Ensefalitis
Ensefalitis
A. PENDAHULUAN
Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk
sekunder. Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan
sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama
terjadi di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak.
B. ETIOLOGI
Penyebab ensefalitis biasanya bersifat infektif tetapi bisa juga yang non- infektif
seperti pada proses dimielinisasi pada Acute disseminated encephalitis. Ensefalitis
bisa disebabkan oleh virus, bakteria, parasit, fungus dan riketsia. Agen virus,
seperti virus HSV tipe 1 dan 2 (hampir secara eksklusif pada neonatus), EBV,
virus campak (PIE dan SSPE), virus gondok, dan virus rubella, yang menyebar
melalui kontak orang-ke-orang. Virus herpes manusia juga dapat menjadi agen
penyebab. CDC telah mengkonfirmasi bahwa virus West Nile dapat ditularkan
melalui transplantasi organ dan melalui transfusi darah. Vektor hewan penting
termasuk nyamuk, kutu (arbovirus), dan mamalia seperti rabies.
C. KLASIFIKASI
1. A. ENSEFALITIS SUPURATIVA
2. ENSEFALITIS VIRUS
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
i. Virus RNA
o Paramikso virus : virus parotitis, virus morbili
o Rabdovirus : virus rabies
o Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B,
virus dengue)
o Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie
A,B,echovirus)
o Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
ii. Virus DNA
o Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks,
sitomegalivirus,
o virus Epstein-barr
o Poxvirus : variola, vaksinia
o Retrovirus : AIDS
Manifestasi klinis
Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea,
kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk,
hemiparesis dan paralysis bulbaris.
Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok :
1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus
kelompok herpes simpleks, virus influensa, ECHO, Coxsackie
dan virus arbo
2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya
3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul
sebagai komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal seperti
rubeola, varisela, herpes zoster, parotitis epidemika,
mononucleosis infeksiosa dan vaksinasi.
Menurut statistik dari 214 ensefalitis,54% (115 orang) dari penderitanya ialah
anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks (31%)
yang disusul oleh virus ECHO (17%). Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis
primer yang disebabkan oleh virus yang dikenal mencakup 19%. Ensefalitis primer
dengan penyebab yang tidak diketahui dan ensefalitis para- infeksiosa masing-masing
mencakup 40% dan 41% dari semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki.
Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela,
dan sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan dengan tegas.
Neonatus masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas
itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi
dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan
hidung. Infeksi-infeksi tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak
memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada
partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes
genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia. Ensefalitis merupakan
sebagian dari manifestasi viremia yang juga menimbulkan peradangan dan nekrosis di
hepar dan glandula adrenalis.
Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks
merupakan manifestasi reaktivitasi dari infeksi yang laten. Dalam hal tersebut virus
herpes simpleks berdiam didalam jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin
digangglion Gasseri dan hanya ensefalitis saja yang bangkit.
Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea
serta infark iskemik dengan infiltrasi limfositer sekitar pembuluh darah intraserebral.
Di dalam nukleus sel saraf terdapat “inclusion body” yang khas bagi virus herpes
simpleks.
Ensefalitis Arbo-virus
Ciri khas ensefalitis primer arbo-virus ialah perjalanan penyakit yang bifasik.
Pada gelombang pertama gambaran penyakitnya menyerupai influensa yang dapat
berlangsung 4-5 hari. Sesudahnya penderita mereka sudah sembuh. Pada minggu
ketiga demam dapat timbul kembali. Dan demam ini merupakan gejala pendahulu
bangkitnya manifestasi neurologik, seperti sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi
dan “acute organic brain syndrome”
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat menyebabkan
Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang terdiri atas sebukan
sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh darah di dalam jaringan
otak. Didalam pembuluh darah yang terkena akan terjadi trombositosis. Gejala
gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin
kesadaranturun.
D. PATOFISIOLOGI 2
Virus / Bakteri
Mengenai CNS
Ensefalitis
- gangguan bicara
- kelemahan gerak
BB turun
- gangguan sensorik
motorik
nutrisi kurang
Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel virus
dihancurkan. Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan rumah
untuk membuat protein yang menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic
acid virus berkontak langsung dengan sitoplasma sel tuan rumah. Karena
kontak ini sitoplasma dan nukleus sel tuan rumah membuat nucleic acid yang
sejenis dengan nucleic acid virus. Proses ini dinamakan replikasi
Karena proses replikasi berjalan terus, maka sel tuan rumah dapat
dihancurkan. Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular.
Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah
manifestasi-manifestasi toksemia yang kemudian disususl oleh manifestasli
lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri dari sakit kepala, demam, dan
lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan
susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan motorik (gangguan
penglihatan, gangguan berbicara,gannguan pendengaran dan kelemahan anggota
gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang mengakibatkan
nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan.
E. DIAGNOSIS
Anamnesa
Penegakan diagnosa ensefalitis dimulai dengan proses anamnesa secara lengkap
mengenai adanya riwayat terpapar dengan sumber infeksi, status immunisasi
gejala klinis yang diderita, riwayat menderita gejala yang sama sebelumnya serta
ada tidak nya faktor resiko yang menyertai.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Lumbal pungsi adalah prosedur sering dilakukan di departemen gawat darurat untuk
mendapatkan informasi tentang cairan cerebrospinal (CSF). Meskipun biasanya
digunakan untuk tujuan diagnostik untuk menyingkirkan potensi kondisi yang
mengancam jiwa seperti meningitis bakteri atau perdarahan subarachnoid, pungsi
lumbal juga kadang-kadang dilakukan untuk alasan terapeutik, seperti pengobatan
pseudotumor cerebri. Analisis cairan CSF juga dapat membantu dalam diagnosis
berbagai kondisi lain, seperti penyakit demielinasi dan meningitis carcinomatous.
Pungsi lumbal harus dilakukan hanya setelah pemeriksaan neurologis namun tidak
pernah menunda intervensi berpotensi menyelamatkan nyawa seperti antibiotik dan
steroid untuk pasien dengan dicurigai meningitis bakteri.
Kontraindikasi mutlak untuk pungsi lumbal adalah adanya kulit yang terinfeksi atas
situs entri jarum dan adanya tekanan yang tidak sama antara kompartemen
supratentorial dan infratentorial. Yang terakhir ini biasanya diringkas oleh temuan
karakteristik berikut pada otak tomografi (CT):
Kehilangan pergeseran garis tengah posterior
hilangnya suprakiasmatik dan basilar
massa fossa posterior
kehilangan superior cerebellar cistern
kehilangan quadrigeminal plate cistern
Kontraindikasi relatif terhadap pungsi lumbal meliputi:
peningkatan tekanan intrakranial ICP
Koagulopati
Abses otak
Pemeriksaan rutin dari CSF mencakup pengamatan visual warna dan kejelasan dan tes
untuk glukosa, protein, laktat, laktat dehidrogenase, jumlah sel darah merah, jumlah
sel darah putih dengan diferensial, serologi sifilis (tes antibodi menunjukkan sifilis),
Gram stain dan bakteri budaya. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan
tergantung pada hasil tes awal dan diagnosis dicurigai.
Nilai normal:
CSF glucose: 50 - 80 mg/100 mL (atau lebih besar dari 2/3 kadar gula dalam
darah)
CSF cell count: 0 - 5 sel darah putih (semua mononuclear), dan tiada sel darah
merah
Glukosa: CSF glukosa biasanya sekitar dua-pertiga dari glukosa plasma puasa.
Sebuah tingkat glukosa di bawah 40 mg / dL adalah signifikan dan terjadi pada
meningitis bakteri dan jamur dan keganasan.
Protein: Tingkat total protein dalam CSF biasanya sangat rendah, dan albumin
membuat sampai sekitar twothirds dari total. Tinggi tingkat yang terlihat dalam
berbagai kondisi termasuk meningitis bakteri dan jamur, multiple sclerosis, tumor,
perdarahan subarachnoid, dan tap traumatis.
Laktat dehidrogenase: Enzim ini meningkat pada meningitis bakteri dan jamur,
keganasan, dan perdarahan subarachnoid.
Sel darah putih (WBC count): Jumlah sel darah putih dalam CSF sangat rendah,
biasanya memerlukan jumlah pengguna WBC. Peningkatan leukosit dapat terjadi
dalam berbagai kondisi termasuk infeksi (virus, bakteri, jamur, dan parasit), alergi,
leukemia, multiple sclerosis, perdarahan, tekan traumatis, ensefalitis, dan sindrom
Guillain-Barré. Perbedaan WBC membantu untuk membedakan banyak penyebab.
Misalnya, infeksi virus biasanya berhubungan dengan limfosit meningkat, sementara
infeksi bakteri dan jamur terkait dengan peningkatan leukosit polimorfonuklear
(neutrofil). Diferensial juga dapat mengungkapkan eosinofil berhubungan dengan
alergi dan shunt ventrikel; makrofag dengan bakteri yang tertelan (menunjukkan
meningitis), sel darah merah (menunjukkan perdarahan), atau lipid (menandakan
infark serebral mungkin); blasts (sel belum matang) yang mengindikasikan leukemia,
dan karakteristik sel-sel ganas dari jaringan asal. Sekitar 50% kanker metastatik yang
menyusup sistem saraf pusat dan sekitar 10% dari tumor sistem saraf pusat akan
menumpahkan sel ke dalam CSF.
Sel darah merah (RBC count): Meskipun tidak biasanya ditemukan dalam CSF, sel
darah merah akan muncul setiap kali perdarahan telah terjadi. Merah sel dalam
subarachnoid hemorrhage sinyal CSF, stroke, atau tekan traumatis. Karena sel darah
putih dapat masuk CSF dalam menanggapi infeksi lokal, peradangan, atau
perdarahan, jumlah RBC digunakan untuk memperbaiki jumlah WBC sehingga
mencerminkan kondisi selain perdarahan atau tekan traumatis. Hal ini dilakukan
dengan sel darah merah dan jumlah leukosit dalam darah dan CSF. Rasio sel darah
merah dalam CSF ke darah dikalikan dengan jumlah darah WBC. Nilai ini dikurangi
dari CSF WBC count untuk menghilangkan leukosit berasal dari perdarahan atau tap
traumatis.
Gram stain: Pewarnaan Gram dilakukan pada sedimen dari CSF dan positif sekitar
setidaknya 60% dari kasus meningitis bakteri. Budaya dilakukan untuk bakteri
aerobik dan anaerobik. Selain itu, noda lainnya (Pewarnaan kultur misalnya untuk
Mycobacterium tuberculosis, kultur jamur dan tes identifikasi cepat [tes untuk antigen
bakteri dan jamur]) dapat dilakukan secara sistematis.
Serologi sifilis: Hal ini melibatkan pengujian untuk antibodi yang menunjukkan
neurosifilis. Antibodi fluorescent treponemal penyerapan (FTA-ABS) tes sering
digunakan dan positif pada orang dengan sifilis aktif dan diobati. Tes ini digunakan
bersama dengan tes VDRL untuk antibodi nontreponema, positif pada paling dengan
sifilis aktif, tetapi negatif dalam kasus dirawat.
Test Nonne
Percobaan ini juga dikenal dengan nama test Nonne-Apelt atau test Ross- Jones,
menggunakan larutan jenuh amoniumsulfat sebagai reagens (ammonium sulfat 80 gr :
aquadest 100 ml : saring sebelum memakainya). Test seperti dilakukan di bawah ini
terutama menguji kadar globulin dalam cairan otak.
Catatan :
Seperti juga test Pandy, test Nonne ini sering dilakukan sebagai bedside test pada
waktu mengambil cairan otak dengan lumbal pungsi. Dalam keadaan normal hasil test
ini negative, artinya : tidak terjadi kekeruhan pada perbatasan. Semakin tinggi kadar
globulin semakin tebal cincin keruh yang terjadi. Laporan hasil test ini sebagai
negative atau positif saja. Test Nonne memakai lebih banyak bahan dari test Pandy,
tetapi lebih bermakna dari test Pandy karena dalam keadaan normal test ini berhasil
negative : sama sekali tidak ada kekeruhan pada batas cairan.
Test Pandy
Reagen Pandy, yaitu larutan jenuh fenol dalam air (phenolum liquefactum 10 ml :
aquadest 90 ml : simpan beberapa hari dalam lemari pengeram 37 oC dengan sering
dikocok-kocok) bereaksi dengan globulin dan dengan albumin.
Catatan :
Test Pandy ini mudah dapat dilakukan pada waktu melaukan punksi dan memang
sering dijalankam demikian sebagai bedside test. Dalam keadaan normal tidak
akan terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang sangat ringan berupa kabut halus.
Sedemikian tinggi kadar protein, semakin keruh hasil reaksi ini yang selalu harus
segera dinilai setelah pencampuran LCS dengan reagen ini. Tidak ada kekeruhan
atau kekeruhan yang sangat halus berupa kabut menandakan hasil reaksi yang
negatif.
Elektroensefalografi
Prosedur pemeriksaan ini merupakan suatu cara untuk mengukur aktivitas gelombang
listrik dari otak. Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk mendiagnosa adanya
gangguan kejang. Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktivitas
lambat bilateral). Bila terdapat tanda klinis fokal yang ditunjang dengan gambaran
EEG atau CT scan, dapat dilakukan biopsi otak di daerah yang bersangkutan. Bila
tidak ada tanda klinis fokal, biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis
yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes simplex.
Diantaranya CT Scan dan MRI yang dapat mendeteksi adanya pembengkakan otak.
Jika pemeriksaan imaging memiliki tanda-tanda dan gejala yang menjurus ke
ensefalitis maka lumbal fungsi harus dilakukan untuk melihat apakah terdapat
peningkatan tekanan intrakranial.
Biopsi otak
Biopsi otak jarang dilakukan, kecuali untuk mendiagnosa adanya herpes simpleks
ensefalitis yang jika tidak mungkin dilakukan metode DNA atau CT Scan dan MRI
Pemeriksaan darah
F. PENATALAKSANAAN
Dengan pengecualian dari ensefalitis herpes simplex dan varicella-zoster, bentuk
ensefalitis virus tidak dapat diobati. Tujuan utama adalah untuk mendiagnosa pasien
secepat mungkin sehingga mereka menerima obat yang tepat untuk mengobati gejala.
Hal ini sangat penting untuk menurunkan demam dan meringankan tekanan yang
disebabkan oleh pembengkakan otak.
Pasien dengan ensefalitis yang sangat parah beresiko bagi komplikasi sistemik
termasuk shock, oksigen rendah, tekanan darah rendah, dan kadar natrium rendah.
Setiap komplikasi yang mengancam nyawa harus diatasi segera dengan perawatan
yang tepat.
Penderita dengan kemungkinan ensefalitis harus dirawat inap sampai
menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah
mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka,
pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah. Tata laksana yang dikerjakan
sebagai berikut :
I. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis
biasanya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang
sering terjadi, perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk
infus selama 3 menit.
II. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S
(tergantung umur) dan pemberian oksigen.
III. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh
anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam
3 dosis.
IV. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan
intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat
diulang setiap 8-12 jam
V. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak
(ensefalitis bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral.
Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan
Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari.
Jika terjadi toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu
juga ketika terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan
pengecualian penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh
herpes simpleks, maka pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan
empiris yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan serta menopang
setiap sistem organ yang terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang
dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif
VI. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh.
VII. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
H. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu
dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama
perawatan. Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung pada
etiologi penyakit dan usia penderita. Bayi biasanya mengalami penyulit dan gejala
sisa yang berat. Ensefalitis yang disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih
buruk daripada prognosis virus entero.
Kematian karena ensefalitis masih tinggi berkisar antara 35-50 %. Dari penderita yang
hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa. Penderita yang sembuh tanpa
kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih menderita
retardasi mental, epilepsi dan masalah tingkah laku.
DAFTAR PUSTAKA
4. Behrman RE, Vaughan, V.C, Ensefalitis Viral dalam Nelson Ilmu Kesehatan
Anak, edisi 12, Bag 2, EGC, Jakarta: 42-48.