Anda di halaman 1dari 56

TINJAUAN PUSTAKA

1. PNEUMONIA
DEFINISI
Pneumonia dalam arti umum adalah peradangan parenkim paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme-bakteri, virus, jamur, parasit, namun pneumonia juga
dapat disebabkan oleh penyebab selain mikroorganisme (fisik, kimiawi, alergi) sering
disebut sebagai pneumonitis. Pneumonia merupakan proses konsolidasi rongga udara
akibat rongga udara alveolar terisi dengan eksudat inflamatori yang disebabkan oleh
adanya infeksi. (1-4)

INSIDEN
Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi
saluran napas yang terjadi di masyarakat (community-acquired) atau di dalam rumah
sakit (hospital-acquired). Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan
setiap tahunnya menyerang sekitar 1% dari seluruh penduduk Amerika. (1,2)
Insidensi pneumonia komuniti (community-acquired) di Amerika adalah 12
kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi
pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah
10 %. Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang antibiotik, pneumonia tetap
merupakan penyebab kematian terbanyak ke enam di Amerika Serikat. (2,7)
Sedangkan insidensi pneumonia nosokomial (hospital-acquired) adalah
pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi
nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka
kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi
5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x
pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia
nosokomial 20-50%. (5)
Secara gender, laki-laki lebih sering terkena dibanding perempuan. Berdasarkan
umur, pneumonia dapat menyerang siapa saja. Meskipun lebih banyak ditemukan pada
anak-anak dan usia lanjut. Pada berbagai usia penyebabnya cenderung berbeda-beda,
dan dapat menjadi pedoman dalam memberikan terapi. (1,7,4)
EPIDEMIOLOGI
Kejadian pneumonia nosokomial (hospital-acquired) di ICU lebih sering
daripada pneumonia nosokomial (hospital-acquired) di ruangan umum, yaitu dijumpai
pada hampir 25% dari semua infeksi di ICU, dan 90% terjadi pada saat ventilasi
mekanik.(1)
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia (lansia) dan
seirng terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM), payah jantung, penyakit
arteri koroner. Juga adanya tindakan infasive seperti infuse, intubasi, traekostomi, atau
pemasangan ventilator. Perlu diteliti faktor lingkungan khususnya tempat kediaman
misalnya di rumah jompo atau panti, penggunaan antibiotik, obat suntik IV, serta
keadaan alkoholik yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi kuman gram negative.
Pasien-pasien pneumonia komunitas juga dapat terinfeksi oleh berbagai jenis patogen
yang baru. (1,8)

ETIOLOGI
Etiologi pneumonia berbeda-beda pada berbagai tipe dari pneumonia, dan hal
ini berdampak kepada obat yang akan diberikan. Pneumonia dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari
kepustakaan pneumonia komuniti (community-acquired) yang diderita oleh masyarakat
luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah
sakit (nosokomial-acquired) banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan
pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan
dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. (1,2)
Tabel 1.1
Penyebab paling sering pneumonia yang di dapat di masyarakat (komunitas)
dan nosokomial (rumah sakit)
Lokasi Sumber Penyebab
Masyarakat (community-acquired) Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Haemophilus pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
Rumah sakit (hospital-acquired) Basil usus gram negative (misal,
Escherchia coli, Klebisiella pneumonia)
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus
Dikutip dari kepustakaan 3.

ASPEK ANATOMI THORAX


Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk
kerucut, dan letaknya berada di rongga thorax.
Masing-masing paru mempunyai apex yang tumpul,
yang menjorok ke atas, masuk ke leher sekitar 2,5 cm
di atas clavicula, facies costalis yang konveks, yang
berhubungan dengan dinding dada, dan facies
mediastinalis yang konkaf yang membentuk
Dikutip dari kepustakaan 13.
cetakan pada pericardium dan struktur mediastinum lain. Sekitar pertengahan
permukaan kiri, terdapat hillus pulmonis, suatu lekukan dimana bronchus, pembuluh
darah masuk ke paru-paru untuk membentuk radix pulmonis. (9)

Dikutip dari kepustakaan 4.


Paru-paru terbagi menjadi beberapa lobus : atas, tengah, dan bawah di kanan,
dan atas dan bawah kiri. Paru-paru dibungkus oleh suatu kantung tipis, pleura. Pleura
visceralis terdapat tepat di atas parenkim paru-paru, sedangkan pleura parietalis
melapisi dinding dada. Kedua pleura ini saling meluncur satu sama lain selama inspirasi
dan ekspirasi. (10)

Dikutip dari kepustakaan 9. Dikutip dari kepustakaan 11.


Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Cabang utama bronkus kanan dan
kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini
berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi
bronkiolus terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh dinding tipis
atau septum. Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang
dikelilingi oleh jaringan kapiler sehingga batas antara cairan dan gas membentuk
tegangan permukaan yang cenderung mencegah pengembangan saat inspirasi dan
cenderung kolaps pada waktu ekspirasi. (9,12)
Fissura interlobaris yang diperlihatkan pada gambar di bawah ini terletak di
antara lobus paru-paru. Paru-paru kanan dan kiri mempunyai fissure obliq yang dimulai
pada dada anterior setinggi iga keenam pada garis midclavicula dan memanjang lateral
atas ke iga kelima di garis aksillaris media, berakhir pada dada posterior pada prosessus
spinosus T3. Lobus bawah kanan terletak di bawah fissure obliq kanan, lobus atas dan
tengah kanan terletak di atas fissure obliq kanan. Lobus bawah kiri terletak di bawah
fissure obliq kiri, lobus atas kiri terletak di atas fissure obliq kiri. Fissura horizontal
hanya ada di bagian kanan dan memisahkan lobus atas kanan dan lobus tengah kanan.
Fissura memanjang dari iga keempat pada tepi sternum ke iga kelima pada garis
aksillaris media.(10)
Gambar 1.1 Dikutip dari kepustakaan 9.

PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada
beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :

- Inokulasi langsung
- Penyebaran melalui pembuluh darah
- Inhalasi bahan aerosol
- Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 mm melalui udara dapat mencapai
bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke
saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru.(2)
Setelah mikroba samapai ke saluran napas bawah, maka ada empat rute
masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu :
- Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus
neurologis dan usia lanjut
- Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan
pasien
- Hematogenik
- Penyebaran langsung
Terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan
berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih
keluar dari pembuluh darah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang
terinfeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus. Lobus bagian
bawah paru paling sering terkena karena mikroorganisme penyebab yang paling sering
adalah bakteri anaerob sehingga oksigenasi berkurang atau tidak terlalu dibutuhkan,
disamping itu juga karena efek gravitasi. (5,3,14)
Adapun cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya
infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumoniae, melalui selang
infus oleh Staphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh
Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacter.(1)
Faktor resiko yang berkaitan dengan pneumonia yang disebabkan oleh
mikroorganisme adalah usia lanjut, penyakit jantung, alkoholisme, diabetes melitus,
penggunaan ventilator mekanik, PPOK, immune defect, serta terapi khusus. (6)

GAMBARAN KLINIS
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejala-gejala meliputi:
- Demam dan menggigil akibat proses peradangan
- Batuk yang sering produktif dan purulen walaupun dapat juga non produktif
- Sputum berwarna merah karat atau kehijauan dengan bau khas
- Sesak, berkeringat, nyeri dada
- Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang
melebihi 400C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan
sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah. (8,15)

DIAGNOSIS
Seringkali bentuk pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh kuman yang berbeda.
Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan
fisis yang teliti, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan
dengan faktor infeksi.
- Evaluasi faktor pasien/predisposisi, misal PPOK (Haemophilus influenzae),
penurunan imunitas (kuman gram negative), kejang/tidak sadar (aspirasi
gram negative)
- Bedakan lokasi infeksi, misal pneumoni komunitas (Stretococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Mycoplasma pneumoniae)
- Usia pasien, misal bayi (virus), muda (Mycoplasma pneumoniae), dewasa
(Streptococcus pneumoniae)
- Onset time, misal cepat akut dengan rusty coloured sputum (Streptococcus
pneumoniae), perlahan dengan batuk dahak sedikit (Mycoplasma
pneumoniae).(6)
b. Pemeriksaan Fisis
Berikut beberapa gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman
penyebab/patogenitas kuman dan tingkat berat penyakit.
- Gejala yang tiba-tiba muncul dan langsung berat (Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Yersinia
pestis)
- Gejala yang timbulnya lambat (pneuomonia atipikal, Klebsiella pneumonia,
Pseudomonas aeruginosa, Enterobactericiae)
- Gejala yang dialami pasien, misal nyeri pleuritik difus (Mycoplasma
pneumoniae), nyeri pleuritik tusuk (Streptococcus pneumoniae), coryza
(virus), red currentjelly seperti batu bata (Klebsiella pneumonia), sputum
berbau busuk (pneumonia aspirasi, infeksi anaerob)
- Gejala intestinal, mual, muntah, diare, nyeri abdomen (Legionella
pneumoniae)
- Tampak bagian dada yang sakit tertinggal sewaktu bernafas dengan suara
napas bronchial kadang-kadang melemah.
- Di dapatkan ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada
stadium resolusi. (5,6,8,15)
c. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto konvensional, secara umum tidak mungkin mendiagnosis suatu agen
penyebab infeksi dari jenis bayangannya saja. Sehingga dibutuhkan keterangan klinis,
laboratoris seperti jumlah leukosit dan hitung jenis. Oleh karena itu pada dasarnya
semua pemeriksaan saling melengkapi dan saling membantu dalam menegakkan suatu
diagnosis. (16,18)
American Thoracic Society merekomendasikan posisi PA (posteroanterior) dan
lateral (jika dibutuhkan) sebagai modalitas utama yang di gunakan untuk melihat
adanya pneumonia. Gambaran pneumonia pada foto thorax sebenarnya sama seperti
gambaran konsolidasi radang. Prinsipnya jika udara dalam alveoli digantikan oleh
eksudat radang, maka bagian paru tersebut akan tampak lebih opaq pada foto Roentgen.
Jika kelainan ini melibatkan sebagian atau seluruh lobus disebut lobaris pneumoniae,
sedangkan jika berupa bercak yang mengikutsertakan alveoli secara tersebar maka
disebut bronchopneumoniae. (16,19)
Adapun gambaran radiologis foto thorax pada pneumonia secara umum antara
lain: (16-19)
a. Perselubungan padat homogen atau inhomogen
b. Batas tidak tegas, kecuali jika mengenai 1 segmen lobus
c. Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil.
Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/seperti pada atelektasis.
d. Air bronchogram sign adalah bayangan udara yang terdapat di dalam

Dikutip dari kepustakaan 23.

percabangan bronkus yang dikelilingi oleh bayangan opaq rongga udara yang
akan tampak jelas jika udara tersebut tergantikan oleh cairan/eksudat akibat
proses inflamasi. Pada saat kondisi seperti itulah, maka dikatakan air
bronchogram sign positif (+) (4,19,20)
e. Sillhoute sign adalah suatu tanda adanya dua bayangan benda (objek) yang
berada dalam satu bidang seakan tumpang tindih. Tanda ini bermanfaat untuk
menentukan letak lesi paru ; jika batas lesi dengan jantung hilang, berarti lesi
tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan. Maka akan
disebut sebagai sillhoute sign (+) (4,22)

Dikutip dari kepustakaan 4.

I. Pneumonia Lobaris
Berikut ilustrasi progresifitas konsolidasi pada pneumonia lobaris :

(Courtesy of C. Isabela S.
Silva, MD, PhD)

Dikutip dari kepustakaan 19

Pada gambar (A) memperlihatkan bahwa konsolidasi awalnya cenderung terjadi di


daerah paru dekat dengan pleura visceral dan lama kelamaan akan menyebar secara
sentripetal menuju ke pori-pori kohn (pore of kohn) yang selanjutnya akan membentuk
konsolidasi pada satu segmen (B), lalu daerah yang mengalami konsolidasi tersebut
sampai mengisi 1 lobus parenkim paru sehingga pada derah bronkus yang terkena akan
tampak dengan jelas air bronchogram sign (+).(19)

PNEUMONIA LOBARIS

Dikutip dari kepustakaan 19.


Pada posisi PA dan lateral tersebut tampak perselubungan homogen pada
lobus paru kanan tengah dengan tepi yang tegas. Lapangan paru lainnya
masih tampak normal. Cor, sinus,diafragma tidak tampak kelainan.
Pnemonia lobaris ini paling sering disebabkan oleh Strep. Pneumonia (19,21)

Dikutip dari kepustakaan 19


Gambar diatas, menunjukkan foto CT-scan thorax resolusi tinggi dengan
memperlihatkan adanya perselubungan di lobus atas paru kanan. Tampak air
brochogram sign sepanjang bronkus lobus atas paru kanan dan gambaran ground glass
di tepi perselubungan dan paru normal.(19)
High resolution CT-scan sangat baik digunakan untuk melihat gambaran pola
dan distribusi pneumonia dibandingkan dengan foto konvensional seperti X-ray.
Namun jarang digunakan untuk mengevaluasi pasien yang curiga atau dipastikan
pneumonia. Akan tetapi, CT-scan merupakan pilihan yang direkomendasikan untuk
menilai adanya kelainan non spesifik yang tidak di temukan pada foto konvensional.(19)
II. Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia)
Gambaran radiologi bronkopneumonia bercak berawan, batas tidak tegas,
konsolidasi dapat berupa lobular, subsegmental, atau segmental. Khas biasanya
menyerang beberapa lobus, hal ini yang membedakan dengan pneumonia lobaris.
Lokasi predileksi bronkopneumonia biasanya hanya terjadi di lapangan paru tengah dan
bawah. (4,19,21)
Pada gambar (A) di bawah ini memperlihatkan bahwa mikroorganisme awalnya
menyerang bronkiolus yang lebih besar sehingga mengakibatkan nodul sentrilobuler
dan gambaran cabang bronkus yang berdensitas opaq (tree-in-bud pattern). Lalu proses
konsolidasi yang terjadi akan mengenai daerah peribronkhial dan akan berkembang
menjadi lobular, subsegmental, atau segmental (B). Selanjutnya proses konsolidasi
tersebut bisa terjadi multifocal, tepi tidak rata, corakan bronkovaskular kasar akibat
dinding cabang bronkus menjadi lebih tebal, namun perselubungan yang terjadi
biasanya tidak melebihi batas segmen (C) (19)

Bentuk ilustrasi progresifitas konsolidasi pada bronkopneumonia

(Courtesy of C. Isabela
S. Silva, MD, PhD)

Dikutip dari kepustakaan 19.

PNEUMONIA LOBULARIS (BRONKOPNEUMONIA)


Dikutip dari kepustakaan 19.
Pada foto thorax posisi PA tersebut tampak perselubungan inhomogen pada
lobus medius di kedua lapangan paru. Bronchopneumonia ini sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus Escherichia coli,
Pseudomonas aeruginosa. (19)

Gambaran CT-scan thorax memprlihatkan adanya


nodul sentrilobular (panah lurus), perselubungan di
daerah lobus yang disertai dengan gambaran
ground-glass opacity (panah lengkung).
Dikutip dari kepustakaan 19.
Kadang-kadang, pneumonia dapat meluas
menjadi pneumonia necrosis (necrotizing
pneumonia). Tampak adanya perselubungan di
lobus paru kanan atas dan lobus paru kiri
bawah. Tampak bulging fissure sign di lobus
paru kanan atas.(19)

Dikutip dari kepustakaan 19.

III. Pneumonia Interstisial


Umumnya jenis pneumonia intersisial ini disebabkan oleh virus. Infeksi dari
virus berawal dari permukaan dengan terjadinya kerusakan silia sel goblet dan kelenjar
mukus bronkioli, sehingga dinding bronkioli menjadi edematous. Juga terjadi edema
di jaringan interstisial peribronkial. Kadang-kadang alveolus terisi cairan edema.
Pneumonia interstisial dapat juga dikatakan sebagai pneumonia fokal/difus, di mana
terjadi infiltrasi edema dan sel-sel radang terhadap jaringan interstisial paru. Septum
alveolus berisi infiltrat limfosit, histiosit, sel plasma dan neutrofil. Dapat timbul
pleuritis apabila peradangan mengenai pleura viseral.(17)

PNEUMONIA INTERSISIAL

Pada fase akut tampak gambaran


bronchial cuffing, yaitu penebalan dan edema
dinding bronkiolus. Corakan bronkovaskular
meningkat, hiperaerasi, bercak-bercak inifiltrat
dan efusi pleura juga dapat ditemukan. (17)

Dikutip dari kepustakaan 19.

IV. Pneumonia Cystis Carinii


Di negara berkembang, pola penyakit pneumonia ini sering dipersulit dengan
adanya imunosupresi akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Pola ini sulit
dikenali, namun petunjuknya adalah pembuluh darah paru tampak tidak berbatas tegas
atau “kabur” dan paru tampak sedikit opaq. Tidak ditemukan adanya air brochogram
sign. Pola ini sering ditemukan pada infeksi pneumonia Pneumocystis carinii yang
diderita oleh pasien dengan imunosupresi terutama akibat AIDS, infeksi mikoplasma
dan infeksi virus.(4)
Dikutip dari kepustakaan 4.
Gambaran radiologi x-ray :
- Bayangan ground-glass opak
yang bilateral simetris atau
pola reticulonodular
- Utamanya cenderung mengisi
daerah perihiler
- Namun dapat juga meluas ke
daerah ata dan bawah paru.(4,20)
Dikutip dari kepustakaan 25.
Gambaran radiologi CT-scan Thorax :
- Bayangan ground-glass opak
yang bilateral simetris
- Terkadang tidak rata dan
menyebar. (20)

Dikutip dari kepustakaan 20


V. Pneumonia Aspirasi
Pneumonia aspirasi adalah masuknya benda atau zat asing, padat atau cair ke
dalam saluran pernafasan, inhalasi uap atau asap. Pneumonia ini biasanya juga
disebabkan oleh adanya flora orofaring normal yang teraspirasi ke dalam saluran
napas.(26)

PNEUMONIA ASPIRASI
Dikutip dari kepustakaan 26.
Pada foto thorax menunjukkan tampak perselubungan homogen bilateral
di kedua lapangan paru yang disertai dengan adanya endotracheal di atas
carina. Kasus tersebut adalah seorang pria usia 29 tahun, dengan riwayat
cerebral palsy dan gangguan neurologis, di bawa ke rumah sakit dengan
kesadaran menurun.(26)

2. Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri. Leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikooplasma atau pada
infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respon leukosit. Leukopenia
menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman gram
negative. (1,8)
3. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal, bronkoskopi. Kuman
yang predominan pada sputum yang disertai PMN yang kemungkinan
merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama pra
terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya. (1,8)
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan
fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika
pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau
lebih gejala di bawah ini (2) :
a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak / purulen
c. Suhu tubuh > 38oC (aksila) / riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500
Sedangkan Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta),
diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut (5,15) :
a. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk
rumah sakit
b. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
- Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
o
- Ditambah 2 diantara kriteria berikut: suhu tubuh > 38 C , sekret purulen
dan leukositosis (5,15)

PATOLOGI ANATOMI
Pada masa praantibiotik, pneumonia pneumokokkus mengenai seluruh atau
hampir seluruh lobus dan berkembang melalui empat stadium : kongesti, hepatisasi
merah, hepatisasi abu-abu, dan resolusi. Terapi antibiotik dini mengubah atau
menghentikan perkembangan ini, sehingga jika pasien meninggal, kelainan anatomik
yang tampak saat autopsi mungkin tidak sesuai dengan stadium klasik. (27)
a. Kongesti (4-12 jam pertama), pada stadium ini, lobus yang terkena menjadi
berat, merah, sembab akibat adanya eksudat serosa masuk ke dalam alveoli
melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
b. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) lobus paru tampak merah dan bergranula
karena sel-sel darah merah, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveoli.
c. Hepatisasi kelabu (3-8 hari) paru-paru menjadi kering, abu-abu, dan padat,
karena sel darah merah mengalami lisis sementara eksudat fibrinosa menetap
dan mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
d. Resolusi (7-11 hari) eksudatnya di dalam alveolus dicerna secara enzimatis
sehingga mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali pada strukturnya semula. (2,3,27)
Pada pola bronkopneumonia, fokus konsolidasi peradangan distribusi dalam bercak-
bercak di satu atau beberapa lobus, terutama di lateral dan basal. Lesi yang sudah
tebentuk sempurna dengan garis tengah 3 atau 4 cm tampak sedikit meninggi dan
berwarna merah abu-abu hingga kuning. (27)

Dikutip dari kepustakaan 27


Pada gambar bagian kiri menunjukkan gambaran makroskopik pneumonia lobaris
dengan hepatisasi abu-abu. Lobus bawah mengalamai konsolidasi yang merata.
Pada gambar bagian kanan menunjukkan adanya neutrofil di dalam rongga alveolus.
Hal ini disertai kongestif kapiler septum dan eksudat fibrinosa, yang terjadi akibat
peningkatan permeabilitas kapiler.(27)

DIAGNOSIS BANDING
1. Efusi Pleura
Merupakan suatu kondisi dimana terdapat akumulasi cairan dalam cavum pleura
yang dapat disebabkan oleh banyak kelainan dalam paru. Pada pemeriksaan foto
thorax rutin tegak, cairan pleura tampak perselubungan homogen menutupi
struktur paru bawah yang biasanya relative radiopaq dengan permukaan atas
cekung, berjalan dari lateral atas ke medial bawah. Karena cairan mengisi ruang
hemithorax sehingga jaringan paru akan terdorong ke arah sentral/hilus dan
kadang-kadang mendorong mediastinum ke arah kontralateral.(16)
ANTARA EFUSI PLEURA DAN PENUMONIA

Dikutip dari kepustakaan 22. Dikutip dari kepustakaan 18.


Persamaan :
- Memiliki densitas yang sama yaitu perselubungan yang homogen berdensitas
tinggi (relatif radiopaq) (16)
Perbedaan :
- Pada efusi pleura, cairan terakumulasi di dalam cavum pleura sehingga
gambaran khasnya tampak sinus costophrenicus tumpul karena sifat dari cairan
selalu mencari daerah yang terendah, sedangkan pada pneumonia tidak.
- Pada pneumonia khas dapat ditemukan air bronchogram sign, jika proses
perselubungannya telah mengisi sampai 1 lobus parenkim paru
- Yang paling khas, bahwa pada efusi terdapat tanda-tanda pendesakan ke arah
hemithorax yang sehat, hal ini terjadi akibat akumulasi yang terus menerus dari
suatu rongga. Sedangkan pada pneumonia tidak terjadi penurunan atau
penambahan volume paru (16,18,22)
2. Atelektasis
Berarti alveoli mengempis (kolaps). Hal ini dapat terjadi pada satu tempat yang
terlokaslisir di paru, pada seluruh lobus, atau pada seluruh paru. Penyebab yang
paling sering adalah obstruksi saluran napas dan berkurangnya surfaktan pada
cairan yang melapisi alveoli. Karena mengalami hambatan/obstruksi, sehingga
aerasi paru dapat berkurang. Pada gambaran radiologisnya akan memberikan
bayangan densitas yang lebih tinggi.(16)
ANTARA ATELEKTASIS DAN PENUMONIA

Dikutip dari kepustakaan 13 Dikutip dari kepustakaan 18


Persamaan ;
- Memiliki densitas yang sama yaitu perselubungan yang homogen berdensitas
tinggi (relatif radiopaq) (16)
Perbedaan :
- Karena atelektasis merupakan kondisi dimana paru mengalami kolaps, sehingga
pada gambaran radiologisnya akan tampak tanda-tanda penarikan ke arah
hemithorax yang sakit, sedangkan pada pneumonia tidak. (16,18)
3. TBC Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Basil tuberkel ini menyebabkan reaksi
jaringan yang aneh dalam paru, antara lain (1) daerah yang terinfeksi diserang
oleh makrofag dan (2) daerah lesi dikelilingi oleh jaringan fibrotik untuk
membentuk yang idsebut “tuberkel”. Proses pembentukan dinding ini
membantu membatasi penyebaran basil tuberkel dalam paru dan oleh karena itu
ia merupakan bagian dari proses protektif melawan infeksi. Tetapi hampir 3%
dari seluruh penderita tuberculosis, jika tidak diobati, maka tidak akan terbentuk
proses pembatasan ini sehingga akan menyebar ke seluruh lapangan paru,
menyebabkan kerusakan jaringan dan pembentukan kavitas abses yang besar.
Sehingga gambaran radiologi yang khas yang sering ditemukan di masyarakat
dapat berupa TBC paru aktif, TBC paru lama aktif, dan TBC paru lama tenang.
Gambaran bercak berawan serta cavitas pada TBC paru biasanya menempati
lapangan atas paru.(4,14,16,18)
ANTARA TBC PARU DAN PENUMONIA

Dikutip dari kepustakaan 13 Dikutip dari kepustakaan 18


Persamaan :
- Memiliki densitas yang sama yaitu relatif radiopaq. (16)
Perbedaan :
- Pada TBC paru khas tampak bercak berawan pada lapangan paru atas, dan
adanya garis-garis fibrotik dan kasifikasi jika sudah masuk dalam masa
penyembuhan
- Sedangkan pada pneumonia, lokasi bisa di mana saja, mengenai 1 lobus
(pneumonia lobaris) dan terdapat air broncogram sign. (16,18)
4. Tumor paru
Tumor paru menyerupai banyak jenis penyakit paru lain dan tidak mempunyai
awitan yang khas. Tumor paru seringkali menyerupai pneumonitis yang tidak
dapat ditanggulangi. Namun secara radiologik, gambaran tumor paru ini sangat
khas menyerupai nodul yang berbentuk koin (coin lesion). Pemeriksaan
Tomografi Komputer dapat memberikan informasi lebih banyak. Penilaian pada
massa primer paru berupa besarnya densitas massa yang dapat memberi
gambaran perselubungan yang inhomogen pada massa sifat ganas atau homogen
pada massa jinak, tepi massa tidak teratur/spikul pada massa ganas, dan batas
rata pada massa jinak. (3,4,16)
ANTARA TUMOR PARU DAN PENUMONIA

Dikutip dari kepustakaan 4


Persamaan :
- Memiliki densitas yang sama yaitu perselubungan yang homogen berdensitas
tinggi (relatif radiopaq) (16)
Perbedaan :
- Batas dari bayangan dari massa tumor tampak tegas, sedangkan bayangan pada
pneumonia tampat tidak tegas, kecuali jika mengenai 1 lobus yang disebut
dengan pneumonia lobaris
- Tanda air brochogram sign tidak akan ditemukan pada gambaran radiologi
tumor paru.
- Untuk memastikan lebih jauh lagi maka pada klinis tumor paru tidak harus ada
riwayat demam, sedangkan pada pneumonia harus ditemukan riwayat demam.
(4,8,16)

PENATALAKSANAAN
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu : (2)
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum
pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai
berikut :
Tabel 1.2
Terapi Empirik Antibiotik Awal Untuk Pneumonia Nosokomial atau Pneumonia
Berhubungan Dengan Ventilator yang Tidak Disertai Faktro Resiko Untuk
Patogen Resisten Jamak, Onset Dini pada Semua Tingkat Berat Sakit
Patogen Potensial Antibiotik yang Disarankan
Streptococcus pneumonia Seftriaxon, Levofloksasin,
Haemophilus influenza Moksifloksasin, atau
Bakteri gram (-) sensitif antibiotic : Ciprofloksasin
Escherichia coli (Klebsiella Ampisilin/sulbaktam atau
pneumonia, Enterobacter spp., Serratia Ertapenem
marcescens)
Catatan : Karena Streptococcus pneumonia yang resisten penisilin semakin
sering terjadi maka, levofloksasin, moksifloksasin lebih dianjurkan. (1,2)
Terapi suportif dapat berupa :
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah
2. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan
napas dalam.
3. Pengaturan Cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia,
dan paru lebih sensitive pada pembebanan cairan terutama bila terdapat
pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dnegan baik,
termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk
maksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan.
4. Bila terdapat gagal napas , diberikan nutrisi dari lemak (50%) hingga dapat
dihindari produksi CO2 yang berlebihan. (1)

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


Pada umumnya prognosisnya adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah pneumonia ekstrapulmoner, misalnya pada
pneumonia pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai pada 10% kasus berupa
meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, empiema.(1,15)

PENCEGAHAN
Untuk pneumonia komunitas (community-acquired), dapat dicegah dengan pemberian
vaksinasi pada penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik dan
usia > 65 tahun, sedangkan pencegahan pada pneumonia nosokomial (hospital-
acquired) ditujukan kepada upaya program pengawasan dan pengontrolan infeksi
termasuk pendidikan staf pelaksana, pelaksanaan teknik isolasi, dan praktek
pengontrolan infeksi. Salah satau contoh tindakan pencegahannya yaitu berupa
pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau pemakaian obat
sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antacid.(1)
2. HIV - AIDS
DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit
yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006).

EPIDEMIOLOGI
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian
jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999
mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui
narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko
tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita
penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali,
Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi
terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki
tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)

Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS
yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali
lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS
di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus
AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut
telah mencapai angka 16.110 kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).

Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008,
sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara
penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik;
3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan
adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual
dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai
1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–29
tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun. (Depkes RI, 2008)

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah


kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul
DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali
dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus,
dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes RI,2008)

Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember
2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia
227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan
meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah
TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479
kasus, dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak
603 kasus. (Depkes RI,2008).

ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas
beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang
melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap
molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan
kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di
dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse
transcriptase enzyme). (Merati TP dkk,2006)
Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber : Fauci AS at al, 2005

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global terutama
disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe
yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang
berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006)

MODE PENULARAN
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui mukosa
genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik
yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi
vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas
kesehatan.
Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama tidak
ditentukan terkontaminasi darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan serebrospinal Muntah
Sputum Cairan pleura Feses
Sekresi vagina Cairan peritoneal Saliva
Cairan perikardial Keringat
Cairan synovial Air mata
Urin
Sumber : Djauzi S, 2002
PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.
(Djoerban Z dkk, 2006).

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan
invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular
dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel
trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk, 2006).

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan
bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul
adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell
specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-
akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat
integrin 4 7 sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada
pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4
dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi
HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan
membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan
DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA
virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus
ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur
sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik
RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan
menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel,
virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk,
2006).
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.
Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun,
akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada
berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi
muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat
dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa
tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal
oleh sistem imun yang dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun,
aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat mematikan virus dan hanya
berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun selular yang terjadi
berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8).
Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan
terus laju replikasi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain
itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat
pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. (Djoerban Z dkk,
2006).

PERJALANAN PENYAKIT
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem
kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk, 2006)

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6
minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau
tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk, 2006).

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat
(non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi
jamur, herpes dan lain-lainnya.
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
Kelompok Gejala Kekerapan (%)
Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha
akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap
AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan
jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala
limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler
untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan
dari system imun tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening
dan infeksi HIV meluas ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan
hibridasi insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006).
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari.
Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang
resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang
tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit
CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk, 2006).

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit
yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada
ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding
lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan
narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara
bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain
akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan
meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit
T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
ditampilkan dalam gambar 3.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai
dengan penurunan viremia.
Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV
sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga
mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi
oportunistik.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan
diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana
selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan,
daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).
Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV
- Penjaja seks laki-laki atau perempuan

- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)


- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender
(waria)

- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Sumber : Depkes RI 2007

Table 4: Daftar tilik riwayat pasien

Sumber :Depkes RI 2007

2. Pemeriksaan fisik
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat
pada tabel 6
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007


Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau kanker
yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma
serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi
HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala
klinis yang sering ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya
penurunan berat badan, sariawan, dan diare, seperti pada tabel 5 .
Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005

3. Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan
antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau
RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral
load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis
HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari
200 sel/mm3 (Tabel 7) . ( Depkes RI, 2007)

Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha


Tes antibodi terhadap HIV (AI);
Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin,
urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG,
dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi
(AIII);
Sumber : Yayasan Spiritia 2006.

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki


sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini
adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan
adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes
positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat
adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama
18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan.
(Djoerban Z dkk,2006).

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin.
WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan
penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia,
kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan
menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes
kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua
dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan
orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang
tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil
pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
Table 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV
Sumber : Depkes,2007
4. Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan
dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini
yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi
oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat
mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2002)

5. Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV
(sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T
CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi
profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.

Tabel 9. Stadium klinis HIV


Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber : Depkes RI, 2007
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan
terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya
hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk.
Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga
peningkatan I9A.

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :


a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala
yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala
kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber,
gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini
penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas
merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2
minggu.

b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml


Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar
5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi
virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan
kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal
yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah
mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh
penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.

c. Infeksi Kronis Simtomatik


Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit
ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas pemderita.

1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500


Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi
dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya dengan
pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-
fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-
Related (ARC).

2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200


Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang
lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam
kehilangan kekebalannya.

Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

• Limfadenopati Generalisata yang menetap


• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter
> 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis
aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M. Tuberculosis,
Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB
atau komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus


memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia
positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC
(AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita
AIDS adalah:

a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu
gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,
malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis

6. Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status
imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan
pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.
Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia,
hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga
digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total
(Total Lymphocyte Count – TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas
jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi
ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)

PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun
data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z
dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S
dkk,2002):
 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,
zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti
evafirens dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV
meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan
pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence,
toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau
sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan
untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS
berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)

Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa


Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak
1
diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200
Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3,
pertimbangkan terapi sebelum CD4
<200/mm3.
Pada kehamilan atau TB: Terapi ARV dimulai tanpa
3  Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil memandang jumlah
dengan CD4 350 limfosit total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang
4
jumlah CD4
Sumber : Depkes RI, 2007

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh,


TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan
CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV
(Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik.
Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh
diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah
dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 <
200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila
tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari
200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4
antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut
perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan
pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga
pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan
klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat
memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral
load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan
sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis,
demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan
pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari
bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir
sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)
Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula,
terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun
hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.
(Yunihastuti E, 2005)
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa
kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk
NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk
NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007) Adapun terapi
kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.
Tabel 11 : Terapi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007


Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan
adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh
karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer.
Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan.
Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan
(Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun
kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

Sumber : Depkes RI, 2007

Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian obat


ARV golongan ini.
Tabel 13 : Kombinasi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI


pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di
mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan
lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada
perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima
EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)
Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama
terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau
mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon
imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus
IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari
pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman
tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

Sumber : Depkes RI, 2007

Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik


Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.
Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar
tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal
terkendali oleh kekebalan tubuh. (Yunihastuti E, 2005)
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang
ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/ L ataupun
> 200 sel/ L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila
kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau
juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya kematian pada odha
disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini perlu dikenal dan diobati.
Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 ) dapat dicapai sehingga
risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak penyakit yang digolongkan
infeksi oportunistik seperti terlihat pada table 15.
Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c

a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu
kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain
infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan lumbal
pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal 2
kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain (missal
kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005

Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha di
Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan replikasi
HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha. (Yunihastuti E dkk,
2002)
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi
HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB ekstraparu atau
diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. (Yunihastuti E
dkk, 2002)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu,
demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada
waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang
tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis.
Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan
odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan
tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru
pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV

berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD <
200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan
infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya
M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya
berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau
perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT. Yunihastuti E dkk, 2002)
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada
kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel 16. Terapi
ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB dengan CD4 <
200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak tersedia
pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha dengan TB.
Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan ARV dengan tujuan
untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan ketidakpatuhan minum obat.
(Yunihastuti E dkk, 2002)

Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan


Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2002

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan OAT
adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara terapi
berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu dilakukan
tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800
mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi TB
mm3
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Sumber : Depkes RI, 2007

Pencegahan Infeksi Oportunistik


Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua
kelompok besar yakni (Djauzi S dkk, 2002) :
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi.
Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm3 untuk
mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat
mengurangi risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan
(dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah
sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi
oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan.
Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi.
Tabel berikut menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk
infeksi oportunistik. Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita
mampu seperti vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002)
Tabel 18. Pencegahan infeksi oportunistik
Penyakit Mulai Obat yang digunakan
PCP 1o CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH 300mg/hari +
TB PPD > 5 ml Piridoksin
Kontak Positif

T. Gondii CD4 < 100 TMP.SMX 1 DS/hari


IGG Toksoplasma aviditas rendah

S. pneumoniae CD4 > 200 Vaksinasi pneumovax

Hepatitis B Anti HBs (-) Vaksinasi Hepatitis B


HBs Ag(-)

Hepatitis A Anti HAV (-) Vaksinasi Hepatitis A


Risiko paparan tinggi (IDU,
MSM, dll)

Sumber : Djauzi S dkk, 2002


DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan, Zul. Pneumonia. In: Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing. 2009; hal 2196-200, 2203-05
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003; hal 2-6
3. Wilson, M Lorraine. Penyakit Pernapasan Restriktif. In: Price, Sylvia A., Wilson,
Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta. Penerbit EGC. 2003; hal 804-
806
4. Corr, Peter. Fot Thorax normal dan Infeksi Paru. In: Ramadhani, Dian.,
Dwijayanthi, Linda., Dharmawan, Didiek. Mengenali Pola Foto-Foto Diagnostik
(terjemahan dari Patterm Recognation in Diagnostic Imaging). Jakarta: Penerbit
EGC. 2010; hal 28, 33-5
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Nosokomial. Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003; hal 2-5
6. Djojodibroto, Darmanto. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta. Penerbit
EGC. 2007; hal 136-142
7. Kasper L, Dennis et all. Pneumonia in Harrison’s Principles of Internal Medicine
17th Edition. United States of America: McGraww Hill Companies, Inc. 2008;
Chapter 251
8. Wilson, Walter R., Sande, Mele A. Tracheobronchitis and Lower Respiratory Tract
Infections. In: Wilson, Walter R et all. Current Diagnosis and Treatment in
Infectious Disease. United States of America: McGraww Hill Companies, Inc.
2001; Part 10
9. Ellis, Harold. Clinical Anatomy. USA. BlackWell Publishing. 2006; page 20, 23-4
10. Swartz, Mark H. Textbook of Physical Diagnosis. In: Effendi, Harjanto., Hartanto,
Huriawati. Buku Ajar Diagnostik. Jakarta. Penerbit EGC. 1995; hal 155-7
11. Waugh, Anne., Grant, Allison. Anatomy and Physiology in Health and Illness.
Ninth Edition. Spain. Elsevier Limited. 2004; page 248, 262-3
12. Fanz, Omar., Moffat, David. Anatomy at A Glance. UK. BlackWell Publishers
Company. 2002; page 15, 17
13. Gunderman B, Richard. Essential Radiology Second Edition. New York. Thieme
Medical Publishers. 2006; page 69,78
14. Guyton C, Arthur., Hall, John E. Textbook of medical Physiology. In: Setiawan,
Irawati. Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 1997: hal 673-4
15. McPhee, Stephen J., Papapdokis, Maxine A. Current Medical Diagnosis and
Treatment. California. McGraw Hill. 2008; Part Pulmonology
16. Nurlela Budjang. Radang Paru Tidak Spesifik. In: Rasad, Sjahriar. Radiologi
Diagnostik. Edisi Kedua Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2009: hal 101
17. Sutarto, Ade Satriyani., Budyatmoko, Bambang., Darmiati, Sawitri. Radiologi
Anak. In: Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua Jakarta. Balai
Penerbit FK UI. 2009: hal 400-1
18. Patel, Pradip R. Radiologi Lecture Notes. Jakarta. EMS. 2009; hal 36-7
19. Muller, Nestar L., Franquet Tomas., Kyung Soo, Lee. Imaging of Pulmonary
Infections 1st edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2007; Part Bacterial
Pneumonia, page 21-8
20. Muller, Nestar L., Franquet Tomas., Kyung Soo, Lee. Imaging of Pulmonary
Infections 1st edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2007; Part
Immunocompromised Host, page 161-2
21. Ketai, Loren., Lofgren, Richard., Mecholic, Andrew J. Fundamental of Chest
Radiology. Sceond Edition. Philadelphia: Elsevier, Inc. 2006; page 106-9, 110-1
22. Colak, Errol., Lofaro, Anthony. Clinical and Radilogy Atlas. Webexe. 2003: Part
Chest Imaging, air space (air bronchogram and sillhoutte sign)
23. Eastman, George W., Wald Christoph., Crossin, Jane. Getting Started in Clinical
Radiology. New York. Thieme Stuttgart. 2006; page 49-50
24. Tsue J., Betty, Lyu E, Peter. Chest Radiography. In: Atlas of the Oral and
Maxillofacial Surgery Clinics. USA. WBS. 2002; Part Viral and Bacterial
Pneumonia
25. Ahuja, A.T., Antonio, G.F., Yuen H.Y. Case Studies in Medical Imaging.
NewYork. Cambridge University Press. 2006; 23-4
26. Lee, Jaw. Aspiration of Imaging. In: Lin, Eugene C. Pneumonia. Available from
www.medscape.com updated May 25, 2011
27. Vinay, Kumar., Ramzi S, Cotran., Stanley, L, Robbins. TextBook of Pathology. In:
Hartanto, huriawati., Darmaniah, Nurwany., Wulandari, Nanda. Buku Ajar Patologi
Edisi 7 Volume 2. Jakarta: EGC. 2007; hal 537-9, 540
28. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
29. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
30. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related
disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson
JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States
of America: McGraw-Hill
31. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z,
editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.
32. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10].
33. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
34. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,
Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants
and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009
35. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2007
36. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive
summary. Geneva. 2010.
37. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];

Anda mungkin juga menyukai