Anda di halaman 1dari 13

“ BENCH MARKING ”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Manajemen Mutu dan
Pembiayaan Pendidikan

Disusun oleh :
Viony Syafitra, S.Pd
Nomor Urut 15
(1810246875)
Kelas 1-B

Dosen Pengampu :
Dr. Rr. Sri Kartikowati, MA, M.Buss

PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2019
DESKRIPSI

A. Konsep Benchmarking
a. Pengertian Benchmarking
Terdapat berbagai definisi mengenai benchmarking (patok duga) oleh beberapa
para ahli, di antaranya sebagai berikut :
a. Gregory H. Watson dalam Tjutju mendefinisikan patok duga sebagai
pencarian secara berkesinambungan dan penerapan secara nyata praktik-
praktik yang lebih baik yang mengarah pada kinerja kompetitif yang unggul.
b. Goetsch dan Davis dalam Aswadi mendefinisikan patok duga sebagai proses
pembandingan dan pengukuran operasi atau proses internal organisasi
terhadap mereka yang terbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun dari
luar industri.
c. Prim Masrokan mendefinisikan benchmarking merupakan kegiatan untuk
menetapkan standar, baik proses maupun hasil yang akan dicapai dalam suatu
periode tertentu. Untuk kepentingan praktis, standar tersebut direfleksikan dari
realitas yang ada.
d. Benchmarking is an activity where organizations continuously engage in self-
study and compare themselves with the leaders in their fild so they can
identify, adapt, and apply significantly better practices
(http://www.ed.gov/pubs/policyforum/Spring9/ benchmark.htm)
e. benchmarking involves first examining and understanding your own internal
work procedures, then searching for best practices in other organizations that
match those you identified, and finally, adapting those practices within your
organization to improve performance. It is a systematic way of learning from
others and changing what you do
(http://www.ed.gov/pubs/policyforum/Spring9/ benchmark.htm)

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


benchmarking adalah suatu aktivitas di mana suatu organisasi (sekolah)
mengadakan evaluasi diri secara kontinu, dengan membandingkan dirinya dengan
organisasi (sekolah) lain yang terbaik, sehingga organisasi (sekolah) tersebut
dapat mengidentifikasi, mengadopsi dan mengaplikasikan praktik-praktik yang
lebih baik secara signifikan. Dengan kata lain, praktik-praktik yang telah
dilakukan oleh organisasi (sekolah) terbaik tersebut digunakan sebagai patokan
(benchmark atau patok duga) atau standar kinerja normatif oleh organisasi
(sekolah) yang ingin memperbaikinya. Dapat dikatakan juga bahwa tujuan patok
duga (benchmarking) adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dari
sebuah lembaga pendidikan lain, lalu diadaptasi, diseleksi, dan diperbaiki untuk
diterapkan pada lembaga pendidikan yang melaksanakan patok duga
(benchmarking) tersebut.

b. Jenis Benchmarking
Dalam pelaksanaannya/prakteknya, menurut Hiam dan Schewe
(Wibowo:2008) dikenal empat jenis dasar dari benchmarking yaitu:
a. Benchmarking Internal, pendekatan dilakukan dengan membandingkan operasi
suatu bagian dengan bagian internal lainnya dalam suatu organisasi, misalnya
dibandingkan kinerja setiap divisi di perusahaan, dilakukan antara
departemen/divisi dalam suatu perusahaan dalam satu group perusahaan.
b. Benchmarking Kompetitif, pendekatan dilakukan dengan mengadakan
perbandingan dengan berbagai pesaing, misalnya membandingkan karakteristik
produk dengan produk yang sama yang dihasilkan pesaing dalam pasar yang
sama.
c. Benchmarking Fungsional, pendekatan dengan diadakan perbandingan fungsi
atau proses dari perusahaan lain yang berada di berbagai industri, atau dengan
kata lain dilakukan perbandingan dengan perusahaan/industri yang lebih luas
atau pemimpin industri untuk fungsi-fungsi yang sama.
d. Benchmarking Generik, pendekatan dengan diadakan perbandingan pada
proses bisnis fundamental yang cenderung sama di setiap industri, atau dengan
kata lain perbandingan fungsi-fungsi usaha atau proses yang sama dengan
mengabaikan jenis industri.

Menurut Kurniadin (2012) Sedangkan cara yang biasa digunakan dalam


melakukan benchmarkingada empat cara, yaitu:
a. Riset in-house
Dilaksanakan dengan melakukan penilaian terhadap informasi dalam
perusahaan sendiri manapun informasi yang ada.
b. Riset pihak ketiga
Ditempuh dengan jalan menggunakan jasa pihak ketiga dalam pencarian
data dan informasi yang sulit didapat.
c. Pertukaran Langsung
Pertukaran informasi secara langsung melalui kuesioner, survei melalui
telepon dan sebagainya dengan perusahaan yang dijadikan mitra dalam
benchmarking.
d. Kunjungan Langsung
Dilaksanakan dengan melakukan kunjungan ke lokasi mitra benchmarking
untuk saling tukar informasi.

c. Faktor-faktor yang Mendorong Perusahaan Melakukan Benchmarking


Menurut Karloff dan Ostblom (Haryono:1996) konsep efisiensi yang ingin
dicapai melalui benchmarking mengandung 4 komponen dasar, yaitu:
a. Kualitas
b. Harga
c. Volume Produksi, dan
d. Biaya Produksi.

Benchmarking digunakan untuk menentukan proses yang akan diperbaiki


secara berkesinambungan, yang menawarkan jalan tercepat untuk mencapai
perbaikan kinerja yang nyata. Faktor –faktor yang dipertimbangkan untuk
mendorong suatu perusahaan melakukan patok duga,adalah sebagai berikut :
a. Komitmen terhadap TQM
b. Fokus pada pelanggan
c. Product – to – market time
d. Waktu siklus pemanufakturan
e. Laba
KAJIAN – KAJIAN

1. Judul Artikel : Strategi Benchmarking Dalam Meningkatkan Kinerja Di


Lembaga Pendidikan Islam (Studi Multi Kasus di MTsN Aryojeding dan
SMPI Al-Azhar Tulungagung)
Adapun data yang dapat penulis simpukan dari jurnal diatas adalah
Kontribusi terbesar yang dapat diambil dari studi benchmarking pada kedua
lembaga tersebut adalah tentang kinerja. Implementasi hasil benchmarking
berimplikasi pada perubahan kinerja. Hal tersebut nampak pada guru MTsN
Aryojeding yang telah melakukan pembinaan bagi siswa-siswi yang berprestasi
hingga saat ini mampu mengantarkan anak didiknya mengikuti olimpiade pada
tingkat Nasional di Palembang Sumatra Selatan yang dikirim pada awal Agustus
kemarin. Partisipasi guru tersebut mengindikasikan sikap semangat/antusiasme
tanpa mengenal lelah dalam melakukan pembinaan, sehingga potensi anak dapat
terus berkembang. Sedangkan, di Al-Azhaar untuk mengembangkan ke 4
kurikulumnya banyak mendapatkan wawasan dari benchmarking untuk
pengembangan pembelajaran di lembaganya utamanya dalam pembelajaran pada
program tahfidz, inklusif, dan AIS.

Analisis : Hal ini membuktikan bahwa metode benchmarking yang diterapkan


sekolah di atas dapat mempengaruhi dan meningkatkan kinerja guru. Hal ini sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Michael Paulus dan Devie (2013) bahwa
“terdapat pengaruh signifikan dan positif antara benchmarking terhadap kinerja
organisasi.,maka perusahaan yang menerapkan benchmarking akan meningkatkan
kinerja organisasi.”

2. Judul Artikel : Benchmarking Mutu Pelayanan Antenatal Care Di Puskesmas


Berdasarkan Trilogi Juran
Perlu dilaksanakanlah analisis pelaksanaan manajemen mutu di Puskesmas
Wiyung dan Manukan Kulon. Puskesmas Manukan Kulon akan dijadikan standar
bagi Puskesmas Wiyung karena sudah berhasil mencapai target Renstra Kemenkes
selama tiga tahun berturut-turut. Secara umum pelaksanaan perencanaan mutu di
kedua Puskesmas memiliki nilai komposit baik. Namun ada indikator yang perlu
diperbaiki pada Puskesmas Wiyung, dengan mencontoh pelaksanaan indikator
dari Puskesmas Manukan Kulon yaitu indicator tentang pengadaan survei
pengetahuan ibu hamil, survey harapan ibu hamil terhadap pelayanan, survey
kepuasan pelanggan dan pembentukan tim peningkatan mutu pelayanan antenatal
care. Hal yang dapat dicontoh dari Puskesmas Manukan Kulon sesuai dengan
hasil wawancara terhadap informan adalah meningkatkan mutu pelayanan
antenatal care dengan melaksanakan survei pengetahuan ibu hamil, survei
harapan ibu hamil, survei kepuasan ibu hamil dan membentuk tim peningkatan
mutu pelayanan antenatal careyang bertanggung jawab terhadap pelayanan.

Analisis : Pelaksanaan perencanaan mutu yang optimal perlu diupayakan dan


dijaga agar tetap optimal. Hal ini penting untuk diperhatikan karena permasalahan
utama dalam mutu adalah kesenjangan antara harapan dan pemenuhan kebutuhan
pelanggan. Menurut Juran&Godfrey (1999), tujuan dari perencanaan mutu adalah
untuk memastikan bahwa desain akhir dari produk tidak hanya mementingkan
penggunaan teknologi terbaik, melainkan juga tentang kebutuhan pelanggan,
sehingga harapan dan pemenuhan kebutuhan dapat selaras. Namun demikian,
keberhasilan dari perencanaan mutu tidak terlepas dari pelaksanaan pengendalian
mutu dan peningkatan mutu yang optimal pula. Sehingga, meskipun perencanaan
mutu dilaksanakan dengan baik tetapi pengendalian dan peningkatan mutu tidak
dilaksanakan dengan baik, pelayanan yang bermutu kemungkinan besar juga tidak
akan terwujud.

3. Judul Artikel : Benchmarking dalam Manajemen Sebuah Perpustakaan


Dalam organisasi perpustakaan, terdapat kegiatan-kegiatan antara lain:
perencanaan pembangunan gedung, perencanaan pengadaan, perencanaan
pengolahan, perencanaan layanan, perencanaan sistem layanan, perencanaan
kerjasama, dan perencanaan pengembangan, dan lain-lain.
Rangkaian kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan oleh sebuah
perpustakaan dalam rangka mewujudkan tujuan perpustakaan tersebut yakni
menyediakan, mengolah dan memberikan layanan sumber daya informasi kepada
pemakai perpustakaan. Dalam mencapai sasarannya, baik pada setiap bagian
kegiatan dalam perpustakaan maupun perpustakaan secara utuh, manajemen
perpustakaan akan mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan
masyarakat pemakai. Oleh karena itu dalam waktu tertentu perpustakaan ini perlu
melaksanakan benchmarking.
Kegiatan benchmarking meliputi tiga fungsi yaitu pada proses kerja, jasa
(layanan) dan pada produk (lihat benchmarking kategori fungsional). Oleh karena
itu pada manajemen perpustakaan dapat melakukan evaluasi dalam tiap
perencanaan kegiatan dengan menerapkan benchmarking baik secara eksternal
pada fungsi-fungsi yang dimaksudkan.

Analisis : Persaingan dalam konteks sistem pelayanan terhadap masyarakat


pemakai perpustakaan harus ditumbuhkembangkan agar terjadi perkembangan
organisasi perpustakaan di Indonesia. Selain itu penghargaan terhadap eksistensi
sebuah perpustakaan sebagai sumber daya informasi dan pengetahuan dan
pustakawan sebagai manajernya akan lebih baik. Mengapa sebuah perpustakaan
cenderung melakukan benchmarking, akan diperoleh jika dalam keadaan adanya
harapan kepuasan baik secara moril maupun secara materil. Oleh karena itu
menciptakan suasana seperti ini adalah tugas bagi para pustakawan dan
pemerintah khususnya, dan pendidik, peneliti, serta tokoh masyarakat secara
umum.
ANALISIS

Formulasi benchmarking merupakan suatu proses awal yang memiliki bias


aksi, bukan hanya sekedar studi banding atas suatu proses pendidikan di lembaga lain
yang lebih unggul, akan tetapi bagaimana agar hasil benchmarking tersebut dapat
menjadi patokan untuk diimplementasikan di lembaga yang melakukan benchmark.
Melalui formulasi benchmarking yang komprehensif, sebuah lembaga pendidikan
akan mampu membuat sebuah patokan dalam menjabarkan rencana-rencana yang
lebih spesifik ke arah tujuan-tujuan yang lebih luas (Kurniadin, 2012)
Formulasi benchmarking yang komprehensif merupakan sebuah kegiatan
perencanaan yang berorientasi pada wawasan yang luas untuk memprediksi segala
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang. Kegiatan
formulasi tidak terlepas dari peran kepala sekolah sebagai konseptor dan penggerak
dari seluruh sumber daya sekolah. Karena pada dasarnya pemilihan strategi ini muncul
dari kepala sekolah. Sehingga dalam perencanaan/formulasi harus benar-benar difikirkan
tentang apa tujuan dan harapan atas pelaksanaan strategi benchmarking ini. Terlebih
dahulu kepala sekolah harus memiliki keteguhan suatu visi dengan menanamkan
komitmen perubahan menuju lebih baik serta mengidentifikasi job description yang jelas
bagi bawahan yang tergabung dalam tim benchmarking ini. Selain itu tim juga harus
berbekal informasi yang memadai seputar lembaganya sendiri dan memiliki topik
pembahasan yang jelas dan terarah. Hal ini harus dipahami benar oleh anggota tim
benchmarking, sehingga dalam pelaksanaan ke lembaga tujuan sudah memiliki konsep
studi yang matang.
Dalam melakukan formulasi strategi benchmarking komprehensif ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni: 1) berorientasi pada visi dan misi
lembaga; 2) memahami karakteristik lembaganya sendiri; 3) membentuk team-work; 4)
penentuan lembaga unggul yang menjadi patokan; dan 5) penentuan topik
benchmarking.
Pelaksanaan studi benchmarking di lembaga tujuan dapat menggunakan
beberapa metode di antaranya: wawancara, kuesioner, dan dokumentasi. Data hasil
benchmarking yang telah dikumpulkan akan lebih obyektif bilamana dianalisis dan
dikomunikasikan dengan seluruh individu yang terdapat dalam suatu lembaga yang
telah melakukan benchmark. Komunikasi ini penting karena hasil benchmarking
tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di lembaganya sendiri, sehingga perlu
adanya adaptasi dan seleksi.
Hasil benchmarking tidak dapat diterapkan dalam sebuah lembaga secara
mentah. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa implementasi hasil
benchmarking perlu dikomunikasikan dengan pertimbangan-pertimbangan yang
matang. Pertimbangan yang utama adalah tentang culture/budaya organisasi. Penting
pula untuk dipahami bahwa tidak semua hasil benchmarking cocok untuk diterapkan
di lembaga yang melaksanakan studi benchmark, artinya perlu diadaptasi dan
dikembangkan/disempurnakan kembali.
Edwards Deming dalam Watson (1996) mengatakan bahwa: “bagaimanapun
benchmarking bukanlah sekedar metode menjiplak dari perusahaan lain.” Hal ini
juga senada yang disampaikan oleh Nisjar dan Winardi di dalam Tjuju menyatakan
bahwa benchmarking dapat dirumuskan sebagai aktivitas imitation with modification,
dimana di dalam istilah modification sudah terkandung makna improvement.
Hal ini muncul dari sebuah anggapan bahwa tidak ada “seorang yang kembar
sekalipun memiliki karakteristik yang sama”. Artinya, sebaik apapun sebuah program
diterapkan di lembaga unggul dan berhasil dengan sukses belum tentu bisa diadopsi
sama persis di lembaga lain, karena faktor karakteristik dan culture yang berbeda.
Selain itu juga pertimbangan pada faktor lain, misalnya kesediaan sumber daya yang
capable dan faktor biaya. Tentunya bagi lembaga unggul yang menjadi tujuan
benchmarking merupakan lembaga yang sudah memiliki great dan branding,
sehingga asupan dana tidak menjadi kendala lagi, apalagi ditambah bila sekolah
tersebut adalah lembaga swasta yang bebas mencari sumber dana dari manapun.
Crown dalam Wahyudi (1997) berpendapat tentang hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam implementasi strategi, antara lain: 1) menetapkan tujuan tahunan,
2) menetapkan tujuan, 3) memotivasi karyawan, 4) mengembangkan budaya yang
mendukung, 5) menetapkan struktur yang efektif, 6) menyiapkan budget, 7)
mendayagunakan sistem, 8) menghubungkan kompensasi karyawan dengan
performance/kinerja organisasi. Berdasarkan pendapat Crown tersebut, selain
implementasi strategi dikaitkan dengan culture, budgeting, dan kapabilitas karyawan
juga dikaitkan pula dengan performance/kinerja organisasi. Kinerja organisasi
berhubungan erat dengan sumber daya sekolah, utamanya tenaga pendidik, siswa,
maupun tenaga kependidikan. Melalui keikutsertaan mereka dalam studi
benchmarking dapat menambah wawasan dan motivasi mereka untuk mencapai hasil
yang unggul pula. Melalui pelaksanaan strategi benchmarking kemungkinan besar
akan menghasilkan terobosan-terobosan baru yang dapat lebih mengoptimalkan
kinerja/proses kerja dari seluruh sumber daya sekolah serta dapat meningkatkan
produktivitas kerja. Hal yang paling nampak dari kontribusi kegiatan benchmarking
adalah semangat atau antusiasme yang muncul dari segenap anggota tim
benchmarking, karena mereka menyadari ketertinggalannya dan menggugah
keinginan untuk selalu proaktif dalam memberdayakan kemampuan dirinya.
Pelaksanaan perencanaan mutu yang optimal perlu diupayakan dan dijaga
agar tetap optimal. Hal ini penting untuk diperhatikan karena permasalahan utama
dalam mutu adalah kesenjangan antara harapan dan pemenuhan kebutuhan
pelanggan. Menurut Juran&Godfrey (1999), tujuan dari perencanaan mutu adalah
untuk memastikan bahwa desain akhir dari produk tidak hanya mementingkan
penggunaan teknologi terbaik, melainkan juga tentang kebutuhan pelanggan,
sehingga harapan dan pemenuhan kebutuhan dapat selaras. Namun demikian,
keberhasilan dari perencanaan mutu tidak terlepas dari pelaksanaan pengendalian
mutu dan peningkatan mutu yang optimal pula. Sehingga, meskipun perencanaan
mutu dilaksanakan dengan baik tetapi pengendalian dan peningkatan mutu tidak
dilaksanakan dengan baik, pelayanan yang bermutu kemungkinan besar juga tidak
akan terwujud.
Pengendalian adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan kepastian tentang
pelaksanaan program atau pekerjaan/kegiatan yang sedang atau telah dilakukan
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Kegiatan pengendalian/pengawasan
pada dasarnya digunakan untuk membandingkan kondisi yang ada dengan yang
seharusnya terjadi. Kegiatan pengendalian dalam konteks manajemen stratejik
dilakukan oleh manajer dengan tujuan untuk mengawasi perumusan (formulasi),
penerapan (implementasi) yang telah diformat sebelumnya.
Menurut Kurniadin (2012) tujuan pengendalian strategi adalah sebagai
berikut:
a. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan,
pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan.
b. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan,
pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan.
c. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik.
d. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi, daan akuntabilitas
organisasi.
e. Meningkatkan kelancaran operasi organisasi
f. Meningkatkan kinerja organisasi.
g. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah
pencapaian kinerja yang ada.
h. Menciptakan terwujudnya organisasi yang bersih.

Dalam pengendalian strategi/evaluasi tidak terlepas dengan adanya


komunikasi dua arah. Salah satu cara komunikasi yang lazim dilaksanakan dalam
organisasi adalah pertemuan/rapat. Menurut Soetopo (2012) Ada beberapa jenis
pertemuan atau rapat yang perlu diketahui, yaitu:
a. Pertemuan/rapat instruktif : Rapat ini bertujuan untuk memberikan perintah
melalui pertemuan. Biasanya berisi petunjuk pelaksanaan peraturan, kebijakan,
dan program baru yang harus dilaksanakan oleh staff.
b. Pertemuan/rapat inkuisitif : Rapat ini bertujuan untuk mendengarkan pendapat
dan saran para anggota staff tentang suatu hal.
c. Pertemuan/rapat informative : Rapat ini bertujuan untuk memberitahukan sesuatu
yang baru kepada para anggota rapat, sehingga berkembang wawasan staff untuk
meningkatkan mutu kinerjanya.
d. Pertemuan/rapat progesif : Rapat ini bertujuan untuk mencari jalan keluar dalam
mengembangkan instansi atau lembaga. Biasanya kepala sekolah sudah
mempunyai konsep pengembangan, tetapi perlu memperoleh masukan dari para
staf dalam mengembangkan usahanya.
e. Pertemuan/rapat kompromitif : Rapat ini bertujuan untuk memadukan
pertentangan, perbedaan, sehingga memperoleh titik temu tentang suatu pokok
persoalan.
Rapat juga banyak dijadikan media untuk melakukan evaluasi atau control
terhadap agenda-agenda yang telah dijalankan. Untuk itu dalam proses pengendalian
strategi perlu adanya keterbukaan dari berbagai pihak.
Untuk mengetahui atau melihat sejauh mana efektivitas dari implementasi
strategi, dilakukan tahapan berikutnya, yaitu evaluasi strategi yang menyangkut
aktivitas-aktivitas berikut: 1) meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang
merupakan dasar dari strategi yang telah ada, 2) menilai kinerja strategi, 3)
melakukan langkah koreksi, dan 4) pelaporan dan pertanggungjawaban.
Menurut Al Assaf (2004), peningkatan mutu merupakan sebuah sistem yang
digunakan untuk meningkatkan kualitas produk. Tujuannya adalah untuk mencapai
level variasi yang rendah dalam sebuah proses untuk membuat stabil dalam sistem
serta untuk mengendalikan dampak. Sedangkanmenurut Juran & Godfrey (1999),
peningkatan mutu akan berhasil melalui kegiatan pengujian kebutuhan terhadap
peningkatan mutu; penetapan infrstruktur yang diperlukan dalam menjamin upaya
peningkatan mutu; pengidentifikasian kebutuhan spesifik untuk peningkatan mutu;
pembentukan tim proyek dengan tanggung jawab yang jelas; penyediaan tim dengan
sumber daya, pelatihan dan motivasi untuk mendiagnosis penyebab dan berupaya
untuk mengatasinya; serta penetapan pengendalian agar tetap padajalurnya.
Berdasarkan teori tersebut, maka bila pelaksanaan peningkatan mutu tidak optimal,
peningkatan mutu atau kualitaspun tidak akan pula didapat secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Assaf, 2004. Mutu Pelayanan Kesehatan Perspektif Internasional. Jakarta: EGC.


Hendyat Soetopo.2012. Perilaku Organisasi: Teori dan Pratik di Bidang Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Juran, J.M., & Godfrey, A.B., 1999.Juran’s Quality Handbook Fifth Edition. USA:
McGraw-Hill.
Kurniadin, Didin dan Imam Machali. 2012. Manajemen Pendidikan: Konsep &
Prinsip Pengelolaan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Lubis, Aswadi. Peningkatan kinerja melalu strategi benchmarking. Jurnal Volume 2,
No. 1, Januari-Juni 2016.
Michael Paulus dan Devie, 2013. Analisa Pengaruh Penggunaan Benchmarking
Terhadap Keunggulan Bersaing dan Kinerja Perusahaan.
Nafisah, Ummu dan Ratna Dwi Wulandari. BENCHMARKING MUTU
PELAYANAN ANTENATAL CARE DI PUSKESMAS BERDASARKAN
TRILOGI JURAN. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2
Nomor 4 Oktober-Desember 2014
Prim Masrokan Mutohar.2013. Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Peningkatan
Mutu dan Daya Saing Lembaga Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media
Tjutju Yuniarsih dan Suwanto. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia: Teori,
Aplikasi dan Isu Penelitian. Bandung: Alfabeta
Wahyudi, Agustinus Sri. 1996. Manajemen Strategic: Pengantar Proses Berfikir
Strategik. Bandung: Binarupa Aksara
Watson, Gregory H. 1996. Strategic Benchmarking (Mengkur Kinerja Persahaan
Anda Dibandingkan Perusahaan-perusahaan Terbaik Dunia). Terj. Robert
Haryono Imam dan Titis Eddy Arini. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Wibowo. 2008. Manajemen Kinerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Wince, Eke. Benchmarking dalam Manajemen Sebuah Perpustakaan. Jurnal Ilmu
Perpustakaan dan Informasi (TIK ILMU E) VOL.2, NO.1, 2018

Anda mungkin juga menyukai