ABSTRAK
Kebijakan pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen untuk mendukung
terwujudnya penerimaan negara melalui kegiatan pemeriksaan pajak. Tujuan pemeriksaan
yang utama adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak (WP) dalam melaksanakan
pemenuhan kewajiban perpajakannya. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam hal ini
mempunyai fungsi yang krusial sebagai aparatur pemerintah untuk mengumpulkan pajak
ke dalam kas negara sebagaimana salah satu fungsi pajak yaitu budgeter. Artikel ini
bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemeriksaan terbaru yang dikeluarkan oleh DJP
dan memberikan usulan-usulan yang konstruktif untuk kebijakan pemeriksaan di tahun-
tahun mendatang. Implementasi kebijakan pemeriksaan ini menjadi sangat relevan untuk
meningkatkan efektivitas pemeriksaan dan menghasilkan pemeriksaan yang berkualitas
tinggi yang pada akhirnya akan mendukung pencapaian penerimaan pajak.
Kata kunci: kebijakan pemeriksaan pajak, kepatuhan wajib pajak, penerimaan pajak.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak memegang peranan yang vital dalam pembangunan negara Indonesia, karena
lebih dari 70% penerimaan negara bersumber dari pajak. Pajak merupakan kontribusi wajib
pajak kepada negara yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai sebuah kebijakan yang lebih memandang ke dalam
(inward looking policy), penerimaan dari sektor pajak diharapkan mampu mengurangi
ketergantungan pada utang luar negeri dan mampu membangkitkan kepercayaan diri
bangsa Indonesia (Harinurdin, 2009). Kebijakan pemeriksaan yang dirumuskan oleh DJP
bertujuan untuk tertib administrasi perpajakan, meningkatkan audit coverage ratio (ACR),
dan meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan.
B. Identifikasi Masalah
Dalam beberapa tahun terakhir sampai dengan tahun 2016 penerimaan pajak tidak
pernah tercapai. Penerimaan pajak terakhir kali mencapai target adalah pada tahun 2008
(Direktur Jenderal Pajak, 2013). Pencapaian target penerimaan pada tahun 2008 itupun
sedikit banyak dipengaruhi oleh kebijakan sunset policy yang diterapkan DJP pada saat itu.
Masalah ini mengundang berbagai macam pertanyaan apakah tidak tercapainya penerimaan
pajak tersebut disebabkan oleh penetapan target yang terlalu tinggi. Pertanyaan lain yang
mungkin mengemuka adalah apakah usaha yang dilakukan DJP untuk mencapai
penerimaan pajak tersebut yang belum optimal. Berbagai macam kebijakan telah
diupayakan DJP untuk mencapai target penerimaan pajak yang salah satunya adalah
melalui kebijakan pemeriksaan
Arah dan tujuan kebijakan pemeriksaan yang dikeluarkan oleh DJP adalah untuk
efektivitas pemeriksaan, meningkatkan kepatuhan WP, dan mencapai penerimaan pajak.
Kebijakan pemeriksaan merupakan salah satu instrumen untuk mendukung upaya
pencapaian penerimaan pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk memberikan
gambaran yang lebih deskriptif, maka dapat dilihat dari data dan fakta sebagaimana tabel
di bawah ini mengenai wajib pajak terdaftar dan wajib SPT, SPT Tahunan yang
disampaikan, serta kepatuhan pelaporan dalam pelaporan surat pemberitahuan (SPT).
Data Kepatuhan WP dalam Wajib Pajak SPT Kepatuhan
Pelaporan SPT dalam 5 tahun Terdaftar Wajib Tahunan Pelaporan
terakhir (dalam trilyun rupiah) SPT Disampaik SPT
Tahun an
2012 11.087.330 8.862.437 79,93%
2013 13.378.561 9.215.791 68,88%
2014 15.489.698 10.804.744 69,75%
2015 18.178.955 10.823.222 59,54%
2016 18.178.955 9.794.675 53,88%
Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih
rendah dan cenderung menunjukkan tren menurun dalam lima tahu terakhir. Hal ini
menunjukkan kesadarn melakukan kewajiban perpajakan di Indonesia masih rendah.
Masalah kepatuhan pajak ini merupakan masalah DJP yang serius. Rendahnya kepatuhan
ini pada akhirnya akan berpengaruh pada realisasi penerimaan pajak. Hal ini disebabkan
tidak tercapainya penerimaan pajak sejak tahun 2008 dipengaruhi juga oleh rendahnya
tingkat kepatuhan WP dalam melaporkan SPT. Hal ini yang menjadi argumentasi bahwa
kebijakan pemeriksaan menjadi sangat penting untuk dapat menunjang penerimaan karena
tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan WP dalam melakukan pemenuhan
kewajiban perpajakannya. Kepatuhan merupakan perilaku WP dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku (Witono, 2008). Dengan
kebijakan pemeriksaan yang tepat, diharapkan kepatuhan WP akan meningkat dan pada
akhirnya akan bermuara pada tercapainya penerimaan pajak.
III. KEBIJAKAN PEMERIKSAAN PAJAK MENURUT SURAT
EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-06/PJ/2016
Salah satu hal yang krusial dalam revitalisasi kegaitan pemeriksaan adalah proses
bisnis pemeriksaan yang pada intinya terdiri dari input, proses, dan output. Aspek input
terdiri dari proses pemilihan WP, SDM pemeriksa, dan peraturan perpajakan di bidang
pemeriksaan. Aspek proses terdiri dari Pelaporan dan Evaluasi Kualitas Pemeriksaan,
Kebijakan Teknis, Audit Tools, Teknik dan Metode, serta Tata Cara dan Prosedur. Aspek
output terdiri dari volume hasil pemeriksaan yang tinggi dan kualitas hasil pemeriksaan
yang baik.
Kualitas hasil pemeriksaan yang baik ditentukan dari WP yang akan diperiksa.
Terdapat batasan yang patut dipertimbangkan yaitu struktur WP yang dapat dikelompokkan
menurut skala usaha, tingkat kepatuhan WP, dan kemampuan pemeriksa pajak
(Budileksmana, 2001). Berdasarkan SE-06/PJ/2016, dalam melaksanakan suatu
pemeriksaan, setiap Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) harus membuat daftar sasaran
pemeriksaan dengan prioritas sebagai berikut: memiliki potensi pajak yang besar dan risiko
ketidakpatuhan yang tinggi, keberadaan penanggung pajak diketahui dan status usaha yang
masih aktif, dan prioritas pemeriksaan dilakukan terhadap WP yang belum pernah
dilakukan pemeriksaan.
Terdapat lima hal yang harus diperhatikan dalam pembinaan dan pengelolaan FPP
yaitu analisis kebutuhan pemeriksa pajak secara periodik, alokasi fungsional pemeriksa
pajak yang tepat untuk mencapai target penerimaan pajak, pengawasan progress
pemeriksaan secara periodik untuk efektivitas pemeriksaan, hubungan kerja antara
fungsional pemeriksa pajak dengan petugas pemeriksa pajak, dan evaluasi kinerja
pemeriksa pajak secara periodik dan akuntabel.
2. Pembinaan dan Pengelolaan Petugas Pemeriksa Pajak (P3)
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam pembinaan dan pengelolaan P3
yaitu penunjukan P3 yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas pemeriksaan
merupakan kewenangan Kepala UP2 dan hubungan kerja antara FPP dan P3 untuk
meningkatkan produktivitas pemeriksaan.
Peraturan yang mengatur penunjukan supervisor dan ketua tim pemeriksa pajak saat
ini adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2008 tentang Pedoman
Penunjukan Supervisor dan ketua Tim Pemeriksaan. Kepala UP2 mempunyai kewenangan
penuh untuk menunjuk susunan tim pemeriksa pajak dalam unit kerjanya. Namun, PER-
31/PJ/2008 ini dibuat pada saat DJP masih dalam tahap transisi menuju modernisasi
administrasi perpajakan sehingga sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Dengan
demikian peraturan ini sudah saatnya direvisi menyesuaikan dengan kondisi terkini di DJP
dimana terdapat 3 jenis unit vertical di KPP yaitu KPP WP Besar, KPP Madya, dan KPP
Pratama.
Tata cara pemeriksaan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-17/PMK.03/2013 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015 telah mengatur secara rinci tentang prosedur pemeriksaan mulai dari
persiapan pelaksanaan sampai dengan penyelesaian pemeriksaan. Namun hal ini akan lebih
baik lagi apabila dilakukan beberapa penyederhanaan baik dalam hal tahapan pelaksanaan
pemeriksaan dan dokumentasi pemeriksaan sehingga diharapkan ke depannya akan
memudahkan hubungan antara WP dan FPP. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis
sebagai pemeriksa pajak, masih banyak tahapan yang agak berbelit dalam pelaksanaan
prosedur yang tidak jarang menyulitkan baik FPP dan WP. Demikian pula untuk
dokumentasi pemeriksaan yang masih dimungkinkan untuk lebih disederhanakan lagi
ragam dan jenisnya.
Salah satu faktor penentu kualitas hasil pemeriksaan adalah prioritas WP yang akan
diperiksa. Dalam kebijakan pemeriksaan pajak pada dasarnya sudah terdapat prioritas WP
yang akan diperiksa antara lain WP yang kelebihan bayar pajak, WP yang tidak melaporkan
SPT selama 3 tahun berturut-turut. Untuk menentukan prioritas WP yang akan diperiksa,
sangat penting dipertimbangkan beberapa hal antara lain mengenai potensi penerimaan
pajak dari WP yang diperiksa dan risiko ketidak patuhan WP yang tinggi. Apabila hal
tersebut dimaksimalkan, maka kualitas hasil pemeriksaan kemungkinan besar akan optimal.
Hal yang tak kalah penting dan menjadi salah satu faktor kunci untuk mencapai
sasaran kebijakan pemeriksaan adalah sumber daya manusia (SDM). Dalam pasal 6 sampai
dengan pasal 10 PMK-17/PMK.03/2013 sebagaimana diubah dengan PMK-
184/PMK.03/2015 disebutkan tentang standar pemeriksaan yang terdiri dari standar umum,
standar pelaksanaan, dan standar pelaporan. Hal-hal yang diatur dalam standar umum ini
merupakan syarat pemeriksa pajak. Aspek penting dalam pengelolaan SDM di bidang
pemeriksaan ini adalah:
1. Perencanaan Kebutuhan Pemeriksa Pajak
Peningkatan kuantitas pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP secara otomatis
membutuhkan jumlah SDM yang meningkat pula. Perencanaan kebutuhan pemeriksa pajak
harus dilakukan secara cermat karena jumlah pemeriksa pajak ini harus dapat memenuhi
beban kerja pemeriksaan di masing-masing unit kerja. Dalam hal ini, koordinasi yang
intensif dan berkelanjutan mutlak dilakukan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan
sebagai direktorat teknis yang mengampu pemeriksa pajak dan Bagian Perencanaan,
Pengembangan, dan Pemberhentian Pegawai yang merupakan unit organisasi yang
menangani operasional SDM di DJP untuk dapat merencanakan kebutuhan pemeriksa pajak
dengan tepat sehingga tidak akan terjadi lagi gap pemeriksa pajak di suatu unit kerja.
2. Pola Karir Pemeriksa Pajak
Seorang pegawai yang telah memilih untuk menjadi pemeriksa pajak harus
dipikirkan pola karirnya. Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor
17 tahun 2016 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak dijelaskan bahwa terdapat 2
jenjang jabatan pemeriksa pajak yaitu kategori keterampilan (pelaksana/terampil, pelaksana
lanjutan/mahir, dan penyelia) dan kategori keahlian (pertama/ahli pertama, muda/ahli muda,
dan madya/ahli madya). Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pola karir
pemeriksa pajak ini adalah mekanisme kenaikan jenjang jabatan dan perpindahan jabatan
dari fungsional ke struktural maupun sebaliknya. Hal ini sangat penting untuk dilakukan
pengaturan karena tidak menutup kemungkinan pegawai yang telah menjadi pemeriksa
pajak akan berpindah jabatan struktural apabila organisasi membutuhkannya, begitu juga
sebaliknya.
V. KESIMPULAN
A. Simpulan