Anda di halaman 1dari 7

Ujian : Tengah Semester I (September 2018)

Mata Kuliah : Sosiologi Kepolisian


Nama Dosen : Dr. Sutrisno Suki
Nama Mahasiswa : I Gede Nyoman Bratasena
NIM : S32018226004

TINJAUAN SOSIOLOGIK SERVANT-LEADERSHIP PADA POLRI

Masyarakat sebagai konsumen eksternal Polri masih banyak mengeluh mengenai

pelayanan Polri yang belum optimal. Hal ini tanpa disadari ternyata bersumber dari keluhan

konsumen internal (Bintara, Tamtama atau PNS Polri) terhadap pelayanan internal yang

mereka terima, baik dari pimpinan secar langsung maupun dari organisasi. Polri memerlukan

jenis kepemimpinan yang dapat mengatasi permasalahan ini.

Kepemimpinan pelayan (servant-leadership) diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf,

dengan definisi sebagai berikut, “It begins with the natural feeling that one wants to serve, to

serve first. Then conscious choice brings one to aspire to lead. The difference manifests itself

in the care taken by the servant—first to make sure that other people’s highest priority needs

are being served. The best test is: Do those served grow as persons; do they, while being served,

become healthier, wiser, freer, more autonomous, more likely themselves to become servants?

(Greenleaf, 1970).” Servant-leadership ingin menggali perasaan alamiah melayani dari para

pengikutnya untuk menjadi servant leader berikutnya. Teknik ini mirip dengan teknik

maieutikos (teknik kebidanan) yang digunakan oleh Socrates untuk memancing keluar

pengetahuan yang diyakini sudah ada di dalam diri murid-muridnya (Lubis A. Y., 2014).
1
Servant-leadership memiliki sepuluh dimensi, yaitu mendengar; empati;

menyembuhkan; kesadaran; persuasi; konseptualisasi; tinjauan masa depan; pelayanan;

komitmen mengembangkan orang lain; dan membangun komunitas (Van Dierendonck, 2011).

Perbedaan mendasar antara servant-leadership dengan transformational leadership terletak

pada fokus pemimpinnya. Transformational leadership fokus terhadap tujuan utama

organisasi, sementara servant-leadership fokus terhadap anak buah (Gregory Stone, Russell, &

Patterson, 2004). Servant-leadership menghasilkan outcome yang lebih besar bila

dibandingkan dengan kepemimpinan yang lain (Hoch, Bommer, Dulebohn, & Wu, 2018; Ling,

Liu, & Wu, 2017).

Menganalisa kepemimpinan dari kaca mata sosiologi merupakan suatu hal yang langka.

Hal ini disebabkan oleh: (1) para sosiologi terbiasa mempelajari kekuatan sosial, dinamika

organisasi, dan kurang memperhatikan agen relatif yang dimiliki individu. Dengan kata lain,

pemimpin kurang mendapat perhatian sosiolog dibandingkan struktur yang melingkupi

mereka; (2) sosiologi cenderung menghindari kajian konsep yang siap diprivatisasi atau

dimonetisasi. Sosiolog berharap para sarjana kepemimpinan yang akan pindah ke bidang agen

konsultan, mencari cara untuk mendapatkan keuntungan dari topik ini yang memiliki daya tarik

bagi massa (Whiteford & Ganem, 2015). Di tengah kelangkaan ini, penulis mencoba

menganalisa servant-leadership dari perspektif sosiologik.

Menjelang abad ke-21 telah terjadi pergeseran paradigma dari paradigma modern

menjadi postmodern. Prof. Dr. David Boje, ahli postmodern terkemuka telah merumuskan

perbedaan modern dan postmodern di bidang manajemen, yaitu pada aspek planning,

organizing/influencing, influencing, leading, dan controlling (Lubis, 2016). Servant-leadership

2
(SL) merupakan bentuk nyata kepemimpinan dalam paradigma postmodern. Hal ini terlihat

dari karakteristik SL yang serupa dengan ciri-ciri manajemen postmodern.

SL memiliki orientasi jangka panjang dengan menempatkan kegiatan pelayanan

terhadap anak buah dalam proses mencapai tujuan organisasi. Jim Alan Laub menerapkan SL

dalam mendiagnosa kesehatan organisasi. Laub membagi kesehatan organisasi ke dalam enam

kategori, yaitu Optimal health; Excellent health; Moderate health; Limited health; Poor health;

dan Toxic health (Laub, 2018).

Melihat ciri-ciri dari tiap-tiap kategori, organisasi Polri berada pada kategori Poor health

(tingkat 2) dengan ciri masih menerapkan kepemimpinan otoriter; rasa percaya anggota yang

rendah dan rasa ketidakpastian serta khawatir yang tinggi; kebanyakan karyawan (anggota

Polri) merasa tidak dihargai dan sering merasa hanya menjadi alat bagi pimpinannya.

Kekuasaan dan otoritas merupakan sumber ketegangan, karena di dalamnya melekat

kepentingan mempertahankan status quo (Sutrisno, 2016). Gaya kepemimpinan otoriter

merupakan warisan dari semangat kapitalis, di mana pekerja dipandang sebagai elemen-elemen

produksi bekerja efektif menggerakkan mesin kapitalisme. Pendekatan ini erat kaitannya

dengan interaksi antar manusia yang bersifat hegemonik, dominatif dan eksploitatif (Suki).

Kesehatan organisasi yang ideal mencapai optimal health (tingkat 6), di mana salah satu

cirinya adalah para pekerja merasakan karakter organisasi yang servant-minded dengan

keotentikan, menghargai, mengembangkan orang lain, membangun komunitas dan

menyelenggarakan serta berbagi kepemimpinan yang positif (Laub, 2018). Kondisi optimal

health sebagai struktur berkolaborasi dengan sifat alamiah perwira Polri yang ingin melayani

akan membentuk habitus. Habitus atau sistem disposisi yang direpresentasikan memiliki sifat

antara lain merupakan ‘struktur-struktur yang menstrukturkan’, artinya mampu melahirkan


3
praktik-praktik yang sesuai dengan situasi khusus dan tertentu (Bourdieu, 1993). Perilaku

servant leader akan diterapkan oleh anggota Polri dimanapun dia berada baik saat berdinas

maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari di tengah masyarakat, karena nilai tersebut akan

terdisposisikan dari masa lalu, saat ini dan di masa yang akan datang.

‘Menginjeksi’ SL ke dalam organisasi Polri adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan

organisasi yang dari pandangan sosiologik meningkatkan human capital dan social capital

secara bersamaan. Memasukkan doktrin SL pada proses pembentukan Perwira Polri atau

pendidikan pengembangan manajemen komando (Sespimma, Sespimmen atau Sespimti)

merupakan bentuk peningkatan atau pemeliharaan human capital.

Social capital terdiri dari dimensi struktur, hubungan dan kognitif (Tsai & Ghoshal,

1998). Membangun social capital dengan SL berarti penerapan SL mendukung pembangunan

pada ketiga dimensi tersebut. Dimensi pertama, dimensi struktur terbentuk dari hasil komitmen

yang diberikan dari berbagai pihak dalam jaringan sosial. Komitmen mengembangkan orang

lain dalam SL mendukung pembangunan dimensi struktur. Dimensi kedua, dimensi hubungan

dari social capital mengacu kepada aset fungsional yang bersumber dari jaringan hubungan,

seperti kepercayaan dan sikap dipercaya. Dimensi ini dibangun melalui kesadaran (awareness)

pemimpin SL yang berusaha untuk selalu memberi contoh terbaik bagi anak buahnya sehingga

melahirkan kepercayaan anak buah. Dimensi ketiga, dimensi kognitif mengacu kepada sumber

daya yang diwujudkan dalam representasi bersama dan makna kolektif. Dimensi ini dibangun

dari penekanan SL untuk mengembangkan anak buah dalam rangka mempersiapkan mereka

untuk menjadi servant-leader berikutnya.

Nilai pelayanan yang dibangun dan dilestarikan secara berkesinambungan dan konsisten

merupakan sumber daya besar bagi Polri sebagai organisasi yang bergerak di bidang pelayanan
4
masyarakat. Keserasian antara dimensi SL dengan dimensi social capital merupakan salah satu

dasar yang menguatkan penulis dalam memilih SL sebagai salah satu variabel penelitiannya.

5
DAFTAR PUSTAKA

Bourdieu, P. (1993). Arena Produksi Kultural - Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. (Y.
Santosa, Trans.) New York: Columbia University Press.

Greenleaf, R. K. (1970). The Servant as Leader. Indianapolis: The Robert K Greenleaf


Center.

Gregory Stone, A., Russell, R. F., & Patterson, K. (2004). Transformational versus servant
leadership: A difference in leader focus. Leadership & Organization Development
Journal, 25(4), 349–361. https://doi.org/10.1108/01437730410538671

Hoch, J. E., Bommer, W. H., Dulebohn, J. H., & Wu, D. (2018). Do Ethical, Authentic,
and Servant Leadership Explain Variance Above and Beyond Transformational
Leadership? A Meta-Analysis. Journal of Management, 44(2), 501–529.
https://doi.org/10.1177/0149206316665461

Laub, J. (2018). Leveraging the Power of Servant Leadership : Building High Performing
Organizations (Palgrave Studies in Workpla ce Spirituality and Fulfillment). Palgrave
Macmillan.

Ling, Q., Liu, F., & Wu, X. (2017). Servant Versus Authentic Leadership: Assessing
Effectiveness in China’s Hospitality Industry. Cornell Hospitality Quarterly, 58(1),
53–68. https://doi.org/10.1177/1938965516641515

Lubis, A. (2016). Postmodernisme - Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.

Lubis, A. Y. (2014). Filsafat ilmu : Klasik hingga kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Suki, Sutrisno (n.d.). Menakar Ilmu Kepolisian (Sebuah Penelusuran Sosiologik).

Sutrisno. (2016). Sosiologi Kepolisian - Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi


Masyarakat Sipil Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

6
Tsai, W., & Ghoshal, S. (1998). Social Capital and Value Creation : The Role of Intrafirm
Networks Wenpin Tsai ; Sumantra Ghoshal Social Capital and Value Creation : The
Role Of Intrafirm Networks. The Academy of Management Journal, 41(4), 464–476.
https://doi.org/10.11634/216796061302331

Van Dierendonck, D. (2011). Servant leadership: A review and synthesis. Journal of


Management, 37(4), 1228–1261. https://doi.org/10.1177/0149206310380462

Whiteford, S. C., & Ganem, N. M. (2015, 10 7). www.workinprogress.oowsection.org.


Retrieved from Is there such a thing as “A Sociology of Leadership?”:
https://workinprogress.oowsection.org/2015/10/27/is-there-such-a-thing-as-a-
sociology-of-leadership/comment-page-1/

Anda mungkin juga menyukai