Disusun Oleh:
Pembimbing:
Christianie, drg., SpPerio
Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Gigi
dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.Makalah dengan judul:
Oleh:
Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut manusia yang memiliki
banyak fungsi dan peranan seperti dalam proses pencernaan, mengisap, menelan, persepsi rasa,
bicara, respirasi, dan perkembangan rahang. Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan lidah dapat
digunakan untuk melihat kondisi kesehatan seseorang sehingga digunakan sebagai indikator untuk
mengetahui kesehatan oral dan adanya gangguan metabolisme.
Glossitis merupakan suatu kondisi peradangan akut ataupun kronis yang terjadi pada lidah
yang ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan daerah
kemerahan yang mengkilat (Dorland,2011). Penyakit ini dapat mencerminkan gangguan dari lidah
itu sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit sistemik tubuh yang penampakannya ada pada
lidah. Glossitis dapat menyerang pada semua tingkatan usia dan kelainan ini lebih sering dijumpai
pada laki- laki dibandingkan pada wanita. (Byrd, 2003)
Terdapat beberapa penyabab dari glossitis ini, bisa lokal maupun sistemik. Bakteri dan
infeksi virus dapat merupakan penyebab lokal dari glossitis. Trauma atau iritasi mekanis dari
makanan yang terlalu panas, gigi atau peralatan gigi merupakan penyebab lokal yang lain. Iritasi
lokal seperti dari tembakau, alkohol dan makanan yang pedas ataupun makan yang berbumbu
dapat juga menciptakan kondisi glossitis ini. Suatu reaksi alergi dari pasta gigi,obat kumur dan
bahan bahan lain yang diletakkan di dalam mulut merupakan salah satu penyebab lokal.
Glossitis sistemik merupakan hasil dari kelainan nutrisi, penyakit kulit dan infeksi sistemik.
Seseorang dengan kekurangan gizi atau malnutrisi atau kurangnya asupan vitamin B dalam dietnya
juga dapat menyebabkan glossitis. Kadangkala penyebab dari glossitis ini adalah keturunan. Suatu
pemeriksaan yang mendalam merupakan hal yang perlu dilakukan untuk mendapatkan penyebab
dari glossitis ini secara pasti. Biopsi perlu dilakukan apabila penyebabnya tidak jelas dan tidak ada
kemajuan setelah dilakukan perawatan. Perawatan intensif perlu dilakukan apabila pembengkakan
pada lidah ini membesar dan menghalangi jalannya udara pada proses pernafasan (Mangold,
2016).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Lidah
A. Anatomi
Lidah merupakan massa jaringan ikat yang tersusun oleh otot lurik yang diliputi oleh
membran mukosa. Membran mukosa melekat erat pada otot karena jaringan penyambung
lamina propia menembus ke dalam ruang-ruang antar berkas-berkas otot. Lidah merupakan
bagian tubuh penting untuk indra pengecap yang terdapat kemoreseptor untuk merasakan
respon rasa asin, asam, pahit dan rasa manis. Tiap rasa pada zat yang masuk ke dalam rongga
mulut akan direspon oleh lidah di tempat yang berbeda-beda. Lidah sebagian besar terdiri dari
dua kelompok otot, yaitu otot intrinsik dan ektrinsik. Otot intrinsik lidah melakukan semua
gerakan halus, sementara otot ektrinsik mengaitkan lidah pada bagian-bagian sekitarnya serta
melaksanakan gerakan-gerakan kasar yang sangat penting pada saat mengunyah dan menelan.
Lidah mengaduk makanan, menekannya pada langit-langit dan gigi hingga mendorongnya
masuk faring. Lidah terletak pada dasar mulut, sementara pembuluh darah dan urat saraf masuk
dan keluar pada akarnya. Ujung serta pinggiran lidah bersentuhan dengan gigi-gigi bawah,
sementara dorsum merupakan permukaan melengkung pada bagian atas lidah.
Gambar 1.1 Anatomi Lidah
Dorsum pada pars oralis linguae mempunyai sulcus medianus linguae yang dangkal.
Tunica mucosa umumnya berwarna merah muda dan basah serta kelihatan seperti kain bludru
karena adanya banyak papilla kecil.
Papilla lingualis merupakan penonjolan lamina propria tunica mucosa, yang ditutupi oleh
epithel. Dari papilla ini dijumpai 4 jenis utama :
1) Papilla filiformis (papilla conicae)
Papilla yang paling kecil dan paling banyak jumlahnya, berupa tonjolan
berbentuk konus dengan ujung yang tajam mengarah ke pharynx, dan menutupi 2/3
permukan atas anterior lidah berwarna keputihan akibat tebalnya epithel bertanduk.
Berfungsi mekanik dan taktil.
2) Papilla Fungiformis
Papilla ini mempunyai kepala yang membulat berwarna merah serta biasanya
mangandung colliculus gustatorius.tersebar pada apex dan margo linguae. Pada
neonatus lebih banyak daripada dewasa. Pada bayi papil tersebut mengandung
banyak colliculus gustatorius tetapi tidak ada kelenjar-kelenjar pengecap.
3) Papilla vallatae (dahulu dikenal sebagai papilla circum vallata)
Merupakan papilla yang terbesar. Jumlahnya bervariasi dari 3 sampai 14 dan
tersusun dalam deretan berbentuk huruf V di depan sulcus terminalis. Mengandung
colliculus gustatorius dan kelenjar pengecap.
4) Folia atau papilla foliata
Pada lidah terdiri atas ajur dan rigi yang tidak konstan di dekat bagian posterior
linguae.
Gambar 1.2 Papilla lingualis
Ada 4 macam rasa pengecapan yaitu : asam, asin, pahit, manis dideteksi oleh sisi lidah
yang berlainan. Akan tetapi di antara alat pengecap tersebut tidak dapat dikenali perbedaannya
baik dengan mikroskop biasa ataupun dengan mikroskop electron.
Dorsum pada pars pharyngealis menghadap kearah posterior, sedangkan pars oralis
menghadap ke arah anterior. Basis linguae membentuk dinding depan pars pharyngealis dan
hanya dapat diamati dengan menggunakan cermin atau dengan menekan lidah bawah dengan
spatula. Tunica mucosa yang menutupi pars pharyngealis tidak menunjukkan adanya papilla,
mengandung banyak glandula serosa dan tampak tidak rata karena adanya noduli lymphatici
di dalam tunica submucosa yang ada di bawahnya.
Akar lidah adalah bagian lidah yang terletak pada dasar mulut.la dilekatkan ke
mandibula dan os hyoideum oleh m. geniohyoideus dan m. mylohyiodeus.
Otot-otot yang menyusun lidah dapat dibedakan otot intrinsik dan otot extrinsik. Otot-
otot intrinsik terdapat hanya di dalam lidah, terdiri atas :
1) Sepasang m. longitudinalis superior, berfungsi untuk memendekkan dan membuat
dorsum linguae concave.
2) Sepasang m. longitudinalis inferior, berfungsi memendekkan lidah dan membuat
dorsum linguae convek.
3) M. trasversalis, berfungsi untuk menyempitkan dan memanjangkan lidah.
4) M. verticalis, berfungsi untuk melebarkan dan memipihkan lidah.
Biasanya salah satu dari 3 otot tersebut berfungsi sebagai antagonis terhadap kedua otot
yang lain, mengkontraksikan otot lateral menyebabkan relaksasi otot antagonis. Jadi jika m.
tranversus dan m. verticalis kontraksi, maka m. longitudinalis relaksasi dan lidah menjadi tipis
dan panjang.Jika m. longitudinalis dan m. tranversalis kontraksi maka m. verticalis relaksasi
sehingga lidah menjadi pendek dan tebal.Jika m. longitudinalis dan m. verticalis kontraksi
maka serat-serat tranversal relaksasi sehingga lidah menjadi pendek, datar dan lebar.
Otot-otot extrinsik berorigo pada tulang-tulang di keliling lidah atau bangunan lain.
Otot-otot extrinsik terdiri atas :
1) Sepasang m. genioglossus
2) Sepasang m. hyoglossus
3) Sepasang m. palatoglossus (m. glossopalatinus)
4) Sepasang m. stylogiossus
Innervasi lidah Motorik (GSE) melalui n. hypoglosus untuk menginnervasi semua otot
lidah, kecuali m palatoglossus yang diinnervasi oleh pars cranialis n. accessorius yang berjalan
dalam n .X melalui plexus pharyngeus.
Innervasi sensorik lidah SVA (gustatorik) yang melalui chorda thympani n. VII (2/3
anterior lidah) dan n. IX (1/3 posterior lidah), GSA yang melalui n. lingualis n. V (2/3 anterior
lidah), GVA dari n. IX (1/3 posterior lidah) dan n. laryngeus internus (n. X) bagian paling
posterior dan radix linguae.
Sepertiga bagian belakang lidah dan papillae vallatae diinnervasi oleh ramus lingualis
cabang n. glossopharyngeus untuk sensasi umum dan pengecap. Serabut-serabut saraf lain
berasal dari ramus lingualis n. facialis (pengecap). Sedang di dekat epiglottis diinnervasi oleh
ramus internus n. laryngeus superior cabang n. vagus (sensasi umum dan pengecap).Jadi
nn.craniales yang berhubungan dengan pengecap ialah n. VII, IX dan X. Vascularisasi
Lidah divascularisasi oleh a. lingualis yang dipercabangkan oleh a. carotis externa
setinggi cornu majus ossis hyoidei.la berjalan ke frontal di sebelah medial m. hyoglossus. Di
sini ia mempercabangkan a. sublingualis yang terus pergi ke frontal. Kemudian a. lingualis
bercabang menjadi a. profunda linguae dan rr. dorsalis linguae. Rr. dorsalis pergi ke arah
dorsum linguae, a. profunda linguae pergi ke apex linguae antara m. genioglossus dan m.
longitudinalis inferior.
Vena dari lidah mengikuti a. lingualis dan n. hypoglossus merupakan venae
commitantes, sedang v. lingualis profunda merupakan vena pokok dan terbesar terlihat pada
tepi posterior lidah. Semua venae pada tepi posterior m.hypoglossus akan bersatu
membentuk v. lingualis yang mencurahkan isinya ke v. facialis atau v. jugularis interna.
(Netter, 2011)
II. Glositis
A. Definisi
Glositis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada lidah yang ditandai
dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan daerah kemerahan
yang halus dan mengkilat. Glositis bisa terjadi akut atau kronis. Penyakit ini dapat
mencerminkan kondisi dari lidah itu sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit tubuh
yang gejalanya muncul pada lidah. Keadaan ini dapat menyerang pada semua tingkatan
usia. Kelainan ini sering menyerang pada laki-laki dibandingkan pada wanita (Goswami et
al., 2012).
Faktor risiko :
1. Seorang pecandu alcohol
2. Seorang perokok
3. Memiliki riwayat keluarga menderita glossitis
4. Mengunyah tembakau
5. Sebelumnya ada riwayat trauma gigi
G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi peradangan. Penatalaksanaan
pembengkakan dan rasa tidak nyaman di mulut dilakukan dengan pemberian obat-obatan
secara oral. Pengobatan glositis tergantung pada penyebabnya. Antibiotik digunakan untuk
pengobatan infeksi bakteri. Bila penyebabnya adalah defisiensi besi, maka diperlukan
suplemen zat besi.Obat kumur yaitu campuran setengah teh, baking soda dan dicampur
dengan air hangat. Bila pembengkakan dirasakan parah, bisa diberikan kortikosteroid.
Topikal kortikosteroid juga mungkin berguna untuk penggunaan sesekali misalnya
triamcinolone dalam pasta gigi yang diterapkan beberapa kali sehari. Kebersihan mulut yang
baik sangat penting. Hindari iritasi seperti tembakau, panas, pedas makanan dan alcohol
(Picciani et al., 2012).
H. Komplikasi
1. Disfagia
Disfagia (dysphagia) adalah kesulitan menelan makanan.Kondisi ini biasanya menjadi
tanda adanya masalah pada tenggorokan atau kerongkongan.Sebagian pasien dengan
disfagia mengalami kesulitan menelan beberapa jenis makanan tertentu dan cairan.
Pada kasus lain, pasien mengalami gangguan mekanisme menelan parah. Kondisi ini
terjadi karenaadanya masalah pada otot dan saraf tenggorokan atau kerongkongan dan
karena terjadinya penyumbatan pada tenggorokan atau kerongkongan.
2. Disfonia
Disfonia adalah gangguan produksi suara. Orang yang menderita disfonia dapat
mengeluarkan suara serak atau tidak ada suara sama sekali. Ada banyak penyebab
disfonia, baik karena keganasan atau non-keganasan (Pindborg, 2009).
3. Airway Obstruksi
Udara yang masuk melalui mulut tersumbat karena lidah mengalami pembengkakan.
4. Ketidaknyamanan
Karena pasien kesulitan dalam menelan, mengunyah dan berbicara yang disebabkan
karena lidah mengalami pembengkakan.
I. Prognosis
Dalam beberapa kasus, glossitis bisa menyebabkan lidah bengkak yang dapat
menghambat jalan nafas.Namun dengan penanganan yang tepat dan adekuat, gangguan
pada lidah ini dapat diatasi dan dicegah kekambuhannya (Langlais, 2001).
J. Pencegahan
1. Kebersihan rongga mulut merupakan hal yang harus dilakukan.
2. Sikat gigi dan penggunaan dental floss atau benang gigi
3. Jangan lupa untuk membersihkan lidah setelah makan.
4. Kunjungi dokter gigi secara teratur.
5. Jangan gunakan bahan bahan obat atau makanan yang merangsang lidah untuk terjadi
iritasi atau agent sensitisasi. Bahan bahan ini termasuk makanan yang panas dan
beralkohol.
6. Hentikan merokok dan hindari penggunaan tembakau dalam jenis apapun.
7. Sebaiknya segera konsultasi ke dokter bila gangguannya bertambah parah.
8. Bila lidah sudah menghalangi jalan nafas oleh karena proses enlargement, bila hal ini
terjadi, mutlak diperlukan perawatan yang lebih intensif (Pindborg, 2009).
2) Besi parenteral
Terapi ini memiliki efek samping berbahaya, serta harganya lebih mahal. Indikasi
pemberian terapi ini yaitu:
Intoleransi oral berat
Kepatuhan berobat kurang
Kolitis ulserativa
Perlu peningkatan Hb secara cepat (misalnya pada preoperasi dan
kehamilan trimester akhir)
Preparat yang tersedia antara lain:
a) Iron-dextran (imferon) mengandung 50 mg Fe setiap mL (larutan 5%)untuk
penggunaan IM atau IV. Dosis total yang diperlukan dihitung berdasarkan
beratnya anemia,yaitu 250 mg Fe untuk setiap gram kekurangan Hb. Pada
hari pertama disuntikkan 50 mg,dilanjutkan dengan 100-250 mg setiap hari
atau beberapa hari sekali. Penyuntikkan dilakukan pada kuadran atas luar m.
gluteus dan secara dalam untuk menghindari pewarnaan kulit
b) Iron-sucrose
c) Iron sodium gluconate.
Terapi ini dapat diberikan secara intramuskuler dalam dan intravena pelan. Efek
samping: Reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri
perut dan sinkop.
Dosis besi parenteral harus dihitung dengan tepat karena besi berlebiha akan
membahayakan pasien. Besarnya dosis dapat dihitung dari rumus ini:
c. Pengobatan lain
1. Diet : Sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama
yang berasal dari protein hewani.
2. Vitamin C : Vitamin C diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan
absorbsi besi.
(Bakta IM, 2014)
B. Glositis dan Anemia Megaloblastik
1. Definisi
Anemia megaloblastik adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
perubahan abnormal dalam pembentukkan sel darah merah, sebagai akibat adanya
ketidaksesuaian antara pematangan inti dan sitoplasma pada seluruh sel seri myeloid
dan eritroid (Sibernagl, 2014).
Anemia megaloblastik adalah anemia yang khas ditandai dengan adanya sel
megaloblast di dalam sumsum tulang. Anemia megaloblastik terjadi akibat gangguan
sintesis DNA. Sel megaloblast merupakan sel prekursor eritrosit dengan bentuk sel
yang besar disertai adanya kesenjangan pematangan sitoplasma dan inti, di mana
sitoplasma maturasinya normal tetapi inti besar dengan susunan kromosom yang
longgar. Anemia megaloblastik disebabkan oleh adanya defisiensi vitamin B12 dan
asam folat (Bakta I M, 2007).
2. Patofisiologi
Asam folat dan vitamin B12 berperan penting sebagai ko-faktor dalam
pembentukan DNA inti sel. Dengan adanya defisiensi asam folat dan vitamin B12,
akan terbentuk megaloblast akibat gangguan maturasi inti sel karena terjadi gangguan
sintesis DNA sel – sel eritroblas. Akibat gangguan sintesis DNA pada inti eritroblas,
maka maturasi inti menjadi lebih lambat, sehingga kromatin menjadi lebih longgar
dan sel – sel lebih besar karena pembelahan sel yang lambat. Sel eritroblast dengan
ukuran yang lebih besar serta susunan kromatin yang lebih longgar disebut sel
megaloblast. Sel megaloblast fungsinya tidak normal, dihancurkan saat masih di
dalam sumsum tulang sehingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit
lebih pendek yang akhirnya terjadi anemia (Bakta, 2007).
3. Manifestasi Klinis
Gejala klinis anemia megaloblastik berupa rasa lelah progresif, sesak nafas,
palpitasi, kelemahan, nausea, anorexia, sakit kepala, rasa mau pingsan, irritabilitas,
mudah lupa, ikterus ringan. Anemia megaloblastik juga dapat berpengaruh terhadap
kesehatan mulut. Manifestasi klinis pada rongga mulut adalah atrofi glossitis, yaitu
suatu kondisi lidah yang mengkilap, halus, dan berwarna pink/kemerahan. Atropi
glositis ditandai dengan adanya kerusakan atau atropi papilla filiformis/fungiformis
(Reamy et al, 2010; Sun et al, 2011). Glositis dengan lidah berwarna merah seperti
daging (buffy tongue). Pada atropi glossitis lidah terasa terbakar yakni pada anterior
sepertiga dari lidah, dapat juga terjadi paresthesia lidah (Bakta, 2007).
Gambar 3.3 Atrofi papil dan eritem di lateral lidah (Graells et al., 2008)
Gambar 3.4 Panah biru menunjukkan atrofi papil, panah putih menunjukkan plak eritematous
Gambar 3.6 Angular cheilitis pada anak usia 8 tahun (Rakhmayanthie, 2016)
5. Tatalaksana pengobatan anemia megaloblastik
Mengobati penyakit penyebabnya yaitu anemia megaloblastik dengan pemberian
vitamin B12 dan asam folat (Reamy et al., 2010).
Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama.
Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit
tentang perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.
Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2.
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet, insulin
3. Patofisiologi
a. Perubahan yang terjadi pada pasien dengan diabetes melitus
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja secara optimal,
jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan
metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan
pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan
bakteri. Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas dan yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa darah dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel
beta pankreas untuk mengsekresi insulin. Sel beta pankreas yang tidak berfungsi
secara optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi
penyebab kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas
sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik. Gangguan respons
metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi insulin. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post reseptor sehingga
dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk mempertahankan kadar
glukosa darah agar tetap normal.
Sensitivitas insulin untuk menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi
pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan produksi glukosa oleh
hati menurun. Penurunan sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi insulin
sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi. Kadar glukosa darah yang tinggi
selanjutnya berakibat pada proses filtrasi yang melebihi transpor maksimum.
Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam darah masuk ke dalam urin (glukosuria)
sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin yang
berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan yang keluar menimbulkan sensasi rasa
haus (polidipsia). Glukosa yang hilang melalui urin dan resistensi insulin
menyebabkan kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga
menimbulkan rasa lapar yang meningkat (polifagia) sebagai kompensasi terhadap
kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan mengantuk jika tidak
ada kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut.
b. Perubahan yang terjadi pada mulut pada pasien dengan Diabetes Melitus
Gambar 3.8. Dampak Diabetes Melitus terhadap kondisi oral pasien
Dalam sebuah penelitian terhadap 176 pasien diabetes, atrofi lidah ditemukan
di 26,9% dari pasien, dengan hampir semua muncul sebagai atrofi papiler
sentral. Dalam penelitian lain, rata-rata glositis rhomboid secara signifikan
sering ditemukan pada pasien diabetes dibandingkan pada pasien nondiabetes
dan dikaitkan dengan peningkatan kadar Candida pseudohyphae pada apusan
oral (Gandara, 2011 ; Guggenheimer, 2000).
4. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah ,pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria, Berbagai keluhan dapat ditemukan pada
penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
seperti (PERKENI, 2015):
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria Diagnosis DM menurut PERKENI, 2015 antara lain;
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <14O mg/dl;
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbAlc
yang menunjukkan angka 5,7 -6,4%
Gambar 3.11. Alur Diagnostik Diabetes Melitus
Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu
5. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes
Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun
GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara
tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan
tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2002).
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)
(Soegondo S, 2005)
catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
6. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup Diabetes
Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006)
Tujuan penatalaksanaan
a. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman
dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
b. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2015)
a. Edukasi
b. Terapi gizi medis
c. Latihan jasmani
d. Intervensi farmakologis
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah
belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres
berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat
segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2006).
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006).
a. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (Sudoyo Aru,
2006) :
1) Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
2) Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
3) Penghambat glukoneogenesis : metformin
4) Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α
b. Insulin (Sudoyo Aru, 2006)
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3) Ketoasidosis diabetik
4) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7) Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
8) Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
D. Glositis dan HIV
Pada pasien dengan HIV-AIDS, spektrum manifestasi klinis pada gigi dan mulut
sangatlah luas. Manifestasi klinis HIV pada gigi dan mulut didapatkan pada 30-80%
pasien. Manifestasi klinis HIV pada gigi dan mulut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Infeksi: bakteri, fungi, virus
2. Neoplasma: Kaposi’s sarcoma, non-Hodgkin’s lymphoma
3. Dimediasi oleh imun: aphthous mayor, necrotizing stomatitis
4. Lainnya: penyakit parotis, nutrisional, xerostomia
5. Manifestasi pada gigi dan mulut sebagai efek samping dari terapi antiretroviral
Sebenarnya tidak terdapat lesi oral khusus yang hanya berkaitan dengan HIV-
AIDS. Akan tetapi, terdapat manifestasi klinis tertentu seperti kandidiasis oral dan oral
hairy leukoplakia yang sangat sering berkaitan dengan HIV-AIDS dan dianggap sebagai
bagian dari penyakit AIDS, juga diikutsertakan dalam klasifikasi klinis HIV oleh CDC.
Pada pasien dengan infeksi HIV, terdapat supresi imun terhadap imunitas yang
dimediasi oleh sel seiring dengan perkembangan penyakit. Akan tetapi, di waktu yang
sama pula, terdapat aktivasi imunitas sel B yang abnormal. Gangguan pada sistem imun
ini juga dapat menyebabkan berbagai manifestasi oral yang bermacam-macam,
diantaranya adalah aphthous ulcer dan necrotizing stomatitis.
Gambar 3.15 Glositis atrofi dan plak eritem karena difisiensi vitamin B12 pada pasien IBD
(Stooper dan Kuperstein, 2013).
5. Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology
1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari
11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.
No Kriteria Batasan
1 Rash malar Eritema, datar atau timbul di atas eminensia malar
dan bisa meluas ke lipatan nasolabial
2 Discoid rash Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik dan
sumbatan folikel. Pada SLE lanjut ditemukan parut
atrofi
3 Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar
matahari
4 Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri
5 Artritis nonerosif Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer dengan
karakteristik efusi, nyeri, dan bengkak
6 Pleuritis atau a. Pleuritis: nyeri pleuritik, ditemukannya pleuritik
perikarditis rub atau efusi pleura
b. Perikarditis: EKG dan pericardial friction rub
7 Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per hari atau
kualifikasi >+++
b. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau campuran
8 Gangguan a. Kejang- tidak disebabkan oleh gangguan metabolik
neurologis maupun obat-obatan seperti uremia, ketoasidosis,
ketidakseimbangan elektrolit
b. Psikosis- tanpa disebabkan obat maupun kelainan
metabolik di atas
9 Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis
hematologi b. Leukopenia < 4000/uL
c. Limfopenia < 1500/uL
d. Trombositopenia< 100,000/uL
10 Gangguan a. antiDNA meningkat
imunologi b. anti Sm meningkat
c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM antikardiolipin
meningkat, tes koagulasi lupus (+) dengan metode
standar, hasil (+) palsu dan dibuktikan dengan
pemeriksaan imobilisasi T.pallidum 6 bulan
kemudian atau fluoresensi absorsi antibodi
11 Antibodi antinuklear Titer ANA meningkat dari normal
(ANA)
6. Penatalaksanaan
SLE sampai saat ini masih belum dapat disembuhkan ,remisi komplit pun jarang
terjadi. Oleh karena itu perlu diperhatikan untuk mengendalikan pada serangan akut
dan mengatur strategi sehingga dapat mensupresi terjadinya kerusakan target organ.
Tatalaksana diberikan sesuai manifestasi klinis yang terjadi dan dibagi dalam
kelompok yang mengancam nyawa dan tidak mengancam nyawa.
a. Terapi non farmakologis
Penyuluhan dan edukasi penting diberikan pada pasien dengan SLE yang baru
terdiagnosis. Berikut adalah beberapa hal penting dalam edukasi SLE:
Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya
Masalah terkait fisik misalnya penggunaan kortikosteroid untuk tatalaksana SLE
bisa menyebabkan osteoporosis sehingga perlu dibarengi dengan latihan
jasmani, istirahat, diet, dan mengatasi infeksi secepatnya serta menggunakan
kontrasepsi
Menggunakan payung, lengan panjang atau krem sinar matahari jika terpapar
matahari
Memberikan edukasi mengenai terapi yang akan diberikan. Pasien dengan SLE
mengancam nyawa diberikan terapi agresif yakni imunosupresan dan kortikosteroid
dosis tinggi, sedangkan yang tidak mengancam nyawa diberikan terapi konservatif
(Kasper, 2005; Manson, 2005).
b. Terapi farmakologi
Fatigue dan keluhan sistemik. Tidak memerlukan terapi spesifik. Cukup
menambah waktu istirahat dan menunjukkan empati (Kasper, 2005; Manson,
2005).
Lupus kutaneus. Menggunakan sunscreen untuk melindungi tubuh sehingga
mengurangi gejala fotosensitivitas. Sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio
atau gel yang mengandung PABA, ester, benzofenon, salisilat dan sinamat.
Sunscreen dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat. Dermatitis lupus diberikan
kortikosteroid topikal krem, salep atau injeksi. Antimalaria juga dapat digunakan
karena memiliki efek sunblock dan sunscreen.
Artritis, artalgia, mialgia. Keluhan ringan diberikan analgetik atau NSAID. Jika
tidak membaik dipertimbangkan pemberian hidroksiklorokuin 400mg/hari. Jika
dalam 6 bulan tidak berefek juga maka stop. Dapat diberikan kortikosteroid dosis
rendah 15mg tiap pagi. Atau metrotreksat 7,5-15 mg/minggu. Atau bisa
dipertimbangkan pemberian cox-2 inhibitor.
Gambar 3.19 Glositis atrofi (geographic tongue) pada pasien Celiac Disease
Gambar 3.20 Defek enamel dan aphthous ulcer pada mukosa bukal pada penderita celiac disease
Brian VR, Derby R, Bunt CW (2010). Common tongue conditions in primary care. Am Fam Physician
81(5): 627-634.
Byrd, Julie A. Glossitis and other tongue disorders. Dermatologic Clinics vol21 (2003) 123–134
Chandan J S, Thomas T. (2017). Inflammatory bowel disease and oral health, BDJ Team. British Dental
Association, 4(5), p. 17083.
Cigic L, Galic T, Kero D, Simunic M, Medevedec MI, Kalibovic GD, Biocina LD (2016). The prevalence
of celiac disease in patients with geographic tongue. J Oral Pathol Med 45(10): 791-796.
Costacurta M, Maturo P, Bartolino M, Docimo R (2010). Oral manifestations of coeliac disease: a clinical-
statistic study. Oral and Implantology III-1.
Darwazeh AM, Almelaih AA. Tongue lesions in a Jordanian population. Prevalence, symptoms, subject’s
knowledge and treatment provided. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2011 Sep 1;16(6): e745-9.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21196841.
Erriu M, Fernando C, Orru G, Garau V, Montaldo C (2012). Idiopathic atrophic glossitis as the only clinical
sign for celiac disease diagnosis: a case report. Journal of Medical Case Reports 6:185.
Erriu M, Pili FMG, Cadoni S, Garau V (2016). Diagnosis of lingual atrophic conditions: associations with
local and systemic factors : a descriptive review. The Open Dentistry Journal 10: 619-635.
Feuerstein J D, Cheifetz A S .(2017). Crohn Disease: Epidemiology, Diagnosis, and Management., Mayo
Clinic proceedings. Mayo Foundation for Medical Education and Research, 92(7), pp. 1088–1103.
Ghabanchi J.The Prevalence of Median Rhomboid Glossitis in Diabetic Patients: A Case-Control Study.
Iran Red Crescent Medical Journal 2011; 13(7):503-506
Goswami M, Verma A, Verma M. Benign migratory glossitis with fissured tongue. J Indian Soc Pedod
Prev Dent. 2012 Apr- Jun; 30(2): 173-75. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22918106.
Graells, J., Ojeda, R. M., Muniesa, C., Gonzalez, J., & Saavedra, J. (2009). Glossitis with linear lesions:
An early sign of vitamin B12 deficiency. Journal of the American Academy of Dermatology, 60(3),
498–500.doi:10.1016/j.jaad.2008.09.011
Hammoudeh, M., Al-Momani, A., Sarakbi, H., Chandra, P. and Hammoudeh, S. (2018). Oral
Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus Patients in Qatar: A Pilot Study. International
Journal of Rheumatology, 2018, pp.1-6.
Honarmand M, Farhad ML, Shirzaiy M, Sehhatpour M. Geographic Tongue and Associated Risk Factors
among Iranian Dental Patients. Iran J Public Health.2013; 42(2): 215-19.Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23515238.
Jainkittivong A, Langlais RP. Geographic tongue: clinical characteristics of 188 cases. J Contemp Dent
Pract. 2005 15; 6(1): 123-35. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15719084.
Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL (2005). Harrison’s principles of internal
medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill.
Krzywicka B, Herman K, Zajac MK, Pytrus T (2014). Celiac disease and its impact on the oral health status:
review of the literature. Adv Clin Exp Med 23(5): 675-681.
Lu SY. (2016). Perception of iron deficiency from oral mucosa alterations that show a high prevalence of
Candida infection. Journal of the Formosan Medical Association, 115(8), 619-627.
Mangold Aaron R., Torgerson Rochelle R., Rogers III Roy S., Diseases of the Tongue, Clinics in
Dermatology (2016)
Manson JJ, Rahman A (2005). Systemic lupus erythematosus. Philadelphia: Orphanet Encyclopedia.
Miller-Keane Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and Allied Health. 7th ed. Philadelphia:
W.B. Saunders; c 2010. Glossitis. http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/glossitis diakses
pada tanggal 8 Mei 2019.
Mosby's Dental Dictionary. 2nd ed. [Place unknown]; Elsevier, Inc.; c2010. Glossitis. http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/glossitis diakses pada tanggal 8 Mei 2019.
Picciani B, Silva-Junior G, Carneiro S, Sampaio AL, Goldemberg DC, Oliveira J, Porto LC, Dias EP.
Geographic stomatitis: an oral manifestation of psoriasis?. J Dermatol Case Rep. 2012 Dec 31; 6(4):
113-16. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23329990.
Rakhmayanthie N, Herawati E (2016). Effect on nutrititional intake towards angular cheilitis of orphanage
children. Padjadjaran Journal of Dentistry 2016;28(3):164-170.
Rashid M, Zarkadas M, Anca A, Limebac H (2011). Oral manifestations of celiac disease: a clinical guide
for dentist. J Can Dent Assac 77:39.
Reamy BV, Derby R., Col LT and Bunt CW (2010). Common tongue conditions in primary care, 81(5),
627–634
Silbernagl, Stefan.,Lang, Florian. 2014. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Stoopler E T, Kuperstein A S (2013). Glossitis secondary to vitamin B12 deficiency anemia. CMAJ :
Canadian Medical Association journal = journal de l'Association medicale canadienne, 185(12),
E582.
Sudoyo Aru.W, dkk. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, Jilid III. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
Sun A, Lin HP, Wang YP, and Chiang CP. (2012). Significant association of deficiency of hemoglobin,
iron and vitamin B12, high homocysteine level, and gastric parietal cell antibody positivity with
atrophic glossitis. Journal of Oral Pathology & Medicine, 41(6), 500-504.
Suyono S. (2007) Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, Hal 7-14
Wu YC, Wang YP, Chang JY, Cheng SJ, Chen HM, and Sun A. (2014). Oral manifestations and blood
profile in patients with iron deficiency anemia. Journal of the Formosan Medical
Association, 113(2), 83-87.
Zervou F. (2004). Oral manifestations of patients with inflammatory bowel disease, Annals of
Gastroenterology, 17(4), pp. 395–401.