Anda di halaman 1dari 29

TUGAS MAKALAH

PENGAMBILAN KEPUTUSAN

OLEH

I Wayan Angga Kusumanata


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting

dalam sebuah organisasi baik organisasi dalam skala besar maupun

kecil. Pada organisasi berskala besar, sumber daya manusia dipandang

sebagai unsur yang sangat menentukan dalam proses pengembangan

usaha, peran sumber daya manusia menjadi semakin penting.

Perkembangan pemerintahan akan terealisasi apabila ditunjang oleh aparatur

negara yang berkualitas.

Kepemimpinan merupakan salah satu isu dalam manajemen yang

masih cukup menarik untuk diperbincangkan hingga dewasa ini. Media

massa, baik elektronik maupun cetak, seringkali menampilkan opini dan

pembicaraan yang membahas seputar kepemimpinan. Peran kepemimpinan

yang sangat strategis dan penting bagi pencapaian misi, visi dan tujuan

suatu organisasi, merupakan salah satu motif yang mendorong manusia untuk

selalu menyelidiki seluk-beluk yang terkait dengan kepemimpinan.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap pimpinan

berkewajiban memberikan perhatian yang sungguh-sungguh untuk

membina, menggerakkan, mengarahkan semua potensi karyawan

dilingkungannya agar terwujud volume dan beban kerja yang terarah

pada tujuan. Pimpinan perlu melakukan pembinaan yang sungguh-sungguh


terhadap karyawan agar dapat menimbulkan kepuasan dan komitmen

organisasi sehinga pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja yang tinggi.

Setiap pimpinan di lingkungan organisasi kerja, selalu

memerlukan sejumlah pegawai sebagai pembantunya dalam melaksanakan

tugas-tugas yang menjadi volume dan beban kerja unit masing-masing.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap pimpinan berkewajiban

memberikan perhatian yang sungguh-sungguh untuk membina,

menggerakkan dan mengarahkan semua potensi pegawai di lingkungannya

agar terwujud volume dan beban kerja yang terarah pada tujuan. Pimpinan

perlu melakukan pembinaan yang sungguh-sungguh terhadap pegawai di

lingkungannya agar dapat meningkatkan kepuasan kerja, komitmen

organisasi dan kinerja yang tinggi.

Setiap pimpinan dalam memberikan perhatian untuk membina,

menggerakkan dan mengarahkan semua potensi pegawai di

lingkungannya memiliki pola yang berbeda-beda antara satu dengan yang

lainnya. Perbedaan itu disebabkan oleh gaya kepemimpinan yang

berbeda-beda pula dari setiap pemimpin. Kesesuaian antara gaya

kepemimpinan, norma-norma dan kultur organisasi dipandang sebagai suatu

prasyarat kunci untuk kesuksesan prestasi tujuan organisasi.

Aspek-aspek yang mendukung segala bentuk tugas dan fungsi

Kantor Kecamatan Muara Duaharuslah berkualitas dan profesional salah

satunya adalah sumber daya manusia yang notabene adalah pegawai yang

memiliki kompetensi, kualitas yang baik serta mempunyai integritas dan


dedikasi yang baik terhadap kesejahtraan masyarakat. Oleh karena itu,

menyadari tugas dan fungsi pokok yang dijalankan, Pimpinan berperan

penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya yang dimilikinya melalui

kebijakan-kebijakannya karena pegawai adalah penggerak utama lajunya

organisasi melalui program-program yang terencana dan berkesinambungan

sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Krisis kepemimpinan disebabkan karena makin langkanya kepedulian

pada kepentingan orang banyak dan lingkungan kerja, masalah mendasar

yang menandai kekurangan ini. karena adanya krisis komitmen.

Kebanyakan pemimpin tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab

untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah organisasi bersama,

masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan dalam

kebersamaan.

Melihat beberapa pentingnya pengaruh seorang pemimpin didalam

mengoperasikan organisasi dengan individu yang berbeda-beda, maka seorang

pemimpin harus benar–benar berkualitas agar dapat memimpin bawahannya

dengan baik sehingga produktivitas dan tujuan organisasi dapat dicapai secara

efektif dan efisien. Pimpinan yang lebih sering mendorong bawahannya untuk

ikut ambil bagian dalam memberikan saran-saran dan ide-ide, tapi masalahnya

pimpinan lebih sering aktif di luar kantor dari pada di dalam kantor dalam hal ini

pimpinan menggunakan gaya kepemimpinan kendali bebas (Laissez Faire).

Dengan demikian penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Gaya

Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai. Isu tentang etika dalam


pelayanan publik kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di

negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satukelemahan dasar dalam

pelayanan publik adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen

yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur

tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu

elemenyang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus

keberhasilan organisasipelayanan publik itu sendiri.

Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai

dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan,

sampai padamanajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan

tersebut. Dalam konteksini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat

dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor

telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan-

kepentingan yang lain. Misalnya, denganmenggunakan nilai-nilai moral yang

berlaku umum (six great ideas) seperti nilai kebenaran(truth), kebaikan

(goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan(justice), kita

dapat menilai apakah para aktor tersebut jujur atau tidak dalam

penyusunankebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit

dan jabatan yangtersedia, dan bohong atau tidak dalam melaporkan hasil

manajemen pelayanan.

Dalam pelayanan publik, perbuatan melanggar moral atau etika sulit

ditelusuri dandipersoalkan karena adanya kebiasaan masyarakat kita melarang

orang “membuka rahasia”atau mengancam mereka yang mengadu. Sementara itu,


kita juga menghadapi tantangan kedepan semakin berat karena standard penilaian

etika pelayanan terus berubah sesuaiperkembangan paradigmanya. Dan secara

substantif, kita juga tidak mudah mencapaikedewasaan dan otonomi beretika

karena penuh dengan dilema. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pelanggaran

moral atau etika dalam pelayanan publik akan terusmeningkat.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan mendasar yang hendak

ditelaah dalam makalah ini adalah: “Bagaimanakah Gaya Kepemimpinan

dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai

C. Tujuan Makalah

Untuk memberikan tambahan wawasan dan masukan pengetahuan

bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam meningkatkan

kinerja pegawai untuk generasi penerus.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. KONSEP ETIKA PELAYANAN PUBLIK

Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti,

salah satudiantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau

akhlak dan watak. Filsufbesar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata

etika ini dalam menggambarkanfilsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa

dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan memperhatikan beberapa

sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu

etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yangmenjadi pegangan

bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, ataudisebut

dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering

dikenaldengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk,

yang acapkali disebut“filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat

yang ditulis dalam TheEncyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika

sebagai (1) way of life; (2) moral codeatau rules of conduct; dan (3) penelitian

tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihatDenhardt, 1988: 28).

Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah

suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah

dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung

maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan

intensitas kebutuhan masyarakat,kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini


lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu

delivery system yang sehat. Pelayanan publik inidapat dilihat sehari-hari di bidang

administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih,

telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan pelayanan publik adalah

menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang

terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh

masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang

memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.

Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan

sebagaifilsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules

of conduct (aturanberperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi

pelayanan publik atauadministrator publik (lihat Denhardt, 1988).

Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang

dimaksudkandengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi

publik dan atau pemberianpelayanan publik (delivery system) yang didasarkan

atas serangkaian tuntunan perilaku (rulesof conduct) atau kode etik yang mengatur

hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atausebaliknya yang “tidak baik” agar

dihindarkan.

Pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam prakteknya dilakukan oleh

lembaga atau organisasi milik pemerintah yang diserahkan kepadanya tanggung

jawab sebagai implementator kebijakan tersebut baik dalam bentuk instruksi,

peraturan pemerintah maupun yang tertuang dalam peraturan daerah. Kebijakan

harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, daripada


apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Karena itu

definisi mengenai kebijakan lebih tepat bila mencakup pula arah atau tindakan,

tidak hanya semata-mata menyangkut usulan tindakan.

Menurut buku Kamus Administrasi Publik, Chandler dan Plano, 1988: 107

(dalam Keban, 2004: 56), “Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis

terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-

masalah publik atau pemerintah.”

Suatu kebijakan publik tidak hanya mencakup keputusan untuk

menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan

beserta pelaksanaannya. Kebijakan sangat penting karena kedudukannya sebagai

penentu tentang apa yang hendak dikerjakan berdasarkan atas masalah, kebutuhan

atau aspirasi tertentu.

Kebijakan publik merupakan konsep yang sangat kompleks, hal ini bisa

dilihat dari banyaknya definisi mengenai kebijakan publik. Secara umum

kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang nyata dan mempunyai

tujuan tertentu. Dibawah ini merupakan definisi-definisi kebijakan publik yang

mempunyai persamaan.

Menurut Dye (dalam Islamy, 1997: 18) mendefinisikan kebijakan publik

adalah :

Wahetver government Choose to do or not to do” (“ Apapun yang dipilih


pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”). Selanjutnya Dye
mengatakan bahwa pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka
harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi
semua ”tindakan” pemerintah bukan semata-mata merupakan keinginan
pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah saja. Disamping itu sesuatu
yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara.
Hal ini disebabkan karena “ sesuatu yang tidak dilakukan “ oleh
pemerintah akan mempunyai (dampak) yang sama besarnya dengan “
sesuatu yang dilakukan“ oleh pemerintah.

Kemudian Edwards III dan Sharkansy ( dalam Islamy, 1997: 19)

mengartikan definisi Kebijakan publik adalah :

….is Whats Goverments say and do, or not do. It is the goals or puposes of
gevrement programs…” (“adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau
tujuan programa-programa pemerintah…”). Edwards dan Sharkansky
kemudian mengatakan itu ditetapkan secara jelas dalam peraturan-
peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat
teras pemerintah atau programa-programa dan tindakan-tindakan yang
dilakukan pemerintah”.

Hal yang sama juga dikemukakan Anderson (dalam Islamy, 1997: 19)

mengatakan kebijakan publik adalah: “ Public policies are thoese policies

developed by govermental bodies and officials” (kebijakan negara adalah

kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan dan pejabat-pejabat

pemerintah). Menurut Anderson implikasi dari pengertian kebijakan negara

tersebut adalah :

1) Bahwa kebijakan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau

tindakan yang berorientasi pada tujuan.

2) Bahwa kebijkana negara berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan

pejabat pemerintah.

3) Bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan

oleh pemerintah, jadi bukan pemerintah apa yang mereka bermaksud akan

melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.


4) Kebijakan negara itu bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan

pemerintah mengenai masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti :

merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

5) Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif-di dasarkan

atau selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat

memaksa (dalam Islamy, 1997: 19)

Kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang mempunyai

tujuan, disamping itu terdapat cara pencapaian dari tujuan tersebut. Hal ini dilihat

dari definisi kebijakan publik menurut Nakamura dan Smallwood (dalam Wahab,

1990: 32) sebagai berikut :

“memandang kebijakan negara dalam tiga aspek, yakni perumusan


kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan, dan evaluasi kebijakan. Dalam
hal ini mereka berpendapat bahwa kebijakan negara adalah serentetan
instruksi/perintah dari para pembuat kebijakan yang ditujukan kepada para
pelaksanaan kebijaksanaan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut”.

Menurut Wilson (dalam Keban, 2004: 57) yang dikutip Peterson (2003)

tipe kebijakan terdiri atas :

1) Majoritarian cenderung mendristibusikan biaya dan juga menerima


benefit / keuntungan.
2) Client membebani masyarakat luas melalui subsidi, yang kemudian
dinikmati oleh segelintir orang saja.
3) Entrepreneurial cenderung mengonsentrasikan atau membebani biaya
pada sekelompok orang saja, tetapi kegunaan atau benefit dinikmati secara
luas.
4) Interest group mengupayakan biaya / hasil keuntungan pada kelompok
tertentu saja.
Kebijaksanaan Negara mungkin bentuk positif dapat pula berbentuk

negatif. Selanjutnya menurut Isworo (1996 : 229), bahwa proses kebijakan publik

terdiri dari langkah–langkah sebagai berikut :

a. Identifikasi masalah yang akan mengarah pada permintaan untuk


mengatasai masalah tersebut.
b. Formulasi kebijakan berupa langkah yang dilakukan setelah pemilihan
alternatif.
c. Legitimasi dari kebijakan
d. Implementasi
e. Evaluasi melalui berbagai sumber untuk melihat sejauh mana usaha
pencapaian tujuan.

Beberapa konsep tersebut memberikan gambaran bahwa kebijakan publik

terjadi karena tindakan-tindakan pemerintah dalam mengatasi masalah yang

timbul dalam masyarakat sehingga melahirkan keputusan-keputusan tersebut.

Menyimpulkan beragam pengertian mengenai kebijakan publik tersebut

Islamy (1994) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan

yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang

mepunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh

masyarakat, implikasi pengertian tersebut adalah :

a. Bahwa kebijakan publik itu bentu perdananya adalah penetapan tindakan-


tindakan pemerintah
b. Bahwa Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tapi juga
dilaksanakan dalam bentuk nyata
c. Setiap kebijakan publik dilandasi denganmaksud dan tujuan tertentu
d. Kebijakan publik pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan seluruh
masyarakat.

B. Konsep Kepemimpinan

Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulainya

sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok

untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau


beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain,

terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini

tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan

kelebihan-kelebihan tertentu.

Kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku

orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang

mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah kemampuan

mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Dari

berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli dapat diketahui bahwa konsepsi

kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang yang ingin

mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan

pengalaman.

Hampir sebagian besar pendefinisian kepemimpinan memiliki titik

kesamaan kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita

menemukan bahwa konseptualisasi kepemimpinan dalam banyak hal berbeda.

Perbedaan dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya

mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”.

Secara etimologi pemimpin berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti

bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalamnya terdapat dua pihak yaitu yang

dipimpin (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambah awalan

“pe”menjadi “pemimpin” (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak

lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut

bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Pemimpin adalah seorang


yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi individu dan kelompok

untuk dapat bekerjasama mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hendry

Pratt Fairchild dalam Kartini Kartono (2006:38-39) mengemukakan bahwa

pemimpin dalam pengertian yang luas adalah seseorang yang memimpin

dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukkan,

mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise,

kekuasaan atau posisi. Sedangkan dalam pengertian yang terbatas pemimpin

ialah seseorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-

kualitas persuasifnya dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para

pengikutnya.

Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang

kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari

pekerjaannya dalam mencapai tujuan.

Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan

wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para

bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi

demi mencapai tujuan perusahaan.

Seorang pemimpin (leader) dalam penerapannya mengandung

konsekuensi terhadap dirinya, antara lain; harus berani mengambil keputusan

sendiri secara tegas dan tepat (decision making), harus berani menerima resiko

sendiri; dan harus berani menerima tanggung jawab sendiri (the principle of

absoluteness of responsibility).
Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka penulis dapat mengambil

kesimpulan bahwa pemimpin merupakan pribadi yang spesial, terpilih,

berwibawa dan memiliki kelebihan, sehingga mampu memotivasi serta

mempengaruhi individu atau kelompok untuk hal-hal tertentu.

C. Karakteristik Kepemimpinan

Kepemimpinan mungkin hanya terbentuk dalam suatu lingkungan

yang secara dinamis melibatkan hubungan di antara sejumlah orang.

Kongkritnya, seorang hanya biasa mengklaim dirinya sebagai seorang

pemimpin jika ia memiliki sejumlah pengikut. Selanjutnya antara para pemimpin

dan pengikutnya terjalin ikatan emosional dan rasional menyangkut kesamaan

nilai yang ingin disebar dan ditanam serta kesamaan tujuan yang ingin dicapai.

Walupun dalam realitasnya sang pemimpinlah yang biasanya memperkenalkan

atau bahkan merumuskan nilai dan tujuan.

Dalam kepemimpinan ada beberapa unsur dan karakter yang sangat

menentukan untuk pencapaian tujuan suatu organisasi. Menurut Gibb dalam

Salusu (2006:203), ada empat elemen utama dalam kepemimpinan yang saling

berkaitan satu sama lain, yaitu Pemimpin yang menampilkan kepribadian

pemimpin, Kelompok, Pengikut yang muncul dengan berbagai kebutuhannya,

sikap serta masalah-masalahnya, dan situasi yang meliputi keadaan fisik dan

tugas kelompok. Selanjutnya Blake dan Mounton dalam Salusu (2006:204-205),

menawarkan enam elemen yang dianggapnya dapat menggambarkan efektifnya

suatu kepemimpinan. Tiga elemen pertama berkaitan dengan bagaimana

seorang pemimpin menggerakkan pengaruhnya terhadap dunia luar, yaitu


Initiative, Inquiry dan Advokasi. Tiga elemen yang lainnya yaitu, Conflict

Solving, Decision making, dan Criticque. Berhubungan dengan bagaimana

memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam organisasi untuk dapat

mencapai hasil yang benar. Adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut :

1. Inisiatif. Seorang pemimpin akan mengambil inisiatif apabila ia

melakukan suatu aktivitas tertentu, memulai sesuatu yang baru atau

menghentikan sesuatu yang dikerjakan.

2. Inquiry (menyelidiki). Pemimpin membutuhkan yang komprehensif

mengenai bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu,

ia perlu mempelajari latar belakang dari suatu masalah, prosedur-prosedur

yang harus ditempuh, dan tentang orang-orang yang terlibat dalam

pekerjaan yang dibidanginya.

3. Advocacy (Dukungan atau Dorongan). Aspek memberi dorongan dan

dukungan sangat penting bagi kepemimpinan seseorang karena sering

timbul keraguan atau kesulitan mengambil keputusan di antar para

eksekutif dalam organisasi atau karena adanya ide yang baik tetapi

yang bersangkutan kurang mampu untuk mempertahankannya.

4. Cinflict Solving (memecahkan Masalah). Apabila timbul masalah atu

konflik dalam organisasi, maka sudah menjadi kewajiban pemimpin

untuk menyelesaikannya. Ia perlu mencari sumber dari konflik

tersebut, dan menyelesaikannya dengan musyawarah untuk mufakat.

5. Decision Making (Pengambilan Keputusan). Keputusan yang dibuat

hendaknya keputusan yang baik, tidak mengecewakan, tidak membuat


frustasi, yaitu keputusan yang dapat memberi keuntungan bagi banyak

orang.

6. Critique (Kritik). Kritik disini sebagai proses mengevaluasi, menilai

dan jika sesuatu yang telah diperbuat itu baik adanya maka tindakan

serupa untuk masa-masa mendatang mungkin sebaiknya tetap dijalankan.

Dalam Ryaas Rasyid (2000:37) dijelaskan beberapa karakter

kepemimpinan yang berbeda satu sama lain, yaitu sebagai berikut :

1. Kepemimpinan yang Sensitif

Kepemimpinan ini ditandai dengan adanya kemampuan untuk secara dini

memahami dinamika perkembangan masyarakat, mengenai apa yang

mereka butuhkan, mengusahakan agar ia menjadi pihak pertama yang

memberi perhatian terhadap kebutuhan tersebut. Dalam karakter

kepemimpinan tersebut, kemampuan berkomunikasi daripada

pemimpin pemerintahan yang disertai pada penerapan transformasi di

dalam proses pengambilan keputusan merupakan prasyarat bagi

pemerintah dalam mengemban segala tugas-tugasnya.

2. Kepemimpinan yang Responsif

Dalam konteks ini, pemimpin lebih aktif mengamati dinamika

masyarakat dan secara kreatif berupaya memahami kebutuhan mereka,

maka kepemimpinan yang responsif lahir lebih banyak berperan

menjawab aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disalurkan melalui

berbagai media komunikasi, menghayati suatu sikap dasar untuk

mendengar suara rakyat, mau mengeluarkan energi dan menggunakan


waktunya secara cepat untuk menjawab pertanyaan, menampung setiap

keluhan, memperhatikan setiap tuntutan dan memanfaatkan setiap

dukungan masyarakat tentang suatu kepentingan umum.

3. Kepemimpinan yang Defensif

Karakter kepemimpinan ini ditandai dengan sikap yang egoistik,

merasa paling benar, walaupun pada saat yang sama memiliki

kemampuan argumentasi yang tinggi dalam berhadapan dengan

masyarakat. Komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat cukup

terpelihara, tetapi pada umumnya pemerintah selalu mengambil posisi

sebagai pihak yang lebih benar, lebih mengerti. Oleh karena itu,

keputusan dan penilaiannya atas sesuatu isu lebih patut diikuti oleh

masyarakat. Posisi masyarakat lemah, sekalipun tetap tersedia ruang

bagi mereka untuk bertanya , menyampaikan keluhan, aspirasi dan lain

sebagainya. Karakter kepemimpinan semacam ini bisa berhasil dalam

jangka waktu tertentu. Tetapi ketika berhadapan dengan masyarakat yang

semakin berkembang, baik secara sosial-ekonomi maupun secara

intelektualitas, karakter defensif ini akan sulit untuk melakukan

manuver.

4. Kepemimpinan yang Represif

Karakter kepemimpinan ini cenderung sama egois dan arogannya

dengan karakter kepemimpinan defensif, tetapi lebih buruk lagi karena

tidak memiliki kemampuan argumentasi atau justifikasi dalam

mempertahankan keputusan atau penilaiannya terhadap suatu isu


ketika berhadapan dengan masyarakat. Karakter kepemimpinan yang

represif ini secara total selalu merupakan beban yang berat bagi

masyarakat. Ia bukan saja tidak memiliki kemampuan untuk

menyelesaikan berbagai masalah fundamental dalam masyarakat,

tetapi bahkan cenderung merusak moralitas masyarakat. Singkatnya

kepemimpinan yang represif ini lebih mewakili sifat diktatorial.


BAB III

PEMBAHASAN

A. PENTINGNYA ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK

Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi

dari politik(dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral,

bebas dari pengaruhpolitik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi

kritik bermunculan menentangajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun

1930-an, sehingga perhatian mulaiditujukan kepada keterlibatan para

administrator dalam keputusan-keputusan publik ataukebijakan publik. Sejak saat

ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap“permainan etika”

yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilanseorang

administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada

pencapaiankriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya,

tetapi juga kriteriamoralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public

interest atau kepentingan umum

(lihat Henry, 1995: 400).

Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah

adanya publicinterest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh

pemerintah karena pemerintahlahyang memiliki “tanggung jawab” atau

responsibility. Dalam memberikan pelayanan inipemerintah diharapkan secara

profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusanpolitik secara tepat

mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.


Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki

tuntunan atau pegangankode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa

semua aparat pemerintah adalah pihakyang telah teruji pasti selalu membela

kepentingan publik atau masyarakatnya, tidakselamanya benar. Banyak kasus

membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,kelompok, partai dan bahkan

struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorangbirokrat atau aparat

pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi”dalam

bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.

Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang

memberikanpelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada

aspek kemanusiaan dalamorganisasi (organizational humanism) telah

disampaikan oleh Denhardt. Dalam literaturtentang aliran human relations dan

human resources, telah dianjurkan agar manajer harusbersikap etis, yaitu

memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi.

Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for

people) danpengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan

produktivitas, kepuasan danpengembangan kelembagaan.

Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang

terkadangbegitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus.

Mempekerjakan pegawai negeridengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara

orang dengan pekerjaannya” merupakanprinsip yang perlu dipertanyakan secara

etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang

dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebihmaju. Kebijakan
affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada etikakarena

akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya,

dsb.,untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu

pilihan moral(moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah

berdasarkan prinsip justice –as – fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu

bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dankesempatan sosial akan terasa adil bila

hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepadasetiap orang, dan khususnya

terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.Kebijakan

mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer

saatini.

Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang

bertentangandengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat

besar. Pelayanan publiktidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan

kata lain begitu kompleksitassifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian

pelayanan itu sendiri maupun mengenai caraterbaik pemberian pelayanan publik

itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan inimendorong pemberi pelayanan

publik mengambil langkah-langkah profesional yangdidasarkan kepada

“keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang

seringmenjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk

bertindak tidaksesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.

Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Palembang, pelanggaran

moral danetika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan

program, proyek, dankegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain


organisasi pelayanan publik(pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas)

yang sangat bias terhadap kepentingantertentu, proses manajemen pelayanan

publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dariperencanaan teknis,

pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itunampak dari

sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb.

Dantidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah

diungkapkan sebagaisalah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan

utama yang menimbulkantragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan

aturan hukum dan perundangundangankita, sikap mental manusia, nilai-nilai

sosial budaya yang kurang mendukung,sejarah dan latarbelakang kenegaraan,

globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan,kedewasaan dalam berpolitik,

dsb. Bagi Palembang, pembenahan moralitas yang terjadiselama ini masih sebatas

lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahanmoral itu

sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di

masamendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses

“pembusukan” terusterjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.

a) Gaya kepemimpinan Otokratis

Dalam tipe kepemimpinan ini, pemimpin menentukan sendiri "policy"

dan dalam rencana untuk kelompoknya, membuat keputusan-keputusan

sendiri, namun mendapatkan tanggung jawab penuh. Bawahan harus patuh dan

mengikuti perintahnya, jadi pemimpin tersebut menentukan atau mendiktekan

aktivitas dari anggotanya. Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa mereka

mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mengekspresikan


kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk perintah-perintah langsung kepada

bawahan. Dalam kepemimpinan otokrasi terjadi adanya keketatan dalam

pengawasan, sehingga sukar bagi bawahan dalam memuaskan kebutuhan

egoistisnya.

b) Gaya Kepemimpinan Pengambil Keputusan sebagai berikut;

“Dalam Menentukan keputusan–keputusan tugas Pemimpin kadang

menentukan sendiri keputusan yang akan di ambil dan terkadang juga

berkonsultasi dulu terhadap bawahannya, Sedangkan Dalam memberikan

perintah Pemimpin juga tidak pernah membentak atau memaksa apalagi

melototkan mata kepada bawahannya dia selalu lembut dan sopan dalam

memberikan sebuah perintah.

“Tentang Tingkat kedisiplinan Pemimpin dalam melakukan pengawasan

terhadap para pegawai sangatlah cukup disiplin terutama dalam hal tata

tertib yang telah di tetapkan, Kalau tentang sikap kepemimpinnan Pemimpin,

cukup koordinatif dan sangat dekat dengan bawahannya.”

“Mengenai penyelesaian masalah dalam organisasi Pemimpin tetap

mengkoordinasikan terlebih dahulu kepada bawahannya barulah Kepala Dinas

mengambil langkah – langkah untuk penyelesaian masalah tersebut.”

Dari beberapa pernyataan diatas menunjukkan bahwa Pemimpin juga

menerapkan Gaya kepemimpinan Otokratis walaupun Itu tidak dominan.

c) Gaya Kepemimpinan Demokratis

Dalam gaya ini pemimpin sering mengadakan konsultasi dengan

mengikuti bawahannya dan aktif dalam menentukan rencana kerja yang


berhubungan dengan kelompok. Disini pemimpin seperti moderator atau

koordinator dan tidak memegang peranan seperti pada kepemimpinan

otoriter. Partisipan digunakan dan kondisi yang tepat, akan menjadikan hal

yang efektif. Maksudnya supaya dapat memberikan kesempatan pada bawahannya

untuk mengisi atau memperoleh kebutuhan egoistisnya dan memotivasi bawahan

dalam menyelesaikan tugasnya untuk meningkatkan produktivitasnya pada

pemimpin demokratis, sering mendorong bawahan untuk ikut ambil bagian

dalam hal tujuan-tujuan dan metode-metode serta menyokong ide-ide dan

saran-saran. Disini pemimpin mencoba mengutamakan "human relation"

(hubungan antar manusia) yang baik dan mengerjakan secara lancar.

d) Gaya Kepemimpinan Laises Faire.

yaitu gaya kepemimpinan kendali bebas. Pendekatan ini bukan berarti

tidak adanya sama sekali pimpinan. Gaya ini berasumsi bahwa suatu tugas

disajikan kepada kelompok yang biasanya menentukan teknik-teknik mereka

sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam rangka mencapai sasaran-sasaran

dan kebiiakan organisasi. Kepemimpinan pada tipe ini melaksanakan perannya

atas dasar aktivitas kelompok dan pimpinan kurang mengadakan pengontrolan

terhadap bawahannya. Pada tipe ini pemimpin akan meletakkan tanggung

jawab keputusan sepenuhnya kepada para bawahannya, pemimpin akan sedikit

saja atau hampir tidak sama sekali memberikan pengarahan. Pemimpin ini

lebih aktif di luar dari pada di dalam organisasi, Pemimpin pada gaya ini

sifatnya pasif dan seolah-olah tidak mampu memberikan pengaruhnya kepada

bawahannya.
BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab-bab

sebelumnya, maka penulis akan mengambil beberapa kesimpulan dari hasil

makalah yang dituliskan serta memberikan saran sebagai langkah terakhir dalam

penulisan makalah ini.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil Penulisan yang telah dibahas pada bab

sebelumnya, maka dapat dinyatakan bahwa Pemimpin dalam menjalankan

kepemimpinannya menerapkan ketiga gaya kepemimpinan yang

dikemukakan oleh White & Lippit, yakni gaya kepemimpinan Otokratis,

gaya kepemimpinan Demokratis, dan gaya kepemimpinan Laizzes Faire.

Namun intensitas penerapan gaya kepemimpinannya masing-masing

berbeda karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Gaya

kepemimpinan otokratis hanya sebagian kecil diterapkan. Pemimpin

Biasanya Menentukan Sendiri keputusan yang akan di ambil dan cukup

disiplin dalam melakukan pengawasan terhadap bawahannya,

B. Saran

Dari hasil Pembahsan dan Kesimpulan, dengan melihat prospek ke

depan, maka penulis dapat mengemukakan beberapa hal yang kemudian

dijadikan sebagai bahan rekomendasi, yaitu sebagai berikut :


1. Pemimpin Pemerintahan dapat mempertahankan dan terus

mengembangkan gaya kepemimpinan demokratis yang saat ini masih

diterapkan agar pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi dapat

dijalankan dengan lebih baik lagi.

2. Hendaknya dalam menjalankan tugasnya setiap pemimpin harus lebih

terbuka dan transparan terhadap seluruh bawahannya. Selain itu,

hendaknya kantor kePemimpinan menambah pegawai yang mempunyai

usia produktif maka pelayanan dapat lebih efektif lagi.

3. Walaupun dengan penerapan gaya kepemimpinan demokratis Insatnsi

Pemerintah saat ini berjalan dengan baik, namun kebebasan harus

ditunjang dengan pengawasan yang baik demi mengembangkan

kedisiplinan pegawai tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport,
Connecticut:Greenwood Press.
Dale, Robert D. 1992. Pelayanan sebagai Pemimpin. Gandum Mas: Malang.
Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition.
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.
Handoko, Hani T, dan Reksohadiprodjo Sukanto. 1996. Organisasi
Perusahaan. Edisi kedua Yogyakarta : BPFE.
Harbani, Pasolong. 2008. Kepemimpinan Birokrasi, Bandung : CV.Alfabeta.
Heidjrachman, H. Suad. 2002. Manajemen Personalia. Yogyakarta : BPFE.
Hersey, Paul. 1994. Kunci Sukses Pemimpin Situasional. Jakarta : Delaprasata.
Kartono, Kartini. 2006. Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Kepemimpinan
Abnormal Itu?. PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta.
Kristiadi. 1996. Kepemimpinan. Jakarta: LAN RI
Nawawi, Hadari & Hadari, M. Martini. 2004. Kepemimpinan yang Efektif. Gadjah
Mada University Press : Yogyakarta
Mangkunegara, A. A. P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Mathis, Robert dan John Jackson. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia
Buku 2. Jakarta: PT. Salemba 4.
Pangewa, Maharuddin. 1989. Kepemimpinan Dalam Proses Administrasi.
Ujung Pandang: FPIPS IKIP.
Rasyid M Ryaas. 2000. Makna Pemerintahan. Mutiara Sumber Widya : Jakarta
Rivai, Veithzal. 2006. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Edisi Kedua. PT.
Raja Grafindo Persada : Jakarta
Robbins, Stephen. P. 2002. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Terjemahan
Oleh Halida , Dewi Sartika. Erlangga
Salusu. 2006. Pengambilan Keputusan Stratejik. PT. Grasindo : Jakarta.
Sedarmayanti. 2007. Manajemen SDM cetakan 1. PT. Refika Aditama. Bandung.
Perry, James L. 1989. Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA:
Jossey- Bass Limited.
Siagian P. Sondang. 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta:
Rineka Cipta.
Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public Administration. New
York, N.Y.: Longman.

Anda mungkin juga menyukai