RINGKASAN
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan berkah-Nya, karena
penulis dapat melaksanakan praktik kerja lapangan dan menyusun laporan ini tepat
pada waktunya. Laporan yang dibuat berjudul “Sistem Perkandangan Owa Jawa di
Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Jawa Bandung Jawa Barat”.
Selama pelaksanaan PKL dan penyusunan laporan ini, penulis banyak
mendapatkan bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr
Drh Yudi, MSi selaku dosen pembimbing PKL 1. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada drh Ida Masnur selaku pembimbing lapangan serta para staf di Pusat
Rehabilitasi Satwa Primata Jawa Bandung Jawa Barat. Ucapan terima kasih juga
diberikan kepada semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan moral
dan material kepada penulis untuk pelaksanaan PKL dan menyelesaikan
laporannya.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca sesuai dengan harapan.
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Owa jawa atau silver gibbon (Hylobates moloch) merupakan satwa primata
endemik dari pulau jawa. Owa jawa merupakan hewan yang hidup secara arboreal
yang melakukan sebagian besar aktivitas hariannya di atas pohon dan jarang turun
ke tanah. Hewan ini bergerak dengan bergelantung atau berayun (brachiation) dari
pohon ke pohon menggunakan kedua tangan untuk mencari makan atau
menghindari predator (Supriatna dan Wahyono 2000).
Owa jawa merupakan salah satu satwa yang terancam punah sehingga
dilindungi oleh pemerintah. Saat ini owa jawa dimasukkan ke dalam spesies hewan
yang terancam punah (endangered) oleh International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN 2008). Penelitian Iskandar et al. (2010) dan
Wedana et al. (2010) yang dilakukan di beberapa lansekap prioritas di Jawa
memperkirakan jumlah owa jawa adalah sekitar 2.140-5.310 individu. Pemerintah
Indonesia menyatakan owa jawa sebagai satwa yang dilindungi berdasarkan
Peraturan Perlindungan Binatang Liar No.266 tahun 1931, kemudian diperkuat
dengan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Upaya konservasi dan rehabilitasi diperlukan untuk meningkatkan populasi
owa jawa. Upaya konservasi dan rehabilitasi meliputi konservasi in-situ maupun
ex-situ. Salah satu tempat konservasi ex-situ yang berfokus pada peningkatan
populasi owa jawa di alam liar yaitu Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Jawa
(PRSPJ) yang berlokasi di kaki Gunung Patuha Jl. Raya Rancabali Km 12, Desa
Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. PRSPJ
adalah suatu lembaga konservasi rehabilitasi primata jawa seperti owa jawa, lutung
dan surili. Primata di PRSPJ merupakan hewan hasil sitaan dari masyarakat atau
hewan peliharaan yang diberikan secara sukarela oleh masyarakat memiliki sifat
dan latar belakang yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan hewan menjadi jinak
dan bergantung kepada manusia sehingga sulit untuk dilepasliarkan. PRSPJ sebagai
tempat rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan sifat alami hewan menjadi liar
kembali, agar hewan dapat bertahan hidup di alam liar dan dapat dilepaskan
kembali ke habitat aslinya.
Perkandangan di PRSPJ sebagai proses rehabilitasi dilengkapi dengan
sarana yang digunakan satwa untuk melakukan aktvitas alaminya seperti brakhiasi
yang berguna dalam keberhasilan proses rehabilitasi. Menurut Puspita (2017)
kesesuaian kandang dengan habitat asli sangat mempengaruhi kesejahteraan satwa
dalam suatu lembaga konservasi ex-situ, dan kandang harus disesuaikan dengan
aspek-aspek ekologis satwa di alam sehingga proses rehabilitasi satwa lebih
maksimal.
1.2 Tujuan
rehabilitasi owa jawa di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Jawa Bandung Jawa
Barat.
2 METODE KAJIAN
Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dengan melaksanakan pengamatan secara langsung dalam
pelaksanaan kegiatan, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil diskusi,
wawancara atau pemaparan dengan petugas kandang dan dokter hewan, serta studi
literatur sebagai acuan. Aspek perkandangan akan dianalisis secara deskriptif
dengan menguraikan dan menjelaskan mengenai gambaran umum dari hasil
pengamatan secara langsung dan dibandingkan dengan referensi.
jawa merupakan hewan monogami yaitu hanya memiliki satu pasangan. Owa jawa
hidup dalam kelompok kecil, yang terdiri dari 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa
dengan anak 1-2 ekor, sehingga biasanya hidup dalam kelompok kecil berjumlah
3-4 individu (Supriatna dan Wahyono 2000). Owa jawa yang sudah dewasa akan
memisahkan diri dari kelompok keluarga dan mencari pasangan untuk membentuk
kelompok baru. Umumnya owa jawa di alam liar dapat hidup hingga umur 35 tahun
(Supriatna dan Wahyono 2000).
kandang dibuat sesuai dengan ukuran dan perilaku satwa sehingga satwa dapat
tumbuh dengan normal, kandang harus mampu mencegah adanya kemungkinan
timbulnya penyakit, kandang harus dilengkapi dengan sarana salinitas yang baik,
kandang dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan peneliti dan perawat satwa
untuk mengelola satwa, dan kandang harus dibuat berdasarkan standar baku yang
direkomendasikan.
3 KEADAAN UMUM
relatif sulit untuk berhasil dipasangkan dalam waktu lama, sehingga relatif sulit
dalam keberhasilan saat dipasangkan dalam kondisi di rehabilitasi.
3.2 Lokasi
Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Jawa terletak di kaki Gunung Patuha Jl.
Raya Rancabali, Km 12, Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat. Seperti ditunjukan pada Gambar 1, lokasi ini berjarak sekitar
42 km dari Kota Bandung.
Gambar 1 Lokasi Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Jawa Bandung Jawa Barat
Visi dari Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Jawa adalah melestarikan spesies
primata endemik Pulau Jawa dan habitatnya dengan dukungan semua pihak. Misi
dari PRSPJ yaitu mendukung upaya Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam untuk mengelola satwa primata hasil sitaan dan penyerahan masyarakat untuk
direhabilitasi sehingga satwa primata tersebut nantinya siap untuk dilepasliarkan
kembali ke habitat alaminya. PRSPJ sebagai tempat mengelola satwa primata yang
tidak bisa di lepasliarkan ke habitat alaminya karena alasan tertentu, seperti cacat
fisik yang berat. PRSPJ sebagai wahana penelitian dan mendukung kesempatan
mahasiswa dari dalam dan luar negeri untuk melakukan penelitian terkait primata
jawa.
6
Direktur
Bagian
Administrasi
Sumber daya manusia yang terdapat di PRSPJ pada bulan Juli 2018
berjumlah 16 orang, terdiri dari 1 orang direktur, 1 orang bagian administrasi, 2
orang dokter hewan, 1 orang head keeper, 4 orang keeper, 2 orang tim maintenance
dan 6 orang tim monitoring.
a b
Gambar 3 Kandang karantina di PRSPJ berbentuk kubus (a) dan lorong
penghubung kandang diberi sekat (b)
a b
Gambar 4 Bagian luar kandang karantina dikelilingi pagar bambu (a) dan pagar
kawat listrik (b)
10
a b
Gambar 5 Kandang karantina bambu yang terdiri dari kandang bermain (a) dan
kandang di dalam ruangan (b)
ruangan memiliki ukuran 1.5 × 1.5 × 1.5 meter dengan material kandang yaitu besi
siku sebagai kerangka dan papan triplek sebagai dinding dengan pintu terbuat dari
ram besi (Gambar 6b). Ukuran kandang di dalam ruangan belum sesuai dengan
rekomendasi Campbell (2008) yang menyatakan ukuran kandang tidur disarankan
2 × 1.6 × 2.4 meter. Tempat pakan berada diluar dari pintu ram besi dan terdapat
lubang untuk hewan mengambil makanan.
a b
Gambar 6 Kandang perawatan terdiri dari kandang bermain (a) dan
kandang di dalam ruangan (b)
Taman Safari Indonesia ditutupi dengan asbes plastik sebagai pengganti daun-daun.
Berbeda dengan Rahman (2011) yang menjelaskan pada bagian atap kandang owa
jawa di Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor tidak ditutupi dengan
pelindung, tetapi terlindungi oleh pepohonan disekitar kandang. Lantai kandang
holding dibuat dari plasteran semen dengan permukaan lantai sedikit miring agar
memudahkan dalam sanitasi kandang dan tidak terdapat genangan air. Cocks (2000)
menjelaskan lantai kandang harus terbuat dari beton dan harus dibuat miring ke
saluran pembuangan sehingga tidak ada genangan air di dalam kandang. Dharma
(2015) juga menjelaskan bahwa bagian lantai kandang yang terbuat dari plesteran
semen akan lebih mudah dibersihkan. Tabel 1 menunjukan perbedaan dalam
penggunaan bahan kandang di PRSPJ dengan Taman Safari Indonesia dan Pusat
Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor menurut Dharma (2015).
Tabel 1 Perbandingan bahan kandang owa jawa di PRSPJ, TSI dan PSSP-IPB
Uraian bahan Kandang holding Kandang TSI Kandang PSSP-IPB
kandang PRSPJ
Atap 100% ram kawat 50% ram kawat dan 100% ram kawat
wiremesh dan asbes seng 50% asbes plastik
Lantai 100% semen peluran 100% semen peluran 100% tanah
Dinding 100% ram kawat 30% batubata dan 100% ram kawat
wiremesh 70% ram kawat
Tiang 100% besi 100% besi 100% besi
Pintu 50% besi dan 50% ram 100% besi 50% besi dan 50%
kawat wiremesh ram kawat
a b
Gambar 8 Kandang OTE berupa kandang holding berbentuk panggung (a) dan
lorong penghubung sebagai kandang jebak (b)
14
yang dialiri listrik dan secure gate (Gambar 9b). Secure gate memiliki 2 pintu yang
berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam kandang main dan mencegah hewan kabur
jika salah satu pintu terbuka. Terdapat boks listrik di dalam secure gate yang
berfungsi sebagai pengaturan untuk sistem aliran pagar listrik.
a b
Gambar 9 Elemen kandang OTE berupa instalasi bambu untuk brakhiasi (a) dan
secure gate sebagai pintu masuk ke dalam kandang bermain (b)
Lantai kandang dibuat dari plasteran semen dan dibuat sedikit miring agar
tidak ada genangan air didalam kandang untuk memudahkan dalam sanitasi
kandang, dan makanan yang jatuh masih bisa di makan oleh hewan. Cocks (2000)
menjelaskan lantai kandang harus terbuat dari beton dan harus dibuat miring ke
saluran pembuangan sehingga tidak ada genangan air di dalam kandang, Dharma
(2015) menambahkan bahwa bagian lantai kandang yang terbuat dari plesteran
semen akan lebih mudah dibersihkan. Elemen di dalam kandang terdiri dari bambu
dan kayu untuk brakhiasi, boks kayu sebagai tempat tidur, tempat makan dan
minum yang diletakkan di sisi luar kandang.
Bagian atap kandang terbuat dari ram kawat sehingga owa jawa masih bisa
melakukan brakhiasi. Cocks (2000) menyatakan atap kandang idealnya terbuat dari
ram kawat sehingga owa dapat melakukan brakhiasi. Kandang holding juga
dilengkapi dengan pagar listrik yang berguna sebagai pengaman tambahan (Gambar
10b) karena kandang jaring tidak dibuat seperti panggung sebagai pencegah
predator mendekati kandang. Pagar listirik dibuat mengelilingi kandang holding
dan memiliki tinggi 1 meter. Material pagar listrik terbuat dari besi siku sebagai
tiang pagar dan kawat elektrik ELACME® sebagai kawat yang dialiri listrik dengan
daya 1.2 joule. Kandang holding dan kandang bermain dihubungkan oleh lorong
dengan panjang 3 meter, lebar 60 centimeter, dan tinggi 60 centimeter. Lorong
berfungsi sebagai jalan penghubung dari kandang holding ke kandang bermain, dan
berguna sebagai kandang jebak. Sekat pada lorong dibuka pada pagi hari agar owa
jawa dapat beraktivitas di kandang bermain, dan sekat ditutup pada sore hari setelah
owa jawa masuk ke dalam kandang holding, sekat lorong juga berguna untuk
membantu dalam penjebakan (Gambar 10C).
a b
c
Gambar 10 Kandang jaring berupa kandang holding tidak dibuat panggung (a),
dengan pagar listrik sebagai keamanan tambahan (b), dan lorong
penghubung sebagai kandang jebak (c)
17
a b
Gambar 11 Instalasi bambu sebagai sarana brakhiasi (a) dan tumbuhan
dibiarkan tinggi agar hewan tidak turun ke tanah (b)
habituasi selama 14-30 hari, dan tidak boleh lebih dari 30 hari karena dapat
menyebabkan owa jawa stres. Observasi dan pemberian pakan dilakukan oleh tim
monitoring dan dilaporkan kepada head keeper setiap hari.
Kandang habituasi merupakan kandang yang dibuat di area yang akan
menjadi tempat pelepasan owa jawa, kandang habituasi merupakan kandang
holding dengan ukuran kandang 5 × 5 × 5 meter sama seperti kandang holding di
sistem perkandangan sosialisasi. Ukuran kandang belum sesuai dengan
rekomendasi Campbell (2008) yakni 6 × 6 × 6 meter. Material kandang yang
digunakan berupa besi siku sebagai kerangka dan jaring nilon tebal sebagai dinding
kandang (Gambar 12a). Elemen didalam kandang berupa bambu dan kayu untuk
aktivitas brakhiasi serta boks kayu sebagai tempat tidur. Kandang habituasi dibuat
seperti panggung dengan tinggi 1 meter dari permukaan tanah yang berfungsi agar
owa jawa tidak menginjak tanah serta sebagai pengaman dari predator. Atap
kandang ditutupi oleh bilik bambu yang berguna sebagai pelindung dari sengatan
matahari dan hujan, lantai kandang berupa tanah dan tidak dilapisi oleh plesteran
semen. Lorong digunakan sebagai kandang jebak, serta sebagai tempat menaruh
makanan seperti ditunjukkan pada Gambar 12b.
a b
Gambar 12 Dinding kandang habituasi terbuat dari jaring nilon (a) dan lorong
sebagai kandang jebak (b)
dilapisi dengan ram kawat untuk mencegah owa menyerang dengan gigitan selama
di dalam kandang.
a b
Gambar 14 Kandang transportasi dari Inggris terbuat dari papan kayu (a) dan
bagian dalam kandang dilapisi ram kawat (b)
20
5.1 Simpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
[AWA] Animal Welfare Act. 1985. General Guidelines for the Management of
Protected Wildlife in Captivity in South Australia.
Campbell C. 2008. Manual Pemeliharaan Owa Jawa (Hylobates moloch). Ario A,
penerjemah; Campbell C, editor. Jakarta: Conservation Internasional
Indonesia. Terjemahan dari: Husbandry Manual for the Javan Gibbon
(Hylobates moloch).
Cheyne SM, Campbell C, Payne KL. 2012. Purposed guidlines for insitu gibbon
rescue, rehabilitation and reintroduction. International Zoo Yb 46 (2012): 1-
17.
Cocks L. 2000. Husbandry Manual for the Javan Gibbon (Hylobates moloch). Perth
Zoo.
Dharma AP. 2015. Analisis tingkah laku dan manajemen penangkaran owa jawa
(Hylobates moloch Audebert, 1798).
Iskandar E, Kyes R, Sinaga W, Reindrasari S, Rahmuddin, Tedjosiswojo K, Sultan
K. 2010. Population and Habitat Analysis of the Javan Gibbon (Hylobates
moloch) in West and Central Java, Indonesia. National Geographic
Conservation Trust.
21
LAMPIRAN
23
RIWAYAT HIDUP