Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH

GLOSITIS DAN KORELASINYA DENGAN PENYAKIT SISTEMIK

Disusun Oleh:

Aditya Hagung K G99181003


Dwi Pratika Anjarwati G99172064
Nanda Kurnia Ramadhan G991903043
Maghfira Ayuni Sekar Gemati G991905037
Rani Luthfiany Putri G99172138
Nathasya Vania G991903044
Margareth Hildaria G991905038

Periode: 6 Mei 2019 – 19 Mei 2019

Pembimbing:
Christianie, drg., SpPerio

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Gigi
dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.Makalah dengan judul:

Glossitis Dan Korelasinya Dengan Penyakit Sistemik

Hari, Tanggal : Mei 2019

Oleh:

Aditya Hagung K G99181003


Dwi Pratika Anjarwati G99172064
Nanda Kurnia Ramadhan G991903043
Maghfira Ayuni Sekar Gemati G991905037
Rani Luthfiany Putri G99172138
Nathasya Vania G991903044
Margareth Hildaria G991905038

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Makalah

drg. Christianie, Sp.Perio


NIP. 19660228199203 2 006
BAB I
PENDAHULUAN

Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut manusia yang memiliki
banyak fungsi dan peranan seperti dalam proses pencernaan, mengisap, menelan, persepsi rasa,
bicara, respirasi, dan perkembangan rahang. Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan lidah dapat
digunakan untuk melihat kondisi kesehatan seseorang sehingga digunakan sebagai indikator untuk
mengetahui kesehatan oral dan adanya gangguan metabolisme.
Glossitis merupakan suatu kondisi peradangan akut ataupun kronis yang terjadi pada lidah
yang ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan daerah
kemerahan yang mengkilat (Dorland,2011). Penyakit ini dapat mencerminkan gangguan dari lidah
itu sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit sistemik tubuh yang penampakannya ada pada
lidah. Glossitis dapat menyerang pada semua tingkatan usia dan kelainan ini lebih sering dijumpai
pada laki- laki dibandingkan pada wanita. (Byrd, 2003)
Terdapat beberapa penyabab dari glossitis ini, bisa lokal maupun sistemik. Bakteri dan
infeksi virus dapat merupakan penyebab lokal dari glossitis. Trauma atau iritasi mekanis dari
makanan yang terlalu panas, gigi atau peralatan gigi merupakan penyebab lokal yang lain. Iritasi
lokal seperti dari tembakau, alkohol dan makanan yang pedas ataupun makan yang berbumbu
dapat juga menciptakan kondisi glossitis ini. Suatu reaksi alergi dari pasta gigi,obat kumur dan
bahan bahan lain yang diletakkan di dalam mulut merupakan salah satu penyebab lokal.
Glossitis sistemik merupakan hasil dari kelainan nutrisi, penyakit kulit dan infeksi sistemik.
Seseorang dengan kekurangan gizi atau malnutrisi atau kurangnya asupan vitamin B dalam dietnya
juga dapat menyebabkan glossitis. Kadangkala penyebab dari glossitis ini adalah keturunan. Suatu
pemeriksaan yang mendalam merupakan hal yang perlu dilakukan untuk mendapatkan penyebab
dari glossitis ini secara pasti. Biopsi perlu dilakukan apabila penyebabnya tidak jelas dan tidak ada
kemajuan setelah dilakukan perawatan. Perawatan intensif perlu dilakukan apabila pembengkakan
pada lidah ini membesar dan menghalangi jalannya udara pada proses pernafasan (Mangold,
2016).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Lidah
A. Anatomi
Lidah merupakan massa jaringan ikat yang tersusun oleh otot lurik yang diliputi oleh
membran mukosa. Membran mukosa melekat erat pada otot karena jaringan penyambung
lamina propia menembus ke dalam ruang-ruang antar berkas-berkas otot. Lidah merupakan
bagian tubuh penting untuk indra pengecap yang terdapat kemoreseptor untuk merasakan
respon rasa asin, asam, pahit dan rasa manis. Tiap rasa pada zat yang masuk ke dalam rongga
mulut akan direspon oleh lidah di tempat yang berbeda-beda. Lidah sebagian besar terdiri dari
dua kelompok otot, yaitu otot intrinsik dan ektrinsik. Otot intrinsik lidah melakukan semua
gerakan halus, sementara otot ektrinsik mengaitkan lidah pada bagian-bagian sekitarnya serta
melaksanakan gerakan-gerakan kasar yang sangat penting pada saat mengunyah dan menelan.
Lidah mengaduk makanan, menekannya pada langit-langit dan gigi hingga mendorongnya
masuk faring. Lidah terletak pada dasar mulut, sementara pembuluh darah dan urat saraf masuk
dan keluar pada akarnya. Ujung serta pinggiran lidah bersentuhan dengan gigi-gigi bawah,
sementara dorsum merupakan permukaan melengkung pada bagian atas lidah.
Gambar 1.1 Anatomi Lidah
Dorsum pada pars oralis linguae mempunyai sulcus medianus linguae yang dangkal.
Tunica mucosa umumnya berwarna merah muda dan basah serta kelihatan seperti kain bludru
karena adanya banyak papilla kecil.
Papilla lingualis merupakan penonjolan lamina propria tunica mucosa, yang ditutupi oleh
epithel. Dari papilla ini dijumpai 4 jenis utama :
1) Papilla filiformis (papilla conicae)
Papilla yang paling kecil dan paling banyak jumlahnya, berupa tonjolan
berbentuk konus dengan ujung yang tajam mengarah ke pharynx, dan menutupi 2/3
permukan atas anterior lidah berwarna keputihan akibat tebalnya epithel bertanduk.
Berfungsi mekanik dan taktil.
2) Papilla Fungiformis
Papilla ini mempunyai kepala yang membulat berwarna merah serta biasanya
mangandung colliculus gustatorius.tersebar pada apex dan margo linguae. Pada
neonatus lebih banyak daripada dewasa. Pada bayi papil tersebut mengandung
banyak colliculus gustatorius tetapi tidak ada kelenjar-kelenjar pengecap.
3) Papilla vallatae (dahulu dikenal sebagai papilla circum vallata)
Merupakan papilla yang terbesar. Jumlahnya bervariasi dari 3 sampai 14 dan
tersusun dalam deretan berbentuk huruf V di depan sulcus terminalis. Mengandung
colliculus gustatorius dan kelenjar pengecap.
4) Folia atau papilla foliata
Pada lidah terdiri atas ajur dan rigi yang tidak konstan di dekat bagian posterior
linguae.
Gambar 1.2 Papilla lingualis
Ada 4 macam rasa pengecapan yaitu : asam, asin, pahit, manis dideteksi oleh sisi lidah
yang berlainan. Akan tetapi di antara alat pengecap tersebut tidak dapat dikenali perbedaannya
baik dengan mikroskop biasa ataupun dengan mikroskop electron.
Dorsum pada pars pharyngealis menghadap kearah posterior, sedangkan pars oralis
menghadap ke arah anterior. Basis linguae membentuk dinding depan pars pharyngealis dan
hanya dapat diamati dengan menggunakan cermin atau dengan menekan lidah bawah dengan
spatula. Tunica mucosa yang menutupi pars pharyngealis tidak menunjukkan adanya papilla,
mengandung banyak glandula serosa dan tampak tidak rata karena adanya noduli lymphatici
di dalam tunica submucosa yang ada di bawahnya.
Akar lidah adalah bagian lidah yang terletak pada dasar mulut.la dilekatkan ke
mandibula dan os hyoideum oleh m. geniohyoideus dan m. mylohyiodeus.
Otot-otot yang menyusun lidah dapat dibedakan otot intrinsik dan otot extrinsik. Otot-
otot intrinsik terdapat hanya di dalam lidah, terdiri atas :
1) Sepasang m. longitudinalis superior, berfungsi untuk memendekkan dan membuat
dorsum linguae concave.
2) Sepasang m. longitudinalis inferior, berfungsi memendekkan lidah dan membuat
dorsum linguae convek.
3) M. trasversalis, berfungsi untuk menyempitkan dan memanjangkan lidah.
4) M. verticalis, berfungsi untuk melebarkan dan memipihkan lidah.
Biasanya salah satu dari 3 otot tersebut berfungsi sebagai antagonis terhadap kedua otot
yang lain, mengkontraksikan otot lateral menyebabkan relaksasi otot antagonis. Jadi jika m.
tranversus dan m. verticalis kontraksi, maka m. longitudinalis relaksasi dan lidah menjadi tipis
dan panjang.Jika m. longitudinalis dan m. tranversalis kontraksi maka m. verticalis relaksasi
sehingga lidah menjadi pendek dan tebal.Jika m. longitudinalis dan m. verticalis kontraksi
maka serat-serat tranversal relaksasi sehingga lidah menjadi pendek, datar dan lebar.
Otot-otot extrinsik berorigo pada tulang-tulang di keliling lidah atau bangunan lain.
Otot-otot extrinsik terdiri atas :
1) Sepasang m. genioglossus
2) Sepasang m. hyoglossus
3) Sepasang m. palatoglossus (m. glossopalatinus)
4) Sepasang m. stylogiossus
Innervasi lidah Motorik (GSE) melalui n. hypoglosus untuk menginnervasi semua otot
lidah, kecuali m palatoglossus yang diinnervasi oleh pars cranialis n. accessorius yang berjalan
dalam n .X melalui plexus pharyngeus.
Innervasi sensorik lidah SVA (gustatorik) yang melalui chorda thympani n. VII (2/3
anterior lidah) dan n. IX (1/3 posterior lidah), GSA yang melalui n. lingualis n. V (2/3 anterior
lidah), GVA dari n. IX (1/3 posterior lidah) dan n. laryngeus internus (n. X) bagian paling
posterior dan radix linguae.
Sepertiga bagian belakang lidah dan papillae vallatae diinnervasi oleh ramus lingualis
cabang n. glossopharyngeus untuk sensasi umum dan pengecap. Serabut-serabut saraf lain
berasal dari ramus lingualis n. facialis (pengecap). Sedang di dekat epiglottis diinnervasi oleh
ramus internus n. laryngeus superior cabang n. vagus (sensasi umum dan pengecap).Jadi
nn.craniales yang berhubungan dengan pengecap ialah n. VII, IX dan X. Vascularisasi
Lidah divascularisasi oleh a. lingualis yang dipercabangkan oleh a. carotis externa
setinggi cornu majus ossis hyoidei.la berjalan ke frontal di sebelah medial m. hyoglossus. Di
sini ia mempercabangkan a. sublingualis yang terus pergi ke frontal. Kemudian a. lingualis
bercabang menjadi a. profunda linguae dan rr. dorsalis linguae. Rr. dorsalis pergi ke arah
dorsum linguae, a. profunda linguae pergi ke apex linguae antara m. genioglossus dan m.
longitudinalis inferior.
Vena dari lidah mengikuti a. lingualis dan n. hypoglossus merupakan venae
commitantes, sedang v. lingualis profunda merupakan vena pokok dan terbesar terlihat pada
tepi posterior lidah. Semua venae pada tepi posterior m.hypoglossus akan bersatu
membentuk v. lingualis yang mencurahkan isinya ke v. facialis atau v. jugularis interna.
(Netter, 2011)

Gambar 1.3 Vaskularisasi Lingua


B. Fungsi Lidah
1. Menunjukkan kondisi tubuh
Selaput lidah manusia dapat digunakan sebagai indikator metabolism tubuh,terutama
kesehatan tubuh manusia.
1. Warna Lidah
Warna kuning menandakan adanya infeksi bakteri, jika warna kuning menuju
kehijauan adanya infeksi bakteri akut. Warna merah menandakan aktivitas panas
tubuh, jika hanya terdapat pada ujung lidah berarti adanya gangguan pada
jantung,jika terdapat pada sisi kanan kiri menandakan adanya ganguan ginjal dan
kandung empedu. Warna ungu berarti adanya aktivitas statis darah, darah tidak lancar
dan ada gangguan vaskularisasi. Warna biru menandakan adanya aktivitas dingin
yang menyebabkan statis darah.
2. Bentuk Lidah
Jika bentuk lidah tipis dan berwarna pucat menandakan defisiensi (kekurangan )
darah yang berhubungan dengan hati, semakin pucat semakin parah gangguan hati.
Jika tebal, menandakan sirkulasi darah tidak normal yang mungkin terjadi gangguan
ginjal dan limpa. Jika lidah terlihat retak,dapat menandakan adanya ganguan pada
lambung, limpa dan jantung.
2. Membasahi makanan di dalam mulut
3. Mengecap atau merasakan makanan
a. Rasa asin = lidah bagian depan
b. Rasa manis = lidah bagian tepi
c. Rasa asam = lidah bagian samping
d. Rasa pahit = lidah bagian belakang
4. Membolak-balik makanan
5. Menelan makanan
6. Mengontrol suara dan dalam mengucapkan kata-kata

II. Glositis
A. Definisi
Glositis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada lidah yang ditandai
dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan daerah kemerahan
yang halus dan mengkilat. Glositis bisa terjadi akut atau kronis. Penyakit ini dapat
mencerminkan kondisi dari lidah itu sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit tubuh
yang gejalanya muncul pada lidah. Keadaan ini dapat menyerang pada semua tingkatan
usia. Kelainan ini sering menyerang pada laki-laki dibandingkan pada wanita (Goswami et
al., 2012).

Gambar 2.1 Glositis


B. Etiologi
Penyebab glositis dapat bermacam-macam, baik lokal maupun sistemik.
1. Lokal
a. Infeksi (streptococcal, candidiasis, TB, HSV, EBV)
b. Trauma (luka bakar)
c. Iritan primer (alkohol, tembakau, makanan pedas, permen berlebihan)
2. Sistemik
a. Malnutrisi (kurang asupan vitamin B12, niasin, riboflavin, asam folat)
b. Anemia (kekurangan Fe)
c. Reaksi alergi
d. Penyakit kulit (lichenplanus, erythema multiforme, syphilis, lesi apthous)
e. HIV (candidiasis, HSV, kehilangan papillae)
f. Obat lanzoprazole, amoxicillin, metronidazole.

Faktor risiko :
1. Seorang pecandu alcohol
2. Seorang perokok
3. Memiliki riwayat keluarga menderita glossitis
4. Mengunyah tembakau
5. Sebelumnya ada riwayat trauma gigi

Faktor keturunan seringkali menjadi penyebab dari glositis. Suatu pemeriksaan


yang mendalam perlu dilakukan guna mendapatkan penyebab dari glossitis ini secara pasti.
Kadangkala bila penyebabnya tidak jelas dan tidak ada kemajuan setelah dilakukan
perawatan, maka perlu dilakukan biopsi. Pada beberapa kasus, glositis akan menyembuh
pada pasien dengan rawat jalan. Rawat inap diperlukan bila pembengkakan pada lidah ini
membesar dan menghalangi jalannya udara yang kita hisap. (Goswami et al.., 2012)

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala dari glossitis ini bervariasi oleh karena penyebab yang bervariasi
juga.Tanda dasar kelainan ini adalah bahwa lidah menjadi berubah warnanya dan terasa
nyeri. Warna yang dihasilkan bervariasi dari gelap merah sampai dengan merah terang.
Kondisi ini menyebabkan sulitnya untuk mengunyah, menelan atau untuk berbicara. Lidah
yang mempunyai kelainan ini permukaannya akan terlihat halus. Terdapat beberapa ulserasi
yang terlihat pada lidah.
Kondisi ini biasanya menimbulkan gejala seperti rasa sakit, perih, terbakar, atau
panas pada permukaan lidah. Glossitis dapat disebabkan oleh berbagai hal dan terapi yang
diberikan sangat tergantung dari penyebab utamanya atau penyakit yang mendasari. (Brian
et al 2010)
D. Klasifikasi
1. Idiopathic Glossitis
Inflamasi pada membran mukosa dan otot lidah secara keseluruhan.
2. Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis)
Ditandai dengan kondisi lidah yang kehilangan rasa karena degenerasi ujung papil
(bagian menonjol pada selaput yang berlendir di bagian atas lidah). Perasaan lidah
terbakar yang menyebar ke bagian mulut lain yang biasanya dipicu oleh adanya ulserasi.
Lidah terlihat licin dan mengkilat baik seluruh bagian lidah maupun hanya sebagian
kecil. Penyebab yang paling sering biasanya adalah kekurangan zat besi.Jadi banyak
didapatkan pada penderita anemia.

Gambar 2.2 Atropic glossitis

3. Herpetic Geometric Glossitis


Terdapat retakan pada dorsum lidah yang bercabang-cabang.

Gambar 2.3 Herpetic Geometric Glossitis

4. Benign Migratory Glossitis


Ditandai dengan eritema yang dikelilingi garis putih serpiginosa dan hiperkeratotik.

Gambar 2.4 Benign Migratory Glossitis

5. Median Rhomboid Glossitis


Ditandai dengan kemerahan dan hilangnya papillae di bagian dorsum lidah di garis
tengah di depan papillae sirkumpalata.

Gambar 2.5 Median Rhomboid Glossitis


E. Diagnosis
Penegakkan diagnosis dimulai dari anamnesis. Didapat pasien akan mengeluhkan nyeri
lidah, sulit untuk mengunyah, menelan atau untuk berbicara. Pada permukaan lidah yang
mengalami kelainan akan terlihat halus (pada anemia pernisiosa), ulserasi juga dapat
ditemukan, lidah terlihat bengkak disertai perubahan warna. Pada penderita anemia
pernisiosa lidah akan tampah pucat dan berwarna merah gelap bila penyebab glossitis adalah
kekurangan vitamin B yang lain. Untuk mencari penyebab glossitis secara pasti diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut, seperti biopsi, tes untuk defisiensi B12, profil kimia darah, kikisan
KOH, kultur lesi dan smear bila terdapat indikasi (Darwazeh et al., 2011).
F. Diagnosis Banding
1. Fissured tongue.
Lidah terlihat pecah-pecah. Kadang garis hanya satu ditengah, kadang juga bercabang-
cabang.

Gambar 2.6 Fissured tongue


2. Oral candidosis
Penyebabnya adalah jamur yang disebut Candida albicans. Gejalanya lidah akan tampak
tertutup lapisan putih yang dapat dikerok.

Gambar 2.7 Oral Candidosis


3. Geographic tongue
Lidah seperti peta, berpulau-pulau, baik banyak maupun sedikit.Bagian pulau berwarna
merah dan lebih licin. Bila parah akan dikelilingi pita putih tebal. (Hornamand et al 2013).

Gambar 2.8 Geographic Tongue

G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi peradangan. Penatalaksanaan
pembengkakan dan rasa tidak nyaman di mulut dilakukan dengan pemberian obat-obatan
secara oral. Pengobatan glositis tergantung pada penyebabnya. Antibiotik digunakan untuk
pengobatan infeksi bakteri. Bila penyebabnya adalah defisiensi besi, maka diperlukan
suplemen zat besi.Obat kumur yaitu campuran setengah teh, baking soda dan dicampur
dengan air hangat. Bila pembengkakan dirasakan parah, bisa diberikan kortikosteroid.
Topikal kortikosteroid juga mungkin berguna untuk penggunaan sesekali misalnya
triamcinolone dalam pasta gigi yang diterapkan beberapa kali sehari. Kebersihan mulut yang
baik sangat penting. Hindari iritasi seperti tembakau, panas, pedas makanan dan alcohol
(Picciani et al., 2012).

H. Komplikasi
1. Disfagia
Disfagia (dysphagia) adalah kesulitan menelan makanan.Kondisi ini biasanya menjadi
tanda adanya masalah pada tenggorokan atau kerongkongan.Sebagian pasien dengan
disfagia mengalami kesulitan menelan beberapa jenis makanan tertentu dan cairan.
Pada kasus lain, pasien mengalami gangguan mekanisme menelan parah. Kondisi ini
terjadi karenaadanya masalah pada otot dan saraf tenggorokan atau kerongkongan dan
karena terjadinya penyumbatan pada tenggorokan atau kerongkongan.
2. Disfonia
Disfonia adalah gangguan produksi suara. Orang yang menderita disfonia dapat
mengeluarkan suara serak atau tidak ada suara sama sekali. Ada banyak penyebab
disfonia, baik karena keganasan atau non-keganasan (Pindborg, 2009).
3. Airway Obstruksi
Udara yang masuk melalui mulut tersumbat karena lidah mengalami pembengkakan.
4. Ketidaknyamanan
Karena pasien kesulitan dalam menelan, mengunyah dan berbicara yang disebabkan
karena lidah mengalami pembengkakan.

I. Prognosis
Dalam beberapa kasus, glossitis bisa menyebabkan lidah bengkak yang dapat
menghambat jalan nafas.Namun dengan penanganan yang tepat dan adekuat, gangguan
pada lidah ini dapat diatasi dan dicegah kekambuhannya (Langlais, 2001).

J. Pencegahan
1. Kebersihan rongga mulut merupakan hal yang harus dilakukan.
2. Sikat gigi dan penggunaan dental floss atau benang gigi
3. Jangan lupa untuk membersihkan lidah setelah makan.
4. Kunjungi dokter gigi secara teratur.
5. Jangan gunakan bahan bahan obat atau makanan yang merangsang lidah untuk terjadi
iritasi atau agent sensitisasi. Bahan bahan ini termasuk makanan yang panas dan
beralkohol.
6. Hentikan merokok dan hindari penggunaan tembakau dalam jenis apapun.
7. Sebaiknya segera konsultasi ke dokter bila gangguannya bertambah parah.
8. Bila lidah sudah menghalangi jalan nafas oleh karena proses enlargement, bila hal ini
terjadi, mutlak diperlukan perawatan yang lebih intensif (Pindborg, 2009).

III. Glositis dan korelasinya dengan penyakit sistemik


A. Glositis dan Anemia Defisiensi Besi
1. Definisi
Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya hemoglobin dalam
tubuh. Hemoglobin adalah suatu metaloprotein yaitu protein yang mengandung zat besi
di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh tubuh. Anemia defisiensi besi sendiri didefinisikan sebagai anemia yang
disebabkan karena kekurangan besi yang digunakan untuk sintesis hemoglobin (Hb). Hal
ini terjadi karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar
zat besi dalam darah. Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup
untuk membentuk sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar
hemoglobin terus menurun di bawah batas normal, keadaan inilah yang disebut anemia
gizi besi (Fitriany, 2018).
2. Manifestasi Klinis
Manifestasi oral yang sering timbul pada pasien anemia defisiensi besi adalah rasa
terbakar pada mukosa oral, mulut kering, mati rasa pada mukosa oral, glositis atrofi dan
varises lingual (Wu et al., 2014)
Glositis atrofi ditandai dengan hilangnya sebagian atau seluruh papilla filiformis pada
permukaan dorsal lidah. Pada glositis atrofi tampak lidah yang halus dan kemerahan.
Tampakannya mengkilap/pendataran dari dorsum lidah akibat dari atrofi atau hilangnya
papilla filliformis, karena papilla ini paling rentan untuk defisiensi nutrisi diikuti oleh
papillae fungiformis. Secara histologis glositis atrofi ditandai dengan atrofi epitel dan
inflamasi kronik jaringan ikat subepitelial. Kondisi ini bersifat reversibel, pada
suplementasi nutrisi yang tepat dan regenerasi papila yang hilang akan terjadi. Dalam
kasus yang lebih parah, lidah mungkin akan menjadi lunak. (Sun et al., 2012).
Gambar 1. Glositis atrofi pada penderita anemia defisiensi besi
3. Patofisiologi
Pasien anemia memiliki kadar hemoglobin yang rendah sehingga oksigen yang
dibawa ke jaringan mukosa oral tidak adekuat dan menyebabkan atrofi mukosa oral (Wu
et al., 2014). Besi merupakan elemen penting untuk pertumbuhan dan pematangan
semua sel. Besi berperan dalam transportasi oksigen, transfer elektron, dan berfungsi
sebagai kofaktor banyak sistem enzim (Lu SY, 2016). Pada keadaan defisiensi besi sel
epithelial oral mengalami “turn over” lebih cepat dan menghasilkan mukosa yang imatur
atau atrofi. (Wu et al., 2014) Penelitian menunjukkan defisiensi besi menyebabkan
pengurangan ketebalan epitel mukosa oral terutama ketebalan bagian maturasi dan
rendahnya kadar enzim.(Lu SY, 2016).
Pasien dengan defisiensi besi mengalami gejala mulut kering.Mulut kering dalam
jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan papilla filiform dan papilla fungiform
pada permukaan dorsal lidah sehingga menyebabkan glositis atrofi. Akibatnya molekul
yang tajam pada saliva dapat difusi secara mudah ke jaringan ikat subepitelial mukosa
lidah melalui epitel yang atrofi dan mengiritasi ujung saraf bebas sensoris kemudian
menimbulkan rasa terbakar dan mati rasa pada lidah (Sun et al., 2012).
Pada glositis atrofi selain kehilangan papilla filiform dapat diikuti sedikit
berkurangnya papilla fungiform. Dikarenakan pada papilla fungiform banyak terdapat
taste bud yang mengandung “taste cells” yang bertanggung jawab pada sensasi rasa
maka kehilangan sejumlah papilla fungiform secara signifikan dapat menyebabkan
kehilangan kemampuan perasa ataupun disfungi rasa pada pasien glositis atrofi (Sun et
al., 2012).
4. Diagnosis
a. Anamnesis
1). Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
 Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa pertumbuhan yang
cepat, menstruasi, dan infeksi kronis
 Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan tidak adekuat
malabsorpsi besi
 Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit
Crohn,colitis ulserativa)
2). Pucat, lemah, lesu, gejala pika
b. Pemeriksaan fisis
 anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati
 stomatitis angularis, atrofi papil lidah
 ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung
c. Pemeriksaan penunjang
 Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun
 Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik
 Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi menurun
 Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat
 Sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat
(Bakta IM, 2014)
5. Tatalaksana
Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa:
a. Terapi Kausal
Merupakan terapi berdasarkan penyebabnya, misalnya: pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal ini harus dilakukan agar
anemia tidak kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh:
1) Besi peroral: Merupakan obat pilihan pertama karena efektif,murah, dan aman.
Preparat yang tersedia yaitu:
 Ferrous sulphat (sulfas ferosus): Preparat pilihan pertama (murah dan efektif).
Dosis 3 x 200 mg.
 Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate, harga
lebih mahal, tetapi efektivitasnya dan efek samping hampir sama.
Pengobatan diberikan sampai 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal untuk
mengisi cadangan besi tubuh. Kalau tidak, anemia akan sering kambuh kembali.

2) Besi parenteral
Terapi ini memiliki efek samping berbahaya, serta harganya lebih mahal. Indikasi
pemberian terapi ini yaitu:
 Intoleransi oral berat
 Kepatuhan berobat kurang
 Kolitis ulserativa
 Perlu peningkatan Hb secara cepat (misalnya pada preoperasi dan
kehamilan trimester akhir)
Preparat yang tersedia antara lain:
a) Iron-dextran (imferon) mengandung 50 mg Fe setiap mL (larutan 5%)untuk
penggunaan IM atau IV. Dosis total yang diperlukan dihitung berdasarkan
beratnya anemia,yaitu 250 mg Fe untuk setiap gram kekurangan Hb. Pada
hari pertama disuntikkan 50 mg,dilanjutkan dengan 100-250 mg setiap hari
atau beberapa hari sekali. Penyuntikkan dilakukan pada kuadran atas luar m.
gluteus dan secara dalam untuk menghindari pewarnaan kulit
b) Iron-sucrose
c) Iron sodium gluconate.
Terapi ini dapat diberikan secara intramuskuler dalam dan intravena pelan. Efek
samping: Reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri
perut dan sinkop.
Dosis besi parenteral harus dihitung dengan tepat karena besi berlebiha akan
membahayakan pasien. Besarnya dosis dapat dihitung dari rumus ini:

Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 3

c. Pengobatan lain
1. Diet : Sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama
yang berasal dari protein hewani.
2. Vitamin C : Vitamin C diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan
absorbsi besi.
(Bakta IM, 2014)
B. Glositis dan Anemia Megaloblastik
1. Definisi
Anemia megaloblastik adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
perubahan abnormal dalam pembentukkan sel darah merah, sebagai akibat adanya
ketidaksesuaian antara pematangan inti dan sitoplasma pada seluruh sel seri myeloid
dan eritroid (Sibernagl, 2014).
Anemia megaloblastik adalah anemia yang khas ditandai dengan adanya sel
megaloblast di dalam sumsum tulang. Anemia megaloblastik terjadi akibat gangguan
sintesis DNA. Sel megaloblast merupakan sel prekursor eritrosit dengan bentuk sel
yang besar disertai adanya kesenjangan pematangan sitoplasma dan inti, di mana
sitoplasma maturasinya normal tetapi inti besar dengan susunan kromosom yang
longgar. Anemia megaloblastik disebabkan oleh adanya defisiensi vitamin B12 dan
asam folat (Bakta I M, 2007).
2. Patofisiologi
Asam folat dan vitamin B12 berperan penting sebagai ko-faktor dalam
pembentukan DNA inti sel. Dengan adanya defisiensi asam folat dan vitamin B12,
akan terbentuk megaloblast akibat gangguan maturasi inti sel karena terjadi gangguan
sintesis DNA sel – sel eritroblas. Akibat gangguan sintesis DNA pada inti eritroblas,
maka maturasi inti menjadi lebih lambat, sehingga kromatin menjadi lebih longgar
dan sel – sel lebih besar karena pembelahan sel yang lambat. Sel eritroblast dengan
ukuran yang lebih besar serta susunan kromatin yang lebih longgar disebut sel
megaloblast. Sel megaloblast fungsinya tidak normal, dihancurkan saat masih di
dalam sumsum tulang sehingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit
lebih pendek yang akhirnya terjadi anemia (Bakta, 2007).
3. Manifestasi Klinis
Gejala klinis anemia megaloblastik berupa rasa lelah progresif, sesak nafas,
palpitasi, kelemahan, nausea, anorexia, sakit kepala, rasa mau pingsan, irritabilitas,
mudah lupa, ikterus ringan. Anemia megaloblastik juga dapat berpengaruh terhadap
kesehatan mulut. Manifestasi klinis pada rongga mulut adalah atrofi glossitis, yaitu
suatu kondisi lidah yang mengkilap, halus, dan berwarna pink/kemerahan. Atropi
glositis ditandai dengan adanya kerusakan atau atropi papilla filiformis/fungiformis
(Reamy et al, 2010; Sun et al, 2011). Glositis dengan lidah berwarna merah seperti
daging (buffy tongue). Pada atropi glossitis lidah terasa terbakar yakni pada anterior
sepertiga dari lidah, dapat juga terjadi paresthesia lidah (Bakta, 2007).

Gambar 3.2. Atrofi glossitis

Gambar 3.3 Atrofi papil dan eritem di lateral lidah (Graells et al., 2008)
Gambar 3.4 Panah biru menunjukkan atrofi papil, panah putih menunjukkan plak eritematous

4. Hubungan Glositis dan Anemia Megaloblastik


Anemia megaloblastik merupakan anemia yang disebabkan oleh kekurangan
vitamin B12 dan asam folat. Vitamin B12 dan asam folat diperlukan untuk sintesis
DNA. Jika terdapat defisiensi nutrisi ini, maka akan menyebabkan gangguan pada
mitosis sel sehingga sel menjadi tidak matur dan tidak fungsional. Sel-sel yang tidak
matur mudah rusak dan memiliki waktu hidup yang lebih sedikit. Defisiensi vitamin
B12 dan asam folat dapat menyebabkan atrofi atau hilangnya papila lidah
filiformis/fungiformis yang menyebabkan lidah menjadi rata (halus) dan mengkilap
yang disebut sebagai atropi glositis. Selain itu, anemia megaloblastik juga
menyebabkan angular cheilitis. Angular cheilitis adalah kondisi dimana terjadi
keretakan atau peradangan pada dua sudut bibir. Biasanya hal ini ditandai dengan sudut
bibir yang menghitam, kulit mengelupas, lalu kemudian kemerahan dan menimbulkan
rasa sakit saat membuka mulut.
Gambar 3.5. Angular cheilitis

Gambar 3.6 Angular cheilitis pada anak usia 8 tahun (Rakhmayanthie, 2016)
5. Tatalaksana pengobatan anemia megaloblastik
Mengobati penyakit penyebabnya yaitu anemia megaloblastik dengan pemberian
vitamin B12 dan asam folat (Reamy et al., 2010).

C. Glositis dan Diabetes Melitus


1. Definisi
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Diabetes militus dibagi menjadi 3 macam : Diabetes melitus tipe I, tipe II, dan
tipe lain-lain (PERKENI, 2015).
2. Manifestasi Klinis
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi),
sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta
berat badan yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan
lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan
kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan
bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).

Gambar 3.7 Gejala yang timbul pada pasien diabetes melitus

Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama.
Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit
tentang perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.
Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2.

Tabel 1. Perbedaan gejala yang timbul pada DM tipe I dan DM tipe II

DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet, insulin

Sumber : Suyono S, 2007

3. Patofisiologi
a. Perubahan yang terjadi pada pasien dengan diabetes melitus
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja secara optimal,
jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan
metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan
pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan
bakteri. Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas dan yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa darah dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel
beta pankreas untuk mengsekresi insulin. Sel beta pankreas yang tidak berfungsi
secara optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi
penyebab kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas
sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik. Gangguan respons
metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi insulin. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post reseptor sehingga
dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk mempertahankan kadar
glukosa darah agar tetap normal.
Sensitivitas insulin untuk menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi
pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan produksi glukosa oleh
hati menurun. Penurunan sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi insulin
sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi. Kadar glukosa darah yang tinggi
selanjutnya berakibat pada proses filtrasi yang melebihi transpor maksimum.
Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam darah masuk ke dalam urin (glukosuria)
sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin yang
berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan yang keluar menimbulkan sensasi rasa
haus (polidipsia). Glukosa yang hilang melalui urin dan resistensi insulin
menyebabkan kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga
menimbulkan rasa lapar yang meningkat (polifagia) sebagai kompensasi terhadap
kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan mengantuk jika tidak
ada kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut.
b. Perubahan yang terjadi pada mulut pada pasien dengan Diabetes Melitus
Gambar 3.8. Dampak Diabetes Melitus terhadap kondisi oral pasien

Pada penderita DM akan mengalami gangguan perubahan di dalam mulut


seperti mulut kering, rasa terbakar pada lidah dan mukosa pipi akibat adanya
neuropati perifer, tidak terasa atau terasa tebal, hiperemia dan hiperplasia
jaringan gingiva. Resistensi jaringan terhadap infeksi juga menurun secara
menyeluruh. Lidah menunjukkan perubahan pada pappila filiformis. Pada
penderita DM terkontrol, pappila filiformis mengalami hipertropi, sedangkan
pada penderita DM yang tidak terkontrol pappila filiformis menghilang. Selain
itu, lidah memperlihatkan beberapa manifestasi terutama glositis dengan fisura-
fisura yang nyeri dan lidah yang berlapis (coated). Otot lidah menjadi flabby
sehingga memberikan gambaran tapak gigi di permukaan lidah bagian lateral.
Pada pasien dengan diabetes melitus dapat ditemukan beberapa kelainan atrofi,
salah satunya adalah kelainan merata pada papilla lidah, menghasilkan
penampilan lidah "botak". Atrofi menyeluruh papilla lidah telah dikaitkan
dengan kekurangan nutrisi pada pasien dengan diabetes melitus, terutama jika
penampilannya sangat merah. Selain itu terdapat kelainan pada mukosa lidah
yang sering ditemukan pada pasien diabetes melitus, yaitu median rhomboid
glossitis, Suatu kondisi di mana suatu atrofi terletak di garis tengah, permukaan
posterior lidah, anterior papilla circumvallate, berbentuk-V, ini umumnya halus
dan rata, tetapi mungkin menjadi lebih rendah atau memiliki lobular ke
permukaan papiler. Timbulnya area fokus atrofi mungkin menunjukkan infeksi
terhadap candidia.

Gambar 3.9 Median rhomboid glossitis

Dalam sebuah penelitian terhadap 176 pasien diabetes, atrofi lidah ditemukan
di 26,9% dari pasien, dengan hampir semua muncul sebagai atrofi papiler
sentral. Dalam penelitian lain, rata-rata glositis rhomboid secara signifikan
sering ditemukan pada pasien diabetes dibandingkan pada pasien nondiabetes
dan dikaitkan dengan peningkatan kadar Candida pseudohyphae pada apusan
oral (Gandara, 2011 ; Guggenheimer, 2000).
4. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah ,pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria, Berbagai keluhan dapat ditemukan pada
penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
seperti (PERKENI, 2015):
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria Diagnosis DM menurut PERKENI, 2015 antara lain;

Gambar 3.10 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus


Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi; toleransiglukosa terganggu.(TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <14O mg/dl;
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbAlc
yang menunjukkan angka 5,7 -6,4%
Gambar 3.11. Alur Diagnostik Diabetes Melitus

Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu
5. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes
Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun
GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara
tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan
tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2002).
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM


DM

Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)

Darah kapiler < 90 90-199 > 200

Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)

Darah kapiler < 90 90-199 > 110

(Soegondo S, 2005)

catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

6. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup Diabetes
Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006)
Tujuan penatalaksanaan
a. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman
dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
b. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2015)
a. Edukasi
b. Terapi gizi medis
c. Latihan jasmani
d. Intervensi farmakologis
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah
belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO
dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres
berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat
segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2006).
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006).
a. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (Sudoyo Aru,
2006) :
1) Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
2) Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
3) Penghambat glukoneogenesis : metformin
4) Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α
b. Insulin (Sudoyo Aru, 2006)
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3) Ketoasidosis diabetik
4) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7) Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
8) Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
D. Glositis dan HIV
Pada pasien dengan HIV-AIDS, spektrum manifestasi klinis pada gigi dan mulut
sangatlah luas. Manifestasi klinis HIV pada gigi dan mulut didapatkan pada 30-80%
pasien. Manifestasi klinis HIV pada gigi dan mulut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Infeksi: bakteri, fungi, virus
2. Neoplasma: Kaposi’s sarcoma, non-Hodgkin’s lymphoma
3. Dimediasi oleh imun: aphthous mayor, necrotizing stomatitis
4. Lainnya: penyakit parotis, nutrisional, xerostomia
5. Manifestasi pada gigi dan mulut sebagai efek samping dari terapi antiretroviral
Sebenarnya tidak terdapat lesi oral khusus yang hanya berkaitan dengan HIV-
AIDS. Akan tetapi, terdapat manifestasi klinis tertentu seperti kandidiasis oral dan oral
hairy leukoplakia yang sangat sering berkaitan dengan HIV-AIDS dan dianggap sebagai
bagian dari penyakit AIDS, juga diikutsertakan dalam klasifikasi klinis HIV oleh CDC.
Pada pasien dengan infeksi HIV, terdapat supresi imun terhadap imunitas yang
dimediasi oleh sel seiring dengan perkembangan penyakit. Akan tetapi, di waktu yang
sama pula, terdapat aktivasi imunitas sel B yang abnormal. Gangguan pada sistem imun
ini juga dapat menyebabkan berbagai manifestasi oral yang bermacam-macam,
diantaranya adalah aphthous ulcer dan necrotizing stomatitis.

Gambar 3.12 Aphthous ulcer pada pasien dengan HIV


Aphthous ulcer merupakan manifestasi oral yang dimediasi oleh imun yang
berkaitan dengan HIV yang paling banyak terjadi. Ulcer ini dapat berukuran besar, soliter
maupun multipel, kronis, dalam, dan nyeri. Seringkali berlangsung lebih lama pada
populasi pasien seronegative dan kurang responsif terhadap terapi.
Gambar 3.13. Necrotizing ulcerative periodontitis
Necrotizing stomatitis merupakan ulserasi yang akut dan sangat nyeri, yang
seringkali dapat hingga mencapai tulang dan menyebabkan kerusakan jaringan berat. Lesi
ini bisa jadi merupakan varian dari major aphthous ulceration, akan tetapi terjadi pada
area yang dekat dengan tulang dan berkaitan dengan penurunan sistem imun yang berat.
Lesi ini juga dapat terjadi pada area edentulosa (Bajpai dan Pazare, 2010).

E. Glositis dan Inflammatory Bowel Disease


1. Definisi Inflammatory Bowel Disease
Inflammatory bowel disease (IBD) terdiri dari dua kondisi medis yang berbeda:
Crohn Disease (CD) dan ulcerative colitis (UC). Keduanya adalah kondisi peradangan
kronis yang mempengaruhi sistem pencernaan yang dapat menyebabkan manisfestasi
secara akut dari masing-masing kondisi. Crohn disease (CD) atau penyakit Crohn
menyebabkan peradangan pada dinding usus dan melibatkan saluran pencernaan dari
mulut ke anus. Namun, penyakit Crohn ini paling sering memengaruhi ileum.
Ulcerative collitis (UC) atau kolitis ulseratif hanya menyebabkan peradangan pada
lapisan dalam usus besar dan rektum. Namun, UC juga dapat meluas sampai ke
sigmoid (proktosigmoiditis), di luar sigmoid (kolitis ulseraif distal), atau seluruh
bagian kolon (pankolitis) (Chandan et al, 2017).
2. Patogenesis Inflammatory Bowel Disease
IBD terjadi ketika respons imun menurun dan berkurangnya toleransi pada flora
normal usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini
didukung dengan adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan
diidentifikasinya gen CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya IBD.
Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali adanya infeksi,
toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan dipengaruhi
oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade proses inflamasi
pada dinding usus (Feuerstein et al, 2017).
Banyak mediator inflamasi telah dikenali dalam patogenesis IBD. Sitokin yang
dilepaskan oleh makrofag sebagai respons terhadap berbagai stimulus antigenik akan
berikatan dengan beragam reseptor dan menghasilkan efek autokrin, parakrin, dan
endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T helper-1 (Th-1)
berperan dalam patogenesis CD dan sel T-helper 2 (Th-2) berperan dalam UC.
Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran cerna dan memicu
terjadinya kaskade proses inflamasi kronik (Feuerstein et al, 2017).
3. Manifestasi Oral Inflammatory Bowel Disease
Pada CD dan UC proses inflamasi bukanlah dari infeksi melainkan disfungsi dari
sistem imun. Proses inflamasi ini melibatkan dinding usus yang dapat mengganggu
proses penyerapan dan nantinya akan terjadi malnutrisi. Malnutrisi yang terjadi pada
pasien dengan IBD ini dapat menyebabkan berbagai macam manifestasi oral, salah
satunya yaitu glossitis. Berdasarkan studi kasus oleh Lankarani dan Sivandzadeh
(2013) individu yang mengalami defisiensi vitamin B12 menunjukkan suatu proses
inflamasi yang ditandai oleh plak merah cerah yang kemudian menjadi atrofi papila
yang ditunjukkan pada gambar 1.
Pada pasien IBD ditemukan pula manifestasi klinis berupa anemia yang
penyebab utamanya adalah defisiensi besi, namun juga dapat disebabkan oleh
inflamasi kronis atau karena defisiensi vitamin B12. Pasien dengan penyakit Crohn
sering mengalami anemia karena defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Manifestasi
oral lainnya yang dapat ditemukan pada pasien IBD yaitu terdapat ulserasi oral,
pembengkakan pada bagian labial, bukal, inflamasi mukosa, gingivitis, dan fissured
tongue (Zervou et al, 2014).
Gambar 3.14 Fissured tongue dan glositis atrofi pada pasien laki-laki dengan CD
(Zervou et al, 2014)

Gambar 3.15 Glositis atrofi dan plak eritem karena difisiensi vitamin B12 pada pasien IBD
(Stooper dan Kuperstein, 2013).

4. Tatalaksana IBD dan Glossitis pada IBD


Secara umum, prinsip terapi IBD adalah (1) mengobati peradangan aktif IBD
dengan cepat hingga tercapai remisi; (2) mencegah peradangan berulang dengan
mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3) mengobati serta mencegah
komplikasi. Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000
mg per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit,
terutama CD. Sedangkan untuk UC, jarang diberi terapi antibiotik (Reyt et al,2014).
Rekomendasi diet pada pasien IBD, harus mencakup suplai kalori yang
memadai serta terdapat kandungan zat besi, kalsium, vitamin D, B12, dan A, serta
asam folat dan seng. Pola manajemen nutrisi yang berperan memperpanjang fase
remisi antara lain diet dengan menggunakan monosakarida, diet rendah laktosa, serta
diet yang mengandung nutrien anti inflamasi. Konsultasi dengan dokter gigi juga
diperlukan apabila terdapat manifestasi oral, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan
oral dan terapi komprehensif (Reyt et al, 2014).
F. Glositis dan SLE
1. Definisi
Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Hammoudeh et al., 2018).
2. Epidemiologi
Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-
400/100.000. Penyakit ini telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia
dalam 30 tahun terakhir. SLE sendiri lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti
bangsa Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi
distribusi penyakit. Sistemik lupus eritematosus terutama menyerang wanita muda
dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio
wanita: laki-laki 5:1 (Kasper, 2005).
3. Etiopatogenesis
Etiologi dan patogenesis SLE belum diketahui secara pasti namun diduga
melibatkan interaksi yang kompleks dan multifactorial antara variasi genetic dan
lingkungan. Interaksi antara status hormonal, jenis kelamin dan aksi Hipotalamus-
Hipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Faktor
genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar
10-20% pasien SLE mempunya kerabat dekat yang juga menderita SLE. Angka
terdapatnya SLE pada kembar identik 24-69% lebih tinggi dari saudara kembar non
identik 2-9%.
Pada SLE autoantibodi terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non
histon. Kebanyakan di antaranya adalah dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein dan kompleks protein RNA. Ciri khas autoantigen ini mereka tidak
tissue spesific dan merupakan komponen integrasi dari semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibodi). Dengan
antigen spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar di sirkulasi. Klirens
kompleks imun menurun, meningkatnya kelarutan kompleks imun, gangguan
pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada
limpa terjadi pada SLE. Sehingga kompleks imun tersebut deposit ke luar sistem fagosit
mononuklear. Endapannya di berbagai organ mengakibatkan aktivasi komplemen
sehingga terjadi peradangan. Organ tersebut bisa berupa ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit, dan sebagainya (American College of Rheumatology, 2012).
4. Manifestasi klinis
Manifestasi neuropsikiatrik. Terdapat 19 manifestasi lupus neuropsikiatrik yang
bisa dibuktikan hanya dengan biopsi. Gejala yang dirasakan berupa nyeri kepala,
kejang, depresi, psikosis, neuropati perifer. Manifestasi sistem saraf pusat berupa
aseptik meningitis, penyakit serebrovaskuler, sindrom demielinasi, nyeri kepala,
gangguan gerakan, mielopati, kejang, penurunan kesadaran akut, kecemasan, disfungsi
kognitif, gangguan mood, psikosis. Manifestasi sistem saraf perifer berupa
polineuropati perifer akut, gejala autonom, mononeuropati, miastenia gravis, neuropati
kranial, pleksopati.
Manifestasi hematologi. Berupa anemia normokrom normositer, trombositopenia,
leukopenia. Anemia yang terjadi bisa terjadi akibat SLE maupun akibat manifestasi
renal pada SLE sehingga mengakibatkan terjadinya anemia. Limfopenia < 1500/uL
terjadi pada 80% kasus.
Manifestasi paru. berupa pneumositis, emboli paru, hipertensi pulmonal,
perdarahan paru, pleuritis. Pleuritis memiliki gejala nyeri dada, batuk, sesak napas.
Efusi pleura juga bisa terjadi dengan hasil cairan berupa eksudat. Shrinking lung
syndrome merupakan sistemik yang terjadi akibat atelektasis paru basal yang terjadi
akibat disfungsi diafragma.
Gejala konstitusi. Seperti fatigue, penurunan berat badan, demam yang sifatnya
tidak mengancam jiwa. Penurunan berat badan yang terjadi dapat dibarengi dengan
gejala gastrointestinal. Demam dapat lebih dari 400C tanpa leukositosis.
Manifestasi renal. Komplikasi ini mengancam jiwa dan terjadi pada 30% pasien
dengan SLE. Nefritis terjadi pada beberapa tahun awal SLE. Gejala awal bisa
asimtomatik, sehingga pemeriksaan urinalisis dan tekanan darah penting. Karakteristik
manifestasi renal berupa proteinuria >500 mg/urin 24 jam, sedimen eritrosit.
Klasifikasi glomerulonefritis akibat SLE terdiri dari beberapa kelas.
1. Minimal mesangial lupus nefritis
2. Mesangial proliferatif lupus nefritis
3. Fokal lupus nefritis
4. Difus lupus nefritis
5. Membranosa lupus nefritis
6. Sklerosis lupus nefritis
Manifestasi muskuloskeletal. Atralgia dan mialgia merupakan gejala tersering.
Keluhan ini sering kali dianggap mirip dengan artritis reumatoid dan bisa disertai
dengan faktor reumatoid positif. Perbedaannya SLE biasanya tidak menyebabkan
deformitas, durasi kejadian hanya beberapa menit.
Manifestasi kulit. Gejala yang terjadi berikut berupa rash malar dan diskoid.
Sering dicetuskan oleh fotosensitivitas. Bisa terjadi alopesia. Manifestasi oral berupa
terbentuknya ulkus atau kandidiasis, mata dan vagina kering. Perhatikan gambar 1
berikut malar rash dan gambar 2 alopesia berat akibat SLE.

Gambar 3.16 Malar rash

Gambar 3.17 Alopecia berat pada SLE


Manifestasi oral. Adanya ulserasi, eritema dan keratosis, yang melibatkan
vermilion, mukosa bukal, gingival dan palatum. Menurut Rhodus dan Jhonson (1990)
yang dilakukan pada 16 pasien SLE dengan usia di atas 60 tahun, ditemukan 100% dari
pasien SLE tersebut mengalami xerostomia, 87,5% mengalami angular kelitis, 87,5%
mengalami gangguan pengecapan, dan 81,3 % mengalami mukositis dan glossitis. Hal
ini terjadi karena adanya terjadi deposit granuler maupun linear dari Ig M, Ig G, Ig A,
C3 dan fibrinogen sepanjang basemen membran.
Manifestasi gastrointestinal. Gejala tersering berupa dispepsia, yang bisa terjadi
baik akibat penyakit SLE itu sendiri atau efek samping pengobatannya.
Hepatosplenomegali (+). Terjadinya vaskulitis mesenterika merupakan komplikasi
paling mengancam nyawa karena dapat menyebabkan terjadinya perforasi sehingga
memerlukan penatalaksanaan berupa laparotomi.
Manifestasi vaskuler. Fenomena raynaud, livedo reticularis yang merupakan
abnormalitas mikrovaskuler pada ekstremitas, trombosis merupakan komplikasi yang
terjadi. Gambar berikut 3 menunjukkan livedo reticularis.

Gambar 3.18 Livedo leticularis


Manifestasi kardiovaskuler. SLE dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis
yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan
angina pektoris, valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa
manifestasi lainnya (American College of Rheumatology, 2012).

5. Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology
1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari
11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.

Tabel 3. Kriteria Diagnosis SLE

No Kriteria Batasan
1 Rash malar Eritema, datar atau timbul di atas eminensia malar
dan bisa meluas ke lipatan nasolabial
2 Discoid rash Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik dan
sumbatan folikel. Pada SLE lanjut ditemukan parut
atrofi
3 Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar
matahari
4 Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri
5 Artritis nonerosif Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer dengan
karakteristik efusi, nyeri, dan bengkak
6 Pleuritis atau a. Pleuritis: nyeri pleuritik, ditemukannya pleuritik
perikarditis rub atau efusi pleura
b. Perikarditis: EKG dan pericardial friction rub
7 Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per hari atau
kualifikasi >+++
b. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau campuran
8 Gangguan a. Kejang- tidak disebabkan oleh gangguan metabolik
neurologis maupun obat-obatan seperti uremia, ketoasidosis,
ketidakseimbangan elektrolit
b. Psikosis- tanpa disebabkan obat maupun kelainan
metabolik di atas
9 Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis
hematologi b. Leukopenia < 4000/uL
c. Limfopenia < 1500/uL
d. Trombositopenia< 100,000/uL
10 Gangguan a. antiDNA meningkat
imunologi b. anti Sm meningkat
c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM antikardiolipin
meningkat, tes koagulasi lupus (+) dengan metode
standar, hasil (+) palsu dan dibuktikan dengan
pemeriksaan imobilisasi T.pallidum 6 bulan
kemudian atau fluoresensi absorsi antibodi
11 Antibodi antinuklear Titer ANA meningkat dari normal
(ANA)

6. Penatalaksanaan
SLE sampai saat ini masih belum dapat disembuhkan ,remisi komplit pun jarang
terjadi. Oleh karena itu perlu diperhatikan untuk mengendalikan pada serangan akut
dan mengatur strategi sehingga dapat mensupresi terjadinya kerusakan target organ.
Tatalaksana diberikan sesuai manifestasi klinis yang terjadi dan dibagi dalam
kelompok yang mengancam nyawa dan tidak mengancam nyawa.
a. Terapi non farmakologis
Penyuluhan dan edukasi penting diberikan pada pasien dengan SLE yang baru
terdiagnosis. Berikut adalah beberapa hal penting dalam edukasi SLE:
 Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya
 Masalah terkait fisik misalnya penggunaan kortikosteroid untuk tatalaksana SLE
bisa menyebabkan osteoporosis sehingga perlu dibarengi dengan latihan
jasmani, istirahat, diet, dan mengatasi infeksi secepatnya serta menggunakan
kontrasepsi
 Menggunakan payung, lengan panjang atau krem sinar matahari jika terpapar
matahari
Memberikan edukasi mengenai terapi yang akan diberikan. Pasien dengan SLE
mengancam nyawa diberikan terapi agresif yakni imunosupresan dan kortikosteroid
dosis tinggi, sedangkan yang tidak mengancam nyawa diberikan terapi konservatif
(Kasper, 2005; Manson, 2005).
b. Terapi farmakologi
Fatigue dan keluhan sistemik. Tidak memerlukan terapi spesifik. Cukup
menambah waktu istirahat dan menunjukkan empati (Kasper, 2005; Manson,
2005).
Lupus kutaneus. Menggunakan sunscreen untuk melindungi tubuh sehingga
mengurangi gejala fotosensitivitas. Sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio
atau gel yang mengandung PABA, ester, benzofenon, salisilat dan sinamat.
Sunscreen dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat. Dermatitis lupus diberikan
kortikosteroid topikal krem, salep atau injeksi. Antimalaria juga dapat digunakan
karena memiliki efek sunblock dan sunscreen.
Artritis, artalgia, mialgia. Keluhan ringan diberikan analgetik atau NSAID. Jika
tidak membaik dipertimbangkan pemberian hidroksiklorokuin 400mg/hari. Jika
dalam 6 bulan tidak berefek juga maka stop. Dapat diberikan kortikosteroid dosis
rendah 15mg tiap pagi. Atau metrotreksat 7,5-15 mg/minggu. Atau bisa
dipertimbangkan pemberian cox-2 inhibitor.

G. Glositis dan Celiac Disease


Penyakit celiac (celiac disease) atau yang lebih dikenal sebagai intoleransi gluten
merupakan enteropati autoimun yang mengganggu usus halus, sehingga menyebabkan
atrofi pada vili, kerusakan sel epitel, dan meningkatkan mediator-mediator proinflamasi
seperti limfosit yang menginfiltrasi lamina propria (Cigic, 2016). Kerusakan disebabkan
oleh ketidakseimbangan respon immunomediate, yang terjadi pada individu yang rentan
secara genetik setelah individu tersebut mengonsumsi makanan yang mengandung gluten
(Costacurta, 2010).
Manifestasi yang ditimbulkan dari CD mencakup gejala pencernaan, seperti diare
kronis, penurunan berat badan, pertumbuhan yang terhambat, muntah, yang pada akhirnya
menyebabkan malabsorbsi dan malnutrisi. Selain itu, banyak penderita CD yang
menunjukkan simptom di luar sistem pencernaan, seperti anemia, kelemahan,
osteoporosis, serta delayed puberty (Rashid M, 2011).
Penyakit celiac memberikan manifestasi oral pada penderitanya. Manifestasi yang
sering terjadi dapat berupa kerusakan enamel, erupsi, liken planus oral, aphthous oral, dan
glositis atrofi atau geographic tongue (Rashid M et al, 2011). Patofisiologi hubungan
antara CD dan glositis atrofi maupun manifestasi oral lainnya belum diketahui secara
pasti. Namun, berdasarkan hasil studi dan penelitian oleh Costacurta M tahun 2010 dan
Rashid M tahun 2011, ada dua mekanisme yang melandasi terjadinya kerusakan oral pada
penderita CD.

Gambar 3.19 Glositis atrofi (geographic tongue) pada pasien Celiac Disease

Gambar 3.20 Defek enamel dan aphthous ulcer pada mukosa bukal pada penderita celiac disease

Mekanisme yang mendasari terjadinya manifestasi oral pada penderita CD adalah


malabsorbsi-hipokalsemia dan respon autoimun. Malabsorbsi yang disebabkan oleh
enteropati dan kerusakan vili usus halus mengakibatkan terjadinya perubahan
metabolisme dari fosfokalsium dan menyebabkan terjadi hipokalsemia (Costacurta,
2010). Keadaan hipokalsemia ini menjadi penyebab kerusakan atau cacat enamel pada
pasien celiac, yang berpengaruh pada mineralisasi gigi selama proses ontogenesis.
Sedangkan mekanisme autoimun menunjukkan bahwa antigen, yaitu gluten, berikatan
dengan molekul kelas II pada kompleks histokompatibiliti mayor, kemudian
menghasilkan respon autoimun yang dimediasi oleh limfosit ke gigi, lidah, dan mukosa
dalam mulut melalui pelepasan antibodi (Erriu, 2016).
Penegakan diagnosis dari CD, selain dari manifestasi dan gejala klinis pasien juga
ditegakkan dengan pemeriksaan serologi. Pada pemeriksaan serologi, untuk CD
digunakan marker tes antibodi tissue transglutaminase (tTG) dan pemeriksaan IgA-
endomysial antibody (EmA) (Krzywicka et al, 2014). Pemeriksaan-pemeriksaan ini
menghasilkan sensitifitas dan spesifisitas lebih dari 90% (Rahsid M, 2011). Selain itu
dapat juga menggunakan marker HLA-DQB1 haplotype, yang merupakan marker penting
untuk melihat kemungkinan seseorang terkena CD. Pemeriksaan dengan marker
antigliadin (AGA) atau antireticulum (ARA) sudah jarang digunakan sekarang ini (Erriu
et al, 2012).
Pasien dengan celiac disease harus diedukasi untuk melakukan diet bebas gluten
selama seumur hidup untuk mencegah penyakit lain yang dapat timbul (Krzywicka et al,
2014). Jika terdapat manifestasi oral seperti defek enamel, ulserasi mukosa bukal, maupun
glositis atrofi, pasien harus diedukasi tentang menjaga hygiene, diberikan obat-obat
topikal, serta melakukan pemeriksaan gigi dan mulut secara teratur (Costacurta et al,
2010) (Brian, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

American College of Rheumatology (2012). Systemic lupus erythematosus research. Education.


Atlanta:Rheumatology.

Bajpai S, Pazare AR. 2010.Oral manifestations of HIV. Contemp Clin Dent.1(1):1-5.

Bakta, IM. 2014. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC

Brian VR, Derby R, Bunt CW (2010). Common tongue conditions in primary care. Am Fam Physician
81(5): 627-634.

Byrd, Julie A. Glossitis and other tongue disorders. Dermatologic Clinics vol21 (2003) 123–134

Chandan J S, Thomas T. (2017). Inflammatory bowel disease and oral health, BDJ Team. British Dental
Association, 4(5), p. 17083.

Cigic L, Galic T, Kero D, Simunic M, Medevedec MI, Kalibovic GD, Biocina LD (2016). The prevalence
of celiac disease in patients with geographic tongue. J Oral Pathol Med 45(10): 791-796.

Costacurta M, Maturo P, Bartolino M, Docimo R (2010). Oral manifestations of coeliac disease: a clinical-
statistic study. Oral and Implantology III-1.

Darwazeh AM, Almelaih AA. Tongue lesions in a Jordanian population. Prevalence, symptoms, subject’s
knowledge and treatment provided. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2011 Sep 1;16(6): e745-9.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21196841.

Dorland. Dorland's Illustrated Medical Dictionary E-Book. London: Saunders, 2011.

Erriu M, Fernando C, Orru G, Garau V, Montaldo C (2012). Idiopathic atrophic glossitis as the only clinical
sign for celiac disease diagnosis: a case report. Journal of Medical Case Reports 6:185.

Erriu M, Pili FMG, Cadoni S, Garau V (2016). Diagnosis of lingual atrophic conditions: associations with
local and systemic factors : a descriptive review. The Open Dentistry Journal 10: 619-635.
Feuerstein J D, Cheifetz A S .(2017). Crohn Disease: Epidemiology, Diagnosis, and Management., Mayo
Clinic proceedings. Mayo Foundation for Medical Education and Research, 92(7), pp. 1088–1103.

Ghabanchi J.The Prevalence of Median Rhomboid Glossitis in Diabetic Patients: A Case-Control Study.
Iran Red Crescent Medical Journal 2011; 13(7):503-506

Goswami M, Verma A, Verma M. Benign migratory glossitis with fissured tongue. J Indian Soc Pedod
Prev Dent. 2012 Apr- Jun; 30(2): 173-75. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22918106.

Graells, J., Ojeda, R. M., Muniesa, C., Gonzalez, J., & Saavedra, J. (2009). Glossitis with linear lesions:
An early sign of vitamin B12 deficiency. Journal of the American Academy of Dermatology, 60(3),
498–500.doi:10.1016/j.jaad.2008.09.011

Hammoudeh, M., Al-Momani, A., Sarakbi, H., Chandra, P. and Hammoudeh, S. (2018). Oral
Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus Patients in Qatar: A Pilot Study. International
Journal of Rheumatology, 2018, pp.1-6.

Honarmand M, Farhad ML, Shirzaiy M, Sehhatpour M. Geographic Tongue and Associated Risk Factors
among Iranian Dental Patients. Iran J Public Health.2013; 42(2): 215-19.Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23515238.

Jainkittivong A, Langlais RP. Geographic tongue: clinical characteristics of 188 cases. J Contemp Dent
Pract. 2005 15; 6(1): 123-35. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15719084.

Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL (2005). Harrison’s principles of internal
medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill.

Krzywicka B, Herman K, Zajac MK, Pytrus T (2014). Celiac disease and its impact on the oral health status:
review of the literature. Adv Clin Exp Med 23(5): 675-681.

Lankarani K B, Sivandzadeh G R, Hassanpour S. (2013). Oral manifestation in inflammatory bowel


disease: A review, World Journal of Gastroenterology, 19(46), pp. 8571–8579.

Lu SY. (2016). Perception of iron deficiency from oral mucosa alterations that show a high prevalence of
Candida infection. Journal of the Formosan Medical Association, 115(8), 619-627.

Mangold Aaron R., Torgerson Rochelle R., Rogers III Roy S., Diseases of the Tongue, Clinics in
Dermatology (2016)

Manson JJ, Rahman A (2005). Systemic lupus erythematosus. Philadelphia: Orphanet Encyclopedia.

Miller-Keane Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and Allied Health. 7th ed. Philadelphia:
W.B. Saunders; c 2010. Glossitis. http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/glossitis diakses
pada tanggal 8 Mei 2019.

Mosby's Dental Dictionary. 2nd ed. [Place unknown]; Elsevier, Inc.; c2010. Glossitis. http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/glossitis diakses pada tanggal 8 Mei 2019.

Netter FH. Atlas of Human Anatomy. Philadelphia: Saunders.2011


Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2002). Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: PB Perkeni, hal 1-19

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006). Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 Di


Indonesia. Semarang.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2015). Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. Jakarta: PB Perkeni.

Picciani B, Silva-Junior G, Carneiro S, Sampaio AL, Goldemberg DC, Oliveira J, Porto LC, Dias EP.
Geographic stomatitis: an oral manifestation of psoriasis?. J Dermatol Case Rep. 2012 Dec 31; 6(4):
113-16. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23329990.

Rakhmayanthie N, Herawati E (2016). Effect on nutrititional intake towards angular cheilitis of orphanage
children. Padjadjaran Journal of Dentistry 2016;28(3):164-170.

Rashid M, Zarkadas M, Anca A, Limebac H (2011). Oral manifestations of celiac disease: a clinical guide
for dentist. J Can Dent Assac 77:39.

Reamy BV, Derby R., Col LT and Bunt CW (2010). Common tongue conditions in primary care, 81(5),
627–634

Reyt, V. (2018). Crohn’s disease, Actualites Pharmaceutiques, 57(580), pp. 13–15.

Silbernagl, Stefan.,Lang, Florian. 2014. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Stoopler E T, Kuperstein A S (2013). Glossitis secondary to vitamin B12 deficiency anemia. CMAJ :
Canadian Medical Association journal = journal de l'Association medicale canadienne, 185(12),
E582.

Sudoyo Aru.W, dkk. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, Jilid III. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta

Sun A, Lin HP, Wang YP, and Chiang CP. (2012). Significant association of deficiency of hemoglobin,
iron and vitamin B12, high homocysteine level, and gastric parietal cell antibody positivity with
atrophic glossitis. Journal of Oral Pathology & Medicine, 41(6), 500-504.

Suyono S. (2007) Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, Hal 7-14

Wu YC, Wang YP, Chang JY, Cheng SJ, Chen HM, and Sun A. (2014). Oral manifestations and blood
profile in patients with iron deficiency anemia. Journal of the Formosan Medical
Association, 113(2), 83-87.

Zervou F. (2004). Oral manifestations of patients with inflammatory bowel disease, Annals of
Gastroenterology, 17(4), pp. 395–401.

Anda mungkin juga menyukai