Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit


kardiovaskular, secara global merupakan penyebab utama peningkatan
mortalitas kardiovaskular, kematian mendadak, stroke, penyakit jantung
koroner, gagal jantung, fibrilasi atrium, penyakit arteri perifer, dan
insufisiensi ginjal. Hipertensi mempengaruhi sekitar 25% orang dewasa
di seluruh dunia dan diperkirakan menyebabkan lebih dari tujuh juta
kematian setiap tahun dan sekitar 13% dari jumlah total kematian di
seluruh dunia.1
Hipertensi resisten (HR) merupakan faktor risiko utama dari
berbagai penyakit sehingga terjadi peningkatan kejadian penyakit jantung
iskemik, gagal jantung, kejadian serebrovaskular, dan disfungsi ginjal.
Hipertensi dikatakan resisten terhadap pengobatan ketika strategi terapi
yang mencakup modifikasi gaya hidup yang tepat ditambah penggunaan
diuretik dan dua obat antihipertensi lain dari kelas yang berbeda pada
dosis yang memadai (tapi tidak harus termasuk antagonis reseptor
mineralokortikoid) gagal untuk menurunkan angka tekanan darah ke
<140/90mmHg. Lebih jauh, prevalensi hipertensi yang tidak terkontrol
juga meningkat, meskipun terjadi kemajuan dalam farmakoterapi. Pasien
dengan pengobatan hipertensi resisten (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg)
meskipun telah menggunakan ≥ 3 obat antihipertensi, termasuk diuretik,
sering memiliki faktor risiko tinggi untuk kejadian penyakit jantung dan
akibatnya beresiko lebih tinggi mengalami kerusakan organ serta
morbiditas kardiovaskular. Penyebab hipertensi resisten bervariasi seperti
hipertensi white-coat, ketidakpatuhan terhadap terapi obat, dan pilihan
obat atau dosis yang tidak tepat, maka estimasi proporsi pasien dengan
rentang dirawat karena hipertensi 5-16%.1,2
Definisi di atas tidak berlaku untuk pasien yang baru saja
didiagnosis hipertensi dan/atau belum menerima pengobatan yang sesuai
terlepas dari tingkat tekanan darah. Selain itu, HR tidak identik dengan

1
hipertensi tidak terkontrol, yang mencakup semua pasien hipertensi tidak
terkontrol dengan pengobatan, yaitu mereka yang menerima rejimen
pengobatan yang tidak memadai, tingkat kepatuhan yang rendah,
hipertensi sekunder yang tidak terdeteksi dan mereka yang benar-benar
resisten terhadap pengobatan. Dengan definisi ini, pasien dengan HR
dapat mencapai kontrol tekanan darah dengan dosis penuh 4 atau lebih
obat antihipertensi.2,3

Pasien dengan HR berada pada risiko tinggi untuk terjadinya


kerusakan organ target seperti hipertrofi ventrikel kiri/left ventricular
hypertrophy (LVH), gagal jantung, infark miokard, stroke, retinopati,
mikroalbuminuria dan penyakit ginjal kronik (PGK), dibandingkan pasien
hipertensi terkontrol. Mengingat hal tersebut maka identifikasi dan
pengobatan pasien HR penting dalam pencegahan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular. Selain itu, pasien dengan HR mengalami
peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
dibandingkan dengan pasien hipertensi terkontrol atau pseudoresisten.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prevalensi
Prevalensi pasti HR tidak diketahui, meskipun meningkatnya jumlah
studi klinis pada HR dalam dekade terakhir. Beberapa studi menduga
prevalensi HR sekitar 5% sampai 50% di praktek umum, atau lebih
tinggi di klinik nefrologi, termasuk pasien-pasien dengan PGK.
Prevalensi HR pada populasi umum sulit untuk ditentukan secara akurat,
tergantung pada populasi dan laporan-laporan yang berkisar dari 5%
sampai 30%. Prevalensi HR diperkirakan akan semakin meningkat
karena meningkatnya harapan hidup dan prevalensi faktor-faktor yang
umumnya terkait dengan HR seperti obesitas, diabetes, dan PGK.5

2.2 Etiologi
Hipertensi resisten dapat dibagi menjadi dua kategori utama: false HR,
dan true HR. Prevalensi false HR tampaknya jauh lebih tinggi dari true
HR.5
 False Hipertensi Resisten
Penyebab penting false HR adalah ketidakpatuhan pasien dalam
memperbaiki pola hidup atau penggunaan obat antihipertensi. Sejumlah
pasien menghentikan pengobatan antihipertensi mungkin karena berbagai
alasan, seperti efek samping dan biaya obat-obatan, perawatan yang
kurang konsisten dan berkesinambungan, kurang kuatnya motivasi
dokter, tidak memahami instruksi yang diberikan, dan hambatan sosial
budaya. Selain itu, dokter juga mungkin tidak patuh dan gagal untuk
mengikuti panduan pengobatan hipertensi. Saat pengukuran tekanan
darah, manset harus cukup besar sehingga udara mengelilingi setidaknya
80% dari lingkar lengan atas dan meluas paling sedikit dua pertiga
panjangnya.5

Hasil pengukuran tekanan darah dapat berlebihan ketika manset yang


digunakan terlalu kecil untuk lengan. Sekitar 20-25% pasien- pasien

3
dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg memiliki tekanan darah yang
normal pada pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-
ABPM). Hipertensi office atau white coat ini harus dicurigai pada pasien-
pasien yang selama pengobatan menunjukkan tanda-tanda hipotensi
ortostatik dan pada pasien dengan hipertensi kronis tanpa kerusakan
organ target.5
 True Hipertensi Resisten
HR dapat disebabkan oleh penyebab sekunder yang berpotensi dapat
disembuhkan, seperti stenosis arteri renal/renal artery stenosis (RAS) dan
feokromositoma. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aldosteronisme
primer/primary aldosteronism (PA) lebih sering terjadi pada pasien-pasien
hipertensi, dengan prevalensi sekitar 20% pada pasien- pasien hipertensi
resisten.5
Tabel 1. Sejumlah penyebab true HR

► Penyebab sekunder hipertensi, seperti:


● Renal arteri stenosis
● Penyakit parenkim ginjal
● Pheochromocytoma
● Aldosteronisme primer
● Tumor sistem saraf pusat
● Koarktasio aorta
● Penyakit tiroid
► Obstructive sleep apnea (OSA)
► Volume overload
● Insufisiensi ginjal progresif
● Asupan garam berlebihan
● Terapi diuretik tidak adekuat
► Hipertensi diinduksi obat
● Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS), kokain, amfetamin,
obat terlarang lainnya
● Agen-agen simpatomimetik, hormon kontrasepsi oral,
siklosporin, takrolimus
● Erythropoietin, kortikosteroid, liquorice, senyawa herbal
(ephedra, ma huang)
► Kondisi terkait gaya hidup
● Obesitas
● Asupan alcohol berlebihan
Kelebihan volume cairan tubuh akibat asupan garam berlebih,
terapi diuretika tidak memadai, penurunan fungsi ginjal progresif juga
4
berhubungan dengan HR. Selain itu, sejumlah obat - obatan seperti
OAINS, kokain, amfetamin, simpatomimetik, kontrasepsi oral,
siklosporin, takrolimus, erhythropoietin, kortikosteroid, liquorice, dan
beberapa senyawa herbal (ephedra) dapat langsung meningkatkan
tekanan darah atau menurunkan efektivitas obat-obat antihipertensi.5

2.3 Faktor Risiko Hipertensi

Hipertensi muncul sebagai hasil interaksi antara hereditas dengan


faktor lingkungan. Faktor-faktor risiko dari hipertensi antara lain umur,
jenis kelamin, riwayat keluarga, ras, stress (psikologi, sosial, pekerjaan),
kelas sosial, konsumsi alkohol berlebihan, konsumsi kopi yang
berlebihan, merokok, konsumsi garam yang berlebihan, dan obesitas.
Hipertensi dibedakan menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat
diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Berikut penjelasannya :

 Faktor risiko yang tidak dapat diubah


 Umur
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Semakin bertambah
usia, kemungkinan terjadinya hipertensi semakin besar. Pada
golongan umur di bawah 40 tahun angka prevalensi hipertensi
umumnya masih dibawah 10%, tetapi usia diatas 50 tahun
prevalensinya mencapai 20% atau lebih, sehingga merupakan
masalah yang serius pada golongan usia lanjut. Pada umur lanjut,
hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah
sistolik. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun.
Tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55 − 60 tahun,
kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis.
Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan
oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, yang terutama
menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik tersebut.
 Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana
pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita,

5
dengan rasio sekitar 2,29 untuk kenaikan tekanan darah sistolik dan
3,76 untuk kenaikan tekanan darah diastolik. Pria diduga memiliki gaya
hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan
dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi
pada wanita tinggi. Bahkan setelah umur 65 tahun, terjadinya hipertensi
pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh
faktor hormonal.
Pengaruh jenis kelamin terhadap hipertensi antara lain terjadi melalui
kadar hormon estrogen yang bervariasi menurut umur. Pada masa remaja,
tekanan darah pria cenderung lebih tinggi daripada wanita. Perbedaan ini
terlihat paling jelas pada usia dewasa muda dan usia pertengahan. Semakin
tua, perbedaan tersebut makin menyempit bahkan cenderung menjadi
terbalik.
 Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan)
juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi
primer (esensial). Faktor genetik juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan
lain, yang kemudian menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Faktor
genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin
membran sel.
Bila kedua orang tua menderita hipertensi maka sekitar 45% turun ke
anak- anaknya dan bila salah satu orang tua yang menderita hipertensi maka
sekitar 30% turun ke anak-anaknya. Anak dari orang tua yang menderita
hipertensi memiliki risiko untuk menderita hipertensi sebesar 2 kali
daripada anak dari orang tua yang tidak menderita hipertensi. Ada dua
tanda potensial pada anak-anak dari orang tua yang menderita hipertensi.
Menurut Zinner (1978) yang pertama adalah ekskresi enzim kallikrein pada
urin, yang merupakan bagian dari mekanisme vasodepressor yang mungkin
terlibat dalam menjaga tekanan darah tetap rendah. Menurut Edmondson
(1975), tanda yang kedua adalah kerusakan pada mekanisme transpor yang
mempertahankan perbedaan normal antara sodium dan potassium di luar
dan dalam sel tubuh.

6
 Faktor Risiko Yang Dapat Diubah
 Kegemukan (Obesitas)
Kegemukan atau obesitas adalah persentase abnormalitas lemak yang
dinyatakan dalam IMT yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi
badan kuadrat dalam meter. Obesitas atau kegemukan adalah kata yang
digunakan untuk menunjukkan adanya penumpukan lemak tubuh yang
melebihi batas normal. Penumpukan lemak tubuh yang berlebihan dapat
terlihat dengan mudah. Akan tetapi perlu disepakati suatu batasan untuk
menentukan apakah seseorang dikatakan menderita obesitas atau tidak,
yaitu dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan. Kaitan erat
antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan
dalam beberapa studi. Berat badan dan IMT berkolerasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Orang yang obesitas mempunyai peningkatan risiko untuk berkembang
menjadi masalah kesehatan yang serius, salah satunya hipertensi. Obesitas
meningkatkan risiko hipertensi 2 − 6 kali lebih besar daripada berat badan
normal. Setiap peningkatan 10 kg berat badan akan meningkatkan TDS 2- 3
mmHg dan TDD 1 − 3 mmHg. Penurunan berat badan bisa menurunkan
tekanan darah antara 5 – 20 mmHg per 10 kg berat yang berkurang.
Penurunan berat badan berhubungan dengan penurunan tekanan darah baik
sistolik maupun diastolik. Obesitas berhubungan dengan peningkatan kadar
kolesterol LDL, penurunan kadar kolesterol HDL, dan peningkatan kadar
trigliserida. IMT berkorelasi positif dengan kadar kolesterol total,
penurunan berat badan akan menurunkan kadar kolesterol total.
Penentuan obesitas pada orang dewasa dapat dilakukan melalui
pengukuran berat badan ideal, pengukuran persentase lemak tubuh, dan
pengukuran IMT. Nilai IMT dihitung menurut rumus berat badan (kg) /
tinggi badan (m2).

7
Tabel 2. Klasifikasi IMT Menurut WHO

Tabel 3. Batas Ambang IMT Di Indonesia

 Psikososial dan Stress


Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya interaksi
antara individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk
mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber
daya (biologi, psikologi, sosial) yang ada pada diri seseorang. Peningkatan
tekanan darah lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan
stress emosional yang tinggi. Stress atau ketegangan jiwa dapat
merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan
memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan
darah meningkat. Jika stress berlangsung lebih lama, tubuh akan berusaha
mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau
perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau
penyakit maag. Dalam penelitian Framingham bagi wanita berumur 45 −
64 tahun, jumlah faktor psikososial seperti keadaan tegang,
ketidakcocokan perkawinan, tekanan ekonomi, stress harian, mobilitas
pekerjaan, gejala ansietas dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa
hal tersebut berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan
manifestasi klinik penyakit kardiovaskuler apapun. Menurut Light dan
Obrist (1980), bukti bahwa stress psikologis sebagai penyebab utama
8
hipertensi masih sangat kecil dan tidak menyakinkan, tetapi terus
berkembang dan menjadi lebih kuat.
 Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang
dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan proses
aterosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Merokok juga dapat
meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke
otot-otot jantung. Pada penderita tekanan darah tinggi, merokok dapat
semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.
Merokok meningkatkan kecenderungan sel-sel darah untuk menggumpal
dalam pembuluhnya dan melekat pada lapisan dalam pembuluh darah.
Merokok dapat menurunkan jumlah HDL (High Density Lipoprotein) atau
“kolesterol baik”. Nikotin dalam rokok dapat meningkatkan denyut
jantung dan tekanan darah dengan variasi mekanisme sebagai berikut :
1. Merangsang pelepasan norepinefrin melalui saraf adrenergic
dan meningkatkan kadar katekolamin yang dikeluarkan dari
medulla adrenal.
2. Merangsang kemoreseptor di carotid dan aortic bodies, yang
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.
3. Bereaksi langsung pada miokardium untuk mengeluarkan efek
positif inotropik dan kronotropik.

Menurut Friedman dan Siegelaub (1980), walaupun nikotin dan


merokok meningkatkan tekanan darah secara akut, hipertensi sepertinya
tidak lebih umum terjadi diantara perokok, dan ketika orang berhenti
merokok tekanan darahnya berubah sedikit. Menurut Khosla dan Lowe
(1972), hal ini mungkin berhubungan dengan fakta bahwa berat badan
perokok lebih ringan 10 sampai 20 pon dibandingkan dengan non perokok
dengan jenis kelamin, usia dan tinggi badan yang sama. Menurut Blitzer et
al (1977), ketika berhenti merokok, berat badan seringkali meningkat.
Penurunan tekanan darah dari ketiadaan nikotin dan peningkatan tekanan
darah dari peningkatan berat, seperti seimbang satu sama lain pada
9
kebanyakan orang sehingga tekanan darah berubah sedikit ketika berhenti
merokok. Di lain pihak, menurut Doll dan Peto (1976) kematian karena
hipertensi biasa terjadi pada perokok. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Isles dan Bloxham (1979), insidens hipertensi malignan
paling besar terjadi pada perokok yang hipertensi dibandingkan dengan
non perokok yang hipertensi.
 Olahraga
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Olahraga secara teratur dan
terukur dapat menyerap atau menghilangkan endapan kolesterol pada
pembuluh darah nadi. Namun, bukan sembarang olahraga, melainkan
olahraga aerobik, berupa latihan yang menggerakkan semua sendi dan otot,
misalnya jalan, jogging, bersepeda, berenang. Olahraga aerobik seharusnya
dilakukan secara teratur, seminggu 3 − 4 kali. Takaran latihan juga perlu
diperhatikan, yaitu harus memenuhi target denyut nadi. Dianjurkan untuk
dapat mencapai 85% dari denyut nadi maksimal sewaktu berlatih. Denyut
nadi maksimal seseorang adalah 220 dikurangi usia.
Berbagai penelitian membuktikan, bahwa ternyata tekanan darah
tinggi yang ringan dapat ditanggulangi tanpa obat, hanya dengan
melakukan olahraga secara teratur. Tekanan darah tinggi ternyata cukup
responsif terhadap latihan-latihan olahraga. Penelitian yang dilakukan oleh
Robert Cade dari Universitas Florida, bahwa hampir seratus persen dari
sejumlah orang yang menderita tekanan darah tinggi, ternyata tekanan
darahnya turun setelah tiga bulan berlatih olahraga secara teratur dengan
takaran yang cukup. Menurut JNC 8, aktivitas fisik aerobik yang
dilakukan secara teratur seperti jalan cepat (setidaknya 30 menit sehari)
dapat menurunkan tekanan darah sebanyak 4 − 9 mmHg. WHO
merekomendasikan orang dewasa setidaknya melakukan aktivitas fisik
sedang selama 30 menit sehari seperti berjalan, bersepeda, mengerjakan
pekerjaan rumah, berkebun, berdansa atau menaiki tangga, dll. Wood
(1977) mendemonstrasikan bahwa orang-orang yang secara fisik aktif
memiliki level kolesterol HDL dan rasio HDL/LDL lebih tinggi

10
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak aktif secara fisik.
 Konsumsi Alkohol Berlebihan
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel
darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan
darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan
darah dan asupan alkohol, dan diantaranya melaporkan bahwa efek
terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol
sekitar 2 − 3 gelas ukuran standar setiap harinya. Konsumsi alkohol yang
berlebihan, 2 ons atau lebih sehari, telah ditemukan berhubungan dengan
prevalens hipertensi yang tinggi.29 Pembatasan konsumsi alkohol tidak
lebih dari 2 gelas per hari untuk pria dan tidak lebih dari 1 gelas per hari
untuk wanita dan orang-orang dengan berat badan lebih ringan, dapat
menurunkan tekanan darah sebesar 2 − 4 mmHg.
 Konsumsi Garam Berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik
cairan diluar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga meningkatkan volume
dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial)
terjadi respons penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan
garam. Pada masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang,
ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat
asupan garam sekitar 7 − 8 gram tekanan darah rata-rata lebih tinggi.
Setiap penurunan masukan Na 100 mmol per hari berpengaruh terhadap
penurunan TDS 10 mmHg dan setiap peningkatan sekresi Na urin 100
mmol per hari berpengaruh terhadap penurunan TDS 3,7 mmHg dan TDD
2 mmHg. Pengaturan masukan garam merupakan metode pengendalian
hipertensi yang penting di samping obat antihipertensi.
 Hiperlipidemia/ Hiperkolesterolemia
Hiperlipidemia adalah kelainan metabolisme lipid (lemak) yang
ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol
LDL dan atau penurunan kadar kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol

11
merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang
mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga
tekanan darah meningkat. Kolesterol HDL mempunyai pengaruh besar
terhadap kejadian hipertensi, yang memicu atherogenesis dengan
mempercepat pengeluaran kolesterol jaringan. Terbukti bahwa kolesterol
serum total berdampak terhadap kejadian hipertensi , karena kolesterol
serum yang tinggi adalah salah satu penyebab utama aterosklerosis.

Tabel 4. Batasan Kadar Lipid/lemak Dalam Darah

2.4 Patofisiologi
Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan tekanan
darah, dan gangguan mekanisme ini mungkin memainkan peran kunci
terjadinya hipertensi. Di antara faktor - faktor lain, seperti faktor genetik,
aktivasi system saraf simpatik/sympathetic nervous system (SNS) dan sistem
reninangiotensin - aldosteron, asupan garam berlebih serta gangguan
antara vasokonstriktor dan vasodilator telah terlibat dalam patofisiologi
hipertensi. Walaupun peran faktor di atas dalam patogenesis hipertensi
telah diketahui, keterlibatan faktor-faktor ini dalam menyebabkan HR
belum begitu diketahui secara menyeluruh.6
Faktor prediktor terkuat kurangnya kontrol tekanan darah adalah
usia tua, tekanan darah awal yang tinggi, obesitas, konsumsi garam
berlebihan dan PGK. Telah diketahui hubungan antara penuaan dan
aktivasi SNS, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa seluruh aktivitas
saraf simpatik tubuh meningkat dengan penuaan dan indeks aktivitas

12
simpatis terutama muscle sympathetic nerve activity lebih terkait dengan
tekanan darah pada orang tua.6

Selain penuaan, obesitas, hiperaldosteronisme dan OSA


merupakan karakteristik HR. Studi kohort pasien dengan HR, indeks
massa tubuh rata-rata lebih dari 32 kg/m2 dan prevalensi
hiperaldosteronisme sekitar 20%, sedangkan HR memiliki prevalensi
yang sangat tinggi pada pasien-pasien dengan OSA. Selain itu, diantara
subyek HR, hiperaldosteronisme lebih sering terjadi pada pasien yang
didiagnosis dengan OSA dibandingkan pasien yang berisiko rendah
untuk OSA. 6
Data-data yang ada bahwa OSA, hiperaldosteronisme dan obesitas
tidak hanya merupakan komorbiditas umum pada HR tetapi kondisi ini
juga berinteraksi dalam proses terjadinya HR. Meskipun mekanisme
yang menghubungkan kondisi ini dengan HR tidak sepenuhnya dapat
dijelaskan, peningkatan aktivitas SNS mungkin merupakan kondisi
terpenting yang mendasari terjadinya HR. 6

Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi Resisten

Jalur patofisiologi yang diusulkan untuk aktivasi SNS dan


pengembangan RH.Kelebihan obesitas, OSA dan aldosteron yang meliputi
suatu wilayah besar dari mosaik fenotip RH dan yang berhubungan dengan
13
peningkatan aktivitas SNS, melalui beberapa mekanisme. ALDO: Aldosteron
excess/aldosteron berlebih, OSA: Obstructive sleep apnea/apnea tidur
obstruktif, RAA: Renin- Angiostenin-Aldosteron System activation, RH: Resistant
hypertension/hipertensi- resisten, SNS: Sympathetic nervous system hyperactivity/
Sistem saraf simpatik hiperaktif. 6
Data klinis dan eksperimen saat ini menunjukkan dampak dari
aktivasi SNS, yaitu resistensi insulin, adipokines, disfungsi endotel,
siklik hipoksemia intermiten, efek aldosteron pada sistem saraf pusat,
kemoreseptor, dan disregulasi baroreseptor. 6

2.4 Evaluasi Pasien


Evaluasi pasien dengan HR harus bertujuan untuk membedakan HR
dari pseudoresistensi, mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi
menyebabkan HR, kemungkinan penyebab sekunder, tingkat kerusakan
organ target, dan mencari faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya.
Hipertensi resisten tidak jarang dikaitkan dengan kondisi medis lainnya,
dan evaluasi pasien harus fokus pada adanya riwayat penyakit yang
mungkin menunjukkan kondisi terkait. Obstructive sleep apnea harus
dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengantuk disiang hari,
mendengkur, dan disertai apnea. Renal artery stenosis harus
dipertimbangkan pada pasien dengan tanda-tanda gejala penyakit arteri
perifer atau koroner. 6,7
Feokromositoma harus dipertimbangkan pada pasien hipertensi
labil yang disertai dengan episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan,
dan palpitasi. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan antihipertensi yang
diresepkan sering terjadi, dilaporkan dengan prevalensi 40% sampai
60%. Ketidakpatuhan pengobatan lebih sering terjadi pada keadaan
kronis, asimtomatik dan pengobatan yang berlangsung lebih dari 6 bulan,
membuat ketidakpatuhan dalam pengobatan hipertensi ini merupakan
suatu masalah tersendiri. Menilai kepatuhan menjadi suatu tantangan
dan merupakan komponen yang diperlukan dalam evaluasi pasien- pasien
HR.7

14
Pemeriksaan laboratorium pasien HR harus mencakup kreatinin
serum, elektrolit, glukosa, asam urat, profil lipid, thyroid stimulating
hormone, urinalisis untuk evaluasi mikroalbuminuria, konsentrasi
aldosteron plasma dan aktivitas renin plasma pagi hari untuk evaluasi
PA, bentuk sekunder yang paling sering dari hipertensi.
Elektrokardiografi (EKG) untuk mengevaluasi adanya LVH dan
mendukung diagnosis HR, oleh karena kerusakan organ target lebih
sering ditemukan pada pasien dengan true HR, serta mengidentifikasi
pasien dengan peningkatan risiko kardiovaskular. Renal artery stenosis
akibat aterosklerosis sering terdapat pada pasien-pasien yang lebih tua.7

Gambar 2. Pendekatan Hipertensi Resisten

Skrining untuk RAS dapat dilakukan dengan menggunakan magnetic


resonance angiography, computerized tomografi angiography, doppler
ultrasonografi, atau angiotensin converting enzyme inhibitor renography.7

2.5 Diagnosis
Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah yang
masih di atas target, meskipun telah digunakan bersama-sama 3 agen
antihipertensi dari kelas yang berbeda. Idealnya, salah satu dari ke 3
15
obat tersebut haruslah diuretik dan semua obat harus diresepkan pada
jumlah dosis yang optimal. Menurut definisi diatas, HR termasuk
pasien yang menggunakan lebih dari 3 obat untuk mengendalikan TD.8,9
Tekanan darah harus diukur setelah pasien duduk/istirahat
selama lima menit, posisi lengan setinggi jantung dan menggunakan
manset berukuran sesuai yang telah dikalibrasi. Pasien harus ditanya
apakah merokok dalam 15-30 menit sebelum pengukuran tekanan darah,
karena merokok dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik
5-20 mm Hg. Menghindari kopi juga dianjurkan, meskipun peningkatan
tekanan darah sistolik biasanya hanya 1-2 mmHg setelah minum 1
cangkir kopi berkafein. Diagnosis didasarkan pada temuan setidaknya 2
pengukuran tekanan darah (pengukuran rutin di kamar periksa dan
ABPM), meskipun telah menggunakan rejimen yang mengandung tiga
obat. Pemeriksaan fisik dan laboratorium rutin diperlukan untuk
mencari bukti adanya kerusakan organ target yang berkaitan dengan
hipertensi dan faktor risiko kardiovaskular lainnya.9
Beberapa pasien yang didiagnosis HR memiliki tekanan darah
normal di rumah. Fenomena ini hanya bersifat sementara atau disebut "white-
coat hypertension," physician’s office resistant hypertension. Ambulatory blood
pressure monitoring dapat membedakan jenis hipertensi ini dari hipertensi yang
benar-benar resisten.9

2.6 Penatalaksanaan
Hipertensi resisten hampir selalu memiliki etiologi yang
multifaktorial. Penatalaksanaan HR diawali dengan identifikasi dan
modifikasi faktor gaya hidup, memastikan kepatuhan pengobatan,
menghentikan obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah, mengobati penyebab sekunder dari hipertensi, dan
penggunaan obat-obatan yang efektif untuk mengendalikan tekanan
darah. Diet rendah garam, olahraga teratur, penurunan berat badan,
mengurangi asupan alkohol, dan berhenti merokok harus secara rutin
dianjurkan dan obat- obatan antihipertensi harus diresepkan pada dosis
toleransi maksimum.9,10
16
Evaluasi fenomena "white-coat", atau kondisi terkait dan penyebab
sekunder seperti OSA, PA, PGK atau penyakit renovaskular harus
dilakukan. Dosis tidak memadai, kurangnya penggunaan diuretik kerja
panjang, dan kombinasi suboptimal didapati sebagai penyebab pada
hampir separuh pasien dengan HR. Farmakoterapi untuk HR diawali
dengan memastikan pasien menerima terapi sesuai indikasi.9,10

 Non Farmakologik
Pengobatan nonfarmakologis difokuskan pada penurunan berat badan,
pembatasan diet garam (<100 mEq/24 jam), mengurangi konsumsi
alkohol, berhenti merokok, aktivitas fisik, dan konsumsi makanan tinggi
serat, rendah lemak, kaya buah-buahan dan sayuran. Penurunan berat
badan belum diteliti secara khusus pada pasien dengan HR tetapi telah
diketahui dapat mengurangi baik tekanan darah sistolik dan diastolik
pada pasien hipertensi.

 Farmakologik
Terapi farmakologis harus difokuskan pada penggunaan diuretik, dengan
thiazide diuretik pada sebagian besar pasien dan loop diuretik untuk pasien
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Rekomendasi yang dianjurkan
adalah kombinasi dari diuretik thiazide dengan long acting calcium channel
blocker (CCB) dan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) atau
angiotensin receptor blocker (ARB). Chlorthalidone mungkin lebih disukai
dari pada hidroklorotiazid, khususnya pada pasien dengan HR. Rejimen
terapi keempat, kelima, dan keenam dapat ditambahkan berdasarkan
pertimbangan karakteristik individu sesuai rekomendasi pengobatan JNC-
8.2,9 Rejimen lain yang dapat dipertimbangkan termasuk antagonis
mineralokortikoid, beta blocker, kombinasi alpha-beta blocker, atau agen
vasodilatasi langsung (hydralazine atau minoxidil).

17
Gambar 3. Algoritme Manajemen Hipertensi Berdasarkan JNC 82

2.7 Aktivasi Baroreflex Karotis


Saat ini telah dikembangkan suatu perangkat implan baru (Rheos
Sistem, CVRx, Inc, Minneapolis, Minnesota) yang bekerja dengan
rangsangan listrik pada sinus karotis. Perangkat ini meningkatkan lalu
18
lintas saraf aferen dari baroreseptor ke pusat kontrol kardiovaskular di
otak, yang kemudian mengurangi aliran simpatis dan tekanan darah.
Arteri baroreflex mengatur tekanan darah melalui mekanisme umpan
balik negatif. Fisiologi refleks ini, dimana peningkatan tekanan darah
menyebabkan stimulasi karotis dan baroreseptor arkus aorta, akhirnya
menyebabkan penurunan aktivitas simpatis pada kedua ginjal dan
pembuluh darah perifer.10
Stimulasi baroreseptor juga dapat mengurangi aktivitas simpatik
dan meningkatkan aktivitas parasimpatis di jantung. Efek ini secara
kolektif menyebabkan penurunan tekanan darah. Aktivasi kronis dari
SNS dan dampaknya pada sistemik atau daerah organ spesifik sangat
penting dalam proses terjadinya hipertensi esensial. Aktivasi
baroreseptor ini menghasilkan kontrol terhadap refleks alami dari
peningkatan tekanan darah.10

Stimulasi baroreseptor karotis

Sistem syaraf pusat

Aktivasi vagal inhibisi simpatik

Hati Arteri besar Ginjal


↓ denyut jantung ↑ vasodilasi ↑ diuretik
↓ afterload ↓ kekakuan ↓ sekresi renin
↓ kerja miokard dan konsumsi O2 ↓ aterogenesis ↓ aktivasi neurohormonal

Penurunan tekanan darah

Gambar 4. Ilustrasi skematik mekanisme aktivasi barorefleks karotis dalam


menurunkan tekanan darah (Guido and Giuseppe, 2012) 9

19
2.8 Denervasi Simpatik Ginjal
Kontrol otonom ginjal didominasi saraf simpatik. Saraf - saraf ginjal
berjalan bersama arteri ginjal dan masuk ke hilus ginjal. Setelah itu,
saraf- saraf ini terbagi mengikuti pembuluh- pembuluh darah, dan
menembus daerah kortikal dan juxtamedullary. Aktivasi saraf simpatik
eferen ginjal, ketika lemah, meningkatkan produksi noradrenalin dan
sekresi renin dari sel juxtaglomerular granular, melalui reseptor beta-1
adrenergik. Stimulasi kuat saraf simpatik, melalui reseptor adrenergik
alpha-1,meningkatkan reabsorpsi natrium dari tubulus dan vasokonstriksi
ginjal, yang mengakibatkan penurunan aliran darah ginjal. Saraf
simpatis aferen ginjal sebagian besar berasal dari dinding pelvic ginjal
(dengan mekanoreseptor menanggapi peregangan dan kemoreseptor
mendeteksi iskemia ginjal) yang sel- selnya terletak pada ipsilateral akar
ganglia dorsal (T6-L4).10,11
Disini, sinyal naik ke dalam sistem saraf pusat, terutama di daerah
hipotalamus, dan mengakibatkan pelepasan vasopressin dan oksitosin
dari neurohipofisis. Secara keseluruhan, serabut saraf simpatis aferen
memiliki kontribusi penting dalam regulasi resistensi pembuluh darah
sistemik dan kontrol TD. Denervasi ginjal efektif dalam menghambat
rangsangan aferen tanpa regenerasi fungsional atau reinnervasi.10,11
Efek penurunan tekanan darah denervasi ginjal dipicu oleh efek
simpatolitik, seperti penurunan total spillover norepinefrin tubuh dan
ginjal lalu lintas saraf simpatik. Efek ini juga termasuk berkurangnya
indeks massa ventrikel kiri, peningkatan profil insulin dan glukosa, serta
penurunan beratnya skor OSA pada pasien HR dengan obesitas.10,11
Angiografi arteri ginjal dilakukan untuk menilai anatomi sebagai
syarat prosedur denervasi dan untuk mengkonfirmasi tidak adanya RAS
yang signifikan. Sebuah kateter ablasi fleksibel secara perkutan melalui
arteri femoral dan diteruskan ke segmen distal dari arteri ginjal. Bagian
akhir proksimal dari kateter terhubung ke generator frekuensi radio untuk
menerapkan ablasi yang berlangsung selama 2 menit.12

20
Ablasi saraf
ginjal

Sistem syaraf
pusat

Inhibisi
simpatik

Hati Arteri Ginjal Metabolik


↓ hipertrofi besar ↑ diuretik ↑ sensifitas
ventrikel kiri ↑ dan insulin
↓ keparahan OSA vasodilas natriuretik ↑ kontrol
i glikemik

Penurunan tekanan
darah

Gambar 5. Ilustrasi skematik mekanisme denervasi simpatik ginjal dalam


menurunkan tekanan darah. (Guido and Giuseppe, 2012).9

Ginjal

Arteri renal dan saraf Aorta

Kateter ablasi

Situs ablasi

Gambar 6. Perkutaneus catheter-based denervasi simpatik ginjal. (Nikolaos


and Maria, 2012)8

21
BAB III
RINGKASAN

3.1 Prognosis
Pasien HR sangat berisiko mengalami kerusakan organ target seperti
LVH, penebalan karotid intima- media, plak karotid, kerusakan retina,
dan albuminuria dibandingkan dengan hipertensi terkontrol. Hipertensi
resisten meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular, akibat adanya
riwayat hipertensi tidak terkontrol dalam jangka panjang dan
hubungannya dengan diabetes, PGK, dan OSA.13,14

3.2 Simpulan
Hipertensi resisten merupakan masalah medis umum dan prevalensi-
nya diperkirakan semakin meningkat. Diagnosis HR membutuhkan
penggunaan teknik pengukuran tekanan darah yang baik dan
menyingkirkan adanya pseudoresistensi. Etiologinya hampir selalu
multifaktorial dan factor - faktor penyebab yang reversibel perlu
diidentifikasi. Penyebab sekunder HR yang paling sering adalah PA,
PGK, RAS, dan OSA. Terapi farmakologis HR harus didasarkan pada
dosis toleransi maksimum dari beberapa obat anti hipertensi, dimana
salah satunya harus menggunakan diuretik kerja panjang untuk
mengontrol kelebihan volume cairan tubuh.14,15

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan NM and Victor RG. 2015. Kaplan’s Clinical Hypertension. 11th


Edition. Wolters Kluwer; Philadelphia:179-193.
2. Calhoun DA, Jones D, Textor S, et al. From the American Heart
Association Professional Education Committee of the Council
Resistant Hypertension: Diagnosis, Evaluation, and Treatment: A
Scientific Statement for High Blood Pressure Research. Hypertension
2008;51:1403-1419
3. Jacob CJ, Omar B, Shivdev R, et al. Resistant Hypertension:A
comprehensive Overview. J Hypertens 2013, 2:1.
4. Roberto P, Mustafa IA, David AC. Characterization and Treatment of
Resistant Hypertension. Curr Cardiol Rep. 2009 November; 11(6):
407–413.
5. Cora LBT, Michael EE. Resistant Hypertension: Identifying Causes
and Optimizing Treatment Regimens. Southern Medical Journal
2008;101:166-73.
6. Costas T, Athanasios K, Dimitris F, et al. Pathophysiology of Resistant
Hypertension: The Role of Sympathetic Nervous System. International
Journal of Hypertension Volume 2011, Article ID 642416.
7. Robert HF. Resistant hypertension. Heart 2012;98:254-61.
8. Nikolaos S, Maria M. Interventional therapies for resistant
hypertension. Hospital Chronicles 2012;7(1):128-135.
9. Guido G, Giuseppe M. New therapeutic approaches for resistant
hypertension. JNephrol 2012; 25(03): 276-81.
10. Domenic AS. Baroreflex Activation in Drug-resistant Hypertension.
US Cardiology 2009;29-32.
11. Ingrid JMS, Abraham AK, Jürg S, et al. Novel Baroreflex Activation
Therapy in Resistant Hypertension. JACC 2010;56(15):1254–8.
12. James PA. Oparil S, Cushman WC, Dennison-Himmerlfarb C, Handler J, dkk.
2014. Evidence-based guideline for the management of high blood pressure in
adults: report form the panel members appointed to the Eight Joint National
23
Committee (JNC 8). JAMA 2014:311(5):507-20.
13. Pantelis AS. Epidemiology of Resistant Hypertension. The Journal of
Clinical Hypertension July 2011; 13(7):523-28.
14. Muxfeldt ES, Cardoso CR, Salles GF. Prognostic value of nocturnal blood
pressure reduction in resistant hypertension. Arch Intern Med.
2009;169(9):874–880.
15. Jennifer F, David S. Clinical approach in treatment of resistant
hypertension. Integrated Bloo d Pressure Control 2009;1: 9–23.

24

Anda mungkin juga menyukai