramyxovirus, poxvirus, reovirus, retrovirus dan rhabdovirus (USAID
PREDICT, 2009). Pendekatan diagnostik yang dilakukan adalah kombinasi
antara teknik PCR dengan sekuensing. Teknik PCR merupakan metode yang
utama digunakan.

Pengujian sampel pada satwa liar telah dilakukan di negara berisiko


tinggi seperti Bangladesh, Brazil, China, Kolombia, Indonesia, Malaysia,
dan Meksiko. Setelah para ilmuwan mengumpulkan sampel, mereka
menganalisis sampel di laboratorium untuk identifikasi penyakit. Penyakit
yang ditemukan dimasukkan dalam data dasar untuk pembuatan peta
prediksi wabah penyakit . Pendekatan ini tidak hanya memungkinkan para
peneliti untuk menemukan penyakit baru, tetapi juga membantu masyarakat
mempersiapkan dan menanggapi ancaman wabah.

Hasil pengujian terhadap sampel yang diambil di Sulawesi Utara dan


Gorontalo pada putaran pertama telah dilakukan pengujian dan dapat dilihat
pada Tabel 1sebagai berikut :

398 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Hasil Pengujian Survelans Triangulasi Round 1

Hasil Pengujian Famili Virus


Asla Daerah
Total Influenza Virus Paramyxovirus Coronavirus Flavivirus Filovirus
No

Prosiding
Sampel
Kabupupaten/ Presumtive Presumtive Presumtive Presumtive Presumtive
Propinsi Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Kota Positif Positif Positif Positif Positif
Sulawesi Bolaang 25 4 25 25 25 25
1 21 0 0 0 0
Utara Mongondow
2 Tomohon 25 2 23 0 25 0 25 0 25 0 25

3 Minahasa 25 2 23 0 25 0 25 0 25 0 25
Minahasa 13 1 13 13 13 13
4 12 0 0 0 0
Selatan

5 Gorontalo Boalemo 39 0 39 1 38 0 39 0 39 0 39

dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018


6 Pohuwato 45 3 42 0 45 0 45 0 45 0 45
TOTAL 172 12 160 1 171 0 172 0 172 0 172
Presentase 6,97% 93,02% 0,58% 99,41% 0% 100% 0% 100% 0% 100%

Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)


399
Pengujian terhadap 172 sampel swab rektal untiuk mendeteksi lima target
family virus yaitu Influenza (HPAI, Human Flu), Paramyxovirus (Nipah,
Hendra), Coronavirus (SARS, MersCov), Filovirus (Ebola), Flavivirus
(JE) menggunakan protokol PREDICT dengan teknik PCR konvensional
menunjukkan sebanyak 6,97% sampel presumptif positif terhadap Influenza
A terdapat 0,58% sampel presumptif positif terhadap paramyxovirus, dan 172
sampel presumptif negatif terhadap Coronavirus, Flavivirus dan Filovirus.
Hasil presumtif positif akan dilakukan uji karakterisai dengan sequencing.

Deteksi terhadap family orthomyxovirus virus Influenza A dilakukan


pada semua sampel sampel mamalia berdasarkan protokol PREDICT
menggunakan primer dengan target gen Matriks. Deteksi terhadap family
Paramyxovirus menunjukkan bahwa terdapat 0,58% presumtif positif.
Paramyxovirus sangat patogen pada hewan seperti ayam, kalkun, hewan
aquatik seperti salmon, ikan hiu, ikan paus, lumba-lumba, rodentia, kuda,
sapi, kelelawar, babi dan manusia. Family Paramyxovirus pada hewan
diantaranya virus Nipah dan Hendra yang mengakibatkan infeksi serius
dan fatal pada manusia. Paramyxovirus merupakan target yang penting
dikembangkan untuk mendeteksi virus baru . Primer yang digunakan berasal
dari daerah sejati (high conserved region) pada genom (Tong et al., 2008).

Coronavirus dibagi menjadi empat genera berdasarkan antigenic cross-


reactivity dan sekuen nukleotida yaitu Alphacoronavirus, Betacoronavirus,
Gammacoronavirus dan Deltacoronavirus. Alphacoronavirus dan
Betacoronavirus berkaitan dengan infeksi pada mamalia termasuk manusia
sedangkan Gammacoronavirus dan Deltacoronavirus sangat berkaitan dengan
infeksi pada unggas. Hal yang menarik adalah dampaknya terhadap ternak
babi dan peternakan unggas. Kelelawar merupakan reservoir yang penting
pada beberapa penyakit zoonosis disebabkan oleh virus yang berdampak
pada kesehatan hewan dan kesehatan manusia. Virus dari kelelawar menular
ke manusia dengan kontak langsung melalui gigitan atau saliva hewan yang
terinfeksi dan udara (Quan et.al., 2010). Ada dua emerging diseases dari
genera Betacoronavirus yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV. Hasil pengujian
menunjukkan semua sampel mamalia negatif terhadap Coronavirus baik
Human Coronavirus maupun Bat Coronavirus. Dari hasil pengujian tidak
ditemukan presumptive positif terhadap golongan Filovirus dan Flavivirus.

Secara keseluruhan PREDICT telah mengidentifikasi virus baru


sebanyak 812 jenis dan 147 yang telah diketahui pada satwa liar termasuk di
Indonesia (USAID PREDICT, 2009).

400 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KESIMPULAN

Kegiatan surveilans triangulasi kerjasama Direktorat Jenderal


Peternakan dan Kesehatan Hewan, USAID EPT 2 dan FAO ECTAD ini
diharapkan mampu memberikan informasi penting mengenai identifikasi
virus dan ancaman biologis lainnya untuk meminimalisi risiko muncul
dan menyebarnya ancaman penyakit pandemik. Informasi berguna untuk
mengembangkan platform surveilans penyakit dan untuk mengidentifikasi
dan memonitor patogen yang dapat ditularkan antara hewan (domestik dan
satwa liar) dan manusia.

Sampel yang sudah diambil, disimpan dalam deep freezer -80 0C


kemudian akan dilakukan pengujian terhadap lima target family virus
yaituInfluenza (HPAI, Human Flu), Paramyxovirus (Nipah, Hendra),
Coronavirus (SARS, MersCov), Filovirus (Ebola), Flavivirus (JE)
menggunakan protokol PREDICT dengan teknik PCR konvensional.
Hasil menunjukkan 172 sampel swab rektal untiuk mendeteksi lima target
family virus yaitu Influenza (HPAI, Human Flu), Paramyxovirus (Nipah,
Hendra), Coronavirus (SARS, MersCov), Filovirus (Ebola), Flavivirus
(JE) menggunakan protokol PREDICT dengan teknik PCR konvensional
menunjukkan sebanyak 6,97% sampel presumptif positif terhadap Influenza
A, 0,58% presumptif positif terhadap paramyxovirus, dan 172 sampel
presumptif negatif terhadap Coronavirus, Flavivirus dan Filovirus.

KETERBATASAN DAN LIMITASI

Pada pengujian laboratorium, sampel yang diuji terbatas hanya pada


swab rectal, sehingga kemungkinan untuk mendapatkan presumptive positif
sangat rendah. Pengujian belum dilanjutkan sampai karakterisasi virus secara
spesifik sehingga belum dilakukan kajian secara mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Anthony, S.J., Epstein, J.H., Murray, K.A., Navarette-Maclas, I., Torrelio,


C.M.Z., Solovyov, A., Flores, R.O., Arrigo, N.C., Islam, A., Khan,
A.A., Hosseini, P., Bogich, T.L., Olival, K.J., Leon, M.D.S., Karesh,
W.B., Goldstein, Tracey., Luby, S.P, Morse, S.S, Mazet, J.A.K.,
Daszak, P., Lipkin, W.I. 2013. A strategy to Estimate Unknown Viral
Diversity in Mammals.mBio 4(5) : e00598.13

Carocci, M., Bakkali-Kassimi, L.. 2012. The encephalomyocarditis virus.


Virulence 3:4, 351–367; July 1, 2012; G 2012 Landes Bioscience

Lam, S. K., Chua K. B.. 2015. Nipah Virus Encephalitis Outbreak in


Malaysia.Clinical Infectious Diseases 2002:34 (Suppl 2)

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
401
Li, H., Wunschmann, A., Keller, J., D., Hall,G., Crawford, T. B. . 2003.
Caprine herpesvirus-2–associated malignant catarrhal fever in white-
tailed deer (Odocoileus virginianus). J Vet Diagn Invest 15:46–49
(2003)

Naipospos, T. 2010.Perdagangan satwa liar dan risiko penyakit zoonosis.


Blog Veterinerku

Quan, P.L., Firth, C., Street, C., Henriquez, J. A., Petrosov, A.,
Tashmukhamedova A., Hutchison, S.K., Egholm, M., Osinubi,
M.O.V., Ogunkoya, A.B., Briese, T., Rupprecht, C.E., Lipkin,
W.I..2010. Identificatioan of a Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus-like Virus in a Leaf-Nosed Bat in Nigeria. mBio 1(4)
e00208-10

Tong, S., Chern, S.W.W, Li, M., Pallansch, M.A., Anderson, L.J.. 2008.
Sensitive and Broadly Reactive Reverse Transcription-PCR Assays
To Detect Novel Paramyxoviruses. Jounal of Clinical Microbiology,
Aug 2008 p. 2652-2658.

USAID PREDICT. Virus Detection and Discovery, Reducing Pandemic


Risk, Promotion Global Health.http://predict.global

402 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMERIKSAAN DAN IDENTIFIKASI PARASIT
GASTROINTESTINAL PADA SAPI BALI DI NUSA TENGGARA
TIMUR TAHUN 2017
Hilda Susiyanti Debora Berek
Veronika Matutina

UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur


hildasusie@gmail.com

ABSTRAK

Parasit gastrointestinal merupakan parasit yang dapat menginfeksi saluran gastrointestinal baik
manusia maupun hewan. Parasit tersebut dapat hidup di seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan
siklus hidupnya berada di usus. Infestasi parasit bila dalam jumlah besar dapat menyebabkan
kerusakan usus dan mengakibatkan penebalan pada dinding-dinding usus, lebih lanjut ternak yang
terinfestasi cacing akan diare yang mengakibatkan kehilangan cairan tubuh dan akan berakhir
dengan kematian. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat sejauh mana tingkat infestasi dan
penyebaran cacing parasit gastrointestinal pada sapi Bali di wilayah NTT. Selama pelaksanaan
surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 1.145 sampel dari 22 kabupaten/kota dalam wilayah
NTT. Sampel yang diambil berupa feses sapi segar dan dilakukan pemeriksaan dan perhitungan
telur cacing/ookista koksidia per gram feses (EPG) dengan menggunakan metode uji apung dan uji
sedimentasi di Laboratorium Pengujian dan Penyidikan Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT.
Hasil pengujian menunjukkan prevalensi parasit gastrointestinal pada Sapi Bali di Provinsi NTT
mencapai 9,96%, dimana dari 1.145 ternak sapi yang diambil fesesnya sebanyak 114 ekor sapi positif
terinfeksi parasit gastrointestinal. Dari 114 sampel yang positif, didapatkan telur cacing yang berasal
dari 3 kelompok cacing parasit usus yaitu Kelas Nematoda terdiri atas Strongylus sp (54,54 %) ;
Kelas Trematoda terdiri atas Fasciola sp (15,15 %), Paramphistomum sp (11,11 %) ; dan Kelas
Cestoda terdiri atas Moniezia sp (1,01 %) ; serta dari Kelas Protozoa ditemukan Eimeria sp (18,18
%). Infestasi parasit gastrointestinal pada Sapi Bali di wilayah NTT tergolong dalam 2 kategori yaitu
untuk telur cacing Moniezia sp termasuk dalam infeksi sedang karena telur yang dihasilkan sampai
640 butir per gram feses sapi, sedangkan untuk telur cacing lainnya masih tergolong dalam infeksi
ringan karena telur yang dihasilkan < 500 butir telur per gram feses sapi.

Kata kunci : parasit, gastrointestinal, infestasi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi bali adalah sumber daya genetik asli Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi dari banteng liar. Sapi bali memiliki keunggulan dibandingkan
dengan sapi lainya yaitu memiliki fertilitas yang baik, presentase karkas
lebih tinggi dibandingkan dengan sapi potong lainya (Suwiti et al., 2013).
Penyebaran sapi bali sangat cepat di berbagai daerah di Indonesia terutama
di Indonesia bagian timur karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk
masyarakat.

Nusa Tenggara Timur sebagai wilayah sumber ternak nasional


merupakan salah satu wilayah penghasil ternak sapi bali yang potensial di
Wilayah Indonesia Timur. Namun keberhasilan ini tentu tidak terlepas dari
usaha-usaha pencegahan dan penanganan berbagai kasus penyakit, termasuk

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
403
adanya infestasi parasit sebagai faktor predisposisi. Walaupun penyakit
cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari
segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing
disebut sebagai penyakit ekonomi (Imbang, 2007).

Parasit gastrointestinal merupakan parasit yang dapat menginfeksi


saluran gastrointestinal baik manusia maupun hewan. Parasit tersebut dapat
hidup di seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan siklus hidupnya berada di
usus. Infestasi parasit bila dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan
usus dan mengakibatkan penebalan pada dinding-dinding usus, lebih lanjut
ternak yang terinfestasi cacing akan diare yang mengakibatkan kehilangan
cairan tubuh dan akan berakhir dengan kematian. Wiryosuhanto dan Jacoeb
(1994) menyebutkan penyakit endoparasit terutama cacing menyerang
hewan pada usia muda (≤ 1 tahun). Persentase yang sakit oleh endoparasit
dapat mencapai 30% dan angka kematian yang bisa ditimbulkan sebanyak
30%.

Pemeriksaan feses secara rutin sangat diperlukan untuk mengidentifikasi


adanya parasit gastrointestinal pada ternak, terutama jenis dan derajat
infeksinya. Dengan mengetahui jenis cacing yang menginfeksi maka
segera dapat dilakukan pengobatan dengan jenis obat antiparasit yang tepat,
sehingga pengobatannya menjadi lebih efektif.

Tujuan

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui tingkat infestasi dan


penyebaran cacing parasit gastrointestinal pada Sapi Bali di Nusa Tenggara
Timur, sehingga dapat digunakan sebagai informasi untuk menyusun
program pengendalian penyakit parasiter.

MATERI DAN METODA

Materi

Sebanyak 1.145 sampel feses sapi bali dikumpulkan dari 22 kabupaten/


kota di wilayah NTT. Pengambilan sampel feses sebanyak 10 gram,
dilakukan melalui palpasi rektal dan dimasukan ke dalam plastik yang
telah diberi label. Sampel disimpan dalam larutan formalin 10% sebagai
pengawet. Pemeriksaan laboratorium menggunakan metode Uji Apung dan
Uji Sedimentasi yang dilakukan di Laboratorium Pengujian dan Penyidikan
Veteriner UPT Veteriner Dinas Peternakan Propinsi NTT.

404 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Metode

Prosedur Pengujian

Pemeriksaan feses dengan metode uji apung digunakan garam jenuh


untuk mengidentifikasi telur cacing Nematoda, dengan cara sebagai berikut :
Timbang feses sebayak 3 gram, masukkan ke dalam syringe 10 cc yang sudah
berisi air bersih 7 cc, kemudian aduk dengan stik sehingga tercampur rata/
homogen. Setelah itu tuangkan feses yang telah tercampur homogen tersebut
ke dalam silinder pencampur yang berisi larutan garam jenuh sebanyak 50
cc. Aduk larutan secara melingkar, saring larutan feses tersebut. Diamkan
selama 5 menit agar terbentuk supernatan dan endapan. Ambil supernatan
secukupnya dengan pipet Pasteur lalu masukkan ke dalam kamar hitung.

Cara menyatakan hasil (Calculation) : di bawah ini adalah tabel


penghitung jumlah telur cacing per gram tinja dengan menggunakan angka
pengenceran 1 : 20. Pada alat penghitung telur (universal slide counting
chamber) berisi 4 kamar, dan tiap kamar memiliki volume masing-masing
0,5 cc. Tiap kamar berisis 5 garis/strip vertical, dan setiap kolom memiliki
volume 0,1 cc. Dalam penghitungan telur cacing, dapat memperhatikan
Tabel dibawah ini.

MI 0,1 ml 0,2 ml 0,4 ml 0,5 ml 1,0 ml 2,0 ml (Ova)


Equines ×100 ×50 Strongyles
Sheep & goats ×200 ×100 ×50 ×40 Nematodes
Cattle ×20 ×10 Nematodes
Dog, pig, man ×100 ×50 ×40 Oocysts,
nematodes,
cestodes
Counting strip 1 2 4 5 2 4
chambers chambers
(Faecal master kit, Universal slide Pat. Pend. J. A. Whitlock & Co.)

Pemeriksaan feses dengan metode sedimentasi digunakan untuk


mengidentifikasi telur trematoda di dalam feses karena telur trematoda
yang relatif besar dan berat dibandingkan dengan telur nematoda, dengan
cara sebagai berikut : Timbang feses sebayak 1 gram, masukkan ke dalam
syringe 10 cc yang sudah berisi air bersih 9 cc, kemudian aduk dengan
stik sehingga tercampur rata/homogen. Masukkan campuran feses dan air
yang ada dalam syringe tersebut kedalam silinder pencampur yang berisi
50 cc air. Aduk larutan feses yang ada dalam silinder sampai tercampur
sempurna, saring larutan feses tersebut. Endapkan larutan tinja yang telah
tersaring selama 6 menit, kemudian masukkan secara perlahan plug kedalam
silinder pencampur. Pegang pluk kuat-kuat dan balikkan silinder pencampur
sehingga cairan supernatannya terbuang. Tambahkan air bersih sampai 50
cc kedalam endapan, aduk dengan baik dan kemudian endapkan kembali

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
405
selama 6 menit, masukkan plug kedalam silinder pencampur secara perlahan,
pegang kuat-kuat kemudian balikkan silinder pencampur sehingga tersisa
endapan larutan sebanyak 5 cc. Lakukan sebanyak 3 kali. Tambahkan 2 tetes
larutan methylene blue 0.1% kedalam endapan. Aduk merata dengan pipet
kemudian segera isap larutan tersebut dan masukkan kedalam kamar alat
penghitung telur cacing. Aduk larutan tadi pada setiap kali pengisian kamar
alat penghitung telur. Keterangan hasil pemeriksaan: telur Paramphistomum
: berwarna terang sampai biru tua dan telur Fasciola hepatica : berwarna
kuning keemasan.

HASIL

Hasil pemeriksaan dan identifikasi parasit gastrointestinal pada sapi bali


tahun 2017 dengan total sampel berjumlah 1.145 di kota/kabupaten se-Nusa
Tenggara Timur dengan rincian dan prevalensi kasus sebagai berikut:

Tabel 1. Prevalensi Kasus Parasit Gastrointestinal pada Sapi Bali di kota/


kabupaten se-NTT Tahun 2017

Jumlah Hasil Pevalensi


No Kabupaten/Kota
Sampel Positif Negatif (%)
1 Kota Kupang 203 15 188 7,39
2 Kupang 71 3 68 4,23
3 Timor Tengah Selatan 54 7 47 12,96
4 Timor Tengah Utara 35 8 27 22,86
5 Belu 50 5 45 10,00
6 Malaka 23 4 19 17,39
7 Rotendao 44 2 42 4,55
8 Sabu Raijua 50 9 41 18,00
9 Alor 35 0 35 0,00
10 Lembata 51 3 48 5,88
11 Flores Timur 50 9 41 18,00
12 Sikka 44 1 43 2,27
13 Ende 50 0 50 0,00
14 Nagakeo 48 6 42 12,50
15 Ngada 50 8 42 16,00
16 Manggarai Barat 22 8 14 36,36
17 Manggarai 50 2 48 4,00
18 Manggarai Timur 32 2 30 6,25
19 Sumba Barat Daya 41 4 37 9,76
20 Sumba Barat 42 9 33 21,43
21 Sumba Tengah 50 0 50 0,00
22 Sumba Tmur 50 9 41 18,00
T O TAL 1.145 114 1.031 9,96

406 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Pemeriksaan sampel feses sapi bali dari hasil surveilas ini terdapat
infeksi tunggal (terdiri dari satu jenis cacing/protozoa) dan infeksi campuran
(terdiri atas dua atau lebih cacing/protozoa). Infeksi tunggal ditemukan di
14 Kabupaten/Kota sebesar 86,84% (99/114), sedangkan infeksi campuran
terdapat 8 Kabupaten/Kota sebesar 13,16% (15/114), dapat dilihat pada
Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pemeriksaan berdasarkan Infeksi Telur Cacing Parasit


Tunggal dan Campuran

Jenis Infeksi
Jumlah Infeksi Telur Infeksi Telur
No Kabupaten/Kota
positif Cacing Tunggal Cacing Campuran
(%) (%)
1 Kota Kupang 15 14 (93,33) 1 (6,67)
2 Kupang 3 2 (66,67) 1(33,33)
3 Timor Tengah Selatan 7 7 (100) 0
4 Timor Tengah Utara 8 6 (75) 2 (25)
5 Belu 5 5 (100) 0
6 Malaka 4 4 (100) 0
7 Rotendao 2 2 (100) 0
8 Sabu Raijua 9 9 (100) 0
9 Alor 0 0 0
10 Lembata 3 3 (100) 0
11 Flores Timur 9 5 (55,56) 4 (44,44)
12 Sikka 1 1 (100) 0
13 Ende 0 0 0
14 Nagakeo 6 6 (100) 0
15 Ngada 8 7 (87,5) 1 (12,5)
16 Manggarai Barat 8 6 (75) 2 (25)
17 Manggarai 2 2 (100) 0
18 Manggarai Timur 2 2 (100) 0

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
407
Jenis Infeksi
Jumlah Infeksi Telur Infeksi Telur
No Kabupaten/Kota
positif Cacing Tunggal Cacing Campuran
(%) (%)
19 Sumba Barat Daya 4 4 (100) 0
20 Sumba Barat 9 6 (66,67) 3 (33,33)
21 Sumba Tengah 0 0 0
22 Sumba Tmur 9 8 (88,89) 1 (11,11)
T O TAL 114 99 (86,84) 15 (13,16)

Berdasarkan identifikasi genus parasit yang ditemukan pada sampel


feses sapi bali ini, diketahui bahwa tidak ada parasit yang berpotensi patogen
atau dapat menular ke manusia, disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis dan Jumlah Telur Cacing berdasarkan Jumlah Infeksi Tunggal

Jenis Telur Jumlah Prevalensi % Epg


Cacing Strongylus sp 54 54,54 20 - 460
  Paramphistonum sp 11 11,11 20 - 60
  Fasciola sp 15 15,15 20 - 300
  Monieza sp 1 1,01 20 - 640
Protozoa Eimeria sp 18 18,18 20 - 460

Jumlah Telur (butir per gram feses) Tingkat Infeksi


1 – 499 Ringan
500 – 5000 Sedang
 5000 Berat
Tingkat infeksi berdasarkan jumlah telur (Thienpont et al. 1995)

408 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMBAHASAN

Secara keseluruhan tingkat prevalensi kasus parasit gastrointestinal


pada sapi bali di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2017 mencapai 9,96
%. Terjadi peningkatan prevalensi dari tahun sebelumnya, hal ini disebabkan
karena perbaikan tata laksana pemeliharaan dan pemberian obat cacing atau
anti coccidia tidak dilakukan secara periodik. Selain itu karena kemampuan
dana individu peternak lemah sehingga tidak mampu untuk membiayai
pelaksanaan pengendalian parasit sedangkan dana dari pemerintah sangat
terbatas dan akhirnya diprioritaskan untuk pengendalian penyakit yang
menyebabkan kerugian yang lebih besar.

Bedasarkan jenis telur cacing dapat dilihat bahwa jenis telur cacing
strongylus sp sangat tinggi menginfeksi sapi bali di wilayah NTT yaitu 54,54
%. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Yeung et al. (2005) yang menyatakan
bahwa parasit cacing yang sering menginfeksi sapi adalah cacing kelas
nematoda. Prevalensi cacing nematoda pada sapi bali dapat dipengaruhi oleh
hospes, parasit, dan lingkungan ternak, selain itu infeksi nematoda terjadi
karena siklus hidupnya secara langsung tidak memerlukan host intermediet.

Pada pemeriksaan ini menunjukkan adanya infeksi tunggal dan infeksi


campuran dari cacing, dimana infeksi tunggal cacing parasit umum terjadi
karena lemahnya ketahanan tubuh hewan dalam melawan serangan cacing
parasit. Levine (1995), menyebutkan infeksi tunggal ataupun campuran
sering terjadi pada sapi sehingga sulit untuk mengetahui pengaruh khusus
yang ditimbulkan. Cara pemeliharaan hewan ternak sangat berpengaruh
terhadap kejadian infeksi parasit. Sistem pemeliharaan sapi bali di NTT
yang masih menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan sapi
mencari makan sendiri (sistem gembala) bahkan ada yang sama sekali tidak
dikandangkan (sistem tradisional) meningkatkan peluang besar bagi cacing
untuk berkembang biak.

Ternak yang tidak dikandangkan kurang diperhatikan oleh peternak, hal


ini menyebabkan nutrisi pakan dan kebersihan ternak sangat buruk sehingga
mudah terinfeksi parasit termasuk nematoda gastrointestinal. Ternak yang
terinfeksi akan mengeluarkan feses yang mengandung telur nematoda dan
kemudian menetas menjadi larva infektif di areal penggembalaan. Larva
Infektif tersebut bergerak di antara rerumputan di areal penggembalaan
yang sewaktu-waktu dapat tertelan oleh sapi yang digembalakan di tempat
pengembalaan yang tercemar (Junaidi, 2014).

Infestasi parasit gastrointestinal pada sapi bali di wilayah NTT tergolong


dalam 2 kategori yaitu untuk telur cacing Moniezia sp termasuk dalam infeksi
sedang karena telur yang dihasilkan sampai 640 butir per gram feses sapi,
sedangkan untuk telur cacing lainnya masih tergolong dalam infeksi ringan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
409
karena telur yang dihasilkan < 500 butir telur per gram feses sapi. Jumlah
telur cacing per gram feses ternak tidak selalu dapat menunjukkan tingkat
infeksi yang sebenarnya. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa hanya
cacing dewasa saja yang dapat menghasilkan telur, sedangkan larva cacing
belum menghasilkan telur. Larva kemudian menjadi dewasa secara seksual,
dan ada yang menjadi cacing jantan yang juga patut diperhitungkan untuk
menentukan tingkat infeksi pada ternak. Pada kasus- kasus infeksi kronis
ringan yang berulang pada sapi dalam kurun waktu tertentu di dalam tubuh
akan terbentuk antibodi terhadap parasit gastrointestinal sehingga pada
infeksi berikut intensitasnya cenderung berkurang. Namun pada infeksi yang
intensitasnya sedang sampai berat, apabila tidak dilakukan pengobatan secara
periodik dan penanganan yang baik akan terjadi penurunan produkstivitas
bahkan kematian terutama pedet dan ternak sapi muda.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Prevalensi kasus parasit gastrointestinal pada sapi bali di Provinsi Nusa


Tenggara Timur tahun 2017 sebesar 9,96 %. Peningkatan prevalensi dari
tahun sebelumnya menunjukkan bahwa perbaikan tata laksana pemeliharaan
dan pemberian obat cacing atau anti coccidia tidak dilakukan secara periodik.

Berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan telur cacing yang berasal


dari 3 kelompok cacing parasit usus yaitu Kelas Nematoda terdiri atas
Strongylus sp (54,54 %) ; Kelas Trematoda terdiri atas Fasciola sp (15,15
%), Paramphistomum sp (11,11 %) ; dan Kelas Cestoda terdiri atas Moniezia
sp (1,01 %) ; serta dari Kelas Protozoa ditemukan Eimeria sp (18,18 %).

Infestasi parasit gastrointestinal pada sapi bali di wilayah NTT tergolong


dalam 2 kategori yaitu untuk telur cacing Moniezia sp termasuk dalam infeksi
sedang karena telur yang dihasilkan sampai 640 butir per gram feses sapi,
sedangkan untuk telur cacing lainnya masih tergolong dalam infeksi ringan
karena telur yang dihasilkan < 500 butir telur per gram feses sapi.

Sistem pemeliharaan ternak yang ekstensif dan siklus hidup cacing


nematoda yang secara langsung tidak memerlukan host intermediet
sangat berpengaruh terhadap sulitnya pemberantasan penyakit ini. Namun
pengendalian dan pemberantasan penyakit parasit internal dapat terus
dilakukan dengan memperhatikan pemberian obat cacing secara teratur dan
perbaikan tata laksana peternakan untuk memperkecil peluang terjadinya re-
infeksi.

410 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Saran

Berdasarkan hasil pemeriksaan ini diharapkan adanya kerjasama yang


baik antara petugas medik/paramedik di lapangan (Puskeswan), petugas
Dinas Peternakan Kota/Kabupaten, dan Laboratorium Pengujian dan
Penyidikan Veteriner agar usaha pencegahan penyebaran penyakit parasit
gastrointestinal di wilayah NTT dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga
dapat meningkatkan produksi dan produktifitas ternak dalam rangka
mendukung program swasembada daging sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Imbang, D.R. 2007. Penyakit Parasit Pada Ruminansia. Staf Pengajar


Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian-Peternakan Universitas
Muhammidiyah Malang. http://imbang.staff.umm.ac.id.

Junaidi M, Sambodo P, Nurhayati P. 2014. Prevalensi Nematoda pada Sapi


Bali di Kabupaten Manokwari. JSV 32 (2).

Levine N. 1995. Protozoologi Veteriner. (Soekardono, ed.). Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

Anonimus. 2014. Laporan Tahunan UPT Veteriner Dinas Peternakan Propinsi


NTT. Kupang.

Koesdarto, S., dkk. 2001. Model Pengendalian Siklus Infeksi Toxocariasis


Sapi Dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng Di Pulau
Madura. Jurnal Penelitian Medika Eksata.

Levine, N.D. 1990. Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press.


Yogyakarta.

Suwiti NK, Sampurna IP, Watiniasih, Puja N. 2013. Peningkatan Produksi


Sapi Bali Unggul Melalui Pengembangan Model Peternakan
Terintegrasi. LaporanTahap II penprinas MP3EI 2011-2015.

Thienpont, et al. 1995. Diagnosing Helminthiasis Through Coprological


Examination, Appleton-Century-Crofts. United State of America

Wiryosuhanto,S. D. Dan Jacoeb, T. N. 1994. Prospek BudidayaTernak sapi.


Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Yeung KJA, Smith A, Zhao A, Madden KB, Elfrey J, Sullivan C. 2005. Impact
of vitamin E or selenium deciency on nematode-induced alteraons in
murine intesnal funcion, Experimental Parasitol 109: 201– 208

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
411
KEJADIAN RABIES di PROVINSI KALIMANTAN BARAT
SELAMA PERIODE 2014 – 2017
drh. Huibert Hendrian Umboh* ; drh. Yudha Dwi Harsanto** ; drh. Tri Hartati Wulandari***

*Laboratorium Keswan dan Kesmavet Prov. Kalbar (veterinary183@yahoo.com)


**Dinas ketahanan Pangan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Kuburaya
(u_dha_vet@yahoo.co.id)
***Laboratorium Keswan dan Kesmavet Prov. Kalbar (wuland_bungas@yahoo.com)

 ABSTRAK

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang menyebar di daerah Kepulauan Kalimantan dan
masih sulit untuk dihilangkan. Tercatat kejadian rabies di Kalimantan mewabah sejak tahun 1974 di
Kalimantan Timur, tahun 1978 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan tahun 1983, dan terakhir
di Kalimantan Barat mewabah penyakit rabies pada tahun 2014 setelah dinyatakan bebas melalui
Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 885/kpts/pd.620/8/2014.

Sejak kasus gigitan pertama terkonfirmasi penyakit rabies di wilayah Kabupaten Melawi dan
Kabupaten Ketapang pada tahun 2014, kasus rabies semakin menyebar luas di wilayah Kalimantan
Barat. hingga tahun 2017, terdapat 12 kabupaten di wilayah Kalimantan Barat teridentifikasi
positif rabies. Berdasarkan data jumlah gigitan dan kasus positif Rabies di wilayah Kalimantan
Barat, peningkatan jumlah kasus gigitan dan koordinasi penanganan bagi tiap daerah tertular perlu
ditingkatkan agar tidak menambah jumlah kasus gigitan dan melindungi Hewan Penular Rabies di
daerah bebas dari infeksi virus rabies.

Sampel yang diterima berupa kiriman yang dicurigai rabies dalam bentuk otak dari hewan
penular rabies dengan kemasan segar dingin dan dilakukan pengujian menggunakan metode
pengujian FAT, RIAD, dan PCR untuk mengkonfirmasi positif Rabies.

Selama tahun 2014 terdapat 116 kasus gigitan dengan jumlah sampel yang dikirim sebanyak
9 sampel, tahun 2015 terdapat 506 kasus gigitan dengan jumlah sampel yang diterima sebanyak 8
sampel, tahun 2016 terdapat 877 gigitan dengan jumlah sampel yang diterima sebanyak 20 sampel,
dan pada tahun 2017 terdapat 2091 kasus gigitan dengan jumlah sampel yang diterima sebanyak
43 sampel. Dari 80 sampel yang diuji, terdapat 65 sampel yang positif rabies dan 15 sampel yang
negative rabies.

PENDAHULUAN

Rabies atau dikenal sebagai Anjing Gila adalah penyakit infeksius yang
menyerang susunan saraf dan dapat berakhir dengan kematian (Suardana,
2005). Penyakit ini dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas dan
bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia) (wheindrata, 2012). Di
Indonesia, 98 persen kasus rabies ditularkan melalui gigitan anjing dan 2
persen ditularkan melalui gigitan kucing dan kera. Rabies pada hewan di
Indonesia sudah ditemukan sejak tahun 1884. Sedangkan kasus rabies pada
manusia di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1894 di Jawa
Barat (Kemenkes, 2010). Rabies di pulau Kalimantan masih menyebar dan
sulit untuk dihilangkan. Tercatat kejadian rabies di Kalimantan mewabah
sejak tahun 1974 di Kalimantan Timur, tahun 1978 di Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan tahun 1983, dan terakhir di Kalimantan Barat mewabah
penyakit rabies pada tahun 2014 setelah sebelumnya Kalimantan Barat

412 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
dinyatakan bebas melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 885/
kpts/pd.620/8/2014.

Sejak kasus gigitan pertama terkonfirmasi penyakit rabies di wilayah


Kabupaten Melawi dan Kabupaten Ketapang di tahun 2014, kasus rabies
semakin menyebar luas di wilayah Kalimantan Barat. hingga tahun 2017,
terdapat 12 kabupaten di wilayah Kalimantan Barat teridentifikasi positif
Rabies. Berdasarkan data jumlah gigitan dan kasus positif Rabies di
wilayah Kalimantan Barat, peningkatan jumlah kasus gigitan dan koordinasi
penanganan bagi tiap daerah tertular perlu ditingkatkan agar tidak menambah
jumlah kasus gigitan dan melindungi Hewan Penular Rabies di daerah bebas
dari infeksi virus rabies.

Unit Laboratorium Keswan dan Kesmavet Dinas Pangan, Peternakan


dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat, melakukan diagnosa
penyakit Rabies dengan melakukan uji FAT, RIAD, sedangkan sampel yang
dikirim ke Balai Veteriner Banjarbaru pengujian juga dilakukan dengan
menggunakan FAT dan PCR.

TUJUAN

Rabies merupakan penyakit menular strategis yang menjadi prioritas


di Indonesia. Besarnya pengaruh yang ditimbulkan dari penyakit ini
terhadap masyarakat memberikan dampak yang sangat besar dalam dunia
kesehatan. Pada kejadian di wilayah Kalimantan Barat, Rabies menunjukkan
peningkatan angka kejadian di setiap tahunnya. Maka perlunya suatu
gambaran terhadap penyebaran penyakit Rabies dari tahun 2014 hingga
tahun 2017, sebagai kajian terhadap pengendalian penyakit Rabies di wilayah
provinsi Kalimantan Barat.

MATERI DAN METODE

1. Pengujian FAT dan RIAD

FAT (Fluorescent Antibody Technique) adalah uji diagnostik dimana


pewarna fluorescent ditambahkan ke jaringan yang mengandung antigen.
Hasilnya menyebabkan wilayah yang ditargetkan bersinar dengan sinar
ultraviolet bila dilihat dengan mikroskop fluorescent. Immunofluorescent
adalah metode imunologi untuk mendeteksi antibodi dari berbagai kelas
immunoglobulin dalam serum, cairan otak dengan cara mereaksikan antibody
dan antigen spesifik dan anti-antibodi yang dilabel dengan Fluorescent
Isothiocyanat (FITC) sehingga terpancar sinar hijau. Prinsip deteksi antigen
rabies pada jaringan otak dengan metode Fluorescent Antibody Technique
(FAT) adalah organ target virus penyebab penyakit rabies yaitu jaringan
sistem syaraf pusat (SSP) otak (khususnya, cerebellum, hipokampus, brain

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
413
stem, Ammon’s horn, thalamus, cerebral cortex dan medulla oblongata)
(Syahrurachman, et.al,1993).

Selain menggunakan uji FAT, metode RIAD (Rabies Immunoperoxidase


Antigen Detection) digunakan sebagai pengujian rabies. RIAD merupakan
metode uji rabies yang murah namun mempunyai tingkat sensitifitas dan
spesifisitas pengujian yang tinggi. Uji ini hanya menggunakan mikroskop
cahaya untuk mendiagnosa sampel. Diharapkan uji ini dapat diaplikasikan
di laboratorium kabupaten dan kota yang tidak mempunyai mikroskop
fluoresent serta menggantikan uji sellers. Prinsip kerja RIAD sama dengan
pewarnaan imunohistokimia yaitu dengan mereaksikan antigen dengan
antibodi spesifik rabies. Ikatan antigen-antibodi rabies ditandai adanya
perubahan warna dengan penambahan substrat tertentu (AEC). RIAD
menggunakan sampel organ otak segar yang di smear pada objek glass yang
telah dicoating,  sedangkan uji imunohistokimia menggunakan organ yang
diblok dengan paraffin cair. Hasil uji RIAD dianalisa dengan menggunakan
mikroskop cahaya. Hasil dikatakan positif jika didapatkan bentukan spot
warna merah atau granul berwarna merah menyala dengan latar belakang
berwarna biru. Sedangkan hasil negatif jika tidak didapatkan bentukan
granul atau spot warna merah (Rahmadani, 2015).

2. Data Rabies

Gigitan HPR
No Kabupaten Keterangan
2014 2015 2016 2017
1 Ketapang 96 322 145 59
2 Melawi 20 184 35 15
3 Sintang 0 84 262 227
4 Kapuas Hulu 0 152 64 174
5 Bengkayang 0 0 164 198
6 Sanggau 0 15 134 909
7 Sekadau 0 6 15 200
8 Landak 0 0 58 206
9 Mempawah 0 0 0 44
10 Singkawang 0 0 0 0
11 Pontianak 0 0 0 0
12 Kuburaya 0 0 0 5
13 Kayong Utara 0 0 0 38
14 Sambas 0 0 0 12
Sampel Uji 9 8 20 43
Positif Rabies 3 6 19 37
Negatif Rabies 6 2 1 6

414 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
   
   
      
 
 

 HASIL
 

 
     
         
      



Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 2 kota














 
dengan luas wilayah 147.307 km yang langsung berbatasan dengan Negara

 
 
 2
 
 
 

 
 
 
 
 
 
Malaysia. Sejak tahun 2010 telah terbukanya akses darat melalui jalan negara

 
 
 
 
 
 

      
transkalimantan disatu sisi menjadi nilai positif mempercepat perkembangan

 













 
ekonomi dengan infrastuktur baik, namun tanpa diimbangi tersedianya pos

   
 
 
 
 

   
 
 
 
 
check point pemeriksaan hewan yang tidak dapat mengawasi lalu lintas

   
 
 
 
 
       
hewan. Hal ini tampak pada perkembangan sebaran Rabies selama tahun
  







 
   
2014 s/d 2017 pada gambar dibawah ini :
  
 
 
 
 

      
      
      
      
















Gambar 1.Kejadian Rabies pada

 Gambar 2. Kejadian Rabies pada

Tahun 2014

 Tahun 2015

















Gambar 3. Kejadian Rabies pada Gambar 4.Kejadian Rabies pada


Tahun 2016 Tahun 2017

Kasus Gigitan Hewan Pembawa Rabies (GHPR) di Provinsi Kalimantan


Barat mengalami peningkatan selama periode Tahun 2014 s/d 2017 yang
tergambarkan pada grafik dibawah ini :

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
415










 909




 227
59
 168

 322 358 174
198
 206
 15
36 100 252
184 200
 152 168
96 84 80
 20 15 26 44 38 12
0 0 0 0 6
0 0 0 0 0 5
0 0 0







Grafik 1. Jumlah GHPR di Provinsi Kalimantan Barat selama Tahun 2014


 s/d 2017


Meningkatnya kasus GHPR diikuti dengan pemberian Vaksin Anti


Rabies (VAR) pada Manusia korban gigitan sesuia dengan protokol tata
laksana kasus gigitan terpadu, sehingga terlihat selama periode 2014 s/d
2017 jumlah yang di VAR mengalami peningkatan.



















Grafik 2. Kasus GHPR yang dilakukan VAR di Provinsi Kalimantan Barat


selama periode 2014 s/d 2017

PEMBAHASAN

            

Provinsi Kalimantan Barat secara historis pernah bebas dari Rabies

dengan
  ketetapan
  Keputusan
 Menteri Pertanian.
   Namun pada
  tahun
 2005
            
terjadi letupan kasus di Kabupaten Ketapang sehingga keluar
 Keputusan
 Menteri Pertanian Nomor
 302/Kpts/PD.620/7/2005
     tentang
Pernyataan
 
   
Berjangkitnya Wabah  Penyakit
   
Anjing Gila 
(Rabies ) di  Ketapang
Kabupaten   

 Provinsi Kalimantan Barat. Dengan penanganan aktif dan cepat kasus Rabies
di Kabupaten
  Ketapang yang
  disinyalir
  tertular
 dari
   Provinsi
Kalimantan



416 
  Penyidikan Penyakit
  Hewan
 Rapat Teknis
 dan Pertemuan
  Ilmiah

dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018

Prosiding
(RATEKPIL)   

            


Tengah dapat dikendalikan sehingga tidak menular ke Kabupaten lainnya.
Hal ini menjadikan Provinsi Kalimantan Barat ditetapkan kembali menjadi
daerah bebas Rabies melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 885/
Kpts/PD.620/8/2014 tentang Pernyataan Provinsi Kalimantan Barat Bebas
Penyakit Anjing Gila (Rabies), namun selang 3 (tiga) bulan dari terbitnya
keputusan ini dilaporkan kasus baru di Kabupaten Melawi dengan hasil
Laboratorium Positif Rabies.

Sejak Tahun 2014, Rabies terus meluas ke Kabupaten lain di Provinsi


Kalimantan Barat. Berdasarkan data dari Dinas Pangan, Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat pada akhir Tahun 2014
terdapat 2 Kabupaten dengan laporan kasus positif yaitu Kabupaten Melawi
dan Ketapang (Gambar 1), kemudian meluas di Tahun 2015 menjadi 3
Kabupaten dengan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai tertular baru (Gambar
2), terjadi peningkatan signifikan pada tahun 2016 dengan meluas ke 5
Kabupaten lain yaitu Kabupaten Sintang, Sekadau, Sanggau, Landak dan
Bengkayang (Gambar 3). Hingga pada tahun 2017 seluruh kabupaten di
Provinsi Kalimantan Barat tertular Rabies dan menyisakan 2 Kota yang
belum terlaorkan kasus aktif rabies yaitu Kota Pontianak dan Singkawang
(Gambar 4).

Jumlah GHPR selama periode 2014 s/d 2017 terjadi peningkatan


signifikan tiap kabupaten di provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2014
terjadi GHPR tertinggi pada Kabupaten Ketapang sebanyak 96 kasus gigitan,
di tahun 2015 terjadi peningkatan kasus GHPR di Kalimantan Barat dengan
jumlah tertinggi juga terjadi di Kabupaten Ketapang sebanyak 322 kasus,
sedangkan tahun 2016 kasus GHPR tertinggi di Kalimantan Barat terjadi di
Kabupaten Sintang sebanyak 358 dan laporan kasus GHPR tertinggi dalam
satu dasawarsa di Kalimantan Barat terjadi pada tahun 2017 sebanyak 909
yang dilaporkan di Kabupaten Sanggau, bahkan terjadinya kasus di Serawak

 (Negara Malaysia) disinyalir berasal dari outbreak di Kabupaten Sanggau.




 2,500 24
30

 2,000 2,087 25
1,908
 20
 1,500 14
11
 15
 1,000 763 724 877 10
 660
 500 5
 116 107 5
 - -
 2014 2015 2016 2017

 GHPR VAR Lyssa



Grafik 3. Situasi Kejadian Rabies di Kalimantan Barat Selama Tahun
 2014-
2017
              
          

Prosiding
  
   

Penyidikan Penyakit 
Hewan
Kesehatan
dan Surveilans 
Rapat
Hewan
 
Teknis

dan
PertemuanIlmiah
 
(RATEKPIL)
    
Tahun 02018
417


               
             
Berdasarkan grafik diatas terjadi peningkatan kasus GHPR pada tahun
2014 ke 2015 sebanyak 647 kasus dengan cakupan VAR pada kasus GHPR
ditahun 2014 sebesar 92% dan tahun 2015 sebesar 95%, sehingga terlihat
penurunan korban gigitan yang meninggal (Lyssa). Ini menggambarkan
telah berhasilnya program Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang
dilakukan di Kalimantan Barat, mengingat di beberapa kabupaten dengan
sosial-budaya masyarakat tertentu yang tidak mau dilakukan penatalaksaan
kasus dengan VAR dan korban gigitan yang meninggal (Lyssa) menurun
menjadi 5 orang. Pada tahun 2016 terjadi peningkatan kasus GHPR sebanyak
114 kasus namun cakupan VAR pada GHPR di tahun ini menurun hanya
sebesar 75%, hal ini terjadi dikarenakan stok VAR secara nasional sangat
sedikit namun kasus GHPR meningkat dan meluas hingga 8 Kabupaten di
Kalimantan Barat, sehingga terlihat korban gigitan yang meninggal (Lyssa)
meningkat menjadi 11 orang. Di tahun 2017 terjadi kasus GHPR dan korban
gigitan meninggal (Lyssa) paling tinggi sejak wabah Rabies ini dilaporkan
pertama kali tahun 2005 di Kalimantan Barat yaitu GHPR sebanya 2.087
kasus dan Lyssa 24 orang dengan sebaran rabies mencapai keseluruh
kabupaten yang ada di Kalimantan Barat (12 Kabupaten) dan menyisakan
Kota Pontianak serta Singkawang yang belum tertular rabies.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kejadian Rabies yang terjadi di wilayah Kalimantan Barat dari tahun


ke tahun semakin meluas. Mulai dari tahun 2014 di dua kabupaten yaitu
wilayah Kabupaten Melawi dan Kabupaten Ketapang hingga di tahun
2017 menyebar ke 12 kabupaten, menyisakan 2 wilayah Kota yaitu kota
Singkawang dan kota Pontianak. Pada tahun 2017 kejadian rabies meningkat
sangat tinggi dibandingkan dengan tahun 2014. Tercatat terdapat 2091 kasus
gigitan Hewan Penular Rabies dengan korban yang meninggal sebanyak
24 orang. Hasil uji Laboratorium untuk penyakit Rabies juga mengalami
peningkatan dari tahun 2014 sebanyak 9 sampel dengan 3 sampel positif
dan 6 sampel negative, dan pada tahun 2017 terdapat 43 sampel rabies dari
wilayah Kalimantan barat dengan 37 sampel positif dan 6 sampel negative.

Perlunya kerjasama berbagai lapisan masyarakat dengan Pemerintah


untuk mengendalikan kejadian rabies yang semakin meluas di wilayah
Kalimantan Barat. Evaluasi keberhasilan vaksinasi diperlukan penilaian dua
arah untuk menentukan titik kritis yang menjadi penyebab keberhasilan atau
ketidakberhasilan suatu program vaksinasi. Jumlah antibody yang terbentuk
di dalam tubuh hewan penular rabies juga menjadi evaluasi penting dalam
menentukan waktu yang tepat untuk pengulangan imunisasi atau booster
guna tetap terbentuknya antibody rabies yang protektif sebagai sabuk kebal
hewan terhadap penyakit Rabies.

418 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KETERBATASAN

Hewan penular Rabies seperti kera, kucing, kelelawar merupakan


hewan yang dapat menularkan rabies dari hewan ke hewan maupun dari
hewan ke manusia, khususnya anjing yang merupakan hewan dengan nilai
sosial budaya serta ekonomis bagi masyarakat. Kegunaannya sebagai hewan
peliharaan, menjaga lingkungan rumah, serta membantu dan pekerjaan
masyarakat untuk melakukan perburuan di hutan, membuat anjing menjadi
hewan yang dekat di beberapa golongan masyarakat. Pada kondisi seperti
ini, memberikan anjing akses yang lebih banyak masuk ke dalam lingkungan
manusia, seperti hal nya kucing. Perdagangan hewan penular rabiespun
seperti anjing dan kucing dari suatu daerah ke daerah lain menjadi salah
satu factor resiko tinggi penyebaran penyakit rabies begitu tinggi. Tidak
ada check point terhadap lalulintas darat antar daerah memberikan peluang
rabies semakin menyebar di wilayah kalbar.

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan, 2010. Hari Rabies Sedunia 2010. http://www.depkes.


go.id/article/print/1221/hari-rabies-seduni a-2010.html

Rahmadani Ibnu. 2015. Rabies Immunoperoxidase Antigen Detection


(RIAD):Solusi Pengujian Rabies Yang Cepat, Akurat, dan Murah.
http://www.bvetbukittinggi.info/artikel/6/rabies-immunoperoxidase-
antigen-detection-riad-solusi-pengujian-rabies-yang-cepat-akurat-
dan-murah.html

Suardana W. I., Soejoedono R. 2005. Buku ajar Zoonosis. Bali. Universitas


Udayana

Syarurahman A, dkk. 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta.


Binarupa Aksara

Wheindrata H.S. 2012. Buku Pintar Kesehatan Anjing Ras. Surakarta (ID).
Lyli Publisher

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
419
INVESTIGASI KEMATIAN SAPI MENDADAK DIDUGA AKIBAT
PNEUMONIA DI TANJUNGSARI, GUNUNGKIDUL
Romli Ainul Kusumo1, Desi Puspita Sari2, Asih Susanti1, Setiyawati3,
Lina Findayani1, Agus Puji Widiyanto1

1
UPT Laboratorium Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul
2
Balai Besar Veteriner Wates, Yogyakarta
3
Puskeswan Tepus Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul
Korespondensi : romli126@yahoo.com

ABSTRAK

Terdapat laporan dari masyarakat tentang adanya kematian sapi Rabu pagi 22 November 2017.
Pelapor adalah sekaligus pemilik bernama Waginem, warga Dusun Wonosobo II, Desa Banjarejo,
Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul. Anamnesa yang didapat hanya bahwa pemilik terakhir
melihat dan memberi pakan sapinya pada sore sebelumnya dengan rumput kalanjana dan pollard.
Pada saat itu kondisi sapi masih sehat, kemudian pemilik mendapati sapinya mati pada keesokan
harinya. Keadaan kandang terlihat lembab dan kotoran menumpuk di dalam kandang, sehingga sapi
sulit bergerak. Berdasarkan laporan dan keterangan dari pemilik, dilakukan bedah bangkai di lokasi
kandang tempat sapi mati. Tanda yang terlihat adalah adanya leleran yang sedikit berbusa dari hidung
dan bercampur sedikit darah. Perubahan makroskopik pada organ hanya terjadi pada paru-paru dan
jantung, dimana keduanya terlihat hiperemia. Namun demikian tetap diambil beberapa sampel organ
untuk mengetahui ada tidaknya perubahan mikroskopis pada organ, baik yang mengalami perubahan
maupun yang tidak mengalami perubahan seperti misalnya ginjal, hati, dan usus serta diambil sampel
isi rumen untuk mengetahui ada tidaknya residu pestisida. Sampel-sampel tersebut dibawa ke Balai
Besar Veteriner (BBVet) Wates, Yogyakarta untuk uji laboratorium lebih lanjut. Hasil pemeriksaan
di laboratorium BBVet Wates menunjukkan tidak adanya residu pestisida pada pakan dan isi rumen
sapi. Sedangkan dari pemeriksaan histopatologi, diketahui bahwa paru-paru dan ginjal mengalami
hemoragi, hati terlihat degenerasi pada centrolobuler, sedangkan jantung mengalami kongesti. Pada
isolasi bakteri terhadap sampel organ, ditemukan bakteri Streptococcus sp. pada hati dan paru-paru.
Dari pengamatan kondisi kandang, hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium, diduga bahwa sapi
yang mati mendadak mengalami pneumonia.

Kata kunci : sapi, pneumonia, lembab

PENDAHULUAN

Kabupaten Gunungkidul terkenal sebagai gudang ternak di D.I.


Yogyakarta, hal ini karena Gunungkidul memiliki populasi ternak (sapi)
paling tinggi di D.I. Yogyakarta yaitu 148.586 ekor pada tahun 2016 (BPS,
2017). Kondisi ini merupakan potensi yang luar biasa, namun juga dibarengi
dengan resiko timbulnya penyakit hewan yang tinggi pula.

Perkembangan penyakit hewan berlangsung sangat dinamis dan cepat,


banyak penyakit hewan yang mengalami perubahan, misalnya perubahan
pada gejala klinis, perubahan pada tingkat infeksi, perubahan onset penyakit,
dan lain-lain. Kondisi peternak di Gunungkidul yang masih menjalankan
peternakannya secara tradisional sedikit banyak juga mempengaruhi
munculnya penyakit ternak. Higiene sanitasi kandang yang buruk sangat
berpotensi menimbulkan penyakit, kotoran sapi yang dibiarkan menumpuk di
tengah-tengah kandang merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan

420 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
bakteri. Salah satu penyakit yang dapat terjadi pada sapi adalah Pneumonia.
Pneumonia adalah peradangan pada jaringan paru-paru. Pneumonia pada
sapi umum terjadi dan merupakan permasalahan yang cukup serius (Maas,
2008). Peradangan pada paru-paru ini dapat disebabkan oleh agen infeksius,
masuknya benda asing, senyawa kimia dari pakan, dan beberapa sebab yang
lain. Manajemen pemeliharaan semi intensif seperti mengandangkan hewan
terus-menerus, sanitasi kandang yang buruk (lembab atau berdebu), ventilasi
udara yang jelek, populasi hewan yang berlebihan dalam satu kandang (over
crowding), merupakan faktor-faktor yang mendukung terjadinya pneumonia.

Nekropsi merupakan salah satu teknik diagnosis penyakit hewan.


Wagner (2007) menyebutkan bahwa nekropsi bertujuan untuk mendiagnosis
penyakit pada individu hewan dan membuat keputusan terkait kesehatan
dan manajemen peternakan. Wawancara kepada peternak merupakan kunci
penting sebelum melakukan nekropsi, karena dengan wawancara akan
mengarahkan dan mengerucutkan diagnosis, sehingga pengambilan contoh/
sampel menjadi lebih spesifik.

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium Kesehatan Hewan Dinas


Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul memiliki fungsi salah
satunya adalah melaksanakan pengamatan dan penyelidikan penyakit
hewan. Bersama Pusat Kesehatan Hewan Tepus Dinas Pertanian dan Pangan
Kabupaten Gunungkidul dan Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta,
dilakukan penyelidikan terhadap kematian sapi di Kecamatan Tanjungsari,
Kabupaten Gunungkidul.

TUJUAN

Investigasi ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab


terjadinya kematian sapi mendadak milik Waginem beralamat di Dusun
Wonoboyo II, Desa Banjarejo, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten
Gunungkidul.

MATERI DAN METODE

Dalam melaksanakan investigasi, UPT Laboratorium Kesehatan Hewan


Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul bekerja sama dengan
Puskeswan Tepus yang membawahi wilayah kecamatan Tanjungsari dan
Balai Besar Veteriner Wates, Yogyakarta.

Sapi mati sebanyak satu ekor milik Waginem dengan alamat Dusun
Wonosobo II, Desa Banjarejo, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten
Gunungkidul. Sapi berada di dalam kandang dalam posisi rebah kiri.
Kami memutuskan untuk melakukan nekropsi di lokasi setelah melakukan
pengamatan terhadap tanda-tanda dan kondisi fisik sapi. Kami melaksanakan
prosedur standar untuk nekropsi hewan besar, meskipun dengan alat yang
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
421
terbatas, seperti pisau dan gunting bedah, pisau besar untuk membuka rongga
dada, dan beberapa alat yang lain. Untuk keperluan pengujian histopatologi,
kami menyiapkan formalin 10% untuk menyimpan contoh organ yang
mengalami perubahan. Beberapa contoh organ kami simpan dalam kondisi
segar dalam cooler berisi es untuk keperluan isolasi bakteri. Contoh organ
yang kami ambil adalah usus, paru-paru, jantung, ginjal, omasum, abomasum,
rumen dan hati untuk keperluan pengujian histopatologi dan isolasi bakteri.
Selain itu kami juga mengambil contoh pakan sapi (rumput dan konsentrat),
isi usus, isi rumen untuk keperluan pengujian kandungan pestisida. Yang
terakhir kami mengambil contoh darah kapur (cairan bercampur darah
yang keluar dari hidung) untuk keperluan pengujian isolasi dan identifikasi
Anthrax.

Semua contoh organ, pakan dan darah kapur dikirim ke Balai Besar
Veteriner Wates, Yogyakarta. Dan untuk keperluan pelaporan, kejadian sapi
mati ini dilaporkan ke ISIKHNAS.

HASIL

Laporan adanya kematian sapi diterima UPT Laboratorium Kesehatan


Hewan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul pada hari Rabu
tanggal 22 November 2017. Bersama dengan Puskeswan Tepus dan Balai
Besar Veteriner Wates, kami mendatangi lokasi. Saat tiba di kandang, kondisi
sapi masih sama seperti pada saat mati (pemilik tidak memindah). Kandang
terletak terpisah dari rumah pemilk cukup jauh yakni berada di area ladang
yang cukup berbukit dengan berbagai tanaman dan persawahan di bagian
bawah kandang. Yang kami lihat adalah kondisi kandang dengan sanitasi
yang buruk. Kotoran sapi menumpuk di dalam kandang, kemungkinan
hingga setinggi setengah kaki sapi di semua ruangan kandang. Kondisi
kandang sangat lembab.

Kepada pemilik, kami mengajukan beberapa pertanyaan sebelum


melakukan tindakan lebih lanjut terhadap sapi yang mati. Dari wawancara,
kami mendapati bahwa sapi pada sore hari sebelumnya (21 November
2018) masih dalam keadaan yang baik menurut pemilik, karena pada saat
itu, pemilik ke kandang untuk memberi pakan dan sapi masih mau makan
serta tidak ada tanda dan gejala sakit. Pakan yang diberikan adalah rumput
kalanjana dan konsentrat (pollard). Karena lokasi kandang yang terpisah
cukup jauh dari rumah pemilik, maka pemilik tidak bisa mengamati sapinya
setiap saat, biasanya ke kandang dua atau tiga kali sehari saat memberi pakan.

Kami kemudian melakukan pemeriksaan kondisi luar/fisik sapi.


Sapi berada pada posisi rebah kiri dengan sebagian kaki masih terpendam
genangan kotoran sapi, kondisinya sudah cukup kaku, kemungkinan mati
antara malam hingga dini hari. Tidak ada tanda-tanda eksternal yang

422 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
mencolok, tidak ada darah yang keluar dari lubang-lubang alami, kecuali
adanya cairan berbusa berwarna kemerahan yang keluar dari hidung namun
dengan volume yang tidak banyak. Kami mengambil sampel dairan tersebut
dengan kapur untuk pengujian identifikasi anthrax. Perut cukup membesar.
Selain tanda-tanda tersebut tidak ditemukan tanda lain yang menciri. Oleh
karena itu, kami memutuskan untuk melakukan nekrospi.

Nekropsi kami lakukan di lokasi. Kami mengamati semua organ secara


makroskopis, perubahan yang terjadi hanya terlihat pada paru-paru dan
jantung. Keduanya mengalamihiperemia, warna lebih kemerahan. Sedangkan
organ-organ yang lain tidak mengalami perubahan. Namun demikian, kami
tetap mengambil sampel beberapa organ yang tidak mengalami perubahan,
diantaranya ginjal, hati, dan usus. Hasil histopatologi menunjukkan bahwa
paru-paru dan ginjal mengalami hemoragi, hati terlihat degenerasi pada
centrolobuler, sedangkan jantung mengalami kongesti, usus tidak mengalami
perubahan.

Dari pemeriksaan isolasi bakteri terhadap sampel organ, ditemukan


bakteri Streptococcus sp. pada hati dan paru-paru. Sedangkan pemeriksaan
kandungan pestisida terhadap sampel pakan dan isi rumen menunjukkan
hasil negatif. Sampel darah kapur juga menunjukkan negatif anthrax.

PEMBAHASAN

Kondisi sapi dengan tanda-tanda yang tidak spesifik dan minimum,


cukup sulit bagi kami untuk membuat diagnosis sementara. Apalagi sapi
tidak menunjukkan tanda-tanda sakit pada sore hari sebelumnya. Sehingga
kami menyimpulkan kematian ini mendadak. Gejala atau tanda yang terlihat
adalah adanya leleran yang berbusa berwarna kemerahan keluar dari lubang
hidung kanan. Sesuai dengan pendapat Furber (2016) yang mengatakan
bahwa perubahan gejala pada pernapasan berbeda-beda tergantung jenis
dan tingkat pneumonia, termasuk perubahan kecepatan dan kedalaman
napas, leleran hidung dan batuk.Hewan biasanya akan menunjukkan gejala
bernapas dengan cepat dan dangkal dengan mulut yang terbuka, dimana jika
terjadi dengan cepat, dapat segera menyebabkan kematian akibat hipoksia
(Kerr, 1989). Karena lokasi kandang yang berjauhan dengan rumah pemilik,
tidak diketahui apakah sapi mengalami batuk pada malam atau dini harinya.
Kerr (1989) menjelaskan bahwa interstitial pneumonia sering diawali dengan
gangguan pernapasan akut pada hewan yang secara klinis normal 12 jam
sebelumnya.

Namun dengan pertimbangan setelah melihat kondisi fisik dan tanda


eksternal sapi, kami melakukan nekropsi. Secara makroskopis, beberapa
organ dalam sapi tidak mengalami perubahan, hanya paru-paru dan jantung
yang terlihat hiperemia. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
423
bahwa paru-paru mengalami hemoragi atau perdarahan dan emfisema.
Biasanya, pemeriksaan mikroskopik paru-paru yang mengalami pneumonia
menunjukkan adanya penebalan septa pulmonum interlobuler akibat oedema
dan oedema interstisialis serta empfisema (Coelho et al., 2017). Sedangkan
jantung mengalami kongesti, hati menunjukkan degenerasi pada centrolobuler
dan ginjal mengalami hemoragi. Hasil pemeriksaan histopatologi tersebut
menurut kami juga bersifat tidak spesifik. Namun berdasarkan keterangan
dari pemilik, kondisi kandang, tanda eksternal, makroskopis dan pemeriksaan
histopatologi, kami menduga bahwa sapi mati dikarenakan pneumonia.
Dimana pneumonia pada sapi terdiri dari beberapa tipe dan tingkatan dengan
penyebab yang bervariasi. Furber (2016) yang menyebutkan bahwa beberapa
penyebab interstitial pneumonia adalah virus, migrasi larva, senyawa kimia
dari pakan,reaksi alergi, debu dan spora dari pakan yang berjamur, serta gas
beracun (amonia, asap).

A B C

D E F

A : Kondisi kandang dan proses nekropsi; B : Leleran berbusa dari hidung,


dan kami ambil sampel darah kapur; C : Kondisi organ (makroskopis);
D : Hemoraghic pneumonia dan emfisema; E : Hemoraghic pneumonia dan
emfisema; F : Kongesti jantung

Salah satu bentuk pneumonia adalah pneumonia bakterial, artinya bahwa


pneumonia yang terjadi disebabkan oleh infeksi bakteri. Dari sampel organ
paru-paru, hanya terisolasi bakteri Streptococcus sp., temuan ini tidak sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh Maas (2008) bahwa beberapa bakteri
yang bisa ditemukan pada sapi dengan pneumonia diantaranya Mannheimia
hemolytica (sebelumnya Pasteurella hemolyticum), Pasteurella multocida
Histophilus somni (sebelumnya Hemophilus pyogenes) (Maas, 2008).
Sehingga kami mempunyai dugaan bahwa sapi mengalami pneumonia bukan
karena infeksi bakteri Streptococcus sp.

424 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kondisi kandang yang penuh dengan kotoran sapi kami duga memiliki
peran yang penting terhadap kondisi sapi yang mati. Tingginya kadar amonia
yang dihasilkan dari kotoran kemungkinan juga berpengaruh. Lingkungan,
mikroba dan kekebalan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkatan pneumonia pada sapi (Furber, 2016).

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari tanda luar berupa leleran berbusa yang berwarna kemerahan, kondisi
kandang dengan sanitasi yang buruk, pengamatan perubahan makroskopis
organ, terutama paru-paru dan hasil pemeriksaan histopatologi paru-paru,
kami menduga bahwa sapi milik Waginem dengan alamat Dusun Wonosobo
II, Desa Banjarejo, Kecamatan Tanjungsari mati karena pneumonia.

Kami menyarankan kepada pemilik untuk lebih menjaga sanitasi dan


higienitas kandang, sehingga meminimalkan timbunan gas yang dihasilkan
dari kotoran yang menumpuk dan menurunkan potensi perkembangan
bakteri. Selain itu, manajemen kesehatan perlu ditingkatkan seperti misalnya
dengan pemberian vitamin dan obat cacing secara rutin untuk menjaga daya
tahan tubuh hewan.

Dalam hal investigasi, kami berharap memiliki alat nekropsi dan bahan
pemeriksaan yang lebih baik, sehingga proses investigasi dan pemeriksaan
bisa lebih akurat.

LIMITASI

Keterbatasan alat dan bahan membuat investigasi ini menjadi lebih sulit.
Selain itu, gejala atau tanda yang muncul serta perubahan makroskopis organ
yang minimal membuat diagnosis juga lebih sulit.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Gunungkidul. 2017. Kabupaten Gunungkidul dalam Angka


2017. Gunungkidul : BPS Kabupaten Gunungkidul

Coelho ACB, Oliveira PA, dos Santos BL, Estima-Silva P, Scheid HV, de
Souza Leal SDCB, Marcolongo-Pereira C, dan Schild AL. 2017.
Atypical Bovine Intertitial Pneumonia in A Semi-Intensive Beef Cattle
System. Ciência Rural 47 (11)

DOSTER, A.R. 2010. Bovine atypical interstitial pneumonia. Veterinary


Clinical Food Animal. 26, hal.395-407. Tersediapadahttps://www.
google.com.br/#q=doi:10.1016/j. cvfa.2010.03.002. [Diaksespada 26
Maret 2018]. doi: 10.1016/j. cvfa.2010.03.002.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
425
Furber D. 2016. Pneumonia : The Disease That Won’t Go Away. Canadian
Cattlemen Magazine [Internet]. [Diunduh 26 Maret 2018]; Tersedia
pada https://www.canadiancattlemen.ca/2016/09/16/pneumonia-the-
diasease-in-cattle-that-just-wont-go-away/#.WriMYsGY8EE.mailto

Kerr LA. 1989. A Review of Interstitial Pneumonia in Cattle. Vet.Hum.


Toxicol. 31 (3) : 247-54

Maas J. 2008. Treating Pneumonia in Beef Cattle. California Cattlemen


Magazine [Internet]. Diunduh 26 Maret 2018]; Tersedia pada www.
vetmed.ucdavis.edu

Wagner S. 2007. Necropsy Techniques in Cattle. North Dakota (US) : North


Dakota State University

426 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
APLIKASI DRIT (DIRECT RAPID
IMMUNOHISTOCHEMISTRY TEST ) UNTUK MENDETEKSI
ANTIGEN VIRUS RABIES PADA JARINGAN OTAK.
Ibnu Rahmadani1. Yul Fitria2

Laboratorium Patologi , Balai Veteriner Bukittinggi1


Laboratorium Virologi, Balai Veteriner Bukittinggi2
ibnurahmadani@gmail.com

ABSTRAK

Rabies merupakan salah satu penyakit hewan yang memberikan efek secara langsung bagi
kesehatan masyarakat di Indonesia. Hasil pengujian laboratorium merupakan dasar pemberian Vaksin
anti rabies bagi manusia yang tergigit HPR, namun tidak semua daerah mempunyai laboratorium yang
mampu melakukan pengujian rabies. dRIT (direct Rapid Immuohistochemistry Test) merupakan
metode pengujian antigen virus rabies yang tanpa menggunakan mikroskop fluoresen yang sudah
direkomendasikan oleh OIE. 60 (enam puluh) otak anjing tanpa pengawet yang diduga terinfeksi
virus rabies digunakan sebagai sampel. Dilakukan pembuatan preparat ulas otak lalu difiksasi dalam
Buffer Formalin 10%, lalu direaksikan dengan mouse anti rabies Biotinilated (Ab.Com.China) dan
streptavidin peroksidase (dako). Hasil pengujian divisualisasikan dengan menggunakan substrat
AEC (amino-9-ethyl carbazole) kemudian diamati dengan mikrokop cahaya. Hasil pengujian
menunjukkan, 60 sampel yang diuji menunjukkan 45 sampel positif antigen virus rabies dan 15
sampel negatif virus rabies. Pengujian dRIT jika dibandingkan dengan uji dFAT menunjukkan
sensitifitas dan spesifisitas sebesar 100%. Metode dRIT dapat diterapkan untuk pengujian antigen
virus rabies di laboratorium yang tidak memiliki mikroskop fluoresens.

Kata kunci : Rabies, dRIT, antigen, virus

PENDAHULUAN

Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang masih menjadi


permasalahan bagi kesehatan masyarakat di Indonesia. Usaha pengendalian
dan pemberantasan penyakit rabies telah dilaksanakan namun sampai saat
ini dari tiga puluh tiga propinsi yang ada di Indonesia baru 9 (sembilan)
propinsi yang bebas dari penyakit rabies. Hewan yang diduga terinfeksi
virus rabies wajib dilakukan pemeriksaan laboratorium, dikarenakan gejala
klinis dan perubahan patologi anatomi yang muncul kadang tidak spesifik.
dFAT merupaka gold standard pengujian rabies (OIE, 2008), namun uji ini
membutuhkan mikroskop fluoresens yang tidak semua laboratorium memiliki.
Pengujian rabies non fluoresen yang telah dikembangkan selama ini antara
lain RIAD (Rabies indirect antigen detection) (Rahmadani I, et al 2017)
dan dRIT (direct rapid immunohistochemistry test) yang telah dimodifikasi
(Damayanti , et al 2012). Studi ini bertujuan mengaplikasikan pengujian
antigen rabies dengan metode dRIT sesuai dengan yang disarankan oleh OIE
(2008). Diharapkan metode ini dapat diaplikasikan untuk pengujian rabies
di laboratorium yang tidak memiliki mikroskop fluoresen

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
427
TUJUAN

Studi ini bertujuan untuk mengaplikasikan metode dRIT yang telah


direkomendasikan oleh OIE untuk medeteksi antigen virus rabies pada
organ otak hewan yang diduga terinfeksi virus rabies tanpa meggunakan
mikroskop fluoresen.

MATERI DAN METODE

Enam puluh (60) otak tanpa pengawet dari hewan yang diduga
terinfeksi virus rabies yang berasal dari wilayah kerja Balai Veteriner
Bukittinggi digunakan sebagai sampel. Dilakukan pembuatan preparat
smears otak, lalu preparat difiksasi dalam formalin 10% selama 10 menit.
Untuk memblok reaksi endogenouse peroksidase ditambahkan H2O2 3%
pada preparat diinkubasikan selama 10 menit, pencucian pada setiap tahapan
menggunakan PBST. Selanjutnya pada preparat ditambahkan mouse anti
rabies biotinilated (AB.Com. China) dengan perbandingan 1:200 (Ye Feng et
al., 2018 kemudian diinkubasikan selama 10 menit lalu dicuci dengan PBST,
ditambahkan streptavidin peroksidase diinkubasikan selama 10 menit. Hasil
pengujian divisualisasikan dengan menggunakan subtrat Amino-9-Ethyl
Carbazole (AEC). Counter stain dengan menggunakan mayer hematoksilin

kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan


pembesaran obyektif 20x atau 40x. Hasil positif antigen virus rabies jika
terdapat bentukan granul atau bulatan warna merah terletak di dalam maupun
di luar sel neuron. Hasil dinyatakan negatif jika tidak didapatkan deposit
antigen virus rabies berwarna merah.

Hasil pengujian dRIT dibandingakan dengan hasil pengujian dFAT yang


merupakan god standard dalam pengujian rabies.

HASIL

Dari hasil pengujian 60 sampel otak dengan uji dRIT menunjukkan 45


(75%) sampel positif antigen virus dan 15 (25%) sampel negatif antigen
virus rabies. Pada preparat yang menunjukkan positif antigen virus rabies
didapatkan betukan granul, bulat, berwarna merah dalam sel saraf atau diuar
sel saraf (gambar a,b,c). Hasil negatif jika tidak ddapatkan deposit antigen
warna merah (gambar d). Jika dibandingkan dengan hasil pengujian dFAT
menunjukkan sensitifitas pengujian dRIT 100% dan spesifisitas juga 100%.

428 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding

 
 
 

 
 


Gambar.  C
A, B,   Tanda
 panah
 menunjukkan
 antigen
 virus
 rabies
 positif


berwarna merah berbentuk bulatan, oval atau elips. pembesaran 20x . Gambar

D . Kontrol negatif. Pembesaran 20x


60 (enam puluh) sampel otak 7 (tujuh) sampel berasal dari kucing, dan 53

sampel berasal dari anjing. Lima dari tujuh sampel otak kucing menunjukkan
 positif
hasil  (72%)
 dan
 40
 dari
 53
 sampel
 otak
 njing
 menunjukkan
 hasil


positif (75%) , rincian terlihat dalam tabel .

 Hasil
Tabel. 
pengujian dRIT dan dFAT


dRIT 
dFAT

Jenis Hewan

Positif 
Negatif 
Positif 
Negatif

Anjing 
40 
13 
40 
13

Kucing 5 2 5 2
 
45 
15 
45 
15


PEMBAHASAN

 hasil
Dari  pengujian
 preparat
 ulas
 otak
 hewan
 yang
 diduga
 rabies

 metode
dengan  dRIT
 menunjukkan
 hasil yang
 sama
 jika
 dibandingkan

 pengujian
dengan  dFAT
 hal
 ini
 menunjukkan
 sensitifitas
 pengujian
 dRIT

      
sebesar 100% dan spesifisitasnya juga 100%. Metode dRIT merupakan  
 satu
salah  pengujian
 antigen
 virus
 rabies
 tanpa
 menggunakan
 mikroskop

fluoresen yang telah direkomendasikan oleh OIE. Metode ini menggunakan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
429
reaksi antigen dan antibodi spesifik (lembo et al, 2006). Uji ini sangat aman
dilakukan di laboratorium karena preparat ulas otak telah difiksasi dalam
formalin 10% selama 10 menit dipastikan virus rabies telah diinaktifasi
(lembo et al., 2006). Dari hasil pengujian otak hewan berasal dari anjing
dan kucing hal ini menunjukkan metode ini dapat diaplikasikan untuk
beberapa spesies hewan dengan hasil yang sama akuratnya. Pada studi ini
menggunakan sampel otak segar maupun yang disimpan dalam freezer
– 80ͦC selama 1 tahun, menurut Durr et al., (2008) sensitifitas pengujian
dRIT akan menurun dibandingkan dFAT pada sampel dengan kualitas yang
kurang baik. Secara umum dRIT dapat dijadikan alternatif pengujian rabies
selain dFAT, khususnya bagi laboratorium yang tidak memilik mikroskop
fluoresen. Kemudaha penyediaan reagen merupakan salah satu faktor dalam
rangka keberlanjutan pengujian dRIT di laboratorium

KESIMPULAN DAN SARAN

1. dRIT mempunyai tingkat sensitifitas yang sama dengan dFAT


2. direct Rapid mmunohistochemistry Test (dRIT) dapat diaplikasikan
untuk mendeteksi antigen virus rabies tanpa menggunakan miokroskop
fluoresen
3. Perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan sampel yang telah
diawetkan dalam gliserin

DAFTAR PUSTAKA

Damayanti R, Rahmadani I, Fitria Yul, 2014. Deteksi virus rabies pada ulas
otak dengan direct Immunohistochemistry Test. JITV 19 (1) : 52-58.

Durr S, Naissenger S, Mindekem R, Diguimbye C, Niezgoda M, Kuzmin


I, Rupprecht CE,Ziinstag J, 2008. Rabies Diagnosis for developing
countries. PLos.Negl.Trop.Dis. 2. e200.

Ibnu Rahmadani, Andrea F. Certoma, Grantley.R. Peck, Yul Fitria, Jean


Payne, Axel Colling, Brian J. Shiell, garry Beddome, Susanne Wilson,
Meng Yu, Chris Morrissy, Wojtek P. Michalski, Ian A. Gardner, Jhon
D. Allen. 2017. Development and Validation of an Immunoperoxidase
Antigen Detection Test for Improved Diagnosis og Rabies in Indonesia.
PLOS. Negl. Trop. Dis. 2017 11 (11); e0006079.

Lembo T, Niezgoda M, Villa AV, Cleaveland, S, Ernest E, Rupprecht CE.


2006. Evaluation of a direct Rapid Immunohistochemical Test for
rabies diagnosis. EmergInfect Dis. 12:310-314.

[OIE] Office International des Epizootics. 2008. Rabies. Manual standard for
diagnostic tests and vaccines. Volume 1. OIE. Paris. p. 304-322.

430 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Ye Feng, Muyang Wang, Tingfang Liu, Yan Zhang, Zhongzhong Tu,
Huancheng Go, Cuijuan Zhang, Renying Zhu, Wenlin Ren, Le Sun,
Weidi Xu, Yuyang Wang, Maohua Li. 2018 Evaluation of monoclonal
antibody-basedirect, rapid immunohistochemical testfor rabies
diagnosis. Jviromet 256(2018) 12-16.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
431
REISOLASI KANDIDAT MASTERSEED VIRUS TANTANG
HIGH PATHOGENIC AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1
Ramlah, Hidayanto K, Natih KKN, Suryanti S, Suryati S, Mukartini S

BBPMSOH

ABSTRAK

Virus AI subtype H5N1 masih menjadi perhatian utama. Berdasarkan hasil pertemuan IVM
tahun 2015-2016 diperoleh 4 kandidat virus tantang yang akan dipergunakan untuk uji efikasi dan
potensi vaksin AI yang beredar di Indonesia. Isolat masterseed virus AI diperoleh dari BBVet Wates,
yang kemudian dimurnikan di BBPMSOH. Isolat virus AI H5N1 diberi kode A (A/chicken/Barru/
BBVM41-13/2013 clade 2.1.3), kode B (A/duck/Tanah Laut/0514095/2014 clade 2.3.2), kode C (A/
chicken/Semarang/04141225-07/2014 clade 2.3.2.1c) dan kode D (A/chicken/Sleman/BBVW-1908-
12/2012 clade 2.1.3). Reisolasi virus AI dilakukan dengan pengenceran 102 dan 103. Virus AI H5N1
diinfeksi pada telur SPF umur 10 hari. Pengamatan terhadap telur terinfeksi dilakukan selama 2 hari.
Terjadi kematian embrio pada hari pertama dan kedua post infeksi. Pada saat kematian embrio, telur
terinfeksi selanjutnya disimpan pada suhu 4oC selama 12 jam, kemudian diambil cairan allantoisnya
dan diamati gejala klinis embrio. Selanjutnya dilakukan uji aglutinasi dengan hasil positif aglutinasi
cepat dan lambat. Kemudian dilakukan uji HA-HI untuk memastikan virus tidak terkontaminasi
ND, EDS dan murni virus AI. Masterseed virus AI dilanjutkan sampai pasase ke 4 dengan prosedur
limited dilution pada telur SPF dengan pengenceran 103 sampai dengan 108. Isolat virus Kode A
dilakukan sampai pada pasase ke 3 dengan titer HA peningkatan titer sebesar 512 HAU (9log2).
Isolat virus Kode B, C dan D dilanjutkan sampai pada pasase ke 4. Isolat virus Kode C menunjukkan
peningkatan titer sebesar 256 HAU (8log2). Berdasarkan kenaikan titer pada tiap pasase dan gejala
klinis embrio, isolat virus kode A dan C dipilih sebagai masterseed virus tantang AI. Selanjutnya
virus AI kode A dan C dititrasi di telur SPF dan sel CEF. Titer virus AI kode A ditelur SPF adalah
108,3 EID50 dan pada kode C adalah 108,7 EID50. Titer virus AI kode A pada sel CEF adalah 108,5TCID50
dan pada kode C adalah 108,75 TCID50.

Kata Kunci : AI, Reisolasi, H5N1, Hemaglutinasi, EID50

PENDAHULUAN

Virus avian influenza H5N1 bersifat pathogen dan menarik banyak


perhatian selama ini, karena telah terjadi wabah pada unggas domestik
maupun liar. Tingkat virulensi virus pun meningkat tidak hanya pada unggas,
burung liar namun dapat pula menginfeksi spesies mamalia. Virus AI H5N1
yang sangat patogenik di Asia terjadi pada unggas dan sangat menular dan
mematikan. Virus ini pertama kali terdeteksi pada tahun 1996 pada angsa di
Cina. H5N1 Asia pertama kali terdeteksi pada manusia pada tahun 1997 saat
terjadi wabah unggas di Hong Kong dan sejak itu terdeteksi pada unggas dan
burung liar di lebih dari 50 negara di Afrika, Asia, Eropa, dan Timur Tengah.
Enam negara dianggap endemik untuk virus HPAI H5N1 Asia pada unggas
(Bangladesh, China, Mesir, India, Indonesia, dan Vietnam).

Di Indonesia program vaksinasi masih menjadi salah satu cara daam


menanggulangi kasus AI sejak tahun 2004. Berbagai merk vaksin AI telah
beredar namun masalah AI maasih menjadi perhatian bagi pihak yang
berkecimpung di sektor perunggasan. Dalam rangka memonitor penyebaran

432 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
penyakit AI, pemerintah Indonesia kini menerapkan sistem monitoring AI
secara on line. Pelaksanaan Program Influenza Virus Monitoring secara
Online (IVM Online) merupakan langkah strategis untuk dapat secara mudah
dan cepat memantau perkembangan sirkulasi virus AI serta mendeteksi
varian-varian virus baru.Berdasarkan hasil pertemuan tim monitoring virus
influenza dan investigasi epidemiologi molekular Virus HPAI tahun 2014-
2016, maka dilakukan uji reisolasi kandidat virus tantang AI H5N1 yang
telah diperoleh dari BBVET Wates untuk dipergunakan uji efikasi dan
potensi terhadap vaksin AI yang beredar di Indonesia.

TUJUAN

Tujuan studi ini untuk reisolasi kandidat virus tantang AI H5N1 untuk
dipergunakan uji efikasi dan potensi terhadap vaksin AI yang beredar.

MATERI DAN METODE

Materi

Isolat AI Virus sebanyak 4 sampel, telur ayam berembrio (TAB) Specific


Pathogen Free (SPF) bertunas umur 9-11 hari, Posphat buffer Saline (PBS),
pennicilin streptomicyn (PS) , sel Chicken Embrio Fibroblast (CEF), serum
AI H5N1, Serum Newcastle Disease (ND) dan serum Egg Drop Syndrom
(EDS). Safety cabinet, inkubator telur, sentrifuge dingin, tabung sentrifuge,
stirrer, micropippet dan tip, microplate 96 well, microplate 24 well

Tabel 1. Kandidat Virus AI H5N1 berasal dari BBVET WATES

No Sampel Virus AI H5N1 Kode


1 A/chicken/Barru/BBVM41-13/2013 clade 2.1.3 A
2 A/duck/Tanah Laut/0514095/2014 clade 2.3.2 B
3 A/chicken/Semarang/04141225-07/2014 clade 2.3.2.1 c C
4 A/chicken/Sleman/BBVW-1908-12/2012 clade 2.1.3 D

Metode

Reisolasi virus AI dilakukan dengan pengenceran 102 dan 103, hasil


pengenceran difilter dengan ukuran 0,45µ. Virus AI H5N1 diinfeksi pada
TAB SPF umur 10 hari. Pengamatan dilakukan tiap hari. Embrio yang mati
disimpan pada suhu 40C selama kurang lebih 12 jam. Kemudian diambil
cairan allantoisnya dan diamati gejala embrionya, Selanjutnya dilakukan uji
aglutinasi cepat menggunakan RBC 3% dan lambat RBC 1%. Kemudian
dilakukan uji HA-HI untuk memastikan virus tidak terkontaminasi ND, EDS
dan murni virus AI. Kandidat Masterseed virus AI dilanjutkan sampai pasase
ke 4 dengan prosedur limited dilution pada telur SPF dengan pengenceran

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
433
103 sampai dengan 108.Kandidat masterseed virus AI kemudian dipropagasi
dengan pengenceran 103 dan diinfeksi pada telur SPF umur 10 hari sebanyak
20 butir telur. Selanjutnya di titrasi pada telur SPF dengan pengenceran 105
sampai dengan 108. Dan juga dititrasi pada sel CEF dengan pengenceran 101
sampai dengan 1010. Metode uji HA- HI (OIE, 2012)

Titrasi pada sel Chicken Embrio Fibroblast (CEF)

Larutan tripsin 0,025% sebanyak 15 ml ditambahkan kedalam larutan


PBS sebanyak 135 ml dipanaskan pada suhu 370C di waterbath. Telur SPF
umur 8 hari dicandling untuk melihat embrio yang hidup, kulit telur lalu
dibersihkan dengan kapas alkohol. Cawan petri disiapkan, kerabang telur
dipecahkan, embrio diambil dan embrio dimasukkan ke dalam cawan petri,
dipisahkan kepala, kaki, sayap dan organ visceral, kemudian dicuci dengan
PBS+PS1%. Embrio dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 100
ml PBS+PS1% dan distirrer 5 menit, kemudian cairan bagian atas dibuang
hati-hati. Tripsin hangat ditambahkan dan distirrer lagi selama 10-15 menit.
Suspensi sel disaring dengan filter kawat kemudian di sentrifuge dengan
kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Selanjutnya supernatan dibuang, dan
pellet yang didasar tabung ditambahkan media GM sebanyak 5 ml dan
dilakukan pipeting dengan menggunakan pipet komagome ke masing-
masing tabung sentrifuse, kemudian larutan media sel dijadikan ke satu
tabung, disentrifuse kembali dengan kecepatan 3000 rpm, selama 5 menit.
Kemudian supernatan dibuang dan pellet sel ditambahkan GM sebanyak 20
ml, dilakukan pipeting dan disaring menggunakan filter kawat dan dilakukan
penghitungan sel dengan menggunakan kamar hitung. Penghitungan sel
sebanyak 106 (1 Juta Sel), dan ditambahkan media GM sesuai kebutuhan.
kemudian didistribusikan pada plate 96 well sebanyak 100µl. Pengenceran
virus dibuat dengan kelipatan 10 x dari 10-1 sampai 10–10. Inokulasikan 0.1
ml pengenceran virus/ well. Setiap pengenceran memakai 4 well. Sel yang
telah diinfeksi diiinkubasi selama 7 hari dalam inkubator CO2 37oC. Diamati
setiap hari adanya Cytopathic effect (CPE).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebanyak 4 sampel virus AI diinfeksikan ke telur SPF dengan


pengenceran 100x sampai 1000x, masing-masing menggunakan telur SPF
4 butir dengan dosis 0,1 ml. Pada sampel virus kode A dan C, semua embrio
terjadi kematian pada hari pertama, 24 jam paska infeksi. Sedangkan sampel
B, D terjadi kematian embrio pada hari pertama dan ke dua paska infeksi.
Embrio yang pada saat diamati telah mati lansung dimasukkan ke refrigerator
40C. Selanjutnya cairan allantois kemudian dipanen dan dilakukan uji HA
cepat. Masing-masing sampel di lakukan uji HA lambat dengan dua kali
pengulangan (duplo). Kemudian dilanjutkan dengan uji HI terhadap serum
ND, serum EDS. Sampel virus A,B, C dan D memiliki titer uji HI terhadap

434 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
serum ND dan EDS, kurang dari 2 atau secara kualitatif disebut negatif.
Masing-masing sampel pun di uji HI terhadap serum AI clade 2.1.3, hasilnya
secara kuantitatif lebih besar atau sama dengan 16 (Tabel 3). Pengujian HI
terhadap serum ND dan EDS bertujuan agar virus AI H5N1 yang dijadikan
sebagai kandidat masterseed tantang telah murni AI dan tidak terkontaminasi
dengan virus ND dan EDS. Virus ND dan EDS mampu mengaglutinasi sel
darah merah seperti dengan virus AI (Swayne, 2003).

Tabel 2. Hasil Pasase 1 Kandidat Virus Tantang AI H5N1

Pengenceran Sam- Tanggal Kematian Embrio HA lambat


HA cepat
pel Virus AI H-1 H-2 (Log 2)
A 102 4/4 - ++ 6
A 103 4/4 - ++ 5
B 102 - 4/4 + 1
B 103 ¼ ¾ + 2
C 102 - 4/4 ++ 5
C 103 - 4/4 ++ 5
D 102 - 4/4 ++ 7
D 103 ¾ ¼ ++ 5

Tabel 3. Hasil UJI HI Kandidat Virus Tantang AI H5N1 (P1)

Virus AI H5N1 Ag ND ISCHII


SERUM
A B C D Ag EDS
Hasil Uji HA 7 3 6 6
<2 <2 <2 <2 - -
ND Strain B1
<2 <2 <2 <2 - -
<2 <2 <2 <2 - -
ND strain Clone 45
<2 <2 <2 <2 - -
<2 <2 <2 <2 - -
ND strain Lasota
<2 <2 <2 <2 - -
<2 <2 <2 <2 >8 -
ND strain Ischii
<2 <2 <2 <2 >8 -
<2 <2 <2 <2 - >8
EDS
<2 <2 <2 <2 - >8
2 1 3 2 - -
AI H5N1 Clade 2.3.2
2 1 3 2 - -
6 6 7 7 - -
AI H5N1 Clade 2.1.3
6 6 7 7 - -

Setelah itu dilakukan passase ke 2 sampai dengan ke 4 dengan cara


limited dilution dari pengenceran 103 sampai dengan 109. Pada Pasase ke 2,
sampel virus AI H5N1 dengan kode A di peroleh hasil titer uji HA paling

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
435
tinggi sebesar 7 log 2, sampel D sebesar 5 log 2, sampel C sebesar 2 Log
2 dan paling rendah kode sampel B sebesar <2 . Tiap pasase pun, dilakukan
pengujian titrasi pada telur SPF dimana titer hasil uji paling tinggi pada
sampe A sebesar 109,7 EID50, titer sampel C 108,1 EID50, sampel D 107,7 EID50
dan paling rendah pun pada sampel B yaitu 106,7 EID50. Dari hasil pasase ke 2,
masih dilanjutkan ke pasase berikutnya dengan maksud agar masing-masing
sampel virus AI H5N1 diperoleh hasil titer HA yang tinggi dan begitupula
dengan titer pada TAB. Pasase ke 3, sampel virus kode A, memiliki titer HA
yang tetap dan hasil titrasi di telur mengalami penurunan titer, namun dari
hasil pengamatan kematian embrio yang meningkat ditiap pengencerannya,
maka virus kode sampel A tidak lagi dilanjutkan ke pasase berikutnya.
Sedangkan pada ke tiga sampel lainnya yakni kode sampel B, C dan D masih
dilanjutkan ke pasase ke 4, hasil uji ke tiga sampel dari angka kematian
telur masih beragam di tiap pengenceran pada uji titrasi di telur ayam SPF.
Selanjutnya kode sampel B,C dan D dilanjutkan sampai pada ke pasase ke
4. Sampel kode B, memiliki titer rendah yakni 4 log 2, sedangkan titer pada
TAB meningkat yakni 108,3 EID50. Sample kode C memiliki peningkatan titer
baik pada hasil uji HA dan titer TAB yakni 7 log 2 dan 108,9 EID50. Sampel
kode D dengan hasil uji HA mengalami peningkatan sebesar 8 log 2 , namun
terjadi penurunan titer pada TAB sebesar 106,9 EID50. (Tabel 4)

Pada tiap pasase dari keempat sampel mengalami keberagaman hasil


uji HA maupun titer dengan metode uji titrasi pada TAB. Sampel virus kode
A pasase ke 3 dan C pasase ke 4 dari hasil uji titrasi pada TAB, mengalami
kematian embrio yang meningkat pada tiap pengenceran yaitu mati pada hari
pertama sampai dengan hari ke2. Sehingga dari hasil uji pun menunjukkan
titer yang lebih tinggi dari persyaratan titer virus AI H5N1 yang dipergunakan
untuk uji tantang vaksin AI yakni sebesar 106,0 EID50. (OIE,2012). Penelitian
serupa pernah dilakukan oleh Ramlah et al (2017), pada proses pemurnian
virus AI H5N1 Clade 2.3.2 diperoleh titer virus AI H5N1 sebesar 8 log 2 dan
hasil uji titrasi pada TAB, yakni 107,9 EID50.

Tabel 4. Hasil uji HA dan Titer Pada Telur SPF P2, P3 dan P4

Titer P2 Titer P3 Titer P4


No Sampel Log 2 Log 2 Log 2
EID50 EID50 EID50
(HAU) (HAU) (HAU)
1 A  7  107,5  4  109,7 - -

2 B  <2  107,9  8  106,7  4  108,1


3 C  2  108,5  5  108,1  7  108,9
4 D  5  108,3  3  107,8  8  106,7

Setelah panen cairan allantois, dilakukan pengamatan embrio ayam


yang telah terinfeksi virus H5N1 dengan kode A, B, C dan D. Gambaran
makroskopis terhadap embrio ayam memperlihatkan hemoragi pada seluruh

436 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
permukaan embrio, pertumbuhan mengecil, terhambat n menipisnya lapisan
bulu pada bagian punggung dan leher . Gambar 1. Hal ini sesuai dengan
yang dilaporkan oleh Wibowo et al (2006), bahwa semua isolat virus AI yang
berasal dari DI Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan gejala klinis tersifat
flu burung mampu menyebabkan kematian embrio berumur 9-11 hari dalam
waktu 44-72 jam pasca infeksi.

  
  
  

 



   

Gambar 1. Gejala Klinis Embrio yang terinfeksi virus AI H5N1 dan embrio
control.


Sampel Virus
 AI 
 H5N1
kode A
  P3
dan C P4
  selanjutnya
  dilakukan
 propagasi
  
               
agar diperoleh volume
 dari virus AI H5N1 yang lebih banyak dan pergunakan
 
sebagai working seed, di aliquot dan disimpan pada suhu -200C. Virus AI

              
dengan kode A dan C tetap dilakukan uji HA,titrasi
 pada
  TABdan sel CEF.

Hasil uji HA dari hasil
 propagasi

meningkat
 yakni kode sampel A, 9 log 2
dan Kode sampel C, 8 log 2. Titer tersebut mengalami
 peningkatan yang
lebih tinggi. Begitupula dengan hasil
 uji titrasi pada TAB dan sel CEF, yakni
sampel virus H5N1 kode A yakni 108,3 EID50 dan
 108,5 TCID50. Sampel virus
   8,7 
AI H5N1

kode sampelC yakni 10dan 10 TCID
8,75
 50
. (Tabel 5)
    
Tabel 5. Hasil uji HA, Titer Pada Telur SPF dan Pada Sel CEF

Titer

No Sampel
HA (HAU) EID50 TCID50
1 A 9 108,3
10 8,5

2 C 8 108,7
108,75

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
437
KESIMPULAN DAN SARAN

Reisolasi virus AI H5N1 Isolat virus AI H5N1 yang berasal dari BBVET
WATES sebanyak 4 isolat yakni kode A (A/chicken/Barru/BBVM41-13/2013
clade 2.1.3), kode B (A/duck/Tanah Laut/0514095/2014 clade 2.3.2), kode
C (A/chicken/Semarang/04141225-07/2014 clade 2.3.2.1c) dan kode D
(A/chicken/Sleman/BBVW-1908-12/2012 clade 2.1.3). Kode A dilakukan
sampai pada pasase ke 3 dengan titer HA peningkatan titer sebesar 9 log 2.
Isolat virus Kode B, C dan D dilanjutkan sampai pada pasase ke 4. Isolat
virus Kode C menunjukkan peningkatan titer sebesar 8 log 2. Berdasarkan
kenaikan titer pada tiap pasase dan gejala klinis embrio, isolat virus kode A
dan C dipilih sebagai masterseed virus tantang AI yakni A/chicken/Barru/
BBVM41-13/2013 clade 2.1.3 dan A/chicken/Semarang/04141225-07/2014
clade 2.3.2.1c. Ke2 isolat virus AI H5N1 kemudian ditrasi di telur SPF dan
sel CEF. Titer virus AI H5N1 A/chicken/Barru/BBVM41-13/2013 ditelur
SPF adalah 108,3 EID50 dan titer pada sel CEF adalah 108,5TCID50. Titer virus
AI H5N1 A/chicken/Semarang/04141225-07/2014 clade 2.3.2.1c adalah
108,7 EID50. dan titer pada sel CEF adalah 108,75 TCID50.

Virus AI H5N1 masih menjadi perhatian ditiap tahunnya, maka tetap


diperlukan monitoring tiap tahunnya tentang perubahan virus AI H5N1
yang beredar di Indonesia. Pengambilan sampel swab unggas yang diduga
terinfeksi AI dan dilanjutkan isolasi dan karakterisasi virus AI.

DAFTAR PUSTAKA

Office International des epizooties Terrestrial Manual 2008. 2012. Avian


Influenza. Chapter 2.3.12.

Ramlah, Setiawaty R, Emilia, Natih KKN, Suryati Y, Djusa ER. Pemurnian


virus avian influenza(ai) h5n1 clade 2.3.2 sebagai masterseed virus
tantang yang homolog. Buletin BBPMSOH

Swayne, D.E and D.A. Harvorson. 2003.Influenza. In. Diseases of Poultry.


Saif, Y.M. 11th.Ed. Iowa State Univ. Press. USA.

Wibowo, M.H., W. Asmara, dan C.R. Tabbu. 2006. Isolasi dan identifikasi
serologis Avian Influenza dari sampel unggas yang diperoleh di DI
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jurnal Sain Veteriner. 24:77-83.

Wiyono A, R. Indriani, N.L.P.I Dharmayanti,R Damayanti, L Parede, T


Syafriati, da Darminto. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Virus Highly
Pathogenic Avian Influenza Subtipe H5 dari Ayam Asal Wabah di
Indonesia. JITV 9 (1) : 61-71

438 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PERBANDINGAN KEAMANAN DAN POTENSI VAKSIN
SEPTICAEMIA EPIZOOTICA MENGGUNAKAN ANTIGEN
CRUDE PRODUCT DAN ANTIGEN MURNI
Evy Indah Setyorinie1, A.E.T.H Wahyuni2, Widya Asmara2

1.Pusat Veterinaria Farma


2. Universitas Gadjah Mada
evyindah.setyorinie@gmail.com

ABSTRAK

Vaksin ajuvan minyak merupakan vaksin yang poten tetapi vaksin ajuvan minyak mempunyai
viskositas yang tinggi, kadang menyebabkan kebengkakan, nekrosis serta shock sesudah vaksinasi.
Usaha pengembangan vaksin ajuvan minyak diperlukan untuk mengurangi reaksi sesudah vaksinasi.
Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan viskositas, keamanan dan potensi dari vaksin SE
antigen crude product dan vaksin SE antigen murni dengan menggunakan ajuvan Montanide ISA 50.
Kultur kuman disiapkan dari Pasteurella multocida strain Katha, yang di kultur pada media Casein
Sucrose Yeast (CSY) kemudian di inaktivasi menggunakan formalin 0.5%. Antigen murni disiapkan
dengan metode sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 20 menit, supernatan dibuang dan
diganti dengan NaCl 0.9%. Antigen crude product disiapkan dengan tidak ada pemisahan antara
antigen dan media cair. Kedua suspensi kemudian diformulasi dengan menggunakan ajuvan
montanide ISA 50 dengan perbandingan 1:1. Vaksin diukur viskositasnya menggunakan viskometer,
di uji keamanan dan potensi pada mencit. Uji potensi dilakukan dengan Active mouse protection test
(AMPT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa viskositas vaksin SE antigen murni yaitu 200 cP dan
vaksin SE antigen crude product 440 cP. Uji keamanan menunjukkan bahwa tidak ada kejadian syok
sesudah vaksinasi, kematian pada mencit ataupun gejala SE pada mencit, tetapi pada satu mencit
dari kelompok vaksin crude product terdapat kemerahan pada bekas tempat suntikan. Uji potensi
dilakukan dengan metode AMPT dan didapatkan potensi vaksin SE antigen murni 5.2 log unit dan
vaksin SE antigen crude product 4.2 log unit. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua vaksin baik
itu vaksin SE antigen murni ataupun vaksin crude product aman digunakan, tetapi vaksin SE antigen
murni mempunyai viskositas yang lebih rendahdan potensi yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan vaksin SE antigen crude product.

Kata kunci :Septicaemia epizootica, vaksin ajuvan minyak, Montanide ISA 50

PENDAHULUAN

Haemorrhagic septicaemia atauSepticaemia epizootica (SE) di


Indonesia dikenal juga dengan penyakit ngorok adalah penyakit sepsis akut
dan fatal yang menyerang sapi dan kerbau yang disebabkan oleh spesifik
serotipe Pasteurella multocida. Kejadian SE di negara Asia disebabkan oleh
serotipe B:2 sedangkan di negara-negara Afrika disebabkan serotipe E:2.
Penyakit SE ditandai dengan septisemia akut dan fatal dengan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi dimana secara umum kerbau lebih peka dari pada sapi
dan hewan muda lebih rentan dari pada hewan dewasa (De Alwis, 1999).

Pengobatan SE dengan antibiotik hanya efektif jika hewan diobati pada


awal stadium sedangkan pengendalian penyakit ini melalui pengendalian
faktor pemicu stres adalah sangat sulit dilakukan (Moustafa et al., 2015).
Metode yang efektif dan murah untuk mengendalikan wabah SE yaitu
dengan cara vaksinasi (Ahmed et al., 2014). Menurut De Alwis (1999)

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
439
program vaksinasi massal pada populasi sapi dan kerbau, biayanya jauh
lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan akibat penyakit
SE. Metode vaksinasi sebagai metode pengendalian yang efektif dapat
dibuktikan dengan bebasnya Pulau Lombok dari penyakit SE pada tahun
1985 dengan peningkatan daerah cakupanvaksinasi selama 3 tahun berturut-
turut (Syamsudin, 1992).

Vaksin SE yang ideal mempunyai karakteristik mudah dan ekonomis


dalam produksinya, stabil, mudah aplikasi di lapangan, tidak ada reaksi
sesudah vaksinasi dan memberikan imunitas yang tinggi sekurang-
kurangnya satu tahun (De Alwis, 1999). Vaksin ajuvan minyak mempunyai
efikasi yang tinggi jika dibandingkan dengan jenis vaksin lainnya (Bain et
al., 1982). Perlindungan yang diberikan vaksin ajuvan minyak hampir satu
tahun tetapi meskipun begitu vaksin ajuvan minyak memiliki beberapa
kelemahan. Vaksin jenis ini memiliki viskositas yang tinggi sehingga susah
diaplikasikan di lapangan. Reaksi sesudah vaksinasi seperti pembengkakan
lokal, abses dan shock juga dilaporkan terjadi pada beberapa hewan yang
divaksin dengan vaksin ajuvan minyak (Bain et al., 1982)

Reaksi shock yang timbul sesudah vaksinasi SE menurut Bain (1982)


bisa disebabkan karena adanya endotoksin bebas yang berada di dalam
vaksin. Menurut Jabbari dan Moazeni Jula (2002), fase cair dalam vaksin
SE merupakan penyebab terjadinya shock anafilaksis sesudah vaksinasi
SE. Jabbari and Moazeni Jula dalam penelitiannya melakukan modifikasi
pembuatan vaksin SE untuk meningkatkan keamanannya dengan cara
memisahkan antigen pasteurella dari broth media (media cair) dengan
cara disentrifus kemudian supernatan dibuang digantikan oleh NaCl 0.9%.
Sotoodehnia et al. (2005) menyatakan pembuatan vaksin dengan cara ini
bisa mengurangi reaksi shock sesudah vaksinasi.

Penelitian untuk memperoleh vaksin SE yang ideal dengan memperbaiki


kualitas vaksin SE dan mengurangi side effect sesudah vaksinasi terus
dilakukan. Pada penelitian ini akan membandingkan metode modifikasi
dalam penyiapan antigen yang dapat digunakan dalam produksi vaksin
SE. Vaksin SE disiapkandengan menggunakan dua jenis antigen, yaitu
antigen crude product dan antigen murni. Antigen crude product merupakan
keseluruhan product dari antigen vaksin SE dimana dalam penyiapannya
tidak dipisahkan antara antigen dan supernatannya, sedangkan antigen
murni dalam penyiapannya digunakan metode sentrifugasi sehingga terpisah
antara antigen dan supernatannya kemudian supernatandiganti dengan NaCl
0.9%. Ajuvan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu Montanide ISA 50
dikarenakan dalam vaksin ini membutuhkan fase antigenik yang tinggi
yaitu 50%. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
perbandingan antara vaksin SE menggunakan antigen crude product dan
antigen murni.

440 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan viskositas, keamanan


dan potensi yang ditimbulkan antara vaksin SE antigen crude product dan
vaksin SE antigen murni.

MATERI DAN METODE

Preparasi Bakteri Untuk Vaksin

Seed vaksin Pasteurella multocida strain Katha dikultur padamediaHIA


kemudian diinkubasi di inkubator dengan suhu 370C selama 24 jam. Satu
koloni murni diambil untuk dikultur pada 400 ml CSY brooth. Kultur
bakteri ini kemudian diinkubasi di inkubator dengan suhu 370C selama 24
jam. Suspensi bakteri diinaktifasi menggunakan formalin 0.5%.

Formulasi Vaksin

Vaksin SE antigen crude product.Suspensi kuman yang sudah inaktif


dan sudah diuji sterilitasnya diambil sebanyak200 ml kemudian ditambahkan
ajuvan Montanide ISA 50 dengan perbandingan 1:1.

Vaksin SE dengan antigen murni.Suspensi kuman sebanyak 200


ml disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 20 menit utuk
mendapatkan pellet bakteri. Supernatan dibuang dan pellet bakteri dicuci
dengan cara ditambahkan NaCl 0.9% kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 5000 rpm selama 20 menit. Proses ini diulang tiga kali. Suspensi
yang sudah dicuci kemudian ditambah ajuvan Montanide ISA 50 dengan
perbandingan 1:1. Vaksin antigen murni didapat dengan menambahkan
suspensi bakteri tersebut diatas dengan ajuvan Montanide ISA 50 dengan
perbandingan 1:Kedua formula vaksin tersebut kemudian dibuat emulsi
dengan menggunakan emulsifier. Formula vaksin ditempatkan di gelas baker
kemudian diemulsifikasi selama lima menit dengan kecepatan 10.000 rpm
pada suhu ruang. Proses emulsifikasi tersebut dilakukan empat siklus dengan
interval antar siklus limamenit.

Pengukuran Viskositas Vaksin

Viskositas vaksin diukur menggunakan viskometer Brookfield. Masing-


masing formulasi vaksin di tuang ke dalam gelas baker, spindle dipasang
sampai spindle terendam sesuai batas spindle. Viskositas sampel vaksin
dihitung dan dinyatakan dalam centipoises (cp)

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
441
Uji Keamanan

Lima mencit diinokulasi secara intramuscular dengan 0.5 ml masing-


masing vaksin kemudian diamati kematiannya selama lima hari. Vaksin
dinyatakan aman apabila semua mencit tersebut dalam keadaan hidup
tanpa menunjukkan gejala abnormal. Gejala abnormal yang dimaksud yaitu
demam, depresi, anoreksia, ataksia dan sianosis pada ektremitas dan kerak
pada sekitar hidung dan mata.

Uji Potensi

Uji potensi menggunakan Active Mouse Protection Test yang dilakukan


berdasarkan metode Ose and Muenster (1968). Penghitungan Uji Potensipada
kelompok vaksin SE antigen crude productdan vaksin SE dengan antigen
murnidihitung menggunakan metode Spearman Karber.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Viskositas

Uji viskositas dilakukan untuk mengukur kekentalan vaksin. Hasil



pengukuran 
viskositas vaksin SE antigen crude product dan vaksin SE

antigen

murni dengan viskometer Brookfield menunjukkanviskositas vaksin
SE antigen
 crude productadalah 440 Cp sedangkan vaksin SE antigen murni
adalah
 200 Cp. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin SE antigen murni yang

disiapkan dengan tehnik pemisahan antigen dengan supernatan mempunyai

viskositas
 yang lebih rendah dibandingkan dengan vaksin SE antigen crude
productyang
 tidak dipisah antigen dengan supernatannya.

 
600 Viskositas

400 440

200
200

0
antigen crude product antigen murni
Jenis vaksin


Gambar 1.  Viskositas vaksin SE antigen crude product dan SE antigen
murni



Vaksin
SE  
antigen crude productdisiapkan  
 tanpa mengganti  
media

cair, 
dimana didalam media tersebut terdapat karbon, nitrogen, sulfur,
        
fosfat, vitamin, pepton dan asam amino, serum serta logam dan garam-



442 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
Prosiding

dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
            
           
          
garam anorganik sebagai trace elements seperti Ca, Mn, Na, Mg, Zn, Co,
Fe, Cu (Sutarma, 2000). Zat-zat tersebut mempengaruhi viskositas yang
menyebabkan viskositas vaksin SE antigen crude productmenjadi lebih
tinggi jika dibandingkan dengan vaksin SE antigen murni yang hanya berisi
antigen dan NaCl.

Viskositas vaksin juga berhubungan dengan struktur surfaktan yang


digunakan dan nilai hydrophilic/lipophilic balance (HLB). Nilai HLB
memberikan informasi tentang afinitas antara fase antigenik dan fase
minyak. Nilai HLB yang rendah akan membuat fase minyak mempunyai
afinitas yang tinggi dan emulsi cenderung menjadi water in oil (W/O)
dimana fase antigenik akan terdispersi dalam fase minyak (Aucounturieret
al., 2001). Semakin tinggi fase antigenik akan menyebabkan peningkatan
fase terdispersi dan membuat peningkatan viskositas pada emulsi. Pada
vaksin SE antigen murni penggantian supernatan dengan NaCl 0.9% dapat
menurunkan fase terdispersi sehingga menyebabkan viskositasnya menjadi
lebih rendah dibandingkan dengan vaksin SE antigen crude product.

Pembuatan vaksin SE dengan cara dipisah antara antigen dengan


supernantannya dandigantikan dengan NaCl0.9%, dapat mengurangi
viskositas vaksin. Rendahnya viskositas menyebabkan vaksin lebih mudah
disedot ke dalam spuit, mempermudah aplikasi di lapangan dan mengurangi
efek kebengkakan lokal pada daerah suntikan.

Uji Keamanan

Pada penelitian ini pengamatan pada uji keamanan didapatkan hasil


bahwa tidak ditemukan reaksi shock anafilaksis, demam, depresi ataupun
kematian pada seluruh kelompok mencit. Reaksi di tempat suntikan diamati
terdapat pada satu mencit dari kelompok vaksin SE antigen crude product
sedangkan pada kelompok mencit antigen murni tidak terdapat reaksi di
tempat penyuntikan.

Pasteurella multocida merupakan bakteri gram negatif dimana dinding


sel nya terdapat LPS yang merupakan endotoxin yang bisa menyebabkan
reaksi anafilaksis pada hewan (Harper et al., 2011). Media cair dari kultur
berisi nutrisi-nutrisi yang sudah tidak diperlukan, sel-sel yang lisis, LPS
bebas dan juga formalin yang digunakan sebagai inaktivan (Jabbari dan
Moazeni Jula, 2002). LPS yang terdapat pada dinding sel menjadi agen
yang yang akan akan menginduksi produksi IgE. Antibodi ini ditampilkan
pada permukaan sel mast dan basophil, sehingga akan dilepaskan mediator
anafilaksis, karena itu kadang terjadi reaksi shock anafilaksis setelah
pemberian vaksin SE (Morrison dan Rayan, 1987). Metode pemisahan
antara media cair dan antigen dengan sentrifugasi kemudian mengganti
dengan NaCl 0.9% dapat memisahkan dan membuang komponen-komponen

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
443
          
            
           

            
tersebut sehingga bisa meningkatkan keamanan vaksin dan mengurangi

reaksi
 shock
 anafilaksis
 setelah
  vaksinasi.
Hal ini
dibuktikan
dengan tidak
  
adanya kematian atau reaksi anafilaksis pada mencit. Hasil dari penelitian
          
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Jabbari dan Moazeni Jula (2002)

yaitu dengan metode pemisahan antigen dan media cair dapat meningkatkan


keamanan vaksin dan tidak menimbulkan reaksi shock anafilaksis atau
 
inflamasi 
lokal pada 
daerah        
suntikan.

          
Uji Potensi

 potensi AMPT dilakukan berdasarkan metode Ose and Muenster
Uji

(1968). Uji potensi vaksin dilakukan dengan uji AMPT. Penghitungan LD50

dilakukan menggunakan metode Spearman dan Karber. Hasil penghitungan

LD50 terdapatpada Tabel 6. Hasil uji AMPT perbedaan  
log unit antara
      
mencit yang divaksin dan tidak divaksin adalah 4.2 untuk vaksin
 
SE   
antigen

crude productdan 5.2 untuk vaksin SE antigen murni. Hasil uji potensi  
         

menggunakan metode AMPT disajikan pada Gambar 2.


 Potensi Vaksin
10

5.2
5 4.2
0
Vaksin SE crude product Vaksin SE antigen murni
Jenis Vaksin


 2. Hasil potensi vaksin SE antigen crude product dan antigen
Gambar
 murni

 Uji AMPT merupakan uji yang praktis untuk menguji vaksin SE

(De 
Alwis,  
1999), uji AMPT 
ini   
dipertimbangkan   
digunakan untuk  
        
menggambarkan imunogenitas dari batch vaksin yang diproduksi. Vaksin

SE dipersyaratkan memenuhi perbedaan nilai LD50 antara kelompok mencit 
            
yang di
 vaksin
 dengan tidak
  divaksin
tidak kurang dari
  104.0.Potensi
 vaksin
  
bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk ajuvan yang digunakan. Ajuvan
        
akanmempengaruhi keefektivan vaksin. Ajuvan mempunyai depot effect
pada tempat suntikan yang akan melepaskan antigen secara perlahan-lahan
dan akan menstimulasi respon imun untuk memproduksi antibodi secara
terus-menerus (Sivakumaret al., 2011). 

Potensi vaksin dipengaruhi juga oleh kestabilan emulsi vaksin. Pada
penelitian ini digunakan ajuvan minyak yang merupakan emulsi water in

444 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
oil dimana fase air akan terdispersi di dalam fase minyak. Emulsi vaksin
yang stabil akan menjaga fase air akan tetap terdispersi didalam fase minyak
sehingga ketika disuntikkan antigen dalam vaksin akan dilepaskan secara
perlahan-lahan. Pada penelitian ini vaksin SE antigen crude product dan
vaksin SE antigen murni mempunyai perbedaan LD50 antara mencit yang
divaksin dan tidak divaksin diatas standar minimal potensi yang berarti kedua
jenis vaksin ini memenuhi syarat minimal potensi yang dipersyaratkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Vaksin SE antigen crude product dan vaksin SE antigen murni aman


digunakan pada hewan.Vaksin SE antigen murni mempunyai viskositas yang
lebih rendah daripada vaksin SE antigen crude product tetapi potensi vaksin
SE antigen murni lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin SE antigen crude
product

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perbandingan


durasi imunitas dan titer antibodi yang ditimbulkan oleh vaksin SE antigen
crude product dan vaksin SE antigen murni.

DAFTAR PUSTAKA

Aucouturier, J., Dupuis, L., Ganne, V., 2001. Adjuvants designed for
veterinary and human vaccines. Vaccine 19. 2666-2672.

Bain, R.V.S., De Alwis, M.C.L., Carter, G.R and Gupta, B.K. 1982.
Haemorrhagic Septicaemia. In: FAO Animal Production and Health
Paper 33. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Rome. Italy. 11‒33

De Alwis M.C.L .1999. Haemorrhagic septicaemia. ACIAR Monograph


no 57. Australian Centre for International Agriculture Research.
Canberra. Australia.

Farmakope Obat Hewan Indonesia Jilid 1 (Sediaan Biologik). 2013.


Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

Harper, M., Cox, A.D., Adler, B., Boyce, J.D. 2011. Vet Microbiol 153:109–
115.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
445
Jabbari, A,R., Moazeni Jula, G.R., 2002. Improvement of haemorrhagic
septicaemia vaccine by removing of anaphylactic agents. Arch Razi
Ins; 54: 85-89.

Morrison, D.C., Rayan, J.L., 1987. Endotoxins and disease mechanism.


Annual review of medicine. 38:417-432.

Moustafa, A.M., Ali, S.N., Bennett, M.D., Hyndyman, T.H., Robertson, I.D.
2015. A case-control study of heamorrhagic septicemia in buffaloes
and cattle in Karachi, Pakistan, in 2012. Trans Emerg Dis, doi:
10.1111/tbed.12393.

Ose, E.E., and Muenster, O.A., 1968. A method of evaluating vaccines


containing Pasteurella multocida. American Journal of Veterinary
Research, 29, 1863-1866.

Sivakumar, S.M., Safhi, M.M., Kannadasan, M., Sukumaran, N., 2011.


Vaccine adjuvants-current status and prospects on controlled release
adjuvancity. Saudi pharmaceutical journal 19:197-206.

Sotoodehnia , A., Moazeni, G., Ataei, S., Omidi, B. Study on Immunity of


an Experimental Oil Adjuvant Haemorrhagic Septicaemia Vaccine in
Cattle. 2005. Arch. Razi Ins. 59 95-101.

Sutarma. 2000. Kultur media bakteri. Temu tehnis fungsional non peneliti.
52-57.

Syamsudin, A. 1992. In: B.E. Patten, TL. Spencer, R.B. Johnson, D. Hoffmann
and L. Lehane (eds), Pasteurellosis in Production Animals,An
international workshop held at Bali, Indonesia, 10-13 August 1992.
ACIAR Proceedings No. 43, 180.

446 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PENGGUNAAN KONSENSUS PRIMER PCR PROTOKOL
PREDICT DALAM MENGKONFIRMASI KEBERADAAN
BOVINE HERPESVIRUS 1 (BOHV-1) PADA SAPI ACEH
DI BPTU – HPT INDRAPURI.
Lilik Prayitno1, Joko Pamungkas2, Uus Saepuloh3, Ni Luh Putu Ika Mayasari2,
Mamik Rahayu1, Gantiah4

1
Laboratorium Virologi Balai Veteriner Medan, Medan
2
Divisi Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor
3
Laboratorium Bioteknologi Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Bogor
4
Laboratorium Biologi Molekuler Balai Veteriner Medan, Medan
Email: lilikprayitno58@gmail.com

ABSTRAK

Bovine Herpesvirus 1 (BoHV-1) merupakan anggota subkeluarga Alphaherpesvirinae dalam keluarga


Herpesviridae, berperan sebagai agen penyebab terjadinya Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR).
Penyakit IBR menyebabkan kerugian ekonomi pada industri peternakan sapi. Infeksi virus pada
ternak sapi sangat berkaitan erat dengan beberapa kejadian secara klinis seperti rhinotracheitis,
balanoposthitis, vulvovaginitis, abortus, penurunan produksi susu, infertilitas, dan penurunan bobot
kelahiran. Penyakit IBR merupakan salah satu penyakit hewan yang penting di Indonesia dan masuk
dalam penyakit hewan menular strategis nasional serta merupakan penyakit yang harus bebas
pada pusat perbibitan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menguatkan dan pembuktian uji
sebelumnya yaitu deteksi antibodi BoHV-1 dengan metode Enzyme Linked Immunosorbant Assay
(ELISA) dan identifikasi molekuler BoHV-1 dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) pada target
gen glikoprotein B (gB), mengindikasikan kemungkinan adanya BoHV-1 pada sapi Aceh di BPTU-
HPT Indrapuri. Pengujian pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan konsensus primer
PCR dengan target amplifikasi gen DNA Terminase. Deteksi antibodi terhadap BoHV-1 dengan
menggunakan ELISA dilakukan pada tiga periode waktu yang berbeda, hasil ELISA berturut-turut
menunjukkan seropositif yang tinggi yaitu (517/537) 96.28%, (633/681) 92.95%, dan (668/734)
91.01%, dengan kondisi hasil seropositif pada status hewan nonvaksinasi mengindikasikan telah
terjadi infeksi virus BoHV-1 secara alamiah. Pada periode waktu ke tiga juga dilakukan pengambilan
sampel usapan hidung sebanyak 375 untuk identifikasi molekuler menggunakan PCR, hasil
amplifikasi gen gB semua sampel didapatkan hasil negatif. Kemudian 210 dari 375 hasil ekstraksi
DNA digunakan untuk identifikasi molekuler dengan menggunakan konsensus primer PCR dengan
target amplifikasi gen DNA Terminase. Empat dari 210 menunjukkan hasil positif PCR dilanjutkan
dengan sekuensing. Hasil sekuen sampel yang didapat menunjukkan kemiripan identitas 99–100%
terhadap sekuen referensi BoHV-1 dan BoHV-6. Hasil penelitian ini memberikan informasi ilmiah
adanya BoHV-1 yang telah beredar di BPTU-HPT Indrapuri.

Kata kunci : BoHV-1, Alphaherpesvirinae, IBR

ABSTRAC

Bovine Herpesvirus 1 (BoHV-1), is one of a member of the Alphaherpesvirinae sub-family within


Herpesviridae family, is role of the causative agent of Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR),
IBR infection causes economic losses to the cattle industries. The viral infection in livestock has
been associated with a variety of clinical manifestations such as rhinotracheitis, balanoposthitis,
vulvovaginitis, abortion, reduction in milk yield, infertility, and decrease of birth weights. IBR
disease is one of the most important animal diseases in Indonesia whitin national strategic infectious
animal diseases as well as disease that must be eradicated from breeding and artificial insemination
centers in Indonesia. The purpose of this study was to strengthen and verify previous tests of BoHV-
1 antibody detection by Enzyme Linked Immunosorbant Assay (ELISA) method and molecular

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
447
identification of BoHV-1 by Polymerase Chain Reaction (PCR) on the target glycoprotein B (gB),
the results indicating the possibility presence of BoHV-1 in Aceh cattle in BPTU-HPT Indrapuri. The
moleculer identification in this study was performed by using consensus primer PCR on the target
DNA Terminase gene. Detection of antibodies against BoHV-1 with ELISA was performed in three
different time periods, the results of ELISA showed high seropositive (517/537) 96.28%, (633/681)
92.95%, and (668/734) 91.01 %, with condition of nonvaccinated animal status, that indicating of
natural presence BoHV-1 virus infection. Simultaneously with the third time period also carried out
sampling of the 375 nasal swab to the molecular identification using PCR, gB gene amplification
resulted all samples were negative. Then 210 out of 375 DNA extractions were used to the molecular
identification by using consensus primer PCR on the target DNA Terminase gene. Four out of 210
nasal swab samples were positive PCR for herpes virus followed by sequencing. The results of
positive sample sequence showed a 99-100% identities to the BoHV-1 and BoHV-6 sequences. This
study provides scientific information the presence of BoHV-1 that has been circulating in BPTU-HPT
Indrapuri.

Key words : BoHV-1, Alphaherpesvirinae, IBR

PENDAHULUAN

Bovine Herpesvirus-1 (BoHV-1) adalah virus DNA anggota dari


keluarga Herpesviridae bersifat patogen pada ternak sapi yang banyak
terjadi pada peternakan skala kecil ataupun skala industri besar. Penyakit
ini ditandai dengan gejala klinis saluran pernafasan bagian atas seperti
mucopurulen nasal disharge, hyperemia pada moncong, konjungtivitis,
tanda lainya seperti abortus, neonatal, penurunan produksi susu, fetus
dibawah normal, infertilitas dan produktifitas ternak yang menurun secara
umum (Muylken et al., 2007; OIE 2010; Yildirim et al., 2011). Bovine
Herpesvirus-1 telah diketahui sebagai penyebab terjadinya penyakit
Infectious Bovine Rhinotrachaetis (IBR), Infectious Pustular Vulvovaginalis
(IPV) dan Infectious Pustular Balanoposthitis (IPB) (Ackermann dan
Engels, 2006; Muylken et al., 2007; OIE 2010). Virus IBR telah menyebar
secara luas di dunia, tetapi telah diberantas dan bebas pada beberapa negara
di Eropa seperti Austria, Denmark, Finlandia, Swedia, Italia, Switzerland
dan Norwegia serta diikuti negara-negara lainnya yang aktif pada program
pemberantasan penyakit tersebut (OIE 2010).

Model analisa yang dilakukan oleh van Schaik et al. (1999).


Mengungkapkan bahwa infeksi BoHV-1 pada sapi perah mengakibatkan
penurunan rata-rata produksi susu mencapai 0.92 kg/hari/ekor. Menurut
Yildirim et al. (2011). Virus BoHV-1 juga telah berperan sebagai agen
penyebab abortus pada sapi dengan umur kebuntingan trimester pertama
dan kedua. Melihat tantangan dan kerugian tersebut, tentu sangat perlu
dilakukannya tindakan pecegahan, pengendalian dan pemberantasan
penyakit tersebut mulai dari pusat perbibitan sampai ke tingkat peternak kecil.
Tindakan surveilans dan monitoring merupakan kegiatan yang sangat penting
untuk mengetahui situasi penyakit dilapangan agar deteksi dan identifikasi
penyebab baik secara serologi maupun molekuler dapat dilakukan. Hal ini
sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No.4026/kpts/OT.140/4/2013
(2013), tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS)
448 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
dan penyakit eksotik menyatakan bahwa IBR merupakan salah satu dari
22 penyakit PHMS dengan pengendalian dan penanggulangannya harus
dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, IBR
merupakan salah satu penyakit yang harus bebas dari pusat perbibitan dan
inseminasi buatan (IB) di Indonesia.

Surveilans dan monitoring secara serologis di Indonesia telah dilakukan


secara rutin oleh Balai Veteriner (BVet) dan Balai Besar Veteriner (BBVet).
Pengujian serologis dilakukan dengan menggunakan metode uji ELISA
dari sampel-sampel yang diambil dari peternakan sapi rakyat dan pusat
perbibitan. Beberapa hasil pengujian serologis secara rutin terhadap BoHV-1
menunjukkan hasil seropositif yang tinggi yaitu 66.65% (BVet Medan, 2014)
dan 51.7% (BVet Bukittinggi, 2014). Deteksi molekuler BoHV-1 pada sapi
yang secara klinis terlihat normal dengan menggunakan nested PCR pada
sampel usap mukosa hidung dan semen yang diambil dari Bandung, Bogor
dan Pasuruan, menunjukkan hasil 3.68% (14/381) positif di daerah Bandung
dan Bogor dan 16.67% (4/24) positif di daerah Pasuruan (Saepulloh et al.,
2008).

Analisis sekuen dan karakteristik molekuler BoHV-1 yang beredar


di Indonesia telah dilakukan penelitian sebelumnya. Hasil analisis sekuen
dan karakteristik molekuler diketahui bahwa tipe BoHV-1 yang beredar
di Indonesia adalah Bovine Herpesvirus-1.1 (BoHV-1.1) melalui analisis
sekuensing dan analisis phylogenetic pada gen glikoprotein D (gD) (Saepulloh
et al., 2009). Tujuan penelitian ini adalah menguatkan dan pembuktian uji
sebelumnya yaitu deteksi antibodi BoHV-1 dengan metode Enzyme Linked
Immunosorbant Assay (ELISA) dan identifikasi molekuler BoHV-1 dengan
metode Polymerase Chain Reaction (PCR) pada gen glikoprotein B (gB)
dengan menggunakan konsensus primer PCR dengan target amplifikasi gen
DNA Terminase.

BAHAN DAN METODA

Koleksi Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis sampel
yaitu serum dan usapan hidung yang berasal dari sapi Aceh di BPTU-HPT
Indrapuri. Serum sapi di ambil dari darah sapi yang di koleksi melalui vena
jugularis secara individual dengan menggunakan tabung mikro. Usapan
hidung dikoleksi dengan melakukan usapan di dalam lubang hidung sapi
menggunakan cotton swab, usapan hidung kemudian dimasukkan pada Viral
Transport Medium (VTM).

Pengambilan sampel serum dilakukan tiga periode waktu yang berbeda


yaitu Agustus, Juli dan Desember dengan jumlah sampel secara berurutan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
449
yaitu 537, 681 dan 734. Pada periode ketiga pengambilan sampel serum,
dilakukan juga pengambilan sampel usapan hidung sebanyak 375 tabung
pada VTM. Semua sampel dimasukkan dalam kotak pendingin 4 oC dan
dibawa ke laboratorium untuk disimpan pada -40 ºC sampai sampel siap
digunakan untuk pengujian.

Deteksi antibodi BoHV-1 dengan metode ELISA

Deteksi antibodi terhadap BoHV-1 dari sampel serum menggunakan


Infectious Bovine Rhinotrachaetis virus (BHV-1) gB Antibody Test Kit
(IDEXX, Liebefeld-Bern, Switzerland) mengikuti panduan perusahaan.
Serum uji, kontrol positif dan kontrol negatif sebanyak 50 µl dimasukkan ke
dalam sumuran yang sudah diisi 50 µl larutan pencuci sebelumnya dilakukan
pengenceran sepuluh kali. cairan dihomogenkan dan di inkubasi pada suhu
37 °C selama dua jam. Aspirasi semua cairan dan cuci dengan larutan pencuci
300 µl setiap sumuran sebanyak lima kali. Setelah sumuran dikeringkan,
ditambahkan 100 µl konjugate dalam semua sumuran dan diinkubasi pada
suhu 18-26 °C selama satu jam. Sumuran di cuci dan dikeringkan seperti
langkah sebelumnya, kemudian ditambahkan 100 µl substrat dalam semua
sumuran dan diinkubasi pada suhu 18-26 °C. Selama sepuluh menit larutan
penghenti kerja substrat diberikan sebanyak 100 µl pada semua sumuran,
kemudian ukur absorbansi sampel dan kontrol pada panjang gelombang 450
nm. Kemudian dilakukan perhitungan dari hasil. Hasil kalkulasi Optical
Density (OD) 450 nm masing-masing sampel dilakukan mengikuti pedoman
perusahaan (Tabel 1).

Tabel 1 Perhitungan Hasil Pembacaan Sampel Uji ELISA OD 450 nm

Rataan Kontrol Kriteria Valid Sampel


Positif (PCx) Negatif (NCx) (PCx) (NCx) Blocking %
PC1 + PC2 NC1 + NC2 PCx> 80 NCx< 0.5 NCxA – Sampel A x 100
Kalkulasi 2 2 NCxA

Ekstraksi DNA

Sampel usapan hidung diambil minimal 200 µl digunakan pada proses


ekstraksi. DNA virus diisolasi menggunakan QIAamp DNA Blood mini Kit
(Qiagen, Hilden, Jerman) dengan mengikuti panduan perusahaan. DNA
yang diperoleh selanjutnya disimpan pada suhu -40 °C atau dapat digunakan
langsung pada pengujian identifikasi molekuler BoHV-1 dengan target gen
glikoprotein B dan identifikasi molekuler BoHV-1 dengan konsensus primer
PCR dengan target gen DNA Terminase.

450 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Identifikasi Molekuler BoHV-1 dengan Target Gen Glikoprotein B

Identifikasi molekuler BoHV-1 dilakukan dengan metode Real-Time


PCR, amflifikasi dilakukan pada gen Glikoprotein B dengan menggunakan
sepasang primer yaitu Forward 5′-TGTGGACCTAAACCTCACGGT-3′
dan Reverse Forward 5′-GTAGTCGAGCAGACCCG TGTC-3′. Proses
amplifikasi dilakukan pada mesin real Time-PCR (7500 Real-Time PCR
System, Applied Biosystem, USA). Proses PCR didalam mesin meliputi
predenaturasi DNA 50 °C selama 2 menit, denaturasi DNA 95 °C selama 2
menit, annealing 95 °C selama 15 detik dan elongasi 60 °C selama 45 detik,
proses tersebut diulang sebanyak 45 siklus dan diakhiri dengan elongasi
akhir 45 °C selama 10 menit.

Identifikasi Molekuler BoHV-1 dengan Konsensus Primer PCR

Amplifikasi gen DNA Terminase dilakukan dengan nested PCR


menggunakan degenerate primer pada protokol PREDICT (Anthony et
al., 2013). Indentifikasi molekuler dilakukan dengan menggunakan primer
sebanyak 2 pasang yaitu TS-TERM-707s 5′-TTGTGGACGAGRSIMAYTT
YAT-3′, TS-TERM-707as 5′-ACAGCCACGCCNGTICCIGAIGC-3′ pada
tahap pertama dan TS-TERM-708s 5′-GCAAGATCATNTTYRTITCITC-3′
dan TS-TERM-708as 5′-TGTTGGTC GTRWAIGCIGGRT-3′. Amplifikasi
menggunakan mesin PCR (Veriti Thermal Cycler, Applied Biosystem,
USA) mengacu pada Chmielewicz et al. (2001). Proses amplifikasi diawali
dengan predenaturasi DNA pada suhu 94 °C selama 2 menit, kemudian
dilanjutkan dengan proses sebanyak 45 siklus yaitu denaturasi 94 °C selama
30 detik, annealing 48 °C selama 60 detik dan elongasi 72 °C selama 60
detik. Amplifikasi diakhiri dengan elongasi akhir 72 °C selama 7 menit.
Prosedur ini digunakan untuk amplifikasi PCR tahap pertama maupun tahap
kedua. Elektroforesis menggunakan gel agarosa 1.8 % yang ditambahkan
etidium bromida (EtBr) dengan konsentrasi 1 µg/ml dan marker DNA 100
bp (Vivantis, Malaysia). Selanjutnya hasil elektroforesis divisualisasi dengan
GelDoc pada program Quantity One (BioRad).

Sekuensing dan Analisis Molekuler

Hasil PCR positif dari konsensus primer dilanjutkan dengan sekuensing


untuk diketahui runutan nukleotidanya. Hasil sekuensing kemudian dianalisis
menggunakan aplikasi MEGA 6 (Molecular Evolutionary Genetics Analysis
6) (Tamura et al., 2013). Sekuen yang telah diperoleh dilakukan persejajaran
dengan menu Clustalw. Hasil pensejajaran dilanjutkan dengan penelusuran
identitas (% identity) pada program Basic Local Alignment Search Tool
(BLAST) (McGinnis dan Madden, 2004).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
451
digunakan untuk amplifikasi PCR tahap pertama maupun tahap kedua. Elektroforesis menggunakan
gel agarosa 1.8 % yang ditambahkan etidiumbromida (EtBr) dengan konsentrasi 1 µg/ml dan marker
DNA 100 bp (Vivantis, Malaysia). Selanjutnya hasil elektroforesis divisualisasi dengan pada
program Quantity One (BioRad).


Hasil PCR positif dari konsensus primer HASIL
dilanjutkan dengan sekuensing untuk diketahui
runutan nukleotidanya. Hasil sekuensing kemudian dianalisis menggunakan aplikasi MEGA 6
(    ) (Tamura   2013). Sekuen yang telah diperoleh
Hasil
dilakukanDeteksi antibodi
persejajaran dengan menuterhadap
. BoHV-1 dengan
Hasil pensejajaran ELISA
dilanjutkan dengan penelusuran
identitas (% ) pada program      (BLAST) (McGinnis dan
Madden, 2004).
Deteksi antibodi terhadap BoHV-1  dengan menggunakan ELISA

dilakukan pada tiga periode waktu yang

berbeda, hasil kalkulasi Optical
Density (OD) 450 nm masing-masing  sampel dilakukan mengikuti pedoman

pada Tabel 1. Hasil kalkulasi adanya antibodi pada sampel serum dinyatakan
Deteksi antibodi terhadap BoHV1 dengan menggunakan ELISA dilakukan pada tiga periode
positif
waktu yang jika Blocking
berbeda, % antibodi
hasil kalkulasi ≥ 55 dan
Optical Density (OD)dinyatakan negatifsampel
450 nm masingmasing jika Blocking
dilakukan %
mengikuti pedoman pada Tabel 1. Hasil kalkulasi adanya antibodi pada sampel serum dinyatakan
antibodi < 45. Hasil uji ELISA Pada tiga periode berturut-turut menunjukkan
positif jika Blocking % antibodi ≥ 55 dan dinyatakan negatif jika Blocking % antibodi < 45. Hasil uji
seropositif
ELISA Pada tigayang tinggi
periode (Gambar
berturutturut 1). seropositif yang tinggi (Gambar 1).
menunjukkan

Hasil Uji ELISA pada Tiga Periode Waktu Berbeda


800
600 734
681 633 668
400 537 517
200
20 96,28 48 92,95 66 91,01
0
I II III

Jumlah Sampel Hasil Positif Hasil Negatif % Positif

Gambar 1 Hasil Deteksi antibodi terhadap BoHV-1 dengan uji ELISA


dengan pengambilan sampel tiga periode waktu berbeda pada
sapi Aceh di BPTU-HPT Indrapuri.

Amplifikasi pada Gen Glikoprotein B dan Gen DNA Terminase

Deteksi molekuler BoHV-1 pada sampel usapan hidung dengan Real-


Time PCR menggunakan target glikoprotein B, pemeriksaan yang dilakukan
pada 375 tabung sampel usapan hidung menghasilkan negatif pada seluruh
sampel yang di uji. Selanjutnya hasil ekstraksi DNA pada pengujian pertama
digunakan untuk pengujian konsensus PCR sebanyak 210 tabung dari 375
tabung.

Amplifikasi konsensus PCR pada gen DNA Terminase virus dengan


menggunakan primer TS-TERM-708s dan TS-TERM-708as didapatkan pita
positif dengan ukuran sekitar 416 bp. Sebanyak empat sampel menunjukkan
hasil pita positif terhadap keluarga virus herpes setelah dilakukan validasi
terhadap kontrol positif uji menunjukkan hasil yang sama adanya pita positif
(Gambar 2). Hasil ini kemudian dilakukan sekuensing untuk dianalisis
spesies dari virus herpes tersebut.

452 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding

           

             


 Hasil PCR pada Target DNA Terminase


 









 








Gambar 2. Hasil Konsensus PCR dengan target amplifikasi DNA Terminase.
 

 M : Marker, 1 : DIC 1.1, 2 : DIC 1.2, 3 : DIC 1.6, 4 : DIC 1.7, 5:
Kontrol Positif, 6 : NTC

          
        
Analisa
Molekuler Gen
  Terminase
DNA    


Hasil Analisa
 molekuler dari hasil sekuensing gen DNA Terminase

ditemukan kemiripan
terhadap dua kelompok subkeluarga yaitu
Alphaherpesvirinae dan Gammaherpesvirinae.  Setelah dilakukan analisa

lebih lanjut, subkeluarga
  Gammaherpesvirinae
 mempunyai kemiripan
 
terhadap genus Macavirus,  sedangkan
 subkeluarga Alphaherpesvirinae
 
mempunyai kemiripan  terhadap 
 genus Varicellovirus  (Tabel
2).

Tabel 2 Hasil Analisa Sekuen pada gen DNA Terminase

Hasil BLAST
No Sampel Hasil PCR
Sub Keluarga Genus
1 DIC 1.1 Positif Alphaherpesvirinae Varicellovirus
2 DIC 1.2 Positif Alphaherpesvirinae Varicellovirus
3 DIC 1.6 Positif Gammaherpesvirinae Macavirus
4 DIC 1.7 Positif Alphaherpesvirinae Varicellovirus

PEMBAHASAN

Deteksi antibodi terhadap BoHV-1 dengan ELISA

Deteksi antibodi terhadap BoHV-1 dengan menggunakan ELISA telah


dilakukan pada tiga periode waktu yang berbeda, jarak pengambilan sampel
serum antara periode adalah enam bulan sampai satu tahun, sampel yang
diambil dari semua kategori ternak sapi yaitu indukan, pejantan dan dara.
Hasil ELISA berturut-turut menunjukkan seropositif yang tinggi yaitu

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
453
(517/537) 96.28%, (633/681) 92.95%, dan (668/734) 91.01%, berdasarkan
informasi yang didapatkan bahwa BPTU-HPT Indrapuri merupakan pusat
perbibitan yang belum melakukan program vaksinasi terhadap BoHV-1
(IBR). Pada kondisi hewan dengan status nonvaksinasi tetapi positif antibodi
yang tinggi mengindikasikan telah terjadi infeksi virus BoHV-1 secara
alamiah pada ternak di pusat perbibitan. Penelitian sebelumnya membuktikan
bahwa peternakan sapi yang tidak menunjukkan gejala klinis dengan status
nonvaksinasi menunjukkan hasil positif terhadap adanya BoHV-1 melalui uji
serologis dan identifikasi molekuler (Mahajan et al., 2013).

Analisa Molekuler Gen Glikoprotein B dan Gen DNA Terminase

Hasil amplifikasi gen glikoprotein B Rel-Time PCR menghasilkan produk


PCR negatif pada seluruh sampel yang di uji, melihat kondisi tersebut perlu
dilakukan pendeteksian molekuler dengan menggunakan konsensus PCR
yang dapat mendeteksi virus herpes tidak hanya pada tingkat genus tetapi
dapat mendeteksi virus herpes pada tingkat keluarga. Penggunaan Konsensus
PCR berhasil mengamplifikasi gen DNA Terminase dengan didapatkannya
pita positif sekitar 416 bp (Gambar 2). Hasil ini sesuai penelitian sebelumnya
deteksi virus herpes dengan menggunakan primer degenerate konsensus
PCR pada target DNA Terminase menghasilkan produk PCR dengan kisaran
panjang 419 bp (Chmielewicz et al., 2001).

Menurut Saepulloh et al. (2009), identity matrix BoHV-1 isolat Indonesia


berkisar antara 98.8 – 100 % dengan virus referensi Bovine herpesvirus 1
strain Cooper. Hal ini sesuai dengan hasil analisis identitas sekuen sampel
gen DNA Terminase dengan menggunakan BLAST menunjukkan 99 – 100
% sekuen sampel identik terhadap sekuen virus referensi yaitu BoHV-1.
Nilai tersebut merupakan persen identitas tertinggi dengan nilai query cover
sebesar 100 % jika dibandingkan dengan sekuen virus referensi yang ada
di database GenBank (Tabel 3). Dari data tersebut mengindikasikan bahwa
sekuen sampel identik dengan sekuen virus referensi.

454 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 3 Keidentikan sekuen sampel gen DNA Terminase dan virus
referensi

Sampel Virus Referensi BLAST No Akses


Bovine herpesvirus 1 strain Cooper 100 KU198480.1
Bovine herpesvirus type 1.2 strain SP1777 100 KM258883.1
Bovine herpesvirus type 1.2 strain SM023 100 KM258882.1
DIC 1.1, Bovine herpesvirus type 1.2 strain K22 100 KM258880.1
DIC 1.2, Bovine herpesvirus type 1.1 isolate NVSL 100 JX898220.1
DIC 1.7 Bovine herpesvirus type 1.1 100 AJ004801.1
Bovine herpesvirus type 1 Cooper 100 Z48053.1
Bovine herpesvirus type 1.2 strain B589 99 KM258881.1
Bovine alphaherpesvirus 1 isolate 216 II 99 KY215944.1
DIC 1.6 Bovine herpesvirus 6 Pennsylvania 47 99 KJ705001.1

Hasil menarik lainnya yaitu ditemukannya sekuen sampel yang


mempunyai nilai identitas 99 % terhadap BoHV-6 sebagai sekuen virus
referensi. BoHV-6 merupakan anggota subkeluarga Gammaherpesvirinae
berkedudukan satu genus dengan Alcelaphine herpesvirus 1 (AlHV-1) yang
merupakan penyebab penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF) dari
genus Macavirus. Hal ini mengindikasikan keberadaan virus BoHV-1 dan
BoHV-6 secara molekuler telah beredar di BPTU-HPT Indrapuri agar dapat
diwaspadai. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa gen DNA
Terminase mampu mendeteksi virus herpes baik pada lintas hewan dan lintas
spesies (Kurobe et al., 2008; Kleiboeker et al., 2002; VanDevanter et al.,
1996).

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil ELISA dengan seropositif tinggi pada sapi nonvaksinasi dalam


tiga periode waktu berbeda yaitu (517/537) 96.28%, (633/681) 92.95%
dan (668/734) 91.01%, mengindikasikan telah terjadi infeksi virus BoHV-
1 secara alamiah pada ternak. Pengujian dan analisa molekuler dengan
konsensus PCR tidak hanya mampu mendeteksi sekuen yang identik dengan
BoHV-1, tetapi juga mampu mendeteksi BoHV-6. Kemampuan deteksi
molekuler multispesies pada anggota keluarga Herpesviridae memberikan
informasi ilmiah untuk dapat ditindaklanjuti dengan melakukan isolasi dan
karakterisasi tingkat lanjut serta kewaspadaan dini adanya potensi emerging
diseases. Kebijakan vaksinasi merupakan opsi pilihan yang dapat digunakan
untuk pembebasan BoHV-1.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada PREDICT yang telah

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
455
mendanai penelitian dan mengizinkan penggunaan protokol PREDICT,
Drh Sintong HMT Hutasoit, MSi sebagai Kepala Balai Veteriner Medan
dan Dr Drh Joko Pamungkas, MSc sebagai Direktur Pusat Studi Satwa
Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB
(PSSP-LPPM IPB) atas bantuan dan fasilitas yang telah diberikan selama
penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf
Laboratorium Virologi dan Bioteknologi Balai Veteriner Medan dan kepada
seluruh staf Laboratorium Bioteknologi PSSP-LPPM IPB atas bantuan dan
pendampingan selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ackermann M, Engels M. 2006. Pro and contra Infectious Bovine


Rhinotrachaetis Eradication. Vet Microbiol. 113:293–302.

Anthony SJ, Goldstein T, Rejmanek D, Shanchez M.D, Seimon T, Fair J,


Schneider B, Epstein J, Lipkin I. 2013. Laboratory Protocols for
PREDICT Surveillance. USAID-PREDICT. 2(3):2013.

[BVet Bukittinggi] Balai Veteriner Bukittinggi (ID). 2014. Kegiatan


Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Sapi Potong. Laporan
Pelaksanaan Kegiatan No.530-2014. Direktorat Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

[BVet Medan] Balai Veteriner Medan (ID). 2014. Kegiatan Penanggulangan


Penyakit Hewan Menular Strategis. Laporan Pelaksanaan Kegiatan
Tahun 2014. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

[Kementan] Kementerian Pertanian Republik Indonesia (ID). 2013.


Keputusan Menteri Pertanian No.4026/kpts/OT.140/4/2013 tentang
penetapan jenis penyakit hewan menular strategis, Kementerian
Pertanian Republik Indonesia.

Kleiboeker SB, Miller MA, Schommer SK, Ramos-Vara JA, Boucher M,


Turnquist SE. 2002. Detection and multigenic characterization of a
herpesvirus associated with malignant catarrhal fever in white-tailed
deer (Odocoileus virginianus) from Missouri. J Clin Microbiol. 40
(4):1311‒1318.

Kurobe T, Kelley GO, Waltzek TB, Hedrick RP. 2008. Revised phylogenetic
relationships among herpesviruses isolated from sturgeons. J Aquat
Anim Health. 20 (2):96‒102.

456 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Mahajan V, Banga HS, Deka D, Filia G, Gupta A. 2013. Comparison of
diagnostic tests for diagnosis of infectious bovine rhinotracheitis in
natural cases of bovine abortion. J Com Path, 149(4), 391-401.

McGinnis S, Madden TL. 2004. BLAST: at the core of a powerful and diverse
set of sequence analysis tools. Nucleic Acids Res. 32(2):W20‒25.

Muylkens B, Thiry J, Kirten P, Schynts F, Thiry E. 2007. Bovine herpesvirus


1 infection and infectious bovine rhinotracheitis. Vet Res. 38(2):181–
209.

[OIE] Office International des Epizooties (FR). 2010. Manual of Diagnostic


Tests and Vaccines for Terrestrial Animals : Infectious Bovine
Rhinotracheitis/ Infectious Pustular Vulvovaginitis. Chapter 2.4.13.

Saepulloh M, Adjid RM, Wibawan IWT. 2008. Pengembangan Nested PCR


untuk Deteksi Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) pada Sediaan Usap
Mukosa Hidung dan Semen asal Sapi. JITV. 13(2):155‒164.

Saepulloh M, Setyaningsih S, Sajuthi D, Wibawan IWT. 2009. Karakteristik


molekuler Bovine Herpesvirus type 1 isolat Indonesia. JITV.
14(1)66‒74.

Tamura K, Stecher G, Peterson D, Filipski A, Kumar S. 2013. MEGA6:


molecular evolutionary genetics analysis version 6.0. Mol Biol Evol.
30(12):2725‒2729.

VanDevanter DR, Warrener P, Bennett L, Schultz ER, Coulter S, Garber RL,


Rose TM. 1996. Detection and analysis of diverse herpesviral species
by consensus primer PCR. J Clin Microbiol. 34(7):1666‒1671.

VanSchaik G, Shoukri M, Martin SW, Schukken YH, Nielen M, Hage JJ,


Dijkhuizen AA. 1999. Modeling the effect of an outbreak of bovine
herpesvirus type 1 on herd-level milk production of Dutch dairy
farms. J Dairy Sci. 82(5):944‒952.

Yildirim Y, Yilmaz V, Kalaycioglu AT, Dagalp SB, Majarashin AR, Celebi O,


Akca D. 2011. An investigation of a possible involvement of BVDV,
BHV-1 and BHV-4 infections in abortion of dairy cattle in Kars district
of Turkey. Kafkas Univ Vet Fak Derg.17:879‒883.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
457
IDENTIFIKASI VIRUS CLASSICAL SWINE FEVER PADA BABI
DI PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2016
Faisal1, Gantiah1 dan Sintong HMT Hutasoit1

¹Balai Veteriner Medan


faisal.dvm@gmail.com

ABSTRAK

Classical swine fever (CSF) virus adalah virus yang menginfeksi ternak babi dan merugikan
secara ekonomi karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Propinsi Sumatera Utara
merupakan salah satu sentral peternakani babi terbesar di Indonesia untuk itu perlu dilakukan
monitoring penyakit pada ternak babi dan salah satunya adalah CSF. Studi ini bertujuan melakukan
identifikasi dan distribusi virus CSF di Sumatera Utara. Sebanyak 816 darah (EDTA) dari 285
pemilik (farm) berhasil dikoleksi dari 20 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara pada tahun 2016. Hasil
pemeriksaan sampel secara qRT-PCR tahun 2016 ditemukan 61 sampel positif virus CSF yang
tersebar di 9 kabupaten. Sebanyak 8 sampel berhasil di sekuen pada gen E2 secara parsial. Filogram
yang dibentuk menggunakan software MEGA 7.0 dan Beast 1.8 kedelapan sekuen tersebar dalam
3 genotipe virus CSF. Hal ini menandakan virus CSF yang ada di Sumatera Utara kemungkinan
telah mengalami divergenitas genetik dan mempunyai turunan virus yang berbeda-beda. Kajian
terbatas perlu dilakukan dalam hal penentuan jenis vaksin yang beredar di Sumatera Utara berkaitan
ditemukannya berbagai genotipe virus CSF di Sumatera Utara.

Kata Kunci: RT-PCR, Sekuen E2, CSF, Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Classical swine fever (CSF) adalah penyakit viral pada babi yang
sangat menular di seluruh dunia (Fenner et al, 1993). Classical swine fever
disebabkan oleh virus RNA dengan genus Pestivirus famili Flaviviridae
(Wengler et al., 1995). Epidemi CSF biasanya menyebabkan angka kesakitan
dan kematian tinggi pada daerah padat populasi, untuk infeksi dengan
virulensi rendah dapat tidak teramati (Meuwissen et al., 1999, Dulac, 2004).
Secara immunologis dan genetik virus CSF mempunyai hubungan antigenik
yang dekat dengan Bovine viral diarrhea virus (BVDV) dan Border disease
virus (BDV). Kedua virus ini termasuk genus Pestivirus.

Uji konfirmasi dari laboratorium pada kasus yang diduga CSF adalah
sangat penting terutama untuk mendeteksi agen penyebab atau pengukuran
titer antibodi (Depner et al.,1994, Elbers et al., 2002). Deteksi virus CSF
dapat dilakukan dengan reverse transcriptase polymerase chain (RT-PCR)
dan teknik ini telah dikembangkan untuk mendeteksi virus CSF pada darah
(Chen et al., 2009; Risatti et al. 2003). Pemeriksaan secara laboratorium
dilakukan untuk mengeliminasi babi terinfeksi virus, mengetahui babi
kontak dengan virus, dan pemeriksaan sebelum dilakukan slaughter telah
terbukti menjadi penting dalam penyelidikan epidemiologi CSF (Koenen et
al, 1996; Mintiens et al, 2001).

458 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Di Indonesia CSF dilaporkan pertama kali tahun 1994 di Sumatera dan
menyebar ke Jawa tahun 1995 dan Papua tahun 2004 (DAFF, 2008). Di
Sumatera Utara peternakan babi merupakan salah satu kekuatan ekonomi
keluarga. Ternak babi berdampak secara finansial, adat dan social.
Adanya morbiditas dan mortalitas pada ternak babi berdampak terhadap
perekonomian masyarakat. Studi ini memberikan data tentang identifikasi
dan sebaran penyakit CSF pada peternakan babi di Provinsi Sumatera Utara.

MATERI DAN METODA

Sebanyak 816 darah (EDTA) berhasil dikoleksi dari tahun 2016 yang
berasal dari monitoring Hog Cholera dan investigasi kasus kematian babi.
Sebanyak sembilan dari 20 kab/kota positif CSF tahun 2016. Delapan sampel
berhasil disekuen parsial pada gen E2.

Primer

Amplifikasi target dan sekuensing parsial gen E2 menggunakan sepasang


primer primer forward 5’-GCTCCTGGTTGGTAACCTCGG-3’ dan reverse
5’-TGATGCTGTCACACAGGTGAA-3’.

RT PCR

Bahan isolasi RNA menggunakan PureLink™ micro-to-Midi Total


RNA purification system (Invitrogen). Master mix RT-PCR menggunakan
Taq Superscript™ III Polymerase (Invitrogen). Program PCR yang dipakai
adalah 48°C, 30 menit (1 siklus), predenaturasi 94°C, 2 menit (1 siklus),
denaturasi 94°C, 30 detik, annealing 50°C, 30 detik, ekstension 68°C, 40 detik
(40 siklus) dan ektension akhir suhu 68°C, 5 menit (1 siklus). Bahan untuk
elektroforesis menggunakan agarose (Invitrogen), TBE 10X (Invitrogen)
dan Ethedium Bromida.

DNA sequencing

Hasil produk PCR dimurnikan dan disekuensing menggunakan Big


Dyes TN Kits (Applied Biosystems, USA) dan ABI PRISMA 3700 DNA
Analyzer. Setiap sampel di sekuensing dalam dua arah yaitu forward dan
reverse.

Data Analisis

Filogram dibuat dengan menggunakan molecular evolution genetics


analysis (MEGA) versi 7.0. (Tamura et al., 2013). Rekontruksi filogeni
menggunakan neighbor joining dengan model Kimura 2 parameter dan jarak
genetik di hitung juga menggunakan model Kimura 2 parameter (Kimura,
1980). Bootstrap pada rekontruksi filogenetik memakai 1000x pengulangan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
459
(Felsenstein, 1985). Untuk mengetahui asal usul virus digunakan analisis
BEAST software 1.8.

HASIL

Hasil uji qRT-PCR pada sampel tahun 2016 didapatkan 61 sampel positif
dari 816 sampel virus CSF tersebar di 9 kabupaten/kota yaitu, Tapanuli Utara,
Karo, Dairi, Pak Pak Bharat, Simalungun, Langkat, Binjai, Deli Serdang, dan
Nias Barat. Gejala klinis yang terlihat adalah, babi menunjukkan depresi dan
anoreksia, suhu tubuh tinggi dan dijumpai adanya perdarahan pada hidung,
eritema kuping selain itu dijumpai diare, konstipasi, dan ada bintik merah di

tubuh serta konjungtifitis (Gambar 1).



 
 
 
 
 



 
 
 
 
 


Gambar
 
1. Gejala klinis dan PA. A. bintik merah (eritema), B. Perdarahan di
  limfoglandula usus




 Delapan
 sampel berhasil disekuen secara parsial pada gen E2. Hasil


elektroforesis ke delapan sampel dapat dilihat pada Gambar 2.

 
 




 
 
 
 
 
 
 
 
 
           

 
   

 
Gambar 2. Hasil elektroforesis delapan sampel positif CSF. Semua sampel


menunjukkan pita disekitar 507 bp. Nomor 1-8 adalah Dairi,



PhakPhak, Deli Serdang, Karo, Binjai, Langkat, Taput dan Nias



Barat.
    Marker
  adalah 1 kb.        

        
   
   

  
     
  
   
      
 
Rekonstruksi
 filogenetik
  
 menggunakan
 
  
 MEGA
 7.0
  
pada 79
sekuen

   
parsial E2 memperlihatkan
 8 
   virus CSF Sumatera
   Utara terdistribusi
  menjadi
  
3
tiga grup (Gambar 3). Grup pertama ditempati oleh satu virus asal Nias 3 Barat

460 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang satu grup dengan virus vaksin dari Switzeland (AY259122.1) dan vaksin
C Strain EP 0351901 (Z46258.1). Grup virus ini termasuk ke dalam genotipe
1 virus CSF. Pada grup kedua ada satu virus asal Taput yang berkelompok
dengan virus Belanda tahun 1977 (KJ619377.1), virus Cina tahun 2001
(AF407339.1) dan virus India tahun 2006 (KC533775.2). Kelompok virus ini
termasuk ke genotipe 2.2 virus CSF. Terakhir adalah grup 3 dimana terdapat
enam virus yaitu, virus asal Binjai, Dairi, Deli Serdang, Langkat, Karo dan
Pakpak Bharat yang mengelompok dengan virus Korea Selatan tahun 2016
(KX870109.1 dan
  KY290453.1). Virus
    virus
 ini termasuk
  ke 
  dalam
 genotipe
           
2.1 virus CSF.










































Gambar 3. 
Filogram sekuen parsial E2 CSF dengan virus referens. Virus
 lokal (merah) terdistribusi menjadi tiga grup. Rekonstruksi
filogeni dengan neighbor joining memakai MEGA 7,4 bootsrap
1000 kali dengan model Kimura 2 parameter

Untuk mengetahui asal dari virus CSF di Sumatera Utara dapat dianalisis
dengan program Bayesian Evolutionary Analysis by Sampling Trees
(BEAST). Gambaran filogeni secara BEAST 1.8 dapat dilihat pada Gambar
4, terlihat virus lokal terdistribusi menjadi tiga grup yang sama seperti

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
461
            
  
filogram menggunakan
  MEGA
    7.0. Filogeni
  BEAST
 jelas
  menunjukkan
  

bahwa grup virus Sumatera Utara

terbagi menjadi 3 turunan virus.






































Gambar 4. 
Filogram gen E2 parsial virus CSF dengan Bayesian MCMC,
analsis memakai BEAST software 1.8. Virus Sumatera Utara


terbagi menjadi tiga grup (merah titik satu dan dua serta tanda
biru) 5

Virus Nias Barat merupakan turunan grup pertama virus ini menginduk
ke virus vaksin Switzeland (AY259122.1) atau vaksin C Strain EP 0351901
(Z46258.1). Grup kedua, virus Taput terlihat merupakan turunan dari virus
Cina tahun 2001 (AF407339.1) virus ini mengelompok dengan virus Belanda
tahun 1977 (KJ619377.1) dan virus India tahun 2006 (KC533775.2). Grup
ketiga diisi oleh enam virus dan terlihat virus ini turunan dari virus Korea
Selatan tahun 2016 (KX870109.1 dan KY290453.1).

462 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMBAHASAN

Secara immunologis dan genetik virus CSF mempunyai hubungan


antigenik yang dekat dengan Bovine viral diarrhea virus (BVDV) dan Border
disease virus (BDV). Kedua virus ini termasuk genus Pestivirus. Homologi
sekuen nukleotida ke dua virus ini berkisar 66% dan asam amino sebesar 85%
dengan virus CSF. Uji konfirmasi dari laboratorium pada kasus yang diduga
CSF adalah sangat penting terutama untuk mendeteksi agen penyebab atau
pengukuran titer antibodi (Depner et al.,1994, Elbers et al., 2002).

Babi terinfeksi mengeluarkan virus melalui leleran hidung, air liur,


urin dan kotoran (Paton and Wilke, 2003). Pemeriksaan secara laboratorium
dilakukan untuk mengeliminasi babi terinfeksi virus, mengetahui babi kontak
dengan virus, dan pemeriksaan sebelum dilakukan slaughter telah terbukti
menjadi penting dalam penyelidikan epidemiologi CSF (Koenen et al, 1996;
Mintiens et al, 2001).

Gold standar untuk diagnosa CSF dilakukan pada isolasi virus, Uji serologi
untuk mendiagnosa CSF dapat menghasilkan hasil yang membingungkan
karena antibodi yang dideteksi dapat merupakan antibodi dari virus lain
(cross reaction) seperti Bovine Viral Diarrhoea atau Border Disease Virus
(Terpstra and Wensvoort, 1997). Untuk mengatasi hal tersebut, uji RT-PCR
dapat dilakukan dalam diagnosa CSF.

Munculnya wabah CSF dapat disebabkan oleh, tekanan dari sistem


peternakan babi tradisonal yang semi profesional, tingkat kepadatan
peternakan yang tinggi, pengaruh musim, tekanan immunologis dari multi
hospes (strain babi), dan penggunaan vaksin yang tidak tepat dapat memicu
timbulnya mutasi dan menimbulkan wabah Hog Cholera. Tingginya suhu
yang terjadi di Sumatera Utara tahun 2015 dan berlanjut ke tahun 2016
diduga sebagai salah satu penyebab munculnya wabah CSF.

Hasil filogram dengan MEGA 7.0 dam Beast 1.8 menunjukkan virus di
Sumatera Utara sudah terbagi menjadi 3 genotipe virus CSF yaitu genotipe
1, 2.1, dan 2.2. Dinamika virus ini tentunya harus ditanggapi secara serius,
karena pencegahan dan pengendalian virus CSF di Indonesia menggunakan
vaksin CSF strain C dari Cina. Virus vaksin strain C ini berada pada genotipe
1 virus CSF. Perlu dilakukan kajian apakah virus vaksin strain- C Cina ini
masih mampu untuk merangsang kekebalan optimal jika hewan terinfeksi
virus CSF dari genotipe lainnya.

Strain vaksin yang beredar sebagai upaya pengendalian penyakit CSF


di Indonesia adalah strain Cina, Kitasato, GPE, dan LOM. Banyaknya jenis
vaksin yang beredar tentunya perlu dikaji ulang, apakah vaksin ini sudah
sesuai dengan tingkat kebutuhan dari para peternak atau hanya sebagai
pemicu munculnya strain baru yang nantinya akan merugikan para peternak
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
463
sendiri. Pemerintah dalam hal ini tentunya harus membuat kajian-kajian
untuk kepentingan peternak dan pemerintah sendiri.

Seperti kita ketahui bersama penanggulangan wabah CSF di tanggani


dengan melakukan vaksinasi. Pencegahan yang efektif untuk mengatasi
penyakit CSF adalah vaksinasi dan stamping out (Subronto, 2003). Hasil
pengamatan Biront et al, (1987) menunjukkan bahwa kekebalan atau
antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi bukan hanya mampu melindungi
babi dari terjadinya penyakit tetapi juga mampu mencegah replikasi virus di
dalam tonsil atau tubuh babi. Ini berarti, vaksinasi dapat memotong rantai
penyebaran virus. Selain itu vaksin ini aman untuk dipakai.

KESIMPULAN DAN SARAN

Telah terjadi diversitas genetik dari virus CSF yang beredar di Sumatera
Utara. Virus yang beredar terbagi menjadi tiga bagian yakni, virus genotipe
1, 2.1, dan 2.2. dari virus CSF dunia. Perlu dilakukan kajian tentang
penggunaan vaksin strain- C Cina yang termasuk pada virus genotipe 1,
apakah masih mampu membuat kekebalan yang optimal terhadap infeksi
dari virus CSF dari genotipe lainnya. Pemerintah perlu mengkaji kebijakan
jenis vaksin yang dipakai terutama di Sumatera Utara sehubungan dengan
banyaknya jenis vaksin yang beredar.

LIMITASI

Analisis dinamika virus CSF di Sumatera Utara sedapatnya dilakukan


dengan menganalisis genom komplek dari virus sehingga data yang
dihasilkan dapat optimal dan kesimpulan lebih jelas. Namun keterbatas dana
sehingga analisis ini dilakukan hanya secara parsial, mungkin kedepan bisa
dianggarkan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Biront , P., Leunen, J and Vandeputte, J. 1987. Inhibition of virus replication


in the tonsils of pigs previously vaccinated with a Chinese strain
vaccine and challenged oronasally with a virulent strain of classical
swine fever virus, Vet. Microbiol, 14: pp. 105–113.

Chen, H.T., Zhang,J., Ma,L.N., Ma,Y.P., Ding, Y.Z., Liu, X.T., Chen, L.,
Ma.L.Q., Zhang.Y.G., and Liu, Y.S. 2009. Rapid pre-clinical detection
of classical swine fever by reverse transcription loop-mediated
isothermal amplification. Molecular and Cellular Probes 23:71–74

464 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Departemen of Agriculture, Fisheries and Forestry (DAFF), 2008. Classical
Swine Fever. Departemen of Agriculture, Fisheries and Forestry.
Australia. http://www.daff.gov.au/animal-plant-health/pests-diseases-
weeds/animal/swine-fever.

Depner, K., Gruber, A., Liess, B., 1994. Experimental infection of weaner pigs
with a field isolate of hog cholera/classical swine fever virus derived
from a recent outbreak in Lower Saxony. 1: Clinical, virological and
serological findings. Wien. Tierärztl. Mschr. 81, 370–373.

Dulac, G.C. 2004. Hog Cholera.http://www.vet.uga.edu/vpp/gray_book/


Handheld/ hoc.htm (diunduh 3 Mei 2017)

Elbers, A.R., Bouma, A., Stegeman, J.A., 2002. Quantitative assessment


of clinical signs for the detection of classical swine fever outbreaks
during an epidemic. Vet. Microbiol. 85, 323–332.

Felsenstein J. 1985. Confidence limits on phylogenies: An approach using


the bootstrap. Evolution 39:783-791.

Fenner F.J, Gibbs E.P.J, Murphy F.A, Rott R, Studdert M.J, White D.O. 1993.
Veterinary Virology 2nd Ed. Academic Press, San Diego, California,
USA.

Kimura M. 1980. A simple method for estimating evolutionary rate of base


substitutions through comparative studies of nucleotide sequences.
Journal of Molecular Evolution 16:111-120.

Koenen, F., G. Van Caenegem, J. P. Vermeersch, J. Vandenheede, and H.


Deluyker, 1996: Epidemiological characteristics of an outbreak of
classical swine fever in an area of high pig density. Vet. Rec. 139,
367–371.

Kumar S., Stecher G., and Tamura K. 2016. MEGA7: Molecular Evolutionary
Genetics Analysis version 7.0 for bigger datasets.Molecular Biology
and Evolution 33:1870-1874.

Meuwissen, M.P., Horst, S.H., Huirne, R.B., Dijkhuizen, A.A., 1999. A


model to estimate the financial consequences of classical swine fever
outbreaks: principles and outcomes. Prev. et. Med. 42, 249–270.

Mintiens, K., H. Deluyker, H. Laevens, F. Koenen, J. Dewulf, A. De Kruif.


2001. Descriptive epidemiology of a classical swine fever outbreak in
the Limburg province of Belgium in 1997. J. Vet. Med. B 48, 143-149.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
465
Paton, D.J., and Wilke, I.G. 2003. Classical swine fever - an update. Res Vet
Sci 75:169–178.

Risatti, G. R., J. D. Callahan, W. M. Nelson, and M. V. Borca. 2003. Rapid


detection of classical swine fever virus by a portable real-time reverse
transcriptase PCR assay. J. Clin. Microbiol. 41:500–505.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta.

Terpstra, C and Wensvoort, G. 1997. A congenital persistent infection


of bovine virus diarrhoea virus in pigs: clinical, virological and
immunological observations,” Vet Q, vol. 19, no. 3, pp. 97–101, View
at Google Scholar · View at Scopus

Wengler, G., Bradley, D.W., Collett, M.S., Heinz, F.X., Schlesinger, R.W.,
Strauss, J.H., 1995. Flaviviridae. In: Murphy, F.A., Fauquet, C.M.,
Bishop, D.H.L., Ghabrial, S.A., Jarvis, A.W., Martelli, G.P., Mayo,
M.A., Summers, M.D. (Eds.), Virus Taxonomy. Sixth Report of the
International Commitee on Taxonomy of Viruses. Springer Verlag,
New York, pp. 415–427.

466 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
IDENTIFIKASI PROFIL PROTEIN ISOLAT
TRYPANOSOMA EVANSI DENGAN METODE SDS-PAGE
Ichwan Yuniarto1, Nur Jannah1dan Umi Kulsum2

Balai Veteriner Banjarbaru

ABSTRAK

Surra merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi dan
merugikan secara ekonomis di dunia peternakan dan veteriner, terutama di negara-negara Afrika,
Amerika Selatan, Timur Tengah dan Asia. Pada tahun 2010-2011 Surra di Indonesia telah
mengakibatkan kematian 1159 ekor kuda, 600 ekor kerbau dan seekor sapi. Menurut hasil surveilans
Balai Veteriner Banjarbaru tahun 2012 di Kalimantan terjadi 14 kasus Surra, tahun 2013 terjadi 25
kasus dan pada tahun 2014 terjadi 26 kasus Surra melalui pemeriksaan ulas darah. Protein mempunyai
peranan penting dalam proses biologi karena protein merupakan komponen utama penyusun sel
makhluk hidup. Identifikasi profil protein menggunakan Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) tiga
isolat Trypanosoma evansi menggunakan metode SDS PAGE 12 % dengan pewarnaan Commasie
Brilliant Blue. Hasilnya menunjukkan bahwa tiga isolat tersebut mempunyai profil protein yang
berbeda meskipun satu spesies yang sama. Isolat A terdapat 14 protein dengan BM 174,76 – 7,17 kD,
isolat B teridentifikasi 15 protein dengan BM 143,11 – 7,17 kD dan isolat C teridentifikasi 13 protein
dengan BM 90,02 – 7,12 kD.

Kata kunci : Trypanosoma evansi, Surra, profil protein, SDS PAGE.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Surra merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit darah Trypanosoma


evansi. Parasit ini yang tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, termasuk di
benua Afrika dan Amerika (Davison et al. 2000; Abdel-Rady, 2008). Surra
dapat menyerang jenis ternak sapi, kerbau, onta, kuda, keledai, domba,
kambing, selain itu juga menyerang anjing, kucing, gajah, coati, capybara
dan marsupial (Stephen, 1986).

Kasus Surra di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun
2010 – 2011 mengakibatkan kematian sebanyak 1760 ekor ternak, terdiri dari
kuda 1159 ekor, kerbau 600 ekor dan sapi 1 ekor (Ditkeswan 2012). Menurut
hasil surveilans Balai Veteriner Banjarbaru tahun 2012 di Kalimantan terjadi
14 kasus Surra, tahun 2013 terjadi 25 kasus dan pada tahun 2014 terjadi 26
kasus Surra berdasarkan hasil pemeriksaan ulas darah.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
467










Sumber : Dokumentasi Balai Veteriner Banjarbaru, 2012.


Gambar 1. Trypanosoma evansi pada ulas darah sapi bali dengan pewarnaan
 
Giemsa.       
Protein mempunyai
 peranan penting
  dalam
  proses biologi 
 karena
protein merupakan komponen utama penyusun sel makhluk hidup
        termasuk
Trypanosoma evansi. Protein berfungsi sebagai katalisator, sebagai

pengangkut dan penyimpan molekul lain seperti oksigen, mendukung secara
mekanis

sistem   
kekebalan (imunitas) tubuh, 
menghasilkan   
pergerakan

tubuh, sebagai transmitor gerakan syaraf dan mengendalikan pertumbuhan 
     

dan perkembangan (Katili, 2009). Protein ini memainkan berbagai peranan
dalam benda
  hidup dan 
 bertanggung jawab
   untuk
 fungsi dan 
 ciri-ciri benda
hidup. Singh et al
          profil
(1995) juga telah melaporkan adanya keragaman  
protein pada membran sel dari tujuh isolat T. evansi dari India bagian utara.

Isolat dari Indonesia juga mempunyai profil protein yang berbeda. Hal ini
 
dilaporkan
oleh
Yuniarto
(2016)
bahwa 
adanya  protein
variasi profil isolat
 

dari beberapa wilayah kasus Surra di Indonesia.
        
 Kegiatan
ini bertujuan
 untuk melakukan
  identifikasi
 profil
  protein

isolat Trypanosoma evansi dari wilayah yang berbeda. Hasil
 dari kegiatan
ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar mengenai profil protein isolat
 Trypanosoma evansi.

BAHAN DAN METODE

          
Kegiatan ini menggunakan tiga isolat Trypanosoma evansi dari
 
wilayah kasus Surra
di Indonesia 
(Tabel 1) yang
telah diproses  
menjadi
      
Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) dan dilakukan di Laboratorium   

Parasitologi 
Balai  
Veteriner Banjarbaru pada bulan   
Mei 2016. Identifikasi
profil protein Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) Trypanosoma evansi

dilakukan
 menggunakan teknik Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide
Gel Electrophoresis / SDS-PAGE (Laemmli, 1970).

    
 
  
 

   


468

Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
 Prosiding
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018  

Tabel 1. Isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus Surra di Indonesia

No. Kode Asal Daerah Hewan Tahun


1 A Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kaliman- Kerbau rawa 2013
tan Selatan
2 B Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tengga- Kerbau 2012
ra Timur
3 C Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tengga- Kerbau 2012
ra Timur

Kuantifikasi Protein

Konsentrasi protein masing – masing STrAg diukur menggunakan


metode Bradford (Bradford, 1976) yang telah dimodifikasi. Protein standar
dibuat menggunakan Bovine Serum Albumin, dengan konsentrasi 0; 0,5; 0,75;
1; 1,25; 1,50 mg/ml. STrAg dan protein standar masing – masing diambil
10 µl dan dilarutkan dalam 190 µL larutan Bradford. Setelah dilakukan
homogenisasi, 80 µl dari setiap protein standar dan protein sampel (STrAg)
dimasukkan ke microplate dan dibaca menggunakan ELISA Reader dengan
panjang gelombang 620 nm. Nilai absorbansi kemudian dikonversi menjadi
kadar protein.

Persiapan Sampel

Sampel / STrAg dengan konsentrasi 10 µg dicampur dengan sampel


buffer (Laemmli sample buffer + 2-mercaptoethanol) dengan perbandingan
1 : 1 ke dalam microtube. Homogenisasi sampel dengan menggunakan
mikropipet.

.Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis/SDS-PAGE

Gel 12 % (TGX Stain-Free™ Fastcast Acrylamide, 12%) dipasang


pada casting frame alat elektroforesis kemudian ditambahkan running buffer
(Tris/Glycine/SDS buffer). Sampel yang telah disiapkan dan marker dengan
batasan berat molekul 250 – 10 kD (Precision plus protein standard dual
color) dimasukkan ke dalam well. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan
110 volt selama 90 menit atau setelah warna biru turun seluruhnya.

Gel hasil elektroforesis dilepaskan pelan-pelan ke dalam cawan petri


yang berisi larutan pewarna (Commasie Brilliant Blue) kemudian digoyang
selama 15 menit atau sampai timbul pita-pita proteinnya. Selanjutnya,
larutan pewarna dibuang dan diganti dengan larutan destaining (digoyang
sampai gel jernih) kemudian setelah gel jernih larutan destaining diganti
dengan aquades.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
469
Gel hasil elektroforesis dilepaskan pelanpelan ke dalam cawan petri yang
berisi larutan pewarna (  ) kemudian digoyang selama 15
menit atau sampai timbul pitapita proteinnya. Selanjutnya, larutan pewarna dibuang
dan diganti dengan larutan  (digoyang sampai gel jernih) kemudian setelah
gel jernih larutan  diganti dengan aquades.










Gambar 2. Proses memasukkan sampel ke dalam (gambar kiri), proses running
Gambar 2. Proses SDS
memasukkan sampel
PAGE 12 % dengan ke dalam well (gambar
(gambar kanan). kiri), proses

 running SDS PAGE 12 % dengan mini protean tetra system
(gambar kanan).

Berat Molekul (BM) Protein

Penentuan berat molekul dilakukan dengan menghitung nilai Rf


(Retention factor) dari masing-masing pita (band) dengan rumus seperti di
bawah ini :
Jarak pergerakan protein dari tempat awal
Rf =
Panjang gel (Jarak pergerakan warna dari tempat awal)

Formula yang diperoleh dapat berupa regresi linier, kuadratik atau


kubik dan digunakan untuk menghitung berat molekul pada sampel dengan
        


menentukan nilai Rf sampel 


(X) dan berat molekul sampel
 
(Y). Selanjutnya,
hasil dimasukkan ke software penghitungan berat molekul (Rf converter).
 



HASIL DAN PEMBAHASAN






Identifikasi profil protein tiga isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus


Surra yang berbeda di
Indonesia dapat
    dilihat
pada
 Gambar
  3.





















          
Gambar 3. Profil protein dari tiga isolat yang berbeda (M : protein standar
           
        
250 – 10 kD; A : isolat dari Kabupaten Hulu Sungai Utara,



Provinsi Kalimantan Selatan; B dan C : isolat dari Kabupaten



         
Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) pada SDS PAGE
12% dengan pewarnaan Commasie Brilliant Blue.
470 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Pada gambar 3 secara umum terlihat jelas bahwa dari tiga isolat
Trypanosoma evansi menunjukkan profil protein yang berbeda. Meskipun
demikian perbedaan itu tidak menjadikan isolat tersebut berbeda spesies
tetapi masih satu spesies yang sama yaitu Trypanosoma evansi. Hasil ini
tidak berbeda dengan Uche et al. (1992) yang melaporkan bahwa adanya
perbedaan profil protein Trypanosoma evansi dari tiga negara yang berbeda
yaitu isolat dari Indonesia, Mesir dan Yaman dengan menggunakan metode
SDS PAGE. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Yuniarto (2016) bahwa
terdapat perbedaan profil protein dari sembilan isolat yang diisolasi dari
hewan dan wilayah yang berbeda di Indonesia. Isolat Trypanosoma evansi
yang diisolasi dari wilayah yang sama (kabupaten Serang, Banten) dan dalam
waktu yang bersamaan (tahun 2014) mempunyai profil protein yang berbeda
(Yuniarto, 2016).

Perbedaan dapat dilihat dari jumlah protein (garis/pita) yang


teridentifikasi dan ketebalan protein pada tiap – tiap isolat. Isolat A terdapat
14 protein dengan BM 174,76 – 7,17 kD, Isolat B teridentifikasi 15 protein
dengan BM 143,11 – 7,17 kD dan isolat C sebanyak 13 protein teridentifikasi
dengan BM 90,02 – 7,12 kD. Isolat A mempunyai protein mayor (tebal) lebih
banyak dibandingkan isolat B sedangkan isolat hanya mempunyai protein
minor (tipis). Perbedaan ini lebih berkaitan dengan regulasi ekspresi protein
terkait fisiologi individual dari setiap isolat. Mengingat protein merupakan
komponen utama penyusun dan komponen fungsional makhluk hidup
sehingga dengan melihat profil protein ketiga isolat tersebut dapat dipastikan
bahwa fungsi fisiologi individual dari ketiga isolat tidak sama. Hal ini dapat
dikatakan bahwa profil protein yang berbeda menyebabkan adanya variasi
sifat maupun tingkah laku individu dari masing – masing isolat meskipun
masih dalam satu spesies yang sama.

Dalam beberapa penelitian terhadap isolat Trypanosoma evansi dari


Indonesia menunjukkan adanya variasi spesies atau dapat juga disebut
subpopulasi yang diamati dari pola parasitemia dan kecepatan membunuh
inang serta respon terhadap trypanosidal yang berbeda. Subekti et al. (2013)
membagi pola biologis Trypanosoma evansi berdasarkan perbedaan pola
parasitemia dan patogenesis pada mencit menjadi tiga kategori yaitu biotipe
1 mempunyai kemampuan membunuh, periode prepaten dan peningkatan
parasitemia paling cepat, biotipe 2 dan biotipe 3 kemampuan membunuh,
periode prepaten dan peningkatan parasitemianya lebih lama dari pada
biotipe 1. Biotipe 2 mempunyai ciri adanya parasitemia undulan dan biotipe
3 mampu mempertahankan parasitemia tinggi dalam waktu lama tanpa
adanya parasitemia undulan. Subekti et al. (2015) melaporkan bahwa isolat
Indonesia dari wilayah yang berbeda menunjukan kepekaan yang bervariasi
terhadap trypanosidal. Isolat dari Kalimantan Selatan hanya efektif dengan
pengobatan suramin sedangkan isolat dari wilayah Lampung, Banten dan

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
471
Nusa Tenggara Timur masih dapat menggunakan trypanosidal selain suramin
yaitu diminazene diaceturate dan melarsomine dihydrochloride.

KESIMPULAN

Profil protein tiga isolat dari wilayah kasus Surra yang berbeda di
Indonesia yaitu isolat A dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi
Kalimantan Selatan terdapat 14 protein dengan BM 174,76 – 7,17 kD
sedangkan dua isolat dari Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara
Timur yaitu isolat B teridentifikasi 15 protein dengan BM 143,11 – 7,17 kD
dan isolat C ada 13 protein yang teridentifikasi dengan BM 90,02 – 7,12 kD.

Hasil kegiatan ini menunjukkan adanya perbedaan profil protein dari


ketiga isolat yang berarti bahwa ketiga isolat tersebut juga mempunyai
fisiologi yang berbeda meskipun masih dalam satu spesies yang sama yaitu
Trypanosoma evansi.

Identifikasi profil protein dapat menunjukkan adanya variasi individu


atau subpopulasi dalam satu spesies yang sama.

SARAN

Dengan adanya variasi profil protein Trypanosoma evansi diharapkan


dapat menjadi informasi penting dalam menetapkan langkah – langkah
pengendalian Surra di Indonesia.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang variasi profil protein dari
masing – masing isolat Trypanosoma evansi yang dapat dijadikan bahan
utama alat diagnosa Surra yang lebih spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Rady A. 2008. Epidemiological studies (parasitological, serological


and molecular techniques) of Trypanosoma evansi infection in camels
(Camelus dromedarius) in Egypt. Vet.World 1 (11) : 325 – 328.

Balai Veteriner Banjarbaru. 2013. Peta Penyakit Hewan 2012. Direktorat


Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Banjarbaru (ID).

Balai Veteriner Banjarbaru. 2014. Peta Penyakit Hewan 2013. Direktorat


Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Banjarbaru (ID).

472 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Balai Veteriner Banjarbaru. 2015. Peta Penyakit Hewan 2014. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Banjarbaru (ID).

Bradford M. 1976. A rapid and sensitive method for de quantitation of


microgram quantitites of protein utilizing the principle of protein-dye
binding. Analytical Biochemistry. 72 : 248 – 254.

Davison HC, Thrusfield MV, Husein A, Muharsini S, Partoutomo S, Rae


P and Luckins AG. 2000. The occurrence of Trypanosoma evansi
in buffaloes in Indonesia, estimated using various diagnostic tests.
Epidemiol. Infect. 124 : 163 – 172.

Direktorat Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman pengendalian dan


pemberantasan penyakit Trypanosomiasis (Surra). Jakarta (ID) :
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.

Katili AS. 2009. Struktur dan fungsi protein kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu 2
(5) : 19 – 29.

Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during assembly of head


bacteriophage T4. Nature, 227 : 680-685.

Singh V, Singh A and Chhabra, MB. 1995. Polypeptide profiles and antigenic
characterization of cell membrane and flagellar preparations of different
stocks of Trypanosoma evansi. Veterinary Parasitology 56 : 269 – 279.

Stephen Lorne E. 1986. Trypanosomiasis a veterinary perspective. Pergamon


Press. Oxford (UK).

Subekti DT, Sawitri DH, Wardhana AH dan Suhardono. 2013. Pola


Parasitemia dan Kematian Mencit yang Diinfeksi Trypanosoma
evansi Isolat Indonesia. JITV 18 (4) : 274 – 290.

Subekti DT, Yuniarto I, Sulinawati, Susiani H, Santosa B, Amaliah F, Utomo


BN, Dahlan M, Suharyanto dan Sukarya. 2015. Perbedaan Kepekaan
Antar Isolat Trypanosoma Indonesia Terhadap Beberapa Trypanosidal.
JITV in press.

Uche UE, Ross CA and Jones TW. 1992. Identification of the surface components
of Trypanosoma evansi. Research in Veteriary Science 53 : 252-253.

Yuniarto I. 2016. Karakterisasi Protein Isolat Trypanosoma evansi dari


Wilayah Kasus Surra di Indonesia [thesis]. Institut Pertanian Bogor.
Bogor (ID).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
473
KORELASI KEKERDILAN SAPI SIMMENTAL DENGAN
DEFISIENSI MINERAL TUBUH

Bahagia Sari

Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak Padang Mengatas


bahagiasari@gmail.com

ABSTRAK

BPTUHPT Padang Mengatas antara tahun 2016 - 2018 terdapat 24 ekor sapi lepas sapih yang
memiliki bobot badan kerdil dibandingkan sapi lainnya. Hal ini berkaitan kurangnya asupan susu
induk selama masa anak yang mengandung mineral kalsium. Tujuan penelitian meninjau korelasi
antara kekerdilan sapi Simmental dengan defisiensi mineral terutama kalsium darah. Metode
penelitian yaitu menguji mineral kalsium darah yang diperiksa di BVET Bukittinggi. Penelitian
ini dimulai dari tahun 2016, 2017, dan 2018. Hasilnya tahun 2016 no epi 02160477 dilakukan
pemeriksaan 6 ekor sapi kerdil terdapat 4 ekor kurang kalsium darah, tahun 2017 no epi 02170396
dilakukan pemeriksaan 11 ekor sapi kerdil terdapat 4 ekor memiliki kurang kalsium darah, dan
tahun 2018 no epi 02180022 dilakukan pemeriksaan 7 ekor sapi kerdil terdapat 5 ekor memiliki
kurang kalsium darah. Penyebab kekerdilan sapi Simmental yang dihubungkan dengan kekurangan
mineral darah adalah kalsium berfungsi memproduksi enzim yang mengubah makanan menjadi
energy, membuat tulang dan gigi menjadi kuat, serta membantu menjaga tekanan darah tubuh. Anak
sapi apabila mengalami kekurangan kalsium tidak akan dapat mencapai tinggi badan maksimal
ketika dewasa, Terdapat korelasi antara kekerdilan sapi Simmental dengan defisiensi mineral tubuh
yaitu apabila semasa anak kurang mendapatkan air susu induk sapi maka menyebabkan kekerdilan
tubuh dan apabila anak sapi cukup mendapatkan air susu induk maka pertumbuhan akan optimal.
Pemantauan asupan air susu diawal masa pertumbuhan anak sapi dapat mencegah kekerdilan serta
perlunya perlakuan khusus terutama pemberian pakan, feed suplemen, dan pemberian vitamin secara
sesuai kebutuhan tubuh dan secara terus menerus.

Kata kunci: kekerdilan, simmental, sampel darah, susu, kalsium

PENDAHULUAN

Simmental termasuk bangsa Bos Taurus yang memiliki ciri khas


bobot badan terberat yang dapat mencapai 1 ton lebih untuk sapi pejantan
dewasa serta bobot badan 800 kg lebih untuk sapi betina dewasa. Hal yang
sama seperti yang disampaikan oleh Blakely dan Bade tahun 1991 yang
menyatakan bahwa sapi simmental merupakan sapi yang memiliki ukuran
besar, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa.
Simmental dikatakan sapi potong yang unggul karena dapat menghasilkan
karkas terbesar dibandingkan sapi potong lainnya. Ditambahkan oleh
Pane, 1993 bahwa berat sapih sapi simmental cukup tinggi demikian pula
pertambahan berat badan setelah sapih. Berdasarkan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor: 07/Permentan/OT.140/1/2008 pada tanggal 30 Januari
2008 menyatakan kriteria Simmental yang sebagai sapi bibit, antara lain
pada pejantan simmental memiliki warna bervariasi dari merah gelap sampai
kuning kecoklatan, bertanduk, tubuh sedang, kompak dan padat, tinggi
gumba minimal 130 cm, berumur 30-36 bulan (minimal ganti gigi 2 pasang,
maksimal ganti gigi 3 pasang), berat badan minimal 300 kg. Adapun criteria
sapi bibit pada sapi betina simmental antara lain memiliki warna bervariasi
dari merah gelap sampai kuning kecoklatan, bertanduk, tubuh sedang,
474 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
kompak dan padat, tinggi gumba minimal 120 cm, berumur 18 sampai 30
bulan (maksimal ganti gigi 2 pasang), dan berat badan minimal 250 kg.
BPTUHPT Padang Mengatas masih memiliki kendala terhadap kriteria
sapi bibit karena pada tahun 2016 terdapat kasus kekerdilan tubuh pada
sapi lepas sapih dengan persentase 0,58% dari populasi sapi, ditahun 2017
sebesar 0,79%, dan tahun 2018 sebesar 0,43%. Suatu upaya mengetahui
penyebab kasus kekerdilan ini terjadi dengan cara melakukan penelusuran
riwayat hidup dari identitas induk, hasil surveilans sapi, serta factor pemicu
lainnya. Adanya keterkaitan sapi kerdil ternyata berasal dari induk sapi
yang bermasalah dalam kesehatan. Keterkaitan keduanya adalah kualitas
dan kuantitas air susu yang rendah yang dikonsumsi anak sapi. Perlunya
penelusuran hal ini untuk melihat faktor-faktor penyebab kekerdilan yang
sebenarnya.

TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kekerdilan sapi


simmental dengan defisiensi mineral terutama kalsium darah.

MATERI DAN METODA

Penelitian ini berdasarkan penemuan di tahun 2016 terdapat enam


ekor, di tahun 2017 terdapat sebelas ekor, dan di tahun 2018 terdapat tujuh
ekor sapi Simmental lepas sapih yang berukuran kerdil yang ditemukan
dilapangan. Walaupun persentase kekerdilan sangat kecil tetapi tetap
dilakukan upaya penanganan kekerdilan sapi simmental. Kekerdilan
ini berdasarkan karakteristik postur tubuh yang berukuran lebih kecil
dibandingkan sapi lainnya yang seumur. Perlunya dilakukan penyelidikan
factor-faktorc penyebab kekerdilan. Duapuluh empat sapi lepas sapih tersebut
dikelompokan dan selanjutnya diperlakukan khusus dari pemberian pakan
dan vitamin. Penelitian ini dimulai sejak tahun 2016 sampai tahun 2018.
Pada tahun 2016 dikumpulkan enam ekor sapi Simmental lepas sapih dalam
satu kelompok, dilakukan perlakuan pertama adalah pengambilan sampel
darah untuk pengujian mineral darah, perlakuan selanjutnya pengoptimalan
pertumbuhan dengan pakan yang ditambahkan feed supplement serta
pemberian vitamin ADEK, pada tahun 2017 dikumpulkan sebelas ekor sapi
lepas sapi yang berukuran lebih kecil dari kawanan lainnya dan dikelompokan
serta diberi perlakuan yang pertama adalah pengambilan sampel darah dan
selanjutnya pemberian pakan konsentrat ditambahkan feed suplemen setiap
hari serta vitamin ADEK secara regular. Pada tahun 2018 dikumpulkan
tujuh ekor sapi Simmental kerdil, dikelompokan menjadi satu kelompok dan
diperlakukan sama dengan tahun yang sebelumnya.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
475

             

           

Langkah-langkah prosedur penelitian, antara lain:

1. Pengelompokan Sapi yang berumur antara lima sampai tujuh bulan

yang berukuran lebih kecil atau kerdill berdasarkan pengamatan dan
 
pencatatan. Kondisi sapi simmental kerdil yang dipelihara secara


terpisah seperti yang diperlihatkan pada gambar 1.


     


Gambar  1.
 
 
2. Pengambilan sampel darah (serum) untuk pengujian uji mineral

terutama kalsium 
darah    
Setiap sapi dilakukan pengambilan darah sebanyak 3-5 ml, cairan
bening  
(serum) dipisahkan 
dari endapan darah dan serum    
dimasukan
dalam tube serum ukuran 2 ml

3. Pemberian pakan ditambah feed suplemen
Setiap 
pagi diberikan konsentrat dengan komposisi dedak, bungkil
kelapa, ongok, mineral, garam sebanyak 5% dari berat badan yang
 
dicampurkan SKVet (feed suplemen), diberikan pemberian pakan
hijauan sebesar 10% dari berat badan, pemberian minuman ad libitum.

4. Pemberian 
vitamin A D E     
Setiap
bulan dilakukan pemeriksaan kesehatan dan pemberian vitamin
ADE selama 2-3 bulan.





A B C D
Keterangan : A : Pemeriksaan Temperatur
 B : Pemeriksaan Frekuensi denyut jantung

C , D : Penentuan dan pemberian Vitamin
5. Penimbangan berat badan sapi kerdil

Melakukan penimbangan berat badan setiap sebulan sekali.

  
 PenyidikanPenyakit Hewan Rapat

dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
476 Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)

 
HASIL

Berdasarkan pengujian mineral darah terhadap sapi kerdil maka


didapatkan hasil sebagai berikut, di tahun 2016 dengan nomor epi 02160477
dilakukan pemeriksaan 6 ekor sapi kerdil terdapat 4 ekor kurang kalsium
darah dan dua ekor lainnya normal, pada tahun 2017 dengan nomor epi
02170396 dilakukan pemeriksaan terhadap sebelas ekor sapi kerdil terdapat
empat ekor memiliki kurang kalsium darah dan tujuh ekor lainnya normal,
serta pada tahun 2018 dengan nomor epi 02180022 dilakukan pemeriksaan
7 ekor sapi kerdil terdapat lima ekor memiliki kurang kalsium darah dan
dua ekor lainnya normal. Adapun hasil uji mineral kalsium darah dirangkum
berdasarkan hasil laboratorium dari Balai Veteriner Bukit Tinggi seperti pada
tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Hasil Uji Mineral (sumber BVET Bukittinggi)

Signalement Ternak
No Nomor Tanggal Jenis Nomor Tanggal Tanggal Hasil
Telinga Lahir Kelamin Epi Kirim Jawab Uji Mineral
1 0782 19/10/2015 Jantan 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca < normal
2 0584 01/06/2015 Betina 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca < normal
3 Pkl 0796 18/11/2015 Jantan 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca < normal
4 0540 22/04/2015 Betina 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca = normal
5 0826 10/09/2016 Jantan 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca < normal
6 Pkl 0580 28/05/2015 Jantan 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca = normal
7 17.10.16 28/10/2016 Jantan 02160477 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
8 12.10.16 23/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
9 09.10.16 20/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
10 02.11.16 01/11/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
11 22.10.16 31/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca < normal
12 14.10.16 25/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
13 12.11.16 05/11/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
14 05.11.16 01/11/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca < normal
15 13.10.16 25/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca < normal
16 13.11.16 05/11/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
17 14.11.16 05/11/2016 Betina 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca < normal
18 19.06.17 11/06/2017 Betina 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca = normal
19 04.05.17 07/05/2017 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal
20 03.01.17 06/01/2017 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal
21 49.12.16 29/12/2016 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca = normal
22 44.12.16 21/12/2016 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal
23 10.06.16 13/06/2016 betina 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal
24 21.01.17 31/01/2017 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
477
Adapun selisih berat antara berat lahir sapi dengan berat sapi lepas sapi
seperti yang diperlihatkan pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Data berat lahir dan berat badan sapi

Selisih Berat Lahir dengan Berat


Nomor Berat Lahir Berat Sapih Sapih
No
Telinga (kg) (kg)
(BS – BL) kg
1 Pkl 0782 46 219,16 173,16
2 Pkl 0584 40 62,78 22,78
3 Pkl 0796 42 152,10 110,10
4 Pkl 0540 36 82,20 46,20
5 Pkl 0826 40 83,15 43,15
6 Pkl 0580 41 80,89 39,89
7 17.10.16 46 180,92 134,92
8 12.10.16 46 154,1 108,10
9 09.10.16 43 124,4 81,40
10 02.11.16 38 248,42 210,42
11 22.10.16 45 163,96 118,96
12 14.10.16 40 155,55 115,55
13 12.11.16 46 172,49 126,49
14 05.11.16 40 165,99 125,99
15 13.10.16 42 162,76 120,76
16 13.11.16 48 158,03 110,03
17 14.11.16 48 167,95 119,95
18 19.06.17 42 152,25 110,25
19 04.05.17 42 151 109,00
20 03.01.17 50 217,63 167,63
21 49.12.16 46 160 114,00
22 44.12.16 44 219 175,00
23 10.06.16 45 165,03 120,03
24 21.01.17 40 189,19 149,19

PEMBAHASAN

Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain


dipengaruhi secara genetik, hormonal, nutrisi makanan, dan penyakit. Apabila
genetik yang mempengaruhi berarti ada keterlibatan gen keturunan sehingga
sapi Simmental identik dengan sapi berukuran besar. Faktor hormonal juga
mempengaruhi pertumbuhan yang dapat menyebabkan pertumbuhan berhenti
atau dapat juga menjadi pertumbuhan menjadi raksasa, dimana hormone
berfungsi mengatur pertumbuhan, reproduksi, tingkah laku, keseimbangan
dan metabolisme. Faktor makanan juga mempengaruhi pertumbuhan
sapi, apabila kekurangan zat-zat makanan tertentu dapat mengakibatkan

478 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
terganggunya pertumbuhan sapi tersebut. Faktor yang lain adalah factor
penyakit yang dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan atau istilah
lainnya kretinisme adalah penyakit hipotiroidisme bawaan (Wikipedia,
2017).

Terganggunya pertumbuhan pada sapi Simmental lepas sapi berdasarkan


hasil laboratorium secara nyata disebabkan kekurangan asupan air susu
induk selama masa menyusui, dimana air susu banyak mengandung bahan
kering 12,2%, lemak 3,5% , protein 3,1%, dan mineral 0,7%. Kandungan
air susu sapi, menurut Anonimus, 2017 air susu mengandung minimal 3,25
persen lemak susu dan 8,25 persen padatan susu bukan lemak yakni protein,
karbohidrat, vitamin larut air, mineral kalsium, magnesium, fosfor, dan zinc,
casein dan omega-3. Berdasarkan Underwood dan Sutle, 1999 dan Ortolani,
2001 menyatakan bahwa ada sebelas mineral yang diperlukan oleh sapi
antara lain: kalsium (Ca), berfungsi untuk proses pembentukan pertulangan
baik pertulangan kaki, badan, kerangka, maupun pertulangan gigi, fosfor
(P), berfungsi pembentukan pertulangan dan gigi ternak, magnesium
(Mg), berfungsi membantu membentuk sel darah merah dengan mengikat
oksigen dan hemoglobin, natrium (Na), berfungsi membentuk garam dalam
tubuh dengan menghantarkan impuls dalam serabut syaraf dan membantu
meningkatkan tekanan osmosis pada sel yang menjaga keseimbangan
cairan sel, klor (Cl), berfungsi membentuk garam (HCl) pada lambung dan
menghambat pertumbuhan penyakit didalam lambung, sulfur (S), berfungsi
membantu meningkatkan kinerja mikroba, besi (Fe), berfungsi membantu
mengabsorbsi dan mentransport oksigen kedalam sel seluruh tubuh dan
sebagai oksidasi, tembaga (Cu), berfungsi proses pembentukan hemoglobin
pada sel darah merah, seng (Zn), berfungsi membentuk enzim, hormone
dan juga membantu meningkatkan pengecapan makanan, mangan (Mn),
berfungsi mengatur pertumbuhan dan organ reproduksi ternak, kobalt (Co),
berfungsi pembentukan pembulu darah ternak.

Berdasarkan kejadian dilapangan terhadap sapi-sapi kerdil tersebut


terdapat beberapa factor penyebab terjadinya kekerdilan pada sapi antara
lain pertama faktor susu induk , anak sapi yang mengalami fase tahapan
pertumbuhan semasa pedet mengalami kekurangan air susu induk yang
diperoleh selama masa menyusui . Berdasarkan hasil uji mineral dari 24 ekor
sapi kerdil terdapat 14 ekor mengalami kekurangan kalsium dalam darah dan
10 ekor lainnya dalam status normal. Hubungan kekerdilan dengan defisiensi
mineral darah terutama mineral kalsium karen kalsium yang terdapat
didalam susu berfungsi memproduksi enzim yang mengubah makanan
menjadi energy, membuat tulang dan gigi menjadi kuat, serta membantu
menjaga tekanan darah tubuh . Anak sapi apabila mengalami kekurangan
kalsium tidak akan dapat mencapai tinggi badan maksimal ketika beranjak
dewasa. Asupan nutrisi air susu berbanding tegak lurus dengan optimalnya
pertumbuhan pedet. Upaya pencegahan kekerdilan permanen pada sapi

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
479
Simmental dilakukan tindakan antara lain pemberian pakan yang ditambahkan
feed supplement secara kontinu dan pemberian secara injeksi vitamin ADE
plus mineral secara kontinu. Diharapkan dengan memperhatikan kondisi sapi
kerdil dapat meningkatkan progress pertumbuhan mereka. Hal ini dikuatkan
oleh penyataan anonimus,2018 yaitu efek negative akibat defisiensi mineral
antara lain mengakibatkan pertumbuhan terhambat, konsumsi ransum akan
menurun, laju metabolic basal akan meningkat, aktifitas dan nafsu makan
akan menurun, peredaran akan terhambat, produksi daging dan juga susu akan
menurun serta bulu akan mengalami kerontokan. Berdasarkan penanganan
kekerdilan dengan memperbaiki pemberian pakan hijauan dengan pemberian
rumput gajah atau Pennisetum purpureum yang mengandung 19,9% bahan
kering; 10,2 % protein kasar; 1,6% lemak; 34%,2 serat kasar; 11,7% abu; dan
42,3% bahan esktrak tanpa nitrogen, tanaman Alfalfa, banyak mengandung
mineral dan multivitamin antara lain Calcium, Beta Carotene, Vitamins A,
B1, B6, B12, C, E, K1, Folic Acid, Biotin, Pantothenic Acid, Niacin dan
Klorofil (Hartadi,1980), rumput Brachia decumbens yang mengandung BK
81%, PK 7%, abu 6,5%, SK 35,1% dan BETN 49,2% (Miles, 1996) dan
jenis legume seperti Arachis pintoi memiliki kandungan protein yang tinggi
dan Indigovera sp sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak
dan mengandung protein kasar 27,9%, serat kasar 15,25%, kalsium 0,22%
dan fosfor 0,18%. Leguminosa Indigofera sp. memiliki kandungan protein
yang tinggi (Hartadi, 1980), pemberian konsentrat yang ditambahkan
feed supplement seperti SKVet serta injeksi vitamin ADE yang reguler
mengakibatkan adanya kemajuan perkembangan pertumbuhan pasca sakit
pada sapi simenntal yang mengalami keterlambatan pertumbuhan badan
(kekerdilan).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil laboratorium pengujian Uji Mineral terdapat korelasi


antara kekerdilan sapi Simmental dengan defisiensi mineral tubuh terutama
kalsium yaitu kalsium adalah mineral yang membantu proses pembentukan
pertulangan baik pertulangan kaki, badan, kerangka, maupun pertulangan
gigi. Apabila asupan mineral kalsium tidak mencukupi kebutuhan anak sapi
dapat mengakibatkan pertumbuhan anak sapi terhambat yang mengakibatkan
kekerdilan dan bila mineral kalsium mencukupi kebutuhan maka pertumbuhan
anak sapi menjadi optimal. Kalsium didapatkan selama masa menyusui yang
berasal dari air susu.induk sapi. Untuk mengantisipai kekerdilan pada sapi
Simmental perlu melakukan pemantauann dan penanganan kesehatan induk
dan anak, dan melakukan perbaikan manajemen pemeliharaan sapi yang
meliputi pemberian pakan hijauan dan konsentrat serta feed suplemen serta
vitamin ADE yang kontinu dan pemeliharaan terpisah terhadap sapi-sapi
yang mengalami kekerdilan.

480 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2008. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 07/Permentan/


OT.140/1/2008 pada tanggal 30 Januari 2008. Direktorat Perbibitan.
Kementerian Pertanian 2008.

Blakely dan Bade, 1991. Ilmu Peternakan Edisi Keempat Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo. 1980. Tabel Komposisi Bahan Makanan


Ternak untuk Indonesia. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Miles, J.W., B.L. Maass, & C.B. do Valle, 1996. Brachiaria : Biologi,
Agronomy and Improvement Joint Publication by CIAT, Cali,
Colombia and Embrapa/CNPGC Campo Grande, MS, Brazil.

Ortolani, 2001. Ciencia Rural, Document reference,2001.

Underwood dan Sutle, 1999. Mineral Nutrition of Livestock, 4th Edition,


www.cabi.org, 1999

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
481
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Salmonella sp DAN Escherichia
coli DALAM RANGKA PEMETAAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA DI PETERNAKAN AYAM PETELUR DAN
PEDAGING DI 5 PROVINSI DI PULAU JAWA
Irma Rahayuningtyas, Lilis Sri Astuti, Istiyaningsih, Ernes Andesfha, Neneng Atikah

Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Gunungsindur, Bogor, Jawa Barat
Koresponden penulis pertama: tiaz_dvm@yahoo.com

ABSTRAK

Penyakit enteritis banyak disebabkan oleh Salmonella sp. dan E. coli yang menginfeksi unggas,
mamalia, dan manusia. Bakteri tersebut sangat berbahaya bilamana resisten terhadap antimikroba
dan mempunyai gen yang dapat menyebarkan sifat resistensinya ke manusia melalui konsumsi
produk unggas yang tercemar bakteri tersebut. Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat
Salmonella sp. dan E. coli dalam rangka pemetaan AMR di peternakan ayam petelur dan pedaging
dari 5 Provinsi di Pulau Jawa. Sampel dari swab kloaka ayam petelur 282, ayam broiler 173, dan
pakan ayam 66 yang diambil secara proporsional dengan metode isolasi sesuai SNI 2987:2008.
Isolat Salmonella sp. diidentifikasi sampai tingkat serotipe dengan metode PCR dan Sequencing
dengan primer spesifik Salmonella enteritidis dan Salmonella thyphimurium, sedangkan isolat E.
coli dilakukan uji patogenitas secara invitro dengan media congo red. Hasil isolasi dari 282 swab
kloaka ayam petelur diperoleh 9 (3,2%) isolat Salmonella sp. dan 268 (95%) isolat E. coli, dari 273
swab kloaka ayam pedaging diperoleh 34 (12,4%) isolat Salmonella sp. dan 258 (94,5%) isolat E.
coli, sedangkan dari 66 pakan tidak diperoleh isolat Salmonella sp. tetapi diperoleh 25 (37,9%) isolat
E. coli. Hasil uji serotipe 43 isolat Salmonella sp. dinyatakan : 21 isolat Salmonella enteritidis, 19
isolat Salmonella thyphimurium, 2 isolat Salmonella waycross, dan 1 isolat Salmonella typhi. Hasil
uji patogenitas 268 isolat E. coli, yang bersifat patogen sebanyak 48 (17,9%) berasal dari ayam
petelur, 39 (15,1%) berasal dari ayam pedaging, dan 1 (4%) dari pakan. Semua isolat selanjutnya
akan dilakukan uji resistensi antimikroba oleh Unit Uji Farmasetik dan Premiks. Berdasarkan hasil
tersebut disimpulkan bahwa beberapa peternakan ayam petelur dan pedaging sudah terinfeksi oleh
S. enteritidis, S. typhimurium, dan E. coli patogen yang sangat berbahaya bagi manusia, hal ini perlu
ditindaklanjuti dengan perbaikan sistem biosekuriti pada peternakan ayam dibawah pengawasan
Dinas terkait, serta program monitoring untuk mengontrol cemaran di peternakan ayam tersebut.

Kata Kunci : Salmonella sp, E. coli, uji serotipe, uji patogenitas, PCR, sequencing

PENDAHULUAN

Salmonellosis adalah penyakit pada manusia karena berkaitan dengan


kasus foodborne disease dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar
pada industri perunggasan di seluruh dunia, yang diperkirakan mencapai
3,7 milyar dollar Amerika Serikat (Gast, 1997; USDA, 2015). Salmonella
enteritidis dan Salmonella typhimurium adalah serotipe yang banyak diisolasi
dari kasus Salmonellosis pada manusia dan unggas. Telur, daging, dan
produknya yang tercemar Salmonella adalah media yang dapat menyebarkan
Salmonella pada manusia. Penyebaran S. enteritidis disebabkan oleh
kontaminasi feses, pakan, air minum, dan kerabang telur dari peternakan
ayam (Saeed, 1999; EFSA, 2017).

Kolibasilosis juga dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar


pada industri perunggasan di seluruh dunia (Ewers et al., 2003). Penyakit
482 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ini disebabkan oleh Avian Pathogenic E. coli (APEC) didominasi oleh tiga
serogroup yaitu O1, O2, dan O78. E. coli adalah flora normal dalam saluran
pencernaan manusia dan hewan, namun demikian serotipe patogen dapat
menyebabkan sakit pada manusia dan hewan (Ewings, 1986). Peternakan
ayam yang tercemar dapat berpotensi menyebarkan Salmonella dan E. coli
patogen sehingga diperlukan monitoring adanya bakteri tersebut dalam suatu
peternakan secara periodik.

Industri perunggasan di Indonesia masih bergantung pada penggunaan


antimikroba secara luas untuk meningkatkan produktivitas dan kesehatan.
Berbagai antimikroba digunakan termasuk arsenikal, polipeptida, glikolipida,
tetrasiklin, elfamisin, makrolida, lincosamide, polyether, betalactam,
quinoxaline, streptogramin, dan sulfonamide. Penggunaan antimikroba yang
tidak bijak dapat menyebabkan resistensi antimikroba (Sarmah et al., 2006;
Wright, 2007; Livermore, 2009). Dampak buruk resistensi antimikroba
yaitu dapat menurunkan efektivitas penggunaan antimikroba, menyebabkan
penyakit sulit untuk diobati, meningkatkan mortalitas, dan menimbulkan
kerugian ekonomi yang besar.

Penggunaan Salmonella sp dan E. coli untuk pengujian AMR


disebabkan karena bakteri tersebut dapat resisten terhadap antibiotik dan
dapat mentransfer gen yang resisten ke bakteri lain yang terdapat pada hewan
dan dapat menginfeksi manusia baik melalui rantai makanan atau kontak
langsung (JETACAR, 1999; Butaye et al., 2003; Noor et al,. 2006).

Pada kajian ini dilakukan isolasi dan identifikasi Salmonella sp dan E.


coli dari sampel swab kloaka ayam petelur dan pedaging serta pakan yang ada
di kandang dari peternakan ayam petelur dan pedaging di 5 provinsi di Pulau
Jawa dengan metode kultur. Isolat Salmonella sp. yang diperoleh dilanjutkan
dengan uji serotipe menggunakan metode PCR dan Sequencing, sedangkan
isolat E. coli dilanjutkan uji patogenitas secara invitro menggunakan media
congo red Agar. Semua isolat yang didapat selanjutnya akan dilakukan uji
resistensi antimikroba oleh Unit Uji Farmasetik dan Premiks.

TUJUAN

Dari kajian ini diharapkan dapat diketahui prevalensi Salmonella sp. dan
E. coli patogen di peternakan ayam petelur dan pedaging di 5 provinsi Pulau
Jawa, serta didapatkan isolat Salmonella sp dan E. coli untuk uji resistensi
antimikroba.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
483
MATERI DAN METODE

Sampel Pengkajian

Dalam kegiatan pengkajian ini diperoleh sampel swab kloaka ayam


petelur sebanyak 282 sampel, swab kloaka ayam pedaging sebanyak
273 sampel, dan sampel pakan sebanyak 66 sampel. Sampel diambil dari
peternakan ayam petelur dan pedaging komersial di 5 Provinsi di Pulau Jawa,
sampel pakan diambil dari tempat pakan yang ada di dalam kandang. Metode
pengambilan sampel menggunakan Proportionate Random Sampling. Unit
epidemiologi terkecil dalam kajian ini adalah flok dan penghitungan besaran
sampel menggunakan rumus cross sectional.

Isolasi Salmonella sp dan E. coli

Prosedur isolasi yang digunakan adalah kultur berdasarkan SNI 2987 :


2008 yang meliputi tahap pra-pengayaan, pengayaan, agar selektif, purifikasi,
uji biokimia, dan penyimpanan stok. Setiap tahapan isolasi dilakukan secara
berurutan. Sampel yang menunjukkan reaksi positif diduga E. coli dan
Salmonella sp. pada media yang telah diinokulasi pada setiap tahapan akan
dilanjutkan ke tahapan selanjutnya, sedangkan pada sampel yang mempunyai
reaksi negatif akan dihentikan proses isolasinya.

Uji Serotipe Salmonella dengan metode PCR


Ekstraksi DNA

Isolat Salmonella sp yang didapatkan dari kultur diremajakan dengan


menginokulasikan 1 ose isolat ke dalam media Heart Infusion Broth (HIB)
dan diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam + 2 jam. Selanjutnya transfer
1 ose isolat Salmonella sp. dari media HIB ke dalam media HIA dan
inkubasikan pada suhu 35 °C selama 24 jam + 2 jam. Ambil 4 – 5 ose isolat
Salmonella sp dari media HIA untuk diekstraksi menggunakan PrepMan®
Ultra Sample Preparation Reagen (Applied Biosystems, USA)

Master Mix

Untuk konfirmasi Genus Salmonella menggunakan sepasang primer


spesifik gen ompC Salmonella genus Reference Juan Alvarez et 2004,
forward ompC ATCGCTGACTTATGCAATCG dan reverse ompC
CGGGTTGCGTTATAGGTCTG dengan panjang amplikon 204 bp.
Untuk uji serotipe serovar Enteritidis menggunakan sepasang primer
spesifik gen ENT Salmonella serotipe Enteritidis Reference Juan Alvarez
et 2004, forward ENTF TGTGTTTTATCTGATGCAAGAGG dan reverse
ENTFTGAACTACGTTCGTTCTTCTGG dengan panjang amplikon 304
bp. Untuk uji serotipe serovar Typhimurium menggunakan sepasang primer

484 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
spesifik gen TYPH Salmonella serotipe Typhimurium Reference Juan Alvarez
et 2004, forward Typh TTGTTCACTTTTTACCCCTGAA dan reverse Typh
CCCTGACAGCCGTTAGATATT dengan panjang amplikon 401 bp. Reagen
Master Mix PCR menggunakan HotStarTaq® Master Mix Kit (Qiagen, USA)
12.5 µL, Primer F dan R (sesuai serotipe) masing - masing (20µM) 1 µL, RT
PCR Grade Water 5.5 µL, DNA hasil ekstraksi 5 µL.

Amplifikasi

Tahap amplifikasi Salmonella sp, Salmonella serotipe Enteritidis,


Salmonella serotipe Typhimurium menggunakan protocol berikut : Hot
Start 95ºC 15 menit, Denaturasi 30 cycle : 94 ºC 1 menit, Annealing 57.5 ºC
(Serotipe Enteritidis) dan 58.5ºC (Salmonella sp dan Serotipe Typhimurium)
masing – masing 1 menit, Elongasi 72ºC 1 menit, dan Elongasi Final 72ºC
10 menit.

DNA Sequencing

Jika didapatkan hasil negatif dengan kedua primer tersebut maka


dilanjutkan identifikasi menggunakan Sequencing dengan target gen ompC
dan analisis BLAST (Basic Local Alignment Search Tool).

Uji Patogenitas E. coli secara invitro

Hasil isolat E.coli dilakukan uji patogenisitas secara invitro


menggunakan media congo red agar. Koloni pada biakan E.coli yang sudah
di purifikasi dibiakkan pada media congo red agar, lalu inkubasikan pada
suhu 35°C selama 24 jam, kemudian dilanjutkan inkubasi pada suhu kamar
selama 48 jam. Koloni yang berwarna merah (mengikat congo red) adalah
isolat E.coli patogen sedangkan koloni yang berwarna putih (tidak mengikat
congo red) adalah isolat E.coli non patogen.

HASIL

Dalam kegiatan pengkajian ini diperoleh 282 sampel swab kloaka ayam
petelur, 273 sampel swab kloaka ayam pedaging, dan sampel pakan yang
ada dikandang sebanyak 66 sampel. Dari seluruh sampel tersebut dilakukan
isolasi Salmonella sp dan E. coli dan didapatkan 43 isolat Salmonella sp
dan 551 isolat E. coli. Hasil isolasi Salmonella dan E. coli dari peternakan
ayam pedaging di Pulau Jawa dapat dilihat dalam Grafik 1 dan hasil isolasi
Salmonella dan E. coli dari peternakan ayam petelur di Pulau Jawa dapat
dilihat dalam Garfik 2.

Prevalensi Salmonella sp. dari ayam pedaging berasal dari 5 provinsi


di Pulau Jawa adalah 34/273 (12,4%). Prevalensi ditemukannya Salmonella
enteritidis dan Salmonella typhimurium hampir sama yaitu 16/34 (47%) dan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
485
17/34 (50%), sedangkan prevalensi 1/34 (2,9%) didapatkan isolat Salmonella
waycross. Dari 66 sampel pakan baik dari kandang ayam pedaging dan
petelur yang diambil tidak ditemukan isolat Salmonella sp. Hasil isolasi
Salmonella sp. dari ayam petelur berasal dari 5 provinsi di Pulau Jawa
didapatkan prevalensi Salmonella sp sebanyak 9/282 (3,2%), Salmonella
enteritidis yang didapatkan yaitu 5/9 (55,5%), Salmonella typhimurium yang
            

didapatkan yaitu 2/9 (22,2%), sedangkan isolat Salmonella yang lain yaitu

sebanyak 2/9 (22,2%) yaitu Salmonella waycross dan Salmonella typhi.


Hasil isolasi E. coli dari ayam pedaging berasal dari 5 provinsi di


Pulau Jawa diketahui prevalensi E. coli yang didapatkan sebanyak 258/273
               

(94,5%). Dari 258 isolat E. coli yang diperoleh diketahui bahwa 39 (15,1%)

              
isolat adalah E. coli patogen. Hasil isolasi E. coli dari ayam petelur berasal


dari 5 provinsi di Pulau Jawa diketahui bahwa prevalensi E. coli dari ayam

petelur berasal dari 5 provinsi di Pulau Jawa adalah 268/282 (95%). Dari
               

268 isolat E. coli yang diperoleh diketahui bahwa 48 (17,9%) isolat adalah
           

E. coli patogen. 

                 
           
Grafik 1. Hasil isolasi Salmonella dan E. coli dari peternakan ayam pedaging


di Pulau Jawa



Isolasi Salmonella dan E. coli dari
peternakan ayam pedaging di Pulau Jawa


100
80

60
40 E. coli Patogen
 20
E. coli
Salmonella
0
Banten Jawa Jawa DIY Jawa
 Barat Tengah Timur
Salmonella 0 4.2 1.4 0 4.76
 E. coli 100 94.9 96.9 33.3 100
E. coli Patogen 38.9 12.9 25 0 0

Salmonella E. coli E. coli Patogen



Grafik 2. Hasil

isolasi Salmonella dan E. coli dari peternakan ayam petelur
di Pulau
 Jawa


 Isolasi Salmonella dan E. coli pada
 peternakan ayam petelur di Pulau Jawa



 100


 50 E. coli patogen
 E. coli
Salmonella
 0
 Bante Jawa Jawa DIY Jawa
n Barat Tenga Timur

h
 Salmonella 0 4.2 1.4 0 4.76

E. coli 87.5 100 93 100 96

 E. coli patogen 23.8 37.5 32.8 0 2.5
 Salmonella E. coli E. coli patogen

Prosiding

486 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)

 dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018

Isolasi Salmonella dan E. coli dari pakan


0
Salmonella
 0
 Bante Jawa Jawa DIY Jawa
n Barat Tenga Timur

h
 Salmonella 0 4.2 1.4 0 4.76

E. coli 87.5 100 93 100 96

 E. coli patogen 23.8 37.5 32.8 0 2.5
 Salmonella E. coli E. coli patogen
Grafik 3. Hasil isolasi Salmonella dan E. coli dari pakan di peternakan ayam


petelur dan pedaging di Pulau Jawa


Isolasi Salmonella dan E. coli dari pakan


JAWA TIMUR 0
41.7
0
DIY 0
66.7
0
JAWA TENGAH 20
29.4
0
JAWA BARAT 0
18.2
0
BANTEN 0
35.7
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80

Banten Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur


E. coli patogen 0 0 20 0 0
E. coli 35.7 18.2 29.4 66.7 41.7
Salmonella 0 0 0 0 0

E. coli patogen E. coli Salmonella





Grafik 3 menyajikan tentang hasil isolasi E. coli dari pakan yang diambil
dalam kandang peternakan ayam petelur dan pedaging dari 5 provinsi di
Pulau Jawa. Dari total 66 sampel pakan yang diperoleh, didapatkan isolat E.
coli sebanyak 25 isolat (37,9%), dari isolat positif E. coli tersebut diperoleh
hasil 1 isolat merupakan E. coli patogen.

PEMBAHASAN

Pengkajian E. coli dan Salmonella sp ini dilakukan oleh Unit Uji


Bakteriologi BBPMSOH dalam rangka pemetaan Resistensi Antimikroba di
peternakan ayam petelur dan pedaging di 5 Provinsi di Pulau Jawa. Adapun
isolasi dan identifikasi E. coli dan Salmonella sp dilakukan dengan teknik
kultur sesuai SNI 2987 : 2008, uji serotipe Salmonella dengan metode PCR
dan sequencing, serta uji patogenisitas E. coli secara invitro dengan media
congo red agar.

E. coli adalah bakteri yang berbentuk batang, gram negatif merupakan


penghuni normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan, namun
demikian serotipe tertentu dapat menyebabkan sakit pada manusia dan hewan
(Ewings, 1986). Kolibasilosis pada unggas umumnya disebabkan oleh Avian
Pathogenic E. coli (APEC) yang sejauh ini didominasi oleh tiga serogroup
yaitu O1, O2, dan O78. Penggunaan media congo red dilakukan untuk
mengetahui sifat patogenitas bakteri. Isolat yang bereaksi positif terhadap
congo red menyebabkan ayam mengalami kolibasilosis dan isolat tersebut
dapat diisolasi ulang, sementara pada isolat yang negatif congo red tidak
diisolasi ulang. Hal ini mengindikasikan bahwa pengikatan congo red oleh
isolat dapat digunakan sebagai penanda fenotip untuk membedakan isolat
invasif dan non-invasif (Berkhoff and Vinal, 1985). Menurut Gjessing dan
Berkhoff (1988), ada korelasi yang kuat antara ekspresi fenotip E. coli pada
media congo red dengan sifat virulensinya.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
487
Hasil prevalensi E. coli dari ayam pedaging berasal dari 5 provinsi di
Pulau Jawa adalah 258/273 (94,5%). Dari 258 isolat E. coli yang diperoleh
diketahui bahwa 39 (15,1%) isolat adalah E. coli patogen. Sedangkan
prevalensi E. coli dari ayam petelur berasal dari 5 provinsi di Pulau Jawa
adalah 268/282 (96%). Dari 268 isolat E. coli yang diperoleh diketahui
bahwa 48 (17,9%) isolat adalah E. coli patogen. Tingginya prevalensi E. coli
pada peternakan ayam pedaging dan petelur karena bakteri ini merupakan
mikroflora normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan, akan tetapi
beberapa galur bersifat patogenik (Gyles, 1983). Infeksi E. coli patogen
pada unggas umumnya bersifat sistemik dan menimbulkan bakteremia
(Bisping et al., 1988). Bakteri tersebut mampu menyebar melalui peredaran
darah sehingga dapat menyebabkan kerusakan dari berbagai organ seperti
perihepatisis, perikarditis, airsakulitis, mesentiritis, ooforitis, salpingitis,
arthritis, panopthalmitis, dan koligranuloma atau Hjarre’s Disease (Lafont
et al., 1987; Tabbu, 2000). Menurut Peighambari (1995) dan Brito (2003),
selulitis cenderung menginfeksi ayam pedaging dan menyebabkan kerusakan
karkas dan peningkatan angka afkir sampai 42,5%. Oleh karena itu, secara
ekonomi, infeksi E. coli patogen pada unggas sangat merugikan peternak
(Wooley, et al., 2000; Knobl et al., 2006).

Hasil isolasi E. coli dari pakan yang diambil di dalam kandang berasal
dari 5 provinsi di Pulau Jawa menunjukkan dari total 66 sampel pakan yang
diperoleh dari peternakan ayam pedaging dan petelur didapatkan isolat E. coli
sebanyak 25 isolat (37,9%), dari isolat positif E. coli tersebut diperoleh hasil
1 isolat merupakan E. coli patogen. Salmonella sp dan E. coli merupakan
bakteri yang harus diperhatikan karena sering mencemari bahan pakan
seperti tepung tulang dan tepung ikan (Raghavan, 1997). Bakteri tersebut
merupakan sumber penyakit yang dapat masuk ke peternakan unggas. Cara
pencegahan agar pakan bebas Salmonella sp dan E. coli harus dimulai dari
bahan baku masuk ke dalam pabrik pakan ternak. Menurut Suwito (2010),
usaha untuk mengurangi kontaminasi E. coli dan Salmonella sp dalam
pakan ternak diperlukan suatu sistem pemeriksaan yang menyeluruh mulai
dari penerimaan bahan baku, pembersihan fasilitas dalam pabrik pakan,
perlakuan panas yang efektif dalam proses pembuatan pakan dan mencegah
kontaminasi ulang terhadap pakan yang sudah jadi. Usaha lain yang dapat
dilakukan untuk menghasilkan pakan yang aman digunakan antara lain
menyingkirkan faktor yang berbahaya dari pakan, mencegah perkembangan
mikroorganisme dalam pakan dan menghilangkan binatang liar yang dapat
mencemari pakan. Tikus dan burung yang bebas berkeliaran di dalam
gudang dan fasilitas pabrik serta membuang kotoran di sembarang tempat
dapat menjadi sumber kontaminasi Salmonella sp dan E. coli. Selain tikus
dan burung liar, sumber kontaminasi lainnya antara lain kutu, serangga dan
jamur. Jamur perlu diperhatikan karena akan mudah tumbuh dan berkembang
apabila disimpan ditempat yang lembab. Oleh karena itu tempat penyimpanan
pakan dan bahan pakan merupakan hal yang penting serta penempatan pakan
sebaiknya diletakkan dalam ruangan yang kering, bersih dan tidak lembab.
488 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Penerimaan untuk bahan pakan seperti jagung, kadar air perlu diperhatikan.
Kadar air yang tinggi menyebabkan jamur mudah tumbuh dan berkembang.

Salmonellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella


enteritica, ada lebih dari 2500 serotipe Salmonella. Spesies Salmonella
infeksius yang paling sering ditemukan yaitu Salmonella enteritidis dan
Salmonella typhimurium. Teknik yang paling umum dan merupakan gold
standard untuk mendeteksi Salmonella adalah metode konvensional dengan
kultur. Metode ini adalah dasar dari analisis yang mudah untuk diterapkan
lebih ekonomis bila dibandingkan dengan identifikasi berbasis molekular.
Akan tetapi teknik ini membutuhkan waktu yang lebih lama sekitar 5 hari dan
membutuhkan beberapa tahap untuk konfirmasi dan identifikasi, serta sering
mendapatkan positif palsu karena adanya kuman kompetitor Salmonella,
salah satunya yaitu Proteus. Pada media agar selektif XLD dan BSA
koloni kuman Proteus sp. sangat mirip dengan koloni kuman Salmonella
sp.sehingga dapat terjadi misidentifikasi. Media kromogenik digunakan
karena lebih mudah dalam menginterpretasikan koloni positif Salmonella
sp yang ditunjukkan dengan koloni berwarna yang berbeda dengan warna
koloni kuman Enterobacter lain yang berperan sebagai kompetitor, sehingga
dapat mempersingkat waktu pada tahap purifikasi menggunakan agar
selektif. Validitas media tersebut dibuktikan dengan hasil yang linear pada
saat konfirmasi dengan uji biokimia IMVIC dan saat identifikasi Salmonella
sp dengan metode PCR menggunakan primer spesifik Salmonella sp.

Pada pengkajian ini teknik PCR digunakan untuk konfirmasi hasil


kultur dan menentukan serotipe isolat Salmonella yang didapatkan. Oliveira
et al. (2002) menyebutkan bahwa PCR mempunyai sensitivitas lebih tinggi
bila dibandingkan dengan teknik kultur dan menunjukkan hasil positif yang
lebih banyak. PCR dapat mendeteksi DNA dari organisme yang hidup dan
yang mati sehingga tepat digunakan pada pengkajian yang bertujuan untuk
melihat ada tidaknya sekuen genetik Salmonella (kualitatif), sedangkan pada
teknik konvensional (kultur) adalah berdasarkan teknik pengayaan, sehingga
tergantung dari target dan kompetisi organisme sehingga beresiko untuk
tidak terdeteksi pada media agar selektif, PCR dapat mengurangi resiko ini.
PCR juga memiliki keunggulan karena dapat mendeteksi dalam waktu yang
lebih singkat (Fries and Steinhof, 1997).

Dari 282 sampel swab kloaka ayam petelur dan 273 swab kloaka ayam
pedaging didapatkan 43 isolat Salmonella sp. Dari ke 43 isolat tersebut
setelah dilakukan uji serotipe dengan menggunakan metode PCR dengan
hasil 21 isolat adalah Salmonella enteritidis, 19 isolat adalah Salmonella
typhimurium, 2 isolat adalah Salmonella waycross, dan 1 isolat adalah
Salmonella typhi, sedangkan dari 66 sampel pakan yang diperoleh tidak
ditemukan isolat Salmonella sp. Adanya kontaminasi dan infeksi Salmonella
sp pada suatu peternakan dengan sanitasi baik dan sanitasi buruk dapat

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
489
disebabkan oleh penyebaran Samonella sp. yang sering terjadi melalui
kotoran yang telah terkontaminasi dan mencemari pakan, air minum, dan
kerabang telur tetas.

Salmonella enteritidis dikenal sebagai patogen yang penting, baik pada


unggas dan manusia. Infeksi Salmonella enteritidis pada ayam umur lebih
dari 2 minggu biasanya tidak menimbulkan gejala klinis dan tidak mematikan,
tetapi ayam yang sembuh dari infeksi dapat menjadi karier menahun yang
sewaktu-waktu dapat mengekskresikan bakteri Salmonella enteritidis pada
fesesnya, pada beberapa kasus Salmonellosis dapat menimbulkan gejala klinis
enteritis. Manifestasi gejala klinis dapat berupa septikemia, enterokolitis,
anoreksia, diare profus dan kadang-kadang meningitis, pneumonia, dan
encephalitis (Gast, 1997 ; Poernomo et al ., 1997).

Salmonella typhimurium dapat hidup didalam pakan dan litter selama


minimal 18 bulan pada temperatur 11ºC; dan sekitar 40 hari di dalam pakan;
dan 13 hari di dalam litter pada temperatur 38 ºC. Salmonella sp. dapat hidup
berbulan-bulan di dalam kotoran pada suatu lapangan terbuka dan selama
28 bulan di dalam feses unggas yang terinfeksi secara alami. Dilaporkan
bahwa feses yang dicampur dengan Salmonella typhimurium yang dioleskan
pada permukaan kerabang telur ayam dapat menembus kerabang dan terjadi
multiplikasi di dalam telur yang dapat menginfeksi embryo. Salmonella
dapat mencemari anak ayam dari inkubator melalui telur tercemar (Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan, 2014).

Pemberian obat sering diberikan peternak untuk tujuan pencegahan


infeksi Salmonella tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan karena
tidak efektif (Gast,1997). Pengobatan dengan antimikroba mungkin dapat
menyembuhkan atau efektif dalam menekan jumlah kematian sel bakteri
tetapi tidak menghilangkan infeksi atau mengeliminasi penyakit dari
peternakan (Dharmojono, 2001; Poernomo, 2004). Pemberian antimikroba
tersebut dapat menimbulkan resistensi terhadap Salmonella (Gast, 1997;
Barrow, 1993). Menurut Supardi et al. (1999), Resistensi bakteri terhadap
antibiotika dikendalikan oleh adanya plasmid yang disebut faktor R atau
akibat dari mutasi terjadinya transfer kromosom melalui suatu plasmid F+.
Kontroversi penggunaan antimikroba pada kasus Salmonellosis pada saluran
pencernaan unggas karena antibiotika peroral dapat merusak mikroflora
usus. Perlu dipertimbangkan jenis antimikroba yang akan diberikan
karena Salmonella bersifat intraseluler, oleh karena itu sebaiknya memilih
antimikroba yang dapat mengadakan penetrasi ke dalam sel. Salmonella
dalam saluran pencernaan sulit dihilangkan karena bakteri berada dalam
sirkulasi sistem empedu dan secara intermiten bakteri akan masuk ke dalam
lumen alat pencernaan bersama empedu tersebut dan diekskresikan melalui

490 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
feses yang dapat mencemari lingkungan dan dapat menginfeksi hewan lain
atau manusia, bahkan tidak jarang Salmonella bertahan hidup dalam jaringan
limphatik (Dharmojono, 2001).

Cara terbaik untuk menanggulangi Salmonellosis adalah mencegah


masuknya Salmonella sp. kedalam suatu kelompok ayam dengan praktek
manajemen biosekuriti yang tepat dan optimal, serta sanitasi dan desinfeksi
yang ketat. Ayam harus dipelihara dalam kandang yang dapat didesinfeksi
agar bebas dari cemaran Salmonella dari periode pemeliharaan sebelumnya.
Pakan dan air minum yang diberikan juga harus bebas dari cemaran
Salmonella. Selain itu juga menghilangkan sumber dan faktor pendukung
terjadinya infeksi yaitu ayam carrier, rodens, unggas dan hewan lain,
serta sanitasi dan biosekuriti pada pekerja kandang atau pengunjung, dan
alat transportasi. Beberapa desinfektan seperti formaldehid efektif untuk
membunuh Salmonella pada tanah ataupun pada kandang.

Penggunaan Salmonella sp dan E. coli untuk pengujian AMR disebabkan


karena bakteri tersebut dapat mentransfer gen yang resisten ke bakteri lain.
Bakteri Salmonella, Campylobacter, Enterococci, dan Escherichia coli
merupakan contoh bakteri yang dapat resisten terhadap antibiotik dan dapat
mentransfer gen yang resisten tersebut ke bakteri lain yang terdapat pada
hewan dan dapat menginfeksi manusia baik melalui rantai makanan atau
kontak langsung (JETACAR, 1999; Butaye et al, 2003; Noor et al,. 2006).
Dalam pengkajian ini keseluruhan isolat yang didapat akan dilakukan Uji
Resistensi Antimikroba di Unit Uji Farmasetik dan Premiks.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Hasil isolasi dari 282 swab kloaka ayam petelur diperoleh 9 (3,2%) isolat
Salmonella sp. dan 268 (95%) isolat E. coli, dari 273 swab kloaka ayam
pedaging diperoleh 34 (12,4%) isolat Salmonella sp. dan 258 (94,5%)
isolat E. coli, sedangkan dari 66 pakan tidak diperoleh isolat Salmonella
sp. tetapi diperoleh 25 (37,9%) isolat E. coli.
2. Berdasarkan hasil pengkajian, beberapa peternakan ayam petelur dan
pedaging di 5 Provinsi di Pulau Jawa sudah terinfeksi oleh Salmonella
enteritidis, Salmonella typhimurium, dan E. coli patogen.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
491
DAFTAR PUSTAKA

Alvarez, J., Sota, M., Vivance, A. B., Perales, I., Cisterna, R., Rementeria,
R., Garaizar, J. 2004. Development of a Multiplex PCR Technique
for Detection and Epidemiological Typing of Salmonella in Human
Clinical Samples. Journal of Clinical Microbiology, Apr. 2004, p.
1734–1738. DOI: 10.1128/JCM.42.4.1734–1738.2004.

Barrow ,P.A. 1993. Salmonella control-past, present and future. Avian Path.
22:651-669.

Berkhoff, H. A. and A. C. Vinal. 1985. Congo Red Medium to Distinguish


Between Invasive and Non invasive Escherichia coli Pathogenic for
Poultry. Avian Disease Vol. 30 No. 1, pp: 117-121.

Bisping, W, Amtsberg, G.A. 1988. Color Atlas for The Diagnosis of Bacterial
Pathogen in Animal. Berlin : Paul Parey Scientific Publishers. Hal :
160 – 168.

Brito B.G, Gaziri, L.C., Vidotto,M.C. 2003. Virulence Factors and Clonal
Relationship Among Escherichia coli Strains Isolated from Broiler
Chickens with Cellulitis. J. Infect Immun 71 : 4175 – 4177.

Butaye P, Deviase LA, Hasebrouck F. 2003. Antimicrobial growth promoters


used in animal feed: effects of less well known antibiotics on Gram
positive bacteria. Clin Microbiol Rev 16(2): 175–188.

Dharmojono. 2001. Penyakit Tifus (Salmonellosis). Dalam Penyakit menular


dari binatang ke manusia. Edisi Pertama. Milenia Populer. Hal : 111-
121.

EFSA. 2017. EU summary report on zoonoses, zoonotic agents and food-


borne outbreaks 2016. EFSA Journal 2017;15(12):5077. www.efsa.
europa.eu/efsajournal.

Ewers, C., Janssen, T., Wieler, L.H. 2003. Avian Pathogenic Escherichia Coli
(APEC). Berl Munch Tierarztl Wochenschr.Sep-Oct;116(9-10):381-95.

Ewings, W.H, 1986 . Identification of enterobacteriacea 4’ th Ed. Elsevier,


New York.

Fries, R., Steinhof, U. 1997. Growth kinetics of Salmonella in mixed


cultures incubated in Rappaport Vassiliadis Medium., Food
Microbiol, vol. 14 (pg. 505-513)

492 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gast, R.K. 1997. Paratyphoid infections In Disease of Poultry. Tenth Edition.
Calnek, B. W. H. J. Barnes ,C. W. Beard, L. R. Mcdouglad and Y.M.
Saif (Eds.). Iowa State university Press, Ames, Iowa,USA. Pp 97-112.

Gjessing, K. M. and Berkhoff, H. A. 1988. Experimental Reproduction of


Airsacculitis and Septicemia by Aerosol Exposure of 1-Day-Old
Chicks Using Congo Red Positive Escherichia coli. Avian Disesases
Vol. 30 No. 6 pp:473-478.

Gyles, C.L. 1983. Escherichia coli. Pathogenesis of Bacterial Infection in


Animal. Gyles, C.L and Thoen C. O. (eds) Second Edition. Ames :
Iowa State University Press. Hal : 164 – 187.

[JETACAR] Joint Expert Advisory Committee On Antibiotic Resistance


Australia. 1999. The use Antibiotic in Food Producing Animals:
Antibiotic resistance Bacteria in Animals and humans. Darwin (AU):
Commonwealth of Australia.

Knobl, T., Gomes, T.A.T., Veira, M.A.M., Bottino, J.A., Ferreira, A.J.P.
2006. Occurance of Adhesin Encoding Operons in Escherichia coli
Isolated from Breeder with Salpingitis and Chick with Omphalitis.
Braz J Microbiol 37.

Lafont, J. P., Maryvone, D., Elena, M.D, Hauteville, Breed A., Sansonetti,
J. P. 1987. Presence and Expression of Aerobactin Genes in Virulent
Avian strains of Escherichia coli. J Infect Immun 55 : 193 – 197.

Livermore, D. M. 2009. Has the era of untreatable infections arrived? J


Antimicrob Chemother 64: i29–i36.

Noor SM, Poelongan M. 2005. Pemakaian antibiotik pada ternak dan


dampaknya pada kesehatan manusia. Prosiding Lokakarya Nasional
Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor (ID): Puslitbang
Peternakan.

OliveiraS. D., SantosL. R., SchuchD. M. T., SilvaA. B., SalleC. T. P., CanalC.


W. Detection and identification of salmonellas from poultry-related
samples by PCR., Vet. Microbiol., 2002, vol. 87 (pg. 25-35)[PubMed]

Peighambari, S.M., Julian S.M., Gyles C.L. 2000., Presence and Expression
of Aerobactin Genes in Virulent Avian strains of Escherichia coli. J
Infect Immun 55 : 193 – 197.

Poernomo, S., I. Rumawas dan A. Sarosa. 1997. Infeksi Salmonella enteritidis


pada anak ayam pedaging dari peternakan pembibit : Suatu laporan
kasus. JITV 2(3):194-197.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
493
Poernomo, S. 2004. Variasi Tipe Antigen Salmonella pullorum yang
ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada
ternak(PO).Wartazoa 14(4): 143-159.

Raghavan, V. 1997. The concept of quality control to improve feed quality for
poultry production. Asia Focus Proceding VIV Seminars on Poultry
and Pig Production. Misset International. Pp:57-59.

Saeed, A. M. 1999. Salmonella enteritica serovar Enteritidis in Human


and Animals : Epidemiology, Pathogenesis, and Control. Iowa State
University Press, Ames, Iowa.

Sarmah, A.K., Meyer, M.T., dan Boxall, A.B. 2006. A global perspective
on the use, sales, exposure pathways, occurrence, fate and effects
of veterinary antibiotics (VAs) in the environment. Chemosphere
65(5):725–759.

Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. 2014. Manual Penyakit Unggas.


Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Cetakan 2. p : 145 – 148.

Supardi ,I. dan Sukamto, 1999. Mikroorganisme penyebab penyakit menular.


Dalam Mikrobiologi dalam pengolahan dan keamanan pangan. Edisi
Pertama, Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation. Hal.
157-173.

Suwito, W. 2010. Monitoring Salmonella sp dan Escherichia coli dalam


Bahan Pakan Ternak. Buletin Peternakan Vol. 34(3):165-168.

Tabbu. C.R. 2000. Kolibasilosis, Dalam Penyakit Ayam dan


Penanggulanggannya. Penerbit Kanisius, Jogjakarta. Vol 1, hal. 31
– 51.

USDA (United States Department of Agriculture). 2015. Economic Research


Service. Available from:http://www.ers.usda.gov/data-products/chart-
gallery/detail.aspx?char-tId=50500.

Wooley, R.E, Gibbs, P.S, Brown, T.P., Maurer J.J. 2000. Chicken Embryo
Lethality Assay for Determining The Virulence of Avian Escherichia
coli Isolates. Avian Dis. 44 : 318 – 324.

Wright, G. D. 2007. The Antibiotic Resistome: The Nexus of Chemical and


Genetic Diversity. Nat Rev Microbiol 5:175–186.

494 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT: VAKSINASI DAN
PEMBASMIAN VEKTOR TERHADAP PENYAKIT JEMBRANA
DI KABUPATEN SELUMA, BENGKULU

Tri Guntoro1, Ewaldus wera2, Ferro S1, Farlindungan1

1. Balai Veteriner Lampung


2. Universitas NTT
Email: guntoros2_2005@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penyakit Jembrana merupakan penyakit viral yang bersifat menular pada sapi Bali dan bersifat
endemis di kabupaten Seluma. Penyakit Jembrana memiliki dampak ekonomi yang cukup besar.
Kerugian ekonomi berupa kehilangan pendapatan karena kematian ternak dan nilai jual ternak turun,
biaya pengobatan, nilai kerja hewan menurun, biaya investigasi dan pengujiannya. Kerugian lain
juga berupa terhambatnya perdagangan sapi bali dari daerah endemis ke daerah bebas. Tulisan ini
bertujuan untuk menganalisa biaya dan manfaat program vaksinasi dan pembasmian vektor. Model
ekonomi dan epidemiologi dikembangkan untuk menghitung biaya dan manfaat program vaksinasi.
Input parameter yang digunakan diperoleh melalui Fokus Group Discussion yang diadakan pada
tanggal 17 Januari 2018. Hasil kajian menunjukkan total biaya pemberantasan penyakit jembrana
untuk periode 5 tahun sebesar Rp 1,4 Milyar dengan rasio benefit-biaya (BCR) 3,21 dan Internal
rate of return (IRR) 167,5 %. Dari beberapa nilai tersebut membuktikan program vaksinasi dan
pemberantasan vektor di Kabupaten Seluma, Bengkulu sangat layak untuk dilakukan.

Kata kunci: Penyakit Jembrana, Kerugian, Biaya, Manfaat

PENDAHULUAN

Penyakit Jembrana merupakan penyakit viral yang bersifat menular


pada sapi Bali dan bersifat endemis di kabupaten Seluma. Penyakit Jembrana
(Jembrana Disease= JD)pada sapi Bali disebabkan oleh virus penyakit
Jembrana(Jembrana Disease Virus= JDV) termasukdalam kelompok
retrovirus berdasarkan pada aktivitasreverse transcriptase. Virus Jembrana
merupakanvirus RNA dengan utas tunggal, berbentuk icosahedral dengan
panjang basa 7732 pasang basa (pb) danbersifat patogen hanya pada sapi
Bali (Kertayadnya et al., 1993). Gejala umum ternak yang terserangpenyakit
Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy,lymphopenia, keringat
darah dan mucusyang berlebihan pada mulut dan hidung. Kematian ternak
akibat JDV terjadi pada 1 atau 2 minggu setelah infeksi (Wilcox et al., 1997).
Kejadian Jembrana hanya pada sapi Bali tidak pada jenis sapi lainnya.

Sapi bali adalah sapi potong yang merupakan bagian terbesar dari jenis
sapi asli Indonesia, dan saat ini sudah tersebar di 34 daerah propinsi. Populasi
Sapi potong di Indonesia tahun 2012 sekitar 16 juta ekor dan 3,3 juta ekor
diantaranya atau 20,6% adalah sapi Bali. Sapi Bali memiliki beberapa
keunggulan yaitu : (1) tingkat kesuburan sangat tinggi, (2) merupakan sapi
pekerja yang baik dan efisien, (3) dapat memanfaatkan hijauan yang kurang
bergizi, (4) persentase karkas tinggi, (5) daging rendah lemak subkutan,

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
495
(6) heterosis positif (penyimpangan penampilan yang diharapkan dari
penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya) yang tinggi.

Kabupaten Seluma merupakan salah satu kabupaten di Provinsi


Bengkulu yang tertular Penyakit Jembrana di awal tahun 2017 memiliki
prevalensi 0,3 (0,2 ± 0,5) hal ini sangat berdampak terhadap ekonomi/
kerugian diataranya: ternak mati, biaya pengobatan, biaya vaksinasi dan
penurunan penjualan sapi Bali. Kajian analisis biaya dan manfaat belum
banyak dilakukan oleh karena itu kajian ini sangat bermanfaat dalam menilai
suatu tindakan efektif atau efisien. Tujuan dari penelitian ini mengestimasi
biaya dan manfaat dari program vaksinasi dan pengendalian vektor terhadap
pemberantasan Penyakit Jembrana.

MATERIAL DAN METHOD

Lokasi yang menjadi obyek penelitian ini adalah kabupaten Seluma


yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu telah terjadi
wabah Penyakit Jembrana. Waktu penelitian dilakukan di awal tahun 2018
dengan sumber data tahun 2017. Data penelitian yang digunakan merupakan
data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara
langsung dan atau dengan Fokus Group Diskusi. Data sekunder didapatkan
dari data yang ada di Balai Veteriner Lampung serta dinas terkait.

Penelitian ini menggunakan metode Biaya Manfaat atau sering


disebut Benefit Cost Analysis (BCA) yang terdiri atas NPV, BCR dan IRR.
Dalam BCA nanti akan dinilai program yang tadi yang diajukan yakni
Pemberantasan Jembrana. Pada saat FGD kami juga melakukan justifikasi
expert dan menggunakan bayangan shadow prissing (Brent, 2006). Rasio
manfaat dan biaya dihitung dengan membandingkan manfaat dengan biaya
yang diperoleh selama lima tahun program pemberantasan.

Nilai rasio manfaat biaya lebih dari satu mengindikasikan investasi


menguntungkan . Menurut expert opinion vaksinasi dapat menurunkan kasus
hingga 85 % selama 5 tahun.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pada saat kegiatan Fokus Grup Diskusi didapat beberapa informasi


diantarannya:
1. Biaya pemberantasan Jembrana
2. Biaya Vaksinasi = Rp 103.400.000,00
3. Penyemprotan vektor = Rp 300.000,00

496 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Rasio manfaat dan biaya

Rasio manfaat dan biaya dihitung dengan membandingkan manfaat


dengan biaya yang diperoleh selama lima tahun program pemberantasan.
Nilai rasio manfaat biaya lebih dari satu mengindikasikan investasi
menguntungkan.

Pembahasan

Discount rate 5.00%

Year
Item Total
0 1 2 3 4 5
Change of Jembrana levels   0% 30% 70% 75% 85%  
Costs              
Capital              
Recurrent costs              
Investigation costs   13,130,000 13,130,000 13,130,000 13,130,000 13,130,000 65,650,000
Laboratory costs   30,050,000 30,050,000 30,050,000 30,050,000 30,050,000 150,250,000
Vaccination costs   103,400,000 103,400,000 103,400,000 103,400,000 103,400,000 517,000,000
Vector eradication   300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 1,500,000
Total costs 0 146,880,000 146,880,000 146,880,000 146,880,000 146,880,000 734,400,000
Benefits              
Losses of animals and
treatments   0 166,600,000 178,500,000 202,300,000 547,400,000
General economy   0 221,550,000 516,950,000 553,875,000 627,725,000 1,920,100,000
Total benefits 0 0 221,550,000 683,550,000 732,375,000 830,025,000 2,467,500,000
Undiscounted benefits
minus costs 0 -146,880,000 74,670,000 536,670,000 585,495,000 683,145,000 1,733,100,000
Discounted costs 0 139,885,714 133,224,490 126,880,466 120,838,539 115,084,323 635,913,533
Discounted benefits 0 0 200,952,381 590,476,190 602,526,725 650,346,306 2,044,301,603
Discounted benefits
minus costs 0 -139,885,714 67,727,891 463,595,724 481,688,185 535,261,983 1,408,388,069
NPV 1,408,388,069
BCR 3.21
IRR 167.47%

Tabel 1. Perhitungan Analisis Biaya Manfaat selama 5 tahun

Berdasarkan tabel 1 kita bisa melihat bahwasanya nilai NPV


menunjukkan Rp 1.408.388.069,00 selama 5 tahun tetapi jika kita lihat di
tahun kedua saja sudah mendapatkan keuntungan sebesar Rp 67.727.891,00.
Hal memberikan gambaran bahwasannya jika program vaksinasi diikuti
dengan penyemprotan desinfektan terkait vektor yang dapat menularkan
dari satu ternak ke lainnya. Ini juga didukung dengan nilai BCR nya diatas
1 yakni 3,21. Dengan melakukan vaksinasi yang tepat dan pemberantasan
vektor diyakini sangat efektif dan efisien.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
497
KESIMPULAN

Kesimpulan dari penilitian ini adalah jika pelaksanaan vaksin yang tepat
dan pemberantasan vektor dilakukan sesui dengan Standar Operasional
Prosedur maka Penyakit Jembrana akan tertangani lebih baik dan sangat
menguntungkan.

SARAN

Agar dikembangkan penghitungan-penghitungan analisis biaya dan manfaat


terhadap beberapa penyakit lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Jonathan Rushton,Professor of Animal Health and Food Systems


Economics Institute of Infection and Global HealthUniversity of Liverpool

DAFTAR PUSTAKA

7.31nWilcox, G.E., G. Kertayadnya, N. Hartaningsih, D.M.N. Dharma,


S. Soeharsono,and T. Robetson. 1993. Evidence for Viral Etiology of
Jembrana Disease in Bali Cattle. Journal Vet. Micro. 33: 367 – 374.

Berke, O. 2004. Exploratory Disease Mapping: Kriging the Spatial


Risk Function from Regional Count Data. International Journal of Health
Geographics= 3:18

498 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PENERAPAN CARA KEAMANAN BIOLOGIK DAN
KESELAMATAN BIOLOGIK YANG BAIK (GOOD
BIOSAFETY AND BIOSECURITY PRACTICES) DI FASILITAS
LABORATORIUM BIOSAFETY LEVEL 3 (BSL-3)/ANIMAL
BIOSAFETY LEVEL 4 (ABSL-4)
Muhammad Zahid, Sri Mukartini, Emilia

Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH)


Gunungsindur – Bogor

ABSTRAK

Banyak mikroorganisme yang diklasifikasikan ke dalam kelompok risiko 3 yang membutuhkan


fasilitas BSL-3 untuk penangangan dan penyimpanannya, salah satu diantaranya Avian Influenza,
Rabies, Anthrax, Brucella, dan Leptospira. Fasilitas laboratorium BSL-3 secara khusus dibangun
untuk memfasilitasi pengujian mutu vaksin hewan, baik sediaan vaksin bakterial maupun viral.
Pengujian mutu vaksin tersebut antara lain pengujian vaksin Avian Influenza, Rabies, Antraks,
Brucella maupun Leptospira. Disamping itu, BBPMSOH merupakan satu-satunya instansi pemerintah
di bawah Kementerian Pertanian yang memiliki fasilitas ABSL-4 yang dilengkapi dengan isolator
hewan guna mendukung uji tantang (challenge test) dan uji potensi terhadap virus Avian Influenza,
Rabies, dan spora Antraks. Uji tantang dan potensi terhadap vaksin penyakit zoonotik tersebut
menggunakan hewan percobaan yang sesuai. Pengujian ini diperlukan untuk memastikan mutu
dan keamanan dari vaksin hewan yang beredar di Indonesia. Kedepannya fasilitas BSL-3/ABSL-4
di BBPMSOH dapat dimanfaatkan untuk program kerjasama pengujian ataupun penelitian terkait
pengendalian penyakit hewan zoonotik. Oleh karena itu, pendekatan secara menyeluruh berdasarkan
kombinasi antara pengendalian administratif, prosedur dan cara kerja yang aman di laboratorium,
pengendalian fisik, tatalaksana bahan biologik, tatalaksana personil perlu diterapkan guna memenuhi
kaidah cara keamanan biologik dan keselamatan biologik yang baik.

Kata kunci: Biosafety, Biosecurity, Zoonotik, Bahan Biologik Berbahaya, Vaksin

PENDAHULUAN

Diagnosis penyakit, analisis sampel hewan dan manusia, studi


epidemiologi, penelitian ilmiah, pengembangan produk obat, serta pengujian
mutu obat termasuk vaksin merupakan beberapa kegiatan yang melibatkan
penggunaan bahan biologik. Bahan biologik yang ditangani sangat bervariasi,
mulai dari tingkat bahaya infeksi, konsentrasi atau volume mikroorganisme
yang digunakan, manipulasi, replikasi, ekstraksi dari mikroorganisme,
maupun tujuan penggunaan lainnya, baik di tingkat laboratorium, industri,
ataupun komersialisasi. Untuk itu perlu suatu fasilitas, sarana dan prasarana
yang memadai untuk menangani bahan biologik tersebut agar personil
yang menanganinya langsung serta lingkungan sekitar tidak terpapar atau
terkontaminasi akan bahaya dari produk tersebut. Hal ini terkait dengan
kegiatan yang dikenal dengan keselamatan hayati (biosafety). Selain itu,
pentingnya untuk mengendalikan atau melindungi bahan biologik dari
pencurian, kehilangan, ataupun penyalahgunaan untuk tujuan yang sangat
mempengaruhi kehidupan dan keamanan manusia, seperti penyalahgunaan
untuk senjata biologik (bioweapon) ataupun bioterrorism. Aktifitas ini lebih

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
499
dikenal dengan istilah keamanan hayati (biosecurity). Cara keselamatan
hayati dan keamanan hayati yang baik secara menyeluruh dan konsisten
penerapannya di tingkat laboratorium serta mengikuti standar atau kaidah
yang telah ditetapkan (bioethics) dikenal dengan sebutan good biosafety and
biosecurity practices. (WHO, 2004; WHO, 2005 WHO, 2006; CWA, 2011).

BBPMSOH merupakan unit pelaksana teknis (UPT) yang memiliki


tugas untuk melaksanakan pengujian mutu, sertifikasi, pengkajian, dan
pemantauan obat hewan yang beredar di Indonesia. Salah satu tugasnya
adalah melakukan pengujian mutu obat hewan diantaranya vaksin bakterial
dan viral. Tidak semua jenis vaksin mensyaratkan fasilitas BSL-3 untuk
melakukan pengujian mutunya. Hanya jenis vaksin yang mengandung virus
atau bakteri yang bersifat zoonotik dan dikategorikan ke dalam kelompok
risiko 3 (risk group 3) berdasarkan klasifikasi mikroorganisme infeksi dari
WHO. Kelompok risiko 3 adalah patogen yang umumnya menyebabkan
penyakit serius baik kepada manusia ataupun hewan, tetapi biasanya tidak
menyebarkan infeksi dari individu ke individu lain. Cara pencegahan dan
pengobatan yang efektif tersedia untuk penyakit ini. Singkatnya kelompok
ini memiliki berisiko tinggi terhadap individu, berisiko rendah terhadap
komunitas, serta pencegahan dan pengobatan tersedia (WHO, 2004; WHO,
2010; CDC, 2013;).

Dari kelompok risiko serta cara penanganan maupun jenis pengujian


vaksinnya, BBPMSOH menetapkan beberapa jenis vaksin viral dan bakterial
yang harus dilakukan uji potensi (potency test) dan uji tantang (challenge
test) di fasilitas BSL-3/ABSL-4. Vaksin tersebut adalah vaksin Avian
Influenza, Rabies, Anthrax, Brucella, dan Leptospira. Disamping perlunya
fasilitas BSL-3, pengujian mutu vaksin tersebut membutuhkan hewan
percobaan, sehingga diperlukan juga fasilitas kandang hewan percobaan
yang dikenal dengan Animal Biosafety Level (ABSL). Karena penanganan
mikroorganisme kelompok risiko 3, fasilitas kandang hewan percobaan
yang digunakan harus ABSL-3. Kelebihannya BBPMSOH memiliki fasilitas
ABSL-4 karena dilengkapi dengan isolator hewan yang ditempatkan di
fasilitas BSL-3.

Oleh karena itu untuk melaksanakan pengujian mutu vaksin viral dan
bakterial tersebut dengan menggunakan fasilitas BSL-3/ABSL-4, BBPMSOH
wajib menerapkan prinsip keselamatan dan keamanan hayati yang baik di
setiap kegiatan pengujian untuk melindungi personil dan lingkungan, serta
melindungi bahan biologik berbahaya dari penyalahgunaan. Pendekatan
prinsip keselamatan dan keamanan hayati yang baik meliputi: pengendalian
administrasi, rancang bangun, cara dan prosedur yang aman bekerja di
laboratorium, pengendalian fisik, tatalaksana bahan biologik, dan tata laksana
personil yang akan dijabarkan di dalam makalah ini.

500 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TUJUAN

- Untuk melindungi personil yang bekerja di laboratorium maupun


lingkungan sekitar dari kontaminasi bahan biologik berbahaya.
- Untuk melindungi bahan biologik berbahaya dari penyalahgunaan,
pencurian, atau kehilangan.
- Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan
yang optimal .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan Cara Keamanan Hayati (Biosafety) dan Keselamatan


Hayati (Biosecurity) yang Baik dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan
sebagai berikut:

a. Pengendalian administratif

Dalam menerapkan manajemen biorisiko (gabungan biosafety dan


biosecurity) maupun menyusun panduan manual biorisiko (Biorisk Manual)
di laboratorium BSL-3/ABSL-4, utamanya BBPMSOH mengadopsi standar/
panduan manajemen biorisiko dari CEN Workshop Agreement (CWA),
diantaranya yaitu CWA 15793:2008 “Laboratory Biorisk Management
Standard”, CWA 15793:2011 “Laboratory Biorisk Management”, CWA
16393:2012 “Laboratory Biorisk Management – Guidelines for the
Implementation of CWA 15793:2008”, dan Laboratory Biosafety Manual
Third Edition (WHO, 2004). Selain itu commisioning dan sertifikasi/
akreditasi diperlukan untuk memastikan bahwa peralatan, sarana, dan
prasarana di laboratorium berfungsi dengan baik serta prosedur dan standar
yang ditetapkan dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Untuk
akreditasi manajemen biorisiko di fasilitas BSL, Badan Standarisasi Nasional
(BSN) telah menyusun standar akreditasi berdasarkan SNI 8340:2016 yang
diadopsi dari CWA 15793:2011. Akan tetapi SNI ini masih menunggu proses
persetujuan agar secara resmi dapat digunakan untuk proses akreditasi
fasilitas BSL di Indonesia.

b. Rancang bangun

Prinsip dari rancang bangun sebuah fasilitas BSL adalah berdasarkan


kelompok risiko mikroorganisme yang sedang ditangani, semakin tinggi
tingkat kelompok risiko, semakin ketat dan kompleks struktur rancang
bangunnya. Prinsip ini akan dijadikan dasar untuk membangun fasilitas,
sarana, dan prasarana BSL yang terkait dengan sistem pengaturan ruangan,
sistem Heating Ventilating Air Conditioning (HVAC) (seperti: suhu,
kelembaban, tekanan, dan pertukaran udara), pemilihan tipe Biosafety
Cabinet (BSC), pemilihan otoklaf untuk dekontaminasi, dan lain sebagainya.
Sarana dan prasarana yang juga penting seperti Building Automation System
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
501
(BAS), yaitu sistem komputerisasi yang memantau keseluruhan sistem yang
sedang berjalan di dalam fasilitas BSL-3/ABSL-4; generator/back up power
supply, untuk menyediakan suplai tenaga listrik apabila terjadi mati lampu
(power outage); sistem pengolahan air; chilling system; serta sistem kontrol
panel.

Sistem kontrol panel berfungsi sebagai sistem checklist untuk


memantau dan mencatat kondisi lingkungan secara rutin (harian) terkait
suhu, kelembaban (Relative Humidity/RH), tekanan, dan pertukaran udara
per jam. Berikut kondisi lingkungan yang diatur di dalam fasilitas BSL-3/
ABSL-4 BBPMSOH berdasarkan sistem pengaturan ruangan:

1. Ruang ganti
- Suhu : 22 ± 1oC
- Kelembaban (RH) : 55 ± 5%
- Tekanan : -20 pa
- Pertukaran udara per jam : 15 kali
2. Ruang koridor dalam
- Suhu : 22 ± 1oC
- Kelembaban (RH) : 55 ± 5%
- Tekanan : -40 pa
- Pertukaran udara per jam : 15 kali
3. Ruang BSL-3
- Suhu : 22 ± 1oC
- Kelembaban (RH) : 55 ± 5%
- Tekanan : -60 pa
- Pertukaran udara per jam : 15 kali
4. Ruang ABSL-4
- Suhu : 22 ± 1oC
- Kelembaban (RH) : 55 ± 5%
- Tekanan : -80 pa
- Pertukaran udara per jam : 15 kali
Perbedaan yang mendasar dari tiap ruangan hanya terlihat pada
pengaturan tekanan, dimana ada perbedaan -20 pa (pascal) tiap ruang. Ruang
ABSL-4 memiliki tekanan yang paling kecil diantara ruang lainnya.

c. Cara dan prosedur bekerja yang aman di laboratorium

Tujuan utama dari biohazard containment untuk mengurangi atau


menghilangkan paparan bahan biologik berbahaya terhadap personil
laboratorium maupun lingkungan luar. Unsur utama dari BSL containment
diantaranya adalah primary barriers yang terdiri dari peralatan dan
perlengkapan keselamatan (Biosafety Containment/BSC atau isolator) dan
secondary barriers, yaitu laboratorium dan fasilitas yang dirancang untuk
melindungi personil di dalam dan di luar fasilitas (WHO, 2006). Selain itu,

502 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai harus digunakan saat melakukan
aktifitas pengujian di fasilitas laboratorium dan kandang hewan percobaan.
Umumnya APD terdiri dari baju laboratorium (coveralls, gowns), sarung
tangan (gloves) berlapis (latex dan nitrile), masker (N2), penutup kepala
(head cover), sepatu, dan kacamata (safety glasses/face shields).

Penanganan limbah yang sesuai dari bahan biologik berbahaya


merupakan bagian dari keselamatan hayati. Effluent Decontamination System
(EDS) diaplikasikan di fasilitas BSL-3/ABSL-4 BBPMSOH yang bertujuan
untuk mendekontaminasi limbah cair biologik berbahaya yang mengalir
masuk melalui saluran pembuangan, sedangkan autoclave double doors
untuk penanganan limbah padat dari peralatan, media, serta karkas. Jika
terjadi insiden seperti tumpahan bahan biologik berbahaya, personil wajib
mengikuti intruksi kerja yang telah ditetapkan di dalam standard operating
procedure (SOP) untuk penangananan tumpahan (spill management).

d. Pengendalian fisik

Pengendalian fisik untuk bangunan berdasarkan grading system,


yaitu membedakan sistem pengaturan ruangan berdasarkan tingkat
kelompok risiko mikroorganisme. Kelompok risiko 4 memerlukan tingkat
pengendalian pengaturan ruangan lebih ketat and tingkat sekuriti yang
lebih tinggi. Tujuan utama dari pengendalian fisik berdasarkan 4Ds (Deter:
menghalangi, Discourage: membuat tidak berani, Detect: mendeteksi, Delay:
memperlambat) intruder (penyelundup) dari luar untuk mencoba masuk ke
dalam fasilitas. Beberapa pengendalian fisik yang dapat digunakan di dalam
fasilitas BSL-3/ABSL-4 BBPMSOH antara lain adanya sekuriti (petugas
keamanan), akses satu pintu, pagar, kamera Closed-Circuit Television (CCTV)
dan monitor, lampu sekuriti, dan alarm. Selain itu dapat juga digunakan
kartu akses personil (ID card), akses dengan personnal identification number
(PIN), akses finger print, atau kombinasi dari akses-akses personil tersebut,
log book untuk personil dan tamu, semua itu berfungsi mengurangi akses
masuk ke dalam fasilitas.

e. Tata laksana bahan biologik

Bahan biologik yang dimaksud diantaranya adalah organisme patogen,


non patogen, toksin, strain vaksin, Genetically Modified Organism (GMO),
komponen sel, elemen genetik, serum, plasma, dan sampel ekstraterrestrial,
yang memerlukan pengendalian secara administratif, perlindungan, maupun
pemantauan yang memiliki potensi menyebabkan bahaya dan mempengaruhi
kesehatan. Oleh karena memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia
serta makhluk hidup lain bahkan memiliki nilai ekonomi yang tinggi
atau nilai historical/archival, maka persediaan (inventory), pemakaian,
manipulasi, pengembangan, produksi, penyimpanan, pemindahan (transfer),
pengangkutan (transport), serta pemusnahan/destruksi bahan biologik

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
503
tersebut harus memiliki sistem dokumentasi dan prosedur yang jelas dan
sistematis. Ini sangat penting untuk mengendalikan bahan biologik dari
penyalahgunaan dan pemakaian yang tidak bertanggung jawab (WHO,
2015).

Untuk mencapai hal ini, institusi harus menetapkan hal-hal sebagai berikut:
- Bahan atau bentuk bahan biologik yang akan dikendalikan;
- Catatan apa yang harus disimpan, oleh siapa, dimana, dalam bentuk apa
dan berapa lama disimpan;
- Siapa yang memiliki akses terhadap catatan tersebut dan bagaimana
akses tersebut didokumentasikan;
- Bagaimana mengendalikan bahan biologik tersebut melalui instruksi
kerja/prosedur terkait dengannya (seperti: dimana mereka disimpan
dan digunakan, bagaimana mereka diidentifikasi, bagaimana persediaan
dipelihara dan ditinjau secara rutin, dan bagaimana pemusnahan
dilaksanakan dan didokumentasikan);
- Prosedur yang dipertanggungjawabkan seperti apa yang akan digunakan
(seperti manual log book, electronic, dan sebagainya);
- Dokumentasi/laporan apa yang dibutuhkan;
- Siapa yang bertanggung jawab dalam melacak/memantau bahan
biologik;
- Siapa yang menyetujui eksperimen yang direncanakan dan prosedur
yang perlu diikuti;
- Siapa yang perlu diinformasikan dan meninjau pemindahan bahan
biologik ke laboratorium lain (WHO, 2006; WHO, 2015).

f. Tatalaksana Personil

Prosedur tatalaksana personil hendaknya menetapkan tugas, tanggung


jawab, dan wewenang dari personil laboratorium yang menangani,
menggunakan, menyimpan, memindahkan, dan/atau mengirimkan bahan
biologik, serta cara dimana institusi menjamin bahwa personil tersebut sesuai
dengan posisi tersebut. Selain itu prosedur tersebut juga harus menetapkan
secara jelas dan tertulis mengenai persyaratan yang diperlukan oleh personil
yang diberikan akses terhadap bahan biologik tersebut, seperti pelatihan,
pengalaman, kompetensi, keterampilan, tes kesehatan, serta kualifikasi
teknis (WHO, 2006).

Selain itu program skrining personil juga bisa digunakan untuk memilih
personil yang tepat, dapat dipercaya, dan bertanggung jawab, yang akan
bekerja di fasilitas BSL-3/ABSL-4. Pendekatannya bisa menggunakan tes
kepribadian (psikotest), track record dan kinerja (performance) pegawai,
atau referensi dari pimpinan tempat personil tersebut bekerja sebelumnya.

504 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

- Pelaksanaan biosafety dan biosecurity yang baik di fasilitas BSL-3/


ABSL-4 BBPMSOH diantaranya meliputi: pengendalian administrasi,
rancang bangun, cara dan prosedur yang aman bekerja di laboratorium,
pengendalian fisik, tatalaksana bahan biologik, dan tata laksana personil.
- Pelaksanaan cara keamanan hayati dan keselamatan hayati yang baik
sangat penting dan diperlukan untuk mencegah kontaminasi bahan
biologik berbahaya terhadap manusia dan lingkungan sekitar, termasuk
mencegahnya dari pencurian, kehilangan, ataupun penyalahgunaan
demi kesehatan dan keberlangsungan hidup manusia serta makhluk
hidup lainnya.

Saran

- Perlunya komitmen, kesadaran, dan dukungan dari semua pihak di dalam


suatu organisasi/institusi demi keberlangsungan pelaksanaan penerapan
cara keselamatan dan keamanan hayati yang baik (good biosafety and
biosecurity practices).
- Agar SNI 8340:2016 mengenai sistem manajemen biorisiko segera
terealisasi guna memfasilitasi proses akreditasi/sertifikasi bagi organisasi/
institusi yang memiliki fasilitas BSL di Indonesia, dikarenakan saat
ini belum ada lembaga akreditasi/sertifikasi di Indonesia yang dapat
mensertifikasi/mengakreditasi fasilitas BSL.

DAFTAR PUSTAKA

CDC. 2013. Security Guidance for Select Agent or Toxin Facilities. USA.

CEN Workshop Agreement. CWA 15793:2011 Laboratory Biorisk


Management. Brussels.

CEN Workshop Agreement. CWA 16393:2012 Laboratory Bioriksk


Management – Guidelines for the Implementation of CWA 15793:2008.
Brussels.

WHO. 2004. Laboratory Biosafety Manual, Third Edition. Genewa.

WHO. 2006. Biorisk Management Laboratory Biosecurity Guidance.


Genewa.

WHO. 2015. Guidance on Regulations for the Transport of Infectious


Substances. Genewa.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
505
WHO. 2005. International Health Regulation (IHR), Second Edition.
Genewa.

WHO. 2010. Responsible Life Sciences Research for Global Health Security.
Genewa.

506 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DINAMIKA VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 DI
WILAYAH BALAI VETERINER TAHUN 2004-2017
Srihanto, E.A.1), Angeliya, L.1) dan Wahyuningtyas, A.S2)

1. Balai Veteriner Lampung


2. Stasiun Karantina Pertanian Tanjung Priok
Email : aguseko.dvmmsc@gmail.com

ABSTRAK

Penyakit Avian Influenza sejak masuk ke wilayah Lampung tahun 2003 sampai sekarang belum
bisa diatasi dengan baik. Kematian unggas sampai saat ini masih sering dilaporkan dan ditemukan.
Unggas yang terinfeksi dilaporkan tidak hanya ayam tetapi jenis unggas lainnya seperti puyuh, itik,
entog, kalkun, walet dan burung liar. Perkembangan virus Avian Influenza sejak ditemukan pada
tahun 2003 telah mengalami evolusi dan perubahan. Kajian ini bertujuan untuk melihat dinamika
dan evolusi virus Avian Influenza di wilayah kerja Balai Veteriner tahun 2004-2016. Materi yang
digunakan berupa data sekuens virus Avian Influenza dari genebank dan koleksi Balai Veteriner
Lampung tahun 2004-2017. Asal isolat isolat diperoleh dari berbagai macam spesies meliputi
ayam, puyuh, kalkun, itik, entog, walet dan burung liar. Metoda analisis dilakukan dengan melihat
jarak genetik, homologi dan hubungan kekerabatan virus Avian Influenza. Analisis dilakukan
menggunakan perangkat lunak MEGA 6.06 yang meliputi prediksi asam amino, homologi, jarak
genetik dan pohon kekerabatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa sejak tahun 2004-2017 sebaran
virus Avian Influenza di wilayah kerja Balai Veteriner ditemukan adanya 2 clade yaitu clade 2.1 dan
2.3.2.1c. Jarak genetik antara clade 2.1 dengan clade 2.1.3 sekitar 3% dengan homologi berkisar
97%. Jarak genetik antara clade 2.1 dengan clade 2.3.2.1 sekitar 8 % dengan homologi sekitar 91 %.
Jarak genetik antara clade 2.1.3 dengan clade 2.3.2.1 sekitar 4,5% dengan homologi sekitar 95,5%.
Sebaran unggas yang terinfeksi mencakup multi spesies unggas meliputi ayam, puyuh, kalkun, itik,
entog, walet dan burung liar.

Kata kunci : evolusi, virus Avian Influenza, clade

PENDAHULUAN

Avian influenza (AI) merupakan penyakit unggas menular yang


disebabkan oleh virus influenza tipe A dari keluarga Orthomyxoviridae.
Berdasarkan patogenisitas virus AI dibedakan menjadi highly pathogenic
avian influenza (HPAI) dan low pathogenic avian influenza (LPAI). Sejauh
ini infeksi pada unggas disebabkan oleh virus AI subtipe H5 dan H7 yang
termasuk HPAI. Highly Pathogenic Avian Influenza pada unggas mampu
menyebabkan infeksi sistemik dan berakibat mortalitas pada unggas yang
cukup tinggi (Alexander, 1982). Virion virus AI (Gambar 1) berbentuk bulat,
filamentous atau kadang-kadang berbentuk pleomorfik dengan diameter
80-120 nm. Virus AI memiliki panjang 13,6 kb. Virus ini merupakan
virus beramplop, genom virus memiliki delapan segmen yang mengkode
10 gen dan bermaterikan RNA untai tunggal 8 (ssRNA), polaritas negatif
dan memiliki dua protein permukaan yang merupakan variabel perlekatan
utamanya (Murphy et al., 2008; Suarez, 2008).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
507
Struktur protein struktural terdiri dari protein permukaan dan protein
internal. Permukaan amplop virus tersusun atas lipid bilayer yang berasal
dari membran sel hospes yang diperoleh pada saat budding yang tersusun
oleh hemaglutinin (HA), neuroamidase (NA) dan membran ion channel
protein (M2) (Suarez, 2008). Haemaglutinine (HA) merupakan glikoprotein
pada amplop virus yang mampu berikatan dengan reseptor sialic acid pada
permukaan sel hospes (De jong dan Hien, 2006). Protein internal tersusun
oleh nucleoprotein (NP), matrix proteins (M1), polimerase complex proteins
(PB1, PB2, PA). Selain itu terdapat tambahan dua protein non struktural
(NS1, NS2) (Suarez, 2008). Virus avian influenza yang berhasil teridentifikasi
subtipe H5, H7, H4, H10 dan H11 (Lupiani and Reddy, 2009).

Wabah penyakit AI dilaporkan Indonesia pada akhir tahun 2003 dan


dilaporkan secara resmi oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 25 Januari
2004 melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 96/Kpts/PD.620/2/2004.
Wabah penyakit AI yang terjadi di propinsi Lampung ditemukan pertama kali
di kabupaten Lampung Selatan pada bulan November 2003 dan dikonfirmasi
disebabkan oleh virus AI subtipe H5N1 pada bulan April 2004. Sampai
dengan tahun 2016, penyakit AI sudah menjadi penyakit endemis di wilayah
kerja Balai Veteriner Lampung (Srihanto, 2013; Anonimous, 2016). Sejak
akhir tahun 2012, di Indonesia telah terjadi introduksi virus AI baru yang
homolog dengan virus AI di Vietnam (Wibawa dkk., 2012). Virus AI tersebut
terdeteksi sebagai clade 2.3.2. Spesies yang diserang pada umumnya unggas
air terutama itik dan entog. Virus AI clade baru dengan cepat menyebar ke
seluruh wilayah Indonesia lainnya termasuk Lampung dan propinsi wilayah
kerja Balai Veteriner lainnya. Sampai dengan tahun 2017 virus AI clade
2.3.2 terus berkembang dan spesies yang terinfeksi tidak hanya pada unggas
air tetapi sudah mulai menyerang ayam, puyuh dan beberapa jenis burung
liar. Penelitian dan kajian tentang virus AI perlu dilakukan terutama tentang
dinamika dan mutasi genetik yang terjadi. Hal ini sangat penting dilakukan
untuk membantu melihat perkembangan virus dalam hubungannya dengan
pengendalian dan program vaksinasi yang dilakukan. Kajian ini bertujuan
untuk melihat dinamika dan evolusi virus avian influenza di wilayah kerja
Balai Veteriner sejak tahun 2004-2016. Hasil yang didapatkan diharapkan
dapat membantu mengetahui dinamika virus Avian Influenza lapangan
dalam kerangka pengendalian penyakit Avian Influenza pada umumnya dan
penerapan program vaksinasi pada khususnya.

MATERI DAN METODE

Materi

Data sekuens isolat yang digunakan berupa virus AI subtipe H5N1 yang
berasal dari genebank dan data sekuens isolat dari daerah di wilayah kerja
Balai Veteriner Lampung dari tahun 2004-2017. Sebanyak 40 data sekuens

508 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
digunakan untuk bahan kajian. Isolat berasal dari kabupaten/kota yang berada
di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Data sekuens tersebut berasal dari
berbagai macam spesies meliputi ayam, itik, entog, kalkun, walet, burung
nuri dan puyuh.

Metode

Analisis data menggunakan perangkat lunak molecular evolution


genetics analysis (MEGA) versi 6.06. Analisis sekuens digunakan data
fragmen gen HA sebagai materi analisis. Gen HA digunakan sebagai dasar
penentuan hubungan kekerabatan (clade) dan untuk mengukur jarak genetik
dan homologi antar clade. Data yang diperoleh berupa nilai jarak genetik
(distance), nilai homologi dan gambaran pohon kekerabatan.

Kalkulasi distance matrix digunakan model p-distance untuk


mendapatkan nilai jarak genetik. Konstruksi pohon kekerabatan dianalisis
dengan metode Neighbor-Joining menggunakan model Kimura-2 parameter.
Persentase replikasi pohon kekerabatan yang membentuk clade di setiap
percabangan diuji menggunakan tes bootstrap dari 1000 kali replikasi
(Tamura et al., 2011; WHO, 2008).

HASIL dan PEMBAHASAN

Analisis data filogenik terhadap data sekuens virus AI subtipe H5N1


isolat Lampung tahun 2004-2016 menunjukkan adanya 2 clade yang
berkembang di lapangan yaitu clade 2.1 dan 2.3.2.1 (Gambar1). Clade
2.1 teridentifikasi pada tahun 2004-2015.Subclade 2.1.2 ditemukan pada
tahun 2005. Pada tahun 2005-2012, clade 2.1.3 lebih banyak teridentifikasi
dan bersirkulasi. Sedangkan pada tahun 2012-2016, virus AI yang banyak
teridentifikasi dan bersikulasi adalah dari clade 2.3.2.1. Pada awal kasus
clade 2.1 kebanyakan menyerang pada ayam, puyuh dan kalkun. Sedangkan
pada awal kasus clade 2.3.2.1 hanya menginfeksi unggas air (itik dan entog).
Tahun 2015 virus AI clade 2.3.2.1 sudah mulai menginfeksi ayam, puyuh
dan beberapa burung liar.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
509
           
            
Gambar 1. Phylogenic tree isolat Lampung 2004-2017






Ket : huruf merah adalah isolat penelitian


Analisis jarak genetik dan homologi antar clade ditunjukkan pada Tabel
2 menunjukkan terjadi perbedaan genetik sebanyak 3 % dengan homologi 97
% antara clade 2.1 dengan subclade 2.1.3. Jarak genetik antara clade 2.1.1
dengan subclade 2.3.2.1 sekitar 7,4% dengan homologi sekitar 92,6%. Jarak
genetik antara subclade 2.1.3 dengan subclade 2.3.2.1 sekitar 4,5% dengan
homologi sekitar 95,5%.

Tabel 2. Nilai jarak genetik dan homologi antar clade

Clade 2.1 2.1.3 2.3.2.1


2.1 0,97 0,91
2.1.3 0,03 0,955
2.3.2.1 0,09 0,045

510 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Sejak dideklarasikan tahun 2004 wabah penyakit AI telah menjadi
penyakit endemis. Di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung penyakit AI
juga menjadi ancaman yang serius dan merupakan penyakit unggas endemis
di beberapa propinsi diantaranya Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan
(Srihanto, 2013; Anonimous, 2016). Sejak akhir tahun 2012, di Indonesia
telah terjadi introduksi virus AI baru yang homolog dengan virus AI di
Vietnam (Wibawa dkk., 2012). Di Lampung juga mengalami introduksi
virus AI baru. Virus tersebut ditularkan dari pulau Jawa akibat adanya
pemasukan unggas air yang terinfeksi virus (Srihanto, 2013). Virus AI
tersebut diidentifikasi sebagai virus AI subtipe H5N1 clade 2.3.2.1. Takano
et al. (2009), juga menebutkan bahwa menyebarnya virus AI ke Sumatera
dan pulau lainnya diakibatkan karena pola transportasi unggas pembawa
virus yang tanpa kontrol.

Perkembangan virus AI di wilayah Lampung sejak tahun 2004-2017


didominasi oleh 2 subclade utama (Gambar 1). Pada awal kasus berkembang
virus AI clade 2.1.1. Virus AI ini merupakan turunan dari virus clade 2.1 asal
Jawa (Takano et al., 2009). Subclade 2.1.3 dapat ditemukan dari tahun 2005-
2014. Sedangkan clade 2.1.2 sudah tidak ditemukan lagi. Perkembangan
subclade baru ini dikarenakan adanya mutasi virus lapang. Mutasi mudah
dialami oleh virus avian influenza. Mutasi disebabkan karena faktor
pengaruh penggunaan vaksinasi dan adanya perubahan internal gen berupa
subtitusi dan delesi. Mutasi pada virus AI yang merupakan virus golongan
RNA disebabkan karena tidak adanya aktivitas proofreading mechanism
pada waktu transkripsi (Liu et al., 2009; Webster, 1999). Ketiadaan
proofreading mechanism akan menyebabkan kesalahan 1 dari 104 basa pada
waktu replikasi (Webster, 1999). Dalam setiap tahun diketahui perubahan
rata-rata pada virus AI sebanyak 7,8 nukleotida per 1000 nukleutida dan
4,9 asam amino pada gen HA (Suarez and Senne, 2000; Spackman et.al,
2003). Substitusi asam amino pada antigenic site juga merupakan salah satu
pendorong terjadinya mutasi pada gen HA. Substitusi asam amino pada
antigenic site menyebabkan terjadinya seleksi positip (Duvvuri et al., 2009).
Menurut Plotkin et al. (2002), seleksi positip antigenic site disebabkan karena
tekanan seleksi untuk menghindar dari respon imun hospes. Perubahan pada
antigenic site akan mempengaruhi spesifitas netralisasi antibodi terhadap
respon imun (Suarez, 2009).

Keragaman spesies yang peka terhadap virus AI juga mengalami


perubahan. Unggas non air seperti ayam, puyuh, kalkun sangat peka
terhadap infeksi virus AI clade 2.1. Sedangkan unggas air masih dianggap
sebagai reservoir. Clade 2.3.2 yang mulanya hanya menginfeksi unggas
air seperti itik dan entog, dalam perkembangannya mengalami perubahan
terhadap unggas peka (Anonimous, 2016). Semua unggas diketahui sangat
peka terhadap infeksi virus AI walaupun manifestasi klinis yang ditimbulkan
berbeda-beda. Dalam hal ratio kematian, ketiga clade virus AI yang beredar

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
511
memiliki case fatality rate yang tinggi. Pencegahan dan pengendalian sangat
sulit dilakukan dikarenakan sifat virus yang sangat mudah bermutasi.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis pohon kekerabatan, virus AI subtipe H5N1 yang


bersirkulasi di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung tahun 2004-2016
terdapat 2 clade yaitu 2.1 dan 2.3.2. Sebaran unggas yang terinfeksi meliputi
ayam, unggas air, puyuh, kalkun dan burung liar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2016. Laporan Tahunan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner


Regional III Bandar Lampung

Alexander, D.J., 2007. Summary of Avian Influenza Activity in Europe, Asia,


Africa, and Australia 2002–2006, Avian Diseases 51:161–166

de Jong, M.D. and Hien, T.T. 2006. Review Avian Influenza (H5N1), Journal
of Clinical Virology 35 : 2-5

Duvvuri, V.R.S.K., Duvvuri, B., Cuff, W.R., Wu, G.E., and Wu, J. 2009.
Role of Positive Selection Pressure on the Evolution of H5N1
Hemagglutinin, Genomics Proteomics Bioinformatics Vol. 7 No. 1–2
June 2009 : 1-10

Liu, Q., Ma, J., Kou, Z., Pu, J., Lei, F., Li T., and Liu, J. 2010. Characterization
of a highly pathogenic avian influenza H5N1 clade 2.3.4 virus isolated
from a tree sparrow, Virus Research 147 : 25–29

Plotkin, J.B., Dushoff, J., and Levin, S.A. 2002. Hemagglutinin sequence
clusters and the antigenic evolution of influenza A virus, PNAS 99
(9) : 6263–6268

Srihanto, E.A. (2013). ANALISIS GENETIK GEN HEMAGLUTININ


VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 ISOLAT LAMPUNG
TAHUN 2008-2013, Tesis, FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA

Suarez, D.L. 2008. Avian Influenza dalam Avian Influenza, Blackwell


Publishing Blackwell Publishing Professional 2121 State Avenue,
Ames, Iowa 50014, USA : 3-22

Spackman, E., Senne, D.A., Davison, S., and Suarez, D.L. 2003. Sequence
analysis of recent avian influenza viruses associated with three
different outbreaks in commercial poultry in the United States, J Virol
77: 13399–133402
512 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Suarez, D.L., and Senne, D.A. 2000. Sequence analysis of related low-
pathogenic and highly pathogenic H5N2 avian influenza isolates from
United States live bird markets and poultry farms from 1983 to 1989,
Avian Dis 44 : 356–364

Takano, R., Nidom, C.A., Kiso, M., Muramoto, Y., Yamada, S., Tagawa, Y.
S., Macken, C., and Kawaoka, Y. 2009. Phylogenetic characterization
of H5N1 avian influenza viruses isolated in Indonesia from 2003–
2007, Virology 390 :13–21

Tamura, K., Peterson, D., Peterson, N., Stecher, G., Nei, M., and Kumar,
S. 2011. MEGA5: Molecular Evolutionary Genetics Analysis Using
Maximum Likelihood, Evolutionary Distance, and Maximum
Parsimony Methods, Mol. Biol. Evol. 28 (10) : 2731–2739.
doi:10.1093/molbev/msr121 : 1-9

Webster, R.G. 1999. Antigenic Variation in Influenza Viruses dalam Origin


and Evolution of Virus, Academic Press ISBN 0-12-220360-7 : 377-
390

Wibawa, H., Prijono, W.J., Dharmayanti, N.L.P.I., Irianingsih, S.H., Miswati,


Y., Rohmah, S.N.R.A., Andesyha, E., Daulay, R.S.D., Safitria, K. 2012.
Investigasi Wabah Penyakit Pada Itik di Jawa Tengah, Yogyakarta dan
Jawa Timur : Identifikasi Sebuah Clade Baru Virus Avian Influenza
Subtipe Baru di Indonesia. Buletin Laboratorium Veteriner, 12 (4) :
2-8

WHO, 2008. Toward a Unified Nomenclature System for Highly Pathogenic


Avian Influenza Virus (H5N1), Emerg Infect Dis 14(7) : e1

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
513
KOMBINASI HORMON PMSG DAN HCG UNTUK
PENGOBATAN KASUS HIPOFUNGSI GANGGUAN
REPRODUKSI PADA SAPI / KERBAU DI KEGIATAN UPSUS
SIWAB 2017

Wahyuni1, Hadi Purnama W1, Titis Furi Djatmikowati1. Fitri Amaliah2, Abdul Samik3

Balai Besar Veteriner Maros

1. Medik veteriner muda Balai Besar Veteriner Maros


2. Medik Veteriner Pertama Balai Besar Veteriner Maros
3. Dosen Reproduksi dan Kebidanan, FKH Universitas Airlangga Surabaya
Email : yunihadipurnama@gmail.com

ABSTRAK

Kasus hipofungsi ,merupakan kasus gangguan reproduksi yang paling tinggi dijumpai pada
sapi / kerbau di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Maros di lima provinsi ( Gorontalo, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat ) pada kegiatan upsus siwab
2017. Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) merupakan hormone non pituitary
gonadotropin yang dapat digunakan sebagai media reproduksi karena memiliki efek seperti FSH
dan sedikit LH sedangkan hormone Human Chorionic Gonadotropin (HCG) adalah glycoprotein
yang berisi beberapa asam amino yang dapat berefek seperti LH dan FSH. Tujuan dari kegiatan ini
untuk melihat hasil dari pemakaian kedua hormone tersebut pada kasus gangguan reproduksi yaitu
hipofungsi pada sapi/kerbau.. Jumlah kasus hipofungsi total sebanyak 4865 ekor ( 62,2%) dari 7824
akseptor atau ekor jumlah kasus gangrep yang ditangani di tahun 2017 di lima provinsi wilayah kerja.
Pemakaian hormone PMSG yang dikombinasi dengan HCG dapat menyembuhkan kasus hipofungsi
90,8% sehingga sapi / kerbau yang mengalami kasus hipofungsi dapat menimbulkan estrus kembali.

Kata kunci : hipofungsi, hormone, estrus.

PENDAHULUAN

Indonesia dengan laju pertumbuhan penduduk dan tingkat kesejahteraan


masyarakat yang meningkat membuat kebutuhan daging meningkat pula,
maka diperlukan upaya untuk meningkatkan hasil produksi pada ternak.
Namun hal ini menemui banyak kendala diantaranya kenaikan populasi
yang rendah dan tingkat reproduktivitasnya tidak sesuai harapan, oleh sebab
itu perlu dilakukan pengembangan ternak ruminansia seperti sapi untuk
menutupi kebutuhan daging (Sudardjad, 2005).

Peningkatan produksi ternak dapat tercapai dengan beberapa cara,


salah satu teknik yang diterapkan adalah penanganan gangguan reproduksi
dan inseminasi buatan (Hariadi, 2011; Subronto dan I. Tjahyati,2001).
Inseminasi buatan (IB) adalah bioteknologi reproduksi yang masih menjadi
teknologi andalan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan mutu genetik
pada ternak, pengendalian penyakit menular reproduksi dan optimalisasi
penampilan reproduksi (Feradis, 2010). Sebanyak lebih dari 40 % sapi potong
mengalami gangguan reproduksi berupa hipofungsi ovarium (HP) yang ditandai
tidak tumbuhnya folikel ovarium sehingga sapi tidak menunjukkan gejala birahi
dalam waktu lama dan proses reproduksi berhenti. Salah satu alternatif yang
514 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
dapat digunakan untuk mengatasi masalah diatas adalah menggunakan
induksi birahi dan ovulasi dengan mengunakan hormone gonadotropin.

PG-600 adalah preparat hormon yang mengandung kombinasi antara


Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan Human Chorionic
Gonadrotopin (hCG). Menurut Hafez,2000 dan Ismudiono dkk. (2010) PMSG
dan hCG, keduanya merupakan hormon glikoprotein terdiri dari subunit α dan
β mirip dengan Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormon
(LH). LH berfungsi pada proses androgenesis dan FSH berperan pada proses
aromatisasi sehingga kombinasi kedua hormone mampu menggertak birahi
dan ovulasi.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis ingin melakukan penelitian


untuk mengetahui hasil dari pemakaian kombinasi kedua hormone tersebut
yaitu PMSG dan hCG (PG-600,intervet Holland) pada kasus gangguan
reproduksi yaitu hipofungsi ovarium pada terhadap kejadian birahi pada
sapi/kerbau.

TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini :


1. Untuk mengetahui apakah kombinasi hormone PMSG dan HCG dapat
digunakan sebagai pengobatan kasus hipofungsi di lima provinsi
wilayah kerja Balai Besar Veteriner Maros
2. Untuk mengetahui data kesembuhan kasus hipofungsi dengan
menggunakan kombinasi hormone PMSG dan HCG pada sapi.

MATERI DAN METODE

Bahan Penelitian

Bahan penelitian meliputi : Preparat hormon yang digunakan untuk


induksi birahi yaitu PG-600 yang mengandung hormone PMSG dan HCG
(Intervet, Holland).

Metode Penelitian

Sapi potong betina dilakukan pemeriksaan per rektal untuk memastikan


terjadinya HP. Sapi potong yang menderita HP dilakukan induksi birahi dan ovulasi
dengan menggunakan hormone PG-600. Penyuntikan PG-600 dilakukan secara
intramuskuler pada hari pertama. Dosis PG-600 yang digunakan adalah
sebanyak 180 IU/ekor sapi (1,5 ml). Pengamatan birahi dilakukan selama 9
hari pasca penyuntikan PG-600.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
515
Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, selanjutnya disajikan


secara diskriptif (Kusriningrum, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tahun 2017 di dapat hasil kegiatan penanggulangan gangguan


reproduksi wilayah Balai Besar Veteriner Maros sebagai berikut ;

Hasil Realisasi Kegiatan Penanggulangan Gangguan Reproduksi

Gangrep
No. Provinsi Target Realisasi
I II III
1 Gorontalo 2.500 1.649 1.649 1.615 1.458
2 Sulawesi Barat 824 571 571 571 492
3 Sulawesi Tengah 1.000 640 640 625 476
4 Sulawesi Utara 1.000 1.414 1.414 1.414 1.359
5 Sulawesi Tenggara 2.500 3.550 3.550 3.521 3.462
TOTAL 7.824 7.824 7.824 7.746 7.247
Keterangan I : pengobatan 1, II: pengobatan 2, III; pemantauan hasil (kesembuhan)

Rekap Data Penyakit Gangguan Reproduksi

No. Provinsi Penyakit Jumlah %


Hipofungsi 750 45,5
CLP 498 30
Endometritis 142 8,6
1. Gorontalo Systic luteal 54 3,3
Repeat breeder 146 8,8
Systic folikel, pyometra dll 59 8,8
   1649  
Hipofungsi 442 77,4
CLP 53 9,3
Repeat breeder 24 4,2
2. Sulawesi Barat
Retensi secundinarum 28 4,9
Systic folikel, abortus 24 4.2
571  

516 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
No. Provinsi Penyakit Jumlah %
Hipofungsi 824 58,3
CLP 158 11,2
Systic folikel 321 22,7
Systic luteal 38 2,7
3. Sulawesi Utara
Repeat breeder 18 1,3
Endometritis 36 2,6
dll 19 2.2
  1414  
Hipofungsi 2431 68,4
CLP 821 23,1
Repeat Breeder 157 4,4
4. Sulawesi Tenggara Retensi secundinarum 59 1,6
Endometritis 58 1.6
dll 24 0.9
  3550  
Hipofungsi 418 65
CLP 67 10,5
Endometritis 74 11,6
Systic folikel 20 3,1
5. Sulawesi Tengah Systic luteal 12 1,8
Abortus 10 1,5
Retensi secundinarum 17 2,6
dll 22 3.9
  640  

Total kasus hipofungsi di lima provinsi wilayah kerja sebanyak 4865 ekor
dari 7824 ekor yang mengalami gangguan reproduksi atau sejumlah 62,2%.

DIAGNOSA PENYAKIT GANGREP 2017


HIPOFUNGSI
4,4 3,9
CLP
5,2
Systic luteal
62,1 Systic folikel
20,4 Retensi secundinarum
abortus
Repeat breeder
dll

Prosentase Diagnosa Penyakit Gangguan Reproduksi Tahun 2017

Hasil Realisasi Kesembuhan Kegiatan Penanggulangan Gangguan


Reproduksi

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
517


P1 P2/PM1 PM2
No. Provinsi Realisasi   
  
Akseptor Sembuh Akseptor Sembuh Akseptor Sembuh
     
1 
Gorontalo

1.649

1.649
 
0 1.615
 
0  1.458

1.458
2 
Sulawesi Barat

571

571
 
0 
571 
0 
492 492
3 
Sulawesi Tengah

640

640
 
0 
625 
0 
476 476
4 
Sulawesi Utara

1.414

1.414
 
0 1.414
 
0  1.359

1.359
5 
Sulawesi Tenggara

3.550

3.550
 
0 3.521
 
0  3.462

3.462
TOTAL

7.824

7.824
 
0 7.746
 
0  7.247

7.247
Keterangan:

P1 : 
Pengobatan Pertama
 
P2 : Pengobatan Kedua
  
  
PM1 : Pemantauan Pertama
 
PM2 : Pemantauan Kedua 
  

JUMLAH GANGGUAN REPRODUKSI, PENGOBATAN DAN


KESEMBUHAN
Pengobatan I Pengobatan II Sembuh

355035213462

157615631553 148714771392

571 571 496 640 625


476

GORONTALO SULAWESI SULAWESI SULAWESI SULAWESI


BARAT TENGAH UTARA TENGGARA

Jumlah Gangguan Reproduksi, Pengobatan dan Tingkat Kesembuhan pada Sapi Potong

Tahun 2017

Dapat di amati dari data hasil kesembuhan dari 7824 ekor yang mengalami
gangguan reproduksi hasil kesembuhan hanya 92,6% atau sebanyak 7247
ekor. Dari data tersebut terdapat ketidak sembuhan sebanyak 577 ekor atau
7,4% dari angka tersebut (577 ekor) paling banyak 77% ketidak sembuhan
dari kasus hipofungsi atau sebanyak 445 ekor.

No Provinsi Data Hipofungsi Kesembuhan %


1 Gorontalo 750 710 94,6
2 Sulawesi Barat 442 380 85,9
3 Sulawesi Tengah 418 390 93,3
4 Sulawesi Utara 824 800 97
5 Sulawesi Tenggara 2431 2140 88
TOTAL 4865 4420 90,8

Data hipofungsi dan kesembuhan

Data angka kesembuhan sebanyak 90,8% atau 4420 ekor dan tidak
sembuh sebanyak 9,2% atau 445 ekor. Hasil kesembuhan dari penanggulangan
gangguan reproduksi yaitu dengan ditandai timbulnya birahi atau estrus.

518 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Estrus yang timbul dari pengobatan dengan menggunakan hormone PMSG
dan HCG antara 3 – 9 hari atau rata-rata 5 hari dengan hanya satu kali
penyuntikan saja.

Hipofungsi ovarium adalah kondisi ovarium yang kurang berfungsi


dengan ditandai oleh tidak berkembangnya folikel sehingga sapi tidak
pernah menunjukkan gejala birahi dalam waktu yang lama. Perkembangan
folikel sangat tergantung hormone gonadotropin yaitu FSH dan LH. Kadar
hormone ini sangat dipengaruhi oleh nutrisi dan lingkungan. Nutrisi
yang kurang berakibat berkurangnya bahan baku untuk sintesis hormone
gonadotropin yaitu protein. Selain itu stress lingkungan yang terlalu panas
mengakibatkan gangguan sekresi hormone gonadotropin yang berakibat
tidak berkembangnya folikel meskipun nutrisi terpenuhi.

PG-600 adalah preparat hormon yang mengandung 400 IU hormon PMSG


dan 200 IU hormon hCG. Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin
mempunyai aktifitas yang menyerupai FSH dan LH. Follicle Stimulating
Hormon yang bekerja pada tahap awal perkembangan folikel dan dibutuhkan
untuk pertumbuhan folikel Efendi dkk.,2015). Pemakaian kombinasi PMSG
         
dan hCG (PG-600) mampu menginduksi pertumbuhan folikel sampai
  
terjadinya birahi
sebesar  
100 %. Luteinizing Hormone pada
berperan  
proses androgenesis yang terjadi pada folikel dengan merubah cholesterol
       
menjadi
 testosterone. 
  Testosteron yang
 terbentuk
 akan berdifusi
  masuk 

ke dalam sel granulosa untuk diubah oleh FSH menjadi estrogen melalui
       
proses aromatisasi yang melibatkan enzim aromatase. Adanya estrogen
          
menyebabkan pertumbuhan folikel muda menjadi matang sampai terjadi

birahi yang diikuti ovulasi. Gambar skematis pertumbuhan folikel dapat
 dilihat pada gambar 1.

 

Gambar 1. Skematis seran FSH dan LH dalam pertumbuhan folikel ovarium



sapi potong 


PMSG 
atau 
hormone   serum
pregnant mare gonadotropin
yang
 
merupakan
 hormone gonadotropin
 eksogen
  yang
 sangat potensial
 dalam
  
menimbulkan respon superovulasi pada ternak sapi. dengan aktifitas FSH


Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
   
dan Surveilans 
Kesehatan Hewan Tahun 02018
519
    

        
yang tinggi dan sedikit aktivitas LH ( Pernayun. ; 2009). Sedang hormone
HCG atau human chorionic gonadotropin adalah hormone glikoprotein dari
keluarga gonadotropin yang awalnya disintesis oleh embrio manusia (Harti.
A.S; 2013).

FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan


estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen mencapai
suatu tingkatan yang cukup tinggi selain untuk menimbulkan gejala birahi
juga untuk menaikkan sekresi GnRH (GnRH surge) dan pelepasan LH
surge menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan
dinding folikel dan pelepasan ovum, sementara FSH surge menyebabkan

pertumbuhan folikel baru sehingga membentuk gelombang (Ismudiono dkk.,
2010). Gelombang pertumbuhan folikel dapat dilihat pada gambar 2.


Gambar 2. Gelombang folikel pada sapi potong


Keterangan :

A : ATROPI
A : ATROPI D : DOMINAN D : DOMINAN O : OVULASI
O : OVULASI R : RECRUITMENT S : SELEKSI TR : RECRUITMENT
: TUMBUH
S : SELEKSI
DE :DIESTRUS T : TUMBUH
E: ESTRUS DE :DIESTRUS
ME : METESTRUS PE : PROESTRUS E: ESTRUS

ME : METESTRUS PE : PROESTRUS

Gejala 
birahi pada sapi sapi penderita HP setelah mendapat suntikan
PG-600 secara intra muscular
   dengan
  dosis 180IU/ekor
  diikuti
 dengan
 
ovulasi. Gejala birahi pada sapi ditandai dengan kondisi hewan tidak tenang,
         
berteriak-teriak, vulva bengkak,merah dan panas, keluar lendir cerviks yang
          
terlihat jernih dan lengket (Ismudiono dkk.,2010). Gejala birahi yang diamati

muncul dengan rataan waktu 6 hari pasca penyuntikan PG-600. Hal ini
sesuai
dengan teori gelombang folikel, yaitu pada kondisi HP ovarium maka
tidak
terjadi 
pertumbuhan folikel
  pada
 kedua
 ovarium.
 Penyuntikan PG-600
  
memacu pertumbuhan folikel baru sampai menjadi folikel matang (de Graaf)

membutuhkan waktu 5 hari.
   Folikel de 
  Graaf 
yang tumbuh
 menghasilkan
  
estrogen tinggi sehingga pada hari ke 6 muncul gejala birahi.

        
Kombinasi keduanya dapat di gunakan untuk superovulasi folikel telur,tetapi
pada         
kasus gangguan reproduksi terutama pada kasus hipofungsi, PMSG
  
bekerja langsung  
pada ovarium (Hafez   
;2000), bukan pada  
hipotalamus
sehingga lebih
 cepat mengertak pertumbuhan
   folikel
  telur,
 sedangka
  

520 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
hormone HCG sangat penting untuk mempertahanakan sel endokrin yang
disebut corpus luteum atau efek stimulasinya memiliki efek LH pada dosis
yang rendah sehingga mampu merangsang ovarium untuk berovulasi dan
dapat menghasilkan estrus / birahi (Bagus ; 2000)

Hasil ke tidak sembuhan dari penggunanan hormone ( pada 445 ekor)


tersebut bisa juga di sebabkan :
- Salah diagnose bisa saja kasus bukan hipofungsi tetapi kasus endometritis
atau yang lainnya dan memerlukan pengobatan dengan hormone atau
obat-obatan lainnya
- Penyimpanan hormone yang tidak baik ( tidak pada suhu dingin )
sehingga menurunkan efektifitas dari hormone tersebut, dikarenakan
penyuntikan hanya satu kali.
- Sapi- sapi yang tidak di laporkan kesembuhannya oleh peternak

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari hasil penulisan ini :


- Kombinasi dari hormone PMSG dengan HCG dapat digunakan dalam
penanggulangan gangguan reproduksi pada kasus hipofungsi di lima
propinsi wilayah kerja Balai Besar veteriner Maros tahun 2017
- Kesembuhan yang dapat di capai dari pengobatan kasus hipofungsi
dengan menggunakan kombinasi hormone PMSG dengan HCG
sebanyak 90.8%.

Saran yang dapat di berikan :


- Dibutuhkan peningkatan SDM sehingga kemampuan diagnose kasus
gangguan reproduksi dapat di tingkatkan
- Di butuhkan peran serta peternak tentang pelaporan hasil estrus sehingga
hasil dari penanggulangan gangguan reproduksi dapat di laporkan
- Akan lebih baik bila di tingkatkan hasil estrus dengan hasil inseminasi
buatan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk DR. drh. Abdul Samik
M.Si, DR. dan drh. Trilas Sadjito M.Si, sebagai mentor dilapangan dalam
penanggulangan gangguan reproduksi, teman-teman medic veteriner
reproduksi di lima provinsi dan balai besar veteriner maros serta Kepala
balai Besar Veteriner Maros Bpk. Drh. Sulaxono Hadi yang selalu meberikan
support dan arahannya.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
521
DAFTAR PUSTAKA

Bagus I., 2000, Buku Saku Ilmu Kandungan, 100-105, Penerbit Arcan.
Jakarta.

Efendi, M., T.N. Siregar, Hamdan, Dasrul, C.N. Thasmi, Razali, A. Sayuti,
B. Panjaitan. 2015. Angka Kebuntingan Sapi Lokal Setelah Diinduksi
Dengan Protokol Ovsynch. Banda Aceh. Jurnal Medika Veterinaria.
159- 162

Feradis, 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Alfabeta Bandung.


135-157

Hafez, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7th Ed. Lippincutt


Williams and Wlkins, Philadelphia. P. 395-404.

Harti.A.S.,Estuningsih, Heni Nurkusumawati., 2013. Pemerikasaan HCG


Untuk deteksi kehamilan dini secara immunokromatografi. Jurnal
KesMaDaska edisi Januari 2013.Surakarta

Hariadi, M., S. Hardjopranjoto., Wurlina., H.A. Hermadi., B. Utomo.,


Rimayanti., I.N. Triana dan H. Ratnani. 2011. Ilmu Kemajiran pada
Ternak. Cetakan 1. Airlangga University Press. Surabaya. 2

Ismudiono , P. Srianto, H. Anwar, S. P. Madyawati, A. Samik dan E. Safitri.


2010. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Universitas Airlangga Press.
Surabaya. 11-108

Kusriningrum. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga University


Press.Surabaya. 15-16

Pernayun. T.G.O.,2009., Induksi estrus dengan PMSG dan GnRh pada sapi
anestrus post partum. Buletin Veteriner Udayana Vol I no 2: 83-87.
Denpasar.

Subronto dan I.Tjahajati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta

Sudardjad S. 2005. Operasional Program Terobosan Menuju Kecukupan


Daging Sapi 2005. Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan.

522 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
EVALUASI KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN (IB)
PROGRAM UPSUS SIWAB DI KALIMANTAN BARAT
BERDASARKAN DATA ISIKHNAS TAHUN 2017
Ahmad Mike Ariyanto (1), Elidar (2)

Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat (1)
Unit Laboratorium Keswan dan Kesmavet Provinsi Kalimantan Barat (2)
ahmadmikedrh@gmail.com

ABSTRAK

Komitmen Pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan asal hewan khususnya daging
sapi secara intensif dilakukan melalui peningkatan populasi sapi/kerbau potong. Salah satu Program
besar Nasional yang mendukung percepatan peningkatan populasi sapi/kerbau potong yaitu UPSUS
SIWAB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting). Salah satu kegiatan UPSUS SIWAB yaitu
Inseminasi Buatan (IB). Sesuai Pedoman Umum UPSUS SIWAB Tahun 2017 setiap kegiatan yang
menjadi rangkaian UPSUS SIWAB (termasuk IB) dilaporkan melalui sistem iSIKHNAS. Prinsip
pelaporan menggunakan iSIKHNAS yaitu real time, sederhana, dan aman serta dapat diakses oleh
yang berkepentingan sehingga dapat menjadi acuan dalam laporan perkembangan UPSUS SIWAB
setiap harinya. Studi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IB berdasarkan data
iSIKHNAS. Metode yang dipergunakan dalam studi yaitu menghitung nilai Service Per Conception
(S/C) dan Conseption Rate (CR) dengan data yang berasal dari laporan iSIKHNAS nomor 369 dan
253. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukan bahwa nilai S/C yaitu 2,17 dan CR yaitu 45,94 %.
Hal ini menggambarkan bahwa nilai S/C masih tinggi dan nilai CR masih rendah. Studi ini belum
menunjukkan nilai S/C dan CR keseluruhan dari sapi yang di IB. Karena belum semua kegiatan IB
yang dilakukan pemeriksaan kebuntingan dilaporkan melalui iSIKHNAS. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan gambaran nilai S/C dan CR secara keseluruhan dalam kegiatan UPSUS SIWAB di
Kalimantan Barat, semua petugas diwajibkan melaporkan kegiatan IB dan pemeriksaan kebuntingan
melalui iSIKHNAS

Kata kunci : UPSUS SIWAB, Inseminasi Buatan (IB), iSIKHNAS, Service Per Conception (S/C),
Conception Rate (CR)

PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga ketersediaanya


harus terjamin dan terpenuhi sebagai syarat utama guna mewujudkan
masyarakat yang bermartabat serta sumber daya yang berkualitas. Bila
ditinjau dari sumber asalnya, bahan pangan terdiri dari pangan asal tumbuhan
dan bahan asal hewan. Komitmen Pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan
pangan terutama pangan asal hewan dalam mewujudkan swasembada daging
secara intensif dilakukan oleh Pemerintah melalui peningkatan populasi sapi
/ kerbau potong. Program Nasional yang mendukung percepatan peningkatan
populasi sapi / kerbau yaitu UPSUS SIWAB (Upaya Khusus Sapi Indukan
Wajib Bunting).

Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu kegiatan dari


Program Nasional UPSUS SIWAB. Inseminasi Buatan (IB) adalah upaya
memasukkan semen / mani ke dalam saluran reproduksi hewan betina yang
sedang birahi dengan bantuan inseminator agar hewan bunting (Tati dkk,
2012). Sesuai dengan pedoman pelaksanaan UPSUS SIWAB tahun 2017
bahwa pelaporan untuk kegiatan UPSUS SIWAB menggunakan sistem

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
523
iSIKHNAS. iSIKHNAS adalah sistem informasi kesehatan hewan Indonesia
yang mutakhir. Sistem ini menggunakan teknologi sehari-hari dengan cara
yang sederhana namun cerdas untuk mengumpulkan data dari lapangan dan
dengan segera menyediakannya bagi para pemangku kepentingan dalam
bentuk yang bermakna dan dapat segera dimanfaatkan. Prinsip pelaporan
menggunakan iSIKHNAS yaitu real time, sederhana, dan aman serta dapat
diakses oleh yang berkepentingan sehingga dapat menjadi acuan dalam
laporan perkembangan UPSUS SIWAB setiap harinya. Dalam kegiatan IB
dan Pemeriksaan Kebuntingan, iSIKHNAS memberikan peran penting dalam
penyajian data lengkap IB beserta dengan identitas pemilik dan ternaknya.

Menurut Vivi dkk (2014), bahwa variabel IB yang dapat dijadikan tolak
ukur guna mengevaluasi efisiensi reproduksi sapi potong betina yaitu Service
per Conception (S/C) dan Concepton Rate (CR). Berdasarkan hal tersebut
data yang terdapat di iSIKHNAS dapat menjadi sumber informasi untuk
mengevaluasi dan menilai hasil kinerja inseminator dan melihat proporsi
sapi yang bunting di Kalimantan Barat melalui studi evaluasi keberhasilan IB
Program UPSUS SIWAB di Kalimantan Barat berdasarkan data iSIKHNAS
tahun 2017.

TUJUAN

Studi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IB Program


UPSUS SIWAB di Kalimantan Barat tahun 2017 berdasarkan nilai angka
S/C dan CR yang diperoleh dari data iSIKHNAS.

MATERI DAN METODE

Materi yang digunakan dalam studi ini yaitu data laporan ISIKHNAS
nomor 369 (laporan cache rangkuman inseminasi buatan) dan 253 (laporan
cache pemeriksaan kebuntingan) dengan filter tahun 2017 dan Provinsi
Kalimantan Barat.

Metode yang digunakan untuk mengetahui nilai angka Service per


conception (S/C) yaitu banyaknya IB yang dilakukan hingga ternak
menjadi bunting, sedangan Conception Rate (CR) yaitu persentase ternak
yang bunting inseminasi pertama dengan ternak yang dilakukan inseminasi
(Toelihere, 1997).

524 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Target Nasional UPSUS SIWAB Provinsi Kalimantan Barat untuk


Inseminasi Buatan adalah 36.373 ekor, berdasarkan hasil pelaksanaan
Inseminasi Buatan di Kalimantan Barat tahun 2017 dari target 36.373 ekor
tersebut dapat terealisasi sebanyak 21.448 ekor (58,96%). Dari ternak yang di
IB tidak semuanya dilakukan pemeriksaan kebuntingan oleh petugas Capain
target pelaksanaan pemeriksaan kebuntingan ternak dari target Nasional
23.642 ekor tercapai 12.110 ekor (51,22%) dan 9.854 ekor (81,37%) yang
bunting. Berikut rincian data pelaksanaan IB dan pemeriksaan kebuntingan
ternak dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Data capaian pelaksanaan IB dan PKB Program UPSUS SIWAB


Kalimantan Barat tahun 2017

Kegiatan IB (ekor)
Kabupaten/ Total PKB Bunting
Kota IB lain IB (ekor) (ekor)
IB 1 IB 2 IB 3
(4,5 dst)
Bengkayang 2061 435 106 18 2620 1224 1224
Kapuas Hulu 1442 24 2 1468 1427 1216
Kayong Utara 1219 197 44 11 1471 781 756
Ketapang 2070 209 8 2287 1029 953
Kubu Raya 1399 191 39 8 1637 417 334
Landak 904 119 11 1 1035 202 202
Melawi 756 95 2 1 854 1235 650
Mempawah 1766 745 248 62 2821 1534 1141
Sambas 2654 692 198 59 3603 1636 1296
Sanggau 126 47 7 1 181 897 464
Sekadau 339 56 2 397 266 201
Singkawang 1286 630 277 166 2359 693 648
Sintang 663 51 1 715 769 769
16685 3491 945 327 21448 12110 9854

Berdasarkan capaian target pelaksanaan pemeriksaan kebuntingan oleh


petugas di 14 Kabupaten/Kota se Kalimantan Barat dapat dikelompokan
umur kebuntingan ternak, adapun rinciannya dapat dilihat pada grafik berikut :

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
525

      


         
         


Grafik 1. Umur kebuntingan ternak hasil dari PKB



 Umur Kebuntingan Ternak (bulan)
 1400
 1200

1000

 800
Ekor

 600
 400
 200

0




 Kabupaten/Kota

 1 sd 3 4 sd 6 7 sd 9


         
Berdasarkan data tersebut dilakukan perhitungan S/C dan CR dengan


memformulasikan data kedalam rumus sebagai berikut :

 

Jumlah IB

S/C = 
Jumlah ternak yang bunting


  
Jumlah
ternak yang bunting

CR =  X 100 %
Jumlah ternak yang di IB


Dari
hasil formulasi

dapat diketahui bahwa nilai S/C yaitu 2,17 dan nilai
CR 45,94
 %.

          
PEMBAHASAN
              
               
           
Service per conception (S/C) merupakan angka yang menunjukan jumlah
perkawinan yang dapat menghasilkan suatu kebuntingan. Berdasarkan hasil
perhitungan nilai S/C yaitu 2,17. Sulaksono, dkk (2010) menyatakan bahwa
Angka S/C jika berada pada angka di bawah 2 yang berarti sapi masih dapat
beranak 1 tahun sekali, apabila angka S/C di atas 2 akan menyebabkan
tidak tercapainya jarak beranak yang ideal dan menunjukkan reproduksi
sapi tersebut kurang efisien yang membuat jarak beranak menjadi lama,
sehingga dapat merugikan peternak karena harus mengeluarkan biaya IB
lagi. Sedangkan hasil perhitungan nilai CR yaitu 45,94 %. Berdasarkan hasil
penelitian Ihsan dan Wahjuningsih (2011) nilai rataan angka CR berkisar 64-
65%, angka ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang dilakukan.
Fanani, dkk (2013), menyatakan bahwa CR yang baik mencapai 60-70%.

Masih tingginya nilai S/C dan rendahnya nilai CR bukan berarti


pelaksanaan IB di Kalimantan Barat yang belum baik, hal ini dapat dilihat
dari hasil pelaksanaan Pemeriksaan kebuntingan bahwa dari 12.110 ternak

526 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang di PKB, 9.854 ekor ternak bunting (81,37%). Nilai S/C yang masih
tinggi dan CR yang rendah dikarenakan belum semua ternak yang di IB
dilakukan PKB, hal ini dapat dilihat bahwa dari 18.737 ternak yang di IB
hanya 12.110 ekor ternak (64,63%) yang di PKB, berarti ada 35,37 % yang
tidak di PKB atau tidak dilaporkan melalui iSIKHNAS, hal itu disebabkan
antara lain :
1. Kondisi wilayah Kalimantan Barat yang sangat luas dan infrastruktur
dasar masih belum merata di setiap Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat
menjadikan inseminator berpikir ulang untuk melakukan pemeriksaan
kebuntingan ternak pasca IB
2. Dana operasional yang belum sebanding dengan operasional di lapangan
3. Signal yang masih belum merata di semua tempat
4. Pola pemeliharaan ternak yang masih semi intensif dan ekstensif
5. Belum semua peternak paham bahwa ternak yang tidak birahi setelah
di IB, perlu dilakukan pemeriksaan kebuntingan, sehingga tidak
melaporkan kepada petugas.
6. Mayoritas inseminator yang senior masih gagap teknologi sehingga
masih menggunakan sistem manual untuk melaporkan kegiatannya
7. kurangnya sumber daya manusia di setiap Kabupaten/Kota sehingga
beban kerja petugas yang berat dikarenakan petugas juga merangkap
kegiatan prioritas lainnya
8. Beberapa inseminator dari individunya sendiri yang kurang rajin belum
paham format pelaporan melalui iSIKHNAS
9. Sistem iSIKHNAS yang masih sering mengalami gangguan

Berdasarkan kondisi tersebut agar data di iSIKHNAS tidak bias dan


dapat dilakukan analisa untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan IB
di Kalimantan Barat yaitu mewajibkan petugas untuk melaporkan semua
kegiatan pelaksanaan IB nya melalui iSIKHNAS.

KESIMPULAN DAN SARAN

Evaluasi keberhasilan IB Program UPSUS SIWAB di Kalimantan


Barat tahun 2017 melalui data iSIKHNAS masih belum baik berdasarkan
perhitungan nilai S/C yaitu 2,17 dan nilai CR yaitu 45,94%. Agar pelaksanaan
IB UPSUS SIWAB di Kalimantan Barat kedepannya lebih baik adalah
sebagai berikut :
1. Mewajibkan seluruh petugas untuk melaporkan melalui sistem
iSIKHNAS
2. Refresh petugas terkait pelaporan menggunakan iSIKHNAS
3. Reward untuk petugas

4. Berkoordinasi dan komunikasi dengan koordinator iSIKHNAS terkait


pelaporan menggunakan iSIKHNAS
5. Penyesuaian besarnya operasional IB dan PKB sesuai dengan kondisi
wilayah

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
527
6. Sistem iSIKHNAS agar terus dikembangkan dan diperbaharui agar
tidak sering mengalami gangguan.

DAFTAR PUSTAKA

Fanani, S., Subagyo , Y.B.P., dan Lutojo. 2013. Kinerja Reproduksi Sapi
Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak,
Kabupaten Ponorogo. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.

Ihsan, M. N., dan Wahjuningsih, S. 2011. Penampilan Reproduksi Sapi


Potong di Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ternak Tropikal 12 (2): 74-
80.

Sulaksono, A., Suharyati, S., dan Santoso, E. P. 2010. Penampilan Reproduksi


(Servise Per Conception, Lama Bunting dan Selang beranak) Kambing
Boerawa Di Kecamatan Gedong Tataan dan Kecamatan Gisting.
Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung.

Tati H, Anneke A, Lisa P, Dwi U dan Argi A. 2012. Peran Inseminator


Dalam Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Sapi Perah. Informatika
Pertanian, Vol. 21 No.2 Desember 2012 :81 – 88.

Toelihere, M.R. 1997. Peran bioteknologi reproduksi dalam pembinaan


produksi peternakan di Indonesia. Makalah disampaikan pada
pertemuan teknis dan koordinasi produksi peternakan Nasional.
Cisarua, 4 – 6 Agustus 1997.

Vivi DS, Nurul I dan Sri W. 2014. SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN
CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL
PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN
SANANKULON KABUPATEN BLITAR. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang.

528 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
FAKTOR PENYEBAB KESEMBUHAN SAPI POTONG YANG
MENGALAMI GANGGUAN REPRODUKSI DI KECAMATAN
NANGGULAN KAB. KULON PROGO TAHUN 2017
Estu Widodo

Medik Veteriner Puskeswan Nanggulan


trontong_estu@yahoo.com

ABSTRAKS

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap kesembuhan sapi
potong di kecamatan nanggulan yang mengalami gangguan reproduksi. Sebanyak 60 sapi potong
yang mengalami gangguan reproduksi di kecamatan Nanggulan dilakukan pengobatan dan saran
perbaikan manajemen. setiap 2 bulan dilakukan pemantauan dan pengobatan ulangan. Setelah 6 bulan
dianalisa, kesembuhan sebagai variabel dependen (Y), sedangkan faktor ternak, kandang, dan pakan
sebagai variabel independen (X).Analisis yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat dengan
chi square dan odd rafio. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesembuhan sebesar 81,5 %. Faktor
yang berpengaruh terhadap Kesembuhan adalah ternak berasal dar pedukuhan Wiyu (OR=4,295),
Kandang terbuka (OR=6,662), hewan yang diberi pakan tambahan konsentrat (OR=4,627) dan
lndukan yang tidak menyusui (OR=49,138). Sapi potong di kecamatan Nanggulan yang mengalami
gangguan reproduksi mempunyai kemungkinan sembuh lebih baik jika sapi tersebut berada di
pedukuhan Wiyu, di tempat di kandang yang terbuka, diberi makanan tambahan berupa konsentrat
dan sapi indukan tidak dalam kondisi menyusui.

PENDAHULUAN

Usaha peternakan sangat bergantung dengan keberhasilan reproduksi


ternak tersebut. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan
populasi ternak. Namun saat ini kondisi saat ini tidak ideal, banyak ganguan
reproduksibaik di usaha peternakan rakyat maupun peternakan komersial,
kasus gangguan reproduksi yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk,
akibatnya berupa penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet
sehingga mempengaruhi penurunan populasi sapi dan pasokan penyediaan
daging secara nasional (Ratnawati et al,2007). Sebuah kondisi di mana fungsi
reproduksi hewan betina atau jantan mengalami hambatan, baik sementara
atau terus-menerus yang mengakibatkan fungsi sebagai penghasil anak tidak
tercapai itulah yang disebut dengan gangguan reproduksi. (Oto M, 2002),
Gangguan reproduksi yaitu perubahan fungsi normal reproduksi baik jantan
maupun betina yang disebabkan oleh penyakit infeksius dan non infeksius.
Faktor penyebab terjadinya gangguan reproduksi ini bermacam-macam,
mulai dari lingkungan, cacat genetik, gangguan gizi, penyakit sistemik,
penyakit reproduksi dan sekresi abnormal berbagai hormon (Anonim,
2016). Gangguan reproduksi tersebut menyebabkan kerugian ekonomi
sangat besar bagi petani yang berdampak terhadap penurunan pendapatan
peternak. Umumnya disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penyakit
reproduksi, buruknya sistem pemeliharaan,tingkat kegagalan kebuntingan
dan masih adanya pengulangan inseminasi. (Riady, 2006).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
529
TUJUAN

Untuk melakukan sebuah evaluasi bagi program penanganan gangguan


reproduksi agar diperoleh sebuah sebuah gambaran secara jelas program
penangganan gangguan reproduksi yang berhasil dan tepat guna.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini menggunakan sapi potong di kepemilikan individu atau


kelompok sapi potong di kecamatan Nanggulan kabupaten Kulon Progo.
Sebanyak 60 sapi potong yang telah dilakukan pemeriksaan mengalami
gangguan reproduksi di kecamatan Nanggulan. Kriteria ternak yang akan
dijadikan sebagai target penanganan gangguan reproduksi adalah Setelah
14 hari melahirkan, Ada discharge abnormal, Ada siklus estrus abnormal,
Estrus tidak teramati setelah 50 hari melahirkan, Dikawinkan 2 kali tidak
bunting, Setelah 2 bulan di IB, Sapi yang bunting lebih dari 280 hari,Sapi
yang mengalami abortus, prematur atau lahir mati (Anonim,2016) setelah itu
dilakukan pemeriksaan dengan eksplorasi rektal untuk ditentukan diagnosa
dan pengobatannya. Setelah dua bulan dilakukan pemantauan ulang untuk
dilakukan pemeriksaan untuk menentukan diagnosa dan pengobatan kembali
jika diperlukan. Diulang lagi selama 6 bulan. Pengobatan yang dilakukan
berdasarkan diagnosa gangguan reproduksi yang ada. Obat yang digunakan
berupa antibiotika, Vitamin ADE, hormon dan Povidone iodine.

Data ternak yang diambil meliputi data sapi potong yang mengalami
gangguan reproduksi yang sudah mengalami kesembuhan sebagai variabel
dependen (Y), sedangkan variabel independen adalah Manajemen pakan
(Jenis hijauan yang diberikan, Jenis makanan tambahan), Manajemen
kandang (Jenis kandang, Intensitas cahaya dalam kandang), Manajemen
ternak (Jumlah sapi dalam satu kandang, adanya pejantan dalam satu
kandang,Pemberian obat cacing dalam 6 bulan terakhir) dan Sejarah penyakit
(Pernah keguguran). Pengumpulan variabel independen dilakukan dengan
pengamatan langsung dan wawancara melalui kuisioner terhadap peternak.
Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan dan diolah dengan program statistix
analytical softwere version 7. Analisis deskriptif, Chi square (X2 ) dan odd
ratio (OR) digunakan pada penelitian ini. Uji Chisquare (X2) dipakai untuk
mengetahui asosiasi antara faktor-faktor penyebab dengan tingkat kejadian
penyakit sedangkan OR digunakan untuk menghitung kekuatan asosiasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sapi yang mengalami gangguan reproduksi di kecamatan nanggulan


adalah silent heat sejumlah 17 ekor (31,5%) dan Hipofungsi ovary
sejumlah 37 ekor (68,5%). Hasil berbeda diperoleh oleh Dibia et all (2015)
yang menemukan kasus gangguan reproduksi pada sapi bali di lombok
menunjukkan endometritis ditemukan paling tinggi yaitu sebanyak
530 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
533 kasus (25,1%), selanjutnya repeat breeder 530 kasus (24,9%),
hypofungsi ovari 517 kasus (24,3%), silent heat 368 kasus (17,3%),
corpus luteum persisten 89 kasus (4,2%), sistik folikel 72 kasus
(3,3%), dan pyometra 18 kasus (0,8%).. Setelah dilakukan pengobatan
dan pemantauan selama 6 bulan diperoleh Kesembuhan sapi potong di
kecamatan Nanggulan yang mengalami gangguan reproduksi sebesar 81,5
% atau 44 ekor , dari 60 ekor yang dilakukan pengobatan, 44 ekor mengalami
kesembuhan, 10 belum sembuh, 1 mengalami kematian, 5 dijual (tabel
1) hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil yang diperoleh oleh Dibia et
all (2015) Tingkat kesembuhan dari penanganan kasus gangguan
reproduksi secara keseluruhan sangat baik yaitu 96,33%. Berbagai
macam faktor berpengaruh terhadap kesembuhan gangguan reproduksi ini,
menurut penelitian yang dilakukan oleh Japan Livestock Association (2002)
Faktor risiko yang berperan terhadap gangguan reproduksi pada tingkat
ternak adalah faktor manajemen pakan, manajemen kandang, manajemen
ternak, sejarah penyakit dan pemahaman masyarakat terhadap berahi.

Tabel 1. Frekuensi distribusi variabel peternak, ternak, pakan, dan kandang


sapi potong di kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo,
Daerah Istimewa Yogyakarta

No Variabel Hasil
1 Kesembuhan 1. 44/54 = 81,5%,
2 Asal Ternak 1. Temanggal = 16/54 = 29,6 %
2. Sambiroto = 15/54=27,8 %
3. Cepitan = 9/54 = 16,7 %
4. Wiyu = 14/54 = 25,9 %
3 Kandang terbuka 1. Ya = 35/54 = 64,8 %
2. Tidak = 19/54 = 35,2 %
4 Pakan rumput dan jerami 1. Ya = 37/54 = 68,5%
2. Tidak = 17/54=31,5%
5 Pakan tambahan 1. Ya = 37/54=68,5%
2. Tidak = 17/54= 31,5%
6 Kandang koloni 1. Ya = 21/54= 38,9%
2. Tidak= 33/54 = 61,1%
7 Adanya Pejantan dalam kandang 1. Tidak 54/54=100%
8 Jumlah sapi dalam satu kandang 1. Ya = 2/54=53,7%
Lebih dari satu 2. Tidak = 25/54=46,3%
9 Menyusui 1. Ya = 2/54=3,7%
2. Tidak 45/54=96,3%
10 Pernah diberi obat cacing 1. Ya = 40/54=74,1%
2. Tidak = 14/54=25,9%
11 Jenis sapi 1. PO =25/54=46,3%
2. Limosin = 5/54=9,3%
3. Simental = 24/54=44,4%

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
531
No Variabel Hasil
12 BCS lebih dari 2 1. Ya =48/54=88,9%
2. Tidak = 6/54=11,1%
13 Umur lebih dari 3 tahun 1. Ya = 27/54=50%
2. Tidak = 27/54=50%

Asal ternak sapi potong yang mengalami gangguan reproduksi ini


berasal hampir merata dari 4 pedukuhan terpilih. Sebagian besar kandang
yang ada merupakan kandang yang terbuka 64,8%, Sebagian besar diberi
pakan hijauan yang berupa jerami dan rumput yaitu sebanyak 68,5%,
Sebagian besar sapi diberi makanan tambahan yaitu sebanyak 68,5%.

Sebagian besar sapi ditempatkan dikandang individu, hanya sebagain


kecil di tempatkan di kandang koloni yaitu sebanyak 38,9%, Di semua
kandang sapi ini tidak terdapat sapi jantan, Sebagian besar kandang sapi
tidak hanya terdapat satu ekor sapi yaitu 53,7%,

Hanya sebagian kecil sapi yang mengalami gangguan reproduksi ini


merupakan sapi yang sedang menyusui yaitu sebanyak 3,7%, Sebagian besar
ternak sudah dilakukan pengobatan cacing yaitu sebanyak 74,1%, Jenis sapi
yang ada sebagian besar adalah sapi peranakan simental yaitu sebanyak
44,4%, sebagian besar sapi memiliki BCS yang bagus yaitu BCS lebih dari
2 yaitu sebesar 88,9% dan sapi yang mengalami gangguan reproduksi ini
berjumlah seimbang antara yang berumur lebih dari 3 tahun dan kurang dari
3 tahun.

Hasil analisis univariat memberikan gambaran bahwa ternak yang


mengalami gangguan reproduksi di Kecamatan Nanggulan tersebar merata
di wilayah tersebut, sebagian besar merupakan peternakan rakyat yang
masih perlu dikembangkan. Hal ini tergambar dari latar belakang peternak
dan manajemen peternakan yang masih tradisional (belum adanya upaya
untuk meningkatkan kualitas pakan, maupun pencegahan penyakit).

Tabel 2. Hasil Bivariat

No Variabel p-value OR
1 Asal Ternak
a.Temanggal 0,118 2,442
b.Sambiroto 0,339 0,914
c.Cepitan 0,531 0,393
d. Wiyu 0,038* 4,295
2 Kandang terbuka 0,010* 6,662
3 Pakan rumput dan jerami 0,162 1,951
4 Pakan tambahan 0,031* 4,627
5 Kandang koloni 0,936 0,006
6 Adanya Pejantan dalam kandang - -

532 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
No Variabel p-value OR
7 Jumlah sapi dalam satu kandang 0,252 1,311
Lebih dari satu
8 Ternak Yang Tidak Menyusui 0,030* 9,138
9 Pernah diberi obat cacing 0,054 3,704
10 Jenis sapi
a.PO 0,356 0,927
b.Limosin 0,929 0,088
c.Simental 0,309 1,037
11 BCS lebih dari 2 0,322 0,982
12 Umur lebih dari 3 tahun 0,161 1,964

Analisis bivariat dengan Chi-Square dilakukan untuk semua variabel


independen terhadap variabel dependen guna mengetahui ada tidaknya
asosiasi antar keduanya. Hasil analisis ini diperoleh variabel independen
yang menunjukkan adanya asosiasi dengan variabel dependen pada tingkat
signifikansi 95% (p<0,05), yaitu variabel ternak yang berasal dari Dusun Wiyu
(p=0,038), Ternak yang di tempatkan di kandang terbuka (p=0,010), Ternak
yang diberi makanan tambahan (p=0,031) dan Ternak yang tidak menyusui
(p=0,030). Dari hasil penelitian ini tampak bahwa terdapat hubungan antara
kesembuhan sapi potong yang mengalami gangguan reproduksi dengan
ternak yang berasal dari pedukuhan Wiyu.

Sapi potong di pedukuhan wiyu mempunyai kemungkinan kesembuhan


dari gangguan reproduksi karena sebagian besar sapi di pedukuhan Wiyu
merupakan sapi yang dikandangkan dalam kandang koloni dengan
manajemen pengelolaan kelompok yang baik. Ini terlihat dari manejemen
kandang, manajemen pakan secara kelompok. Kandang ternak di kelompok
Wiyu merupakan kandang terbuka. Dengan kandang terbuka ini mempunyai
kemungkinan sembuh lebih besar, ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Widodo et al, (2016) Sapi yang ditempatkan kandang dengan
penyinaran yang redup (TSINAR) berasosiasi positif secara sangat nyata (P
= 0,000) dengan kejadian gangguan reproduksi dengan OR =13,831, ini juga
sejalan dengan sapi yang tidak pernah dikeluarkan dari kandang dalam 2
hari (TDKKEL) berasosiasi positif secara sangat nyata (P = 0,001) dengan
kejadian gangguan reproduksi dengan OR =10,000. Produksi vitamin D
pada ternak sebagian besar diperoleh dari sinar matahari yang berguna untuk
mengatasi osteoporosis dan meningkatkan fertilitasnya (Phillips, 2002).

Ternak membutuhkan cahaya untuk berkembang biak. ini terjadi karena


retina mata dirangsang oleh cahaya dan mengirimkan informasi melalui
saraf optik, yang pada akhirnya sampai pada Kelenjar pineal yaitu sebuah
kelenjar endokrin kecil di otak. Kelenjar pineal ini akan mensrekresikan
hormon melatonin (N-asetil-5-methoxytryptamine). Hormon inilah yang
disekresikan oleh kelenjar pineal ketika hewan tersebut di lingkungan
yang gelap. konsentrasi melatonin yang tinggi dalam darah mengirimkan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
533
informasi bahwa hewan dalam lingkungan gelap sehingga menghambat
aktivitas reproduksinya, Karena hormon melatonin mempengaruhi pelepasan
gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus (Gordon,2003)

Pakan tambahan memberi pengaruh yang cukup baik bagi kesembuhan


gangguan reproduksi ini. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Abidin et al., (2012) Pemberian pakan dapat meningkatkan aktivitas
hipothalamus dan sekresi GnRH sehingga terjadi perubahan-perubahan
hormon ovarium dari alat reproduksi betina yang dapat merangsang
timbulnya birahi. Ovarium menghasilkan hormon estrogen yang mempunyai
peran penting dalam intensitas birahi. Pakan merupakan faktor yang
sangat berpengaruh terhadap reproduksi, kekurangan protein menyebabkan
timbulnya birahi yang lemah, silent heat, anestrus, dan kawin berulang
(Prihatno et al., 2013) Kondisi ini terjadi karena Ketersediaan lemak
dalam tubuh dibutuhkan untuk prekursor pembentukan steroid, sehingga
mempercepat birahi (Khodijah et al., 2014)

Ternak yang tidak menyusui juga berpengaruh terhadap kesembuhan


dari gangguan reproduksi, ini terjadi karena pedet menyusui menyebab kan
kekurusan turut yang berakibat kejadian hipofungsi ovarium. Manifestasi
klinis pada sapi yang mengalami hipofungsi ovarium adalah anestrus.
Menyusui pedet dalam jangka waktu lama akan menunda ovulasi dan
memberikan kontribusi terha dap panjang periode anestrus postpartum,
sehingga efisiensi reproduksi menurun (Gitonga, 2010).

KESIMPULAN

Sapi potong di kecamatan Nanggulan yang mengalami gangguan


reproduksi mempunyai kemungkinan sembuh lebih baik jika sapi tersebut
berada di pedukuhan Wiyu desa kembang, di tempat di kandang yang
terbuka, diberi makanan tambahan berupa konsentrat dan sapi indukan tidak
dalam kondisi menyusui.

SARAN

Dalam penanganan gangguan reproduksi pada ternak khususnya


dipeternakan rakyat bukan hanya pengobatan aja yang diperlukan tapi juga
perubahan pola manajemen peternakan rakyat sehingga bisa dihasilkan
kesembuhan yang optimal

534 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2016, Pedoman Teknis Gangguan Reproduksi (Gangrep)


2017 Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian 2016

Abidin, Z. Y. S. Ondho dan B. Sutiyono. 2012. Penampilan birahi sapi


jawa berdasarkan poel 1, poel 2, poel 3. Animal Agriculture Jurnal. 1 (2):
86- 92.

Dibia I N, Dartini N L dan Arsani N M, 2015 Gangguan Reproduksi


Ternak Sapi di Pulau Lombok,Provinsi Nusa Tenggara Barat (Cattle
Reproductive Disorders in Lombok Island West Nusa Tenggara Province)
Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVII, No. 87, Desember 2015
ISSN : 0854-901X

Gitonga PN. 2010. Pospartum reproductive performance of dairy cows


in medium and large scale farms in Kiambu and Nakuku Districts of Kenya.
Thesis. University of Nairobi Faculty of Veterinary Medicine.

Gordon I, (2003) Reproductive Technologies in Farm Animals, CABI


Publishing Website: www.cabi-publishing.org CABI Publishing, 875
Massachusetts Avenue 7th Floor Cambridge, MA 02139 USA

Phillips C, (2002)Cattle Behaviour and Welfare Second Edition,


Department of Clinical Veterinary Medicine,University of Cambridge,
United Kingdom© 2002 Blackwell Science Ltd, a Blackwell Publishing
Company

Prihatno, A. Kusumawati., N. W. K. Karja dan B. Sumiarto. 2013.


Profil Biokimia Darah Pada Sapi Perah Yang Mengalami Kawin Berulang. J.
Kedokteran Hewan. 7 (1) : 29-31.

Riady M (2006) Implementasi Program Menuju Swasembada Daging


2010. Strategi dan Kendala. Proceding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, 5-6 September, 2006.

Ratnawati D, Pratiwi W P dan Affandhy L. S (2007)Petunjuk Teknis


Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong, Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Peternakan , Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian

Oto M (2002) Cases In Indonesia, Thailand and China and Action Being
Taken In Manual For Diagnosis and treatment of Disorders in Dairy Cattle
Mori Jumachi, march 2002, Japan Livestock Association

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
535
Khodijah, L., R. Zulihar, M. A. Wiryawan dan D. A. Astuti. 2014.
Suplementasi minyak bunga matahari (Helianthus annuus) pada ransum
pra kawin terhadap konsumsi nutrien, penampilan dan karakteristik estrus
domba garut. JITV. 19 (1) : 9-16.

Widodo E, Dwi Sulistyorini, Sunaryanto, 2017, Prevalensi dan faktor


resiko gangguan reproduksi sapi potong pada tingkat ternak di kecamatan
galur kab kulon Progo, Prosiding Temu Ilmiah Veteriner Yogyakarta, PDHI
DIY 27 April 2017

536 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
GAMBARAN HASIL PENANGANAN GANGGUAN
REPRODUKSI PADA PROGRAM UPSUS SIWAB PERIODE
APRIL-JUNI 2017 KABUPATEN KLATEN
Ely Susanti

UPPT Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kab. Klaten


drh.elysusanti@gmail.com

ABSTRAK

Kabupaten Klaten adalah salah satu kabupaten pendukung dan pelaksana Program Upaya
Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (UPSUS SIWAB) tahun 2017.
Penanganan gangguan reproduksi sapi adalah salah satu kegiatan dalam UPSUS SIWAB. Setiap
kegiatan dalam UPSUS SIWAB diwajibkan untuk dilaporkan melalui iSIKHNAS. Data yang
terekam dalam iSIKHNAS diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan dan
evaluasi kegiatan pelaksanaan UPSUS SIWAB.

Berdasarkan rekaman data iSIKHNAS digunakan untuk mengetahui jenis gangguan reproduksi
yang ditangani dan persentase hasil penanganannya, tren respon inseminasi buatan yang dilaksanakan
setelah penanganan gangguan reproduksi dan persentase kebuntingan pada ternak yang mengalami
gangguan reproduksi di Kabupaten Klaten pada program UPSUS SIWAB 2017.

Data sekunder diperoleh dari laporan iSIKHNAS no. 384 dan 446 yang diunduh pada tanggal
13 Februari 2017 dengan data dasar adalah laporan gangguan reproduksi individu pada bulan April
– Juni 2017 KabupatenKlaten. Data tersebut dianalisa secara diskriptif sederhana menggunakan Ms.
Excel.

Hasil analisis diperoleh persentase ternak sembuh 86%, ternak masih sakit 5% dan ternak tanpa
informasi perkembangan kasus sebanyak 9%, sedangkan tren respon IB tertinggi terjadi pada bulan
Mei dan Agustus sebanyak 218 dan 184 laporan dan sejumlah 13% ternak yang pernah didiagnosa
mengalami gangguan reproduksi telah bunting.

Kata kunci: gangguan reproduksi, iSIKHNAS, diskriptif

PENDAHULUAN

Kabupaten Klaten adalah salah satu kabupaten pendukung dan


pelaksana Program Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi
dan Kerbau Bunting (UPSUS SIWAB) tahun 2017. Penanganan gangguan
reproduksi sapi adalah salah satu kegiatan dalam UPSUS SIWAB. Gangguan
reproduksi menyebabkan betina produktif tidak dapat bunting sehingga dapat
menghilangkan produktifitas dan peluang menghasilkan kelahiran pedet untuk
penambahan populasi (anonim, 2017). Permasalahan gangguan reproduksi
harus segera diatasi karena sangat merugikan peternak, yang disebabkan
oleh panjangnya interval kebuntingan setelah partus yang membutuhkan
biaya operasional yang cukup tinggi. Idealnya interval kebuntingan setelah
partus adalah 2-3 bulan (arthur et al., 1996). Program kegiatan penanganan
gangguan reproduksi dalam UPSUS SIWAB 2017 merupakan upaya untuk
mengatasi kerugian ekonomi peternak dan meningkatkan populasi sapi.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
537
Salah satu rangkaian kegiatan penanganan gangguan reproduksi ini
adalah pelaporan melalui iSIKHNAS. Semua kegiatan penanganan gangguan
reproduksi pada UPSUS SIWAB 2017 di Kabupaten Klaten terekam dalam
iSIKHNAS. iSIKHNAS merupakan sistem informasi terkini yang digunakan
oleh jajaran lingkup Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
dan dinas yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan baik tingkat
provinsi maupun kabupaten. Data yang terekam dalam iSIKHNAS dapat
memberikan gambaran berbagai informasi yang kita butuhkan. Untuk
mengetahui gambaran hasil kegiatan penanganan gangguan reproduksi pada
UPSUS SIWAB 2017 di Kabupaten Klaten diperlukan suatu anlisis terhadap
data iSIKHNAS.

TUJUAN

Kegiatan ini dilakukan untuk:


1. Mengetahui jenis gangguan reproduksi yang ditangani dan persentase
hasil penanganannya.
2. Mengetahui tren respon inseminasi buatan (IB) yang dilaksanakan
setelah penanganan gangguan reproduksi.
3. Persentase kebuntingan pada ternak yang mengalami gangguan
reproduksi.

MATERI METODE

Materi

Materi terdiri atas data tentang ID kasus gangguan reproduksi, data


diagnosa sementara gangguan reproduksi, data perkembangan kasus
gangguan reproduksi, data inseminasi buatan yang dilakukan pada ternak
yang mengalami gangguan reproduksi dan data kebuntingan pada ternak
yang mengalami gangguan reproduksi. Data tersebut diperoleh dari laporan
iSIKHNAS no. 384 dan 446 yang diunduh pada tanggal 13 Februari 2017
dengan data dasar adalah laporan gangguan reproduksi individu pada bulan
April – Juni 2017 Kabupaten Klaten.

Metode

Data diolah menggunakan miscrosoft exel untuk:


1. Analisis diskriptif terhadap data kasus gangguan reproduksi untuk
mengetahui jenis dan jumlah kasus yang terjadi .
2. Analisis diskriptif terhadap data diagnosa sementara gangguan
reproduksi dan perkembangan kasusnya untuk mengetahui hasil dari
penanganan yang dilakukan.
3. Analisis diskriptif terhadap data IB pada ternak dengan gangguan
reproduksi untuk mengetahui tren respon IB yang dilaksanakan.

538 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
4. Analisis diskriptif terhadap data pemeriksaan kebuntingan yang
dilakukan pada ternak yang mengalami gangguan reproduksi untuk
mengetahui ternak yang berhasil bunting.

HASIL

Analisis data kegiatan ini dilakukan dengan data dasar adalah 2582 ID
kasus gangguan reproduksi pada sapi yang terekam pada iSIKHNAS. Kasus
Gangguan reproduksi tersebar di 6 Kecamatan yaitu Kecamatan Jatinom
sebanyak 13 desa, Kecamatan Tulung sebanyak 4 desa, Kecamatan Jogonalan
sebanyak 5 desa, Kecamatan Prambanan sebanyak 2 desa, Kecamatan
Karangnongko sebanyak 3 desa dan Kecamatan Kemalang sebanyak 3 desa.
Jumlah sapi yang mengalami gangguan reproduksi pada masing-masing
desa dapat dilihat pada tabel 1. Spesies ternak yang mengalami gangguan
reproduksi adalah sebanyak 60% sapi simental, 12 % sapi peranakan ongole,
12% sapi perah, 7% sapi limosin dan sisanya adalah sapi brahman, brangus
dan ongole.

Jenis kasus gangguan reproduksi yang ditangani di Kabupaten Klaten


terdiri atas corpus luteum persisten, delayed pubertas, endometritis,
hipofungsi ovari, metritis, pyometra, retensio secundinarium, silent heat,
sistik ovari dan vaginitis. Dari 2582 data kasus gangguan reproduksi 55%
adalah hipofungsi ovari, 29% silent heat, 8% endometritis, 3% delayed
pubertas, 2% vaginitis dan 2% corpus luteum persisten. Dari semua jenis
diagnosa gangguan reproduksi tersebut setelah dilakukan pengobatan maka
diperoleh tingkat kesembuhannya adalah diatas 75%, sedangkan persentase
ternak yang sembuh secara keseluruhan adalah 86% (Tabel 2). Perbandingan
antara jenis dan jumlah kasus dengan tingkat kesembuhan terlihat pada
Gambar 1.

Tabel 1. Sebaran ternak yang mengalami gangguan reproduksi

Jatinom Jml Tulung Jml Jogonalan Jml Karangnongko Jml Kemalang Jml Prambanan Jml
Bandungan 36 Kemiri 2 Gondangan 8 Jiwan 383 Dompol 275 Cucukan 125
Bengking 52 Mundu 245 Granting 34 Logede 117 Kemalang 323 Sengon 37
Beteng 28 Pomah 1 Joton 29 Ngemplak 125 Keputran 26    
Cawan 2 Sedayu 174 Kraguman 1            
Gedaren 2     Titang 19            
Glagah 5                    
Kayumas 188                    
Krajan 32                    
Mranggen 2                    
Randulanang 1                    
Socokangsi 155                    
Temuireng 1                    
Tibayan 154                    

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
539
Tabel 2. Persentase Kasus Gangguan Reproduksi dan Kesembuhannya.

  total kasus % Kasus Sembuh % sembuh


Corpus Luteum Persisten 42 2% 39 93%
Delayed Pubertas 76 3% 62 82%
Endometritis 194 8% 174 90%
Hipofungsi ovari 1430 55% 1223 86%
Metritis 4 0% 3 75%
Pyometra 1 0% 1 100%
Retensio Secundinarum 9 0% 8 89%
Silent Heat 754 29% 643 85%
Sistik ovari 12 0% 12 100%
Vaginitis 60 2% 55 92%
Grand Total 2582   2220 86%

Data Perkembangan kasus dalam iSIKHNAS ada empat kategori yaitu


sembuh, masih sakit, potong paksa dan mati. Indikator sapi dinyatakan
sembuh adalah ketika dilakukan pemantauan pasca pengobatan sapi telah
menunjukkan estrus, jika sapi belum menunjukkan estrus berarti sapi masih
sakit. Setelah dilakukan analisis diskriptif diperoleh informasi bahwa 86%
ternak sembuh, 9% masih sakit dan 5% tidak ada informasi perkembangan
kasusnya (Gambar 2). Data perkembangan kasus untuk masing-masing
diagnosa gangguan reproduksi dapat dilihat pada Tabel 3. Dari data tersebut
diketahui bahwa setelah dilakukan pengobatan diperoleh 132 kasus gangguan
reproduksi yang tidak ada informasinya, 2220 kasus dinyatakan sembuh, 4
kasus dipotong paksa, 2 kasus mati dan 224 kasus dinyatakan masih sakit.

Tabel 3. Perkembangan kasus pada masing-masing diagnosa penyakit.

Masih Potong Tdk ada Grand


Mati Sembuh
  sakit paksa Informasi Total
Corpus Luteum Persisten 2     39 1 42
Delayed Pubertas 9 1 62 4 76
Endometritis 8 2 174 10 194
Hipofungsi ovari 143 1 1 1223 62 1430
Metritis 1 3 4
Pyometra 1 1
Retensio Secundinarum 8 1 9
Silent Heat 57 1 643 53 754
Sistik ovari 12 12
Vaginitis 4 55 1 60
(blank)            
Grand Total 224 2 4 2220 132 2582

540 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Retensio Secundinarum 8 1 9
Silent Heat 57 1 643 53 754
Sistik ovari 12 12
Vaginitis 4 55 1 60
(blank)
Grand Total 224 2 4 2220 132 2582

Hewan sembuh dari gangguan reproduksi

Grand Total 2582


2220
Vaginitis 60
55
Sistik ovari 12
12
Silent Heat 754
643
Retensio Secundinarum 9
8
1 total kasus
Pyometra 1
4 Sembuh
Metritis 3
Hipofungsi ovari 1430
1223
Endometritis 194
174
Delayed Pubertas 76
62
Corpus Luteum Persisten 42
39
0 500 1000 1500 2000 2500 3000



Gambar 1. Jenis dan Jumlah kasus dan jumlah sembuh

Perkembangan Kasus Gangrep April-Juni


2017
100%
86%
Persentase Perkembangan Kasus

90%
80%
70%
60% Perkembangan Kasus Gangrep April-Juni
50%
40%
2017
100% 30%
20% 86%
Persentase Perkembangan Kasus

90% 9% 5%
10% 0% 0%
80%
0%
70% Masih sakit Mati Potong paksa Sembuh Tidak ada
60% informasi
50% Perkembangan Kasus
40%

30%

20%
Gambar 2. Perkembangan kasus gangguan reproduksi.
10%
9%
0% 0%
5%

0%
               
Masih sakit Mati Potong paksa Sembuh Tidak ada
     
Setelah diketahui hasil perkembangan kasusnya maka dilanjutkan analisis

informasi

terhadap respon IB . Pada gambarPerkembangan


3 dijelaskan Kasus
bahwa sapi yang masih sakit


telah dilakukan IB sebanyak 70 ekor,IBpada sapi yang di pototng paksa telah

di IB dua ekor, pada sapi yang sembuh di IB 1155 ekor dan pada sapi yang

tanpa informasi perkembangan
  
1200  kasusnya
  di IB
 64
1155ekor. Tren respon IB pasca
      
pengobatan bulan April sampai dengan Juni 2017 terlihat sangat
    tinggi pada 


1000
bulan Mei dan Agustus (Gambar 4).

800

600
IB
400
1155
1200 200 70
2
64

0
1000 Masih sakit Mati Potong paksa Sembuh (blank)

800

 600

400

200 70 64
2
0
Masih sakit Mati Potong paksa Sembuh (blank)

Prosiding 

Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
541
Gambar 3. Jumlah IB pada sapi yang mengalami gangguan reproduksi.

IB
250
218
200
184
150
133
114 113 107
100 103
72
50 44 50

0 6



IB
Gambar
4. Tren
250 respon
 IB
 pasca pengobatan gangguan
  reproduksi.
   

218
200

Analisis dilanjutkan dengan menggunakan data 
pemeriksaan
184

150             
kebuntingan
(PKB)

100

103
untuk

114 mengetahui
 
113 107jumlah sapi yang berhasil bunting
133         

setelah dilakukan
50
pengobatan. Selain itu juga 72 dibandingkan
50
antara jumlah
44
sapi yang telah0
di IB dan jumlah
Sapi yang sapi
di IByang
dan sapi berhasil bunting
yang Bunting
6
(Gambar 5).
Diperoleh informasi bahwa pada sapi yang sembuh telah bunting sebanyak
1400

300 ekor, pada sapi 1200yang masih sakit telah 1155 bunting 13 ekor dan pada sapi

yang tidak ada informasi perkembangan kasusnya telah bunting 11 ekor.

1000
         
Jumlah Sapi


Gambar 5. Perbandingan antara sapi yang telah di IB dengan sapi yang
800

               
bunting. 600           
  

400 300
Sapi yang di IB dan sapi yang Bunting
200
1400 70 64
2 13 11
1155
1200 0
IB BUNTING
1000
Masih sakit Mati Potong paksa Tidak Ada Informasi Sembuh
Jumlah Sapi

800 

600


400 300
           

200
 
70 
64        
2 13 11
0
IB BUNTING
Masih sakit Mati Potong paksa Tidak Ada Informasi Sembuh



Secara 
keseluruhan gambaran persentase hasil penanganan gangguan
           
reproduksi periode April
  –
 Juni 2017 adalah sapi 
  yang  mengalami
  gangguan

reproduksi sebanyak 2582 ekor, kemudian dilakukan pengobatan dan sapi-


sapi menunjukkan estrus dinyatakan sembuh sebanyak 2220 ekor, sapi yang
mengalami gangguan reproduksi kemudian di IB sebanyak 1291 ekor dan
sapi yang dinyatakan telah bunting sebanyak 324 ekor (Gambar 6).

542 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding



KEBERHASILAN PENANGANAN GANGGREP DENGAN


INDIKATOR ESTRUS, IB DAN BUNTING

3000
, 100%
2500 Estrus, 86%

2000

1500 , 50%

1000

500 , 13%

0
Gangrep sembuh (estrus) IB Bunting


 Gambar 6. Hasil penanganan gangguan reproduksi.

PEMBAHASAN

            

Program penanganan gangguan reproduksi UPSUS SIWAB 2017 di

Kabupaten Klaten difokuskan
  di enam
  kecamatan
 yang
  memang merupakan
   

wilayah padat ternak sapi, hal ini berdasarkan data populasi ternak sapi pada
            
Dinas Pertanian, Ketahanan
 Pangan
  Dan
  Perikanan Kabupaten
  Klaten
  2016.
 
          
Pada saat ini diketahui bahwa jenis spesies sapi yang dominan dipelihara
          
oleh masyarakat adalah sapi jenis peranakan
 simental, peternak berharap


hasil keturunannya akan
  diperoleh
 sapi dengan
 postur
  yang besar.
   
            
             
Tiga kasus gangguan reproduksi tertinggi adalah hipofungsi ovari

(55%), silent             
heat (29%) dan endometritis (8%). Masalah pada ovarium yang
          
tidak berkembang
dengan sempurna
   dapat
  karena
  malnutrisi
 atau gangguan
   

genetis. Nutrisi
 merupakan
 faktor yangberhubungan
   dengan fertilitas
  
seekor hewan. Nutrisi diperlukan untuk berjalannya reproduksi seperti
            
         
halnya nutrisi dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh dan pada masa laktasi.


Pada umumnya penanganan pada masalah ini adalah pemberian hormon
gonadotropin terutama FSH dosis tinggi (Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S.
2001). Malnutrisi pada reproduksi menyebabkan hewan menjadi lebih kecil
dari ukuran normal/kerdil, ovarium tidak berkembang normal sehingga terjadi
siklus estrus yang tidak teratur dan fertilitas rendah. Selain energi dan protein
nutrisi lain yang perlu terpenuhi adalah vitamin dan mineral. Kekurangan
vitamin A dapat menyebabkan kelahiran pedhet yang lemah atau bahkan
kematian fetus dan retensi plasenta. Defisiensi vitamin D menyebabkan
siklus estrus yang tidak tentu dan pedhet yang dilahirkan menderita rickets.
Vitamin E dibutuhkan untuk memelihara reproduksi normal, pemberian
vitamin E dan selenium pada sapi bunting dapat menurunkan kejadian
retensi plasenta (Prihatno et al., 2003). Penanganan kasus hipofungsi
ovari dan silent heat sudah sesuai yaitu dengan pemberian premix mineral,
vitamin ADE, dan pemberian hormon Gnrh. Sedangkan kasus endometritis
merupakan salah satu kasus penyebab utama kawin berulang, selain itu juga

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
543
masalah manajemen pemeliharaan peternakan yang masih tradisional juga
menjadi pencetus munculnya endometritis, contohnya adalah rendahnya
kebersihan kandang dan kebersihan ternak (prihatno et al., 2013). Hasil
penanganan masing-masing kasus gangguan reproduksi menunjukkan hasil
yang sangat memuaskan, masing-masing kasus persentase kesembuhannya
diatas 75%, dan total sapi sembuh sebesar 86% dari 2582 ekor yang
mengalami gangguan reproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa metode dan
jenis pengobatan yang diberikan pada ternak sudah tepat. Perkembangan
kasus yang tidak terlaporkan atau yang tidak ada informasinya sejumlah 5%,
hal ini kemungkinan dapat terjadi karena ternak sudah tidak ada atau dijual
sehingga tidak diketahui peerkembangannya, atau memang tidak dilakukan
pemantauan terhadap ternak tersebut.

Sebanyak 1291 ekor sapi yang mengalami gangguan reproduksi telah


dilakukan IB, dengan rincian adalah sapi yang masih sakit telah dilakukan
IB sebanyak 70 ekor, pada sapi yang di pototng paksa telah di IB dua ekor,
pada sapi yang sembuh di IB 1155 ekor dan pada sapi yang tanpa informasi
perkembangan kasusnya di IB 64 ekor. Sapi yang masih sakit dilakukan IB
kemungkinan dapat terjadi karena sebenarnya sapi tersebut sudah sembuh
tetapi pemantauan perkembangan kasus selanjutnya tidak dilaporkan ke
iSIKHNAS, atau bisa juga munculnya estrus pada sapi tersebut belum
menunjukkan kondisi sehat atau sembuh tetapi tetap dilakukan IB. Sapi dengan
endometritis sub klinis biasanya menunjukkan siklus estrus yang normal
sehingga tetap dilakukan IB (Noakes et al., 2009). Endometritis subklinis
(subclinical endometritis), merupakan peradangan ringan endometritis,
namun tidak menghentikan siklus estrus penderita. Endometritis subklinis
biasanya mempunyai gejala repeat breeding (kawin berulang), yaitu keadaan
dimana betina dengan siklus birahi normal kawin lebih dari 3 kali dengan
pejantan atau semen fertil namun tetap tidak berhasil bunting (Putro, P.P.,
2009). Sapi-sapi yang tidak diketahui perkembangan kasusnya di IB 64
ekor, hal ini kemungkinan sebenarnya sapi-sapi tersebut sudah sembuh dan
menunjukkan estrus. Tren respon IB pasca penanganan bulan April-Juni
2017 terlihat sangat tinggi pada bulan Mei, hal ini dapat dimengerti karena
respon tubuh sapi terhadap pengobatan yang cukup baik. Respon munculnya
estrus setelah pengobatan dengan hormon Gnrh dengan atau vitamin ADE
biasanya pada hari ke 11 setelah penyuntikan (Putro.P.P, 2009). Tren respon
IB menurun pada bulan Juni hal ini dapat dipahami karena pada bulan Juni
2017 adalah bulan puasa, pada bulan puasa biasanya fokus kegiatan petugas
lapangan menurun dan lebih berkonsentrasi untuk ibadah begitu juga dengan
para peternak. Pada bulan Agustus terjadi peningkatan IB kembali hal ini
dapat terjadi karena kemungkinan para peternak mengawinkan ternaknya
setelah pengobatan kedua pada program ini dan pada bulan Agustus ini
situasi kerja kembali normal setelah kesibukan hari raya lebaran dan perayaan
kemerdekaan.

544 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Setelah dilakukan PKB pada sapi yang mengalami gangguan reproduksi,
sejumlah 300 ekor sapi yang dinyatakan sembuh telah bunting, pada sapi
yang masih sakit telah bunting 13 ekor dan pada sapi yang tidak ada informasi
perkembangan kasusnya telah bunting 11 ekor. Dapat disimpulkan bahwa
data sapi yang masih sakit di dalam iSIKHNAS sebenarnya sudah ada yang
sembuh terbukti dengan hasil PKB yang dinyatakan bunting dan sapi yang
tidak ada informasi perkembangan kasusnya juga sebagian sudah sembuh
karena ada 11 ekor yang bunting. Kurangnya komitmen dalam pelaporan PKB
ke iSIKHNAS mungkin yang menyebabkan kecilnya angka kebuntingan jika
dibanding dengan respon IB. Beberapa kasus gangguan reproduksi tidak bisa
dinyatakan sembuh hanya dengan melihat ternak tersebut estrus kembali,
misalnya kawin berulang, endometritis, gangguan hormonal dan lain-lain.
Faktor kesalahan manajemen seperti jenis lantai kandang dan kebersihan
lingkungan kandang, rendahnya pemahaman siklus estrus dan estrus, tidak
akuratnya deteksi estrus, ketepatan perkawinan, rendahnya nutrisi, dan
lingkungan dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan (Britt et al., 2986,
Windig et al., 2005). Faktor risiko yang berperan terhadap kawin berulang
pada tingkat peternak pada penelitian

ini kemungkinannya adalah karena pengamatan deteksi estrus yang rendah


sekitar 2,5 kali perhari, jarak antara estrus dengan perkawinan yang terlalu
cepat sekitar 4,6 jam, saluran pembuangan buruk 59,6%, serta kebersihan
lingkungan kandang dan sapi buruk 65,1% (Prihatno et al., 2013).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisa diskriptif data iSIKHNAS diketahui diagnosa


penyakit gangguan reproduksi yang ditemukan adalah corpus luteum
persisten, delayed pubertas, endometritis, hipofungsi ovari, metritis,
pyometra, retensio secundinarium, silent heat, sistik ovari dan vaginitis.
Persentase perkembangan kasus gangguan reproduksi adalah 86% ternak
sembuh, 9% masih sakit dan 5% tidak ada informasi perkembangan
kasusnya.
2. Telah dilakukan IB sebanyak 1291ekor sapi, tren respon IB pasca
pengobatan bulan April sampai dengan Juni 2017 terlihat sangat tinggi
pada bulan Mei sejumlah 218 laporan dan 184 laporan pada bulan
Agustus.
3. Hasil dari pemeriksaan kebuntingan diketahui persentase sapi yang
telah dinyatakan bunting sebanyak 324 ekor (13%).

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
545
Saran

1. Laporan petugas yang intensif melalui iSIKHNAS untuk setiap kegiatan


penanganan kesehatan hewan dan produksi ternak, sehingga tidak ada
data kosong.
2. Edukasi peternak tentang manajemen beternak, kebersihan, pemahaman
siklus estrus dan estrus, ketepatan waktu perkawinan dan nutrisi.
3. Edukasi pada petugas inseminator, ATR, Paramedik hewan dan dokter
hewan tentang indikator ternak sembuh dan ketepatan waktu kawin.
4. Evaluasi kembali indikator kesembuhan ternak yang mengalami
gangguan reproduksi.
5. Perlu dilakukan analisa multivariat terhadap data yang ada untuk
mengetahui lebih jauh tentang keterkaitan faktor-faktor yang ada
terhadap tingkat keberhasilan penanganan gangguan reproduksi.

KETERBATASAN

1. Pengelolaan data masih terbatas pada satu sumber data sekunder yaitu
iSIKHNAS, sebaiknya dilakukan juga mengkoleksi data dari sumber
lain yang menjadi data primer.
2. Hasil analisis ini masih dapat dikembangkan dan dianalisis lebih
dalam dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
penanganan gangguan reproduksi.
3. Perlu dilakukan analisis multivariat.
4. Keterbatasan bahan referensi.

DAFTAR PUSTAKA

Britt JH, Schoot RG, Armstrong JD, Whitacre MD. 1986. Determinants
of Estrous Behavior in Lactating Holstein Cows. J. Dairy Science
69:2195-2202.

Noakes DE, Parkinson TJ, England GCW. 2009. Veterinary Reproduction


and Obstetrics. Ninth ed. Edinburgh London Elsevier Sci : 399-408.

Prihatno SA, Kusumawati A, Karja NWK, Sumiarto B. 2013. Prevalensi


dan Faktor Resiko Kawin Berulang Pada Sapi Perah Pada Tingkat
Peternak. Jurnal Veteriner. Vol. 14 No. 4 : 452-461. ISSN : 1411-8327

Prihatno SA, Gustari S. 2003. Pengaruh Pemberian Prostaglandin F-2a dan


Gonadotrophin Releasing Hormon Terhadap Angka Kebuntingan
Pada Sapi Perah Yang Mengalami Kasus Kawin Berulang. J. Sain Vet
XXI (2) (2003).

Putro PP. 2009. Manajemen Kesehatan Reproduksi Sapi Potong. Yogyakarta.

546 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Putro PP. 2009. Dampak Crossbreeding Terhadap Reproduksi Induk
Turunannya : Hasil Studi Klinis. Lustrum VIII Fakultas Peternakan
UGM. Yogyakarta.

Stevenson JS, Kobayashi Y, Shipka MP, Ravchholz KC. 1996. Altering


Conception of Dairy Cattle by GnRH Preceding Luteolysis Induced
by Prostaglandin F2alfa. J.Dairy Sci. 79. 402-410.

Windig JJ, Calvs MP, Veerkamp RF. 2005. Influence of Herd Environment On
Health And Fertility And Their Relationship With Milk Production. J
Dairy Sci. 88 : 335-47

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
547
DETEKSI KEJADIAN dan PENGENDALIAN
TRYPANOSOMIASIS PADA SAPI BALI di SUMATERA UTARA

Drh. Lilik Prayitno, Herminta Purba S.Pt, Samarita Bangun S.Pt

Balai Veteriner Medan


Jl. Jenderal Gatot Subroto 255A, Medan-Indonesia

ABSTRAK

Tulisan ini disajikan untuk memberikan informasi tentang kejadian kasus dan mendeteksi penyebab
kematian serta pengendalian dan pengobatan trypanosomiasis pada sapi bali di Sumatera Utara.
Pada awal bulan Agustus tahun 2013, didatangkan bakalan sapi bali dari propinsi Lampung
berjumlah 140 ekor, kematian dimulai dari minggu pertama setelah kedatangan sampai 4 bulan
berjalan dengan kematian mendadak ataupun dengan gejala klinis. Dari hasil pengamatan kasus di
lapangan, gejala klinis mengarah pada penyakit Trypanosomiasis (Surra) dengan diferensial diagnosa
Septicaemia Epizootica (SE), tetapi setiap pemeriksaan organ dengan kultur bakteri selalu negatif
SE, pemeriksaan native ulas darah juga negatif terhadap parasit darah dan atau Trypanosomiasis.
Setelah dilakukan uji biakan biologis pada tikus putih, seluruh sampel yang diambil dari 7 ekor
sapi bali menunjukkan hasil yang positif Trypanosoma pada preparat ulas darah, mikrohematokrit
dan tetes darah. Pengendalian kasus dilakukan dengan kontrol vektor dan isolasi hewan yang sakit,
pengobatan sepenuhnya dilakukan secara individual kepada seluruh hewan dalam kandang dengan
obat trypanocidal (Diminazene aceturate dan Phenazone) dengan dosis 7,87 mg/KgBB, pengobatan
ulang dilakukan pada hewan yang masih sakit, pengobatan menunjukkan keberhasilan setelah
satu bulan dari pengobatan dengan didukung pengendalian vektor, peningkatan sanitasi kandang,
pemberian pakan yang baik dan multivitamin.

Kata kunci : Trypanosomiasis Sapi Bali, Trypanosomiasis Sumut, Surra Sumut

PENDAHULUAN

Penyakit surra merupakan penyakit menular pada hewan yang dapat


bersifat akut maupun kronis, parasit darah penyebab penyakit ini pertama kali
ditemukan oleh Grifit Evans pada tahun 1880 di India, kemudian atas jasanya
terhadap penemuan ini, parasit darah penyebab penyakit surra tersebut diberi
nama Trypanosoma evansi. Pada mulanya penyakit ini ditemukan pada kuda,
tetapi ternyata hampir semua hewan berdarah panas rentan terhadap penyakit
ini, meskipun derajat kerentanannya tidak sama (DitjenNak, 1993).

Surra adalah salah satu dari penyakit hewan menular strategis yang telah
ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dengan adanya keputusan Menteri
Pertanian No.4026/kpts/OT.140/4/2013 tentang penetapan jenis penyakit
hewan menular strategis (Kepmentan 4026, 2013). Penetapan tersebut tentu
memberikan kepastian bahwa penyakit tersebut telah menjadi perhatian
yang prioritas dalam melakukan tindakan pencegahan, pengendalian
dan pengobatan dilapangan, sebagai implementasi dan amanat dari UU
No.18 2009 (2009) tentang peternakan dan kesehatan hewan, seperti yang
dimaksud bahwa kesehatan hewan merupakan segala urusan yang berkaitan
dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan,
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit,
medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan peralatan kesehatan
548 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
hewan serta keamanan pakan. Hal ini bertujuan bahwan ternak atau hewan
dijamin kesehatannya dari penyakit saat hewan yang akan dikonsumsi
masyarakat masih berada dipeternakan.

Secara ekonomi, penyakit surra dapat menyebabkan kerugian material


yang sangat besar dikarenakan tingkat kematiannya yang cukup tinggi jika
dalam kondisi akut dan produktifitas yang sangat rendah jika dalam kondisi
kronis, jika hal ini dibiarkan tentu bukan hanya kerugian ekonomi yang
terjadi, melainkan kerugian lainnya seperti tenaga, waktu, pikiran serta
kemungkinan terjadi penularan penyakit antara satu daerah ke daerah lainnya
yang pada akhirnya menyebabkan wabah yang perlu ditangani secara intensif
dengan jangka waktu yang panjang. Penyakit ini bersifat fatal pada spesies
unta, kuda, kerbau, sapi dan anjing terutama dalam kondisi stress, malnutrisi,
bunting, kerja paksa tetap juga dapat bersifat kronis dan menjadi reservoir
bagi hewan lainnya (OIE. 2012).

Pada awal bulan Agustus tahun 2013, didatangkan bakalan sapi bali
dari propinsi Lampung berjumlah 140 ekor dengan tujuan Desa Pertapakan,
Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai pada Unit Integrasi
Sawit Sapi PT. Perkebunan Nusantara III (USSPI, 2013). Sapi ditempatkan
pada satu kandang yang telah dipersiapkan dengan baik, seiring berjalannya
waktu kematian dimulai dari minggu pertama setelah kedatangan, dugaan
pertama kali kemungkinan sapi dalam keadaan stress dan kelelahan dalam
perjalanan, tetapi kematian terus terjadi sampai 4 bulan berjalan dengan
kematian mendadak ataupun dengan gejala klinis.

Dari kejadian kasus tersebut, beberapa sampel telah dikirim ke Balai


Veteriner Medan untuk dilakukan pengujian laboratorium sesuai dengan
dugaan penyakit melalui gejala klinis yang ada dilapangan sebagai peneguhan
diagnosa laboratorium.

TUJUAN

Tujuan tulisan ini adalah untuk:


1. Memberikan informasi tentang kejadian kasus dan cara mendeteksi
penyebab kematian sapi bali di Sumatera Utara
2. Pengendalian dan pengobatan trypanosomiasis pada sapi bali di
Sumatera Utara
3. Memberikan informasi terkait pengunakan beberapa metode uji yang
dipakai dalam mendiagnosa trypanosomiasis

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
549
MATERI DAN METODA

1. Melakukan Diagnosa Klinis


Pengamatan gejala klinis dilakukan dengan observasi dan pemeriksaan
langsung pada kelompok sapi dalam kandang secara screening satu
persatu, untuk sapi yang mempunyai kondisi klinis parah, maka sapi
tersebut dipisahkan dari kelompok sapi yang lain untuk mendapatkan
penanganan yang intensif sambil menunggu hasil peneguhan diagnosa
secara laboratorium.

2. Pengambilan Sampel
Pengambilan Beberapa Organ
Pengambilan sampel untuk diagnosa laboratorium diambil dari beberapa
sapi yang mengalami kematian dengan mendadak ataupun yang
menunjukkan gejala klinis sebelumnya. Adapun sampel yang diambil
adalah bagian-bagian organ yang mengalami lesi dari organ hati, paru-
paru, ginjal, jantung dan limpa yang dikirim ke Balai Veteriner Medan
dengan kondisi dingin.

Pengambilan Ulas Darah


Pengambilan sampel preparat ulas darah diambil dari beberapa sapi
yang menunjukkan gejala klinis sebelumnya. Sapi diambil darahnya
melalui vena jugularis, kemudian teteskan sedikit pada slide glass,
dengan mempergunakan ujung slide glass yang lainnya pada sudut
30-40 derajat, darah yang berada di atas slide glass tersebut didorong
kedepan sehingga membentuk ulasan darah tipis.

3. Diagnosa Laboratorium
Kultur Bakteri pada Organ Sampel
Isolasi dan identifikasi kuman dari sampel yang dikirim dilakukan
pemupukan pada media agar ( Agar Darah, Dektrosa Salt Agar,
Nutrient Agar, MacConkey Agar) dengan tujuan untuk uji morphologi
terhadap bentuk, ukuran dan sifat-sifat kuman pada media-media
tersebut. Selanjutnya apabila ditemukan morphologi yang menciri maka
dilakukan pengecatan gram untuk melihat kuman termasuk gram negatif
atau positif. Kemudian dilakukan uji biokimiawi kuman antara lain;
SIM, H2S, oksidasi, fermentasi, glukosa, laktosa, dektrosa, urease test,
dll.

Pembuatan Preparat Native Ulas Darah


Setelah dilakukan pengambilan preparat ulas darah tipis kemudian
dikeringkan diudara. Kemudian difiksasi dengan methanol absolut 95%
selama 2-3 menit, keringkan kembali di udara kemudian warnai dengan
larutan giemsa selama 30 menit, bilas dengan air kran mengalir dan
lakukan pemeriksaan secara mikroskopik dengan perbesaran 40 kali
atau 100 kali dengan menggunakan minyak emersi.
550 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
4. Uji Biologis Pada Tikus Putih
Uji biologis pada tikus putih dilakukan setelah kultur biakan bakteri dan
pengamatan mikroskopik pada ulas darah mendapatkan hasil negatif
dari penyakit yang dicurigai yaitu Septicaemia Epizootica dan atau
Parasit darah dalam hal ini Trypanosomiasis (surra).
Uji biologis ini diawali dengan pengambilan darah antikoagulan pada
beberapa sapi yang menunjukkan gejala klinis sebelumnya, sesegera
mungkin setelah mendapatkan darah melalui vena jugularis disuntikkan
kedalam 3 (tiga) ekor tikus putih sebanyak 0,3ml per ekor secara
intraperitoneal. Amati perubahan yang terjadi pada tikus putih tersebut
selama masa inkubasi, apabila telah menunjukkan perubahan atau
kematian pada tikus putih, koleksi darah untuk membuat preparat ulas
darah tipis dan mikrohematokrit dengan memotong sedikit bagian ujung
ekor tikus putih tersebut.

Metode Pengamatan Langsung


Potong sedikit bagian ujung ekor tikus putih yang menunjukkan
perubahan, ambil setetes darah tikus putih tersebut dan tempatkan diatas
slide glass, kemudian tutup dengan coverslip dan amati pergerakan
langsung dari parasit Trypanosoma sp pada perbesaran 40 kali dan 100
kali dibawah mikroskop.

Metode Pewarnaan Preparat Ulas Darah Tipis


Potong sedikit bagian ujung ekor tikus putih yang menunjukkan
perubahan, ambil setetes darah tikus putih tersebut dan tempatkan diatas
slide glass, selanjutnya buat preparat ulas darah tipis dan pewarnaan
dengan giemsa, amati secara mikroskopik pada perbesaran 100 kali
dengan menggunakan minyak emersi.

Metode Mikrohematokrit Sentrifuge


Potong sedikit bagian ujung ekor tikus putih yang menunjukkan
perubahan, ambil darah tikus putih tersebut dengan antikoagulan dan
masukkan kedalam tabung mikrohematokrit, tutup bagian ujung tabung
dengan clay kemudian sentrifuge dengan kecepatan 10.000 rpm selama
3 menit, amati pergerakan parasit pada cairan plasma yang berada diatas
buffy coat dengan perbesaran 40 kali dibawah mikroskop.

5. Metode Pengobatan Parasit Darah


Pengobatan parasit darah sepenuhnya dilakukan secara individual kepada
seluruh sapi dalam kandang dengan obat antiparasit darah (Diminazene
aceturate dan Phenazone) dengan dosis 7,87 mg/KgBB dan pemberian
multivitamin injeksi yang diaplikasikan secara intramuscular.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
551
HASIL

Pengamatan Gejala Klinis Lapangan


Pengamatan gejala klinis di lapangan ditemukan beberapa sapi dalam kondisi
penurunan berat badan, kurang nafsu makan, bulu kusam dan berdiri, kotoran
pada mata basah (belekan), rambut pada ekor habis, oedema pada rahang
bawah, beberapa terjadi pembengkakan pada limfoglandula submandibularis
dan praescapularis, leleran pada hidung, beberapa terjadi susah bernafas
sampai ngorok, terjadi kelemahan otot sehingga tidak aktif, sampai pada
kematian secara mendadak.

Dari gejala klinis yang ditemukan tersebut dapat diarahkan pada penyakit
Trypanosomiasis (surra) dengan differensial diagnosa penyakit Septicaemia
Epizootica (SE), sehingga pemeriksaan sampel yang diambil di lapangan
dilakukan pengujian di laboratorium diarahkan kepada penyakit tersebut.

Di bawah ini disajikan data kerugian fisik dari kematian ternak yang
disebabkan oleh trypanosomiasis selama periode kejadian penyakit tersebut
yang cukup lama sebelum dilakukan peneguhan diagnosa, dan sesudah
pengobatan

Tabel 1. Jumlah Kematian Sapi Bali Selama Periode Penyakit


Trypanosomiasis

Jumlah Jumlah Diagnosa


Jumlah
No Bulan Populasi Populasi Lab. dan
Kematian
Sapi Awal Sapi Akhir Pengobatan
1 Agustus 2103 140 3 137 Belum
2 September 2013 137 6 131 Belum
3 Oktober 2013 131 18 113 Belum
4 Nopember 2013 113 7 106 Sudah
5 Desember 2013 106 2 104 Sudah
6 Januari 2014 - Sekarang 104 0 104 Sudah

Isolasi Bakteri

Isolasi dan identifikasi kuman dari sampel yang dikirim dilakukan


pemupukan pada media agar (Agar Darah, Dektrosa Salt Agar, Nutrient
Agar, MacConkey Agar) dengan maksud untuk mengetahui morphologi
terhadap bentuk, ukuran dan sifat-sifat kuman pada media-media tersebut.
Selanjutnya apabila ditemukan morphologi yang menciri maka dilakukan
pengecatan gram untuk melihat kuman termasuk gram negatif atau positif.
Kemudian dilakukan uji biokimiawi kuman antara lain; SIM, H2S, oksidasi,
fermentasi, glukosa, laktosa, dektrosa, urease test, dll.
552 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 2. Hasil Kultur Media Sampel Organ untuk Pemeriksaan Septicaemia
Epizootica

Jumlah Diagnosa terhadap


No Bulan, Tahun Sampel Organ
Sampel Penyakit SE

Paru-paru, Hati, Limpa,


1 Agustus 2013 1 Negatif
Jantung, Ginjal
Paru-paru, Hati, Limpa,
2 September 2013 6 Negatif
Jantung, Ginjal
Paru-paru, Hati, Limpa,
3 Oktober 2013 9 Negatif
Jantung, Ginjal
Paru-paru, Hati, Limpa,
4 Nopember 2013 0 Negatif
Jantung, Ginjal
Paru-paru, Hati, Limpa,
5 Desember 2013 5 Negatif
Jantung, Ginjal

Dari rangkaian uji yang dilakukan di laboratorium bakteriologi tersebut,


tidak satupun sampel yang menunjukkan positif terhadap kuman Pasteurella
Multocida, sehingga dapat dikatakan bahwa kematian sapi bali tersebut
bukan dikarenakan terjadinya wabah SE.

Preparat Ulas Darah

Semua sampel yang diperiksa pada pengamatan mikroskopik yang


pertama dengan perbesaran 40 kali dan 100 kali preparat ulas darah tipis
dengan pewarnaan giemsa, tidak terlihat adanya parasit darah yang dimaksud
yaitu negatif trypanosoma sp. Mengingat gejala klinis yang ada dilapangan
memungkinkan bahwa preparat ulas darah yang diperiksa dengan pewarnaan
giemsa dapat menghasilkan negatif palsu, sehingga perlu second opnion
untuk pemeriksaan melalui uji biologik pada tikus putih

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Ulas Darah Per Oktober 2013

No Sapi Kode Sampel Hasil


1 Sapi 1 426 Ulas darah 1 Negatif
2 Sapi 2 431 Ulas darah 2 Negatif
3 Sapi 3 4282 Ulas darah 3 Negatif
4 Sapi 4 425 Ulas darah 4 Negatif
5 Sapi 5 478 Ulas darah 5 Negatif
6 Sapi 6 402 Ulas darah 6 Negatif

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
553
Uji Biologik pada Tikus Putih

Pada uji biologik sampel yang disuntikkan ke tikus putih, tikus


mulai mengalami perubahan dan kematian pada hari ke-6 dan 7 setelah
isolasi intraperitonial, pada hari ke-9 diambil preparat ulas darah tipis dan
mikrohematokrit untuk melihat ada atau tidaknya parasit darah.
Pada pemeriksaan mikroskopik dengan perbesaran 40 kali dan 100 kali sangat
terlihat jelas dan banyak banyak ditemukan parasit darah yaitu Trypanosoma
sp, begitu jug denga pemeriksaan mikrohematokrit sangat banyak ditemukan
trypanosoma yang masih hidup dengan konsentrasi yang sangat tinggi.

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Uji Biologik Pada Tikus Putih

Diagnosa
Lama terhadap
No Sapi Tikus Isolasi
Inkubasi Parasit
Darah
Tikus 1 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
1 Sapi 1 Tikus 2 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Negatif
Tikus 3 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 4 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
2 Sapi 2 Tikus 5 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 7 hari Mati
Tikus 6 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 7 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
3 Sapi 3 Tikus 8 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 9 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 10 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Negatif
4 Sapi 4 Tikus 11 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 12 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 13 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
5 Sapi 5 Tikus 14 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 15 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 16 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 6 hari Mati
6 Sapi 6 Tikus 17 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 18 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 19 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
7 Sapi 7 Tikus 20 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 21 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 1 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
Kontrol
8 Tikus 2 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
Negatif 1
Tikus 3 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif

554 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Diagnosa
Lama terhadap
No Sapi Tikus Isolasi
Inkubasi Parasit
Darah
Tikus 4 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
Kontrol
9 Tikus 5 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
Negatif 2
Tikus 6 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif

Proses Pengobatan Parasit Darah

Pengobatan parasit darah dilakukan pada awal minggu ke-2 bulan


Nopember 2013 secara menyeluruh pada sapi bali dalam satu kandang
dengan obat antiparasit darah (Diminazene aceturate dan Phenazone) dengan
dosis 7,87 mg/KgBB yang diaplikasikan secara intramuscular. Pengobatan
ulang untuk parasit darah dilakukan pada hewan yang masih sakit pada
minggu kedua setelah pengobatan yang pertama, setiap pengobatan parasit
darah juga dilakukan penyuntikan multivitamin injeksi.
Pengobatan menunjukkan keberhasilan setelah berjalan satu bulan dari
pengobatan, keberhasilan pengobatan tersebut juga karena didukung
pengendalian vektor penyakit melalui pemakaian insektisida dan pengasapan,
peningkatan sanitasi kandang, pemberian pakan yang baik dan multivitamin.

PEMBAHASAN

Setelah dilakukan pengamatan gejala klinis dilapangan, semakin


menguat kecurigaan terhadap penyakit Trypanosomiasis (surra) dengan
differensial diagnosa penyakit Septicaemia Epizootica (SE).

Gambar 1. Kondisi Sapi Bali yang Mengalami Trypanosomiasis

Terlihat dari gambar.1. Sapi mengalami kekurusan, pertumbuhan yang


terganggu, bulu kusam dan berdiri, belekan, rambut ekor habis, oedema
rahang bawa merupakan gejala klinis Trypanosomiasis dilapangan yang
ditemui.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
555
Seiring dengan pengiriman sampel ke Balai Veteriner Medan untuk
konfirmasi laboratorium, juga dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit
Jembrana melalui PCR pada awal Oktober 2013 dengan hasil negatif, setelah
itu dilakukan pengobatan pada seluruh ternak sapi bali dengan antibiotik dan
multivitamin secara intramuscular pada pertengahan oktober 2013, tetapi
setelah pengobatan tersebut tidak menunjukkan perkembangan kesehatan
sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian ternak.

Penyakit surra menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup serius pada


daerah endemis (Gutierrez. 2013). Terlihat pada tabel.1 data kematian ternak
yang disebabkan oleh trypanosomiasis selama periode kejadian penyakit
tersebut sebelum dilakukan konfirmasi laboratorium dan pengobatan
terjadi penularan yang masif dalam satu kandang sehingga menyebabkan
kematian yang tinggi, kemudian setelah peneguhan diagnosa laboratorium
dan dilakukan pengobatan serta pengendalian penyakit tersebut, maka
keberhasilan pengobatan dapat diketahui setelah satu bulan pengobatan yang
intensif.

Pemeriksaan parasit darah 6 ekor sapi dari ulas darah per Oktober 2013
dan pemeriksaan SE untuk 16 organ sampel Agustus sampai Oktober 2013,
menunjukkan hasil negatif pada parasit darah dan SE, untuk negatif parasit
darah mungkin saja terjadi karena jumlah parasit yang sedikit dalam darah
dan lapangan pandang yang luas pada pengamatan mikroskopik, hal ini
sesuai OIE (2012), pada infeksi Trypanosoma evansi kronis jumlah parasit
dalam darah sedikit, isolasi parasit dengan tikus direkomendasikan untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan. Infeksi Trypanosoma evansi pada sapi
dan kerbau biasanya bersifat kronik (dengan jumlah parasit sangat rendah)
dan hal ini sulit dideteksi pada ulas darah (Partoutomo et al. 1995). Oleh
karena itu dilakukan pengambilan sampel kembali pada sapi-sapi yang
dicurigai secara klinis untuk uji biologik pada tikus putih.

Gambar 1. Pemeriksaan Mikroskopik dengan Pewarnaan Giemsa Hasil Uji


Biologik Pada Tikus Putih

Terlihat dengan kontras


dengan perbesaran 100
kali Trypanosoma pada
preparat ulas darah tipis
yang dibiakkan pada
tikus putih, Berbentuk
khas seperti kumparan
dicirikan dengan adanya
flagella yang panjang
sebagai alat gerak.

556 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Setelah dilakukan uji biakan biologis pada tikus putih, seluruh
sampel yang diambil dari 7 ekor sapi bali menunjukkan hasil yang positif
Trypanosoma pada preparat ulas darah tipis, dengan metode mikrohematokrit
dan tetes darah langsung.

Pengobatan parasit darah dilakukan pada awal minggu ke-2 bulan


Nopember 2013 secara menyeluruh pada sapi bali dalam satu kandang dengan
obat trypanocidal (Diminazene aceturate dan Phenazone) dengan dosis 7,87
mg/KgBB yang diaplikasikan secara intramuscular. Dipilih obat Diminazene
aceturate karena telah berhasil baik untuk pengobatan penyakit Surra pada
sapi dan kerbau di India, Vietnam, Thailand dan Indonesia (Martindah dan
Husein. 2006). Pengobatan ulang untuk parasit darah dilakukan pada hewan
yang masih sakit pada minggu kedua setelah pengobatan yang pertama, setiap
pengobatan parasit darah juga dilakukan penyuntikan multivitamin injeksi.

Pengobatan menunjukkan keberhasilan setelah berjalan satu bulan


dari pengobatan, keberhasilan pengobatan tersebut juga karena didukung
pengendalian vektor penyakit melalui pemakaian insektisida dan pengasapan,
peningkatan sanitasi kandang, pemberian pakan yang baik dan multivitamin.

KESIMPULAN

1. Penyakit Trypanosomiasis menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi


baik bersifat akut dengan kematiannya yang tinggi maupun bersifat
kronis yang menyebabkan rendahnya produktifas dari hewan yang
terserang.
2. Apabila tidak positif maka lakukan uji biologik, karena bisa jadi pada
preparat ulas darah tipis tidak terlihat karena jumlah trypanosoma yang
sedikit didalam darah.
3. Pengobatan trypanosomiasis harus dilakukan menyeluruh pada hewan
dalam satu kawasan/kandang didukung dengan pengendalian vektor
penyakit, peningkatan sanitasi kandang, pemberian terapi pendukung
berupa multivitamin, serta pemberian pakan yang baik.

SARAN

1. Perlu dilakukan pemeriksaan parasit darah pada ternak sapi bakalan


yang akan masuk dan keluar daerah sebagai screening awal pendeteksian
trypanosomiasis.
2. Pengendalian vektor penyakit, peningkatan sanitasi kandang, pemberian
pakan yang baik, rotasi tempat penggembalaan serta pemeriksaan
ulas darah rutin perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan penyakit
trypanosomiasis.
3. Sediakan selalu obat trypanocidal pada peternakan jika didaerah tersebut
sudah endemis atau pernah mengalami wabah penyakit trypanosomiasis.

Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
557
UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis yang setinggi-tingginya kepada;


1. Kepala Balai Veteriner Medan yang memberikan izin dalam menangani
kasus ini.
2. Manager, Askep, KTU, Kepala Kandang, Mandor dan seluruh staf dan
karyawan USSPI PTPN III
3. DMT, Staff Laboratorium Parasitologi, Bakteriologi dan Kandang
Hewan Percobaan Balai Veteriner Medan

DAFTAR PUSTAKA

Direktora Jenderal Peternakan. 1993. Pedoman Pengendalian Penyakit


Hewan Menular. Departemen Pertanian. Jakarta

Gutierrez C, Martin MG, Corberra JA, Junco. 2013. Chemotherapeutic


agents against pathogenic animal trypanosomes. Microbial pathogens
and strategies for combating them: science, technology and education
(A. Méndez-Vilas, Ed.)

Keputusan Menteri Pertanian. 2013. No.4026/kpts/OT.140/4/2013 tentang


penetapan jenis penyakit hewan menular strategis (PHMS).

Martindah E dan Husein A. 2006. Trypanosomiasis Pada Ternak Kerbau.


Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung
Program Kecukupan Daging Sapi. Hal. 103-109.

OIE. 2012. Trypanosoma Evansi Infection (Surra). Chapter 2 . 1 . 1 7 .

Partoutomo S, Soleh M, Politedy F, Day A, Wilson AJ, Copeman DB. 1995.


Studi Patogenesis Trypanosoma Evansi Pada Kerbau, Sapi Friesian
Holstein Dan Sapi Peranakan Ongole. Jitv 1 (1): 41-48.

Unit Sawit Sapi. 2013. Data Rekording Monitoring Harian Pakan Sapi
Breeding dan Fattening. Sumatera Utara. Indonesia

UU No.18. 2009. Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta

558 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding

Anda mungkin juga menyukai