I. PENDAHULUAN
perlu ketersediaan pakan secara berkelanjutan baik pakan alami maupun pakan
buatan (Utami dkk, 2012). Pakan alami adalah salah satu kebutuhan pokok dalam
seperti alga hijau maupun alga cokelat yang merupakan sumber protein,
Pakan alami yang sering digunakan pada produksi budidaya salah satunya
adalah spirulina sp. Spirulina sp. merupakan pakan alami bagi larva udang atau
ikan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi (Hariyati, 2008). Beberapa organisme
akuatik memanfaatkan Spirulina sp. sebagai pakan alami diantaranya rotifer, larva
oyster, kerang mutiara, abalone, udang, ikan kakap, dan kerapu (Robi, 2014).
Komposisi nutrisi dari Spirulina sp. meliputi protein 63-68%, karbohidrat 18-
20%, serta lemak 2-3%, sehingga Spirulina sp. mampu menekan tingkat kematian
ditemukan pada berbagai jenis lingkungan baik itu di perairan laut, air payau
sampai pada air tawar (Buwono dan Nurhasana, 2018). Luasnya distribusi
2
kultur pakan alami Spirulina sp. pada skala semi massal (intermediet). Kegunaan
Mikroalga merupakan salah satu jenis tumbuhan yang berukuran sangat kecil
sekitar 1 µm dan hidup pada perairan tawar maupun air laut dengan jumlah
species telah dikenali. Budidaya mikroalga secara modern telah dimulai sejak
tahun 1890 oleh Beijerinck dengan menggunakan jenis Chllorela vulgaris yang
kemudian dilanjutkan oleh Warbug pada tahun 1900. Selanjutnya pada tahun
1984 kultur mikroalga telah menjadi bahan penelitian di Stanford (USA), Essen
(Jerman) dan Tokyo. Pada tahun 1977 mikroalga jenis Spirulina telah
dibudidayakan dan telah didirikan pabrik untuk proses produksi, sedangkan pada
tahun 1980 telah terdapat 46 pabrik produksi mikroalga dengan produksi rata-rata
2012).
khususnya budidaya sebagai pakan larva ikan atau udang serta jenis moluska
seperti remis, kerang hijau, tiram dan lain sebagainya. Pemanfaatan mikroalga
berpengaruh karena pakan alami jenis ini baik untuk larva ikan atau udang dan
memiliki kandungan gizi yang lengkap serta mudah dicerna untuk larva yang
belum mempunyai alat pencernaan yang sempurna (Putri dkk, 2009). Pakan alami
4
yang sering digunakan dalam dunia perikanan secara khusus budidaya adalah
pergerakan relatif pasif dan pergerakannya dipengaruhi oleh gerakan air (Siregar,
2009). Pada dasarnya plankton terdiri dari fitoplankton dan zooplankton dan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu ekositem perairan karena
merupakan bahan makan bagi berbagai jenis hewan air (Ramadhan dkk, 2018).
diatom dan alga hijau serta kelompok dari alga biru seperti Chlorella, Spirulina,
bersifat hewani mempunyai beraneka ragam bentuk terdiri dari berbgai macam
larva dan bentuk dewasa yang hampir mewakili seluruh filum seperti protozoa,
2009).
laboratorium dengan menggunakan media agar yang dilajutkan dengan kultur cair
pada erlenmeyer. Kultur murni spirulina sp. berlangsung selama lima hari
sebelum dipindahkan pada skala semi massal (Intermediet). Hasil dari kultur
murni ini akan dipergunakan atau dipindahkan pada skala semi massal dengan
5
wadah budidaya seperti bak fiber atau bak beton. Kemudian hasil dari kultur
intermediet akan diolah menjadi geel atau dipergunakan kembali pada kultur
massal dengan menggunakan wadah kolam. Buwono dkk, (2018) dalam Sukardi
dkk, (2014) menyatakan bahwa bibit Spirulina sp. yang akan dikultur pada skala
pada skala semi massal dengan ukuran 80-100 L. kultur pada skala semi massal
ini dilakukan ada luar ruangan atau semi-outdoor dengan tujuan untuk
budidaya alga hujau biru lainya dimana pada proses ini dilakukan dengan
persiapan alat dan bahan, sterilisasi alat, pemeliharaan, dan pemanenan. Proses
zat kimia seperti larutan klorin dengan dosis 1 ml dalam air 1 liter dan dibiarkan
selama 24 jam sambil diberikan aerasi. Kemudian toples di isi kembali dengan
menggunakan air laut sebanyak 8 liter untuk proses sterilisasi air laut dengan
klorin. Air laut yang telah disterlisasi bersama larutan klorin kemudian
liter air dan kemudian dibiarkan kembali selama 24 jam dan setelah itu dilakukan
uji klorin dan dilanjutkan dengan pemberian pupuk dengan dosis 1 ml/liter
penebaran bibit. Bibit Spirulina Sp. dan dipelihara selama 5 hari sebelum
Pada skala semi massal atau intermediet dilakukan dengan menyiapkan alat
dan bahan seperti bak fiber atau bak beton yang akan digunakan. Selanjutnya
menyiapkan bibit yang akan digunakan. Bibit yang digunakan berasal dari kultur
laboratorium yang telah dipelihara selam 5 hari. Kultur ini dilakukan pada bak
fiber atau bak beton yang kemudian di isi air laut yang bersalinitas 2-30 ppt
dengan volume air yang disesuaikan dengan ukuran bak yang akan digunakan.
Selanjutnya diberikan natrium thosulfat dan ikuti oleh pemberian pupuk sambil
diberikan aerasi dan ketika keduanya telah tercampur dengan merata maka
dilakan penebaran bibit Spriulina Sp. dan dipelihara selama 7 hari. Kultur
Spirulina sp. pada skala intermediet (semi massal) dapat dilihat pada hasil
praktek lapang akuakultur pada bab IV. Sedangkan kultur Spirulina sp pada skala
massal berukuran lebih besar dan dilakukan di luar ruangan dengan menggunakan
wadah kolam. Bibit yang digunakan pada kultur massal ini berasal dari hasil
kultur pada skala semi massal (intermediate) dengan tujuan unutuk meningkatkan
populasi dari spirulina sp. Pada tahapan kultur massal ini kegiatan yang
dilakukan hampir sama pada kultur sebulumnya yaitu dengan mempersiapan alat
Menurut Nainggolan (2018), bahwa kultur pakan alami pada skala massal
jam. Volume air disesuaikan dengan besar kolam atau wadah yang
digunakan
3. Unsur hara yang dapat digunakan pada budidaya fitoplankton secara massal
dapat menggunakan pupuk teknis berupa urea 300 gram, TSP 300 gram,
tepung ikan 300 gram, tepung kedelai 150 gram serta dedak 300 gram yang
kemudian dimasukan kedalam air sambil diaduk dan diberikan aerasi agar
dengan dosis yang lainnya misalnya 800 gram urea, 15 gram gram TSP dan
40 gram KCL akan tetapi formulasi pupuk ini dapat dimanipulasi sesuai
bibit. Bibit yang digunakan berasal dari kultur semi massal. Setelah itu
fitoplankton adalah kondisi lingkungan budidaya seperti suhu, salinitas, dan pH.
8
Pada budidaya skala laboratorium dan skala intermediet suhu yang optimal
berkisar antara 20-30 ˚c sedangkan ketika suhu mencapai 30 ˚c keatas maka akan
suhu yang cukup tinggi. Sedangkan nilai salinitas yang tergolong optimal untuk
kultur Spirulina sp. yaitu berkisar antara 15-30 ppt, namun Spirulina sp.
pada salinitas yang tinggi yaitu berksar antara 20-70 ppt. pH yang baik untuk
pertumbuhan Spiruina sp. yaitu berkisar antara 7,2-9,5 namun pH 8-11 masih
dapat ditoleransi. Hal ini dikarenakan ada beberapa jenis yang masih mampu
Alat yang digunakan pada Praktek Lapang Akuakultur tertera pada tabel 1.
mengenai kultur pakan alami Spirulina sp. di Balai Perikanan Budidaya Air Payau
diperoleh dari Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar maupun dari
12
laporan hasil praktek lapang dan dari hasil penelitian sebelumnya terkait kultur
Kegiatan yang dilaksanakan dalam praktek kultur pakan alami Spirulina sp.
4.1 Keadaan Umum Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar
dengan Loka Budidaya Air Payau (LBAP) Takalar yang terletak di Desa
(LBAP)Takalar didirkan pada tahun 1984 di atas lahan seluas 2 Ha dengan tiga
lokasi yang terpisah yakni Loka 1 Loka 2 dan Loka 3. Namun Adanya berbagai
kendala menyebabkan LBAP tidak dapat beroprasi selama 2 tahun dan mulai
payau.
tugas yaitu:
d. Teknologi pembenihan dan budidaya ikan kerapu macan dan kerapu tikus
Dalam bidang ini pengembangan sistem pelayanan teknis dan informasi berupa
kegiatan pengamanan, buku petunjuk teknis, brosur dan adanya unit perpustakaan.
Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan yang berjarak 35 km dari kota Makassar yang
15
topografinya, balai ini terletak di daerah tepi pantai yang tidak mengalami erosi
pantai dengan dasar yang landai dan bersubstrat pasir. Pasang surut pada lokasi
BPBAP Takalar mencapai 1-3 meter dengan suhu udara berkisar 27-30ºC, serta
curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun. Lokasi BPBAP bebas dari limbah
industri, asap industri dan limbah pemukiman sehingga sangat strategis untuk
Balai Budidaya Ikan Air Payau (BPBAP)Takalar terdiri dari tiga lokasi
yang berjarak kurang lebih 1 km antara satu dengan yang lainnya. Lokasi 1
meliputi bangunan kantor, asrama, rumah jaga, perumahan karyawan, aula, sarana
pembenihan maka harus dipilih daerah yang dekat dengan sumber air laut yang
bersih serta ditunjang dengan sarana yang memadai seperti, listrik dan telepon.
Air Payau (BPBAP) Takalar sebagai pusat pelayanan masyarakat dan penyedia
Indonesia.
Dalam mewujudkan visi tersebut maka beberapa misi yang dilakukan oleh
pembudidaya.
2001 tentang organisasi dan tata kerja Balai Perikanan Budidaya Ikan Air Payau
KEPALA BPBAP
KASUBAG.TU
STANDARISASI PELAYANAN
DAN INFORMASI TEKNIS
KELOMPOK
FUNGSIONAL
a) Pembenihan krustasea
d) Laboratorium
3. Gudang.
5. Blower.
Takalar adalah:
(Epinephelus fuscoguttatus)
hijau kebiruan, dengan sel berkoloni membentuk filamen terpilin meyerupai spiral
(helix), sehingga di sebut alga hijau-biru befilamen. Ukuran dari Spirulina sp.
jenis kecil bekisar antara 1-3µm dan ukuran besar berkisar antara 3-12 µm.
Spirulina sp. juga adalah mikroalga multi seluler, terdiri dari sel-sel silindris yang
membentuk koloni. Koloni tersebut merupakan hasil dari pembelahan sel secara
berulang-ulang pada bidang tunggal dan membentuk rantai yang di sebut trikon
(Robi, 2014).
Bentuk tubuh dari Spirulina sp. yaitu menyerupai benang yang merupakan
rangakaian sel yang berbentuk silindris dengan dinding sel yang tipis dan
phycocerythrin yang terdapat pada alga merah. Spirulina sp. juga alga yang
dan lebar 5-10 mikron meter dan setiap filamennya terbentuk 7 spiral yang
mencapai ukuran 1000 mikron meter dan berisi 250-400 sel. Spirulina sp bergerak
sp adalah mikroalga dengan kandungan gizi yang tinggi dimana tercatat Spirukina
sp dapat menghasilkan protein sebanyak 20 kali lebih dari 1 are kedelai atau
jagung dan 200 kali lebih baik dari daging sapi (Nirwana, 2018).
Pembelahan sel Spirulina sp. diawali dengan cara memutus filamen menjadi satu-
satuan sel yang akan membentuk filament baru. Pemutusan filamen ini akan
menjadi filamen baru (Isnansetyo dan Kurniastuti dalam Robi, 2014). Sel-sel
sehingga ukuran filament bertambah panjang dan seiring dengan pembelahan sel,
sitoplasmanya akan menjadi granuler dan warna sel menjadi biru cerah (Cifferi
fragmentasi dari trikoma yang telah dewasa dan dilakukan secara aseksual hal ini
terjadi dengan membagi filamen mejadi satu-satuan sel yang akan membentuk
filamen baru. Pada dasarnya ada tiga tahap pada reproduksi Spirulina sp. yaitu
yang sederhana, kemampuan fotosintesis yang tinggi dan siklus yang singkat serta
mampu hidup pada kondisi lingkungan yang ekstrim, mampu mensintesis lemak,
tidak membutukan nutrisi yang banyak (Nainggolan dkk, 2018), serta mampu
hidup pada perairan tawar seperti kolam atau danau (Prasetyo, 2010). Pernyataan
ini sesuai dengan penelitan Wimas (2015), bahwa Spirulina sp. dapat hidup pada
lingkungan yang berbeda seperti rawa, air tawar, air payau dan air laut, sehingga
optimum bagi pertumbuhan Spirulina sp. yaitu pH berkisar antara 6-8. Umunya
alga hijau-biru tumbuh dengan baik pada pH 7 dan lebih mentoleransi kondisi
basah dari pada kondisi asam, hal ini dikarenakan alga hijau-biru mampu
untuk salinitas berkisar antara 20-30 ppt. kandungan oksigen berkisar antara 4,65-
1. Fase leg
Fase leg atau fase tunda terjadi diakibatkan oleh sel yang masih membutuhkan
proses aklimatisasi sebelum mengalami pembelahan sel. Pada faese ini tidak
2. Fase logaritmik
pertambahan sel dengan kecepatan yang konstan. Hal tersebut terjadi ketika sel
Fase penurunan laju pertumbuhan terjadi akibat dari kompetisi yang tinggi
dalam media kultur sel. Zat makan yang tersedia dalam media kultur kurang
4. Fase stasioner
dalam media kultur merupakan salah satu sebab yang dapat menyebabkan sel
berhenti tumbuh. Pergantian sel terjadi dalam fase stasioner. Kehilangan sel yang
23
lambat karena kematian diimbangi dengan pembentukan sel-sel yang baru melalui
pembelahan. Pada kondisi seperti ini, maka jumlah sel akan bertambah secara
5. Fase kematian
Fase kematian merupakan fase terakhir dari masa pertumbuhan Spirulina sp.
fase ini terjadi akibat jumlah sel populasi menurun, jumlah sel mati per satuan
waktu secara perlahan-lahan dan akhirnya kecepatan mati dari sel-sel menjadi
konstan.
kendala yang terjadi pada kegiatan budidaya sehingga kegiatan kultur Spirulina sp
tidak berjalan dengan optimal. Adapun kendala yang dihadapi pada saat praktek
lapang akuakultur yaitu, peningkatan salintas yang tinggi, gagal panen, tidak
rusak sehingga pada saat praktek lapang akuakultur berlangsung penulis tidak
Kegiatan kultur pakan alami Spirulina sp. diawali dengan persiapan alat
dan bahan yang akan digunakan. Seperti menampung air laut pada bak 500 liter,
sterilisasi bak kultur, serta pengisian bak kultur. Penampungan air laut dilakukan
diberikan aerasi. Air laut yang digunakan berasal dari tendon induk yang
salurkan terlebih dahulu dilakukan sterilisasi baik terhadap air maupun bak kultur.
24
organisme terutama bakteri spora yang paling resisten diantara banyak organisme,
100 ml yang bertujuan untuk menetralisir air laut sehingga terhindar dari bakteri
budidaya melalui pipa penyaringan untuk mengisi bak kultur. Volume air yang di
salurkan disesuaikan dengan padat tebar bibit Spirulina sp. pada saat praktek
lapang akuakultur dilakukan volume air disalurkan sebanyak ± 900 L pada bak
bervolume 1000 L.
Gambar. 5 Pengisian bak penampungan dan Pemberian Chlorine pada air laut
bertujuan untuk mebersihkan bak kultur dari sisa Spirulina sp. yang masih
25
Gambar 6. Pemberian oxalid acid dan Pencucian bak kultur menggunkan oxalid acid
Air laut yang digunakan berupa air laut yang telah ditampung pada bak
kemudian air laut dialirkan ke bak kultur dengan menggunakan pompa celup yang
dilengkapi dengan selang plastik dan saringan kapas yang bertujuan untuk
Gambar 7. Pengisian air laut pada bak kultur segi empat dan bundar
laut telah terisi penuh pada bak kultur dan diaerasi selama 15-20 menit agar
26
menetralisir kadar chlorine pada air laut. Setelah 15-20 menit, selanjutnya
dilakukan uji cholirne menggunakan test chlorine dengan dosis 0,05 ml, untuk
mengetahui apakah air laut sudah netral atau belum. Jika air laut belum netral
maka uji chlorine akan menunjukan perubahan warna air laut menjadi warna
kuning, sedangkan jika telah netral maka warna air laut tidak akan berubah atau
tetap bening. Untuk volume air 900 L diberikan thiosulfat sebanyak 20 ppm.
Selanjutnya adalah pemberian pupuk walne yang dilakukan ketika air laut
benar-benar telah netral dari kadar chlorine. Pupuk walne diberikan dengan dosis
100 ml untuk satu bak kultur dalam satu siklus budidaya dan didiamkan selama 20
menit sambil diberikan aerasi agar tercampur dengan merata. Jenis pupuk walne
nutriennya sehingga dapat menentukan biomasa dan kandungan gizi Spirulina sp.
kandungan nutrisi yang tinggi dan kepadatan sel yang tinggi (Amanatin dkk,
2017).
sp. Bahan dan alat yang di gunakan pada pembuatan pupuk Walne dapat diihat
pada tabel 3.
27
1. KNO 3 500 gr
2.
Na2 EDTA 225 gr
3.
Na H2 PO4 H2O 100 gr
4.
Fe CL3 6 H2O 6,5 gr
5.
Mn C12, 4 H2O 1,8 gr
6
Aquades 1000 ml
7. Hot Plate
8. Mangent Stirer
9. Erlenmeyer V. 1000 ml
10. Alminum Foil
Pemberian pupuk ini dilakukan satu kali dalam satu siklus budidaya
dengan dosis 100 ml per 1000 liter air. Pupuk yang digunakan untuk kultur murni
fitopalnkton Hijau (Green algae) pada skala intermediet adalah jenis pupuk MPK
dan Walne, dimana pupuk MPK hanya diberikan ketika pupuk Walnei telah habis.
Gambar 8.Pemberian natrium thio sulfat pada media kultur dan Pemberian pupuk
pada media kultur
Bak fiber yang digunakan pada proses budidaya Spirulina sp. yaitu berupa
bak bundar dan bak segi empat yang mempunyai kapasitas masing-masing
28
sebanyak 1000 liter air. Untuk bak bundar dilakukan kultur dengan padat
penebaran yang tinggi dengan perbandingan 1000 liter air berbanding 40-50 liter
bibit Spirulina sp. Sedangkan pada bak yang berbentuk segi empat dilakukan
penebaran dengan perbandingan 1000 liter air berbanding 30 liter bibit Spirulina
sp. Penebaran Spirulina sp. dilakukan setelah pelakuan air laut selesai. Penebaran
dilakukan dengan menebar langsung bibit Spirulina sp. secara perlahan dalam
wadah kultur. Bibit yang digunkan pada skala intermediet berasal dari hasil kultur
murni laboratorium pakan alami Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Takalar yang kemudian di kembangkan pada tahapan semi masal atau skala
intermedeit. Namun kultur Spirulina sp. pada skala semi masal atau intermediet
tidak hanya dilakukan pada bak fiber saja tetapi dapat juga dilakukan pada bak
beton atau wadah toples. Selain itu bibit hasil dari kultur semi masal ini dapat
langsung diolah menjadi tepung atau dipergunakan untuk budidaya masal dengan
kultur. Pemberian label pada bak kultur bertujuan untuk memberikan tanda
perbedaan antara waktu budidaya dan waktu panen. Pemberian label ini sangat
penting untuk menghindari kesalahan perlakuan karena baik Spirulina sp. yang
Gambar 9. Penebaran bibit Spirulina sp. pada bak kultur skala intermediate
29
yang tergolong singkat. Jika pemeliharaan lebih dari 7 hari maka akan
mengahasilkan kualitas yang tidak baik lagi untuk dikembangkan pada skala
masal ataupun di kemas dalam bentuk tepung karena semakin tua nutrisinya akan
sampai kedasar bak kultur dengan tujuan untuk menyuplai oksigen dan untuk
adalah faktor lingkungan tertuma salinitas dan suhu. Hasil pengukuran nilai
salinitas pada minggu pertama berkisar antara 27-28 ppt. Pada minggu kedua
sampai minggu keempat salinitas berkisar antara 40-45 ppt. Kisaran nilai salinitas
ini masih tergolong optimal, sehingga Spirulina sp. tetap mampu untuk tumbuh
antara 27-30oC, hal ini menunjukan bahwa selama masa budidaya Spirulina sp.
pada skala intermediet tergolong optimal dan mampu menekan pertumbuhan dan
Salah satu hal yang penting untuk dilakukan adalah menghitung kepadatan
kepadatanya diambil dari wadah kultur yang berukuran 1 ton dengan volume air
1000 liter. Pengambilan sampel diambil dengan menggunakan pipet tetes dan
sebagai berikut:
n1 + n2 + n3 + n4 … . + n10
n= × 100
3,14
keterangan:
n = Jumlah kepadatan
n1, n2, n3, n4...n10 = Jumlah inividu dalam satu kolom heimocitometer
n1 + n2 + n3 + n4 … . + n10
n= × 100
3,14
13 + 26 + 3 + 17 + 6 + 16 + 30 + 9 + 8 + 10
n= × 100
3,14
n = 4,394 ind/ml
31
Pemanenan merupakan tahap akhir dari budidaya, dimana hasil dari itu
menjadi dalam bentuk tepung. Pemanenan dibagi menjadi 2 bagian yaitu, panen
total dan panen sebagian. Panen total merupakan pengambilan hasil yang
pengambilan sebagian organisme yang dikultur dan sisa organisme tersebut dapat
dikultur kembali dengan melakukan penambahan pupuk atau dijadikan bibit untuk
Pemanenan Spirulina sp. relatif lebih mudah yang dilakukan dengan mangikat
kain nilon pada pipa pembuangan dengan tujuan untuk menyaring Spirulina sp.
kemudian di biarkan sampai air terkuras habis setelah itu kain saring dibilas
dengan menggunkan air tawar dan dikeringkan. Spirulina sp. yang telah dipanen
dapat langsung dimanfaatkan sebagai pakan almi bagi larva udang atau ikan
bahkan dapat disimpan dalam bentuk kering atau basah di dalam freezer. Proses
5.1 Simpulan
Secara teknis kultur pakan alami dilakukan melalui beberapa kegiatan yaitu:
persiapan alat dan bahan, perlakuan air laut, pemeliharaan Spirulina sp,
Kegiatan pemanenan dalam kultur spirulina sp. sebaiknya tidak lebih dari 7
hari sehingga organisme yang dikultur umurnya tidak terlalu tua dan
kualitasnya baik.
5.2 Saran
dilakukan uji lab ataupun uji lainnya untuk mendapatkan hasil kultur yang baik
DAFTAR PUSTAKA
Amatin, D., R., Rofidah, E., Duratun, S., Rosady, N. 2017. Produksi Protein Sel
Tunggal (PTS) Spirulina sp. Sebagai Super Food dalam Upaya
Penangulangan Gizi Buruk dan Kerawanan Pangan di Indonesia.
Buwono, N., R, dan Nurhasana, R, Q. 2018. Studi Pertumbuhan Populasi
Spirulina sp. pada Skala Kultur yang Berbeda. Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Briwijaya. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Vol 10. No. 1. Hal 1-3
Hadiyanto dan Azim., M. 2012. Mikroalga Sumber Pangan dan Eneri Masa
Depan. Penerbit UPT Undip. Semarang.
Utami, N. P., Yuniati, MS., Haetami, K. 2012. Pertumbuhan Chllorela sp. yang di
Kultur pada Perioditas Cahaya Uang Berbeda. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelutan.Uiversitas Padjajaran. Jurnal Perikanan dan Kelautan.Vol 3.No 3.
Hal 237-244
Wahyuni, N., Masithah, E., D., Soemarjati, W., Suciyono, Ulkhaq, M., F. 2018.
Pola Pertumbuhan Mikroalga Spirulina sp. Skala Laboratorium yang di
Kultur menggunakan Wadah yang Berbeda. Program Studi Akuakultur.
Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Majalah Ilmiah
Bahari. Vol 16. No 2. Hal 89-97
Yusanti, I., A., Widayatsi., T., Ramadhan. 2018. Keaneka Ragaman Zooplankton
di Rawa Binjaran Desa Sedang Keamatan Suak Tapeh Kabupaten
Banyuasin. Fakultas Perikanan. Universitas PGRI Palembag. Jurnal Biota.
Vol 4. No 1. Hal 1-5
Wimas, D., L. 2015. Uji Efektifitas Pertumbuhan Spriulina sp. pada Limbah Cair
Tahu yang Diperkaya Urea dan Super Phosphate 36 (SP 36)