Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada usia Taman Kanak-kanak anak telah memiliki pola moral yang
harus dilihat dan dipelajari dalam rangka pengembangan moralitasnya. Orientasi
moral diidentifikasikan dengan moral position atau ketetapan hati, yaitu sesuatu
yang dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral yang didasari oleh aspek
motivasi kognitif dan aspek motivasi afektif. Tahapan perkembangan moral
seseorang akan melewati 3 fase, yaitu premoral, conventional dan autonomous.
Anak Taman Kanak-kanak secara teori berada pada fase pertama dan kedua. Oleh
sebab itu, guru diharapkan memperhatikan kedua karakteristik tahapan
perkembangan moral tersebut. Sedangkan menurut Piaget, seorang manusia dalam
perkembangan moralnya melalui tahapan heteronomous dan autonomous.
Seorang guru Taman Kanak-kanak harus memperhatikan tahapan
heteronomous karena pada tahapan ini anak masih sangat labil, mudah terbawa
arus, dan mudah terpengaruh. Mereka sangat membutuhkan bimbingan, proses
latihan, serta pembiasaan yang terus menerus.Moralitas anak Taman Kanak-kanak
dan perkembangannya dalam tatanan kehidupan dunia mereka dapat dilihat dari
sikap dan cara berhubungan dengan orang lain, cara berpakaian dan
berpenampilan, serta sikap dan kebiasaan makan. Demikian pula, sikap dan
perilaku anak dapat memperlancar hubungannya dengan orang lain.
Penanaman moral kepada anak usia Taman Kanak-kanak dapat
dilakukan dengan berbagai cara dan lebih disarankan untuk menggunakan
pendekatan yang bersifat individual, persuasif, demokratis, keteladanan, informal
dan agamis. beberapa program yang dapat diterapkan di Taman Kanak-kanak
dalam rangka menanamkan dan mengembangkan perilaku moral anak di
antaranya dengan bercerita, bermain peran, bernyanyi, mengucapkan sajak, dan
program pembiasaan lainnya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian perkembangan moral
2. Pola Orientasi moral anak Taman kanak-kanak
3. Perkembangan moral anak usia dini
4. Tahapan Perkembangan moral anak usia dini
5. Faktor-faktor yang memengaruhi Perkembangan Moral

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pekembangan moral
2. Untuk mengetahui Pola Orientasi moral anak Taman kanak-kanak
3. Untuk mengetahui Perkembangan moral anak usia dini
4. Untuk mengetahui Tahapan Perkembangan moral anak usia dini
5. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang memengaruhi Perkembangan Moral

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian perkembangan moral


Moral berasal dari bahasa latin yakni “mores” kata jamak dari
“mos” yang berarti adat kebiasaan, kalakuan, tabiat, watak, akhlak, yang
kemudian artinya berkembang menjadi sebagai kebiasaan dalam bertingkah
laku baik. Menurut kamus besar bahasa indonesia, moral adalah ajaran tentang
baik buruk yang diterima umum mnegenai perbuatan,sikap,kewajiban dan
sebagainya.
Menurut W.J.S Poerdaminta (dalam Darmadi 2009:50)
menjelaskan moral merupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan
kelakuan,sedangkan etika merupakan ilmu pengetahuan mengenai asa-asas
akhlak. Selanjutnya Darmadi (2009:51) mengatakan pada kenyataannya
ukuran tingkah laku moral yang dipandang sebagai tingkah lakunya sebagai
byryk tidaknya sama dianut oleh umat manusia.
Perkembangan moral adalah mencakup tentang perkembangan
fikiran (kognitif), perasaan dan perilaku menurut aturan atau kebiasaan
mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan seseorang ketika berinteraksi
dengan orang lain (Hurlock). Agama memiliki arti yang sama pentingnya
dengan moral menurut Adams dan Gullota (1983). Agama memberikan
sebuah rangkaian moral, sehingga seseorang mampu membandingkan tingkah
laku. Agama dapat menjelaskan kenapa seseorang hidup didunia. Melalui dua
cara ini kita bisa mengetahui bagaimana perkembangan moral dan agama pada
anak usia dini.

B. Pola Orientasi Moral Anak Taman Kanak-Kanak


Pada usia Taman Kanak-kanak anak telah memiliki pola moral yang
harus di lihat dan dipelajari dalam rangka pengembangan moralitasnya.
Orientasi moral diindentifikasikan dengan moral position atau ketetapan hati,

3
yaitu sesuatu yang di miliki sesorang terhadap suatu nilai moral yang di dasari
oleh aspek motivasi kognitif dan aspek motivasi afektif.

Orientasi Moral menurut Peter (1979) disamakan dengan Moral


Position atau ketetapan hati. Lebih lanjut Peter menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan moral position itu dimiliki seseorang terhadap suatu nilai
moral yang didasari oleh dua landasan perhitungan/penilaian yaitu: cognitif
motivation aspects, dan affective motivation aspects.

Cognitive motivation aspects memiliki makna sebagai suatu


perhitungan antisiatif dari seseorang terhadap resiko yang mungkin muncul
jika dirinya menentukan suatu hal. Sedangkan affective motivation aspects,
memiliki makna suatu perhitungan emosi yang akan diakibatkan dari sebuah
keputusan yang diambil seseorang (peter, dalam A. Kosasih Djakhiri
1996:h.47).

C. Perkembangan moral anak usia dini


1. Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget
Ketika menganalisis gejala perkembangan moral anak, Piaget
memfokuskan diri pada aspek cara berpikir anak tentang isu-isu moral. Cara
yang dilakukannya adalah mengamati dan mewawancarai kelompok anak usia
4-12 tahun yang terlibat dalam suatu permainan. Ia mempelajari bagaimana
anak-anak itu menggunakan dan memandang aturan yang ada dalam
permainan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka
berkisar tentang isu-isu moral, seperti pencurian, berbohong, hukuman, dan
keadilan. Dari studi tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak berpikir
tentang moralitas dalam duatahap. Hal initergantung pada tingkat
perkembangannya. Cara/tahap yang pertamaadalah tahap moralitas
heteronomus (heteronomous morality) yang terjadi pada anak berusia 4
sampai 7 tahun. Pada tahap perkembangan moral ini, anak menganggap
keadilan dan aturan sebagai sifat-sifat dunia (lingkungan) yang tidak berubah
dan lepas dari kendali manusia. Cara/tahap yang kedua (sekitar usia 10 tahun

4
ke atas), anak sudah menyadari bahwa aturan-aturan dan hukum itu diciptakan
oleh manusia. Anak yang berpikir moral pada tahap ini juga sudah menyadari
bahwa dalam Metode Pengembangan Moral dan Nilai-nilaiAgama menilai
suatu tindakan seseorang, harus dipertimbangkan maksud si pelakudanjuga
akibat-akibatnya.
Pola pemikiran moral tahap ini oleh Piaget diistilahkan dengan
moralitas otonomus (autonomous morality)Secara lebih terinci,perbedaan
antara dua tahap perkembangan moral tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pada tahap heteronomous, anak menimbang perilaku benar dan baik
dengan menimbangakibat dari perilaku itu, bukan dari maksud pelaku.
Misalnya, anak yang berada pada tahap ini akan mengatakan bahwa
memecahkan lima piring secara tidak sengaja akan lebih jelek daripada
memecahkan satu piring dengan sengaja. Namun,bagi anak yang
berpikirmoral otonomus, yang lebih baik itu adalah yang memecahkan lima
piring karena hal itu dilakukan secara tidak sengaja. Dengan demikian, bagi
anak yang berpikir moral otonomus, maksud atau niat pelaku yang ada di
balik tindakannya dipandang lebih penting daripada akibatnya. Anak-anak
yang berpikir moral heteronomus juga meyakini bahwa aturan-aturan itu
ditentukan oleh para pemegang otoritas yang memiliki kekuatan sehingga
tidak dapat diubah. Mereka berpendapat bahwa aturan-aturan itu selalu sama
dan tidak dapat diubah. Sebaliknya, kelompok anak yang berpikir otonomus
memandang bahwa aturan-aturan itu hanya berupa kesepakatan belaka.
Mereka menganggap bahwa aturan-aturan itu merupakan kesepakatan sosial
atau kelompok yang dapat diubah melalui konsensus.Selanjutnya, anak yang
berpikir heteronomus juga meyakini keadilan sebagai sesuatu yang tetap ada.
Piaget mengistilahkannyadengan immanent justice, yaitu jika aturan
dilanggar,hukuman akan ditimpakan segera. Anak yang berpikir
heteronomusmeyakini bahwa kejahatan secara otomatis terkait dengan
hukuman. Sebaliknya,anak yang berpikir otonomusmenganggap hukuman
sebagai alat sosial yang bisa dialami dan bisa pula tidak. Initergantung pada
kondisinya.Piaget berpendapat bahwa saat anak-anak berkembang, mereka

5
mengalami kemajuan dalam pemahaman tentang masalah-masalah sosial. Dia
meyakini bahwa pemahaman sosial ini muncul melalui interaksi atau saling
menerima dan memberi dalam hubungan teman sebaya.
Dalam kelompok teman sebaya,anak-anak memiliki kekuatan dan
status yang sama.Mereka secara leluasa dapat saling memberi masukan dan
bernegosiasi dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul.
Pengalaman tentu merupakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan
moral anak. Suasana interaksional seperti dalam kelompok teman sebaya,
menurut Piaget,sulit ditemukan dalam hubungan orang tua-anak atau
hubungan guru-anak. Orang tua atau guru lazimnya memiliki kekuasaan yang
lebih daripada anak sehingga aturan-aturan sering ditentukan secara otoriter.
Akibatnya, pola interaksi orang tua-anak atau guru-anak yang demikian
kurang memungkinkan untuk meningkatkan penalaran moral anak secara baik

2. Perkembangan Moral Menurut Kohlberg


Melalui pendekatan perkembangan kognitif,seperti halnya yang
dilakukan Piaget, Lawrence Kohlbergmengembangkan sendiri teori tentang
perkembangan penalaran moral. Kohlberg memilih mempelajari alasan-alasan
yang mendasari respons-respons moral. Dengan kata lain, Kohlberg memilih
untuk mendalami struktur proses berpikir yang terlibat dalam penalaran moral.
Dalam melakukan studinya, Kohlberg merancang serangkaian cerita imajinatif
yang masing-masing memuat dilema-dilema moral untuk mengukur penalaran
moral. Konflik moral yang terkandung dalam cerita-cerita tersebut ada yang
berupa pilihan antara dua alternatif yang tidakdapat diterima secara
kulturaldan ada pula yang berupa pilihan antara dua alternatif yang dapat
diterima secara kultural. Cerita-cerita ini menempatkan seseorang pada situasi
konflik yang memberikan sejumlah alternatif pilihan yang dapat diterima.
Respons apa yang dipilih olehseseorang tidak begitu penting, tetapiyang
terpenting adalah penalaran yang digunakan individu dalam menyelesaikan
konflik. Oleh sebab itu, kepada para responden,ditanyakan tentang apa yang
sebaiknya dilakukan, di samping mereka ditanyamengapa memilih melakukan

6
hal itu.Analisis dari proses penalarandisimpulkan dari jawaban terhadap
serangkaian cerita tersebut. Akhirnya,Kohlberg dapat menilai penalaran moral
responden. Dari analisis ini,ia menemukan bahwa ada enam level
perkembangan penalaran moral manusia. Keenam level perkembangan moral
ini menggambarkan suatu urutan yang bersifat universal. Lebih lanjut,keenam
level perkembangan penalaran moral tersebut dikelompokkan ke dalam tiga
tingkatan sehingga masing-masing level terdiri atasduatahapan sebagai
berikut:
Level 1: Penalaran moral prakonvensional(meliputi tahaporientasi
hukuman dan kepatuhansertatahap orientasi individualisme dan orientasi
instrumental).Metode Pengembangan Moral dan Nilai-nilaiAgama
Level 2:Penalaran moral konvensional(meliputi tahap orientasi
konformitas interpersonal sertatahap orientasi hukum dan aturan).
Level 3:Penalaran moral pascakonvensional(meliputi tahap orientasi
kontrak sosial dan tahap orientasi etis universal).Mengingat kajian kita
pada saat ini berkaitandengan perkembangan anak usia prasekolah,yang
akan dipaparkan hanya pada level 1.Pada level yang paling dasar
(penalaran moral prakonvensional), anak belum menunjukkan internalisasi
nilai-nilai moral.

D. Tahapan Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Menurut piaget, dalam Djahiri (1985:24) diperlukan tahapan dalam


pengkajian perkembangan moral sebagai berikut :

a. Tahap mengakomodasi, dimana anak memiliki kesempatan untuk


mempelajari dan menginternalisasikan nilai atau moral
b. Tahap asimilasi atau mengintegrasikan nilai tersebut dengan sistem
nilai lain yang telah ada dalam dirinya.
c. Tahap equalibrasi atau membina keseimbangan atau
membakukannya sebagai sistem nilai baru yang baru.

7
Menurut kolhberg, dalam zuriah (2008:35) perkembangan moral
manusia terjadi dalam tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin
meningkat atau tinggi, kohlberg membagi perkembangan seseorang dalam
tiga tingkat yaitu tingkat prakonvensional, konvensional,
pascaconvensional. Dari ketiga tingkat dibagi menjadi 6 tahapan,
sedangkan tahapan yang terjadi pada anak usia dini adalah pada tingkat
prakonvensional yang terbagi 3 tahapan sebagai berikut :

a. Orientasi pada hukuman dan ketaatan

Tahap ini penekanannya pada akibat fisik suatu


perbuatan,menentukan baik dab buruknya, tanpa menghiraukan arti
dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anaka menghindari
hukuman,lebih dikarenakan rasa takut, bukan karena rasa hormat.

b. Tahap orientasi hedonis (kepuasan individu)

Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang memuaskan


kebutuhan individu sendiri, tetapi juga kadang mulai memperhatikan
kebutuhan orang lain, hubungan lebih menekankan unsur timbal balik
dan kewajiban.

c. Orientasi anak manis

Pada tahap ini anak memenuhi harapan keluarga dan


lingkungan sosialnya yang dianggap bernilai pada dirinya sendiri,
sudah ada loyalitas unsur pujian menjadi penting dalam tahap ini
karena yang ditangkap anak adalah orang dipuji karena berlaku baik.
Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang
membantu orang lain dan yang disetujui oleh mereka.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral

Para peneliti perkembangan telah mengidentifikasi sejumlah factor


yang berhubungan dengan perkembangan penalaran dan perilaku moral :

8
perkembangan kognitif umum, perkembangan rasio dan rationale, isu dan
dilema moral, dan perasaan diri.

1. Perkembangan Kognitif Umum.

Penalaran moral yang tinggi (advanced) penalaran yang dalam


mengenai hukum moral dan nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan, hak-
hak asasi manusia memerlukan refleksi yang mendalam mengenai ide-ide
abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan moral
bergantung pada perkembangan kognitif (Kohlberg,
1976;Nucci,2006;Turiel,2002). Sebagai contoh, anak-anak yang secara
intelektual (gifted) berbakat umumnya lebih sering berpikir tentang isu moral
dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat local ataupun dunia
secara umum ketimbang teman-teman sebayanya (silverman,1994). Meski
demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin perkembangan moral.
Terkadang siswa berpikir abstrak mengenai materi akademis dan pada saat
yang sama bernalar secara prakonvensional, yang berpusat pada diri sendiri
(Kohlberg, 1976; Silverman, 1994).

2. Penggunaan Ratio dan Rationale.

Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam


perkembangan moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional
yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain. Menjelaskan
kepada anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak dapat diterima,
dengan focus pada perspektif orang lain, dikenal sebagai induksi(induction)
(M.L.Hoffman,1970,1975).

3. Isu dan Dilema Moral.

Dalam teorinya mengenai perkembangan moral, Kohlberg menyatakan


bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu
dilema moral yang tidak dapat ditangani secara memadai dengan

9
menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu dengan kata lain, ketika
anak menghadapi situasi yang menimbulkan disequilibrium. Upaya untuk
membantu anak-anak yang menghadapi dilemma semacam itu, Kohlberg
menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap diatas tahap
yang dimiliki anak saat itu. Kohlberg (1969) percaya bahwa dilema moral
dapat digunakan untuk memajukan tingkat penalaran moral anak, tetapi hanya
setahap demi setahap. Dia berteori bahwa cara anak-anak melangkah dari satu
tahap ke tahap berikut ialah dengan berinteraksi dengan orang-orang lain yang
penalarannya berada satu atau paling tinggi dua tahap di atas tahap mereka.

4. Perasaan Diri.

Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika


mereka berpikir bahwa sesungguhnya mampu menolong orang lain dengan
kata lain ketika mereka memiliki pemahaman diri yang tinggi mengenai
kemampuan mereka membuat suatu perbedaan (Narfaez & Rest,1995). Lebih
jauh, pada masa remaja, beberapa anak muda mulai mengintegrasikan
komitmen terhadap nilai-nilai moral terhadap identitas mereka secara
keseluruhan (M.L.Arnold,2000;Biyasi,1995;Nucci,2001). Mereka
menganggap diri mereka sebagai pribadi bermoral dan penuh perhatian, yang
peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Tindakan altruistic dan bela rasa
yang mereka lakukan tidak terbatas hanya pada teman-teman dan orang-orang
yang mereka kenal saja, melainkan juga meluas ke masyarakat.

6. Kritik terhadap Teori Kohlberg

Salah satu keterbatasan karya Kohlberg ialah bahwa hal itu


kebanyakan melibatkan anak laki-laki. Riset tentang penalaran moral anak
perempuan menemukan pola yang agak berbeda dari pola yang disodorkan
Kohlberg. Apabila penalaran moral anak laki-laki terutama berkisar di seputar
masalah keadilan, anak perempuan lebih tertarik dengan masalah-masalah
kepedulian dan tanggung jawab terhadap orang-orang lain (Gilligan, 1982;

10
1985; Gilligan & Attanucci, 1988; Haspe & Baddeley,1991). Carol Gilligan
telah berpendapat, misalnya, bahwa pria dan wanita menggunakan kriteria
moral yang berbeda: bahwa penalaran moral pria difokuskan pada hak
masing-masing orang, sedangkan penalaran moral wanita difokuskan lebih
pada tanggung jawab masing-masing bagi orang lain.

Kritik lain terhadap karya Kohlberg ialah bahwa anak-anak yang


masih muda sering dapat bernalar tentang situasi moral dengan cara yang
lebih canggih daripada tahap yang diusulkan teori (Rest,Edwards &
Thoma,1997). Akhirnya, Turiel (1998)telah berpendapat bahwa anak-anak
yang masih muda menarik perhatian antara aturan-aturan moral, seperti tidak
boleh berdusta dan mencuri, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan,
dan aturan-aturan sosial-konvensional, seperti tidak boleh mengenakan
piyama ke sekolah, yang didasarkan pada konsensus dan etiket sosial.
Keterbatasan terpenting teori Kohlberg ialah bahwa hal itu berkaitan dengan
penalaran moral alih-alih dengan perilaku aktual (Arnold, 2000). Banyak
orang pada tahap yang berbeda berperilaku yang sama, dan orang-orang pada
tahap yang sama sering berperilaku dengan cara yang berbeda (Walker &
Henning, 1997). Selain itu, konteks dilemma moral berperan penting. Thoma
dan Rest (1999) dan Rest et al. (1999) berpendapat bahwa penjelasan tentang
perilaku moral harus memerhatikan penalaran moral tetapi juga kemampuan
menafsirkan dengan tepat apa yang terjadi dalam situasi sosial, motivasi
mempunyai perilaku yang bermoral, dan kemampuan sosial yang perlu untuk
benar-benar melakukan suatu rencana tindakan moral.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

- Dari uraian di atas kita sebagai seorang tenaga pendidik supaya bisa
mengubah perkembangan moral yang tidak baik menjadi anak yang bermoral
yang sesuai dengan agama kita atau yang kita inginkan.
- Masalah yang penting dalam perkembangan moral anak Indonesia
seorang pendidik bisa menjelaskan tentang perbedaan yang muncul pada diri
anak-anak dan kita seorang pendidik juga bisa mengarahkan anak didik kita
menjadi anak yang dewasa dalam sikap dan perilaku dalam bersosialisasi serta
kita harus menyisipkan pendidikan multikultur kepada anak usia taman kanak-
kanak dengan tingkat dan permasalahan mereka.

B. Saran

-Seorang pendidik harus bisa menanamkan kepada anak didik agar mereka
menjadi seorang yang bermoral bagi diri dan orang lain.
-Kita seorang pendidik bisa menanamkan perilaku yang tidak saja
seusai dengan standar sosial, melainkan bisa bertanggung jawab terhadap diri
sendiri maupun orang lain.

12
DAFTAR PUSTAKA

Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Jakarta: PT.
Indeks.

Lilis Suryani dkk. (2008) Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dasar
Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.

Wantah, Maria J. (2005) Pengembangan Disiplin dan Pembentukan Moral Pada


Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan pendidikan Tenaga Kependidikan
dan Ketenangan Perguruan Tinggi.

Djakhiri, A. K. et. al. (1996). Dasar dan konsep pendidikan moral. Jakarta:
Depdikbud.
Hadis, F.A. (1996). Psikologi perkembangan anak. Jakarta: Depdikbud

13
14

Anda mungkin juga menyukai