Anda di halaman 1dari 23

MANAJEMEN PERIOPERATIF PADA PASIEN

DENGAN DISFUNGSI TIROID


Hendra Zufry

Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes, Bagian/SMF Ilmu Penyakit


Dalam- Pusat Pelayanan Tiroid Terpadu RSUD Dr. Zainoel Abidin /
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh
Email : hendra.zufry@gmail.com, hendra_zufry@yahoo.co.id

A. PENDAHULUAN

Penyakit tiroid merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi di


Inggris dan di seluruh dunia. Angka kejadiannya mencapai sekitar 0,5% dari
populasi umum. Suatu studi melaporkan bahwa prevalensi nilai tirotropin
abnormal yang terjadi adalah sebesar 21% pada wanita dan 3% pada pria.
Banyak orang yang hidup dengan penyakit tiroid subklinis. Dalam hal ini,
peran dokter adalah memantau dan menyesuaikan terapi pengobatan pada
mereka yang menderita penyakit tersebut.(1,2)
Hormon tiroid mempengaruhi sebagian besar organ dalam tubuh.
Kurangnya keseimbangan hormon tiroid dapat menimbulkan efek kecil atau
bahkan dapat menjadi berat. Menariknya, efek dari hasil pembedahan pada
kelainan ini belum banyak dipelajari sama sekali. Tidak ada penelitian acak
yang meneliti tentang hasil pembedahan pada pasien hipotiroid versus
eutiroid. Sebagian penelitian telah memperlihatkan adanya sedikit
peningkatan risiko komplikasi, dan sebagian lagi tidak menunjukkan
perbedaan sama sekali. (1)
Karena banyaknya efek hormon tiroid pada tubuh manusia, maka efek
dari disfungsi tiroid pun banyak ragamnya dan dapat menjadi penyulit
prosedur pembedahan dan pemulihan pasca operasi. Jadi, skrining rutin untuk
mendeteksi penyakit tiroid tidak diindikasikan pada pasien yang tidak ada
kecurigaan terhadap penyakit tiroid. Namun,sangat penting untuk dilakukan
pengenalan, diagnosis, dan optimalisasi kondisi tiroid sebagai bahan
pertimbangan perioperatif pada pasien yang akan menjalani operasi karena

1
pasien-pasien dalam keadaan seperti ini dapat hadir dengan berbagai masalah
saat mendapat tindakan anestesi, termasuk kesulitan intubasi, kesulitan
penyapihan dari ventilasi, dan yang paling ditakuti timbulnya badai tiroid. (1)

B. SKRINING PREOPERASI

Pemeriksaan fungsi tiroid rutin pre-operasi tidak direkomendasikan


pada pasien yang tidak memiliki riwayat disfungsi tiroid sebelumnya. Pada
pasien seperti ini, akan lebih tepat dilakukan pemeriksaan kadar tirotropin
(TSH) saat ditemukan kecurigaan adanya penyakit tiroid berdasarkan gejala
seperti perubahan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, palpitasi, tremor
atau perubahan kebiasaan buang air besar, kulit, rambut, atau mata yang
memberi kesan adanya disfungsi tiroid. Selanjutnya, ketika pemeriksaan fisik
atau pemeriksaan lainnya memperlihatkan adanya tampilan eksoptalmos,
goiter, refleks abnormal, abnormalitas rambut atau kulit, atau adanya
takikardia atau bradikardia, tes TSH akan sangat tepat jika dimasukkan ke
dalam evaluasi pre-operasi. Pada pasien dengan hipotiroidisme yang telah
diketahui atau hipotiroidisme yang telah menjalani pengobatan, tes TSH
harus dimasukkan dalam penilaian pre-operasi untuk menentukan kecukupan
pengobatan dan untuk memastikan bahwa terapi tiroid telah dioptimalkan
sebelum tindakan operasi. (2)
Secara umum, American Thyroid Association merekomendasikan
beberapa hal penting yang harus dilakukan pada pasien disfungsi tiroid
preoperatif, yaitu : (3)
 Temuan pemeriksaan fisik berisiko tinggi seperti pembesaran kelenjar
getah bening serviks, skar pada serviks atau toraks superior, suara serak,
stridor, obesitas yang tidak wajar, dan metastasis dermal.
 Fitur historis berisiko tinggi seperti iradiasi leher sebelumnya, nyeri tulang
yang tidak bisa dijelaskan, kecurigaan terhadap metastasis jauh atau
metastasis ke sistem saraf pusat, hiperparatiroidisme saat ini atau
sebelumnya, beberapa tipe neoplasia endokrin 2b, intubasi sulit
sebelumnya, dan defisiensi vitamin D kronis atau masalah klinis lainnya
yang mungkin menjadi predisposisi untuk parestesia hipokalsemik pasca
operasi.

2
 Temuan USG preoperasi berkaitan dengan evaluasi kelenjar getah bening
dan kelenjar getah bening serviks.
 Temuan radiografi dada preoperasi (jika dilakukan).
 Temuan laringoskopi preoperasi (jika dilakukan).
 Situs metastasis yang diketahui atau diduga terdeteksi pada pencitraan
preoperasi.
 Hasil semua studi pencitraan menggunakan iodinasi kontras dalam 6 bulan
sebelumnya.
 Kondisi komorbiditas, termasuk kehamilan, yang dapat mempengaruhi
hasil mengenai supresi TSH, withdrawal hormon tiroid, atau penggunaan
Radioidonie Alation Therapy.
 Nilai laboratorium abnormal yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan seperti perubahan fungsi ginjal atau hitung darah lengkap dan
diferensial.
Tabel 1. Skrining Pre Operasi pada Pasien Disfungsi Tiroid. (4)
Jenis Pemeriksaan Tujuan
Tes darah Hitung darah lengkap, urea dan
elektrolit, tes fungsi tiroid, kalsium,
magnesium, fosfat, alkalin fosfatase.

Pencitraan Radiografi Rontgen dada


 Untuk menilai penyimpangan
trakea dan penyempitan trakea
Tampilan saluran masuk toraks
 Untuk menilai kompresi trakea dan
gondok retrosternal
CT thorax
 Diindikasikan pada keganasan
untuk staging, kompresi goitre dan
saluran napas retrosternal, dapat
mengestimasikan ukuran tabung

3
endotrakeal.
MR thorax
 Dapat memberikan informasi
tambahan dari irisan sagital dan
Kardiorespirasi
koronal.

Elektrokardiografi/Ekokardiografi
Lainnya
 Jika dicurigai iskemik, gagal
jantung atau aritmia
Nasendoskopi/Laringoskopi
 Diindikasikan untuk keganasan,
masalah jalan nafas atau operasi
leher sebelumnya untuk penilaian
lebih lanjut terkait fungsi saluran
napas.

C. OPERASI PADA HIPOTIROIDISME

Hormon tiroid memainkan peran penting dalam proses hemoestasis,


karena efek hormone tersebut pada kardiovaskular, pernafasan, ginjal,
gastrointestinal, hematologi, dan sistem saraf pusat. Kekhawatiran terhadap
efek kardiovaskular adalah yang paling relevan dalam situasi perioperatif.
Pasien dengan hipotiroidisme akan mengalami peningkatan risiko kejadian
penyakit koroner, yang mungkin dikarenakan kadar kolesterol yang
meningkat, bertambah panjangnya waktu paruh beberapa faktor koagulasi,
dan anemia. Perubahan gelombang ST non-spesifik dan tegangan rendah pada
elektrokardiogram dapat diamati, serta adanya “torsade de pointes” takikardia
ventrikular (jarang) telah dijelaskan. (2)
Pengenalan hipotiroidisme preoperasi sangat penting untuk
mengurangi komplikasi bedah dan anestesiologis. Trauma saat pembedahan
dapat mempengaruhi aktivitas aksis hipofisis-tiroid, dan hormon tiroid
disekresikan setelah operasi sebagai tanggapan terhadap stres. Obat anestesi
untuk stres pembedahan mungkin dianggap sebagai penyebab utama untuk

4
perubahan konsentrasi hormon tiroid plasma selama periode intraoperatif.
Koreksi hipotiroidisme, setelah pemberian pengobatan, biasanya mengarah
pada regresi modifikasi patofisiologis karena hormon tiroid yang bersirkulasi
rendah. Karena itu, pencapaian keadaan eutiroidisme harus tercapai sebelum
operasi elektif dilakukan, untuk mencegah risiko komplikasi. (5)

1. Komplikasi Yang Mungkin Terjadi

Hipotiroidisme telah dikaitkan dengan berkurangnya cardiac


output dari 30% menjadi 50%, dengan adanya perlambatan dari denyut
nadi dan penurunan kontraktilitas. Selain itu, kekurangan hormon tiroid
menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer sehingga
terjadi peningkatan afterload jantung, yang mengarah pada menurunnya
tekanan nadi melalui peningkatan tekanan diastolik dan penurunan tekanan
darah sistolik. Meskipun tingkat katekolamin meningkat pada pasien
seperti ini, pasien hipotiroid memiliki faktor predisposisi terjadinya
hipotensi di bawah pengaruh anestesi, hal ini disebabkan mungkin karena
adanya down regulation dari β-reseptor adrenergik. (2)
Selain kekhawatiran efek kardiovaskular, pasien hipotiroid
menghadapi tantangan tambahan yaitu adanya disfungsi ventilasi dan
manifestasi ginjal terkait dengan penyakit ini. Efusi pleura dan kelemahan
otot pernapasan, bersama dengan gangguan hipoksia dan pernafasan
hiperkapnia serta peningkatan prevalensi obstructive sleep apnea, mungkin
menjadi komplikasi pada manajemen perioperatif mereka, sehingga
menjadi faktor predisposisi terjadinya pneumonia dan atelektasis.
Peningkatan hormon antidiuretik menyebabkan hiponatremia. Peningkatan
permeabilitas kapiler dan perpindahan cairan ke dalam ruang
ekstravaskular akan menurunkan volume intravaskular dan perfusi ginjal,
sehingga menyebabkan penurunan clearance obat. Faktor paru dan ginjal
berkontribusi pada peningkatan kerentanan pasien hipotiroid untuk
anestesi, obat penenang, dan narkotika. (2)
Penurunan motilitas gastrointestinal, yang paling umum terjadi
seperti sembelit pada pasien hipotiroid, sehingga meningkatkan

5
kecenderungan untuk terjadinya ileus pasca operasi. Hal ini akan
meningkatkan kekhawatiran, mengingat rejimen pengelolaan nyeri pasca
operasi biasanya menggunakan opioid yang secara independen akan
menyebabkan sembelit. (2)
Hipotiroidisme dikaitkan dengan beberapa efek hematologi. Paling
sering digambarkan adalah anemia normokromik normositer. Namun,
karena terjadinya peningkatan prevalensi anemia pernisiosa pada pasien
hipotiroidisme, seiring dengan adanya kekurangan vitamin B12 autoimun
dapat menyebabkan makrositosis. Selanjutnya, pada wanita pre-
menopause, menorrhagia sekunder yang merupakan akibat dari
hipotiroidisme menyebabkan terjadinya anemia mikrositik sekunder
hingga defisiensi besi. Manifestasi hematologi pada pasien hipotiroidisme
lainnya termasuk adanya penurunan aktivitas faktor VIII, bertambahnya
partial thromboplastin time, dan terjadinya penyakit von Willebrand. (2)
Sebuah komplikasi yang jarang, namun paling ditakuti saat operasi
pada pasien hipotiroid adalah koma mixedema, suatu kondisi yang telah
dikaitkan dengan kematian sebesar 80%. Koma mixedema ditandai dengan
adanya perubahan status mental, yang dapat bermanifestasi sebagai koma
atau kejang, dan hipotermia, bradikardia, hiponatremia, gagal jantung, dan
hipopnea. Hal ini umumnya berkaitan dengan adanya faktor pencetus
seperti operasi, infeksi, paparan dingin, dan pemberian obat penenang. (2)
Dosis berlebihan paparan yodium selama kehamilan harus
dihindari, kecuali dalam persiapan untuk pembedahan pengobatan grave’s
disease. Dokter harus hati-hati menimbang risiko dan manfaat saat
memesan obat atau tes diagnostik yang akan menghasilkan paparan
yodium tinggi. (2)
Pada kehamilan, pengukuran total T4 serum direkomendasikan
daripada serum T4 bebas direct immunoassay. Karena perubahan protein
serum pada kehamilan, T4 bebas direct immunoassay dapat menghasilkan
nilai yang lebih rendah berdasarkan rentang referensi yang ditetapkan
dengan serum normal saat tidak hamil. Selain itu, banyak pasien memiliki
nilai di bawah kisaran referensi tidak hamil pada trimester ketiga,

6
termasuk nilai yang diperoleh dengan dialisis kesetimbangan. Namun,
kisaran referensi metode-spesifik dan trimester-spesifik untuk T4 bebas
direct immunoassay belum ditetapkan secara umum. Sebaliknya, total T4
meningkat selama trimester pertama dan kisaran referensi sekitar 1,5 kali
lipat dari kisaran tidak hamil sepanjang kehamilan. (6)

2. Pertimbangan Preoperasi

Perubahan patofisiologi terkait dengan hipotiroidisme umumnya


akan reversibel dengan penggantian hormon tiroid. Jadi, daripada
menghadapi risiko dekompensasi akut, lebih baik untuk menunda operasi
elektif sampai tertatalaksana secara adekuat dengan hormon tiroid,
sehingga mencapai eutiroidisme. Dosis penggantian penuh dari
levotiroksin biasanya 1,6 mg/kg/hari. Namun, pada orang tua atau orang-
orang dengan penyakit arteri koroner yang diketahui, dosis awal biasanya
25 mg/hari, dengan rencana kenaikan setiap 2 sampai 6 minggu sampai
keadaan eutiroid tercapai. Setelah nilai-nilai TSH normal, operasi dapat
dilakukan. Jika pasien berpuasa pada hari operasi, pasien mungkin akan
kehilangan dosis levotiroksin pada hari itu, karena levotiroksin memiliki
waktu paruh yang panjang sekitar 7 hari. Jika obat-obat oral tidak dapat
diberikan pasca bedah, dosis mungkin akan hilang selama beberapa hari.
Namun, jika masih belum ada kemampuan untuk memberikan obat enteral
setelah 5 hari, levotiroksin intravena (IV) harus diberikan dengan dosis
antara 60% dan 80% dari dosis oral. (2)
Dalam sebuah studi prospektif yang membandingkan hasil pasca
operasi pada pasien dengan hipotiroidisme subklinis, yang didefinisikan
sebagai peningkatan hormone TSH dengan free tiroksin yang normal,
dengan pasien eutiroid yang menjalani operasi bypass arteri koroner, tidak
ada peningkatan kejadian kardiovaskular yang merugikan, masalah luka,
mediastinitis, infeksi kaki, komplikasi pernapasan, delirium, atau operasi
ulang selama perawatan di rumah sakit. Namun, terdapat peningkatan
tingkat fibrilasi atrium pasca operasi pada kelompok hipotiroidisme
subklinis. (2)

7
Satu studi retrospektif yang menganalisis hasil dari anestesi dan
operasi pada 59 pasien hipotiroid dibandingkan dengan 50 pasien eutiroid,
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam durasi operasi atau anestesi,
suhu terendah dan tekanan darah yang tercatat selama operasi, perlunya
vasopressor, waktu untuk ekstubasi, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, kejadian aritmia, infark paru atau miokard, sepsis, perlunya
bantuan pernapasan post operasi, komplikasi perdarahan, ataupun waktu
keluar dari rumah sakit. Analisis subset pada pasien dibagi berdasarkan
tingkat tiroksin mereka (tingkat tiroksin < 1,0 ug/dL, 1,0 sampai < 3.0
mg/dL, dan > 3,0 mg/dL) mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan
outcomes yang terjadi. Karena hanya ada 7 pasien dalam kelompok dengan
konsentrasi T4 terendah, penulis menyimpulkan bahwa pada kasus
hipotiroidisme ringan sampai sedang, tidak ada bukti untuk membenarkan
penundaan operasi yang diperlukan yang diperlukan, tetapi pada kasus
hipotiroidisme berat, tidak cukup bukti untuk membuat rekomendasi. (2)
Dalam penelitian retrospektif lain, 40 pasien bedah dengan
hipotiroid, yang sebagian besar memiliki hipotiroidisme ringan sampai
berat, dibandingkan dengan 80 pasien bedah eutiroid sebagai kontrol. Di
antara mereka yang menjalani operasi non-kardiak, terjadinya hipotensi
intraoperatif lebih tinggi pada kelompok hipotiroid. Bagi mereka yang
menjalani operasi jantung, perkembangan gagal jantung lebih umum
terjadi pada kelompok hipotiroid. Selain itu, kelompok hipotiroid memiliki
komplikasi gastrointestinal dan neuropsikiatri yang lebih tinggi. Lebih
jauh lagi, meskipun terdapat prevalensi terjadinya infeksi pasca operasi
yang sama pada kedua kelompok, pasien hipotiroid kurang mungkin untuk
menjadi demam. Tidak ada perbedaan dalam terjadinya kehilangan darah
perioperatif, durasi rawat inap, tingkat aritmia, hipotermia, hiponatremia,
pemulihan anestesi yang tertunda, integritas jaringan, penyembuhan luka,
komplikasi pulmonal, atau bahkan kematian. (2)

3. Rekomendasi Pada Kasus Non-Emergensi (7)


1) Menilai semua faktor risiko pada pasien.

8
2) Jangan khawatir tentang hipotiroidisme subklinis ketika TSH < 10
mU/dL.
3) Pembedahan elektif hanya boleh dilakukan apabila fungsi tiroid pasien
normal.
4) Pasien < 45 tahun harus diberi dosis penuh L-tiroksin dengan dosis 1,6-
2,2 mcg/kg atau 100 hingga 200 mcg per hari. Dibutuhkan 4 hingga 6
minggu pengobatan agar kadar TSH menjadi normal.
5) Pasien > 45 tahun harus mulai dengan dosis 25-50 mcg/hari dan
ditingkatkan setiap interval dua minggu.
6) Pasien dengan riwayat koroner harus mulai dengan dosis 15 mcg/hari
dan ditingkatkan setiap minggu sampai TSH kembali normal.
7) Jangan menunda operasi pada pasien dengan hipotiroidisme ringan
tetapi mulai terapi penggantian hormon oral. Levotirokin diberikan 30-
60 menit sebelum sarapan pagi dalam kedaan perut kosong. (8)
8) Profilaksis hipotermia, pemantauan kardiovaskular, dan pemberian
hidrokortison (100 mg setiap 8 jam selama 24 jam sejak kekurangan
adrenal terjadi) harus dilakukan pada pasien hipotiroid yang akan
menjalani pembedahan.
9) Waktu paruh T4 dan T3 masing-masing adalah 7 dan 1,5 hari. Dengan
demikian, pasien yang menggunakan T4 tidak perlu meminumnya pada
hari operasi sedangkan pasien yang menggunakan T3 harus
meminumnya.
10) Radiografi daerah serviks untuk menentukan apakah tiroid akan
mengganggu intubasi trakea.

Secara umum, klasifikasi “hipotiroid berat” termasuk pasien


dengan koma mixedema atau komplikasi berat seperti perubahan status
mental, efusi perikard atau gagal jantung, atau kadar tiroksin yang sangat
rendah (< 1 mg/dL). Berdasarkan kurangnya data dan pemahaman tentang
risiko yang diuraikan di atas, operasi non-emergensi harus ditunda sampai
hipotiroidisme telah diobati. (2)

Tabel 2. Guideline preoperatif pada pasien hipotiroidisme (1)

9
Fungsi Tiroid Tindakan
T4 normal, TSH < 10 mU/dL Lanjutkan operasi
T4 normal, TSH > 10 mU/dL Periksa ulang fungsi tiroid 6-8
minggu

T4 rendah Tingkatkan dosis terapi


Periksa ulang fungsi tiroid 6-8
minggu

T4 tinggi Tunda operasi, turunkan dosis


terapi
Periksa ulang fungsi tiroid 6-8
minggu

4. Rekomendasi pada Kasus Berat dan Emergensi (7)


1) Berikan 200-500 mcg L-tiroksin atau 40 mcg T3 intravena atau 10-25
mcg T3 pada interval 8 jam sebelum operasi. Ini berguna untuk
memperbaiki hemodinamik dan elektrokardiografi. Bagilah dosis
menjadi 50% T4 dan 50% T3 selama periode perioperatif.
2) Dosis pemeliharaan dimulai dari 40 hingga 100 mcg T4 atau 10 hingga
20 mcg T3 yang diberikan secara intravena dengan interval 24 jam.
3) Berikan 100 mg hidrokortison dengan interval 6 jam untuk jangka
waktu lama.
4) Mulai terapi penggantian hormon dengan rute oral menggunakan dosis
yang tercantum di atas sesegera mungkin.

Meskipun operasi elektif baiknya ditunda sampai keadaan eutiroid


tercapai, pasien yang membutuhkan operasi emergensi dapat melanjutkan
operasi jika mereka memiliki hipotiroidisme ringan atau sedang.
Levotiroksin harus dimulai sebelum operasi dan harus ada peningkatan
kesadaran akan kemungkinan yang disebabkan komplikasi pasca operasi
ringan seperti yang disebutkan di atas. (2)
Pasien yang membutuhkan operasi revaskularisasi jantung
merupakan satu-satunya pasien yang tidak dapat mengambil manfaat dari

10
penggantian hormon tiroid pre-operasi. Meskipun mungkin satu intuisi
dari pembahasan di atas bahwa optimalisasi status hormon tiroid pre-
operasi akan menguntungkan semua pasien, pada pasien jantung dengan
angina, terdapat kemungkinan nyata akan memburuknya iskemia jantung
dengan mengganti hormon tiroid dan konsekuensinya akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard. Kenyataannya, pada studi retrospektif dan
prospektif dari pasien jantung yang menjalani operasi jantung atau
kateterisasi tidak ditemukan peningkatan terjadinya efek samping pada
pasien dengan hipotiroidisme yang belum diobati, maka wajar untuk
melanjutkan prosedur revaskularisasi sebelum pemberian hormon tiroid. (2)
Pada pasien yang lebih tua dan pada pasien dengan penyakit arteri
koroner, dosis awal umumnya adalah 25 atau 50 mcg setiap hari, dengan
dosis meningkat 25 mcg setiap tiga hingga empat minggu hingga taksiran
dosis pengganti penuh tercapai. Hormon tiroid meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas, dan karenanya dapat meningkatkan permintaan
oksigen miokard. Akibatnya, memulai pengobatan pada dosis yang lebih
tinggi dapat menyebabkan sindrom koroner akut atau aritmia. Namun,
tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa dosis awal yang lebih
rendah dan titrasi yang lambat akan menghasilkan efek samping yang lebih
sedikit daripada efek penggantian levotiroksin dosis penuh pada pasien
dan yang lebih tua dengan penyakit jantung iskemik. (9)
Kebutuhan hormon tiroid akan meningkat selama kehamilan.
Dalam satu studi prospektif, 85 persen pasien hamil membutuhkan
peningkatan median 47 persen dalam kebutuhan hormon tiroid mereka.
Peningkatan dosis levotiroksin mutlak diperlukan pada minggu kelima
kehamilan pada beberapa pasien. Direkomendasikan bahwa wanita dengan
dosis tetap levotiroksin dapat mengkonsumsi sembilan dosis setiap minggu
(satu dosis tambahan untuk dua dosis harian dalam seminggu). Ulangi tes
fungsi tiroid lima minggu setelah peningkatan dosis. Peningkatan
kebutuhan hormon tiroid berlangsung sepanjang kehamilan. (9)
D. OPERASI PADA HIPERTIROIDISME

11
Hipertiroidisme terjadi karena ketidaksesuaian antara sintesis dan
sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Hormon tiroid berguna untuk
meningkatkan termogenesis jaringan dan tingkat metabolisme basal, dan
mengurangi serum level kolesterol dan resistensi vaskular sistemik.
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertiroidisme yang tidak diobati
termasuk penurunan berat badan, osteoporosis, patah/rapuh tulang, fibrilasi
atrium, emboli, dan disfungsi kardiovaskular. (10)
Pengukuran serum TSH memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi yang dapat digunakan sebagai skrining awal. Namun, ketika
diduga kuat menderita hipertiroidisme, akurasi diagnostik meningkat ketika
serum TSH dan free T4 dinilai pada saat evaluasi awal. Pada hipertiroidisme
yang jelas, konsentrasi serum T4 dan free T3 meningkat, dan serum TSH
menurun. Namun, pada hipertiroidisme yang lebih ringan, total serum T4 dan
kadar free T4 bisa normal, hanya serum free T3 yang dapat meningkat,
dengan serum TSH yang tidak terdeteksi. (11)
Perlu dinilai apakah hipertiroidisme terkendali atau tidak dengan
mencari tanda-tanda dan gejala keadaan hipermetabolik, meninjau tes fungsi
tiroid, studi terkait lainnya, obat-obatan dan lamanya perawatan.
Propylthiouracil dan metimazol adalah obat pilihan untuk persiapan
preoperasi, tetapi hal ini butuh berminggu-minggu untuk membuat pasien
menjadi eutiroid. Yodium sering ditambahkan ke pengobatan dengan
tionamide. Beta blocker dapat mengurangi denyut jantung dan memberi
bantuan gejala serta perlindungan jantung tetapi tidak mempengaruhi
produksi tiroksin atau metabolisme yodium dan tidak dapat mencegah badai
tiroid. (12)

1. Komplikasi Yang Mungkin Terjadi


Sama seperti hipotiroidisme, manifestasi peningkatan kadar
hormon tiroid abnormal yang tampak pada pasien tirotoksikosis sangat
banyak dan meliputi beberapa sistem organ. Fitur yang paling menonjol
adalah orang-orang kardiovaskular, yaitu efek tropik dan kronotropik
daripada hormon tiroid pada jantung, vasodilatasi dan penurunan resistensi
vaskular sistemik, dan peningkatan retensi air dan natrium yang dimediasi

12
oleh sistem renin angiotensin aldosteron, yang semuanya berujung pada
peningkatan curah jantung sebesar 50% - 300%. Fibrilasi atrium terjadi
pada 10% - 15% pasien dengan hipertiroidisme yang jelas dan dalam
persentase yang sama dari orang-orang dengan hipertiroidisme subklinis,
yaitu penurunan TSH dengan tiroksin dan triiodotironin yang normal.
Prevalensi fibrilasi atrium meningkat terkait dengan usia. (2)

2. Pertimbangan Preoperasi
Tidak ada studi terpublikasi yang mengevaluasi hasil perioperatif
pada pasien hipertiroid jika dibandingkan dengan pasien eutiroid. Karena
risiko terjadinya badai tiroid, yang ditandai dengan takikardia,
kebingungan, demam, keluhan gastrointestinal, dan berpotensi
menyebabkan kolaps kardiovaskular, operasi elektif harus selalu ditunda
pada pasien dengan riwayat hipertiroidisme yang jelas. Pada mereka
dengan penyakit klinis ringan atau sub-klinis, pemberian β-blocker pre-
operasi dianggap efisien. Hal ini didukung oleh uji coba prospektif secara
acak yang menunjukkan bahwa pada pasien hipertiroid yang menjalani
tiroidektomi yang diobati hanya dengan metoprolol selama 5 minggu
sebelum operasi, tidak ada komplikasi serius yang terjadi intra atau pasca
operasi, jika dibandingkan dengan pasien yang diberikan kombinasi
metimazole dan levotiroksin pre-perawatan selama 12 minggu dengan
tujuan untuk membuat mereka menjadi eutiroid. (2)
Untuk pasien dengan riwayat hipertiroidisme yang jelas, yang
membutuhkan pembedahan emergency, status kardiovaskular harus
diawasi secara ketat. Penempatan arterial line atau monitor tekanan vena
sentral perioperatif haruslah tepat jika terdapat bukti adanya penyakit
kardiopulmonal atau pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil. Status
kardiovaskular harus dioptimalkan, dan β-blocker adalah rejimen yang
paling sering digunakan untuk tujuan ini. Meskipun tidak ada β-blocker
tertentu dengan superioritas di atas yang lain, atenolol dapat disukai dalam
beberapa kasus. Seperti metoprolol, atenolol adalah agen beta-1-selektif
yang dapat ditoleransi dengan lebih baik pada pasien dengan penyakit
saluran napas reaktif. Selain itu, karena waktu paruhnya yang panjang,

13
maka dapat diberikan dosis sekali sehari. Namun, karena metabolisme
yang dipercepat pada pasien tirotoksikosis, dosis total harian mungkin
masih perlu dibagi menjadi 2 dosis. Meskipun dosis awal 25 mg sehari
dapat digunakan, sering dosis lebih tinggi seperti 50 mg hingga lebih dari
200 mg per hari, mungkin diperlukan. Meskipun propranolol adalah beta-
1-nonselektif dan beta-2-blocker dengan waktu paruh yang lebih pendek
memerlukan dua kali dosis harian, mungkin obat ini memiliki manfaat
tambahan karena dapat menghambat enzim monodeiodinase tipe 1 yang
mengubah T4 menjadi T3 yang lebih aktif secara biologis. Hal ini dapat
digunakan secara intravena untuk mengontrol denyut nadi dan tekanan
darah dan bahkan menurunkan prevalensi demam intraoperatif. (2)
Calcium channel blockers dapat digunakan pada pasien yang tidak
dapat menoleransi β-blocker. Obat ini harus dititrasi untuk mencapai
denyut jantung di bawah 80 denyut per menit. Karena mereka dapat
mengurangi aktivitas saraf simpatis, baik reserpin dan guanethidin dapat
dipertimbangkan untuk orang-orang dengan kontraindikasi β-blockers dan
calcium channel blockers. (2)

3. Rekomendasi Pada Kasus Non-Emergensi (7)


1) Obat antitiroid yang paling umum adalah propiltiourasil (PTU) dan
metimazole. Mereka dapat menghambat sintesis hormon tiroid dengan
mencegah oksidasi dan pengorganisasian iodida. Ketika digunakan
dalam dosis tinggi, PTU memiliki keuntungan tambahan untuk
menghambat konversi perifer dari T4 ke T3. Oleh karena itu
digunakan lebih sering selama periode perioperatif. Dosis standar
adalah 100 mg pada interval 8 jam dan dosis maksimum adalah 400
mg pada interval 8 jam. Dosis metimazole bervariasi dari 10 hingga
120 mg dalam dosis harian tunggal. Dosis harus dinilai kembali
dengan interval 4-6 minggu. Efek samping yang terjadi jarang parah,
biasanya hanya ruam kulit, demam, gatal dan artralgia, peningkatan
sementara enzim hati dan leukopenia. Komplikasi yang lebih parah
dan lebih jarang yang memerlukan penghentian pengobatan adalah

14
agranulositosis (0,5%), hepatitis berat, sindrom mirip lupus dan
trombositopenia.
2) Beta-blocker hanya digunakan untuk mengontrol tanda dan gejala
adrenergik. Mereka tidak mempengaruhi kadar hormon. Propranolol
digunakan paling sering pada 10 hingga 80 mg pada interval 6-8 jam
(1 mg intravena selama operasi). Esmolol dapat diberikan selama
operasi dengan dosis 500 mcg/kg selama 1 menit dan dosis
pemeliharaan 25-300 mcg/kg /menit.

Tabel 3. Guideline preoperatif pada pasien hipertiroidisme (1)


Fungsi Tiroid Tindakan
T4 normal, TSH rendah Lanjutkan operasi
T4 > 25 pmol/L, TSH normal Tunda operasi
T4 > 25 pmol/L, TSH rendah Tunda operasi
T4 > 25 pmol/L, TSH rendah Tunda operasi

4. Rekomendasi Pada Kasus Berat dan Emergensi (7)


1) Obat antitiroid, PTU dalam dosis tinggi adalah obat pilihan (1000
hingga 1200 mg dibagi dalam 3 dosis per hari).
2) Beta-blocker intravena adalah rute pemberian yang disukai.
3) Yodium dapat digunakan maksimal selama 10 hari sejak
pemberhentian awal yodium (efek Wolff-Chaikoff) yang bersifat
sementara dan setelah waktu ini dapat terjadi fenomena
hipertiroidisme memburuk. Agen yang paling umum digunakan
adalah yodium Lugol. Ini mengandung 5% yodium dan 10% kalium
iodida. Dosis bervariasi dari 0,1 hingga 0,3 ml pada interval 8 jam (3
hingga 5 tetes).
4) Kontras teriodinasi, Sodium ipodate dan asam iopanoat digunakan
sebagai kompensasi. Kombinasi ini menyajikan dua keuntungan, yaitu
ada sedikit jalan keluar dan menghambat konversi perifer dari T4 ke
T3. Dosisnya 500 mg dengan interval 8 jam.
5) Kortikosteroid harus diberikan ketika hipertiroidisme tidak
memberikan kompensasi selama dan setelah operasi karena

15
peningkatan degradasi kortisol perifer. Dosis induksi adalah 100 mg
diikuti oleh 100 mg pada interval 8 jam selama 24 jam pertama.
6) Anestesi memberi perhatian khusus pada peningkatan metabolisme
agen anestesi dan kesulitan intubasi akibat tiroid.
7) Badai tiroid dikaitkan dengan angka kematian bervariasi dari 20
hingga 30%. Mengingat sifat tiba-tiba dari tanda dan gejalanya,
pengobatan harus segera dimulai bahkan jika tes laboratorium belum
mengkonfirmasi kondisinya.

E. OPERASI TIROIDEKTOMI
Operasi tiroid telah berkembang secara radikal dari waktu ke waktu,
yang sebelumnya dianggap sebagai prosedur yang berbahaya dengan tingkat
perdarahan yang tinggi dan kematian. Sekarang bahkan dianggap sebagai
prosedur rutin dengan beberapa risiko utama. Penilaian preoperasi secara
menyeluruh, sangat penting untuk membuat operasi tiroid berhasil. (13)
Pencitraan preoperasi digunakan untuk menginformasikan sejauh
mana operasi wajib dilakukan. Ini mungkin termasuk USG leher medial dan
lateral, MRI, CT-scan dan nasendoskopi fleksibel. Kebanyakan pasien juga
akan juga menjalani sitologi aspirasi jarum halus untuk mendapatkan
diagnosis histologis meskipun interpretasi hasil yang sangat kompleks. Pasien
kemudian dapat dikelompokkan berdasarkan staging tumor/nodul/metastasis
(TNM) dan sistem penilaian MACIS (Metastasis, Usia saat presentasi,
Kelengkapan saat reseksi, Invasi, dan Ukuran). (13)
Sebagai contoh pada tiroidektomi, bersamaan dengan penggunaan β-
blocker dan thionamides, pasien harus dengan persiapan yang cukup sebelum
operasi dalam beberapa minggu. Agen ini harus terus berlanjut sepanjang
periode pasca operasi untuk mencegah badai tiroid dan mungkin lebih lama,
kecuali pasien ini diobati dengan reseksi tiroid atau ablasi sehingga tidak lagi
menjadi hipertiroid. Jelas, pada pasien yang menjalani tiroidektomi,
thionamides harus dihentikan pasca operasi. Namun, karena waktu paruh
levotiroksin yang begitu lama, mungkin masih diperlukan untuk melanjutkan
β-blocker selama sekitar satu minggu, atau mungkin lebih lama, setelah

16
tindakan tiroidektomi. Pada pasien yang telah menjalani tiroidektomi, terapi
hormon tiroid akan sangat diperlukan jika kadar hormon menurun di bawah
normal. (2)
Bahkan, American Thyroid Association, dalam pedomannya yang
baru-baru ini diterbitkan untuk Diagnosis dan Pengelolaan Hipertiroidisme
dan Penyebab lain dari Tirotoksikosis, lebih spesifik merekomendasikan
bahwa mereka yang menjalani tiroidektomi pada penyakit Graves harus
menjadi eutiroid sebelum dilakukan prosedur dengan ATD pre-treatment,
dengan atau tanpa β-adrenergik blocker, dan kalium iodida harus diberikan
pada periode pre-operasi sesegera mungkin. Ketika tidak mungkin untuk
membuat pasien menjadi eutiroid sebelum tiroidektomi atau ketika pasien
alergi terhadap ATDs, pasien harus ditangani dengan β-blocker, kalium
iodida, glukokortikoid, dan “cholestyramine potensial” dalam periode pre-
operasi sesegera mungkin. (2,11)
Cholestyramine adalah resin penukar anionik yang telah terbukti
berikatan dengan iodothyronine di saluran pencernaan, menurunkan
konsentrasi hormon serum tiroid ketika dikombinasi dengan thionamides dan
pemblokir β-adrenergik. (14)
Berkat keamanannya dan kemanjuran,
cholestyramine adalah terapi tambahan yang berguna untuk persiapan pra
operasi terutama pada pasien dengan parah Penyakit Graves yang resisten
terhadap terapi konvensional. Pengobatan kolestyramine dosis tinggi (dibagi
hingga 12 g tiga kali sehari) juga telah dilaporkan. (15)
Pasien hipertiroid yang menjalani tiroidektomi yang diobati hanya
dengan metoprolol selama 5 minggu sebelum operasi, tidak ada komplikasi
serius yang terjadi intra atau pasca operasi, jika dibandingkan dengan pasien
yang diberikan kombinasi metimazole dan levotiroksin pre-perawatan selama
12 minggu dengan tujuan untuk membuat mereka menjadi eutiroid. (2)
Terdapat rekomendasi kuat lain yang dibuat oleh American Thyroid
Association yang baru-baru ini diterbitkan berisi panduan yang berkaitan
secara khusus untuk mereka yang menjalani tiroidektomi. Pedoman ini
menyarankan suplemen kalsium secara oral, vitamin D, atau keduanya
sebelum operasi untuk mengurangi risiko hipokalsemia pasca operasi karena

17
cedera paratiroid atau meningkatnya turnover tulang. Referensi lain dalam
metaanalis faktor risiko hipokalsemia pasca operasi yang ditentukan, bahwa
kekurangan vitamin D dan penyakit Graves pre-operasi meningkatkan
kemungkinan komplikasi ini. (2)
Suplementasi kalsium pasca operasi secara
efektif mencegah hipokalsemia simptomatik dan biokimia setelah
tiroidektomi total, dan dapat digunakan dengan aman setelah prosedur
tiroidektomi. (11)
Kalsium oral diberikan 3 g per hari dimulai pada hari
pertama pasca operasi sampai hari keenam pasca operasi. (16)
Selain itu, ketika
pasca operasi hari pertama kadar hormon paratiroid 1 pmol / L, kalsitriol
tambahan 1-2 kali 0,25 ug dapat meringankan gejala hipokalsemia dan
memulihkan fungsi paratiroid. (17)
Maxwell, et al mengatakan bahwa suplemen kalsium dan kalsitriol
sebelum operasi dapat mengakibatkan peningkatan kadar kalsium serum
pasca operasi, kebutuhan replesi kalsium intravena pasca operasi yang lebih
rendah, dan hipokalsemia yang lebih simptomatik pada kelompok pasien
yang menjalani tiroidektomi total. Manfaat langsung pasien termasuk lebih
sedikit gejala, lama rawat inap yang berkurang secara signifikan, penurunan
penerimaan kembali rumah sakit, dan mengurangi biaya. Manfaat bagi
masyarakat termasuk pengurangan biaya perawatan kesehatan. (18)

F. TIROIDEKTOMI PADA KEHAMILAN


Tiroidektomi sebaiknya dihindari pada trimester pertama dan ketiga
kehamilan karena efek teratogenik yang terkait dengan agen anestesi dan
peningkatan risiko kehilangan janin pada trimester pertama dan peningkatan
risiko persalinan prematur di trimester ketiga. Secara optimal, tiroidektomi
dilakukan pada trimester kedua. Namun, meskipun ini adalah waktu yang
paling aman, ini bukan waktu yang aman tanpa risiko (4,5% -5,5% risiko
persalinan prematur). Operasi tiroid pada kehamilan juga berhubungan
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi, termasuk hipoparatiroidisme
dan cedera saraf laring berulang. (19)
Tiroidektomi harus dipertimbangkan dalam kasus alergi/
kontraindikasi untuk kedua ATD, pada pasien yang tidak sesuai dengan terapi
obat, dan pada wanita yang euthyroidism tidak dapat dicapai bahkan pada

18
dosis besar ATD. Jika operasi diindikasikan, trimester kedua adalah waktu
yang optimal. Tiroidektomi tidak menghilangkan TRAb dengan segera, dan
penarikan ATD pada ibu setelah tiroidektomi dapat menyebabkan
hipertiroidisme janin terisolasi. Nilai TRAb serum tinggi sebelum operasi
menunjukkan risiko hipertiroidisme janin terisolasi, dan setelah ibu menarik
ATD, suatu program pemantauan janin yang cermat dan kemungkinan terapi
harus direncanakan. Pada pasien hipertiroid tidak mentolerir atau tidak
responsif terhadap terapi ATD, persiapan untuk operasi dengan agen b-
blocking dan kalium kerja singkat, solusio iodida (50-100 mg / hari)
direkomendasikan. Persiapan kalium iodida sebelum operasi juga
direkomendasikan pada pasien dengan tanda-tanda penyakit aktif lainnya
untuk mengurangi perdarahan selama operasi. (19)
Tiroidektomi pada kehamilan dapat diindikasikan untuk skenario
unik. Jika diperlukan, waktu optimal untuk tiroidektomi yaitu pada trimester
kedua kehamilan. Jika maternal TRAb konsentrasi tinggi (> 3 kali referensi
atas untuk assay) janin harus dimonitor secara hati-hati untuk berkembangnya
hipertiroidisme janin sepanjang kehamilan, bahkan jika ibunya eutiroid pasca
tiroidektomi. (19)
Sesuai dengan American College of Obstetricians dan Komite
Konsensus Ginekolog tentang Praktek Kebidanan pedoman (ditulis pada 2011
dan direvisi pada 2015) yang menyatakan sebagai berikut: 1) Seorang wanita
hamil harus tidak pernah dapat diindikasikan operasi, terlepas dari trimester.
2) Operasi elektif harus ditunda sampai setelah melahirkan. 3) Jika
memungkinkan, pembedahan yang tidak mendesak harus dilakukan pada
trimester kedua ketika kontraksi prematur dan aborsi spontan paling tidak
mungkin. Dalam pengelolaan pasien dengan grave’s disease yang menjalani
pembedahan yang mendesak, operasi nontiroid, jika pasien terkontrol dengan
baik ATD, tidak perlu persiapan lain. Beta blocker seharusnya juga dapat
dimanfaatkan jika dibutuhkan. (19)
Pada pasien hipertiroid yang membutuhkan operasi emergensi, seperti
pada kondisi kehamilan molar, waktu optimal yang diperlukan untuk
stabilisasi keadaan hipermetabolik pada pasien ini belum disepakati. Namun

19
penggunaan kombinasi obat propiltiourasil, iodida dan deksametason telah
terbukti dapat memulihkan konsentrasi T3 serum dalam kisaran normal dalam
waktu 24-48 jam. Dengan demikian, secara teoritis aman untuk dilakukan
evakuasi kehamilan molar setelah interval waktu ini. Hipertiroidisme
sekunder untuk koriokarsinoma mungkin memerlukan waktu yang lebih lama
untuk diselesaikan dan karena itu disarankan ekstra hati-hati saat memberikan
anestesi pada subkelompok ini. (20)
Menunda evakuasi kehamilan molar untuk mengendalikan
hipertiroidisme diketahui akan meningkatkan morbiditas dan komplikasi
perioperatif. Angka kematian yang dilaporkan tinggi dan bervariasi dari 30%
hingga 60%. Kombinasi obat demikian digunakan untuk mengendalikan
keadaan darurat endokrin ini. Manajemen medis di ICU dan evakuasi
kehamilan molar yang tepat waktu bertanggung jawab atas keberhasilan pada
pasien seperti ini. (20)
Waktu paruh biologis beta blocker dipersingkat oleh kelebihan tironin
dalam tubuh, sehingga direkomendasikan peningkatan dosis beta blocker
pada pasien dengan hipertiroidisme trofoblastik. Dapat diberikan esmolol
infus dengan dosis 100 μg/kg/menit dan melanjutkannya sampai respons yang
memadai tercapai, detak jantung <100 detak/menit. Infus esmolol lebih
disukai untuk manajemen akut pada badai tiroid karena selektivitas β-1
meningkatkan keamanan obat dan juga memiliki waktu paruh yang lebih
pendek. (20)

G. KESIMPULAN

Meskipun hipotiroidisme dan hipertiroidisme merupakan situs terakhir


dari spektrum penyakit, efek beragam dari kekurangan hormon tiroid dan
hormon tiroid yang berlebihan terjadi di beberapa sistem organ sehingga akan
mempengaruhi pasien dengan kondisi komplikasi perioperatif tertentu,
beberapa di antaranya dapat menjadi parah atau bahkan fatal. Terlepas dari
ketakutan akan terjadinya myxedema koma yang melibatkan sistem saraf
pusat, pasien hipotiroid yang akan menjalani operasi merupakan predisposisi
untuk terjadinya anemia, gangguan elektrofisiologi, dan hipotensi, yang

20
semuanya dapat memicu kolaps kardiovaskular. Perubahan ginjal dan paru
dapat menyebabkan gangguan cairan, elektrolit, kegagalan pernapasan, dan
penurunan motilitas gastrointestinal yang dapat menjadi pencetus terjadinya
ileus. Demikian pula, penyakit Graves adalah komplikasi tirotoksikosis yang
dapat memicu aritmia, demam, gangguan pencernaan, dan bahkan perubahan
status mental dan dekompensasi kardiovaskular yang terkait dengan badai
tiroid. Dengan demikian, tujuan terapi perioperatif pada pasien dengan
disfungsi tiroid berupaya untuk menormalkan kadar hormon tiroid, sebelum
dilakukan intervensi bedah bila memungkinkan dan, ketika tidak dapat
diberikan, dapat menggunakan langkah-langkah lain untuk memaksimalkan
stabilitas hemodinamik dan mencegah dekompensasi.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Winter C. Thyroid Disease : Perioperative Guidelines. June 2016;
2. Marcia RP. Perioperative Management of Thyroid Dysfunction. Health
Services Insights. December 2016: 1-5.
3. Carty SE, et al. American Thyroid Association Statement on the Essential
Elements of Interdisciplinary Communication of Perioperative Information
for Patients Undergoing Thyroid Cancer Surgery. 2012;22(4):395-399.
4. Longbottom J, Macnab R. Thyroid Disease and Thyroid Surgery. Anaes and
Intens Care Med. 2014;15(10):458-464.
5. Vacante M, et al. Hypothyroidism as a Predictor of Surgical Outcomes in
the Elderly. Fronitiers in Endoc. April 2019;10:1-6.
6. Garber JR, et al. Clinical Practice Guidelines for Hypothyroidism in Adults :
Cosponsored by the American Association of Clinical Endocrinologists and
the American Thyroid Association. Endoc Pract. December 2012;18(6):988-
1028.
7. Pronovost PH, Kristin HP. Perioperative Management of Thyroid Disease.
Postgraduate Medicine. December 2017; 98(2): 83-98.
8. Jonklaas J, Bianco AC, Bauer AJ, et al. Guidelines for the treatment of
hypothyroidism. Prepared by American Thyroid Association task force on
thyroid hormone replacement. 2014; 27-28.
9. Gaitonde DY, Rowley KD, Sweeney LB. Hypotiroidism : An Update.
American Family Physician. August 2012; 86(3):244-251.
10. George JK, et al. Guideline for the Management Graves Hyperthyroidism.
Eur Thyr J. 2018; 7: 167-186.
11. Ross DS, Burch HB, Cooper DS, et al. 2016. American thyroid association
guidelines for diagnosis and management of hyperthyroidism and other
causes of thyrotoxicosis. Thyroid. 2016; 26: 1343–1421.
12. Bacuzzi A, et al. Anaesthesia for Thyroid Surgery : Perioperative
Management. Int J of Surgery. December 2008:82-85.
13. Parry Z, Macnab R. Thyroid Disease and Thyroid Surgery. Anaes and
Intens Care Med. 2017:1-8.
14. Caramelli B, Pinho C, Calderaro D, et al. 2007. I Guidelines for perioperatif
evaluation. 2007; 176-178.

22
15. Piantanida E. Perioperative management in patients with grave’s disease:
review article. Italy. 2017; 6: 476-481.
16. Langner E, Tincani AJ, Negro A. Use of prophylactic oral calsium after
total thyroidectomy: a prospective study. Brazil. 2016.
17. Luo H, Yang H, Wei T, et al. Protocol for management after thyroidectomy:
a retrospective study based on one-center experience. China. 2017; 639-640.
18. Maxwell AK, Shonka DC, Robinson DJ, Levine PA. Association of
Preoperative Calcium and Therapy with Postoperative Hypocalcemia After
Total Thyroidectomy. JAMA Otolaryngol Head Neck Surg.April 2013;1-6.
19. Alexander EK, Peace EN, Bren GA, et al. American thyroid association
guidlines for the diagnosis and management of thyroid disease during
prenancy and postpartum. 2017; 27: 324, 348.
20. Samra T, Kaur R, Sharma N, Chaudhary L. Peri-operative Concerns in a
Patients with Thyroid Storm Secondary to Molar Pregnancy. Indian J of
Anaesthe. 2015:739-742.

23

Anda mungkin juga menyukai