Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

PERBEDAAN PMK 58 TAHUN 2014 DENGAN PMK 72


TAHUN 2016

Yulia Rahma 20162047101125 (91270258)


Dinny Aprilia Udayani 201620471011234 (91270257)
Yanik Tisnawati 201620471011243 (91270252)
Prima Windiana Destyaningrum 201620471011230 (9170254)
Erisa Islami 201620471011231 (91270255)
Hanan 201620471011232 (91270253)
PENDAHULUAN
 Pasal 1
Tenaga Teknis Kefarmasiaan PMK 58
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis
Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Tenaga Teknis Kefarmasiaan PMK 72
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis
Farmasi.
Pembahasan:
Pada PMK 58 disebutkan tenaga teknis kefarmasian terdiri atas Sarjana Farmasi, ahli madya
farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker, tetapi pada PMK 72
tenaga menengah farmasi/asisten apoteker tidak termasuk dalam kategori tenaga teknis
kefarmasian.

 Tugas Kepala BPOM PMK 58


Tidak disebutkan
Tugas Kepala BPOM PMK 72
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat Kepala BPOM
adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.

 Penjelasan tentang pasal 9 PMK 58


Tidak disebutkan
Penjelasan tentang pasal 9 PMK 72
Pasal 10
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi dan kepala
dinas kesehatan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1), khusus terkait
dengan pengawasan sediaan farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BPOM dapat melakukan
pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap pengelolaan sediaan farmasi di
instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan farmasi.

Pasal 11
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan pengawasan yang dilakukan oleh
Kepala BPOM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaporkan secara berkala
kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 12
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Keputusan tentang permenkes sebelumnya PMK 58


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku
Keputusan tentang permenkes sebelumnya PMK 72
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1223) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 34 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1168), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pembahasan:
Dengan berlakunyaa permenkes 72, maka permenkes 58 dicabut dqan dinyatakan tidak
berlaku
BAB I
 Keputusan tentang permenkes sebelumnya PMK 58
- Latar belakang pada paragraf dua disebutkan bahwa :
“Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi,
mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait Obat. Tuntutan pasien dan masyarakat
akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari
paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma
baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan
Kefarmasian (pharmaceutical care)”
Keputusan tentang permenkes sebelumnya PMK 72
- Tidak disebutkan
Pembahasan :
“Drug oriented adalah sistem pelayanan kefarmasian yang berfokus pada pelayanan
obat. Sedangkan “patient oriented adalah sistem pelayanan yang berfokus kepada pasien,
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Apoteker sekarang dituntut untuk meningatkan kompetensi yang meliputi
pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut
antara lain adalah melaksakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat, dan hasil
akhir yang sesuai harapan, serta terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses
pekerjaan kefarmasian, sehingga dalam menjalankan praktik harus sesuai dengan standart
yang ada. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya
dalam penetapan terapi untuk mendukung penggunaan obat yanag rasional.

 Keputusan tentang permenkes sebelumnya PMK 58


- Pada paragraf terakhir penetapan Standar Pelayanan Kefarmasian dengan Peraturan
Menteri Kesehatan, sekaligus meninjau kembali Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Keputusan tentang permenkes sebelumnya PMK 72
- Pada PMK 72, Standar Pelayanan Kefarmasian meninjau kembali Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
BAB II
 Penyimpanan PMK 58
Tidak di sebutkan
 Penyimpanan PMK 72
Komponen yang harus di perlukan saat penyimpanan antara lain:
1). Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk menyimpan barang lainnya yang
menyebabkan kontaminasi
Pembahasan :
Kontaminan adalah pengotor atau zat-zat atau bahan yang menyebabkan kontaminasi
Kontaminasi adalah kotoran yang tidak diinginkan (kimia, mikrobiologi, benda asing) ke
dalam bahan awal.
Kontaminasi silang adalah pencemaran suatu bahan atau produk dengan bahan atau produk
lain.
Tempat penyimpanan obat harus dipisahkan dengan barang yang menyebabkan kontaminasi
penting dilakukan untuk menjamin obat tidak mengalami perubahan kimia, fisika, maupun
biologi yang nantinya akan mempengaruhi kualitas sediaan. Barang yang dimungkinkan akan
mengkontaminasi barang lainnya antara misalnya Bahan-Bahan Berbahaya (B3) contoh
germisep glukonate, formalin, chloral hydrate, reagen alkohol, perhidrol, glycerol chlorida,
dll.

 Pemusnahan PMK 58
Penarikan sediaan farmasi, alkes dan bahan medis habis pakai dilakukan terhadap produk
yang izin edarnya dicabut oleh BPOM dilakukan oleh BPOM atau pabrik asal. Rumah sakit
harus punya sistem catatan penarikan terhadap kegiatan penarikan.
 Pemusnahan PMK 72
Tidak disebutkan.

Pembahasan : Pencabutan izin edar obat oleh BPOM pernah dilakukan terhadap produk bius
Buvanest Spinal produksi Kalbe Farma karena terbukti tidak memenuhi aspek CPOB. Jika
tidak sesuai, industri harus turut melakkukan investigasi disamping juga pemerintah dan
BPOM sebagai pengawas.Dalam pedoman CPOB obat yang diproduksi harus sesuai dengan
tujuan penggunaannya. Sementara pada kasus ini, Buvanest yang seharusnya berisi
buvivacaine ternyata berisi asam traneksamat. Setelah dilakukan investigasi, BPOM
kemudian mencabut izin edar Buvanest dipasaran. Rumah sakit yang menggunakan Buvanest
kemudian melaporkan dan mendokumentasikan semua proses terkait pengembalian dan
pemusnahan obat tersebut.

BAB III
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi :
 PMK 72
1). Pengkajian dan pelayanan resep
2). Penelusuran riwayat penggunaan obat
3). Rekonsiliasi obat
4). Pelayanan informasi obat
5). Konseling
6). Visite
7). Pemantauan terapi obat
8). MESO.
PMK 58
1). Pengkajian dan pelayanan resep
2). Rekonsiliasi obat
3). Pelayanan informasi obat
4). Konseling
5). Visite
6). Pemantauan terapi obat
7). MESO.

Pembahasan :
Pada PMK 58 tidak disebutkan point 2 pada PMK 72 yaitu poin penelusuran riwayat
penggunaan obat. Penelusuran riwayat penggunaan obat seharusnya dilakukan oleh farmasi
klinkik di Rumah Sakit untuk meminimalisir terjadinya double terapi antara obat yang akan
diberikan oleh dokter dengan obat yang pernah dikonsumsi oleh pasien. Hal ini juga untuk
meminimalisir kemungkinan terjadinya interaksi obat antara obat yang pernah atau sedang
dikonsumsi oleh pasien dengan obat yang akan diberikan oleh dokter.
BAB IV
 Pada permenkes 58 disebutkan ”Instalasi Farmasi Rumah Sakit” sedangkan pada
PMK 72 lebih dipersingkat “instalasi farmasi”.
Pembahasan : Instalasi Farmasi atau yang diperjelas menjadi Instalasi Farmasi
Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu departemen atau unit farmasi di Rumah Sakit yang
dikepalai oleh seorang apoteker yang telah memiliki pengalaan kerja minimal 3 tahun
yang bertanggung jawab seluruh Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

 Fasilitas utama dalam kegiatan pelayanan di Instalasi Farmasi diantaranya terdiri dari
ruang distribusi:
Permenkes 58
ruang distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai terdiri
dari distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai rawat
jalan (apotek rawat jalan) dan rawat inap (satelit farmasi).
Permenkes 72
Ruang distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai terdiri
dari distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai rawat
jalan (apotek rawat jalan) dan rawat inap (satelit farmasi).

 Ruang Produksi poin Daerah Pengelolaan dan Pengemasan


Permenkes 58:
persyaratan ruang steril dan non steril harus memenuhi kriteria Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB) untuk:
a). Ventilasi ruangan
b). Suhu
c). Kelembapan
d). Intensitas cahaya
Pemasangan instalasi harus sesuai kriteria CPOB untuk
a). Pipa saluran udara
b). Lampu
c). Kabel dan peralatan listrik.
Permenkes 72:
persyaratan ruang produksi dan ruang peracikan harus memenuhi kriteria sesuai
dengan ketentuan cara produksi atau peracikan obat di rumah sakit. Rumah sakit yang
memproduksi sediaan parenteral steril dan / atau dan sediaan radiofarma harus
memenuhi cara pembuatan obat yang baik (CPOB)

Pembahasan : Produksi Rumah Sakit adalah kegiatan membuat, merubah bentuk, dan
pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non steril untuk memenuhi kebutuhan
Rumah Sakit. Produksi dilaksanakan IFRS bila obat tersebut tidak diperdagangkan secara
komersial atau jika diproduksi sendiri akan lebih menguntungkan.

Anda mungkin juga menyukai