Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Mycobakterium tuberculosis, bakteri ini merupakan bakteri basil yang

sangat kuat sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengobatinya.

Tuberkulosis paru masih terus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama

dinegara berkembang (Andayani , Astuti, 2017). Keluhan yang dirasakan pada

pasien tuberculosis paru dapat bermacam – macam, pemeriksaan sputum

adalah penting karena dapat ditemukan kuman BTA, diagnosis tuberculosis

paru suda dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaaan sputum juga dapat

memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.

Penduduk dunia pada tahun 2015 sejumlah kurang lebih 9,6 juta telah

terinfeksi kuman tuberkulosis . wilayah Afrika merupakan wilayah dengan

angka kejadian tuberkulosis paru paling banyak yaitu sebesar 37% , wilayah

Asia Tenggara sebesar 28% dan wilayah Mediterania Timur sebesar 17%.

Jumlah kasus baru BTA positif tahun 2014 di Indonesia sebanyak 176.677

kasus (Fadillah, 2017).

Data profil dinas kesehatan kota Manado Pada tahun 2017 jumlah kasus

baru tuberkulosis paru sebanyak 990 kasus. Prevalensi tuberkulosis paru pada

tahun 2016 sebanyak 981 kasus dan 2015 sebanyak 1,261 kasus. Jumlah kasus

tuberkulosis paru di puskesmas Tuminting sebanyak 153 kasus (Dinkes, 2017 ).

1
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang

pengaruh pemberian latihan batuk efektif terhadap produksi sputum yang

berlebihan pada pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Tuminting.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas didapatkan rumusan masalah :

Apakah ada pengaruh pemberian latihan batuk efektif terhadap produksi

sputum berlebihan pada pasien tubekulosis paru di Puskesmas Tuminting ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian latihan batuk efektif terhadap

produksi sputum berlebihan pada pasien tubekulosis paru di Puskesmas

Tuminting

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi pemberian latihan batuk efektif pada pasien

tuberkulosis paru di Puskesmas Tuminting

b. Untuk mengidentifikasi produksi sputum yang berlebihan pada pasien

tuberkulosis paru di Puskesmas Tuminting

c. Untuk menganalisa pengaruh pemberian latihan batuk efektif terhadap

produksi sputum berlebihan pada pasien tubekulosis paru di Puskesmas

Tuminting.

2
D. Manfaat Penelitian

1. Peneliti

Untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama

pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Manado

serta sebagai bahan dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya.

2. Profesi Keperawatan

Sebagai bahan dorongan untuk mengeksistensikan profesi keperawatan

kedepan dengan lebih konsentrasi dalam Standar Operasional Prosedur.

3. Puskesmas

Sebagai bahan masukan bagi puskesmaas tuminting agar mengupayakan

peningkatan Standar Operasional Prosedur demi meningkatkan kualitaas

asuhan keperawatan.

4. Institusi Pendidikan

Sebagai bahan masukan bagi mahasiswaa khususnya program studi

keperawatan agar dapat memberikan pelayanan keperawatan seesuai dengan

Standar Operasional Prosedur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM BATUK EFEKTIF

1. Pengertian Batuk Efektif

Batuk adalah gejala yang paling dini dan merupakan gangguan yang

paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk

biasa. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul

pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun di pagi

hari. Untuk mengeluarkan sekret dengan baik caranya dengan cara batuk

yang benar yaitu batuk efektif.

Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar dan pasien dapat

mengeluarkan dahak secara maksimal. Batuk dapat mengeluarkan lendir

yang tertahan pada jalan napas. Batuk dalam dan produktif lebih

menguntungkan dari pada membersihkan tenggorok. Tujuan batuk efektif

adalah untuk mengeluarkan sekret dari saluran pernapasan bawah. Dampak

dari pengeluaran sekret yang tidak lancar akibat ketidakefektifan jalan nafas

adalah penderita mengalami kesulitan bernafas dan gangguan pertukaran gas

di dalam paru-paru yang mengakibatkan timbulnya sianosi, kelelahan, apatis

serta merasa lemah (Budianto & Agustanti, 2017).

2. Mekanisme batuk

Mekanisme batuk adalah inhalasi dalam penutupan glotis, kontraksi

aktivitas otot- otot ekspirasi dan pembukaan glotis. Inhalasi dalam

meningkatkan volume paru dan diameter jalan nafas memungkinkan udara

melewati sebagian plak lendir yang mengobstruksi atau melewati benda

4
asing lain. Kontraksi otot – otot ekspirasi melewati glotis yang menutup

sehingga menyebabkan tekanan intra thorak yang tinggi, saat glotis

membuka aliran udara yang besar keluar dengan kecepatan yang tinggi

memberikan mukus kesempatan bergeraak ke jalan nafas bagian atas,

sehingga mukus dapat dicairkan dan dikeluarkan (Chasanah, 2018).

3. Standar Operasional Prosedur ( SOP ) Batuk Efektif

Latihan batuk efektif merupakan aktivitas perawat untuk membersihkan

sekresi pada jalan nafas. Penulis melakukan tindakan batuk efektif pada

responden dengan mengacu pada teori (Maskuro, 2018).

a. Pengkajian Keperawatan

1. Kaji Program / Instruksi Medis

2. Kaji status pernafasan yang mengindikasikan dilakukan nya tehnik

batuk efektif

3. Kaji tngkat pengetahuan klien tentang batuk efektif

4. Kaji kemampuan klien dalam melakukan tehnik batuk efektif

b. Perencanaan Keperawatan

1. Klien dan keluarga kooperatif selama tindakan

2. Klien dan keluarga memahami tujuan dari dilakukan nya tehnik batuk

efektif

3. Klien dapat mengikuti arahan / intruksi yang diberikan oleh perawat

4. Klien dapat melakukan tindakan sendiri pada sesi latihan berikutnya

5. Persiapan alat

6. Hanscoon dan masker wajah untuk proteksi

5
7. Pot sputum / bengkok yang sudah diberi desinfektan

8. Tissu dan celemek / handuk kecil

9. Stetoskop

c. Keperawatan

1. Mengucapakan salam

2. Memprkenalkan diri

3. Menjelaskan tujuan tindakan

4. Mendekatkan peralatan kedekat tempat tidur pasien

5. Melakukan cuci tangan menggunakan 6 langkah

6. Menjaga privasi pasien dengan menutup jendela / pintu / gorden

7. Menggunakan hanscoon dan masker sebagai proteksi

8. Memberikan posisi High fowler ( 80 – 90 derajat )

9. Memasang celemek / alas dada pada pasien

10. Meletakkan bengkok / pot sputum berisi desinfektan pada pangkuan

klien.

11. Mengajarkan prosedur pada klien : klien menarik nafas dalam secara

perlahan – lahan, tahan 1 – 3 detik lalu hembuskan perlahan melalui

mulut kurang lebih 3 kali. Lalu mengajarkan pada klien untuk menarik

nafas dalm secara perlahan tahan 1 – 3 detik pada saat hendak

ekspirasi. Klien dianjurkan untuk melakukan batuk efektif ( batuk kuat

dengan bantuan otot – otot abdomen ).

6
12. Menganjurkan klien untuk menarik nafas dalam secara perlahan –

lahan. Tahan 1 – 3 detik lalu hembuskan perlahan – lahan melalui

mulut.

13. Menganjurkan kembali klien untuk menarik nafas dalam secara

perlahan – lahan. Tahan 1 – 3 detik. Pada saat hendak ekspirasi, klien

dianjurkan untuk melakukan batuk efektif ( batuk kuat dengan

bantuan otot – otot abdomen ).

14. Menganjurkan pasien membuang sputum yang dihasilkan ke pot

sputum / bengkok yang sudah berisi desinfektan.

15. Membersihkan mulut klien jika terdapat bekas sputum yang

menempel menggunakan tisu.

16. Menganjurkan klien untuk mengulangi prosedur batuk efektif

sebanyak 2 – 6 kali hingga pasien merasa nyaman. Setiap

pengulangan brikan waktu istirahat selama 5 menit.

Mengevaluasi kenyamanan pasien, keluhan sesak , frekuensi

pernafasan, pola pernafasan, ada tidak nya sputum yang tertelan,

pengetahuan pasien tentang prosedur tindakan yang telah dilakukan.

C. TINJAUAN UMUM SPUTUM

1. Pengertian Sputum

Sputum adalah bahan yang disekresi dalam traktus trakheo bronchial

yang dikeluarkan dengan cara membatukkan. Walaupun kelenjar submukosa

dan sel sekretorik lapisan mukosa dalam keadaan normal dapat mensekresi

cairan viskoelastis sampai 100 ml per hari (Budiharjo & Purjanto, 2016).

7
Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan

fisik, kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa),

menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal

seperti tadi, sehingga mukus ini banyak tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran

mukosa akan terangsang, dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intra

thorakal dan intra abdominal yang tinggi. Sputum yang keluar hendaknya

dapat dievaluasi sumber, warna, volume, dan konsistennya karena kondisi sputum

biasanya memperlihatkan secara spesifik proses kejadian patologik pada

pembentukan sputum itu sendiri. Membran mukosa saluran pernafasan

berespons terhadap inflamasi dengan meningkatkan keluaran sekresi yang

sering mengandung mikroorganisme penyebab penyakit.

2. Jenis Pemeriksaan Sputum

a. Pewarna gram

Pemeriksaaan dengan pewarnaan gram dapat memberikan informasi

tentang jenis mikroorganisme untuk menegakkan diagnosis presumatif.

b. Kultur Sputum

Pemeriksaan kultur sputum dilakukan untuk mengidentifikasi organisme

spesifik guna menegakkan diagnosis definitif.

c. Sensitivitas

Pemeriksaan sensitivitas berfungsi sebagai pedoman terapi antibiotik

dengan mengidentifikasi antibiotik yang mencegah pertumbuhan

organisme yang terdapat dalam sputum.

d. Basil tahan asam (BTA)

8
Pemeriksaan BTA dilakukan untuk menentukan adanya Mycobacterium

tuberculosa, yang setelah dilakukan pewarnaan bakteri ini tidak

mengalami perubahan warna oleh alkohol asam

e. Sitologi

Pemeriksaan sitologi ditujukan untuk mengidentifikasi adanya keganasan

(karsinoma) pada paru-paru. Sputum mengandung runtuhan sel dari

percabangan trakheobronkhial; sehingga mungkin saja terdapat sel-sel

malignan. Sel-sel malignan menunjukkan adanya karsinoma, tidak

terdapatnya sel ini bukan berarti tidak adanya tumor atau tumor yang terdapat tidak

meruntuhkan sel.

f. Tes Kuantitatif

Pengumpulan sputum selama 24 sampai 72 jam. Pemeriksaan kualitatif harus sering

dilakukan untuk menentukan apakah sekresi merupakan saliva, lendir,

pus, atau bukan. Jika bahan yang diekspektorat berwarna kuning-hijau

biasanya menandakan infeksi parenkim paru (pneumonia). Untuk

pemeriksaan kualitatif, klien diberikan wadah khusus untuk mengeluarkan

sekret. Wadah ini ditimbang pada akhir 24 jam. Jumlah serta karakter isinya dicatat

dan diuraikan.

3. Klasifikasi Sputum

Sputum yang dikeluarkan hendaknya dapat dievaluasi sumber, warna,

volume, dan konsistensinya, karena kondisi sputum biasanya

memperlihatkan secara spesifik proses kejadian patologik pada

9
pembentukan sputum itu sendiri. klasifikasi bentukan sputum dan

penyebabnya :

a. Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan,

kemungkinan berasal dari sinus, atau saluran hidung, bukan berasal dari

saluran napas bagian bawah.

b. Sputum banyak sekali dan purulent adalah proses supuratif (eg. Abses

paru)

c. Sputum yang terbentuk perlahan dan terus meningkat sebagai tanda

bronchitis / bronkhiektasis.

d. Sputum kekuning-kuningan adalah proses infeksi.

e. Sputum hijau adalah proses penimbunan nanah. Warna hijau ini dikarenakan adanya

verdoperoksidase yg dihasikan oleh PMN dalam sputum. Sputum hijau

ini sering ditemukan pada penderita bronkhiektasis karena penimbunan

sputum dalam bronkus yang melebar dan terinfeksi.

f. Sputum merah muda dan berbusa adalah tanda edema paru akut.

g. Sputum berlendir, lekat, abu-abu / putih adalah tanda bronkitis kronik.

h. Sputum berbau busuk adalah tanda abses paru / bronkhiektasis.

Sedangkan bagi interpretasi untuk penyakit TBC, berdasar hasil

pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:

Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA

positif

10
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

biakan positif b.

Tuberkulosis paru BTA (-)

a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan

kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif.

b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.

tuberculosis positif.

4. Manfaat Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum bersifat mikroskopik dan penting untuk diagnosis

etiologi berbagai penyakit pernapasan. Pemeriksaan mikroskopik dapat

menjelaskan organisme penyebab penyakit pada berbagai pneumonia

bacterial, tuberkulosa, serta berbagai jenis infeksi jamur. Pemeriksaan

sitologi eksfoliatif pada sputum dapat membantu diagnosis karsinoma paru-

paru. Sputum dikumpulkan untuk pemeriksaan dalam mengidentifikasi

organisme patogenik dan menentukan apakah terdapat sel-sel malignan atau tidak.

Aktifitas ini juga digunakan untuk mengkaji sensitivitas (di mana terdapat

peningkatan eosinofil). Pemeriksaan sputum secara periodik mungkin

diperlukan untuk klien yang mendapat antibiotik, kortikosteroid, dan

medikasi imunosupresif dalam jangka panjang, karena preparat ini dapat

menimbulkan infeksi oportunistik. Secara umum, kultur sputum digunakan

dalam mendiagnosis untuk pemeriksaan sensitivitas obat dan sebagai

11
pedoman pengobatan. Jika sputum tidak dapat keluar secara spontan, klien

sering dirangsang untuk batuk dalam dengan menghirupkan aerosol salin yang sangat

jenuh, glikol propilen yang mengiritasi, atau agen lainnya yang diberikan dengan

nebulizer ultrasonic.

TINJAUAN UMUM TUBEKULOSIS PARU

1. Pengertian Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis ( TBC ) paru adalah penyakit infeksi yang menular yang

disebabkan oleh bakteri mycobakterium Tuberkulosis . Bakteri ini berbentuk

batang dan bersifat tahan asam sehingga di kenal dengan basil tahan asam (

BTA ) .Tuberkulosis Paru merupakan salah satu penyakit penyakit saluran

pernafasan bagian bawah (Sitorus; Lubis; Kristiani;, 2018).

2. Gejala Klinis

Gejala umum penyakit Tuberkulosis paru adalah (Muttakin, 2015) :

a. Batuk

Batuk merupakan satu refleks protektif yang timbul akibat iritasi

percabangan trakheabronhkial. Kemampuan untuk batuk merupakan

mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran pernafasan bagian

bawah , selain itu batuk merupakan gejala paling umum dari penyakit

saluran pernafasan. Rangsangan yang menimbulkan batuk biasanya

rangsangan mekanis , kimia dan peradangan.inhalasi debu, asap dan

benda – benda yang kecil merupakan hal yang sering merangsang batuk.

Setiap proses peradangan juga di tandai dengan batuk.

b. Batuk Darah

12
Batuk darah adalah keluarnya darah dari saluran pernafasan akibat

pecahnya pembuluh darah dari saluran pernafasan bagian bawah ( dari

glotis kebawah ). Gejala awal biasanya rasa gatal pada tenggorokan atau

adanya keinginan untuk batuk. Lalu dikeluarkan lewat batuk. Darah

berwarna merah terang , berbuih dan dapat bercampur dengan sputum.

c. Produksi Sputum Berlebih

Orang dewasa normal membentuk sputum kurang lebih 100 ml/hari,

jika produksi berlebihan proses pembersihan mungkin tidak efektif lagi

sehingga sputum akan tertimbun, perlu dipelajari sumber sputum, warna ,

volume dan konsistensi sputum.

d. Sesak Nafas

Sesak nafas merupakan gejala nyata adanya gangguan

trakeobronkhial, parenkim paru , dan rongga pleura. saat terjadi sesak

nafas, ada terjadi peningkatan kerja pernafasan akibat bertambahnya

resistensi elastis paru

e. Nyeri Dada

Nyeri dada merupakan gejala yang timbul akibat radang pada pleura ,

nyeri itu bagikan teriris – iris dan tajam di perberatkan dengan batuk,

bersin dan nafas yang dalam sehingga penafasan cepat dan dangkal.

f. malaise : anoreksia, nafsu makan menurun, sakit kepala, nyeri otot,

keringat malam (Padila, 2013).

3. Penyebaran Mycobakterium Tuberkulosis

13
Mycobakterium Tuberkulosis ditularkan melalui udara bukan melalui

kontak permukaan. Ketika penderita TB Paru aktif ( BTA positif dan foto

rontgen positif ) batuk, bersin, berteriak atau bernyayi baktri akan keluar

dari paru – paru menuju udara. Bakteri ini akan berada dalam gelembung

cairan bernama droplet nuclei. Partikel kecil ini bertahan diudara selama

beberapa jam. Penularan TB terjadi jka seseorang menghirup droplet nuclei.

Droplet nuclei akan melewati saluran hidung, saluran pernafasan atas,

bronchus ,kemudian menuju alveolus (Iri16). Setelah tubercle bacillus masuk

kedalam jaringan paru ,kuman ini akan memperbanyak diri dan menyebar

kelenjar limfe. Ada empat faktor penentu terjadinya terjadinya penyebaran

penyakit TBC (Kuswandi, Irianti, Yasin, & Kusumaningtyas, 2016) yaitu :

a. Daya tahan tubuh seseorang rendah

b. Infectiousness ( tingkat penularan )

Tingkat penularan penderita TB berhubungan dengan jumalah

tubercle bacillus yang dikeluarkan oleh penderita ke udara. Makin tinggi

derajat positif hasil dahak, makin menular penderita tersebut.

c. Faktor klinis

Faktor klinis terdiri dari keberadaan batuk, khususnya batuk selama 3

minggu atau lebih, penyakit saluran nafas, khususnya yang berhubungan

dengan laring (sangat menular), mulut dan hidung gagal ditutup ketika

batuk, serta ketidak sesuaian / kurangnya terapi.

d. Lingkungan

14
Faktor lingkungan mempengaruhi konsentrasi M. tuberculosis. Faktor

lingkungan penyebab meningkatnya penyebaran M. tuberculosis adalah

Konsentrasi droplet nuclei, ruangan, ventilasi, sirkulasi udara,

penanganan specimen.

e. Kontak

Durasi kontak dengan penderita TB menular, frekuensi kontak

dengan penderita, paparan fisik dengan penderita.

4. Fakto Resiko Kejadian Tuberkulosis Paru

a. Pendidikan

Semakin rendah pendidikan seseorang maka semakin besar risiko

untuk menderita TB paru. Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan

yang nantinya berhubungan dengan upaya pencarian pengobatan.

Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah

satu faktor pencetus (predisposing) yang berperan dalam mempengaruhi

keputusan seseorang untuk berperilaku sehat. Semakin tinggi pendidikan

seseorang maka pengetahuan tentang TB semakin baik sehingga

pengendalian agar tidak tertular dan upaya pengobatan bila terinfeksi

juga maksimal. rendahnya tingkat pendidikan akan menyebabkan

rendahnya tingkat pengetahuan dalam hal menjaga kebersihan

lingkungan yang tercermin dari perilaku penderita yang masih banyak

membuang dahak serta meludah sembarang tempat (Nurjana, 2015).

b. Ekonomi

15
Penyakit TB paru selalu dikaitkan dengan kemiskinan. Keluarga yang

mempunyai pendapatan lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga

kebersihan lingkungan rumah tangganya, menyediakan air minum yang

baik, membeli makanan yang jumlah dan kualitasnya memadai bagi

keluarga mereka, serta mampu membiayai pemeliharaan kesehatan yang

mereka perlukan. Sedangkan masyarakat dengan sosial ekonomi rendah

mengakibatkan kondisi gizi yang buruk, perumahan yang tidak sehat dan

rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan

Tidak ada perubahan tren TB yang dikaitkan dengan krisis ekonomi

telah dilaporkan di Indonesia. Populasi umum di Amerika Serikat untuk

implikasi dari penelitian ini adalah bahwa kesulitan ekonomi merupakan

tantangan yang signifikan untuk program pengendalian TB di Amerika

Serikat dan bahwa pengawasan TB dapat dilakukan dengan mudah

ditingkatkan dengan menganalisis perubahan yang lebih detail dalam

insiden dan memperhitungkan tidak hanya kejadian tetapi juga tren

terkait TB kematian dan rawat inap (Herero & Lopez, 2019).

c. Body Mass Indeks ( BMI )

Body mass indeks mempengaruhi kejadian tuberculosis paru. status

gizi yang diukur dari BMI memiliki pengaruh dengan kejadian

tuberkulosis paru. BMI underweight akan mempengaruhi daya tahan

tubuh seseorang sehingga meningkatkan risiko kejadian tuberkulosis paru

(Prihanti & sulistiyawati, 2015).

d. Riwayat Imunisasi BCG

16
Mempengaruhi kejadian tuberkulosis. Pemberian BCG dapat

meningkatkan pertahanan tubuh terhadap tuberkulosis paru sampai 80%.

e. Riwayat Kontak Dengan Penderita Tuberculosis

Mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru. Tinggal bersama dengan

penderita secara terus-menerus sehingga pada proses ini melalui batuk

atau bersin penderita TB Paru positif menyebarkan kiman ke udara dalam

bentuk percikan dahak.

f. Riwayat Merokok

Mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru. Merokok dapat merubah

fungsi normal makrofag di alveolus dan imunologi host sehingga

meningkatkan resiko infeksi seperti TB paru.

g. Jenis Kelamin Dan Usia

Faktor resiko jenis kelamin dan usia. mayoritas pasien pada Negara

berkembang seperti Indonesia justru lebih banyak terjadi pada usia

produktif dan jumlah total masyarakat usia produktif juga paling tinggi di

negara berkembang.

5. Pencegahan Penularan TB Paru

a. Health Coaching

Health coaching merupakan salah satu praktik pendidikan kesehatan

yang meliputi empat tahapan yaitu pengkajian kesiapan, pemberian

edukasi dan motivasi, melatih tindakan pencegahan penularan dan

motivasi serta evaluasi dan memberikan motivasi berulang. Hal ini

dilakukan berusaha untuk membantu individu mengungkapkan tentang

17
apa yang ingin mereka capai, apa yang mengganggu, apa yang mereka

ingin ubah, apa dukungan yang mereka butuhkan, membantu membuat

perubahan dan kesulitan yang perlu ditangani atau diminimalkan

sehingga mampu mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi. Pemberian

health coaching bertujuan untuk meningkatkan efikasi diri pasien TB

paru. Efikasi diri seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang antara

lain; jenis kelamin,usia dan tingkat pendidikan (Sitanggang, 2017).

b. Program Pencegahan dan Penanggulangan TB paru ( P2 TB )

Tugas dan tanggung jawab pemegang program P2TB yang sudah

sesuai dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis dari

Departemen Kesehatan RI tahun 2008 yaitu memberikan penyuluhan

kepada masyarakat, mengumpulkan dahak, mengirim sediaan hapus

dahak suspek TB paru ke laboratorium dengan mengisi formulir TB 05,

mengisi kartu penderita TB paru (TB 01) dan kartu identitas penderita

TB paru (TB 02), memeriksa kontak terutama dengan penderita TB paru

BTA positif, dan memantau jumlah penderita TB paru yang ditemukan.

Tugas dan tanggung jawab yang belum sesuai dengan ketetapan

Kementrian Kesehatan RI yaitu mengisi buku daftar suspek (TB 06),

membuat sediaan hapus dahak dan memantau jumlah suspek TB paru

yang diperiksa dalam periode waktu yang ditetapkan (Nugraini & Cahyati,

2015).

Strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly

Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy (DOTS) dan terbukti

18
sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif

(cost- efective). Penerapan strategi DOTS secara baik disamping secara

tepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya Multi 3 Drugs

Resistance Tuberculosis (MDR -TB). Fokus utama DOTS adalah

penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien

menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara

terbaik dalam upaya pencegahan TB (Pranowo, 2014) .

19
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konseptual Penelitian

Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep –

konsep yang akan diukur atau diamati melalui penelitian yang akan dilakukan.

Diagram dalam kerangka konsep menunjukkan hubungan antara variabel -

variabel yang akan diteliti (Masturoh & Anggita, 2018).

Kerangka konsep penelitian dijelaskan seperti seperti gambar 3.1. sebagai

berikut :

Variabel Idependen Variabel Dependen

Produksi Sputum Yang


Latihan Batuk Efektif
Berlebihan pasien TB
Paru

Ket : : Variabel yang diteliti.


: Pengaruh

Gambar 3.1 Kerangka konsep Pengaruh pemberian latihan batuk efektif terhadap
produksi sputum yang berlebihan pada pasien TB Paru

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian (Noor,

2017). Dari kerangka konseptual diatas maka hipotesisnya adalah ;

1. Hipotesa H0 = Tidak ada pengaruh pemberian latihan batuk efektif terhadap

produksi sputum berlebihan pada pasien TB Paru

20
2. Hipotesa Ha = ada pengaruh pemberian latihan batuk efektif terhadap

produksi sputum berlebihan pada pasien TB Paru

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen ( bebas ):

Latihan batuk efektif

2. Variabel dependen ( terikat ) :

Produksi sputum pasien TB Paru

D. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi terhadap variabel berdasarkan konsep teori

namun bersifat operasional, agar variabel itu dapat diukur (Swarjana, 2015)

Tabel 3.1 Definisi operasional

Definisi Alat Skala


No Variabel Parameter Skor
Operasional Ukur ukur
1. Independen : Batuk efektif
Batuk efektif adalah tindakan Kenyamanan SOP Ordinal
mandiri Pengetahuan SAP
keperawatan yang
bertujuan untuk
mengeluarkan
dahak.

2. Dependen : Produksi sputum


Produksi sputum pasien TB Paru Pengetahuan Lembar Interval
pasien TB Paru adalah akumulasi observasi
secret yang
berlebihan yang
disebabkan
penyakit infeksi
yang menular.

21
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Rancangan penelitian pada hakekatnya merupakan suatu strategi untuk

mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai

pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian. Desain yang

dipakai dalam penelitian ini adalah pre eksperimen ( one group pretest and

posttest desing ) yaitu penelitian yang menggunakan satu kelompok subjek

diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah

intervensi ( Nursalam, 2011)

Pre test tindakan Post test

01 X 02

Keterangan :

01 : Observasi pengetahuan sebelum latihan batuk efektif

X : Latihan batu efektif

02: Observasi pengetahuan sesudah latihan batuk efektif

B. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Tuminting. Waktu penelitian

dilaksanakan pada Juni 2019.

C. Populasi dan Teknik Sampel

1. Populasi

22
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya (Setiadi,2013).

Populasi dalam penelitian ini semua pasien yang terdiagnosis TB Paru.

2. Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi. Jumlah sampel yang diambil adalah

seluruh populasi dari pasien TB Paru di Puskesmas Tuminting yang

memenuhi kriteria inklusi.

a. Kriteria inklusi adalah ciri – ciri yang harus dipenuhi oleh setiap

anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel :

1) Responden yang terdiagnosis TB Paru

2) Responden yang berobat di puskesmas Tuminting

3) Bersedia menjadi responden

b. Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang

memenuhi kriteria inklusi dan studi karena berbagai sebab :

1) Responden yang berumur dibawah 15 tahun

2) Responden yang tidak hadir saat penelitian

3. Teknik pengambilan sampling

Teknik pengambilan sampling yang digunakan adalah non probability

sampling dengan teknik pengumpulan menggunakan sampling jenuh.

Yaitu teknik penetuan sampel bila semua anggota populasi digunakan

sebagai sampel. Hal ini dilakukan jika jumlah populsi relative kecil kurang

23
dari 30 orang, atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan

kesalahan yang sangat kecil.

D. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data adalah

lembar observasi yaitu pernyataan atas penelitian yang sedang diamati oleh

peneliti.( Sujarweni V.Wiratna,2014). Selain itu juga Satuan acara

pembelajaran ( SAP ), dengan Standar operasional prosedur ( SOP ).

E. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian terutama untuk melihat

tampilan distribusi frekuensi dan presentase dari tiap-tiap variable.

2. Analisa Bivariat

Untuk melihat hubungan dari variabel independen terhadap variabel

dependen dengan mengunakan uji statistic Wilcoxon.

F. Etika Penelitian

Penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek tidak boleh

bertentangan dengan etika. Tujuan penelitian harus etis dalam arti hak pasien

harus dilindungi (Nursalam,2010). Lembar disebarkan kepada subjek yang

diteliti dengan menekankan pada masalah-masalah etika :

a. Informed concent (informasi untuk responden)

Lembar persetujuan diedarkan sebelum penelitian dilaksanakan agar

responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian, serta dampak yang

akan terjadi selama dalam pengumpulan data. Jika responden bersedia

24
diteliti mereka harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika tidak

peneliti harus menghormati hak-hak responde.

b. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian, maka peneliti

tidak mencantumkan namanya pada lembar dan kuesioner data, cukup

nomor kode pada masing-masing lembar yang hanya diketahui oleh peneliti

c. Confidentiality (kerahasiaan)

Kerasahiaan responden dijamin oleh penelitiu. Hanya kelompok data

tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset.

25
DAFTAR PUSTAKA
Andayani , Astuti. (2017). prediksi kejadian penyakit tuberkulosis paru
berdasarakan usia dikabupaten ponorogo tahun 2016-2020. Indonesian
Journal for Health Sciences, 01(02), 29-33
http://scholar.google.co.id/scholar_url?url=http%3A%2F%2Fjournal.ump
o.ac.id%2Findex.php%2FIJHS%2Farticle%2Fdownload%2F482%2F547
&hl=en&sa=T&ei=3RDgXJ6sK4eTmAHOsaGwCA&scisig=AAGBfm2d
H1phX0H1xgldV3iNBJBZ3StC5w&nossl=1&ws=1366x600&at=.
Budianto, & Agustanti. (2017). PENGARUH EDUKASI BATUK EFEKTIF
TERHADAP PERILAKU BATUK EFEKTIF PASIEN POST OPERASI.
Jurnal Keperawatan,, VIII(2), 181 http://ejurnal.poltekkes-
tjk.ac.id/index.php/JKEP/article/view/927/705.
Chasanah. (2018). PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA PENYAKIT
PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI BALAI BESAR
KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA. 6
http://eprints.ums.ac.id/64234/12/NASKAH%20PUBLIKASI%20rev.pdf.
Dinkes. ( 2017 ). profil kesehatan provinsi sulawesi utara. manado,
https://docplayer.info/115755963-Profil-kesehatan-kota-manado-tahun-
2017.html.
Fadillah. (2017). hubungan karakteristik pengawas minum obat terhadap
kepatuhan berobat pasien tuberkulosis di puskesmas prgaan 2016. Jurnal
Bekala Epidemiologi, 5(3), 338-350. https://e-
journal.unair.ac.id/JBE/article/download/5654/4269.
Herero, & Lopez. (2019). Slowdown in the Decline of Tuberculosis Rates in 200-
2016. American Journal of Public Health, 109(2), 308-312
10.2105/AJPH.2018.304816.
Kuswandi, Irianti, Yasin, & Kusumaningtyas. (2016). Mengenal Anti -
Tuberkulosis. Yogyakarta:
https://repository.ugm.ac.id/273526/1/Draft%20Buku%20Antituberkulosis
%2014%20Desember.pdf.
Maskuro. (2018). asuhan keperawatan pada tn.A dengan TB paru yang mengalami
maslah keperawatan ketidakefektifan kebersihan jalan nafas diruang melati
RSUD.dr Haryoto Lumajang. Digital Reposytori Jember, 37-38
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/87031/Masquro-
%20152303101054.pdf%20Sdh.pdf?sequence=1.
Masturoh, & Anggita. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Kemenkes RI http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2018/09/Metodologi-Penelitian-Kesehatan_SC.pdf.
Muttakin. (2015). asuhan keperwataan klien dengan gangguan sistem penafasan.
Banjarmasin: Salemba Medika

26
https://books.google.co.id/books?id=G3KXne15oqQC&pg=PA87&dq=tb
+paru&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiWyrqlyqbiAhUDYawKHczUAn4Q
6AEINjAC#v=onepage&q=tb%20paru&f=false.
Noor. (2017). Metodologi Penelitian : skripsi, thesis, disertasi, karya ilmiah.
Jakarta: KENCANA
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=VnA-
DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=metlit+hipotesis&ots=fC9F2StGSm
&sig=Lc17JXmMZiDZHFc4dX4joa5Un2E&redir_esc=y#v=onepage&q=
metlit%20hipotesis&f=false.
Nugraini, & Cahyati. (2015). EVALUASI INPUT CAPAIAN CASE
DETECTION RATE (CDR) TB PARU. Unnes Journal of Public Health,
4(2), 146 https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/article/view/5191.
Nurjana, M. (2015). Faktor Resiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia Produktif (
15-49 tahun ) di Indonesia. Media Litbangkes, 25(3), 167-168
10.22435/mpk.v25i3.4387.163-170.
Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam . Yogyakarta: Nuha
Medika.
Pranowo. (2014). EFEKTIFITAS BATUK EFEKTIF DALAM PENGELUARAN
SPUTUM UNTUK PENEMUAN BTA PADA . 2 http://akbidmr.ac.id/wp-
content/uploads/2016/04/jurnal-penelitian-crisanthus-wahyu-p.pdf.
Prihanti, & sulistiyawati. (2015). Analisis Faktor Resiko Kejadian Tuberkulosis
Paru. Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Keluarga, 11(2), 130-131
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/view/4207/4570.
Sitanggang. (2017). health coaching berbasis health promotion model terhadap
peningkatan efikasi diri dan perilaku pencegahan penularan pada pasien
TB Paru. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes , VIII(4), 175
10.33846/sf.v8i4.188.
Sitorus; Lubis; Kristiani;. (2018). penerapan batuk efektif dan fisoterapi dada pada
pasien tb paru yang mengalami ketidak efektifan jalan nafas di RSUD
Jakarta Utara. JAKHKJ, 4(2), 2
http://ejurnal.husadakaryajaya.ac.id/index.php/JAKHKJ/article/viewFile/9
7/75.
Swarjana. (2015). Metode Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: CV.ANDI OFFSET
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=DjrtCgAAQBAJ&oi=fnd
&pg=PR3&dq=metlit+hipotesis&ots=u-
kIe_Gx5I&sig=Q95SBUcHZLm8XqOrxG0WUcp8Q9c&redir_esc=y#v=o
nepage&q=metlit%20hipotesis&f=false.

27

Anda mungkin juga menyukai