PEMBAHASAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. IGGS
Tgl lahir : 13 September 2011
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Tambakan
No. RM : 121404
Tanggal masuk RS : 31 Januari 2019
Tanggal pulang RS : 7 Februari 2019
Penanggung jawab pasien
Ayah
Nama : I Gd. B
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMP
1
lebih merasa nyaman dengan posisi duduk, pasien tampak gelisah. Tidak terdapat gangguan
makan ataupun minum.
Saat pasien berusia 3 bulan dan dilakukan upacara tiga bulanan pasien dikeluhkan sesak
dan terdengar suara mengi (ngik-ngik) kemudian pasien dibawa ke dokter dan didiagnosis asma.
Riwayat serangan sesak biasanya tidak tentu, terjadi terutama pada malam hari dan bila pasien
menderita batuk pilek.
Riwayat dikeluarga pasien diakui, yaitu pada kakek pasien. Riwayat alergi dari ayah dan
ibu disangkal.
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Lahir cukup bulan dengan berat
3200gr, ditolong bidan, dan langsung menangis. Pasien selalu dibawa ke posyandu setiap bulan.
Riwayat imunisasi dasar BCG, polio, DPT, Campak lengkap. Pertumbuhan dan perkembangan
pasien diakui sesuai dengan teman sebayanya.
Anamnesis Makanan
0 – 6 bulan : ASI ekslusif
6 bulan – 2 tahun : MPASI + susu formula
2 tahun – sekarang : Makanan padat
Tanda Vital
Nadi : 130x/menit, regular isi cukup
RR : 66x/menit tipe thoracoabdominal
SpO2 : 89-91%
Setelah di nebulisasi
Nadi : 120x/menit, regular isi cukup
RR : 40x/menit tipe thoracoabdominal
SpO2 : 93%
Status Gizi
Berat badan : 23 kg
Tinggi badan : 121 cm
Gizi : baik
2
Kepala
Ubun-ubun besar datar simetris
Rambut tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva tidak anemis
sklera tidak ikterik
Hidung : sekret ( - )
3
Auskultasi : VBS kiri = kanan;
Rhonki ( +/+ ) ; Wheezing (+ / +)
Palpasi
: vocal fremitus sulit dinilai
Perkusi
: sonor kiri = kanan
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Auskultasi : bunyi jantung S1 S2 murni regular
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus ( + ) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba ; Lien : tidak teraba
Alat Genital
Laki-laki, Tidak ada kelainan. Anus (+)
Ekstremitas
Akral hangat
Sianosis ( - )
Clubbing ( - )
Capillary refill < 2 detik
Foto thoraks
Radiografi Thorax AP
Cor : bentuk, ukuran dan posisi normal
Pulmo : tampak infiltrat di lapangan atas-tengah-bawah paru kiri dan lapangan bawah paru
kanan, vorakan bronkovaskular normal, hillus D/S berselubung
Sinus costofrenicus D/S lancip
Hemidiafragma D/S domeshaped
Skeletal : intak
Kesan : Pneumonia
V. DIAGNOSIS KERJA
Asma bronkiale dengan pneumonia
VI. PENATALAKSANAAN
Nebulisasi combiven 1 amp + 1cc NaCL per 8 jam
IVFD D5 1/2 NS
Adrenalin 2 x 0,2 mg SC
Aminofilin 1/4 IV, 3/4 drip
Inj Dexametasone 3x 1 amp IV
Inj. Metilprednisolon 1/2 IV
Inj Paracetamol 3x250 mg IV (k/p)
Cefotaxime 2x 500mg IV
VII. FOLLOW UP
Tanggal/ Jam Keadaan Klinis Terapi/Tindakan
31/01/2019 S : sesak napas +, demam + O2
19.30 O : Kesadaran : Composmentis D5 ½ NS 20tpm
TD : 124/68 mmHg RR : 60-68x/menit Nebu Farbivent 1 amp tiap
N : 166-177x/menit Sat : 93-97% 6jam
S : 38C Nebu Flixotide tiap 12jam
Thorax : Cor : dbn Cefotaxime 3x750mg
Pulmo : wheezing +/+, rhonki +/+ Dexamethason 3x1amp
A : Astma bronkiale + Pneumonia Paracetamol flash 3x250mg
6
Pulmo : wheezing +/+, rhonki +/+ Dexamethason 3x1amp
A : Astma bronkiale + Pneumonia Paracetamol flash 3x250mg
(k/p)
03/02/2019 S : sesak napas +, demam -, makan + minum + O2
08.00 O : Kesadaran : Composmentis D5 ½ NS 20tpm
TD : 94/38 mmHg RR : 38x/menit Nebu Farbivent 1amp tiap
N : 121x/menit Sat : 97% 6jam
S : 36.4C Nebu Flixotide tiap 12jam
Thorax : Cor : dbn Cefotaxime 3x750mg
Pulmo : wheezing +/+, rhonki +/+ Dexamethason 3x1amp
A : Astma bronkiale + Pneumonia Paracetamol flash 3x250mg
(k/p)
7
Thorax : Cor : dbn Paracetamol flash 3x250mg
Pulmo : wheezing -/-, rhonki +/+ (k/p)
A : Astma bronkiale + Pneumonia
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
8
BAB II
TINJAUAN TEORI
ASMA
Definisi
Definisi asma pada anak masih diperdebatkan dan belum ada yang diterima secara
universal. Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit
heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik ini
ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing (mengi), sesak
napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran
udara ekspiratori.1-2
Menurut Pedoman Nasional Asma Anak UKK Respirologi IDAI, asma adalah penyakit
saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi.1
Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang
timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini
hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.2
Epidemiologi
International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) menyatakan bahwa
angka current wheeze di 97 negara bervariasi sebesar 0,8% - 37,6%, diagnosis asma didapatkan
13,1% pada anak. Kejadian asma berhubungan erat dengan kejadian dermatitis atopik dan rino
konjungtivitis alergika. Asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (14:10)
Faktor Resiko
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan non-genetik.
Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor risiko yaitu:
• Polusi udara
• Asap rokok
• Makanan cepat saji
• Berat lahir
• Cooking fuel
9
• Rendahnya pendidikan ibu
• Ventilasi rumah yang tidak memadai
• Merokok di dalam rumah
• Tidak adanya ventilasi
Etiologi
Pencetus terjadinya asma dapat berupa:
• Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
• Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
• Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
• Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.1
Patogenesis
Asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran
respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran nafas.
Hiperreaktivitas ini merupakan predisposisi terjadinya penyempitan saluran respiratorik sebagai
respons terhadap berbagai macam rangsang.3
Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast,
makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik.
10
Patofisiologi
• Hiperreaktivitas saluran respiratori
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap hiperreaktivitas ini belum diketahui. Akan
tetapi, kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot polos saluran respiratori
(hiperplasi dan hipertrofi) yang menyebabkan perubahan kontraktilitas.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis dapat diperiksa dengan provokasi/stimulus
menggunakan aerosol histamin atau metakolin, kemudian dilakukan pengukuran perubahan
fungsi paru (PFR/FEV1).
• Obstruksi saluran napas
Obstruksi saluran respiratori menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali
baik secara spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi
dihubungkan dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan
hiperreaktivitas saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan.
Mekanisme obstruksi saluran napas:
o Kontraksi otot polos saluran napas
o Edema saluran napas
o Remodelling saluran napas
o Hipersekresi mukus3
Diagnosis
Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima luas
sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk,
wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk
kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala
dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik
yang mengarah ke asma adalah:
• Gejala timbul secara episodik atau berulang
• Timbul bila ada faktor pencetus
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya
11
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal)
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.4
Pemeriksaan Fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya tidak ditemukan
kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang
terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu
dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula
dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat obstruksi,
hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada pasien.
• Tes Faal Paru.Uji fungsi paru dengan spirometri atau peakflowmeter, sekaligus uji
reversibilitas dan untuk menilai variabilitas. Spirometri biasa dilakukan untuk anak usia
diatas 5-6 tahun. Untuk anak pra sekolah digunakan impedance oscillometry.
• Pemeriksaan status alergi: Skin prick test, eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
• Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide), eosinofil sputum.
• Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan
diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro-
esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopi respiratori
(rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).
Pada anak usia dibawah 5 tahun tidak ada pemeriksaan spesifik untuk diagnosis asma. Uji terapi
cukup efektif untuk dilakukan dengan memberikan bronkodilator inhalasi selama 2 bulan untuk
membantu menegakkan diagnosis asma. Apabila gejala berkurang selama pengobatan dan
memberat pada saat pengobatan dihentikan, maka diagnosis asma menjadi lebih kuat.
Pemeriksaan status alergi : Skin prick test, eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.4
12
Namun kurang bermakna pada anak < 5 tahun. Foto toraks untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
13
Diagnosis Asma Pada Anak Usia Dibawah 5 Tahun
Perbedaan utama asma pada anak balita dengan di atas 5 tahun, adalah peran infeksi virus
terhadap timbulnya wheezing. Frekuensi dan durasi gejala, pemicunya terhadap gejala, serta
riwayat alergi keluarga dipakai sebagai petunjuk awal untuk menduga asma, ditambah dengan
faktor alergi.
Rekomendasi The European Respiratory Society (ERS)
1. Menilai pola kejadian dan faktor pemicu wheezing, riwayat keluarga dengan alergi dan
anggota keluarga yang merokok
2. Semua episode wheezing yang dikeluhkan oleh orangtua harus ditelaah dokter
3. Melakukan tes alergi pada anak yang memerlukan terapi jangka panjang
4. Pemeriksaan lanjutan sebaiknya dihindarkan pada usia awal kecuali pada kasus berat,
terapi resisten atau didapatkan manifestasi klinis yang tidak biasa
Beberapa indikator dikembangkan untuk memprediksi kejadian risiko asma antara lain Asma
Predictive Index dan modifikasinya yaitu Modified Asma Predictive index
14
Gambaran klinis yang mendukung diagnosis asma pada anak dibawah usia 5 tahun
Diagnosis Banding
Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain
sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding.
15
• Inflamasi: infeksi, alergi
- Rinitis, rinosinusitis
- Infeksi respiratori berulang
- Aspirasi berulang
- Tuberkulosis
• Obstruksi mekanis
- Laringomalasia, trakeomalasia
- Hipertrofi timus
- Aspirasi benda asing
- Disfungsi pita suara
• Malformasi kongenital saluran napas
- Patologi bronkus
- Displasia bronkopulmonal
- Bronkiektasis
- Fibrosis kistik
• Kelainan sistem organ lain
- Penyakit refluks gastro-esofagus (GERD)
- Penyakit jantung bawaan
- Gangguan neuromuscular.4
Contoh :
Asma persisten ringan dengan eksaserbasi akut serangan ringan, terkontrol sebagian.
16
Berdasarkan Derajat Kekerapan
Keterangan :
1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja asma dan
dilakukan tata laksana umum (pengendalian lingkungan, penghindaran pencetus) selama 6
minggu.
2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal, tata laksana dapat
dilakukan sesuai klasifikasi.
3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka
panjang.
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke dalam klasifikasi
lebih berat.
17
Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan tata laksana.
18
Tatalaksana Asma pada Anak
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma sehingga menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin
dicapai adalah:
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi, terutama yang
memengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi kembali.
Penatalaksanaan asma dilakukan dengan 3 hal:
1. KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)
Jelaskan pada keluarga tentang penyakit asma secara lengkap dengan bahasa yang dapat
dimengerti, kapan harus datang ke dokter, bagaimana penanganan saat terjadi serangan,
bagaimana cara peggunaan obat, dan juga berikan penjelasan bagaimana pentingnya
kerjasama pihak keluarga dapat berpengaruh terhadap penanganan asma.
Dalam mencapai kemandirian, program KIE dituangkan dalam bentuk Rencana Aksi Asma
(RAA)/Asthma Action Plan (AAP) yang dibuat secara tertulis dan diisi oleh anak atau
orangtua.
19
2. Penghindaran terhadap pencetus
Penghindaran terhadap pencetus merupakan faktor yang sangat penting dalam penanganan
asma, karena rangsangan terhadap faktor pencetus dapat menyebabkan serangan asma.
Pencegahan terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan pada saluran
respiratori.
3. Tatalaksana medikamentosa
Secara garis besar tatalaksana asma dibagi menjadi 2 jenis:
1) Quick relief (reliever medication)
Digunakan untuk meredakan serangan asma akut, diantaranya adalah short-acting -
agonist (SABA)
20
• Mengevaluasi dan memperbarui tata laksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan
MoA Salbutamol (SABA) adalah mengaktivasi adenylate cyclase meningkatkan
produksi dan aktivitas cAMP menurunkan kalsium intrasel relaksasi otot halus.
Selain itu SABA juga mencegah pengeluaran agen bronkokonstriksi dari sel mast dan
meningkatkan mucocilliary clearance.
2) Long-term control (controller medication)
Digunakan untuk kontrol jangka panjang, mencegah terjadinya serangan asma akut,
diantaranya adalah long-acting -agonist (LABA), inhaled corticosteroid (ICS),
methylxanthines, antileukotrien, anti-IgE
• Memiliki MoA yang sama dengan SABA, dengan DOA yang lebih panjang
(SABA: 4-6 jam, LABA: 12 jam)
• Contoh obat: Salmeterol
21
menyebabkan bronkodilasi. Juga berikatan dengan reseptor adenosine A2B
sehingga mencegah bronkokonstriksi yang dimediasi adenosine
• Contoh obat: Teofilin
Antileukotrien
• MoA: mencegah secara selektif kompetitif terhadap reseptor antagonis dari
leukotrien yang merupakan substansi anafilaktik (merupakan patofisiologi dari
asma)
• Contoh obat: Zakirlukast, Montelukast
22
yang menurut penelitian sama efektifnya dengan MDI yang disertai spacer konvensional. Spacer
seperti ini terutama ditujukan untuk digunakan di negara berkembang karena dapat dibuat
sendiri.
23
Jenjang pengendalian asma usia diatas 5 tahun:
Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan klasifikasi
kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6- 8 minggu dan asma
belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8- 12 minggu dan asma
terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek- aspek penghindaran, penyakit
penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan omalizumab.
24
Serangan Asma
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-
gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata laksana asma jangka
panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat serangan asma bermacam-macam, mulai
dari serangan ringan sedang hingga serangan yang disertai ancaman henti napas.2
25
Penilaian Derajat Serangan Asma
Selain klasifikasi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangan, yang terbagi atas
serangan ringan, sedang dan berat. Jadi perlu dibedakan antara penyakit asma (aspek kronik)
dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang pasien asma persisten (asma berat) dapat
mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya bisa saja seorang pasien yang tergolong asma
Episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan ancaman henti napas yang
menyebabkan kematian.
Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Global Initiative for
Asthma (GINA) melakukan pembagian terhadap derajat serangan asma berdasarkan gejala dan
tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Penilaian tingkat serangan yang
lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberi respon kurang terhadap terapi awal, atau
serangan memburuk dengan cepat atau pasien berisiko tinggi.5,7
Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian -agonis dengan penambahan garam
fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit.
Pada pemberian ketiga nebulisasi ditambah antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus
sebagai penapis yaitu untuk penetuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis
tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.5,9
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dengan serangan berat langsung berikan
nebulisasi -agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang
disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter
yaitu respon yang kurang baik terhadap nebulisasi -agonis. Pasien seperti ini cukup satu kali
dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapatkan obat intravena selain diatasi
masalah dehidrasi dan asidosisnya.9
26
Sebagian besar pasien tetap dalam keadaan baik setelah ditatalaksana sebagai serangan asma
ringan namun sebagian gejala timbul kembali. Jika dalam observasi 1 jam gejala timbul kembali,
pasien ditatalaksana sebagai serangan asma sedang.
27
Tatalaksana di Ruang Rawat Inap
Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang rawatinap:
• Pemberian oksigen diteruskan.
• Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan koreksi asidosisnya.
• Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena adalah
0,5-1 mg/kgBB/hari.
28
• Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
- Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin dosis awal
(inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis
sebanyak 20 ml, dan diberikan selama 30 menit, dengan infusion pump atau mikroburet.
- Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin dosis
rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan
separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,25-0,5 mg/kg/jam).
- Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20
mcg/ml.
- Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering adalah
mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia,
hipotensi, dan kejang.
• Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga mencapai 24
jam, dan steroid serta aminofilin diganti dengan pemberian peroral.
• Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat
agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu,
steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari untuk
reevaluasi tatalaksana.
PROGNOSIS
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezinf tidak berlanjut
menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar 45%-85%,
tergantung besarnya sample studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan. Adanya asma
pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator
penting untuk terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat indikator tersebut maka
kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu diatas disertai dengan 2 atau 3
keadaan berikut yaitu eosinofilia, rhinitis alergika, wheezing yang menetap pada keadaan bukan
flu.
29
PNEUMONIA
30
Pneumonia pada penelitian yang telah ada sebelumnya disebutkan sebagai penyebab
utama kematian pada anak dibawah 5 tahun dan bertanggung jawab atas 18% kematian balita
dan anak pada tahun 2010 di seluruh dunia. Sebanyak 81% anak yang meninggal karena
penyakit ini merupakan balita usia dibawah 2 tahun. Pada negara di Asia dan Afrika lebih dari
setengah jumlah total episode pneumonia terjadi pada anak kurang dari 5 tahun. Pada negara di
Eropa sekitar 14,4 per 10.000 anak-anak berusia diatas 5 tahun dan 33,8 per 10.000 dengan usia
dibawah 5 tahun didiagnosis Community Acquired Pneumonia (CAP) setiap tahunnya di rumah
sakit yang berada di Eropa. Persentase angka mortalitas pneumonia di negara berkembang
termasuk Indonesia merupakan penyusun terbesar mortalitas pada balita dan anak yang
diperkirakan sebesar 21%.12
5. Penyakit Komorbid
Penyakit komorbid atau penyerta yang biasa didapatkan pada pneumonia anak yaitu
anemia defisiensi besi sebanyak 11%, penyakit jantung bawaan 6,9%, gastroenteritis 2%, kejang
demam 2%, hipotiroid kongenital 1,2%, hirschprung 1,2%, down syndrome 0,4%.
6. Klasifikasi
Berdasarkan bakteri penyebabnya, pneumonia dibagi dalam dua kelompok yaitu bakterial tipikal
dan atipikal. Penyebab terbanyak bakterial (tipikal) adalah Streptococcus pneumoniae sedangkan
pneumonia atipikal terbanyak disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae.
Tujuan penatalaksanaan pneumonia diklasifikasikan berdasarkan faktor inang (host), patogen
penyebab, dan faktor lain terkait pneumonia sebagai berikut :
a. Pneumonia dari komunitas (community acquired pneumonia/CAP) yaitu pneumonia
yang diperoleh di masyarakat atau pada individu ditandai dengan terjadinya infeksi diluar
lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam waktu kurang dari 48 jam setelah
dirawat di rumah sakit selama > 14 hari.
b. Pneumonia yang diperoleh dari rumah sakit (nosokomial) atau Hospital Acquired
Pneumonia/HAP yaitu pneumonia yang terjadi pada 48 jam atau lebih setelah dirawat di bangsal
atau ruang Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit dan masa inkubasinya tidak terjadi diluar
rumah sakit. HAP terbagi atas Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) merupakan pneumonia
yang berhubungan dengan penggunaan ventilator dan Health Care Associated Pneumonia
(HCAP) yaitu pneumonia yang diperoleh di pusat perawatan kesehatan.13
7. Penatalaksanaan Terapi
Terapi pneumonia rekomendasi WHO yaitu :
a. Anak dengan napas cepat pneumonia, tidak ada tarikan dinding dada. Berikan terapi dengan
Amoxicilin oral 40 mg/kgBB/dosis 2 kali sehari (80 mg/kgBB/hari) untuk 4 hari.
b. Anak usia 2-59 bulan dengan tarikan dinding dada, berikan Amoxicilin oral 40mg/kgBB/dosis
2 kali sehari selama 4 hari.
c. Anak usia 2-59 bulan dengan Pneumonia berat, berikan Ampicilin parenteral 50 mg/kgBB atau
Benzil Penicilin 50.000 UI/kgBB i.m atau i.v setiap 6 jam selama 5 hari dan Gentamicin 7,5
mg/kgBB i.m atau i.v per hari selama 5 hari. Jika pengobatan lini pertama gagal, berikan
Ceftriaxone sebagai lini kedua.
BAB III
34
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
TEORI KASUS
Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan Pada kasus saat pasien datang ke RSPS
asma sebagai suatu penyakit heterogen, biasanya dikeluhkan sesak napas disertai suara
ditandai dengan inflamasi kronik saluran mengi, keluhan didahului dengan panas
pernapasan. Inflamasi kronik ini biasanya badan, batuk dan pilek.
ditandai dengan gejala-gejala seperti wheezing Saat usian 3 bulan dan dilakukan upacara 3
(mengi), sesak napas, batuk yang bervariasi bulanan pasien juga dikeluhkan sesak
dalam waktu maupun intensitas. dengan suara mengi dan batuk.
International Study of Astma and Allergies in Pada kasus ini pasien merupakan anak laki-
Childhood (ISAAC) menyatakan bahwa angka laki berusia 7 tahun.
current wheeze di 97 negara bervariasi sebesar
0,8%-37,6%, diagnosis asma didapatkan 13,1%
pada anak. Asma pada anak laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan (14:10)
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat Pada kasus faktor risiko pada pasien secara
dikelompokkan menjadi genetik dan non genetik genetik ditemukan pada kakek pasien yang
memiliki penyakit asma.
Pemeriksaan fisik pasien dalam keadaan sedang Pada kasus ini saat dilakukan pemeriksaan
bergejala batuk dan sesak dapat terdengan fisik terdengan wheezing secara langsung
wheezing, baik terdengar langsung (audible dan semakin terdengar jelas dengan
wheeze) atau terdengar dengan stetoskop. stetoskop.
Derajat asma berdasarkan kekerapan gejala asma Pada kasus ini setelah dilakukan
dibagi menjadi 2 yaitu intermiten dan persisten : alloanamnesis dengan ayah pasien, pasien
- Intermiten : episode gejala asma <6x/tahun dikatakan terakhir mengalami sesak saat
atau jarak antar gejala 6 minggu usia 3 bulanan dan setelah itu sampai usia 7
- Persisten ringan : episode gejala asma tahun ini pasien tidak mengalami keluhan
>1x/bulan, <1x/minggu sesak intermiten.
- Pesisten sedang : episode gejala asma Pasien sejak awal diterapi dengan
>1x/minggu, namun tidak setiap hari - O2 3lpm
- Persisten berat : episode gejala asma hampir - Nebu combiven 1 amp + 1cc NaCl
tiap hari - IVFD d5 ½ NS 14tpm
Serangan Asma Berat - Adrenalin 2x 0,2 mg SC
Bila dengan nebulisasi tiga kali berturut-turut - Aminofilin ¼ IV, ¾ drip
pasien tidak menunjukkan respons (poor - Inj dexamethasone 3x1 amp IV
- Inj. Metilprednisolon ½ IV
response) yaitu gejala dan tanda serangan masih
- Inj. Paracetamol 3x250mg IV (k/p)
ada (penilaian ulang sesuai pedoman) maka - Cefotaxime 2 x 500mg IV
pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Bila Sesaat setelah medapatkan terapi tersebut,
sejak awal dinilai sebagai serangan berat maka kondisi pasien stabil pasien di observasi
nebulisasi pertama kali langsung -agonis di ruangan pasien mengalami
dengan penambahan antikolinergik. Oksigen 2- pemburukan kembali dr. Susanta, Sp.A
visite (19.30)
4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat
35
nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan Advice :
foto thoraks. - O2
Sedangkan apabila pasien menunjukkan gejala - D5 ½ NS 20tpm
- Nebu farbivent 1amp tiap 6jam
dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
- Nebu flixotide tiap 12jam
langsung dirawat diruang intensif. Untuk pasien - Cefotaxime 3x 750mg
dengan serangan berat dan ancaman henti napas, - Dexamethasone 3x1amp
langsung dibuat foto Rontgen toraks guna - Paracetamol flash 3x250mg
mendeteksi komplikasi pneumothoraks dan/atau Pasien di observasi di IMC Respon
pneumomediastinum. pasien terhadap terapi semakin hari
semakin baik
S: sesak berkurang, demam (-)
O: TD : 100/50 mmHg N : 96x/menit
RR : 30x/menit S : 36.2C
Thorax : Pulmo : wheezing +/+, rhonki +/+
A : Asma bronkiale dengan pneumonia
Tatalaksana Asma pada anak Pasien datang dengan sesak napas
Pemberian oksigen diteruskan TTV : N : 130x/ menit RR : 66x/menit
Jika ada dehidrasi dan asidosis maka Sp02 : 89-91% S : 38C
berikan cairan intravena dan koreksi Retraksi epigastrium (+)
asidosisnya. Thorax : wheezing +/+, rhonki -/-
Steroid intravena diberikan secara bolus, DL :
setiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena WBC : 7,5 (N)
adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari. HGB : 15,2 (N)
Nebulisasi agonis β2 kerja pendek HCT : 43,5 (N)
kombinasi dengan ipratropium bromida PLT : 320 (N)
dengan oksigen dilanjutkan setiap 1-2 Dilakukan nebulisasi dan diobservasi di
jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian mulai IGD
terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian - Nebu combiven 1 amp + 1cc NaCl
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. - IVFD d5 ½ NS 14tpm
Aminofilin diberikan secara intravena - Adrenalin 2x 0,2 mg SC
dengan dosis: - Aminofilin ¼ IV, ¾ drip
Bila pasien belum mendapat aminofilin - Inj dexamethasone 3x1 amp IV
sebelumnya, aminofilin dosis awal - Inj. Metilprednisolon ½ IV
(inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang - Inj. Paracetamol 3x250mg IV (k/p)
dilarutkan dalam dekstrosa atau garam - Cefotaxime 2 x 500mg IV
fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan
selama 30 menit, dengan infusion pump Setelah dinebulisasi, TTV :
atau mikroburet.Bila, respons belum N : 120x/menit
optimal dilanjutkan dengan pemberian RR : 40x/menit
aminofilin dosis rumatan sebanyak 0,5-1 Sp02 : 93%
mg/kgBB/jam. Jika pasien telah S : 37,6C
mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), Retraksi epigastrium (+)
dosis diberikan separuhnya, baik dosis Thorax : wheezing +/+, rhonki +/+
awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan Rencana Tindakan :
(0,25-0,5 mg/kg/jam). Bila - Rontgen Thorax
memungkinkan, sebaiknya kadar - Observasi di ruangan jam 19.10
aminofilin diukur dan dipertahankan 10- S: pasien sesak +, demam +
20 mcg/ml. Pantau gejala-gejala O : N : 166-177 x/menit RR : 60-
intoksikasi aminofilin, efek samping 68x/menit
36
yang sering adalah mual, muntah, Sp02 : 93-97% S : 38C
takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang Thorax : wheezing +/+, rhonki +/+
berat dapat menyebabkan aritmia, Hasil foto thorax :
hipotensi, dan kejang. Bila telah terjadi - Kesan : pneumonia
perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan A : Asma Bronkiale dengan pneumonia
setiap 6 jam hingga mencapai 24 jam, Sesaat setelah medapatkan terapi tersebut,
dan steroid serta aminofilin diganti kondisi pasien stabil pasien di observasi
dengan pemberian peroral. di ruangan pasien mengalami
pemburukan kembali dr. Susanta, Sp.A
visite (19.30)
- Rawat pasien di IMC
- O2
- D5 ½ NS 20tpm
- Nebu farbivent 1amp tiap 6jam
- Nebu flixotide tiap 12jam
- Cefotaxime 3x 750mg
- Dexamethasone 3x1amp
- Paracetamol flash 3x250mg
Terapi aminofilin tidak dilanjutkan
dikarenakan respon pasien terhadap obat
kurang dan pasien mengalami perburukan,
disamping hal tersebut efek samping dan
toksisitas dari aminofilin sesuai teori harus
lebih diperhatikan dalam pemberiannya
karena sangat berbahaya. Selain hal
tersebut margin line atau batasan
pemberian keuntungan menggunakan
aminofilin sangat terbatas
mempersempit/membatasi kita untuk
menggunakannya sebagai terapi.
Observasi IMC 2 hari respon terhadap
terapi baik pasien dipindahkan ke Ruang
Biasa
04/02/2019
S: sesak berkurang, demam (-)
O: TD : 100/50 mmHg N : 96x/menit
RR : 30x/menit S : 36.2C
Thorax : Pulmo : wheezing +/+, rhonki +/+
A : Asma bronkiale dengan pneumonia
P:
- O2
- D5 ½ NS 20tpm
- Farbivent 1 amp tiap 8 jam
- Nebu flixotide stop
- Cefotaxime 3x 1500mg
- Dexamethasone 3x1 amp
- Paracetamol flash 3x250mg (k/p)
Pneumonia merupakan penyakit respiratorik akut Sesuai dengan kasus ini dari anamnesis
yang ditandai dengan batuk, sesak napas, demam yaitu pasien dengan keluhan sesak napas,
37
dengan gambaran infiltrat pada foto thorax. batuk disertai demam, pada pemeriksaan
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan fisik didapatkan retraksi dinding dada (+),
pedoman WHO yaitu adanya batuk atau sesak wheezing +/+, rhonki +/+ dan setelah
napas dan takipneu disertai salah satu gejala dari dilakukan foto rontgen thorax didapatkan
retraksi dinding dada, tangis merintih atau napas kesan tampak infiltrat di lapangan atas-
cuping hidung serta terdengar ronki. tengah-bawah paru kiri dan lapangan
bawah paru kanan. Sehingga pasien dapat
didiagnosis dengan pneumonia
Penatalaksanaan pneumonia berat berikan Pada kasus ini pasien mendapat terapi
Ampicilin parenteral 50 mg/kgBB atau Benzil cefixime 2x500mg (IGD) keadaan
Penicilin 50.000 UI/kgBB i.m atau i.v setiap 6 pasien stabil, dan pasien dirawat diruangan,
jam selama 5 hari dan Gentamicin 7,5 mg/kgBB observasi ruangan tiba-tiba kondisi pasien
i.m atau i.v per hari selama 5 hari. Jika menurun, rhonki +/+ dosis Cefotaxime 3x
pengobatan lini pertama gagal, berikan 750mg dan pasien dirawat di ruang IMC
Ceftriaxone sebagai lini kedua. selama 2 hari kondisi pasien stabil
kembali dirawat diruangan, setelah follow
up rhonki +/+ sehingga dosis menjadi
Cefotaxime 3x 1500mg di Ruangan, dan
respon terhadap terap makin baik hingga
perawatan hari ke-6 pasien dipulangkan
dengan obat cefadroxil forte 2x1cth dan
lasal 3x1cth
38
DAFTAR PUSTAKA
2. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asma Management and Prevention
2018 updated. Available from : www.ginasthma.org
3. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke 5. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajdjaran. RSUP Dr. Hasan
Sadikin. Tahun 2014
4. Panduan Praktek Klinis SMF Ilmu Kesehatan Anak. RSUP Sanglah Denpasar. Tahun
2017
5. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiativefor Asthma. NHLBI/WHO Workshop
Report.2002
6. Sly M. Asthm. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, Penyunting Nelson
Textbook of pediatric, Edisi ke-15, Philadelphia : Saunders, 1996.h.628
7. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia, Pediatric
Respiratory Meeting I:Focus on Asthma, Jakarta.2003
8. Warner JO, Naspitz CK. Third Internasional Pediatric Consensus Statement on the
Management of Chilhood Asthma. Ped Pulmonol 1998; 25:1-17
9. Schuh S, Johnson DW, Callahan S, Canny G, Levison H. Efficacy of frequent
nebulized ipratropium bromide added to frequent hogh dose albuterol therapy in
severe chilhood asthma. J Pediatr 1995; 126:639-45
10. Rodrigo S, Rodrigo C. Inhaled flunisolide for acute severe asthma. Am J Respir Crit
Care Med 1998; 157;698-703
11. Dahlan Z. Pneumonia bakteri. Dalam : Dahlan Z, Amin Z, Suroto YA, editor. Tata
Laksana Respirologi Respirasi Kristis. Edisi ke-2. Jakarta : PERPARI, 2013.
12. Anwar, A., & Dharmayanti, L.2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
13. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Camphell H. Epidemiology and
etiology of childhood pneumonia. Bull World Health Organ 2008.
39