ISSN 2087-1279
Vol. 1 No. 7 Tahun 2016
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
A
PROSIDING PENYIDIKAN PENYAKIT HEWAN
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab
Ketua
Sekretaris
Anggota
Diterbitkan oleh:
Sebanyak 125 makalah diterima oleh Panitia kemudian diseleksi untuk dapat
ditampilkan dalam RATEKPIL 2018. Seleksi dilakukan oleh Tim penilai
abstrak RATEKPIL dan Surveilans Tahun 2018 yaitu:
1) Drh. Anak Agung Gde Putra, M.Sc, Ph.D, SH, (Asosiasi Epidemiologi
Veteriner Indonesia)
2) Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si, (Fakultas Kedokteran Hewan IPB)
3) Dr. Drh. Widagdo Sri Nugroho, (Fakultas Kedokteran Hewan UGM)
4) Drh. Pebi Purwo Suseno, (Direktorat Kesehatan Hewan)
5) Drh. Imron Suandy, MPVH, (Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner)
6) Drh. Albert T Muljono, M.Sc, (AIP EID)
Metode seleksi yang digunakan adalah blind selection method dimana Tim
Penilai hanya mendapat informasi Judul Abstrak, batang tubuh abstrak dan
Nomor Abstrak tanpa mengetahui penulis dari Abstrak tersebut. Masing
Masing Abstrak dinilai oleh tiga orang anggota tim penilai. Tim penilai
kemudian mengirimkan kepada panitia Nomor urut dan nilai dari masing
masing Abstrak.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
i
Pemakalah Podium diberikan kepada Penulis dengan Nilai peringkat 30
besar, sementara Pemakalah Poster diberikan kepada Penulis dengan Nilai
Abstrak peringkat 31-70. Panitia juga memperhatikan aspek keterwakilan
dan proporsi dalam menentukan peringkat Abstrak.
Halaman
PODIUM
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
iii
13. Sensitivitas Isolat Escherichia Coli Patogen Dari Swab Kloaka
Dan Organ Ayam Petelur Terhadap Oksitetrasiklin, Ampisilin
Dan Kanamisin (Arie Khoiriyah, Dkk)................................................111
PENGEMBANGAN METODE
EKONOMI VETERINER
ANALISIS RESIKO
24. Deteksi Antibodi Rabies Pada Sapi Dan Kambing Kasus Gigitan
Hpr (Hewan Pembawa Rabies) Pasca Var (Vaksin Anti Rabies)
Di Kabupaten Darmasraya, Sumatera Barat (Yulfitria, Dkk).............. 203
25. Optimalisasi Penerapan Prinsip Kesejahteraan Hewan (Animal
Welfare) Pada Hewan Coba Di Bbvet Wates Untuk Mendukung
Diagnosis Laboratorium (Heni Dwi Untari, Dkk)............................... 209
26. Peran Bhabinkamtibmas Dan Karang Taruna Dalam Pelaksanaan
Vaksinasi Rabies Di Provinsi Kalimantan Barat
(Nur Hidayatullah, Dkk)...................................................................... 218
POSTER
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
v
35. Penyidikan Kejadian Kematian Sapi Bali yang Diduga Disebabkan
Oleh Jembrana Di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik
Kecamatan Pangkalan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2016
(Eka Oktarianti, Dkk).......................................................................... 296
36. Surveilans Salmonellosis Pada Ayam Petelur (Layer) Di Jawa Timur,
Jawa Tengah Dan Di Yogyakarta Tahun 2015, 2016 Dan 2017
(Cicilia Setyo Rini).............................................................................. 307
37. Prevalensi Fasciolosis Pada Sapi Bali Di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2017 (Veronika Matutina).............................................. 311
38. Resistensi Isolat Escherichia Coli Dari Ayam Broiler Terhadap
Beberapa Antibiotik (Tri Widayati, Dkk)............................................ 318
39. Kemajuan Penanganan Rabies Bali : Analisis Tahun 2012-2017
(Monica Septiyani, Dkk)..................................................................... 323
40. Gambaran Titer Antibodi Rabies Pada Anjing Lokal Pasca
Vaksinasi Di Kalimantan Barat Tahun 2017 (Candra Arika, Dkk)...... 331
41. Isolasi Virus Avian Influenza Pada Sel Primer Chicken Embryo
Fibroblast (Cef) Dan Sel Kultur Mardin-Darby Bovine Kidney
(Mdbk) (Desi Puspita Sari, Dkk)......................................................... 339
42. Komparasi Uji Serologis Untuk Deteksi Infeksi Trypanosoma
Evansi Pada Kerbau (Rochmadiyanto, Dkk)....................................... 346
43. Surveillans Deteksi Antigenik Dan Respon Imun Pasca Vaksinasi
Pada Program Pembebasan Classical Swine Fever Di Propinsi
Sulawesi Utara Tahun 2017 (Ferra Hendrawati, Dkk)........................ 357
44. Identifikasi Penyakit Jembrana Dengan Rt-Pcr Konvensional Pada
Kasus Kematian Sapi Bali Di Desa Hang Tuah Kabupaten Kampar
Provinsi Riau (Anisah Hanoum)......................................................... 371
45. Penyebaran Penyakit Parasit Darah Pada Sapi Dan Kerbau Di
Wilayah Kerja Bbvet Wates Tahun 2017 (Ari Puspita Dewi, Dkk).... 375
46. Kasus Kematian Sapi Bali Di Jorong Tompek Nagari Salareh Aia
Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2017 (Sri Hilmayeni, Dkk)....................................................... 382
47. Survey Triangulasi Pada Hewan Domestik Di Pulau Sulawesi :
Hasil Pengujian Round 1 Sulawesi Utara Dan Gorontalo Tahun
2016 (Muflihanah, Dkk)...................................................................... 392
48. Pemeriksaan Dan Identifikasi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi
Bali Di Nusa Tenggara Timur Tahun 2017
(Hilda Susiyanti Debora Berek)......................................................... 403
49. Kejadian Rabies Di Provinsi Kalimantan Barat Selama Periode
2014 – 2017 (Huibert Hendrian Umboh, Dkk)................................... 412
50. Investigasi Kematian Sapi Mendadak Diduga Akibat Pneumonia
Di Tanjungsari, Gunungkidul (Romli Ainul Kusumo, Dkk)............... 420
EKONOMI VETERINER
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
vii
ANALISIS DAN PENGEMBANGAN PRODUKSI TERKAIT
PROGRAM SAPI INDUKAN WAJIB BUNTING (SIWAB)
TAMBAHAN
viii Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL INVESTIGASI KASUS KEMATIAN DAN PENURUNAN
PRODUKSI TELUR PADA SENTRA PETERNAKAN UNGGAS
KOMERSIAL DI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN DI
YOGYAKARTA TAHUN 2018
ABSTRAK
Berbagai permasalahan pernyakit unggas terjadi pada tahun 2017. Walaupun virus Low
Pathogenic Avian Influenza (LPAI) H9N2 berhasil diisolasi dari outbreak penyakit penurunan
produksi telur pada peternakan layer di awal 2017, terdapat keraguan apakah kasus ini diakibatkan
infeksi tunggal virus H9N2 atau ko-infeksi dengan agen lainnya serta dipengaruhi masalah
manajemen peternakan. Selain itu, dilaporkan adanya peningkatan kasus kematian pada broiler
sejak pertengahan 2017. Investigasi kasus dilakukan Balai Besar Veteriner Wates dengan tujuan
untuk mengetahui distribusi kasus di lapangan, penyebab penyakit, dan faktor resiko yang berkaitan
dengan penurunan produksi telur dan kematian pada sentra peternakan unggas komersial di Propinsi
Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Metodologi investigasi meliputi pemilihan daerah berdasarkan laporan kasus dan resiko
penyakit di daerah populasi tinggi unggas komersial layer, broiler, dan ayam jawa super di 10
kabupaten (Kendal, Semarang, Karanganyar, Sleman, Bojonegoro, Lamongan, Tulungagung, Blitar,
Kediri, dan Malang), pengambilan sampel, wawancara dengan peternak, dan uji laboratorium untuk
diagnosis dan deteksi agen penyakit, serta identifikasi faktor resiko dengan pendekatan case-control
study.
Jumlah peternakan yang disurvei sebanyak 58 peternakan komersial Sektor-3, terdiri dari:
35 peternakan layer (550 ekor), 20 broiler (340 ekor), dan 3 jawa super (45 ekor). Definisi kasus
ditetapkan berdasarkan tanda klinis: pada layer adalah penurunan produksi telur > 40% dengan
atau tanpa disertai kematian; pada broiler dan jawa super adalah gangguan pernafasan, pencernaan,
motorik, atau pertumbuhan diikuti kematian > 10%. Teridentifikasi 27 peternakan kasus (case) dan
31 peternakan non-kasus (control). Kasus pada layer terjadi sejak Maret 2017; kematian sporadik
pada broiler terjadi pada Juli, September, Desember 2017 dan Januari 2018; dan kematian pada Jawa
super terjadi pada November-Desember 2017. Kasus penurunan produksi telur > 40% ditemukan
di semua kabupaten, dimana 14 dari 19 kasus pada layer (73.7%) memiliki tanda klinis gangguan
pernafasan dan penurunan produksi. Pada broiler dan jawa super, 6 dari 8 kasus penyakit (75.0%)
memiliki tanda klinis berak putih, stunting, kesusahan berjalan, dan kematian. Lebih dari 69%
unggas layer menunjukkan respon antibodi tinggi (titer HI > 16) terhadap virus ND, AI subtipe H5
(AI-H5), dan AI subtipe H9 (AI-H9). Sebaliknya, proporsi antibodi tinggi terhadap ND, AI-H5, AI-
H9 pada unggas broiler dan jawa super bervariasi dari 7-51%. Virus AI-H9 tidak terdeteksi di semua
peternakan, tetapi virus AI-H5, virus ND, bakteri Mycoplasma gallisepticum, parasit Eimeria sp.,
perubahan histopatologis inclusion body hepatitis (IBH), kadar protein kasar yang rendah (<18%),
dan kandungan aflatoxin yang tinggi (>50 µg/Kg) berhasil dideteksi dari beberapa peternakan
dengan tanda-tanda klinis di atas.
Hasil ini mengindikasikan bahwa kasus penyakit pada unggas komersial tidak hanya
disebabkan oleh infeksi tunggal agen, tetapi lebih bersifat multifaktor, melibatkan beberapa agen
dan dipengaruhi kondisi lingkungan/manajemen peternakan. Investigasi lanjutan diperlukan untuk
mengetahui apakah antibodi tinggi terhadap H9 disebabkan kekebalan vaksinasi atau akibat paparan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
1
infeksi virus AI H9 lapang. Biosekuriti dan manajemen, termasuk perbaikan mutu pakan dan
peningkatan kekebalan unggas melalui vaksinasi, perlu ditingkatkan untuk mencegah kasus serupa
di masa mendatang.
Kata kunci : Investigasi outbreak, penurunan produksi, agen penyakit, unggas komersial, faktor
resiko.
PENDAHULUAN
Diantara beberapa kasus penyakit unggas yang terjadi pada tahun 2017,
kasus penurunan produksi telur yang cukup tajam (80-90% produksi turun
menjadi 40-50%) pada layer dan kasus kematian di atas normal (>10%) pada
broiler umur 2-4 minggu adalah kasus-kasus yang mendominasi pemberitaan
dan laporan kasus penyakit pada tahun 2017, khususnya pada peternakan
unggas komersial Sektor 3. Namun terdapat keraguan apakah kasus penyakit
unggas ini hanya disebabkan oleh infeksi tunggal agen atau melibatkan
infeksi bersama beberapa agen lainnya seperti virus Avian Influenza (AI),
virus Newcastle Disease (ND), virus Infectious Bronchitis (IB), Fowl
Adenovirus, bakteri mycoplasma, parasite, dan dipengaruhi oleh masalah
manajemen peternakan.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
3
- Untuk menghindari resiko penularan antar peternakan, petugas
sampling (team investigasi) menggunakan SOP pengambilan
sampel yang telah dibuat berdasarkan prinsip-prinsip biosafety-
biosecurity dan animal welfare.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
5
Tanda klinis, deteksi agen penyakit dan respon antibodi
Tabel 1. Tanda klinis historis dan hasil diagnosa laboratorium (deteksi agen
atau kandungan bahan pakan)
Lebih dari 69% dari total unggas layer yang disampling menunjukkan
respon antibodi tinggi (titer hambatan aglutinasi sel darah merah ayam atau
titer HI > 16) terhadap antigen ND, AI-H5, dan AI-H9. Sebaliknya proporsi
antibodi tinggi terhadap antigen ND, AI-H5, AI-H9 pada broiler dan jawa
super bervariasi dari 7-51% (Tabel 2).
6 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 2. Proporsi titer antibody terhadap virus ND, AI-H5 dan AI-H9 pada
unggas
Faktor resiko
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
7
infeksi virus AI-H5 memiliki resiko lebih tinggi terhadap terjadinya kasus
penurunan produksi dan kematian pada unggas komersial (Tabel 3).
Peternakan yang menerapkan biosekuriti 3-zona dan memiliki kandang
isolasi memiliki resiko yang lebih rendah terjadinya kasus penyakit
dibandingkan dengan peternakan yang tidak menerapkan biosekuriti dan
tidak memiliki kandang isolasi bagi unggas sakit. Peternakan dengan staff
yang tinggal di luar area peternakan, pemilik/staff yang sering berkunjung ke
pasar tradisional, dan yang sering menerima kunjungan penjual atau pembeli
produk unggas memiliki resiko lebih tinggi terhadap kasus penyakit (Tabel
4).
Dari beberapa faktor resiko yang dianalisa, odds ratio faktor kunjungan
penjual /pembeli produk unggas ke peternakan lebih tinggi dan signifikan
(OR = 7.16 [CI 95%: 1.18-57.13]) dibanding faktor resiko lainnya. Temuan
ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa
kunjungan ke peternakan dengan tujuan membeli/menjual unggas atau
produk unggas meningkatkan resiko terjadinya penularan agen penyakit
(Wibawa et al., 2018; Durr et al., 2016, Idris et al., 2010). Hal ini dapat
disebabkan penjual/pembeli produk unggas mungkin memiliki kontak
sebelumnya dengan unggas sakit di peternakan lain atau di pasar sebelumnya
sehingga meningkatkan resiko penyakit pada peternakan yang dikunjungi
berikutnya.
KESIMPULAN
SARAN
KETERBATASAN PENELITIAN
Durr, P.A., Wibowo, M.H., Tarigan, S., Artanto, S., Rosyid, M.N., Ignjatovic,
J., 2016. Defining “Sector 3” Poultry Layer Farms in Relation to
H5N1-HPAI-An Example from Java, Indonesia. Avian Diseases 60,
183-190.
Idris, S., Palupi, M.F., Sudiana, E., Unger, F., 2010. Qualitative risk
assessment of HPAI H5N1 transmission between small-scale
commercial broiler chicken farms in Bogor, Indonesia. Africa/
Indonesia Team Working Paper No. 33 October 2010. International
Food Policy Research Institute. http://www.ifpri.org/publication/
qualitative-risk-assessment-hpai-h5n1-transmission-between-small-
scale-commercial.
Mashihi, M.S.K. 2001. Factors affecting egg production and quality. Animal
Health for Developing Farmers. ARC-Onderstepoort Veterinary
Institute, South Africa.
Usman, B.A and Diarra, S.S. 2008. Prevalent diseases and mortality in egg
type layers: An overview. International Journal of Poultry Science,
7(4): 304-310.
Wibawa, H., Karo-Karoa, D; Pribadi, E.S., Bouma, A., Bodewes, R., Vernooij,
H., Diyantoro, Sugama, A., Muljono, D.H., Koch, G., Tjatur Rasa,
F.S., , Stegeman, A. 2018. Exploring contacts facilitating transmission
of influenza A(H5N1) virus between poultry farms in West Java,
Indonesia: a major role for backyard farms?. Preventive Veterinary
Medicine. https://doi.org/10.1016/j.prevetmed.2018.04.008.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
11
INVESTIGASI KASUS KEMATIAN SAPI PO DI KABUPATEN
PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2017
ABSTRAK
Pada awal bulan Februari 2017 telah dilaporkan adanya kematian 1 ekor Sapi potong jenis
peranakan ongole di Desa Kalitinggar Kecamatan Padamara Kabupaten Purbalingga. Dari laporan
kasus tersebut tim Laboratorium Kesehatan Hewan Banyumas Balai Veteriner Boyolali dan tim
dari bidang Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten Purbalingga melakukan invertigasi penyebab
kematian sapi PO tersebut.
Investigasi penyebab kematian dengan melakukan anamnesa yaitu sebelumnya terjadi sapi
sakit sebanyak 2 ekor, dengan gejala demam,nafsu makan turun,kencing darah/hemoglobinuria
(pada sapi yang mati) . Dilakukan pengambilan sampel darah pada 1 ekor sapi yang mati untuk
diuji bakteri dan parasit darah dan juga dilakukan pengambilan sampel pada sapi yang masih hidup
sejumlah 4 ekor yang berada dalam satu kandang berupa sampel darah dan feses untuk diuji parasit
darah, identifikasi telur cacing fasciola sp. , RBT.
Dari hasil pemeriksaan preparat ulas darah diperoleh hasil pada sampel sapi yang mati positif
ditemukan parasit darah Babesia sp. Dan hasil pemeriksaan dari uji identifikasi bakteri yang ditanam
dari sampel darah yang diambil ditemukan bakteri E.coli . Dan hasil dari 4 sampel yang berada
dalam satu kandang diperoleh hasil 1 (satu) positif Babesia sp. 3 (tiga) negatif, hasil pemeriksaan
RBT semuanya menunjukkan hasil negatif, hasil dari identifikasi telur cacing ditemukan 1 sampel
positif Fasciola sp. Dari hasil diatas disimpulkan bahwa penyebab kematian sapi PO tersebut adalah
karena infeksi parasit darah Babesia sp (Babesiosis)
PENDAHULUAN
Babesia merupakan parasit yang terletak di dalam sel darah merah dan
juga diluar sel darah merah di dalam lumen kapiler paru-paru, ginjal, hati
dan sebagainya, disitu mereka memperbanyak diri tak terbatas dengan cara
pembelahan multiple.Protozoa ini kemudian bereproduksi secara aseksual,
pertama di dalam sel usus caplak betina, kemudian dalam telur dan larva
yang sedang berkembang, dan akhirnya di dalam sel kelenjar ludah anak
caplak. (Levine, 1978)
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
13
Dalam upaya perkembangan populasi ternak terutama sapi, diperlukan
langkah pengendalian penyakit, yaitu tindakan pencegahan timbulnya
patogenitas dari agen penyakit ke inangnya. Salah satu penyakit ternak yang
cukup penting dan bersifat endemik adalah parasit darah karena penyakit
tersebut dapat menimbulkan kerugian berupa pertumbuhan terhambat,
penurunan berat badan, penurunan daya kerja, penurunan daya reproduksi
(Nasution, 2007), penurunan produksi susu, dan aborsi (Kocan et al., 2003).
Kasus penyakit yang disebabkan oleh parasit darah umumnya bersifat akut,
namun terkadang dapat menyebabkan kematian pada hewan yang terinfeksi
(Soulsby, 1982). Babesia merupakan parasit darah yang ditularkan oleh
caplak, dapat menyebabkan penyakit klinik pada induk semang mamalia
dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar jika terjadi
wabah. Penyakit ini ditandai dengan adanya demam, anemia hemolitik,
hemoglobinuria dan akhirnya kematian. Oleh karena itu, pencegahan,
diagnosa, pengendalian dan pengobatanterhadap penyakit ini harus dilakukan
dengan cepat dan tepat sehingga tidak menmbulkan kerugian yang besar bagi
masyarakat melalui penurunan produktifitas dan kematian ternak.
TUJUAN
Materi
Sampel darah dari bangkai seekor sapi dan 4 sampel darah (edta dan non
edta), feses dari sapi yang berada dalam satu kandang.
Metode
Hasil
Hasil pengujian
No Kode sampel Parasit Parasit Keterangan
Bakteri RBT
darah internal
1 Sp 1 Babesia sp E.Coli Sapi yang mati
2 Sp 2 Babesia sp Negatif Negatif Sapi yang sakit
3 Sp 3 Negatif Negatif Negatif
4 Sp 4 Negatif Fasciola sp Negatif
5 Sp 5 Negatif Negatif Negatif
Dibawah ini adalah gambar ulas darah dari sampel darah sapi yang mati dan
sapi yang sakit tapi hidup. Terlihat dari hasil ulas darah keduanya ditemukan
parasit darah Babesia sp
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
15
Gambar 2. Babesia sp pada sampel Gambar 3. Babesia sp pada sampel
kode sp 1 ( sapi yang kode sp 2 (sapi sakit /
mati) hidup)
PEMBAHASAN
Infeksi Babesia sp bisa terjadi secara perakut, akut, kronis maupun tidak
terlihat. Pada umumnya babesiosis ditandai dengan keadaan hewan lemah,
kehilangan nafsu makan dan demam, temperatur badan dapat meningkat
sampai 41 0 – 41,50C dalam waktu 2 atau 3 hari. Hewan yang terinfeksi
memperlihatkan kenaikan suhu rektal yang beringan dengan timbulnya parasit
dalam darah. Infeksi oleh Babesia bigemina ditandai dengan adanya urine
yang berwarna merah (hemoglubinuria), anemia yang diikuti dengan ikterus.
Pada bedah bangkai terlihat hati membesar berwarna kekuningan, pucat .
Penggumpalan cairan empedu dalam kantong empedu akibat obstruksi dari
saluran-salurannya oleh cairan empedu yang menggumpal akan mewarnai
hati menjadi belang kekuningan sampai kemerahan atau coklat mahoni.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosa babesiosis adalah
pola kejadian penyakit, misalnya kejadian musiman fluktuasi infestasi caplak
atau ewan peka dimasukkan dalam daerah endemik; babesiosis biasanya
terjadi pada sapi yang berumur sekitar 1-3 tahun. (Anoimus,1994). Variasi
kehebatan dan lamanya serangan tergantung dari umur hewan, musin dalam
setahun,derajat penularan serta pernah tidaknya hewan tersebut terinfeksi.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
17
DAFTAR PUSTAKA
E-mail: dewiibu0@gmail.com
ABSTRAK
Sekitar satu tahun belakangan ini dilaporkan adanya kasus kematian tinggi pada peternakan
unggas komersial khususnya ayam broiler, namun dari hasil diagnosa belum diketahui penyebabnya.
Dimulai pada akhir Desember 2017 BBVet Wates menerima sampel organ dari Technical service
perusahaan di wilayah kabupaten Demak. Populasi ayam pada farm terserang sebanyak 23.000
ekor berumur 23 hari dengan total kematian 6000 ekor. Gejala klinis yang nampak mirip penyakit
Infectious Bursal Disease (Gumboro disease) yaitu ayam mengalami kelesuan, depresi, gemetar,
bulu kusam berdiri, anoreksia.
Tujuan dari penyidikan ini adalah untuk mengetahui penyebab kasus kematian unggas Broiler
melalui pendekatan pengamatan dan analisa patologi anatomi dan histopatologi dari sampel-sampel
kasus yang diterima BBVet Wates dalam bentuk organ hati dalam formalin.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa terjadi perubahan patologi anatomi hati pucat, rapuh
dan membesar. Pengujian sampel hati dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi menggunakan
pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Hasil pengujian menunjukkan adanya benda inklusi intranuklear
pada sel hepatosit, multifokal nekrotik hepatitis, dan infiltrasi sel – sel limfoid disekitar pembuluh
darah (perivaskuler kaffing). Dari pengujian patologi anatomi di lapangan dan pengujian histopatologi
di laboratorium menunjukkan perubahan yang khas yaitu adanya inclusion body hepatitis dan infiltrasi
sel sel radang pada pembuluh darah yang kemungkinan disebabkan oleh infeksi virus. Jika temuan
patologi dan histopatologi ini dikaitkan dengan data keparahan penyakit di lapangan dan studi literatur
ada kemungkinan jika kematian unggas Broiler bisa disebabkan oleh infeksi virus Adenovirus Group
1 yang menyebabkan terjadinya inclusion body hepatitis pada unggas broiler. Penelitian lebih lanjut
diperlukan seperti isolasi virus dan PCR/Sequencing untuk peneguhan diagnosa temuan ini.
Kata kunci : Inclusion Body Hepatitis, adenovirus, histopatologi, pewarnaan Hematoksilin dan
Eosin
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
19
menunjukkan perdarahan ptechiae, hati membesar, pucat kekuningan dan
rapuh. Secara mikroskopik pada sel hati terdapat benda inklusi intranuklear
yang dapat bersifat eosinofilik atau basofilik dan solid. Penyakit IBH
pertama kali muncul di USA pada tahun 1963 (Helmboldt. 1963; Akoso.
1993). Setelah itu banyak kasus IBH terjadi di berbagai negara. Di Iran telah
terisolasi fowl adenovirus dari kasus IBH pada farm broiler dan breeder
selama kurun waktu 2013 – 2016. Di India melaporkan kasus IBH pada
farm broiler berumur 25 hari pada tahun 2017 (Dutta B. et. al. 2017). Di
Indonesia sendiri pertama kali dilaporkan di Jawa (Kabupaten Semarang)
dan DKI Jakarta pada tahun 1985 (Akoso. 1993)
TUJUAN
HASIL
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
21
nekrosis pada hati dapat disebabkan oleh infeksi penyakit viral (Jubb K.V.F.,
1985). Randall C.J (1985) mengatakan pada Inclusion Body Hepatitis
perubahan mikroskopisnya adalah adanya intranuklear inclusion bodi
pada sel hepatosit yang dapat bersifat eosinophilik dengan ruang halo atau
basophilic dan solid.
SARAN
Perlu dilakukan studi dan pengujian lebih lanjut seperti sequencing dan
isolasi virus pada kasus yang secara histopatologi terdiagnosa IBH (Inclusion
Body Hepatitis) untuk mendapatkan agen infeksi adenovirus.
DAFTAR PUSTAKA
Dutta B., Deka Pankaj, Gogoi SM., Sarmah M., Bora MK., Pathak DC., 2017.
Pathology of inclusion body hepatitis Hydropericardium syndrome
(IBH – HPS) in broiler chicken. International Journal of Chemical
Studies 2017; 5 (3): 456 – 461
Jubb K.V.F., Kennedy Peter C., Palmer Nigel, 1985. Pathology of Domestic
Animals. Third Edition. Academic Press. London. P.255
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
23
FAKTOR RISIKO LEPTOSPIROSIS PADA SAPI POTONG
DI KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN,
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
1
Medik Veteriner di Puskeswan Prambanan , 2Medik Veteriner di Puskeswan Nanggulan
Koresponden : nikenwidarini@yahoo.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi, serovar penyebab, dan faktor risiko kejadian
leptospirosis pada sapi potong di kecamatan prambanan kab. Sleman DIY. Sebanyak 45 sampel
sapi potong diperiksa secara klinis, dan diambil darahnya untuk pemeriksaan leptospira dengan
microscopic aglutination test (MAT). Hasil MAT digunakan sebagai variabel dependen (Y),
sedangkan variabel independen (X) adalah faktor peternak, ternak, kandang, dan pakan. Analisis
yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat dengan chi square, odd ratio. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sapi positif leptospirosis dengan uji MAT sebanyak 8,9% (4/45). Leptospirosis
sebagian besar disebabkan oleh Leptospira serovar hardjo (75,0%). Faktor risiko yang berpengaruh
terhadap kejadian leptospirosis adalah faktor keguguran (OR=20,893), hewan yang diberi pakan
tambahan konsentrat (OR=8,055) dan tempat menaruh konsentrat yang banyak terdapat tikus
(OR=4,917). Faktor keguguran, hewan yang diberi tambahan pakan konsentrat dan kandang menaruh
konsentrat yang terdapat tikus meningkatkan risiko kejadian leptospirosis.
ABSTRAK
The purpose of this study was to determine the prevalence, serovar, and risk factors of leptospirosis
on cattle in Prambanan , Sleman, DIY. A total of 45 cattle samples were clinically examined and
blood was collected for Leptospira examination using microscopic agglutination test (MAT). Results
of MAT were used as dependent variable (Y), while breeders, cattle, shed, and feed factors were
used as the independent variable (X). Univariate analysis and bivariate analysis with chi square,
odds ratio were implemented to analyze the data. The results showed that cattle were positively
leptospirosis which 8,9% (4/45). Mostly, leptospirosis cases were caused by hardjo serovar (75.0%).
Risk factors influencing the prevalence of leptospirosis were caused by some factors such as abortion
(OR=20,893), cattle with added feed concentrate (OR=8,055) and the existing mice in concentrate
warehouse (OR=4,917). Factors of abortion, feed combine with concentrate and the existing mice in
concentrate warehouse provides a greater risk of leptospirosis infection.
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
25
Konsentrasi antigen adalah ± 2x108 leptospira/ml. Serum diencerkan dengan
PBS perbandingan 1 : 25, kemudian 50 μl serum tersebut diisikan pada
lubang microplate dan ditambahkan 50 μl antigen Leptospira interrogans.
Selanjutnya, diinkubasi pada 28-30° C selama 2 jam. Campuran serum antigen
dipindahkan ke kaca objek (tidak ditutup dengan kaca penutup) dengan
diluter dan dibaca dengan mikroskop fase kontras pada pembesaran 100x.
Serum yang menunjukkan reaksi 50% aglutinasi atau lebih dilakukan titrasi.
Serum yang menunjukkan reaksi 50% aglutinasi atau lebih pada pemeriksaan
pendahuluan kemudian diencerkan dengan PBS perbandingan 1 : 50, 1 : 200,
1 : 800 dan 1 : 3200. Sebanyak 50 μl masing-masing enceran serum tersebut
kemudian diteteskan ke dalam lubang-lubang microplate, dan masing-
masing enceran tersebut ditambah 50 μlantigen (Leptospira interrogans).
Selanjutnya, diinkubasi pada suhu 28-30°C selama 2 jam. Pembacaan
dilakukan seperti pada pemeriksaan pendahuluan. Titik akhir pembacaan
adalah 50% aglutinasi atau lebih (diperkirakan dari jumlah leptospira bebas,
yaitu 50% atau kurang) dan titer didefinisikan sebagai enceran akhir tertinggi
serum dalam campuran serum-antigen yang menunjukkan 50% aglutinasi
atau lebih (Susanti,2015).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
27
No Faktor penyebab Hasil
11 Tempat pakan permanen
- ya 68,9%
- tidak 31,1%
12 Sumber air dari PAM
- ya 57,8 %
- tidak 42,2%
13 Kandang ada umbaran
- ya 0%
- tidak 100%
14 Kebersihan kandang
- kotor 57,8%
- bersih 42,2%
15 Frekuensi pembersihan kandang
- 2 kali sebulan ≥ 4,4%
- > 2 kali sebulan 95,6%
16 Jarak kandang dengan saluran air
- < 10 m 55,6%
- > 10 m 44,4%
17 Sapi dicampur dengan ternak lain
- Ya 6,7%
- tidak 93,3%
18 Kandang sapi terdapat tikus
- ya 93,3%
- tidak 16,7%
19 Kandang memiliki drainase
- ya 37,8%
- tidak 62,2%
20 Kandang memiliki pengolah kotoran sapi
- ya 0%
- tidak 100%
21 Sapi mengalami keguguran
- ya 6,7%
- tidak 93,3%
22 Hasil uji MAT sapi
- positif 13,3%
- negatif 86,7%
23 Pengetahuan tentang lepto pada peternak
- Penyuluhan 44,4%
- Media lain 55,6%
24 Bentuk kandang
- Koloni 13,3%
- Baterei 86,7%
No Faktor Penyebab p OR
1 Umur sapi 0,903 0,015
2 Jenis kelamin 0,936 0,007
3 Body Condition Score 0,570 0,322
4 Asal ternak 0,860 0,031
5 Ternak digembalakan - -
6 Ternak dipakai kerja disawah - -
7 Ternak dimandikan di sungai 0,412 0,674
8 Ternak diberi konsentrat 0,005* 8,055
9 Sawah tempat hijuan banyak tikusnya 0,352 0,865
10 Gudang penyimpanan konsentrat banyak tikusnya 0,027* 4.917
11 Tempat pakan permanen 0,283 1,153
12 Sumber air dari PAM 0,636 0,224
13 Kandang ada umbaran - -
14 Kebersihan kandang 0,193 1,696
15 Frekuensi pembersihan kandang 0,119 2,435
16 Jarak kandang dengan saluran air 0,556 0,346
17 Sapi dicampur dengan ternak lain 0,292 1,113
18 Kandang sapi terdapat tikus 0,482 0,495
19 Kandang memiliki drainase 0,809 0,058
20 Kandang memiliki pengolah kotoran sapi - -
21 Sapi mengalami keguguran 0,000* 20,893
22 Pemilik menderita lepto 0,119 2,435
23 Pengetahuan tentang lepto pada peternak 0,346 0,556
24 Bentuk kandang 0,302 1,065
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
29
Leptospirosis telah terbukti menyebabkan kematian, gangguan
reproduksi dan penurunan produksi pada ternak (Gilmour 2007) aborsi, lahir
mati, keturunan lemah, nefritis interstisial kronis, kinerja reproduksi yang
buruk dan pertumbuhan yang buruk (Ellis, 1994, Ayanegui-Alcérreca, 2006).
Leptospira terbukti juga menginfeksi organ reproduksi dan mempengaruhi
kinerja reproduksi ternak (Ellis etal., 1986) Beberapa penelitian telah
mencoba untuk menemukan dan menjelaskan hubungan antara leptospirosis
subklinis dan kinerja reproduksi terutama pada industri ternak dan babi
(Grooms, 2006). Satu studi menganalisis data kesuburan dan menunjukkan
penurunan tingkat konsepsi sapi yang terinfeksi Leptospira serovar Hardjo
(Dhaliwal et al., 1996). Inilah yang menjadikan bahwa Leptospira serovars
Hardjo bovis dan Pomona adalah patogen yang menyebabkan kerugian
reproduksi pada ternak di seluruh dunia (Grooms 2006).
Laporan tentang Pomona menyatakan bahwa hal itu dapat menyebabkan
efek klinis yang lebih parah seperti badai aborsi(Knott and Dadswell 1970;
Gilmour 2007), tapi kejadian Pomona kurang penting secara ekonomi dari
pada Hardjobovis (Givens 2006). Ini terjadi juga pada rusa, Leptospirosis
kronis menyebabkan gangguan kesuburan, kematian neonatal,aborsi dan
penurunan produksi susu (Lilenbaum et al. 2008).
Leptospira dapat diisolasi dari organ reproduksi pada sapi potong, seperti
pada plasenta (Ellis and Michna 1977), oviduct dan uterus (Ellis et al. 1986;
Ellis and Thiermann 1986) fetus yang diaborsikan (Ellis et al. 1982a; Ellis et
al. 1982b; Langoni et al. 1999). Infeksi yang persiten leptospira Hardjobovis
dilaporkan menurunkan conception rates and fertilitas (Dhaliwal et al. 1996),
Meningkatkan services per conception(S/C) and memperpanjang calving
interval (CI). Juga menyebabkan kematian embrio dini, aborsi, stillbirth dan
weak calf syndrome (Smythet al. 1999).
KESIMPULAN
KETERBATASAN
ACKNOWLEDGEMENT
The authors received financial support for the research, Agriculture and food
service Sleman and Kulon Progo, the Center for Veterinary Research, Bogor
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
31
Ellis, W. A., J. G. Songer, J. Montgomery and J. A. Cassells, 1986: Prevalence
of Leptospira interrogans serovar hardjo in the genital and urinary
tracts of nonpregnant cattle. Vet Rec, 118, 11-13
Widiasih Dyah Ayu, Wayan T. Artama, Adi Heru Husodo, Tjut Sugandawaty
Djohan, Fred Unger, 2014, Spatial Analysis Of Topography And
River Watershed Factors For Leptospirosis Cases In Kulon Progo,
Yogyakarta Province, Indonesia International Livestock Research
Institute (ILRI) and the International Development Resource Centre
(IDRC) report. 5September 2014
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
33
SEROSURVEILANS RABIES DI NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2016
ABSTRAK
Rabies sejak pertama kali dilaporkan pada November 1997 di Kabupaten Flores Timur, masih
menjadi topik permasalahan yang belum mampu diselesaikan di Nusa Tenggara Timur khususnya di
daratan Flores.Tahun 2015 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) di NTT sebanyak 7.386
kasus, yang merupakan kasus terbanyak kedua setelah Propinsi Sulawesi Utara. Hingga tahun 2016
tercatat lebih dari 200 orang meninggal di NTT karena rabies, terutama di Pulau Flores dan Lembata.
Pemberantasan Rabies di NTT sampai sekarang belum memberikan hasil yang memuaskan.
Penanganan penyakit rabies perlu dilakukan secara tepat sasaran dengan memprioritaskan perhatian
pada faktor-faktor pemeliharaan yang berkaitan dengan vaksinasi dan titer antibodi protektif.
Surveilans untuk mengetahui prevalensi status kekebalan pada anjing post vaksinasi Rabies
di NTT, telah dilakukan pengambilan sampel di 9 Kabupaten Daratan Flores dan Lembata pada
bulan April sampai dengan Desember 2016. Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan
sebanyak 2.079 sampel serum darah. Pengujian laboratorik dilakukan pada Laboratorium Pengujian
dan Penyidikan Veteriner UPT Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT dengan metode Indirect
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay).
Hasil surveilans post vaksinasi Rabies menunjukkan bahwa anjing-anjing di daratan Flores
dan Lembata Nusa Tenggara Timur yang memiliki titer antibodi protektif terhadap rabies 49,49%
(1.029/2.079) dan yang tidak protektif 50,51% (1.050/2.079). Cakupan vaksinasi pada anjing-
anjing di daratan Flores diatas 70%, namun efektifitas vaksinasi hanya sebesar 50,25%. Beberapa
hal kemungkinan menjadi penyebabnya adalah status kesehatan hewan saat divaksin, umur, dan
perbedaan bangsa anjing/breed. Kemungkinan yang lain mutu vaksin, cara penanganan vaksin di
lapangan kurang tepat, dan frekuensi vaksinasi. Kurangnya perhatian petugas vaksinator tentang
pentingnya rantai dingin (cold chain) di lapangan merupakan faktor penyebab potensi vaksin anti
rabies yang digunakan menurun.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Materi
Pada surveilans ini unit yang diamati adalah anjing yang berpemilik.
Sebanyak 2.079 ekor anjing berpemilik yang sudah divaksinasi Rabies
diambil sampel serumnya untuk mengetahui tingkat kekebalan terhadap
penyakit rabies.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
35
Laboratorium Pengujian dan Penyidikan Veteriner UPT Veteriner Dinas
Peternakan Propinsi NTT.
Metode
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
sekunder. Pengambilan data primer dilakukan melalui wawancara langsung
dengan pemilik anjing dan mengisi formulir pengambilan spesimen yang
meliputi: tanggal, tempat pengambilan, nama pemilik anjing, sex, umur, dan
status vaksinasi. Sampel darah diambil kira kira sebanyak 2-3 cc dan ditangani
secara aseptik. Data sekunder jumlah populasi anjing yang divaksinasi
diperoleh dari Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Povinsi NTT.
Teknik Sampling
Prosedur Pengujian
HASIL
Hasil uji Elisa terhadap 2.079 sampel serum anjing tahun 2016 di UPT
Veteriner, menunjukkan 1.029 sampel positif antibodi Rabies dan 1.050
sampel negatif antibodi Rabies, dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari 2.079 sampel serum yang diambil ada 98,12% (2.040/2079) yang
divaksin rabies dan 1,88% (39/2.079) yang tidak divaksin rabies (Tabel 2.).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
37
NO KABUPATEN VAKSIN TIDAK VAKSIN JUMLAH
6 Ngada 242 - 242
7 Manggarai Timur 193 - 193
8 Manggarai 200 - 200
9 Manggarai Barat 124 - 124
TOTAL 2.040 39 2.079
PROTEKTIFITAS
NO KABUPATEN JUMLAH POSITIF
(%)
1 Lembata 123 84 68,29
2 Flores Timur 98 23 23,47
3 Sikka 380 178 46,84
4 Ende 481 296 61,54
5 Nagakeo 199 126 63,32
6 Ngada 242 136 56,20
7 Manggarai Timur 193 67 34,72
8 Manggarai 200 100 50,00
9 Manggarai Barat 124 15 12,10
T O TAL 2.040 1.025 50,25
PEMBAHASAN
Kesimpulan
Saran
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
41
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2016. Jangan ada lagi kematian akibat Rabies. Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Lestari, I. dan Made, N.D., 2005. Review rabies. Balai Besar Pengujian
Mutu Obat dan Sertifikasi Obat Hewan. Lokakarya Nasional Penyakit
Zoonosis.
Ohore, O.G, Emikpe, B.O, and Oluwayelu, D.O. 2007. The seroprofile
of Rabies antibodies in companion urban dogs in Ibadan, Nigeria. Journal of
animal and veterinary advances 6 (1): 53-56, 2007.
ABSTRAK
Jawa Barat merupakan wilayah resiko tinggi dengan kasus HPAI terjadi sepanjang tahun
dan menyerang semua jenis unggas. Memiliki 18 Kabupaten/Kota dan sentra peternakan unggas
komersil. Pemerintah telah mencanangkan Roadmap Indonesia Bebas AI tahun 2020 dengan tahapan
Pulau Jawa menjadi target pembebasan pada tahun 2020 termasuk provinsi Jawa Barat. Tujuan kajian
ini adalah untuk mengetahui apakah Jawa Barat masih menjadi wilayah resiko tinggi selama tahun
2015-2017 dan mengetahui jenis unggas dan penyebaran kasus di Jawa Barat tahun 2015-2017.
Data berasal dari Laporan iSIKHNAS nomor 392 berupa data sindrom penyakit prioritas yang
dikirim oleh petugas kesehatan hewan pada Januari 2015 s.d Desember 2017. Definisi suspek kasus
HPAI adalah kematian meningkat pada unggas. Data diolah menggunakan fungsi grafik pada pivot
table Microsoft Excel. Peta sebaran penyakit dibuat menggunakan Quantum GIS.
Jumlah laporan sindrom HPAI pada unggas di Jawa Barat selama kurun waktu 3 tahun (2015
- 2017) menunjukan variasi yang cukup menarik. Tren peningkatan suspek kasus pada musim
penghujan dan menurun di musim kemarau. Suspek kasus yang dilaporkan pada tahun 2016 sebanyak
72 kasus, meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2015 sebanyak 30 kasus. Sedangan
tahun 2017, suspek HPAI menurun drastis menjadi 26 kasus.
Ayam petelur merupakan jenis unggas yang paling banyak terserang pada tahun 2016,
sedangkan tahun 2015 dan 2017 kematian unggas paling banyak menyerang pada itik. Tahun 2015
kematian unggas sangat tinggi terjadi di kabupaten Indramayu, Sukabumi dan Purwakarta. Tahun
2016, kematian unggas paling tinggi berpindah ke kabupaten Kuningan, Ciamis dan Majalengka.
Tahun 2017 berubah menjadi Kabupaten Bandung, Ciamis dan Kota Cimahi. Sentra perunggasan di
wilayah priangan timur, populasi unggas komersial terutama ayam pedaging, petelur, pejantan dan
itik sangat tinggi. Faktor resiko dan analisa dampak ekonomi telah diketahui. Strategi pembebasan
HPAI di Jawa Barat harus di evaluasi dan ditingkatkan.
PENDAHULUAN
Latar belakang
Jawa Barat merupakan wilayah resiko tinggi dengan jumlah kasus HPAI
terjadi sepanjang tahun dan menyerang semua jenis unggas. Jawa Barat
memiliki 18 Kabupaten/Kota dan sebagian besar wilayahnya merupakan
sentra peternakan unggas.
Tujuan
Kajian ini menggunakan data Provinsi Jawa Barat yang ada di Laporan
iSIKHNAS nomor 392. Data yang tersedia merupakan data sindrom penyakit
prioritas yang dikirim oleh petugas kesehatan hewan pada Januari 2015
hingga Desember 2017 dengan tipe file csv.
1). Kasus yang dilaporkan pada tahun 2016 sebanyak 72 kasus, meningkat
lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2015 sebanyak 30 kasus. Sedangan
tahun 2017, kejadian HPAI menurun drastis menjadi 26 kasus. Tahun 2015
pelatihan pelaporan penyakit melalui iskhnas baru dilakukan kepada para
petugas dinas di kabupaten, sehingga jumlah laporan yang masuk pada tahun
ini relatif masih rendah. Tahun 2016 semua petugas dinas telah mendapatkan
pelatihan pelaporan penyakit sehingga data yang dilaporkan cukup banyak.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
45
10000 9131
8000 7484
5936
6000
2015
4000 2016
2167
2000 1499 2017
818 678 226 166
341 79 233 240
0
Ayam ayam Layer Broiler Puyuh Entog Itik
kampung
Gambar
2. Jenis unggas tertular yang dilaporkan sepanjang tahun 2015-2017
Dari
gambar
2
terlihat
total jumlah
unggas yang mengalami
kematian
mendadak dengan suspek HPAI. Ayam petelur merupakan jenis unggas
yang paling banyak terserang pada tahun 2016 yaitu sebanyak 9.131 ekor,
sedangkan tahun 2015 dan 2017 kematian unggas paling banyak menyerang
pada itik sebanyak 1.499 ekor dan 5.936 ekor.
A
A
B
Gambar 3. Peta Penyebaran unggas mati di Jawa Barat tahun 2015 (A),
2016 (B), 2017 (C)
Kematian unggas pada tahun 2017 terlihat pada gambar 3 bagian (C).
Wilayah tertinggi kematian unggas suspek HPAI berada di Kabupaten
Bandung sebanyak 2.919 ekor diikuti oleh Ciamis 1500 ekor dan Kota
Cimahi sebanyak 595 ekor.
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
47
2009-2014. Dari hasil tersebut maka ini memberi keyakinan bahwa tren yang
diidentifikasi oleh iSIKHNAS mencerminkan situasi epidemiologi penyakit
AI yang sesungguhnya di lapangan meskipun data ini bukan merupakan
pengamatan yang sudah dikonfirmasi oleh uji laboratorium.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
49
KETERBATASAN ATAU LIMITASI
DAFTAR PUSTAKA
Muflihanah1, Ernes Andesfha2, Hendra Wibawa3, Farida Camallia Zenal4, Ferra Hendrawati1,
Siswani1, Wahyuni1, Dina Kartini2, Irma Rahayuningtyas2,
Sulaxono Hadi1, Sri Mukartini2, Bagoes Poermadjaja3 , Fadjar Sumping Tjatur Rasa5
ABSTRAK
Low pathogenic avian influenza subtiype H9N2 virus pertama kali didiagnosa pada peternakan
ayam layer di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Indonesia pada Desember 2016 dengan
gejala klinis berupa gangguan pada saluran pernafasan yang ditandai dengan muka bengkak, sesak
nafas, discharge dari hidung, kurang nafsu makan dan feses berwarna kehijauan. Kejadian penyakit
terjadi dalam kurun waktu 3 – 14 hari dengan tingkat mortalitas rata-rata dibawah 5 % dan terjadi
penurunan produksi telur sebanyak 50 - 80%.
Dari hasil pengujian laboratorium dengan real time PCR menunjukkan positif Avian Influeza
Type A, negatif subtype H5 dan H7 serta positif H9. Hasil isolasi virus pada Telur Embrio Bertunas
(TAB) dengan uji rapid aglutinasi hasilnya tidak mengaglutinasi sel darah merah. Hasil histopatologi
pada jaringan organ menunjukkan hasil suspect terhadap virus. Pengujian laboratorium dengan
menggunakan teknik isolasi virus dan real time PCR. Dari isolasi virus setelah dilakukan penanaman
di telur embrio, menunjukkan terjadi kematian embrio, seluruh organ embrio mengalami pendarahan,
tetapi cairan allantois tidak mengaglutinasi sel darah merah ayam. Kemudian cairan allantois diambil
untuk pengujian real time PCR menunjukkan hasil positif tipe A, negatif H5, negatif H7 dan positif
H9.
PENDAHULUAN
Virus H9N2 adalah salah satu virus avian influenza (AI) yang memiliki
sifat keganasan pada unggas yang rendah sehingga digolongkan dalam
kelompok low pathogenic avian influenza (LPAI) (OIE, 2008). Virus ini telah
ditemukan di beberapa negara di wilayah Asia, Timur Tengah dan Afrika,
dimana menyebabkan kerugian ekonomi khususnya dari sektor pertanian/
peternakan karena terjadi hambatan pertumbuhan dan fertilitas unggas serta
penurunan produksi. Meskipun virus H9 di klasifikasikan LPAI, kematian
di lapangan pernah di laporkan lebih dari 50%. Virus ini juga berpotensi
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
51
zoonotik karena kasus infeksi H9N2 pada manusia pernah dilaporkan di
Hongkong, China, Bangladesh dan Mesir, serta telah dibuktikan bahwa virus
ini berperan sebagai donor internal gen prekursor subtype virus lain, seperti
H5N1 yang menyebabkan kasus flu burung (bird flu) pada manusia di Hong
kong tahun 2007 atau H7N9 dan H10N8 di Cina pada tahun 2013 dan 2015
(Peacock, et al., 2016)
Pada bulan Desember 2016 telah dilaporkan kasus penyakit pada ayam
petelur di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan Indonesia dengan gejala
klinis berupa gangguan pada saluran pernafasan yang ditandai dengan muka
bengkak, sesak nafas, discharge dari hidung, kurang nafsu makan dan feses
berwarna kehijauan. Kejadian penyakit terjadi dalam kurun waktu 3 – 14
hari dengan tingkat mortalitas rata-rata dibawah 5 % dan terjadi penurunan
produksi telur sebanyak 50 - 78%. Investigasi dan pengujian laboratorium
dengan teknik real time PCR dan isolasi kasus penyakit dilakukan oleh
Balai Besar Veteriner Maros (BBVet Maros), dilanjutkan dengan identifikasi
agen penyakit dengan teknik virologi dan DNA sequencing bekerja sama
dengan laboratorium Sequencing Partner, Balai Besar Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Bogor dan laboratorium rujukan AI
Nasional, Balai Besar Veteriner Wates (BBVet Wates). Hasil investigasi
dan identifikasi agen penyakit mengindikasikan bahwa gejala klinis dan
patologis berupa penurunan produksi telur dan mortalitas pada ayam petelur
disebabkan oleh virus LPAI subtipe H9N2. Peningkatan angka mortalitas
kemungkinan bisa terjadi disebabkan oleh adanya infeksi sekunder bakteri
sehingga memperparah derajat penyakit pada unggas.
Pengujian Laboratorium
Gambar 1. Lokasi Kasus
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
53
Tabel 1. Laporan Kematian Ayam secara keseluruhan di Kabupaten Sidrap
No
Bulan Kematian Jumlah Kematian
1. Oktober
2016 150
2. Nopember 2016 536
3. Desember
2016 1070
4. 2017
Januari 2905
Total 4661
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Oktober 2016 Nopember 2016 Desember 2016 Januari 2017
Gambar 2. Kurva Epidemik kasus penyakit di Kabupaten Sidrap
Dari gambaran kurva epidemik, kematian unggas di mulai pada bulan
Oktober 2016.
Gambaran
kurva
epidemik
pada kasus
penyakit
pada ayam
petelur tertinggi pada bulan Januari 2017 dengan rata-rata angka mortalitis
sebesar
2,73 %. Data kematian unggas dan penurunan produksi secara
keseluruhan
disimpulkan
pada Tabel
2
di bawah ini :
Tabel 2. Data Kematian Ayam Petelur dan Penurunan Produksi
Telur di
Kecamatan
Pancarijang,
Kabupaten
Sidrap
Tingkat
Jumlah
Penurunan
Tingkat Produksi Penurunan
Populasi Produksi
No Tahun Bulan
Desa Pemilik
(Ekor)
Kematian
Mortalitas
Telur
(Rak/ Telur
Produksi
(Ekor) (%) Hari) Telur
(Rak/hari)
(%)
1 2016 Nopember Peternak 1 13800 100 0.72
Tanete 500 200 60
2 Nopember Bulo
Peternak 1
6000
200
3.33
178
85 52.2
3 Desember Tanete Peternak 2 6000 80 1.33 27 7 74.1
4 Desember Tanete Peternak 3 1800 35 1.94 40 9 77.5
5 Januari Cipotakari Peternak 1 11000 450 4.09 150 40 73.3
6 2017 Januari Bulo Peternak 2 69000 500 0.72 1500 700 53.3
7 Januari Bulo Peternak 4 13000 200 1.54 200 100 50
8 Januari Bulo Peternak 5 14000 200 1.43 250 105 58
9 Januari Bulo Peternak 6 5500 200 3.64 80 53 33.8
Gejala klinis yang ditemukan pada ayam petelur dari kasus penyakit di
beberapa lokasi di atas berupa gangguan pernafasan, muka bengkak, pial dan
jengger sianosis, berak hijau, dan penuruan nafsu makan dan minum, hingga
tidak mampu berdiri (Gambar 3). Telur yang dihasilkan dari peternakan yang
terkena kasus nampak abnormal (ukuran kecil dan kerabang tipis dan mudah
pecah) (Gambar 4):
Gambar 4. Ukuran telur di bawah normal dan kerabang yang mudah pecah
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
55
jantung dan otak serta limpa tampak membesar dan adanya titik pendarahan
pada ovarium (Gambar 6).
A B C D
Gambar 6. Perubahan Patologi pada Ayam (A) Pendarahan pada Organ
Vicceral, (B) Pendarahan pada Usus, (C) Pendarahan pada Otak,
(D) Pendarahan pada Ovarium
A B C D
Gambar 7. Perubahan Patologi pada Ayam Sakit (A) Lapisan jelly pada
lemak perut (B) Hati dan serosa usus relatif normal, (C) Limpa
membesar , (D) Terjadi titik pendarahan pada ovarium
Tabel 3. Hasil Pengujian Real time PCR Kasus Pertama di Desa Tanete
Kecamatan Maritenggae
A B
C D
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
57
Dari isolasi virus setelah dilakukan penanaman di telur embrio, menunjukkan
terjadi kematian embrio, seluruh organ embrio mengalami pendarahan, tetapi
cairan allantois tidak mengaglutinasi sel darah merah ayam.
11.
Gambar Motif
asam-asam
amino
pada
daerah
site
cleavage
/pemotongan
proteolitik (diberi kotak merah) dari isolat H9N2.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL) 59
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
PEMBAHASAN
A B
C D
Gambar 12. Faktor risiko penyebaran penyakit dari lingkungan (A) Burung
Liar dalam Kandang, (B) Kebersihan di Bawah Kandang, (C)
Lingkungan terbuka , (D) Akses lalu lintas
Homologi nukleotida (nt) dan asam amino (aa) kelima sampel positif
H9N2 yaitu 99.3 -100% dan 98.9 – 100%. Sedangkan homologi nt dan aa
terhadap sampel H9N2 Indonesia yang telah diupload di Genbank sebesar
98.6 – 100% dan 98.2 – 100%. Homologi kelima sampel terhadap lineage
Y280 sebesar 88.2 – 89.5% (nt) dan 88.4-91.9% (aa), sedangkan terhadap
lineage lainnya (G1, Korean dan Y439) yaitu 76.9-86.7% (nt) dan 84.2-
88.4% (aa).
Hasil analisis asam amino pada bagian cleavage site (CS) bersifat
monobasic yaitu RSSR (aa 335 – 338) (Gambar 10), dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sampel-sampel yang diuji baik dari unggas dan LBM
termasuk dalam kelompok low pathogenic avian influenza
Receptor binding site (RBS) adalah hal yang penting bagi spesifisitas
reseptor sel dan menentukan variasi host (Gambaryan et al., 2002, Ha et al.,
2001), residu asam amino pada posisi 110, 161, 163, 191, 198, 234, 235 dan
236 molekul HA. Dari lima sampel positif H9N2, terdapat satu sampel (A/
chicken/Sidrap/07161511-61/2016) yang tidak dapat dianalisa asam amino
bagian RBS dikarenakan hasil sequencing pada bagian awal kurang optimal.
Hasil analisis asam amino keempat sampel lainnya yaitu pada asam amino
234 terdapat mutasi asam amino dari Q (Glutamine) menjadi L (Q234L,
sedangkan asam amino tidak mengalami perubahan yaitu glysine (G236G).
Substitusi Q234L pada HA protein pada virus kelompok HPAI berkontribusi
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
61
terhadap patogenesitas pada mamalia dan meningkatnya afinitas virus AI
terhadap α2, 6 sialic acid reseptor yang ditemukan banyak terdapat pada
saluran respirasi tikus dan manusia (Matrosovich et al., 2001). Kajian Wan
et al menyatakan substitusi Q234L ditemukan pada lineage G1, Y280 dan
G9 yang diisolasi di Hongkong, memungkinkan virus H9N2 lebih mudah
menginfeksi sel-sel yang tidak bersilia dan tumbuh lebih efisien di kultur sel
epitel saluran nafas manusia sehingga meningkatkan keparahan infeksi pada
manusia (Wan et al., 2007). Perlu dikaji lebih lanjut dengan uji tantang pada
beberapa spesies, termasuk mamalia, untuk membuktikan apakah perubahan
asam-asam amino yang ditemukan berpengaruh pada peningkatan atau
perubahan sifat pengikatan reseptor virus pada sel dan berpotensi patogenik
pada mamalia.
DAFTAR PUSTAKA
Banks, J., Speidel, E.C., Harris, P.A. and Alexander, D.J. (2000). Phylogenetic
analysis of influenza A viruses of H9 haemaggutinin subtype. Avian
Pathol. 29: 353-360.
Chaipan, C., Kobasa, D., Bertram, S., Glowacka, I., Steffen, I., Solomon
Tsegaye, T., Takeda, M., Bugge, T., Kim, S., Park, Y., Marzi, A., &
Pohlmann, S. (2009). Proteolytic Activation of the 1918 Influenza
Virus Hemagglutinin Journal of Virology, 83 (7), 3200-3211
DOI: 10.1128/JVI.02205-08
El Houadfi, M., Siham F., Saadia N., Jean-Luc G., Mariette F. D., 2016. First
outbreaks ang phylogenetic analyses f Avian Influenza H9N2 viruse
isolated from poultry flock in Marocco. Virology Journal 13.140
Gu, M., Lijun X, Xiaoquan, W., Xiufan, L.. 2017. Current situation of H9N2
subtype Avian Influenza in China. Veterinary Research DOI 10.1186/
s13567-017-0453-2
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
63
Guan, Y., K. F. Shortridge, S. Krauss, P. S. Chin, K. C. Dyrting, T. M. Ellis, R.
G. Webster, and M. Peiris. 2000. H9N2 influenza viruses possessing
H5N1-like internal genomes continue to circulate in poultry in
southeastern China. J. Virol. 74:9372–9380
Jakhesara, SJ, Bhatt VD, Patel NV, Prajapati KS, Joshi CG. 2014. Isolation
and characterization of H9N2 influenza virus isolates from poultry
respiratory disease outbreak. SpringerPlus 2014, 3:196.
Peiris M, Yuen KY, Leung KH, Chan PL, Lai SIp, RW M, Orr K, Shortridge
KF: Human infection with influenza H9N2. Lancet 1999, 354:916-
917.
Wan H, Perez DR: Amino acid 226 in the hemagglutinin of H9N2 influenza
viruses determines cell tropism and replication in human airway
epithelial cells. J Virol 2007, 81:5181-5191..
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
65
IDENTIFIKASI PASTEURELLA MULTOCIDA TYPE A
DARI TONSIL SAPI SEHAT DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT
TAHUN 2016 DAN 2017
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Anak Agung Gde Semara Putra
ABSTRAK
Pasteurella multocida (P.multocida) merupakan bakteri patogen pada ternak ruminansia dan
unggas. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh P.multocida adalah Septicaemia Epizootica
(SE) / Haemorrhagic septicaemia (HS) dan septicaemia pasteurellosis pada sapi dan kerbau,
pneumonia dan septicaemia pasteurellosis pada kambing dan domba, pneumonia, atropic rhinitis
dan septicaemia pada babi, serta fowl cholera pada unggas. P.multocida sering ditemukan sebagai
flora normal pada nasopharyng dan saluran pernapasan bagian atas. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keberadaan P.multocida pada sapi sehat. Sampel tonsil diambil dari beberapa rumah
potong hewan (RPH) di Provinsi Bali, NTB, dan NTT tahun 2016 dan 2017. Di Laboratorium
sampel tonsil dikultur pada media agar darah, koloni yang dicurigai P.multocida di subkultur untuk
pemurnian dan identifikasi lebih lanjut. Identifikasi P.multocida dilakukan berdasarkan sifat koloni,
morfologi, dan uji biokimia. Isolat Pasteurella multocida yang diidetifikasi selanjutnya dilakukan
typing dengan diuji PCR menggunakan primer spesifik untuk P.multocida type B penyebab SE
(KTSP61 dan KTT72) dan P.multocida type A (RGPMA5 dan RGPMA6). Dari 619 sampel tonsil
dapat diidentifikasi 8 P.multocida. Hasil PCR menunjukkan bahwa semua isolat P.multocida yang
diuji adalah type A, dengan memperlihatkan pita fragment sekitar 564-bp. Semua sampel negatif
P.multocida type B penyebab SE.
PENDAHULUAN
Sampel dan lokasi: sampel tonsil diambil dari sapi sehat di Rumah
Potong Hewan (RPH) di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Sampel tonsil yang
telah diambil disimpan dalam keadaan beku sampai dibawa ke laboratorium.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
67
P.multocida adalah Gram’s negatif, ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat
coccoid. Selanjutnya dilakukan uji biokimia dan gula-gula. P.multocida
yang diidentifikasi selanjutnya disimpan dalam media glycerol deef untuk
pengujian selanjutnya.
Semua PCR dilakukan dalam final volume 25ul, DNA template (50 ng)
ditambahkan ke dalam campuran PCR (volume total 25 μl) yang mengandung
1 × buffer PCR, 200 μm setiap dNTPs, 1,5 mM MgCl2, 20 pmol masing-
masing primer dan 1 unit Taq DNA polymerase. Kondisi amplifikasi adalah
sebagai berikut: denaturasi awal pada 95°C selama 10 menit; 30 siklus 94°C
untuk 1menit untuk denaturasi, aneling 55°C selama 1 menit, ektension
72°C selama 2 menit, dilanjutkan dengan PCR final step 72oC selama 10
menit. Produk yang diperkuat dipisahkan dengan gel agarose elektroforesis
(gel agarose 1,5%) dalam buffer 0,5 x TBE pada 5 v / cm selama 2 jam.
Amplifikasi PCR menghasilkan produk sebesar 564 bp untuk P.multocida
type A dan 620bp untuk P.multocida type B penyebab SE.
HASIL
Sebanyak 619 sampel tonsil yang diterima selama tahun 2016 dan
2017, tiga ratus tujuh puluh tiga (373) tahun 2016 dan dua ratus dua puluh
enam (226) tahun 2017. Dari 619 tonsil yang diuji dapat diidentifikasi 8
P.multocida, yaitu 7 isolat tahun 2016 dan satu (1) tahun 2017 (Tabel 1).
Koloni yang dicrigai P.multocida dengan ciri berwarna putih keabu-abuan,
tidak tumbuh pada media MC, tidak menghemolise darah pada media
BA, dengan pewarnaan Gram’s adalah gram’s negative, cocco-bacilli dan
kadang-kadang terlihat bipolar, catalse positif, dan oxidase positif. Hasil
PCR menunjukkan bahwa semua isolat P.multocida yang diuji adalah type A,
dengan memperlihatkan pita fragment sekitar 564-bp. Semua sampel negatif
P.multocida type B penyebab SE.
PEMBAHASAN
Pada tahun 2016 dapat diisolasi 7 P. multocida dari sampel tonsil sapi
secara klinis sehat yang diambil dari RPH Tabanan dan Gianyar semuanya P.
multocida type A, tidak ditemukan P. multocida tipe B2 (penyebab SE). Hal
ini sesuai dengan hasil Penelitian Dartini, et al., 1996, menemukan bahwa
P. multocida dapat diisolasi dari beberapa RPH yang ada di Provinsi Bali,
setelah dilakukan uji typing dengan metode indirect haemagglutinasi dan
HS antigen ELISA semua isolate yang diperoleh adalah P. multocida tipe
A bukan tipe B2 penyebab SE. Hasil penelitian Shayegh J, et al., 2010 di
Iran menemukan bahwa dari 166 sampel yang diuji dapat diidentifikasi 26
P.multocida, dua puluh dua (22) isolat dari sapi dan kerbau sehat. Diantara
22 isolat tersebut 7 isolat P.multocida type A, masing-masing satu isolate
dari sapi sehat, satu isolate dari sapi dengan pneumonia, satu isolate dari
sapi dengan mastitis dan empat (4) isolat dari kerbau sehat. P.multocida
umumnya merupakan bakteri pathogen dan dapat dideteksi pada sampel
tracheobronchial lavage sebesar 26,4% dari sapi sehat, 32,6% dari sapi
suspected sakit, dan 42,3% dari sapi sakit (Dabo S.M, 2008).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
69
dapat diisolasi dari bovine respiratory disease (BRD),. P.multocida type
A merupakan salah satu penyebab utama kasus bovine respiratory disease
(BRD) (Dabo S.M, 2008), P.multocida type A merupakan penyebab penyakit
pada hewan antara lain snuffles infeksi saluran pernapasan bagian atas pada
kelinci (Krishna S.V. et. al.2017), juga berhubungan dengan bovine pneumia,
dan P.multocida type A sering dapat diisolasi dari kasus pneumonia pada sapi
dan sapi sehat (Shayegh J, et al., 2010). Kasus penyakit saluran pernapasan
dapat berkontribusi terhapat kerugian ekonomi dan pembangunan socio-
ekonomi pada peternak (Kabeta T. et. al. 2015). Kasus penyakit yang
disebabkan oleh P.multocida type A di Provinsi Bali, NTB, dan NTT belum
pernah dilaporkan. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
patogenitas P.multocida type A.
KESIMPULAN
1. Semua isolate P.multocida yang dapat diisolasi dari tonsil sapi secara
klinis sehat dari beberapa RPH di Provinsi Bali, NTB, dan NTT tahun
2016 dan tahun 2017 adalah P.multocida type A.
2. Tidak ditemukan P.multocida type B penyebab SE.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Dabo S.M; Taylor J.D; and Confer A.W. (2008). Pasteurella multocida
and bovine respiratory disease. Animal Health research Reviews
8(2):129-150. DOI:10.1017/S1466252307001399.
Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007.
Status Haemorrhagic Septicaemia Based On Epidemiology In
Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.
Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006.
Characterisation of Pasteurella multocida Isolated from Rabbits in
the Czech Replublic. Veterinarni Medicina.51(5):278-283
Krisna S.V.; Agarwal R.K.; and Nagaleekar V.K. (2017). Capsular Typing
and antibiogram Study of Pasteurella multocida Isolates of Rabbit
Origin Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci.6(12): 4352 4357.https://doi.
org/10.20546/ijcms.2017.612.499.
Sugun MY; Kwaga JKP; Kazeem MH; Ibrahim NDG. And Turaki AU (2016)
Isolation of Uncommon Pasteurella multocida Strains from Cattle in
North Central Nigeria. J Vaccines Vaccin 7.3
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
71
SURVEILANS PENYAKIT SURRA PADA KUDA
DI JAKARTA UTARA TAHUN 2017
Inanusantri
ABSTRAK
Dalam rangka persiapan pelaksanaan Asian Games XVIII tahun 2018, telah dilakukan surveilans
pertama penyakit surra pada kuda di wilayah Jakarta Utara. Lomba ketangkasan kuda merupakan
salah satu olah raga yang di pertandingkan. Penyakit surra merupakan salah satu penyakit yang
harus bebas di areal EDFZ (Equine Disease Free Zone). Adapun kecamatan yang terdapat populasi
kuda di Jakarta Utara sebanyak 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan Koja dan
Kecamatan Kelapa Gading. Jenis sampel yang diambil berupa sample darah kuda di Jakarta Utara
pada tanggal 27 Juli 2017. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 17 sampel darah yang terdiri atas
Kecamatan Tanjung Priok 11 sampel, Kecamatan Koja 5 sampel dan Kecamatan Kelapa Gading 1
sampel. Jenis pengujian yang digunakan adalah uji Elisa yang dilaksanakan oleh Balai Veteriner
Subang. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengujian menunjukkan bahwa dari 17 sampel
yang diuji diperoleh semua sample seronegatip. Data ini menunjukkan bahwa seroprevalensi surra
pada kuda di Jakarta Utara sebesar 0%. Ini berarti tidak terdapat prevalensi antibodi penyakit surra
pada kuda yang berada di Jakarta Utara, hal ini perlu dipertahankan. Pengawasan lalulintas ternak
kuda kewilayah Jakarta Utara perlu diperhatikan, mengingat peternak sering mengganti kudanya
karena alasan ekonomi.Oleh karena itu diperlukan peran aktif dari instansi terkait untuk melakukan
sosialisasi untuk suksesnya Asian Games XVIII 2018.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
73
TUJUAN
Adapun tujuan dari surveilans pertama penyakit surra ini adalah untuk
memperoleh informasi mengenai kasus Tripanosomiasis pada kuda di Jakarta
Utara dalam rangka pelaksanaan Asian Games XVIII, karena penyakit surra
merupakan salah satu penyakit yang harus bebas di areal EDFZ ( Equine
Disease Free Zone ).
Materi
Metode
HASIL
Tanjung Priok 11 11 0 0
Koja 5 5 0 0
Kelapa Gading 1 1 0 0
Total 17 17 0 0
PEMBAHASAN
Kesimpulan
1. Seroprevalensi surra pada kuda di Jakarta Utara sebesar 0%. Ini berarti
tidak terdapat prevalensi antibodi penyakit surra pada kuda yang berada
di Jakarta Utara.
2. Wilayah Jakarta Utara bebas terhadap penyakit surra, yang berarti telah
memenuhi syarat EDFZ terhadap salah satu penyakit spesifik pada
kuda.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
77
Saran
KETERBATASAN
DAFTAR PUSTAKA
Sukanto, I.P; R.C. Payne, Saroso, H. Yusuf, S.H. dan Graydon, R., 1989..
Penyakit Hewan, Survey Parasitologik dan Serologik Trypanosomiasis
di Madura Vol.XX, No.36: 85 – 87.
Subdit Pengamatan Penyakit Hewan - Direktorat Kesehatan Hewan, Dinas Pangan, Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat
ABSTRAK
Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah bebas Rabies yang ditetapkan Menteri Pertanian
tahun 2014 namun menjadi daerah tertular Rabies serta menjadi daerah Kejadian Luar Biasa (KLB)
Rabies pada tahun yang sama sampai saat ini. Tujuan studi adalah untuk mengetahui jumlah dan
distribusi sindrom GGA di Provinsi Kalimantan Barat, mengetahui cakupan program vaksinasi
Rabies di Provinsi Kalimantan Barat, serta membandingkan data vaksinasi Rabies di iSIKHNAS
dengan data yang tersedia di Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan
Barat. Metode studi dilakukan dengan mengunduh data laporan iSIKHNAS no.392 dan no.407,
serta data dari dinas terkait, kemudian dilakukan pengolahan data menggunakan Microsoft Excel.
Hasilnya pada tahun 2017 sindrom gila galak (GGA) terlaporkan sebanyak 150 kasus gigitan dengan
kasus gigitan tertinggi dilaporkan di Kabupaten Kapuas Hulu, sedangkan di Kota Pontianak dan Kota
Singkawang tidak dilaporkan adanya kasus gigitan. Vaksinasi Rabies berdasarkan data iSIKHNAS
memiliki cakupan berkisar dari 0.017% sampai dengan 1.051%, sedangkan menurut data dinas
terkait cakupan vaksinasi berkisar dari 3.20% sampai dengan 88.67%.
PENDAHULUAN
Rabies atau yang dikenal juga dengan nama hydrophobia dan lyssa
adalah encephalitis akut yang disebabkan oleh virus dalam genus Lyssavirus
famili Rhabdoviridae, bersifat zoonosis dan hampir seluruhnya fatal tanpa
penanganan post-exposure prophylaxis (PEP) yang tepat. Rabies bermula
sekitar 3000 SM dari kata ‘rabha’ yang berarti kekejaman. Rabies adalah
salah satu zoonosis yang paling khas yang diketahui dengan baik selama lebih
dari 4300 tahun (Takayama, 2008). Rabies bagi sebagian negara berkembang
masih dinilai sebagai penyakit yang terlupakan atau disepelekan (neglected
disease) karena Rabies pada hewan dianggap tidak merugikan secara
ekonomi. Jika dikaji lebih lanjut diketahui bahwa kerugian akibat Rabies
terkait multisektor. Kerugian akibat Rabies di negara-negara berkembang
tidak hanya karena kematian anjing dan manusia. Infeksi Rabies pada ternak
di daerah pedesaan akan menyebabkan kerugian ekonomi akibat menurunnya
produktifitas dan kematian ternak. Akibatnya terjadi penurunan pendapatan
bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari peternakan (Wera et
al, 2013). Rabies juga dapat menimbulkan keresahan sosial di masyarakat,
penurunan angka kunjungan wisatawan, dan meningkatnya angka kesakitan
pada manusia. Negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum
mampu memberantas Rabies karena rendahnya prioritas terhadap penyakit
ini, baik dari kesehatan manusia maupun kesehatan hewan.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
79
Vaksinasi sebagai program utama dilakukan dengan target setidaknya
70% dari populasi anjing di wilayah endemik agar didapat kekebalan
kelompok yang cukup untuk mengendalikan penyakit rabies dan kontrol
populasi dilakukan dengan pembatasan gerak, kontrol habitat dan kontrol
reproduksi (World Health Organization, 2005). Vaksinasi pada anjing telah
menjadi program yang memberikan hasil yang berarti untuk mengendalikan
Rabies di beberapa negara endemis (Kamoltham et al., 2003, Cleaveland et
al, 2003 dan Belotto et al, 2005).
TUJUAN
Hasil
Pada tahun 2017 sindrom gila galak (GGA) merupaka sindrom prioritas
yang paling banyak dan satu-satunya yang dilaporkan melalui iSIKHNAS
seperti pada Gambar 1a. Gila galak yang dilaporkan berdasarkan adanya
gigitan anjing pada manusia yaitu sebanyak 108 kasus gigitan. Kasus gigitan
tertinggi dilaporkan di Kabupaten Kapuas Hulu, sedangkan di Kota Pontianak
dan Kota Singkawang tidak dilaporkan adanya kasus gigitan seperti terlihat
pada Gambar 1b.
80 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 1a. Grafik Laporan Sindrom Prioritas di Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2017 melalui iSIKNAS; Diagram 1b. Pie persentase
gigitan anjing di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017
Cakupan
HPR Cakupan Vaksinasi
Populasi tervaksin Vaksinasi (Data
No Kab/Kota (Data iSIKHNAS)
Anjing Dinas)
(Ekor) (%) (%)
1 Ketapang 9,869 5750 58.26 0.19
2 Melawi 9,870 4,920 49.85 0.29
3 Sintang 10,357 5,903 57.00 0.10
4 Kapuas Hulu 15,211 13,487 88.67 0.60
5 Bengkayang 29,714 950 3.20 0.16
6 Sanggau 39,341 8,868 22.54 0.17
7 Sekadau 12,101 6,808 56.26 0.41
8 Landak 53,851 23,000 42.71 0.02
9 Mempawah 16,676 4,300 25.79 0.14
10 Singkawang 5,730 2,500 43.63 0.02
11 Pontianak 4,270 1648 38.59 0.07
12 Kubu Raya 3,680 617 16.77 0.11
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
81
Cakupan
HPR Cakupan Vaksinasi
Populasi tervaksin Vaksinasi (Data
No Kab/Kota (Data iSIKHNAS)
Anjing Dinas)
(Ekor) (%) (%)
13 Kayong Utara 1,522 1,000 65.70 1.05
14 Sambas 5,925 1,000 16.88 0.12
218,117 80,751 37.02 0.37
PEMBAHASAN
Gambar 2 Peta Geografis Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017 : a. Populasi anjing; b. Jumlah Gigitan anjing; c. Insidensi gigitan anjing
Gambar 2. Peta Geografis Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017 : a. Populasi
anjing;
b. JumlahGigitan anjing; c. Insidensi gigitan
anjing
Prosiding
Penyakit
Penyidikan
Hewan
Rapat dan
Teknis
Pertemuan (RATEKPIL)
Ilmiah
82
dan Surveilans
Kesehatan
Hewan Tahun 2018
Peta populasi, jumlah kasus gigitan, dan insidensi tidak menunjukkan
adanya pola tertentu. Namun jika dapat diperoleh data pelengkap lainnya
ada kemungkinan diketahui penyebab jumlah kasus gigitan yang tergolong
banyak justru ditemukan pada daerah dengan populasi anjing yang rendah.
Demikian pula dengan insidensi kasus gigitan anjing, ada kecenderungan
insidensinya lebih tinggi di daerah Selatan daripada di daerah Barat. Data
lainnya yang perlu dilengkapi antara lain sistem pemeliharaan anjing
(diliarkan atau tidak), sikap dan perilaku masyarakat terhadap anjing di
wilayah tersebut, penggolongan penduduk berdasarkan usia, serta tujuan
pemeliharaan anjing. Data yang dilaporkan di iSIKHNAS juga sangat
dipengaruhi oleh keaktifan petugas dinas setempat di daerah tersebut
serta ada tidaknya program lain yang menjadi prioritas di daerah tersebut.
Rendahnya data program vaksinasi Rabies di iSIKHNAS dapat disebabkan
karena berbagai hal, misalnya terbatasnya kemampuan penyediaan vaksin,
kekurangan petugas vaksinasi, atau dapat disebabkan tidak dilaporkannya
vaksinasi yang dilakukan melalui iSIKHNAS.
KESIMPULAN
SARAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
83
DAFTAR PUSTAKA
Belotto, A., Leanes, L.F., Schneider, M.C., Tamayo, H., dan Correa, E., 2005.
Overview of rabies in the Americas. Virus Research 111 : 5-12.
Cleaveland, S., Kaare, M., Tiringa, P., Mlengeya, T., dan Barrat, J., 2003.
A dog rabies vaccination campaign in rural Africa: impact on the
incidence of dog rabies and human dog-bite injuries. Vaccine 21:
1965–1973.
Kamoltham, T., Singhsa, J., Prosaranee, U., Sonthon, P., Mathean, P. dan
Thinyounyong, W., 2003. Elimination of human rabies in a canine
endemic province in Thailand : five – year programme. Bulletin of the
World Health Organization 81:375-381.
Wera, E., Velthuis, A. G. J., Geong, M., Hogeveen, H., 2013, Costs of Rabies
Control: An Economic Calculation Method Applied to Flores Island,
PLoS One.; 8(12): e83654., doi: 10.1371/journal.pone.0083654.
ABSTRACT
Brucellosis is a disease of economic and reproductive disorder that is zoonotic and has an impact
on the productivity of cattle population in Madura. Laboratory UPT Livestock Breeding and Animal
Health Madura Animal Husbandry Office of East Java Province in collaboration with Veterinary
Center Wates Jogjakarta has been conducting surveillance brucellosis since 2011-2017. Madura
Island declared free against Brucellosis in cattle according to Minister of Agriculture Decree no. :
237 / Kpts. / PD.650 / 4/2015 issued on April 7, 2015, on the statement of Madura Island, East Java
Province free from bucellosis disease in Madura cattle. Surveillance in 2017 aims to monitor the
Madura region to maintain brucellosis-free status in Madura cattle, early warning system and run
a national animal health information system. Surveillance in 2017 is using the method of Sampling
for Detect Disease in four districts of Bangkalan, Sampang, Pamekasan and Sumenep. Examination
of madura cow serum samples by Rose Bengat Test (RBT) was followed by Complement Fixation
Test (CFT) and Polymerase Chain Reaction (PCR) with a target sample of 3,000 head of cattle. The
realization of implementation from January to December 2017 has been tested as many as 3,000
samples of madura calf serum with negative results of brucellosis (p <0.05) and prevalence of 0.0%
(table 1). If there is a positive test result RBT will be confirmed on BBVet Wates for CFT and PCR test.
Then the results of collaboration with Veterinary Center Wates Jogjakarta has tested as many as 1,000
tails and with the result 1000 Brucellosis negative samples (p <0,05) with prevelansi 0,0% (table 2).
Sample data processing information system using infolab as basic data isihknas 2017. To know the
potential of incident and spreading pattern after free Madura brucellosis determination using spatial
data base and map appearance descriptively combined with Data Management Investigation Mobile
(MAGPI) data system which is compatible with Geographic Information System (GIS).
ABSTRAK
Brucellosis adalah suatu penyakit ekonomi dan gangguan reproduksi yang bersifat zoonosis dan
berdampak pada produktifitas menurun populasi sapi di Madura. Laboratorium UPT Pembibitan
Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur yang bekerja sama
dengan Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta telah melaksanakan surveillence brucellosis sejak
tahun 2011-2017. Pulau Madura dinyatakan bebas terhadap Brucellosis pada sapi menurut SK
Menteri Pertanian No. : 237/Kpts./ PD.650/4/2015 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2015,
tentang pernyataan Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur bebas dari penyakit bucellosis pada sapi
Madura. Surveilans pada tahun 2017 bertujuan monitoring wilayah Madura untuk mempertahankan
status bebas brucellosis pada sapi Madura, kewaspadaan dini penyakit (early warning system) serta
menjalankan sistem informasi kesehatan hewan nasional. Surveilans tahun 2017 ini mengunakan
metode Sampling for Detect Disease di empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan
dan Sumenep. Pemeriksaan sampel serum sapi madura dengan metode uji Rose Bengat Test (RBT)
dilanjutkan dengan uji Complement Fixation Test (CFT) dan Polymerase Chain Reaction (PCR)
dengan target sampel sebanyak 3.000 ekor sapi. Realisasi penyelenggaraan dimuali bulan Januari
hingga Desember 2017 telah diuji sebanyak 3.000 sampel serum sapi madura dengan hasil negatif
brucellosis (p<0,05) dan prevalensi 0,0% (tabel 1). Jika terdapat hasil hasil uji positif RBT akan
dikonfirmasikan di BBVet Wates untuk uji CFT dan PCR. Kemudian hasil kolaborasi dengan Balai
Besar Veteriner Wates Jogjakarta telah menguji sebanyak 1.000 ekor dan dengan hasil 1000 sampel
serum negatif Brucellosis (p<0,05) dengan prevelansi 0,0% (tabel 2). Sistem informasi pengolahan
data sampel menggunakan infolab sebagai data dasar isihknas 2017. Untuk mengetahui potensi
kejadian serta pola penyebaran pasca penetapan Madura bebas brucellosis menggunakan data base
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
85
spasial dan penampilan peta secara diskriptif yang dikombinasikan dengan sistem data Manajemen
Data Investigation Mobile (MAGPI) yang sangat kompatibel dengan Geographic Information
System (GIS)
PENDAHULUAN
TUJUAN
Tujuan Surveilans :
1. Memantau dalam rangka mempertahankan Status Bebas Brucellosis
pada sapi di Pulau Madura.
2. Menghitung tingkat prevalensi brucellosis dan tindakan kuratif preventif
jika ada kasus positif brucellosis.
3. Peningkatan populasi ternak sapi potong sapi Madura sebagai ketahanan
pangan hewani.
4. Surveilans berbasis sistem informasi geografis dapat mengendalikan
penyakit brucellosis yang berpotensi zoonosis dan pencegahannya.
5. Daerah di Indonesia yang belum bebas brucellosis dan zoonosis dapat
segera melaksanakan program surveilans pembebasan wilayah.
6. Pengawasan ekonomi perdagangan melalui lalu lintas ternak yang
terdapat di Madura.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
87
MATERI DAN METODE
Materi
Materi pada Surveilans ini adalah sampel serum darah sapi diuji dengan
Rose Bengal Test (RBT) dikonfimasi dengan Complement Fixation Test
(CFT) dan Polymerase Chain Reaction (PCR) Pengujian RBT dilakukan
Laboratorium Serologi UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan
Madura dan uji konfirmasi CFT dan PCR sebagai uji konfirmasi Brucellosis
di Balai Besar Veteriner Wates
Data yang diambil pada Surveilans Brucellosis ini adalah :
- Data primer dari hasil pengujian sampel dengan Rose Bengal Test (RBT)
dan Polymerase Chain Reaction (PCR)
- Data sekunder berupa kuesioner mencakup identitas dan alamat
peternak, kepemilikan sapi serta bangsa, umur dan kelamin sapi.
Metode :
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
89
Gambar 1. PROGRAM SURVEY TOOLBOX (FreeCalc Version 2)
Ad. 4 METODE SAMPLING (Sampling Methods)
Menerapakan
“Sampling for
Detect
Disease” yakni dengan
cara
proporsive sampling atau Targeted Sampling yang ditentukan berdasarkan
risiko (Samkhan dkk, 2014) sebelumnya dan mendatangi lokasi peternak di
dusun yang terpilih, mengambil sampel serum darah pada semua kepemilikan
sapi di peternak yang terpilih tersebut serta melakukan wawancara langsung
pada peternak dengan
kuesioner.
METODE PELAKSANAAN SURVEILANS :
LAPANGAN :
1. Pengambilan sampel secara Targeted dari desa dan dusun yang terpilih.
2. Menghimpun
data
sekunder
melalui
kuesioner
dengan variable
yang
mendukung terjadinya brucellosis pada sapi.
3.
Pengambilan sampel yang
pada survei
terdahulu
positif uji
RBPT.
4. Pengambilan sampel di pasar dan tempat penampungan sapi.
5.
Daerah
yang banyak
sapi non
madura.
6. Pengambilan sampel pada daerah pelabuhan kecil yang tidak terpantau
oleh UPT Madura.
LABORATORIUM :
1. Semua
sampel serum
darah sapi
yang
diambil dilakukan
pengujian
Rose
Bengal Test (RBT) terhadap Brucellosis.
2. Dari uji RBPTyang
dinyatakan (+)
positif, uji
dilakukan konfirmasi
dengan uji
Complement
Fixation Test (CFT)
dan Polymerase
Chain
Reaction (PCR) sebagai uji konfirmasi Brucellosis di Balai Besar
Veteriner Wates
3. Daerah
yang pernah
terjadi
kasus positif
baik RBPT
maupun
CFT
dan sekitar dusun kejadian kasus, diambil ulang 3-4 minngu sesudah
dinyatakan positif oleh Laboratorium.
90 Prosiding
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA STATISTIK :
1. Analisis Data dengan menggunakan Program Statistik Student Edition
2002.
2. Data yang diambil berupa :
- Data Primer : data hasil uji RBPT
- Data Skunder : data kuesioner yang didapat sewaktu tanya jawab
dengan peternak untuk karakteristik system peternakan, sapi serta
tatalaksana pemeliharaan dan kesehatan.
3. Data Primer dan Sekunder dibuat himpunan data (dataset) secara manual
dan computerized dengan Program Infolab dan Isihknas sebagai lembar
hasil uji.
4. Data hasil pengujian diinput melalui Data Investigation Mobile
(MAGPI) yang kompatibel dengan Geographic Information System
(GIS) untuk penetapan lokasi epidemiologi brucellosis di Madura
Hasil :
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
91
Tabel 1. Lokasi Surveilans UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan
Madura
Kabupaten/ Kecamatan/ Tanggal Jenis Jenis Jenis Jumlah Diagnosa Jumlah Persentase-
No.
Kota Desa Kejadian Hewan Sampel Pengujian Sampel Laboratorium Positif Prevalensi
Arosbaya/ 20 Maret Sapi Negatif
1 Bangkalan Serum RBPT 105 0 0%
Lajing 2017 Madura Brucellosis
Arosbaya/ 21 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 74 0 0%
Lajing 2017 Madura Brucellosis
Arosbaya/ 22 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 106 0 0%
Lajing 2017 Madura Brucellosis
Arosbaya/ 23 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 60 0 0%
Belung 2017 Madura Brucellosis
Arosbaya/ 20 April Sapi Negatif
Serum RBPT 159 0 0%
Berbeluk 2017 Madura Brucellosis
Tanjung Bumi/ 16 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 151 0 0%
Tagungguh 2017 Madura Brucellosis
Tanjung Bumi/ 17 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 106 0 0%
Talango 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 18 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 97 0 0%
Bandung 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 31 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 50 0 0%
Sambian 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 31 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 36 0 0%
Sambian 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 31 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 23 0 0%
Cangkarman 2017 Madura Brucellosis
Konang/ 31 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 23 0 0%
Konang 2017 Madura Brucellosis
TOTAL
TOTAL SAMPEL BANGKALAN 990 0
POSITIF
Tambelangan/ 21 Maret Sapi Negatif
2 Sampang Serum RBPT 101 0 0%
Somber 2017 Madura Brucellosis
Pangarengan/ 22 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 159 0 0%
Panyirangan 2017 Madura Brucellosis
Sokobanah/ 30 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 95 0 0%
Sokobanah 2017 Madura Brucellosis
Camplong/ 18 Mei Sapi Negatif
Serum RBPT 75 0 0%
Batu Karang 2017 Madura Brucellosis
Sampang/ 19 Mei Sapi Negatif
Serum RBPT 63 0 0%
Bekotem 2017 Madura Brucellosis
Torjun/ 19 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 47 0 0%
Krampon 2017 Madura Brucellosis
Kedundung/ 24 Oktober Sapi Negatif
Serum RBPT 47 0 0%
Kramat 2017 Madura Brucellosis
Robatal/ 7 Novem-
Sapi Negatif
Gunung ber Serum RBPT 34 0 0%
Madura Brucellosis
Rancak 2017
TOTAL
TOTAL SAMPEL SAMPANG 621 0
POSITIF
Larangan/ 8 Februari Sapi Negatif
3 Pamekasan Serum RBPT 17 0 0%
Grujugan 2017 Madura Brucellosis
Larangan/ 9 Maret Sapi Negatif
Serum RBPT 46 0 0%
Grujugan 2017 Madura Brucellosis
Larangan/ 18 April Sapi Negatif
Serum RBPT 4 0 0%
Grujugan 2017 Madura Brucellosis
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
93
Tabel 2. Lokasi Surveilans Kolaborasi Upt Pembibitan Ternak dan
Kesehatan Hewan Madura Dengan Balai Besar Veteriner Wates
Gambar 2. Grafik Prevalensi Brucellosis Tahun 2017
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10% 0%
0% 0% 0%
0%
Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep
%Prevalensi
Pembahasan
Hasil
pemeriksaan
4.000
sampel
diinput ke
sistem
informasi
laboratorium
infolab dan masuk sebagai data dasar isihknas 2017 sebagai laporan penyakit
hewan nasional. Kemudian menghasilkan laporan hasil pengujian (LHP)
sebagai arsip untuk Laboratorium UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan
Hewan Madura dan Balai Besar Veteriner Wates Yogjakarta.
%Prevalensi
Gambar 4. Epidemiologi Data Dasar Survei Lapangan]
Gambar 5. Lembar Hasil Pengujian (LHP) Laboratorium
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
95
Gambar 6. Input Data Isihknas
Tindak lanjut dari Infolab dan Isihknas adalah dengan Sistem informasi
geografis (GIS) yang merupakan sistem informasi berbasis komputer yang
didesain untuk menghimpun, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi,
menganalisis
dan
menampilkan berbagai
bentuk
informasi dengan
referensi
geografis.
Sistem
informasi
geografis
mempunyai
kemampuan
mengolah
basis data sekaligus menampilkan informasi berkesinambungan baik secara
spasial maupun non spasial. Sehingga memakai GIS dalam surveilans
penyakit
menular strategisseperti
brucellosis
sangat dalam
menarik
sistem
informasi surveilans epidemiologi brucellosis.
Pemanfaatan
GIS dalam
surveilans
epidemiologi brucellosis
dapat
menghasilkan
data yang
disajikan dalam bentuk
spasial,
seperti
peta wilayah
termasuk sungai, rawa dan persawahan sebagai data dasar yang diperoleh
melalui pengamatan wilayah. Data non spasial seperti angka morbiditas
dan pola hidup masyarakat diperoleh melalui survei cepat kemudian diolah
menjadi peta faktor.
GIS
dilakukan pada
daerah
endemik brucellosis
dan
memiliki faktor
resiko seperti populasi
sapi
madura yang
tinggi,
pola
hidup masyarakat
yang
kurang sehat
seperti
tidak
membersihkan tangan
sehabis kontak dengan sapi dan kotorannya, pengamatan lalu lintas ternak,
perdagangan
ternak.
Penyidikan penyakit hewan menular strategis sudah selayaknya
memakai piranti lunak GIS yang akan berdampak pada peningkatan
pemanfaatan sistem informasi yang cepat dan akurat. Perangkat lunak yang
tersedia semakin beragam meliputi aplikasi MAGPI dari yang berbayar
hingga freeware tersedia. Sebaran penyakit, transmisi, statistik spasial,
dan berbagai kegiatan dapat dianalisis secara spasial dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografis dan dapat dihubungkan langsung ke Google
Map, sehingga informasi penyakit yang dihasilkan dapat lebih komprehensif.
Sistem Informasi Geografis mencakup beberapa kegiatan utama berupa input
data, manajemen basis data, proses analisis, dan penyajian data hasil, seperti
yang terlihat dalam gambar berikut ini.
96 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar
8. Tampilan Awal Magpi Input Data Dasar
Hasil data magpi surveilans brucellosis
sapi Madura seperti jumlah
populasi, penyebaran hewan dan kasus
penyakit brucellosis menghasilkan
peta penyakit. Peta penyakit akan mempermudah kita untuk membaca
pola
suatu penyakit, seperti emerging disease atau reemerging disease pada
brucellosis.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat
Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
97
Peta penyakit
hasil
surveilens brucellosis
sapi Madura
tahun
2017
Gambar 9. Kabupaten Bangkalan
Gambar 10. Kabupaten Sampang
Gambar 11. Kabupaten Pamekasan
Gambar 12. Kabupaten Sumenep
-
--
Prosiding
98 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
--
dan Surveilans
Kesehatan Hewan
Tahun
2018
-
-
KESIMPULAN
SARAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
99
LIMITASI ATAU KENDALA SURVEILANS
DAFTAR PUSTAKA
ALTON, G.G ., J .M. JONES, R .D. ANGUS and J.M. VERGER. 1988 .
Techniques for the brucellosis laboratory . Institute National de la
Recherche Agronomique . Paris . pp. 34 - 60 .
Blood, D.C. and Radostits, O.M. 1994. Veterinary Madicine. Belliere. Tindal.
Philadenphia.
OIE. 2004 . Manual standards for diagnostic test and vaccines for terrestrial
animals : Bovine Brucellosis.(internet).(diunduh 2018 april 23). Tersedia
pada : http ://www.oie.int/eng/normes/mmanual/a summry.htm
100 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KEJADIAN GOITER PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA
YANG DIDUGA DISEBABKAN OLEH TANAMAN GOITRONIK
DI WILAYAH KERJA BALAI VETERINER BUKITTINGGI
Dwi Inarsih, Katamtama Anindita, Ibenu Rahmadani, Niko Febrianto
ABSTRAK
Penyakit goiter merupakan penyakit yang muncul akibat kekurangan asupan iodium.
Kekurangan kandungan iodium bisa terjadi baik secara langsung diakibatkan oleh kandungan iodium
dalam tanah yang memang rendah maupun secara tidak langsung yang disebaabkan karena ada
faktor penghambat atau menghalangi atau mengganggu dari kerja kelenjar tiroid. Tujuan kegiatan
untuk menyelidiki kemungkinan dari penyebab pada kasus-kasus sejenis dan mempunyai kesamaan
pada ternak kambing PE (Peranakan Etawa) di beberapa wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi.
Metode yang digunakan pada kasus yang terjadi yaitu berdasarkaan anamnesa, gejala klinis, patologi
klinis dan histopatologi serta memperhatikan kondisi lingkungan sekitar kasus yang merupakan
daerah penghasil sayur seperti bunga kol, brokoli, kubis, Lobak, Sawi, bayam dll. Dimana tanaman
tersebut merupakan sumber goitronik yang tinggi. Adanya kematian pada kambing PE terutama
yang baru lahir dalam keadaan lemah yang hanya mampu bertahan hidup 1 hingga 4 minggu serta
adanya pembesaran kelenjar Tiroid. Kejadian ini terjadi berulang pada beberapa ekor kambing PE.
Daerah kasus merupakan daerah penghasil sayuran dilereng gunung marapi dan singgalang, propinsi
Sumatera barat. Dari kadaver yang mengalami pembengkaan kelenjar tiroid, setelah dilakukan
pemeriksaan histopalogi terlihat adanya hiperplastik goiter. Pada beberapa kasus yang belum
terlambat kejadiannya telah di terapi dengan mineral berupa garam beryodium pada induk selama
bunting dan pada fetus yang lahir. Serta terjadi kesembuhan pada kasus yang di tangani secara cepat
dan tepat. Kasus-kasus ini terjadi pada daerah-daerah penghasil sayuran. Dan kejadian ini terjadi
diduga karena ternak memakan tanaman yang mengandung zat Goitronik.
PENDAHULUAN
102 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
mempunyaki kasus yang sama yaitu adanya kematian pada kambing yang
disertai dengan adanya pembengkakan pada kelenjar tiroid.
Kejadian kedua pada tahun 2014 pada bulan september ada datang
kadaver kambing dengan kondisi pembesaran kelenjar tiroid dan dilakukan
nekropsi dan di lakukan prosesing histopatologi pada beberapa organ. Sampel
ini dikirim dari daerah bernama Lubuah baru desa Tobo Ladang / Guguah
Randah, kecamatan IV koto, kabupaten Agam. Yang merupakan wilayah
kerja puskeswan koto hilalang, kecamatan Ampek Angkek, kabupaten Agam.
Pada kasus kejadian kedua merupakan sampel pasif servis dimana kami tidak
bertemu langsung dengan klien.
Sementara kejadian ketiga terjadi pada tahun 2017 pada bulan september
dimana
terjadi
kematian pada beberapa ekor kambing peranakan etawa yang
sudah lahir beberapa hari maupun pada hewan dewasa. Kejadian ini terjadi
kandang
kelompok talago susu di Jorong Lapau Pajak, Nagari Pakan Sinayan,
Kecamatan IV
Koto,
kabupaten Agam. Berdasarkan
anamnesa yang
di dapat
kejadian
ini baru
terjadi
beberapa bulan
sedangkankambing
PE
yang ada
sudah dipelihara
lama, hal
yang
ditemui dilapangan
yaitu bahwa
kambing
tersebut
di beri pakan berupa daun ketela singkong. Dan dari gejala klinis
yang ada berupa pembengkaan kelenjar tiroid pada anak kambing yang baru
lahir.
Dari ketiga kasus tersebut, semuanya ditandai dengan kelahiran lemah,
bulu tidak tumbuh, pembengkakan di kelenjar tiroid pada anak kambing dan
umumnya tidak mampu bertahan hidup sampai minggu ke 4. Pada kambing
dewasa
ada juga yang menampakkan gejala pembengkakan kelenjar tiroid
akan tetapi tidak semuanya menimbulkan kematian.
Prosiding
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
103
dan Kesehatan
Surveilans Hewan
Tahun
02018
Ketiga kasus yang terjadi di Sumatera Barat, semuanya merupakan
daerah dataran tinggi yaitu lereng gunung Marapi dan Singgalang. Semuanya
merupakan daerah yang subur dan merupakan penghasil sayur – sayuran
seperti cabe, tomat, kol, kobis, sawi, terong dll. Serta sebagai penghasil
tanaman ubi singkong karena sebagai daerah wisata kuliner sanjai yang
menggunakan bahan dasar utama mayoritas adalah ubi singkong.
TUJUAN
MATERI METODE
104 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kadaver pasif service Gambaran Patologi anatomi pada
pembesaran kelenjar tiroid
Anak kambing yang mulai tumbuh Anak kambing yang sakit tidak
bulu akhirnya mati bertahan hidup lebih 4 minggu
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
105
Oedema hemorhagika pulmo (200 X) Oedema hemorhagika pulmo (400X)
106 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Dan hasil pemeriksaan histopatologi kelenjar tiroid terjadi perubahan
proliferasi epitel tiroid, masa koloid mengecil, timbunan eritrosit dalam
pembuluh darah. Dari perubahan tersebut maka diagnosa morfologinya
adalah severe kronik difuse hiperplastik goiter (seperti terlihat pada gambar
diatas).
Dan dari ketiga daerah terletak dilereng gunung Marapi dan gunung
Singgalang, propinsi Sumatera barat yang merupakan bagian dari wilayah
kerja Balai Veteriner Bukittinggi. Dimana ketiganya mempunyai kesamaan
yaitu daerah menghasil sayuran antara lain kobis, kol, brokoli dan sejenisnya.
Selain itu pada kasus ketiga yaitu di kelompok talago susu di Jorong Lapau
Pajak, Nagari Pakan Sinayan, Kecamatan IV Koto, kabupaten Agam, selain
daerahnya merupakan penghasil sayuran, kelompok tersebut juga nampak
pakan yang di berikan berupa daun ketela singkong. Dimana daun singkong
di ketahui mempunyai kandungan sianida yang cukup tinggi.
108 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang lahir. Serta terjadi kesembuhan pada kasus yang di tangani secara cepat
dan tepat.
Hal yang menarik pada kejadian ini adalah bahwa terjadi pengulangan
kasus-kasus tersebut terjadi pada sekitar bulan Agustus dan September,
bulan-bulan tersebut masuk dalam musim penghujan yang biasanya para
petani di lereng gunung Marapi dan Singgalang melakukan tanam sayur-
sayuran seperti kobis, kol, dan sejenisnya, karena pada saat itu memeng
waktu yang tepat untuk menanami sayuran dan bukan jenis tanaman seperti
cabe, tomat, dan lain sebagainya. Dan informasi dari petugas lapangan
bahwa pada kejadian kasus goiter tersebut ternak di memang beri sayuran
berupa kobis, kol, lobak dan sejenisnya oleh petani peternak.
Dalam hal ini masalah gondok dan lahir lembek pada anak kambing
dianggap sangat krusial karena kedua kelainan ini bukan hanya mengakibatkan
angka morbiditas yang tinggi, namun angka mortalitas dapat mencapai 100%
terutama pada anak kambing (cempe).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
109
DAFTAR PUSTAKA
110 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
SENSITIVITAS ISOLAT ESCHERICHIA COLI PATOGEN DARI
SWAB KLOAKA DAN ORGAN AYAM PETELUR TERHADAP
OKSITETRASIKLIN, AMPISILIN DAN KANAMISIN
Arie Khoiriyah, Ratna Ermawati
ABSTRAK
Kolibasillosis adalah penyakit infeksius pada unggas yang disebabkan oleh bakteri Escherichia
coli (E. coli) patogen sebagai agen primer ataupun sekunder. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pola kepekaan Escherichia coli penyebab kolibasillosis terhadap antibiotik Oksitetrasiklin, ampisilin
dan kanamisin pada ayam petelur di desa Gadingrejo Utara, Kecamatan Gadingrejo Kabupaten
Pringsewu. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolate E. coli patogen yang diisolasi
dari swab kloaka dan organ ayam petelur sebanyak 5 sampel. Tahap pertama pada penelitian ini
yaitu sampel diisolasi di media EMBA yang kemudian diidentifikasi dengan pewarnaan gram dan uji
biokimia dengan TSIA, TW, SCA dan MRVP. Isolat yang positif E. coli diuji kepekaannya terhadap
antibiotik oksitetrasiklin, ampisilin dan kanamisin dengan metode Kirby-Bauer dan dianalisa secara
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa 100% isolat Escherichia coli patogen asal
ayam petelur resisten terhadap ampicillin, 60% resisten terhadap oxytetracyclin dan 40% resisten
terhadap kanamycin.
Kata Kunci : Escherichia coli patogen, ayam petelur, oksitetrasiklin, ampisilin, kanamisin
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
111
Berbagai usaha untuk mengatasi kolibasilosis telah banyak dilakukan
khususnya dengan menggunakan antibiotik seperti gentamisin, kolistin,
kloramfenikol, streptomisin, doksisiklin, dan lain-lain. Pemberian antibiotika
yang tidak tepat guna untuk mengatasi infeksi E.coli dapat menyebabkan
resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut (Barus, 2013).
Isolat E. coli patogen berasal dari sampel swab kloaka, organ dan
drag lingkungan ayam petelur yang berasal dari desa Gadingrejo Utara,
Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu. Isolat diambil dari ayam
petelur yang menderita koliseptikemia yang ditandai dengan mortalitas tinggi,
menurunnya produksi telur, menurunnya kualitas telur yang ditandai dengan
tipisnya cangkang telur. Isolat E.coli yang positif diuji patogenesitasnya
dengan menyuntikkan isolat pada mencit. Setelah 24 jam mencit mengalami
kematian dan diisolasi jantungnya di media agar darah. Koloni yang tumbuh
ditanam di media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA), yang kemudian
diidentifikasi dengan pewarnaan gram dan uji biokimia dengan TSIA, TW,
SCA dan MRVP.
112 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Pada media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) koloni yang tumbuh
berwarna hijau metalik. Hasil identifikasi yang dilakukan pada uji biokimia
yaitu pada uji SIM hasil positif ditandai bakteri yang tidak bergerak hanya
tumbuh di tempat dimana sel tersebut ditanam. Pada uji Simmons’s citrate
hasil positif ditandai bakteri yang diuji negatif, sehingga bakteri tidak mampu
meningkatkan pH media yang merubah indikator brom thymol blue dalam
media dari warna hijau menjadi biru. Pada uji TSIA hasil positif ditandai
perubahan media menjadi asam dan berwarna kuning dan terlihat gas, sehingga
media bergerak ke atas. Pada uji MR-VP warna kuning menunjukkan reaksi
negatif dan warna merah menunjukkan reaksi positif. Pada uji indol, apabila
warna merah cherry pada permukaan membentuk cincin menandakan reaksi
indol positif. Berdasarkan hasil uji-uji yang digunakan untuk isolasi dan
identifikasi bakteri, maka dapat disimpulkan ayam layer tersebut mengalami
infeksi bakteri Escherichia coli (kolibasillosis).
Tabel 1. Hasil analisa uji sensitivitas (rerata zona terang dalam mm) 5 isolat
E. coli pathogen pada ayam petelur terhadap preparat ampicillin
(AMP), oxytetracyclin (OT), kanamycin (K)
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
113
Zona Hambat Antibiotika (mm)
Isolat
AMP (10 µg) OT (30 µg) K (30 µg)
Organ Ginjal (F10) 1,93 2,23 1,20
(R) (R) (R)
Organ Usus (H3) 2,3 3 3
(R) (R) (R)
Drag lingkungan (F1) 8,91 0 15,1
(R) (R) (I)
Persentase (%)
Antibiotik sensitif Intermediet Resisten
Sensitif Resistensi
Ampicillin 0 0 5 0 100
Oxytetracyclin 2 0 3 40 60
Kanamycin 0 3 2 0 40
KESIMPULAN
SARAN
KETERBATASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
115
Pada penelitian ini hanya menggunakan parameter 3 golongan
antibiotik untuk mengetahui sensitivitas E. coli patogen. Pada penelitian
selanjutnya dapat digunakan golongan antibiotik yang lain untuk mengetahui
sensitivitasny dan dapat dilanjutkan dengan uji tapis antibiotik pada produk
asal hewan untuk mengetahui kemungkinan adanya residu antibiotik .
DAFTAR PUSTAKA
Barus DO, Gelgel KTP, Suarjana IGK. 2013. Uji kepekaan bakteri
Esherichia coli asal ayam pedaging terhadap antibiotik doksisiklin,
gentamisin dan tiamfenikol. Indon Med Vet 2(5): 538545.
Luhung, YGA., Suarjana IGK, Gelgel KTP. 2017. Sensitivitas isolate E.coli
patogen dari organ ayam pedaging terinfeksi koliseptikemia terhadap
oxytetracyclin, ampicillin dan sulfametoksazol. Buletin Veteriner
Udayana. Volume 9 No.1: 60-66. pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-
2712 Pebruari 2017
116 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
UJI POSTULAT KOCH VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE
H9N2 A/CHICKEN/SIDRAP/07170094-44O/2017
Ketut Karuni Nayanakumari Natih, Nur Khusni Hidayanto, Ramlah, Cynthia Devy Irawati,
Dina Kartini, Sri Mukartini
ABSTRAK
Dalam rangka pengendalian penyakit Avian Influenza (AI) subtipe H9N2 yang menyerang beberapa
daerah di Indonesia pada akhir tahun 2015, Balai Besar Pengujian Mutu Sertifikasi Obat Hewan
mendapat tugas untuk melakukan uji pemurnian isolat A/chicken/Sidrap/07170094-44O/2017
sebagai kandidat seed vaksin dan dilanjutkan dengan uji Postulat Koch untuk membuktikan
kemurnian kandidat seed vaksin AI subtipe H9N2. Sebanyak 10 ekor ayam SPF umur 25 minggu
diinokulasi virus AI subtipe H9N2 106 EID50 secara intranasal. Pengamatan dilakukan selama 21
hari terhadap gejala klinis, produksi telur, dan asupan pakan. Pengambilan darah dilakukan pada pre
inokulasi, dan pasca inokulasi hari ke-7, ke-14 dan ke-21. Nekropsi dilakukan pada hari ke-5 dan hari
ke-21 pasca inokulasi. Re-isolasi dilakukan dengan menginokulasi suspensi limpa dan oviduct pada
TAB SPF umur 10 hari. Gejala klinis terlihat adanya diare pada hari pertama, perubahan pada bentuk
dan ukuran telur pada hari ke-3, penurunan asupan pakan pada hari ke-4 dan penurunan produksi
telur menjadi 66.07 % pada 2 minggu pasca inokulasi. Secara PA ditemukan adanya hyperemia
pada trachea, pneumonia, hati rapuh dan kekuningan, hemoragi pada indung telur, penimbunan
cairan putih telur pada oviduct dan vasa injeksi pada otak. Hasil histopatologi menunjukkan adanya
tracheitis, pneumonia hemoragika, hepatitis, salphingitis dan perivascular cuffing dan vaskulitis pada
otak. Hasil uji HI pre inokulasi menunjukkan negatif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2,
H5N1 dan ND, sedangkan pada pasca inokulasi menunjukkan positif antibodi terhadap antigen AI
subtipe H9N2 dan negatif antibodi terhadap antigen AI H5N1 dan ND. Re-isolasi menunjukkan
hasil murni virus AI subtipe H9N2. Uji stabilitas menunjukkan hasil yang stabil dari sampel master
seed, working seed dan Postulat Koch yang homolog 100% pada nukleotida dan asam amino.
Berdasarkan hasil uji Postulat Koch tersebut membuktikan bahwa virus AI subtipe H9N2 A/chicken/
Sidrap/07170094-44O/2017 yang sudah murni AI subtipe H9N2 bisa dijadikan sebagai seed vaksin.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
117
sama dengan beberapa penyakit akibat virus lain. Virus AI subtipe H9N2
ini telah ada pada akhir tahun 2015, tapi banyak dilaporkan pada tahun 2017
sehingga menjadi perhatian Pemerintah untuk mendapat penanganan khusus.
Tujuan
Bahan yang digunakan dalam uji Postulat Koch (PK) adalah 20 ekor
ayam Spesific Pathogen Free (SPF) umur 25 minggu dengan produktivitas
telur kurang lebih 85%, isolat virus AI subtipe H9N2 A/chicken/
Sidrap/07170094-44O/2017, antigen AI subtipe H9N2, antigen H5N1 (AI
clade 2.1.3 A/chicken/West Java-Subang/29/2007 dan AI clade 2.3.2 strain
A/duck/Sukoharjo/BBVW1428-9/2012, antigen Newcastle Disease (ND),
TAB SPF umur 9-10 hari, Phosphate Buffer Saline (PBS), sel darah merah
dari ayam SPF, media virus, formalin 10%, organ limpa dan oviduct yang
diambil dari ayam pada hari ke-5 pasca inokulasi virus. Reagen ekstraksi
Polymerase Chain Reaction (PCR), primer H9N2 (AAHL In House ,
Fereidouni et al, 20019) dan sequencing.
Gambar 1. Rataan Produktivitas Telur
Hasil titer antibodi uji Postulat Koch dapat dilihat pada Tabel 1. Titer
antibodi pre inokulasi
menunjukkan
negatif
antibodi
terhadap antigen AI
subtipe H9N2,
H5N1 dan ND
yaitu <8,
sedangkan pada
pasca
inokulasi
Penyakit
Rapat
dan
Prosiding Penyidikan
Hewan Teknis
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL) 119
menunjukkan positif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2 dengan
nilai titer >16. Titer antibodi pasca inokulasi juga negatif antibodi terhadap
antigen AI H5N1 dan ND. Pada Gambar 2 terlihat rataan titer antibodi yang
meningkat dari minggu ke-1 sampai ke-3 pasca inokulasi,yaitu sebesar
198.86 menjadi 416 dan 2176.
Tabel 1. Hasil Titer Antibodi Uji Postulat Koch dengan Uji Hambatan
Hemaglutinasi
2500.00
2176
2000.00
1500.00
1000.00
500.00 198.86 416
0.00
Minggu ke 1 Minggu ke 2 Minggu ke 3
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
121
sama. Pada asam amino nomor 234 diperoleh Leusin (L) dan asam amino
nomor 236 diperoleh Glysine (G). Analisis asam amino pada Cleavage Site
(CS) dari ketiga sampel menunjukkan hasil yang sama yaitu pada asam
amino nomor 333 – 338 adalah PSRSSR yang bersifat monobasic yang
menunjukkan bahwa ketiga sampel merupakan LPAI.
No Sampel H9 N2
PEMBAHASAN
Nekropsi dilakukan pada hari ke-5 saat masa inkubasi virus AI subtipe
H9N2 untuk melihat perubahan pada organ tubuh. Hasil patologi anatomi
adalah ditemukan adanya hiperemia pada trakhea, pneumonia, hati rapuh
122 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
dan kekuningan, hemoragi pada indung telur, penimbunan cairan putih telur
pada oviduct dan vasa injeksi pada otak. Perubahan itu adalah khas pada
ayam layer yang terserang oleh virus AI subtipe H9N2. Virus AI subtipe
H9N2 merupakan jenis virus influenza yang bersifat LPAI, meskipun tidak
mematikan akan tetapi dapat menyebabkan penurunan kekebalan tubuh
unggas dan kerusakan pada beberapa organ (Anonim 2017)
Pengambilan darah pre inokulasi untuk mengetahui titer awal dari ayam
yang akan diinokulasi dengan virus AI subtipe H9N2. Hasil titer antibodi
pre inokulasi negatif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2, H5N1 dan
ND. Hasil ini menunjukkan bahwa kelompok ayam yang digunakan bebas
dari paparan virus AI subtipe H9N2, H5N1 dan ND. Nilai titer antibodi
pasca inokulasi positif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2 dengan
nilai titer ≥16, negatif terhadap antigen H5N1 dan ND. Nilai titer antibodi
meningkat dari 1 minggu sampai 3 minggu pasca vaksinasi dengan rataan
198.86 menjadi 416 dan 2176. Menurut Hadipour et al 2011, titer antibodi
yang positif menandakan bahwa dalam tubuh hewan terdapat antibodi yang
menunjukkan telah terjadi infeksi atau paparan virus AI subtipe H9N2 pada
tubuh hewan. Nilai titer antibodi meningkat diperoleh dari sistem pertahanan
tubuh yang merespon paparan virus AI yang diinokulasi.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
123
ketiga sampel menunjukkan hasil yang sama yaitu pada asam amino nomor
333 – 338 adalah PSRSSR yang bersifat monobasic yang menunjukkan
bahwa ketiga sampel merupakan virus LPAI.
KESIMPULAN
124 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Hasil uji HI pre inokulasi menunjukkan negatif antibodi terhadap
antigen AI subtipe H9N2, H5N1 dan ND, sedangkan pada pasca inokulasi
menunjukkan positif antibodi terhadap antigen AI subtipe H9N2 dan negatif
antibodi terhadap antigen AI H5N1 dan ND.
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
125
Swayne DE, Halvorson DA. 2008. Influenza In: Saif,YM; Barnes HJ; Fadl
AM; Glisson JR; McDougald LR and Swayne DE (Eds). Disease of
poultry. (12th Edn). Ames Iowa State University Press. 153-184.
126 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
APLIKASI KUNING TELUR UNTUK MENDETEKSI ANTIBODI
PENYAKIT PADA UNGGAS
Rama Dharmawan1; Rina Astuti Rahayu2
ABSTRAK
Pada peternakan ayam layer umumnya memiliki riwayat vaksinasi yang panjang, dan beberapa
vaksin tentu telah mengalami boster beberapa kali, namun dalam beberapa kasus peternak tidak
mengijinkan ayamnya untuk diambil sampel darahnya, oleh karena itu harus ada solusi untuk
mendapatkan serum tanpa harus mengambil darah unggas, metode ini bertujuan untuk memisahkan
antibodi (IgY) dari kuning telur melalui prosedur presipitasi (Polson et al.; 1980). Ada dua langkah
penting dalam memisahkan IgY. yang pertama adalah pengangkatan lipid dan yang kedua adalah
presipitasi total IgY dari supernatan. Setelah dialisis terhadap buffer (biasanya PBS), Kemurnian
ekstrak kuning telur sekitar 80% dan tergantung pada umur ayam petelur (Diana Pauly et al ; 2011).
Hasil ekstraksi kuning telur akan diperoleh serum yang dapat diaplikasikan untuk pengujian HI
test titer virus, pada pengujian kali ini menggunakan 45 telur ayam layer dari 9 peternak atau setiap
peternak memberikan 5 butir telur untuk dilakukan Empat jenis pengujian antibodi penyakit terhadap
AI H5 clade 2.1.3 dan 2.3.2 , ND dan AI H9N2., dari pengujian tersebut diperoleh hasil sebagai
berikut dari perternak 1-9 semua terdeteksi antibodinya, dan variasi titer antibodi yang di peroleh
adalah 0 – 256 untuk AI H5 calde 2.1.3 ; 0 – 128 untuk AI H5 clade 2.3.2; 8 – 2048 untuk AI H9N2
dan 2 - 512 untuk penyakit ND, namun rata-rata diperoleh umumnya memiliki titer antibodi tinggi
atau ≥ 16 pada ke empat pengujian.
Kesimpulan dari hasil tersebut maka penggunaan serum dari kuning telur untuk deteksi antibodi
penyakit penyakit AI dan ND dan dapat dikembang untuk penyakit lain seperti pulorum, EDS dan IB
Kata Kunci : Boster, Antibodi, Lipid, AI H5 clade 2.1.3 dan 2.3.2 , ND dan AI H9N2
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
127
Protein pada kuning telur terdiri dalam dua bagian yaitu granula dan
plasma. Protein granula tersusun atas α dan β lipovitellin (70%), phosvitine
(16%) dan lipoprotein dalam takaran rendah (12%) (Burley & Cook, 1961).
Beberapa protein ini berfungsi sangat penting karena karakteristik (Baldwin,
1986). Pada Protein plasma terdiri dari α, β dan γ-livetins dengan tingkat
protein rendah (McCully et al., 1962). Protein α dan β livetin ini diidentifikasi
mirip serum ayam yang terkadung didalam telur di bagian albumin dan α
2-glikoprotein (Hatta et al., 1990). γ-livetins adalah imuno globulin ayam,
yang disekresikan dari plasma darah ke dalam folikel telur telah masak
(L¨osch et al., 1986). Bahkan, immunoglobulin pada kuning telur sesuai
dengan imunoglobulin IgG serum darah dan dikenal sebagai IgY (Leslie &
Clem, 1969). Sedangkan imunoglobulin pada serum darah, yang lain Ig M
dan Ig A, dapat ditemukan dominan dalam putih telur (Rose et. Al., 1974)
Tujuan
Materi
Telur ayam yang diperoleh dari peternakan ayam layer di daerah Jawa
Tengah, yang di peroleh dari 9 peternak yang diambil 5 butir telur per
peternak sehingga diperoleh total sampel telur 45 butir, semua telur hanya di
berikan kode Peternak 1-9 dan dalam beberapa variasi umur. Peternak yang
memberikan telurnya adalah peternak yang diduga mengalami penurunan
produksi telur 90/40
Metode
HASIL
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
129
Graph 3 korelasi antara pengujian serum kuning telur terhadap 5 antigen AI
H5N1, AI H9N2 dan ND
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
131
KESIMPULAN DAN SARAN
Kajian ini masih terbatas untuk pengujian penyakit AI dan ND, sehingga
perlu kedepannya untuk memvalidasi hasil yang yang di peroleh dan untuk
penyakit yang lain mungkin juga bisa untuk digunakan baik dengan pengujian
HI test maupun Elisa.
DAFTAR PUSTAKA
132 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
LESLIE, G. A. & CLEM, L. W. (1969) Phylogeny of immunoglobulin
structure and function. III.
L¨O SCH, U., SCHRANNER, I., WANKE, R. & J¨U RGENS, L. (1986)
The chicken egg, an antibody source, Journal of Veterinary Medicine
Series B Infectious Diseases and Veterinary Public Health, 33, 609–
619.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
133
BRUCELLA MELITENSIS: RESPON SEROLOGIS TERHADAP
KAMBING YANG MENDAPAT INFEKSI BUATAN DENGAN
KUMAN BRUCELLA MELITENSIS BIOVAR 1
Siswani1, Rosmiaty2 , Titis F.D1, Muflihanah1
ABSTRAK
Brucellosis pada ruminansia kecil, khususnya kambing dan domba merupakan penyakit menular
yang sangat penting terutama dari aspek kesehatan masyarakat (Public health) mengingat penyakit
ini menyebabkan dampak zoonosis yang tinggi berupa kematian pada manusia. Penyebab utama
brucellosis pada kambing domba disebabkan oleh kuman Brucella melitensis. Brucellosis ini
menyebakan kerugian ekonomi yang besar, antara lain terjadinya keguguran, ternak lahir lemah,
penurunan produksi susu dan peradangan pada persendian
Di Indonesia status kejadian brucellosis pada kambing dan domba belum banyak diketahui atau
dilaporkan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang epidemiologi
penyakit, dampak zoonosis dan ekonomi yang disebabkan oleh brucellosis dan juga keterbatasan
pemahaman tentang metode diagnosis penyakit ini. Keterbatasan bahkan ketidaktersedianya data
tentang kejadian penyakit ini di Indonesia berdampak pada terhambatnya perdagangan internasional
terutama dalam proses ekportasi komoditas ternak kambing dan domba dimana negara pengimport
mempersyaratkan tentang status brucellosis di tingkat negara maupun individu ternak.
Hasil penelitian menunjukkan titer antibodi kambing yang diifeksi kuman Brucella melitensis
muncul pada minggu ke-2 pasca infeksi dengan titer CFT 4/8. Titer antibodi kambing mencapai
puncak pada minggu ke-11, yaitu 4/256 titer CFT, dan mulai terjadi penurunan titer pada minggu
ke-28.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
135
Uji Serologis Brucellosis
Sampel serum diuji secara serologis, yaitu dengan metode RBT dan
CFT sesuai dengan prosedur standard OIE. Dalam pengujian RBT digunakan
antigen AHVLA, UK yang berisi kuman Brucella abortus namun antigen
ini lebih sensitif untuk ruminansia kecil, seperti kambing/domba. Untuk
prosedur uji RBT pada kambing/domba sesuai dengan standard OIE sedikit
dimodifikasi perbandingan antara antigen dengan antibodi, yaitu 1:3 (25 µl:75
µl), hal ini berbeda dengan uji RBT pada ternak sapi dimana perbandingan
antigen dengan antibody 1:1. Untuk prosedur uji CFT tidak ada perubahan
dengan prosedur pengujian sampel sapi, namun untuk inaktivasi serum pada
waterbath sedikit ditingkatkan suhunya, yaitu sekitar 60-62⁰ Celsius untuk
meminimalisir cross reaksi.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
137
Interpretasi hasil
Hasil reaksi fiksasi sempurna (reaksi 4+) akan terlihat adanya endapan
eritrosit di dasar plate sedangkan supernatannya jernih atau tidak berwarna.
Reaksi negatif (dinilai dengan 0), ditandai dengan adanya lysis sempurna,
kita tidak akan melihat adanya endapan eritrosit sedangkan supernatan akan
berwarna merah (haemoglobin). Variasi derajat lysis tidak sempurna dinilai
dengan 1+, 2+ dan 3+. Pada kolom kontrol anti-komplementer akan terlihat
adanya haemolysis sempurna.
HASIL
Rose Bengal Test (RBT). Sebanyak 280 sampel serum kambing yang
diuji dengan metode RBT yang telah dimodifikasi dengan menggunakan
antigen AHVLA, yaitu antigen RBT standard yang lebih sensitif untuk
kambing dan domba.
138 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Hasil pengujian RBT dan CFT, munculnya titer antibodi dapat
dilihat pada tabel berikut
Minggu Minggu
No.Epi Jum. Sampel
Ke (RBT) Ke (CFT)
Hitam (01) 40 2 2
Merah (02) 40 2 2
Putih Bintik (03) 40 2 2
Putih (04) 40 Neg Neg
Coklat (Kontrol Negatif) (05) 40 Neg Neg
Hitam (Kontrol Negatif) (06) 40 Neg +2
Pincang (Kontrol 40 Neg
Negatif) (07)
PC AHVLA 1 +1 +1
NC AHVLA 1 Neg Neg
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
139
itu pengujian serologis menjadi sangat penting dalam mendignosa penyakit.
Rose Bengal Test (RBT) dan Complement Fixation Test (CFT) merupakan
uji yang umum digunakan dalam mendiagnosa brucellosis pada kambing dan
domba (Farina, 1985;Alton, 1990; MacMilan,1990) dan pengujian ini diakui
untuk kepentingan perdagangan internasional (OIE,2008) meskipun uji
serologis lainnya, seperti iElisa, cElisa, FPA, Coombs test dapat digunakan.
140 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
B.melitensis akan tetap tinggal dalam tubuh inang dalam jangka waktu lama.
Dengan demikian proses pembelahan sel B dan produksi antibody terus
berlangsung dan dapat dideteksi oleh uji serologis (Tizard, 1982).
RBT dan CFT adalah metode yang sudah umum dikenal dalam
mendiagnosa B.abortus pada sapi, namun uji ini direkomendasikan secara
internasional untuk digunakan dalam mendiagnosa B.melitensis pada
kambing dan domba, hanya saja memerlukan modifikasi dalam teknik
pengujian untuk meningkatkan sensitifitasnya (Blasco et al, 1994a; 1994b).
Sebagai screening test, RBT untuk mendiagnosa B. melitensis memiliki
sensitifitas yang rendah, hal ini terkait dengan standardisasi antigen
yang digunakan dalam pengujian B. melitensis. Rekomendasi dari Uni
Eropa menyebutkan bahwa suspensi antigen dalam buffer lactat pada pH
3,65±0,05 yang mampu mengaglutinasi pada pengenceran 1:47,5 (21 IU/
ml) standard internasional antiserum B. abortus tetapi memberikan reaksi
negatif pada pengenceran 1:55 (18,2IU/ml) dari serum yang sama (Council
Directive 64/432/EEC, 1964). Gambaran standardisasi ini lebih cocok
diterapkan untuk mendiagnosa infeksi B.abortus pada sapi (MacMillan,
1990) sehingga sensitifitasnya menurun pada pengujian untuk mendiagnosa
B. melitensis pada kambing dan domba (Falade, 1978,1983; Blasco 1994
a). Untuk meningkatkan sensitifitas pengujian secara signifikan khususnya
Rose Bengal Test (RBT) maka dilakukan modifikasi dengan meningkatkan
volume serum dari 25µl menjadi 75 µl (Blasco, 1994). Hal ini sejalan dengan
pengujian RBT pada serum kambing yang dilakukan di Balai Besar Veteriner
Maros, demikian juga dengan uji Complement Fixation Test (CFT) yang
banyak digunakan sebagai uji konfirmasi pada sapi namun pengujian ini juga
efektif untuk diagnosa pada kambing dan domba (Farina, 1985;MacMilan,
1990; Alton, 1990). Namun ada beberapa kelemahan pada saat melakukan
pengujian CFT pada sampel serum kambing dan domba didapatkan hasil
sensitifitas pengujian CFT (88,6%) lebih rendah disbanding dengan RBT
(92,1%) (Blasco, 1994a,b), selain itu pengujian CFT memiliki kompleksitas
dalam pengujian, variabilitas reagen, prozones, aktivitas anticomplementary
dari serum, dan subjektivitas dalam penentuan titer antibodi. Oleh karena itu
penggunaan dua metode uji serologis secara bersama-sama diperlukan dalam
mendiagnosa B. melitensis pada kambing dan domba untuk mendapatkan
sensitivitas yang lebih tinggi selain penggunaan kontrol serum standard dan
antigen yang sesuai dan lebih sensitif (European Commission, 2001).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
141
internasional. Serum standard internasional adalah standard referensi primer
yang bertindak sebagai bahan referensi untuk melakukan kalibrasi metode
uji dan bahan serta sebagai prototype yang akan digunakan untuk kalibrasi
secara nasional. Rekomendasi OIE saat ini adalah bahwa setidaknya ada tiga
standard serum yang harus diproduksi, yaitu serum standard positif kuat,
serum standard positif lemah dan serum standard negatif. Serum standard
tersebut harus dihasilkan dari hewan yang menunjukkan respon imun yang
khas.
DAFTAR PUSTAKA
Alton,G.G, 1990. Brucella melitensis. In: Nielsen, K. and J.R. Duncan (Ed),
Animal Brucellosis. Florida: CRC Press, Inc.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
143
OPTIMASI PROGRAM AMPLIFIKASI RT-PCR PENYAKIT
JEMBRANA PADA GEN GAG SECARA UTUH UNTUK
SEKUENSING DAN ANALISIS GENETIK
Angeliya L dan Srihanto E. A.
ABSTRAK
Penyakit Jembrana disebabkan oleh lentivirus dari fam.ilia retroviridae. Wabah penyakit
Jembrana saat ini terjadi di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Sebanyak 21 kabupaten/kota
sudah terkonfirmasi positip penyakit Jembrana. Virus penyakit Jembrana menyandi 3 gen utama
yaitu gag, pol dan env. Pengujian telah dilakukan secara molekuler menggunakan tehnik RT-PCR
pada gen gag secara parsial. Data dan penelitian awal tentang gen gag secara utuh masih sangat
kurang. Penelitian ini bertujuan memperoleh suhu annealing yang optimal pada gen gag secara utuh
yang nantinya akan digunakan untuk sekuensing dan analisis genetik. Primer yang digunakan pada
gen gag sepanjang 1311 bp dibagi dalam 3 region. Desain primer dilakukan dengan perangkat lunak
Primer3 dan terbagi menjadi 3 region dengan 1 pasang primer pada masing-masing region. Panjang
amplikon yang didapatkan yaitu 468 bp, 719 bp dan 638 bp. Annealing masing-masing region pada
suhu 500C, 530C, 550C, 580C, 600C, 630C dan 650C. Optimasi program RT-PCR penyakit Jembrana
gen gag berjalan dengan baik. Suhu annealing optimal untuk region 1, 2 dan 3 adalah 530C, 550C
dan 600C. Primer tersebut dapat digunakan untuk melakukan sekuensing dan analisis genetik virus
Jembrana.
PENDAHULUAN
144 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Virus Penyakit Jembrana menyandi 3 gen yaitu gag, pol dan env.
Gen gag dalam virus penyakit jembrana merupakan gen yang conserve
sehingga potensial sebagai target amplifikasi. Sub unit capsid pada gen
tersebut menyandi protein mayor dan antigen yang bersifat imunodominan
serta bereaksi positif dengan antibodi hewan yang terinfeksi virus penyakit
Jembrana. Gen gag subunit capsid sering digunakan sebagai sumber vaksin
dan untuk deteksi serologik penyakit Jembrana (Barboni et al., 2001; Burkala
et al., 1998; Hartaningsih et al., 1994; Kertayadnya et al., 1993). Data dan
penelitian awal tentang gen gag secara utuh masih sangat kurang sehingga
primer didisain secara utuh sebagai langkah awal dalam analisa genetik.
TUJUAN
MATERI
Primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA didesain oleh Eko Agus
Srihanto menggunakan perangkat lunak Primer3. Primer spesifik untuk virus
Jembrana dengan target gen Gag utuh sepanjang 1311 bp terbagi dalam 3
region. Primer yang didesain memiliki produk amplikon 476, 718 dan 636
bp pada masing-masing region. Sekuens primer yang digunakan dapat dilihat
di Tabel 1.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
145
Tabel 1. Sekuens primer yang digunakan
METODE
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
147
Gambar 1. Hasil optimasi program amplifikasi RT-PCR Virus Jembran gen
Gag primer Region 1
Keterangan : M : marker; 1&2: suhu 530C; 3&4: suhu 550C; 5&6: suhu
580C; 7&8: suhu 600C; 9&10: suhu 630C; 11&12: suhu 650C;
13: Kontrol negatif (plasma sapi sehat); 14: Kontrol negatif
(plasma sapi BVD); 15: NTC (Non Template Control)
148 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Keterangan : M: marker; 1&2: suhu 500C; 3&4: suhu 530C; 5&6: suhu
550C; 7&8: suhu 560C; 9&10: suhu 580C; 11&12: suhu 600C;
13: Kontrol negatif (plasma sapi sehat); 14: Kontrol negatif
(plasma sapi BVD); 15: NTC (Non Template Control)
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
149
DAFTAR PUSTAKA
Barboni, P., Thompson, I., Brownlie, J., Hartaningsih, N. and Collins, M.E.
2001. Evidence for the presence of two bovine lentiviruses in the
cattle population of Bali. J. Vet. Microbiol. 80: 313-327.
Cateno-Anolles, G., Bassam, B.J and Gresshoff, P.M. 1991. High resolution
DNA amplification fingerprinting using very short arbitrary
oligonucleotide primers. Biotechnology. 9 : 553-557
Pestana, E.A., Belak, S., Diallo, A., Crowther, J.R., Viljoen, G.J. 2010. Early,
Rapid and Sensitive Veterinary Molecular Diagnostics – Real Time
PCR Applications. New York. LondonSpringer Dordrecth Heidelberg.
150 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEWARNAAN IMMUNOPEROXIDASE (IPX) PADA BIAKAN
SEL MADIN-DARBY BOVINE KIDNEY (MDBK) SEBAGAI
SALAH SATU UPAYA UNTUK MENDAPATKAN ISOLAT
LOKAL VIRUS BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD)
Suryo Purnomo Edi, Lukman, Afif Ibrahim, Trian Mahawan, Sodirun
ABSTRAK
Bovine Viral Diarrhea (BVD) adalah salah satu penyakit viral yang dapat menurunkan
reproduksi dan produktifitas pada sapi. Berdasarka pengujian secara laboratoris, penyakit BVD
telah menjangkiti sapi-sapi di wilayah kerja Balai Veteriner Subang. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan isolat lokal asal Provinsi Jawa Barat. Sebanyak 9 serum sapi yang pada pengujian
sebelumnya menggunakan Antigen Capture ELISA (ACE) dinyatakan positif antigen virus BVD,
digunakan sebagai sampel pada penelitian ini. Sampel berasal dari Provinsi Jawa Barat yang diambil
pada tahun 2016 dan 2017. Sampel diinokulasikan ke biakan sel Madin-Darby Bovine Kidney
(MDBK). Pewarnaan Immunoperoxidase (IPX) digunakan untuk menentukan adanya infeksi virus
BVDV pada biakan sel MDBK. Sebagai uji konfirmasi digunakan metode polymerase chain reaction
(PCR). Dari 9 sampel yang diuji didapatkan 2 sampel positif BVD dan juga menjadi isolat lokal virus
BVD. Penerapan metode isolasi virus BVD di Balai Veteriner sangatlah penting mengingat metode
tersebut menurut OIE merupakan gold standard pengujian diagnostik terhadap BVD. Isolat lokal
virus BVD tersebut selanjutnya perlu dikarakterisasi lebih lanjut dan dapat digunakan sebagai bahan
biologis untuk lebih memahami virus BVD yang bersirkulasi di Indonesia.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
151
Hal utama yang perlu diwaspadai pada infeksi virus BVD adalah
adanya infeksi persiten (IP). Sapi dengan IP menjadi sumber penularan
virus BVD di dalam suatu peternakan. Sapi IP akan mengeluarkan virus
sepanjang hidupnya yang akan menyebabkan infeksi virus BVD akan tetap
ada di peternakan tersebut (Lanyon et al., 2014). Virus BVD terbagi dalam
dua biotipe, yaitu non-cytopathogenic (NCP) and cytopathogenic (CP),
berdasarkan efeknya pada kultur sel (Gamlen et al., 2010). Adanya virus
BVD dengan biotipe NCP dalam suatu peternakan dapat menjadi salah satu
tanda bahwa di peternakan tersebut terdapat sapi dengan IP. Karena sumber
penularan virus BVD NCP adalah sapi IP (Brownlie, 1990). Program untuk
mengendalikan infeksi BVD sebagian besar adalah dengan menghilangkan
sapi IP pada suatu peternakan (Linberg dan Alenius, 1999).
TUJUAN
Sampel
Isolasi virus
Pewarnaan IPX
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
153
diamati menggunakan mikroskop inverted. Hasil positif ditunjukkan dengan
adanya presipitat berwarna merah pada sitoplasma kultur sel MDBK.
RT-PCR
HASIL
Dari sembilan sampel dengan perincian lima sampel berasal dari tahun
2016 dan empat sampel berasal dari tahun 2017 yang diuji, sejumlah dua
sampel menunjukkan hasil positif pada pewarnaan immunoperoxidase (IPX).
Hasil yang sama ditunjukkan oleh pengujian RT-PCR (Tabel. 3).
154 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
155
Biotipe virus BVD sangat penting untuk diketahui. Biotipe virus BVD
ada dua, yaitu non-cytopathogenic (NCP) dan cytopathogenic (CP). Biotipe
tersebut berdasarkan efek yang ditimbulkan oleh virus BVD pada kultur
sel. CP akan menimbulkan apoptosis pada kultur sel sedangkan NCP tidak
(Gamlen et al., 2010). Pada penelitian kali ini didapatkan isolat virus BVD
dengan biotipe NCP (Tabel. 3). Hasil isolasi kemudian dikonfirmasi dengan
pengujian RT-PCR terhadap virus BVD menunjukkan hasil yang sesuai
(Gambar. 2). Adanya virus BVD NCP menunjukkan bahwa di peternakan
sapi tersebut terdapat sapi dengan infeksi persisten (IP) karena sumber
penularan dari virus BVD NCP adalah sapi IP (Browlie, 1990). Virus BVD
NCP menjadi penyebab infeksi akut dan dapat ditularkan melalui berbagai
macam cairan tubuh seperti leleran hidung, urin, susu, semen, air liur, air mata
dan cairan ketuban (Meyling et al., 1990). Pada sapi yang tidak bunting dan
tidak memiliki imunitas terhadap virus BVD, NCP BVD akan menyebabkan
infeksi akut, menimbulkan viremia hingga antibodi terbentuk (Howard,
1990). Infeksi akut akan berdampak pula pada sistem reproduksi yang akan
menyebabkan turunnya conception rates (Mc Gowan et al., 1993), aborsi
dan kelainan kongenital (Sprecher et al., 1991). Pada sapi pejantan akan
menyebabkan penurunan densitas dan motilitas serta akan meningkatkan
abnormalitas sperma (Paton et al., 1989). Infeksi pada sapi betina bunting
setelah hari ke tigapuluh dan selama trimester pertama kebuntingan akan
melahirkan pedet dengan IP (Brownlie et al., 1998). Infeksi antara 80-150
hari kebuntingan akan menyebabkan kelainan teratogenik terhadap fetus
(Brown et al., 1974). Sapi indukan non-IP yang membawa fetus dengan IP
dikenal sebagai sapi “Trojan”. Induk tersebut nampak kebal terhadap virus
BVD dan nampak sehat, pada kenyataannya menyimpan sumber potensi
infeksi virus yaitu di dalam pedet yang belum lahir. Sekali pedet itu lahir
maka maka akan menyebarkan virus BVD dalam jumlah besar (Brownlie et
al., 1998).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
157
Gambar 2. Hasil RT-PCR dengan produk 285 bp, (A) sampel tahun 2016
(1: Marker 100 bp, 2 : 0816399/046, 3 : 0816339/047, 4 :
0816439/007, 5 : 0816439/010, 6 : 0816627/179, 7 : kontrol
negatif, 8 : strain Singer, 9 : 0475-WI ); (B) untuk sampel tahun
2017 (1 : Marker 100 bp, 2 : 0817381/053, 3 : 0817529/008, 4
: 0817542/005, 5: 0817545/112, 6 : kontrol negatif, 7 : strain
Singer, 8 : 0475-WI)
Pada penelitian ini berhasil mendapatkan dua isolat lokal virus BVD asal
provinsi Jawa Barat (0816627/179 dan 0817545/112). Kedua isolate virus
BVD tersebut termasuk dalam virus NCP BVD.Balai Veteriner Subang telah
berhasil melaksanakan metode diagnostik isolasi dan identifikasi virus BVD.
Isolat virus BVD yang diperoleh perlu dikarakterisasi lebih lanjut (genotipe,
subgenotipe, dan lain-lain). Isolat virus BVD dapat digunakan untuk bahan
biologis pengujian laboratoris seperti menjadi antigen untuk pengujian
Serum Neutralization Test (SNT) untuk lebih memahami virus BVD yang
bersirkulasi di Provinsi Jawa Barat dan di Indonesia pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Becher, P., Thiel, H.J., 2011. Pestivirus (Flaviviridae). In: Tidona, C.A.,
Darai, G. (Eds.), Springer Index of Viruses, Second Ed. Springer
Verlag, Heidelberg, Germany, pp. 483–488.
158 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Brown, T.T., deLahunta, A., Bistner, S.I., Scott, F.W., McEntee, K., 1974.
Pathogenetic studies of infection of the bovine fetus with bovine viral
diarrhoea virus. I. Cerebellar atrophy. Veterinary Pathology 11, 486–
505.
Brownlie, J., Hooper, L.B., Thompson, I., Collins, M.E., 1998. Maternal
recognition of foetal infection with bovine virus diarrhoea virus
(BVDV) – The bovine pestivirus. Clinical and Diagnostic Virology
10, 141–150.
Driskell, E.A., Ridpath, J.F., 2006. A survey of bovine viral diarrhea virus
testing in diagnostic laboratories in the United States from 2004 to
2005. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 18, 600–605.
Gamlen, T., Richards, K.H., Mankouri, J., Hudson, L., McCauley, J.,
Harris, M., Macdonald, A., 2010. Expression of the NS3 protease of
cytopathogenic bovine viral diarrhea virus results in the induction of
apoptosis but does not block activation of the beta interferon promoter.
Journal of General Virology 91, 133–144.
Hertig, C., Pauli, U., Zanoni, R., Peterhans, E., 1991. Detection of bovine
viral diarrhea (BVD) virus using the polymerase chain reaction.
Veterinary Microbiology 26, 65–76.
Kim, S.G., Dubovi, E.J., 2003. A novel simple one-step single-tube RT-
duplex PCR method with an internal control for detection of bovine
viral diarrhoea virus in bulk milk, blood, and follicular fluid samples.
Biologicals 31, 103–106.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
159
Lindberg, A.L.E., Alenius, S., 1999. Principles for eradication of bovine viral
diarrhoea virus (BVDV) infections in cattle populations. Veterinary
Microbiology 64, 197–222.
Meyling, A., Houe, H., Jensen, A.M., 1990. Epidemiology of bovine virus
diarrhoea virus. Revue Scientifique et Technique (International Office
of Epizootics) 9, 75–93.
Paton, D.J., Goodey, R., Brockman, S., Wood, L., 1989. Evaluation of the
quality and virological status of semen from bulls acutely infected
with BVDV. Veterinary Record 124, 63.
Saliki, J.T., Dubovi, E.J., 2004. Laboratory diagnosis of bovine viral diarrhea
virus infections. Veterinary Clinics of North America – Food Animal
Practice 20, 69–83.
Sprecher, D.J., Baker, J.C., Holland, R.E., Yamini, B., 1991. An outbreak of
fetal and neonatal losses associated with the diagnosis of bovine viral
diarrhea virus. Theriogenology 36, 597–606.
Vilcek, S., Herring, A.J., Herring, J.A., Nettleton, P.F., Lowings, J.P.,
Paton, D.J., 1994. Pestivirus isolated from pigs, cattle and sheep can
be allocated into at least three genogroups using polymerase chain
reaction and restriction enonuclease analysis. Arch. Virol. 136 (3-4),
309-323.
160 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
POTENSI VAKSIN ANTRAKS DENGAN VARIASI DOSIS DAN
LAMA PENYIMPANAN
Dina Ristianaa, Widya Asmarab, A.E.T.H. Wahyunib
E-mail:dina.drh@gmail.com
ABSTRAK
Antraks adalah penyakit yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Antraks termasuk salah satu
penyakit hewan strategis dan bersifat zoonosis. Pengendalian Antraks adalah dengan vaksinasi.
Vaksinasi pada ternak kadang tidak dilakukan sesuai dosis anjuran, sehingga menimbulkan kematian
pada kambing/domba dan keguguran pada sapi bunting trimester pertama. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui potensi vaksin Antraks apabila diberikan ½ dan ¼ dosis dengan lama penyimpanan
sampai dengan 2 tahun pada suhu 2-8 °C berdasarkan jumlah kandungan spora dan uji tantang.
Vaksin yang digunakan yaitu vaksin Anthravet® (Pusvetma) baru (kurang dari 3 bulan) dan lama
(telah disimpan selama dua tahun). Penghitungan jumlah kandungan spora dilakukan dengan metode
Total Plate Count (TPC), uji tantang digunakan hewan coba 70 marmut dewasa yang dibagi menjadi
7 kelompok yaitu kelompok I diberikan vaksin Antraks dosis ¼ penyimpanan lama, kelompok
II dosis ¼ penyimpanan baru, kelompok III dosis ½ penyimpanan lama, kelompok IV dosis ½
penyimpanan baru, kelompok V dosis 1 penyimpanan lama, kelompok VI dosis 1 penyimpanan
baru, dan kelompok kontrol diberikan NaCl fisiologis. Uji tantang dilakukan pada hari ke-21 setelah
vaksinasi menggunakan 200 minimum lethal dose (MLD) B. anthracis strain 17JB. Pengamatan
dilakukan terhadap daya hidup marmut sampai 10 hari setelah uji tantang. Hasil yang didapatkan,
jumlah kuman per dosis pada vaksin lama 9,42x106 CFU/ml dan vaksin baru 9,34x106 CFU/ml.
Hasil uji tantang dosis ¼ penyimpanan baru paling rendah(60%), berbeda nyata dengan dosis 1
penyimpanan lama dan dosis 1 penyimpanan baru yang menghasilkan protektivitas paling tinggi
(100%). Kesimpulan yang dapat diambil yaitu jumlah kandungan spora dosis ¼ dan ½, pada vaksin
baru dan lama masih memenuhi standar OIE (2012) dan FOHI (2013), namun untuk uji tantangnya
tidak memenuhi syarat; potensi vaksin Antraks pada penyimpanan sampai dengan 2 tahun masih
tetap bagus selama diberikan dalam dosis 1.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
161
Hal ini menimbulkan kekecewaan peternak dan merupakan masalah bagi
petugas. Beberapa petugas memberikan vaksin Antraks yang kurang dari
dosis anjuran pemerintah agar kasus serupa tidak terulang. Dosis yang tidak
tepat perlu diteliti protektifitasnya.
TUJUAN
Gambar
1. Pengenceran vaksin untuk penghitungan jumlah kandungan
spora.
Uji tantang.
Vaksinasi
pada penelitian
ini
digunakan
hewan
coba
70 marmut dewasa yang dibagi menjadi 7 kelompok yaitu kelompok
I
diberikan vaksin Antraks dosis ¼ penyimpanan lama, kelompok II
dosis
¼
penyimpanan baru, kelompok III dosis ½ penyimpanan lama, kelompok
IV dosis ½ penyimpanan baru, kelompok V dosis 1 penyimpanan lama,
kelompok VI dosis 1 penyimpanan baru, dan kelompok kontrol diberikan
NaCl
fisiologis.
Perlakuan
1 dosis divaksin
marmut 0,5
ml,
½
dosis marmut
divaksin 0,25 ml, dan perlakuan ¼ dosis marmut divaksin 0,125
ml. Kontrol,
marmut
diberikan larutan NaCl fisiologis 0,5 ml. Vaksin dikatakan aman
apabila minimal 80% marmut
yang telah divaksin tetap hidup (FOHI, 2013).
Uji tantang dilakukan terhadap semua marmut dalam penelitian ini, baik
pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Uji tantang dilakukan
pada hari ke-21 setelah vaksinasi menggunakan
200 minimum lethal dose
(MLD) B. anthracis strain 17JB. Pengamatan
dilakukanterhadap daya hidup
marmut sampai 10 hari setelah uji tantang. Vaksin dikatakan memenuhi
syarat apabilasemua marmut
yang telah
divaksin hidup
dan semua kontrol
mati (OIE, 2012). Pembagian kelompok
perlakuan
dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan
Penelitian
Jumlah marmut
Perlakuan Dosis Vaksin Lama Simpan
(ekor)
P1 ¼ (0,125 ml) Lama (2 tahun) 10
P2 ¼ (0,125 ml) Baru (3 bulan) 10
P3 ½ (0,25 ml) Lama (2 tahun) 10
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
163
Jumlah marmut
Perlakuan Dosis Vaksin Lama Simpan
(ekor)
P4 ½ (0,25 ml) Baru (3 bulan) 10
P5 1 (0,5 ml) Lama (2 tahun) 10
P6 1 (0,5 ml) Baru (3 bulan) 10
K 0 (NaCl Fis 0,5 ml) 10
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah One Way Anova.
HASIL
164 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
hidup, sedangkan perlakuan dosis 1 baik penyimpanan lama maupun baru
terdapat 100% marmut tetap hidup setelah diuji tantang. Data kematian
marmut dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini :
Keterangan : Standard OIE (2012) dan FOHI (2013) yaitu minimal 8/10
marmut tetap hidup setelah vaksinasi dan 10/10 marmut tetap hidup setelah
uji tantang.
PEMBAHASAN
Uji Tantang. Menurut OIE (2012) dan FOHI (2013), vaksin dikatakan
aman/baik apabila tidak kurang dari 80% marmut tetap hidup setelah
divaksin. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini masing-masing
kelompok perlakuan menunjukkan 100% hewan coba marmut tetap hidup
setelah vaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin yang digunakan
toksisitasnya tidak tinggi sehingga aman digunakan.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
165
Uji statistik yang dilakukan pada data diatas menunjukkan P5 (dosis 1
penyimpanan lama) dan P6 (dosis 1 penyimpanan baru) memiliki protektivitas
paling tinggi, yang berbeda nyata dengan P2 (dosis ¼ penyimpanan baru).
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dosis vaksin Antraks berpengaruh
terhadap hasil uji potensi.
166 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Saran. Saran yang dapat diberikan adalah diperlukan penelitian lebih
lanjut tentang potensi vaksin Antraks dengan variasi dosis pada hospes
alami Antraks agar dapat diperoleh hasil yang sesuai kondisi lapangan; serta
diperlukan pengembangan Kit ELISA agar dapat diketahui tingkat proteksi
yang didapat dari vaksinasi yang telah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
WHO. 2008. Anthrax in humans and animals. 4th ed. ISBN 978 92 4 154753 6
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
167
PENGEMBANGAN IMUNOHISTOKIMIA UNTUK DETEKSI
Bovine Pasteurellosis PADA KASUS PNEUMONIA ENZOOTIKA
PEDET DI BALAI VETERINER LAMPUNG
Joko Susilo, Bayu Triwibowo, Ahyul Heni
ABSTRAK
Bovine Pasteurellosis merupakan patogen yang sering menimbulkan penyakit pernafasan pada sapi
dan tersebarluas di seluruh dunia termasuk di Indonesia serta menimbulkan kerugian ekonomi yang
cukup besar. Agen bakterial penyebab Bovine Pasteurellosis meliputi Pasteurella multocida dan
Pasteurella (Mannheimia) haemolytica. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengembangan
teknik diagnosa imunohistokimia (IHK) untuk mendeteksi Pasteurella multocida dan Mannheimia
haemolytica pada pneumonia enzootika pedet. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
4 sampel paru pedet yang telah dilakukan isolasi dan identifikasi oleh Laboratorium Bakteriologi
Balai Veteriner Lampung periode sampel tahun 2018. Empat sampel yang sama selanjutnya
diproses di laboratorium Patologi untuk dilakukan pengujian histopatologi dan imunohistokimia.
Poliklonal antibodi dibuat dengan menyuntikan masing masing antigen yaitu; Pasteurella multocida
dan Mannheimia haemolytica yang telah dikarakterisasi oleh Laboratorium Bakteriologi terhadap
dua kelinci berbeda. Teknik imunohistokimia menggunakan sistem berlabel polimer. Perubahan
histopatologi seluruh sampel paru menunjukkan lesi bronchopneumonia suppurativa, oedema
pulmonum, koagulatif nekrosa, pneumonia granulomatosa, pneumonia fibrinosa, infiltrasi dan
akumulasi polimorfonuklear netrofil dan makrofag. Hasil imunohistokimia dengan menggunakan
antibodi andti Pasteurella multocida menunjukan adanya ikatan antigen-antibodi yang kuat pada
cairan oedema pulmonum, bagian sentral dan tepi granulomatosa, di sekitar area infiltrasi netrofil
dan makrofag, serta septa interlobularis dan pleura. Hasil imunohistokimia dengan menggunakan
antibodi anti Mannheimia haemolytica isolat Lampung menunjukan adanya ikatan antigen-antibodi
yang kuat pada jaringan paru yang mengalami nekrosa koagulasi dan fibrin.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
169
haemolytica (nama lain Pasteurella haemolytica) pada kasus lapang (Haritani
et al., 1990).
TUJUAN
Materi
Bahan dan alat
170 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
171
terjadi pada masing masing tabung dilakukan dengan hati hati. Titer antibodi
masing masing tabung tersebut; tabung 1(10), 2(20), 3(40), 4(80), 5(160),
6(320), 7(640), 8(1280), 9(2560), 10(5120), 11(10240), dan 12 (kontrol
negatif). Antibody standar memiliki syarat minimal titer antibody lebih dari
640, panen antibodi dilakukan jika titernya lebih dari 640 (Garvey et al.,
1977).
Titer kurang dari 640 maka dilakukan penyuntikan kembali dengan dosis
3 ml. Darah diambil pada minggu ke-5 dengan spuit melalui vena auricularis
di telinga sebanyak 12 ml dari masing-masing kelinci untuk mendapatkan
serum kurang lebih 7-8 ml. Serum terbentuk setelah satu jam pengambilan
darah dan disentrifugasi untuk mendapatkan jumlah serum yang maksimal.
Serum yang didapat kemudian diinaktifasi selama 56oC selama 30 menit
dengan tujuan untuk mencegah kerusakan antibodi terhadap komplemen
yang masih aktif. Serum siap digunakan untuk pengujian immunohistokimia,
selanjutnya dapat disimpan di dalam refrigerator dengan suhu 4oC.
172 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Teknik pewarnaan imunohistokimia berlabel polimer, slide jaringan
dideparafinisasi pada xylene 1, 2, 3 masing masing 5 menit. Rehydrasi
dilakukan pada ethanol 100% 3 kali masing masing 5 menit, ethanol 90%,
80% 70% masing masing 2 menit. Slide dicuci dengan aquadest 5 menit di
lanjutkan 5 menit dalam PBS. Aktivitas endogenous peroxidase dan alkaline
phospatase dihambat dengan endogenous enzyme block yang mengandung
3% H2O2, levamizole dan sodium azide selama 10 menit. Slide dicuci dengan
PBS 3 kali masing masing 5 menit. Pembukaan epitope (retrieval antigen)
dengan citrat buffer pada microwave sebanyak 2 kali masing masing selama 5
menit. Slide dalam larutan citrat buffer ditunggu sampai dingin, dikeringkan
dan jaringan pada slide dilingkari dengan Dako pen. Slide dicuci dengan
PBS 3 kali masing masing 5 menit. Masing masing slide digenangi dengan
poliklonal antibodi terhadap P.multocida dan Mannheimia haemolytica yang
diencerkan dengan dako diluent pengenceran 1: 400 selama 30 menit pada
suhu kamar, kemudian dicuci dengan PBST (0.05% v/v Tween20 ) 2 kali
dan PBS 2 kali masing masing 5 menit. Slide dinkubasi dengan Labelled
Polymer-HRP selama 30 menit. Cuci dengan PBST (0.05% v/v Tween20 )
2 kali dan PBS 2 kali masing masing 5 menit. Slide diinkubasi pada Subtrat
buffer + DAB+ chromogen dengan perbandingan 1ml Subtrat buffer : 20 µl
DAB+ chromogen selama 10 menit. Slide dicuci dengan air mengalir 5 menit
dan dilakukan counter stain pada hematoxylin selama 2 menit. Slide dicuci
dengan air mengalir 5 menit, slide diteteskan dengan lem DAKO ultramount,
ditempatkan pada hot plate suhu 70°C selama 20 menit. Slide dilakukan
clearing pada xylene 3 kali masing masing 5 menit diikuti coverslip dan
dilakukan pengamatan dengan mikroskop (Taylor, C.R. and Rudbeck, L.,
2013).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
173
Tabel 1. Anamnesa sampel paru berdasarkan identitas pedet, breed, jenis
kelamin, umur dan gejala klinis yang terjadi sebelum mati
Identitas
Jenis Breed Umur Gejalak linis
pedet Kelamin (hari) sebelum Pedet mati
063922 Steer Wagyu 119 Gangguan pernafasan,
diare
178353 Betina Wagyu 24 Gangguan pernafasan
276713 Jantan Wagyu 66 Gangguan pernafasan,
diare
17914 Jantan Wagyu 10 Gangguan pernafasan
Pemeriksaan Histopatologi dan Immunohistokimia
174 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Hasil pewarnaan imunohistokimia menunjukkan terjadinya ikatan
antigen antibody terhadap Pasteurella multocida dan Mannheimia
haemolytica pada semua sampel tersebut sesuai yang dijelaskan pada tabel 3.
Gambar 1. (A). Paru pedet 17914 terlihat cairan oedema, akumulasi sel
radang netrofil, limfosit dan makrofag pada lumen alveoli
serta koloni bakterial (pewarnaan HE). (B). Hasil pewarnaan
imunohistokimia dengan antibodi anti Pasteurella multocida
paru pedet 17914, positif reaksi di sekitar cairan oedema dan
akumulasi sel radang lumen alveoli
Gambar 2. (A). Paru pedet 17914 terlihat nekrosa koagulasi, akumulasi sel
radang netrofil dan makrofag serta fibrin pada lumen alveoli
(pewarnaan HE). (B). Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan
antibodi anti Mannheimia haemolytica pada paru pedet 17914,
positif reaksi terlihat di sekitar nekrosa koagulasi, akumulasi sel
radang netrofil dan makrofag serta fibrin pada lumen alveoli
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
175
Gambar 3. (A). Lumen alveoli pedet no 276713 terlihat bentukan granuloma
(G) yang dibatasi oleh jaringan ikat (Ji), dikelilingi oleh netrofil
(N), makrofag (M) (pewarnaan HE). (B) Hasil pewarnaan
imunohistokimia dengan antibodi anti Pasteurella multocida
pada paru pedet no 276713, positif reaksi terlihat pada sentra
granuloma ( ) dan pada bagian tepi granuloma ( ) di lumen
alveoli
M
N
Ji
G
276713 N
Gambar 4. (A) Lumen bronchiolus (L) pedet no 276713 diisi oleh masa
eosinofilik ( ), dan nekrosa epitel bronchiolus (pewarnaan
HE). (B) Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi anti
Mannheimia haemolytica, positif reaksi pada lumen bronchus
( ) dan pada bagian tepi bronchiolus ( ) di lumen alveoli.
276713
Kesimpulan
176 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Autio, T., Pohjanvirta, T., Holopainen, R., Rikula, U., Pentika-inen, J.,
Huovilainen, A., Rusanen, H., Soveri, T., Sihvonen, L. and Pelkonen,
S. 2007. Etiology of respiratory disease in nonvaccinated, non-
medicated calves in rearing herds.Veterinary Microbiology 119: 256–
265. 52
Dagleish, M.P., Finlayson, J., Bayne, C., MacDonald, S., Sales, J. and
Hodgson, J.C. 2010. Characterization and Time Course of Pulmonary
Lesions in Calves after Intratracheal Infection with Pasteurella
multocida A:3. University of Edinburgh, Edinburgh, UK
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
177
Ewers, C., Lubke-Becker, A., Bethe, A., Kiebling, S., Filter, M. and Wieler,
L.H. 2006. Virulence genotype of Pasteurella multocida strains
isolated from different hosts with various disease status. Veterinary
Microbiology 114: 304–317.
Hansen, M.S., Pors, S.E., Jensen, H.E., Bille-Jensen, V., Bisgaard, M.,
Flachs, E.M., Nielsen, O.L. 2010. An investigation of the pathology
and pathogens associated with porcine respiratory disease complex in
Denmark. J Comp Path 143:120–131
Haritani, M., Narita, M., Murata, H., Hashimoto, K. and Takizawa, T.1989.
Immunoperoxidase evaluation of pneumonic lesions induced by
Pasteurella multocida in calves. American Journal of Veterinary
Research 50: 2162–2167.
178 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Nikunen, S., Hartel, H., Orro, T., Neuvonen, E., Tanskanen, R., Kivela, S.L.,
Sankari, S., Aho, P., Pyrala, S., Saloniemi, H. and Soveri, T. 2007.
Association of bovine respiratory disease with clinical status and acute
phase proteins in calves. Comparative Immunology, Microbiology and
Infectious Diseases 30: 143–151. 58
Suvarna, S.K., Layton, C., Bancroft, J.D. 2013. Bancroft’s Theory and
Practice of Histological Techniques, 7th edition. Queen‟s Medical
Centre, Nottingham, UK
Tegtmeier, C., Uttenthal, A., Friis, N.F., Jensen, N.E. and Jensen, H.E. 1999.
Pathological and microbiological studies on pneumonic lungs from
Danish calves. Zentralblatt furVeterinar medizin B 46: 693–700.
Van-Donkersgoed, J., Ribble, C.S., Boyer, L.G. and Townsend, H.G. 1993.
Epidemiological study of enzootic pneumonia in dairy calves in
Saskatchewan.Canadian Journal of Veterinary Research 57: 247–254.
Virtala, A.M., Mechor, G.D., Grohn, Y.T., Erb, H.N. and Dubovi, E.J. 1996.
Epidemiologic and Pathology Characteristics of Respiratory Tract
Disease in Dairy Heifers during the First Three Months of Life.Journal
of the American Veterinary Medical Association 208: 2035–2042.
Watts, J.L., Yancey, Jr. R.J., Salmon, S.A. and Case, C.A.1994. A 4-year
survey of antimicrobial susceptibility trends for isolates from cattle
with bovine respiratory disease in North America. Journal of Clinical
Microbiology 32: 725–731. 60
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
179
RESPON PEMBERIAN JAHE MERAH (ZINGIBER
OFFICINALE VAR RUBRA) TERHADAP NILAI PERLUKAAN
SEKUM DAN PRODUKSI OOKISTA PADA AYAM BROILER
YANG TERINFEKSI EIMERIA TENELLA
Eka Zakiah Nasution1, Endang Susanti Prihatiningsih1, Ma’ruf Tafsin2, Nevy Diana Hanafi2
1
Laboratorium Bakteriologi - Balai Veteriner Medan
Fakultas Pertanian – Universitas Sumatera Utara, Medan
2
ABSTRAK
Koksidiosis atau penyakit berak darah merupakan penyakit parasiter pada ayam pedaging.
Penyakit tersebut dapat menimbulkan banyak kerugian seperti penurunan efisiensi pakan, hambatan
pertumbuhan, sampai pada kematian. Penyakit ini mudah berkembang di Indonesia karena sesuai
dengan suhu optimum untuk pertumbuhan Eimeria (210C- 320C), serta kelembaban yang cukup
agar ookista dapat bersporulasi. Ookista yang sudah bersporulasi dapat menginfeksi induk semang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar respon pemberian jahe merah terhadap
ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella yang meliputi nilai perlukaan sekum dan produksi
ookista. Ayam broiler sebanyak 80 ekor dibagi dalam 5 perlakuan dan 4 ulangan. Eimeria tenella
diinfeksikan dengan dosis 10.000 ookista/ekor dan larutan jahe merah diberikan dengan konsentrasi
1%. Perlakuan terdiri atas KP (Kontrol Positif), KO (Kontrol Obat Koksidiostat), K1 (Larutan
jahe merah 1%, yang diolah dalam bentuk serbuk), K2 (Larutan jahe merah 1%, yang diekstraksi
menggunakan ethanol), K2 (Larutan jahe merah 1%, yang diekstraksi menggunakan air). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan jahe merah berpengaruh nyata (P<0,05)
dalam menurunkan produksi ookista. Jahe merah yang diekstraksi menggunakan ethanol lebih baik
dibandingkan dengan jahe merah yang diekstraksi menggunakan air atau dalam bentuk serbuk.
Penilaian skor lesi sekum tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara semua perlakuan. Perlakuan jahe
merah menunjukkan hasil lebih baik dari pada perlakuan menggunakan koksidiostat dan kontrol
positif.
Kata Kunci: Jahe Merah, Eimeria tenella, Lesi, Ayam Broiler
PENDAHULUAN
180 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Sejak krisis moneter yang terjadi di Indonesia sampai saat ini harga
obat-obatan buatan pabrik (impor) sangat mahal, sehingga tidak terjangkau
oleh para peternak, khususnya peternak dalam skala menengah ke bawah
(Zainuddin et al., 2006). Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia
bertempat tinggal di pedesaan, sehingga masalah distribusi, komunikasi
yang kurang lancar menyebabkan daerah tersebut sukar dijangkau oleh obat
modern dan tenaga veteriner (Iskandar dan Husein, 2003).
TUJUAN
HASIL
182 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Rata-rata produksi Ookista per gram (OPG) ekskreta pada ayam
yang terinfeksi E-tenella setelah pemberian larutan jahe merah
(Zingiber Officinale Var Rubra)
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada hari ke-6 pasca infeksi terlihat rata-
rata produksi ookista tertinggi pada perlakuan KP (9425), sedangkan terendah
pada perlakuan K2 (4025). Hasil analisis statistik dengan menggunakan
Anava (Analisis Varian) menunjukkan bahwa pemberian larutan jahe merah
1% memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dalam menurunkan produksi
ookista pada ayam pedaging yang terinfeksi E. tenella. Hal ini terlihat dari
hasil perlakuan K1,K2,K3 < kontrol positif (KP). Sedangkan perlakuan obat
koksidiostat (KO) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
dengan perlakuan larutan jahe merah 1% (KO=K2=K3).
Selanjutnya pada hari ke-7 dan ke-8 pasca infeksi, hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05)
diantara perlakuan KP,KO,K1,K3. Jumlah ookista keempat perlakuan
ini terlihat mengalami peningkatan. Namun, keempat perlakuan tersebut
(KP,KO,K1,K3) berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan K2.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
183
Keterangan :
KP = Infeksi E.tenella
KO = Infeksi E.tenella + koksidiostat
K1 = Infeksi E.tenella + lar.jahe merah serbuk 1%
K2 = Infeksi E.tenella + lar.jahe merah ekstrak ethanol 1%
K3 = Infeksi E.tenella + lar.jahe merah ekstrak air 1%
Hasil pengamatan skor lesi sekum pada ayam pedaging tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan persentase skor lesi sekrum pada ayam pedaging umur 35
hari
184 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 2. Grafik penilaian derajat perlukaan sekum pada ayam pedaging
yang diinfeksi 10.000 ookista E.tenella per ekor. Skor 0, +1, +2,
+3, dan +4 menunjukkan derajat perlukaan (skor lesi) sekum.
PEMBAHASAN
Maudya (1994) menyatakan bahwa pada hari ke-6 dan ke-7 setelah
infeksi, produksi ookista akan meningkat karena pada hari tersebut perdarahan
sudah agak berkurang. Puncak sekresi ookista adalah pada hari ke-8 dan akan
menurun pada hari ke-9 sesudah infeksi. Selanjutnya akan berangsur-angsur
menurun pada hari ke-11, tampak ookista tinggal sedikit tetapi kemungkinan
masih tetap ditemukan dalam tinja sampai beberapa bulan sesudah infeksi
(Reid et al., 1984). Ookista yang tertinggal dalam tubuh ayam akan berfungsi
sebagai stimulant untuk membentuk kekebalan (Sanda, 1985).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
185
kedalam sel, menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein. Pada
kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein sehingga membran sel
mengalami lisis (Juliantina et al., 2008).
186 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar, T, Murdiati, T.B, dan Subekti, D.T, 2000. Pengaruh Pemberian Infus
Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra) Terhadap Koksidiosis
Sekum Pada Ayam Pedaging. Balai Penelitian Bogor. Bogor.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
187
PARTIAL BUDGET ANALYSIS REKOMENDASI PEMBERIAN
PREMIKS PADA SAPI PENDERITA GANGGUAN REPRODUKSI
DI PROVINSI DI.YOGYAKARTA PASCA PROGRAM
UPSUS SIWAB
1
Balai Besar Veteriner Wates
Dinas Pertanian Provinsi DI. Yogyakarta
2
ABSTRAKS
Ekonomi dapat memberikan informasi yang akan membantu dalam pengambilan keputusan
kesehatan hewan untuk mengalokasikan sumber daya secara efektif. Analisis ekonomi juga
memberikan informasi tentang nilai sosial investasi dan memungkinkan diperolehnya informasi
yang lebih baik untuk pengambilan keputusan ( Roshton, 2017). Partial Budget Analysis merupakan
sebuah alat/ model analisis untuk mengukur berbagai perubahan dalam usaha. Kajian ini bertujuan
untuk memberikan gambaran tentang nilai manfaat dan beaya untuk intervensi berupa pemberian
premiks dengan kandungan vitamin dan mineral lengkap, sebagai upaya pencegahan gangguan
reproduksi pada sapi di wilayah D.I Yogyakarta. Penghitungan Partial Budget Analysis dilakukan
dengan menginventarisir berbagai factor yang berkaitan dalam bidang finansial peternakan, antara
lain : program pemberian premiks kepada aseptor program gangrep, pendapatan tambahan serta
anggaran yang harus dikeluarkan. Parameter yang dinilai adalah Net Present Value ( NPV ), Benefit
Cost Ratio ( BCR ) dan Internal Rate Of Return ( IRR ) sebagai nilai kelayakan terhadap intervensi
dan investasi yang dilakukan. Pada kajian ini sebagai baseline Partial Budget Analysis adalah
Program Penanggulangan Gangguan Reproduksi berupa pemberian premiks,vitamin, hormon dan
obat cacing. Apabila program UPSUS SIWAB berhenti maka skenario intervensi dalam kajian ini
adalah pemberian premiks sebagai program yang direkomendasikan untuk dilakukan pemerintah
daerah. Hasil dari perhitungan dengan metode Partial Budget Analysis didapatkan NPV sebesar Rp
37.154.391.440. BCR sebesar 9.6 dan IRR sebesar 644.72% yang dapat dimaknai bahwa program
pemberian premiks dengan kandungan vitamin dan mineral lengkap dapat digunakan sebagai program
lanjutan secara mandiri oleh lembaga yang menangani peternakan, setelah program penanggulangan
Gangguan Reproduksi berakhir.
PENDAHULUAN
188 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ransum pakan sehari-hari dalam jumlah yang cukup. Kekurangan vitamin A
dalam ransum dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesuburan sampai
pada tingkat kemajiran. Gangguan kesuburan ini berbentuk tidak timbulnya
birahi, atau bila ada birahi dan terjadi perkawinan akan menghasilkan angka
kebuntingan yang rendah. Kekurangan vitamin D pada hewan betina dapat
menyebabkan tidak munculnya birahi, sedangkan kekurangan vitamin
E dapat menyebabkan terhambatnya hewan betina mencapai dewasa
kelamin. Beberapa macam mineral termasuk mineral jarang (trace mineral)
mempunyai peranan penting dalam proses reproduksi yang normal pada
ternak. Kebutuhan mineral dalam pakan yang normal sebenarnya sangat
sedikit dan kebutuhan akan meningkat sesuai dengan bertambahnya berat
badan atau adanya kebuntingan dan laktasi. Adanya kekurangan mineral
dapat menurunkan efisiensi reproduksi pada ternak (Hardjopranjoto, 1995).
Gangguan reproduksi dapat diantisipasi dengan memperhatikan beberapa
faktor diantaranya : 1. Seleksi genetik. 2. Manajemen pakan yang baik
sehingga mendukung kesuburan saluran reproduksi. 3. Manajemen kesehatan
yang baik meliputi kesehatan sapi program pengobatan dan vaksinasi) ,
kebersihan kandang dan lingkungan (sanitasi dan desinfeksi) sehingga dapat
meminimalisasi agen patogen (bakteri, virus, jamur, protozoa) yang dapat
mengganggu kesehatan sapi. 4. Penanganan masalah reproduksi dengan
prosedur yang baik dan benar sehingga mengurangi kejadian trauma fisik
yang akan menjadi faktor predisposisi gangguan reproduksi (Anonim, 2014).
Kajian ini bertujuan untuk memberikan program alternative setelah Program
UPSUS SIWAB selesai, yaitu dengan mempertimbangkan besar dana dan
kemanfaatan,lebih yaitu dengan pemberian premiks sebagai pakan tambahan.
Materi
Metode
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
189
pendapatan, (B) Pengurangan atau penghapusan biaya, dan Kenaikan
Biaya (C), dan Pengurangan atau penghapusan pendapatan (D)
3. Pengelompokan perubahan finansial tersebut menurut komponen
keuntungan, dan komponen kerugian
4. Menghitung jumlah masing-masing perubahan fianansial, yaitu : Total
Keuntungan (A+B), dan Total kerugian (C+D).
5. Menghitung jumlah perubahan pendapatan (net income change), yaitu
(E-F) sesuai tabel di atas.
6. Interpretasi dari net income change tersebut ( Firmasnyah, 2013 )
7. Menghitung NPV, BCR dan IRR sebagai nilai kelayakan terhadap
investasi dan atau intervensi yang diambil
Biaya Manfaat
Penghematan
Biaya baru Rp Rp
biaya
Pemberian Premiks 1 kg per ekor 24,000
Pemeriksaan Reproduksi dan Operasional 100,000
Petugasper ekor
Pemberian Vitamin Injeks 13,125
Pemberian Obat Cacing 9,000
Pemberian Hormon PGF 70,000
GnRH 187,000
Kehilangan pendapatan Pendapatan
baru
Tidak ada Produksi Anak 5,000,000
Sapi
Total 403,125 5,000,000
Manfaat dikurangi biaya 4,596,875
190 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel. 2. Anggaran Parsial untuk Penanganan Gangrep Pasca Program
UPSUS SIWAB Per Ekor selama 1 tahun
Biaya Manfaat
Penghematan
Biaya baru Rp Rp
biaya
Pemberian Premiks 3 bulan sekali(4x per th) 96,000 Pemberian 13125
Vitamin
Injeks
Pemeriksaan Reproduksi 4x per 200,000 Pemberian 9000
tahun@50.000 Obat Cacing
Pemberian 70000
Hormon PGF
GnRH 187000
Kehilangan pendapatan Pendapatan
baru
Tidak ada Produksi 5,000,000
Anak Sapi
Total 296,000 5,279,125
Manfaat dikurangi biaya 4,983,125
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
191
Tabel 4. Partial Budget
192
Butir Tahun Total
0 1 2 3 4
Aseptor Program Gangrep Sapi Yogya- 100% 30,4% 25,4% 20,4% 15,4%
karta:
Biaya
Modal
Biaya berulang
Pemberian Premiks 1 kg per ekor 173,688,000 52,872,000 176,467,008 141,729,408 106,991,808 651,748,224
Pemeriksaan Reproduksi dan Operasion- 723,700,000 220,300,000 367,639,600 295,269,600 222,899,600 1,829,808,800
al Petugasper ekor
Pemberian Vitamin Injeks 94,985,625 0 0 0 0 94,985,625
Pemberian Obat Cacing 65,133,000 0 0 0 0 65,133,000
Pemberian Hormon PGF 506,590,000 0 0 0 0 506,590,000
Prosiding
Butir Tahun Total
0 1 2 3 4
Pemberian Hormon PGF 0 154,210,000 154,003,360 103,344,360 78,014,860 489,572,580
Prosiding
GnRH 0 411,961,000 411,408,976 276,077,076 208,411,126 1,307,858,178
Produksi Anak Sapi 5,000,000 19,715,000,000 11,000,240,000 7,381,740,000 5,572,490,000 43,669,470,000
Manfaat total 5,000,000 20,329,912,375 11,614,328,398 7,793,825,636 5,883,574,254 45,621,640,663
Manfaat dikurangi biaya sebelum -2,912,415,625 20,056,740,375 11,070,221,790 7,356,826,628 5,553,682,846 41,125,056,014
dilakukan penghitungan diskonto
Tahun
Butir
193
*Jumlah aseptor TAHUN
0 1 2 3 4
7237 2200 1838 1476 1114
Anggaran parsial hanya mencakup sumber daya yang akan diubah, tidak
mempertimbangkan sumber daya dalam bisnis yang tidak berubah. Hanya
perubahan yang sedang dipertimbangkan dievaluasi karena kemampuannya
untuk meningkatkan atau menurunkan pendapatan usaha peternakan.
Net Present Value / NPV adalah selisih antara jumlah nilai sekarang
manfaat dan jumlah dari nilai sekarang dari biaya. Dari perhitungan pada
tabel didapatkan nilai NPV sebesar Rp 37,154,391,440,- untuk program 7.237
ekor sapi ( target gangrep yogya 2017) . Nilai NPV positif menunjukkan
investasi dan intervensi dapat diterima.
BCR ( Benefit Cost Ratio) Rasio biaya manfaat = nilai sekarang dari
manfaat tambahan dibagi dengan nilai sekarang dari biaya tambahan,
dihitung dengan membagi jumlah nilai sekarang manfaat dengan jumlah
nilai sekarang. Roshton, 2013 menyatakan bahwa nilai BCR lebih dari 1
layak untuk dipertimbangkan. Dalam perhitungan didapatkan IRR 9.60 (
untuk masa proyek 4 tahun) yang artinya investasi dan atau intervensi layak
dipertimbangkan untuk dilakukan.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
195
Manfaat dari program pemberian premiks saja didapatkan pada tahun ke-
3, setelah program Upsus siwab berhenti dan dilanjut dg program alternative,
dan menurun seiring menurunnya prosentase sapi gangrep
Kesimpulan
Saran
KETERBATASAN
196 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
jarak ke lokasi peternakan, tingkat kesembuhan yang akan dipengaruhi
berbagai factor seperti musim panen, curah hujan serta berbagai kondisi
yang belum masuk dalam kajian ini
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
197
PENTINGNYA PENGAWASAN LALU LINTAS UNGGAS
TERHADAP PENYEBARAN KASUS HPAI DI PROPINSI JAWA
TIMUR SELAMA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2017
Yunita Widayati1, Nurhayati2
yunitawidayati@yahoo.com
Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian
PENDAHULUAN
Tujuan dari penulisan ini untuk melihat daerah asal dan daerah tujuan
pengiriman unggas dari propinsi Jawa Timur sehingga menghambat
penyebaran kasus HPAI. Selain itu kita akan tahu pada bulan apa saja terjadi
peningkatan pengeluaran dan permintaan terhadap unggas di Propinsi Jawa
Timur.
Data lalu lintas unggas di Propinsi Jawa Timur diperoleh dari data
laporan iSIKHNAS Pemasukan dan Pengeluaran unggas. Laporan yang di
ambil dari iSIKHNAS untuk pemasukan unggas No. 408 sedangkan untuk
pengeluaran unggas dari JAwa Timur No. 075.
Kita memilih Propinsi asal dan tujuan adalah Jawa Timur. Jenis unggas
198 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang dipilih ayam, broiler, layer, ayam kampong dan DOC. Untuk Periode
waktunya dipilih Januari 2017 sampai dengan Desember 2017.
Data tersebut diolah dengam Ms. Excel dan dianalisis secara deskriptif.
Hasil dari analisa lalu lintas unggas yang masuk dan keluar di Propinsi Jawa
Timur disajikan pada gambar 1.
Dari gambar (1) terlihat sebanyak 1.250 kali frekuensi unggas yang keluar
dari propinsi Jawa Timur. Dari jumlah frekuensi tersebut, 39.7% unggas
dikirim ke Propinsi Jawa Tengah. Jumlah total propinsi yang menerima
unggas dari Jawa Timur ada 29 propinsi. Dilihat dari gambar (1) frekuensi
penerimaan unggas di Jawa Tengah paling banyak sebanyak 496 kali/tahun.
Sehingga jika ada kasus/ wabah Avian Influenza di Propinsi Jawa Timur,
maka peluang untuk tertular AI di Jawa Tengah juga tinggi. Jika dilihat pada
gambar (2) kabupaten/kota di Jawa Tengah yang banyak menerima unggas
dari Jawa Timur adalah Kabupaten Boyolali 162 kali/tahun kemudian diikuti
Kubu Raya, Kendal, dan Mataram.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
199
unggas tertinggi dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sebanyak 26%
unggas yang masuk ke Jawa Timur berasal dari Jawa Tengah. Jika dilihar
pada gambar (3) Kota Rembang merupakan pemasok unggas tertinggi
sebanyak 64 kali/tahun.
Dari gambar (3) dapat dilihat propinsi Jawa Tengah merupakan propinsi
yang banyak memasukan unggas dan menerima unggas dari Jawa Timur.
200 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 6. Peta lalu lintas pemasukan dan pengeluaran unggas di Propinsi
Jawa Timur Periode Januari – Desember 2017.
Dari gambar (3) diatas terlihat lalu lintas unggas dipropinsi Jawa Timur
baik yang masuk maupun yang keluar sangat banyak sekali dan komplek.
Sehingga jika ada kasus perlu diperhatikan asal daerah unggas dan daerah
tujuan unggasnya.
Kesimpulan :
Saran
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
201
DAFTAR PUSTAKA
http://karantinasby.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/07/
PERMENTAN-TKH-UNGGAS-nomor-37-Tahun-2014.pdf
https://www.k4health.org/sites/default/files/Guidelines%20for%20the%20
Prevention%2C%20Control%20and%20Eradication%20of%20
Animal%20Infectious%20Diseases%20Influenza%20In%20
Poultry_2005.pdf
202 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DETEKSI ANTIBODI RABIES PADA SAPI DAN KAMBING
KASUS GIGITAN HPR (HEWAN PEMBAWA RABIES) PASCA
DIVAKSIN RABIES DI KABUPATEN DHARMASRAYA,
SUMATERA BARAT
1)
Yul Fitria, 2)Yoli Zulfanedi, 1)Rahmi Eka Putri
1)
Balai Veteriner Bukittinggi
Dinas Pertanian Kabupaten Dharmasraya
2)
yulfitria@yahoo.com, yolizulfanedi.yz@gmail.com,
ABSTRAK
Telah terjadi gigitan anjing terduga rabies pada 16 ekor sapi dan 1 ekor kambing di Nagari Pulau
Mainan, Kecamatan Koto Salak, kabupaten Darmasraya, propinsi Sumatera Barat, tanggal 17
Oktober tahun 2017. Gigitan pada daerah hidung. Pertolongan pertama pada hewan dilakukan
vaksinasi dengan vaksin yang tersedia sebagai vaksin antirabies. Penyuntikan dilakukan 3 kali secara
intramuskular pada hari ke 0, 7, dan 14 (sapi) sedangkan kambing 1,7 dan 14. Pengambilan serum
darah dilakukan pada hari ke 0, 7, 14 dan 120. Dilakukan pengujian deteksi antibodi rabies dengan
metode RFFIT (Rapid Fluorescent Foci Inhibition Test) pada seluruh sampel. Ditemukan antibodi
pada sapi dengan nilai 0,5 dan >2 IU/ml. 2 ekor sapi mati 20 hari setelah gigitan dengan gejala agresif
dan hipersalivasi, kambing mati setelah 23 hari pasca gigitan. Kesimpulan tindakan pada ternak
pasca gigitan HPR bisa dilakukan penyuntikan Vaksin dengan suntikan pada hari 0,7 dan 14 pasca
gigitan dan pengukuran titer antibodi dengan metoda RFFIT.
PENDAHULUAN
Melihat banyak nya hewan ternak yang digigit HPR positif rabies
mengharuskan kita mempunyai prosedur penatalaksanaan hewan yang
tergigit rabies. Hasil ini hanya penelitian awal karena ada kasus gigitan
yang banyak terjadi di Sumatera Barat. Seperti yang terjadi di Kabupaten
Dharmasraya, telah terjadi gigitan anjing terduga rabies pada 16 ekor sapi
dan 1 ekor kambing di Nagari Pulau Mainan, Kecamatan Koto Salak,
kabupaten Darmasraya, propinsi Sumatera Barat, tanggal 17 Oktober tahun
2017. Lokasi gigitan umumnya terjadi di area hidung pada 15 ekor sapi dan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
203
di pelipis mata pada seekor sapi dan kambing. Pertolongan pertama pada
hewan dilakukan vaksinasi dengan vaksin yang tersedia sebagai vaksin
antirabies. Penyuntikan dilakukan 3 kali secara intramuskular pada hari ke
0, 7, dan 14 (sapi) sedangkan kambing pada hari ke 1,7 dan 14. Dua ekor
sapi mati 20 hari setelah gigitan dengan gejala agresif dan hipersalivasi,
kambing mati setelah 23 hari pasca gigitan. Dan sapi yang lain tetap hidup
sehat sampai sekarang, ada satu ekor sapi melahirkan karena waktu digigit
sedang bunting 6 bulan. Anjing yang menggigit berwarna putih merah, tapi
tidak bisa ditangkap peternak, dengan gejala lari sempoyongan, ekor turun,
melawan saat ditangkap, kepastian anjing tersebut menggigit sapi karena
dilihat oleh peternak tersebut. Dan sapi dan kambing yang mati juga tidak
ada konfirmasi rabies karena sapi langsung dikubur.
TUJUAN
Tujuan tulisan ini adalah melihat gambaran titer antibodi pada hewan
ternak pasca gigitan hewan tersangka rabies dengan metode RFFIT sehingga
dapat dianalisa sehingga dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya untuk
penanganan hewan ternak pasca gigitan hewan pembawa rabies disangka
rabies.
Materi
204 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Serum dilakukan pengujian titer antibodi dengan uji netralisasi RFFIT
HASIL
Tabel 1. Hasil Titer Antibodi Rabies pada ternak yang di Vaksin Rabies
TITER
TITER TITER
ANTIBODI HARI
IDENTITITAS ANTIBODI ANTIBODI KEADAAN
NO 120
TERNAK HARI 1 HARI 14 SEKARANG
(4 BULAN)
(IU/ml) (IU/ml)
(IU/ml)
1. Sapi, umur 4 tahun, < 3 Sehat
kondisi baik
2. Sapi, umur 5 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
3. Sapi, umur 5 tahun, < < Sehat
kondisi baik
4. Sapi, umur 3 tahun, < 0,5 Sehat
kondisi baik
5. Sapi, umur 4 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
6. Sapi, umur 3 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
7. Sapi, umur 6 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
8. Sapi, umur 1 tahun, < 1,1 Mati, pada hari ke 20
kondisi BCS 2 pasca gigitan, gejala
pada hari ke 18
9. Sapi, umur 5 tahun, < 3,2 Dijual, kondisi sehat,
kondisi baik terpantau
10. Sapi, umur 6 tahun, < 0,5 Dijual, kondisi sehat,
kondisi baik terpantau
11. Sapi, umur 6 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
12. Sapi, umur 4 tahun, < 1,1 Sehat
kondisi baik
13. Sapi, umur 5 tahun, < >2 Sehat
kondisi baik
14 Sapi, umur 3 tahun, < 1,1 Sehat
kondisi baik
15 Sapi, umur 6 tahun, < >2 Mati pada hari ke 21,
kondisi BCS 2 gejala hari ke 21
16. Sapi, umur 3 tahun , < 1,5 Sehat
kondisi bunting 6 bulan
17. Kambing, umur , < 0,5 Mati hari ke 21,
kondisi scabies, BCS 2 gejala hari ke 20
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
205
Gambar 1. Lokasi gigitan pada sapi Gambar 2. Lokasi Gigitan pada
Kambing
PEMBAHASAN
Sapi yang mati adalah sapi dalam kondisi kurus dan nafsu makan sudah
tidak bagus dari awal setelah digigit anjing, begitu juga dengan sapi umur
1 tahun kondisi kurus. Umumnya sapi dengan kondisi baik, nafsu makan
baik membuat antibodi juga baik. Ada sapi dengan titer antibodi <0,5 IU/ml
kondisi tubuh baik, tapi tidak mengalami kematian pada hari ke 21. Kematian
yang terjadi pada tiga ekor hewan terjadi pada hari ke 21.
206 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
pada enam orang peternak yang menyaksikan anjing yang menggigit sapi
mereka berwarna putih merah, ekorturun, berlari sempoyongan dan melawan
saat ditangkap masyarakat. Begitu juga untuk sapi dan kambing yang mati
dengan gejala agresif, dan hipersalivasi.
Dari 16 ekor sapi dan satu ekor kambing yang digigit dua ekor sapi
mati memang dalam kondisi tidak baik, sedang kambing juga dalam kondisi
tersebut. Banyak pembahasan yang akan dikaji yaitu tidak ada konfirmasi
positif sapi yang digigit benar rabies secara laboratoris, tapi dari gejala yang
ditimbulkan mengarah pada rabies. Di Sumatera Barat khususnya walaupun
tidak ada tatalaksana kasus gigitan anjing tersangka rabies untuk hewan ternak
dan hewan kesayangan, Balai Veteriner Bukittinggi tetap menganjurkan hal
seperti ini dengan melakukan vaksinasi dengan penatalaksanaan seperti VAR
yang dilakukan pada manusia.
Gambar 3. Sapi Nomor 8 yang mati Gambar 4. Sapi nomor 15 yang mati
pada hari ke 21. pada hari ke 21 setelah
gigitan
Respon imun yang diukur secara RFFIT adalah respon imun humoral
yang disebut antibodi karena aktifitas limfosit B dan T. Tapi ada Limfosit T
juga membuat respon imun seluler, sehingga aktifitas ini tidak terpantau oleh
RFFIT. (Subowo, 2009). Hal ini kemungkinan yang terjadi pada sapi yang
tidak mati walaupun titer antibodinya <0,5 IU/ml. Respon imun seluler dan
humoral bergabung dalam reaksi menghadapi virus rabies yang ada.
Perkembangan respon imun yang terjadi dalam tubuh baik secara humoral
maupun seluler dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor metabolik
karena hormon tertentu seperti steroid akan menghambat perkembangan
respon imun terhadap benda asing, faktor infeksi konsentrasi tinggi, faktor
gizi, karena kekurangan gizi bisa menyebabkan imunodefisiensi. Kemudian
faktor sawar anatomik, seperti kasus scabies, respon tubuh lebih fokus pada
reaksi mukosa terlebih dahulu kemudian akhirnya infeksi lain terabaikan.
Kemudian juga karena faktor fisiologik seperti stress akan menghambat
respon imun terbentuk. Yang terakhir faktor umur, perkembangan organ dan
fungsi imun berkembang sejalan umur, tapi pada kejadian lanjut usia respon
imun semakin menurun.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
207
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari kasus ini dapat disimpulkan apabila ada kejadian kasus gigitan
HPR pada hewan ternak atau hewan kesayangan sangat memungkinkan
dilakukan penyuntikan vaksin rabies dengan tatalaksana pada hari 1, 7 dan
14 pasca gigitan.
Saran
KETERBATASAN
DAFTAR PUSTAKA
208 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
OPTIMALISASI PENERAPAN PRINSIP KESEJAHTERAAN
HEWAN (ANIMAL WELFARE) PADA HEWAN COBA DI BBVET
WATES UNTUK MENDUKUNG DIAGNOSIS LABORATORIUM
Heni Dwi Untari1, Basuki Rochmad Suryanto2, Zaza Famia3, Suprihatin1
1
Instalasi Kandang Hewan Percobaan BBVet Wates Yogyakarta,
2
Laboratorium Epidemiologi BBVet Wates Yogyakarta,
3
Laboratorium Biotek BBVet Wates Yogyakarta
Koresponden Penulis Pertama: hduntari@gmail.com
ABSTRAK
Hewan percobaan atau hewan coba merupakan hewan laboratorium, yang dipelihara khusus
untuk tujuan percobaan dan lain sebagainya. Kesejahteraan hewan (animal welfare) adalah hewan
yang memiliki keadaan fisiologis dan psikologi yang sesuai untuk menunjang kualitas hidupnya.
Kesejahteraan hewan menjadi suatu hal yang sangat penting dan prinsip dalam manajemen
pemeliharaan hewan mencakup hewan coba maupun peternakan rakyat pada umumnya.
Prinsip kesejahteraan hewan mewajibkan semua hewan yang dipelihara atau hidup bebas di alam
memiliki hak-hak/kebebasan, meliputi bebas dari rasa haus/lapar, bebas dari rasa ketidaknyamanan,
bebas dari rasa sakit/cedera, bebas untuk mengekspresikan perilaku alamiah, dan bebas dari rasa
takut dan tertekan. Penelitian ini dengan melakukan pengamatan dari tahun 2015, 2016 dan 2017
tentang pemeliharaan hewan coba seperti, ayam petelur, mencit, marmut, kelinci, domba dan sapi di
instalasi kandang hewan percobaan (IKHP) BBVet Wates.
Pemeliharaan dengan memperhatikan prinsip animal welfare, pemeriksaan hewan yang intensif,
adanya masukan dari kunjungan pre assessment kesmavet pusat dan perbaikan fasilitas IKHP adalah
hasil dari optimalisasi penerapan kesejahteraan hewan. Penerapan kesejahteraan hewan di IKHP
BBVet Wates telah mengalami perubahan yang lebih baik secara nyata dalam menerapkan prinsip
kesejahteraan hewan, dengan adanya dokumentasi dan data hasil pemeriksaan laboratorium yang
baik, sehingga mampu memberikan benefit bagi hewan coba dengan semakin layak dan meningkat
mutu produknya yang dimanfaatkan untuk diagnosis laboratorium. Membentuk tim komisi etik
kesejahteraan hewan dan membuat SOP menjadi salah satu solusi dalam optimalisasi penerapan
kesejahteraan hewan coba di laboratorium maupun peternakan rakyat sebagai sampel hewan coba
di lapangan.
Kata kunci : optimalisasi, penerapan, kesejahteraan hewan, hewan coba, laboratorium, diagnosis
ABSTRACT
Animals or experimental animals are laboratory animals, which are maintained exclusively
for experimental purposes and so forth. Animal welfare is an animal that has physiological and
psychological conditions appropriate to support the quality of life. Animal welfare becomes a very
important thing and the principle of animal husbandry management, including both animal and
animal husbandry in general. The principle of animal welfare requires all animals that are kept or
live freely in nature to have rights / freedoms, including free from thirst / hunger, free from discomfort,
free from pain / injury, free to express natural behavior, and free from feeling fear and depression. The
study was conducted by observing from 2015, 2016 and 2017 on the maintenance of experimental
animals such as, laying hens, mice, marmots, rabbits, sheep and cows at the experimental animal
cage installation (IKHP) BBVet Wates.
Maintenance by observing animal welfare principle, intensive animal examination, input from
pre assessment of central kesmavet and improvement of IKHP facility is the result of optimizing
animal welfare application. The application of animal welfare in IKHP BBVet Wates has undergone
a significantly better change in applying animal welfare principles, with good documentation and
laboratory results data, so as to provide benefits for the animals with increasingly feasible and
increasing the quality of their products used for the diagnosis laboratory. Establishing a team
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
209
of animal welfare ethics committees and making SOP become one of the solutions in optimizing
the application of animal welfare in the laboratory as well as livestock farming as a sample of
experimental animals in the field.
PENDAHULUAN
210 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TUJUAN
Materi
Metode
HASIL
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
211
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pemeliharaan Hewan Coba Di IKHP Bbvet Wates Dan Peran Dalam Diagnosis Laboratorium
212
PRODUK
NAMA PRINSIP ANIMAL WELFARE DALAM TUJUAN DIAGNOSIS
NO UNTUK KETERANGAN
HEWAN PEMELIHARAAN LABORATORIUM
DIAGNOSIS
1. Ayam Layer -Biosecurity dan biosafety Serum,darah, 1. Isolasi Virus AI dan ND setiap 2 hari sekali untuk
-Sistem kandang umbar litter sekam TAB (Telur 2. RBC untuk media uji test HA/HI. TAB dan satu pekan sekali
-Tidak divaksinasi Ayam Bertunas) untuk RBC
-Ventilasi dan airkulasi baik SAN
-pakan merk pabrik
2. Mencit -Biosecurity dan biosafety Hewan mencit Media uji di laboratorium insidental
-Kandang steinlesteel litter sekam steril muda dan 1 parasitologi untuk peneguhan
-Ventilasi dan airkulasi baik koloni diagnosis surra, serta serologi untuk
-pakan merk pabrik uji rabies.
3. Marmut -kandang umbar dari papan kayu Darah Marmut media komplemen untuk uji 2-3 bulan sekali
-litter dari sekam. Complement Fixation Test (CFT)
-ventilasi dan airkulasi dan penerangan cukup di laboratorium bakteriologi.
- kandang bersih.
-Pemberian pakan secara ad-libitum (hijauan,
wortel) dan konsentrat
4. Kelinci -kandang battery terbuat dari galvanis Darah media haemolysin untuk uji di insidental
-ventilasi dan airkulasi cukup dan kandang bersih. laboratorium bakteriologi.
-Pemberian pakan pada pagi dan sore berupa hijauan
serta konsentrat.
5. Domba -kandang panggung dari kayu. Domba, Darah media Blood Agar untuk uji di Setiap pekan dan
Prosiding
Hasil pemeriksaan kesehatan hewan percobaan secara intensif terlihat dalam tabel 2.
Prosiding
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
213
Hasil laporan Visitasi Subdit Kesrawan, Dirkesmavet, Dirjen PKH,
Kementan RI dan Pakar dari IPB
Acuan laporan visitasi: “Tools for Animal housing and management (pre)
assessment” Subdit Kesrawan, Dirkesmavet, Dirjen PKH, Kementan RI dan
Pakar dari IPB pada 5 Desember 2016
INFORMASI UMUM
Balai Besar Veteriner Wates – Yogyakarta. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Indonesia.
http://bbvetwates.ditjenpkh.pertanian.go.id/
PEMBAHASAN
Pemeliharaan hewan coba di IKHP BBVet Wates dari tahun 2015 sampai
2017 sudah mengalami perbaikan optimal dan memperhatikan prinsip animal
welfare, dengan parameter sebagai berikut :
214 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kualitas bangunan induk memiliki konstruksi yang kokoh, tidak memudahkan
hewan untuk lepas.
Kandang mencit terbuat dari stainlessteel yang kokoh dan terkesan bersih.
Umumnya material kandang tidak berpotensi memberikan efek toksik dan
berbahaya untuk hewan.
Desain ruangan (suhu dan kelembaban, ventilasi dan kualitas air, suara,
cahaya)
Unit kandang marmut telah dilengkapi dengan tabung dan lorong kecil
untuk bersembunyi dan hal ini adalah upaya positif yang perlu diterapkan
pada unit kandang hewan coba lainnya.
Secara umum kandang hewan coba terjaga cukup bersih dan alas
kandang (bedding) diganti secara rutin dan untuk menyempurnakan upaya
ini perlu standar kriteria kebersihan yang didokumentasikan.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
215
Monitoring kesehatan
KESIMPULAN
SARAN
216 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KETERBATASAN ATAU LIMITASI
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
217
PERAN BHABINKAMTIBMAS DAN KARANG TARUNA
DALAM PELAKSANAAN VAKSINASI RABIES
DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
drh. Nur Hidayatullah1 , drh. Ernawati2
Medik Veteriner Muda 1Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan
Barat, 2Direktorat Kesehatan Hewan
drhdayat123@gmail.com, ernawati_rahmatsyah@yahoo.com
ABSTRAK
Provinsi Kalimantan Barat dinyatakan bebas dari rabies pada Agustus 2014. Namun pada akhir
tahun 2014 ditemukan kembali kasus lyssa di Kabupaten Ketapang. Hingga saat ini dilaporkan bahwa
kasus rabies ditemukan telah pada 11 dari 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat. Wilayah
yang masih belum ditemukan kasus positif baik pada manusia maupun hewan adalah Kabupaten
Sambas, Kota Pontianak dan Singkawang.
Cepatnya penyebaran rabies merupakan imbas dari kondisi yang ada di Provinsi Kalimantan
Barat. Dengan luas wilayah sekitar 147.307 km2 (lebih luas dari Pulau Jawa), populasi HPR
berpemilik yang diliarkan + 190.000 ekor, sedangkan jumlah vaksinator yang sangat terbatas, maka
berdampak pada rendahnya cakupan vaksinasi dan kekebalan kelompok yang terbentuk.
Sejak tahun 2017, Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat
dengan dukungan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian
RI melakukan sebuah terobosan baru dengan melakukan pelatihan tehadap 180 orang yang terdiri
dari anggota Bhabinkamtibmas dan Karang Taruna. Untuk mendukung program pencegahan dan
pemberantasan penyakit rabies, mereka berperan sebagai kader rabies dengan tugas utama melakukan
pendataan HPR, vaksinasi dan sosialisasi di masing-masing wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan cakupan vaksinasi dan sosialisasi terutama untuk wilayah yang sulit dijangkau.
Dengan penambahan jumlah petugas melalui kader vaksinator tersebut berdampak pada
meningkatnya cakupan vaksinasi rabies di Provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2016 jumlah
realisasi vaksinasi rabies mencakup 45.896 dari 184.950 ekor populasi HPR (24,8%). Sedangkan
pada tahun 2017 setelah adanya penambahan kader vaksinator rabies, jumlah vaksinasi HPR
mencakup 81.970 dari 188.518 ekor (43,4%). Melihat terobosan tersebut berdampak signifikan
terhadap cakupan vaksinasi di Kalimantan Barat, program ini akan dilanjutkan untuk tahun-tahun
berikutnya.
Kata kunci : vaksinasi rabies, kader vaksinator, sumber daya manusia, peningkatan cakupan
vaksinasi rabies, rabies kalbar
PENDAHULUAN
218 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Wilayah Provinsi Kalimantan Barat di bagian timur berbatasan dengan
Provinsi Kalimantan Timur, di bagian selatan berbatasan dengan Laut Jawa
dan Provinsi Kalimantan Tengah, dibagian barat berbatasan dengan Laut
Natuna dan Selat Karimata. Sedangkan di sebelah utara Provinsi Kalimantan
Barat terdapat 4 kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara bagian
Sarawak-Malaysia yaitu Kabupaten Sambas, Sanggau, Sintang dan Kapuas
Hulu.
Pada tahun 2014 yang lalu merupakan momen yang sangat bersejarah
bagi Provinsi Kalimantan Barat terkait status rabies di wilayah ini. Hal ini
dikarenakan pada tahun 2014, wilayah ini mendapatkan pernyataan bebas
rabies dari Kementerian Pertanian namun tertular kembali setelah ditemukan
kasus positif rabies baik pada manusia (lyssa) dan hewan.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
219
dibutuhkan vaksin beserta fasilitas penunjangnya serta petugas pelaksana
yang cukup.
Selama tahun 2017 stok vaksin pada Dinas Pangan, Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat sebesar 40,4% dari populasi
HPR yang ada. Salah satu alasan masih kurangnya vaksin yang tersedia
adalah masih kurangnya jumlah vaksinator rabies di Kalimantan Barat.
Sampai dengan tahun 2017 tercatat sebanyak 185 orang yang terlibat
dalam pelaksanaan vaksinasi rabies di 14 kabupaten/kota. Personil yang
terlibat dalam vaksinasi rabies antara lain adalah dokter hewan, paramedik
veteriner dan PPL. Berdasarkan luas wilayah dibandingkan dengan populasi
anjing diatas 190.000 ekor, dapat diasumsikan bahwa 1 orang vaksinator
rabies harus melakukan vaksinasi terhadap 1.027 ekor anjing (belum
termasuk HPR lainnya) dengan masing-masing wilayah kerja 796 Km2
(setara dengan luas kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah).
TUJUAN
220 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL
belum menggambarkan
hasil optimal
penambahan kader
dikarenakan
penugasan yang dilakukan
dan ketersediaan vaksin untuk
pelaksanaan kegiatan terealisasi
sejak bulan September 2017
Grafik 1. Cakupan vaksinasi HPR tahun 2016 dan 2017
PEMBAHASAN
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan penanggulangan rabies di Provinsi
Kalimantan Barat diperlukan penambahan petugas yang menangani untuk
dapat mengimbangi luasnya wilayah. Pada umumnya, pada 14 wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat masih kekurangan tenaga yang
menangani kesehatan hewan baik itu medik ataupun paramedik veteriner.
Dengan
adanya
kerja
sama antara Dinas
Pangan, Peternakan
dan
Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat dengan
pihak Kepolisian
Daerah
Kalimantan
Barat maka
untuk
menanggulangi
masalah
diatas,
direkomendasikan bahwa petugas Bhabinkamtibmas dapat menjadi kader
rabies di daerah prioritas. Rekomendasi ini dikarenakan beberapa alasan
antara
lain:
masing
masing
petugas
bertanggung
jawab
akan
keamanan
dan
kenyamanan di masing-masing wilayah kerjanya, petugas pada umumnya
dekat dan menjadi panutan masyarakat, meminimalkan penolakan vaksinasi
pada sebagian masyarakat.
Selain
perekrutan
petugas
Bhabinkamtibmas
dilakukan juga
pemberdayaan terhadap anggota Karang
Taruna dan Penyuluh Pertanian di
daerah prioritas. Keterlibatan Karang Taruna merupakan salah satu bentuk
keterlibatan
masyarakat
dalam upaya-upaya
pemberantasan
penyakit
rabies
di Kalimantan Barat.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
221
Petugas yang terpilih sebagai kader rabies pada tahun 2017 sebanyak
180 orang yang terdiri dari 54 orang petugas Bhabinkamtibmas, 80 orang
anggota Karang Taruna dan 46 orang dari Penyuluh Pertanian. Kader rabies
ini diberikan pelatihan dengan materi berupa teori dan praktek mengenai
pengetahuan tentang rabies, hewan penular rabies, vaksinasi, manajemen
rantai dingin vaksin, komunikasi, tata laksana kasus gigitan terpadu
(TAKGIT).
222 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kegiatan praktek vaksinasi peserta pelatihan (Foto: drh. Ernawati dan Ely
Marini K., S.Pt.)
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
223
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Steele, J. H. and Fernandez, P.J., 1991. History of rabies and global aspect.
In- Baer, G.M. [ed] The natural history of rabies, 2nd ed.CRC, Boca
Raton Florida. USA
224 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
MEMBANGUN SISTEM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT ZOONOSIS DAN PENYAKIT INFEKSI EMERGING
(PIE) DI KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT
MELALUI PENDEKATAN ONE HEALTH
Ahmad Mike Ariyanto (1), Elidar (2)
Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat (1)
Unit Laboratorium Keswan dan Kesmavet Provinsi Kalimantan Barat (2)
ABSTRAK
Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau
sebaliknya sedangkan Penyakit Infeksi Emerging (PIE) berdasarkan WHO adalah penyakit baru
atau penyakit lama yang muncul kembali dengan tingkat insidensi yang tinggi dan menyebabkan
kematian pada manusia serta berada di area geografis baru. PIE 60,3 % berasal dari hewan
(71,8 % berasal dari satwa liar) (kate et al, 2008). Salah satu pendekatan yang digunakan dalam
pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE yaitu menggunakan pendekatan one health.
Pendekatan one health dalam kaitannya ini mengkolaborasikan kesehatan masyarakat, kesehatan
hewan dan kesehatan satwa liar (lingkungan). Kabupaten Ketapang adalah salah satu Kabupaten
di Kalimantan Barat dan juga merupakan Kabupaten dengan wilayah terluas di Kalimantan
Barat. Kabupaten Ketapang merupakan daerah dengan endemis penyakit zoonosis (Rabies) sejak
tahun 2004. Selain itu, Kabupaten Ketapang merupakan daerah dengan tingkat pembukaan lahan
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang sangat tinggi serta banyaknya tenaga luar dalam
pengembangan pertambangan bauksit sehingga terpilih sebagai lokasi uji coba pendekatan one
health ini. Tujuan dalam penulisan ini yaitu menggambarkan proses/kegiatan yang dilakukan dalam
rangka membangun sistem pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE di Kabupaten
Ketapang dengan pendekatan One Health. Rangkaian kegiatan yang dilakukan yaitu pertemuan
stakeholder terkait untuk persamaan persepsi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui
pelatihan petugas kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan kesehatan satwa liar dan simulasi.
Jumlah petugas yang sudah dilatih sebanyak 60 orang. Pembelajaran dari pendekatan one health
yang diterapkan di Kabupaten Ketapang yaitu terbentuknya kolaborasi, komunikasi dan koordinasi
dalam bentuk sharing informasi melalui group whatsapp terkait kasus penyakit zoonosis, investigasi
bersama dan sosialisasi penyakit zoonosis bersama. Hal ini pernah diterapkan pada kasus gigitan
monyet ekor panjang yang diduga Rabies di Kabupaten Ketapang namun belum maskimal, sehingga
masih diperlukan mentoring dan evaluasi dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit
zoonosis dan PIE melalui pendekatan one health dikarenakan belum adanya perencanaan anggaran
secara terpadu.
Kata kunci : Zoonosis, Penyakit Infeksi Emerging (PIE), One Health, Ketapang
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
225
Dalam kompleksitas pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
dan PIE membutuhkan pemahaman yang sama bahkan terkadang perbedaan
dan hal yang bertentangan menjadi penghalang dalam penanganan penyakit
zoonosis (Waltner-Toews D. 2017). Berdasarkan hal tersebut diperlukan
suatau pendekatan yang efektif dalam pencegahan dan pengendalian penyakit
zoonosis dan PIE yaitu melalui pendekatan one health. Pendekatan one health
merupakan upaya kolaboratif dari berbagai profesi ilmu kesehatan, bersama
dengan disiplin ilmu dan institusi yang berhubungan-bekerja di tingkat lokal,
nasional, dan global untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi manusia,
hewan peliharaan, marga satwa, tumbuhan dan lingkungan kita (One Health
Comission www.onehealthcomission.org). Pendekatan one health dalam
kaitannya ini mengkolaborasikan kesehatan masyarakat, kesehatan hewan
dan kesehatan satwa liar (lingkungan) terutama dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit zoonosis dan PIE.
226 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 1. Peta Administratif Kabupaten Ketapang
(sumber : www.petatematikindo.wordpress.com )
TUJUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
227
1. Perencanaan
time
line kegiatan
Pertemuan stake holder untuk persamaan persepsi
2.
3. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia melalui pelatihan untuk
masing-masing petugas kesehatan hewan, kesehatan masyarakat dan
kesehatan satwa liar
4. Pelatihan bersama (join training) one health
5. Simulasi one health
6. Mentoring dan evaluasi
Time line One Health di Kabupaten Ketapang
228 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Rabies sesuai dengan SK Menteri Pertanian RI No. 885/Kpts/PD.620/8/2014
tentang Pernyataan Kalimantan Barat Bebas Penyakit Anjing Gila (Rabies).
Rabies kembali mewabah di Kalimantan Barat tahun 2014 di Kecamatan
Kendawangan Kabupaten Ketapang dengan data kasus yaitu 96 GHPR
(Gigitan Hewan Penular Rabies), 7 orang meninggal dan 3 sampel positif
Rabies (FAT). Adanya korban meninggal akibat Rabies saat itu dikarenakan
kurangnya kolaborasi, komunikasi dan koordinasi antar petugas baik itu
petugas kesehatan hewan ataupun kesehatan masyarakat.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
229
Bagan
1. Langkah-langkah dilakukan
yang
petugas one
health
dalam
penanganan penyakit zoonosis
Pembelajaran one health di Ketapang
Pendekatan One health efektif diterapkan di Kabupaten Ketapang
setelah bulan Juli 2017. Dari hasil penerapan pendekatan one health di
59
(sumber : Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat)
Lyssa di Ketapang 2014-2017
Kasus gigitan tidak akan bisa dihilangkan selama masih ada anjing
yang pemeliharaannya7 dilepas
liarkan dan tidak dibrangus. Namun,
mempertahankan tidak adanya korban meninggal di Kabupaten Ketapang
dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan one health dalam
pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis di Kabupaten Ketapang.
230 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis
2
dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan
Hewan Tahun 2018
Prosiding
0 0
322
145
Grafik 2. Penurunan lyssa di Kabupaten Ketapang dari tahun 2014-2017
Lyssa di Ketapang 2014-2017
7
2
0 0
(sumber : Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat)
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
231
Agar rangkaian kegiatan/proses tersebut berjalan dengan baik, sangat
diperlukan sekali mentoring dan evaluasi dalam pelaksanaan pencegahan
dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE di Kabupaten Ketapang melalui
pendekatan one health sehingga dapat teridentifikasi permasalahan dan
solusinya. Selain itu, peran pengambil kebijakan sangat diperlukan dalam
hal ini terutama dalam perencanaan penganggaran secara terpadu untuk
pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis dan PIE melalui pendekatan
one health dikarenakan sampai saat ini masih belum terencana dengan baik.
KETERBATASAN
DAFTAR PUSTAKA
Cleaveland S et al. 2017. One Health contributions towards more effective and
equitable approaches to health in low- and middle-income countries.
Phil.Trans. R. Soc. B 372: 20160168. http://dx.doi.org/10.1098/
rstb.2016.0168.
232 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
IDENTIFIKASI PENYEBAB KASUS GANGGUAN
REPRODUKSI PADA SAPI DI JAWA TENGAH, JAWA TIMUR
DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TAHUN 2015 DAN 2017
Indarto Sudarsono1, Bagoes Poermadjaja1, Rosmita Ikaratri1
1
Balai Besar Veteriner Wates
e-mail : indartojogja@gmail.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
233
diberikan pengobatan, tiga obat wajib yakni obat cacing, vitamin A, D dan E
injeksi dan Premiks, jika perlu dapat ditambahkan dengan treatment obat lain
dengan menyesuaikan hasil diagnosa. Tiga obat wajib tersebut dimaksudkan
untuk meningkatkan performa tubuh dan performa sistem reproduksi.
TUJUAN
HASIL
234 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Hasil Diagnosa Gangguan Reproduksi Tahun 2015
Dari tabel dapat dilihat bahwa kasus gangguan reproduksi yang memiliki
prosentase besar adalah kasus Hypofungsi sebesar 38,51%, Silent heat
sejumlah 22,73%, Kawin berulang 15,98%, kasus lainnya di bawah 10%,
adapun kasus di bawah 10% yang cukup menonjol adalah Corpus luteum
persisten 7,06%, Kasus Involusi uterus terlambat sebesar 6,16%, sedangkan
kasus lainnya di bawah 5%. Kasus gangguan reproduksi jika dibuat grafik
sebagai berikut :
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
235
Tabel 3. Perbandingan prosentase kasus gangguan reproduksi tahun 2015
dan 2017
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Jika dilihat prosentase kasus gangguan reproduksi tahun 2015 dan
2017 tersebut di atas, maka yang terjadi perubahan mencolok ada 5 kasus
yakni kasus
Endometritis, kasus
Hypofungsi,
Involusi uterus
terlambat,
Kawin berulang, dan kasus Silent heat. Kasus gangguan reproduksi yang
mengalami
penurunan adalah kasus hypofungsi, involusi uterus
terlambat
dan kasus kawin berulang, sedangkan kasus endometritis dan kasus silent
heat
mengalami
kenaikan.
Kasus gangguan reproduksi endometritis pada tahun 2015 sebesar
2,50%, sedangkan pada tahun 2017, terjadi peningkatan yang signifikan
menjadi
sebesar 7,02%,
atau terjadi sebesar
peningkatan
4,52%.
Endometritis
merupakan peradangan pada lapisan mukosa uterus. Menurut Ball dan
Peters (2004), endometritis merupakan peradangan pada endometrium dan
membran
mukosa uterus
yang
sering disebabkan
oleh adanya infeksi
bakteri.
Menurut Noakes et al. (2001), endometritis dan metritis
merupakan salah
satu
penyebab kemajiran pada ternak. Endometritis pada ternak
dapat dibedakan
menjadi
dua, yaitu
endometritis
klinis dan endometritis
subklinis. Secara
Sapi
klinis, prevalensi endometritis lebih tinggi pada sapi-sapi yang mature.
dengan
endometritis
dapat
didiagnosa
berdasarkan
palpasi
perektal
dengan
hasil
berupa
tidak terabanya
struktur ovarium.
Sedangkan
endometritis
subklinis
dapat didefinisikan
sedagai inflamasi
pada
uterus yang biasanya
ditentukan dengan pemeriksaan sitologi, tidak adanya eksudat purulenta di
vagina.
Endometritis subklinis biasanya
terjadi
ketika proses
involusi sudah
lengkap(sekitar
5
minggu
postpartus).
Uterus
merupakan organ yang
steril
sedangkan di
vaginaterdapat
banyak
mikroorganisme,
mikroorganisme
dari vagina ini dapat masuk ke uterus terutama pada saat perkawinan atau
melahirkan.
Bila jumlah
mikroorganisme terlalu
banyak dan kondisi
uterus
mengalami
gangguan maka dapat terjadi endometritis. Kejadian endometritis
kemungkinan
besar terjadi
pada saat
inseminasi buatan atau
penanganan
kelahiran yang kurang higienis, sehingga banyak bakteri yang masuk ke
uterus, seperti bakteri non spesifik (E. coli, Staphilylococcus, Streptococcus
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
236 Penyidikan
Penyakit
Hewan Rapat Teknis
dan Pertemuan
Ilmiah (RATEKPIL)
dan Salmonella), maupun bakteri spesifik (Brucella sp, Vibrio foetus dan
Trichomonas foetus).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
237
Kasus gangguan reproduksi kawin berulang (repeat breeding) adalah
sapi betina yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah
dikawinkan 2 kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan
semen pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981). Kasus
kawin berulang pada tahun 2015 mencapai 15,98%, sedangan pada tahun
2017 kasus tersebut mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi
4,73%, atau mengalami penurunan sebesar 11,25%. Menurut Zemjanis
(1980) secara umum repeat breeding disebabkan oleh dua faktor utama yaitu
kegagalan fertilisasi dan kematian embrio dini. Kegagalan fertilisasi dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyebab antara lain kelainan anatomi
saluran reproduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sperma yang
abnormal, dan kesalahan pengelolaan reproduksi. Menurut Harjopranoto
(1995), kelainan ovulasi dapat menyebabkan kegagalan pembuahan sehingga
akan menghasilkan sel telur yang belum cukup dewasa sehingga tidak
mampu dibuahi oleh sperma dan menghasilkan embrio yang tidak sempurna.
Pada sapi, atau kerbau kasusnya mencapai 13,19% (Hardjopranjoto,
1995). Kesalahan pengelolaan reproduksi dapat berupa : Kurang telitinya
dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk diadakan
inseminasi buatan (Toelihere, 1981). Deteksi birahi yang tidak tepat menjadi
penyebab utama kawin berulang, karena itu program deteksi birahi harus
selalu dievaluasi secara menyeluruh. Saat deteksi birahi salah, birahi yang
terjadi akan kecil kemungkinan terobservasi dan lebih banyak sapi betina
diinseminasi berdasarkan tanda bukan birahi, hal ini menyebabkan waktu
inseminasi tidak akurat sehingga akan mengalami kegagalan pembuahan
(Brunner, 1984); Penyebab kawin berulang meliputi kualitas sperma yang
tidak baik dan teknik inseminasi yang tidak tepat (Brunner, 1984); Sapi
betina yang mengalami metritis, endometritis, cervitis dan vaginitis dapat
menjadi penyebab kawin berulang pada sapi (Brunner, 1984); Manajemen
pakan dan sanitasi kandang yang tidak baik (Toelihere, 1981); Kesalahan
dalam memperlakukan sperma, khususnya perlakuan pada semen beku yang
kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan sperma,
penyimpanan dan thawing yang kurang baik (Toelihere, 1981); Faktor
manajemen lain seperti pemelihara atau pemilik ternak hendaknya ahli
dalam bidang kesehatan reproduksi (Toelihere, 1981). Sejak adanya kegiatan
GBIB dan Penanggulangan Gangguan reproduksi kegiatan pelatihan tenang
reproduksi praktis lebih banyak sehingga meningkatkan kemampuan para
petugas reproduksi di lapangan.
Kasus gangguan reproduksi silent heat pada tahun 2015 sebesar 22,73%
dan meningkat menjadi 39,13 pada tahun 2017 atau mengalami peningkatan
sebesar 16,40%. Proses ovulasi pada sapi silent heat berjalan secara normal
dan bersifat subur, tetapi tidak disertai dengan gejala birahi atau tidak ada
birahi sama sekali. Silent heat terjadi karena rendahnya kadar estrogen dalam
darah. Defisiensi nutrisi : β karotin, P, Co dan berat badan yang rendah akan
menyebabkan kejadian silent heat dan subestrus padi sapi. Kejadian ini sering
238 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
terjadi pada sapi post partus. Sebagai predisposisi dari kasus silent heat dan
sub estrus adalah genetik. Hormon LH pada kejadian silent heat dan sub
estrus mampu menumbuhkan folikel pada ovarium sehingga terjadi ovulasi,
tetapi tidak cukup mampu dalam mendorong sintesa hormon estrogen oleh sel
granulosa dari folikel de Graaf sehingga tidak muncul birahi (Putro, 2008).
Tidak adanya korpus luteum pada siklus berahi sebelumnya menyebabkan
konsentrasi progesteron sangat rendah dalam darah saat ovulasi pertama
setelah melahirkan, hal ini menyebabkan ovarium kurang responsif terhadap
hormon yang dikeluarkan oleh hipofisa anterior. Oleh karena itu, pada siklus
berahi berikutnya menyebabkan silent heat (Hafez, 2000).
Silent heat biasa terjadi pada sapi hasil persilangan. Birahi tenang banyak
terjadi pada sapi Brahman-Cross. Sapi dengan birahi tenang mempunyai
siklus reproduksi dan ovulasi normal, namun gejala birahinya tidak terlihat.
Birahi tenang akan mengakibatkan peternak tidak dapat mengetahui kapan
sapinya birahi, sehingga tidak dapat dikawinkan dengan tepat. Sifat birahi
sapi Brahman-Cross yang cenderung tenang ini timbul diakibatkan oleh
faktor genetis, manajemen peternakan tradisional, defisiensi komponen-
komponen pakan atau defisiensi nutrisi, perkandangan tradisional, sempit,
kurang gerak, kandang individual, kondisi fisik jelek, kebanyakan karena
parasit interna (cacing), atau dalam proses adaptasi (Putro, 2006). Dengan
adanya cross-breed hasil IB, memperbanyak jumah sapi croos-breed yang
berisiko memperbanyak kasus silent heat.
Kesimpulan
Saran
Perlu adanya penelitian yang lebih detail dan spesifik yang mempengaruhi
penurunan dan kenaikan prosentase kasus-kasus gangguan reproduksi.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
239
LIMITASI
DAFTAR PUSTAKA
Toelihere, M.R, 1981, Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi, Edisi Pertama,
Institut Pertanian Bogor,.
Ball PJH, Peters AR. 2004. Reproduction in Cattle 3rd Edition. Oxford:
Blackwell Publishing.
240 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Cai TQ. 2000. Association between neutrophil functions and periparturient
disorders in cows. J. Vet Res.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
241
EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI
ISIKHNAS DALAM PROGRAM UPSUS SIWAB DI KABUPATEN
LOMBOK TENGAH TAHUN 2017
Dinar H. W. Hartawan, Albert T. Mulyono, I Wayan Masa Tenaya, Adjar Sapto Utomo
ABSTRAK
Program Upaya Khusus Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (UPSUS SIWAB) di
Indonesia bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi protein hewani di Indonesia. Pada tahun
2017, sistem pelaporan yang digunakan dalam UPSUS SIWAB adalah pelaporan melalui ISIKHNAS
dan pengecualian bagi daerah yang belum dapat melaporkan melalui ISIKHNAS dapat menggunakan
laporan manual secara berjenjang dari tingkat kabupaten/kota sampai pusat. Namun penggunaan
ISIKHNAS tidak akan optimal apabila tidak didukung dengan kinerja operator yang melaporkan.
Oleh karena itu kajian untuk melihat efektifitas penggunaan ISIKHNAS dalam progam UPSUS
SIWAB perlu dilakukan mengingat pada tahun 2018 seluruh kegiatan harus dilaporkan melalui
ISIKHNAS. Dari hasil pengunduhan data ISIKHNAS kegiatan Gangguan Reproduksi (Gangrep)
dan Kesembuhan Gangrep, Inseminasi Buatan (IB) dari ternak gangrep yang sembuh di kabupaten
Lombok Tengah tahun 2017, dapat diperoleh hasil sebagai berikut; 1). Pelaporan kasus Gangrep
ISIKHNAS lebih tinggi dari kasus Gangrep manual dengan proporsi 102 % (2955/2907 kasus),
kemungkinan disebabkan adanya duplikasi laporan melalui ISIKHNAS. 2). Pelaporan kesembuhan
menunjukkan proporsi sangat rendah yakni 1,3 % (40/2894 kasus). Dan 3). Proporsi ternak gangrep
yang sembuh dan dilanjutkan dengan IB adalah 75,3 % (2178/2854 Kasus), dengan sebaran
kasus ternak yang tidak di IB dari bulan Maret sampai Desember 2017. Hal ini mengindikasikan
kelemahan dalam koordinasi atau laporan kesembuhan yang sangat rendah sehingga petugas IB
tidak dapat mendapatkan informasi secara akurat. 4). Dari jarak pelaporan kegiatan Insemiminasi
Buatan dan pemeriksaan kebuntingan, diperoleh hasil umur kebuntingan dibawah 2 bulan 10.2
% dan diatas 4 bulan sebesar 22,2 %. Hal ini juga mengindikasikan ketidak efektifan pelaporan
kebuntingan yang ditetapkan dalam pedoman umum UPSUS SIWAB, dimana masa pemeriksaan
kebuntingan seyogyanya dilakukan pada 2 – 4 bulan setelah pelaksanaan Inseminasi Buatan. Dapat
disimpulkan bahwa dengan terjadinya duplikasi pelaporan, diperlukan petugas validator di tingkat
kabupaten/kota yang bertugas memonitor pelaporan tersebut dan penegasan mekanisme pelaporan
melalui ISIKHNAS sehingga tidak terjadi kesalahan interpretasi hasil pelaporan yang menyebabkan
rendahnya tindak lanjut IB pada ternak gangrep yang sembuh di kabupaten Lombok Tengah.
PENDAHULUAN
METODOLOGI
Kajian ini adalah kajian analisis data sekunder dan data yang digunakan
adalah data pelaksanaan penanganan Gangguan Reproduksi (Gangrep),
perkembangan kasus dan Inseminasi Buatan (IB) yang terekam di ISIKHNAS
serta data penanganan Gangrep Manual dari kabupaten Lombok Tengah
tahun 2017 yang akan digunakan sebagai data pembanding.
Data Analisis
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
243
HASIL
Realisasi
*Realisasi Jml
Penanganan *Jml Sembuh
Kecamatan Penanganan Gangrep Sembuh
Gangrep Manual
Data Manual Isikhnas
ISIKHNAS
Batukliang 288 306 288 0
Praya Tengah 187 198 187 0
Praya Timur 106 112 106 0
Praya Barat 283 283 283 0
Praya 78 24 78 0
Jonggat 292 306 292 0
Pringgarata 211 226 211 5
Prabadar 259 267 259 8
Pujut 483 490 470 0
Kopang 327 339 327 0
Janapria 135 139 135 0
Batura 258 260 258 27
Grand Total 2,907 2,950 2,894 40
Sumber Data : Dinas Pertanian Lombok Tengah
244 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
disebabkan dari penentuan indicator kesembuhannya adalah pelaksanaan
Inseminasi Buatan (IB) pada ternak yang mengalami Gangrep tersebut.
Adapun salah satu kepentingan pelaporan kesembuhan melalui ISIKHNAS
adalah kemudahan petugas IB dalam mendapatkan akses informasi terkini
dari status ternak yang mengalami Gangrep tersebut. Sehingga, pelaksanaan
tindakan lanjutan terhadap ternak Gangrep yang sembuh tersebut tepat waktu
dan tepat sasaran karena setiap ternak akan mendapatkan ID ternak yang
sesuai dengan alamat pemiliknya.
Data penanganan kasus Gangrep di kabupaten Lombok Tengah
berdasarkan Diagnosanya dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagai berikut ;
Gambar
1. Grafik Diagnosa Gangrep Laporan Isikhnas dan Manual Lombok
Tengah tahun 2017
Hasil
49.81%
penanganan Gangrep
berdasarkan diagnosa sementara
14.92% 48.65%
14.54% menunjukkan bahwa kasus Gangrep
14.22%
14.26% tertinggi di Lombok Tengah tahun
14.4%
13.59% 2017 disebabkan karena Endometritis
7.64%
7.11% dengan 1422 berdasarkan data
Diagnosa Sementara
0%
0.63% ISIKHNAS. Terdapat selisih antara
0%
0.42% data manual dan data ISIKHNAS. Hal
0%
0.21%
0%
tersebut disebabkan pelaporan
0.21%
ISIKHNAS yang tidak sesuai dengan
0%
0.18%
0% petunjuk teknis penanganan Gangrep
0.07%
0% tidak dirubah dan perbaikan hanya
0.07%
dilakukan pada pelaporan manual di
0%
0.07%
0.84%
0%
Dinas Pertanian Lombok Tengah.
Beberapa diagnose yang masuk dalam
0 0.5
Prosentase (%)
definisi gejala Gangrep dirubah
Manual Isikhnas
menjadi penyebab dari kasus Gangrep
tersebut. Contoh kasus Gangrep yang
menunjukkan gejala peradangan diarahkan pada definisi Gangrep akibat
endometritis. Demikian juga pada gejala kawin berulang yang didefinisikan
akibat
Sistic
Folikuler
pada
laporan manual, dan beberapa kasus Gangrep
yang lainnya.
Pelaksanaan IB dari
kasus Gangrep
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
245
Tabel 2. Data Pelaksanaan IB pada Ternak yang mengalami Gangrep di
Lombok Tengah tahun 2017.
246 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 2. Jumlah ternak yang dilaporkan Gangrep dan IB di Lombok
Tengah 2017.
800
700
600
Jumlah ternak (ekor)
500
400
300
200
100
0
Maret April Mei Juni Juli Aug Sept Okt Nov Des
Bulan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
247
Tabel 3. Data jarak waktu Pelaksanaan IB dan pemeriksaan kebuntingan di
Lombok Tengah tahun 2017.
248 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
249
SIMPULAN DAN SARAN
250 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
3. Kelemahan koordinasi antar lini petugas dalam program UPSUS SIWAB
kemungkinan dapat diatasi dengan komunikasi verbal atau formal tanpa
melalui ISIKHNAS, namun dalam rangka efektifitas proses monitoring
dan evaluasi tingkat Nasional akan sangat membantu apabila seluruh
pelaporan dapat disampaikan melalui ISIKHNAS. Sehingga penerapan
penggunaan ISIKHNAS ini dapat tekankan kembali ke seluruh pihak
terkait melalui sosialisasi dan melalui kebijakan penggunaan ISIKHNAS
secara mutlak dalam program UPSUS SIWAB.
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
Tjok Gede Oka Pemayun, I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana, I Made Kota
Budiasa, 2014., Waktu Inseminasi Buatan yang tepat pada Sapi Bali
dan Kadar Progesteron pada Sapi Bunting.,Jurnal Veteriner September
2014. Vol. 15 No. 3 : 425-430. ISSN : 1411 – 8327.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
251
252 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL SERO SURVEILANS DALAM RANGKA PEMBEBASAN
BRUCELLOSIS DI PROPINSI BANTEN TAHUN 2012 – 2017
Yuliyanti, Panus., A, MSi., Rahmawan A, Sodirun, MP., Selviyanti.Maryamah, E.,
Seperti kita ketahui bahwa penyakit Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang perlu
diwaspadai baik pada ternak maupun manusia, karena penyakit ini dapat menyebabkan keguguran
di usia kebuntingan 5-7 bulan. Sehingga pada ternak penyakit ini dapat mengakibatkan kerugian
ekonomis yang cukup besar bagi peternak. Selain itu penyakit Brucellosis termasuk ke dalam 22
jenis Penyakit hewan menular strategis yang ada di Indonesia sesuai dengan Keputusan menteri
Pertanian No 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang PHMS di Indonesia. Propinsi Banten sebagai salah
satu Propinsi di Pulau Jawa dengan jumlah populasi ternak yang cukup tinggi untuk sapidan kerbau
sehingga mempunyai potensi besar dalam perdagangan/ekspor ternak. Syarat suatu wilayah dapat
ekspor ternak antar Negara adalah bebas terhadap penyakit salah satunya adalah Brucellosis. Oleh
karena itu Balai Veteriner Subang dalam rangka mendukung Propinsi Banten dalam penyelenggaraan
perdagangan dan dalam rangka pengendalian penyakit zoonosis melakukan Survei pembebasan
Brucellosis di Propinsi Banten. Tujuan dari surveilans ini adalah untuk mengetahui tingkat prevalensi
penyakit Brucellosis di Propinsi Banten selama 5 tahun (2012-2017).
Metode surveilans yang dilakukan adalah metode surveilans bertahap selama 5 tahun, tahun
2012 dilakukan dengan survei prevalensi (n=4PQ/L2), tahun 2013 – 2017 adalah survei deteksi
penyakit. Metode pengujian yang digunakan sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 828/
Kpts/OT.210/10/98 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Hewan Keluron Menular (Brucellosis)
pada ternak adalah pengujian dengan metode RBT, MRT dan CFT serta metode lain yang dapat
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan (Ditjennak 1998).
Dari hasil surveilans tahun 2012 - 2017dapat diketahui bahwa prevalensi Brucellosis di Propinsi
banten tahun 2012 sebesar 0 % dari jumlah sampel yang diambil sebanyak 5290, hasil surveilans tahun
2013-2014diperoleh prevalensi Brucellosis sebesar 0 % dari jumlah sampel yang diambil sebanyak
1.046, dan hasil surveilanstahun 2015-2016 diperoleh prevalensi sebesar 0,011 %, sedangkan hasil
surveilans tahun 2017 diperoleh prevalensi sebesar 0,011 %. Dari hasil surveilans yang dilakukan
oleh Balai Veteriner Subang selama 5 tahun tingkat prevalensi Brucellosis di propinsi banten di
bawah 0,2 %, maka dari itu Propinsi Banten dapat diusulkan untuk Pembebasan Brucellosis di tahun
2018.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL) 253
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
254 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
1. Brucellosis merupakan penyakit yang wajib dilaporkan dalam suatu
negara;
2. Seluruh populasi sapi pada suatu negara atau zone berada dibawah
kendali otoritas veteriner resmi (official veterinary control) dan
dipastikan bahwa prevalensi infeksi Brucellosis tidak melebihi 0,2%
pada semua kelompok (herds) sapi pada suatu negara atau wilayah
(zone) yang bersangkutan;
3. Uji serologis terhadap Brucellosis pada sapi dilakukan secara periodik
pada setiap kawanan (herd), dengan atau tanpa uji MRT;
4. Tidak ada hewan yang divaksinasi Brucellosis selama sekurang-
kurangnya tiga tahun terakhir.
5. Semua reaktor harus dipotong;
6. Hewan yang masuk ke negara atau wilayah (zone) bebas hanya berasal
dari kelompok (herd) yang secara resmi dinyatakan bebas Brucellosis
atau dari kawanan bebas Brucellosis. Ketentuan ini dapat diabaikan
untuk hewan-hewan yang belum divaksinasi, sebelum masuk diisolasi
dan dilakukan uji serologis untuk bovine Brucellosisdengan hasil negatif
pada dua kali pengujian, dengan interval 30 hari antara masing-masing
uji. Pengujian ini tidak dianggap sah pada hewan-hewan betina yang
baru saja melahirkan dalam kurun 14 hari terakhir.
TUJUAN
Materi
Materi yang digunakan dalam kegiatan ini berupa sampel hasil Surveilans
Penyakit Brucellosis di Propinsi Banten Selama Lima Tahun (2012 – 2017),
sampel yang digunakan berupa serum yang diambil dari hewan sapi potong
dan sapi perah yang diambil dari beberapa peternakan di 8 kabupaten/kota
di Propinsi Banten dengan unit sampling terkecil yang digunakan adalah
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
255
desa. Bahan Pengujian yang digunakan berupa Antigen Brucella Abortus
dari Pusvetma.
Tabel 1. Jumlah populasi sapi yang ada di Provinsi Banten pada tahun 2012
Metode
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
257
Tabel 2. Populasi dan poporsi sampel tahun 2012
Jumlah Populasi Besaran Sampel Berdasarkan
No Kabupaten/Kota
(ekor) proporsi
1. Kabupaten Pandeglang 28.189 3.631
2. Kabupaten Serang 5.583 720
3. Kabupaten Tangerang 3.651 470
4. Kota Tangerang 1.387 179
Total 38.810 5.000
Karena dari surveilans prevalensi tahun 2012 adalah = 0%, maka untuk
kegiatan surveilans selanjutnya adalah langsung diteruskan dengan kegiatan
sampling untuk mendeteksi penyakit (detect disease) Brucellosis. Surveilans
ini dilakukan selama 4 tahun berturut-turut yaitu tahun 2013-2016.
258 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
B. Surveilans Deteksi Penyakit Tahun 2013 - 2014
Jumlah 57 1.406
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
259
Tabel 5. Jumlah reaktor yang ditemukan dari hasil surveilans deteksi
penyakit di Provinsi Banten tahun 2013-2014
Sebagai tindak lanjut dari temuan hasil surveilans deteksi penyakit pada
tahun 2013, maka ditahun yang sama dilakukan surveilans sensus terhadap
desa yang ditemukan reaktor dengan melakukan pengambilan sampel pada
seluruh populasi sapi potong di desa tersebut yang berumur > 8 bulan. Hasil
pengujiannya terlihat pada tabel 5 dibawah ini.
260 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
D. Surveilans proporsi tahun 2015-2016
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
261
No KABUPATEN NEGATIF POSITIF JUMLAH
1 Kota Serang 31 1 32
2 Kota Tangerang Selatan 152 152
3 lebak 109 109
4 Pandeglang 122 122
5 Tangerang 125 125
6 Serang 130 130
7 Kota Tangerang 152 152
8 Cilegon 152 152
JUMLAH 973 1 974
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, A.K. 2009. Kajian Brusellosis pada Sapi dan Kambing Potong yang
Dilalulintaskan di Penyeberangan Merak Banten. Tesis. Institut
Pertanian Bogor.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
263
Frienchick, P.J ., R.J .F . Markham and A.H. Cocharane 1985 . Inhibition
of phagosom lisosom fusion in macrophages by soluble extracts of
virulent B. abortus. Am . J. Vet . Res. 46 (3) :332-335.
Tono, K.PG., dan Suarjana, I.G.K. 2008. Ilmu Penyakit Bakterial. Fakultas
Kedokteran Hewan Universiotas Udayana. Denpasar, Bali.
264 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
IDENTIFIKASI VIRUS REASSORTANT H5N1 CLADE 2.3.2.1C
DARI OUTBREAK HIGHLY PATHOGENIC AVIAN INFLUENZA
PADA UNGGAS DI INDONESIA TAHUN 2015-2016
Hendra Wibawa1, Rama Dharmawan1, Herdiyanto Mulyawan1, Trian Mahawan2,
Eko A Srihanto3, Yuli Miswati4, Nensy M Hutagaol5, Arif Riyadi6, Dinar H.W. Hartawan7,
Ferra Hendrawati8, Deswarni9, Farida C Zenal10, Nining Hartaningsih10, Bagoes Poermadjaja1.
1
Balai Besar Veteriner Wates, 2 Balai Veteriner Subang, 3 Balai Veteriner Lampung,
4
Balai Veteriner Bukittinggi, 5 Balai Veteriner Medan, 6 Balai Veteriner Banjarbaru,
7
Balai Besar Veteriner Denpasar, 8 Balai Besar Veteriner Maros,
9
Balai Kesehatan Hewan dan Ikan Jakarta, 10 FAO Indonesia, Jakarta
Korespodensi penulis pertama: hendra.wibawa@pertanian.go.id
ABSTRAK
Salah satu sifat virus avian influenza (AI), termasuk virus dari kelompok ganas atau highly
pathogenic AI (HPAI) subtipe H5N1, adalah kemampuan untuk terus berubah melalui mekanisme
mutasi (mutation) dan persilangan/reasorsi (reassortment) genetik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkharakterisasi virus-virus H5N1 terkini dengan pendekatan whole genome sequencing dan
analisis bioinformatika virus AI. Teknik Next Generation Sequncing (NGS) digunakan untuk
sekuensing sampel-sampel yang dikoleksi oleh Balai Besar Veteriner/Balai Veteriner di seluruh
Indoesia dari kasus kematian unggas yang meningkat dari Desember 2015-April 2016. Hasil sekuens
penuh (full-length) genom virus AI (terdiri dari 8 segmen: PB2, PB1, PA, HA, NP, NA, MP, NS) diblast
dalam database genom influenza di Genbank, dilanjutkan analisa filogenetik, dan kharakterisasi
asam-asam amino yang berperan dalam patogenesis virus HPAI. Hasil studi menunjukkan bahwa
reassorsi genetik teridentifikasi pada beberapa segmen gen internal (PB2, M dan NS) dari virus
H5N1 yang saat ini dominan ditemukan pada unggas di Indonesia (clade 2.3.2.1) dengan virus H5N1
yang dideteksi sebelumya (clade 2.1.3.2). Selain itu juga terdeteksi adanya virus-virus reassortant
HPAI H5N1 Clade 2.3.2.1 yang memiliki segmen gen internal PB2 yang diduga berasal dari virus
low pathogenic AI (LPAI). Hasil ini mengindikasikan adanya sirkulasi bersama beberapa virus AI
dari jenis clade dan subtipe yang berbeda-beda sebelum terjadi peningkatan outbreak HPAI pada
awal 2016, yang berdampak terjadinya infeksi campuran (co-infection) pada satu spesies inang
sehingga menghasilkan virus-virus reassortant. Surveilans pada aras molekuler sangat dibutuhkan
untuk terus memonitor perkembangan evolusi virus AI di Indonesia
Kata Kunci: Avian influenza, clade 2.3.2.1c, reassortment, whole genome sequencing, NGS.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
265
2.1.3.2 dan clade 2.3.2.1c, terdeteksi dan terisolasi dari kegiatan monitoring
dan surveilan baik pada unggas dan pasar unggas hidup di Indonesia (FAO,
2014).
266 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
likelihood (ML) tree dengan model substitusi DNA general time reversible
(GTR) + G dan 1000 replikasi bootstrap dilakukan dalam software MEGA
v7.0.21 (Kumar et al., 2016). Analisa homologi DNA dilakukan dengan tool
pencarian dalam BLAST database influenza virus di GenBank (https://blast.
ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi) and GISAID (http://platform.gisaid.org/epi3/
frontend) selanjutnya diikuti dengan kalkulasi jarak genetik menggunakan
analisa p-distance dalam MEGA v7.0.21.
268 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Table 1. Homologi asam nukleat dari virus-virus H5N1 clade 2.3.2.1c yang
dipelajari terhadap beberapa rujukan virus AI.
Homology1, %
H5N1 H5N1
H5N1 clade 2.3.2.1c clade clade H5N2 H5N6 H1N1 H7N1 H7N7
Segment
virus name2 and Genotipe3 2.1.3.2 2.3.2.1c
MY118/ JX7376/
SB29/074 DS025/16 SK1428/12 SI188/99 MO47/01 KO152/06
04 03
91.9- 84.2- 84.4- 84.9-
PB2 89.4-90.8 97.8-99.6 84.6-85.6 84.6-85.5
93.5 85.2 85.3 85.6
92.4- 87.6- 87.8- 88.0-
ck/Lampung Utara/03160217/2016 PB1 93.2-95.4 96.3-99.1 89.4-91.5 87.1-89.0
94.8 89.7 89.7 89.9
ck/LampungUtara/03160218/2016
qa/Sukoharjo/04152003/2015 88.6- 89.0- 92.9- 91.9-
PA 87.3-88.2 98.2-99.4 90.4-91.3 92.8-93.8
dk/Sukoharjo/04160290/2016 89.4 89.9 93.7 92.8
ck/Sleman/04160326/2016 ck/ 90.7- 85.5- 61.7- 64.5-
HA 88.2-89.3 97.8-99.7 53.9-54.4 54.6-55.1
Banyuwangi/04160330/2016 92.2 86.7 62.1 65.3
dk/Klaten/04160386/2016 dk/ 94.6- 90.4- 91.5- 89.8-
Lumajang/04160417/2016 dk/ NP 93.4-94.2 98.3-99.1 91.0-92.0 91.7-92.2
95.6 91.4 92.3 90.5
Lamongan/04160434/2016 ck/ 92.6- 51.2- 55.7- 89.7-
Kediri/04160512/2016 dk/ NA 91.1-92.2 98.2-99.6 89.3-90.0 55.7-56.2
93.8 51.7 56.2 90.5
Sidrap/07160336-3/2016 ck/
94.9- 90.8- 91.9- 89.4-
Denpasar/06160095/2016 M 93.1-93.9 98.4-99.7 90.9-91.8 91.0-91.9
95.9 91.8 92.7 90.2
93.9- 91.9- 92.6- 92.9-
NS 92.5-93.8 98.0-99.4 92.6-94.1 92.6-94.4
95.3 93.3 94.1 94.6
94.5- 85.3- 85.0- 85.6-
PB2 97.5-97.7 91.2-91.5 85.5-85.8 85.4-85.7
94,8 85.6 85,5 86.0
94.1- 88.6- 88.9- 89.3-
PB1 94.8-95.4 98.1-98.7 90.6-91.2 88.1-88.7
94.5 89.6 89.4 89.8
88.7- 89.2- 92.5- 91.6-
ea/Jakarta Timur/20616-III/2016 PA 87.5-87.7 98.0-98.4 90.4-90.9 92.6-93.1
89.0 89.3 92.9 91.9
ck/Majalengka/08160070-001/ 91.3- 86.4- 61.2- 64.6-
HA 88.4-88.7 98.1-98.4 54.1-54.3 54.7-54.9
2016 91.5 86.6 61.5 64.9
ck/Kuningan/08160178-003/2016 94.8- 90.7- 91.7- 90.1-
NP 93.5-94.1 98.4-99.0 91.7-92.2 91.7-92.4
ck/Subang/08160018-002/2016 95.1 91.3 92.2 90.4
md/Pekalongan/04160460/2016 92.2- 51.2- 55.8- 89.5-
NA 90.8-91.5 98.0-98.5 88.9-89.6 55.7-56.5
93.1 51.5 56.0 89.8
95.4- 90.1- 91.1- 89.2-
M 97.9-98.4 93.4-93.8 91.1-91.3 90.8-91.2
95.9 90.5 91.5 89.4
95.3- 90.6- 91.3- 92.5-
NS 97.8-98.0 93.8-94.0 91.8-92.0 91.8-91.9
95.5 90.8 91.5 92.8
84.8- 93.1- 93.2- 93.2-
PB2 83.8-83.9 83.4-83.7 93.5-93.7 92.7-92.7
85.0 93.1 93.3 93.3
93.8- 88.5- 88.7- 88.9-
PB1 94.7-95.4 97.8-98.4 90.1-91.2 88.1-88.5
94.7 89.3 89.2 89.8
88.7- 89.4- 93.1- 92.1-
PA 87.4-87.8 98.2-98.8 90.8-90.8 92.9-93.4
88.7 89.4 93.2 92.1
ck/Pati/04160433/2016 90.5- 85.5- 62.0- 65.1-
HA 88.0-88.6 97.6-98.1 53.9-54.0 54.5-54.8
91.4 86.4 62.1 65.3
ck/Sukoharjo/04160454/2016
95.5- 91.1- 92.0- 90.3-
ck/Lamongan/04160418/2016 NP 94.2-94.3 99.3-99.4 92.1-92.2 92.0-92.1
95.5 91.2 92.1 90.3
92.6- 51.1- 55.6- 89.7-
NA 91.1-91.5 98.5-99.0 89.1-89.6 55.7-56.0
93.1 51.3 55.8 90.0
95.7- 91.3- 92.5- 90.0- 91.50-
M 93.7-94.0 98.7-99.2 91.9-92.0
96.0 91.6 92.6 90.1 91.6
94.3- 92.3- 93.0- 93.8-
NS 93.0-93.9 98.6-99.1 93.3-93.8 93.5-94.0
95.0 93.0 93.8 94.3
1
Homologi ditunjukkan dengan range persentasi (minimum-maksimum) kesamaan asam nukleat
virus-virus yang dipelajari dengan rujukan virus AI.
2
Spesies hewan: ck, chicken; dk, duck; md, Muscovy duck; qa, quail; ea, eagle.
3
Genotipe ditentukan berdasarkan ada tidaknya reassorsi genetik dari virus-virus yang diteliti.
2.1.3.2 2.3.2.1.c Asian LPAIv
PB2
PB2 PB2
PB1 PB1 PB1
PA PA PA
HA HA HA
NP
NA
NP
NA
NP
NA
M M M
NS NS NS
2.3.2.1.c 2.3.2.1.c 2.3.2.1.c
Genotipe A Genotipe B Genotipe C
Gambar 3. Skema reasorsi genetik virus H5N1 Clade 2.3.2.1c di Indonesia
menunjukkan perbedaan konstelasi susunan genom virus AI
(genotipe) menjadi tiga kelompok, yaitu Genotipe A, B dan C.
Data-data yang ditunjukkan di atas menggambarkan bahwa evolusi
genotipe H5N1
clade
2.3.2.1c
di Indonesia
setidaknya
terbagi
menjadi
tiga kelompok genotipe (penggolongan berdasarkan konstelasi
susunan
genom
virus), yaitu: Genotipe
A adalah
virus-virus
yang
yang
masih murni
keseluruhan genomnya (8 segmen virus AI) berasal dari clade 2.3.2.1c;
Genotipe B adalah virus-virus clade 2.3.2.1c yang telah bereasorsi dengan
clade 2.1.3.2, dimana hal ini bisa dilihat dari kesamaan genetik segmen gen
270 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
internal dari virus clade 2.3.2.1c dari genotipe ini lebih mendekati segmen
gen internal virus clade 2.1.3.2 (A/quail/Deliserdang/01160025/2016), yaitu
PB2 (97.5-97.7%), M (97.9-98.4%), and NS (97.8-98.0%); dan Genotipe
C, adalah virus-virus clade 2.3.2.1c memiliki segmen gen PB2 yang lebih
mirip dengan segmen gen PB2 dari virus-virus LPAI (92.7-93.7%) (Tabel
1). Hasil ini menunjukkan bahwa segmen PB2 dari virus-virus ini (Genotipe
C) mungkin berasal dari virus-virus LPAI yang ada dan telah bersirkulasi
sebelumnya pada unggas tanpa menimbulkan gejala klinis. Investigasi dan
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat prevalensi dan distribusi
virus-virus LPAI pada unggas domestik maupun burung-burung liar di
Indonesia. Meskipun pada periode awal outbreak penyakit HPAI H5N1
clade 2.3.2.1c (Dharmayanti et al., 2014) belum ditemukan adanya reassorsi
genetik, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pertukaran gen internal
dari keturunan virus yang berbeda dari H5N1 clade 2.1 dapat terjadi setelah
virus telah menginfeksi, menyebar, dan memperluas keragaman genetiknya
pada populasi unggas (Lam et al., 2008).
KESIMPULAN
Masih belum jelas kapan dan dimana peristiwa reassorsi genetik tersebut
terjadi. Namun, jika melihat bahwa semua sampel-sampel virus dalam
penelitian ini dikoleksi dari peternakan unggas komersial kecil-menengah
(sektor 3) dan peternakan pekarangan (sektor 4) yang memiliki biosekuriti
rendah dan sering ditemukan pemeliharan campuran antara ayam dan unggas
air, maka ada kemungkinan pertukaran genetik terjadi pada peternakan-
peternakan dengan sistem campuran (mix-farming system) dan biosekuriti
yang rendah ini. Temuan ini juga menggarisbawahi tentang pentingnya
kontinuitas surveilans molekuler untuk memantau evolusi virus influenza.
Penelitian lebih mendalam juga diperlukan untuk menentukan apakah virus
dengan reassortment gen yang teridentifikasi, terutama di PB2, M dan NS,
menimbulkan risiko kesehatan pada spesies selain unggas.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
271
DAFTAR PUSTAKA
272 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Russell CA, Fonville JM, Brown AE, Burke DF, Smith DL, James SL, et al.
The potential for respiratory droplet-transmissible A/H5N1 influenza
virus to evolve in a mammalian host. Science. 2012; 336(6088): 1541-
7. http://dx.doi.org/10.1126/science.1222526
Koel BF, van der Vliet S, Burke DF, Bestebroer TM, Bharoto EE, Yasa IW,
et al. Antigenic variation of clade 2.1 H5N1 virus is determined by
a few amino acid substitutions immediately adjacent to the receptor
binding site. MBio. 2014; 5(3): e01070-14. http://dx.doi.org/10.1128/
mBio.01070
Lam TT, Hon CC, Pybus OG, Kosakovsky Pond SL, Wong RT, Yip CW,
et al. Evolutionary and transmission dynamics of reassortant H5N1
influenza virus in Indonesia. PLoS Pathog. 2008; 4(8): e1000130.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-294X.2012.05577.x
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
273
SURVEILANS AVIAN INLUENZA (AI) DI PASAR UNGGAS
HIDUP DI WILAYAH KERJA BALAI VETERINER SUBANG
TAHUN 2016
Sunarno
ABSTRAK
Dinamika virus AI di Indonesia menunjukkan adanya perubahan yang signifikan seperti infeksi
awal oleh virus clade 2.1.1, perkembangan menjadi clade 2.1.2 dan 2.1.3, mutasi virus, perubahan
patogenesitas, fenomena escape mutant, reassortant sampai dengan introduksi jenis baru dari clade
2.3.2 dan HxNx. Untuk memonitor perkembangan virus AI di lapangan diperlukan suatu alat/tool,
yaitu longitudinal surveilans di pasar unggas hidup (Live Birds Market Surveilans). Hal tersebut di
dasarkan atas pertimbangan bahwa di pasar unggas hidup merupakan tempat berkumpulnya bermacam
macam jenis unggas sehingga adanya mix infection dan reassorbment virus sangat tinggi. Kegiatan
surveilans dilakukan oleh dinas setelah mendapatkan pelatihan oleh B-Vet Subang bekerjasama
dengan FAO. Wilayah yang diambil sampel terdiri atas 13 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat
dan 3 kabupaten/kota di Propinsi Banten. Tujuan dari surveilans ini untuk memonitor kemajuan
pengendalian AI secara nasional, memonitor sirkulasi virus AI dan mendeteksi awal dari munculnya
virus influenza baru. Petugas sampling pasar (PSP) melakukan profiling pasar, penentuan pasar
sesuai kriteria untuk diambil sampel. Satu pasar diambil sampel satu pool terdiri atas swab telenan,
kain lap, pisau, meja display, bak sampah, ember dan mesin pencabut bulu. Sampel sampel tersebut
diuji dengan menggunakan teknik Reverse Transcriptase Real Time PCR (RRT-PCR) dan sesuai
tahapan alogaritma pengujian. Sampel yang diperoleh dari hasil surveilans di beberapa pasar unggas
hidup di Propinsi Jawa Barat dan Banten sebanyak 512 sampel. Sampel tersebut diuji menggunakan
RRT-PCR. Pengujian yang lain untuk mendapatkan isolat adalah uji isolasi virus menggunakan telur
bertunas. Dari hasil pengujian RRT-PCR diperoleh hasil bahwa 30 sampel positif H5N1 clade 2.3.2.1
dan 6 sampel positif H9N2. Hasil isolasi virus diperoleh hasil bahwa sampel - sampel tersebut positif
AI untuk clade 2.3.2.1, namun untuk H9N2 tidak bisa tumbuh di telur bertunas kemungkinan virus
sudah mati. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar unggas hidup memang merupakan faktor yang
sangat penting terjadinya wabah AI di Indonesia.
PENDAHULUAN
TUJUAN
Materi
Metode
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
275
menggunakan swab berupa cotton bud dacron (kapas sintetik), karena
apabila menggunakan cotton bud biasa (organik) akan merusak media dalam
VTM sehingga jika di isolasi virus tidak dapat tumbuh. Sampel diambil
dari pedagang ayam berupa swab telenan, kain lap, pisau, meja display, bak
sampah, ember dan mesin pencabut bulu, terdiri dari 5 swab dan dimasukkan
ke dalam VTM. Sampel tersebut disimpan dalam cool box dingin agar tidak
rusak dan PSP mengirimkan sampel tersebut ke Balai Veteriner Subang
untuk dilakukan pengujian.
c. Isolasi virus
276 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL
Grafik
2. Pengujian PCR Subtipe H5N1
Kab. Lebak
Kab. Lebak
Kota Tasikmalaya
Kota
KotaTasikmalaya
Cirebon
KotaKota Cirebon
Bandung
Kota Bandung
Kab. Karawang
Kab. Karawang
0 20 40 60 80 100 120
0 20 40 60 80 100 120
Hasil Uji (subtipe H5 clade 2.3.2.1) Hasil Uji (subtipe H5 clade 2.3.2.1) Jumlah sampel
Hasil Uji (subtipe H5 clade 2.3.2.1) Hasil Uji (subtipe H5 clade 2.3.2.1) Jumlah sampel
100 100
80 80
60 60
40 40
20 20
0
0
Kota Cimahi
Kota Cimahi
Jumlah sampel Hasil Uji (subtipe H9N2) Hasil Uji (subtipe H9N2)
Jumlah sampel Hasil Uji (subtipe H9N2) Hasil Uji (subtipe H9N2)
278 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah
dan Surveilans
Kesehatan
(RATEKPIL)
Hewan Tahun
2018
Prosiding
Hasil isolasi virus untuk sampel – sampel positif PCR yang berasal
dari kabupaten/kota yang berasal dari Karawang, Cirebon, Tasikmalaya,
Bandung dan Lebak virus dapat tumbuh dengan baik di telur bertunas dan di
dapatkan isolat virus. Namun sampel yang berasal dari Cimahi yang positif
PCR, sampel tidak dapat tumbuh di telur.
Persentase sampel hasil pengujian dengan PCR untuk masing masing jenis
uji sebagai berikut :
a. Pengujian influenza A (tipe A) : 2.85%
b. Pengujian subtipe H5N1 : 2.38%
c. Pengujian subtipe H9N2 : 0.47%
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
279
melakukan surveilans reguler belum pernah ditemukan virus strain ini. Inilah
hasil deteksi dini munculnya virus strain baru di Indonesia melalui surveilans
di pasar unggas hidup.
DAFTAR PUSTAKA
280 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
MONITORING DAN SURVEILANS PENYAKIT HEWAN
MENULAR PADA SAPI BALI DI BPTU HPT DENPASAR DAN
DOMPU TAHUN 2016
ABSTRAK
Telah dilakukan pengambilan sampel serum, darah dan feses dari BPTU HPT Denpasar dan Dompu
sejak Bulan Mei-September 2016. Selama pelaksanaan monitoring sebanyak 4528 sampel berhasil
dikumpulkan dari BPTU HPT Denpasar dan 3311 dari BPTU HPT Dompu. Monitoring ini bertujuan
untuk mengetahui situasi penyakit hewan menular di BPTU HPT sehingga bibit sapi yang dihasilkan
berkualitas baik , unggul dan tersertifikasi serta menghasilkan bibit sapi yang berkualitas, unggul
dan tersertifikasi. Sampel diuji terhadap penyakit Brucellosis, Jembrana, SE, IBR, BVD, parasit
gastrointestinal dan parasit darah. Hasil pengujian menunjukkan 51,1% sampel seropositif SE,
9% seropositif JD, 2,3% seropositif IBR dan 58,8% seropositif BVD.Sampai saat ini BPTU HPT
Denpasar dan Dompu masih bebas penyakit Brucellosis, Surra dan JD. Untuk mencegah masuknya
penyakit hewan menular ke BPTU HPT Denpasar dan Dompu, perlu dilakukan pemeriksaan dan
pengawasan terhadap hewan baru yang masuk ke BPTU serta dilakukan monitoring secara periodik
dan terstruktur.
ABSTRACT
Serum, blood and fecal sampling from BPTU HPT Denpasar and Dompu has been conducted since
May-September 2016. During the monitoring period 4528 samples were collected from BPTU HPT
Denpasar and 3311 from BPTU HPT Dompu. This monitoring aims to determine the situation of
infectious animal diseases in BPTU HPT so that the resulting beef cattle are of good quality, superior
and certified.
And produce qualified, superior and certified cows. Samples were tested against Brucellosis,
Jembrana, SE, IBR, BVD, gastrointestinal parasites and blood parasites. Test results showed 51.1%
seropositive samples SE, 9% seropositive JD, 2.3% seropositive IBR and 58.8% seropositive BVD.
Up to now BPTU HPT Denpasar and Dompu are still free of Brucellosis, Surra and JD disease. To
prevent the entry of contagious animal diseases to BPTU HPT Denpasar and Dompu, it is necessary
to inspect and supervise new animals that enter to BPTU and conducted monitoring periodically
and structured.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
281
yaitu Balai Perbibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU HPT)
Denpasar.
Materi
Sampel yang diambil pada monitoring dan surveilans ini adalah serum,
darah EDTA, swab, preparat ulas darah dan feses.
Metode
Jenis pengujian yang dilakukan meliputi Elisa (SE, JD, IBR dan
BVD) PCR (JD, IBR dan BVD), uji apung dan sedimentasi (feses) serta uji
mikroskopik (PUD) dan RBT (Brucellosis), isolasi (SE).
282 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Lokasi dan Waktu Kegiatan
Analisis Data
Semua data sampel hasil uji dan informasi ditabulasikan dan dianalisis
secara deskriptif.
HASIL
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
283
Hasil pengujian selengkapnya terhadap sampel tersebut seperti pada
Tabel 3 dan 4.
284 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Hasil pengujian sampel di BPTU HPT Dompu menunjukkan 22,3% (186
dari 836 sampel seropositif SE, 22,7% (61 dari 269 sampel) seropositif IBR,
64,0% (194 dari 269 sampel seropositif BVD. Hasil pengujian PCR di BPTU
Denpasar dan Dompu menunjukkan semua sampel negatif IBR dan BVD,
demikian pula halnya dengan isolasi SE menunjukkan semua sampel negatif
Pasteurella multocida. Hasil pemeriksaan terhadap parasit gastrointestinal
cacing Nematoda dan Trematoda sampel dari BPTU Denpasar menunjukkan
positif parasit gastrointestinal yaitu 26,6% (68 dari 256 sampel) positif parasit
gastrointestinal sedangkan sampel dari BPTU HPT Dompu menunjukkan
positif parasit gastrointestinal lebih tinggi yaitu 42,3 (116 dari 274 sampel).
Selain infestasi cacing, jenis protozoa (Eimeria) juga ditemukan di kedua
lokasi dengan prevalensi 1,2% untuk BPTU HPT Denpasar dan 5,1% untuk
BPTU HPT Dompu. Hasil pemeriksaan terhadap parasit darah menunjukkan
semua sampel negatif Trypanosoma. Hasil selengkapnya ditampilkan pada
Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Hasil Uji Penyakit Parasit Gastro Intestinal (PGI) di BPTU HPT
Denpasar dan Dompu Tahun 2016
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
285
Jenis Parasit Jlh. Jumlah Prev.
No Lokasi
GastroIntestinal Spl Positif (%)
Trichostrongylus 3* 1,1
Chabertia 5* 1,8
JUMLAH 274 116 42,3
286 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 8. Prevalensi Parasit Darah Trypanosoma sp pada Sapi Bali di
BPTUHPTDenpasar dan Dompu Tahun 2016
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
287
diperlukaan kajian tentang data dasar yang berkaitan dengan jenis parasit,
prevalensi, tingkat parasitemia dan berbagai faktor risiko yang berpengaruh
pada kejadian infeksi parasit darah.
Kesimpulan
Saran
UCAPAN TERIMAKASIH
288 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. (2004).iIvermectin.http://cal.vet.upenn.edu/dxendopar/drug%20
pages/fenbendazole.htm.Diakses 24 Januari 2017.
Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. (2010).
Review- The Natural History of Anaplasma Marginale. Vet
Parasitol. 167:95-1070.027.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., (1987). Principles and
Methods
Nasution AYA. (2007). Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing
di Lima Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
289
HASIL SURVEILLANCE BEBAS PENYAKIT AI PADA
BEBERAPA KOMPARTEMEN BREEDING FARM UNGGAS DI
WILAYAH KERJA BALAI BESAR VETERINER WATES
Elly Puspasari Lubis1, Tri Parmini1, Surya Purbarini1
1
Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta
Korespodensi
Email : ellypuspasarilubis@gmail.com
ABSTRAK
Penataan kompartemen perlu dilakukan oleh setiap breeding farm agar unggas dan produk
unggas yang dihasilkan memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan dan kualitas unggas dan produk
unggas. Agar proses penataan kompartemen dan penataan zona usaha perunggasan dapat berjalan
secara konsisten maka dipandang perlu menerapkan pedoman penataan kompartemen dan penataan
zona pada breeding farm unggas. Tujuan dilakukan kegiatan ini antara lain untuk mengendalikan
dan memberantas penyakit AI, menjamin agar unggas dan produk unggas yang dihasilkan oleh
breeding farm unggas aman berkualitas dan terbebas dari virus penyakit AI, mencegah masuk dan
menyebarnya penyakit AI melalui lalulintas perdagangan unggas dan produk unggas antar daerah dan
antar negara, dan membuka peluang perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Pengujian
dilakukan dengan titer antibodi AI H5N1 clade 2.3.2 dan titer antibodi AI H5N1 clade 2.1.3 sebanyak
945 serum ayam parent stock. Hasil untuk pengujian antibodi AI clade 2.1.3 pada breeding farm
didapatkan titer antibodi tinggi sebanyak 81,8%, titer antibodi rendah sebanyak 14,8%, dan titer
antibodi negatif sebanyak 3,4%. Pengujian antibodi AI clade 2.3.2 pada breeding farm didapatkan
titer antibodi tinggi sebanyak 88,8%, titer antibodi rendah sebanyak 10,7%, dan titer antibodi negatif
sebanyak 0,5%. Disamping pengujian titer antibodi AI H5N1 clade 2.3.2 dan clade 2.1.3, sampel
serum juga dilakukan uji titer antibodi AI H9N2 DAN RT-PCR. Pengujian RT-PCR diperoleh hasil
semua negatif. Pengujian antibodi AI H9N2 pada breeding farm didapatkan titer antibodi tinggi
sebanyak 38,1%, titer antibodi rendah sebanyak 47,8%, dan titer antibodi negatif sebanyak 14%.
Titer antibodi AI H9N2 pada sampel di breeding farm kemungkinan karena vaksinasi.
PENDAHULUAN
290 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/OT.140/5/2008
tentang pedoman penataan kompartemen dan penataan zona usaha
perunggasan, kompartemen adalah suatu peternakan dan lingkungannya yang
terdiri dari satu kelompok unggas atau lebih yang memiliki status kesehatan
hewan. Kompartementalisasi dan zonifikasi merupakan salah satu solusi
penting yang telah mendapatkan rekomendasi dari Office Internationale de
Epizooticae (OIE) untuk mengendalikan dan membebaskan suatu kawasan
dan penyakit unggas terutama AI, sekaligus dalam upaya mendukung
terpenuhinya persyaratan dalam perdagangan unggas dan produk ungags
baik antar daerah maupun antar negara.
TUJUAN
Desain survei
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
291
1. Target populasi dan tempat pelaksanaan kegiatan
Surveillance meliputi populasi dari usaha perunggasan yang ada di
breeding farm unggas (peternakan perbibitan unggas) yang berlokasi di
Kabupaten/Kota Jawa timur, Jawa tengah, dan DI Yogyakarta pada tahun
2017.
3. Kuisioner
Selain melakukan kegiatan sampling, juga dilakukan kegiatan interview
secara langsung kepada dinas dan peternak untuk menggali informasi yang
berkaitan dengan kasus AI dan faktor resiko penularan AI pada lokasi
peternakan.
4. Pengujian laboratorium
a. Darah / Serum (uji HI AI)
Sampel dalam bentuk darah utuh akan dipreparasi untuk
mendapatkan serum. Serum diuji dengan uji hemaglutination
inhibition (HI) / uji hambatan aglutinasi menggunakan antigen AI
untuk mengetahui adanya zat kebal AI di lapangan, vaksinasi, dan
maternal antibodi.
292 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
b. Sampel Swab (Real-Time PCR dan isolasi virus)
Sampel swab kloaka/swab trachea (5 sampel dipool jadi 1 tabung)
akan diuji screening real-time reverse transcription PCR (rRT-
PCR) gen virus influenza tipe A (Matrix/MA). Swab kloaka/trachea
dari 5 sampel dipool menjadi 1 tabung berdasarkan kelompok umur
(flok) dan diuji rRT-PCR MA. Pool yang positif MA selanjutnya
diuji rRT-PCR H5 dan swab unggas paralel dengan isolasi virus
pada telur ayam bertunas.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
293
Selain itu kemungkinan belum dilakukannya vaksinasi ulangan (booster)
sehingga kekebalan ayam menurun. Perbandingan antara titer antibodi
AI clade 2.1.3 dan clade 2.3.2 tidak jauh beda karena breeding memakai
vaksinasi yang mengandung clade 2.1.3 dan clade 2.3.2 dan pemakaiannya
disesuaikan dengan prosedur yang telah dibuat oleh breeding farm (Gambar
1.).
Hasil surveilans yang berupa uji serologis dan uji molekuler sudah
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
sebagai bahan pertimbangan menerbitkan surat keterangan bebas kasus
AI atau surat keterangan bebas AI sebagai bahan pertimbangan pada rapat
294 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
teknik di Kementan Pusat. Hasil dari rapat panitia teknik di Kementan Pusat
memutuskan bahwa 8 breeding farm berhak mendapatkan surat keterangan
atau sertifikat bebas AI.
KESIMPULAN
Titer antibodi tinggi AI clade 2.1.3 dan 2.3.2 yang diperoleh menunjukkan
persentase tinggi dikarenakan respon vaksinasi sedang mencapai puncak
(sekitar 3-4 minggu setelah vaksinasi) dan adanya vaksinasi ulang (booster)
pada waktu pengambilan. Rata-rata breeding farm melakukan vaksinasi AI
sebanyak 5 kali sampai masa afkir. Titer antibodi rendah dan titer antibodi
negatif yang didapat pada breeding farm dikarenakan beberapa factor seperti
jarak pengambilan sampel yang berdekatan dengan waktu vaksinasi sehingga
ayam belum menunjukkan titer antibodi optimum. Selain itu kemungkinan
belum dilakukannya vaksinasi ulangan (booster) sehingga kekebalan ayam
menurun. Perbandingan antara titer antibodi AI clade 2.1.3 dan clade 2.3.2
tidak jauh beda karena breeding memakai vaksinasi yang mengandung clade
2.1.3 dan clade 2.3.2
Hasil dari swab kloaka sebanyak 1.151 dan swab lingkungan sebanyak
235 yang didapatkan semua negatif MA AI. Hal ini menunjukkan tidaknya
sheeding virus AI pada breeding farm.
KETERBATASAN
DAFTAR PUSTAKA
OIE, 2012. Manual Diagnostic Test and Vaccines for Terrestial Animal Word
Organisation for Animal Health chapter 2.3.4.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
295
PENYIDIKAN KEJADIAN KEMATIAN SAPI BALI YANG
DIDUGA DISEBABKAN OLEH JEMBRANA DI JORONG
PANANG NAGARI TANJUANG BALIK KECAMATAN
PANGKALAN KABUPATEN LIMA PULUH KOTA TAHUN 2016
Eka Oktarianti1, Betty Indah Purnama2
1
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota
2
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat
Email : eka.oktarianti0606@gmail.com
Mobilephone : 085272747826
ABSTRAK
Sejak pertama kali outbreak di Sumatera Barat tahun 1992 Balai Veteriner Bukittinggi telah
melakukan monitoring penyakit Jembrana dan belum pernah ditemukan kasus di Kabupaten Lima
Puluh Kota. Pada bulan Oktober tahun 2016, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. Lima
Puluh Kota bersama Balai Veteriner Bukittinggi melakukan penyidikan terhadap kasus kematian
mendadak pada sapi bali di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik Kecamatan Pangkalan Kab. Lima
Puluh Kota dengan gejala diduga terinfeksi Jembrana. Tujuan penyidikan adalah untuk menentukan
defenisi kasus, mengumpulkan data dan informasi, melakukan pengambilan dan pengujian sampel,
mengidentifikasi kemungkinan sumber/rute infeksi, mengidentifikasi faktor-faktor risiko, analisis
data serta pemberian saran tindakan pengendalian. Penyidikan dilakukan melalui pencarian kasus
aktif terhadap ternak yang menunjukkan gejala klinis, wawancara terhadap peternak dengan
kuisioner, obeservasi lingkungan dan pemeriksaan laboratorium (nekropsi bangkai dan PCR)
oleh Balai Veteriner Bukittinggi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analisa sederhana,
pembuatan kurva epidemik, dan perhitungan mortalitas. Berdasarkan kerangka waktu dan kurva
epidemik, kisaran masa inkubasi adalah 4 – 12 hari. Angka mortalitas sebesar 30%. Diagnosa
banding saat kunjungan ke lapangan adalah Bovine Ephemeral Fever (BEF). Peneguhan diagnosa
dilakukan dengan nekropsi dan pemeriksaan secara PCR terhadap ternak yang menunjukkan gejala
klinis. Hasil nekropsi menunjukkan terjadinya pembesaran lien dan perdarahan pada orga jantung,
sedangkan hasil pengujian PCR terhadap serum darah dan organ pada 5 ekor sapi menunjukkan
hasil positif terinfeksi Jembrana. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa penyebab
kematian pada sapi bali adalah terinfeksi penyakit Jembrana Hasil penyidikan menunjukkan bahwa
kemungkinan sumber infeksi berasal dari pemasukan sapi bali dari daerah endemis dan telah
terinfeksi Jembrana, serta kurang optimalnya manajemen pemeliharaan sapi bali oleh peternak.
Pemberian rekomendasi tindakan pengendalian adalah peningkatkan manajemen peternakan dan
biosekuriti, melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi tentang tata cara pemasukan ternak
dari luar daerah.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
297
TUJUAN
METODA
298 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL
Dari data tersebut diatas dapat diketahui bahwa angka mortalitas pada
sapi bali sebesar 30% (21/70). Menurut Putra (2001), angka kematian akibat
Jembrana adalah 31,8% pada sapi betina dan 7,7% pada sapi bali jantan.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
299
Panang
Gambar 3. Pemetaan partisipatif area kasus
300 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gejala klinis yang teramati pada sapi bali yang mengalami kematian
yaitu adanya hipersalivasi, nafsu makan turun, sesak nafas, beberapa ekor
ternak ada yang menunjukkan gejala feses dan urin berdarah, demam,
berkeringat darah, dan keluar darah dari lubang hidung, telinga dan anus.
Sedangkan perubahan patologi anatomi terjadinya pembesaran limfe dan
perdarahan jantung.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
301
No. Variabel Jumlah
3. Tahu penyakit Jembrana
- Ya 0
- Tidak 6
4. Penerapan biosekuriti
1. Desinfeksi
- Ya 0
- Tidak 6
2. Pagar pembatas
- Ya 0
- Tidak 6
5. Sumber air minum
- Sungai 4
- Kolam 2
6. Asal sapi
- Beli 2
- Indukan sendiri 4
7. Umur sapi 1 – 6 tahun
8. Bangsa sapi Bali
9. Disposal
- Dikubur 0
- Dijual 6
10. Pelaporan kasus
- Ada 2
- Tidak ada 4
11. Keluar masuk hewan/kendaraan setelah kasus
- Ada 6
- Tidak ada 0
Pengambilan spesimen
302 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ekor sapi bali milik bapak Rudik yang positif Jembrana pada pemeriksaan
PCR oleh BVet Bukittinggi, menunjukkan gejala sakit dengan tanda-tanda
hipersalivasi, nafsu makan turun, dan demam. Tim penyidikan Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota telah
melarang bapak Rudik menjual sapi bali tersebut, akan tetapi bapak Rudik
tetap menjual sapi sakit itu ke toke dan dibawa lagi ke Kabupaten Kampar.
PEMBAHASAN
Kematian ternak pada sapi bali dengan gejala klinis terserang virus
Jembrana di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik Kecamatan Pangkalan
merupakan kasus pertama kali, sehingga masyarakat belum mempunyai
pengetahuan tentang penyakit Jembrana dan faktor-faktor risiko yang dapat
memengaruhi kejadian Jembrana. Sejak tahun 2013, Kabupaten Kampar dan
kabupaten lainnya di Provinsi Riau merupakan daerah endemis Penyakit
Jembrana. Berdasarakan hasil surveilan yang dilakukan Balai Veteriner
Bukittinggi, sepanjang tahun 2016 dilaporkan telah terjadi kematian Sapi
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
303
Bali sebanyak 254 ekor akibat terjangkit penyakit Jembrana. Peternak tidak
mengetahui informasi tersebut dan peternak masih membeli dan memasukkan
ternak dari Kabupaten Kampar yang merupakan daerah endemis sehingga
akan berisiko menularkan penyakit Jembrana di Kecamatan Pangkalan.
Kesimpulan
304 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
3. Mortalitas penyakit Jembrana di Jorong Panang Nagari Tanjuang Balik
Kecamatan Pangkalan pada bulan Oktober 2016 adalah 30%, sedangkan
penularan penyakit terjadi secara mekanis dan vektor.
4. Faktor- faktor risiko yang dapat memengaruhi kejadian Jembrana
adalah kurang optimalnya kontrol lalu lintas ternak dari daerah endemis,
penerapan manajemen pemeliharaan ternak dan biosekuriti, rendahnya
pengetahuan masyarakat tentang penyakit Jembrana, serta sistem
pelaporan penyakit dari peternak kepada petugas kesehatan hewan yang
masih lambat.
Saran
LIMITASI
DAFTAR PUSTAKA
Dharma DMN. Ladds PW. Wilcox GE. and Campbell RSF. 1994.
Immunopathology of Experimental Jembrana Disease in Bali Cattle.
Vet. Imunopathol. 44: 31 – 44.
Dharma DMN. Budiantono A. Campbell RSF. and Ladds PW. 1991. Studies
on Experemintal Jembrana Disease In Bali Cattle III. Pathology J.
Comp. Pathol. 105: 397 – 414.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
305
Hilmayeni S. 2016. Penyakit Jembrana, Kenali dan Waspada. Buletin
Puskeswan 1 Oktober 2016. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Propinsi Sumatera Barat.
Putra AAG. Dharma DMN. and Kalianda J. 1994 Laporan Penyidikan Survei
Seroepedemiologi Penyakit Jembrana di Kab. Tanah Laut, Kalimantan
Selatan.
306 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
SURVEILANS SALMONELLOSIS PADA AYAM PETELUR
(LAYER) DI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN DI
YOGYAKARTA TAHUN 2015, 2016 DAN 2017
drh. Cicilia Setyo Rini P, M.Sc
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
307
TUJUAN
Sampel yang diambil dan diuji berupa serum dan swab kloaka ayam
petelur (layer). Sampel serum dan swab kloaka ayam diambil dari peternakan
ayam petelur (layer). Beberapa sampel swab tempat telur juga diambil pada
surveilans Salmonellosis tahun 2017.
90% 82.50%
78.13%
80% 75%
70%
70% 64.24% 65%
58.82% 60%
60% 55.65%
48.96%
50% 43.10% 45% 43.21%
40.56% 38.75%
40% 36.46%
33.22%
30%
18%
20% 15.63% 16.67%
10%
0
0%
Semarang Magelang Tulung Kediri Pasuruan Blitar Kulon Progo
Agung
308 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Sero-prevalensi Salmonellosis tahun 2017 berdasarkan pullorum test
cukup tinggi (>40%) di 6 kabupaten (Semarang, Magelang, Tulungagung,
Kediri, Pasuruan, Blitar), sedangkan di Kabupaten Kulon Progo rendah
(16,67%).
4%
3%
2%
1.07%
1%
0% 0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0 0%
0%
Semarang Magelang Tulung Kediri Pasuruan Blitar Kulon Progo
Agung
Hasil isolasi Salmonella sp. dari swab kloaka tahun 2017 menunjukkan
hasil positif di Kabupaten Blitar (1,07%) dan negatif (0%) di 6 kabupaten
lainnya.
Hasil pullorum test positif yang cukup tinggi tetapi hasil isolasi
Salmonella sp. yang positif rendah atau negatif kemungkinan disebabkan
reaksi silang pullorum test atau ayam pernah terinfeksi Salmonella sp.
sebelum surveilans karena ayam tidak divaksinasi Salmonella. Pullorum
test sebagai screening test sebaiknya diuji validitasnya karena kemungkinan
terjadi reaksi silang dengan bakteri lain.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
309
Hasil surveilans Salmonellosis (sero-prevalensi dan prevalensi)
yang telah dilakukan berkesinambungan selama 3 tahun di 7 kabupaten
menunjukkan peningkatan prevalensi Salmonellosis pada ayam petelur
(layer) pada tahun 2015, 2016 dan 2017 di Jawa Timur, Jawa Tengah dan
DI Yogyakarta. Prevalensi Salmonellosis dapat diketahui dengan pasti jika
surveilans dilakukan secara berkesinambungan di daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Herendra, D.C. & Don A.F. 1996. Poultry Diseases and Meat Hygiene.
Iowa State University Press.
310 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PREVALENSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI DI PROVINSI
NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2017
Veronika Matutina. A.Md
ABSTRAK
Perkembangan peternakan sapi di Nusa Tenggara Timur yang cenderung dikelola secara
tradisional dengan metode penggembalaan menjadi salah satu indikator penyebaran parasit cacing.
Fasciolosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing Fasciola sp. Penyakit cacingan
merugikan secara ekonomi karena dapat menyebabkan penurunan berat badan,penurunan kulitas
daging,kulit, jeroan dan menyebabkan penurunan produktifitas serta dapat menular kepada manusia
(zoonosis), namun pada beberapa kasus dapat pula menyebabkan kematian pada hewan muda.
Surveilans ini dilakukan untuk melihat prevalensi dan tingkat infestasi telur cacing Fasciola sp
pada sapi bali di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Surveilans dilakukan dengan metode pengujian
sedimentasi pada feses sapi yang diambil dari 22 Kota/Kabupaten di wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Timur dengan memperhatikan daerah pemeliharaan (kering dan basah) dianalisa menggunakan chi-
square dan Odds Ratio (OR). Total sampel yang diambil sebanyak 948 sampel feses sapi dengan
prevalensi telur cacing Fasciola sp sebanyak 1,69 % dan hasil perhitungan chi-square sebesar 16,68
(X2tabel= 3.84; α = 0,05, df = 1) menunjukan bahwa ada hubungan antara kejadian fasciolosis dengan
daerah pemeliharaan di wilayah basah. Sedangkan hasil perhitungan OR didapat 11,69; yang berarti
kejadian Fasciolosis pada daerah basah 12 kali lebih tinggi daripada di daerah kering.
Kata Kunci : Fasciolosis, Prevalensi, Surveilans, Sapi Bali, Nusa Tenggara Timur
PENDAHULUAN
Latar belakang
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
311
namun pada beberapa kasus dapat pula menyebabkan kematian pada hewan
muda (Anonimous,2016b).
TUJUAN
Materi
312 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Metode
HASIL
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
313
Tabel 1. Sebaraan dan Prevalensi Fasciola Sp diwilayah Provinsi NTT
Prevalensi
No Kabupaten Jumlah Positif
(%)
1 Alor 35 0 0
2 Belu 50 3 6
3 Ende 50 0 0
4 Flores Timur 50 0 0
5 Kab. Kupang 50 0 0
6 Kota Kupang 31 0 0
7 Lembata 51 0 0
8 Malaka 23 1 4,35
9 Manggarai 50 0 0
10 Manggarai Barat 22 3 13,64
11 Manggarai Timur 32 0 0
12 Nagakeo 48 0 0
13 Ngada 50 3 6
14 Rote Ndao 44 0 0
15 Sabu 50 0 0
16 Sikka 44 0 0
17 Sumba Barat 42 0 0
18 Sumba Barat Daya 41 2 4,88
19 Sumba Tengah 50 0 0
20 Sumba Timur 50 2 4
21 TTS 50 0 0
22 TTU 35 2 5,71
JUMLAH 948 16 1,69
Gambar Telur cacing Fasciola yang ditemukan pada sapi bali yang
diperiksa di laboratorium Parasitologi UPT Veteriner dengan metode
Sedimentasi. Pada pemeriksaan dibawah microscop telur cacing fasciola
memiliki morfologi mempunyai operculum, telur tampak kuning keemasan
dan embrional tampak jelas.
314 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 1. Telur Cacing Fasciola sp, yang ditemukan pada sapi Bali
dilihat dengan perbesaran 40X
PEMBAHASAN
Sistem pemeliharaan sapi di wilayah Nusa Tenggara Timur yang
masih menggunakan sistem pemeliharaan tradisional yakni pemeliharaan
secara semi intensif dan ekstensif dimana ternak dipelihara di padang
penggembalaan sehingga rentan terkena berbagai macam penyakit. Salah satu
penyakit yang paling sering dijumpai adalah Cacingan. Berdasarkan hasil
Surveilans Parasit Internal di Laboratorium Parasitologi UPT Veteriner 2017
dari
948 sampel feses sapi terdapat 16 sampel positif Fasciola sp dan terlihat
tertinggi
dari tingkat prevalensi
di Kabupaten
Manggarai
Barat (13,64%),
Kabupaten
Belu (6%), Kabupaten TTU (5,71%), Kabupaten Sumba Barat
Daya (4,88%) dan Kabupaten Malaka (4.35%) ( Tabel 1), secara keseluruhan
tingkat prevalensi
fasciola
sp di 22
kabupaten/kota se-NTT
adalah 1,69 %.
Fascioliasis
atau
penyakit cacing hati merupakan penyakit yang berlangsung
akut,
subakut,
atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola,
Fascioloides, dan
Dicrocoelium.
Patogenesis
Fasciolosis
pada sapi, kerbau,
domba
dan kambing akut
dapat berlangsung kronik.
maupun Yang
akut
biasanya karena invasi cacing muda berlangsung secara masif dalam waktu
pendek, dan merusak parenkim hati, hingga fungsi hati sangat terganggu,
serta terjadinya perdarahan ke dalam rongga peritonium. Meskipun cacing
muda hidup di jaringan hati, tidak mustahil juga mengisap darah, seperti
yang dewasa, dan menyebabkan anemia (Subronto dan Tjahajati, 2001)
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
315
11,69; yang berarti kejadian Fasciolosis pada daerah basah 12 kali lebih tinggi
daripada di daerah kering. Pola beternak atau sistem pemeliharaan (ektensif
dan intensif) dapat mempengaruhi terinfeksinya ternak oleh cacing.(Fahrur
rozy et al) Fasciolosis pada sapi mempunyai prevalensi yang tinggi pada sapi
yang dipelihara secara ekstensif, dimana untuk mendapatkan makanan sapi
mencari sendiri sehingga tidak menjamin kuantitas dan kualitas makanan
sapi tersebut sesuai dengan kebutuhannya(Purwanta dkk,2006)
316 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jendral Peternakan, 2008. Konsumsi Hasil ternak per kapita Per
tahun Produk Peternakan di Indonesia Tahun 2007 – 2008. Avaible at
www.ditjennak.go.id./bank%5CTabel_8_2.pdf
Subronto, Tjahajati I. 200. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
317
RESISTENSI ISOLAT ESCHERICHIA COLI DARI AYAM
BROILER TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIK
Tri Widayati1 , Woro Subekti2
1,2
Balai Besar Veteriner Wates
Koresponden penulis pertama: widayatitri3@gmail.com
ABSTRAK
Resistensi bakteri adalah kondisi dimana bakteri mampu membentuk mekanisme pertahanan
terhadap antibiotik yang awalnya efektif. Penggunaan antibiotik yang terus-menerus maupun
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai aturan merupakan pemicu terjadinya resistensi. Bakteri
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang secara normal terdapat dalam saluran
pencernaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepekaan isolate bakteri E. coli
terhadap enam jenis antibiotik yang digunakan dalam bidang peternakan yaitu kanamisin, colistin,
polimixin B, enrofloxasin, trimethoprim, dan sulfonamide. Metodologi dalam penelitian ini meliputi
pengambilan sampel, isolasi bakteri E. coli, dan uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik. Sampel-
sampel dikoleksi dari peternakan ayam broiler di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Wates (BBVet
Wates) dari Tulung Agung, Blitar, Pamekasan, Sampang, Batang, Kendal, Magelang, Klaten,
Bantul, dan Sleman. Pengambilan sampel dimulai pada bulan Juli sampai Oktober 2017. Sampel
yang diambil berupa swab kloaka selanjutnya dilakukan isolasi dan identifikasi di laboratorium
BBVet Wates menggunakan media selektif Mac Conkey Agar dan dikonfirmasi dengan uji Indol
Methyl Red Voges-Proskauer dan Citrate (IMVIC). Uji kepekaan menggunakan metode disc diffuse
Kirby-Bouer. Isolat E. coli diinokulasi pada Muller-Hinton Agar, disk yang berisi antibiotik didrop
pada agar tersebut dan diinkubasi pada suhu 37o C selama 24 jam. Zona terang yang terbentuk
diamati dan diameter diukur menggunakan digital kalipper yang telah dikalibrasi. Hasil pengukuran
dibandingkan dengan standar Kirby-bouer. Dari 141 isolat diketahui sebanyak 83% resisten terhadap
sulfonamide, 66% resisten enrofloxasin, 53% resisten trimethoprim, 26% resisten polimixin B, 4%
resisten colistin, dan 1% resisten kanamisin. Resistensi sulfonamide, enrofloxasin, dan trimethoprim
tinggi karena ketiga antibiotik sudah cukup lama digunakan secara luas pada sektor peternakan.
Resistensi terhadap sulfonamid dan trimethoprim disebabkan oleh mutasi pada gen pengkode enzim
yang terlibat dalam jalur metabolisme sintesis asam tetrahidrofolat. Penggunaan yang jarang akibat
memiliki efek yang buruk terhadap ginjal adalah kemungkinan yang menyebabkan resistensi E. coli
trehadap polimixin B, colistin dan kanamisin relativ rendah.
PENDAHULUAN
318 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Escherichia coli adalah bakteri komensal dan ada beberapa yang bersifat
patogen, merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang. Banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa E. coli telah telah banyak mengalami
resisten terhadap berbagai antibiotik.
Materi yang digunakan berupa Media Pepton Water, Mac Conkey Agar,
Medium IMVIC, Muller Hinton Agar, Aquades Steril, Disk Antibiotik.
Pengambilan Sampel
Sampel berupa swab kloaka diambil dari peternakan broiler yang siap
panen di sepuluh kabupaten wilayah kerja Balai Besar Veteriner Wates
(BBVet Wates) yaitu ; kabupaten Tulung Agung, Blitar, Pamekasan, Sampang,
Batang, Kendal, Magelang, Klaten, Bantul, dan Sleman. Pengambilan sampel
dimulai pada bulan Juli sampai Oktober 2017.
Isolasi Bakteri
Uji Kepekaan
Dari 141 isolat yang uji kepekaan sebanyak 83% isolat resisten terhadap
sulfonamid, 65.9% resisten terhadap enrofloxasin, 53.2% resisten terhadap
trimetrophim, 26.2% resisten kanamisin, 3.5% resisten colistin, dan 1.4%
resisten polimixin B
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
319
Tabel 1. Pola resistensi antibiotik isolat E coli yang diisolasi dari ayam
broiler di wilayah kerja BBvet Wates
320 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 1. Pola resistensi E.coli dari ayam broiler di wilayah kerja BBVet
Wates
KESIMPULAN
1. Isolat E coli yang diisolasi dari ayam broiler diwilayah kerja BBVet
Wates mengalami resisten terhadap sulfonamid 83% (117/141),
enrofloxasin 65.9% (93/141) , trimethoprim 53.2% (75/141) ,kanamisin
26.2% (37/141) , colistin 3.5% (5/141) dan polimixin B 1.4% (2/141).
2. Pola resistensi E coli terhadap antibiotik adalah 82% (116/141)
mengalami multidrug resisten.
SARAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
321
DAFTAR PUSTAKA
Gupta S, Deepak Govil, Prem N. Kakar, Om Prakash, Deep Arora, Shibani Das,
Pradeep Govil, and Ashima Malhotra. 2009. Colistin and polymyxin
B: A re-emergence. Indian JCrit Care Med.Apr-Jun;13(2):p49-53.
Susanto Eko. 2014. Escherichia coli Yang Resisten Terhadap antibiotik Yang
di Isolasi dari Ayam Broiler dan Ayam Lokal di Kabupaten Bogor.
Sekolah Pasca Sarjana.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
322 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KEMAJUAN PENANGANAN RABIES BALI : ANALISIS
TAHUN 2012-2017
Monica Septiani, Dinar H.W. Hartawan, Gde Agus Joni Uliantara, I Ketut Wirata,
I Wayan Masa Tenaya
Dinar.hwh@gmail.com, drh.monic@gmail.com
Balai Besar Veteriner Denpasar
ABSTRAK
Penyakit Rabies muncul pertama kali pada akhir tahun 2008 dan masih bersirkulasi sampai
saat ini tahun 2017 di pulau Bali. Segala upaya pengendalian dan pemberantasan telah dilaksanakan
secara seksama. Kemajuan program pengendalian selama tahun 2012 - 2017 yang telah dilakukan
perlu untuk dianalisis sehingga program pemberantasan yang berkesinambungan dapat lebih terarah
dan fokus, yang pada akhirnya dapat membebaskan pulau Bali dari penyakit Rabies. Menurut
hasil surveilans aktif dan pasif oleh Balai Besar Veteriner Denpasar, proporsi kasus positif rabies
dengan uji Fluorescent Antibodi Test (FAT) dari dari tahun 2012 (15.79%) mengalami penurunan
pada tahun 2013 (4.46%), namun kembali meningkat pada tahun berikutnya sampai tahun 2015
(16.74%). Proporsi kasus positif kembali menurun pada tahun 2016 (13.92%) dan pada tahun 2017
(8,7 %). Untuk data unit desa, hasil pada tahun 2012, Rabies terdeteksi di 82 desa. Terjadi penurunan
jumlah desa tertular pada tahun 2013 dengan 39 desa, namun kembali meningkat pada tahun 2014
dengan 100 desa dan tahun 2015 dengan 283 desa. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir dilakukan
pengendalian secara intensif di seluruh wilayah provinsi Bali melalui pencanangan vaksinasi massal
sehingga pada tahun 2016 turun menjadi 153 desa dan terus berkurang sampai tahun 2017 hanya
menyisakan 71 desa tertular Rabies di provinsi Bali. Berdasarkan data perbandingan proporsi kasus
dan seroprotektif Rabies dari tahun 2012 -2017, diketahui bahwa terdapat korelasi antara tingkat
seroprotektif dengan proporsi kasus Rabies, dimana pada saat terjadi penurunan tingkat seroprotektif
terjadi pula peningkatan proporsi kasus Rabies begitupun sebaliknya. Pada tahun 2013 tingkat
seroprotektif Rabies mencapai 68.3% dan mampu menekan proporsi kasus sampai 4.46%. Di tahun
2014 -2015 terjadi penurunan seroprotektif dan diikuti dengan peningkatan kembali proporsi kasus
Rabies. Intensifikasi pelaksanaan vaksinasi Rabies di tahun 2016 dan 2017 kembali mampu menekan
proporsi kasus sampai angka 13.92% dan 8.7%. Dalam upaya pemberantasan penyakit Rabies di
provinsi Bali, salah faktor yang sangat menentukan adalah keberhasilan pelaksanaan vaksinasi
massal. Oleh sebab itu maka komponen pendukung atau faktor - faktor yang mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi di tahun 2016 – 2017 diharapkan minimal dapat dipertahankan.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
323
Sedangkan Pencegahan rabies sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a meliputi: a. melaksanakan vaksinasi disertai dengan registrasi
kepemilikan HPR, kartu vaksinasi dan memberikan tanda vaksinasi; b.
melaksanakan sosialisasi; c. melaksanakan pemusnahan secara selektif dan
terarah pada HPR yang tidak teregistrasi, menunjukan gejala penyakit yang
tidak terobati dan pada hewan yang diduga atau yang teridentifikasi penyakit
rabies dan sudah kontak dengan HPR yang terinfeksi; d. melaksanakan
pengendalian kelahiran; dan e. melaksanakan riset dan surveilans. Surveilans
sendiri merupakan salah satu komponen penting dalam program kontrol
penyakit (Townsend et al., 2013). OIE mengembangkan dan mempublikasikan
standar ilmiah yang diperbaharui mengenai: pencegahan dan pengendalian
rabies; kontrol populasi anjing yang liar; pergerakan internasional anjing dan
kucing yang berasal dari negara-negara yang terinfeksi rabies; dan metode
diagnostik dan produksi vaksin dengan standar veteriner. Standar ini telah
diadopsi melalui konsensus oleh semua 181 Negara Anggota OIE. Ada
beberapa indikator yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap
keberhasilan (progress marker) program pemberantasan rabies. Indikator
tersebut antara lain: capaian cakupan vaksinasi dan efikasi vaksin rabies
sebagai in put program. Sementara jumlah rata-rata anjing rabies per bulan,
attack rate rabies, status desa, percepatan penyebaran, kasus gigitan anjing,
jumlah kematian manusia sebagai out come (Putra, 2012)
TUJUAN
324 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
sebagai kasus jika sampel positif rabies diuji oleh Fluorescent Antibody Test
dan bukan kasus jika sampel diuji negatif oleh Fluorescent Antibody Test.
Sampel diperoleh dari surveilans aktif di seluruh kabupaten kota di provinsi
Bali, yang dilakukan oleh BB-Vet Denpasar bekerja sama dengan petugas
provinsi atau kabupaten; dan dari surveilans pasif di mana sampel dibawa
oleh klinik hewan atau rumah sakit. Sampel yang diuji adalah otak atau
hipokampus dari hewan yang dicurigai menunjukkan gejala rabies dan atau
yang dilaporkan menggigit manusia atau hewan lain. Sampel dikirimkan ke
laboratorium dalam kondisi segar dan diuji dengan Fluorescent Antibody Test
(FAT) di Laboratorium Patologi. Sedangkan sampel serum darah diambil
untuk mengetahui tingkat seroprotektif anjing yang telah divaksin saat
vaksinasi massal berlangsung. Sampel serum darah diuji dengam metode
Enzym Link Immunosorbent Assay (ELISA).
Total
Kabupaten/Kota 2012 2013 2014 2015 2016 2017
desa
Badung 62 6 2 5 10 9 7
Bangli 72 19 10 14 41 21 8
Buleleng 148 10 6 18 56 33 17
Denpasar 70 3 0 2 0 1 0
Gianyar 51 10 6 8 5 26 7
Jembrana 78 25 7 13 29 18 9
Karangasem 59 5 7 25 89 18 18
Klungkung 43 3 1 7 18 3 0
Tabanan 133 1 0 8 35 24 5
TOTAL 716 82 39 100 283 153 71
Data kasus Rabies pada unit desa, diperoleh informasi bahwa sebanyak
716 desa yang ada di wilayah provinsi Bali. Selama tahun 2012–2017 (Tabel
1) telah dilakukan surveilans untuk mendeteksi virus Rabies dari anjing yang
terkait dengan kasus gigitan pada manusia dan diperoleh hasil pada tahun
2012 terdeteksi Rabies di 82 desa. Terjadi penurunan jumlah desa tertular
pada tahun 2013 dengan 39 desa, namun kembali meningkat pada tahun
2014 dengan 100 desa dan tahun 2015 dengan 283 desa. Dalam kurun waktu
dua tahun terakhir dilakukan pengendalian secara intensif di seluruh wilayah
provinsi Bali melalui pencanangan vaksinasi massal sehingga pada tahun
2016 turun menjadi 153 desa dan terus berkurang sampai tahun 2017 hanya
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
325
menyisakan 71 desa tertular Rabies di provinsi Bali. Peta distribusi rabies
tahun 2012 – 2017 ditunjukkan pada Gambar 1.
2016 2017
Gambar 1.
Peta distribusi rabies
di provinsi
Bali
dalam tingkat desa pada
tahun
2012-2017. Warna
merah
menunjukkan desa
dengan
kasus positif rabies, warna hijau menunjukkan desa dengan
kasus negatif dan warna putih menunjukkan tidak ada sampel
rabies yang dikirimkan dari desa tersebut.
Tabel 2. Proporsi kasus rabies di Provinsi Bali tahun 2012-2017 (FAT)
Tahun Jumlahsampel Positif
Proporsi Positif (%)
2012 760 121 15.79
2013 964 43 4.46
2014 1286 130 10.11
2015 3160
529 16.74
2016
1480 206
13.92
2017 1058 92 8.6
Menurut hasil surveilans aktif dan pasif oleh Balai Besar Veteriner
Denpasar, proporsi kasus positif rabies dengan uji Fluorescent Antibodi Test
(FAT) dari dari tahun 2012 (15.79%) mengalami penurunan pada tahun 2013
(4.46%), namun kembali meningkat pada tahun berikutnya sampai tahun
2015 (16.74%). Proporsi kasus positif kembali menurun pada tahun 2016
(13.92%) dan pada tahun 2017 (8,7 %) (Tabel 2). Hal ini juga tampak pada
Gambar 2 yang menunjukkan grafik kasus Rabies di Bali setiap bulan dari
tahun 2012 sampai 2017.
326 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding 4
Perkembangan Kasus Rabies dari 2012 sampai 2017
Gambar 2.
Hal tersebut menunjukkan kemajuan dalam kegiatan pengendalian
penyakit Rabies di Bali yang telah dilakukan selama ini dengan program
vaksinasi massal, eliminasi selektif dan pengetatan lalu lintas HPR di seluruh
wilayah kabupaten
dan kota di provinsi Bali.
Hal tersebut juga didukung dengan data realisasi vaksinasi yang
dilakukan oleh
petugas Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan
Kesehatan Hewan
di Provinsi Bali
dengan
data
sepertipada
Gambar 3
berikut.
5
Grafik 3. Data analisis proporsi kasus, seroprotektif dan realisasi vaksinasi
tahun 2012 –
2017 di provinsi
Bali
Berdasarkan data realisasi vaksinasi yang diinput oleh Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Provinsi
Bali,
diperoleh peningkatan
jumlah
HPR
yang
divaksin setiap tahunnya dari tahun 2012 – 2017 (Gambar 3). Hal tersebut
5
mengindikasikan jumlah HPR yang tervaksin proporsinya meningkat jika
dibandingkan dengan estimasi populasi HPR di provinsi Bali. Data realisasi
tersebut berbanding terbalik dengan proporsi kasus Rabies yang terdeteksi di
seluruh wilayah kabupaten /kota di provinsi Bali. Sehingga mengindikasikan
bahwa cakupan vaksinasi yang telah dilakukan di provinsi Bali mampu
menurunkan kasus Rabies di Bali secara bertahap. Hal tersebut tidak dapat
dilepaskan dari pelaksanaan vaksinasi yang selama ini telah dilakukan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
327
kecuali adanya anomali peningkatan kasus di tahun 2014 – 2015. Putra
(2011) menemukan
bahwa
dengan menggunakan
indikator
jumlah kasus
rabies, terbukti island-wide mass vaccination program dapat menekan
kejadian
kasus rabies
secara
signifikan jika dibandingkan
dengan program
vaksinasi
sebelumnya, yang
belum
dapat dilaksanakan secara
serentak
di
seluruh Bali. Selama vaksinasi massal, attack rates rabies juga mengalami
penurunan, baik pada tingkat kabupaten maupun di seluruh Bali. Turunnya
attack rate rabies telah menurunkan ancaman kesehatan masyarakat.
Gambar 4.
Data status vaksinasi hasil pengujian positif Rabies (FAT) tahun
2017 (n=92). Warna merah menunjukkan persentase anjing
positif rabies
yang
tidak
divaksin,
warna
hijau
adalah
anjing
positif rabies
yang
divaksin.
Pada tahun
2017
diperoleh hasil
11 dari
92 kasuspositif Rabies
(FAT)
diketahui merupakan sampel dari anjing dengan status vaksinasi
(Gambar
4).
Hal ini menjadi perhatian khusus karena dapat menimbulkan interpretasi
yang salah
terhadap
kualitas
vaksin
yang
selama
ini
digunakan dalam
program vaksinasi misal di provinsi Bali. Setelah dilakukan penelusuran
terhadap 11 sampel tersebut diperoleh hasil bahwa tujuh sampel positif
Rabies tersebut diambil dari anjing yang baru divaksin antara 1 – 2 minggu
sebelum dilakukan pengambilan sampel. Hal ini mengindikasikan bahwa
kemungkinan anjing tersebut sudah memasuki masa inkubasi Rabies pada
saat
dilakukan vaksinasi. Sedangkan empat sampel lainnya merupakan
anjing yang telah divaksinasi dua tahun sebelumnya dan belum dilakukan6
vaksinasi ulang, sehingga dapat disimpulkan pada saat tertular pada anjing
tersebut tidak memiliki titer antibodi yang cukup untuk mencegah terjadinya
infeksi Rabies.
328 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
tahun 2016 dan 2017 kembali mampu menekan proporsi kasus sampai angka
13.92% dan 8.7%. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan vaksinasi yang
dilaksanakan pada tahun 2016 dan 2017 sangat signifikan dalam menekan
angka kasus dan merupakan suatu kemajuan dalam upaya pemberantasan
Rabies di Provinsi Bali.
KESIMPULAN
SARAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
329
DAFTAR PUSTAKA
Putra, A.A.G.P., Hampson, K., Giardi, J., Hiby, E., Knobel, D., Mardiana,
W., Townsend, S., and Scott-Orr, H., 2013. Response To A Rabies
Epidemic, Bali, Indonesia, 2008–2011. CDC Emerging Infectious
Disease Journal Volume 19, Number 4—April 2013.
Townsend, S.E., Lebo, T., Cleaveland, S., Fran, Meslin, O.X., Mirand, M. E.,
Putra, A.A.G., Haydon, D.T., and Hampson, K., 2013. Surveillance
Guidelines For Disease Elimination: A Case Study Of Canine Rabies.
Comparative Immunology, Microbiology And Infectious Diseases 36
(2013) 249–261.
330 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
GAMBARAN TITER ANTIBODI RABIES PADA ANJING
LOKAL PASCA VAKSINASI DI KALIMANTAN BARAT
TAHUN 2017
Candra Arika Kustiawan, Elidar, Lutfi Widiarta
ABSTRAK
Rabies merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis yang bersifat zoonosis.
Kalimantan Barat dinyatakan bebas penyakit rabies pada bulan Agustus 2014 berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian RI No 885/Kpts/PD.620/8/2014 tanggal 14 Agustus 2014, namun status bebas
tersebut tidak bertahan lama dengan mewabahnya kembali penyakit rabies di akhir tahun 2014
sampai sekarang. Pada tahun 2017 jumlah kasus gigitan mencapai 2091 dengan jumlah kematian pada
manusia sebanyak 24 orang. Vaksinasi merupakan program prioritas disamping kegiatan Komunikasi,
Informasi dan Edukasi dalam pengendalian dan penanggulangan Rabies. Kegiatan vaksinasi
dilaksanakan pada daerah tertular dan terancam dengan harapan dapat memberikan kekebalan
pada hewan penular rabies dan tidak menularkan pada hewan penular rabies lain maupun manusia.
Keberhasilan vaksinasi dapat dinilai dari cakupan vaksinasi dan kekebalan yang ditimbulkan pasca
vaksinasi melalui pemeriksaan titer antibodi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui titer antibodi
anjing lokal pasca vaksinasi rabies dan memberikan informasi kepada pengambil kebijakan dalam
mengevaluasi program vaksinasi berikutnya. Penilaian menggunakan 696 sampel serum darah anjing
lokal yang diambil dari 14 Kabupaten/Kota dengan metode cluster sampling dan diuji dengan enzym
linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil penelitian menunjukkan dari 696 sampel, 300 sampel
(47,41%) memiliki titer antibodi protektif (seropositif) dan 366 sampel (52,59%) tidak memiliki titer
antibodi protektif (seronegatif). Seropositif adalah nilai di atas atau sama dengan 0,5 EU, sedangkan
seronegatif adalah nilai di bawah 0,5 EU. Penelitian ini menunjukkan rendahnya respon antibodi
setelah vaksinasi pada anjing. Kajian lebih lanjut sebaiknya dilakukan untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi rendahnya respon antibodi.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
331
2014 tepatnya di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Ketapang. Penyakit
rabies terus menyebar ke Kabupaten lainnya, sampai tahun 2017 sudah 12
Kabupaten yang tertular dari 14 kabupaten/Kota yang ada di Kalimantan
Barat dan pada 8 Kabupaten terdapat korban meninggal pada manusia. Pada
tahun 2017 Jumlah kasus gigitan mencapai 2091 dengan jumlah kematian
pada manusia sebanyak 24 orang.
TUJUAN
B. Penentuan Lokasi
332 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
C. Metode Sampling
Jml Peresentase
Realisasi Jumlah
No Kabupaten Populasi cakupan
Vaksinasi Sampel
Anjing vaksinasi
1 Pontianak 4.270 1.648 38,59 % 50
2 Mempawah 16.676 4.300 25,79 % 50
3 Singkawang 5.730 2.500 43,63 % 50
4 Sambas 5.925 1.000 16,88 % 50
5 Bengkayang 29.714 950 3,20 % 50
6 Landak 53.851 23.000 42,71 % 50
7 Sanggau 39.341 8.868 22,54 % 50
8 Sekadau 12.101 6.808 56,26 % 50
9 Sintang 10.357 5.903 57 % 50
10 Melawi 9.870 4.920 49,85 % 50
11 Kapuas Hulu 15.211 13.487 88,67 % 50
12 Ketapang 9.869 5.750 58,26 % 50
13 Kayong Utara 1.522 1.000 65,70 % 50
14 Kubu Raya 3.680 617 16,77 % 50
JUMLAH 218.117 80.751 37,02 % 700
Target Sampel
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
333
- Tingkat Kecamatan
Pada masing-masing kabupaten dibuat daftar pasca vaksinasi rabies
terhadap HPR, dipilih 1 Kecamatan setiap Kabupaten / Kota
- Tingkat Desa
Dari setiap kecamatan terpilih dibuat data pasca vaksinasi rabies dan
secara random dipilih 2 desa yang akan ditunjuk sebagai target sasaran
sampling.
- Perekaman Data
Setiap sampling yang diambil direkam seperti no urut, kode contoh,
pemilik, lokasi (Kabupaten, Kecamatan, Desa), Jenis Hewan, jenis
kelamin, ras, umur hewan, status vaksinasi (tanggal dan jenis vaksin),
jenis spesimen.
D. Pengujian Sampel
Hasil
Waktu Pengambilan
No Kabupaten Total Serum
Sampel
1 Pontianak 27 sd 28 November 2017 48
2 Mempawah 5 sd 6 Desember 2017 50
3 Singkawang 14 sd 15 Novembe 2017 42
4 Sambas 21 sd 23 November 2017 50
5 Bengkayang 19 sd 21 Juli 2017 50
6 Landak 13 sd 15 Juli 2017 52
7 Sanggau 21 sd 23 Agustus 2017 44
8 Sekadau 9 sd 11 Agustus 2017 56
9 Sintang 13 sd 15 September 2017 52
10 Melawi 25 sd 27 September 2017 47
11 Kapuas Hulu 12 sd 15 September 2017 73
12 Ketapang 31 Okt sd 3 November 2017 46
13 Kayong Utara 22 sd 25 November 2017 34
14 Kubu Raya 27 sd 28 November 2017 52
JUMLAH 696
334 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Dari 696 sampel yang diperoleh, dilaksanakan pengujian terhadap
sampel tersebut di Unit Laboratorium Keswan dan Kesmavet Provinsi
Kalimantan Barat. Hasil uji elisa rabies sebagai berikut:
Sambas
70 %
Bengkayang
48,00%
Kapuas Hulu
Singkawang 32,88%
61,90% Sanggau
Landak 77,27%
Mempawah 53,85%
44,00%
Pontianak
54,17% Sekadau Sintang
28,57% 33,33%
Kubu Raya
69,23%
Melawi
14,89%
Kayong Utara
52,94%
Ketapang
21,74%
Keterangan :
Prosiding
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018 335
Berdasarkan data tersebut di atas, menunjukan hasil seropositif
(protektif) anjing pasca vaksinasi yang variatif dengan Kabupaten Sanggau
yang menunjukkan hasil protektif yang tinggi sebesar 77,27% dan Kabupaten
Melawi yang menunjukkan hasil protektif terendah sebesar 14,89%. Hasil
pemeriksaan dari seluruh contoh yang diambil 14 Kabupaten/Kota di
Kalimantan Barat menunjukan titer antibodi protektif sebesar 47,41%.
PEMBAHASAN
Sampai saat ini tidak diketahui potensi vaksin yang ada di lapangan.
Karena dengan perjalanan panjang selama distribusi, kualitas vaksin
dari tempat produsen sampai di lapangan belum tentu sama. Vaksin yang
digunakan di Kalimantan Barat adalah jenis inaktif. Saat ini dikenal terdapat
dua jenis vaksin rabies yang digunakan pada hewan yaitu live vaccine dan
killed vaccines. Umumnya vaksin yang digunakan saat ini adalah jenis killed
vaccines. Menurut Schultz (2000), vaksinasi rabies memiliki durasi imunitas
minimum kurang lebih selama 3 tahun dan estimasi proteksi relatif sebesar
85%. Vaksin rabies dikelompokkan dalam kelompok vaksin inti, dengan
pengertian sebagai vaksin yang penting dan harus diberikan pada setiap
anjing untuk vaksinasi.
Aplikasi vaksin yang tidak tepat, tidak memperhatikan umur anjing dan
kondisi kesehatan anjing waktu pelaksanaan vaksinasi menjadi salah satu
penyebab titer yang tidak bagus. Program vaksinasi dilakukan pada umur
12 minggu atau lebih. Untuk vaksin rabies diharapkan dilakukan revaksinasi
pada 1 tahun setelah vaksinasi dan diulang sekali lagi 3 tahun kemudian
(Schultz 2000). Beberapa vaksin inaktif rabies mempunyai durasi minimum
3 tahun. Namun beberapa anakan anjing sebesar 5% gagal untuk membentuk
imunitas terhadap salah satu vaksin inti termasuk juga vaksin rabies. Penyebab
336 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
gagalnya imunitas ini antara lain: keberadaan imunitas secara pasif dari
vaksinasi sebelumnya, mundurnya respon sistem kekebalan, imunogenisitas
vaksin yang lemah, vaksin yang diberikan kurang cukup, ketidakmampuan
genetik untuk merespon antigen dalam vaksin, kejadian immunosupresi,
terlalu banyak komponen dalam vaksin (multiple component vaccine), atau
juga inefektifitas vaksin itu sendiri (Schultz 2000).
A. Kesimpulan
Hasil pemeriksaan terhadap 696 sampel serum darah anjing lokal pasca
vaksinasi pada 14 Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat menunjukan bahwa
titer antibodi protektif sebesar 47,41%. Kabupaten yang menunjukkan
hasil protektif yang tinggi adalah Kabupaten Sanggau sebesar 77,27% dan
terendah Kabupaten Melawi sebesar 14,89%.
B. Saran
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
337
KETERBATASAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2012. Sistim Rantai Dingin Vaksin Atau Cold Chain Vaccine
Siapa Perlu? (diunduh 5 Februari 2018)
338 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA PADA SEL PRIMER
CHICKEN EMBRYO FIBROBLAST (CEF) DAN SEL KULTUR
MARDIN-DARBY BOVINE KIDNEY (MDBK)
Desi Puspita Sari1, Sri Handayani Irianingsih1, M. Afdhal Darul2
1
Medik Veteriner di Laboratorium Virologi BBVet Wates
2
Paramedik di Laboratorium Virologi BBVet Wates
ABSTRAK
Pada awal tahun 2018, banyak kasus penurunan produksi telur dan kematian pada unggas
komersial yang dilaporkan di wilayah kerja BBVet Wates, sehingga jumlah permintaan uji isolasi
virus AI bertambah dan berimplikasi pada peningkatan kebutuhan Telur Ayam Berembrio SAN.
Kajian isolasi virus Avian Influenza pada sel primer Chicken Embryo Fibroblast (CEF) dan sel
kultur Mardin-Darby Bovine Kidney (MDBK) telah dilakukan di Laboratorium Virologi BBVet
Wates. Kajian ini bertujuan untuk melihat perubahan dan respon titer HA sel primer CEF dan sel
kultur MDBK yang diinokulasi virus Avian Influenza. Kajian ini dilakukan dengan metoda inokulasi
virus AI pada media pertumbuhan sel primer CEF P2 dan sel kultur MDBK P142. Sel CEF dibuat
dari 2 telur ayam berembrio (TAB) umur 10 hari. Setelah 24 jam 1 flask sel CEF dilakukan split ke
microplate 24 well,sedangkan sel MDBK dikultur ke microplate 24 well dan flask 25 cm2. Isolat
virus yang digunakan adalah A/Chicken/Sleman/BBVW-242/2017 dengan titer virus 16HA. Isolat
virus diencerkan bertingkat dari 10-2 sampai 10-5 dan diinokulasikan pada sel CEF dan sel MDBK
dengan 3 kali ulangan. Sel MDBK yang dikultur pada flask 25 cm2 diinokulasi virus enceran 10-2. Sel
diinkubasi selama 4 hari pada suhu 37oC. Sel primer CEF dan sel kultur MDBK setelah 1 jam post
infeksi tampak adanya perubahan sel (cytopathic effect/cpe). Virus AI dapat diisolasi pada sel primer
CEF dengan titer virus 4HA pada inokulasi virus enceran 10-2 dan titer 2HA pada virus enceran 10-3.
Pada sel kultur MDBK di microplate 24 well virus AI diidentifikasi pada pengenceran 10-2 dengan
titer virus 2HA dan 10-3 dengan titer 4HA sedangkan sel kultur MDBK di flask 25 cm2 diperoleh titer
virus lebih tinggi 64HA. Berdasarkan hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa sel primer CEF dan
sel kultur MDBK dapat digunakan sebagai media pertumbuhan untuk isolasi virus AI.
PENDAHULUAN
Avian influenza (AI) disebut juga flu burung, fowl pest, fowl plaque
atau avian flu dapat terjadi dalam 2 bentuk, yakni Highly Pathogenic Avian
Influenza (HPAI) atau fowl plaque dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)
yang keduanya disebabkan oleh virus Influenza tipe A. Virus ini termasuk
famili Orthomyxoviridae, yang berukuran 80-120 nm, dan berdasarkan
karakter protein M nya dibedakan menjadi 3 tipe yang sangat berbeda secara
antigenik yaitu virus Influenza tipe A, B, dan C. Tipe B dan C hanya ditemukan
pada manusia dan kasusnya bersifat ringan. Sedang tipe A yang utama adalah
menyerang unggas, walaupun juga ditemukan pada manusia, kuda, babi dan
terkadang pada spesies mamalia lainnya. Berdasarkan “spike” haemaglutinin
(HA) dan neuraminidase (NA) pada amplop (pembungkus luar virus) maka
virus influenza ditentukan subtipenya. Virus influenza A memiliki 15 HA
(H1-H15) dan 9 NA (N1-N9) yang berbeda secara antigenik. Hingga saat ini,
Semua wabah penyakit HPAI yang sangat patogen pasti disebabkan subtipe
H5 atau H7, namun tidak sebaliknya (SWAYNE and SUAREZ, 2000)
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
339
Kasus AI H5N1 di Indonesia pertama kali dilaporkan pada bulan
Agustus 2003, menyerang beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Direktur Jenderal Peternakan pada tanggal 25 Januari
2004 dan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Nomor 96/KPTS/PP.620/2/2004 tanggal 3 Pebruari 2004 tentang Pernyataan
Berjangkitnya Wabah Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas
(Avian Influenza) dibeberapa provinsi di wilayah Indonesia,sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 393/
Kpts/PD.620/7/2007, menetapkan bahwa Indonesia telah terjangkit wabah
penyakit AI pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe
H5N1 yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (Ditjennak 2008).
Isolasi virus Influenza tipe A pada telur embrio bertunas SPF atau kultur
sel sangat penting untuk epidemiologi investigasi wabah dan untuk beberapa
tujuan lainnya. Karena spektrum susseptibilitasviral mereka mirip dengan
hospes alaminya, sel primer seperti chicken embryo fibroblast (CEF) dan
chicken embryo kidney (CEK) sering digunakan oleh laboratorium untuk
pertumbuhan virus influenza (Lee et al, 2008), sedangkan sel line yang
biasa digunakan adalah sel MDCK. Sel CEF dibuat di laboratorium dengan
menggunakan telur ayam yang Spesifik Antibodi Negatif (SAN) berembrio
umur 9-10 hari. Sel CEF bisa digunakan untuk menumbuhkan berbagai virus
yang menyerang pada unggas salah satunya adalah virus AI.
340 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TUJUAN
Kajian ini bertujuan untuk melihat perubahan dan respon titer HA pada
sel primer CEF dan sel kultur MDBK yang diinokulasi virus Avian Influenza.
Materi
Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah Telur Ayam Berembrio
umur 9-11 hari, Sel MDBK P142, Sel CEF, Isolat Virus AI A/Chicken/
Sleman/BBVW-242/2017, Media esensial (MEM), Antibiotik Gentamicyn,
Penicilin Streptomicyn, Gentamicin, Hepes, Fetal Bovine Serum, Fungizone,
PBS steril, Trypsin, Methyline blue
Peralatan yang digunakan dalam kajian ini adalah Flask 25 cm2, Tabung
steril, Mikroplate tissue culture 24 well, ependorf steril, Pipet dan tips filter
steril, Sentrifuge, Mikroskop, Inkubator CO2
Metoda
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
341
4. Panen Virus dan Uji HA
Setelah inkubasi 4 hari post inokulasi, sel CEF dan sel MDBK yang telah
diinokulasi isolat virus AI dilakukan proses pemanenan dengan cara
koleksi cairan sel dengan masing-masing pengenceran dan dilanjutkan
dengan pengujian HA.
HASIL
2. 10-2 24. 10-2 25. 10-2 26. 10-2 27. Kontrol Sel 28. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE negatif
- CPE
29. 10-3 30. 10-3 31. 10-3 32. 10-3 33. Kontrol Sel 34. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE negatif
- CPE
35. 10-4 36. 10-4 37. 10-4 38. 10-4 39. Kontrol Sel 40. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE Negatif
- CPE
41. 10-5 42. 10-5 43. 10-5 44. 10-5 45. Kontrol Sel 46. Kontrol
+ CPE + CPE + CPE + CPE - CPE Negatif
- CPE
342 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 3. Hasil Pengujian Titer HA
PEMBAHASAN
Sel CEF dan sel MDBK yang diinokulasi dengan Isolat virus A/Chicken/
Sleman/BBVW-242/2017, setelah dilakukan pengamatan selama 4 hari
inkubasi post inoklulasi menunjukkan perubahan sel dengan ditemukannya
cytopathic effect (CPE). Hal ini menunjukkan bahwa isolat virus A/Chicken/
Sleman/BBVW-242/2017 diindikasikan termasuk ke dalam kelompok
HPAI. Cytophatic virus membunuh sel di mana mereka bereplikasi. Ketika
kultur sel yang diinokulasi dengan cytophatic virus, maka infeksi virus
menyebar melalui media untuk menginfeksi mulai dari sel yang berdekatan
hingga akhirnya semua sel dapat terinfeksi. Hasil dari kerusakan sel tersebut
adalah cytopathic effect (CPE) (Murphy et al.,1999). CPE dapat diamati
secara langsung dengan mikroskop. Adanya bentukan CPE baik pada sel
CEF maupun sel MDBk yang sudah diinokulasi virus AI. Bentukan CPE
ini tampak terlihat mulai hari ke 1 post inokulasi. Dan pada hari ke 2 post
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
343
inokulasi baik pada sel CEF maupun sel MDBK sudah mulai rusak karena
adanya CPE dan sel terus mengelupas. Setelah diinkubasi selama 4 hari cairan
sel dipanen dann ndikoleksi berdasarkan pengencerannya dan dilanjutkan
dengan melakukan pengujian HA untuk menentukan titer virus.
Setelah hari ke 4 post inokulasi baik sel CEF maupun sel MDBK di
panen. Dengan cara sel CEF dan sel MDBK dalam mikroplate dan flask 25
cm2 di freez thaw sebanyak 3 kali kemudian cairan tissue culture bisa dipanen
dan dilanjutkan dengan pengujian titer HA. Cairan sel CEF dan sel MDBK
di panen dengan cara dikoleksi cairannya sesuai dengan tingkat enceran
pada saat inokulasi. Cairan sel tersebut dikolekasi pada ependorf steril.
Untuk kemudian dilanjutkan untuk pengujian titer HA. Pada saat dilakukan
pengujian HA ternyata hanya pada pengenceran 10-2 dan 10-3 yang ada titer
virusnya. Sedangkan pada pengenceran 10-3 dan 10-4 keduanya menunjukkan
titer virus 0. Hal ini disebabkan karena kandungan virus yang terlalu sedikit
pada saat proses pengenceran isolat yang digunakan untuk inokulasi. Pada
inokulasi isolat AI dengan pengenceran 10-2 pada sel MDBK yang di flask 25
cm2titer virusnya menunjukkan hasil 64 HA. Hal ini tampak berbeda dengan
titer virus di mikroplate yang lebih rendah, hal ini disebabkan karena jumlah
luasan sel dalam flask 25 cm2 lebih banyak dibandingan dalam mikroplate
sehingga virus dalam flask dapat berkembang lebih banyak dan titer virus
pun lebih tinggi.
344 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA
Lee,C-W, Jung. K., Jadhao, S.J. dan Suarez, D.L. (2008). Evaluation of
Chicken Origin (DF-1) and Quail Origin (QT-6) Fibroblast Cell Lines
For Replication of Avian Influenza Viruses. J Viral Methods 153, 22-
28.
SWAYNE, D.E. and SUAREZ DL. 2000. Highly pathogenic avian influenza.
In: Diseases of Poultry: world trade and public health implications.
BEARD CW and MCNULTY MS (Eds.). Rev Sci Tech Off Int Epiz
19(2): 463-482.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
345
KOMPARASI UJI SEROLOGIS UNTUK DETEKSI INFEKSI
TRYPANOSOMA EVANSI PADA KERBAU
Rochmadiyanto, Khajadatun, Ari Puspita Dewi, Koeswari Imran
ABSTRAK
Salah satu penyakit parasiter endemis pada kerbau di Indonesia adalah surra yang disebabkan
oleh infeksi protozoa T.evansi. Kunci keberhasilan penanggulangan infeksi T. evansi pada
kerbau adalah ketepatan dan kecepatan diagnosis. Kerbau yang terinfeksi T. evansi tidak selalu
menunjukkan gejala patognomonik dan perubahan patologis, sehingga diagnosa laboratorium yang
cepat, tepat, akurat, murah, dan efisien sangat dibutuhkan. Card agglutination test (CATT/T.evansi)
mempunyai sensitifitas 78% dan speisifitas 100% tetapi mengalami kesulitan untuk pemesanan kit.
ELISA antibodi mempunyai sensitifitas 89% dan spesifitas 94%, obyektif, dapat untuk surveilen
skala luas dan metode dapat di standardisasi dengan presisi yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah
menghitung nilai kesesuaian metode Surelisa-Te IgG dan IgM terhadap uji CATT untuk mendeteksi
infeksi T. evansi pada kerbau. Sebanyak 129 ekor kerbau dilakukan pengambilan serum pada vena
jugularis. Setelah darah beku dipisahkan serum disimpan dalam suhu -20º C. Serum dilakukan
pengujian CATT, Surelisa-Te IgG dan Surelisa-Te IgM. Hasil penelitian menunjukkan nilai Kappa
Surelisa-Te IgG terhadap CATT, Surelisa-Te IgM terhadap CATT dan Surelisa IgM terhadap Surelisa
IgG masing-masing 0,26, -0,63 dan 0,11. Nilai kesesuaian yang rendah disebabkan karena masing-
masing metode uji mempunyai kharakteristik berbeda sesuai fase infeksi dalam mendeteksi T. evansi.
Diagnosa surra secara serologis untuk surveilen sebaiknya menggunakan beberapa metode diagnosa
baik serologis maupun parasitologis karena status infeksi kerbau tidak diketahui.
Kata kunci : CATT, Kerbau, Kappa, Surelisa-Te IgG, Surelisa-Te IgM, status infeksi Trypanosoma
evansi
PENDAHULUAN
Pengambilan spesimen
Sebanyak 129 ekor kerbau diambil sampel serum antara bulan Bulan
Agustus 2017 di Kabupaten Brebes dan Pemalang, Propinsi Jawa Tengah.
Darah diambil dari vena jugularis menggunakan vacutainer EDTA dan non
EDTA (Becton Dickinson). Peralatan harus steril dan sekali pakai untuk
mencegah penularan secara iatrogenic (OIE, 2012, Dargantes, 2010). Sampel
kemudian dimasukkan ke dalam kotak pendingin. Serum disimpan pada suhu
-20ºC setelah dipisahkan klotnya.
Pengujian spesimen
348 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
T. evansi akan berikatan dengan antibodi anti T. evansi dari serum. Setelah
sumuran dicuci kemudian ditambahkan conjugate maka akan terbentuk
ikatan antigen-antibodi. Komplek imun yang telah terbentuk akan terlihat
berwarna biru apabila ditambahkan substrat Tetrametylenbenzidine (TMB).
Perubahan warna biru dapat dihentikan dengan penambahan asam sulfat
sehingga terbentuk warna kuning. Warna kuning yang terbentuk sebanding
dengan jumlah antibodi IgG/IgM T. evansi di dalam serum. Intensitas warna
kuning dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.
Tabel 1. Tabel hasil pengujian 129 sampel dengan CATT dan Surelisa-Te
Hasil Uji
No Metode uji Prevalensi
(+) (-)
1 CATT 89 40 69%
2 Surelisa-Te IgG 62 67 48%
3 Surelisa-Te IgM 14 115 11%
Tabel 2 menunjukkan bahwa semua metode uji tidak ada yang mempunyai
nilai kesesuaian baik maupun sangat baik. Nilai kappa yang rendaha
menunjukkan bahwa antar metode uji merupakan uji yang berbeda. Uji CATT
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
349
mendeteksi IgM yang terbentuk pada saat awal infeksi dan hanya berumur
pendek. Dari Tabel 1 diketahui sebanyak 69% kerbau sedang mengalami
infeksi akut. Sedangkan Surelisa-Te IgG mendeteksi antibodi pada saat
infeksi kronis maupun akut. Sebanyak 48% kerbau yang di ambil sampelnya
mengalami infeksi kronis maupun akut.
Tabel 3. Tabel rincian pengujian 129 sampel dengan CATT dan Surelisa-Te
Metode Uji
No. Jumlah
CATT Surelisa IgG Surelisa IgM
1 9 + + +
2 43 + + -
3 4 + - +
4 35 + - -
5 1 - + +
6 8 - + -
7 29 - - -
129
Dalam penelitian ini tidak didapatkan nilai kesesuaian yang tinggi antar
metode uji. Hal ini disebabkan karena deteksi T. evansi sangat tergantung
pada fase infeksi yaitu akut, kronis, silence dan relapse. Pada fase infeksi
akut jumlah parasit dalam darah sangat tinggi sehingga memicu terbentuknya
antibodi. Pada fase ini metode uji serologis IgG maupun IgM mampu
mendeteksi T. evansi dengan baik. Pada fase infeksi kronis jumlah parasit
dalam darah sudah turun. Pada fase ini metode parasitologis (pewarnaan
Giemza dan MHCT) kurang sensitif untuk mendeteksi T. evansi, sebaliknya
metode serologis (CATT dan ELISA) mampu mendeteksi infeksi T. evansi
dengan baik, bahkan ELISA mampenyai sensitivitas yang tinggi pada fase
ini. Pada fase infeksi silent (misalnya karena ternak mengalami kekurangan
pakan paada musim kemarau) metode hematokrit tidak mampu mendeteksi
adanya T. evansi, CATT sensitivitasnya rendah sedangkan ELISA masih
mampu mendeteksi dengan baik (nilai sensitivitasnya sedang-tinggi). Fase
infeksi relapse yaitu fase pada saat kondisi tubuh kerbau pulih (setelah
mengalami kekurangan pakan pada musim kemarau misalnya) dimana infeksi
T. evansi juga akan meningkat kembali. Pada fase ini metode uji serologis
IgM dan IgG mampu mendeteksi infeksi T. evansi dengan baik (Desquesnes
et al, 2015 dalam Nurcahyo, 2017). Kondisi tersebut menjelaskan mengapa
350 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
tidak ada metode uji untuk mendeteksi infeksi T. evansi yang benar benar
akurat.
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
351
Damayanti R, Graydon RJ, Ladds P.W. 1994. The pathology of experimental
Trypanosoma evansi infection in the Indonesian buffalo (Bubalus
bubalis). Journal of Comparative Pathology 110, 237-252.
Dargantes AP, R.S.F. Campbell, D.B. Copeman and S.A. Reid. 2005.
Experimental
Dargantes AP, R.T. Mercado, R.J. Dobson, S.A. Reid. (2009). Estimating the
impact of Trypanosoma evansi infection (surra) on buffalo population
dynamics in southern Philippines using data from cross-sectional
surveys. International Journal for Parasitology 39 1109–1114.
352 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Dobson, R.J., Dargantes, A.P., Mercado, RT. And Reid , S.A. 2009. Model
for Trypanosoma evansi (surra), its control and economic impact on
small-hold livestock owners in the Philippines. International journal
for Parasitology, 39 (10).pp 1115-1123.
Ian Dohoo, Wayne Martin and Henrik Stryhn. 2003. Veterinary Epidemiologic
Research. AVC Inc., University of Prince Edward Island, 550
University Avenue, Charlottetown, Prince Edward Island, Canada.
Elshafie E.I., Sani R.A., Sharma R., Bashir A., Abubakar I.A. 2013.
Serroprevalence and risk factor of Trypanosoma evansi infection in
horse in Peninsular Malaysia. Research in Veterinary Science 94,
285:289.
Holland W.G, Claes F, My L.N, Thanh N.G, Tam P.T, Verloo D, Buscher
P, Goddeeris B, Vercruysse J. 2001a. A comparative evaluation of
parasitological tests and a PCR for Trypanosoma evansi diagnosis in
experimentally infected water buffaloes. Veterinary Parasitology 97,
23-33.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
353
Holland W.G, My L.N, Thanh N.G, Verloo D, Buscher P, Goddeeris B,
Vercruysse
J. 2002. Evaluation of whole fresh blood and dried blood on filter paper disc
in serological test for Trypanosoma Evansi in experimentally infected
water buffaloes. Acta Tropica 81, 159-165.
354 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Martin, S.W., Meek, A.H., Willeberg, P. 1987. Veterinary Epidemiology
Principles and Methods. IOWA State Univ. Press.
Muzari M.O., Burgess G.W., Skerratt L.F., Jones R.E., Duran T.L. Host
preferences of tbanid flies based on identification of blood meals by
ELISA. Veterinary Parasitology 174, 191-198.
My L.N, Holland W.G, Tam P.T, Thanh N.G, Hoan D.H. 2000. Comparative
study of techniques for diagnosis of Trypanosoma evansi in buffaloes
Veterinary Science and Techniques 7, 6-14
Payne R.C, Sukanto I.P, Bazeley K, Jones T.W. 1993. The effect of
Trypanosoma evansi infection on the oestrous cycle of Friesian
Holstein heifers. Veterinary Parasitology 51, 1-11.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
355
Solihat L. (2006) Deteksi Antibodi Trypanosoma Evansi Pada Serum Kerbau
dengan Komersial Kit CATT (Card Agglutination Test). Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006.
Wisnu Nurcahyo. 2017. Penyakit Surra pada Hewan dan Ternak. Samudra
Biru, Yogyakarta.
Yadav S.C, Kumar Rajender, Manuja Anju, Goyal Liza, Gupta A.K. 2014.
Early detection of Trypanosoma evansi infection and monitoring of
antibody levels by ELISA following treatment. J Parasite Dis 38
(1):124-127.
Zelalem Ayana, Diriba Lemma, Birhanu Abera and Eyob Ethica. 2015.
Prevalence of small ruminant trypanosomosis in Assosa and Homosha
districts, Benishangul Gumuz Regional State, North Westh Ethiopia.
Journal of Veterinary and Animal Medicine Vol. 7(5) pp 186-192.
356 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
SURVEILLANS DETEKSI ANTIGENIK DAN RESPON
IMUN PASCA VAKSINASI PADA PROGRAM PEMBEBASAN
CLASSICAL SWINE FEVER DI PROPINSI SULAWESI UTARA
TAHUN 2017
Ferra Hendrawati1, Faizal Zakariya1, Muflihanah1, Dewi Mutisari1, Ratna2, Supri2, Kartika Pricillia1,
Suanti2, Taman Firdaus2, Hana Tioho2, Sulaxono Hadi1, Anak Agung Gde Putra3
ABSTRAK
Populasi babi di Propinsi Sulawesi Utara sangat tinggi, komoditas ternak babi sebagai satu
aset perekonomian terpenting. Kasus Clasical Swine Fever (CSF) pertama kali terjadi di Sulawesi
Utara pada tahun 1996. Pengendalian CSF yang sudah dilakukan adalah vaksinasi, desinfeksi dan
pembatasan lalu lintas ternak babi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah
memberikan 150.000 dosis vaksin, Balai Besar Veteriner Maros dan Pemerintah daerah Sulawesi
Utara ditugaskan untuk melakukan Vaksinasi dan surveillans CSF. Surveillans CSF bertujuan untuk
mendeteksi keberadaan virus CSF dan mengukur tingkat protektifitas kekebalan pasca vaksinasi CSF.
Vaksinasi dilakukan pada peternakan dan babi berisiko yaitu peternakan skala menengah ke
bawah (≤ 500 ekor). Probability Proporsive Sampling (PPS) dilakukan untuk memilih 1110 ekor babi
pra vaksinasi dan 2261 ekor pasca vaksinasi. Keberadaan Antigenik CSF didapatkan dari 723 ekor
dengan sampling non rambang convinient by judgement pada babi yang menunjukkan gejala demam.
Deteksi Antigenik dilakukan dengan pengujian Konvensional Polymerase Chain Reaction (PCR),
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) antigenik, Immunohistokimia (IHK) yang dilakukan
secara pararel. Protektifitas imun respon diukur dengan menggunakan Enzym Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) antibodi.
Hasil surveillans menunjukkan bahwa vaksinasi telah dilakukan pada 149.463 ekor (99,8%),
Tingkat protektifitas kekebalan pravaksinasi sebesar 8,02% dan pasca vaksinasi sebesar 82,84%.
Peningkatan protektifitas pasca vaksinasi sebesar 74,82%. Penyakit CSF masih ditemukan di Sulawesi
Utara (1,38%) dengan sebaran di kabupaten Tomohon, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa
Tenggara dan Kepulauan Talaud. Faktor risiko yang ditemukan adalah penerapan biosekuriti buruk,
dan pelaporan sindromik CSF serta vaksinasi rutin lemah. Timbulnya penyakit CSF harus menjadi
perhatian bersama terutama peternak babi dan pemerintah daerah. Menurunkan jumlah kasus pada
saat rentang waktu berisiko (high risk period) adalah cara yang paling efektif mengendalikan kasus
CSF dilapangan. Perbaikan penerapan vaksinasi dan biosekuriti harus dilakukan agar dapat segera
bebas dari CSF.
ABSTRACT
Swine population in North Sulawesi province is very high, and to be as the one of the most
important economic assets. First case of Clasical Swine Fever (CSF) occurred in in 1996. Control
stategy of CSF that has been done with vaccination, desinfection, and restriction of swine movement.
The Directorate General of Animal Livestock and Health has provided 150,000 doses of vaccine,
Disease Investigation Maros and goverment of North Sulawesi has commissioned to conduct
vaccination and surveillance. The objectives of this study were to detect CSF and to measure the
protectivity immune respons post-vaccination CSF in North Sulawesi.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
357
Vaccination is performed to risk level farm (medium and low level comercial farm). Probability
proporsive Sampling (PPS) was use to choose protectivity level of 11110 swine for pre vaccination
and 2261 for post vaccination. Detection of the presence of antigenic has choose 723 sample with
convinient by judgment with syndrome of CSF. Conventional Polymerase Chain Reaction (PCR),
Antigenic of Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA Ag) , and Immunohistochemistry (IHC)
has done pararel to detect of antigenic of CSF, and antibody of Enzym Linked Immunosorbent Assay
(ELISA Ab) to identification of protectivity immune respons.
The results showed that vaccination has done to 149.463 (99,8%), protectivity level for pre
vaccination is 8,02% and 74,82% for post vaccination. Antigenic of CSF was found in North
Sulawesi (1,38%), distribute in district Tomohon, Minahasa, North Minahasa, South East Minahasa
and Talaud Island. Risk factor of CSF are low level of biosecurity, low report of syndrome of CSF
and low of routine vaccination. The insidence of CSF must be concern for farmer and goverment of
South Sulawesi. Decreasing the number of cases during a high risk period is the most effective way
to control cases of CSF. Improvements of application of vaccination and biosecurity should be done
for freedom of CSF .
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) adalah penyakit
menular strategis prioritas di wilayah Indonesia yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Pertanian No 4026/Kpts/OT.140/4/2013. Penyakit ini
merupakan penyakit pada babi yang disebabkan oleh virus dengan dampak
nilai ekonomi dan tingkat epidemik yang besar. Terkait dengan pengendalian
letupan kasus atau epidemic cases akan sangat tergantung pada strategi
tindakan pengendalian itu sendiri dan kecepatan deteksi dini di peternakan.
358 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah melakukan
langkah kongkreat dengan memberikan 150.000 dosis vaksin CSF, dan
didukung Balai Besar Veteriner Maros dan Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan di Sulawesi Utara untuk melakukan
vaksinasi CSF dan surveillans dengan tujuan akhir untuk mencapai status
bebas CSF di sulawesiUtara.
Tujuan
Materi
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
359
Kabupaten/ Target Prosentase
No 2012 2013 2014 2015 2016
Kota Vaksinasi Vaksinasi
11. BOLMONG- 2.107 2.200 3.085 3.326 3.527 1.285 36,43%
TIM
12. MANADO 4.735 4.783 4.850 4.890 5.359 1.952 36,43%
13. BITUNG 21.787 20.385 21.404 22.473 23.598 8.596 36,43%
14. TOMOHON 73.877 74.100 74.310 77.202 65.100 23.713 36,43%
15. KOTAMOBA- 396 251 337 384 418 152 36,43%
GU
PROPINSI SULUT 393.724 398.466 404.958 408.190 411.795 150.000 36,43%
Metode
Populasi target dalam penelitian ini adalah populasi babi yang tersebar
di 15 kabupaten/kota se propinsi Sulawesi Utara (Anonim, 2016). Jumlah
sampel babi ditentukan dengan rumus deteksi penyakit :
360 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
CSF pada tingkat peternak Babi.
Populasi target dalam penelitian ini adalah populasi babi yang tersebar di 15
kabupaten/kota se
propinsi Sulawesi Utara (Anonim, 2016). Jumlah sampel babi
ditentukan denganPopulasi target penyakit
rumus deteksi dalam penelitian
: ini adalah populasi babi yang tersebar
Keterangan :
kabupaten/kota
se propinsi Sulawesi
(Trusfield M, 2005) Utara (Anonim, 2016). Jumlah sampe
n ditentukan
: Besarandengan
sampelrumus
yang digunakan.
deteksi penyakit :
p : Tingkat Kepercayaan (0,95).
n : Besaran D sampel
1
yang digunakan.
: Jumlah hewan
sakit dalam populasi (Trusfield
berisiko. M, 2005)
: Tingkat Kepercayaan
(0,95).
N : Jumlah populasi berisiko.
D : Jumlah hewan
n : Besaran sakit dalam
sampel populasi berisiko.
yang digunakan.
N : Jumlah populasi
:Dengan berisiko.
Tingkat Kepercayaan (0,95).
tingkat konfidensi 95%, galat yang diinginkan 0,05 dan asumsi
Dengan tingkat D :konfidensi
prevalensiJumlah hewan
penyakit 95%,
AIsakitgalat
dalam
tingkat yang /diinginkan
populasi
peternak berisiko.
pedagang 0,05 sebesar
unggas dan asumsi
1%, dan prevalensi
penyakit AI total
tingkat
N : populasi peternak
Jumlah babi
populasi / pedagang
berisiko.
sebesar unggas sebesar 1%, dan
411.795 (Anonim, 2016). Berdasarkan keterangantotal populasi babi
sebesar 411.795Dengan
dan (Anonim,
rumustingkat 2016).
diatas, Berdasarkan
konfidensi
menggunakan 95%, keterangan
aplikasi galat yangdan
Win Episcope rumus
diinginkan
2.0, diatas,
0,05
diperoleh menggunakan
dan asumsi pre
jumlah
aplikasi besaran
penyakit AI,
sampel diperoleh
tingkat
sebanyak 298 jumlah
peternak ekor/ babi besaran
pedagang sampel
(Gambarunggas
1). sebanyak
sebesar 1%, 298
dan ekor
total babi
popula
(Gambar 1). sebesar 411.795 (Anonim, 2016). Berdasarkan keterangan dan rumus diatas, mengg
aplikasi , diperoleh jumlah besaran sampel sebanyak 298 eko
(Gambar 1).
Perhitungan
penentuan jumlah sampel Deteksi CSF dengan metode
Gambar 1. Perhitungan penentuan jumlah sampel Deteksi CSF dengan
metode sample detection disease, software Win Episcope 2.0.
Deteksi keberadaan dilakukan
Perhitungan penentuan sebanyak 2 kalisampel
jumlah pengamatan
Deteksiyaitu
CSFpada masa
dengan pre
metode
vaksinasi dan postDeteksi vaksinasi, sehingga
keberadaan jumlah
pestivirus sampel
dilakukan yang terkumpul
sebanyak secara keseluruhan
2 kali pengamatan
adalah 298 x 2yaitu= 596
Deteksi ekor. dilakukan
pada masa pre vaksinasi dan post vaksinasi, sehingga jumlah sampel yaitu pada m
keberadaan sebanyak 2 kali pengamatan
vaksinasi
yang dan post
terkumpul secaravaksinasi,
keseluruhansehingga
adalah jumlah
298 x 2 =sampel
596 ekor.yang terkumpul secara kesel
2.
adalah 298 x 2 = 596 ekor.
Deteksi Efikasi
2. Metode pasca Penentuan
vaksinasi CSF dilakukan
Besaran Sampel dengan pengambilan
Deteksi Antibodi serum
Pasca babi di 15
kab/kota se Sulawesi vaksinasi
Utara.CSF Besaran sampel diperoleh dengan
2. rumus estimasi prevalensi
(Cannon and Roe,Deteksi Efikasi: pasca vaksinasi CSF dilakukan dengan pengambilan serum bab
1982) yaitu
Deteksi Efikasi pasca vaksinasi CSF dilakukan dengan pengambilan
serum babi diSulawesi
kab/kota se 15 kab/kota Utara. Besaran sampel
se Sulawesi diperoleh
Utara. Besaran dengan
sampel rumus estimasi pre
diperoleh
(Cannon
dengan
.² and estimasi
rumus Roe, 1982) yaitu :(Cannon and Roe, 1982) yaitu :
prevalensi
= Jumlah sampel
.²
= Jumlah sampel
n = Jumlah sampel 5
P exp = Prevalensi terdedah.
d = Presisi 5
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
361
Pengambilan sampel deteksi respon antibodi dilakukan sebanyak dua
kali yaitu pada periode prevaksinasi dan periode pasca vaksinasi setelah 30
hari vaksinasi.
1. Pre Vaksinasi CSF
Kriteria Pre Vaksinasi dilakukan pengambilan sampel serum sebanyak
73
ekor berdasarkan
rumus (Cannon
estimasi prevalensi
and Roe, 1982),
asumsi
prevalensi 95% yang
seronegatif CSF:
.² ()
=
.² ()
=
1.96² 0.95(1 − 0.95)
=
Maka jumlah sampel serum = /
pre vaksinasi CSF yang diambil di 15 kab/
1.96² 0.95(1
0.05 − 0.95)
= ek x 15 Kab/Kota
kota adalah 73 = 1.095= /
ekor.
0.05
2. Post vaksinasi CSF
Kriteria Pasca Vaksinasi Tahap 1 dilakukan pengambilan sampel
serum pada 3
bulan pasca
vaksinasi
pertama sebanyak
138 ekor
berdasarkan
rumus estimasi prevalensi (Cannon and Roe, 1982), asumsi
prevalensi 90%
yang seropositif rabies :
.² ()
=
.² ()
= 1.96² 0.90(1
− 0.90)
= = /
1.96² 0.90(1
0.0025− 0.90)
=
= /
Maka jumlah sampel 0.0025
serum post vaksinasi CSF yang diambil di 15 kab/
kota adalah 138 ek x 15 Kab/Kota = 2.070 ekor.
Total
sampel
serum
total yang
harus
dikoleksi guna
identifikasi
respon
antibodi pre vaksinasi
dan pasca CSF
adalah sebanyak
1.095
ekor + 2.070
ekor = 3.165 ekor
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengamatan
Lapangan dan Pencapaian Vaksinasi
Pengamatan pelaksanaan
surveillans deteksiantigenik
dan respon
antibodi
pasca vaksinasi
Classical Swine
Fever (CSF)
dilakukan
tidak
hanya
melakukan
pengamatan
pelaksanaan
deteksi
lapangan
sampling
saja
namun
juga melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan yang telah
dilakukan (action of control point) melalui vaksinasi CSF dan penerapan
biosekuriti dalam rangka pengendalian dan pemberantasan CSF di Sulawesi
Utara.
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
362
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
Pelaksanaan vaksinasi massal CSF sebagi upaya tindakan (action of
control point) dilakukan sejak september hingga oktober 2017 dan evaluasi
antigenik serta respon antibodi dilakukan mulai januari hingga nopember
2017. Capaian vaksinasi CSF yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
363
pelaksanaan vaksinasi adalah lemahnya pengetahuan peternak atau petugas
vaksinator tentang penilaian kondisi babi yang sehat atau sakit sehingga hal
ini dapat berakibat fatal yang berakhir dengan kematian pada populasi babi
sebelum dilakukan vaksinasi.
Tabel 3. Distribusi Lokasi dan Jenis Sampel Positif Classical Swine Fever
Tahun 2017.
364 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
No Tujuan Kab/Kota Kecamatan Desa/Kel Jenis Sampel Jenis Uji Positif
6. Surveillans Minahasa Utara Kema Tontalete Hati ELISA Ag 1
Otak, Paru Paru, c PCR
Limpa, Usus
7. Surveillans Kep.Talaud Melonguane Melonguane Darah Lengkap ELISA Ag 1
Timur
8. Surveillans Minahasa Utara Likupang Kaweruan Hati, Limpa, c PCR 2
Selatan Jantung IHK
9. Surveillans Minahasa Pineleng Lotta Otak c PCR 1
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
365
Peningkatan protektifitas pasca vaksinasi harus didukung dengan sistem
biosekuriti peternakan dan kandang yang kuat dan konsisten melalui variabel
utama biosekuriti (isolasi, pengawasan lalu lintas, kebersihan dan desinfeksi
lingkungan) sehingga kekebalan kelompok yang baik dan sistem biosekuriti
yang handal akan memberikan protektifitas dalam peningkatkan produktifitas
ternak babi di Sulawesi Utara.
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LuoY., Li S., Sun.Y, Qiu H.J., 2014. Classical swine fever in China: A
minireview. Vet Microbiol 172(1-2): 1-6.
Martin, S.W., Meek, A. H., and Willeberg, P., 1987. Veterinary Epidemiology.
Iowa state University Press, Ames, Iowa, USA.
Yee, K. S., Carpenter, T. E., Farfer, T. B., dan Cardona, C. J., 2009. An
Evaluation of Transmission Route for Low Pathogenicity Avian
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
367
Influenza Virus Among Chicken Sold in Live Bird Markets. Virology:
394 (2009); 19 – 27.www.elsevier.com/locate/yviro
Thompson S.K., 2012. Sampling. Edisi 3. John Wiley & Sons, Inc: Hoboken,
NJ.
368 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
1. F
LAMPIRAN (Stiker)
orm Penandaan di
Peternakan
Babi
Pasca
Vaksinasi
CSF Sulawesi Utara tahun 2017.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
369
LAMPIRAN 2. Kuesioner Identifikasi Faktor Penyebab CSF.
370 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
IDENTIFIKASI PENYAKIT JEMBRANA DENGAN RT-PCR
KONVENSIONAL PADA KASUS KEMATIAN SAPI BALI DI
DESA HANG TUAH KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU
Anisah Hanoum
Medik Veteriner Madya pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau
Email :anisahhanoum@yahoo.com
ABSTRAK
Telah diterima sampel organ limpa sapi Bali pada tanggal 29 Desember 2017 di UPT
Laboratorium Veteriner dan Klinik Hewan Propinsi Riau yang berasal dari desa Hang Tuah, kecamatan
Perhentian Raja, Kabupaten Kampar. Sampel yang dilakukan pengujian berupa organ limpa dari
bangkai sapi Bali.Pengujian yang dilakukan untuk pemeriksaan Jembrana dengan metoda RT-PCR
konvensional. Dari data anamnesa yang diperoleh diketahui bahwa sapi tersebut terlihat sakit sejak
2 (dua) hari sebelumnya dengan gejala demam tinggi, anorexia, pembengkakan pada limpoglandula
(prescapularis dan praefemoralis), keringat darah dan berakhir dengan kematian. Kematian 1 ekor
sapi Bali juga dilaporkan pada tanggal 27 Desember 2017 di daerah yang sama dengan gejala yang
sama. Kemudian kematian masih terus berlangsung pada awal Januari yaitu 1ekor pada tanggal 2
Januari 2018 dan 1 ekor lagi pada tanggal 3 Januari 2018. Pengujianan Jembrana menggunakan
Ekstraksi Kit dari Gen Aid RNA Tissue. Reagen Mix yang dipakai adalah Super Script III One Step
RT-PCR System with Platinum Taq dari Invitrogen untuk amplifikasi Jembrana. Hasil visualisasi
terlihat bahwa sampel dan kontrol positif menunjukkan band 361 bp. Berdasarkan hasil uji tersebut
spesimen positif Jembrana virus, sehingga kematian sapi Bali di desa Hang tuah dapat disimpulkan
disebabkan oleh penyakit Jembrana.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
371
Desember 2017 sampai minggu pertama Januari 2018 dengan kematian 4 ekor
sapi dengan tanda klinis penyakit Jembrana, walaupun hanya 1 sampel yang
diperoleh organ limpanya yang dikirimkan ke UPT Laboratorium Veteriner
dan Klinik Hewan dan Balai Veteriner Bukittingi dan hasil pemeriksaan PCR
Positif jembrana.
TUJUAN
Materi
Metode
372 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang dialirkan berjalan dari kutup negatip ke kutup positip. Analisis hasil
menunjukkan hasil positip apabila amplikon menunjukkan ukuran 361 bp.
HASIL
Hasil visualisasi hasil dan analisis hasil paada sampel dengan kode no.
11 menunjukkan adanya band dengan ukuran 361 bp. Sedangkan sampel
lainnya tidak ada band yang tervisualisasi sehingga dinyatakan negatip.
Pemeriksaan dilakukan bersamaan dengan sampel lainnya (no, 1-10:
PBMC dan no.12).Sampel dengan kode no. 11 berasal dari Desa Hang
Tuah, Kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar. Hasil visualisasi
ditampilkan
pada
Gambar
1
Gambar
1. Hasil visualisasi sampel uji
PEMBAHASAN
Pemeriksaan organ limpa (no. 11) dengan metode uji RT-PCR
adanya
konvensional terhadap penyakit Jembrana menunjukkan band
yang
tebal pada
posisi 361
bp
seperti
yang
ditunjukkan oleh
kontrol positif
(A,
B, C) yang saat
pada
itu
juga. Adapun
Kontrol
negatif dan Kontrol
Internal
tidak ada band. Hal ini menunjukkan bahwa uji berjalan dengan baik dan
tidak ada kontaminan yang terjadi selama proses pengerjaan uji. Band yang
sangat tebal tersebut juga menunjukkan bahwa konsentrasi DNA sangat
tinggi pada sampel.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari visualisasi gel elektroforesis tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa spesimen organ limpa tersebut positif Jembrana, sehingga kematian
sapi didesa
Hang Tuah kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar
disebabkan
oleh penyakit Jembrana.
Prosiding
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
373
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Chadwick BJ, Coelen RJ, Sammels LM, Kertayadnya G, Wilcox GE. 1995.
Genomic sequence analysis identifies Jembrana disease virus as a new
bovine lentivirus. J Gen Virol; 76: 189-92.
Desport, M., Stewart, M.E., Mikosza, A.S., Sheridan, C.A., Peterson, S.E.,
Chavand, O., Hartaningsih, N. and Wilcox, G.E., 2007. Sequence
analysis of Jembrana disease virus strains reveals a genetically stable
lentivirus. Virus Res. 126, 233–244.
374 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PENYEBARAN PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI DAN
KERBAU DI WILAYAH KERJA BBVET WATES TAHUN 2017
Ari Puspita Dewi1, Khadjadatun1, Rochmadiyanto1, Koeswari Imran1
1
Balai Besar Veteriner Wates
Koresponden Penulis Pertama : drh.arisalim@gmail.com
ABSTRAK
Penyakit akibat parasit darah, seperti anaplasmosis, babesiosis, theileriosis dan trypanosomiasis
mempunyai arti yang penting bagi usaha peternakan sapi dan kerbau di Indonesia. Penyakit tersebut
dapat bersifat perakut, akut maupun kronis, yang ditularkan secara mekanik oleh vektor dari agen
penyebab penyakit tersebut. Dampak dari penyakit tersebut dapat menimbulkan kerugian ekonomi
yang sangat besar berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, penurunan
kualitas daging atau kulit atau jeroan, penurunan produktivitas ternak sebagai tenaga kerja, dan
bahkan dapat menyebabkan kematian ternak. Kajian penyakit parasit darah ini bertujuan untuk
mengetahui penyebaran penyakit anaplasmosis, babesiosis, theilleriosis dan trypanosomiasis pada
sapi dan kerbau di wilayah kerja BBVet Wates tahun 2017 dan untuk memberikan rekomendasi
pengobatan yang sesuai dengan agen penyebab penyakit darah tersebut. Sebanyak 5.681 sampel
darah sapi dan 830 sampel darah kerbau yang diperoleh dari wilayah kerja BBVet Wates baik berupa
sampel pelayanan aktif maupun pelayanan pasif yang diduga terinfeksi parasit darah diperiksa dengan
menggunakan metode konvensional yaitu preparat ulas darah tipis dengan pewarnaan Giemsa dan
Haematocrit Centrifugation Technique (HCT) khusus untuk trypanosomiasis. Dari hasil pemeriksaan
darah sapi tersebut diperoleh hasil bahwa sebanyak 12 sampel (0,21%) menunjukkan hasil positif
Anaplasma sp, 264 sampel (4,65%) positif Theileria sp, 18 sampel (0,32%) positif Babesia sp dan 21
sampel (0,37%) positif Trypanosoma sp, sedangkan pemeriksaan darah kerbau menunjukkan hasil
bahwa sebanyak 7 sampel (0,84%) menunjukkan hasil positif Anaplasma sp, 57 sampel (6,87%)
positif Theileria sp dan 68 sampel (8,19%) positif Trypanosoma sp. Hasil pemeriksaan tersebut
menunjukkan bahwa kejadian anaplasmosis, theilleriosis dan trypanosomiasis pada sapi dan kerbau
ditemukan di wilayah kerja BBVet wates, sedangkan babesiosis ditemukan hanya pada sapi saja.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut disarankan untuk dilakukan pengobatan sesuai dengan agen
penyebab parasit darah tersebut, agar penanganan penyakit lebih optimal.
Kata Kunci : Kerbau, metode konvensional, parasit darah, sapi, Wilayah Kerja BBVet Wates
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
375
daging atau kulit atau jeroan, penurunan produktivitas ternak sebagai tenaga
kerja, penurunan kesuburan, aborsi dan kematian (Dirkeswan, 2014).
TUJUAN
Sebanyak 5.681 sampel darah sapi dan 830 sampel darah kerbau dengan
pengawet EDTA, yang berasal dari daerah di wilayah kerja Balai Besar
Veteriner Wates Yogyakarta, diperiksa terhadap adanya parasit darah. Sampel
darah yang diperiksa merupakan sampel hasil pelayanan aktif BBVet Wates
dan juga kiriman dari Dinas Peternakan ataupun instansi lain di wilayah kerja
BBVet Wates. Sampel tersebut diperiksa menggunakan metode Haematocrit
Centrifugation Technique (HCT) secara langsung setelah pengambilan darah
(untuk identifikasi Trypanosoma sp) dan preparat ulas darah tipis dengan
pewarnaan Giemsa selama periode Januari s/d Desember 2017.
376 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL
Tabel 1. Hasil pemeriksaan sampel darah sapi terhadap parasit darah
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
377
Sedangkan untuk pemeriksaan sampel darah kerbau diperoleh hasil,
sebanyak 7
sampel (0,84%) menunjukkan hasil Anaplasma
positif sp,
57 sampel (6,87%) positif Theileria sp, dan 68 sampel (8,19%) positif
Trypanosoma sp. Adapun hasil lengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil pemeriksaan sampel darah kerbau terhadap parasit darah
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
378 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
PEMBAHASAN
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam kejadian penyakit parasit darah
adalah manajeman pemeliharaan, hal tersebut terkait dengan vektor caplak
bertindak sebagai inang antara yang mentransmisi secara biologis, dan lalat
yang mentransmisi secara mekanik (Kocan et al., 2000). Pada peternakan
yang dilakukan dengan metode digembalakan pagi hari dan dikandangkan
sore hari (semi intensif), kadang masih dijumpai ternak yang terinfeksi
oleh parasit darah, infeksi ini diduga berasal dari ternak yang terinfeksi
pada saat digembalakan, dimana pada saat dikandangkan akan menginfeksi
ternak yang letak kandangnya tidak berjauhan. Transmisi tersebut dilakukan
oleh caplak yang menempel pada ternak terinfeksi kemudian menginfeksi
ternak lain melalui gigitan. Nasution (2007) menyatakan bahwa waktu sapi
merumput berpengaruh terhadap infeksi parasit darah. Menurut Himawan
(2009), rumput segar dipagi hari tidak baik untuk ternak, karena caplak
sedang aktif berburu dan sedang berada di puncak rerumputan.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
379
sakit atau tersangka sakit ditemukan caplak, nyamuk dan lalat, maka
vektor tersebut harus dimusnahkan, antara lain dengan pemakaian pestisida
(misalnya dengan menyemprot, menggosok, memandikan atau merendam
hewan) sesuai dengan petunjuk pemakaian. Pencegahan dapat dilakukan
dengan cara mengurangi populasi vektor, melalui dipping, sanitasi kandang,
pemberian repellant serta melakukan manajemen pemeliharaan yang baik
(Dirkeswan, 2014).
Dari hasil pemeriksaan sampel darah sapi dan kerbau di wilayah kerja
BBVetWates, menunjukkan bahwa kejadian anaplasmosis, theilleriosis dan
trypanosomiasis pada sapi dan kerbau ditemukan di wilayah kerja BBVet
wates, sedangkan babesiosis ditemukan hanya pada sapi saja. Penyebaran
penyakit tersebut hampir merata di semua wilayah kerja BBVet Wates.
Walaupun persentase kejadian penyakit relatif kecil, namun perlu menjadi
kewaspadaan kita semua agar kerugian yang ditimbulkan tidak terlalu
memberikan dampak negatif bagi peternak.
DAFTAR PUSTAKA
Kocan, KM., E.F. Blouin, A.F. Barbet. 2000. Anaplasmosis Control, Past,
Present and Future. Ann.NY. Acad Sci. 916 : 501 – 509.
Nasution, A.Y.A. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima
Kecamatan, Kota Jambi. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
381
KASUS KEMATIAN SAPI BALI DI JORONG TOMPEK
NAGARI SALAREH AIA KECAMATAN PALEMBAYAN
KABUPATEN AGAM PROVINSI SUMATERA BARAT
TAHUN 2017
Sri Hilmayeni Tri Putri1,Betty Indah Purnama2
1
Medik Veteriner, Dinas Pertanian Kabupaten Agam
2
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat
srihilmayeni@gmail.com
ABSTRAK
Telah dilaksanakan penyidikan kematian sapi bali pada bulan April sampai Juni 2017 di
kelompok Karya Abadi, Jorong Tompek Nagari Salareh Air. Kasus kematian beberapa ekor sapi
bali baru pertama kali terjadi di daerah ini. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan konfirmasi dan
verifikasi diagnosa penyakit, mengidentifkasi sumber penularan penyakit dan populasi berisiko,
menggambarkan karakteristik epidemiologi, mengidentifikasikan faktor-faktor risiko yang
berasosiasi dengan penyakit dan untuk merekomendasikan langkah-langkah pengendalian penyakit.
Metode penyidikan berupa; pengumpulan data dan informasi melalui wawancara menggunakan
kuisioner, pemeriksaan laboratorium dengan pengambilan sampel dan analisa data. Gejala klinis
berupa: demam tinggi, penurunan nafsu makan, lesu, lemah dan depresi. Untuk kasus lanjut disertai
keringat darah dan kematian. Berdasarkan kerangka waktu dan kurva epidemik, kisaran masa
inkubasi sampai terlihat gejala klinis adalah 4 sampai 14 hari. Angka mortalitas sebesar 6% sampai
36%. Diagnosa banding saat kunjungan lapangan adalah parasit darah dan penyakit Jembrana.
Mortalitas sebesar 38% terhadap populasi baru dan 5,79% bagi populasi lama. Berdasarkan hasil
uji PCR (positif) dari Laboratorium BVet Bukittinggi, menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut
positif mengidap JDV. Pengambilan sampel selanjutnya berupa ulas darah setelah kematian masih
berlanjut, meskipun tindakan pencegahan dan pengobatan telah dilakukan. Hasilnya, 78,9% positif
parasit darah. Berdasarkan hasil penyelidikan dengan gejala klinis yang teramati adalah lemah/lesu,
nafsu makan menurun, kadang-kadang ditemukan kondisi seperti keringat darah dimana sapi mati
setelah 3 hari keluar keringat darah serta didukung pula dengan hasil laboratorium maka disimpulkan
bahwa patogenitas penyakit ini cukup tinggi dengan penyebaran yang cepat. Sumber penularan dapat
disebabkan oleh virus ataupun penyakit lain yang ditularkan melalui vektor. Keadaan ini didukung
pula dengan luasnya padang penggembalaan, kepadatan populasi di lokasi tersebut serta kondisi
lingkungan yang lembab. Pemberian rekomendasi tindakan pengendalian adalah peningkatan
sanitasi kandang, manajemen peternakan serta komunikasi, informasi dan edukasi tentang cara
beternak sapi bali yang baik.
PENDAHULUAN
Penyakit Jembrana dan Parasit Darah pada sapi bali memiliki beberapa
kesamaan gejala klinis. Jembrana Disease disebabkan oleh Jembrana
Disease Virus=JDV. Gejala klinis berupa demam tinggi, limphadenopati,
limphopenia, keringat darah, mukus berlebihan pada mulut dan hidung.
Keringat darah muncul setelah demam, berlangsung selama 2-3 hari terutama
di daerah panggul, punggung, perut dan skrotum. Kematian terjadi pada 1-2
minggu setelah infeksi (Wilcox et al.,1997). Kematian juga dapat disebabkan
adanya infeksi sekunder (Dharma et al.,1994).
382 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Penyakit parasit darah umumnya disebabkan oleh Theleria sp., Babesia
sp., Anaplasma sp., dan Trypanosoma sp. Sapi terinfestasi parasit darah
secara bersamaan dan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan anemia.
Pada kondisi akut, dapat menyebabkan kematian, masa inkubasinya 2
minggu (Hartiningsih et al.1994). Salah satu gejalanya yang menyerupai
penyakit Jembrana adalah keringat darah.
TUJUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
383
Pengambilan sampel
Analisa Data
HASIL
384 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Laporan Kematian dan Kesakitan pada Sapi Bali
Peternak
Variabel
I II III
Vaksinasi JD sapi bali lama Ya Ya Ya
Vaksinasi JD sapi bali baru Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu
Jumlah sakit Tidak Tidak teramati Tidak
teramati teramati
Jumlah mati 1 2 1
Jumlah sembuh Ada 4 3
Perubahan klinis teramati; Nafsu Ya Ya Ya
makan turun, lemah/lesu, muncul
keringat darah sebelum mati
Konfirmasi ke petugas Ya Ya Ya
Sumber air minum; hujan, genangan Ya Ya Ya
Pagar pembatas area penggembalaan Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Isolasi sapi sakit Tidak Tidak Tidak
Tindakan karantina sapi baru Tidak Tidak Tidak
Pemberantasan caplak dan lalat di Tidak Tidak Tidak
tubuh sapi
Sistem pemeliharaan; semi-intensif Ya Ya Ya
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
385
386
Gambar 1.
Kerangka waktu investigasi kasus kematian sapi bali di Jorong Tompek
Prosiding
5
3 4
Angka Kematian
3
2
1
1
0 0
Januari 2017 Januari 2017
10 April 2017 10 April
25 Mei 2017 2017 13
25 Mei
Juni2017 13 Juni14
2017 2017
Juni142017
Juni 2017 1717Juni
Juni 2017
2017
Gambar 2. Kurva epidemik kasus kematian sapi bali di Jorong Tompek
Gambar
3. Pemetaan partisipatif area kasus
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel berupa
sampel EDTA dan ulas darah. Sampel
diperiksa di Laboratorium BVet Bukittinggi.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
387
Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel ulas darah, sapi yang sakit dan
masih menunjukkan gejala klinis, positif parasit darah (100% Theleriosis).
PEMBAHASAN
388 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Investigasi kedua dilanjutkan disertai pengambilan sampel ulas darah
untuk mengetahui kemungkinan penyakit lain, yaitu area penggembalaan
merupakan daerah endemis parasit darah. Hasil laboratorium BVet; 78,9%
positif parasit darah. Tindak lanjutnya; pemberian anti parasit pada ternak
yang terinfeksi. Kondisi kandang terbuka dan sistem penggembalaan semi-
intensif, memungkinkan penularan secara cepat.
Kesimpulan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
389
3. Karakteristik epidemiologi penyakit Jembrana menyebar ke seluruh
populasi sapi bali dengan cepat di Jorong Tompek sejak April sampai
Juni 2017 dengan mortalitas 38% terhadap sapi bali baru dan 5,79%
bagi sapi yang lama.
4. Kejadian kematian pada sapi bali di Jorong Tompek Nagari Salareh Aia
Kecamatan Palembayan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: tidak
adanya karantina, kondisi lingkungan yang lembab, sanitasi tidak baik,
tidak adanya pembasmian vektor penyakit, tidak adanya desinfeksi
kandang, sistem pemeliharaan semi-intensif.
5. Langkah pengendalian yang dilakukan adalah, melakukan vaksinasi
Jembrana setiap tahun, pemberantasan vektor penyakit, isolasi ternak
sakit, pengobatan pada ternak sakit dan surveilans.
Saran/Rekomendasi
1. Peternak
Kandang dan lokasi penggembalaan harus dipantau terhadap populasi
caplak dan lalat, begitu juga dengan kebersihan kulit dan badan sapi.
Pencegahan dan pengendalian penyakit dilakukan dengan meminimalisir
faktor risiko. Status gizi ternak ditingkatkan melalui pemberian ransum pakan
yang baik untuk kesehatan dan daya tahan. Meningkatkan kewaspadaan
terhadap penyakit akibat perubahan cuaca dan musim.
2. Petugas Dinas
Kegiatan vaksinasi Jembrana dilaksanakan setiap tahunnya. Adanya
pendampingan teknis terhadap peternak untuk memberikan komunikasi,
informasi dan edukasi mengenai penyakit yang dapat timbul pada sebuah
peternakan.
KETERBATASAN
390 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
391
SURVEY TRIANGULASI PADA HEWAN DOMESTIK DI PULAU
SULAWESI : HASIL PENGUJIAN ROUND 1 SULAWESI UTARA
DAN GORONTALO TAHUN 2016
Muflihanah1, , Ferra Hendrawati1, Faizal Zakaria1, Titis Furi Djatmikowati1, Wiwik Dariani1,
Fitri Amaliah1, Supri1, Taman Firdaus1, Sitti Hartati Said1, Sulaxono Hadi1,
Farida Camalia Zenal2, Ali Risqi Arasy2, Nining Hartaningsih2, Audi Tri Harsono2
ABSTRAK
Penyakit zoonosis berdampak pada manusia dan ekonomi secara global. Terdapat kurang lebih
75% penyakit yang baru muncul (emerging diseases) merupakan zoonosis. Dalam era globalisasi
dan perdagangan, perjalanan penyakit ini sangat cepat berpengaruh pada kesehatan masyarakat dan
ekonomi. Melalui program USAID-EPT 2 program, FAO ECTAD Indonesia berkolaborasi dengan
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (BBVet Maros) dan PREDICT2 melakukan
surveilans triangulasi dan pengumpulan sampel ternak (hewan domestik) dalam rangka memahami
potensi penularan patogen dari satwa liar ke hewan domestik dan manusia.
Tujuan surveilans triangulasi adalah untuk mengindentifikasi ancaman virus zoonosis pada
interface penularan patogen pada ternak dari satwa liar yang berisiko tinggi, mengidentifikasi
faktor biologi yang menggerakkan munculnya, penularan dan penyebaran penyakit zoonosis pada
ternak dan kaitannya dengan satwa liar serta memperkirakan risiko relatif spillover patogen yang
tidak dikenal atau dikenal dari satwa liar ke hewan domestik, yang memungkinkan penularan virus
zoonosis antar wilayah.
Desain surveilans adalah berbasis risiko untuk meningkatkan kemungkinan deteksi virus.
dengan populasi target hewan domestik yang diternakkan (sapi, kerbau, kuda, babi, kambing)
yang memiliki keterkaitan (interface) yang tinggi dengan satwa liar di dua Kabupaten Provinsi
Gorontalo (Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato) dan Sulawesi Utara (Kabupaten Bolaang
Mongondow, Minahasa Selatan, Minahasa dan Kota Tomohon).
Telah dilakukan pengujian terhadap 172 sampel swab rektal untiuk mendeteksi lima target
family virus yaitu Influenza (HPAI, Human Flu), Paramyxovirus (Nipah, Hendra), Coronavirus
(SARS, MersCov), Filovirus (Ebola), Flavivirus (JE) menggunakan protokol PREDICT dengan
teknik PCR konvensional. Hasil menunjukkan sebanyak 6,97% sampel presumptif positif terhadap
Influenza A, 0,58% presumptif positif terhadap paramyxovirus, dan 172 sampel presumptif negatif
terhadap Coronavirus, Flavivirus dan Filovirus.
PENDAHULUAN
Rancangan Studi
Populasi target
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
393
Mongondow, Minahasa Selatan, Minahasa dan Kota Tomohon) pada putaran
pertama.
394 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
1. Sulawesi Utara
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
395
Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Selatan, Kota Manado,
Kota Bitung, Kota Tomohon dan Kota Kotamobagu Lokasi surveilans
triangulasi dilaksanakan di empat kabupaten/kota yaitu Minahasa, Bolaang
Mongondow, Minahasa Selatan dan Kota Tomohon .
396 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar 2. Interface satwa liar dengan hewan domestik
2. Gorontalo
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
397
Pengujian Laboratorium
398 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 1. Hasil Pengujian Survelans Triangulasi Round 1
Prosiding
Sampel
Kabupupaten/ Presumtive Presumtive Presumtive Presumtive Presumtive
Propinsi Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Kota Positif Positif Positif Positif Positif
Sulawesi Bolaang 25 4 25 25 25 25
1 21 0 0 0 0
Utara Mongondow
2 Tomohon 25 2 23 0 25 0 25 0 25 0 25
3 Minahasa 25 2 23 0 25 0 25 0 25 0 25
Minahasa 13 1 13 13 13 13
4 12 0 0 0 0
Selatan
5 Gorontalo Boalemo 39 0 39 1 38 0 39 0 39 0 39
400 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
401
Li, H., Wunschmann, A., Keller, J., D., Hall,G., Crawford, T. B. . 2003.
Caprine herpesvirus-2–associated malignant catarrhal fever in white-
tailed deer (Odocoileus virginianus). J Vet Diagn Invest 15:46–49
(2003)
Quan, P.L., Firth, C., Street, C., Henriquez, J. A., Petrosov, A.,
Tashmukhamedova A., Hutchison, S.K., Egholm, M., Osinubi,
M.O.V., Ogunkoya, A.B., Briese, T., Rupprecht, C.E., Lipkin,
W.I..2010. Identificatioan of a Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus-like Virus in a Leaf-Nosed Bat in Nigeria. mBio 1(4)
e00208-10
Tong, S., Chern, S.W.W, Li, M., Pallansch, M.A., Anderson, L.J.. 2008.
Sensitive and Broadly Reactive Reverse Transcription-PCR Assays
To Detect Novel Paramyxoviruses. Jounal of Clinical Microbiology,
Aug 2008 p. 2652-2658.
402 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMERIKSAAN DAN IDENTIFIKASI PARASIT
GASTROINTESTINAL PADA SAPI BALI DI NUSA TENGGARA
TIMUR TAHUN 2017
Hilda Susiyanti Debora Berek
Veronika Matutina
ABSTRAK
Parasit gastrointestinal merupakan parasit yang dapat menginfeksi saluran gastrointestinal baik
manusia maupun hewan. Parasit tersebut dapat hidup di seluruh bagian tubuh, tetapi kebanyakan
siklus hidupnya berada di usus. Infestasi parasit bila dalam jumlah besar dapat menyebabkan
kerusakan usus dan mengakibatkan penebalan pada dinding-dinding usus, lebih lanjut ternak yang
terinfestasi cacing akan diare yang mengakibatkan kehilangan cairan tubuh dan akan berakhir
dengan kematian. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat sejauh mana tingkat infestasi dan
penyebaran cacing parasit gastrointestinal pada sapi Bali di wilayah NTT. Selama pelaksanaan
surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 1.145 sampel dari 22 kabupaten/kota dalam wilayah
NTT. Sampel yang diambil berupa feses sapi segar dan dilakukan pemeriksaan dan perhitungan
telur cacing/ookista koksidia per gram feses (EPG) dengan menggunakan metode uji apung dan uji
sedimentasi di Laboratorium Pengujian dan Penyidikan Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT.
Hasil pengujian menunjukkan prevalensi parasit gastrointestinal pada Sapi Bali di Provinsi NTT
mencapai 9,96%, dimana dari 1.145 ternak sapi yang diambil fesesnya sebanyak 114 ekor sapi positif
terinfeksi parasit gastrointestinal. Dari 114 sampel yang positif, didapatkan telur cacing yang berasal
dari 3 kelompok cacing parasit usus yaitu Kelas Nematoda terdiri atas Strongylus sp (54,54 %) ;
Kelas Trematoda terdiri atas Fasciola sp (15,15 %), Paramphistomum sp (11,11 %) ; dan Kelas
Cestoda terdiri atas Moniezia sp (1,01 %) ; serta dari Kelas Protozoa ditemukan Eimeria sp (18,18
%). Infestasi parasit gastrointestinal pada Sapi Bali di wilayah NTT tergolong dalam 2 kategori yaitu
untuk telur cacing Moniezia sp termasuk dalam infeksi sedang karena telur yang dihasilkan sampai
640 butir per gram feses sapi, sedangkan untuk telur cacing lainnya masih tergolong dalam infeksi
ringan karena telur yang dihasilkan < 500 butir telur per gram feses sapi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi bali adalah sumber daya genetik asli Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi dari banteng liar. Sapi bali memiliki keunggulan dibandingkan
dengan sapi lainya yaitu memiliki fertilitas yang baik, presentase karkas
lebih tinggi dibandingkan dengan sapi potong lainya (Suwiti et al., 2013).
Penyebaran sapi bali sangat cepat di berbagai daerah di Indonesia terutama
di Indonesia bagian timur karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk
masyarakat.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
403
adanya infestasi parasit sebagai faktor predisposisi. Walaupun penyakit
cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari
segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing
disebut sebagai penyakit ekonomi (Imbang, 2007).
Tujuan
Materi
404 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Metode
Prosedur Pengujian
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
405
selama 6 menit, masukkan plug kedalam silinder pencampur secara perlahan,
pegang kuat-kuat kemudian balikkan silinder pencampur sehingga tersisa
endapan larutan sebanyak 5 cc. Lakukan sebanyak 3 kali. Tambahkan 2 tetes
larutan methylene blue 0.1% kedalam endapan. Aduk merata dengan pipet
kemudian segera isap larutan tersebut dan masukkan kedalam kamar alat
penghitung telur cacing. Aduk larutan tadi pada setiap kali pengisian kamar
alat penghitung telur. Keterangan hasil pemeriksaan: telur Paramphistomum
: berwarna terang sampai biru tua dan telur Fasciola hepatica : berwarna
kuning keemasan.
HASIL
406 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Pemeriksaan sampel feses sapi bali dari hasil surveilas ini terdapat
infeksi tunggal (terdiri dari satu jenis cacing/protozoa) dan infeksi campuran
(terdiri atas dua atau lebih cacing/protozoa). Infeksi tunggal ditemukan di
14 Kabupaten/Kota sebesar 86,84% (99/114), sedangkan infeksi campuran
terdapat 8 Kabupaten/Kota sebesar 13,16% (15/114), dapat dilihat pada
Tabel 2.
Jenis Infeksi
Jumlah Infeksi Telur Infeksi Telur
No Kabupaten/Kota
positif Cacing Tunggal Cacing Campuran
(%) (%)
1 Kota Kupang 15 14 (93,33) 1 (6,67)
2 Kupang 3 2 (66,67) 1(33,33)
3 Timor Tengah Selatan 7 7 (100) 0
4 Timor Tengah Utara 8 6 (75) 2 (25)
5 Belu 5 5 (100) 0
6 Malaka 4 4 (100) 0
7 Rotendao 2 2 (100) 0
8 Sabu Raijua 9 9 (100) 0
9 Alor 0 0 0
10 Lembata 3 3 (100) 0
11 Flores Timur 9 5 (55,56) 4 (44,44)
12 Sikka 1 1 (100) 0
13 Ende 0 0 0
14 Nagakeo 6 6 (100) 0
15 Ngada 8 7 (87,5) 1 (12,5)
16 Manggarai Barat 8 6 (75) 2 (25)
17 Manggarai 2 2 (100) 0
18 Manggarai Timur 2 2 (100) 0
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
407
Jenis Infeksi
Jumlah Infeksi Telur Infeksi Telur
No Kabupaten/Kota
positif Cacing Tunggal Cacing Campuran
(%) (%)
19 Sumba Barat Daya 4 4 (100) 0
20 Sumba Barat 9 6 (66,67) 3 (33,33)
21 Sumba Tengah 0 0 0
22 Sumba Tmur 9 8 (88,89) 1 (11,11)
T O TAL 114 99 (86,84) 15 (13,16)
Tabel 3. Jenis dan Jumlah Telur Cacing berdasarkan Jumlah Infeksi Tunggal
408 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMBAHASAN
Bedasarkan jenis telur cacing dapat dilihat bahwa jenis telur cacing
strongylus sp sangat tinggi menginfeksi sapi bali di wilayah NTT yaitu 54,54
%. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Yeung et al. (2005) yang menyatakan
bahwa parasit cacing yang sering menginfeksi sapi adalah cacing kelas
nematoda. Prevalensi cacing nematoda pada sapi bali dapat dipengaruhi oleh
hospes, parasit, dan lingkungan ternak, selain itu infeksi nematoda terjadi
karena siklus hidupnya secara langsung tidak memerlukan host intermediet.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
409
karena telur yang dihasilkan < 500 butir telur per gram feses sapi. Jumlah
telur cacing per gram feses ternak tidak selalu dapat menunjukkan tingkat
infeksi yang sebenarnya. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa hanya
cacing dewasa saja yang dapat menghasilkan telur, sedangkan larva cacing
belum menghasilkan telur. Larva kemudian menjadi dewasa secara seksual,
dan ada yang menjadi cacing jantan yang juga patut diperhitungkan untuk
menentukan tingkat infeksi pada ternak. Pada kasus- kasus infeksi kronis
ringan yang berulang pada sapi dalam kurun waktu tertentu di dalam tubuh
akan terbentuk antibodi terhadap parasit gastrointestinal sehingga pada
infeksi berikut intensitasnya cenderung berkurang. Namun pada infeksi yang
intensitasnya sedang sampai berat, apabila tidak dilakukan pengobatan secara
periodik dan penanganan yang baik akan terjadi penurunan produkstivitas
bahkan kematian terutama pedet dan ternak sapi muda.
Kesimpulan
410 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Yeung KJA, Smith A, Zhao A, Madden KB, Elfrey J, Sullivan C. 2005. Impact
of vitamin E or selenium deciency on nematode-induced alteraons in
murine intesnal funcion, Experimental Parasitol 109: 201– 208
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
411
KEJADIAN RABIES di PROVINSI KALIMANTAN BARAT
SELAMA PERIODE 2014 – 2017
drh. Huibert Hendrian Umboh* ; drh. Yudha Dwi Harsanto** ; drh. Tri Hartati Wulandari***
ABSTRAK
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang menyebar di daerah Kepulauan Kalimantan dan
masih sulit untuk dihilangkan. Tercatat kejadian rabies di Kalimantan mewabah sejak tahun 1974 di
Kalimantan Timur, tahun 1978 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan tahun 1983, dan terakhir
di Kalimantan Barat mewabah penyakit rabies pada tahun 2014 setelah dinyatakan bebas melalui
Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 885/kpts/pd.620/8/2014.
Sejak kasus gigitan pertama terkonfirmasi penyakit rabies di wilayah Kabupaten Melawi dan
Kabupaten Ketapang pada tahun 2014, kasus rabies semakin menyebar luas di wilayah Kalimantan
Barat. hingga tahun 2017, terdapat 12 kabupaten di wilayah Kalimantan Barat teridentifikasi
positif rabies. Berdasarkan data jumlah gigitan dan kasus positif Rabies di wilayah Kalimantan
Barat, peningkatan jumlah kasus gigitan dan koordinasi penanganan bagi tiap daerah tertular perlu
ditingkatkan agar tidak menambah jumlah kasus gigitan dan melindungi Hewan Penular Rabies di
daerah bebas dari infeksi virus rabies.
Sampel yang diterima berupa kiriman yang dicurigai rabies dalam bentuk otak dari hewan
penular rabies dengan kemasan segar dingin dan dilakukan pengujian menggunakan metode
pengujian FAT, RIAD, dan PCR untuk mengkonfirmasi positif Rabies.
Selama tahun 2014 terdapat 116 kasus gigitan dengan jumlah sampel yang dikirim sebanyak
9 sampel, tahun 2015 terdapat 506 kasus gigitan dengan jumlah sampel yang diterima sebanyak 8
sampel, tahun 2016 terdapat 877 gigitan dengan jumlah sampel yang diterima sebanyak 20 sampel,
dan pada tahun 2017 terdapat 2091 kasus gigitan dengan jumlah sampel yang diterima sebanyak
43 sampel. Dari 80 sampel yang diuji, terdapat 65 sampel yang positif rabies dan 15 sampel yang
negative rabies.
PENDAHULUAN
Rabies atau dikenal sebagai Anjing Gila adalah penyakit infeksius yang
menyerang susunan saraf dan dapat berakhir dengan kematian (Suardana,
2005). Penyakit ini dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas dan
bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia) (wheindrata, 2012). Di
Indonesia, 98 persen kasus rabies ditularkan melalui gigitan anjing dan 2
persen ditularkan melalui gigitan kucing dan kera. Rabies pada hewan di
Indonesia sudah ditemukan sejak tahun 1884. Sedangkan kasus rabies pada
manusia di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1894 di Jawa
Barat (Kemenkes, 2010). Rabies di pulau Kalimantan masih menyebar dan
sulit untuk dihilangkan. Tercatat kejadian rabies di Kalimantan mewabah
sejak tahun 1974 di Kalimantan Timur, tahun 1978 di Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan tahun 1983, dan terakhir di Kalimantan Barat mewabah
penyakit rabies pada tahun 2014 setelah sebelumnya Kalimantan Barat
412 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
dinyatakan bebas melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 885/
kpts/pd.620/8/2014.
TUJUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
413
stem, Ammon’s horn, thalamus, cerebral cortex dan medulla oblongata)
(Syahrurachman, et.al,1993).
2. Data Rabies
Gigitan HPR
No Kabupaten Keterangan
2014 2015 2016 2017
1 Ketapang 96 322 145 59
2 Melawi 20 184 35 15
3 Sintang 0 84 262 227
4 Kapuas Hulu 0 152 64 174
5 Bengkayang 0 0 164 198
6 Sanggau 0 15 134 909
7 Sekadau 0 6 15 200
8 Landak 0 0 58 206
9 Mempawah 0 0 0 44
10 Singkawang 0 0 0 0
11 Pontianak 0 0 0 0
12 Kuburaya 0 0 0 5
13 Kayong Utara 0 0 0 38
14 Sambas 0 0 0 12
Sampel Uji 9 8 20 43
Positif Rabies 3 6 19 37
Negatif Rabies 6 2 1 6
414 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL
Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 2 kota
dengan luas wilayah 147.307 km yang langsung berbatasan dengan Negara
2
Malaysia. Sejak tahun 2010 telah terbukanya akses darat melalui jalan negara
transkalimantan disatu sisi menjadi nilai positif mempercepat perkembangan
ekonomi dengan infrastuktur baik, namun tanpa diimbangi tersedianya pos
check point pemeriksaan hewan yang tidak dapat mengawasi lalu lintas
hewan. Hal ini tampak pada perkembangan sebaran Rabies selama tahun
2014 s/d 2017 pada gambar dibawah ini :
Gambar 1.Kejadian Rabies pada
Gambar 2. Kejadian Rabies pada
Tahun 2014
Tahun 2015
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
415
909
227
59
168
322 358 174
198
206
15
36 100 252
184 200
152 168
96 84 80
20 15 26 44 38 12
0 0 0 0 6
0 0 0 0 0 5
0 0 0
Grafik 1. Jumlah GHPR di Provinsi Kalimantan Barat selama Tahun 2014
s/d 2017
Meningkatnya kasus GHPR diikuti dengan pemberian Vaksin Anti
Rabies (VAR) pada Manusia korban gigitan sesuia dengan protokol tata
laksana kasus gigitan terpadu, sehingga terlihat selama periode 2014 s/d
2017 jumlah yang di VAR mengalami peningkatan.
Grafik 2. Kasus GHPR yang dilakukan VAR di Provinsi Kalimantan Barat
selama periode 2014 s/d 2017
PEMBAHASAN
Provinsi Kalimantan Barat secara historis pernah bebas dari Rabies
dengan
ketetapan
Keputusan
Menteri Pertanian.
Namun pada
tahun
2005
terjadi letupan kasus di Kabupaten Ketapang sehingga keluar
Keputusan
Menteri Pertanian Nomor
302/Kpts/PD.620/7/2005
tentang
Pernyataan
Berjangkitnya Wabah Penyakit
Anjing Gila
(Rabies ) di Ketapang
Kabupaten
Provinsi Kalimantan Barat. Dengan penanganan aktif dan cepat kasus Rabies
di Kabupaten
Ketapang yang
disinyalir
tertular
dari
Provinsi
Kalimantan
416
Penyidikan Penyakit
Hewan
Rapat Teknis
dan Pertemuan
Ilmiah
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
Prosiding
(RATEKPIL)
Tengah dapat dikendalikan sehingga tidak menular ke Kabupaten lainnya.
Hal ini menjadikan Provinsi Kalimantan Barat ditetapkan kembali menjadi
daerah bebas Rabies melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 885/
Kpts/PD.620/8/2014 tentang Pernyataan Provinsi Kalimantan Barat Bebas
Penyakit Anjing Gila (Rabies), namun selang 3 (tiga) bulan dari terbitnya
keputusan ini dilaporkan kasus baru di Kabupaten Melawi dengan hasil
Laboratorium Positif Rabies.
Prosiding
Penyidikan Penyakit
Hewan
Kesehatan
dan Surveilans
Rapat
Hewan
Teknis
dan
PertemuanIlmiah
(RATEKPIL)
Tahun 02018
417
Berdasarkan grafik diatas terjadi peningkatan kasus GHPR pada tahun
2014 ke 2015 sebanyak 647 kasus dengan cakupan VAR pada kasus GHPR
ditahun 2014 sebesar 92% dan tahun 2015 sebesar 95%, sehingga terlihat
penurunan korban gigitan yang meninggal (Lyssa). Ini menggambarkan
telah berhasilnya program Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang
dilakukan di Kalimantan Barat, mengingat di beberapa kabupaten dengan
sosial-budaya masyarakat tertentu yang tidak mau dilakukan penatalaksaan
kasus dengan VAR dan korban gigitan yang meninggal (Lyssa) menurun
menjadi 5 orang. Pada tahun 2016 terjadi peningkatan kasus GHPR sebanyak
114 kasus namun cakupan VAR pada GHPR di tahun ini menurun hanya
sebesar 75%, hal ini terjadi dikarenakan stok VAR secara nasional sangat
sedikit namun kasus GHPR meningkat dan meluas hingga 8 Kabupaten di
Kalimantan Barat, sehingga terlihat korban gigitan yang meninggal (Lyssa)
meningkat menjadi 11 orang. Di tahun 2017 terjadi kasus GHPR dan korban
gigitan meninggal (Lyssa) paling tinggi sejak wabah Rabies ini dilaporkan
pertama kali tahun 2005 di Kalimantan Barat yaitu GHPR sebanya 2.087
kasus dan Lyssa 24 orang dengan sebaran rabies mencapai keseluruh
kabupaten yang ada di Kalimantan Barat (12 Kabupaten) dan menyisakan
Kota Pontianak serta Singkawang yang belum tertular rabies.
418 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KETERBATASAN
DAFTAR PUSTAKA
Wheindrata H.S. 2012. Buku Pintar Kesehatan Anjing Ras. Surakarta (ID).
Lyli Publisher
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
419
INVESTIGASI KEMATIAN SAPI MENDADAK DIDUGA AKIBAT
PNEUMONIA DI TANJUNGSARI, GUNUNGKIDUL
Romli Ainul Kusumo1, Desi Puspita Sari2, Asih Susanti1, Setiyawati3,
Lina Findayani1, Agus Puji Widiyanto1
1
UPT Laboratorium Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul
2
Balai Besar Veteriner Wates, Yogyakarta
3
Puskeswan Tepus Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul
Korespondensi : romli126@yahoo.com
ABSTRAK
Terdapat laporan dari masyarakat tentang adanya kematian sapi Rabu pagi 22 November 2017.
Pelapor adalah sekaligus pemilik bernama Waginem, warga Dusun Wonosobo II, Desa Banjarejo,
Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul. Anamnesa yang didapat hanya bahwa pemilik terakhir
melihat dan memberi pakan sapinya pada sore sebelumnya dengan rumput kalanjana dan pollard.
Pada saat itu kondisi sapi masih sehat, kemudian pemilik mendapati sapinya mati pada keesokan
harinya. Keadaan kandang terlihat lembab dan kotoran menumpuk di dalam kandang, sehingga sapi
sulit bergerak. Berdasarkan laporan dan keterangan dari pemilik, dilakukan bedah bangkai di lokasi
kandang tempat sapi mati. Tanda yang terlihat adalah adanya leleran yang sedikit berbusa dari hidung
dan bercampur sedikit darah. Perubahan makroskopik pada organ hanya terjadi pada paru-paru dan
jantung, dimana keduanya terlihat hiperemia. Namun demikian tetap diambil beberapa sampel organ
untuk mengetahui ada tidaknya perubahan mikroskopis pada organ, baik yang mengalami perubahan
maupun yang tidak mengalami perubahan seperti misalnya ginjal, hati, dan usus serta diambil sampel
isi rumen untuk mengetahui ada tidaknya residu pestisida. Sampel-sampel tersebut dibawa ke Balai
Besar Veteriner (BBVet) Wates, Yogyakarta untuk uji laboratorium lebih lanjut. Hasil pemeriksaan
di laboratorium BBVet Wates menunjukkan tidak adanya residu pestisida pada pakan dan isi rumen
sapi. Sedangkan dari pemeriksaan histopatologi, diketahui bahwa paru-paru dan ginjal mengalami
hemoragi, hati terlihat degenerasi pada centrolobuler, sedangkan jantung mengalami kongesti. Pada
isolasi bakteri terhadap sampel organ, ditemukan bakteri Streptococcus sp. pada hati dan paru-paru.
Dari pengamatan kondisi kandang, hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium, diduga bahwa sapi
yang mati mendadak mengalami pneumonia.
PENDAHULUAN
420 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
bakteri. Salah satu penyakit yang dapat terjadi pada sapi adalah Pneumonia.
Pneumonia adalah peradangan pada jaringan paru-paru. Pneumonia pada
sapi umum terjadi dan merupakan permasalahan yang cukup serius (Maas,
2008). Peradangan pada paru-paru ini dapat disebabkan oleh agen infeksius,
masuknya benda asing, senyawa kimia dari pakan, dan beberapa sebab yang
lain. Manajemen pemeliharaan semi intensif seperti mengandangkan hewan
terus-menerus, sanitasi kandang yang buruk (lembab atau berdebu), ventilasi
udara yang jelek, populasi hewan yang berlebihan dalam satu kandang (over
crowding), merupakan faktor-faktor yang mendukung terjadinya pneumonia.
TUJUAN
Sapi mati sebanyak satu ekor milik Waginem dengan alamat Dusun
Wonosobo II, Desa Banjarejo, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten
Gunungkidul. Sapi berada di dalam kandang dalam posisi rebah kiri.
Kami memutuskan untuk melakukan nekropsi di lokasi setelah melakukan
pengamatan terhadap tanda-tanda dan kondisi fisik sapi. Kami melaksanakan
prosedur standar untuk nekropsi hewan besar, meskipun dengan alat yang
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
421
terbatas, seperti pisau dan gunting bedah, pisau besar untuk membuka rongga
dada, dan beberapa alat yang lain. Untuk keperluan pengujian histopatologi,
kami menyiapkan formalin 10% untuk menyimpan contoh organ yang
mengalami perubahan. Beberapa contoh organ kami simpan dalam kondisi
segar dalam cooler berisi es untuk keperluan isolasi bakteri. Contoh organ
yang kami ambil adalah usus, paru-paru, jantung, ginjal, omasum, abomasum,
rumen dan hati untuk keperluan pengujian histopatologi dan isolasi bakteri.
Selain itu kami juga mengambil contoh pakan sapi (rumput dan konsentrat),
isi usus, isi rumen untuk keperluan pengujian kandungan pestisida. Yang
terakhir kami mengambil contoh darah kapur (cairan bercampur darah
yang keluar dari hidung) untuk keperluan pengujian isolasi dan identifikasi
Anthrax.
Semua contoh organ, pakan dan darah kapur dikirim ke Balai Besar
Veteriner Wates, Yogyakarta. Dan untuk keperluan pelaporan, kejadian sapi
mati ini dilaporkan ke ISIKHNAS.
HASIL
422 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
mencolok, tidak ada darah yang keluar dari lubang-lubang alami, kecuali
adanya cairan berbusa berwarna kemerahan yang keluar dari hidung namun
dengan volume yang tidak banyak. Kami mengambil sampel dairan tersebut
dengan kapur untuk pengujian identifikasi anthrax. Perut cukup membesar.
Selain tanda-tanda tersebut tidak ditemukan tanda lain yang menciri. Oleh
karena itu, kami memutuskan untuk melakukan nekrospi.
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
423
bahwa paru-paru mengalami hemoragi atau perdarahan dan emfisema.
Biasanya, pemeriksaan mikroskopik paru-paru yang mengalami pneumonia
menunjukkan adanya penebalan septa pulmonum interlobuler akibat oedema
dan oedema interstisialis serta empfisema (Coelho et al., 2017). Sedangkan
jantung mengalami kongesti, hati menunjukkan degenerasi pada centrolobuler
dan ginjal mengalami hemoragi. Hasil pemeriksaan histopatologi tersebut
menurut kami juga bersifat tidak spesifik. Namun berdasarkan keterangan
dari pemilik, kondisi kandang, tanda eksternal, makroskopis dan pemeriksaan
histopatologi, kami menduga bahwa sapi mati dikarenakan pneumonia.
Dimana pneumonia pada sapi terdiri dari beberapa tipe dan tingkatan dengan
penyebab yang bervariasi. Furber (2016) yang menyebutkan bahwa beberapa
penyebab interstitial pneumonia adalah virus, migrasi larva, senyawa kimia
dari pakan,reaksi alergi, debu dan spora dari pakan yang berjamur, serta gas
beracun (amonia, asap).
A B C
D E F
424 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Kondisi kandang yang penuh dengan kotoran sapi kami duga memiliki
peran yang penting terhadap kondisi sapi yang mati. Tingginya kadar amonia
yang dihasilkan dari kotoran kemungkinan juga berpengaruh. Lingkungan,
mikroba dan kekebalan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkatan pneumonia pada sapi (Furber, 2016).
Dari tanda luar berupa leleran berbusa yang berwarna kemerahan, kondisi
kandang dengan sanitasi yang buruk, pengamatan perubahan makroskopis
organ, terutama paru-paru dan hasil pemeriksaan histopatologi paru-paru,
kami menduga bahwa sapi milik Waginem dengan alamat Dusun Wonosobo
II, Desa Banjarejo, Kecamatan Tanjungsari mati karena pneumonia.
Dalam hal investigasi, kami berharap memiliki alat nekropsi dan bahan
pemeriksaan yang lebih baik, sehingga proses investigasi dan pemeriksaan
bisa lebih akurat.
LIMITASI
Keterbatasan alat dan bahan membuat investigasi ini menjadi lebih sulit.
Selain itu, gejala atau tanda yang muncul serta perubahan makroskopis organ
yang minimal membuat diagnosis juga lebih sulit.
DAFTAR PUSTAKA
Coelho ACB, Oliveira PA, dos Santos BL, Estima-Silva P, Scheid HV, de
Souza Leal SDCB, Marcolongo-Pereira C, dan Schild AL. 2017.
Atypical Bovine Intertitial Pneumonia in A Semi-Intensive Beef Cattle
System. Ciência Rural 47 (11)
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
425
Furber D. 2016. Pneumonia : The Disease That Won’t Go Away. Canadian
Cattlemen Magazine [Internet]. [Diunduh 26 Maret 2018]; Tersedia
pada https://www.canadiancattlemen.ca/2016/09/16/pneumonia-the-
diasease-in-cattle-that-just-wont-go-away/#.WriMYsGY8EE.mailto
426 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
APLIKASI DRIT (DIRECT RAPID
IMMUNOHISTOCHEMISTRY TEST ) UNTUK MENDETEKSI
ANTIGEN VIRUS RABIES PADA JARINGAN OTAK.
Ibnu Rahmadani1. Yul Fitria2
ABSTRAK
Rabies merupakan salah satu penyakit hewan yang memberikan efek secara langsung bagi
kesehatan masyarakat di Indonesia. Hasil pengujian laboratorium merupakan dasar pemberian Vaksin
anti rabies bagi manusia yang tergigit HPR, namun tidak semua daerah mempunyai laboratorium yang
mampu melakukan pengujian rabies. dRIT (direct Rapid Immuohistochemistry Test) merupakan
metode pengujian antigen virus rabies yang tanpa menggunakan mikroskop fluoresen yang sudah
direkomendasikan oleh OIE. 60 (enam puluh) otak anjing tanpa pengawet yang diduga terinfeksi
virus rabies digunakan sebagai sampel. Dilakukan pembuatan preparat ulas otak lalu difiksasi dalam
Buffer Formalin 10%, lalu direaksikan dengan mouse anti rabies Biotinilated (Ab.Com.China) dan
streptavidin peroksidase (dako). Hasil pengujian divisualisasikan dengan menggunakan substrat
AEC (amino-9-ethyl carbazole) kemudian diamati dengan mikrokop cahaya. Hasil pengujian
menunjukkan, 60 sampel yang diuji menunjukkan 45 sampel positif antigen virus rabies dan 15
sampel negatif virus rabies. Pengujian dRIT jika dibandingkan dengan uji dFAT menunjukkan
sensitifitas dan spesifisitas sebesar 100%. Metode dRIT dapat diterapkan untuk pengujian antigen
virus rabies di laboratorium yang tidak memiliki mikroskop fluoresens.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
427
TUJUAN
Enam puluh (60) otak tanpa pengawet dari hewan yang diduga
terinfeksi virus rabies yang berasal dari wilayah kerja Balai Veteriner
Bukittinggi digunakan sebagai sampel. Dilakukan pembuatan preparat
smears otak, lalu preparat difiksasi dalam formalin 10% selama 10 menit.
Untuk memblok reaksi endogenouse peroksidase ditambahkan H2O2 3%
pada preparat diinkubasikan selama 10 menit, pencucian pada setiap tahapan
menggunakan PBST. Selanjutnya pada preparat ditambahkan mouse anti
rabies biotinilated (AB.Com. China) dengan perbandingan 1:200 (Ye Feng et
al., 2018 kemudian diinkubasikan selama 10 menit lalu dicuci dengan PBST,
ditambahkan streptavidin peroksidase diinkubasikan selama 10 menit. Hasil
pengujian divisualisasikan dengan menggunakan subtrat Amino-9-Ethyl
Carbazole (AEC). Counter stain dengan menggunakan mayer hematoksilin
HASIL
428 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gambar. C
A, B, Tanda
panah
menunjukkan
antigen
virus
rabies
positif
berwarna merah berbentuk bulatan, oval atau elips. pembesaran 20x . Gambar
D . Kontrol negatif. Pembesaran 20x
60 (enam puluh) sampel otak 7 (tujuh) sampel berasal dari kucing, dan 53
sampel berasal dari anjing. Lima dari tujuh sampel otak kucing menunjukkan
positif
hasil (72%)
dan
40
dari
53
sampel
otak
njing
menunjukkan
hasil
positif (75%) , rincian terlihat dalam tabel .
Hasil
Tabel.
pengujian dRIT dan dFAT
dRIT
dFAT
Jenis Hewan
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Anjing
40
13
40
13
Kucing 5 2 5 2
45
15
45
15
PEMBAHASAN
hasil
Dari pengujian
preparat
ulas
otak
hewan
yang
diduga
rabies
metode
dengan dRIT
menunjukkan
hasil yang
sama
jika
dibandingkan
pengujian
dengan dFAT
hal
ini
menunjukkan
sensitifitas
pengujian
dRIT
sebesar 100% dan spesifisitasnya juga 100%. Metode dRIT merupakan
satu
salah pengujian
antigen
virus
rabies
tanpa
menggunakan
mikroskop
fluoresen yang telah direkomendasikan oleh OIE. Metode ini menggunakan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
429
reaksi antigen dan antibodi spesifik (lembo et al, 2006). Uji ini sangat aman
dilakukan di laboratorium karena preparat ulas otak telah difiksasi dalam
formalin 10% selama 10 menit dipastikan virus rabies telah diinaktifasi
(lembo et al., 2006). Dari hasil pengujian otak hewan berasal dari anjing
dan kucing hal ini menunjukkan metode ini dapat diaplikasikan untuk
beberapa spesies hewan dengan hasil yang sama akuratnya. Pada studi ini
menggunakan sampel otak segar maupun yang disimpan dalam freezer
– 80ͦC selama 1 tahun, menurut Durr et al., (2008) sensitifitas pengujian
dRIT akan menurun dibandingkan dFAT pada sampel dengan kualitas yang
kurang baik. Secara umum dRIT dapat dijadikan alternatif pengujian rabies
selain dFAT, khususnya bagi laboratorium yang tidak memilik mikroskop
fluoresen. Kemudaha penyediaan reagen merupakan salah satu faktor dalam
rangka keberlanjutan pengujian dRIT di laboratorium
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti R, Rahmadani I, Fitria Yul, 2014. Deteksi virus rabies pada ulas
otak dengan direct Immunohistochemistry Test. JITV 19 (1) : 52-58.
[OIE] Office International des Epizootics. 2008. Rabies. Manual standard for
diagnostic tests and vaccines. Volume 1. OIE. Paris. p. 304-322.
430 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Ye Feng, Muyang Wang, Tingfang Liu, Yan Zhang, Zhongzhong Tu,
Huancheng Go, Cuijuan Zhang, Renying Zhu, Wenlin Ren, Le Sun,
Weidi Xu, Yuyang Wang, Maohua Li. 2018 Evaluation of monoclonal
antibody-basedirect, rapid immunohistochemical testfor rabies
diagnosis. Jviromet 256(2018) 12-16.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
431
REISOLASI KANDIDAT MASTERSEED VIRUS TANTANG
HIGH PATHOGENIC AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1
Ramlah, Hidayanto K, Natih KKN, Suryanti S, Suryati S, Mukartini S
BBPMSOH
ABSTRAK
Virus AI subtype H5N1 masih menjadi perhatian utama. Berdasarkan hasil pertemuan IVM
tahun 2015-2016 diperoleh 4 kandidat virus tantang yang akan dipergunakan untuk uji efikasi dan
potensi vaksin AI yang beredar di Indonesia. Isolat masterseed virus AI diperoleh dari BBVet Wates,
yang kemudian dimurnikan di BBPMSOH. Isolat virus AI H5N1 diberi kode A (A/chicken/Barru/
BBVM41-13/2013 clade 2.1.3), kode B (A/duck/Tanah Laut/0514095/2014 clade 2.3.2), kode C (A/
chicken/Semarang/04141225-07/2014 clade 2.3.2.1c) dan kode D (A/chicken/Sleman/BBVW-1908-
12/2012 clade 2.1.3). Reisolasi virus AI dilakukan dengan pengenceran 102 dan 103. Virus AI H5N1
diinfeksi pada telur SPF umur 10 hari. Pengamatan terhadap telur terinfeksi dilakukan selama 2 hari.
Terjadi kematian embrio pada hari pertama dan kedua post infeksi. Pada saat kematian embrio, telur
terinfeksi selanjutnya disimpan pada suhu 4oC selama 12 jam, kemudian diambil cairan allantoisnya
dan diamati gejala klinis embrio. Selanjutnya dilakukan uji aglutinasi dengan hasil positif aglutinasi
cepat dan lambat. Kemudian dilakukan uji HA-HI untuk memastikan virus tidak terkontaminasi
ND, EDS dan murni virus AI. Masterseed virus AI dilanjutkan sampai pasase ke 4 dengan prosedur
limited dilution pada telur SPF dengan pengenceran 103 sampai dengan 108. Isolat virus Kode A
dilakukan sampai pada pasase ke 3 dengan titer HA peningkatan titer sebesar 512 HAU (9log2).
Isolat virus Kode B, C dan D dilanjutkan sampai pada pasase ke 4. Isolat virus Kode C menunjukkan
peningkatan titer sebesar 256 HAU (8log2). Berdasarkan kenaikan titer pada tiap pasase dan gejala
klinis embrio, isolat virus kode A dan C dipilih sebagai masterseed virus tantang AI. Selanjutnya
virus AI kode A dan C dititrasi di telur SPF dan sel CEF. Titer virus AI kode A ditelur SPF adalah
108,3 EID50 dan pada kode C adalah 108,7 EID50. Titer virus AI kode A pada sel CEF adalah 108,5TCID50
dan pada kode C adalah 108,75 TCID50.
PENDAHULUAN
432 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
penyakit AI, pemerintah Indonesia kini menerapkan sistem monitoring AI
secara on line. Pelaksanaan Program Influenza Virus Monitoring secara
Online (IVM Online) merupakan langkah strategis untuk dapat secara mudah
dan cepat memantau perkembangan sirkulasi virus AI serta mendeteksi
varian-varian virus baru.Berdasarkan hasil pertemuan tim monitoring virus
influenza dan investigasi epidemiologi molekular Virus HPAI tahun 2014-
2016, maka dilakukan uji reisolasi kandidat virus tantang AI H5N1 yang
telah diperoleh dari BBVET Wates untuk dipergunakan uji efikasi dan
potensi terhadap vaksin AI yang beredar di Indonesia.
TUJUAN
Tujuan studi ini untuk reisolasi kandidat virus tantang AI H5N1 untuk
dipergunakan uji efikasi dan potensi terhadap vaksin AI yang beredar.
Materi
Metode
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
433
103 sampai dengan 108.Kandidat masterseed virus AI kemudian dipropagasi
dengan pengenceran 103 dan diinfeksi pada telur SPF umur 10 hari sebanyak
20 butir telur. Selanjutnya di titrasi pada telur SPF dengan pengenceran 105
sampai dengan 108. Dan juga dititrasi pada sel CEF dengan pengenceran 101
sampai dengan 1010. Metode uji HA- HI (OIE, 2012)
434 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
serum ND dan EDS, kurang dari 2 atau secara kualitatif disebut negatif.
Masing-masing sampel pun di uji HI terhadap serum AI clade 2.1.3, hasilnya
secara kuantitatif lebih besar atau sama dengan 16 (Tabel 3). Pengujian HI
terhadap serum ND dan EDS bertujuan agar virus AI H5N1 yang dijadikan
sebagai kandidat masterseed tantang telah murni AI dan tidak terkontaminasi
dengan virus ND dan EDS. Virus ND dan EDS mampu mengaglutinasi sel
darah merah seperti dengan virus AI (Swayne, 2003).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
435
tinggi sebesar 7 log 2, sampel D sebesar 5 log 2, sampel C sebesar 2 Log
2 dan paling rendah kode sampel B sebesar <2 . Tiap pasase pun, dilakukan
pengujian titrasi pada telur SPF dimana titer hasil uji paling tinggi pada
sampe A sebesar 109,7 EID50, titer sampel C 108,1 EID50, sampel D 107,7 EID50
dan paling rendah pun pada sampel B yaitu 106,7 EID50. Dari hasil pasase ke 2,
masih dilanjutkan ke pasase berikutnya dengan maksud agar masing-masing
sampel virus AI H5N1 diperoleh hasil titer HA yang tinggi dan begitupula
dengan titer pada TAB. Pasase ke 3, sampel virus kode A, memiliki titer HA
yang tetap dan hasil titrasi di telur mengalami penurunan titer, namun dari
hasil pengamatan kematian embrio yang meningkat ditiap pengencerannya,
maka virus kode sampel A tidak lagi dilanjutkan ke pasase berikutnya.
Sedangkan pada ke tiga sampel lainnya yakni kode sampel B, C dan D masih
dilanjutkan ke pasase ke 4, hasil uji ke tiga sampel dari angka kematian
telur masih beragam di tiap pengenceran pada uji titrasi di telur ayam SPF.
Selanjutnya kode sampel B,C dan D dilanjutkan sampai pada ke pasase ke
4. Sampel kode B, memiliki titer rendah yakni 4 log 2, sedangkan titer pada
TAB meningkat yakni 108,3 EID50. Sample kode C memiliki peningkatan titer
baik pada hasil uji HA dan titer TAB yakni 7 log 2 dan 108,9 EID50. Sampel
kode D dengan hasil uji HA mengalami peningkatan sebesar 8 log 2 , namun
terjadi penurunan titer pada TAB sebesar 106,9 EID50. (Tabel 4)
Tabel 4. Hasil uji HA dan Titer Pada Telur SPF P2, P3 dan P4
436 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
permukaan embrio, pertumbuhan mengecil, terhambat n menipisnya lapisan
bulu pada bagian punggung dan leher . Gambar 1. Hal ini sesuai dengan
yang dilaporkan oleh Wibowo et al (2006), bahwa semua isolat virus AI yang
berasal dari DI Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan gejala klinis tersifat
flu burung mampu menyebabkan kematian embrio berumur 9-11 hari dalam
waktu 44-72 jam pasca infeksi.
Gambar 1. Gejala Klinis Embrio yang terinfeksi virus AI H5N1 dan embrio
control.
Sampel Virus
AI
H5N1
kode A
P3
dan C P4
selanjutnya
dilakukan
propagasi
agar diperoleh volume
dari virus AI H5N1 yang lebih banyak dan pergunakan
sebagai working seed, di aliquot dan disimpan pada suhu -200C. Virus AI
dengan kode A dan C tetap dilakukan uji HA,titrasi
pada
TABdan sel CEF.
Hasil uji HA dari hasil
propagasi
meningkat
yakni kode sampel A, 9 log 2
dan Kode sampel C, 8 log 2. Titer tersebut mengalami
peningkatan yang
lebih tinggi. Begitupula dengan hasil
uji titrasi pada TAB dan sel CEF, yakni
sampel virus H5N1 kode A yakni 108,3 EID50 dan
108,5 TCID50. Sampel virus
8,7
AI H5N1
kode sampelC yakni 10dan 10 TCID
8,75
50
. (Tabel 5)
Tabel 5. Hasil uji HA, Titer Pada Telur SPF dan Pada Sel CEF
Titer
No Sampel
HA (HAU) EID50 TCID50
1 A 9 108,3
10 8,5
2 C 8 108,7
108,75
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
437
KESIMPULAN DAN SARAN
Reisolasi virus AI H5N1 Isolat virus AI H5N1 yang berasal dari BBVET
WATES sebanyak 4 isolat yakni kode A (A/chicken/Barru/BBVM41-13/2013
clade 2.1.3), kode B (A/duck/Tanah Laut/0514095/2014 clade 2.3.2), kode
C (A/chicken/Semarang/04141225-07/2014 clade 2.3.2.1c) dan kode D
(A/chicken/Sleman/BBVW-1908-12/2012 clade 2.1.3). Kode A dilakukan
sampai pada pasase ke 3 dengan titer HA peningkatan titer sebesar 9 log 2.
Isolat virus Kode B, C dan D dilanjutkan sampai pada pasase ke 4. Isolat
virus Kode C menunjukkan peningkatan titer sebesar 8 log 2. Berdasarkan
kenaikan titer pada tiap pasase dan gejala klinis embrio, isolat virus kode A
dan C dipilih sebagai masterseed virus tantang AI yakni A/chicken/Barru/
BBVM41-13/2013 clade 2.1.3 dan A/chicken/Semarang/04141225-07/2014
clade 2.3.2.1c. Ke2 isolat virus AI H5N1 kemudian ditrasi di telur SPF dan
sel CEF. Titer virus AI H5N1 A/chicken/Barru/BBVM41-13/2013 ditelur
SPF adalah 108,3 EID50 dan titer pada sel CEF adalah 108,5TCID50. Titer virus
AI H5N1 A/chicken/Semarang/04141225-07/2014 clade 2.3.2.1c adalah
108,7 EID50. dan titer pada sel CEF adalah 108,75 TCID50.
DAFTAR PUSTAKA
Wibowo, M.H., W. Asmara, dan C.R. Tabbu. 2006. Isolasi dan identifikasi
serologis Avian Influenza dari sampel unggas yang diperoleh di DI
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jurnal Sain Veteriner. 24:77-83.
438 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PERBANDINGAN KEAMANAN DAN POTENSI VAKSIN
SEPTICAEMIA EPIZOOTICA MENGGUNAKAN ANTIGEN
CRUDE PRODUCT DAN ANTIGEN MURNI
Evy Indah Setyorinie1, A.E.T.H Wahyuni2, Widya Asmara2
ABSTRAK
Vaksin ajuvan minyak merupakan vaksin yang poten tetapi vaksin ajuvan minyak mempunyai
viskositas yang tinggi, kadang menyebabkan kebengkakan, nekrosis serta shock sesudah vaksinasi.
Usaha pengembangan vaksin ajuvan minyak diperlukan untuk mengurangi reaksi sesudah vaksinasi.
Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan viskositas, keamanan dan potensi dari vaksin SE
antigen crude product dan vaksin SE antigen murni dengan menggunakan ajuvan Montanide ISA 50.
Kultur kuman disiapkan dari Pasteurella multocida strain Katha, yang di kultur pada media Casein
Sucrose Yeast (CSY) kemudian di inaktivasi menggunakan formalin 0.5%. Antigen murni disiapkan
dengan metode sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 20 menit, supernatan dibuang dan
diganti dengan NaCl 0.9%. Antigen crude product disiapkan dengan tidak ada pemisahan antara
antigen dan media cair. Kedua suspensi kemudian diformulasi dengan menggunakan ajuvan
montanide ISA 50 dengan perbandingan 1:1. Vaksin diukur viskositasnya menggunakan viskometer,
di uji keamanan dan potensi pada mencit. Uji potensi dilakukan dengan Active mouse protection test
(AMPT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa viskositas vaksin SE antigen murni yaitu 200 cP dan
vaksin SE antigen crude product 440 cP. Uji keamanan menunjukkan bahwa tidak ada kejadian syok
sesudah vaksinasi, kematian pada mencit ataupun gejala SE pada mencit, tetapi pada satu mencit
dari kelompok vaksin crude product terdapat kemerahan pada bekas tempat suntikan. Uji potensi
dilakukan dengan metode AMPT dan didapatkan potensi vaksin SE antigen murni 5.2 log unit dan
vaksin SE antigen crude product 4.2 log unit. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua vaksin baik
itu vaksin SE antigen murni ataupun vaksin crude product aman digunakan, tetapi vaksin SE antigen
murni mempunyai viskositas yang lebih rendahdan potensi yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan vaksin SE antigen crude product.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
439
program vaksinasi massal pada populasi sapi dan kerbau, biayanya jauh
lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan akibat penyakit
SE. Metode vaksinasi sebagai metode pengendalian yang efektif dapat
dibuktikan dengan bebasnya Pulau Lombok dari penyakit SE pada tahun
1985 dengan peningkatan daerah cakupanvaksinasi selama 3 tahun berturut-
turut (Syamsudin, 1992).
440 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TUJUAN
Formulasi Vaksin
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
441
Uji Keamanan
Uji Potensi
Uji Viskositas
400 440
200
200
0
antigen crude product antigen murni
Jenis vaksin
Gambar 1. Viskositas vaksin SE antigen crude product dan SE antigen
murni
Vaksin
SE
antigen crude productdisiapkan
tanpa mengganti
media
cair,
dimana didalam media tersebut terdapat karbon, nitrogen, sulfur,
fosfat, vitamin, pepton dan asam amino, serum serta logam dan garam-
442 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
Prosiding
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
garam anorganik sebagai trace elements seperti Ca, Mn, Na, Mg, Zn, Co,
Fe, Cu (Sutarma, 2000). Zat-zat tersebut mempengaruhi viskositas yang
menyebabkan viskositas vaksin SE antigen crude productmenjadi lebih
tinggi jika dibandingkan dengan vaksin SE antigen murni yang hanya berisi
antigen dan NaCl.
Uji Keamanan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
443
tersebut sehingga bisa meningkatkan keamanan vaksin dan mengurangi
reaksi
shock
anafilaksis
setelah
vaksinasi.
Hal ini
dibuktikan
dengan tidak
adanya kematian atau reaksi anafilaksis pada mencit. Hasil dari penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Jabbari dan Moazeni Jula (2002)
yaitu dengan metode pemisahan antigen dan media cair dapat meningkatkan
keamanan vaksin dan tidak menimbulkan reaksi shock anafilaksis atau
inflamasi
lokal pada
daerah
suntikan.
Uji Potensi
potensi AMPT dilakukan berdasarkan metode Ose and Muenster
Uji
(1968). Uji potensi vaksin dilakukan dengan uji AMPT. Penghitungan LD50
dilakukan menggunakan metode Spearman dan Karber. Hasil penghitungan
LD50 terdapatpada Tabel 6. Hasil uji AMPT perbedaan
log unit antara
mencit yang divaksin dan tidak divaksin adalah 4.2 untuk vaksin
SE
antigen
crude productdan 5.2 untuk vaksin SE antigen murni. Hasil uji potensi
menggunakan metode AMPT disajikan pada Gambar 2.
Potensi Vaksin
10
5.2
5 4.2
0
Vaksin SE crude product Vaksin SE antigen murni
Jenis Vaksin
2. Hasil potensi vaksin SE antigen crude product dan antigen
Gambar
murni
Uji AMPT merupakan uji yang praktis untuk menguji vaksin SE
(De
Alwis,
1999), uji AMPT
ini
dipertimbangkan
digunakan untuk
menggambarkan imunogenitas dari batch vaksin yang diproduksi. Vaksin
SE dipersyaratkan memenuhi perbedaan nilai LD50 antara kelompok mencit
yang di
vaksin
dengan tidak
divaksin
tidak kurang dari
104.0.Potensi
vaksin
bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk ajuvan yang digunakan. Ajuvan
akanmempengaruhi keefektivan vaksin. Ajuvan mempunyai depot effect
pada tempat suntikan yang akan melepaskan antigen secara perlahan-lahan
dan akan menstimulasi respon imun untuk memproduksi antibodi secara
terus-menerus (Sivakumaret al., 2011).
Potensi vaksin dipengaruhi juga oleh kestabilan emulsi vaksin. Pada
penelitian ini digunakan ajuvan minyak yang merupakan emulsi water in
444 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
oil dimana fase air akan terdispersi di dalam fase minyak. Emulsi vaksin
yang stabil akan menjaga fase air akan tetap terdispersi didalam fase minyak
sehingga ketika disuntikkan antigen dalam vaksin akan dilepaskan secara
perlahan-lahan. Pada penelitian ini vaksin SE antigen crude product dan
vaksin SE antigen murni mempunyai perbedaan LD50 antara mencit yang
divaksin dan tidak divaksin diatas standar minimal potensi yang berarti kedua
jenis vaksin ini memenuhi syarat minimal potensi yang dipersyaratkan.
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Aucouturier, J., Dupuis, L., Ganne, V., 2001. Adjuvants designed for
veterinary and human vaccines. Vaccine 19. 2666-2672.
Bain, R.V.S., De Alwis, M.C.L., Carter, G.R and Gupta, B.K. 1982.
Haemorrhagic Septicaemia. In: FAO Animal Production and Health
Paper 33. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Rome. Italy. 11‒33
Harper, M., Cox, A.D., Adler, B., Boyce, J.D. 2011. Vet Microbiol 153:109–
115.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
445
Jabbari, A,R., Moazeni Jula, G.R., 2002. Improvement of haemorrhagic
septicaemia vaccine by removing of anaphylactic agents. Arch Razi
Ins; 54: 85-89.
Moustafa, A.M., Ali, S.N., Bennett, M.D., Hyndyman, T.H., Robertson, I.D.
2015. A case-control study of heamorrhagic septicemia in buffaloes
and cattle in Karachi, Pakistan, in 2012. Trans Emerg Dis, doi:
10.1111/tbed.12393.
Sutarma. 2000. Kultur media bakteri. Temu tehnis fungsional non peneliti.
52-57.
Syamsudin, A. 1992. In: B.E. Patten, TL. Spencer, R.B. Johnson, D. Hoffmann
and L. Lehane (eds), Pasteurellosis in Production Animals,An
international workshop held at Bali, Indonesia, 10-13 August 1992.
ACIAR Proceedings No. 43, 180.
446 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PENGGUNAAN KONSENSUS PRIMER PCR PROTOKOL
PREDICT DALAM MENGKONFIRMASI KEBERADAAN
BOVINE HERPESVIRUS 1 (BOHV-1) PADA SAPI ACEH
DI BPTU – HPT INDRAPURI.
Lilik Prayitno1, Joko Pamungkas2, Uus Saepuloh3, Ni Luh Putu Ika Mayasari2,
Mamik Rahayu1, Gantiah4
1
Laboratorium Virologi Balai Veteriner Medan, Medan
2
Divisi Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor
3
Laboratorium Bioteknologi Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Bogor
4
Laboratorium Biologi Molekuler Balai Veteriner Medan, Medan
Email: lilikprayitno58@gmail.com
ABSTRAK
ABSTRAC
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
447
identification of BoHV-1 by Polymerase Chain Reaction (PCR) on the target glycoprotein B (gB),
the results indicating the possibility presence of BoHV-1 in Aceh cattle in BPTU-HPT Indrapuri. The
moleculer identification in this study was performed by using consensus primer PCR on the target
DNA Terminase gene. Detection of antibodies against BoHV-1 with ELISA was performed in three
different time periods, the results of ELISA showed high seropositive (517/537) 96.28%, (633/681)
92.95%, and (668/734) 91.01 %, with condition of nonvaccinated animal status, that indicating of
natural presence BoHV-1 virus infection. Simultaneously with the third time period also carried out
sampling of the 375 nasal swab to the molecular identification using PCR, gB gene amplification
resulted all samples were negative. Then 210 out of 375 DNA extractions were used to the molecular
identification by using consensus primer PCR on the target DNA Terminase gene. Four out of 210
nasal swab samples were positive PCR for herpes virus followed by sequencing. The results of
positive sample sequence showed a 99-100% identities to the BoHV-1 and BoHV-6 sequences. This
study provides scientific information the presence of BoHV-1 that has been circulating in BPTU-HPT
Indrapuri.
PENDAHULUAN
Sampel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis sampel
yaitu serum dan usapan hidung yang berasal dari sapi Aceh di BPTU-HPT
Indrapuri. Serum sapi di ambil dari darah sapi yang di koleksi melalui vena
jugularis secara individual dengan menggunakan tabung mikro. Usapan
hidung dikoleksi dengan melakukan usapan di dalam lubang hidung sapi
menggunakan cotton swab, usapan hidung kemudian dimasukkan pada Viral
Transport Medium (VTM).
Ekstraksi DNA
450 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Identifikasi Molekuler BoHV-1 dengan Target Gen Glikoprotein B
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
451
digunakan untuk amplifikasi PCR tahap pertama maupun tahap kedua. Elektroforesis menggunakan
gel agarosa 1.8 % yang ditambahkan etidiumbromida (EtBr) dengan konsentrasi 1 µg/ml dan marker
DNA 100 bp (Vivantis, Malaysia). Selanjutnya hasil elektroforesis divisualisasi dengan pada
program Quantity One (BioRad).
Hasil PCR positif dari konsensus primer HASIL
dilanjutkan dengan sekuensing untuk diketahui
runutan nukleotidanya. Hasil sekuensing kemudian dianalisis menggunakan aplikasi MEGA 6
( ) (Tamura 2013). Sekuen yang telah diperoleh
Hasil
dilakukanDeteksi antibodi
persejajaran dengan menuterhadap
. BoHV-1 dengan
Hasil pensejajaran ELISA
dilanjutkan dengan penelusuran
identitas (% ) pada program (BLAST) (McGinnis dan
Madden, 2004).
Deteksi antibodi terhadap BoHV-1 dengan menggunakan ELISA
dilakukan pada tiga periode waktu yang
berbeda, hasil kalkulasi Optical
Density (OD) 450 nm masing-masing sampel dilakukan mengikuti pedoman
pada Tabel 1. Hasil kalkulasi adanya antibodi pada sampel serum dinyatakan
Deteksi antibodi terhadap BoHV1 dengan menggunakan ELISA dilakukan pada tiga periode
positif
waktu yang jika Blocking
berbeda, % antibodi
hasil kalkulasi ≥ 55 dan
Optical Density (OD)dinyatakan negatifsampel
450 nm masingmasing jika Blocking
dilakukan %
mengikuti pedoman pada Tabel 1. Hasil kalkulasi adanya antibodi pada sampel serum dinyatakan
antibodi < 45. Hasil uji ELISA Pada tiga periode berturut-turut menunjukkan
positif jika Blocking % antibodi ≥ 55 dan dinyatakan negatif jika Blocking % antibodi < 45. Hasil uji
seropositif
ELISA Pada tigayang tinggi
periode (Gambar
berturutturut 1). seropositif yang tinggi (Gambar 1).
menunjukkan
452 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Hasil PCR pada Target DNA Terminase
Gambar 2. Hasil Konsensus PCR dengan target amplifikasi DNA Terminase.
M : Marker, 1 : DIC 1.1, 2 : DIC 1.2, 3 : DIC 1.6, 4 : DIC 1.7, 5:
Kontrol Positif, 6 : NTC
Analisa
Molekuler Gen
Terminase
DNA
Hasil Analisa
molekuler dari hasil sekuensing gen DNA Terminase
ditemukan kemiripan
terhadap dua kelompok subkeluarga yaitu
Alphaherpesvirinae dan Gammaherpesvirinae. Setelah dilakukan analisa
lebih lanjut, subkeluarga
Gammaherpesvirinae
mempunyai kemiripan
terhadap genus Macavirus, sedangkan
subkeluarga Alphaherpesvirinae
mempunyai kemiripan terhadap
genus Varicellovirus (Tabel
2).
Hasil BLAST
No Sampel Hasil PCR
Sub Keluarga Genus
1 DIC 1.1 Positif Alphaherpesvirinae Varicellovirus
2 DIC 1.2 Positif Alphaherpesvirinae Varicellovirus
3 DIC 1.6 Positif Gammaherpesvirinae Macavirus
4 DIC 1.7 Positif Alphaherpesvirinae Varicellovirus
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
453
(517/537) 96.28%, (633/681) 92.95%, dan (668/734) 91.01%, berdasarkan
informasi yang didapatkan bahwa BPTU-HPT Indrapuri merupakan pusat
perbibitan yang belum melakukan program vaksinasi terhadap BoHV-1
(IBR). Pada kondisi hewan dengan status nonvaksinasi tetapi positif antibodi
yang tinggi mengindikasikan telah terjadi infeksi virus BoHV-1 secara
alamiah pada ternak di pusat perbibitan. Penelitian sebelumnya membuktikan
bahwa peternakan sapi yang tidak menunjukkan gejala klinis dengan status
nonvaksinasi menunjukkan hasil positif terhadap adanya BoHV-1 melalui uji
serologis dan identifikasi molekuler (Mahajan et al., 2013).
454 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Tabel 3 Keidentikan sekuen sampel gen DNA Terminase dan virus
referensi
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
455
mendanai penelitian dan mengizinkan penggunaan protokol PREDICT,
Drh Sintong HMT Hutasoit, MSi sebagai Kepala Balai Veteriner Medan
dan Dr Drh Joko Pamungkas, MSc sebagai Direktur Pusat Studi Satwa
Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB
(PSSP-LPPM IPB) atas bantuan dan fasilitas yang telah diberikan selama
penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf
Laboratorium Virologi dan Bioteknologi Balai Veteriner Medan dan kepada
seluruh staf Laboratorium Bioteknologi PSSP-LPPM IPB atas bantuan dan
pendampingan selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Kurobe T, Kelley GO, Waltzek TB, Hedrick RP. 2008. Revised phylogenetic
relationships among herpesviruses isolated from sturgeons. J Aquat
Anim Health. 20 (2):96‒102.
456 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Mahajan V, Banga HS, Deka D, Filia G, Gupta A. 2013. Comparison of
diagnostic tests for diagnosis of infectious bovine rhinotracheitis in
natural cases of bovine abortion. J Com Path, 149(4), 391-401.
McGinnis S, Madden TL. 2004. BLAST: at the core of a powerful and diverse
set of sequence analysis tools. Nucleic Acids Res. 32(2):W20‒25.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
457
IDENTIFIKASI VIRUS CLASSICAL SWINE FEVER PADA BABI
DI PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2016
Faisal1, Gantiah1 dan Sintong HMT Hutasoit1
ABSTRAK
Classical swine fever (CSF) virus adalah virus yang menginfeksi ternak babi dan merugikan
secara ekonomi karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Propinsi Sumatera Utara
merupakan salah satu sentral peternakani babi terbesar di Indonesia untuk itu perlu dilakukan
monitoring penyakit pada ternak babi dan salah satunya adalah CSF. Studi ini bertujuan melakukan
identifikasi dan distribusi virus CSF di Sumatera Utara. Sebanyak 816 darah (EDTA) dari 285
pemilik (farm) berhasil dikoleksi dari 20 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara pada tahun 2016. Hasil
pemeriksaan sampel secara qRT-PCR tahun 2016 ditemukan 61 sampel positif virus CSF yang
tersebar di 9 kabupaten. Sebanyak 8 sampel berhasil di sekuen pada gen E2 secara parsial. Filogram
yang dibentuk menggunakan software MEGA 7.0 dan Beast 1.8 kedelapan sekuen tersebar dalam
3 genotipe virus CSF. Hal ini menandakan virus CSF yang ada di Sumatera Utara kemungkinan
telah mengalami divergenitas genetik dan mempunyai turunan virus yang berbeda-beda. Kajian
terbatas perlu dilakukan dalam hal penentuan jenis vaksin yang beredar di Sumatera Utara berkaitan
ditemukannya berbagai genotipe virus CSF di Sumatera Utara.
PENDAHULUAN
Classical swine fever (CSF) adalah penyakit viral pada babi yang
sangat menular di seluruh dunia (Fenner et al, 1993). Classical swine fever
disebabkan oleh virus RNA dengan genus Pestivirus famili Flaviviridae
(Wengler et al., 1995). Epidemi CSF biasanya menyebabkan angka kesakitan
dan kematian tinggi pada daerah padat populasi, untuk infeksi dengan
virulensi rendah dapat tidak teramati (Meuwissen et al., 1999, Dulac, 2004).
Secara immunologis dan genetik virus CSF mempunyai hubungan antigenik
yang dekat dengan Bovine viral diarrhea virus (BVDV) dan Border disease
virus (BDV). Kedua virus ini termasuk genus Pestivirus.
Uji konfirmasi dari laboratorium pada kasus yang diduga CSF adalah
sangat penting terutama untuk mendeteksi agen penyebab atau pengukuran
titer antibodi (Depner et al.,1994, Elbers et al., 2002). Deteksi virus CSF
dapat dilakukan dengan reverse transcriptase polymerase chain (RT-PCR)
dan teknik ini telah dikembangkan untuk mendeteksi virus CSF pada darah
(Chen et al., 2009; Risatti et al. 2003). Pemeriksaan secara laboratorium
dilakukan untuk mengeliminasi babi terinfeksi virus, mengetahui babi
kontak dengan virus, dan pemeriksaan sebelum dilakukan slaughter telah
terbukti menjadi penting dalam penyelidikan epidemiologi CSF (Koenen et
al, 1996; Mintiens et al, 2001).
458 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Di Indonesia CSF dilaporkan pertama kali tahun 1994 di Sumatera dan
menyebar ke Jawa tahun 1995 dan Papua tahun 2004 (DAFF, 2008). Di
Sumatera Utara peternakan babi merupakan salah satu kekuatan ekonomi
keluarga. Ternak babi berdampak secara finansial, adat dan social.
Adanya morbiditas dan mortalitas pada ternak babi berdampak terhadap
perekonomian masyarakat. Studi ini memberikan data tentang identifikasi
dan sebaran penyakit CSF pada peternakan babi di Provinsi Sumatera Utara.
Sebanyak 816 darah (EDTA) berhasil dikoleksi dari tahun 2016 yang
berasal dari monitoring Hog Cholera dan investigasi kasus kematian babi.
Sebanyak sembilan dari 20 kab/kota positif CSF tahun 2016. Delapan sampel
berhasil disekuen parsial pada gen E2.
Primer
RT PCR
DNA sequencing
Data Analisis
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
459
(Felsenstein, 1985). Untuk mengetahui asal usul virus digunakan analisis
BEAST software 1.8.
HASIL
Hasil uji qRT-PCR pada sampel tahun 2016 didapatkan 61 sampel positif
dari 816 sampel virus CSF tersebar di 9 kabupaten/kota yaitu, Tapanuli Utara,
Karo, Dairi, Pak Pak Bharat, Simalungun, Langkat, Binjai, Deli Serdang, dan
Nias Barat. Gejala klinis yang terlihat adalah, babi menunjukkan depresi dan
anoreksia, suhu tubuh tinggi dan dijumpai adanya perdarahan pada hidung,
eritema kuping selain itu dijumpai diare, konstipasi, dan ada bintik merah di
tubuh serta konjungtifitis (Gambar 1).
Gambar
1. Gejala klinis dan PA. A. bintik merah (eritema), B. Perdarahan di
limfoglandula usus
Delapan
sampel berhasil disekuen secara parsial pada gen E2. Hasil
elektroforesis ke delapan sampel dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil elektroforesis delapan sampel positif CSF. Semua sampel
menunjukkan pita disekitar 507 bp. Nomor 1-8 adalah Dairi,
PhakPhak, Deli Serdang, Karo, Binjai, Langkat, Taput dan Nias
Barat.
Marker
adalah 1 kb.
Rekonstruksi
filogenetik
menggunakan
MEGA
7.0
pada 79
sekuen
parsial E2 memperlihatkan
8
virus CSF Sumatera
Utara terdistribusi
menjadi
3
tiga grup (Gambar 3). Grup pertama ditempati oleh satu virus asal Nias 3 Barat
460 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang satu grup dengan virus vaksin dari Switzeland (AY259122.1) dan vaksin
C Strain EP 0351901 (Z46258.1). Grup virus ini termasuk ke dalam genotipe
1 virus CSF. Pada grup kedua ada satu virus asal Taput yang berkelompok
dengan virus Belanda tahun 1977 (KJ619377.1), virus Cina tahun 2001
(AF407339.1) dan virus India tahun 2006 (KC533775.2). Kelompok virus ini
termasuk ke genotipe 2.2 virus CSF. Terakhir adalah grup 3 dimana terdapat
enam virus yaitu, virus asal Binjai, Dairi, Deli Serdang, Langkat, Karo dan
Pakpak Bharat yang mengelompok dengan virus Korea Selatan tahun 2016
(KX870109.1 dan
KY290453.1). Virus
virus
ini termasuk
ke
dalam
genotipe
2.1 virus CSF.
Gambar 3.
Filogram sekuen parsial E2 CSF dengan virus referens. Virus
lokal (merah) terdistribusi menjadi tiga grup. Rekonstruksi
filogeni dengan neighbor joining memakai MEGA 7,4 bootsrap
1000 kali dengan model Kimura 2 parameter
Untuk mengetahui asal dari virus CSF di Sumatera Utara dapat dianalisis
dengan program Bayesian Evolutionary Analysis by Sampling Trees
(BEAST). Gambaran filogeni secara BEAST 1.8 dapat dilihat pada Gambar
4, terlihat virus lokal terdistribusi menjadi tiga grup yang sama seperti
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
461
filogram menggunakan
MEGA
7.0. Filogeni
BEAST
jelas
menunjukkan
bahwa grup virus Sumatera Utara
terbagi menjadi 3 turunan virus.
Gambar 4.
Filogram gen E2 parsial virus CSF dengan Bayesian MCMC,
analsis memakai BEAST software 1.8. Virus Sumatera Utara
terbagi menjadi tiga grup (merah titik satu dan dua serta tanda
biru) 5
Virus Nias Barat merupakan turunan grup pertama virus ini menginduk
ke virus vaksin Switzeland (AY259122.1) atau vaksin C Strain EP 0351901
(Z46258.1). Grup kedua, virus Taput terlihat merupakan turunan dari virus
Cina tahun 2001 (AF407339.1) virus ini mengelompok dengan virus Belanda
tahun 1977 (KJ619377.1) dan virus India tahun 2006 (KC533775.2). Grup
ketiga diisi oleh enam virus dan terlihat virus ini turunan dari virus Korea
Selatan tahun 2016 (KX870109.1 dan KY290453.1).
462 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PEMBAHASAN
Gold standar untuk diagnosa CSF dilakukan pada isolasi virus, Uji serologi
untuk mendiagnosa CSF dapat menghasilkan hasil yang membingungkan
karena antibodi yang dideteksi dapat merupakan antibodi dari virus lain
(cross reaction) seperti Bovine Viral Diarrhoea atau Border Disease Virus
(Terpstra and Wensvoort, 1997). Untuk mengatasi hal tersebut, uji RT-PCR
dapat dilakukan dalam diagnosa CSF.
Hasil filogram dengan MEGA 7.0 dam Beast 1.8 menunjukkan virus di
Sumatera Utara sudah terbagi menjadi 3 genotipe virus CSF yaitu genotipe
1, 2.1, dan 2.2. Dinamika virus ini tentunya harus ditanggapi secara serius,
karena pencegahan dan pengendalian virus CSF di Indonesia menggunakan
vaksin CSF strain C dari Cina. Virus vaksin strain C ini berada pada genotipe
1 virus CSF. Perlu dilakukan kajian apakah virus vaksin strain- C Cina ini
masih mampu untuk merangsang kekebalan optimal jika hewan terinfeksi
virus CSF dari genotipe lainnya.
Telah terjadi diversitas genetik dari virus CSF yang beredar di Sumatera
Utara. Virus yang beredar terbagi menjadi tiga bagian yakni, virus genotipe
1, 2.1, dan 2.2. dari virus CSF dunia. Perlu dilakukan kajian tentang
penggunaan vaksin strain- C Cina yang termasuk pada virus genotipe 1,
apakah masih mampu membuat kekebalan yang optimal terhadap infeksi
dari virus CSF dari genotipe lainnya. Pemerintah perlu mengkaji kebijakan
jenis vaksin yang dipakai terutama di Sumatera Utara sehubungan dengan
banyaknya jenis vaksin yang beredar.
LIMITASI
DAFTAR PUSTAKA
Chen, H.T., Zhang,J., Ma,L.N., Ma,Y.P., Ding, Y.Z., Liu, X.T., Chen, L.,
Ma.L.Q., Zhang.Y.G., and Liu, Y.S. 2009. Rapid pre-clinical detection
of classical swine fever by reverse transcription loop-mediated
isothermal amplification. Molecular and Cellular Probes 23:71–74
464 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Departemen of Agriculture, Fisheries and Forestry (DAFF), 2008. Classical
Swine Fever. Departemen of Agriculture, Fisheries and Forestry.
Australia. http://www.daff.gov.au/animal-plant-health/pests-diseases-
weeds/animal/swine-fever.
Depner, K., Gruber, A., Liess, B., 1994. Experimental infection of weaner pigs
with a field isolate of hog cholera/classical swine fever virus derived
from a recent outbreak in Lower Saxony. 1: Clinical, virological and
serological findings. Wien. Tierärztl. Mschr. 81, 370–373.
Fenner F.J, Gibbs E.P.J, Murphy F.A, Rott R, Studdert M.J, White D.O. 1993.
Veterinary Virology 2nd Ed. Academic Press, San Diego, California,
USA.
Kumar S., Stecher G., and Tamura K. 2016. MEGA7: Molecular Evolutionary
Genetics Analysis version 7.0 for bigger datasets.Molecular Biology
and Evolution 33:1870-1874.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
465
Paton, D.J., and Wilke, I.G. 2003. Classical swine fever - an update. Res Vet
Sci 75:169–178.
Wengler, G., Bradley, D.W., Collett, M.S., Heinz, F.X., Schlesinger, R.W.,
Strauss, J.H., 1995. Flaviviridae. In: Murphy, F.A., Fauquet, C.M.,
Bishop, D.H.L., Ghabrial, S.A., Jarvis, A.W., Martelli, G.P., Mayo,
M.A., Summers, M.D. (Eds.), Virus Taxonomy. Sixth Report of the
International Commitee on Taxonomy of Viruses. Springer Verlag,
New York, pp. 415–427.
466 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
IDENTIFIKASI PROFIL PROTEIN ISOLAT
TRYPANOSOMA EVANSI DENGAN METODE SDS-PAGE
Ichwan Yuniarto1, Nur Jannah1dan Umi Kulsum2
ABSTRAK
Surra merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi dan
merugikan secara ekonomis di dunia peternakan dan veteriner, terutama di negara-negara Afrika,
Amerika Selatan, Timur Tengah dan Asia. Pada tahun 2010-2011 Surra di Indonesia telah
mengakibatkan kematian 1159 ekor kuda, 600 ekor kerbau dan seekor sapi. Menurut hasil surveilans
Balai Veteriner Banjarbaru tahun 2012 di Kalimantan terjadi 14 kasus Surra, tahun 2013 terjadi 25
kasus dan pada tahun 2014 terjadi 26 kasus Surra melalui pemeriksaan ulas darah. Protein mempunyai
peranan penting dalam proses biologi karena protein merupakan komponen utama penyusun sel
makhluk hidup. Identifikasi profil protein menggunakan Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) tiga
isolat Trypanosoma evansi menggunakan metode SDS PAGE 12 % dengan pewarnaan Commasie
Brilliant Blue. Hasilnya menunjukkan bahwa tiga isolat tersebut mempunyai profil protein yang
berbeda meskipun satu spesies yang sama. Isolat A terdapat 14 protein dengan BM 174,76 – 7,17 kD,
isolat B teridentifikasi 15 protein dengan BM 143,11 – 7,17 kD dan isolat C teridentifikasi 13 protein
dengan BM 90,02 – 7,12 kD.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kasus Surra di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun
2010 – 2011 mengakibatkan kematian sebanyak 1760 ekor ternak, terdiri dari
kuda 1159 ekor, kerbau 600 ekor dan sapi 1 ekor (Ditkeswan 2012). Menurut
hasil surveilans Balai Veteriner Banjarbaru tahun 2012 di Kalimantan terjadi
14 kasus Surra, tahun 2013 terjadi 25 kasus dan pada tahun 2014 terjadi 26
kasus Surra berdasarkan hasil pemeriksaan ulas darah.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
467
Sumber : Dokumentasi Balai Veteriner Banjarbaru, 2012.
Gambar 1. Trypanosoma evansi pada ulas darah sapi bali dengan pewarnaan
Giemsa.
Protein mempunyai
peranan penting
dalam
proses biologi
karena
protein merupakan komponen utama penyusun sel makhluk hidup
termasuk
Trypanosoma evansi. Protein berfungsi sebagai katalisator, sebagai
pengangkut dan penyimpan molekul lain seperti oksigen, mendukung secara
mekanis
sistem
kekebalan (imunitas) tubuh,
menghasilkan
pergerakan
tubuh, sebagai transmitor gerakan syaraf dan mengendalikan pertumbuhan
dan perkembangan (Katili, 2009). Protein ini memainkan berbagai peranan
dalam benda
hidup dan
bertanggung jawab
untuk
fungsi dan
ciri-ciri benda
hidup. Singh et al
profil
(1995) juga telah melaporkan adanya keragaman
protein pada membran sel dari tujuh isolat T. evansi dari India bagian utara.
Isolat dari Indonesia juga mempunyai profil protein yang berbeda. Hal ini
dilaporkan
oleh
Yuniarto
(2016)
bahwa
adanya protein
variasi profil isolat
dari beberapa wilayah kasus Surra di Indonesia.
Kegiatan
ini bertujuan
untuk melakukan
identifikasi
profil
protein
isolat Trypanosoma evansi dari wilayah yang berbeda. Hasil
dari kegiatan
ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar mengenai profil protein isolat
Trypanosoma evansi.
BAHAN DAN METODE
Kegiatan ini menggunakan tiga isolat Trypanosoma evansi dari
wilayah kasus Surra
di Indonesia
(Tabel 1) yang
telah diproses
menjadi
Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) dan dilakukan di Laboratorium
Parasitologi
Balai
Veteriner Banjarbaru pada bulan
Mei 2016. Identifikasi
profil protein Soluble Trypanosoma Antigen (STrAg) Trypanosoma evansi
dilakukan
menggunakan teknik Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide
Gel Electrophoresis / SDS-PAGE (Laemmli, 1970).
468
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
Prosiding
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
Tabel 1. Isolat Trypanosoma evansi dari wilayah kasus Surra di Indonesia
Kuantifikasi Protein
Persiapan Sampel
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
469
Gel hasil elektroforesis dilepaskan pelanpelan ke dalam cawan petri yang
berisi larutan pewarna ( ) kemudian digoyang selama 15
menit atau sampai timbul pitapita proteinnya. Selanjutnya, larutan pewarna dibuang
dan diganti dengan larutan (digoyang sampai gel jernih) kemudian setelah
gel jernih larutan diganti dengan aquades.
Gambar 2. Proses memasukkan sampel ke dalam (gambar kiri), proses running
Gambar 2. Proses SDS
memasukkan sampel
PAGE 12 % dengan ke dalam well (gambar
(gambar kanan). kiri), proses
running SDS PAGE 12 % dengan mini protean tetra system
(gambar kanan).
kubik dan digunakan untuk menghitung berat molekul pada sampel dengan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
471
Nusa Tenggara Timur masih dapat menggunakan trypanosidal selain suramin
yaitu diminazene diaceturate dan melarsomine dihydrochloride.
KESIMPULAN
Profil protein tiga isolat dari wilayah kasus Surra yang berbeda di
Indonesia yaitu isolat A dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi
Kalimantan Selatan terdapat 14 protein dengan BM 174,76 – 7,17 kD
sedangkan dua isolat dari Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara
Timur yaitu isolat B teridentifikasi 15 protein dengan BM 143,11 – 7,17 kD
dan isolat C ada 13 protein yang teridentifikasi dengan BM 90,02 – 7,12 kD.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang variasi profil protein dari
masing – masing isolat Trypanosoma evansi yang dapat dijadikan bahan
utama alat diagnosa Surra yang lebih spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
472 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Balai Veteriner Banjarbaru. 2015. Peta Penyakit Hewan 2014. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Banjarbaru (ID).
Katili AS. 2009. Struktur dan fungsi protein kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu 2
(5) : 19 – 29.
Singh V, Singh A and Chhabra, MB. 1995. Polypeptide profiles and antigenic
characterization of cell membrane and flagellar preparations of different
stocks of Trypanosoma evansi. Veterinary Parasitology 56 : 269 – 279.
Uche UE, Ross CA and Jones TW. 1992. Identification of the surface components
of Trypanosoma evansi. Research in Veteriary Science 53 : 252-253.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
473
KORELASI KEKERDILAN SAPI SIMMENTAL DENGAN
DEFISIENSI MINERAL TUBUH
Bahagia Sari
ABSTRAK
BPTUHPT Padang Mengatas antara tahun 2016 - 2018 terdapat 24 ekor sapi lepas sapih yang
memiliki bobot badan kerdil dibandingkan sapi lainnya. Hal ini berkaitan kurangnya asupan susu
induk selama masa anak yang mengandung mineral kalsium. Tujuan penelitian meninjau korelasi
antara kekerdilan sapi Simmental dengan defisiensi mineral terutama kalsium darah. Metode
penelitian yaitu menguji mineral kalsium darah yang diperiksa di BVET Bukittinggi. Penelitian
ini dimulai dari tahun 2016, 2017, dan 2018. Hasilnya tahun 2016 no epi 02160477 dilakukan
pemeriksaan 6 ekor sapi kerdil terdapat 4 ekor kurang kalsium darah, tahun 2017 no epi 02170396
dilakukan pemeriksaan 11 ekor sapi kerdil terdapat 4 ekor memiliki kurang kalsium darah, dan
tahun 2018 no epi 02180022 dilakukan pemeriksaan 7 ekor sapi kerdil terdapat 5 ekor memiliki
kurang kalsium darah. Penyebab kekerdilan sapi Simmental yang dihubungkan dengan kekurangan
mineral darah adalah kalsium berfungsi memproduksi enzim yang mengubah makanan menjadi
energy, membuat tulang dan gigi menjadi kuat, serta membantu menjaga tekanan darah tubuh. Anak
sapi apabila mengalami kekurangan kalsium tidak akan dapat mencapai tinggi badan maksimal
ketika dewasa, Terdapat korelasi antara kekerdilan sapi Simmental dengan defisiensi mineral tubuh
yaitu apabila semasa anak kurang mendapatkan air susu induk sapi maka menyebabkan kekerdilan
tubuh dan apabila anak sapi cukup mendapatkan air susu induk maka pertumbuhan akan optimal.
Pemantauan asupan air susu diawal masa pertumbuhan anak sapi dapat mencegah kekerdilan serta
perlunya perlakuan khusus terutama pemberian pakan, feed suplemen, dan pemberian vitamin secara
sesuai kebutuhan tubuh dan secara terus menerus.
PENDAHULUAN
TUJUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
475
Langkah-langkah prosedur penelitian, antara lain:
1. Pengelompokan Sapi yang berumur antara lima sampai tujuh bulan
yang berukuran lebih kecil atau kerdill berdasarkan pengamatan dan
pencatatan. Kondisi sapi simmental kerdil yang dipelihara secara
terpisah seperti yang diperlihatkan pada gambar 1.
Gambar 1.
2. Pengambilan sampel darah (serum) untuk pengujian uji mineral
terutama kalsium
darah
Setiap sapi dilakukan pengambilan darah sebanyak 3-5 ml, cairan
bening
(serum) dipisahkan
dari endapan darah dan serum
dimasukan
dalam tube serum ukuran 2 ml
3. Pemberian pakan ditambah feed suplemen
Setiap
pagi diberikan konsentrat dengan komposisi dedak, bungkil
kelapa, ongok, mineral, garam sebanyak 5% dari berat badan yang
dicampurkan SKVet (feed suplemen), diberikan pemberian pakan
hijauan sebesar 10% dari berat badan, pemberian minuman ad libitum.
4. Pemberian
vitamin A D E
Setiap
bulan dilakukan pemeriksaan kesehatan dan pemberian vitamin
ADE selama 2-3 bulan.
A B C D
Keterangan : A : Pemeriksaan Temperatur
B : Pemeriksaan Frekuensi denyut jantung
C , D : Penentuan dan pemberian Vitamin
5. Penimbangan berat badan sapi kerdil
Melakukan penimbangan berat badan setiap sebulan sekali.
PenyidikanPenyakit Hewan Rapat
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
476 Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
HASIL
Signalement Ternak
No Nomor Tanggal Jenis Nomor Tanggal Tanggal Hasil
Telinga Lahir Kelamin Epi Kirim Jawab Uji Mineral
1 0782 19/10/2015 Jantan 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca < normal
2 0584 01/06/2015 Betina 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca < normal
3 Pkl 0796 18/11/2015 Jantan 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca < normal
4 0540 22/04/2015 Betina 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca = normal
5 0826 10/09/2016 Jantan 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca < normal
6 Pkl 0580 28/05/2015 Jantan 02160477 26/06/2016 13/07/2016 Ca = normal
7 17.10.16 28/10/2016 Jantan 02160477 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
8 12.10.16 23/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
9 09.10.16 20/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
10 02.11.16 01/11/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
11 22.10.16 31/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca < normal
12 14.10.16 25/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
13 12.11.16 05/11/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
14 05.11.16 01/11/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca < normal
15 13.10.16 25/10/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca < normal
16 13.11.16 05/11/2016 Jantan 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca = normal
17 14.11.16 05/11/2016 Betina 02170396 08/06/2017 21/06/2017 Ca < normal
18 19.06.17 11/06/2017 Betina 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca = normal
19 04.05.17 07/05/2017 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal
20 03.01.17 06/01/2017 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal
21 49.12.16 29/12/2016 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca = normal
22 44.12.16 21/12/2016 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal
23 10.06.16 13/06/2016 betina 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal
24 21.01.17 31/01/2017 Jantan 02180022 15/01/2018 22/01/2018 Ca < normal
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
477
Adapun selisih berat antara berat lahir sapi dengan berat sapi lepas sapi
seperti yang diperlihatkan pada tabel 2 dibawah ini.
PEMBAHASAN
478 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
terganggunya pertumbuhan sapi tersebut. Faktor yang lain adalah factor
penyakit yang dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan atau istilah
lainnya kretinisme adalah penyakit hipotiroidisme bawaan (Wikipedia,
2017).
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
479
Simmental dilakukan tindakan antara lain pemberian pakan yang ditambahkan
feed supplement secara kontinu dan pemberian secara injeksi vitamin ADE
plus mineral secara kontinu. Diharapkan dengan memperhatikan kondisi sapi
kerdil dapat meningkatkan progress pertumbuhan mereka. Hal ini dikuatkan
oleh penyataan anonimus,2018 yaitu efek negative akibat defisiensi mineral
antara lain mengakibatkan pertumbuhan terhambat, konsumsi ransum akan
menurun, laju metabolic basal akan meningkat, aktifitas dan nafsu makan
akan menurun, peredaran akan terhambat, produksi daging dan juga susu akan
menurun serta bulu akan mengalami kerontokan. Berdasarkan penanganan
kekerdilan dengan memperbaiki pemberian pakan hijauan dengan pemberian
rumput gajah atau Pennisetum purpureum yang mengandung 19,9% bahan
kering; 10,2 % protein kasar; 1,6% lemak; 34%,2 serat kasar; 11,7% abu; dan
42,3% bahan esktrak tanpa nitrogen, tanaman Alfalfa, banyak mengandung
mineral dan multivitamin antara lain Calcium, Beta Carotene, Vitamins A,
B1, B6, B12, C, E, K1, Folic Acid, Biotin, Pantothenic Acid, Niacin dan
Klorofil (Hartadi,1980), rumput Brachia decumbens yang mengandung BK
81%, PK 7%, abu 6,5%, SK 35,1% dan BETN 49,2% (Miles, 1996) dan
jenis legume seperti Arachis pintoi memiliki kandungan protein yang tinggi
dan Indigovera sp sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak
dan mengandung protein kasar 27,9%, serat kasar 15,25%, kalsium 0,22%
dan fosfor 0,18%. Leguminosa Indigofera sp. memiliki kandungan protein
yang tinggi (Hartadi, 1980), pemberian konsentrat yang ditambahkan
feed supplement seperti SKVet serta injeksi vitamin ADE yang reguler
mengakibatkan adanya kemajuan perkembangan pertumbuhan pasca sakit
pada sapi simenntal yang mengalami keterlambatan pertumbuhan badan
(kekerdilan).
480 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA
Blakely dan Bade, 1991. Ilmu Peternakan Edisi Keempat Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Miles, J.W., B.L. Maass, & C.B. do Valle, 1996. Brachiaria : Biologi,
Agronomy and Improvement Joint Publication by CIAT, Cali,
Colombia and Embrapa/CNPGC Campo Grande, MS, Brazil.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
481
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Salmonella sp DAN Escherichia
coli DALAM RANGKA PEMETAAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA DI PETERNAKAN AYAM PETELUR DAN
PEDAGING DI 5 PROVINSI DI PULAU JAWA
Irma Rahayuningtyas, Lilis Sri Astuti, Istiyaningsih, Ernes Andesfha, Neneng Atikah
Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Gunungsindur, Bogor, Jawa Barat
Koresponden penulis pertama: tiaz_dvm@yahoo.com
ABSTRAK
Penyakit enteritis banyak disebabkan oleh Salmonella sp. dan E. coli yang menginfeksi unggas,
mamalia, dan manusia. Bakteri tersebut sangat berbahaya bilamana resisten terhadap antimikroba
dan mempunyai gen yang dapat menyebarkan sifat resistensinya ke manusia melalui konsumsi
produk unggas yang tercemar bakteri tersebut. Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat
Salmonella sp. dan E. coli dalam rangka pemetaan AMR di peternakan ayam petelur dan pedaging
dari 5 Provinsi di Pulau Jawa. Sampel dari swab kloaka ayam petelur 282, ayam broiler 173, dan
pakan ayam 66 yang diambil secara proporsional dengan metode isolasi sesuai SNI 2987:2008.
Isolat Salmonella sp. diidentifikasi sampai tingkat serotipe dengan metode PCR dan Sequencing
dengan primer spesifik Salmonella enteritidis dan Salmonella thyphimurium, sedangkan isolat E.
coli dilakukan uji patogenitas secara invitro dengan media congo red. Hasil isolasi dari 282 swab
kloaka ayam petelur diperoleh 9 (3,2%) isolat Salmonella sp. dan 268 (95%) isolat E. coli, dari 273
swab kloaka ayam pedaging diperoleh 34 (12,4%) isolat Salmonella sp. dan 258 (94,5%) isolat E.
coli, sedangkan dari 66 pakan tidak diperoleh isolat Salmonella sp. tetapi diperoleh 25 (37,9%) isolat
E. coli. Hasil uji serotipe 43 isolat Salmonella sp. dinyatakan : 21 isolat Salmonella enteritidis, 19
isolat Salmonella thyphimurium, 2 isolat Salmonella waycross, dan 1 isolat Salmonella typhi. Hasil
uji patogenitas 268 isolat E. coli, yang bersifat patogen sebanyak 48 (17,9%) berasal dari ayam
petelur, 39 (15,1%) berasal dari ayam pedaging, dan 1 (4%) dari pakan. Semua isolat selanjutnya
akan dilakukan uji resistensi antimikroba oleh Unit Uji Farmasetik dan Premiks. Berdasarkan hasil
tersebut disimpulkan bahwa beberapa peternakan ayam petelur dan pedaging sudah terinfeksi oleh
S. enteritidis, S. typhimurium, dan E. coli patogen yang sangat berbahaya bagi manusia, hal ini perlu
ditindaklanjuti dengan perbaikan sistem biosekuriti pada peternakan ayam dibawah pengawasan
Dinas terkait, serta program monitoring untuk mengontrol cemaran di peternakan ayam tersebut.
Kata Kunci : Salmonella sp, E. coli, uji serotipe, uji patogenitas, PCR, sequencing
PENDAHULUAN
TUJUAN
Dari kajian ini diharapkan dapat diketahui prevalensi Salmonella sp. dan
E. coli patogen di peternakan ayam petelur dan pedaging di 5 provinsi Pulau
Jawa, serta didapatkan isolat Salmonella sp dan E. coli untuk uji resistensi
antimikroba.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
483
MATERI DAN METODE
Sampel Pengkajian
Master Mix
484 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
spesifik gen TYPH Salmonella serotipe Typhimurium Reference Juan Alvarez
et 2004, forward Typh TTGTTCACTTTTTACCCCTGAA dan reverse Typh
CCCTGACAGCCGTTAGATATT dengan panjang amplikon 401 bp. Reagen
Master Mix PCR menggunakan HotStarTaq® Master Mix Kit (Qiagen, USA)
12.5 µL, Primer F dan R (sesuai serotipe) masing - masing (20µM) 1 µL, RT
PCR Grade Water 5.5 µL, DNA hasil ekstraksi 5 µL.
Amplifikasi
DNA Sequencing
HASIL
Dalam kegiatan pengkajian ini diperoleh 282 sampel swab kloaka ayam
petelur, 273 sampel swab kloaka ayam pedaging, dan sampel pakan yang
ada dikandang sebanyak 66 sampel. Dari seluruh sampel tersebut dilakukan
isolasi Salmonella sp dan E. coli dan didapatkan 43 isolat Salmonella sp
dan 551 isolat E. coli. Hasil isolasi Salmonella dan E. coli dari peternakan
ayam pedaging di Pulau Jawa dapat dilihat dalam Grafik 1 dan hasil isolasi
Salmonella dan E. coli dari peternakan ayam petelur di Pulau Jawa dapat
dilihat dalam Garfik 2.
100
80
60
40 E. coli Patogen
20
E. coli
Salmonella
0
Banten Jawa Jawa DIY Jawa
Barat Tengah Timur
Salmonella 0 4.2 1.4 0 4.76
E. coli 100 94.9 96.9 33.3 100
E. coli Patogen 38.9 12.9 25 0 0
Salmonella E. coli E. coli Patogen
Grafik 2. Hasil
isolasi Salmonella dan E. coli dari peternakan ayam petelur
di Pulau
Jawa
Isolasi Salmonella dan E. coli pada
peternakan ayam petelur di Pulau Jawa
100
50 E. coli patogen
E. coli
Salmonella
0
Bante Jawa Jawa DIY Jawa
n Barat Tenga Timur
h
Salmonella 0 4.2 1.4 0 4.76
E. coli 87.5 100 93 100 96
E. coli patogen 23.8 37.5 32.8 0 2.5
Salmonella E. coli E. coli patogen
Prosiding
486 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
487
Hasil prevalensi E. coli dari ayam pedaging berasal dari 5 provinsi di
Pulau Jawa adalah 258/273 (94,5%). Dari 258 isolat E. coli yang diperoleh
diketahui bahwa 39 (15,1%) isolat adalah E. coli patogen. Sedangkan
prevalensi E. coli dari ayam petelur berasal dari 5 provinsi di Pulau Jawa
adalah 268/282 (96%). Dari 268 isolat E. coli yang diperoleh diketahui
bahwa 48 (17,9%) isolat adalah E. coli patogen. Tingginya prevalensi E. coli
pada peternakan ayam pedaging dan petelur karena bakteri ini merupakan
mikroflora normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan, akan tetapi
beberapa galur bersifat patogenik (Gyles, 1983). Infeksi E. coli patogen
pada unggas umumnya bersifat sistemik dan menimbulkan bakteremia
(Bisping et al., 1988). Bakteri tersebut mampu menyebar melalui peredaran
darah sehingga dapat menyebabkan kerusakan dari berbagai organ seperti
perihepatisis, perikarditis, airsakulitis, mesentiritis, ooforitis, salpingitis,
arthritis, panopthalmitis, dan koligranuloma atau Hjarre’s Disease (Lafont
et al., 1987; Tabbu, 2000). Menurut Peighambari (1995) dan Brito (2003),
selulitis cenderung menginfeksi ayam pedaging dan menyebabkan kerusakan
karkas dan peningkatan angka afkir sampai 42,5%. Oleh karena itu, secara
ekonomi, infeksi E. coli patogen pada unggas sangat merugikan peternak
(Wooley, et al., 2000; Knobl et al., 2006).
Hasil isolasi E. coli dari pakan yang diambil di dalam kandang berasal
dari 5 provinsi di Pulau Jawa menunjukkan dari total 66 sampel pakan yang
diperoleh dari peternakan ayam pedaging dan petelur didapatkan isolat E. coli
sebanyak 25 isolat (37,9%), dari isolat positif E. coli tersebut diperoleh hasil
1 isolat merupakan E. coli patogen. Salmonella sp dan E. coli merupakan
bakteri yang harus diperhatikan karena sering mencemari bahan pakan
seperti tepung tulang dan tepung ikan (Raghavan, 1997). Bakteri tersebut
merupakan sumber penyakit yang dapat masuk ke peternakan unggas. Cara
pencegahan agar pakan bebas Salmonella sp dan E. coli harus dimulai dari
bahan baku masuk ke dalam pabrik pakan ternak. Menurut Suwito (2010),
usaha untuk mengurangi kontaminasi E. coli dan Salmonella sp dalam
pakan ternak diperlukan suatu sistem pemeriksaan yang menyeluruh mulai
dari penerimaan bahan baku, pembersihan fasilitas dalam pabrik pakan,
perlakuan panas yang efektif dalam proses pembuatan pakan dan mencegah
kontaminasi ulang terhadap pakan yang sudah jadi. Usaha lain yang dapat
dilakukan untuk menghasilkan pakan yang aman digunakan antara lain
menyingkirkan faktor yang berbahaya dari pakan, mencegah perkembangan
mikroorganisme dalam pakan dan menghilangkan binatang liar yang dapat
mencemari pakan. Tikus dan burung yang bebas berkeliaran di dalam
gudang dan fasilitas pabrik serta membuang kotoran di sembarang tempat
dapat menjadi sumber kontaminasi Salmonella sp dan E. coli. Selain tikus
dan burung liar, sumber kontaminasi lainnya antara lain kutu, serangga dan
jamur. Jamur perlu diperhatikan karena akan mudah tumbuh dan berkembang
apabila disimpan ditempat yang lembab. Oleh karena itu tempat penyimpanan
pakan dan bahan pakan merupakan hal yang penting serta penempatan pakan
sebaiknya diletakkan dalam ruangan yang kering, bersih dan tidak lembab.
488 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Penerimaan untuk bahan pakan seperti jagung, kadar air perlu diperhatikan.
Kadar air yang tinggi menyebabkan jamur mudah tumbuh dan berkembang.
Dari 282 sampel swab kloaka ayam petelur dan 273 swab kloaka ayam
pedaging didapatkan 43 isolat Salmonella sp. Dari ke 43 isolat tersebut
setelah dilakukan uji serotipe dengan menggunakan metode PCR dengan
hasil 21 isolat adalah Salmonella enteritidis, 19 isolat adalah Salmonella
typhimurium, 2 isolat adalah Salmonella waycross, dan 1 isolat adalah
Salmonella typhi, sedangkan dari 66 sampel pakan yang diperoleh tidak
ditemukan isolat Salmonella sp. Adanya kontaminasi dan infeksi Salmonella
sp pada suatu peternakan dengan sanitasi baik dan sanitasi buruk dapat
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
489
disebabkan oleh penyebaran Samonella sp. yang sering terjadi melalui
kotoran yang telah terkontaminasi dan mencemari pakan, air minum, dan
kerabang telur tetas.
490 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
feses yang dapat mencemari lingkungan dan dapat menginfeksi hewan lain
atau manusia, bahkan tidak jarang Salmonella bertahan hidup dalam jaringan
limphatik (Dharmojono, 2001).
1. Hasil isolasi dari 282 swab kloaka ayam petelur diperoleh 9 (3,2%) isolat
Salmonella sp. dan 268 (95%) isolat E. coli, dari 273 swab kloaka ayam
pedaging diperoleh 34 (12,4%) isolat Salmonella sp. dan 258 (94,5%)
isolat E. coli, sedangkan dari 66 pakan tidak diperoleh isolat Salmonella
sp. tetapi diperoleh 25 (37,9%) isolat E. coli.
2. Berdasarkan hasil pengkajian, beberapa peternakan ayam petelur dan
pedaging di 5 Provinsi di Pulau Jawa sudah terinfeksi oleh Salmonella
enteritidis, Salmonella typhimurium, dan E. coli patogen.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
491
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez, J., Sota, M., Vivance, A. B., Perales, I., Cisterna, R., Rementeria,
R., Garaizar, J. 2004. Development of a Multiplex PCR Technique
for Detection and Epidemiological Typing of Salmonella in Human
Clinical Samples. Journal of Clinical Microbiology, Apr. 2004, p.
1734–1738. DOI: 10.1128/JCM.42.4.1734–1738.2004.
Barrow ,P.A. 1993. Salmonella control-past, present and future. Avian Path.
22:651-669.
Bisping, W, Amtsberg, G.A. 1988. Color Atlas for The Diagnosis of Bacterial
Pathogen in Animal. Berlin : Paul Parey Scientific Publishers. Hal :
160 – 168.
Brito B.G, Gaziri, L.C., Vidotto,M.C. 2003. Virulence Factors and Clonal
Relationship Among Escherichia coli Strains Isolated from Broiler
Chickens with Cellulitis. J. Infect Immun 71 : 4175 – 4177.
Ewers, C., Janssen, T., Wieler, L.H. 2003. Avian Pathogenic Escherichia Coli
(APEC). Berl Munch Tierarztl Wochenschr.Sep-Oct;116(9-10):381-95.
492 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Gast, R.K. 1997. Paratyphoid infections In Disease of Poultry. Tenth Edition.
Calnek, B. W. H. J. Barnes ,C. W. Beard, L. R. Mcdouglad and Y.M.
Saif (Eds.). Iowa State university Press, Ames, Iowa,USA. Pp 97-112.
Knobl, T., Gomes, T.A.T., Veira, M.A.M., Bottino, J.A., Ferreira, A.J.P.
2006. Occurance of Adhesin Encoding Operons in Escherichia coli
Isolated from Breeder with Salpingitis and Chick with Omphalitis.
Braz J Microbiol 37.
Lafont, J. P., Maryvone, D., Elena, M.D, Hauteville, Breed A., Sansonetti,
J. P. 1987. Presence and Expression of Aerobactin Genes in Virulent
Avian strains of Escherichia coli. J Infect Immun 55 : 193 – 197.
Peighambari, S.M., Julian S.M., Gyles C.L. 2000., Presence and Expression
of Aerobactin Genes in Virulent Avian strains of Escherichia coli. J
Infect Immun 55 : 193 – 197.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
493
Poernomo, S. 2004. Variasi Tipe Antigen Salmonella pullorum yang
ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada
ternak(PO).Wartazoa 14(4): 143-159.
Raghavan, V. 1997. The concept of quality control to improve feed quality for
poultry production. Asia Focus Proceding VIV Seminars on Poultry
and Pig Production. Misset International. Pp:57-59.
Sarmah, A.K., Meyer, M.T., dan Boxall, A.B. 2006. A global perspective
on the use, sales, exposure pathways, occurrence, fate and effects
of veterinary antibiotics (VAs) in the environment. Chemosphere
65(5):725–759.
Wooley, R.E, Gibbs, P.S, Brown, T.P., Maurer J.J. 2000. Chicken Embryo
Lethality Assay for Determining The Virulence of Avian Escherichia
coli Isolates. Avian Dis. 44 : 318 – 324.
494 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT: VAKSINASI DAN
PEMBASMIAN VEKTOR TERHADAP PENYAKIT JEMBRANA
DI KABUPATEN SELUMA, BENGKULU
ABSTRAK
Penyakit Jembrana merupakan penyakit viral yang bersifat menular pada sapi Bali dan bersifat
endemis di kabupaten Seluma. Penyakit Jembrana memiliki dampak ekonomi yang cukup besar.
Kerugian ekonomi berupa kehilangan pendapatan karena kematian ternak dan nilai jual ternak turun,
biaya pengobatan, nilai kerja hewan menurun, biaya investigasi dan pengujiannya. Kerugian lain
juga berupa terhambatnya perdagangan sapi bali dari daerah endemis ke daerah bebas. Tulisan ini
bertujuan untuk menganalisa biaya dan manfaat program vaksinasi dan pembasmian vektor. Model
ekonomi dan epidemiologi dikembangkan untuk menghitung biaya dan manfaat program vaksinasi.
Input parameter yang digunakan diperoleh melalui Fokus Group Discussion yang diadakan pada
tanggal 17 Januari 2018. Hasil kajian menunjukkan total biaya pemberantasan penyakit jembrana
untuk periode 5 tahun sebesar Rp 1,4 Milyar dengan rasio benefit-biaya (BCR) 3,21 dan Internal
rate of return (IRR) 167,5 %. Dari beberapa nilai tersebut membuktikan program vaksinasi dan
pemberantasan vektor di Kabupaten Seluma, Bengkulu sangat layak untuk dilakukan.
PENDAHULUAN
Sapi bali adalah sapi potong yang merupakan bagian terbesar dari jenis
sapi asli Indonesia, dan saat ini sudah tersebar di 34 daerah propinsi. Populasi
Sapi potong di Indonesia tahun 2012 sekitar 16 juta ekor dan 3,3 juta ekor
diantaranya atau 20,6% adalah sapi Bali. Sapi Bali memiliki beberapa
keunggulan yaitu : (1) tingkat kesuburan sangat tinggi, (2) merupakan sapi
pekerja yang baik dan efisien, (3) dapat memanfaatkan hijauan yang kurang
bergizi, (4) persentase karkas tinggi, (5) daging rendah lemak subkutan,
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
495
(6) heterosis positif (penyimpangan penampilan yang diharapkan dari
penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya) yang tinggi.
Hasil
496 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Rasio manfaat dan biaya
Pembahasan
Year
Item Total
0 1 2 3 4 5
Change of Jembrana levels 0% 30% 70% 75% 85%
Costs
Capital
Recurrent costs
Investigation costs 13,130,000 13,130,000 13,130,000 13,130,000 13,130,000 65,650,000
Laboratory costs 30,050,000 30,050,000 30,050,000 30,050,000 30,050,000 150,250,000
Vaccination costs 103,400,000 103,400,000 103,400,000 103,400,000 103,400,000 517,000,000
Vector eradication 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 1,500,000
Total costs 0 146,880,000 146,880,000 146,880,000 146,880,000 146,880,000 734,400,000
Benefits
Losses of animals and
treatments 0 166,600,000 178,500,000 202,300,000 547,400,000
General economy 0 221,550,000 516,950,000 553,875,000 627,725,000 1,920,100,000
Total benefits 0 0 221,550,000 683,550,000 732,375,000 830,025,000 2,467,500,000
Undiscounted benefits
minus costs 0 -146,880,000 74,670,000 536,670,000 585,495,000 683,145,000 1,733,100,000
Discounted costs 0 139,885,714 133,224,490 126,880,466 120,838,539 115,084,323 635,913,533
Discounted benefits 0 0 200,952,381 590,476,190 602,526,725 650,346,306 2,044,301,603
Discounted benefits
minus costs 0 -139,885,714 67,727,891 463,595,724 481,688,185 535,261,983 1,408,388,069
NPV 1,408,388,069
BCR 3.21
IRR 167.47%
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
497
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penilitian ini adalah jika pelaksanaan vaksin yang tepat
dan pemberantasan vektor dilakukan sesui dengan Standar Operasional
Prosedur maka Penyakit Jembrana akan tertangani lebih baik dan sangat
menguntungkan.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
498 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
PENERAPAN CARA KEAMANAN BIOLOGIK DAN
KESELAMATAN BIOLOGIK YANG BAIK (GOOD
BIOSAFETY AND BIOSECURITY PRACTICES) DI FASILITAS
LABORATORIUM BIOSAFETY LEVEL 3 (BSL-3)/ANIMAL
BIOSAFETY LEVEL 4 (ABSL-4)
Muhammad Zahid, Sri Mukartini, Emilia
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
499
dikenal dengan istilah keamanan hayati (biosecurity). Cara keselamatan
hayati dan keamanan hayati yang baik secara menyeluruh dan konsisten
penerapannya di tingkat laboratorium serta mengikuti standar atau kaidah
yang telah ditetapkan (bioethics) dikenal dengan sebutan good biosafety and
biosecurity practices. (WHO, 2004; WHO, 2005 WHO, 2006; CWA, 2011).
Oleh karena itu untuk melaksanakan pengujian mutu vaksin viral dan
bakterial tersebut dengan menggunakan fasilitas BSL-3/ABSL-4, BBPMSOH
wajib menerapkan prinsip keselamatan dan keamanan hayati yang baik di
setiap kegiatan pengujian untuk melindungi personil dan lingkungan, serta
melindungi bahan biologik berbahaya dari penyalahgunaan. Pendekatan
prinsip keselamatan dan keamanan hayati yang baik meliputi: pengendalian
administrasi, rancang bangun, cara dan prosedur yang aman bekerja di
laboratorium, pengendalian fisik, tatalaksana bahan biologik, dan tata laksana
personil yang akan dijabarkan di dalam makalah ini.
500 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
TUJUAN
a. Pengendalian administratif
b. Rancang bangun
1. Ruang ganti
- Suhu : 22 ± 1oC
- Kelembaban (RH) : 55 ± 5%
- Tekanan : -20 pa
- Pertukaran udara per jam : 15 kali
2. Ruang koridor dalam
- Suhu : 22 ± 1oC
- Kelembaban (RH) : 55 ± 5%
- Tekanan : -40 pa
- Pertukaran udara per jam : 15 kali
3. Ruang BSL-3
- Suhu : 22 ± 1oC
- Kelembaban (RH) : 55 ± 5%
- Tekanan : -60 pa
- Pertukaran udara per jam : 15 kali
4. Ruang ABSL-4
- Suhu : 22 ± 1oC
- Kelembaban (RH) : 55 ± 5%
- Tekanan : -80 pa
- Pertukaran udara per jam : 15 kali
Perbedaan yang mendasar dari tiap ruangan hanya terlihat pada
pengaturan tekanan, dimana ada perbedaan -20 pa (pascal) tiap ruang. Ruang
ABSL-4 memiliki tekanan yang paling kecil diantara ruang lainnya.
502 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai harus digunakan saat melakukan
aktifitas pengujian di fasilitas laboratorium dan kandang hewan percobaan.
Umumnya APD terdiri dari baju laboratorium (coveralls, gowns), sarung
tangan (gloves) berlapis (latex dan nitrile), masker (N2), penutup kepala
(head cover), sepatu, dan kacamata (safety glasses/face shields).
d. Pengendalian fisik
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
503
tersebut harus memiliki sistem dokumentasi dan prosedur yang jelas dan
sistematis. Ini sangat penting untuk mengendalikan bahan biologik dari
penyalahgunaan dan pemakaian yang tidak bertanggung jawab (WHO,
2015).
Untuk mencapai hal ini, institusi harus menetapkan hal-hal sebagai berikut:
- Bahan atau bentuk bahan biologik yang akan dikendalikan;
- Catatan apa yang harus disimpan, oleh siapa, dimana, dalam bentuk apa
dan berapa lama disimpan;
- Siapa yang memiliki akses terhadap catatan tersebut dan bagaimana
akses tersebut didokumentasikan;
- Bagaimana mengendalikan bahan biologik tersebut melalui instruksi
kerja/prosedur terkait dengannya (seperti: dimana mereka disimpan
dan digunakan, bagaimana mereka diidentifikasi, bagaimana persediaan
dipelihara dan ditinjau secara rutin, dan bagaimana pemusnahan
dilaksanakan dan didokumentasikan);
- Prosedur yang dipertanggungjawabkan seperti apa yang akan digunakan
(seperti manual log book, electronic, dan sebagainya);
- Dokumentasi/laporan apa yang dibutuhkan;
- Siapa yang bertanggung jawab dalam melacak/memantau bahan
biologik;
- Siapa yang menyetujui eksperimen yang direncanakan dan prosedur
yang perlu diikuti;
- Siapa yang perlu diinformasikan dan meninjau pemindahan bahan
biologik ke laboratorium lain (WHO, 2006; WHO, 2015).
f. Tatalaksana Personil
Selain itu program skrining personil juga bisa digunakan untuk memilih
personil yang tepat, dapat dipercaya, dan bertanggung jawab, yang akan
bekerja di fasilitas BSL-3/ABSL-4. Pendekatannya bisa menggunakan tes
kepribadian (psikotest), track record dan kinerja (performance) pegawai,
atau referensi dari pimpinan tempat personil tersebut bekerja sebelumnya.
504 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
CDC. 2013. Security Guidance for Select Agent or Toxin Facilities. USA.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
505
WHO. 2005. International Health Regulation (IHR), Second Edition.
Genewa.
WHO. 2010. Responsible Life Sciences Research for Global Health Security.
Genewa.
506 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DINAMIKA VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 DI
WILAYAH BALAI VETERINER TAHUN 2004-2017
Srihanto, E.A.1), Angeliya, L.1) dan Wahyuningtyas, A.S2)
ABSTRAK
Penyakit Avian Influenza sejak masuk ke wilayah Lampung tahun 2003 sampai sekarang belum
bisa diatasi dengan baik. Kematian unggas sampai saat ini masih sering dilaporkan dan ditemukan.
Unggas yang terinfeksi dilaporkan tidak hanya ayam tetapi jenis unggas lainnya seperti puyuh, itik,
entog, kalkun, walet dan burung liar. Perkembangan virus Avian Influenza sejak ditemukan pada
tahun 2003 telah mengalami evolusi dan perubahan. Kajian ini bertujuan untuk melihat dinamika
dan evolusi virus Avian Influenza di wilayah kerja Balai Veteriner tahun 2004-2016. Materi yang
digunakan berupa data sekuens virus Avian Influenza dari genebank dan koleksi Balai Veteriner
Lampung tahun 2004-2017. Asal isolat isolat diperoleh dari berbagai macam spesies meliputi
ayam, puyuh, kalkun, itik, entog, walet dan burung liar. Metoda analisis dilakukan dengan melihat
jarak genetik, homologi dan hubungan kekerabatan virus Avian Influenza. Analisis dilakukan
menggunakan perangkat lunak MEGA 6.06 yang meliputi prediksi asam amino, homologi, jarak
genetik dan pohon kekerabatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa sejak tahun 2004-2017 sebaran
virus Avian Influenza di wilayah kerja Balai Veteriner ditemukan adanya 2 clade yaitu clade 2.1 dan
2.3.2.1c. Jarak genetik antara clade 2.1 dengan clade 2.1.3 sekitar 3% dengan homologi berkisar
97%. Jarak genetik antara clade 2.1 dengan clade 2.3.2.1 sekitar 8 % dengan homologi sekitar 91 %.
Jarak genetik antara clade 2.1.3 dengan clade 2.3.2.1 sekitar 4,5% dengan homologi sekitar 95,5%.
Sebaran unggas yang terinfeksi mencakup multi spesies unggas meliputi ayam, puyuh, kalkun, itik,
entog, walet dan burung liar.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
507
Struktur protein struktural terdiri dari protein permukaan dan protein
internal. Permukaan amplop virus tersusun atas lipid bilayer yang berasal
dari membran sel hospes yang diperoleh pada saat budding yang tersusun
oleh hemaglutinin (HA), neuroamidase (NA) dan membran ion channel
protein (M2) (Suarez, 2008). Haemaglutinine (HA) merupakan glikoprotein
pada amplop virus yang mampu berikatan dengan reseptor sialic acid pada
permukaan sel hospes (De jong dan Hien, 2006). Protein internal tersusun
oleh nucleoprotein (NP), matrix proteins (M1), polimerase complex proteins
(PB1, PB2, PA). Selain itu terdapat tambahan dua protein non struktural
(NS1, NS2) (Suarez, 2008). Virus avian influenza yang berhasil teridentifikasi
subtipe H5, H7, H4, H10 dan H11 (Lupiani and Reddy, 2009).
Materi
Data sekuens isolat yang digunakan berupa virus AI subtipe H5N1 yang
berasal dari genebank dan data sekuens isolat dari daerah di wilayah kerja
Balai Veteriner Lampung dari tahun 2004-2017. Sebanyak 40 data sekuens
508 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
digunakan untuk bahan kajian. Isolat berasal dari kabupaten/kota yang berada
di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Data sekuens tersebut berasal dari
berbagai macam spesies meliputi ayam, itik, entog, kalkun, walet, burung
nuri dan puyuh.
Metode
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
509
Gambar 1. Phylogenic tree isolat Lampung 2004-2017
Ket : huruf merah adalah isolat penelitian
Analisis jarak genetik dan homologi antar clade ditunjukkan pada Tabel
2 menunjukkan terjadi perbedaan genetik sebanyak 3 % dengan homologi 97
% antara clade 2.1 dengan subclade 2.1.3. Jarak genetik antara clade 2.1.1
dengan subclade 2.3.2.1 sekitar 7,4% dengan homologi sekitar 92,6%. Jarak
genetik antara subclade 2.1.3 dengan subclade 2.3.2.1 sekitar 4,5% dengan
homologi sekitar 95,5%.
510 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Sejak dideklarasikan tahun 2004 wabah penyakit AI telah menjadi
penyakit endemis. Di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung penyakit AI
juga menjadi ancaman yang serius dan merupakan penyakit unggas endemis
di beberapa propinsi diantaranya Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan
(Srihanto, 2013; Anonimous, 2016). Sejak akhir tahun 2012, di Indonesia
telah terjadi introduksi virus AI baru yang homolog dengan virus AI di
Vietnam (Wibawa dkk., 2012). Di Lampung juga mengalami introduksi
virus AI baru. Virus tersebut ditularkan dari pulau Jawa akibat adanya
pemasukan unggas air yang terinfeksi virus (Srihanto, 2013). Virus AI
tersebut diidentifikasi sebagai virus AI subtipe H5N1 clade 2.3.2.1. Takano
et al. (2009), juga menebutkan bahwa menyebarnya virus AI ke Sumatera
dan pulau lainnya diakibatkan karena pola transportasi unggas pembawa
virus yang tanpa kontrol.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
511
memiliki case fatality rate yang tinggi. Pencegahan dan pengendalian sangat
sulit dilakukan dikarenakan sifat virus yang sangat mudah bermutasi.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
de Jong, M.D. and Hien, T.T. 2006. Review Avian Influenza (H5N1), Journal
of Clinical Virology 35 : 2-5
Duvvuri, V.R.S.K., Duvvuri, B., Cuff, W.R., Wu, G.E., and Wu, J. 2009.
Role of Positive Selection Pressure on the Evolution of H5N1
Hemagglutinin, Genomics Proteomics Bioinformatics Vol. 7 No. 1–2
June 2009 : 1-10
Liu, Q., Ma, J., Kou, Z., Pu, J., Lei, F., Li T., and Liu, J. 2010. Characterization
of a highly pathogenic avian influenza H5N1 clade 2.3.4 virus isolated
from a tree sparrow, Virus Research 147 : 25–29
Plotkin, J.B., Dushoff, J., and Levin, S.A. 2002. Hemagglutinin sequence
clusters and the antigenic evolution of influenza A virus, PNAS 99
(9) : 6263–6268
Spackman, E., Senne, D.A., Davison, S., and Suarez, D.L. 2003. Sequence
analysis of recent avian influenza viruses associated with three
different outbreaks in commercial poultry in the United States, J Virol
77: 13399–133402
512 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Suarez, D.L., and Senne, D.A. 2000. Sequence analysis of related low-
pathogenic and highly pathogenic H5N2 avian influenza isolates from
United States live bird markets and poultry farms from 1983 to 1989,
Avian Dis 44 : 356–364
Takano, R., Nidom, C.A., Kiso, M., Muramoto, Y., Yamada, S., Tagawa, Y.
S., Macken, C., and Kawaoka, Y. 2009. Phylogenetic characterization
of H5N1 avian influenza viruses isolated in Indonesia from 2003–
2007, Virology 390 :13–21
Tamura, K., Peterson, D., Peterson, N., Stecher, G., Nei, M., and Kumar,
S. 2011. MEGA5: Molecular Evolutionary Genetics Analysis Using
Maximum Likelihood, Evolutionary Distance, and Maximum
Parsimony Methods, Mol. Biol. Evol. 28 (10) : 2731–2739.
doi:10.1093/molbev/msr121 : 1-9
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
513
KOMBINASI HORMON PMSG DAN HCG UNTUK
PENGOBATAN KASUS HIPOFUNGSI GANGGUAN
REPRODUKSI PADA SAPI / KERBAU DI KEGIATAN UPSUS
SIWAB 2017
Wahyuni1, Hadi Purnama W1, Titis Furi Djatmikowati1. Fitri Amaliah2, Abdul Samik3
ABSTRAK
Kasus hipofungsi ,merupakan kasus gangguan reproduksi yang paling tinggi dijumpai pada
sapi / kerbau di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Maros di lima provinsi ( Gorontalo, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat ) pada kegiatan upsus siwab
2017. Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) merupakan hormone non pituitary
gonadotropin yang dapat digunakan sebagai media reproduksi karena memiliki efek seperti FSH
dan sedikit LH sedangkan hormone Human Chorionic Gonadotropin (HCG) adalah glycoprotein
yang berisi beberapa asam amino yang dapat berefek seperti LH dan FSH. Tujuan dari kegiatan ini
untuk melihat hasil dari pemakaian kedua hormone tersebut pada kasus gangguan reproduksi yaitu
hipofungsi pada sapi/kerbau.. Jumlah kasus hipofungsi total sebanyak 4865 ekor ( 62,2%) dari 7824
akseptor atau ekor jumlah kasus gangrep yang ditangani di tahun 2017 di lima provinsi wilayah kerja.
Pemakaian hormone PMSG yang dikombinasi dengan HCG dapat menyembuhkan kasus hipofungsi
90,8% sehingga sapi / kerbau yang mengalami kasus hipofungsi dapat menimbulkan estrus kembali.
PENDAHULUAN
TUJUAN
Bahan Penelitian
Metode Penelitian
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
515
Analisis Data
Gangrep
No. Provinsi Target Realisasi
I II III
1 Gorontalo 2.500 1.649 1.649 1.615 1.458
2 Sulawesi Barat 824 571 571 571 492
3 Sulawesi Tengah 1.000 640 640 625 476
4 Sulawesi Utara 1.000 1.414 1.414 1.414 1.359
5 Sulawesi Tenggara 2.500 3.550 3.550 3.521 3.462
TOTAL 7.824 7.824 7.824 7.746 7.247
Keterangan I : pengobatan 1, II: pengobatan 2, III; pemantauan hasil (kesembuhan)
516 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
No. Provinsi Penyakit Jumlah %
Hipofungsi 824 58,3
CLP 158 11,2
Systic folikel 321 22,7
Systic luteal 38 2,7
3. Sulawesi Utara
Repeat breeder 18 1,3
Endometritis 36 2,6
dll 19 2.2
1414
Hipofungsi 2431 68,4
CLP 821 23,1
Repeat Breeder 157 4,4
4. Sulawesi Tenggara Retensi secundinarum 59 1,6
Endometritis 58 1.6
dll 24 0.9
3550
Hipofungsi 418 65
CLP 67 10,5
Endometritis 74 11,6
Systic folikel 20 3,1
5. Sulawesi Tengah Systic luteal 12 1,8
Abortus 10 1,5
Retensi secundinarum 17 2,6
dll 22 3.9
640
Total kasus hipofungsi di lima provinsi wilayah kerja sebanyak 4865 ekor
dari 7824 ekor yang mengalami gangguan reproduksi atau sejumlah 62,2%.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
517
P1 P2/PM1 PM2
No. Provinsi Realisasi
Akseptor Sembuh Akseptor Sembuh Akseptor Sembuh
1
Gorontalo
1.649
1.649
0 1.615
0 1.458
1.458
2
Sulawesi Barat
571
571
0
571
0
492 492
3
Sulawesi Tengah
640
640
0
625
0
476 476
4
Sulawesi Utara
1.414
1.414
0 1.414
0 1.359
1.359
5
Sulawesi Tenggara
3.550
3.550
0 3.521
0 3.462
3.462
TOTAL
7.824
7.824
0 7.746
0 7.247
7.247
Keterangan:
P1 :
Pengobatan Pertama
P2 : Pengobatan Kedua
PM1 : Pemantauan Pertama
PM2 : Pemantauan Kedua
355035213462
157615631553 148714771392
Dapat di amati dari data hasil kesembuhan dari 7824 ekor yang mengalami
gangguan reproduksi hasil kesembuhan hanya 92,6% atau sebanyak 7247
ekor. Dari data tersebut terdapat ketidak sembuhan sebanyak 577 ekor atau
7,4% dari angka tersebut (577 ekor) paling banyak 77% ketidak sembuhan
dari kasus hipofungsi atau sebanyak 445 ekor.
Data angka kesembuhan sebanyak 90,8% atau 4420 ekor dan tidak
sembuh sebanyak 9,2% atau 445 ekor. Hasil kesembuhan dari penanggulangan
gangguan reproduksi yaitu dengan ditandai timbulnya birahi atau estrus.
518 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Estrus yang timbul dari pengobatan dengan menggunakan hormone PMSG
dan HCG antara 3 – 9 hari atau rata-rata 5 hari dengan hanya satu kali
penyuntikan saja.
PMSG
atau
hormone serum
pregnant mare gonadotropin
yang
merupakan
hormone gonadotropin
eksogen
yang
sangat potensial
dalam
menimbulkan respon superovulasi pada ternak sapi. dengan aktifitas FSH
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans
Kesehatan Hewan Tahun 02018
519
yang tinggi dan sedikit aktivitas LH ( Pernayun. ; 2009). Sedang hormone
HCG atau human chorionic gonadotropin adalah hormone glikoprotein dari
keluarga gonadotropin yang awalnya disintesis oleh embrio manusia (Harti.
A.S; 2013).
Gambar 2. Gelombang folikel pada sapi potong
Keterangan :
A : ATROPI
A : ATROPI D : DOMINAN D : DOMINAN O : OVULASI
O : OVULASI R : RECRUITMENT S : SELEKSI TR : RECRUITMENT
: TUMBUH
S : SELEKSI
DE :DIESTRUS T : TUMBUH
E: ESTRUS DE :DIESTRUS
ME : METESTRUS PE : PROESTRUS E: ESTRUS
ME : METESTRUS PE : PROESTRUS
Gejala
birahi pada sapi sapi penderita HP setelah mendapat suntikan
PG-600 secara intra muscular
dengan
dosis 180IU/ekor
diikuti
dengan
ovulasi. Gejala birahi pada sapi ditandai dengan kondisi hewan tidak tenang,
berteriak-teriak, vulva bengkak,merah dan panas, keluar lendir cerviks yang
terlihat jernih dan lengket (Ismudiono dkk.,2010). Gejala birahi yang diamati
muncul dengan rataan waktu 6 hari pasca penyuntikan PG-600. Hal ini
sesuai
dengan teori gelombang folikel, yaitu pada kondisi HP ovarium maka
tidak
terjadi
pertumbuhan folikel
pada
kedua
ovarium.
Penyuntikan PG-600
memacu pertumbuhan folikel baru sampai menjadi folikel matang (de Graaf)
membutuhkan waktu 5 hari.
Folikel de
Graaf
yang tumbuh
menghasilkan
estrogen tinggi sehingga pada hari ke 6 muncul gejala birahi.
Kombinasi keduanya dapat di gunakan untuk superovulasi folikel telur,tetapi
pada
kasus gangguan reproduksi terutama pada kasus hipofungsi, PMSG
bekerja langsung
pada ovarium (Hafez
;2000), bukan pada
hipotalamus
sehingga lebih
cepat mengertak pertumbuhan
folikel
telur,
sedangka
520 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
hormone HCG sangat penting untuk mempertahanakan sel endokrin yang
disebut corpus luteum atau efek stimulasinya memiliki efek LH pada dosis
yang rendah sehingga mampu merangsang ovarium untuk berovulasi dan
dapat menghasilkan estrus / birahi (Bagus ; 2000)
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk DR. drh. Abdul Samik
M.Si, DR. dan drh. Trilas Sadjito M.Si, sebagai mentor dilapangan dalam
penanggulangan gangguan reproduksi, teman-teman medic veteriner
reproduksi di lima provinsi dan balai besar veteriner maros serta Kepala
balai Besar Veteriner Maros Bpk. Drh. Sulaxono Hadi yang selalu meberikan
support dan arahannya.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
521
DAFTAR PUSTAKA
Bagus I., 2000, Buku Saku Ilmu Kandungan, 100-105, Penerbit Arcan.
Jakarta.
Efendi, M., T.N. Siregar, Hamdan, Dasrul, C.N. Thasmi, Razali, A. Sayuti,
B. Panjaitan. 2015. Angka Kebuntingan Sapi Lokal Setelah Diinduksi
Dengan Protokol Ovsynch. Banda Aceh. Jurnal Medika Veterinaria.
159- 162
Pernayun. T.G.O.,2009., Induksi estrus dengan PMSG dan GnRh pada sapi
anestrus post partum. Buletin Veteriner Udayana Vol I no 2: 83-87.
Denpasar.
Subronto dan I.Tjahajati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta
522 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
EVALUASI KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN (IB)
PROGRAM UPSUS SIWAB DI KALIMANTAN BARAT
BERDASARKAN DATA ISIKHNAS TAHUN 2017
Ahmad Mike Ariyanto (1), Elidar (2)
Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat (1)
Unit Laboratorium Keswan dan Kesmavet Provinsi Kalimantan Barat (2)
ahmadmikedrh@gmail.com
ABSTRAK
Komitmen Pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan asal hewan khususnya daging
sapi secara intensif dilakukan melalui peningkatan populasi sapi/kerbau potong. Salah satu Program
besar Nasional yang mendukung percepatan peningkatan populasi sapi/kerbau potong yaitu UPSUS
SIWAB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting). Salah satu kegiatan UPSUS SIWAB yaitu
Inseminasi Buatan (IB). Sesuai Pedoman Umum UPSUS SIWAB Tahun 2017 setiap kegiatan yang
menjadi rangkaian UPSUS SIWAB (termasuk IB) dilaporkan melalui sistem iSIKHNAS. Prinsip
pelaporan menggunakan iSIKHNAS yaitu real time, sederhana, dan aman serta dapat diakses oleh
yang berkepentingan sehingga dapat menjadi acuan dalam laporan perkembangan UPSUS SIWAB
setiap harinya. Studi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IB berdasarkan data
iSIKHNAS. Metode yang dipergunakan dalam studi yaitu menghitung nilai Service Per Conception
(S/C) dan Conseption Rate (CR) dengan data yang berasal dari laporan iSIKHNAS nomor 369 dan
253. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukan bahwa nilai S/C yaitu 2,17 dan CR yaitu 45,94 %.
Hal ini menggambarkan bahwa nilai S/C masih tinggi dan nilai CR masih rendah. Studi ini belum
menunjukkan nilai S/C dan CR keseluruhan dari sapi yang di IB. Karena belum semua kegiatan IB
yang dilakukan pemeriksaan kebuntingan dilaporkan melalui iSIKHNAS. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan gambaran nilai S/C dan CR secara keseluruhan dalam kegiatan UPSUS SIWAB di
Kalimantan Barat, semua petugas diwajibkan melaporkan kegiatan IB dan pemeriksaan kebuntingan
melalui iSIKHNAS
Kata kunci : UPSUS SIWAB, Inseminasi Buatan (IB), iSIKHNAS, Service Per Conception (S/C),
Conception Rate (CR)
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
523
iSIKHNAS. iSIKHNAS adalah sistem informasi kesehatan hewan Indonesia
yang mutakhir. Sistem ini menggunakan teknologi sehari-hari dengan cara
yang sederhana namun cerdas untuk mengumpulkan data dari lapangan dan
dengan segera menyediakannya bagi para pemangku kepentingan dalam
bentuk yang bermakna dan dapat segera dimanfaatkan. Prinsip pelaporan
menggunakan iSIKHNAS yaitu real time, sederhana, dan aman serta dapat
diakses oleh yang berkepentingan sehingga dapat menjadi acuan dalam
laporan perkembangan UPSUS SIWAB setiap harinya. Dalam kegiatan IB
dan Pemeriksaan Kebuntingan, iSIKHNAS memberikan peran penting dalam
penyajian data lengkap IB beserta dengan identitas pemilik dan ternaknya.
Menurut Vivi dkk (2014), bahwa variabel IB yang dapat dijadikan tolak
ukur guna mengevaluasi efisiensi reproduksi sapi potong betina yaitu Service
per Conception (S/C) dan Concepton Rate (CR). Berdasarkan hal tersebut
data yang terdapat di iSIKHNAS dapat menjadi sumber informasi untuk
mengevaluasi dan menilai hasil kinerja inseminator dan melihat proporsi
sapi yang bunting di Kalimantan Barat melalui studi evaluasi keberhasilan IB
Program UPSUS SIWAB di Kalimantan Barat berdasarkan data iSIKHNAS
tahun 2017.
TUJUAN
Materi yang digunakan dalam studi ini yaitu data laporan ISIKHNAS
nomor 369 (laporan cache rangkuman inseminasi buatan) dan 253 (laporan
cache pemeriksaan kebuntingan) dengan filter tahun 2017 dan Provinsi
Kalimantan Barat.
524 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kegiatan IB (ekor)
Kabupaten/ Total PKB Bunting
Kota IB lain IB (ekor) (ekor)
IB 1 IB 2 IB 3
(4,5 dst)
Bengkayang 2061 435 106 18 2620 1224 1224
Kapuas Hulu 1442 24 2 1468 1427 1216
Kayong Utara 1219 197 44 11 1471 781 756
Ketapang 2070 209 8 2287 1029 953
Kubu Raya 1399 191 39 8 1637 417 334
Landak 904 119 11 1 1035 202 202
Melawi 756 95 2 1 854 1235 650
Mempawah 1766 745 248 62 2821 1534 1141
Sambas 2654 692 198 59 3603 1636 1296
Sanggau 126 47 7 1 181 897 464
Sekadau 339 56 2 397 266 201
Singkawang 1286 630 277 166 2359 693 648
Sintang 663 51 1 715 769 769
16685 3491 945 327 21448 12110 9854
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
525
Grafik 1. Umur kebuntingan ternak hasil dari PKB
Umur Kebuntingan Ternak (bulan)
1400
1200
1000
800
Ekor
600
400
200
0
Kabupaten/Kota
1 sd 3 4 sd 6 7 sd 9
Berdasarkan data tersebut dilakukan perhitungan S/C dan CR dengan
memformulasikan data kedalam rumus sebagai berikut :
Jumlah IB
S/C =
Jumlah ternak yang bunting
Jumlah
ternak yang bunting
CR = X 100 %
Jumlah ternak yang di IB
Dari
hasil formulasi
dapat diketahui bahwa nilai S/C yaitu 2,17 dan nilai
CR 45,94
%.
PEMBAHASAN
Service per conception (S/C) merupakan angka yang menunjukan jumlah
perkawinan yang dapat menghasilkan suatu kebuntingan. Berdasarkan hasil
perhitungan nilai S/C yaitu 2,17. Sulaksono, dkk (2010) menyatakan bahwa
Angka S/C jika berada pada angka di bawah 2 yang berarti sapi masih dapat
beranak 1 tahun sekali, apabila angka S/C di atas 2 akan menyebabkan
tidak tercapainya jarak beranak yang ideal dan menunjukkan reproduksi
sapi tersebut kurang efisien yang membuat jarak beranak menjadi lama,
sehingga dapat merugikan peternak karena harus mengeluarkan biaya IB
lagi. Sedangkan hasil perhitungan nilai CR yaitu 45,94 %. Berdasarkan hasil
penelitian Ihsan dan Wahjuningsih (2011) nilai rataan angka CR berkisar 64-
65%, angka ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang dilakukan.
Fanani, dkk (2013), menyatakan bahwa CR yang baik mencapai 60-70%.
526 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
yang di PKB, 9.854 ekor ternak bunting (81,37%). Nilai S/C yang masih
tinggi dan CR yang rendah dikarenakan belum semua ternak yang di IB
dilakukan PKB, hal ini dapat dilihat bahwa dari 18.737 ternak yang di IB
hanya 12.110 ekor ternak (64,63%) yang di PKB, berarti ada 35,37 % yang
tidak di PKB atau tidak dilaporkan melalui iSIKHNAS, hal itu disebabkan
antara lain :
1. Kondisi wilayah Kalimantan Barat yang sangat luas dan infrastruktur
dasar masih belum merata di setiap Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat
menjadikan inseminator berpikir ulang untuk melakukan pemeriksaan
kebuntingan ternak pasca IB
2. Dana operasional yang belum sebanding dengan operasional di lapangan
3. Signal yang masih belum merata di semua tempat
4. Pola pemeliharaan ternak yang masih semi intensif dan ekstensif
5. Belum semua peternak paham bahwa ternak yang tidak birahi setelah
di IB, perlu dilakukan pemeriksaan kebuntingan, sehingga tidak
melaporkan kepada petugas.
6. Mayoritas inseminator yang senior masih gagap teknologi sehingga
masih menggunakan sistem manual untuk melaporkan kegiatannya
7. kurangnya sumber daya manusia di setiap Kabupaten/Kota sehingga
beban kerja petugas yang berat dikarenakan petugas juga merangkap
kegiatan prioritas lainnya
8. Beberapa inseminator dari individunya sendiri yang kurang rajin belum
paham format pelaporan melalui iSIKHNAS
9. Sistem iSIKHNAS yang masih sering mengalami gangguan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
527
6. Sistem iSIKHNAS agar terus dikembangkan dan diperbaharui agar
tidak sering mengalami gangguan.
DAFTAR PUSTAKA
Fanani, S., Subagyo , Y.B.P., dan Lutojo. 2013. Kinerja Reproduksi Sapi
Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak,
Kabupaten Ponorogo. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Vivi DS, Nurul I dan Sri W. 2014. SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN
CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL
PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN
SANANKULON KABUPATEN BLITAR. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang.
528 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
FAKTOR PENYEBAB KESEMBUHAN SAPI POTONG YANG
MENGALAMI GANGGUAN REPRODUKSI DI KECAMATAN
NANGGULAN KAB. KULON PROGO TAHUN 2017
Estu Widodo
ABSTRAKS
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap kesembuhan sapi
potong di kecamatan nanggulan yang mengalami gangguan reproduksi. Sebanyak 60 sapi potong
yang mengalami gangguan reproduksi di kecamatan Nanggulan dilakukan pengobatan dan saran
perbaikan manajemen. setiap 2 bulan dilakukan pemantauan dan pengobatan ulangan. Setelah 6 bulan
dianalisa, kesembuhan sebagai variabel dependen (Y), sedangkan faktor ternak, kandang, dan pakan
sebagai variabel independen (X).Analisis yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat dengan
chi square dan odd rafio. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesembuhan sebesar 81,5 %. Faktor
yang berpengaruh terhadap Kesembuhan adalah ternak berasal dar pedukuhan Wiyu (OR=4,295),
Kandang terbuka (OR=6,662), hewan yang diberi pakan tambahan konsentrat (OR=4,627) dan
lndukan yang tidak menyusui (OR=49,138). Sapi potong di kecamatan Nanggulan yang mengalami
gangguan reproduksi mempunyai kemungkinan sembuh lebih baik jika sapi tersebut berada di
pedukuhan Wiyu, di tempat di kandang yang terbuka, diberi makanan tambahan berupa konsentrat
dan sapi indukan tidak dalam kondisi menyusui.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
529
TUJUAN
Data ternak yang diambil meliputi data sapi potong yang mengalami
gangguan reproduksi yang sudah mengalami kesembuhan sebagai variabel
dependen (Y), sedangkan variabel independen adalah Manajemen pakan
(Jenis hijauan yang diberikan, Jenis makanan tambahan), Manajemen
kandang (Jenis kandang, Intensitas cahaya dalam kandang), Manajemen
ternak (Jumlah sapi dalam satu kandang, adanya pejantan dalam satu
kandang,Pemberian obat cacing dalam 6 bulan terakhir) dan Sejarah penyakit
(Pernah keguguran). Pengumpulan variabel independen dilakukan dengan
pengamatan langsung dan wawancara melalui kuisioner terhadap peternak.
Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan dan diolah dengan program statistix
analytical softwere version 7. Analisis deskriptif, Chi square (X2 ) dan odd
ratio (OR) digunakan pada penelitian ini. Uji Chisquare (X2) dipakai untuk
mengetahui asosiasi antara faktor-faktor penyebab dengan tingkat kejadian
penyakit sedangkan OR digunakan untuk menghitung kekuatan asosiasi.
No Variabel Hasil
1 Kesembuhan 1. 44/54 = 81,5%,
2 Asal Ternak 1. Temanggal = 16/54 = 29,6 %
2. Sambiroto = 15/54=27,8 %
3. Cepitan = 9/54 = 16,7 %
4. Wiyu = 14/54 = 25,9 %
3 Kandang terbuka 1. Ya = 35/54 = 64,8 %
2. Tidak = 19/54 = 35,2 %
4 Pakan rumput dan jerami 1. Ya = 37/54 = 68,5%
2. Tidak = 17/54=31,5%
5 Pakan tambahan 1. Ya = 37/54=68,5%
2. Tidak = 17/54= 31,5%
6 Kandang koloni 1. Ya = 21/54= 38,9%
2. Tidak= 33/54 = 61,1%
7 Adanya Pejantan dalam kandang 1. Tidak 54/54=100%
8 Jumlah sapi dalam satu kandang 1. Ya = 2/54=53,7%
Lebih dari satu 2. Tidak = 25/54=46,3%
9 Menyusui 1. Ya = 2/54=3,7%
2. Tidak 45/54=96,3%
10 Pernah diberi obat cacing 1. Ya = 40/54=74,1%
2. Tidak = 14/54=25,9%
11 Jenis sapi 1. PO =25/54=46,3%
2. Limosin = 5/54=9,3%
3. Simental = 24/54=44,4%
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
531
No Variabel Hasil
12 BCS lebih dari 2 1. Ya =48/54=88,9%
2. Tidak = 6/54=11,1%
13 Umur lebih dari 3 tahun 1. Ya = 27/54=50%
2. Tidak = 27/54=50%
No Variabel p-value OR
1 Asal Ternak
a.Temanggal 0,118 2,442
b.Sambiroto 0,339 0,914
c.Cepitan 0,531 0,393
d. Wiyu 0,038* 4,295
2 Kandang terbuka 0,010* 6,662
3 Pakan rumput dan jerami 0,162 1,951
4 Pakan tambahan 0,031* 4,627
5 Kandang koloni 0,936 0,006
6 Adanya Pejantan dalam kandang - -
532 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
No Variabel p-value OR
7 Jumlah sapi dalam satu kandang 0,252 1,311
Lebih dari satu
8 Ternak Yang Tidak Menyusui 0,030* 9,138
9 Pernah diberi obat cacing 0,054 3,704
10 Jenis sapi
a.PO 0,356 0,927
b.Limosin 0,929 0,088
c.Simental 0,309 1,037
11 BCS lebih dari 2 0,322 0,982
12 Umur lebih dari 3 tahun 0,161 1,964
KESIMPULAN
SARAN
534 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
DAFTAR PUSTAKA
Oto M (2002) Cases In Indonesia, Thailand and China and Action Being
Taken In Manual For Diagnosis and treatment of Disorders in Dairy Cattle
Mori Jumachi, march 2002, Japan Livestock Association
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
535
Khodijah, L., R. Zulihar, M. A. Wiryawan dan D. A. Astuti. 2014.
Suplementasi minyak bunga matahari (Helianthus annuus) pada ransum
pra kawin terhadap konsumsi nutrien, penampilan dan karakteristik estrus
domba garut. JITV. 19 (1) : 9-16.
536 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
GAMBARAN HASIL PENANGANAN GANGGUAN
REPRODUKSI PADA PROGRAM UPSUS SIWAB PERIODE
APRIL-JUNI 2017 KABUPATEN KLATEN
Ely Susanti
ABSTRAK
Kabupaten Klaten adalah salah satu kabupaten pendukung dan pelaksana Program Upaya
Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (UPSUS SIWAB) tahun 2017.
Penanganan gangguan reproduksi sapi adalah salah satu kegiatan dalam UPSUS SIWAB. Setiap
kegiatan dalam UPSUS SIWAB diwajibkan untuk dilaporkan melalui iSIKHNAS. Data yang
terekam dalam iSIKHNAS diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan dan
evaluasi kegiatan pelaksanaan UPSUS SIWAB.
Berdasarkan rekaman data iSIKHNAS digunakan untuk mengetahui jenis gangguan reproduksi
yang ditangani dan persentase hasil penanganannya, tren respon inseminasi buatan yang dilaksanakan
setelah penanganan gangguan reproduksi dan persentase kebuntingan pada ternak yang mengalami
gangguan reproduksi di Kabupaten Klaten pada program UPSUS SIWAB 2017.
Data sekunder diperoleh dari laporan iSIKHNAS no. 384 dan 446 yang diunduh pada tanggal
13 Februari 2017 dengan data dasar adalah laporan gangguan reproduksi individu pada bulan April
– Juni 2017 KabupatenKlaten. Data tersebut dianalisa secara diskriptif sederhana menggunakan Ms.
Excel.
Hasil analisis diperoleh persentase ternak sembuh 86%, ternak masih sakit 5% dan ternak tanpa
informasi perkembangan kasus sebanyak 9%, sedangkan tren respon IB tertinggi terjadi pada bulan
Mei dan Agustus sebanyak 218 dan 184 laporan dan sejumlah 13% ternak yang pernah didiagnosa
mengalami gangguan reproduksi telah bunting.
PENDAHULUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
537
Salah satu rangkaian kegiatan penanganan gangguan reproduksi ini
adalah pelaporan melalui iSIKHNAS. Semua kegiatan penanganan gangguan
reproduksi pada UPSUS SIWAB 2017 di Kabupaten Klaten terekam dalam
iSIKHNAS. iSIKHNAS merupakan sistem informasi terkini yang digunakan
oleh jajaran lingkup Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
dan dinas yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan baik tingkat
provinsi maupun kabupaten. Data yang terekam dalam iSIKHNAS dapat
memberikan gambaran berbagai informasi yang kita butuhkan. Untuk
mengetahui gambaran hasil kegiatan penanganan gangguan reproduksi pada
UPSUS SIWAB 2017 di Kabupaten Klaten diperlukan suatu anlisis terhadap
data iSIKHNAS.
TUJUAN
MATERI METODE
Materi
Metode
538 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
4. Analisis diskriptif terhadap data pemeriksaan kebuntingan yang
dilakukan pada ternak yang mengalami gangguan reproduksi untuk
mengetahui ternak yang berhasil bunting.
HASIL
Analisis data kegiatan ini dilakukan dengan data dasar adalah 2582 ID
kasus gangguan reproduksi pada sapi yang terekam pada iSIKHNAS. Kasus
Gangguan reproduksi tersebar di 6 Kecamatan yaitu Kecamatan Jatinom
sebanyak 13 desa, Kecamatan Tulung sebanyak 4 desa, Kecamatan Jogonalan
sebanyak 5 desa, Kecamatan Prambanan sebanyak 2 desa, Kecamatan
Karangnongko sebanyak 3 desa dan Kecamatan Kemalang sebanyak 3 desa.
Jumlah sapi yang mengalami gangguan reproduksi pada masing-masing
desa dapat dilihat pada tabel 1. Spesies ternak yang mengalami gangguan
reproduksi adalah sebanyak 60% sapi simental, 12 % sapi peranakan ongole,
12% sapi perah, 7% sapi limosin dan sisanya adalah sapi brahman, brangus
dan ongole.
Jatinom Jml Tulung Jml Jogonalan Jml Karangnongko Jml Kemalang Jml Prambanan Jml
Bandungan 36 Kemiri 2 Gondangan 8 Jiwan 383 Dompol 275 Cucukan 125
Bengking 52 Mundu 245 Granting 34 Logede 117 Kemalang 323 Sengon 37
Beteng 28 Pomah 1 Joton 29 Ngemplak 125 Keputran 26
Cawan 2 Sedayu 174 Kraguman 1
Gedaren 2 Titang 19
Glagah 5
Kayumas 188
Krajan 32
Mranggen 2
Randulanang 1
Socokangsi 155
Temuireng 1
Tibayan 154
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
539
Tabel 2. Persentase Kasus Gangguan Reproduksi dan Kesembuhannya.
540 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Retensio Secundinarum 8 1 9
Silent Heat 57 1 643 53 754
Sistik ovari 12 12
Vaginitis 4 55 1 60
(blank)
Grand Total 224 2 4 2220 132 2582
90%
80%
70%
60% Perkembangan Kasus Gangrep April-Juni
50%
40%
2017
100% 30%
20% 86%
Persentase Perkembangan Kasus
90% 9% 5%
10% 0% 0%
80%
0%
70% Masih sakit Mati Potong paksa Sembuh Tidak ada
60% informasi
50% Perkembangan Kasus
40%
30%
20%
Gambar 2. Perkembangan kasus gangguan reproduksi.
10%
9%
0% 0%
5%
0%
Masih sakit Mati Potong paksa Sembuh Tidak ada
Setelah diketahui hasil perkembangan kasusnya maka dilanjutkan analisis
informasi
600
IB
400
1155
1200 200 70
2
64
0
1000 Masih sakit Mati Potong paksa Sembuh (blank)
800
600
400
200 70 64
2
0
Masih sakit Mati Potong paksa Sembuh (blank)
Prosiding
Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
541
Gambar 3. Jumlah IB pada sapi yang mengalami gangguan reproduksi.
IB
250
218
200
184
150
133
114 113 107
100 103
72
50 44 50
0 6
IB
Gambar
4. Tren
250 respon
IB
pasca pengobatan gangguan
reproduksi.
218
200
Analisis dilanjutkan dengan menggunakan data
pemeriksaan
184
150
kebuntingan
(PKB)
100
103
untuk
114 mengetahui
113 107jumlah sapi yang berhasil bunting
133
setelah dilakukan
50
pengobatan. Selain itu juga 72 dibandingkan
50
antara jumlah
44
sapi yang telah0
di IB dan jumlah
Sapi yang sapi
di IByang
dan sapi berhasil bunting
yang Bunting
6
(Gambar 5).
Diperoleh informasi bahwa pada sapi yang sembuh telah bunting sebanyak
1400
300 ekor, pada sapi 1200yang masih sakit telah 1155 bunting 13 ekor dan pada sapi
yang tidak ada informasi perkembangan kasusnya telah bunting 11 ekor.
1000
Jumlah Sapi
Gambar 5. Perbandingan antara sapi yang telah di IB dengan sapi yang
800
bunting. 600
400 300
Sapi yang di IB dan sapi yang Bunting
200
1400 70 64
2 13 11
1155
1200 0
IB BUNTING
1000
Masih sakit Mati Potong paksa Tidak Ada Informasi Sembuh
Jumlah Sapi
800
600
400 300
200
70
64
2 13 11
0
IB BUNTING
Masih sakit Mati Potong paksa Tidak Ada Informasi Sembuh
Secara
keseluruhan gambaran persentase hasil penanganan gangguan
reproduksi periode April
–
Juni 2017 adalah sapi
yang mengalami
gangguan
542 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
3000
, 100%
2500 Estrus, 86%
2000
1500 , 50%
1000
500 , 13%
0
Gangrep sembuh (estrus) IB Bunting
Gambar 6. Hasil penanganan gangguan reproduksi.
PEMBAHASAN
Program penanganan gangguan reproduksi UPSUS SIWAB 2017 di
Kabupaten Klaten difokuskan
di enam
kecamatan
yang
memang merupakan
wilayah padat ternak sapi, hal ini berdasarkan data populasi ternak sapi pada
Dinas Pertanian, Ketahanan
Pangan
Dan
Perikanan Kabupaten
Klaten
2016.
Pada saat ini diketahui bahwa jenis spesies sapi yang dominan dipelihara
oleh masyarakat adalah sapi jenis peranakan
simental, peternak berharap
hasil keturunannya akan
diperoleh
sapi dengan
postur
yang besar.
Tiga kasus gangguan reproduksi tertinggi adalah hipofungsi ovari
(55%), silent
heat (29%) dan endometritis (8%). Masalah pada ovarium yang
tidak berkembang
dengan sempurna
dapat
karena
malnutrisi
atau gangguan
genetis. Nutrisi
merupakan
faktor yangberhubungan
dengan fertilitas
seekor hewan. Nutrisi diperlukan untuk berjalannya reproduksi seperti
halnya nutrisi dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh dan pada masa laktasi.
Pada umumnya penanganan pada masalah ini adalah pemberian hormon
gonadotropin terutama FSH dosis tinggi (Putro, P.P. 2009, Stevenson, J.S.
2001). Malnutrisi pada reproduksi menyebabkan hewan menjadi lebih kecil
dari ukuran normal/kerdil, ovarium tidak berkembang normal sehingga terjadi
siklus estrus yang tidak teratur dan fertilitas rendah. Selain energi dan protein
nutrisi lain yang perlu terpenuhi adalah vitamin dan mineral. Kekurangan
vitamin A dapat menyebabkan kelahiran pedhet yang lemah atau bahkan
kematian fetus dan retensi plasenta. Defisiensi vitamin D menyebabkan
siklus estrus yang tidak tentu dan pedhet yang dilahirkan menderita rickets.
Vitamin E dibutuhkan untuk memelihara reproduksi normal, pemberian
vitamin E dan selenium pada sapi bunting dapat menurunkan kejadian
retensi plasenta (Prihatno et al., 2003). Penanganan kasus hipofungsi
ovari dan silent heat sudah sesuai yaitu dengan pemberian premix mineral,
vitamin ADE, dan pemberian hormon Gnrh. Sedangkan kasus endometritis
merupakan salah satu kasus penyebab utama kawin berulang, selain itu juga
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
543
masalah manajemen pemeliharaan peternakan yang masih tradisional juga
menjadi pencetus munculnya endometritis, contohnya adalah rendahnya
kebersihan kandang dan kebersihan ternak (prihatno et al., 2013). Hasil
penanganan masing-masing kasus gangguan reproduksi menunjukkan hasil
yang sangat memuaskan, masing-masing kasus persentase kesembuhannya
diatas 75%, dan total sapi sembuh sebesar 86% dari 2582 ekor yang
mengalami gangguan reproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa metode dan
jenis pengobatan yang diberikan pada ternak sudah tepat. Perkembangan
kasus yang tidak terlaporkan atau yang tidak ada informasinya sejumlah 5%,
hal ini kemungkinan dapat terjadi karena ternak sudah tidak ada atau dijual
sehingga tidak diketahui peerkembangannya, atau memang tidak dilakukan
pemantauan terhadap ternak tersebut.
544 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Setelah dilakukan PKB pada sapi yang mengalami gangguan reproduksi,
sejumlah 300 ekor sapi yang dinyatakan sembuh telah bunting, pada sapi
yang masih sakit telah bunting 13 ekor dan pada sapi yang tidak ada informasi
perkembangan kasusnya telah bunting 11 ekor. Dapat disimpulkan bahwa
data sapi yang masih sakit di dalam iSIKHNAS sebenarnya sudah ada yang
sembuh terbukti dengan hasil PKB yang dinyatakan bunting dan sapi yang
tidak ada informasi perkembangan kasusnya juga sebagian sudah sembuh
karena ada 11 ekor yang bunting. Kurangnya komitmen dalam pelaporan PKB
ke iSIKHNAS mungkin yang menyebabkan kecilnya angka kebuntingan jika
dibanding dengan respon IB. Beberapa kasus gangguan reproduksi tidak bisa
dinyatakan sembuh hanya dengan melihat ternak tersebut estrus kembali,
misalnya kawin berulang, endometritis, gangguan hormonal dan lain-lain.
Faktor kesalahan manajemen seperti jenis lantai kandang dan kebersihan
lingkungan kandang, rendahnya pemahaman siklus estrus dan estrus, tidak
akuratnya deteksi estrus, ketepatan perkawinan, rendahnya nutrisi, dan
lingkungan dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan (Britt et al., 2986,
Windig et al., 2005). Faktor risiko yang berperan terhadap kawin berulang
pada tingkat peternak pada penelitian
Kesimpulan
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
545
Saran
KETERBATASAN
1. Pengelolaan data masih terbatas pada satu sumber data sekunder yaitu
iSIKHNAS, sebaiknya dilakukan juga mengkoleksi data dari sumber
lain yang menjadi data primer.
2. Hasil analisis ini masih dapat dikembangkan dan dianalisis lebih
dalam dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
penanganan gangguan reproduksi.
3. Perlu dilakukan analisis multivariat.
4. Keterbatasan bahan referensi.
DAFTAR PUSTAKA
Britt JH, Schoot RG, Armstrong JD, Whitacre MD. 1986. Determinants
of Estrous Behavior in Lactating Holstein Cows. J. Dairy Science
69:2195-2202.
546 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Putro PP. 2009. Dampak Crossbreeding Terhadap Reproduksi Induk
Turunannya : Hasil Studi Klinis. Lustrum VIII Fakultas Peternakan
UGM. Yogyakarta.
Windig JJ, Calvs MP, Veerkamp RF. 2005. Influence of Herd Environment On
Health And Fertility And Their Relationship With Milk Production. J
Dairy Sci. 88 : 335-47
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
547
DETEKSI KEJADIAN dan PENGENDALIAN
TRYPANOSOMIASIS PADA SAPI BALI di SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Tulisan ini disajikan untuk memberikan informasi tentang kejadian kasus dan mendeteksi penyebab
kematian serta pengendalian dan pengobatan trypanosomiasis pada sapi bali di Sumatera Utara.
Pada awal bulan Agustus tahun 2013, didatangkan bakalan sapi bali dari propinsi Lampung
berjumlah 140 ekor, kematian dimulai dari minggu pertama setelah kedatangan sampai 4 bulan
berjalan dengan kematian mendadak ataupun dengan gejala klinis. Dari hasil pengamatan kasus di
lapangan, gejala klinis mengarah pada penyakit Trypanosomiasis (Surra) dengan diferensial diagnosa
Septicaemia Epizootica (SE), tetapi setiap pemeriksaan organ dengan kultur bakteri selalu negatif
SE, pemeriksaan native ulas darah juga negatif terhadap parasit darah dan atau Trypanosomiasis.
Setelah dilakukan uji biakan biologis pada tikus putih, seluruh sampel yang diambil dari 7 ekor
sapi bali menunjukkan hasil yang positif Trypanosoma pada preparat ulas darah, mikrohematokrit
dan tetes darah. Pengendalian kasus dilakukan dengan kontrol vektor dan isolasi hewan yang sakit,
pengobatan sepenuhnya dilakukan secara individual kepada seluruh hewan dalam kandang dengan
obat trypanocidal (Diminazene aceturate dan Phenazone) dengan dosis 7,87 mg/KgBB, pengobatan
ulang dilakukan pada hewan yang masih sakit, pengobatan menunjukkan keberhasilan setelah
satu bulan dari pengobatan dengan didukung pengendalian vektor, peningkatan sanitasi kandang,
pemberian pakan yang baik dan multivitamin.
PENDAHULUAN
Surra adalah salah satu dari penyakit hewan menular strategis yang telah
ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dengan adanya keputusan Menteri
Pertanian No.4026/kpts/OT.140/4/2013 tentang penetapan jenis penyakit
hewan menular strategis (Kepmentan 4026, 2013). Penetapan tersebut tentu
memberikan kepastian bahwa penyakit tersebut telah menjadi perhatian
yang prioritas dalam melakukan tindakan pencegahan, pengendalian
dan pengobatan dilapangan, sebagai implementasi dan amanat dari UU
No.18 2009 (2009) tentang peternakan dan kesehatan hewan, seperti yang
dimaksud bahwa kesehatan hewan merupakan segala urusan yang berkaitan
dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan,
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit,
medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan peralatan kesehatan
548 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
hewan serta keamanan pakan. Hal ini bertujuan bahwan ternak atau hewan
dijamin kesehatannya dari penyakit saat hewan yang akan dikonsumsi
masyarakat masih berada dipeternakan.
Pada awal bulan Agustus tahun 2013, didatangkan bakalan sapi bali
dari propinsi Lampung berjumlah 140 ekor dengan tujuan Desa Pertapakan,
Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai pada Unit Integrasi
Sawit Sapi PT. Perkebunan Nusantara III (USSPI, 2013). Sapi ditempatkan
pada satu kandang yang telah dipersiapkan dengan baik, seiring berjalannya
waktu kematian dimulai dari minggu pertama setelah kedatangan, dugaan
pertama kali kemungkinan sapi dalam keadaan stress dan kelelahan dalam
perjalanan, tetapi kematian terus terjadi sampai 4 bulan berjalan dengan
kematian mendadak ataupun dengan gejala klinis.
TUJUAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
549
MATERI DAN METODA
2. Pengambilan Sampel
Pengambilan Beberapa Organ
Pengambilan sampel untuk diagnosa laboratorium diambil dari beberapa
sapi yang mengalami kematian dengan mendadak ataupun yang
menunjukkan gejala klinis sebelumnya. Adapun sampel yang diambil
adalah bagian-bagian organ yang mengalami lesi dari organ hati, paru-
paru, ginjal, jantung dan limpa yang dikirim ke Balai Veteriner Medan
dengan kondisi dingin.
3. Diagnosa Laboratorium
Kultur Bakteri pada Organ Sampel
Isolasi dan identifikasi kuman dari sampel yang dikirim dilakukan
pemupukan pada media agar ( Agar Darah, Dektrosa Salt Agar,
Nutrient Agar, MacConkey Agar) dengan tujuan untuk uji morphologi
terhadap bentuk, ukuran dan sifat-sifat kuman pada media-media
tersebut. Selanjutnya apabila ditemukan morphologi yang menciri maka
dilakukan pengecatan gram untuk melihat kuman termasuk gram negatif
atau positif. Kemudian dilakukan uji biokimiawi kuman antara lain;
SIM, H2S, oksidasi, fermentasi, glukosa, laktosa, dektrosa, urease test,
dll.
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
551
HASIL
Dari gejala klinis yang ditemukan tersebut dapat diarahkan pada penyakit
Trypanosomiasis (surra) dengan differensial diagnosa penyakit Septicaemia
Epizootica (SE), sehingga pemeriksaan sampel yang diambil di lapangan
dilakukan pengujian di laboratorium diarahkan kepada penyakit tersebut.
Di bawah ini disajikan data kerugian fisik dari kematian ternak yang
disebabkan oleh trypanosomiasis selama periode kejadian penyakit tersebut
yang cukup lama sebelum dilakukan peneguhan diagnosa, dan sesudah
pengobatan
Isolasi Bakteri
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
553
Uji Biologik pada Tikus Putih
Diagnosa
Lama terhadap
No Sapi Tikus Isolasi
Inkubasi Parasit
Darah
Tikus 1 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
1 Sapi 1 Tikus 2 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Negatif
Tikus 3 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 4 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
2 Sapi 2 Tikus 5 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 7 hari Mati
Tikus 6 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 7 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
3 Sapi 3 Tikus 8 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 9 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 10 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Negatif
4 Sapi 4 Tikus 11 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 12 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 13 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
5 Sapi 5 Tikus 14 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 15 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 16 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 6 hari Mati
6 Sapi 6 Tikus 17 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 18 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 19 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
7 Sapi 7 Tikus 20 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 21 Darah Antikoagulan 0,3 ml secara IP 9 hari Positif
Tikus 1 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
Kontrol
8 Tikus 2 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
Negatif 1
Tikus 3 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
554 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Diagnosa
Lama terhadap
No Sapi Tikus Isolasi
Inkubasi Parasit
Darah
Tikus 4 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
Kontrol
9 Tikus 5 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
Negatif 2
Tikus 6 Normal tanpa Perlakuan 9 hari Negatif
PEMBAHASAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
555
Seiring dengan pengiriman sampel ke Balai Veteriner Medan untuk
konfirmasi laboratorium, juga dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit
Jembrana melalui PCR pada awal Oktober 2013 dengan hasil negatif, setelah
itu dilakukan pengobatan pada seluruh ternak sapi bali dengan antibiotik dan
multivitamin secara intramuscular pada pertengahan oktober 2013, tetapi
setelah pengobatan tersebut tidak menunjukkan perkembangan kesehatan
sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian ternak.
Pemeriksaan parasit darah 6 ekor sapi dari ulas darah per Oktober 2013
dan pemeriksaan SE untuk 16 organ sampel Agustus sampai Oktober 2013,
menunjukkan hasil negatif pada parasit darah dan SE, untuk negatif parasit
darah mungkin saja terjadi karena jumlah parasit yang sedikit dalam darah
dan lapangan pandang yang luas pada pengamatan mikroskopik, hal ini
sesuai OIE (2012), pada infeksi Trypanosoma evansi kronis jumlah parasit
dalam darah sedikit, isolasi parasit dengan tikus direkomendasikan untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan. Infeksi Trypanosoma evansi pada sapi
dan kerbau biasanya bersifat kronik (dengan jumlah parasit sangat rendah)
dan hal ini sulit dideteksi pada ulas darah (Partoutomo et al. 1995). Oleh
karena itu dilakukan pengambilan sampel kembali pada sapi-sapi yang
dicurigai secara klinis untuk uji biologik pada tikus putih.
556 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding
Setelah dilakukan uji biakan biologis pada tikus putih, seluruh
sampel yang diambil dari 7 ekor sapi bali menunjukkan hasil yang positif
Trypanosoma pada preparat ulas darah tipis, dengan metode mikrohematokrit
dan tetes darah langsung.
KESIMPULAN
SARAN
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 02018
557
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA
Unit Sawit Sapi. 2013. Data Rekording Monitoring Harian Pakan Sapi
Breeding dan Fattening. Sumatera Utara. Indonesia
558 Penyidikan Penyakit Hewan Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah (RATEKPIL)
dan Surveilans Kesehatan Hewan Tahun 2018 Prosiding