Anda di halaman 1dari 35

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Usaha perikanan budidaya kini telah mengalami perkembangan yang pesat,

baik secara intensif maupun ekstensif. Dalam menunjang perkembangannya maka

perlu ketersediaan pakan secara berkelanjutan baik pakan alami maupun pakan

buatan (Utami dkk, 2012). Pakan alami adalah salah satu kebutuhan pokok dalam

melakukan budidaya organisme akuatik (Sulistowati dkk, 2010).

Pada umumnya pakan alami dapat di temukan di alam berupa fitoplanton

seperti alga hijau maupun alga cokelat yang merupakan sumber protein,

karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral untuk kelompok organisme akuatik

lainya (Utami dkk, 2012).

Pakan alami yang sering digunakan pada produksi budidaya salah satunya

adalah spirulina sp. Spirulina sp. merupakan pakan alami bagi larva udang atau

ikan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi (Hariyati, 2008). Beberapa organisme

akuatik memanfaatkan Spirulina sp. sebagai pakan alami diantaranya rotifer, larva

oyster, kerang mutiara, abalone, udang, ikan kakap, dan kerapu (Robi, 2014).

Komposisi nutrisi dari Spirulina sp. meliputi protein 63-68%, karbohidrat 18-

20%, serta lemak 2-3%, sehingga Spirulina sp. mampu menekan tingkat kematian

larva ikan atau udang (Hariyati, 2008).

Spirulina sp. mempunyai penyebaran yang luas di alam, sehingga dapat

ditemukan pada berbagai jenis lingkungan baik itu di perairan laut, air payau

sampai pada air tawar (Buwono dan Nurhasana, 2018). Luasnya distribusi
2

Spirulina sp. seringkali menjadi masalah bagi pembudidaya karena kontinuitasnya

yang terbatas. Oleh karenanya dibutuhkan upaya untuk membudidayakan pakan

alami Spriulina sp. untuk menjaga ketersediannya bagi usaha budidaya.

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan Praktek Lapang Akuakultur adalah untuk mengetahui aspek teknis

kultur pakan alami Spirulina sp. pada skala semi massal (intermediet). Kegunaan

Praktek Lapang Akuakultur adalah memberikan keterampilan teknis dalam kultur

pakan alami Spirulina sp.


3

II. TINJUAN PUSTAKA

2.1 Pakan Alami (Fitoplankton dan Zooplankton)

Mikroalga merupakan salah satu jenis tumbuhan yang berukuran sangat kecil

sekitar 1 µm dan hidup pada perairan tawar maupun air laut dengan jumlah

diperkirakan jutaan spesies, namun sebagian besar belum dibudidaya.

Diperkirakan ada 200.000-800.000 species yang hidup di alam dan 35.000

species telah dikenali. Budidaya mikroalga secara modern telah dimulai sejak

tahun 1890 oleh Beijerinck dengan menggunakan jenis Chllorela vulgaris yang

kemudian dilanjutkan oleh Warbug pada tahun 1900. Selanjutnya pada tahun

1984 kultur mikroalga telah menjadi bahan penelitian di Stanford (USA), Essen

(Jerman) dan Tokyo. Pada tahun 1977 mikroalga jenis Spirulina telah

dibudidayakan dan telah didirikan pabrik untuk proses produksi, sedangkan pada

tahun 1980 telah terdapat 46 pabrik produksi mikroalga dengan produksi rata-rata

1 ton/bulan dengan hasil Chollerla yang mendominasi (Hadiyanto dan azim,

2012).

Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi dari tahun ke

tahun beberapa jenis mikroalga telah dimanfaatkan dalam dunia perikanan

khususnya budidaya sebagai pakan larva ikan atau udang serta jenis moluska

seperti remis, kerang hijau, tiram dan lain sebagainya. Pemanfaatan mikroalga

jenis fitopalankton atau zooplankton dalam budidaya perikanan sangatlah

berpengaruh karena pakan alami jenis ini baik untuk larva ikan atau udang dan

memiliki kandungan gizi yang lengkap serta mudah dicerna untuk larva yang

belum mempunyai alat pencernaan yang sempurna (Putri dkk, 2009). Pakan alami
4

yang sering digunakan dalam dunia perikanan secara khusus budidaya adalah

jenis plankton. Plankton merupakan organisme perairan baik tumbuhan maupun

hewan yang hidup mengapung atau melayang-layang di dalam air dengan

pergerakan relatif pasif dan pergerakannya dipengaruhi oleh gerakan air (Siregar,

2009). Pada dasarnya plankton terdiri dari fitoplankton dan zooplankton dan

mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu ekositem perairan karena

merupakan bahan makan bagi berbagai jenis hewan air (Ramadhan dkk, 2018).

Fitoplankton mempunyai peranan penting dalam suatu perairan karena

mampu melakukan proses fotosintesis yang akan dimanfaatakan oleh beberapa

kelompok organisme air lainya. Kelompok fitoplankton umunya terdiri dari

diatom dan alga hijau serta kelompok dari alga biru seperti Chlorella, Spirulina,

Tallsiosira dan lain sebagainya. Sedangkan zooplankton adalah plankton yang

bersifat hewani mempunyai beraneka ragam bentuk terdiri dari berbgai macam

larva dan bentuk dewasa yang hampir mewakili seluruh filum seperti protozoa,

crustasea, mollusca, echinodermata, chindria, annelida, dan chordata (Siregar,

2009).

2.2 Kultur Spirulina Sp.

Pada umunya budidaya Spirulina sp. sama dengan bududaya jenis

fitoplankton lainya yang diawali dengan melakukan kultur murni di dalam

laboratorium dengan menggunakan media agar yang dilajutkan dengan kultur cair

pada erlenmeyer. Kultur murni spirulina sp. berlangsung selama lima hari

sebelum dipindahkan pada skala semi massal (Intermediet). Hasil dari kultur

murni ini akan dipergunakan atau dipindahkan pada skala semi massal dengan
5

wadah budidaya seperti bak fiber atau bak beton. Kemudian hasil dari kultur

intermediet akan diolah menjadi geel atau dipergunakan kembali pada kultur

massal dengan menggunakan wadah kolam. Buwono dkk, (2018) dalam Sukardi

dkk, (2014) menyatakan bahwa bibit Spirulina sp. yang akan dikultur pada skala

laboratorium harus mencapai volume 15 L, yang selanjutnya akan dikembangkan

pada skala semi massal dengan ukuran 80-100 L. kultur pada skala semi massal

ini dilakukan ada luar ruangan atau semi-outdoor dengan tujuan untuk

meningkatkan biomasa Spirulina sp pada skala laboratorium.

Budidaya Spirulina sp pada skala laboratorium hampir sama dengan sistem

budidaya alga hujau biru lainya dimana pada proses ini dilakukan dengan

persiapan alat dan bahan, sterilisasi alat, pemeliharaan, dan pemanenan. Proses

sterilisasi wadah pada kultur skala laboratorium dilakukan dengan menggunakan

zat kimia seperti larutan klorin dengan dosis 1 ml dalam air 1 liter dan dibiarkan

selama 24 jam sambil diberikan aerasi. Kemudian toples di isi kembali dengan

menggunakan air laut sebanyak 8 liter untuk proses sterilisasi air laut dengan

klorin. Air laut yang telah disterlisasi bersama larutan klorin kemudian

dinetralkan dengan menggunakan natirum thiosulfat sebanyak 5 gram dalam 1

liter air dan kemudian dibiarkan kembali selama 24 jam dan setelah itu dilakukan

uji klorin dan dilanjutkan dengan pemberian pupuk dengan dosis 1 ml/liter

sambil diberikan aerasi agar tercampur merata dan kemudian dilakukan

penebaran bibit. Bibit Spirulina Sp. dan dipelihara selama 5 hari sebelum

dipindahkan ke kultur semi massal atau skala intermediet.


6

Pada skala semi massal atau intermediet dilakukan dengan menyiapkan alat

dan bahan seperti bak fiber atau bak beton yang akan digunakan. Selanjutnya

menyiapkan bibit yang akan digunakan. Bibit yang digunakan berasal dari kultur

laboratorium yang telah dipelihara selam 5 hari. Kultur ini dilakukan pada bak

fiber atau bak beton yang kemudian di isi air laut yang bersalinitas 2-30 ppt

dengan volume air yang disesuaikan dengan ukuran bak yang akan digunakan.

Selanjutnya diberikan natrium thosulfat dan ikuti oleh pemberian pupuk sambil

diberikan aerasi dan ketika keduanya telah tercampur dengan merata maka

dilakan penebaran bibit Spriulina Sp. dan dipelihara selama 7 hari. Kultur

Spirulina sp. pada skala intermediet (semi massal) dapat dilihat pada hasil

praktek lapang akuakultur pada bab IV. Sedangkan kultur Spirulina sp pada skala

massal berukuran lebih besar dan dilakukan di luar ruangan dengan menggunakan

wadah kolam. Bibit yang digunakan pada kultur massal ini berasal dari hasil

kultur pada skala semi massal (intermediate) dengan tujuan unutuk meningkatkan

populasi dari spirulina sp. Pada tahapan kultur massal ini kegiatan yang

dilakukan hampir sama pada kultur sebulumnya yaitu dengan mempersiapan alat

dan bahan, perlakuan air laut dan pemelihraan kemudian pemanenan.

Menurut Nainggolan (2018), bahwa kultur pakan alami pada skala massal

dilakukan diluar ruanggan dengan menggunakan wadah kolam yang terpapar

langsung dengan sinar matahari. Adapaun prosedur dalam melakukan kultur

pakan alami pada skala massal sebagai berikut:

1. Melakukan sterilisasi alat dan bahan seperti melakukan pencucian wadah

dan dibebashamakan dengan menggunakan larutan klorin yang kemudian


7

dikeringkan dibawah paparan sinar matahari, proses pengeringan ini

berlangsung selama 2 hari.

2. Perisapan media dilakukan dengan cara memasukan air laut disaring

dengan filter bag dalam wadah budiadaya., kemudian disterilkan dengan

menggunakan klorin dengan dosis 10 ppm dan diberikan aerasi selama 24

jam. Volume air disesuaikan dengan besar kolam atau wadah yang

digunakan

3. Unsur hara yang dapat digunakan pada budidaya fitoplankton secara massal

dapat menggunakan pupuk teknis berupa urea 300 gram, TSP 300 gram,

tepung ikan 300 gram, tepung kedelai 150 gram serta dedak 300 gram yang

kemudian dimasukan kedalam air sambil diaduk dan diberikan aerasi agar

tercampur dengan merata, namun dapat juga menggunakan pupuk teknis

dengan dosis yang lainnya misalnya 800 gram urea, 15 gram gram TSP dan

40 gram KCL akan tetapi formulasi pupuk ini dapat dimanipulasi sesuai

dengan kebutuhan dan pengalaman budidaya.

4. Selanjutnya, setelah semua unsur hara terpenuhi maka dilakukan penebaran

bibit. Bibit yang digunakan berasal dari kultur semi massal. Setelah itu

dilakukan proses pemeliharaan selama 5-7 hari hal ini dikarenakan

pertumbuahan optimal Spirulina sp terjadi 5-7 hari setelah penebaran bibit

selesai yang kemudian dilanjutkan proses pemanenan. Proses kultur ini

dilakukan secara berkesinambungan.

Buwono dkk, (2018) menyatakan bahwa yang mempengaruhi pertumbuhan

fitoplankton adalah kondisi lingkungan budidaya seperti suhu, salinitas, dan pH.
8

Pada budidaya skala laboratorium dan skala intermediet suhu yang optimal

berkisar antara 20-30 ˚c sedangkan ketika suhu mencapai 30 ˚c keatas maka akan

terjadi laju pertumbuhan mikroalga menurun yang diakibatkan oleh kenaikan

suhu yang cukup tinggi. Sedangkan nilai salinitas yang tergolong optimal untuk

kultur Spirulina sp. yaitu berkisar antara 15-30 ppt, namun Spirulina sp.

tergolong mikroalga yang bersifat eurhanie sehingga Spirulina sp mampu hidup

pada salinitas yang tinggi yaitu berksar antara 20-70 ppt. pH yang baik untuk

pertumbuhan Spiruina sp. yaitu berkisar antara 7,2-9,5 namun pH 8-11 masih

dapat ditoleransi. Hal ini dikarenakan ada beberapa jenis yang masih mampu

hidup dengan kisaran pH tersebut, namun ketika pH melebihi batas optimalnya

maka akan mengakibatkan menurunya kecepatan pertumbuhan Spirulina sp.

(Wahyuni dkk, 2018).


9

III. METODE PELAKSANAAN PRAKTEK


LAPANG AKUAKULTUR

3.1. Waktu dan Tempat

Praktek Lapang Akuakultur dilaksanakan selama 1 bulan penuh sejak tanggal

26 November 2018 sampai tanggal 26 Desember 2018. Pelaksanaan praktek

lapang akuakultur dilakukan pada Laboratorium Pakan Alami, di Balai Perikanan

Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar,

Provinsi Sulawesi Selatan.

Gambar 1. Lokasi Unit Pelaksanaan Praktek Lapang Akuakultur di Balai


Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar
10

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada Praktek Lapang Akuakultur tertera pada tabel 1.

Tabel 1. Alat Praktek


No. Nama Alat Kegunaan
1. Bak fiber Penampung air untuk kultur Spriulina sp.
3. Aerator Penyuplai oksigen
4. Filter bag Menyaring air laut
5. Timbangan digital Menimbang bahan pembuatan pupuk
6. Mikroskop Mengamati sel dan morfologi pakan alami
7. pH meter Mengukur derajat keasaman perairan
8. Refrakto meter Mengukur salinitas
Mengambil dokumentasi praktek
9. Kamera
Mengukur suhu ruangan dan suhu air
10. Thermometer
Mengukur volume sampel pakan alami
11. Gelas ukur
Transfer air laut ke bak kultur
12. Pompa celup
Menyaring plankton yang akan dipanen
13. Plankton net
Menghitung kepadatan plankton
14. Handcounter
Memanaskan pupuk
15. Hotplate
Mengambil air
16. Ember
Mengambil sampel plankton
17. Pipet tetes
Mengeringkan plankton yang telah dipanen
18. Oven
Menghitung kepadatan sel
19. Haemocytometer
Mengisi air
20. Selang ulir
Menyuplai oksigen
21. Blower
Membersihkan alat/mencuci bak
22. Kain lap
Mengikat kain saring untuk proses pemanenan
23. Karet
Menghaluskan plankton yang telah kering
24. Blender
Meletakkan sampel untuk menghitung
25. Kaca preparat
kepadatannya
11

Bahan yang digunakan dalam Praktek Lapang Akuakultur di Laboratorium

pakan alami tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Bahan Praktek


No. Nama Bahan Kegunaan
1. Pakan alami Spirulina sp. Starter (bibit kultur)
2. Air laut Media kultur pakan alami
3. Air tawar Media kultur pakan alami
4. Natrium thiosulfate Menetralkan bahan kimia dalam air
5. Larutan chlorine Menetralisir mikroba
6. Alkohol 70 % Mensterilisasi alat
7. Aquades Mensterilisasi alat dan media kultur
8. Chlorine test Menguji kandungan bahan kimia dalam air
9. Kapas Menyaring air laut dan air tawar
10. Pupuk formulasi walne Nutrisi pakan alami Spirulina sp.
intermediate (NaNO3, Na2
EDTA, H3 Bo3, Na H2
Po4 2 H2O, Fe CL3 6
H2O, Mn Cl2, 4 H2O
11. Pupuk NPK Nutrisi pakan almi Spirulina sp.
12. Kertas label Menandai tiap wadah kultur
13. Oxalid acid 1000 gr Membersihkan bak dan selang aerasi

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam pelaksanaan praktek lapang akuakultur

mengenai kultur pakan alami Spirulina sp. di Balai Perikanan Budidaya Air Payau

(BPBAP) Takalar dilakukan sebagai berikut:

1. Pengumpulan data primer, dilakukan melalui observasi, partisipasi aktif dan

wawancara untuk memperoleh data dan informasi mengenai aspek teknis

kultur pakan alami Spirulina sp. pada skala intermediet.

2. Pengumpulan data sekunder, dilakukan melalui studi kepustakaan, baik yang

diperoleh dari Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar maupun dari
12

laporan hasil praktek lapang dan dari hasil penelitian sebelumnya terkait kultur

pakan alami Spirulina sp.

3.4 Kegiatan Praktek Lapang

Kegiatan yang dilaksanakan dalam praktek kultur pakan alami Spirulina sp.

skala intermediet di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar yaitu:

1. Mengobservasi keadaan umum lokasi praktek lapang

2. Mengenal aspek biologis Spirulina sp.

3. Persiapan alat dan Bahan

4. Perlakuan air laut

5. Pemeliharaan Spirulina sp.

6. Perhitungan kepadatan Spirulina sp.

7. Pemanen Spirulina sp.


13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar

4.1.1 Sejarah Singkat BPBAP Takalar

Balai Perikanan Budidaya Ikan Air Payau (BPBAP) Takalar merupakan

Unit Pelaksanaan Teknis Direktorat Jendral (UPT-Dirjen) Perikanan yang dikenal

dengan Loka Budidaya Air Payau (LBAP) Takalar yang terletak di Desa

Bontoloe, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Loka Budidaya Air Payau

(LBAP)Takalar didirkan pada tahun 1984 di atas lahan seluas 2 Ha dengan tiga

lokasi yang terpisah yakni Loka 1 Loka 2 dan Loka 3. Namun Adanya berbagai

kendala menyebabkan LBAP tidak dapat beroprasi selama 2 tahun dan mulai

beroperasi kembali pada tahun 1986. LBAP Takalar selaku UPT-Ditjen

Perikanan, berdasarkan SK Menteri Pertanian No.246/KPTS/OT.210/94 tanggal 8

April 1984 mempunyai tugas sebagai berikut:

1. Pelaksana teknis pembenihan dan budidaya air payau.

2. Menerapkan teknik usaha pembenihan budidaya ikan dan udang air

payau.

3. Memberikan penyuluhan atau penyebaran teknologi kepada masyarakat.

4. Memproduksi induk dan benih yang bermutu.

Pada tahun 2001 LBAP mengalami perubahan status menjadi Balai

Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar berdasarkan SK Menteri

Kelautan dan Perikanan No.KEP.26 D/Men/2001 tanggal 1 Mei 2001, dengan


14

fungsi pelaksanaan penerangan sumberdaya perikanan dan lingkungan, meliputi

Wilayah Perairan Payau di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

BPBAP Takalar juga berfungsi sebagai tempat pelatihan, peningkatan

tenaga teknik produksi dan pengolahan lingkungan terhadap pembangunan dan

kegiatan operasional pembenihan. BPBAP Takalar terdiri dari beberapa bidang

tugas yaitu:

1. Bidang Pelaksanaan Teknologi Perekayasaan

a. Teknologi pembenihan dan budidaya udang

b. Teknologi pembenihan kepiting.

c. Teknologi pembenihan dan budidaya ikan bandeng.

d. Teknologi pembenihan dan budidaya ikan kerapu macan dan kerapu tikus

di keramba jaring apung.

2. Pelayanan Teknis dan Informasi

Dalam bidang ini pengembangan sistem pelayanan teknis dan informasi berupa

kegiatan pengamanan, buku petunjuk teknis, brosur dan adanya unit perpustakaan.

3. Pelestarian Sumber Daya dan Lingkungan

Kegiatan perlindungan yang dilaksanakan dan dikembangkan adalah

identifikasi dampak lingkungan dan monitoring keberadaan parasit yang

menyerang benih budidaya. Kegiatan pelestarian dilaksanakan melalui restocking

benih pada alam.

4.1.2 Letak Geografis BPBAP Takalar

BPBAP terletak di Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten

Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan yang berjarak 35 km dari kota Makassar yang
15

di tempuh kurang lebih 60 menit dengan kendaraan umum. Berdasarkan letak

topografinya, balai ini terletak di daerah tepi pantai yang tidak mengalami erosi

pantai dengan dasar yang landai dan bersubstrat pasir. Pasang surut pada lokasi

BPBAP Takalar mencapai 1-3 meter dengan suhu udara berkisar 27-30ºC, serta

curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun. Lokasi BPBAP bebas dari limbah

industri, asap industri dan limbah pemukiman sehingga sangat strategis untuk

dijadikan lokasi budidaya air payau.

Balai Budidaya Ikan Air Payau (BPBAP)Takalar terdiri dari tiga lokasi

yang berjarak kurang lebih 1 km antara satu dengan yang lainnya. Lokasi 1

meliputi bangunan kantor, asrama, rumah jaga, perumahan karyawan, aula, sarana

olah raga dan sarana pembudidayaan. Lokasi 2 meliputi sarana pembenihan,

perumahan pegawai tambak serta laboratorium. Sedangkan lokasi 3 terdiri dari

tambak udang, hatchery udang, laboratorium kultur jaringan rumput laut,

perumahan pegawai, dan tandon penampungan air. Sesuai dengan usaha

pembenihan maka harus dipilih daerah yang dekat dengan sumber air laut yang

bersih serta ditunjang dengan sarana yang memadai seperti, listrik dan telepon.

4.1.3 Visi dan Misi BPBAP Takalar

Visi BPBAP Takalar adalah terwujudnya Balai Perikanan Budidaya Ikan

Air Payau (BPBAP) Takalar sebagai pusat pelayanan masyarakat dan penyedia

terapan dalam pengembangan pembudidayaan ikan air payau di Kawasan Timur

Indonesia.

Dalam mewujudkan visi tersebut maka beberapa misi yang dilakukan oleh

BPBAP Takalar diantaranya:


16

1. Pengembangan perikanan budidaya ikan air payau berbasis agribisnis

berdaya saing, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

2. Percepatan alih teknologi budidaya air payau pada masyarakat dan

pembudidaya.

3. Penciptaan dan peningkatan jumlah paket teknologi budidaya yang efisien,

efektif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

4. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan.

4.1.4 Struktur Organisasi BPBAP Takalar

Struktur organisasi BPBAP Takalar dalam operasionalnya berpedoman

pada SK Menteri kelautan dan Perikanan No.Kep 26D/Men/2001 tanggal 1 Mei

2001 tentang organisasi dan tata kerja Balai Perikanan Budidaya Ikan Air Payau

(BPBAP) Takalar, tersusun pada bagan berikut ini:

KEPALA BPBAP

KASUBAG.TU

STANDARISASI PELAYANAN
DAN INFORMASI TEKNIS

KELOMPOK
FUNGSIONAL

KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK


PEMBENIHAN NUTRISI LINGKUNGA REKAYASA BUDIDAYA

Gambar 2. Bagan Struktur Organisasi BPBAP Takalar


17

4.1.5 Fasilitas BPBAP Takalar

Dalam menunjang pelaksanaan operasionalisasi BPBAP Takalar agar dapat

terlaksana dengan baik maka disediakan beberapa fasilitas sebagai berikut:

4.1.5.1 Unit Perekayasaan

a) Pembenihan krustasea

1. Bak induk 15 m3 sebanyak 4 unit.

2. Bak Larva 15 m3 sebanyak 12Unit.

3. Bak Larva 12 m3 sebanyak 12 Unit.

4. Bak Plankton 6 m3 sebanyak 4Unit.

5. Bak reservoair 25 m3 sebanyak 4 Unit.

6. Bak fiberglass 1 m3 sebanyak 5 Unit.

b) Pembenihan ikan bersirip

1. Bak induk 320 m3 sebanyak 5 unit.

2. Bak induk 100 m3 sebanyak 3 unit.

3. Bak Plankton 10 m3 sebanyak 18 unit

4. Bak zooplankton 10 m3 sebanyak 1 unit.

5. Bak larva 10 m3 sebanyak 17 unit.

c) Pembudidayaan udang windu.

1. Petakan tambak 0,1 Ha, sebanyak 4 unit.

2. Petakan tandon 0,2 Ha, sebanyak 1 unit.

d) Laboratorium

1. Laboratorium basah sebanyak 1 unit.

2. Laboratorium uji sebanyak 1 unit.


18

3. Laboratorium hama dan penyakit sebanyak 1 unit.

e) Sarana dan prasarana penunjang

1. Genset 10-46 KVA sebanyak 4 unit.

2. Peralatan kerja lapangan.

3. Gudang.

4. Tower dan filternya.

5. Blower.

6. Pompa air tawar dan air laut.

4.1.6.2 Unit Pelayanan Teknik Administrasi dan Umum

a. Kantor sebanyak 1 unit.

b. Ruang perekayasaan sebanyak 2 unit.

c. Auditorium/aula sebanyak 2 unit.

d. Asrama sebanyak 1 unit.

e. Perpustakaan sebanyak 1 unit.

f. Pos jaga sebanyak 2 unit.

g. Rumah operator sebanyak 20 unit.

h. Gues house sebanyak 1 unit.

i. Kendaraan roda empat sebanyak 4 unit.

j. Kendaraan roda dua sebanyak 2 unit.

4.1.6 Komoditas yang Dikembangkan di BPBAP Takalar

Komoditas yang dikembangkan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau

Takalar adalah:

1. Udang Windu (Penaeus monodon)


19

2. Ikan Bandeng (Chanos chanos)

3. Ikan Nila Salin (Oreochromis niloticus)

4. Kepiting Bakau (Scylla serrata)

5. Rajungan (Portunus pelagicus)

6. Ikan Kerapu Bebek (Chromileptes altivelis) dan Ikan Kerapu Macan

(Epinephelus fuscoguttatus)

7. Ikan Baronang (Siganus Canaliculatus)

8. Rumput Laut (Glacillaria sp., Eucheuma cotonii, dan Caulerpa sp.)

4.2 Kegiatan Yang Dilaksanakan

4.2.1 Pengenalan Aspek Biologis Spirulina sp.

Spirulina sp. merupakan salah satu mikro organisme autotrof berwarna

hijau kebiruan, dengan sel berkoloni membentuk filamen terpilin meyerupai spiral

(helix), sehingga di sebut alga hijau-biru befilamen. Ukuran dari Spirulina sp.

jenis kecil bekisar antara 1-3µm dan ukuran besar berkisar antara 3-12 µm.

Spirulina sp. juga adalah mikroalga multi seluler, terdiri dari sel-sel silindris yang

membentuk koloni. Koloni tersebut merupakan hasil dari pembelahan sel secara

berulang-ulang pada bidang tunggal dan membentuk rantai yang di sebut trikon

(Robi, 2014).

Gambar 3. Morfologi Spirulina sp


(Sumber. Isnansetyo & Kurniastuty1995.)
20

Bentuk tubuh dari Spirulina sp. yaitu menyerupai benang yang merupakan

rangakaian sel yang berbentuk silindris dengan dinding sel yang tipis dan

berdiameter 1-12 mikrometer (Hariyati, 2008). Alga dari kelas Cyanophyceace

atau alga biru hijau ini mengandung pigmen kemerah-merahan seperti

phycocerythrin yang terdapat pada alga merah. Spirulina sp. juga alga yang

menyerupai benang filamen bersel banyak dengan ukuran 200-300 mikromter

dan lebar 5-10 mikron meter dan setiap filamennya terbentuk 7 spiral yang

mencapai ukuran 1000 mikron meter dan berisi 250-400 sel. Spirulina sp bergerak

dengan cara beregreak mengegelinding sepanjang garis tengah selnya. Spirulina

sp adalah mikroalga dengan kandungan gizi yang tinggi dimana tercatat Spirukina

sp dapat menghasilkan protein sebanyak 20 kali lebih dari 1 are kedelai atau

jagung dan 200 kali lebih baik dari daging sapi (Nirwana, 2018).

Spirulina sp. bereproduksi secara asekesual dengan cara membelah diri.

Pembelahan sel Spirulina sp. diawali dengan cara memutus filamen menjadi satu-

satuan sel yang akan membentuk filament baru. Pemutusan filamen ini akan

membentuk bagian-bagian yang disebut dengan necridia. Necridia membentuk

semacam piringan yang terpisah-pisah, kemudian hasil pembelahan tersebut

berkoloni membentuk hormogonia yang memisahkan diri dari filamen induk

menjadi filamen baru (Isnansetyo dan Kurniastuti dalam Robi, 2014). Sel-sel

hormogonia tersebut akan bertambah terus jumlahnya melalui pembelahan sel,

sehingga ukuran filament bertambah panjang dan seiring dengan pembelahan sel,

sitoplasmanya akan menjadi granuler dan warna sel menjadi biru cerah (Cifferi

dalam Robi, 2014).


21

Gambar 4. Siklus hidup Spirulina sp.


(Sumber. Wimas 2015.)

Menurut Wimas, (2015). Reproduksi Spirulina sp. disempurnakan dengan

fragmentasi dari trikoma yang telah dewasa dan dilakukan secara aseksual hal ini

terjadi dengan membagi filamen mejadi satu-satuan sel yang akan membentuk

filamen baru. Pada dasarnya ada tiga tahap pada reproduksi Spirulina sp. yaitu

dengan fragmentasi trikoma, pembesaran dan pengamatan sel hormogonia serta

perpanjangan trikoma. Kemudian trikoma dewasa dapat dibagi menjadi filamen

atau hormogonia, dan sel-sel di hormogonia akan meningkat melalui pembelahan

biner sehingga tubuh akan memanjang dan membentuk spiral.

Pada umumnya mikroalga seperti Spirulina sp. mempunyai struktur sel

yang sederhana, kemampuan fotosintesis yang tinggi dan siklus yang singkat serta

mampu hidup pada kondisi lingkungan yang ekstrim, mampu mensintesis lemak,

tidak membutukan nutrisi yang banyak (Nainggolan dkk, 2018), serta mampu

hidup pada perairan tawar seperti kolam atau danau (Prasetyo, 2010). Pernyataan

ini sesuai dengan penelitan Wimas (2015), bahwa Spirulina sp. dapat hidup pada

lingkungan yang berbeda seperti rawa, air tawar, air payau dan air laut, sehingga

penyebaran Spirulina sp. sangat luas. Sedangkan kondisi lingkungan yang


22

optimum bagi pertumbuhan Spirulina sp. yaitu pH berkisar antara 6-8. Umunya

alga hijau-biru tumbuh dengan baik pada pH 7 dan lebih mentoleransi kondisi

basah dari pada kondisi asam, hal ini dikarenakan alga hijau-biru mampu

memanfaatkan karbon dioksida yang tersisa pada kosentrasi rendah, sedangkan

untuk salinitas berkisar antara 20-30 ppt. kandungan oksigen berkisar antara 4,65-

6,27 dan suhu berkisar antara 25-35oC (Astiani, 2016).

Menurut Wimas, (2015) Spirulina sp. mempunyai 5 fase pertumbuhan yaitu:

1. Fase leg

Fase leg atau fase tunda terjadi diakibatkan oleh sel yang masih membutuhkan

proses aklimatisasi sebelum mengalami pembelahan sel. Pada faese ini tidak

terjadi pertambahan jumlah sel.

2. Fase logaritmik

Fase logaritmik atau fase eksponensial merupakan fase dimana terjadi

pertambahan sel dengan kecepatan yang konstan. Hal tersebut terjadi ketika sel

dalam kondisi yang stabil.

3. Fase penurunan laju

Fase penurunan laju pertumbuhan terjadi akibat dari kompetisi yang tinggi

dalam media kultur sel. Zat makan yang tersedia dalam media kultur kurang

mencukupi kebutuhan populasi sel yang meningkat pada fase eksponensial.

4. Fase stasioner

Terjadinya fase stasioner ketika sel cenderung konstan. Kehabisan nutrisi

dalam media kultur merupakan salah satu sebab yang dapat menyebabkan sel

berhenti tumbuh. Pergantian sel terjadi dalam fase stasioner. Kehilangan sel yang
23

lambat karena kematian diimbangi dengan pembentukan sel-sel yang baru melalui

pembelahan. Pada kondisi seperti ini, maka jumlah sel akan bertambah secara

lambat, meskipun jumlah sel tetap.

5. Fase kematian

Fase kematian merupakan fase terakhir dari masa pertumbuhan Spirulina sp.

fase ini terjadi akibat jumlah sel populasi menurun, jumlah sel mati per satuan

waktu secara perlahan-lahan dan akhirnya kecepatan mati dari sel-sel menjadi

konstan.

Namun pada saat praktek lapang akuakultur dilaksanakan terdapat beberapa

kendala yang terjadi pada kegiatan budidaya sehingga kegiatan kultur Spirulina sp

tidak berjalan dengan optimal. Adapun kendala yang dihadapi pada saat praktek

lapang akuakultur yaitu, peningkatan salintas yang tinggi, gagal panen, tidak

dilakukannya perhitungan kepadatan secara langsung karena mikroskop yang

rusak sehingga pada saat praktek lapang akuakultur berlangsung penulis tidak

mengetahui populasi Spirulina sp pada setiap fasenya.

4.2.2 Persiapan Alat dan Bahan

Kegiatan kultur pakan alami Spirulina sp. diawali dengan persiapan alat

dan bahan yang akan digunakan. Seperti menampung air laut pada bak 500 liter,

sterilisasi bak kultur, serta pengisian bak kultur. Penampungan air laut dilakukan

pada 3 bak penampungan yang masing-masing berkapasitas 500 L sambil

diberikan aerasi. Air laut yang digunakan berasal dari tendon induk yang

kemudian disalurkan menggunakan pipa plastik ke dalam bak kultur. Sebelum di

salurkan terlebih dahulu dilakukan sterilisasi baik terhadap air maupun bak kultur.
24

Sterilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menghilangkan mikro

organisme terutama bakteri spora yang paling resisten diantara banyak organisme,

melalui metode penggunaan panas, penggunaan bahan kimia, penyaringan

(Filtrasi) atau pencucian wadah secara manual.

Sterilisasi terhadap air dilakukan melalui pemberian chlorine dengan dosis

100 ml yang bertujuan untuk menetralisir air laut sehingga terhindar dari bakteri

ataupun mikroalga. Setelah pemberian chlorine air laut disalurkan ke wadah

budidaya melalui pipa penyaringan untuk mengisi bak kultur. Volume air yang di

salurkan disesuaikan dengan padat tebar bibit Spirulina sp. pada saat praktek

lapang akuakultur dilakukan volume air disalurkan sebanyak ± 900 L pada bak

bervolume 1000 L.

Gambar. 5 Pengisian bak penampungan dan Pemberian Chlorine pada air laut

Pada saat praktek lapang akuakultur dilakukan, kegiatan sterilisasi

dilakukan dengan cara manual yaitu dengan melakukan pencucian wadah

menggunakan ocalid acid sebagai penganti sabun kemudian dibilas dan

dikeringkan dibawah sinar matahari (Gambar 6). Penggunaan oxalid acid

bertujuan untuk mebersihkan bak kultur dari sisa Spirulina sp. yang masih
25

menempel dari siklus budidaya sebelumnya karena berpotensi menghambat

pertumbuhan alga yang akan dikultur.

Gambar 6. Pemberian oxalid acid dan Pencucian bak kultur menggunkan oxalid acid

4.2.3 Perlakuan Air Laut

Air laut yang digunakan berupa air laut yang telah ditampung pada bak

penampungan dan terhindar dari kontaminasi bakteri ataupun mikroalga lainya,

kemudian air laut dialirkan ke bak kultur dengan menggunakan pompa celup yang

dilengkapi dengan selang plastik dan saringan kapas yang bertujuan untuk

menghindari bakteri atau mikroba yang masuk kedalam wadah kultur.

Gambar 7. Pengisian air laut pada bak kultur segi empat dan bundar

Selanjutnya adalah pemberian natrium thiosulfat yang dilakukan ketika air

laut telah terisi penuh pada bak kultur dan diaerasi selama 15-20 menit agar
26

tercampur dengan merata. Pemberian natrium thiosulfat bertujuan untuk

menetralisir kadar chlorine pada air laut. Setelah 15-20 menit, selanjutnya

dilakukan uji cholirne menggunakan test chlorine dengan dosis 0,05 ml, untuk

mengetahui apakah air laut sudah netral atau belum. Jika air laut belum netral

maka uji chlorine akan menunjukan perubahan warna air laut menjadi warna

kuning, sedangkan jika telah netral maka warna air laut tidak akan berubah atau

tetap bening. Untuk volume air 900 L diberikan thiosulfat sebanyak 20 ppm.

Selanjutnya adalah pemberian pupuk walne yang dilakukan ketika air laut

benar-benar telah netral dari kadar chlorine. Pupuk walne diberikan dengan dosis

100 ml untuk satu bak kultur dalam satu siklus budidaya dan didiamkan selama 20

menit sambil diberikan aerasi agar tercampur dengan merata. Jenis pupuk walne

telah distandarisasi seperti jenis pupuk Guillard yang dapat merangsang

pertumbuhan Spirulina sp. dengan baik karena mampu memenuhi kebutuhan

nutriennya sehingga dapat menentukan biomasa dan kandungan gizi Spirulina sp.

Keberasilan kultur Spirulina sp. tergantung dari kebutuhan nutrien yang

terkandung dalam pupuk yang diberikan sehingga akan mampu menigkatkan

kandungan nutrisi yang tinggi dan kepadatan sel yang tinggi (Amanatin dkk,

2017).

Pembuatan pupuk walne dilakukan dengan mencampur beberapa bahan

yang berfungsi untuk merangsang atau mempercepat pertumbuhan dari spirulina

sp. Bahan dan alat yang di gunakan pada pembuatan pupuk Walne dapat diihat

pada tabel 3.
27

Tabel 3. Komposisi dan alat pembuatan pupuk walne


No
Alat dan Bahan Dosis

1. KNO 3 500 gr
2.
Na2 EDTA 225 gr
3.
Na H2 PO4 H2O 100 gr
4.
Fe CL3 6 H2O 6,5 gr
5.
Mn C12, 4 H2O 1,8 gr
6
Aquades 1000 ml
7. Hot Plate
8. Mangent Stirer
9. Erlenmeyer V. 1000 ml
10. Alminum Foil

Pemberian pupuk ini dilakukan satu kali dalam satu siklus budidaya

dengan dosis 100 ml per 1000 liter air. Pupuk yang digunakan untuk kultur murni

fitopalnkton Hijau (Green algae) pada skala intermediet adalah jenis pupuk MPK

dan Walne, dimana pupuk MPK hanya diberikan ketika pupuk Walnei telah habis.

Gambar 8.Pemberian natrium thio sulfat pada media kultur dan Pemberian pupuk
pada media kultur

4.3.4 Pemeliharaan Spirulina sp.

Bak fiber yang digunakan pada proses budidaya Spirulina sp. yaitu berupa

bak bundar dan bak segi empat yang mempunyai kapasitas masing-masing
28

sebanyak 1000 liter air. Untuk bak bundar dilakukan kultur dengan padat

penebaran yang tinggi dengan perbandingan 1000 liter air berbanding 40-50 liter

bibit Spirulina sp. Sedangkan pada bak yang berbentuk segi empat dilakukan

penebaran dengan perbandingan 1000 liter air berbanding 30 liter bibit Spirulina

sp. Penebaran Spirulina sp. dilakukan setelah pelakuan air laut selesai. Penebaran

dilakukan dengan menebar langsung bibit Spirulina sp. secara perlahan dalam

wadah kultur. Bibit yang digunkan pada skala intermediet berasal dari hasil kultur

murni laboratorium pakan alami Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)

Takalar yang kemudian di kembangkan pada tahapan semi masal atau skala

intermedeit. Namun kultur Spirulina sp. pada skala semi masal atau intermediet

tidak hanya dilakukan pada bak fiber saja tetapi dapat juga dilakukan pada bak

beton atau wadah toples. Selain itu bibit hasil dari kultur semi masal ini dapat

langsung diolah menjadi tepung atau dipergunakan untuk budidaya masal dengan

menggunakan wadah kolam.

Setelah penebaran selesai, selanjutnya dilakukan pemberian lebel pada bak

kultur. Pemberian label pada bak kultur bertujuan untuk memberikan tanda

perbedaan antara waktu budidaya dan waktu panen. Pemberian label ini sangat

penting untuk menghindari kesalahan perlakuan karena baik Spirulina sp. yang

masih dibudidaya maupun yang akan dipanen ukurannya relatif sama.

Gambar 9. Penebaran bibit Spirulina sp. pada bak kultur skala intermediate
29

Pemeliharaan Spirulina sp. dilakukan selama 5 hari karena siklus hidupnya

yang tergolong singkat. Jika pemeliharaan lebih dari 7 hari maka akan

mengahasilkan kualitas yang tidak baik lagi untuk dikembangkan pada skala

masal ataupun di kemas dalam bentuk tepung karena semakin tua nutrisinya akan

semakin berkurang. Selama masa pemeliharaan berlangsung diberikan aerasi

sampai kedasar bak kultur dengan tujuan untuk menyuplai oksigen dan untuk

mengantisipasi terjadinya pengendapan yang akan menyebabkan tingkat kematian

fitoplankton lebih tinggi.

Salah satu faktor pendukung dalam melakukan budidaya Spirulina sp.

adalah faktor lingkungan tertuma salinitas dan suhu. Hasil pengukuran nilai

salinitas pada minggu pertama berkisar antara 27-28 ppt. Pada minggu kedua

sampai minggu keempat salinitas berkisar antara 40-45 ppt. Kisaran nilai salinitas

ini masih tergolong optimal, sehingga Spirulina sp. tetap mampu untuk tumbuh

dan berkembang biak.

Hasil pengukuran suhu pada kegiatan praktek lapang akuakultur berkisar

antara 27-30oC, hal ini menunjukan bahwa selama masa budidaya Spirulina sp.

pada skala intermediet tergolong optimal dan mampu menekan pertumbuhan dan

perkembangan Spirulina sp. Semakin optimal suhu, maka metabolisme semakin

baik dan semakin meningkat pertumbuhan Spirulina sp.

Gambar 10. Pengukuran salinitas dan pengukuran suhu


30

4.3.5 Perhitungan Kepadatan Spirulina sp.

Salah satu hal yang penting untuk dilakukan adalah menghitung kepadatan

Spirulina sp. untuk mengetahui pertumbuhannya. Sampel yang akan dihitung

kepadatanya diambil dari wadah kultur yang berukuran 1 ton dengan volume air

1000 liter. Pengambilan sampel diambil dengan menggunakan pipet tetes dan

dipindahkan kedalam gelas piala. Pengamatan ini dilakukan menggunakan

miroskop dengan pembesaran 10 x. Sampel dipindahkan ke kaca preparat atau

heimocitometer dengan menggunakan pipet tetes lalu dihitung dengan formulasi

sebagai berikut:

Rumus perhitungan kepadatan Spirulina sp.

n1 + n2 + n3 + n4 … . + n10
n= × 100
3,14

keterangan:

n = Jumlah kepadatan

n1, n2, n3, n4...n10 = Jumlah inividu dalam satu kolom heimocitometer

100 = Jumlah kolom heimocitometer

Contoh perhitungan kepadatan Spirulina sp.

n1 + n2 + n3 + n4 … . + n10
n= × 100
3,14

13 + 26 + 3 + 17 + 6 + 16 + 30 + 9 + 8 + 10
n= × 100
3,14

n = 4,394 ind/ml
31

4.3.6 Pemanenan Spirulina sp.

Pemanenan merupakan tahap akhir dari budidaya, dimana hasil dari itu

dapat di aplikasikan pada kegiatan budidaya berikutnya atau langsung diolah

menjadi dalam bentuk tepung. Pemanenan dibagi menjadi 2 bagian yaitu, panen

total dan panen sebagian. Panen total merupakan pengambilan hasil yang

dilakukan secara keseluruhan, sedangkan panen sebagian merupakan hasil

pengambilan sebagian organisme yang dikultur dan sisa organisme tersebut dapat

dikultur kembali dengan melakukan penambahan pupuk atau dijadikan bibit untuk

proses budidaya secara massal.

Gambar 11. Proses pemanenan dan Hasil panen Spirulina sp.

Spirulina sp. dapat dipanen sekurang-kurangnya ketika berumur 5 hari.

Pemanenan Spirulina sp. relatif lebih mudah yang dilakukan dengan mangikat

kain nilon pada pipa pembuangan dengan tujuan untuk menyaring Spirulina sp.

kemudian di biarkan sampai air terkuras habis setelah itu kain saring dibilas

dengan menggunkan air tawar dan dikeringkan. Spirulina sp. yang telah dipanen

dapat langsung dimanfaatkan sebagai pakan almi bagi larva udang atau ikan

bahkan dapat disimpan dalam bentuk kering atau basah di dalam freezer. Proses

pengeringan Spirulina sp. dapat dilakukan dengan penjemuran langsung di bawah

sinar matahari atau pengeringan menggunakan oven.


32

Gambar 12. Pengeringan Spirulinasp dan tepung Spirulina sp.


33

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari praktek lapang akuakultur adalah:

 Secara teknis kultur pakan alami dilakukan melalui beberapa kegiatan yaitu:

persiapan alat dan bahan, perlakuan air laut, pemeliharaan Spirulina sp,

perhitungan kepadatan Spirulina sp. dan pemanenan Spirulina sp.

 Kegiatan pemanenan dalam kultur spirulina sp. sebaiknya tidak lebih dari 7

hari sehingga organisme yang dikultur umurnya tidak terlalu tua dan

kualitasnya baik.

5.2 Saran

Saran penulis, sebaiknya pada budidaya Spirulina sp. selanjutnya perlu

dilakukan uji lab ataupun uji lainnya untuk mendapatkan hasil kultur yang baik

dan menghasilkan bibit pakan alami yang baik dan berkualitas.


34

DAFTAR PUSTAKA

Amatin, D., R., Rofidah, E., Duratun, S., Rosady, N. 2017. Produksi Protein Sel
Tunggal (PTS) Spirulina sp. Sebagai Super Food dalam Upaya
Penangulangan Gizi Buruk dan Kerawanan Pangan di Indonesia.
Buwono, N., R, dan Nurhasana, R, Q. 2018. Studi Pertumbuhan Populasi
Spirulina sp. pada Skala Kultur yang Berbeda. Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Briwijaya. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Vol 10. No. 1. Hal 1-3
Hadiyanto dan Azim., M. 2012. Mikroalga Sumber Pangan dan Eneri Masa
Depan. Penerbit UPT Undip. Semarang.

Hariyati, R. 2008. Pertumbuhan dan Biomasa Spriulina sp. dalam Skala


Laboratories. Laboratorium Ekologi dan Biosistematik. Jurusan Biologi.
Fakultas Mipa. Uiversitas Padjajaran. Jurnal Bioma. Vol. 10. No 1. Hal 19-
22
Nirwana, M., R. 2018. Teknik Pemanenan Spirulina sp yang Dikultivasi dalam
Limbah Cair Karet dengan Berbagai Jenis Flokulan. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Nainggolan, J., G., Tanjung, A., Effendi, I. 2018. Pertumbuhan Biomasa Spirulina
Plantenis dengan Pemberian Nutrisi yang Berbeda dengan System Skala
Indoor dan Semi Outoor. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas
Riau.
Prasetyo, B. 2010. Penentuan Jenis Spirulina sp. di Situ Babakan, Jagakarsa,
Jakrta Selatan. Lembaga Penelitian Universitas Terbuka. Laporan Penelitan.
Putri., C., L., O., Insayafitri., Abida., I., W. 2009. Pengaruh Pemberian FeCl3
Terhadap Pertummbuhan Chaetoceros Calcitrans. Jurusan Ilmu Kelautan.
Universitas Trunjoyo. Jurnal Kelautan. Vol 2. No 1. Hal 1-8.
Robi, N., H. 2014. Pemanfaatan Ekstrak Tauge Hijau (Phaseolus Radiatus)
sebagai Pupuk untuk Meningkatkan Populasi Spriulina sp. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Airlangga. Hal 25-27
Siregar., M., H. 2009. Studi Pengamatan Plankton di Hulu Sungai Asahan Porsea.
Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Sumatera Utara.
Sulistyowati, E., B., Widiyanti, T dan Soni, A., F., M. 2007. Peningkatan
Kuantitas dan Kualitas Kista Artemia Franciscana Setelah Pemberian Silase
Ikan. Jurnal Bioteknologi. 4 (2): 46-52
35

Utami, N. P., Yuniati, MS., Haetami, K. 2012. Pertumbuhan Chllorela sp. yang di
Kultur pada Perioditas Cahaya Uang Berbeda. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelutan.Uiversitas Padjajaran. Jurnal Perikanan dan Kelautan.Vol 3.No 3.
Hal 237-244
Wahyuni, N., Masithah, E., D., Soemarjati, W., Suciyono, Ulkhaq, M., F. 2018.
Pola Pertumbuhan Mikroalga Spirulina sp. Skala Laboratorium yang di
Kultur menggunakan Wadah yang Berbeda. Program Studi Akuakultur.
Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Majalah Ilmiah
Bahari. Vol 16. No 2. Hal 89-97
Yusanti, I., A., Widayatsi., T., Ramadhan. 2018. Keaneka Ragaman Zooplankton
di Rawa Binjaran Desa Sedang Keamatan Suak Tapeh Kabupaten
Banyuasin. Fakultas Perikanan. Universitas PGRI Palembag. Jurnal Biota.
Vol 4. No 1. Hal 1-5
Wimas, D., L. 2015. Uji Efektifitas Pertumbuhan Spriulina sp. pada Limbah Cair
Tahu yang Diperkaya Urea dan Super Phosphate 36 (SP 36)

Anda mungkin juga menyukai