Anda di halaman 1dari 197

1.

PREMEDIKASI

Premedikasi adalah pemberian obat-obatan 1-2 jam tertentu sebelum tindakan

anestesi, untuk membantu induksi anestesi, pemeliharaan, dan masa pemulihan

yang baik.

Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat

disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan saraf simpatis untuk

menimbulkan perubahan dalam berbagai derajat yang mengenai setiap sistem

dalam tubuh. Banyak dari perubahan ini yang disebabkan oleh suplai darah ke

jaringan, sebagian karena stimulasi eferen simpatis yang ke pembuluh darah dan

sebagian karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergik dari rasa

takut timbul di korteks serebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedatif

yang mencegah kemampuan untuk menjadi takut bila ada penyebab takut yang

sesuai. Tanda akhir dari reaksi adrenergik terhadap rasa takut ialah meningkatnya

detak jantung dan tekanan darah.

TUJUAN PREMEDIKASI

Tujuan pemberian obat premedikasi antara lain:

1. Mengurangi rasa cemas, memberikan efek sedasi psikis dan amnesia,

misalnya: diazepam, alprazolam, dan midazolam.

2. Memberi efek analgesia dan memudahkan induksi, misalnya: morfin,

petidin, fentanil, sufentanil, alfentanil dan remifentanil.

3. Memberi efek antisialoque, misalnya: sulfas atropin, glikopirolat, dan

skopolamin.

1
4. Mencegah terjadinya resiko aspirasi lambung dengan mengurangi

volume cairan lambung dan menaikkan pH cairan lambung, misalnya:

ranitidin, antasida, dan proton pump inhibitor (PPI).

5. Mencegah Postoperative Nausea and Vomiting (PONV), misalnya:

ondansetron, tropisetron, granisetron, ramosetron, dan metoklopramide.

6. Mencegah reaksi alergi, misalnya: dexamethason.

7. Mencegah refleks yang tidak diinginkan, misalnya: lidokain

8. Sebagai profilaksis seperti untuk mencegah infeksi, mencegah trombosis

vena dalam, mencegah gagal ginjal, mencegah komplikasi jantung, dll

PERTIMBANGAN PEMBERIAN PREMEDIKASI

Premedikasi ini tidak boleh diberikan secara otomatis/rutin tetapi harus

berdasar pada keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah

kunjungan anestesi dilakukan. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi

yang akan digunakan harus selalu dengan memperhitungkan:

- Umur pasien

- Berat badan

- Derajat kecemasan

- Riwayat anestesi sebelumnya (terutama pada anak)

- Riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien pernah

dianestesi sebelumnya)

- Riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat

mempengarungi jalannya anestesi (misalnya MAO inhibitor, kortikosteroid,

antibiotik tertentu)

2
- Perkiraan lama operasi

- Macamnya operasi (misalnya terencana, darurat pasien rawat inap atau rawat

jalan)

- Rencana obat anestesi yang akan digunakan.

PEMBERIAN PREMEDIKASI

Pemberian obat yang aman harus berdasarkan the five ‘right’ principle

(Turkoski et al, 1999) yang mencakup 5 aspek, yaitu the right drug, right

dose, right patient, right route, dan right time.

1. The right drug. Obat yang diberikan sebaiknya dicocokkan kembali

dengan resep yang tertulis, karena banyak obat yang memiliki nama yang

sama. Tulisan tangan dokter yang meresepkan sebaiknya dapat dibaca, dan

jika terdapat keraguan, sebaiknya diklarifikasi kembali ke dokter yang

menuliskan resep. Selain itu, dokter harus mengerti alasan mengapa suatu

obat diresepkan, dan mengetahui efek-efek samping yang dapat timbul

akibat pemberian obat tersebut, termasuk apakah pasien memiliki riwayat

alergi terhadap obat tersebut atau tidak;

2. The right dose. Dokter sebaiknya mengetahui dengan baik dosis rata-rata

atau dosis yang biasanya digunakan terhadap obat yang diresepkan, dan

mampu mengidentifikasi beberapa pasien yang membutuhkan dosis-dosis

diluar dosis yang biasanya digunakan. Contohnya, pasien-pasien yang

memiliki gangguan fungsi ginjal dan hati;

3
3. The right patient. Pasien yang masuk sebaiknya diidentifikasi dengan

jelas, dan diberikan dua tag nama, yang harus dicek setiap sebelum

pemberian obat.

4. The right route. Pemberian obat dapat diberikan secara oral, intravena,

intramuskular, subkutan atau melalui feeding tube;

5. The right time. Pemberian obat sangat penting untuk memperhatikan

waktu pemberian, karena kebanyakan obat diresepkan berdasarkan durasi

kerjanya. Pemberian obat terkadang tidak sesuai dengan waktu kerja obat

yang diharapkan. Selain itu, waktu operasi juga sering berubah, sehingga

pemberian obat harus dilakukan pada waktu yang tepat untuk

mendapatkan efek yang diinginkan.

JENIS-JENIS OBAT PREMEDIKASI

1. Mengurangi Rasa Cemas, Memberikan Efek Sedasi Psikis dan

Amnesia

Golongan Benzodiazepin

Diazepam

Obat ini digunakan untuk menghilangkan rasa cemas, sedasi, dan

membuat amnesia penderita. Hal ini disebabkan tempat kerja dari

benzodiazepin berada pada susunan saraf pusat (SSP) yang berefek sedikit

mendepresi pernafasan atau kardiovaskular pada dosis premedikasi.

Secara spesifik mual dan muntah biasanya tidak berkaitan dengan

pemberian benzodiazepin pada pemberian preoperatif.

4
Pemberian diazepam dapat dilakukan secara intramuskuler (IM)

atau intravena (IV). Pemberian secara IM dapat menyebabkan rasa sakit

pada tempat penyuntikan.

Dosis premedikasi diazepam adalah 0,2-0,5 mg/kgBB diberikan

secara oral. Dosis sedasi 0,04-0,2 mg/kgBB diberikan secara IV. Dosis

induksi diberikan 0,3-0,6 mg/kgBB secara IV (dapat dilihat pada tabel 1).

Onset kerja diazepam dalam waktu 15-30 menit dengan durasi kerja

selama 21-37 jam.

Midazolam

Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang paling sering

digunakan. Midazolam dianggap pemulihannya lebih cepat dan

memberikan efek sedasi maksimal jika diberikan dalam dosis yang besar

atau ketika dikombinasikan dengan obat lain. Sedangkan dengan

benzodiazepin lain, midazolam menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan

amnesia. Ini dua sampai tiga kali lebih poten daripada diazepam karena

peningkatannya pada reseptor benzodiazepin.

Dosis midazolam untuk premedikasi yakni 0,07-0,15 mg/kgBB

secara IM. Dosis sedasi 0,01-0,1 mg/kgBB secara IV. Dosis induksi 0,1

0,4 mg/kgBB secara IV(dapat dilihat pada tabel 1). Onset kerja midazolam

dalam waktu 30-60 detik secara IV. Efek puncak 3-5 menit dan durasi

kerja selama 15-80 menit. Midazolam 0,5 mg/kgBB secara oral diberikan

30 menit sebelum induksi anestesi.

5
Midazolam pada dosis 0,15-0,27 mg/kgBB secara IV dapat

menurunkan tekanan intrakranial (TIK). Midazolam dosis 0,15 secara IV

dapat menurunkan ventilasi. Apneu dapat terjadi pada pemberian injeksi

yang cepat dengan dosis >0,15 mg/kgBB secara IV. Midazolam dosis 0,2

mg/kgBB secara IV dapat menurunkan tekanan darah dan meningkatkan

laju jantung.

Tabel 1. Penggunaan dan dosis benzodiazepin

Dosis
Obat Penggunaan Jalur
(mg/kgBB)

Premedikasi Oral 0,2-0,52


Diazepam Sedasi IV 0,04-0,2
Induksi IV 0,3-0,6
Premedikasi IM 0,07-0,15
Midazolam Sedasi IV 0,01-0,1
Induksi IV 0,1-0,4
Oral 0,053
Premedikasi
Lorazepam IM 0,03-0,053
Sedasi IV 0,03-0,043
1
IV, intravenous, IM, Intramuscular.
2
Maximum dose 15 mg.
3
Not recommended for children.
Dikutip dari:
Reves JG. Nonvolatile anesthetic agents. In:Morgan G.E, Mikhail M.S,
Murray M.J, eds. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-Hill
Companies,Inc; 2006.p.179-204.

Lorazepam

6
Lorazepam menghasilkan efek amnesia yang lebih dominan dari

golongan lainnya Masa kerjanya juga lebih lama dibanding yang lainnya.

Ketika lorazepam dibandingkan dengan diazepam, efeknya mirip sekali.

Dosis lorazepam untuk premedikasi adalah 0,053 mg/kgBB secara oral,

atau 0,03-0,05 mg/kgBB secara IM. Dosis sedasi 0,03-0,04 mg/kgBB

secara IV (dapat dilihat pada tabel 1).

Onset kerja lorazepam lebih lama daripada midazolam dan

diazepam. Secara IM onset kerja diazepam dalam waktu 2-4 jam.

Sedangkan pada pemberian IV onsetnya dalam waktu 1-2 menit. Durasi

kerja selama 6-10 jam.

Golongan Barbiturat

Obat golongan barbiturat terbagi atas tiopental, methohexical dan

pentobarbital. Obat-obatan ini digunakan secara primer untuk efek

sedatifnya.

Tiopental

Dosis sedasi 0,5-1,5 mg/kgBB secara IV. Onset kerja dalam waktu

30-45 detik dengan durasi kerja selama 5-10 menit secara IV (dapat dilihat

pada tabel 2).

Tiopental dimetabolisme di hati tiap jam. Pada penyuntikan

tiopental, mula-mula timbul hiperalgesia diikuti anelgesia bila dosis terus

ditingkatkan, tetapi barbiturat bukan analgesik yang kuat.

Methohexical

7
Dosis sedasi methohexical 0,2-0,4 mg/kgBB secara IV (dapat dilihat

pada tabel 2). Onset kerjanya dalam waktu 5,6 menit dengan durasi kerja

selama 3,9 jam. Kelarutan methohexical dalam lemak lebih sedikit

sehingga metabolismenya lebih cepat daripada tiopental.

Pentobarbital

Dosis premedikasi pentobarbital adalah 2-.4 mg/kgBB secara oral

dan IM. Dosis 3-5 mg/kgBB secara rektal pada anak (dapat dilihat pada

tabel 2). Onset kerja pentobarbital dalam waktu 20-60 menit secara oral

dan rektal, 10-20 menit secara IM, dan 5 menit secara IV. Dengan durasi

kerja selama 1-4 jam secara oral dan rektal.

Tabel 2. Penggunaan dan dosis barbiturat

Konsentrasi Dosis
Obat Penggunaan Jalur
(%) (mg/kgBB)
Thiopental,
Sedasi IV 2,5 0,5-1,5
thiamylal
Methohexical Sedasi IV 1 0,2-0,4
Oral 5 2-42
Secobarbital, Premedikasi IM 2-42
Pentobarbital Rectal
3
suppository
1
IV, intravenous, IM, Intramuscular.
2
Maximum dose 15 mg.
3
Not recommended for children.
Dikutip dari:
Reves JG. Nonvolatile anesthetic agents. In:Morgan G.E, Mikhail M.S,
Murray M.J, eds. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-Hill
Companies,Inc; 2006.p.179-204.

Memberi Efek Analgesia

8
Opioid

Morfin

Dosis morfin untuk premedikasi 0,05-0,2 mg/kgBB secara IM.

Dosis anestesi intraoperatif 0,1-1 mg/kgBB secara IV. Dosis untuk

analgesia post operatif yaitu 0,05-0,2 mg/kgBB secara IM dan 0,03-0,15

mg/kgBB secara IV (dapat dilihat pada tabel 3). Onset kerja morfin dalam

waktu 15-30 menit secara IM dan IV, mencapai puncak 45-90 menit

dengan durasi kerja selama 4 jam.

Morfin dapat digunakan sebagai analgetik, euforia, dan sedasi.

Gejala lain setelah pemberian morfin seperti mual, muntah, kekeringan

pada mulut, dan gatal.

Fentanil

Fentanil adalah agonis opioid sintetik yang strukturnya mirip dengan

meperidin. Fentanil memiliki efek analgesik 75-125 kali lebih poten

dibanding morfin. Fentanil lebih larut dalam lemak dibanding morfin

sehingga onsetnya lebih cepat. Karena waktu kerja yang pendek

menyebabkan fentanil diredistribusi ke paru, lemak, dan otot skelet.

Fentanil dimetabolisme terutama oleh N-demethylation menjadi

norfentanil, yang memiliki efek poten analgesik lebih kecil. Dosis fentanil

untuk anestesi intraoperatif 2-150 µg/kgBB secara IV. Untuk analgesia

post operatif 0,5-1,5 µg/kgBB secara IV (dapat dilihat pada tabel 3). Onset

kerja fentanil dalam waktu 5 menit dengan durasi kerja selama 30 menit –

1 jam.

9
Sufentanil

Sufentanil adalah analaog thenyl dari fentanil. Kekuatan analgetik

dari sufentanil adalah 5-10 kali dari fentanil. Efek samping yang biasa

terjadi pada pemberian sufentanil adalah terjadinya spasme otot skeletal

pada pemberian injeksi intratekal. Dosis sufentanil untuk premedikasi

adalah 2-5 µg/kgBB secara IV. Dosis untuk anestesi intraoperatif 0,25-30

µg/kgBB secara IV (dapat dilihat pada tabel 3). Sufentanil memiliki onset

kerja dalam waktu 1-2 menit dengan durasi kerja selama 15 menit.6,7

Tabel 3. Penggunaan dosis opioid

Obat Penggunaan Jalur Dosis


Premedikasi IM 0,05-0,2 mg/kgBB
Anestesia intraoperatif IV 0,1-1 mg/kgBB
Morfin
IM 0,05-0,2 mg/kgBB
Analgesia postoperatif
IV 0,03-0,15 mg/kgBB
Anestesia intraoperatif IV 2 - 150 µg/kgBB
Fentanil
Analgesia postoperatif IV 0.5 - 1.5 µg/kgBB
Premedikasi IV 2-5 µg
Sufentanil
Anestesia intraoperatif IV 0.25 - 30 µg/kgBB
Di kutip dari:
Reves JG. Nonvolatile anesthetic agents. In:Morgan G.E, Mikhail M.S,
Murray M.J, eds. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-Hill
Companies,Inc; 2006.p.179-204.

2. Mengurangi Sekresi Saliva (Antisialoque)

Antikolinergik

10
Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi adalah sebagai

antisialoque dan sedasi serta amnesia. Antikolinergik digunakan untuk

mencegah hipersalivasi yang disebabkan oleh obat anestesi lokal pada

jalan napas atas. Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan

mengurangi sekresi cairan lambung.

Atropin

Atropin adalah sebuah amina tersier yang mengandung asam tropik

(sebuah asam aromatik) dan tropin (sebuah basa organik). Sebagai

premedikasi, atropin diberikan secara IV atau IM dalam dosis 0,01-0,02

mg/kgBB hingga pada dosis dewasa yang umum sekitar 0,4-0,6 mg/kgBB

dosis IV. Onset kerja atropin dalam waktu 1 menit dengan durasi kerja

atropin selama 30-60 menit.

3. Mencegah Terjadinya Resiko Aspirasi Lambung dengan Mengurangi


Volume Cairan Lambung dan Menaikkan pH Cairan Lambung
Aspirasi dapat terjadi selama induksi, pada ruang operasi atau pada

saat transfer pasien. Aspirasi juga bisa disebabkan karena bronkospasme.

Oleh karena itu penting untuk puasa sebelum operasi.

Tabel 5. Rekomendasi Puasa Untuk Mengurangi Resiko Aspirasi

Jenis minuman Waktu puasa minimal (untuk semua


umur)

11
Air putih 2 jam
ASI 4 jam
Makanan bayi 6 jam
Susu formula 6 jam
Makanan berat 6 jam
Dikutip dari :
Practice guidelines for preoperative fasting and the use of pharmacologic
agents to reduce the risk of pulmonary aspiration : application to healthy
patients undergoing elective procedures. A report by the american society
of anesthesiologists task force on preoperative fasting. Anesthesiology.
2011;114:495-511

Antagonis Reseptor Histamin

Golongan ini memblok kemampuan histamin untuk menginduksi

sekresi asam gaster dengan konsentrasi ion hidrogen yang tinggi. Oleh

karena itu antagonis reseptor histamin meningkatkan pH gaster.

Antagonisme dari reseptor histamin terjadi dalam cara yang selektif dan

kompetitif.

Cimetidin

Biasanya diberikan dengan dosis 300-800 mg oral dan 300 mg secara

IV. Dosis 300 mg per oral (3-4 mg/kgBB) ini diberikan 1,5-2 jam sebelum

induksi anestesi. Cimetidin memiliki onset kerja dalam waktu 1-2 jam

dengan durasi kerja selama 4-8 jam.

Cimetidin dapat menghambat berbagai fungsi sistem enzim oksidase

hepar sehingga dapat memperpanjang waktu paruh dari berbagai obat,

termasuk diazepam, chlordiazepoxide, theophylline, propanolol dan

lidokain.

12
Proton Pump Inhibitor (PPI)

Omeprazole

Omeprazole adalah golongan PPI yang menekan sekresi cairan

lambung dengan cara berikatan pada pompa proton sel parietal guna

meningkatkan pH dan menurunkan volume asam lambung. Dosis pada

orang dewasa 40 mg/24 jam (0,5-1 mg/kgBB) secara oral maupun IV. Pada

anak <20 kg 10 mg, anak >20 kg dosisnya 20 mg.

Efek sampingnya adalah sakit kepala, agitasi dan kebingungan

karena omeprazole melewati SDO. Efek gastrointestinal menyebabkan

nyeri perut, mual, muntah.

Mencegah Mual dan Muntah Post Operatif

5-HT3 Reseptor Antagonis

Ondansetron

Indikasinya adalah profilaksis mual dan muntah. Dengan efek

samping seperti sakit kepala mengantuk dan gangguan saluran cerna.

Dosis ondansentron 0,15 mg/kgBB secara oral dan 0,05-0,15 mg/kgBB

secara intravena diberikan 30 menit sebelum operasi. Onset kerja

ondansentron dalam waktu 1-1,5 jam secara oral dan 30-60 menit secara

intravena dengan durasi kerja selama 3-4 jam .

Mencegah Reaksi Alergi

13
Salah satu pemicu alergi adalah obat anestesi walaupun jarang

terjadi alergi ini memiliki reaksi yang fatal. Obat anestesi yang biasa

menyebabkan alergi (petidin, propofol, atracurium) memiliki mekanisme

kerja yang menyebabkan pelepasan histamin sehingga menimbulkan

reaksi alergi. Salah satu obat yang biasa digunakan untuk mencegah

terjadinya reaksi alergi adalah anti histamin atau kortikosteroid misalnya

dexamethason.

Dexamethason

Dexamethason merupakan golongan kortikosteroid sintetik turunan

dari prednisolon dan isomer dari bethametason. Dosis dexamethason

sebagai anti inflamasi yaitu 0,75 mg setara dengan 20 mg kortisol.

Dexamethason dapat diberikan secara oral ataupun IV. Dosis

dexamethason 0,25 mg/kgBB secara IV. Durasi kerja selama 36-72 jam.

Dexamethason juga dapat digunakan untuk mengobati edema laringeal

post intubasi dengan dosis 0,1-0,2 mg/kgBB secara IV.

Mencegah Refleks yang Tidak Diinginkan (Laringospasme,

Bronkospasme)

Laringospasme adalah spasme pada otot laring yang disebabkan

oleh stimulasi sensorik pada nervus laringeal superior pada saat intubasi

maupun ekstubasi. Bronkospasme intraoperatif dapat disebabkan oleh

pelepasan histamin karena obat, anestesi ringan, stimulasi

parasimpatomimetik (adanya tuba endotrakeal dan rangsangan operasi),

aspirasi dan anafilaksis oleh karena obat beta bloker.

14
Lidokain

Lidokain merupakan obat anestesi lokal golongan amida. Lidokain

dimetabolisme di hati. Prinsip metabolik lidokain adalah dealkilasi

oksidasi di hati menjadi monoetilglisinexylidide yang diikuti oleh

hidrolisis xydide. 80% aktifitas lidokain berpotensi megatasi terjadinya

disritmia jantung.

Dosis lidokain untuk mecegah terjadinya refleks yang tidak

diinginkan adalah 1-1,5 mg/kgBB secara IV. Onset kerja lidokain sangat

cepat dengan durasi kerja selama 60-180 menit. Maximum dosis tunggal

yaitu 300 mg atau 500 mg dengan epinefrin.

2. Klasifikasi ASA

Klasifikasi status fisik yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist

15
(ASA). Klasifikasi ASA antara lain :
• ASA I : pasien dalam kondisi sehat
• ASA II : pasien dengan kelainan sistemik ringan – sedang yang tidak
berhubungan dengan pembedahan, dan pasien masih dapat melakukan aktivitas
sehari-hari.
• ASA III : pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas rutin
terbatas
• ASA IV : pasien dengan kelainan sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
(mengancam jiwa dengan atau tanpa pembedahan).
• ASA V : pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak.
• ASA VI : brain-dead
Jika akan dilakukan operasi darurat dapat mencantumkan tanda darurat E.

KLASIFIKASI ASA (The American Society Of Anesthesiologists)

Skor ASA (the American Society of Anesthesiologists) telah digunakan bertahun-


tahun sebagai indikator risiko perioperatif. Panitia ASA pertama kali
mengemukakan konsep skor tersebut pada tahun 1941, sebagai metoda untuk
standarisasi status fisik di rekam medis rumah sakit untuk kajian statistik di
bidang anestesia. Hanya serangkaian perubahan kecil telah dikenakan selama
bertahun-tahun dan versi mutakhir dari klasifikasi ini yang diselesaikan pada
tahun 1974 oleh the House of Delegates of the ASA disajikan pada Tabel 6.1.
pasien diberi skor menurut kebugaran fisik mereka dan hurup E ditambahkan jika
prosedur yang direncanakan bersifat darurat (emergensi).
Walaupun skor mudah dan praktis digunakan, skor ini kurang ketepatan
ilmiah dalam penerapannya. Dokter anestesi mungkin tidak setuju terhadap
kalsifikasi yang tepat untuk pasien-pasien tertentu.

Tabel 6.1 klasifikasi ASA dari status fisik


Kelas Status fisik Contoh
I Pasien normal yang sehat Pasien bugar dengan
hernia inguinal
II Pasien dengan penyakit Hipertensi esensial,
sistemik ringan diabetes ringan
III Pasien dengan penyakit Angina, insufisiensi
sistemik berat yang tidak pulmoner sedang
melemahkan sampai berat
(incapacitating)
IV Pasien dengan penyakit Penyakit paru
sistemik yang melemahkan stadium lanjut,
gagal jantung

16
dan merupakan ancaman
konstan terhadap kehidupan
V Pasien sekarat yang Ruptur aneurisma
diperkirakan tidak bertahan aorta, emboli paru
selama 24 jam dengan atau massif
tanpa operasi
E Kasus-ksus emergensi
diberi tambahan hurup “E”
ke angka.
Di samping itu, risiko pembedahan dan pembiusan tergantung pada faktor-faktor
lain yang tidak dipertimbangkan atau dicakup dengan skor. Ini mencakup usia, berat
badan, jenis kelamin, dan kehamilan. Grade dokter spesialis bedah dan spesialis
anestesi, fasilitas untuk perawatan pasca bedah dan bantuan untuk tim bedah juga
tidak diperhitungkan.
Skor ASA telah digunakan dalam kajian NCEPOD dan penggunaannya
tersebar luas pada banyak audit pembedahan dan anestesia. Telah diketahui bahwa
risiko perioperatif meninggi dengan skor ASA pasien. Akan tetapi walaupun
berguna, keterbatasan skor ini mencegahnya untuk berperan lebih dari penuntun
kasar pada masing-masing pasien. Ada beberapa sistem penentu skor prognostik
yang lebih baik yang diuraikan dalam buku ini dan berkenaan dengan kondisi-
kondisi medis spesifik.

3. OBAT ANESTESI INHALASI DAN INTRAVENA


ANESTESIA INHALASI (GENERAL ANESTESIA)

17
Obat-obat anestesia inhalasi adalah obat-obat anestesia yang berupa gas atau
cairan mudah menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien.Campuran gas
atau uap obat anestesia dan oksigen masuk mengikuti udara inspirasi, mengisi
seluruh rongga paru, selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler sesuai
dengan sifat fisik masing-masing gas.
Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering digunakan pada anestesia
umum. Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik volatil pada oksigen
inspirasi dapat menyebabkan keadaan tidak sadar dan amnesia, yang merupakan hal
yang penting dari anestesia umum. Bila ditambahkan obat intravena seperti opioid
atau benzodiazepin, serta menggunakan teknik yang baik, akan menghasilkan
keadaan sedasi/hipnosis dan analgesi yang lebih dalam. Kemudahan dalam
pemberian (dengan inhalasi sebagai contoh) dan efek yang dapat dimonitor
membuat anestesi inhalasi disukai dalam praktek anestesia umum. Tidak seperti
anestetik intravena, kita dapat menilai konsentrasi anestesi inhalasi pada jaringan
dengan melihat nilai konsentrasi tidal akhir pada obat-obat ini. Sebagai tambahan,
penggunaan gas volatil anestesi lebih murah penggunaanya untuk anestesia umum.
Hal yang harus sangat diperhatikan dari anestesi inhalasi adalah sempitnya batas
dosis terapi dan dosis yang mematikan. Sebenarnya hal ini mudah diatasi,dengan
memantau konsentrasi jaringan dan dengan mentitrasi tanda-tanda klinis dari
pasien.
Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada anestesi
umum, akan tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada pasien anak-
anak. Gas anestesi inhalasi yang banyak dipakai adalah isofluran dan dua gas baru
lainnya yaitu sevofluran dan desfluran. sedangkan pada anak-anak, halotan dan
sevofluran paling sering dipakai. Walaupun dari obat-obat ini memiliki efek yang
sama (sebagai contoh : penurunan tekanan darah tergantung dosis), namun setiap
gas ini memiliki efek yang unik, yang menjadi pertimbangan bagi para klinisi untuk
memilih obat mana yang akan dipakai. Perbedaan ini harus disesuaikan dengan
kesehatan pasien dan efek yang direncanakan sesuai dengan prosedur bedah.
Berdasarkan kemasannya, obat anestesia umum inhalasi ada 2 macam, yaitu
:
1. Obat anestesia umum inhalasi yang berupa cairan yang mudah menguap
:
a. Derivat halogen hidrokarbon.
- Halothan
- Trikhloroetilen
- Khloroform
b. Derivat eter.
- Dietil eter
- Metoksifluran
- Enfluran
- Isofluran
2. Obat anestesia umum yang berupa gas

18
a. Nitrous oksida (N2O)
b. Siklopropan

Sejarah Anestesia Inhalasi


Anestesi inhalasi pertama digunakan di Kekaisaran Islam, yang terdiri dari
spons direndam dalam persiapan narkotika. Spons tersebut diletakkan di atas wajah
dari individu yang menjalani operasi.
Anestesi inhalasi modern yang pertama adalah karbon dioksida dan asam
nitrat. Akan tetapi, karbon dioksida tidak pernah benar-benar digunakan secara
teratur sebagai anestesi inhalansi. Sedangkan asam nitrat lebih sering digunakan,
dan masih digunakan sampai sekarang.
Keberhasilan oksida nitrat sebagai anestesi umum inhalansi pertama kali
dicatat oleh ahli kimia Inggris, Humphrey Davy, yang menerbitkan sebuah makalah
tentang subjek pada tahun 1800-an. Salah satu pemakaian oksida nitrat pertama
yang sukses adalah ekstraksi gas gigi tanpa rasa sakit yang dilakukan oleh William
Thomas Green Morton pada tahun 1846.
Selama tahun 1800-an, ada beberapa anestesi volatil yang telah digunakan
untuk kepentingan klinis akan tetapi mengandung gas-gas yang mudah terbakar,
seperti dietil eter, cyclopropane dan divinyl eter. Beberapa gas yang tidak mudah
terbakar juga ada, seperti kloroform dan trikloroetilen, namun gas-gas ini
dihubungkan dengan kejadian keracunan hepar (hepatotoksik) dan meracuni saraf
(neurotoksik). Pada awal tahun 1930-an penelitian tentang turunan dari zat
kloroform yang mengandung halogen mengindikasikan bahwa zat yang tidak
mudah terbakar dapat dibuat dengan menggunakan bahan fluoride organik.
Kemajuan pengetahuan tentang kimia fluorin pada tahun 1940-an,
menghasilkan penggabungan molekul fluorin dengan biaya yang masih dapat
diterima. Kemajuan tentang fluorin pada awalnya didorong oleh ketertarikan
terhadap peran fluorin dalam produksi bahan bakar aviasi beroktan tinggi dan
pengayaan uranium-235.
Kemajuan-kemajuan ini merupakan hal yang sangat penting bagi
pengembangan anestesi modern saat ini. Pada masa itu, setidaknya ada 46 senyaawa
yang mengandung fluorin disintesis oleh dr.Earl McBee dalam penelitian yang
didukung oleh secret Manhattan project dan oleh the mallinkrodt company.
Walaupun tidak ada satupun dari zat ini yang secara pasti teruji manfaatnya pada
manusia, beberapa zat ini memiliki kedekatan struktur dengan zat yang saat ini kita
kenal dengan nama halotan. Fluorin adalah halogen yang memiliki berat atom yang
paling rendah. Penggantian gas halogen lain pada molekuk eter dengan fluorin,
akan menghasilkan penurunan titik didih, peningkatan stabilitas, dan secara umum,
mengurangi toksisitas. Ion fluoride juga mengurangi hidrokarbobon yang mudah
terbakar dari kerangka molekul eter.

19
pada tahun 1951, halotan disintesis dan di uji coba secara luas kepada hewan
oleh Suckling di laboratorium ICI di Inggris. Halotan diperkenalkan pada praktek
klinik pada tahun 1956 dan secara cepat meluas pemakaiannya, dikarenakan
sifatnya yang tidak mudah terbakar dan memeliki solubilitas yang rendah terhadap
jaringan. Halotan relatif memiliki ketajaman (pungency) yang rendah dan potensi
yang tinggi, sehingga dapat diberikan pada konsentrasi insipirasi yang tinggi untuk
menghasilkan anestesia. Halotan terbukti dapat diterima melalui jalur inhalasi baik
pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Keuntungan lain yang dimiliki halotan
adalah insiden nausea dan muntah yang lebih rendah dari gas-gas volatil
pendahulunya.
Walaupun halotan memiliki keuntungan-keuntungan, namun kekurangan
tetap ada. Efek halotan yang paling dapat dipantau adalah mensensitisasi
miokardium terhadap katekolamin, dan kemudian, terungkap bahwa metabolit
intermediet dari halotan, berperan dalam nekrosis hepar. Hal ini menyebabkan
tuntutan untuk mencari gas-gas anestesi yang lebih baik.
Antara tahun 1959 dan 1966, Terrel dan para koleganya di ohio medical
products (sekarang baxter) mensintesis lebih dari 700 senyawa senyawa ke 347 dan
469 secara berturut-turut adalah metil etil eter enfluran dan isofluran yang di-
halogenasi dengan fluorin dan clron. Uji coba klinis dari enfluran dan isofluran
dilaksanakan hampir secara paralel, melibatkan baik relawan manusia dan studi
pada pasien. Bertahun-tahun kemudian, beberapa senyawa yang dilakukan oleh
terrel diperiksa ulang. Salah satu senyawa, yaitu senyawa ke 653, sangat sulit untuk
di sintesis karena sifatnya yang mudah meledak dan juga karena senyawa ini
tekanan yang mendekati 1 atm, sehingga tidak mungkin untuk memberikannya pada
pasien dangen alat vaporizer standar. Bagaimanapun juga, senyawa ini secara utuh
terhalogenisasi oleh fluoran, sehingga dipredikis memiliki solubilitas yang rendah
pada darah. Setelah masalah sintesis dan pemberian pada pasien dapat dipecahkan,
senyawa ini kemudian diperkenalkan dengan nama desfluran, dan mulai digunakan
pada praktek klinik pada tahun 1993.
Senyawa lain yang di jelaskan pada awal tahun 1970 oleh Wallin dan para
koleganya di travenol laboratories yang sedang mengevaluasi isopropil eter
terfluorinisasi. Salah satu senyawa ini memiliki potensi menjadi agen anestetik,
yang sekarang kita kenal dengan nama sevofluran. Seperti dersfluran, senyawa ini
memiliki solubilitas yang rendah karena adanya fluoronasi dari molekul eter.
Laporan menyebutkan bahwa sevofluran melepaskan fluoride organik dan
nonorganik baik pada hewan maupun pada manusia, sehingga obat ini tidak terlalu
dikembangkan dan dipasarkan. Pada saat hak paten di pindahkan ke ohio medical
products, uji coba lebih lanjut mengungkap kerusakan yang significant oleh soda
lime, meningkatkan kewaspadaan terhadap keamanan, sehingga tidak dilakukan
evaluasi lebih lanjut.
Setelah hak paten kadaluarsa, maruishi pharmaceutical di jepang
mengambil alih uji coba dan pengembangan sevofluran, kemudian menyebarkan
pemakaiannya secara umum di jepang pada bulan juli 1990. Karena cepatnya

20
sevofluran diterima dan catatan keamanan yang baik di Jepang, Abboi laboratories
memulai percobaan laboratorium dan klinik dengan sevofluran di Amerika Serikat.
Setelah keamanan terjamin, sevofluran kemudian diperkenalkan pada prakte klinik
di Amerika Serikat pada tahun 1995.
Perbedaan yang paling penting antara dua anestetik baru, yaitu sevofluran
dan desfluran, dengan isofluran, adalah pada farmakokinetiknya. Keduanya
memiliki solubilitas pada darah yang rendah, sehingga meningkatkan bersihan dari
tubuh dan mudahnya mengatur kedalaman anestesi. Karakteri dari kedua obat inilah
yang membuat mereka sesuai untuk anestesi ambulatori pada praktik anestesi
modern.
Dalam praktek anestesiogi masa kini, obat-obatan anestetik inhalasi yang
umum digunakan untuk praktek klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran,
desfluran, dan sevofluran. Obat-obatan lain sudah ditnggalkan, karena efek
sampingnya yang tidak dikehendaki, misalnya :
1. Eter : kebakaran, peledakan, sekresi bronkus berlebihan, mual
munatah, kerusakan hepar, baunya yang merangsang.
2. Kloroform : aritmia, kerusakan hepar.
3. Etil-klorida : kebakaran, peledakan, deresi jantung, indeks terapi yang
sempit, dan mudah dirusak kapur soda.
4. Triklor-etilen : dirusak kapur soda, bradi-aritmia, mutagenik
5. Metoksifluran : toksis terhadap ginjal, kerusakan hepar dan kebakaran.

Prinsi Farmakokinetik
Farmakokinetik sebagai suatu cabang ilmu dimulai dengan mempelajari
obat-obatan noninhalasi sebelum konsep tersebut diterapkan pada anestesi inhalasi.
Kety pada tahun 1950 adalah orang pertama yang meneliti farmakokinetik dari agen
inhalasi secara sistemik. Obat anestesi inhalasi berbeda secara substansial dari obat
lainnya karena wujudnya yang berupa gas dan diberikan secara inhalasi. Ini
membuat farmakokinetiknya menjadi unik.
Farmakologi obat dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu farmakokinetik
dan farmakodinamik. Farmakodinamik dapat diartikan dengan apa yang dilakukan
obat terhadap tubuh. Termasuk di dalamnya efek yang diingikan dan efek samping
dari obat, serta perubahan di tingkat molekul dan sel untuk mencapai efek tersebut.
Sedangkan farmakokinetik adlah apa yang dilakukan tubuh terhadap obat, yang
meliputi bagaimana perjalanan obat, bagaimana obat ini bertransformasi, dan
mekanisme seluler dan molekuler yang mendasari proses ini.
Farmakokinetik obat sistemik terdiri dari empat fase yaitu absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Absorbsi adalah fase dimana obat masuk dari
port d’entry (contoh : traktus digestivus, paru-paru, otot) samapai ke aliran darah.
Obat intravena tidak memiliki fase absorpsi karena obat ini langsung dimasukkan
ke dalam aliran darah. Distribusi adalah fase dimana obat dibawa dari jaringan
tempatnya masuk ke tubuh. Metabolisme merupakan suatu proses fisiokimia

21
dimana suatu zat di dalam tubuh organisme hidup disintesis (anabolisme) atau
dirombark (katabolisme); tetapi dalam knteks obat anestesi, hanya perombakan
obat yang lebih diutamakan. Dan terakhir, ekskresi adalah fase dimana obat yang
telah berubah atau pun belum dibawa keluar dari jaringan atau darah ke berbagai
sistem ekskresi (seperti empedu, udara ekspirasi, urin) untuk dikeluarkan dari
tubuh.
Dalam pembahasan obat anestetik inhalasi, ada beberapa perubahan dalam
penyampaian terminologinya. Fase absorpsi biasa disebut ambilan, fase
metabolisme disebut biotransformation, dan fase ekskresi dikenal dengan eliminasi.

Keistimewaan dari anestesi inhalasi


Kecepatan, bentuk gas, dan cara pemberian
Obat anestesi inhalasi oadalh obat yang paling cepat mulai kerjanya, dan
dalam pemakaian anestesi umum tetap dalam batas aman. kecepatan juga berarti
efixien. Induksi dan pemulihan yang cepat akan memberikan bebrapa keuntungan
diantranya meminimalkan waktu di kamar operasi dan di ruang pemulihan, serta
pasien akan lebih cepat pulang.
Secara teknis, satu-satunya anestesi inhalasi yang berwujud gas murni
adalah nitrous oksida, sementara anestesi inhlasi yang poten itu berupa uap dari
cairan volatil. Akan tetapi untuk kemudahan, semuanya disebut gas karena ketika
masuk ke dalam paru-paru berada dalam fase gas. Dalam bentuk gas, tidak
perbedaan yang signifikan dari sifat-sifat ideal gas. Obat-obat ini semuanya tidak
terionisasi dan memiliki berat molekul yang rendah. Dengan begitu akan
memudahkan untuk berdifusi dengan cepat tanpa memerlukan bantuan untuk
berdifusi atau zat aktif untuk membawanya dari aliran darah menuju ke jaringa.
Keuntungan lainya dari gas ialah dapat dihantarkan ke dalam aliran darah melalui
rute khusus yang tersedia pada semua pasien, yaitu paru-paru.
Kecepatan, bentuk gas, dan paru-paru sebagai tempat masuk merupakan
kombinasi yang sangat menguntungkan dari anestesi inhalasi, yaitu kemampuan
untuk menurunkan konsentrasi dalam plasma semudah dan secepat meningkatkan
konsentrasinya.

Mekanisme kerja
Mekanisme kerja obat anestetik inhlasi sangat rumit, dan masih merupakan
misteri dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui
pernapasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam
dunia anestesiologi.
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat
fisiknya :
1. Ambilan alveolus.
2. Difusi gas dari paru ke darah.
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.

22
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan
menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek, kelarutan zat inhalasi dalam darah
adalah faktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan
pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut
dan lambat pada yang larut.
Kecepatan induksi anestesi, seperti yang telah disebutkan di atas
dipengaruhi salah satunya oleh kelarutan zat anestesi di dalam darah, yang
tergantung dari potensi masing=-masing zat anestesi. Derajat potensi ini ditentukan
oleh Kadar alveolus minimal (KAM) atau MAC (minimum alveolar concentration).
MAC ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir
yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan insisi
standar. Pada umumnya imobilisasi tercapai pada 95% pasien, jika kadarnya
dinaikkan di atas 30% nilai MAC. Makin tinggi MAC, maka makin rendah potensi
zat anestesi tersebut. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial zat anestetik dalam
alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat.
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh :
1. Konsentrasi inspirasi
Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh, maka
ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inspirasi sama dengan alveoli.
Hal ini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat kalau
konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi nafas atau kejang
laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
2. Ventilator alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi dan
sebaliknya.
3. Koefisien darah/gas
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin rendah
konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.
4. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung, makin cepat uap diambil darah.
5. Hubungan ventilasi-perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestesi.

Jumlah uap dalam mesin anestesi bukan merupakan gambaran yang


sebenarnya, karena sebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau
ke atmosfir sekitar sebelum mencapai pernapasan.
Konsentrasi zat anestesi yang tinggi, ventilasi alveolus yang meningkat,
serta koefisien partisi darah/gas dan koefisien partisi darah / jaringan yang rendah
dari suatu zat anestesi, akan menyebabkan peningkatan tekanan parsial zat anestesi
dalam alveolus, darah dan jaringan. Otak merupakan organ yang banyak mendapat
aliran darah, sehingga tekanan parsial zat anestesi di dalam otak akan cepat
meningkat dan pasien cepat kehilangan kesadaran. Hal tersebut di atas dapat
berfungsi dengan baik, apabila fungsi paru-paru baik. Fungsi paru-paru dapat
diketahui antara lain dengan mengukur volume paru-paru. Dalam klinis,

23
pengukuran yang sering dilakukan dan berguna adalah kapasitas vital, kapasitas
paru total, kapasitas reidu fungsional, dan volume residual. Nilai normal volume
tersebut bisa berbeda-beda, tergantung oleh umur, tinggi badan, berat badan, jenis
kelamin, posisi dan fisik seseorang. Laki-laki dewasa muda (kira-kira 4,6 L)
mempunyai kapasitas vital lebih besar dibandingkan dengan wanita dewasa muda
(kira-kira 3,1 L), orang tinggi biasanya mempunyai kapasitas vital yang lebih besar
dibandingkan dengan orang pendek, seorang atlet terlatih mempunyai kapasitas
vital yang lebih besar daripada orang biasa, pada obesitas terjadi penurunan
kapasitas vital, kapasitas residu fungsional, dan kapasitas paru total. Penderita
penyakit paru-paru, volume-volume tersebut dapat menurun maupun meningkat.
1. HALOTAN (F3C-CHBrCl)
Halotan disintesis pertama kali oleh CW Suckling di laboratorium “Imperial
Chemical industries” Manchester pada tahun 1951. Digunakan pertama kali oleh
M. johnstone di klinik Manchester. Selanjutnya diikuti oleh Bryce-smith dan
O’Brian di Oxford.

Sifat Fisik Dan Kimiawi


Halotan atau disebut dengan nama kimia 2,bromo-2-khloro-1,1,1-
trifluoroetan, mempunyai berat molekul 197, berat jenis 1,18 (pada suhu 25
derajat celcius) dan titik didih 50 derajat celcius dan mempunyai MAC 0,87%.
Secara fisik, halotan adalah cairan yang tidak berwarna, berbau harum tidak
mudah terbakar atau meledak, tidak iritatif dan tidak tahan terhadap sinar
matahari. Apabila kena sinar matahari, akan mengalami dekomposisi menjadi
HCl, HBr, klorin, Bromin dan Fosgen bebas, disi timol 0,01% sebagai pengawet.
Halotan bisa diserap oleh karet sirkuit anestesia, tetapi kurang larut dalam
polietilen dan tidak mengalami dekompisisi bila melewati karbon absorben.

Efek Farmakologi
Terhadap susunan saraf pusat
Halotan menimbulkan depresi pada sistem saraf pusat di semua komponen
otak. Depresi di pusat kesadaran akan menimbulkan efek hipnotik, depresi pada
pusat sensorik menimbulkan khasiat analgesia dan depresi pada pusat motorik
akan menimbulkan relaksasi otot. Tingkat depresinya tergantung dari dosis yang
diberikan.
Terhadap pembuluh darah otak, halotan menyebabkan vasodilatasi,
sehingga aliran darah otak meningkat dan hal ini menyebabkan tekanan
intrakranial meningkat, dan oleh karena itu tidak dipilih untuk anestesi pada
kraniotomi.

Terhadap sistem kardiovaskuler

24
Halotan menimbulkan depresi langsung pada “S-A Node” dan otot jantung,
relaksasi otot polos dan inhibisi baroreseptor. Keadaan ini akan menyebabkan
hipotensi yang derajatnya tergantung dari dosis dan adanya interaksi dengan obat
lain, misalnya dengan tubokurarin.
Gangguan irama jantung sering kali terjadi, seperti bradikardi, ekstrasistol
ventrikel, takikatrdi ventrikel, bahkan bisa terjadi fibrilasi ventrikel. Hal ini
disebabkan karena peningkatan eksitagen maupun eksogen serta adanya retensi
CO2.
Batas keamanan halotan terhadap kardiovaskuler sangat sempit,
maksudnya, konsentrasi obat untuk mencapai efek farmakologi yang diharapkan
sangat dekat dengan efek depresinya.

Terhadap sistem respirasi


Pada konsentrasi tinggi, halotan akan menimbulkan depresi pusat nafas,
sehingga pola nafas menjadi cepat dan dangkal, volume tidal dan volume nafas
semenit menurun dan menyebabkan dilatasi bronkus.

Terhadap ginjal
Halotan pada dosis lazim secara langsung akan menurunkan aliran darah ke
ginjal dan laju filtrasi glomerulus, tetapi efek ini hanya bersifat sementara dan
tidak mempengaruhi autoregulasi aliran darah ginjal. Hasil metabolitnya
terutama bromidnya akan diekskresikan melalui ginjal dan apabila terdapat
gangguan fungsi ginjal, ekskresinya akan terhambat sehingga akan terjadi
akumulasi.

Terhadap otot rangka


Halotan akan berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot golongan non
depolarisai, sehingga pada pemakaian kombinasi kedua obat ini, perlu dilakukan
modifikasi dosis,. Pada saat persalinan normal, begitu juga pada seksio sesaria.

Terhadap hati
Pada konsentrasi 1,5 vol%, halotan akan menurunkan aliran darah pada
lobulus sentral hati sampai 25-30%. Faktor-faktor yang lain disamping halotan
yang ikut berpengaruh terhadap aliran darah, antara lain aktivitas sistem saraf
simpatis, tindakan pembedahan, hipoksia, hiperkarbia dan refleks splangnik.
Penurunan aliran darah pada lobulus sentral ini menimbulkan nekrosis sel pada
sentral hati yang diduga sebagai penyebab dari “hepatitis post-halothane”.
Kejadian ini akan lebih bermanifes, apabila diberikan halotan berulang dalam
waktu yang relatif singkat.
Kejadian “hepatitis post-halotane”, pertama kali dilaporkan di USA pada
tahun 1958, selanjutnya pada tahun 1966 diadakan penelitian besar-besaran
untuk membuktikan laporan tersebut. Dilakukan evaluasi pada 850.000 kasus

25
pasien yang diberikan anestesi halotan. Ternyata penelitian ini menyangkal
anggapan bahwa halotan menimbulkan nekrosis sel hati. Selanjutnya beberapa
percobaan laboratorium juga gagal membuktikan efek toksik langsung halotan
pada hepar. Jadi sikap yang disepakati pada saat ini adalah bahwa mungkin saja
terjadi nekrosis sel hati setelah anestesia dengan halotan, tetapi mekanismenya
masih belum jelas.

Terhadap suhu tubuh


Induksi dengan halotan akan segera menurunkan suhu sentral tubuh sebesar
1 derajat celcius, tetapi akan meningkatkan suhu permukaan tubuh akibat
redistribusi panas tubuh ke permukaan. Selanjutnya pada periode pemeliharaan
anestesia, suhu permukaan pun akan turun akibat dilatasi pembuluh darah
seehingga terjadi pelepasan panas tubuh.

Penggunaan Klinik
Halotan digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, halotan juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anak-
anak yang tidak kooperatif, halotan digunakan untuk induksi bersama-sama
dengan N2O secara inhalasi.
Untuk mengubah cairan halotan menjadi uap, diperlukan alat penguap
(vaporizer) khusus halotan, misalnya fluotec, halomix, copper kettle, dragger
dan lain-lainnya.

Dosis
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2,0-
3,0% bersama-sama N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas sponata, konsentrasinya berkisar
anatara 1,0-2,5%, sedangkan untk nafas kendali, berkisar antara 0,5-1,0%.

Kontra indikasi
Penggunaan halotan tidak dianjurkan pada pasien :
1. Menderita gangguan fungsi hati dan gangguan irama jantung.
2. Operasi kraniotomi.

Keuntungan Dan Kelemahan


1. Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak intattif terhadap
mukosa jalan nafas, pemulihannya relatif cepat, tidak menimbulkan mual
muntah dan tidak meledak atau cepat terbakar.
2. Kelemahannya adalah batas keamanannya sempit (mudah terjadi kelebihan
dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan

26
dengan obat lain. Selain itu juga menimbulkan hipotensi, gangguan irama
jantung dan hepatotoksik, serta menimbulkan menggigil pasca anestesia.

2. ETER (CH3-CH2-O-CH2-CH3)
Eter merupakan obat anestesia inhalasi yang awalnya dibuat oleh Valerius
Cardus pada tahun 1540 dengan cara memanaskan etil alkohol bersama-sama
dengan asam sulfur di bawah suhu 130 derajat celcius.
Pertama kali digunakan untuk anestesia oleh Crawford Long dan WE Clarke
pada tahun1842, tetapi tidak dipublikasikan, kemudian pada tanggal 6 Oktober
1846 di Boston, WTG Morton mempopulerkan pemakaian eter untuk anestesia.

Sifat Fisik Dan Kimiawi


Merupakan cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas,
sangat iritatif dan mudah terbakar/meledak. Berat molekulnya 74, berat jenis
cairannya 0,719, berat jenis uapnya 2,6 dan titik didihnya 35 derajat celcius.
Tidak bereaksi dengan kapur soda, terurai oleh udara, cahaya dan panas menjadi
perioksida eter dan asetaldehida, karena itu harus disimpan di tempat gelap dan
dingin.

Efek Farmakologi
Terhadap susunan saraf pusat
Eter merupakan obat anestesia inhalasi yang digunakan oleh AE Guedel
untuk memformulasikan gambaran stadium anestesia yang klasik pada saraf
pusat yang dibagi menjadi empat stadium anestesia yaitu :
Stadium I : disebut juga stadium analgesia
Stadium II : disebut juga stadium eksitasi
Stadium III : disebut juga stadium anestesia yang berlangsung 4 (empat) plana
Stadium IV : disebut juga stadium paralisis

Terhadap sistem saraf otonom


Eter merupakan obat anestesia yang bersifat simpatomimetik. Efek ini akan
meningkatkan denyut jantung, menimbulkan glikogeolisis, kontraksi lien,
dilatasi usus, dilatasi bronkus, dilatasi arteria koronaria, dialtasi pupil dan
meningkatkan laju nafas. Sebaliknya, terhadap parasimpatis, eter bersifat
depresan.

Terhadap sistem kardiovaskuler


Pada stadium awal, denyut jantung meningkat dan terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah, kemudian pada stadium lanjut, terjadi vasodilatasi akibat
depresi pada pusat vasomotor. Pada stadium awal, terjadi perubahan minimal
pada curah jantung dan tekanan darah, kemudian pada sadium lanjut, terjadi
depresi pusat vasomotor pada batang otak sehingga hal ini bisa menimbulkan

27
kegagalan sirkulasi. Pemakaian adrenalin oleh operator untuk tujuan tertentu
selama pembedahan dilaporkan tidak menimbulkan penyulit yang serius.

Terhadap sistem respirasi


Pada stadiium awal terjadi peningkatan aktivitas respirasi akibat stimulasi
pusat nafas oleh uap eter. Kemudian dengan semakin dalamnya stadium
anestesia, depresi nafas emakin jelas sampai pada stadium III plana 4 nafas akan
berhenti akaibat depresi pusat nafas. Uap eter sangat iritatif terhadap mukosa
jalan nafas. Sekresi kelenjar mukosa jalan nafas meningkat, timbul reaksi batuk,
bisa timbul spasme laring dan spasme bronkus. Pada kpemberian uap eter
dengan dosis tinggi dan cepat bisa terjadi refleks henti hafas. Hal ini dapat
dihambat dengan premedikasi sulfas atropin.

Terhadap sistem alimentarius


Sekresi air liur cairan lambung meningkat, disertai mual muntah, baik pada
stadium awal maupun pada fase pemulihan. Tonus atau peristaltik usus menurun
dan fungsi hati mengalami depresi, tetapi akan pulih dalam waktu 24 jam.

Terhadap sistem urinarius


Pada fungsi ginjal normal, produksi urin menurun akibat penrunan aliran
darah ke ginjal. Pada dungis ginjal yang telah menurun, pemberian eter akan
menambah berat insufisiensi yang terjadi, sehingga tidak dianjurkan
mempergunakan eter.

Terhadap uterus dan kehamilan


Pada stadium awal tonus otot uterus tidak mengalami perubahan, kemudian
pada stadium lanjut, terjadi relaksasi otot uterus. Eter juga dapat melewati barrier
plasenta, ehingga berpengaruh pada janin.

Terhadap metabolisme
Eter menyebabkan mobilisasi glikogen pada hati, sehingga terjadi
hiperglikemia. Hal ini terjadi karenameningkatnya pelepasan katekolamin.
Asidosis metabolik sering dijumpai akibat penurunan perfusi ke jaringan kurang.

Eliminasi
Sekitar 80-90% dikeluarkan secarautuh lewat paru-paru dan sisanya kira-
kira 15% dipecah dihati menjadiair dan CO2.

Penggunaan Klinik
Eter bisa digunakan sebagai obat tunggal dalam anestesia, karena
mempunyai khasiat yang lengkap pada trias anestesia. Untuk mengurangi dosis
yang diberikan, bisa dikombinasikan dengan obat pelumpuh otot non

28
depolarisasi sebagai komponen relaksasi otot, sehingga stadium yang diperlukan
cukup sampai stadium analgesia.
Untuk mengubah cairan eter menjadi uap, diperlukan alat penguap
(vaporizer) khusus eter, seperti sungkup muka Schimmelbusch (untuk metode
tetes terbuka), E.M.O inhaler dan lainnya.
Pada saat ini,eter tidak digunakan lagi secara luas di instalasi bedah sentral
karena beberapa alasan antara lain, eter mudah meledak, bau yang menyengat
dan tersedianya banyak pilihan obat-obat anestesia. Eter hanya digunakan di
beberapa pusat pendidikan sebagai pelengkap dalam proses belajar-mengajar.

Dosis
Untuk pemeliharaan dengan pola nafas sponatan, konsentrasinya berkisar
antara 10-15 vol%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 2,0-4,0 vol%
pada alat penguap E.M.O inhaler.

Kontra indikasi
Eter tidak dianjurkan pada :
1. Pasien yang menderita gangguan fungsi respirasi, hati, gangguan irama
jantung dan kencing manis.
2. Operasi yang menggunakan termokauter.

Keuntungan Dan Kelemahan


1. Keuntungannya adalah produksinya di dalam negeri, mudah diperoleh,
murah, memenuhi “trias anestesia” dan batas keamanannya luas.
2. Kelemahannya adalah mudah meledak sehingga tidak bisa digunakan dalam
operasi yang menggunakan termokauter, polusi kamar
opersasi,menimbulkan hipersekresi, gangguan irama jantung dan
hepatotoksisk serta menimbulkan mual muntah pasca anestesia.

3. ENFLURANE (2 kloro-1,1,2-trifluoroethyl ether)


Enfluran merupakan obat anestesia inhalasi yang termasuk turunan eter.
Dikemas dalam bentuk cair, tidak berwarna, tidak iritatif, berbau agak harum,
tidak eksplosif, lebih stabil dibandingkan dengan halotan dan induksinya lebih
cepat dibandingkan dengan halotan. Pertama kali diperkenalkan oleh Dobkin
dkk pada tauhn 1968.

Efek Farmakologi
Terhadap sistem saraf pusat
Pada dosis tinggi menimbulkan “twitching” (tonik-klonik) pada otot muka
dan anggota gerak. Hal ini terutama dapat terjadi bila pasien mengalami
hipokabnia. Kejadian ini bisa dihindari dengan mengurangi dosis obat dan

29
mencegah terjadinya hipokabnia. Obat ini tidak dianjurkan pemakaiannya pada
pasien yang mempunyai riwayat epilepsi walaupun pada penelitian taerbukti
bahwa enfluran tidak menimbulkan bangkitan epilepsi.
Walaupun menimbulkan vasodilatasi serebral, tetapi pada dosis kecil dapat
dipergunakan untuk operasi intrakranial karena tidak menimbulkan peningkatan
tekanan intrakranial.

Terhadap sistem kardiovaskuler


Secara kualitatif efeknya sama dengan halotan. Walaupun enfluran
meningkatkan kepekaan otot jantung terhadap katekolamin, tetapi pemakaian
adrenalin sangat jarang menimbulkan disritmia. Enfluran menghambat
pelepasan katekolamin sehingga konsentrasinya pada plasma rendah, pada saat
anestesia dengan enfluran.

Terhadap sistem respirasi


Menimbulkan depresi respirasi sesuai dengan dosis yang diberikan. Volume
tidal berkurang tetapi frekuensi nafas hampir tidak berubah. Tidak menimbulkan
iritasi pada mukosa jalan nafas sehingga bisa menimbulkan komplikasi batuk,
laringospasme dan peningkatan sekresi kelenja jalan nafas tidak terjadi.

Terhadap ginjal
Enfluran menurunkan aliran darah ginjal, menurunkan laju filtrasi
glomerolus dan akhirnya menurunkan diuresis. Pemecahan enfluran
menghasilkan metabolit fluorida anorganik, tetapi konsentrasi dalam plasma
tidka pernah menccapai konsentrasi yang nefrotoksik. Walaupun demikian harus
berhati-hati menggunakan enfluran pada pasien yang mempunyai gangguan
fungsi ginjal.

Terhadap otot rangka


Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi pusat motorik
pada serebrum, sehingga dengan demikian berpotensisasi dengan obat pelumpuh
otot non depolarisasi. Walupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot
untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal terutama pada operasai
laparotomi.

Terhadap uterus
Menimbulkan depresi tonus otot uterus, namun respon uterus terhadap
oksitosin tetap baik selama dosis enfluran rendah.

Terhadap hati
Dilaporkan bahwa terjadi gangguan fungsi hati yang ringan setelah
pemakaian enfluran yang sifatnya reversibel.

30
Biotransformasi
Hanya sekitar 2-8% dari dosis yang diberikan mengalami metabolisme di
hati, sebagian besar keluar secara utuh lewat respirasi. Rendahnya daya larut
dalam lemak menyebabkan pemulihannya sangat cepat asal pasien tidak
mengalami depresi nafas. Produk metabolit enfluran berupa fluorida organik dan
anorganik.

Penggunaan Klinik
Sama seperti halotan, enfluran digunakan terutama sebagai komponen
hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping efek hipnotik, juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anak-
anak yang tidak kooperatif, sangat baik digunakan untuk induksi bersama-sama
dengan N2O.
Untuk mengubah cairan enfluran menjadi uap, diperlukan alat penguap
(vaporizer) khusus enfluran.

Dosis
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2-3%
bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar
antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.

Kontra Indikasi
Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal. Akhir-akhir ini penggunaan enfluran
relatif jarang karena efeknya terhadap ginjal dan hati tersebut, seperti telah
diuraikan di atas.

Keuntungan Dan Kelemahan


1. Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap
mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak
menimbulkan mual muntah, dan tidak menimbulkan menggigil serta tidak
mudah meledak atau terbakar.
2. Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan
dosis), analgesia dan relaksasinya kurang, sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain dan bisa menimbulkan hipotensi.

4. ISOFLURAN
Isofluran merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosif, tidak mengandung zat pengawet, dan relatif tidak ralut
dalam darah tapi cukup iritatif terhadap jalan nafas sehingga pada saat induksi
inhalasi sering menimbulkan batuk dan tahanan nafas. Proses induksi dan
pemulihannya relatif cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesi inhalasi
yang ada pada saat ini tapi masih lebih lambat dibandingkan dengan sevofluran.

31
Efek Farmakologi
Terhadap sistem saraf pusat
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang diberikan. Isofluran
tidak menimbulkan kelainan EEG seperti yang ditimbulkan oleh enfluran. Pada
dosis anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebrum
serta mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil. Kelebihan lain yang
dimiliki oleh isofluran adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga
dengan demikian isofluran merupakan obat pilihan untuk anestesi pada
kraniotomi, karena tidak berperngaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai
efek proteksi serebral dan efek metaboliknya yang menguntungkan pada tekhnik
hipotensi kendali.

Terhadap sistem kardiovaskuler


Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan
dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Tekanan darah dan denyut
nadi relatif stabil selama anestesi. Dengan demikian isofluran merupakan obat
pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan kardiovaskuler.

Terhadap sistem respirasi


Seperti halnya obat anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga menimbulkan
depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan.

Terhadap otot rangka


Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi pusat motorik
pada serebrum, sehingga dengan demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh
otot non depolarisasi. Walaupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot
untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal terutama pada operasai
laparatomi.

Terhadap ginjal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju fitrasi
glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi masih dalam batas
normal.

Terhadap hati
Isofluran tidak menimbulkan perubahan fungsi hati. Sampai saat ini belum
ada laporan hasil penelitian yang menyatakan bahwa isofluran hepatotoksik.

Biotransformasi
hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi, hanya 0,2%
dimetabolisme di dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya sangat rendah, tidak
cukup untuk menimbulkan gangguan fungsi ginjal.

32
Penggunaan Klinik
Sama seperti halotan dan enfluren, isofluren digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping efek
hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi ringan.
Untuk mengubah cairan isofluran menjadi uap, diperlukan alat penguap
(vaporizer) khusus isofluran.

Dosis
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2-3%
bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan konsentrasinya berkisar
antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.

Kontra Indikasi
Tidak ada kontra indikasi yang unik. Hati-hati pada hipovolemik berat.

Keuntungan Dan Kelemahan


1. Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap
mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak
menimbulkan mual muntah, dan tidak menimbulkan menggigil serta tidak
mudah meledak atau terbakar. Penilaian terhadap pemakaian isofluran saat
ini adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan guncangan terhadap fungsi
kardiovskuler, tidak megubah sensitivitas otot jantung terhadap katekolamin,
sangat sedikit yang mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak
menimbulkan efek eksitasi SSP.
2. Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan
dosis), analgesia dan relaksasinya kurang, sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain.

5. SEVOFLURAN
Sevofluran merupakan halogenasi eter, hasil dari fluorisasi isopropil metil
eter dengan nama kimia 1-1-1-3-3-3-hexa fluoro 2-propil fluoro-metil-eter atau
fluorometil 2-2-2 trifluoro-1-(trifluorometil) eter-eter dan memilki berat
molekul 200,053.
Sevofluran dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif,
tidak berbau, stabil di tempat biasa (tidak perlu tempat gelam), dan tidak terlihat
adanya degradasi sevofluran dengan asam kuat atau panas. Obat ini tidak bersifat
iritatif terhadap jalan nafas sehingga baik untuk induksi inhalasi.
Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan obat-
obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini. Sevofluran dapat dirusak oleh kapur
soda tetapi belum ada laporan yang membahayakan.
Efek Farmakologi

33
Terhadap sistem saraf pusat
Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan isofluran. Aliran darah otak
sedikit meningkat sehingga sedikit meningkatkan tekanan intrakranial. Laju
metabolisme otak menurun cukup bermakna sama dengan isofluran. Tidak
pernah dilaporkan kejadian kejang akibat sevofluran.

Terhadap sistem kardiovaskuler


Sevofluran relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia. Nilai mabang
arimogenik epinefrin terhadap sevofluran terletak antara isofluran dan enfluran.
Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit menurun, sehingga tekanan
darah sedikit menurun. Pada 1,2-2 MAC sevofluran menyebabkan penurunan
tahanan vaskuler sistemik kira-kira 20% dan tekanan darah arteri kira-kira 20%-
40%. Curah jantung akan menurun 20% pada pemakaian sevofluran lebih dari 2
MAC. Diabndingkan dengan isofluran, sevofluran menyebabkan penurunan
tekanan darah lebih sedikit.
Sevofluran tidak atau sedikit meyebabkan perubahan pada aliran darah
koroner. Dilatasi arresi koroner yang terjadi akibat sevofluran lebih kecil
dibanding isofluran dan tidak menimbulkan efek coronary steal, sehingga
sevofluran aman dipakai untuk penderita penyakit jantung koroner atau yang
mempunyai resiko penyakit jantung iskemik, tetapi penelitian pada orang tua di
atas 60 tahun, disebutkan bahawa sebaiknya berhati-hati dlaam memberikan
sevofluran konsentrasi tinggi (8%) pada penderita hipertensi dan riwayat
penyakit jantung 9penyakit jantung koroner dan iskemik).
Sevofluran menyebabkan penurunan laju jantung. Mekanisme ini belum
jelas, kemungkinan disebabkan oleh karenna penurunan aktifitas simpatis tanpa
perubahan aktifitas parasimpatis. Penelitian-penelitian menyebutkan bahwa
penurunan laju jantung tidak sampai menyebabkan bradikardi, tetapi kejadian
bradikardi pernah dilaporkan pada bayi.

Terhadap sistem respirasi


Seperti halnya dengan obat anestesi inhalasi yang lain sevofluran juga
menimbulkan depresi pernapasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang
diberikan sehingga volume tidal akan menurun, tapi frekuensi nafas sedikit
meningkat. Pada manusia, 1,1 MAC sevofluran menyebabkan tingkat depresi
pernafasan hampir sama dengan halotan dan pada 1,4 MAC tingkat depresinya
lebih dalam daripada halotan. Sevofluran menyebabkan relaksasi otot polos
bronkus, tetapi tidak sebaik halotan.

Terhadap otot rangka


Efeknya terhadap otot rangka lebih lemah dibandingkan dengan isofluran.
Relaksasi otot dapat terjadi pada anestesi yang cukup dalam denga sevofluran.

34
Proses induksi, laringoskopi dan intubasi dapat dikerjakan tanpa bantuan obat
pelemas otot.

Terhadap hepar dan ginjal


tidak ada laporan tentang hepatotoksisitas klinis pada manusia setelah
penggunaan sevofluran oleh lebih dari dua jua orang sejak tahun 1988.
Sevofluran menurunkan aliran darah ke hepar paling kecil dibandingkan dengan
enfluran dan halotan.
Ada beberapa bukti, sevofluran menurunkan aliran darah ke ginjal dan
meningkatkan konsentrasi fluoride plasma, tetapi tidak ada bukti hal ini
menyebabkan gangguan fungsi ginjal pada manusia.

Terhadap uterus
Kontraksi uterus spontan dapat dipertahankan dengan baik dan kehilangan
darah minimal. Tidak terjadi efek buruk pada bayi dan ibu. Penelitian Sharma
dkk, menunjukkan bahwa efek terhadap bayi, perubahan hemodinamik ibu dan
efek samping pasca bedah adalah sebanding antara sevofluran dan isofluran.

Biotransformasi
Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara ekspirasi, hanya
sebagian kecil 2-3% dimetabolisme dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya
sangat rendah, tidak cukup untuk menimbulkan gangguan fungsi ginjal.

Eleminasi
Eleminasi sevofluran oleh paru-paru kurang cepat dibanding desfluran,
tetapi masih lebih cepat dibanding isofluran,enfluran, dan halotan. Sevofluran
mengalami metabolisme di hati (defluoronisasi) kurang dari 5%, membentuk
senyawa fluorine, kemudian oleh enzim glucuronyl tansferase diubah menjadi
fluoride inorganik dan fluoride organik (hexafluoro isopropanol), dan dapat
dideteksi dalamdarah serta uruin. Hexafluoro isopropanol akan terkonjugasi
menjadi produk tidak aktif, kemudian diekskresikan lewat urin. Tidak ada
pengaruh nyata pada fungsi ginjal dan tidak bersifat nefrotoksik.

Penggunaan Klinik
Sama seperti agen volatil lainnya, sevofluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek
hipnotik, juga mempunyai efek analgetik rignan dan relaksasi otot ringan. Pada
bayi dan anak-anak yang tidak kooperatif, sangat baik digunakan untuk induksi.
Untuk mengubah cairan sevofluran menjadi uap, diperlukan alat penguap
(vaporizer) khusus sevofluran.

Dosis

35
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 3,0-
5,0% bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar
antara 2,0-3,0%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.
Kontra Indikasi
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced hyperthermia”,
hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.

Keunggulan Dan Kelemahan


1. Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap
mukosajalan nafas, pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan agen
volatil lain.
2. Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan
dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain.

6. DESFLURAN
Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya
sama dengan isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengan
agen volatil yang lain. Memerlukan alat penguap khusus (TEC-6) dengan saran
elektrik tidak seperti agen yang lain.

Efek Farmakologi
Efek klinisnya hampir sama dengan isofluran. Hanya efeknya terhadap
respirasi dapat menimbulkan rangsangan jalan nafas sehingga tidak dapat
digunakan untuk induksi. Bersifat simpatomimetik sehingga mengakibatkan
takikardi, akan tetapi tidak bermakna dalam meningkatkan tekanan darah. Efek
terhadap hepar dan ginjal sama dengan sevofluran.

Biotransformasi
hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi, hanya <0,1%
dimetabolisme oleh tubuh.

Penggunaan Klinik
Sama seperti agen volatil lainnya, desfluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek
hipnotik, desfluran juga mempunyai efek analgetik yang ringan dan relaksasi
otot ringan.

dosis
1. Untuk induksi, disesuaikan dengan kebutuhan
2. Untuk pemeliharaan tergantung dengan racikan obat yang lain dan
disesuaikan dengan kebutuhan.

36
Kontra Indikasi
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced hyperthermia”,
hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.

Keuntungan Dan Kelemahan


1. Keuntungannya hampir sama dengan isofluran.
2. Kelemahannya adalah batas keamanannya sempit (mudah terjadi kelebihan
dosis), analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain.
7. NITROUS OKSIDA (N2O)
Nitrous oksida ditemukan oleh Priestley pada tahun 1772, kemudian pada
tahun 1779, oleh Humphrey Davy menyatakan bahwa N2O mempunyai efek
anestesia. Pada tahun 1844 Cotton dan Wells mempergunakannya dalam praktik
klinik. Nitrous oksida lebih populer dengan nama gas gelak. N2O adalah satu-
satunya gas inorganik yang masih dipakai dalam praktek anestesia.
N2O adalah anestesi lemah dan harus diberikan dengan konsentrasi besar
(lebih dari 65%) agar efektif. Paling sedikit 20%atau 30% oksigen harus
diberikan sebagai campuran, karena konsentrasi N2O lebih besar dari 70-80%
dapat menyebabkan hipoksia. N2O tidak dapat menghasilkan anestesia yang
adekuat kecuali dikombinasikan dengan zat anestesi yang lain, meskipun
demikian, karakteristik tertentu membuatnya menjadi zat anestesi yang menarik,
yaitu koefisien partisi darah / gas yang rendah, efek anagesi pada konsentrasi
subanestetik, kecilnya efek kardiovaskuler yang bermakna klinis, toksisitasnya
minimal dan tidak mengiritasi jalan napas sehingga ditoleransi baik untuk
induksi dengan masker.
Efek anestesi N2O dan zat anestesi lain bersifat additif, sehingga pemberian
N2O dapat secara substansial mengurangi jumlah zat anestesi lain yang
seharusnya digunakan. Pemberian N2O akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi alveolar dari zat anestesi lain dengan cepat, oleh karana sifat “efek
gas kedua” dan “efek konsentrasi” dari N2O. Efek konsentrasi terjadi saat gas
diberikan dengan konsentrasi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi gas diinhalasi,
maka semakin cepat peningkatan tekanan arterial gas tersebut. Seorang pasien
menerima 70-75% N2O akan menyerap sampai 1.000 ml/menit N2O saat fase
awal induksi. Pemindahan volume N2O dari paru ke darah, menyebabkan aliran
gas segar seperti disedot masuk dari mesin anestesi ke dalam paru-paru, sehingga
meningkatkan laju gas lain. Pasien menerima hanya 10-25% N2O, pengambilan
N2O oleh darah hanya 150 ml/menit, hal ini tidak menghasilkan perubahan yang
signifikan pada laju penyerapan agen/gas lain. Efek gas kedua terjadi saat agen
inhalasi kedua diberikan bersama dengan N2O. efek ini berkaiatan dengan
pengambilan N2O yang cepat, sekitar 1.000 ml/menit saat induksi anestesi.
Pengambilan cepat volume N2O yang besar, menmbulkan suat keadaan vakum
di alveolus, sehingga memaksa lebih banyak gas segar (N2O bersama dengan
agen inhalasi lain) masuk ke dalam paru-paru.

37
MAC bangun N2O adalah 65% diatas konsentrasi tersebut pasien tidak
sadar atau lupa terhadap tindakan pembedahan. Analgesia yang dihasilakan oleh
50% N2O kira-kira sama dengan 10 mg morfin.

Kemasan Dan Sifat Fisik


N2O dibuat dengan cara mereaksikan besi (Fe) dengan asam nitrat, terbentuk
nitrit oksida (NO), kemudian bereaksi kemablidngan besi sehingga terbentuk
N2O. Secara komersial, N2O dihasilkan dari pemanasan kristal amonium nitrat
pada suhu 240oC dan akan terurai menjadi N2O dan H2O, dimana gas yang
dihasilkan ditampung, dipurifikasi dan dekompresi ke dalam silinder metal
warna biru pada tekanan 51 atm.
N2O merupakan gas yang tidak bewarna, berbau harum manis, tdaik bersifat
iritasi, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak tetapi membantu proses
kebakaran akibat gas lain meskipun tidak ada oksigen. N2O mempunyai berat
molekul 44, titik didih 89oC dan umumnya disimpan dalam bentuk cair serta
tekanan kritis 71,7 atm, suhu kritis 36,5oC, berat jenis 1,5 (udara 1).
N2O tidak bereaksi dengan soda lime, obat anestesi lain dan bagian metal
peralatan tetapi bisa meresap dan berdifusi melalui peralatan dari karet.
Kelarutan N2O 15 kali lebih larut dibandingkan dengan oksigen, mempunyai
koefisien partisi darah / gas 0,47 dan koefisen partisi darah / otak 1,0.

Absorpsi, Distribusi Dan Eliminasi


Absorbsi dan eliminasi nitorus oksida relatif lebih cepat dibandingkan
dengan obat anestesi inhalasi lainnya, hal ini terutama disebabkan oleh koefisien
partisi gas darah yang rendah dari N2O. total ambilan N2O oleh tubuh manusia
diteliti oleh Severinghause. Pada menit pertama, N2O (75%) dengan cepat akan
diabsorbsi kira-kira 1.000 ml/menit. Setelah 5 menit, tingkat absorbsi turun
menjadi 600 ml/menit, setelah 10 menit turun menjadi 350 ml/menit dan setelah
50 menit tingkat absorbsinya kira-kira 100 ml/menit, kemudian pelan-pelan
menurn dan akhirnya mencapi nol. Konsentrasi N2O yang diabsorbsi tergantung
antara lain oleh konsentrasi inspirasi gas, ventilasi alveolar dan ambilan oleh
sirkulasi, seperti koefisien partisi darah/gas dan aliran darah (curah jantung).
N2O akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Konsentrasi di jaringan
adalah berbanding lurus dengan perfusi per unit volume dari jaringan, lamanya
paparan dan koefisien partisi darah / jaringan zat tersebut. Jaringan dengan aliran
darah besar/banyak seperti otak, jantung, hati dan ginjal akan menerima N2O
lebih banyak sehingga akan menyerap volume gas yang lebih besar. Jaringan
lain dengan suplai darah sedikit seperti jaringan lemak dan otot menyerap hanya
sedikit N2O, ambilan dan penyerapan yang cepat menyebabkan tidak
terdapatnya simpanan N2O dalam jaringan tersebut sehingga tidak menghalangi
pulihnya pasien saat pemberian N2O dihentikan.

38
N2O tidak atau sedikit mengalami biotransformasi dalam tubuh, namun
telah ditemukan bakteri anaerob yang memetabolisir N2O dan menghasilkan
radikal-radikal bebas meskipun tidak terdapat bukti bahwa radikal-radikal bebas
tersebut menimbulkan kerusakan organ yang spesifik. N2O dieliminasi melalui
paru-paru dan sebagian kecil diekskresikan lewat kulit.
Pada saat N2O dihentikan pemberiannya, N2O berdifusi keluar dari darah
dan masuk ke alveoli secepat difusinya ke dalam darah saat induksi. Jika pasien
dibiarkan menghirup udara atmosfir saja pada saat tersebut akan mengalami
hipoksia difusi. Selama beberapa menit pertama pasien menghirup udara
atmosfir, sejumlah besar volume N2O berdifusi melalui darah ke dalam paru-
paru dan dikeluarkan lewat paru-paru. Kira-kira sebanyak 1500 ml N2O
dikeluarkan pada menit pertama oleh pasien yang menerima N2O : O2 dengan
rasio 75% : 25%. Jumlah tersebut menurun menjadi 1.200 ml pada menit ke dua
dan 1.000 ml pada menit ke tiga. Difusi N2O yang cepat dan dalam jumlah besar
ke dalam alveoli akan menyebabkna pengenceran dan mendesak O2 keluar dari
alveoli., sehingga mudah terjadi hipoksia dan juga menyebabkan terjadinya
pemindahan volume CO2 yang lebih besar dari darah, sehinga akan menurunkan
tekanan CO2 dalam darah dan akan memperberat hipoksia. Efek hipoksia difusi
dapat dicegah dengan pemberian 100% O2 selam minimal 3-5 menit pada akhir
operasi.

Efek Farmakologi
Terhadap sistem saraf pusat
Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai khasiat hipnotik. Khasiat
analgesianya relatif lemah akibat kombinasinya dengan oksigen. Pada
konsentrasi 25% N2O menyebabkan sedasi ringan. Peningkatan konsentrasi
menyebabkan penurunan sensasi perasaan khusus seperti ketajaman,
penglihatan, pendengaran, rasa, bau dan diikuti penurunan respon sensasi
somatik seperti sentuhan, temperatur, tekanan dan nyeri. Penurunan perasaan
membuat agen ini cocok untuk induksi sebelum pemberian agen lain yang lebih
iritatif. N2O menghasilkan analgesi sesuai besarrnya dosis. N2O 50% efek
analgesinya sama dengan morfin 10 mg. Bukti menunjukkan bahwa N2O
memiliki efek agonis pada reseptor opioid atau mengaktifkan sistem opioid
endogen. Area pusat muntah pada medula tidak dipengaruhi oleh N2O kecuali
jika terdapat hipoksia.
Nitrous oksida tidak mengikuti klasifikasi stadium anestesi dari guedel
dalam kombinasinya dengan oksigen dan sangat tidak mungkin mencoba
memakai nitrous oksigen tanpa oksigen hanya karena ingin tahu gambaran
stadium anestesi dari guedel. Efeknya terhadap tekanan intrakranial sangat kecil
bila dibandingkan dengan obat anestesi yang lain.
Dalam konsentrasi lebih dari 60%, N2Odapat menyebabkan amnesia,
walaupun masih diperlukan penelitian yang lebih lanjut.

39
Terhadap susunan saraf otonom, nitrous oksida merangsang reseptor alfa
saraf simpatis, tetapi tahanan perifer pembuluh darah tidak mengalami
perubahan.

Terhadap sitem kardiovaskuler


Depresi ringan kontraktilitas miokard terjadi pada rasio N2O : O2 = 80% :
20%. N2O tidak menyebabkan perubahan laju jantung dan curah jantung secara
langsung. Tekanan darah tetap stabil dengan sedikit penurunan yang tidak
bermakna.

terhadap sistem respirasi


pengaruh terhadap sistem pernapasan minimal. N2O tidak mengiritasi epitel
paru sehingga dapat diberikan pada pasien dengan asma tanpa meningkatkan
resiko terjadinya spasme bronkus. Perubahan laju dan kedalaman pernapasan
(menjadi lebih lambat dan dalam) lebih disebabkan karena efek sedasi dan
hilangnya ketegangan.

Terhadap sistem gastrointestinal


N2O tidak mempengaruhi tonus dan motilitas saluran cerna. Distensi dapat
terjadi akibat masuknya N2O ke dalam lumen usus. Pada gangguan fungsi hepar,
N2O tetap dapat digunakan.

Terhadap ginjal
N2O tidak mempunyai pengaruh yang signifikan pada ginjal maupun pada
komposisi urin.

Terhadap otot rangka


N2O tidak menyebabkan relaksasi otot rangka. Karena tonus otot tetap tidak
berubah sehingga dalam penggunaannya mutlak memerlukan obat pelumpuh otot.

Terhadap uterus dan kehamilan


Kontraksi uterus tidak terpengaruh baik pada kekuatan maupun
frekuensinya. N2O melewati barrier plasenta dengan mudah masuk ke dalam
sirkulasi fetus yang dapat mengakibatkan konsentrasi O2 di darah fetus turn dengan
drastis bila kurang dari 20% O2 diberikan bersama dengan N2O. kehamilan bukan
merupakan kontra indikasi penggunaan N2O – O2 sebagai sedasi inhalasi.

terhadap sistem hematopoeitik


Dilaporkan pada pemakaian jangka panjang secara terus menerus lebih dari
24 jam bisa menimbulkan depresi pada fungsi hemato-poietik. Anemia
megaloblastik sebagai salah satu efek samping pada pemakaian nitrous oksida
jangka lama.

40
Efek Samping
Walaupun nitrous oksida dikatakan sebagai obat anestetik non toksik dan
mempunyai pengaruh yang sangat minimal pada sistem organ seperti tersebut di
atas, kadang-kadang terjadi juga efek samping seperti berikut
1. Nitrous oksida akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat
tiopenton terutama setelah diberikan premedikasi narkotik.
2. Kehilangan pendengaran pasca anestesia, hal ini disebabkan adanya
perbedaan solubilitas antara N2O dan N2 sehingga terjadi perubahan
tekanan pada rongga telinga tengah.
3. Pemanjangan proses pemulihan anestesia akibat difusinya ke rongga
tubuh seperti pneumotorak.
4. Pemakaian jangka panjang menimbulkan depresi sumsum tulang
sehingga menyebabkan anemia aplastik.
5. Mempunyai efek teratogenik pada embrio terutama pada umur 8 hari –
6 minggu, yang dianggap periode kritis.
6. Hipoksia difusi pasca anestesia. Hal ini terjadi sebagai akibat dari sifat
difusinya yang luas sehingga proses evaluasinya terlambat. Oleh karena
itu pada akhir anestesia, oksigenasinya harus diperhatikan.

Penggunaan Klinik
Dalam praktik anestesia, N2O digunakan sebagai obat dasar dari anestesia
umum inhalasi dan selalu dikombinasikan dengan oksigen dengan perbandingan
N2O : O2 = 70 : 30 (untuk pasien normal), 60 : 40 (untuk pasien yang
memerlukan tunjangan oksigen yang lebih banyak), atau 50 : 50 (untuk pasien
yan gberesiko tinggi). Oleh karena N2O hanya bersifat analgesia lemah, maka
dalam penggunaannya selalu dikombinasikan degnan obat lain yang berkhasiat
sesuai dengan target “trias anestesia” yang ingin dicapai.
Kecelakaan Dalam Penggunaan N2O
Kecelakaan dalam praktik anestesia mempergunakan N2O sering kali
terjadi. Hal ini disebabkan oleh faktor alat atau mesin anestesia yang digunakan
dan faktor manusianya akibat kelalaian. Seperti telah diuraikan di atas,
pemakaian N2O harus selalu diberikan bersama-sama dengan oksigen.
Kecelakaan bisa terjadi pada saat induksi, pada saat pemeliharaan atau pada saat
akhir anestesia. Pada saat induksi, petugas anestesia ingin memberikan oksigen,
tetapi yang dialirkan justru N2O. pada saat pemeliharaan, persediaan oksigen
habis dan petugas tidak waspada. Pada saat akhir anestesia, petugas anestesia
bermaksud memberikan oksigen, tetapi yang dialirkan ternyata N2O.
Untuk megurangi resiko kecelakaan dalam penggunaan N2O, dilakukan
modifikasi dan penyempurnaan sarana sistem perpipaan gas di rumah sakit dan
mesin anestesia. Kemasan tabung gas diberi tanda / warna / label tertentu, sistem
perpipaan dilengkapi dengan alat pengaman dan mesin anestesia dibuat
sedemikian rupa sehingga tanpa aliran oksigen, gas N2O tidak bisa mengalir.

41
Perbedaan anestetik inhalasi
Perbandingan anestetik inhalasi baik secara fisik –kima maupun secara
klinik farmakologi dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1. Perbandingan sifat fisik dan kimia anestetik inhalasi

Anesetetik Nitrous
Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
inhlasi Oksida
Berat molekul 44 197 184 184 168 200
Titik didih (oC) -68 50-50,2 56,6 48,5 22,8-23,5 58,5
Tekanan uap 5200 243-244 172-174,5 238-240 669-673 160-170
(mmHg 20oC)
Bau Manis Organik Eter Eter Eter Eter
Turunan eter Bukan Bukan Ya Ya Ya Ya
Pengawet - Perlu - - - -
Koef. Partisi
0,47 2,4 1,9 1,4 0,42 0,65
darah/gas
Dengan kapur
Stabil Tidak Stabil Stabil Stabil Tidak
soda 40oC
MAC 37oC
usia 30-55
104-105 0,75 1,63-1,70 1,15-1,20 6,0-6,6 1,80-2,0
tahun (tekanan
760 mmHg)

Tabel 2. Farmakologi klinik anestetik inhalasi

Anestetik Nitrous Isofluran/


Halotan Enfluran Sevofluran
inhalasi Oksida Desfluran
CO 0 -* --* 0 0
HR 0 0 ++* + 0
BP 0 -* --* --* --
Kontraktilitas -* ---* --* --* --
SVR 0 0 - -- -
PVR + 0 0 0 0
TIK + ++ ++ + +
CBF + ++ + + +
Kejang - - + - -

42
Aliran Darah
- -- -- - -
Hepar
RR + ++ ++ + +
VT - - - - -
PaCO2 0 + ++ + +
*=Dose Dependent; 0=No Change; -=Decrease; +=Increase
CO=cardiac output; HR=heart rate; BP=blood preasure; SVR=systemic vasculer resistence;
PVR=pulmonary vasculer resistance; TIK=tekanan intrakranial; CBF=cerebral blood flow;
RR=respiratory rate; VT=volume tidal

MESIN DAN ALAT ANESTESI


Fungsi mesin anestesi adalah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik
yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan
membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak
ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer.
Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yangmemenuhi persyaratan berikut :
1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
2. Ruang rugi minimal
3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien
4. Bertekanan rendah
5. Kelembaban terjaga dengan baik
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman
Mesin anestetik adalah teman akrab anestetis atau anestesiologist yang harus selalu
siap pakai, kalau akan dipergunakan. Mesin anestetik modern dilengkapi langsung
dengan ventilator mekanik alat pantau.
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari :
1. Sumber O2, N2O dan udara tekan
Sumebr O2 dan N2O dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan
mesin anestetik atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar
biasanya menyediakan O2, N2O dan udara tekan secara sentral untuk
disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan, ruang obstetri
dan lain-lainnya.
2. Alat pantau tekanan gas
Alat pantau tekanan gas untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau
tekanan gas O2 berkurang maka akan ada bunyi tanda bahaya.
3. Katup penurun tekanan gas
Katup penurun tekanan gas untuk menurunkan tekanan gas pasok yang
masih tinggi, sesuai karakteristik mesin anestesi.
4. Meter aliran gas
Meter aliran gas dari tabung kaca untuk mengatur aliran gas setiap
menitnya.

43
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik
Penguap cairan anestetik dapat tersedia satu, dua, tiga sampai empat.
6. Lubang keluar campuran gas
Lubang keluar campuran gas biasanya berdiameter standar.
7. Kendali O2 darurat
Kendali O2 darurat untuk keadan yang dalpat mengalirkan O2 murni sampai
35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

Sumber O2 Sumber N2O Sumber gas lain

Alat pantau tekanan Alat pantau tekanan Alat pantau tekanan

Katup penurun tekanan

Meter aliran gas

Penguap anestetik volatil

Lubang campuran penguap gas

Kendalli oksigen darurat

Gambar 1. Rangkaian mesin anestetik

Tabung gas dan tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk
menghidari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna yang telah disepakati
ialah seperti tabel 3.

Tabel 3. Kode warna internasional

Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran


Putih- Abu-
Putih* Biru Merah Jingga Ungu Biru Kuning
Hitam** abu
*USA : hijau, **kuning
Mesin anestesi sebelum digunakan harus diperiksa apakah berfungsi
denganbaik atau tidak. Beberapa petunjuk di bawah ini perlu diperhatikan :
1. Periksa mesin dan peralatan kaitannya secara visual apakah ada kerusakan
atau tidak, apakah rangkaian sambungannya seduah benar.
2. Periksa alat penguap apakah sudah terisi obat dan penutupnya tidak longga
atau bocor.
3. Periksa apakah sambungan silinder gas atau pipa gas ke mesin sudah benar.
4. Periksa meter aliran gas apakah berfungsi baik.

44
5. Periksa aliran gas O2 dan N2O.

SISTEM ATAU SIRKUIT ANESTESIA


Sistem penghantar gas atau sistem anestesia atau sirkuit anestesia adalah
alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin
ke jalan napas atau pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan
mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan mengisapnya dengan kapur
soda.
Sirkuit anestesia umumnya terdiri dari :
1. Sungkup muka, sungkup laring atau pipa trakea.
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas.
3. Pipa ombak, pipa cadang. Bahan karet hitam atau plastik tansparan anti
statik, anti tekuk.
4. Kantong cadang.
5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2. Untuk mencegah terjadinya
barotrauma akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi, katup
membatasi tekanan samapai 50 cmH2O.
Sirkuit anestesi yang populer sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (cicle
system), sirkuit magill, sirkuit Bain dan sistem pipa T atau pipa Y dari Ayre.

Tehnik pemberian

Pemberian anestetika inhalasi dibagi menjadi 3 cara, yaitu:


 Sistem terbuka, yaitu dengan penetesan langsung keatas kain kasa yang
menutupi mulut atau hidung penderita, contohnya eter dan trikloretilen.
 Sistem tertutup, yaitu dengan menggunakan alat khusus yang menyalurkan
campuran gas dengan oksigen dimana sejumlah CO2 yang dikeluarkan
dimasukan kembali (bertujuan memperdalam pernafasan dan mencegah
berhentinya pernafasan atau apnea yang dapat terjadi bila diberikan dengan
sistem terbuka). Karena pengawasan penggunaan anestetika lebih teliti maka
cara ini banyak disukai, contohnya siklopropan, N2O dan halotan.
 Insuflasi gas, yaitu uap atau gas ditiupkan kedalam mulut, batang tenggorokan
atau trachea dengan memakai alat khusus seperti pada operasi amandel.

SISTEM INSUFLASI
Sistem ini diartikan sebagai penghembusan gas anestetik degan sungkup
muka melalui salah satu sistem ke wajah pasien tanpa menyentuhnya. Biasanya
dikerjakan pada bayi atau anak kecil yang takut disuntik atau pada mereka yang
sedang tidur supaya tidak terbangun (induksi mencuri, steal induction). Untuk
menghindari penumpukan gas CO2, alliran gas harus cukup tinggi sekitar 8-10
liter/menit. Sistem ini dapat mencemari udara sekitarnya.

45
Ada yang mengartikan, bahwa sistem ini adalah penghembusan campuran
gas anestetik melalui lubang hidung dengan menggunakan pipa nasofaring. Seperti
melalui sungkup, aliran campuran gas juga harus tinggi sekitar 8-10 liter/menit.

TATALAKSANA ANESTESI UMUM INHALASI SUNGKUP MUKA


Indikasi :
1. Pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh dan berlangsung
singkat denga posisi telentang, tanpa membuka rongga perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik I atau II).
3. Lambung dalam keadaan kosong.
Kontra indikasi :
1. Operasi di daerah kepala dan jalan napas.
2. Operasi dengan posisi miring atau tertelungkup.
Tatalaksana :
1. Pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman
2. Pasang alat pantauu yang diperlukan
3. Siappkan alat-alat dan obat resusitasi
4. Siapkan mesin anestesi dengan sistem sirkuitnya dan gas anestesi yang
digunakannya
5. Induksi dengan pentothal atau dengan obat hipnotik yang lain
6. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi
7. Awasi pola nafas pasien, bial tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
nafas bantuan secara sinkron sesuai dengan irama pasien
8. Pantau denyut nadi dan tekanan darah
9. Apabila operasi sudah selasai, hentikan aliran gas / obat anestesi inhalasi
dan berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit

OBAT ANESTESI INTRAVENA

Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot.
Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat – obat ini akan diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target
organ masing –masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan
farmakodinamiknya masing-masing.

Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.

46
Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang
sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang
sangat minimal.Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang
diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.

Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting,


membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor
pembedahan yang akan dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional
anestesi dikatakan lebih aman daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa teknik yang satu lebih baik dari yang lain, sehingga penentuan
teknik anestesi menjadi sangat penting.

Pemahaman tentang sirkulasi darah sangatlah penting sebelum obat dapat


diberikan secara langsung ke dalam aliran darah, kedua hal tersebut yang menjadi
dasar pemikiran sebelum akhirnya anestesi intravena berhasil ditemukan.

SEJARAH

William Morton , tahun 1846 di Boston , pertama kali menggunakan obat


anestesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri selama operasi. Di jerman tahun
1909, Ludwig Burkhardt, melakukan pembiusan dengan menggunakan kloroform
dan ether melalui intravena, tujuh tahun kemudian, Elisabeth Brendenfeld dari
Swiss melaporkan penggunaan morfin dan skopolamin secara intravena. Sejak
diperkenalkan di klinis pada tahun 1934, Thiopental menjadi “Gold Standard” dari
obat – obat anestesi lainnya, berbagai jenis obat-obat hipnotik tersedia dalam
bentuk intavena, namun obat anestesi intravena yang ideal belum bisa ditemukan.

TOTAL INTRAVENA ANESTESI (TIVA)

TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat


anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi
termasuk N2O. TIVA digunakan buat mencapai 4 komponen penting dalam

47
anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks, sensoris dan
motorik. Atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu
1. Amnesia
2. Arefleksia otonomik
3. Analgesik
4. +/- relaksasi otot

Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan


kombinasi dari obat-obatan intravena yang dapat melengkapi keempat komponen
tersebut. Kebanyakan obat anestesi intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen
di atas kecuali Ketamin yang mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai
agen anestesi intravena yang paling lengkap.

Kelebihan TIVA:
1. Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang
lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.
2. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi
sekitar jalan nafas atau paru-paru.
3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus.

DEFINISI ANESTESI INTRAVENA

Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan


memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat
tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik.
Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai
pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional.10
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat anestesi dan
yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton,
Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.

48
INDIKASI ANESTESI INTRAVENA

1. Obat induksi anesthesia umum


2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)

CARA PEMBERIAN
1. Sebagai obat tunggal :
o Induksi anestesi
o Operasi singkat: cabut gigi
2. Suntikan berulang :
o Sesuai kebutuhan : curetase
3. Diteteskan lewat infus :
o Menambah kekuatan anestesi

JENIS-JENIS ANESTESI INTRAVENA

4.1 Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol )


Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan
dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia
umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun.
Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman
dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat
tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg)
dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W.

4.1.1 Mekanisme kerja

49
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi
diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma Amino
Butired Acid).

4.1.2 Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat
protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak
aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam
kenyataanya di klinis jauh lebih pendek karena propofol didistribusikan secara
cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45
detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml
mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek
analgetik ataupun relaksasi otot.

4.1.3 Farmakodinamik
Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang
kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian
dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat
menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan
tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.

4.1.4 Dosis dan penggunaan

a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.


b) Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrate
to effect).
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila
digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang
minimal 0,2%

50
f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam
lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka
lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.

4.1.5 Efek Samping


Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri
ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol
dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin
dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian
proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual
dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan
propofol.Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati –
hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan
pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik
(thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah
dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat
jarang.Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan
pada anak-anak akibat pemberian propofol.

4.2 Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal
dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang
merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai
otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1
menit tiopenton sudah mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit
konsentrasi mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis
yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan
hilangnya kesadaran.
Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2-
thiobarbituric acid], methohexital [1-methyl-5-allyl-5-(1-methyl-2-
pentynyl)barbituric acid], dan thiamylal [5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric

51
acid]. Ada juga turunan barbiturat yang dipakai sebagai induksi seperti secobarbital
dan pentobarbital tetepi penggunaannya sangat jarang. Thiopental (Pentothal) dan
thiamylal (Surital) merupakan thiobarbiturates, sedangan methohexital (Brevital)
adalah oxybarbiturate.
Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental
merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak
dipergunakan untuk induksi anestesi.

4.2.1 Mekanisme kerja


Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan
menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat
menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan
pusat regulasi, yang beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol
beberapa fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara
khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf dari pada akson.Barbiturat menekan
transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam gamma aminobutirik
(GABA).Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter (presinap)
dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).

4.2.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk
induksi anestesi umum pada orang dewasa dan anak – anak.Perkecualian pada
tiopental rektal atau sekobarbital atau metoheksital untuk induksi pada anak –
anak.Sedangkan phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi
pada semua kelompok umur.

Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh
selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya akan
vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti

52
hati, otot, dan jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam
plasma ini terutama oleh karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.

Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.

Ekskresi
Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3
ml/kg/menit dan pada anak – anak terjadi 6 ml/kg/menit.

4.2.3 Farmakodinamik
Pada Sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada
dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah
sedangkan pada dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik
elektroensepalogram.Thiopental turut menurunkan tekanan intrakranial. Manakala
methohexital dapat menyebabkan kejang setelah pemberian dosis tinggi.

Sistem pernafasan
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun
terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat sampai
menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik.Dapat juga menyebabkan refleks
laringeal yang lebih aktif berbanding propofol sehingga menyebabkan
laringospasme.Jarang menyebabkan bronkospasme.

4.2.4 Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg.Untuk menghindarkan
efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil
menunggu reaksi pasien.

4.2.5 Efek samping

53
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan
obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal
ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat
juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan
menginduksi enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya
serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat
pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan
dilakukan blok regional simpatis.

4.3 Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang
memiliki struktur mirip dengan phencyclidine.Ketamin pertama kali disintesis
tahun 1962, dimana awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik
yang lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang.
Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika selama perang Vietnam.
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan
“rapid acting non barbiturate general anesthesia”. Ketalar sebagai nama dagang
yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang
digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan
takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat
menimbulkan muntah – muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk.
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi
dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan
emergence phenomena.

4.3.1 Mekanisme kerja


Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak
dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi
terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek
analgesik.

54
4.3.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular

Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke
seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara I.V
dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan
secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.

Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa
metabolit yang masih aktif.

Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.

4.3.4 Farmakodinamik
Susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan
mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa
kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai
gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,
menelan, tremor dan kejang.Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang
merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara
intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi
buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi.
Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah
intrakranial.

55
Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia
ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat
anak-anak). Pasien dapat terbangun jika Cp dibawah 0,5µg/ml.
Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (NMDA)
yang non kompetitif yang menyebabkan :
o Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat
o Mengurangi pembebasan presinaps glutamat
o Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa:
o Mimpi buruk
o Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan)
o Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi
o Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan
o 20%-30% terjadi pada orang dewasa
o Dewasa > anak-anak
o Perempuan > laki-laki

Sistem pernafasan

Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi.dapat


menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga
merupakan obat pilihan pada pasien asma.

4.3.5 Dosis dan pemberian


Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila
akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat
larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2
mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah
yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu.
Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan dosis setengah
dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi

56
atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min
IV drip infus.

4.3.6 Efek samping


Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada
mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan
mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek
mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan
intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.

4.3.7 Kontra indikasi


Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang
telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal
saja.Pada pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus
dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya pada
trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler meningkat,
misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang
menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat – obat simpatomimetik,
seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.

4.4 Opioid

Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun.


Obat opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata
“opium “ berasal dari bahasa yunani yang berarti getah.
Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids.Morphine, meperidine,
fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid yang
sering digunakan dalam general anestesi.efek utamanya adalah analgetik. Dalam
dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak.Opioid berbeda
dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.

4.4.1 Mekanisme kerja

57
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf
pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun
opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia.
Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas
ikatan dan apakah reseptornya aktif.Aktivasi reseptor opiat menghambat
presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti
asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

4.4.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin
intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat
transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi
dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 μg/Kg)
dan dewasa (200-800 μg).

Distribusi
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit).Kelarutan lemak yang
rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset
kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang.Sebaliknya fentanil dan sufentanil
onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus.

Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran
darah hepar.Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.
Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier
dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 – 10% opioid diekskresikan lewat urine
dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan
otot polos esterase.

58
4.4.3 Farmakodinamik
Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan
frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun .PaCO2 meningkat dan
respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke
kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat
nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada
dosis tertentu.

Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga
terhambat.

4.4.4 Dosis dan pemberian


Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena
0,5 mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil
seperseratus dari petidin.

4.5 Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan
lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol.
Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak
menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya
yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia
dalam larutan dengan PH 3,5.

4.5.1 Mekanisme kerja


Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik,
amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral. Benzodiazepine
bekerja di reseptor ikatan GABAA.Afinitas pada reseptor GABAA berurutan

59
seperti berikut lorazepam > midazolam > diazepam. Reseptor spesifik
benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor
GABA.
4.5.2 Farmakokinetik
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan
muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh
dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya
akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam
didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan
tampak lambat pada pasien tua.

Clearance in ml/kg/min

Short midazolam 6-11

Intermediate lorazepam 0.8-1.8

Long diazepam 0.2-0.5

4.5.3 Farmakodinamik
Sistem Pernafasan
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat
nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan
retardasi mental.

4.5.4 Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
o Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb
o Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg
o Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.
o Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

60
4.5.5 Efek samping
Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai
sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan
trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia
pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate,
Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 - 1 mcg/kg/menit berikutnya.

4.6 Etomidat
Etomidat (Amidat) merupakan obat induksi intravena yang bekerja cepat
dengan efek gangguan hemodinamik yang minimal beserta efek depresi pernafasan
yang sedikit. Selain efek hemodinamik yang stabil dan kurang mendepresi
pernafasan obat ini juga bahkan memproteksi fungsi serebral serta lebih aman
dibandingkan dengan tiopenton. Etomidat bersifat tidak stabil dan tidak larut dalam
air maka dengan itu etomidat biasanya tersedia 2 mg/ml dalam propylene glycol
(35% dalam vol) dengan pH 6,9 dan osmomalitas s4,640 mOsm/l.

61
4. GLASGOW COMA SCALE

GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi
membuka mata (Eye), bicara (Verbal) dan gerakan (Motorik). Hasil pemeriksaan
dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.
Namun, hasil pemeriksaan GCS pada orang dewasa dan bayi jelas berbeda, karena
perbedaan respon antara orang dewasa dan bayi saat diberi rangsangan..
1. Pada orang Dewasa
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang), disorientasi
tempat dan waktu.
(3) : kata-kata tidak jelas
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motorik (Gerakan) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus
saat diberi rangsang nyeri)

62
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
2. Pada Anak/Bayi
Eye (Respon membuka Mata)
(4) : spontan
(3) : Patuh pada perintah/suara
(2) : dengan rangsangan nyeri
(1) : tidak ada respon
Verbal (bicara)
(5) : mengoceh
(4) : menangis lemah
(3) : menangis (karena diberi rangsangan nyeri)
(2) : merintih (karena diberi rangsangan nyeri)
(1) : tidak ada respon
Motorik (gerakan)
(6) : spontan
(5) : menarik (karena sentuhan)
(4) : menarik (karena rangsangan nyeri)
(3) : fleksi abnormal
(2) : ekstensi abnormal
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam
simbol E…V…M… Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi
adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Kesimpulan :
1. Composmentis : 15-14
2. Apatis : 13-12
3. Delirium : 11-10

63
4. Somnolen : 9-7
5. Stupor : 6-4
6. Coma :3

Transcript of GCS ( Gasglow coma scale)


Defenisi

skala yang dipakai untuk menentukan atau menilai tingkat kesadaran pasien,
mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menghindari ambigu dalam menentukan tingkat


kesadaran, dimana pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS) yang lebih obyektif
dengan menggunakan pengukuran skala angka.

Cara Permeriksaan Skala dari Glasgow = Glasgow Coma Scale (G.C.S)


Teknik penilaian dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang
ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata,
respon motorik terbaik, dan respon verbal.

Didasarkan pada respon dari mata, pembicaraan dan motorik, dimana masing
masing mempunyai “scoring” tertentu, mulai dari yang terbaik (normal) sampai
dengan yang paling jelek. Jumlah total “scoring” paling jelek adalah 3 (tiga)
sedangkan yang paling baik adalah 15 (lima belas).

Untuk anak-anak, dipakai Skala Koma Glasgow untuk anak-anak atau Pediatric
Glasgow Coma
Perbandingan GCS dewasa dan GCS anak (PGCs).
Penilaian Tingkat Kesadaran
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam symbol
E…V…M…Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah
15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Jumlahkan setiap skor yang diberikan pada masing-masing pemeriksaan

contoh:
a. Pada pemeriksaan di atas jumlah skor adalah 3+5+6 = 14

b. Hasil pemeriksaan GCS adalah 14

64
Penurunan skor reaksi pada satu atau beberapa kategori dapat menjadi sinyal dari
krisis neurologi yang mengancam klien. Skor totoal kurang dari 9 menunjukkan
adanya kerusakan otak yang parah.

Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan : (Compos


Mentis(GCS: 15-14) / Apatis (GCS: 13-12) / Somnolen(11-10) / Delirium (GCS:
9-7)/ Sporo coma (GCS: 6-4) / Coma (GCS: 3)).

a. (Compos Mentis(GCS: 15-14)


Keadaan mental yang dapat di pertanggung jawabkan, oleh karena bereaksi
secara adekuat.

b. Apatis (GCS: 13-12)


keadaan cuek atau acuh tak acuh, di mana seseorang tidal tanggap atau "cuek"
terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik

c. Somnolen(11-10)
Kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur
lagi, mampu memberi jawaban verbal.

d. Delirium (GCS: 9-7)


Keadaan dimana seseorang kacau mental dan motorik oleh karena itu mengalami
ilusi dan alusinasi sehingga bereaksi dengan kacauan pikirannya

e. Sporo coma (GCS: 6-4)


keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.

f. Coma (GCS: 3)
Tidak ada respon terhadap rangsangan luar atau kebutuhan diri sendiri.

Kalau untuk penilaian “children Coma Scale” (PGCs)


Skor membuka mata + respon verbal/nonverbal terbaik + respon motorik
Interpretasi :
1. Skor minimum adalah 3, prognosis sangat buruk
2. Skor maksimum adalah 15, prognosis baik
4. Skor 3-5 berpotensi fatal
3. Skor ≥ 7 kesempatan untuk sembuh besar
5. Anak-anak usia dibawah 5 tahun memiliki skor lebih rendah karena
pengurangan terjadi pada respon motorik dan verbal.

65
1. Usia 0-6 bulan :
Respon verbal terbaik pada usia ini adalah menangis, skor yang diharapkan adalah
2

2. Usia 6-12 bulan :


Pada usia ini bayi sudah dapat membentuk suara, skor yang diharapkan adalah 3.
Bayi akan melokalisir nyeri tapi tidak menuruti perintah, skor yang diharapkan
adalah 4.

3. Usia 12-24 bulan :


Kata-kata yang diucapkan sudah dapat dimengerti, skor yang diharapkan adalah 4.
Bayi akan melokalisir nyeri tapi tidak menuruti perintah, skor yang diharapkan
adalah 4.

4. Usia 2-5 tahun :


Kata-kata yang diucapkan sudah dapat dimengerti,skor yang diharapkan adalah 4.
Bayi sudah menuruti perintah,skor yang diharapkan adalah 5.

5. Usia diatas 5 tahun :


Orientasi baik bila pasien mengetahui bahwa ia di rumah sakit,skor verbal normal
yang diharapkan adalah 5.

Skor normal berdasarkan umur :


0-6 bulan 9
6-12 bulan 11
12-24 bulan 12
2-5 tahun 13
> 5 tahun 14

Kesimpulan
Pada tiap pemeriksan neurologis mempunyai cara tersendiri. Untuk pemeriksaan
kesadaran kesadran yang berhubungan dengan menilai tingkat otak yang terkena
dan menetapkan letak prosesnya terdiri dari GCS atau Glasgow Coma Scale dan
ada pola yang sering di pakai yaitu: observasi umum, pengamatan pola
pernafasan, kelainan pupil, reflek sefalik,reflek terhadap ransangan nyeri, dan
fungsintractus piramidalis. Namun GCS atau Glasgow Coma Scale sering
gunakan dalam pemeriksaan awal kesadaran karena Glasgow Coma Scale atau

66
GCS dapat diandalkan, sangat teliti dan dapat membedakan kelainan dalam
bidang kesadaran, mudah dipergunakan dan mudah penilaiannya sehingga tidak
banyak terdapat antara kedua penilai.

Glasgow Coma Scale.Penilaian :

Refleks Membuka Mata (E)


4 : membuka secara spontan
3 : membuka dengan rangsangan suara
2 : membuka dengan rangsangan nyeri
1 : tidak ada respon

Refleks Verbal (V)


5 : orientasi baik
4 : kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan membingungkan
3 : kata-kata baik tapi kalimat tidak baik
2 : kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang
1 : tidak ada respon

Refleks Motorik (M)


6 : melakukan perintah dengan benar
5 : mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukan perintah dengan benar
4 : dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi.
3 : hanya dapat melakukan fleksi
2 : hanya dapat melakukan ekstensi
1 : tidak ada respon

Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan.


Penderita yang sadar = compos mentis pasti GCSnya 15 (4-5-6), sedang penderita
koma dalam, GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal
kedua mata bengkak sedang V dan M normal, penulisannya X-5-6.Bila ada
trakheostomi sedang E dan M normal, penulisannya 4-X-6.Atau bila tetra parese
sedang E dan V normal, penulisannya 4-5-X. GCS tidak bisa dipakai untuk
menilai tingkat kesadaran pada anak berumur kurang dari 5 tahun. Atau jika
ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :
a. Skor 14-15 : compos mentis
b. Skor 12-13 : apatis
c. Skor 11-12 : somnolent
d. Skor 8-10 : stupor
e. Skor < 5 : koma

Derajat Kesadaran
- Sadar : dapat berorientasi dan komunikasi
- Somnolens : dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi secara motorik /
verbal kemudian terlelap lagi. Gelisah atau tenang.

67
- Stupor : gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri,
pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin
terjadi tapi terbatas pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan
kepala.
- Semi Koma : tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar dan ada yang
menghindar (contoh menghindari tusukan).
- Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus.
Kualitas Kesadaran
- Compos mentis : bereaksi secara adekuat
- Abstensia drowsy / kesadaran tumpul : tidak tidur dan tidak begitu waspada.
Perhatian terhadap sekeliling berkurang. Cenderung mengantuk.
- Bingung / confused : disorientasi terhadap tempat, orang dan waktu.
- Delirium : mental dan motorik kacau, ada halusinasi dan bergerak sesuai dengan
kekacauan pikirannya.
- Apatis : tidak tidur, acuh tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa.
Gangguan fungsi cerebral meliputi : gangguan komunikasi, gangguan intelektual,
gangguan perilaku dan gangguan emosi.

Pengkajian position mental / kesadaran meliputi :


GCS, orientasi (orang, tempat dan waktu), memori, interpretasi dan komunikasi.

Ketika sedang merawat pasien dengan penurunan kesadaran, pemeriksaan GCS


merupakan satu hal yang wajib dikuasai oleh perawat dan dokter. Disebut GCS
(Glasgow Coma Scale) karena pemeriksaan ini ditemukan berdasarkan penelitian
oleh 2 orang profesor ahli syaraf, Brian Jennet dan Graham Teasdale dari
Universitas Glasgow. Biasanya pemeriksaan ini digunakan pada pasien yang
cedera kepala/head injury.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka
mata, bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score)
dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.

Eye (respon membuka mata) :


(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)
(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :


(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi
tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak
dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)

68
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :


(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus
saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol


E…V…M…

Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu


E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)

GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

Yang paling penting, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pada waktu
kita melakukannya ke pasien, yaitu :
a. Pemeriksaannya dilakukan secara bersamaan
Pada prakteknya, tindakan mengobservasi EMV dapat dilakukan dalam satu
waktu. Jadi tidak selalu harus satu persatu. cth : Eye dulu baru Motorik. Dan akan
lebih efektif apabila kita melakukannya secara langsung. Seperti contoh pada
kasus Severe HI. pada waktu kita memberikan rangsangan nyeri, kita dapat
langsung memeriksa ketiga-tiganya (EMV).

b. Teknik bertanya yang tepat


Pertanyaan harus jelas dan keras.(Khusus pasien Composmentis dan Somnolent).
Jangan ragu untuk mengeluarkan suara keras dalam bertanya kepada pasien.
Apalagi kalau pasien sudah terlihat tanda-tanda penurunan kesadaran.

c. Teknik memberikan rangsangan rangsangan nyeri yang tepat


Sesuai dengan judulnya, tujuan tindakan ini adalah memberikan rangsangan nyeri
atau sakit. Ada beberapa teknik dalam memberikan rangsang nyeri yaitu :

69
– Menekan dengan keras Prosesus Xipoideus/ulu hati dengan ibu jari. Harus keras
– Menekan ujung kuku tangan dengan pulpen/atau dengan jepitan jari.
– Menekan bagian tulang kelopak mata (apa ya nama anatominya he……3x)
– Mencubit/memilin puting susu dengan keras.

Mengapa teknik cubitan (misalnya di lengan) tidak dipakai dalam memberi


rangsang nyeri?
Tidak ada literatur yang jelas membahas alasan perawat tidak menggunakan
teknik cubitan. Tapi secara rasional mungkin…ya mungkin alasannya adalah
pertama agar nyerinya tidak menetap seperti dicubit dan yang kedua tidak
meninggalkan bekas atau jejas.

Salah satu kesalahan yang sering dilakukan oleh mahasiswa dan perawat pemula
adalah mereka tidak memberikan rangsang nyeri tidak benar. sehingga respon
yang keluar tidak sesuai. Dan ingat….jangan memberikan rangsangan nyeri
dengan cara cubit-cubitan dengan pasien.

Contoh pemeriksaan :

Pemeriksaan Neurologis Fungsi Cerebral

Glasgow Coma Scale.Penilaian :


* Refleks Membuka Mata (E)
4 : membuka secara spontan
3 : membuka dengan rangsangan suara
2 : membuka dengan rangsangan nyeri
1 : tidak ada respon
* Refleks Verbal (V)
5 : orientasi baik
4 : kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan membingungkan
3 : kata-kata baik tapi kalimat tidak baik
2 : kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang
1 : tidak ada respon
* Refleks Motorik (M)
6 : melakukan perintah dengan benar
5 : mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukan perintah dengan benar
4 : dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi.
3 : hanya dapat melakukan fleksi
2 : hanya dapat melakukan ekstensi
1 : tidak ada respon

cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan. Penderita yang
sadar = compos mentis pasti GCSnya 15 (4-5-6), sedang penderita koma dalam,
GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal kedua mata
bengkak sedang V dan M normal, penulisannya X-5-6.Bila ada trakheostomi
sedang E dan M normal, penulisannya 4-X-6.Atau bila tetra parese sedang E dan

70
V normal, penulisannya 4-5-X. GCS tidak bisa dipakai untuk menilai tingkat
kesadaran pada anak berumur kurang dari 5 tahun. Atau jika ditotal skor GCS
dapat diklasifikasikan :
a. Skor 14-15 : compos mentis
b. Skor 12-13 : apatis
c. Skor 11-12 : somnolent
d. Skor 8-10 : stupor
e. Skor < 5 : koma

Derajat Kesadaran
– Sadar : dapat berorientasi dan komunikasi
– Somnolens : dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi secara motorik /
verbal kemudian terlelap lagi. Gelisah atau tenang.
– Stupor : gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri,
pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin
terjadi tapi terbatas pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan
kepala.
– Semi Koma : tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar dan ada yang
menghindar (contoh menghindari tusukan).
– Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus.

Kualitas Kesadaran
– Compos mentis : bereaksi secara adekuat
– Abstensia drowsy / kesadaran tumpul : tidak tidur dan tidak begitu waspada.
Perhatian terhadap sekeliling berkurang. Cenderung mengantuk.
– Bingung / confused : disorientasi terhadap tempat, orang dan waktu.
– Delirium : mental dan motorik kacau, ada halusinasi dan bergerak sesuai dengan
kekacauan pikirannya.
– Apatis : tidak tidur, acuh tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa.

Gangguan fungsi cerebral meliputi : gangguan komunikasi, gangguan intelektual,


gangguan perilaku dan gangguan emosi.

Pengkajian position mental / kesadaran meliputi : GCS, orientasi (orang, tempat


dan waktu), memori, interpretasi dan komunikasi.

PEMERIKSAAN KESADARAN / MENGUKUR GCS

Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadarankesadaran dibedakan menjadi :

1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat


menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..

71
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk


perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen
karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam
rongga tulang kepala.

Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau
sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran
berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas
(kematian).

Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien.
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.

Penyebab Penurunan Kesadaran

Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat


kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia);
kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti
diabetes mellitus (koma ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ;
dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan:
hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan,
stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.

Mengukur Tingkat Kesadaran

Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif
mungkin adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk
menentukan derajat cidera kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan
motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika kurang dari 13, makan
dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang menunjukan adanya
penurunan kesadaran.

72
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa apakah
sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika
dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik
verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive).

Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil
yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa
kesadarannya apakah baik (alertness), bingung / kacau (confusion), mudah tertidur
(drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness).

Pemeriksaan GCS

GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka
mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score)
dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)

(1) : tidak ada respon


Verbal (respon verbal) :

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi


tempat dan waktu.

(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak
dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon


Motor (respon motorik) :

(6) : mengikuti perintah

73
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)

(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus


saat diberi rangsang nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).

(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol


E…V…M…

Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu


E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)

GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

74
5. INDIKASI DAN KONTRA INDIKASI RESUSITASI JANTUNG
PARU

Resusitasi Jantung Paru atau Cardiopulmonary Resuscitation adalah usaha


yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat pasien mengalami
keadaan henti nafas atau henti jantung dapat tetap terjaga dengan baik dan
kerusakan sel akibat kekurangan oksigen tidak terjadi. Resusitasi sendiri berarti
menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha untuk mencegah
berlanjutnya episode henti jantung menjadi kematian biologis.

Indikasi dan Kontraindikasi


1. Indikasi
 Henti napas
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari korban/pasien. Henti napas dapat terjadi pada keadaan tenggelam,
stroke, obstruksi jalan napas, epiglotitis, overdosis obat-obatan, tersengat listrik,
infark miokard, tersambar petir ataupun koma akibat berbagai macam kasus. Pada
awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa menit
dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika
pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban agar
tetap hidup dan menghindari henti jantung.
 Henti Jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi.
Henti sirkulasi ini akan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan
oksigen. Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti
jantung. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis,
radialis) disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu,
dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.
Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang
bertujuan untuk:

75
a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban
yang mengalami henti jantung atau henti jantung melalui resusitasi jantung
paru (RJP).

Resusitasi jantung paru terdiri dari dua tahap yaitu:


a. Survei primer: dapat dilakukan oleh setiap orang.
b. Survei sekunder: dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis
terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer.
2. Kontraindikasi
Resusitasi jantung paru tidak dilakukan pada keadaan-keadaan sebagai
berikut :
- Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau
kronik yang berat. Pada keadaan ini denyut jantung dan nadi berhenti
pertama kali pada suatu saat, ketika tidak hanya jantung tetapi
organisme secara keseluruhan bagitu terpengaruh oleh penyakit
tersebut sehingga tidak mungkin untuk hidup lebih lama lagi.
- Stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi
- Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi cerebral tidak akan pulih,
yaitu sesudah 30-60 menit terbukti tidak ada nadi pada normotermia
tanpa resusitasi jantung paru.

Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of
Survival, yang meliputi :
1. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat segera
(Early Access)
a. Identifikasi kondisi penderita dan lakukan kontak ke sistem gawat darurat
Informasikan segera

76
b. Kondisi penderita sebelum melakukan RJP pada orang dewasa atau sekitar
1 menit setelah memberikan pertolongan RJP pada bayi dan anak.
c. Penilaian cepat tanda-tanda potensial henti jantung
d. Identifikasi tanda henti jantung atau henti napas.
2. Resusitasi Jantung Segera (Early CPR)
3. Defibrilasi Segera (Early Defibrillation)
4. Perawatan Kardiovaskular Lanjutan yang Efektif (Effective ACLS)
5. Penanganan terintegrasi pascahenti jantung (Integrated Post Cardiac Arrest
Care)
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen
RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang
telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada
menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak
seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi
dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada henti jantung
menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.

77
Langkah-langkah Resusitasi Jantung Paru
 Bantuan Hidup Dasar
1. Aman
Pastikan kondisi aman bagi penolong maupun korban. Resusitasi Jantung Paru
(RJP) dilakukan pada permukaan yang keras dan rata.

2. Memastikan kesadaran dari korban/pasien.


Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus
melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan
cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban/pasien dengan lembut dan
mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya
atau Pak !!! / Bu !!! / Mas!!! /Mbak !!! . Mengecek respon juga dapat dilakukan
dengan menekan kuku atau tulang dada. Respon dapat berupa rintihan atau gerakan.
Napas yang tidak normal tidak dianggap sebagai respon. Untuk mengenali pasien
yang mengalami serangan adalah apabila pasien tidak memberikan respon atau
tidak bernapas dengan normal.
3. Meminta pertolongan
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera
minta bantuan dengan cara :
 1 penolong segera telp 118 dan ambil AED (automated external
defibrillator) (jika tersedia)
 Beri informasi:
Apa yang terjadi (misalnya serangan jantung / tidak sadar)
Jumlah korban
Lokasi korban
Nomor telepon yang bisa dihubungi
Dibutuhkan ambulan segera.
Tutup telepon setelah diinstruksikan oleh petugas

78
4. Pulse Check
- Cek di arteri carotis communis
- Ingat tidak lebih dari 10 detik (hanya untuk memastikan ada tidaknya nadi )

5. Chest Compression
Penekanan dada ini membuat aliran darah dengan meningkatkan tekanan
intra-thoracic dan langsung mengkompresi jantung. Ini menghasilkan pengiriman
oksigen dan aliran darah ke miokardium dan otak. Penekanan dada yang efektif
sangat penting untuk menyediakan aliran
darah selama CPR. Untuk alasan ini semua pasien cardiac arrest harus menerima
penekanan dada. Posisi pijatan ½ bawah tulang dada pasien dengan memposisikan
tumit tangan penolong pada daerah pijatan dan tangan lain diatasnya.

Kompresi dada efektif :


 Minimal 100 penekanan per menit dan maksimal 120 penekanan per menit
 Dengan kedalaman kompresi minimal 2 inchi/5 cm dan maksimal 2,4
inchi/6 cm

79
 Meminimalkan interupsi dan durasi untuk memaksimalkan jumlah
penekanan yang lakukan permenit.
 Recoil sempurna yaitu dinding dada kembali ke posisi normal secara penuh
sebelum kompresi dada berikutnya dengan cara tangan penolong tidak
bertmpu pada dada korban di antara dua penekanan.
 Menghindari bantuan nafas terlalu sering (avoid hiperventilation)

30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan nafas disebut 1 siklus RJP/CPR
(resusitasi jantung paru/cardiopulmonary resuscitation). 5 siklus RJP
dilakukan selama 2 menit. Setelah 5 siklus RJP, dilakukan pengkajian nadi
karotis, bila belum ditemukan nadi maka dilanjutkan 5 siklus RJP
berikutnya, begitu seterusnya.
Rata-rata kompresi
Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi
dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation [ROSC]) dan
fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada
per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya
gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas,
memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis AED [Automated Electrical
Defibrilator]).
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan
dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan
mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya pada
kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan gangguan pada
komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan
yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang
diberikan per menit.

80
Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan
cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung
dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan
tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Kompresi
menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke
jantung dan otak.

RJP Dengan Tangan Saja(Hands Only CPR)


Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA
mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih
diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka.
Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh
penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli
melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil
yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi.

81
Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian
tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior dan
menekan esophagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid dapat menghambat
inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi
dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi. Saat ini
penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan. Penelitian
menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan
aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat.

Aktivasi Emergency Response System.


Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah
penilaian respon penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda.
Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan
dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan
tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan menggunakan
defibrilator elektrik jika tersedia.

Tim Resusitasi
Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif.
Misalnya : satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan
penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi
atau memakaikan bag mask untuk membantu pernafasan dan penolong ke-empat
mempersiapkan dan defibrilator.

6. Airway

82
Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan
melakukkan tindakan:

a. Pemeriksaan jalan napas.


Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh
benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan
berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi
dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan
menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik
Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk Pada
mulut korban.

b. Membuka jalan napas.


Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban
tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup
faring dan laring, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan
jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu
(Head tild - chin lift) dan manuver pendorongan mandibula (jaw thrust). Teknik
membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk orang awam dan petugas,
kesehatan adalah tengadah kepala topang dagu, namun demikian petugas kesehatan
harus dapat melakukan manuver lainnya.

7. Breathing

83
Terdiri dari 2 tahap:
a. Memastikan korban/pasien tidak bernapas.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengar bunyi napas dan
merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan
telinga di atas mulut dan hidung korban/pasien, sambil tetap mempertahankan jalan
napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.

b. Memberikan bantuan napas.


Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut
ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada
tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan,
waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 - 2 detik dan volume
udara yang dihembuskan adalah 700 - 1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada
korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada
saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup.
Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 - 17%. Penolong juga harus
memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.
Lakukan ventilasi 2 kali tiap kali selesai 30 pijat dada
Cara memberikan bantuan pernapasan :
a. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)
Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong
tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban
dan hidung pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari
penolong.Volume udara yang berlebihan dapat menyebabkan udara
masuk ke lambung.

84
Gambar. Pemberian nafas dari mulut ke mulut

b. mulut ke hidung (mouth-to-nose),


Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak
memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus atau luka
berat.Penolong sebaiknya menutup mulut pasien/korban pada saat
memberikan bantuan nafas.

Gambar. Pernafasan dari mulut ke hidung


c. mulut ke stoma trakheostomi
Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau mengalami
laringotomi.

Gambar. Pernafasan mulut ke stoma

85
 Bantuan Hidup Lanjut (advanced life support). Resusitasi DEF (Drug and
fluids, EGC diagnosis, Fibrilation treatment)
Ditujukan untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban
dan diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama henti jantung.
Setelah dilakukan ABC RJP dan belum timbul denyut jantung spontan,
sedapat mungkin dilakukan intubasi trakeal, maka resusitasi diteruskan
dengan :
- D : drug and fluid (obat-obatan dan cairan). Tanpa menunggu hasil
EKG dapat langsung diberikan :

86
 Adrenalin : 0,5-1 mg dosis untuk dewasa, 10 mcg/kg untuk anak-
anak. Cara pemberian : IV, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml
adrenalin diencerkan dengan aquades steril, bukan NaCl) atau jika
kedua tidak mungkin intrakardiak (hanya oleh tenaga yang sudah
terlatih). Diulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul
denyut jantung spontan atau mati jantung.
 Natrium bikarbonat : dosis mula 1 mEq/kg (bila henti jantung lebih
dari 2 menit) kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis
0,5 mEq/kg sampai timbul denyut jantung spontan atau mati
jantung. Cara pemberian IV.
 Pemberian infus IV sesuai indikasi.
 Bila belum berhasil beri lignokain (lidokain) 1-2 mg/kg IV, jika
perlu diteruskan dengan tetesan infus (1-4 mg/menit). Ulangi syok
bila belum berhasil beri prokainamid 1-2 mg/kg IV. Bila belum
berhasil beri bretelium 5 mg/kg IV, dapat ditinggikan 10 mg/kg IV
sampai dosis total 30 mg/kg. Bretelium ini merupakan obat terakhir
yang tersedia saat ini. Bila tidak berhasil dapat ditegakkan
diagnosis kematian jantung.
- E : EGC
Bila pada EKG : asistol ventrikuler atau disosiasi elektromekanis
ulangi D, kalsium dan vasopresor seperlunya. Dosis kalsium klorida
10% : 500 mg/70 kg IV, bila perlu diulang tiap 10 menit. Dosis
kalsium glukonat 1000 mg (pemakaian kalsium glukonas merupakan
hal yang kontroversial).
F : Defibrilasi (Kejut Jantung)

DEFIBRILATION Terapi listrik


Terapi dengan memberikan energi listrik Dilakukan pada pasien/korban
yang penyebab henti jantung adalah gangguan irama jantung. Penyebab utama
adalah ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi.Pada penggunaan orang awam
tersedia alat Automatic External Defibrilation (AED).5Tahapan defibrilasi :

87
- Nyalakan AED
- Ikuti petunjuk
- Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan
gangguan)

PENILAIAN ULANG
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban dievaluasi
kembali :
- Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas
dengan ratio 30 : 2
- Jika ada nafas dan denyut jantung teraba letakkan korban pada posisi sisi
mantap
- Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas
sebanyak 12 kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.

Gambar. Defibrilasi

Gambar Defibrilasi

88
Indikasi Defibrilasi
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama yang ditujukan pada:
- Ventrikel fibrilasi (VF)
- Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse)

Gambar Ventricular Fibrilation

Gambar Ventricular Tachycardia

Meskipun defibrilasi merupakan terapi definitive untuk VF dan VT non-


pulse, penggunaan defibrilasi tidak berdiri sendiri tetapi disertai dengan resusitasi.
kardiopulmonari (RKP). Peran aktif dari penolong atau tenaga kesehatan pada saat
mendapati pasien dengan cardiac arrest, dimana sebagian besar menunjukkan VF
dan VT, untuk bertahan terbukti meningkat.

89
Prinsip Defibrilasi
Memberikan energi dalam jumlah banyak dalam waktu yang sangat singkat
(beberapa detik) melalui pedal positif dan negative yang ditekankan pas dinding
dada atau melalui adhesive pads yang ditempelkan pada sensing dada pasien. Arus
listrik yang mengalir sangat singkat ini bukan merupakan loncatan awal bagi
jantung untuk berdetak, tetapi mekanismenya adalah aliran listrik yang sangat
singkat ini akan mendepolarisasi semua miokard, menyebabkan berhentinya
aktivitas listrik jantung atau biasa disebut asistole. Beberapa saat setelah
berhentinya aktivitas listrik ini, sel-sel pace maker akan ber-repolarisasi secara
spontan dan memungkinkan jantung untuk pulih kembali. Siklus depolarisasi secara
spontan dan repolarisasi sel-sel pacemaker yang reguler ini memungkinkan jantung
untuk mengkoordinasi miokard untuk memulai aktivitas kontraksi kembali

Monofasik vs Bifasik
Selama beberapa dekade, defibrillator telah menggunakan bentuk
gelombang monofasic. Dengan bentuk gelombang monofasic, arus mengalir dalam
satu arah, dari satu elektroda ke yang lain, menghentikan jantung sehingga memiliki
kesempatan untuk memulai kembali sendiri. Dengan bentuk gelombang bifasik,
arus mengalir dalam satu arah pada tahap pertama shock dan kemudian
membalikkan untuk tahap kedua. Bentuk gelombang bifasik sekarang "standar
emas" untuk alat defibrilator.
Penelitian menunjukkan bahwa bentuk gelombang bifasik lebih efektif
daripada bentuk gelombang monofasik, bahkan ketika tingkat energi kejut adalah
sama. Inilah sebabnya mengapa produsen defibrillator eksternal sekarang
menggunakan bentuk gelombang bifasik di perangkat mereka.

Faktor-Faktor Yang Menentukan Keberhasilan Defibrilasi

90
Lamanya kesuksesan defibrilasi tergantung dari status metabolisme
miokard dan jumlah miokard yang rusak selama periode hipoksia karena arrest.
Semakin lama waktu yang digunakan untuk memulai defibrilasi maka semakin
banyak persediaan ATP yang digunakan miokard untuk bergetar sehingga
menyebabkan jantung memakai semua tenaga sampai habis dan keadan ini akan
membuat jantung menjadi kelelahan.
Keadaan dan kondisi miokard Hipoksia, asidosis, gangguan elektrik,
hipotermi dan penyakit dasar jantung yang berat menjadi penyulit bagi pemulihan
aktivitas kontraksi jantung.
Besarnya jantung, makin besar jantung, makin besar energi yang dibutuhkan
untuk defibrilasi.
Ukuran diameter pedal dewasa yang dianjurkan adalah 8,5-12 cm dan untuk
anak-anak berkisar 4,5-4,8 cm. ukuran pedal terlalu besar membuat tidak semua
permukaan pedal menempel pada dinding dada dan menyebabkan banyak arus yang
tidak sampai ke jantung. Untuk itu, penggunaan pedal pada anak-anak bisa
disesuaikan dengan ukuran tubuhnya.
Letak pedal hal yang sangat penting tetapi sering kali diabaikan adalah
peletakan pedal pada dinding dada saat dilakukan defibrilasi. Pedal atau pad harus
diletakkan pada posisi yang tepat yang memungkinkan penyebaran arus listrik
kesemua arah jantung. Posisi sternal, pedal diletakkan dibagian kanan atas sternum
dibawah klavikula. Pedal apeks diletakkan disebelah kiri papilla mamae digaris
midaksilaris. Pada wanita, posisi pedal apeks ada di spasi interkosta 5-6 pada posisi
mid-axilaris. Pada pasien yang terpasang pacemaker permanent, harus dihindari
peletakan padel diatas generator pacemaker, geser pedal setidaknya 1 inchi dari
tempat itu. Defibrilasi langsung ke generator pacemaker dapat menyebabkan
malfungsi pace maker secara temporary atau permanent. Setelah dilakukan
defibrilasi atau kardioversi harus dicek ambang pacing dan sensibilitasnya serta
dilihat apakah alat masih bekerja sesuai dengan setting program. Hal yang harus
diperhatikan pada saat melakukan defibrilasi adalah posisi pedal atau pads,
keduanya tidak boleh saling menyentuh atau harus benar-benar terpisah.

91
Energi Pada defibrilator monofasik energi yang diberikan 360 joule,
sedangkan pada defibrilator bifasik 200J. Untuk anak-anak, energi yang diperlukan
adalah 1-2 joule/kg BB, maksimal 3 j/kg BB
Jelli/Gel Saat menggunakan pedal, jangan lupa memberikan jelli khusus
untuk defibrilasi atau kardioversi pada pedal. Jelli berfungai sebagai media
konduksi untuk penghantar arus listrik. Tujuan dari pemberian gel adalah untuk
mengurangi resistensi transtorakal dan mencegah luka bakar pasien. Yang harus
diperhatikan juga adalah jangan sampai gel tersebut teroles dikulit diantara sternum
dan apeks, atau jelli dari salah satu atau kedua pedal mengalir menghubungkan
keduanya pada saat ditekan ke dada pasien. Jika ini terjadi akan mengakibatkan arus
hanya mengalir dipermukaan dinding dada, aliran arus ke jantung akan missing dan
memancarkan bunga api yang menyebabkan sengatan listrik pasien pada pasien dan
alat-alat operator.

PERSIAPAN SEBELUM PROSEDUR DEFIBRILASI


Persiapan Peralatan
- Defibrillator dengan monitor EKG dan pedalnya
- Jelly
- Obat-obat Emergency (Epinephrine, Lidocain, SA, Procainamid, dll)
- Oksigen
- Face mask
- Papan resusitasi
- Peralatan intubasi dan suction
Persiapan Pasien
a. Pastikan pasien dan atau keluarga mengerti prosedur yang akan dilakukan
b. Letakkan pasien diatas papan resusitasi pada posisi supine
c. Jauhkan barang-barang yang tersebut dari bahan metal dan air disekitar pasien
d. Lepaskan gigi palsu atau protesa lain yang dikenakan pasien untuk mencegah
obstruksi jalan nafas

92
e. Lakukan RKP secepatnya jika alat-alat defibrillator belum siap untuk
mempertahankan cardiac output yang akan mencegah kerusakan organ dan
jaringan yang irreversible.
f. Berikan oksigen dengan face masker untuk mempertahankan oksigenasi tetap
adekuat yang akan mengurangi komplikasi pada jantung dan otak
g. Pastikan mode defibrillator pada posisi asyncrone
h. Matikan pace maker (TPM) jika terpasang.

PROSEDUR DEFIBRILASI
1. Oleskan Jelly pada pedal secara merata
2. Pastikan posisi kabel defibrillator pada posisi yang bisa menjangkau sampai ke
pasien
3. Nyalakan perekaman EKG agar mencetak gambar EKG selama pelaksanaan
defibrilasi
4. Letakkan pedal pada posisi apeks dan sternum
5. Charge pedal sesuai energi yang diinginkan
6. Pastikan semua clear atau tidak ada yang kontak dengan pasien, bed dan peralatan
pada hitungan ketiga (untuk memastika jangan lupa lihat posisi semua personal
penolong)
7. Pastikan kembali gambaran EKG adalah VT atau VF non-pulse
8. Tekan tombol pada kedua pedal sambil menekannya di dinding dada pasien,
jangan langsung diangkat, tunggu sampai semua energi listrik dilepaskan.
9. Nilai gambaran EKG dan kaji denyut nadi karotis
10. Jika kejutan kedua tidak berhasil, lakukan tahapan ACLS berikutnya

93
11. Bersihkan jelly pada pedal dan pasien

PASCA DEFIBRILASI
Monitoring Pasien Setelah Defibrilasi
a. Evaluasi status neurology. Orientasikan klien terhadap orang, ruang, dan waktu
b. Monitor status pulmonary (RR, saturasi O2)
c. Monitor status kardiovaskuler (TD, HR, Ritme) setiap 15 menit
d. Monitor EKG
e. Mulai berikan obat anti disritmia intravena yang sesuai
f. Kaji apakah ada kulit yang terbakar

94
g. Monitor elektrolit (Na. K, Cl)

Dokumentasi dan laporan setelah tindakan


1. Print out EKG sebelum, selama dan sesudah defibrilasi
2. Status neurology, respirasi dan kardioversi sebelum dan sesudah defibrilasi
3. Energi yang digunakan untuk defibrilasi
4. Semua hasil yang tidak diinginkan dan intervensi yang telah diberikan

6. SUMBATAN JALAN NAPAS


Anatomi Jalan Napas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi
kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar1). Faring berbentuk
U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju

95
kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam
rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars
laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke
posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan
menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka
kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar
2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.

Gambar. Anatomi Kartilago

Manajemen Jalan Napas


Airway management ialah memastikan jalan napas terbuka. Tindakan paling
penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran
pernapasan dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara
normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi jaringan.

Macam-Macam Gangguan Jalan Nafas


Obstruksi jalan nafas dibagi menjadi 2 berdasarkan derajat sumbatan :
a. Obstruksi total

96
Keadaan dimana jalan nafas menuju paru-paru tersumbat total, sehingga
tidak ada udara yang masuk ke paru-paru. Terjadi perubahan yang akut
berupa hipoksemia yang menyebabkan terjadinya kegagalan pernafasan
secara cepat. Sementara kegagalan pernafasan sendiri menyebabkan
terjadinya kegagalan fungsi kardiovaskuler dan menyebabkan pula
terjadinya kegagalan SSP dimana penderita kehilangan kesadaran
secara cepat diikuti dengan kelemahan motorik bahkan mungkin pula
terdapat renjatan (seizure). Bila tidak dikoreksi dalam waktu 5 – 10
menit dapat mengakibatkan asfiksia (kombinasi antara hipoksemia dan
hipercarbi), henti nafas dan henti jantung.
b. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam keadaan ini udara
masih dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang lebih
sedikit. Bila tidak dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak. Hal
yang perlu diwaspadai pada obstruksi parsial adalah Fenomena Check
Valve yaitu udara dapat masuk, tetapi tdk keluar.

Obstruksi jalan nafas berdasarkan penyebab:


Keadaan yang harus diwaspadai adalah :
a. Trauma
Trauma dapat disebabkan oleh karena kecelakaan, gantung diri, atau
kasus percobaan pembunuhan. Lokasi obstruksi biasanya terjadi di
tulang rawan sekitar, misalnya aritenoid, pita suara dll.
1. Trauma maksilofasial
Trauma pada wajah membutuhkan mekanisme pengelolaan airway
yang agresif. Contoh mekanisme penyebab cedera ini adalah

97
penumpang/pngemudi kendaraan yang tidak menggunakan sabuk
pengaman dan kemudian terlempar mengenai kaca depan dan
dashboard. Trauma pada daerah tengah wajah dapat menyebabkan
fraktur-dislokasi dengan gangguan pada nasofaring dan orofaring.
2. Trauma leher
Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat menyebabkan kerusakan
pada laring atau trakhea yang kemudian meyebabkan sumbatan
airway atau perdarahan hebat pada sistem trakheobronkial sehingga
sebegra memerlukan airway definitif. Cedera leher dapat
menyebabkan sumbatan airway parsial karena kerusakan laring dan
trakea atau penekanan pada airway akibat perdarahan ke dalam
jaringan lunak di leher.

98
3. Trauma laringeal
Meskipun fraktur laring merupakan cedera yang jarang terjadi, tetapi
hal ini daat menyebabkan sumbatan airway akut.

b. Benda asing, dapat tersangkut pada:


 Laring
Terjadinya obstruksi pada laring dapat diketahui melalui tanda-
tanda sebagai berikut, yakni secara progresif terjadi stridor,
dispneu, apneu, disfagia, hemopsitis, pernafasan dengan otot-
otot nafas tambahan, atau dapat pula terjadi sianosis.
 Trakea
Benda asing di dalam trakea tidak dapat dikeluarkan, karena
tersangkut di dalam rima glotis dan akhirnya tersangkut dilaring
dan menimbulkan gejala obstruksi laring.
 Bronkus
Biasanya akan tersangkut pada bronkus kanan, oleh karena
diameternya lebih besar dan formasinya dilapisi oleh sekresi
bronkhus.

Pengkajian Jalan Nafas

LOOK:
Look untuk melihat apakah pasien agitasi/gelisah, mengalami penurunan
kesadaran, atau sianosis. Lihat juga apakah ada penggunaan otot bantu
pernafasan dan retraksi. Kaji adanya deformitas maksilofasial, trauma leher
trakea, dan debris jalan nafas seperti darah, muntahan, dan gigi yang tanggal.3
 Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway
bebas, namun tetap perlu evaluasi berkala. Penurunan kesadaran
memberi kesan adanya hiperkarbia
 Agitasi memberi kesan adanya hipoksia
 Nafas cuping hidung

99
 Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya
oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit
sekitar mulut
 Adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang
merupakan bukti adanya gangguan airway.
LISTEN:
Dengarkan suara nafas abnormal, seperti:
 Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
 Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas
setinggi larings (Stridor inspirasi) atau setinggi trakea (stridor ekspirasi)
 Hoarseness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi
gagal napas
FEEL:
 Aliran udara dari mulut/ hidung
 Posisi trakea terutama pada pasien trauma. Palpasi trakea untuk
menentukan apakah terjadi deviasi dari midline.
 Palpasi apakah ada krepitasi.

100
Gambar. Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan.
Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan.

1. Teknik Pengelolaan Jalan Nafas/Manajemen Airway


Manajemen airway/jalan napas merupakan salah satu ketrampilan
khusus yang harus dimiliki oleh dokter atau petugas kesehatan yang bekerja
di Unit Gawat Darurat. Manajemen jalan napas memerlukan penilaian,
mempertahankan dan melindungi jalan napas dengan memberikan
oksigenasi dan ventilasi yang efektif.

a. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Mengeluarkan benda asing dari jalan


nafas
Teknik Mengeluarkan Benda Asing Pada Pasien Dewasa Sadar
a. Manuver Heimlich/Abdominal Thrust (hentakan pada perut).

Gambar. Abdominal Thrust


b. Chest Thrust (Hentakkan Dada)
Langkahnya sama dengan Manuver Heimlich bedanya pada
peletakan sisi ibu jari kepalan tangan pada pertengahan tulang dada
pasien/korban dan hentakan dilakukan hanya ke arah dalam serta posisi
kepala pasien/korban menyandar di bahu penolong.

101
Teknik Pertolongan Sumbatan Benda Asing Pada Pasien Dewasa Tidak
Sadar

·
Gambar.Cross Finger

Gambar.Finger Sweep

b. Pengelolaan Jalan Nafas Secara Manual


Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas
yang terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam kasus
ini lidah jatuh ke belakang dan menyumbat jalan napas ada bagian faring.
Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan
kalau pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat
faring dan epiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab
utama tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal
ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu:

102
a. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuver)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain
mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung
menghadap keatas dan epiglotis terbuka, sniffing position, posisi hitup.
b. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong
kedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah
melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas
terbuka.

Dalam melakukan teknik membebaskan jalan nafas agar selalu diingat


untuk melakukan proteksi Cervical-spine terutama pada pasien trauma/multipel
trauma.

Gambar : Teknik Head Tilt-Chin Lift Jaw Thrust

103
Gambar. Teknik Jaw Thrust

Gambar. Proteksi Cervical-Spine

c. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat Sederhana


a. Oropharyngeal Airway (OPA) dan Nasopharyngeal Airway (NPA)
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan
dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan
epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi
kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan
jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan

104
(artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian
posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat
terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial
bila refleks laring masih intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang
difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan
menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya
berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan
besar (100 mm/Guedel no 5).

Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang


hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.
Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada
pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway
jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang
dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal)
harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien
dengan anestesi ringan.

Gambar. Pemasangan OPA

105
Gambar: Pemasangan Nasofaringeal Airway

d. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat Lanjutan


a. Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen dari
sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat
(gambar 15). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka
pasien. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi
dan muntahan.1

Gambar .Face mask dewasa Gambar. Teknik memegang face


mask dengan satu tangan

106
Gambar. Difficult airway dapat diatasi dengan
teknik memegang dengan dua tangan

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan


jaw thrust yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan
seorang asisten untuk memompa bag.

b. Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan
kesulitan jalan nafas. LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain
face mask atau TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan
kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh
(misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya
penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak
lebih besar dari 30 cm H2O. Walaupun LMA tidak sebagai penganti untuk
trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada
pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau
diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka
keberhasilannya relatif besar (95-99%).

107
Gambar. Pemasangan LMA

108
Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan
laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan diantaranya untuk dapat
dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan jika intubasi trakea
diperkirakan akan mendapat kesulitan. LMA memang tidak dapat mengganti
kedudukan intubasi trakea, tetapi ia terletak antara sungkup muka dan intubasi
trakea. Pemasangannya dilakukan bila anestesi dirasakan sudah cukup dalam atau
menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut, faring-
laring. Setelah alat terpasang untuk menghindari pipa napasnya tergigit, maka dapat
dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa napas mulut faring (OPA).

c. Pipa Trakea

TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea


dan mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar
TT (American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT
kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda “IT”
atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun.
Bentuk dan kekakuan dari TT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung
pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita

109
suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi
resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau trachea.

Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola
dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis
(diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil
kompromi antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan
meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.
Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui
hidung (nasotracheal tube). Dipasaran bebas dikenal beberapa ukuran dan
perkiraan ukuran yang diperlukan dapat dilihat pada table berikut:1

Tabel. Macam-macam ukuran pipa trakea

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir


Premature 2.0-2.5 10 10 cm
Neonatus 2.5-3.5 12 11 cm
1-6 bulan 3.0-4.0 14 11 cm
½-1 tahun 3.5-3.5 16 12 cm
1-4 tahun 4.0-5.0 18 13 cm
4-6 tahun 4.5-5.5 20 14 cm
6-8 tahun 5.0-5.5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5.5-6.0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6.0-6.5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6.5-7.0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6.5-8.5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7.5-10.0 32-34 20-24 cm
*tersedia dengan atau tanpa kaf

110
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri
dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon
(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon TT
mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan
aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk
meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.
Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama.
Balon tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas
area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit (
karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari
kerusakan mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.

Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,


diameter balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon,
dan tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan
balon dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari
mukosa tracheal ke balon TT.

TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,


spiral, wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi
kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja
menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan menggigit
pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus lainnya
termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double lumen
tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radiogopak yang
mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trachea.

111
d. Laringoskopi dan Intubasi

Pemasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum.


Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan
anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk
akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang
memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut
atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan
untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi,
perbaikan hernia inguinal dan lain lain.

Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi


pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan
menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan
balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa
dokter anestesi memotong TT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk
mengurangi resiko dari intubasi bronchial atau sumbatan akibat dari pipa kinking.
Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan
terlepas, jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam TT dan ini ditekuk
menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior.
Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi
atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal
cahaya yang berkedap kedip karena lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk
mengganti batre. Extra blade, handle, TT ( 1 ukuran lebih kecil atau lebih besar)
dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas
pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.

112
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala
pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk
mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid
laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung
untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-
10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito join menempatkan
pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah
fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.


Preoksigenasi dengan beberapa ( 4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam
dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak
mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien
yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki
jalan nafas yang sulit.

113
Setelah induksi anestesi umum, dokter anestesi menjadi pelindung pasien.
Karena anestesi umum menghilangkan reflek proteksi cornea, perlindungan harus
dilakukan selama periode ini, tidak boleh ada cedera pada mata pasien dengan
terjadi abrasi kornea tanpa disengaja. Oleh karena itu mata rutin direkat dengan
plester, walaupun telah diberi petrolum atau salep mata.

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar,
blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari
gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir
blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan
ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle diangkat dan jauh
dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus
dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita

114
suara yang terbuka (abduksi). Balon TT harus berada dalam trachea bagian atas tapi
diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan
gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak
adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan
yang ditransmisikan pada mukosa trachea. Merasakan pilot balon bukan metode
yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat.

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan


capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratracheal. Jika
ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut
lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester
atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2
dengan capnograf yang merupakan konfirmasi terbaik dari letak TT di
trachea, tapi tidak dapat mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini
dari intubasi bronkhial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi
pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch

115
sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas
level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat
menyebabkan suara serak pada post operasi dan meningkatkan resiko
ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi
dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.

Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi
lewat mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika
perlu, dalam kasus terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik
spray dalam orofaring, regional blok saraf akan memperbaiki penerimaan
pasien.

Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan usaha karena


hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan meningkatkan keberhasilan, seperti
mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan mandren,

116
memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta bantuan dokter
anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan
pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube, cricotirotomi dengan
jet ventilasi, tracheostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk
penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma rencana terapi.

e. Intubasi Nasotracheal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih
gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh
vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi, pemberian tetes
hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan hipertensi, takikardi dan
lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat
digunakan.

TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan
dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh
dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal
dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan
hingga ujungnya terlihat di orofaring, laringoskope, digunakan adduksi pita suara.
Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika
ditemukan kesulitan memasukkan ujung pipa menuju pita suara mungkin
difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak
merusakkan balon. Memasukkan TT melalaui hidung atau pemasangan kateter
nasogastrik berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan
adanya resiko masuk ke intracranial.

Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan pemberian tetes vasokonstriktor.


Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih mudah. O 2 dapat
diinsuflasi ke melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB untuk
memperbaiki oksigenasi dan membuang sekret dari ujung tip.

117
Pilihan lain, jalan nafas nasal yang lebar dapat dipasang dalam lubang
hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada ujung dari
nasal airway untuk memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak
sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan
melalui nasal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan adekuat ventilasi dan
oksigenasi harus di konfirmasi dengan capnograph dan pulse oximetry. TT yang
telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam lubang hidung lainnya sepanjang
nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi pelicin dimasukan ke dalam
lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya dinding dari TT atau
membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk mempertahankan tangkai
bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop diputar secara langsung,
ujung distal akan bergerak dengan derajat yang sama. Ketika ujung dari FOB masuk
ujung distal dari TT, epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop
dimanipulasi untuk melewati pita suara yang telah abduksi.

Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat bernafas
adekuat dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat,
FOB ditarik danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta asisten untuk jaw thrust

118
atau lakukan tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit.
Jika pasien bernafas spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi.

Sekali dalam trakhea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin
trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB.
Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya
memasukan pipa. Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan
masalah ini disebabkan lebih besarnya fleksibilitas dan sudut pada bagian distal
lebih tumpul. Posisi TT yang tepat dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa
diatas karina sebelum FOB ditarik.

f. Teknik Ekstubasi
Keputusan untuk memindahkan TT ini adalah bagian dan seni anestesiologi
yang berkembang dengan pengalaman. Ini hal penting dalam praktek karena banyak
komplikasi timbul selama ekstubasi dan segera setelahnya dibandingkan dengan
setelah intubasi. Secara umum, ekstubasi paling baik dilakukan ketika pasien dalam
keadaan teranestesi dalam atau sadar. Pada beberapa kasus, pemulihan dari obat
neuromuskuler blok harus adekuat sebelum ekstubasi. Jika digunakan obat blok
neuromuskuler dan pasien dilakukan kontrol ventilasi dan karena itu harus weaning
dari ventilator sebelum dilakukan ekstubasi.

Ektubasi saat anestesi dangkal (keadaan antara anestesi dalam dan sadar)
harus dihindari karena meningkatkan resiko laringospasme. Perbedaan antara
anestesi dalam dan anestesi dangkal ini biasanya nyata selama pengisapan faring:
setiap reaksi terhadap tindakan suction (misalnya tahan nafas, batuk) merupakan
tanda dari anestesi dangkal, sedangkan bila tidak ada reaksi disebut dalam keadaan
anestesi dalam. Buka mata atau melakukan gerakan sesuai perintah menunjukkan
pasien telah sadar.
Ekstubasi pada pasien sadar, biasanya disertai batuk. Reaksi ini
meningkatkan denyut jantung, tekanan intrakranial, tekanan intraokuli, tekanan
vena central, tekanan arteri. Ini dapat juga menyebabkan luka operasi terbuka dan
berdarah kembali. Adanya TT pada pasien asmatik, dapat mencetuskan terjadinya

119
bronchospasme. Walaupun konsekuensi ini dapat menurun dengan pemberian
lidokain 1,5 mg/kg intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi
dalam anestesi yang dalam mungkin lebih baik pada pasien tidak dapat mengtolerir
efek ini. Sebaliknya, ekstubasi mungkin kontra indikasi pada pasien dengan resiko
untuk aspirasi atau pada orang yang jalan nafasnya sulit untuk dikontrol setelah
ekstubasi.
Tanpa membedakan apakah ekstubasi dilakukan saat pasien dalam anestesi
dalam atau sudah sadar, faring pasien harus dibersihkan sebelum ekstubasi untuk
mengurangi resiko terjadinya aspirasi atau spasme laring. Pasien harus diventilasi
dengan O2 100% pada kasus dimana jalan nafas sulit dikendalikan setelah
ekstubasi. Tepat sebelum ekstubasi, ETT dilepaskan dari iktana atau plester dan
balon dikemperskan. Apakah ETT diangkat pada akhir ekspirasi atau inspirasi tidak
terlalau pentng. ETT diangkat dalam sekalai narik dengan gerakan yang halus dan
kemudian diberikan O2 100% melalui face mask sampai pasien stabil untuk
transportasi ke ruang pemulihan. Di beberapa pusat pendidikan, oksigen melalui
face mask tetap diberikan selama transportasi.
g. Komplikasi
a. Selama intubasi
1. Trauma gigi-geligi
2. Laserasi bibir, gusi, laring
3. Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)
4. Intubasi bronkus
5. Intubasi esophagus
6. Aspirasi
7. Spasme bronkus

b. Setelah ekstubasi 1
1. Spasme laring
2. Aspirasi
3. Gangguan fonasi
4. Edema glottis-subglotis

120
5. Infeksi laring, faring, trakea

h. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Tindakan Operasi


Metode bedah untuk manajemen jalan napas mengandalkan
membuat sayatan bedah dibuat di bawah glotis untuk mencapai akses
langsung ke saluran pernapasan bagian bawah, melewati saluran pernapasan
bagian atas. Manajemen jalan napas bedah sering dilakukan sebagai upaya
terakhir dalam kasus di mana Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak
mungkin atau kontraindikasi. Manajemen jalan napas bedah juga digunakan
ketika seseorang akan membutuhkan ventilator mekanik untuk jangka
waktu lama (Wilson WC.2007).
Metode bedah untuk manajemen jalan napas termasuk
cricothyrotomy dan trakeostomi. Cricothyrotomy adalah sayatan dilakukan
melalui kulit dan membran krikotiroid untuk membangun jalan napas paten
selama situasi yang mengancam jiwa tertentu, seperti obstruksi jalan napas
oleh benda asing, angioedema, atau trauma wajah besar. Cricothyrotomy
hampir selalu dilakukan sebagai jalan terakhir dalam kasus di mana
Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi.
Cricothyrotomy lebih mudah dan lebih cepat untuk dilakukan daripada
tracheostomy, tidak memerlukan manipulasi tulang belakang leher dan
berhubungan dengan komplikasi yang lebih sedikit (Ollerton, 2007).
Tracheostomy adalah pembukaan operasi dibuat dari kulit leher ke
trakea. Sebuah tracheostomy di mana seseorang akan perlu berada di
ventilator mekanik untuk jangka waktu lama. Keuntungan dari
tracheostomy termasuk risiko kurang dari infeksi dan kerusakan trakea
seperti trakea stenosis (Wilson WC.2007).
Algoritma Difficult Airway

121
7.Obat-Obat Life Saving, Inotropik, Vasoaktif, Dan Antiaritmia

Obat-obatan emergency atau gawat darurat adalah obat-obat yang


digunakan untuk mengatasi situasi gawat darurat atau untuk resusitasi/life

122
support/life saving.2 Pengetahuan mengenai obat-obatan ini penting sekali untuk
mengatasi situasi gawat darurat yang mengancam nyawa dengan cepat dan tepat.
Obat-obat emergency atau obat-obat yang dipakai pada gawat darurat adalah
atrofin, efedrinn, ranitidin, ketorolak, metoklorpamid, amonofilin, asam
traneksamat, adrenalin, kalmethason, furosemid, lidokain, gentamisin,
oxitosin,methergin.
Epinefrin (Adrenalin)
Epinefrin merupakan prototipe obat kelompok adrenergik. Dengan mengerti
efek epinefrin, maka mudah bagi kita untuk mengerti efek obat adrenergik yang
bekerja di reseptor lainnya. epinefrin bekerja pada semua reseptor adrenergik: α1,
α2, β1 dan β2 sedangkan norepinefrin bekerja pada reseptor α1, α2, β1 sehingga
efeknya sama dengan epinefrin dikurangi efek terhadap β2. Selektivitas obat tidak
mutlak, dalam dosis besar selektivitas hilang. Jadi dalam dosis besar agonis β2 tetap
dapat menyebabkan perangsangan reseptor β1 di jantung, sel pacu jantung dan
jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif
epinefrin pada jantung.

Farmakodinamik
a. Kardiovaskular
-
Efek vaskular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler,
tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa
dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ-organ tersebut reseptor
α dominan.
-
Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh epinefrin dosis rendah,
akibat aktivasi reseptor β2 yang mempunyai afinitas yang lebih besar pada
epi dibandingkan dengan reseptor 𝛼.
-
Dominasi reseptor α di pembuluh darah menyebabkan peningkatan
resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan darah. Pada waktu
kadar epi menurun, efek terhadap reseptor α yang kurang sensitif lebih
dahulu menghilang sementara efek epi terhadap reseptor β2 masih ada pada
kadar yag rendah ini sehingga menyebabkan hipotensi sekunder.

123
-
Jika sebelum epi telah diberikan suatu penghambat reseptor α, maka
pemberian epi hanya akan menimbulkan vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal.
-
Pada manusia, pemberian epi dalam dosis terapi yang menimbulkan
kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi
menimbulkan peningkatan aliran darah otak. Dosis epi yang berlebih dapat
menimbulkan kematian karena edema paru.
-
Jantung: Epi mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan
jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik
positif epi pada jantung. Epi memperkuat kontraksi dan mempercepat
relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung dalam kisaran fisiologis, epi
memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu diastolik. Dosis epi
yang berlebih, di samping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi,
juga menimbulkan kontraksi ventrikel prematur, diikuti takikardi ventrikel
dan akhirnya fibrilasi ventrikel.
-
Tekanan darah: Pemberian epi pada manusia secara SK atau secara IV
lambat menyebabkan kenaikan tekanan sistolik yang sedang dan penurunan
tekanan diastolik. Dengan demikian, denyut jantung, curah jantung, curah
sekuncup dan kerja ventrikel meningkat akibat stimulasi langsung epi pada
jantung dan peningkatan aliran balik vena.

b. Saluran Cerna
- Melalui reseptor α dan β, epi menimbulkan relaksasi otot polos
saluran cerna pada umumnya: tonus dan motilitas usus dan lambung
berkurang.
-
Reseptor α1, α2, β1 dan β2 terdapat pada membrane sel otot polos.
Pada sfingter pylorus dan ileosekal, epi menimbulkan kontraksi
melalui aktivasi reseptor α1.

c. Uterus

124
-
Otot polos uterus manusia mempunyai reseptor α1 dan β2.
Responnya terhadap epi berbeda-beda, tergantung pada fase
kehamilan dan dosis yang diberikan. Selama kehamilan bulan
terakhir dan diwaktu partus, epi menghambat tonus dan kontraksi
uterus melalui reseptor β2.

d. Kandung Kemih
-
Epi menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor β2, dan
kontraksi otot trigon, sfingter dan otot polos prostat melalui reseptor
α1, yang dapat menimbulkan kesulitan berkemih dan retensi urin.

e. Pernapasan
-
Epi mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara merelaksasi
otot bromkus melalui reseptor β2. Efek bronkodilatasi ini jelas sekali
bila sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial,
histamine, esterkolin, pilokarpin, bradikinin, zat anafilaksis dan
lain-lain.
-
Pada asma epi juga menghambat pelepasan mediator inflamasi dari
sel-sel mast melalui reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus
dan kongesti mukosa melalui reseptor α1.
f. Susunan Saraf Pusat
-
Epi pada dosis terapi tidak mempunyai efek stimulasi SSP yang kuat
karena obat ini relatif polar sehingga sukar masuk ke dalam SSP.
Tetapi pada banyak orang, epi dapat menimbulkan kegelisahan, rasa
kuatir, nyeri kepala dan tremor.
g. Mata
-
Midriasis mudah terjadi pada perangsangan simpatis tetapi tidak bila
epi diteteskan pada konjungtiva mata normal.
-
Epi biasanya menurunkan tekana intraokuler yang normal maupun
pada pasien glaukoma sudut lebar. Efek ini mungkin disebabkan

125
karena berkurangnya pembentukan cairan bola mata akibat
vasokonstriksi dan karena bertambahnya aliran keluar.
h. Proses Metabolik
-
Epi menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka melalui
reseptor β2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian
glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai enzim glukosa-6-fosfatase tetapi
otot rangka tidak, sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot
rangka melepas asam laktat.
-
Epi juga menghambat sekresi insulin akibat dominasi aktivasi
reseptor α2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor β2 yang
menstimulasi sekresi insulin. Sekresi glukagon ditingkatkan melalui
reseptor β pada sel α pankreas. Ambilan (uptake) glukosa oleh
jaringan perifer dikurangi.
-
Epi melalui aktivasi reseptor β meningkatkan aktivitas lipase
trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat
pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol.
Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat.
Farmakokinetik
a. Absorpsi
Pada pemberian oral, epineprin tidak mencapai dosis terapi karena
sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak
terdapat pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorpsi
lambat karena vasokonstriksi lokal, dapat dipercepat dengan memijat
tempat suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan
IM. Pada pemberian lokal secara inhalasi, efeknya terbatas terutama
pada saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila
digunakan dosis besar.
b. Biotransformasi dan Ekskresi
Epinefrin stabil dalam darah. Degradasi Epinefrin terutama terjadi
dalam hati yang banyak mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi
jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Pada orang normal, jumlah

126
Epinefrin yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada pasien
feokromositoma, urin mengandung epi dan NE utuh dalam jumlah besar
bersama metabolitnya.5

Indikasi
Manfaat epineprin dalam klinik berdasarkan efeknya terhadap pembuluh
darah, jantung dan otot polos bronkus. Penggunaan utama epi adalah sbb:
 Epineprin merupakan obat terpilih untuk syok anafilaksis, untuk indikasi ini
epi tidak tergantikan oleh obat adrenergik lain. Alasannya ialah Epi berkerja
dengan sangat cepat (segera) sebagai vasokonstriktor dan bronkodilator,
sehingga dapat menyelamatkan nyawa yang terancam pada kondisi ini.
 Epinefrin juga digunakan untuk memperpanjang masa kerja anestetik
lokal(dengan mengurangi aliran darah lokal).
 Epinefrin juga dapat digunakan untuk merangsang jantung pada pasien
dengan henti jantung oleh berbagai sebab.
 Secara lokal epinefrin digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler,
misalnya perdarahan dalam mulut maupun ulkus peptik.

Dosis dan Sediaan


Komposisi : Ephedrine HCL
Dosis : 0,5-1 ml subkutan.
Sediaan : Ampul 50 mg/ml x 1 ml x 10
Epinefrin dalam sediaan adalah isomer levo. Suntikan epinefrin adalah
larutan steril 1 mg/mL (1:1000) Epi HCl dalam air untuk penyuntikan SK, ini
digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi hipersensitivitas
lainnya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2 - 0,5 mg (0,2 – 0,5 mL larutan
1:1000).
Untuk penyuntikan IV, yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan
terlebih dahulu dan harus disuntikkan dengan sangat perlahan. Dosisnya jarang
sampai 0,25 mg, kecuali pada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap
5 menit.

127
a. Kardiopulmoner arrest: encerkan 1 ampul 1 mg dalam 9 mL aquabidest untuk
mendapatkan larutan 0,1 mg epinefrin per mL. Anak-anak dan dewasa: 0,01-
0,02 mg/kgBB/IV injeksi, diulangi tiap menit jika belum ada respon.
Epinefrin HCL 1 mg (10 mg dari 1:10.000) bolus IV, diberikan setiap 3-5
menit, dibilas (flush) dengan 20 ml cairan IV. Dapat dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan: 1 mg dalam 250 ml NaCl 0,9% atau D5W, diberikan mulai 1
µg/menit IV dinaikkan 3-4 µg/menit IV.
b. Non-cardiac arrest. Epinefrin HCl 1 mg (1ml dari 1:1000) dalam 500 ml
NaCl 0,9% atau D5W, diberikan mulai 1 µg/ menit IV, dinaikkan 2-10
µg/menit IV, sampai ada respon.
c. Shok anafilaktik. Anak-anak: 0,25 mg diencerkan dalam 9 mL aqua bidest,
diberikan secara IV pelan, mL per mL, tergantung tekanan darah dan nadi,
sampai perbaikan terjadi. Dewasa 1 mg diencerkan dalam 9 mL aqua bidest,
diberikan secara IV pelan, mL per mL, tergantung tekanan darah dan nadi,
sampai perbaikan terjadi.
d. Hipotensi yang diinduksi oleh spinal anestesi (yang tidak berespon terhadap
efedrin): encerkan 1 ampul yang berisi 1 mg dalam 9 mL aqua bidest untuk
mendapatkan larutan 0,1 mg epinefrin per mL.
Dewasa 0,1-0,2 mg (1-2 mL larutan yang telah diencerkan)/IV injeksi,
diulangi tiap menit sampai tekanan darah stabil.

Efek Samping dan Kontraindikasi


Pemberian epi dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala
berdenyut , tremor dan palpitasi. Gejala-gejala ini mereda dengan cepat setelah
istirahat. Pasien hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek-efek tersebut di
atas.
Dosis epi yang besar atau penyuntikan IV yang cepat yang tidak disengaja
dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang hebat.
Bahkan penyuntikan SK 0,5 mL larutan 1:1000 dilaporkan menimbulkan
perdarahan sub-araknoid dan hemiplegia. Untuk mengatasinya dapat diberikan

128
vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrat atau natrium nitriprussid; α-bloker
juga berguna.
Epinefrin dapat menimbulkan aritmia ventrikel. Fibrilasi ventrikel bila
terjadi, biasanya bersifat fatal; ini terutama terjadi bila epi diberikan sewaktu
anesthesia dengan hidrokarbon berhalogen, atau pada pasien penyakit jantung
organik. Pada pasien dengan riwayat angina pectoris, pemberian epi dapat
mempermudah timbulnya serangan.
Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker
nonselekif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α1 pembuluh darah
sehingga dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan otak.

2. Efedrin
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan yang disebut efedra
atau ma-huang. Ma-huang mengandung banyak alkaloid mirip efedrin yang
kemudian dapat diolah menjadi efedrin. Bahan herbal yang mengandung efedrin
telah digunakan di Cina selama 2000 tahun, dan sejak puluhan tahun merupakan
komponen obat herbal Cina untuk berbagai klaim misalnya obat pelangsing, obat
penyegar atau pelega napas.
Efedrin mulai diperkenalkan di dunia kedokteran modern pada tahun 1924
sebagai obat simpatomimetik pertama yang dapat dikonsumsi secara oral. Karena
efedrin adalah suatu non-katekolamin maka efedrin memiliki bioavailabilitas yang
tinggi dan secara relative memiliki durasi kerja yang lama selama berjam-jam.
Efedrin belum secara luas diteliti pada manusia, meskipun sejarah
penggunaanya telah lama. Kemampuannya untuk mengaktivasi reseptor β mungkin
bermanfaan pada pengobatan awal asma. Karena efeknya yang mencapai susunan
saraf pusat maka efedrin termasuk suatu perangsang SSP ringan. Pseudoefedrin
yang merupakan satu dari empat turunan efedrin, telah tersedia secara luas sebagai
campuran dalam obat-obat dekongestan. Meskipun demikian penggunaan efedrin
sebagai bahan baku methamfetamin meyebabkan penjualannya telah dibatasi.

Farmakodinamik

129
Efek farmakodinamik efedrin menyerupai efek epinefrin, perbedaannya
ialah bahwa efedrin bukan katekolamin, maka efektif pada pemberian oral, masa
kerjanya jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih kuat, tetapi diperlukan dosis yang
jauh lebih besar daripada dosis epinefrin.
Seperti halnya dengan epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, β1 dan β2. Efek
perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui penglepasan NE endogen. Kerja
tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis terhadap efek perifernya.
Hanya l-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik.
 Efek kardiovaskular efedrin menyerupai efek epi tetapi berlangsung kira-kira
10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat, dan biasanya juga tekanan
diastolik, serta tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini
sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi
jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung.
 Denyut jantung mungkin tidak berubah karena refleks kompensasi vagal.
Berbeda dengan epi, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata
pada efedrin.
 Bronkorelaksasi oleh efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama
daripada oleh epi. Efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi
lebih lemah.

Farmakokinetik
Awitan aksi :IV hammpir langsung IM beberapa menit
Efek puncak :IV 2-5 menit, IM kurang 10 menit
Lama aksi : IV/ IM 10-60 menit
Interaksi / toksisitas : peningkatan resiko aritmia dengan obat anestetik
volatil, depotensiasi, oleh anti depresi disiklik meningkatkan efek anestesi volatil.

Dosis dan Sediaan


Sediaan 30 mg dalam ampul 1 mL (30 mg/mL) untuk injeksi IV, juga tersedia dalam
ampul 1 mL berisi 50 mg (50 mg/mL).
Dosis:

130
 Encerkan 1 ampul 30 mg dalam 9 mL aqua bidest untuk mendapatkan
larutan berisi 3 mg efedrin per mL.
 Dewasa 3-6 mg secara injeksi IV pelan (1-2 ml larutan yang diencerkan),
diulangi tiap menit hingga tekanan darah stabil.
Indikasi:
 Hipotensi yang diinduksi oleh regional anestesi (Spinal dan Epidural
anestesi)
 Pengobatan pilihan utama anafilaktik shok pada wanita hamil

Kontraindikasi, efek samping, dan perhatian


 Berikan secara hati-hati pada pasien-pasien dengan insufisiensi coroner,
hipertiroidisme dan glaukoma sudut tertutup.
 Dapat menyebabkan: Aritmia, hipertensi.
 Ibu hamil: Tidak ada kontraindikasi.
 Ibu menyusui: Cegah pemberian (diekskresikan pada ASI).
 Pada dosis biasa sudah bisa terjadi efek sentral seperti gelisah, nyeri kepala,
cemas, dan sukar tidur
 Pada dosis tinggi menimbulkan tremor, takikardi dan aritmia.

Sulfas Atropin (Anti Muskarinik)


Penghambat reseptor muskarinik atau anti-muskarinik dikelompokkan
dalam 3 kelompok yaitu:
1. Alkaloid antimuskarinik : Atropin dan Skopolamin
2. Derivat semisintetisnya, dan
3. Derivat sintetis
Sintesis dilakukan dengan maksud mendapatkan obat dengan efek khusus
terhadap gangguan tertentu dan efek samping yang lebih ringan. Kelompok obat ini
bekerja pada reseptor muskarinik dengan afinitas berbeda untuk berbagai subtipe
reseptor muskarinik. Oleh karena itu saat ini terdapat antimuskarinik yang
digunakan untuk:
1. Mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya, antispasmodik.

131
2. Pengunaan lokal pada mata sebagai midriatikum.
3. Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit Parkinson
4. Bronkodilatasi
5. Memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna.

Strukur Kimia
Atropin (campuran α dan l-hiosiamin) terutama ditemukan pada Atropa
belladonna dan Datura stramonium, merupakan ester organik dari asam tropat
dengan tropanol atau skopin (basa organik). Walaupun selektif menghambat
reseptor muskarinik, pada dosis sangat besar atropine memperlihatkan efek
penghambatan juga di ganglion otonom dan otot rangka yang reseptornya nikotinik.

Farmakodinamik
Atropin bekerja melalui reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik dan
reseptor muskarinik dan berbagai subtipenya. Reseptor nikotinik dibagi 2 yaitu:
a. Reseptor nikotinik neuronal (NN) yaitu reseptor nikotinik yang terdapat di ganglia
otonom, adrenal medulla dan SSP.
b. Reseptor nikotinik otot (NM) yaitu reseptor nikotinik yang terdapat di sambungan
saraf-otot.
Reseptor muskarinik ada 5 subtipe yakni:
1. Reseptor M1di ganglia dan berbagai kelenjar.
2. Reseptor M2di jantung.
3. Reseptor M3 di otot polos dan kelenjar.
4. Reseptor M4mirip M2.
5. Reseptor M5 mirip M1
Hambatan oleh atropine bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan
pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase.
Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh
lebih kuat terhadap yang eksogen.
Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar
organ. Pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya, atropine hanya menekan sekresi

132
air liur, mucus bronkus dan keringat dan belum jelas mempengaruhi jantung. Pada
dosis yang lebih besar (0,5 - 1,0 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan
akomodasi. dan penghambatan nervus vagus sehingga terlihat takikardia.
Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk menghambat peristaltik usus dan
sekresi kelenjar di lambung.Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip
denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan pada keadaan ini biasanya efek
adrenergik menjadi lebih nyata.
Berikut ini adalah dampak pemberian atropine pada berbagai organ tubuh:
a. Susunan saraf pusat
 Atropin pada dosis kecil memperlihatkan efek merangsang di susunan saraf
pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek depresi setelah melampaui
fase eksitasi yang berlebihan.
 Dalam dosis 0,5 mg (untuk orang Indonesia mungkin ± 0,3 mg) atropine
merangsang N.vagus sehingga frekuensi denyut jantung berkurang.
Perangsangan respirasi terjadi karena dilatasi bronkus, tetapi dalam hal
depresi respirasi oleh sebab tertentu, atropine tidak berguna merangsang
respirasi.
 Pada dosis yang besar sekali, atropine menyebabkan depresi napas,
eksitasi, disorientasi, delirium, halusinasi dan depresi serta paralisis
medulla oblongata.
b. Sistem kardiovaskular
 Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5
mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mungkin
disebabkan oleh perangsangan pusat vagus. Bradikardi biasanya tidak
nyata dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah jantung.
 Pada dosis lebih dari 2 mg yang biasanya hanya digunakan pada keracunan
insektisida organofosfat, terjadi hambatan N. vagus sehingga terjadi
takikardia. Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan
darah secara langsung. Dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher terjadi
pada dosis toksik (atropine flush). Vasodilatasi ini merupakan kompensasi

133
kulit untuk melepaskan panas dari naiknya suhu kulit akibat penghentian
evaporasi.
c. Mata
 Atropin menghambat M.constrictor papillae dan M.ciliaris lensa mata,
sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme
akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotofobia, sedangkan siklopegia
menyebabkan hilangnya kemampuan melihat jarak dekat. Midriasis baru
terlihat dengan dosis yang lebih tinggi (>1 mg). Pemberian lokal pada mata
menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan berlangsung lama (7-12
hari), karena atropin sukar dieliminasi dari cairan bola mata. Midriasis oleh
atropin dapat diatasi dengan pilokarpin, eserin atau DFP.
 Tekanan intraoklular pada mata yang normal tidak banyak mengalami
perubahan, tetapi pada pasien glaucoma, terutama pada glaucoma sudut
sempit, penyaliran cairan intraocular melalui saluran Schlemm akan
terhambat karana muaranya terjepit dalam keadaan midriasis.

d. Saluran napas
 Tonus bronkus sangat dipengaruhi oleh sistem parasimpatis melalui
reseptor M3 demikian juga sekresi kelenjar submukosanya. Atropin
mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus.
 Penggunaannya pada premedikasi anesthesia dimaksudkan untuk
mengurangi sekresi lendir jalan napas sehingga mengurangi resiko aspirasi
pada saat pemulihan. Sementara itu, sebagai bronkodilator, atropin tidak
berguna dan jauh lebih lemah daripada epinefrin atau aminofilin. Walaupun
demikian, ipratropium bromide merupakan anti muskarinik yang
memperlihatkan efek bronkodilatasi berarti pada pemberian setempat
dengan dampak yang minimal pada mekanisme pembersihan mukosilier
e. Saluran cerna

134
 Karena bersifat menghambat peristaltik lambung dan usus, atropine juga
disebut sebagai antispasmodik.
 Atropin menyebabkan berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi
lambung.

f. Otot polos lain


 Saluran kemih dipengaruhi oleh atropine dalam dosis agak besar (kira-kira
5 mg). Pada pielogram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter, dan
kandung kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin. Retensi urin
disebabkan oleh relaksasi otot detrusor dan konstriksi sfingter uretra.
 Efek antispasmodik pada saluran empedu, tidak cukup kuat untuk
menghilangkan kolik yang disebabkan oleh batu saluran empedu.
 Pada uterus, yang inervasi otonomnya berbeda dengan otot polos lainnya,
tidak terlihat efek relaksasi, sehingga atropin hampir tidak bermanfaat untuk
pengobatan nyeri haid.
g. Kelenjar eksokrin
 Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin ialah kelenjar
liur dalam mulut serta bronkus. Untuk menghambat aktivitas kelenjar
keringat diperlukan dosis yang lebih besar. Efek terhadap kelenjar air mata
dan air susu tidak jelas.
Farmakokinetik
Atropin mudah diserap di semua tempat, kecuali di kulit. Pemberian atropin
sebagai obat tetes mata, terutama pada anak-anak dapat menyebabkan absorpsi
dalam jumlah yang cukup besar lewat mukosa nasal, sehingga menimbulkan efek
sistemik dan bahkan keracunan. Dari sirkulasi darah atropin cepat memasuki
jaringan dan separuhnya mengalami hidrolisis enzimatik di hepar. Sebagian di
ekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal. Waktu paruh atropin sekitar 4 jam.
Indikasi
a) Emergensi

135
Pengobatan dari bradikardi sinus/ CPR, premedikasi ( vagolisis ),
reverse dari blockade neuromuscular ( blockade efek muskarinik
antikholonesterase ), bronkospasme.

b) Saluran napas
a. Atropin berguna untuk mengurangi sekresi lendir hidung dan
saluran napas, misalnya pada rhinitis akut, koriza, dan hay fever.
b. Oftalmologi
c. Atropin biasanya dipakai dengan kekuatan larutan 0,5-1%, dua
atau tiga tetes larutan ini cukup untuk menyebabkan midriasis
selama beberapa hari sampai seminggu.
d. Susunan saraf pusat
e. Atropin merupakan obat tambahan di samping levodopa sebagai
terapi parkinsonisme.

c) Indikasi lain
a. Atropin berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan napas pada anesthesia,
terutama anesthesia inhalasi dengan gas yang merangsang. Kelenjar yang
sekresinya dihambat secara baik oleh antikolenergik ialah kelenjar keringat
dan kelenjar ludah.
b. Atropin kadang-kadang berguna untuk menghambat N.Vagus pada
bradikardia atau sinkope akibat refluks sinus karotis yang hiperakif. Beberapa
jenis blok A-V yang disertai dengan hiperaktivitas vagus dapat diperbaiki
dengan atropin.
c. Atropin merupakan antidotum untuk keracunan antikolinesetrase dan
keracunan kolinergik yang ditandai dengan gejala muskarinik. Selain itu,
atropin berguna untuk mengatasi gejala parasimpatomimetik yang menyertai
pengobatan kolinergik pada miastenia gravis

136
d. Atropin digunakan untuk menghambat motilitas lambung dan usus. Terutama
dipakai pada ulkus peptikum dan sebagai pengobatan simtomatik pada
berbagai keadaan misalnya disentri, colitis, diverticulitis dan kolik karena
obat atau sebab lain.
e. Atropin IV ternyata efektif untuk mengobati stenosis pylorus pada bayi.
Atropin 0,01 mg/KgBB disuntikkan 6 kali sehari sampai gejala muntahnya
berhenti. setelah itu atropin 0,02 mg/KgBB diberikan per oral 6 kali sehari
untuk kemudian diturunkan secara bertahap setelah muntah berhenti sama
sekali dan berat bayi bertambah.

Efek Samping
Efek samping antimuskarinik hampur semuanya merupakan efek
farmakodinamiknya. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi,
meteorisme sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua dapat terjadi
efek sentral terutama berupa sindrom demensia. Memburuknya retensi urin pada
pasien hipertrofi prostat dan memburuknya penglihatan pada pasien glaukoma.

Dosis dan sediaan


1 mg atropin sulfat dalam 1 mL ampul (1 mg/mL) diberikan secara SC, IM,
IV. Juga tersedia dalam ampul 0,25 mg/mL dan 0,5 mg/mL.

1. Bradikardia sinus / CPR :


a. Anak-anak IV/IM/SK 10-20µg/kgBB dosis minimum 0,1 mg.
b. Dewasa IV/IM/SK 0,5-1,0 mg ulangi tiap 3-5 menit sesuai indikasi,
dosis maksimal 40 µg/KgBB.
2. Premedikasi Anestesi:
a. Anak-anak: 0,01-0,02 mg/kgBB SC/IV
b. Dewasa: 0,4-1 mg SC/IV
3. Reversi blockade neuromuskuler IV 0,015 mg dengan antikolinesterase
neostigmin, IV 0,05 mg/KgBB dengan antikolinesterasi neostigmin.
4. Bronkodilatasi dengan inhalasi

137
a. Anak > 6 thn 0,5 mg SC tiap 4-6 jam
b. Dewasa 0,25mg/KgBB dalam 4-6 jam7

Kontraindikasi, efek samping, dan perhatian


a. Jangan diberikan pada pasien-pasien dengan gangguan urethra-prostat,
gangguan jantung dan glaukoma.
b. Jangan diberikan pada anak dengan demam tinggi.
c. Dapat menyebabkan: retensi urin, mulut kering, konstipasi, pusing, sakit
kepala, dilatasi pupil dan takikardi.
d. Berikan dengan hati-hati dan dibawah pengawasan ketat pada pasien-pasien
yang sedang memakai obat-obat anti kolinergik yang lain (antidepresi,
neuroleptik, H-1 antihistamin, antiparkinson dll)
e. Tidak ada kontra indikasi pada wanita hamil.
f. Cegah pemakaian pada wanita menyusui.

Aminofilin (Derivat Xantin: theophylline ethylenediamine)

Derivat xantin yang terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin ialah alkaloid
yang terdapat dalam tumbuhan. Sejak dahulu ekstrak tumbuh-tumbuhan ini
digunakan sebagai minuman. Kafein terdapat dalam kopi yang didapat dari biji
Coffea Arabica, Teh dari daun Thea sinensis mengandung kafein dan teofilin.
Cocoa, yang didapat dari biji Theobroma cacao mengandung kafein dan teobromin.
Ketiganya merupakan derivat xantin yang mengandung gugus metil. Xantin sendiri
ialah dioksipurin yang mempunyai struktur mirip dengan asam urat.

Farmakodinamik
Mekanisme Kerja:

138
Teofilin menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah
pemecahan cAMP dan cGMP masing-masing menjadi 5-AMP dan 5-GMP.
Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga
menyebabkan relaksasi otot polos, termasuk otot polos bronkus.
Teofilin merupakan suatu antagonis kompetitif pada reseptor adenosin.
Adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat
penglepasan mediator dari sel mast yang diinduksi oleh rangsang imunologis. Oleh
karenanya penghambatan kerja adenosin juga merupakan mekanisme kerja teofilin
untuk mengatasi bronkokonstriksi pada pasien asma.
Beberapa studi menunjukkan bahwa teofilin juga memiliki efek
antiinflamasi dan menghambat penglepasan mediator dari sel radang.
1. Susunan saraf pusat:
Teofilin dan kafein merupakan perangsang SSP yang kuat sedangkan
teobromin boleh dikatakan tidak aktif. Teofilin menyebabkan perangsangan
SSP yang lebih dalam dan berbahaya dibandingkan kafein. Orang yang
minum kafein merasakan tidak begitu mengantuk, tidak begitu lelah dan
daya pikirnya lebih cepat dan lebih jernih tetapi kemampuan berkurang
dalam pekerjaan yang memerlukan koordinasi otot halus (kerapihan),
ketepatan waktu atau ketepatan berhitung.
Bila dosis metilxantin ditinggikan , akan menyebabkan gugup, gelisah,
insomnia, tremor, hiperestesia, kejang fokal atau kejang umum.
2. Sistem Kardiovaskular
a. Jantung: Pada orang normal, kadar terapi teofilin antara 10-20 µg/mL
akan menyebabkan kenaikan moderat frekuensi denyut jantung.
b. Pembuluh darah: Kafein dan teofilin menyebabkan dilatasi pembuluh
darah termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal karena efek
langsung pada otot pembuluh darah.
c.
Sirkulasi otak: Resistensi pembuluh darah otak naik disertai
pengurangan aliran darah dan PO2 di otak.

139
d. Sirkulasi koroner: Secara eksperimental terbukti bahwa xantin
menyebabkan vasodilatasi arteri koroner dan bertambahnya aliran darah
koroner.
e.
Tekanan darah: Efek xantin terhadap tekanan darah tidak dapat
diramalkan. Stimulasi pusat vasomotor dan stimulasi langsung miokard
akan menyebabkan kenaikan tekanan darah. Sebaliknya perangsangan
pusat vagus dan adanya vasodilatasi menyebabkan penurunan tekanan
darah.

3. Otot polos
Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila
otot bronkus dalam keadaan konstriksi secara eksperimental akibat
histamine atau secara klinis pada pasien asma bronkial. Dalam hal ini
teofilin paling efektif menyebabkan peningkatan kapasitas vital.
Sebagai bronkodilator, teofilin bermanfaat untuk pengobatan asma
bronkial. Efek bronkodilatasi teofilin nampaknya disebabkan baik oleh
antagonism terhadap reseptor adenosine maupun inhibisi PDE. Suntikan
aminofilin menyebabkan berkurangnya gerakan usus halus dan usus
besar untuk sementara waktu. Dosisnya 5-6 mg/KgBB diulang 20-30
menit. Peroral/rectal 6 mg/KgBB.
Dosis pemeliharaan IV 0,5-1 mg/KgBB per jam. Peroral 2-4 mg/KgBB
setiap 6-12 jam. Eliminasi di hati
4. Diuresis
Semua xantin meninggikan produksi urin. Teofilin merupakan diuretik,
tetapi efeknya hanya sebentar. Teobromin kurang aktif tetapi efeknya lebih lama,
sedangkan kafein yang paling lemah.
5. Sekresi Lambung
Dosis sedang pada kucing dan manusia menyebabkan kenaikan sekresi
lambung yang berlangsung lama. Kombinasi histamin dan kafein memperlihatkan
efek potensiasi pada peninggian sekresi pepsin dan asam.
6. Efek Metabolik

140
Pemberian kafein sebesar 4-8 mg/kgBB pada orang yang sehat
maupunorang yang gemuk akan menyebabkan peningkatan kadar asam lemak
bebas dalam plasma danjuga meninggikan metabolisme basal. Masih belum jelas
benar apakah perubahan metabolism ini berkaitan dengan peningkatan penglepasan
ataupun efek katekolamin.

Farmakokinetik
Metilxantin cepat diabsorpsi setelah pemberian oral, rectal atau parenteral.
Sediaan bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorbsi secara cepat dan
lengkap. Absorbsi juga berlangsung lengkap untuk beberapa jenis sediaan lepas
lambat. Absorbsi teofilin dalam bentuk garam yang mudah larut, misalnya teofilin
Na glisinat atau teofilin kolin tidak lebih baik.
Sediaan teofilin parenteral atau rektal ternyata tetap menimbulkan keluhan
nyari saluran cerna, mual dan muntah. Rupanya gejala ini berhubungan dengan
kadar teofilin dalam plasma. Keluhan saluran cerna yang disebabkan oleh iritasi
setempat dapat dihindarkan dengan pemberian obat bersama makanan, tetapi akan
terjadi penurunan absorbsi teofilin. Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin
bentuk cair atau tablet tidak bersalut dapat menghasilkan kadar puncak plasma
dalam waktu 2 jam sedangkan kafein dalam waktu 1 jam.
Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk
ke air susu ibu. Volume distribusi kafein dan teofilin ialah antara 400 dan 600
mL/kg. Eliminasi metilxantin terutama melalui metabolisme dalam hati. Sebagian
besar diekskresi bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin.
Kurang dari 20% teofilin dan 5% kafein akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh.
Waktu paruh plasma teofilin pada orang dewasa 8-9 jam dan pada anak muda kira-
kira 3,5 jam. Pada pasien sirosis hati atau edema paru akut, kecepatan eliminasi
sangat bervariasi dan berlangsung lebih lambat.

Indikasi
a. Asma bronkial

141
Senyawa teofilin merupakan salah satu obat yang diperlukan pada serangan
asma yang berlangsung lama (status asmatikus). Dalam mengatasi status asmatikus
diperlukan berbagai tindakan termasuk pengunaan oksigen, aspirasi mukus
bronkus, pemberian obat simpatomimetik, bronkodilator, ekspektoran dan sedatif.
Salah satu bronkodilator yang paling efektif ialah teofilin. Selain itu teofilin dapat
digunakan sebagai profilaksis terhadap serangan asma.
Pada pasien asma, diperlukan kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8 µg/mL,
sedangkan efek toksik mulai terlihat pada kadar 15 µg/mL dan lebih sering pada
kadar diatas 20µg/mL. Karena itu pada pengobatan asma diusahakan kadar teofilin
dipertahankan kira-kira 10 µg/mL. Karena variasi yang cukup besar dalam
kecepatan eliminasi teofilin, maka dosis perlu ditentukan secara individual
berdasarkan pemantauan kadarnya dalam plasma. Selain itu respon individual yang
juga cukup bervariasi menyebabkan teofilin perlu diawasi penggunaannya dalam
therapeutic drug monitoring.
Untuk mengatasi episode spasme bronkus hebat dan status asmatikus, perlu
diberikan aminofilin IV dengan dosis muat (loading dose) 6 mg/kgBB yang
ekivalen dengan teofilin 5 mg/kgBB. Obat ini diberikan secara infus selama 20-40
menit. Bila belum tercapai efek terapi dan tidak terdapat tanda intoksikasi, maka
dapat ditambahkan dosis 3 mg/kgBB dengan infus perlahan-lahan. Selanjutnya efek
yang optimal dapat dipertahankan dengan pemberian infus 0,5 mg/kgBB/jam untuk
dewasa normal dan bukan perokok.
Kombinasi dengan agonis β2-adrenergik misalnya metaproterenol atau
terbutalin ternyata meningkatkan efek bronkodilatasi teofilin sehingga dapat
digunakan dosis dengan resiko efek samping yang lebih kecil. Penggunaan
minuman atau obat yang mengandung kafein selama pengobatan teofilin dilarang
untuk menghindarkan:
1. Efek aditif kafein pada SSP, kardiovaskular dan saluran cerna.
2. Pengaruh kafein terhadap eliminasi teofilin, karena keduanya
dimetabolisme oleh enzim yang sama, dan
3. Kemungkinan pengaruh kafein terhadap hasil penetapan kadar teofilin
menurut cara tertentu.

142
2. Penyakit paru obstruktif kronik (COPD)
Teofilin juga banyak digunakan pada penyakit ini dengan tujuan yang sama
dengan pengobatan asma. Tetapi, gejala lain yang menyangkut sistem
kardiovaskular akibat penyakit paru obstruktif kronik ini misalnya hipertensi
pulmonal, payah jantung kanan pada cor pulmonale, tidak diperbaiki oleh teofilin.

3. Apneu pada bayi prematur


Pada bayi prematur seering terjadi episode apneu yang berlangsung lebih
dari 15 detik yang disertai bradikardi. Hal ini dapat menimbulkan hipoksemia
berulang dan gangguan neurologis, yang mungkin berhubungan dengan penyakit
sistemik yang cukup berat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian
teofilin oral atau IV dapat mengurangi lamanya apneu. Untuk itu teofilin cukup
diberikan dalam dosis yang mencapai kadar plasma 3-5 µg/mL yaitu 2,5-5
mg/kgBB dan selanjutnya dipertahankan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.

Sediaan dan Dosis


Berbentuk kristal putih, pahit dan sedikit larut dalam air. Di Indonesia,
tersedia dalam berbagai bentuk sediaan untuk penggunaan oral, yaitu kapsul/kapsul
lunak teofilin 130 mg; tablet teofilin 150 mg; tablet salut selaput lepas lambat berisi
teofilin 125 mg, 250 mg, dan 300 mg; sirup/eliksir yang berisi teofilin sebanyak 50
mg/5 mL, 130 mg/15 mL dan 150 mg/15 mL. Teofilin juga tersedia dalam
kombinasi tetap dengan efedrin untuk asma bronkial. Aminofilin merupakan garam
teofilin untuk penggunaan IV, tersedia dalam ampul 10 mL mengandung 24 mg
aminofilin setiap mililiternya.

Deksamethason (Kortikosteroid)
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak;
dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf

143
dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatis, artinya penting bagi
organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan
lingkungan.
Glukokortikoid memiliki efek yang tersebar luas karena mempengaruhi
fungsi dari sebagian besar sel-sel tubuh. Dampak metabolik yang utama dari sekresi
atau pemberian glukokortikoid adalah disebabkan karena kerja langsung hormon-
hormon ini pada sel. Tetapi dampak pentingnya adalah dalam menghasilkan respon
homeostatik pada insulin dan glucagon. Meskipun banyak efek dari glukokortikoid
berkaitan dengan dosis dan efeknya membesar ketika sejumlah besar
glukokortikoid diberikan untuk tujuan terapi.

Farmakodinamik
 Metabolisme
Perubahan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak seperti
terjadinya glukoneogenesis di hati, glikogenesis, merangsang lipogenesis
dan menghambat lipolisis sehingga terjadi peningkatan deposit lemak
(Bufallo hump), pengurangan massa jaringan otot dan osteoporosis pada
tulang.
 Sistem kardiovaskular
Gangguan sistem kardiovaskular yang timbul pada insufisiensi
adrenal atau pada hiperkortisisme sebenarnya sangat kompleks dan belum
semua diketahui dengan jelas. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem
kardiovaskular secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak
langsung ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit sedangkan
pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada
kapiler, arteriol dan miokard.
 Otot rangka
Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan
baik, dibutuhkan kortikosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila
hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Pada
insufisiensi adrenal atau pasien penyakit Addison, terjadi penurunan

144
kapasitas kerja otot rangka sehingga mudah timbul keluhan cepat lelah dan
lemah.
 Susunan saraf pusat
Kortikosteroid dapat mempengaruhi susunan saraf pusat baik secara
langsung maupun tidak langsung, meskipun hal yang terakhir ini belum
dapat dipastikan. Pengaruh tidak langsung disebabkan efeknya pada
metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi dan keseimbangan elektrolit.
Adanya efek steroid pada susunan saraf pusat ini dapat dilihat dari
timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG dan kepekaan otak pada
mereka yang sedang menggunakan kortikosteroid terutama untuk waktu
lama.
 Elemen pembentuk darah
Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah
sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul polisitemia pada
sindrom Cushing. Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah
leukosit polimorfonuklear, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut
ke dalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan
berpindahnya sel dari sirkulasi. Sebaliknya jumlah sel limfosit, eosinofil,
monosit dan basofil dalam darah dapat menurun sesudah pemberian
glukokortikoid.
 Efek anti-inflamasi
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan
timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau
allergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi
dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat
radang dan aktivitas fagisitosis. Selain itu juga dapat menghambat
manifestasi inflamasi yang lebih lanjut yaitu proliferasi kapiler dan
fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks.
Kortikosteroid sering disebut life saving drug dan sering menimbulkan
masking effect.

145
Farmakokinetik
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi cukup baik.
Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan
derivat sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama
kortisol dan esternya diberikan secara IM.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorbsi, mula
kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan
ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi
prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
synovial. Penggunaan jangka panjang pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistemik, antara supresi korteks adrenal.

Indikasi
 Sindrom inflamasi pada infeksi berat demam thypoid, laryngitis akut
subglottis dll.
 Maturasi paru-paru janin, pada keadaan persalinan prematur yang
mengancam sebelum usia kehamilan 34 minggu.
 Untuk reaksi alergi (shok anafilaktik dan edema anasarka) dan status
asmatikus, gunakan hidrokortison.
 Pencegahan penolakan pada transplantasi organ.
 Asma bronchial.

Sediaan dan Dosis


Sediaan 4 mg deksamethasone fosfat dalam ampul 1 mL (4 mg/mL) secara
IM, injeksi IV atau infus.
Dosis dan durasi
 Sindrom inflamasi pada infeksi berat.
Dosis dan situasi sangat bervariasi tergantung pada derajat beratnya
infeksi dan respon klinis:
Anak-anak: 0,2-0,4 mg/kgBB/hari

146
Dewasa: dosis awal 0,5-24 mg/hari
 Maturasi paru janin
Diberikan pada ibu: 6 mg melalui injeksi IM tiap 12 jam selama 2 hari
(dosis total: 24 mg)

Kontraindikasi, efek samping, perhatian


 Untuk infeksi sistemik, hanya diberikan jika pasien dalam terapi
antibiotik.
 Pada keadaan pengobatan lebih lama dari 10 hari, kurangi dosis secara
bertahap untuk mencegah kegagalan kelenjar adrenal.
 Ibu hamil: tidak ada kontraindikasi.
 Ibu menyusui: tidak ada kontraindikasi.

Obat Vasoaktif dan Inotropik


Vasoaktif didefinisikan sebagai bahan kimia yang berefek pada kaliber
pembuluh darah1.Obat-obat vasoaktif seringkali digunakan sebagai pilihan lanjutan
apabila terapi cairan tidak mampu memperbaiki kondisi syok. Pemilihan obat-obat
vasoaktif tergantung pada pengertian mengenai mekanisme kerja dan keterbatasan
penggunannya. Sebagian besar obat vasoaktif adalah katekolamin yang
perngaruhnya bergantung pada interaksinya dengan reseptor α dan β adrenergik.
Sedangkan agent inotropik merupakan agent yang memiliki efek meningkatkan
kontraktilitas jantung. Kontraktilitas jantung yang terganggu dapat menurunkan
cardiac output sehingga tidak dapat memberikan perfusi maupun hantaran oksigen
yang cukup ke jaringan.

Beberapa contoh obat yang dapat digolongkan sebagai vasoaktif inotropik


adalah epinefrin, norepinefrin, dopamin, dobutamin, efedrin, dan milrinon8
Perangsangan pada reseptor adrenergik dapat meningkatkan kontraktilitas
miokardial dan/atau memodifikasi resistensi pembuluh darah perifer. Berikut efek
perangsangan pada reseptor adrenergik:
1. Agonis β-adrenergik meningkatkan frekuensi jantung dan kekuatan kontraksi

147
2. Agonis α-adrenergik meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer
3. Rangsangan reseptor DA memicu dilatasi di jaringan vaskular ginjal dan organ
visera serta turut mengaktivasi reseptor α- dan β- adrenergik.
Obat dengan aktivitas α-adrenergik yang menonjol dapat digunakan untuk
menaikkan tekanan darah pada pasien yang mengalami penurunan resistensi perifer
seperti pada keadaan anestesia spinal atau intoksikasi dengan obat antihipertensi.
Namun, keadaan hipotensi tersebut bukanlah suatu indikasi untuk pemberian obat
vasoaktif kecuali bila tidak ada perfusi yang cukup pada organ vital seperti otak,
jantung, atau ginjal. Penggantian cairan atau darah pada sebagian besar kasus
hipotensi merupakan pilihan yang lebih tepat daripada penggunaan terapi obat.
Pada pasien anestesi spinal yang mengganggu aktivasi simpatik jantung, injeksi
efedrin dapat meningkatkan frekuensi jantung dan resistensi pembuluh darah
perifer. Injeksi efedrin berulang dapat menyebabkan takifilaksis, sehingga
diperlukan penggunaan obat yang bekerja langsung.

Norepinefrin
Norepinefrin merupakan mediator kimia utama yang dibebaskan oleh saraf
adrenergik pascaganglionik pada mamalia. Norepinefrin mengisi 10-20%
kandungan katekolamin pada medulla adrenal manusia dan sebanyak 97% pada
beberapa feokromositoma, yang tidak dapat mengekspresikan enzim
fenilatenolamin-N-metil-transferase. Norepinefrin sendiri berperan sebagai
vasokintriktor dan inotropik. Epinefrin dan norepinefrin merupakan agonis
langsung pada sel efektor, dan kerjanya berbeda terutama pada rasio keefektifannya
dalam menstimulasi reseptor α dan β2. Norepinefrin merupakan agonis poten pada
reseptor α dan kerjanya relatif lebih kecil pada reseptor β2. Namun, agak kurang
poten daripada epinefrin pada reseptor α di sebagian besar organ.
Infus intravena 10 µg norepinefrin per menit pada manusia umumnya
meningkatkan tekanan sistolik, diastolik, dan tekanan nadi. Curah jantung tidak
berubah atau berkurang, dan resistensi perifer total meningkat. Aktivitas refleks
vagus terjadi sebagai komensasi memperlambat jantung, mengatasi kerja
kardioakselator langsung, dan meningkatkan volume stroke. Resistensi vaskular

148
perifer di sebagian besar jaringan vaskular meningkat, dan aliran darah ke ginjal
berkurang. Dosis kecil norepinefrin tidak dapat menyebabkan vasodilatasi atau
menurunkan tekanan darah, karena pembuluh darah otot rangka mengalami
konstriksi dan bukan dilatasi. Oleh karena itu, bloker reseptor α-adrenergik
meniadakan efek pressor tetapi tidak menyebabkan pembalikan yang signifikan,
misalnya hipotensi. Norepinefrin dapat menyebabkan hiperglikemia dan efek
metabolik lain yang mirip dengan efek yang dihasilkan oleh epinefrin. Tetapi, hal
tersebut hanya dapat diamati pada pemberian norepinefrin dosis tinggi. Injeksi
intradermal dengan dosis yang sesuai dapat menyebabkan pengeluaran keringat
yang tidak di blok oleh atropin.
Norepinefrin tidak efektif jika diberikan secara oral dan hanya sedikit
diabsorbsi dari tempat injeksi subkutan. Senyawa tersebut terinaktivasi secara cepat
di dalam tubuh oleh enzim yang sama yang memetilasi dan mendeaminasi oksidatif
epinefrin. Pemberian norepinefrin dapat meningkatkan tekanan darah. Sehingga
perlu dilakukan pemantauan tekanan darah yang cermat selama pemberian
norepinefrin secara sistemik.
Epinefrin bitartat 2 mg (setara epinefrin 1 mg) dilarutkan kedalam 250 ml
D5W. Menghasilkan epinefrin 16 µg/ml. Pemberian awal 0,5-10 µg/menit IV
dititrasi sampai timbul respon yang diinginkan. Jika syok berulang diberikan 8-30
µg/menit IV.

Dopamin
Dopamin (3,4-dihidroksifeniletilamin) merupakan prekursor metabolik
langsung norepinefrin dan epinefrin. Dopamin merupakan substrat untuk MAO dan
COMT, sehingga tidak efektif jika diberikan secara oral.Pada konsentrasi rendah,
interaksi utama dopamin adalah dengan reseptor D1-dopaminergik vaskular,
terutama di ginjal, mesenterium, dan jaringan koroner. Stimulasi reseptor-D1
menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi adenilsiklase dan peningkatan
konsentrasi siklik AMP intraselular. Pemberian dosis rendah dopamin dapat
meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran darah ginjal, dan ekskresi Na+.
Sehingga dopamin tepat digunakan dalam menangani keadaan rendahnya curah

149
jantung pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, seperti gagal jantung kengestif
parah.

Dasar Terapi Dopamin

Dopamin adalah katekolamin endogen dengan efek kardiovaskular. Efek dopamin


tergantung pada respon katekolamin endogen, farmakokinetik, fungsi sistem organ
dan cadangan norepinefrin.

 Infus dopamin pada dosis 2-5 mcg/kg/menit memberikan efek langsung


pada jantung sedikit, namun efek perangsang reseptor dopaminergik
meningkatkan aliran darah vena, splanknik, koroner, dan otak.
 Infus dopamin pada dosis > 5 mcg/kg/menit merangsang reseptor β –
adrenergik jantung secara langsung dan tidak langsung melalui pelepasan
epinefrin yang disimpan di saraf simpatis kardiak. Efek inotropik dopamin
pada anak terbatas karenan cadangan norepinefrin yang rendah karena
persarafan simpatis miokard ventrikel yang belum sempurna.
 Pada vascular bed perifer dopamin juga memberikan efek langsung dan
tidak langsung pada reseptor α dan β adrenergik. Pemberian dopamin dosis
rendah menyebabkan vasodilatasi, pemberian dopamin dosis tinggi
menyebabkan vasokontriksi.
 Pemberian dopamin dosis 5-10 mcg/kg/menit meningkatkan kontraktilitas
jantung, tanpa efek pada laju denyut jantung dan tekanan darah. Pemberian
dopamin dosis 10-20 mcg/kg/menit menyebabkan vasokonstriksi,
peningkatan tekanan darah dan takikardia.

Indikasi Pemberian Dopamin

Dopamin diberikan pada hipotensi atau perfusi perifer buruk dengan volume
intravaskular cukup dan irama jantung yang stabil.

Dosis Dan Cara Pemberian Dopamin

150
Masa paruh pendek sehingga diberikan secara infus kontinyu dengan pompa infus.

Infus inisial adalah 10 mcg/kg/menit, kemudian kecepatan infus disesuaikan


dengan penilaian diuresis, perfusi sistemik atau tekanan darah. Dosis rendah
dopamin 2-5 mcg/kg/menit memperbaiki aliran darah renal, splanknik dan diuresis.
Kecepatan infus > 20 mcg/kg/menit menyebabkan efek vasokonstriksi tanpa
inotropik.

Perhatian Dalam Pemberian Dopamin

Dopamin dapat menyebabkan takikardia yang meningkatkan kebutuhan oksigen


miokard, aritmia, ventrikular takikardia dan hipertensi. Dopamin dosis tinggi dapat
menyebabkan vasokonstriksi perifer berat dan iskemia. Infus dopamin haru
diberikan melalui kateter vena yang aman atau melalui kateter vena sentralis.
Ekstravasasi dopamin dapat menyebabkan iskemia dan nerosis jaringan lokal.
Apabila efek inotropik diperlukan lebih baik diberikan epinefrin yang mempunyai
efek α dan β drenergik lebih kuat daripada memberikan infus dopamin dosis besar.

Dobutamin
Dobutamin merupakan agonis selektif reseptor β1. Struktur senyawa
dobutamin menyerupai dopamin. Namun, memiliki substitusi aromatik yang besar
pada gugus amino. Efek farmakologis dobutamin terjadi akibat adanya interaksi
langsung dengan reseptor α-1 dan β- adrenergik.Dobutamin diindikasikan untuk
penanganan jangka pendek pada dekompensasi jantung yang dapat terjadi setelah
pembedahan jantung, pada pasien gagal jantung kongestif, atau infark miokardial
akut. Dobutamin dapat meningkatkan curah jantung dan volume stroke tanpa
disertai kenaikan frekuensi jantung yang berlebihan. Perubahan tekanan darah atau
resistensi perifer biasanya juga tidak signifikan.
Waktu paruh dobutamin sekitar 2 menit dengan onset kerja yang cepat,
sehingga tidak diperlukan loading dose dalam pemberiannya. Metabolit utama
dobutamin merupakan hasil konjugasi dobutamin dan 3-O-metildobutamin.
Konsentrasi optimal umumnya dapat tercapai dalam waktu 10 menit setelah awal

151
pemberian infus dengan dosis 2,5 dan 10 µg/KgBB per menit. Pemberian laju dan
durasi infus ditentukan oleh respon klinis dan respons hemodinamik pasien. Selama
pemberian dobutamin dapat terjadi peningkatan tekanan darah dan frekuensi
jantung secara signifikan pada beberapa pasien. Respon presor yang berlebihan ini
terutama terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi. Pemberian dobutamin pada
pasien dengan fibrilasi atrial beresiko meningkatkan laju respons ventrikel, karena
dobutamin mempermudah konduksi atrioventrikular. Pemberian digoksin dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya hal tersebut.

Milrinone

Milrinone merupakan derivate bypiridine yang menyerupai amrinone,


dimana menghasilkan efek inotropik positif dan vasodilator.Obat ini mempunyai
efek minimal pada laju jantung dan konsumsi oksigen miokard. Pemberian
50μg/kg/IV diiukti dengan infus kontinyu, 0.5 μg/kg/menit, menjaga konsentrasi
milrinone plasma tetap atau di atas kadarterapeutik. Waktu paruh eliminasi obat
milrinone adalah 2.7 jam dan 80% dari obat diekskresi oleh ginjal tanpa diubah.
Dosis milrinone sebaiknya dikurangi pada pasien dengan disfungsi berat ginjal
(Laju filtrasi glomerulus <50 ml/menit).Namun demikian,baik milrinone ataupun
amrinone memiliki rasio terapeutik yang luas dan resiko overdosis, meskipun
disfungsi ginjal masih ringan.

Milrinone dapat bermanfaat pada manajemen disfungsi akut ventrikel kiri


yang dapat terjadi setelah operasi jantung.Keberhasilan menyingkirkan pasien yang
beresiko tinggi akibat cardiopulmonary bypass mungkin dapat ditingkatkan dengan
pemberian milrinone.Efek inotropik milrinone berkurang akibat asidosis yang
terjadi akibat penurunan pembentukan cAMP pada otot asidosis.Meski kerja obat
ini menguntungkan, pemberian milrinone peroral yang lama dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung kronik yang berat.Hasil
yang mirip terlihat pada pemberian specifik PDE inhibitors, namun terlihat
kemampuan peningkatan daya tahan hidup apabila diberikan dalam dosis yang
lebih rendah.

152
Obat anti aritmia

Aritmia merupakan kondisi jantung berkontraksi dengan ritme yang tidak


beraturan. Dalam hal ini dapat lebih cepat (takiaritmia) mauapun lebih lambat
(bradiaritmia). Penyebab utama aritmia adalah gangguan penjalaran stimulus
kontraksi jantung yang melibatkan ion-ion tertentu yaitu Na+, K+, Cl-, serta Ca2+.

Obat anti aritmia dibagi menjadi beberapa kelas. Dimana obat ini berpengaruh pada
masuk atau keluarnya ion-ion Na+, K+, Cl-, serta Ca2+. Berikut akan kita bahas
mengenai beberapa obatnya :

1. Kelas 1
Merupakan obat-obatan yang menghambat pemasukan ion natrium ke
dalam sel-sel otot jantung. Umumnya, obat yang termasuk golongan kelas
I adalah obat anestesi lokal. Ion Na+ diperlukan untuk kontraksi otot-otot
jantung. Obat-obat ini memiliki efek samping berupa: vertigo, disorientasi,
gangguan pergerakan, serta rasa bingung. Digunakan pada takiaritmia
ventrikuler. Beberapa obat yang termasuk ke dalam kelas obat ini antara
lain: lidokain, meksiletin, tokainid, flekainid, kinidin, ajmalin, prokainamid,
disisopramid, serta propafenon.

Lidokain

Indikasi :
Diberikan pada henti jantung dengan irama VF/VT tanpa nadi. Bisa
juga diberikan pada VT stabil, dengan kompleks QRS lebar dengan
tipe yang tidak jelas.

Efek samping :
 Jika pemberian berlebihan dapat menimbulkan tanda-tanda
toksisitas.
 Dosis dikurangi pada pasien dengan fungsi hati yang
menurun, maupun fungsi ventrikel kiri yang menurun.
 Pemberian pencegahan infark miokard akut tidak dianjurkan

153
Cara pemberian :

 Dosis awal 1-1,5 mg/kgBB IV bolus


 Untuk VF refrakter : 0,5-0,75 mg/kgBB IV diulangin 5-10
menit kemudian, dengan dosis maksimum 3ml/kgBB
 Dosis tunggal 1,5mg/kgBB IV pada henti jantung

Pada aritmia
 VT stabil, QRS kompleks lebar dengan tipe yang tidak jelas,
ektopik yang signifikan : dosis 0,5-0,75 mg/kgBB IV sampai
1-1,5 mg/kgBB IV diulangi setiap 5-10 menit dengan total
dosis 3mg/kgBB
 Dosis maintanance 1-5 mg/i IV (30-50 µg/kgBB per menit)
diencerkan dalam Dex 5 dan Dex 10 atau saline normal
2. Kelas II
Obat antiaritmia kelas dua merupakan obat-obat antiaritmia yang termasuk
golongan beta-blocker. Obat-obat ini digunakan dalam terapi hipertesi .
Karena berperan dalam menurunkan kontraksi jantung, obat-obat ini dapat
digunakan untuk penanganan aritmia. Beberapa obat beta-blocker yang
dapat digunakan antara lain: asebutalol, propanolol, atenolol, esmolol,
sotalol

3. Kelas III
Obat antiaritmia kelas tiga merupakan obat yang menghambat keluarnya ion
K. Dengan adanya penghalangan terhadap saluran ion K+, maka frekuensi
kontraksi jantung akan menurun. Obat yang termasuk golongan ini adalah
amiodaron dan sotalol. Sotalol termasuk juga ke dalam kelas II. Amiodaron
merupakan obat yang tidak boleh digunakan pada kondisi awal aritmia.
Amiodaron hanya boleh digunakan pada aritmia yang mengancam jiwa.

Amiodaron

154
Indikasi : digunakan secara luas untuk fibrilasi atrial dan takiaritmia
ventrikular. Selain itu untuk mengontrol kecepatan nadi pada aritmia atrial
dan pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun jika pemberian
digoksin sudah tidak efektif. Pemberian sangan direkomendasikan pada
pengobatan VF yang refrakter atau VT tanpa nadi, VT yang polimorfik dan
takikardi dengan QRS lebar yang tidak jelas sumbernya, sebagai obat
pendukung kardioversi elektrik kasus SVT dan PSVT, takikardi atrial
multifokal dengan fungsi ventrikel kiri yang baik, mengontrol kecepatan
nadi pada fibrilasi atrial.
Efek samping :
 Vasodilatasi dan hipotensi
 Memiliki efek inotropik negatif
 Memiliki efek memperpanjang interval QT

Dosis

Pada henti jantung 300 mg IV cepat (diencerkan dengan 20-30 ml


dekstose 5%), dengan pemberian berikutnya 150 mg IV dalam 3-5
menit. Dosis kumulatif maksimum 2,2 gram IV/24 jam.

Pada QRS lebar yang stabil, maks pemberian 2,2 gram IV/24 jam, cara
pemberian bolus 150 mcg IV dlam 5-10 menit dapat diulang 150 mg IV
setiap 10 menit jika diperlukan. Dilanjutkan dosis 360 mg IV selama 6
jam (1mg/menit). Dosis maintenance 540 mg IV dalam 18 jam (0.5
mg/menit)

4. Kelas IV
Obat antiaritmia kelas empat merupakan obat antiaritmia yang
mempengaruhi masuknya ion kalsium ke dalam sel. Obat yang termasuk
kelas ini merupakan obat-obat perintang saluran kalsium yang
kardioselektif (ingat kembali vasodilator serta obat antihipertensi).
Obat-obat yang masuk antiaritmia kelas IV antara lain: verapamil dan
diltiazem.

155
Verapamil
Indikasi
Obat pilihan (alternatif) setelah adenosine untuk mengehntikan PSVT
dengan QRS sempit dan tekaanan darah yang adekuat, dan fungsi
ventrikel baik. Mengontrol respons ventrikel pada pasien dengan
fibrilasi atrial, fluter atrial, atau multifokal atrial takikardia

KI dan ES
 Jangan digunakan pada takikardi dengan QRS kompleks yang
lebar dan tidak diketahui sumbenya.
 Jangan diberikan pada WPW dan fibrilasi atrial, sick sinus
syndrome, atau AV blok derajat 2 dan 3
 Dapat menyebabkan vasodilatasi perifer dan penurunan
kontraktilitas miokard sehingga menyebabkan hipotensi

Cara pemberian

Diberikan 2,5-5 mg IV bolus selama lebih 2 menit. Dosis berikutnya 5-


10 mg IV jika diperlukan dengan interval waktu 15-30 menit dari
pemberian dosis pertama. Dosis maks 20 mg IV. Alternatif 5 mg bolus
tiap 15 menit dengan total dosis 30 mg.

Diltiazem

Indikasi

Untuk mengontrol kecepatan nadi pada fibrilasi atrial dan flutter atrial.
Dapat menghentikn reentrant aritmia pada tingkat AV nodal.
Digunakan setelah pemberian adenosin untuk mengobati PSVT pada
pasien dengan QRS kompleks yang sempit dan tekanan darah yang
adekuat.

Efek samping

156
 Jangan digunakan untuk menghambat kanal Kalsium pada QRS
kompleks lebar dengan sumber yang tidak jelas atau obat-
obatan yang memicu takikardia.
 Cegah pemberian penghambat kanal kalsium pada pasien
dengan sindrom Wolf parkinson white dengan fibrilasi atrial
atau flutter atrial, sick sinus sindrom atau AV blok.
 Perhatikan bahwa tekanan darah dapat menurun akibat
vasodilatasi perifer

Cara pemberian

Untuk mengontrol denyut nadi, berikan 15-20 mg (0,25 mg/kgBB)


IV selama lebih dari 2 menit. Diulang 15 menit kemudian dengan
dosis 20-25 mg (0,35 ml/kgBB) selama 2 menit. Dosis pemeliharaan
5-15 mg/jam, dititrasi sesuai dengan denyut nadi. Dapat diencerkan
dengan dekstrose 5%.

157
8. GAGAL NAPAS

Gagal nafas Hiperkapnia/ Gagal Napas Tipe H/ Gagal Vantilasi

Berdasarkan defenisi, pasien dengan gagal nafas hiperkapnia mempunyai


kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus.
O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan
hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara inspirasi diberi
tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas
hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian nonparenkim paru
seperti dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif
kronis yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan
asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory
Distres’syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia.

 Patofisiologi Gagal Nafas Hiperkapnia

Hipoventilasi alveolar

Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses


metabolik setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari kedua

158
paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan CO2 ke ruang
pertukaran gas kedua paru, sedangkan VA adalah volume udara yang dipertukarkan
di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus.

VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VA (L/men) x1863

Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA


menggambarkan hiperbola ventilasi., dimana PaCO2 dan VA berhubungan terbalik.
Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia
sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat
diukur, perkiraan ventilasi hanya dapat dibuat dengan menggunakan PaCO2 rumus
diatas.

Ventilasi semenit

Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan PaCO2


meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langsung, jumlah total udara
yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur dengan
mudah. Ini di defenisikan sebagai minute ventilation (Ventilasi semenit, VA
(bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi
(dead spce ventilation, VD):

VE = VA + VD VA = VE – VD

VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VE (L/men) x (1-VD/VT)

VD/VT menunjukkan derajat insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang normal
yang sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi
dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru proporsi VE yang tidak
ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT meningkat juga.

Hiperkapnia (Hipoventilasi Alveolar) terjadi saat:

1. Nilai VE dibawah normal


2. Nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat
3. Nilai VE dibawah normal, dan rasio VD/VT meningkat.

159
Trakea dan saluran pernafasan menjadi penghantar pergerakan udara dari
dan ke dalam paru selama siklus pernafasan, tetapi tidak ikut berpartisipasi pada
pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi). Komponen ini merupakan
ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik
yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga merupakan ruang anatomis. Pada
pasien dengan dengan penyakit paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total
terdiri dari ruang rugi fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi
regional melebihi jumlah aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q]
mismatching). Walaupun V/Q mismatcing umumnya di anggap sebagai mekanisme
hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching juga akan
menyebabkan peningkatan PaCO2. Kenyataannya dalam hampir semua kasus,
kecuali dengan V/Q mismatching yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan
ventilasi, mengembalikan PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q mematching
umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan
peningkatan VE.

Gambaran klinis3

Hiprkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan


PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanisme terutama melalui
turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2.
Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH
turun secara dan hebat karena hiperkapnia akut.

Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga


bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap
asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan
perubahan status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2 mutlak.

Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia.


Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia
mengkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung

160
pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea,
bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea.

Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk


menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea
karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan penyakit paru,
seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan derajad hiperkapnia.
Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien
dengan masalah nonparu dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek
kelemahan neuromuscular (sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau
pneumonia aspirasi. Kelainan pada paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT
dan karenanya sering menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernafasan.
Tetapi pasien yang mengalami kelumpuhan otot pernafasan sering ditemui
takipneu. Efek dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan
neurologis, pengobatan berlebih dengan sedative, mixedema, atau trauma kepala.

Penyebab Gagal Nafas

Gagal nafas dapat diakibatkan oleh kelaianan otak,susunan neuromuscular,


dinding toraks dan diafragma, paru serta system kardiovaskuler.
1. Otak
 Neoplasma
 Epilepsy
 Hematoma subdural
 Keracunan morfin
 CVA
2. Susunan neuro muscular
 Miastenia gravis
 Polyneuritis, demyelinasi
 Analgesia spinal tinggi
 Pelumpuh otot
3. Dinding thorak dan diafragma

161
 Luka tusuk
 Rupture diafragma
4. Paru
 Asama
 Infeksi paru
 Benda asing
 Pneumothorak, hemathorak
 Edema paru
 ARDS
 aspirasi
5. Kardiovaskuler
 Renjatan, gagal jantung
 Emboli paru
6. Pasca bedah thorak

Diagnosa Gagal Nafas Akut

Gambaran klinis gagal nafas sangat bervariasi pada setiap pasien.


Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari sepenuhnya.
Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi perubahan
dalam bernafas dan irama janatung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal nafas adalah
dengan mengukur gas darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2, dan
PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk
mengetahui apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksemia jaringan.
Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease
(penyakit dasarnya).

Tatalaksana gagal Nafas akut

Gagal nafas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan. Untuk itu,


penangannya tidak bias dilakukan pada area perawatan umum (general care area)
di rumah sakit. Perawatan dilakukan di intensive care unit (ICU), dimana segala
perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal nafas teersedia. Tujuan

162
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.

 Dasar – Dasar Fisiologis Terapi


Gagal nafas hiperkapnea
Pada hiperkapnia berarti ada hipoventilasi alveolar,
tatalaksana suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar
menjadi normal, hingga diketahui dan diterapi penyakit yang
mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan
dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan nafas yang efektif,
bias dengan penyedotan secret, stimulasi batuk, drainase postural.
Atau dengan membuat jalan nafas artificial dengan selang
endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu nafas mungkin diperlukan
untuk mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang
normal sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis
ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang
diinginkan, namun pada pasien dengan hiperkapnea kronik harus
berhati-hati dalam menurunkan hiperkapnia, karena koreksi PaCO2
hingga batas normal pada kasus tersebut dapat menyebabkan
alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah terjadi
kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum.
Gagal Nafas Hipoksemia
Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal
nafas hipoksemia. Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin
diperlukan ventilasi mekanik, positive end expiratory pressure
(PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Transfortasi oksigen penting
untuk diperhatikan, jika ada anemia berat dikoreksi serta curah
jantung yang adekuat harus dipertahankan.
Dasar pengobatan gagal nafas dibagi menjadi pengobatan
nonspesifik dan yang spesifik. Umunya diperlukan kombinasi

163
keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung
ditujukan untuk meperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan
pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.

 Pengobatan nonspesifik
Pengobatan nonspesifik pada gagal nafas nafas akut :
1. Atasi hipoksemia terapi oksigen
2. Atasi hiperkapnea : perbaiki ventilasi
a. Perbaiki jalan nafas
b. Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka
berkantung (bag dan mask)
3. Ventilasi kendali
4. Fisioterapi dada

 Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, peril tidakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal
nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien
sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat
pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan
terhadap hypoxemia drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat
apnue.
Tabel 2. Cara Pemberian O2, Hubungan antara besarnya aliran udara
dengan konsentrasi O2 inspirasi.
Alat Aliran O2 (L/men) Konsentrasi O2 (%)
Kateter nasal 2-6 30-50
Sungkup muka 4-12 35-65
Sungkup muka tipe
4-8 24,28,35,40
venture
Ventilator Bervariasi 21-100

164
Incubator 3-8 30-40

 Atasi Hiperkapnia, perbaiki Ventilasi


a. Perbaiki jalan nafas ( air way)
Terutama pada obstruksi jalan nafas bagaian atas, dengan
hiperektensi kepala, mencegah lidah jatuh keposterior menututpi
jalan nafas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka
dan mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver),
biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas biagian
atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan
spesifik, maka diidentifikasikan apakah ada obstruksi oleh benda
asing, edema laring, atau spasme bronkus dan lain-lain.
Munggkin juga diperlukan alatpembantu seperti, pipa orofaring,
pipo nasofaring atau pipa trakea.
b. Ventilasi bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan
nafas dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau
mulut kehidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien
masih cukup , dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan
ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (
intermittent positive pressure breathing) yaitu pasien bernafas
spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang
dihubungkan dengan ventilator.
c. Ventilasi kendali
Pasien di intubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan
dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan
oleh ventilator. Baiasanya diperlukan obat-obatan seperti
sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak
berontak dan pernafasan pasien dapatmengikuti irama ventilator.
 Fisioterapi Dada

165
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari secret dan sputum.
Tindakan ini selain m,engatsi gagal nafas juga untuk tindakan
pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu
dengan bantuan diperut dengan menggunakan kedua telapak tangan
pada saat inspirasi.

 Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Macam-
macam pengobatan spesifik dapat dilihat pada table.
Etiologi Pengobatan spesifik
1. Otak
 Neoplasma  Rawat operasi
 Epilepsy  Antikonvulsi
 Hematoma subdural  Operasi
 Keracunan morfin  Nalokson
 CVA  Rawat intensif
2. Susunan neuromuscular
 Miastenia gravis  Prostigmin,
 Polyneuritis, piridostigmin
demyelinasi  Rawat dan bantuan
 Analgesia spinal nafas ventilasi
tinggi terkendali
 Pelumpuh oto
3. Dinding thorak dan
diafragma
 Luka tusuk thorak  Operasi
 Rupture thorak  Operasi
4. Paru
 Asma  Steroid, bronkodilator

166
 Infeksi paru  Antibiotic
 Benda asing  Bronkhoskopi
 Pneumothorak  Drainase paru
 Edema paru  Diuretika, ventilasi
 ARDS kendali
 Aspirasi
5. Kardiovaskular
 Renjatan, gagal  Obat-obatan
jantung  Terapi cairan
 Emboli paru
6. Pasca bedah thorak  Bantuan nafas

9. SYOK

Definisi Syok

Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang
menyebabkan ketidakcukupan perfusi dan oksigenasi jaringan serta menyebabkan
gangguan hemoestatis tubuh. Keadaan ini juga menyebabkan jejas pada sel yang
akan menginduksi produksi dan pelepasan mediator inflammasi yang akan
memperburuk perfusi lewat perubahan struktural dan fungsional dalam
mikrovaskular. Hal tersebut akan menyebabkan lingkaran setan: gangguan perfusi
menimbulkan jejas sel, yang menyebabkan gangguan distribusi aliran darah
mikrovaskular, kemudian makin memperburuk perfusi sel; perburukan perfusi sel
kemudian dapat menyebabkan disfungsi organ, gagal organ dan bila tidak
dihentikan dapat menyebabkan kematian.
Syok menyebabkan kegagalan perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan oksigen
sistemik yang tidak adekuat sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
metabolisme sel, dimana kondisi ini mempunyai karakteristik : 1) Ketergantungan
suplai oksigen, 2) Kekurangan oksigen, dan 3) Asidosis jaringan, sehingga terjadi
metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ vital (Multiple
Organ System Failure/MOSF) dan kematian.

167
Klasifikasi Syok

Syok berdasarkan etiologi, penyebab dan karakteristik pola hemodinamik yang


ditimbulkan dibagi menjadi

1. Syok Hipovolemik
Kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh hilangnya
sirkulasi volume intravaskuler sebesar > 20 - 25% sebagai akibat dari
perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan cairan pada ruang ketiga atau
akibat sekunder dilatasi arteri dan vena.
a. Kehilangan darah/syok hemoragik
i. Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan
gastrointestinal
ii. Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks
b. Kehilangan plasma : luka bakar
c. Kehilangan cairan dan elektrolit
d. Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih
e. Internal : asites, obstruksi usus
2. Syok Distributif
Kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh menurunnya
tonus vaskuler mengakibatkan vasodilatasi arterial, penumpukan vena
dan redistribusi aliran darah.
a. Syok Septik
Syok yang terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan
toksinnya didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.
b. Syok Anafilaktif
Gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen antibodi
yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan
permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilatasi arteriola

168
sehingga venous return menurun. Misalnya : reaksi tranfusi,
sengatan serangga, gigitan ular berbisa
c. Syok Neurogenik
Pada syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi sistim saraf simpatis sehingga
terjadi vasodilatasi. Misalnya : trauma pada tulang belakang,
spinal syok
3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung
Kegagalan kerja jantungnya sendiri. Gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark
Miokard Akut).
4. Syok obstruktif
Kegagalan perfusi dan suplai oksigen berkaitan dengan terganggunya
mekanisme aliran balik darah oleh karena meningkatnya tekanan
intrathorakal (tension pneumothorax, abdominal compartment
syndrome, positive pressure ventilation) atau terganggunya aliran keluar
arterial jantung (emboli pulmoner, emboli udara, diseksi aorta,
hipertensi pulmoner, tamponade perikardia, perikarditis konstriktif)
ataupun keduanya oleh karena obstruksi medis.

169
Gambar . Klasifikasi dari Syok

Patofisiologi Syok

Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu

1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa
sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk
menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan
melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak
dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital.
Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan
menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat
untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi
pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas
otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi

170
untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal
menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk
mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah
menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.
2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi
kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah
jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di
seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah
menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler,
metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya
terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak
mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik
(venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti: dengan
aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa
ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi
koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular
Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat
vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia
jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan
bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut
memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung).
Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa
usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri
dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat
timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial
rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga
menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik.
Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat
ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.

171
3. Fase Irrevesibel/Refrakter
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak
dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya
ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu
lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema
interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan
hiperkapnea.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok neurogenik)
yang meliputi :
A. Tanda Vital
 Sistem pernafasan : nafas cepat dan dangkal
 Sistem sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, nadi
cepat dan lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah mencapai
30%.
 Sistem saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi
tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan
tidak sadar.
 Sistem pencernaan : mual, muntah
 Sistem ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1 cc/kgBB/jam)
 Sistem kulit/otot : turgor menurun, mata cekung, mukosa lidah kering.
 Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan
denyut jantung yang normal atau melambat, tetapi akan hangat dan
kering apabila kulitnya diraba.
B. Titik akhir resusitasi
1. Produksi asam laktat
a. Bila sel kekurangan oksigen akan terjadi metabolisme anaerob
yang menghasilkan laktat. Peningkatan laktat serum ini

172
menunjukkan beratnya syok dan terjadi pada hipoperfusi global
dan tidak terjadi pada hipoperfusi regional.
b. Laktat dapat meningkat pada penyakit hepar atau ginjal dan sedikit
nilainya pada 2 atau 3 hari sesudah terjadi syok
c. The rate of clearance of lactate adalah penanda lebih baik pada
resusitasi yang adekuat dibanding nilai absolut.
2. Defisit basa : adalah jumlah basa diperlukan untuk titrasi total volume
darah menjadi pH normal.
Terjadi kenaikan defisit basa berhubungan dengan beratnya syok
3. Pemantauan pH intramukosal : organ mesentrik akan mengalami
hipoperfusi lebih awal dan lebih berat pada syok

Pendekatan Diagnosis
Syok sebenarnya segera dapat didagnosis ketika terdapat tanda instabilitas
hemodinamik, terutama jika syok sudah lanjut. Tanda klasik seperti hipotensi,
takikardia, oligouria, penurunan kesadaran ditemukan bila syok sudah mencapai
derajat berat

1 Syok Hipovolemik
Tanda dan gejala awal syok hipovolemik adalah tingkat kesadaran yang berubah
kadang-kadang berupa agitasi dan kegelisahan, atau depresi sistem saraf pusat.
Pemeriksaan fisik akan didapatkan tanda-tanda yang nonspesifik seperti kulit
dingin, lembab, hipotensi ortostatik, takikardia ringan, dan vasokontriksi.
Hipovolemia yang ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan
dengan tanda eksternal yang relatif sedikit terutama pada pasien muda dalam
kondisi istriharat terlentang. Pada hipovolemia yang moderate (20-40%) volume
darah, pasien menjadi gelisah, agitasi, dan takikardia. Walaupun tekanan darah
masih ‘normal’ pada posisi terlentang, hipotensi postural yang signifikan dan
takikardia dapat ditemukan. Pada hipovolemia yang berat (>40% volume darah),
tanda klasik syok dapat ditemukan: tekanan darah menurun dan menjadi tidak stabil
walau dalam posisi tidur terlentang, takikardia yang nyata, oligouria, penurunan

173
kesadaran berupa agitasi atau confusion. Perfusi pada otak masih dapat
dipertahankan kecuali jika syok menjadi berat. Untuk penilaian laboratorium dapat
dilakukan hal yang sederhana seperti pemeriksaan darah rutin dan elektrolit

Gambar. Klasifikasi Syok Hipovolemik


Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ditandai dengan hipoperfusi sistemik karena depresi berat
cardiac index [< 2.2 (L/min/m2 ] dan hipotensi sistolik arterial yang menetap (< 90
mmHg), walaupun terdapat peningkatan tekanan pengisian [pulmonary capillary
wedge pressure (PCWP) > 19 mmHg].
Kebanyakan pasien mengeluh nyeri dada, sesak, tampak pucat, dan keringat
dingin. Status mental dapat terganggu, somnolen, tampak kebingungan dan agitasi.
Pulsasi biasanya lemah dan cepat atau bahkan sangat lambat (bradikardia berat) bila
terdapat blok AV derajat berat. Tekanan darah sistolik menurun dengan tekanan
nadi yang menyempit (<30 mmHg). Takipneu, respirasi Cheyne-Stokes dan
distensi vena juguler dapat ditemui. Prekordium biasanya tampak tenang, dengan
pulsasi apikal yang lemah. Bunyi S1 biasanya lembut, dan galop S3 dapat
didengar.Tanda akut regurgitasi mitral berat atau ruptur septum ventrikel biasanya
berhubungan dengan murmur sistolik tertentu. Ronkhi basah halus dapat terdengar
pada kebanyakan pasien dengna syok akdiogenik karena gagal ventrikel kiri.
Oligouria juga sering ditemukan.

174
Untuk pemeriksaan penunjang, penilaian laboratorium menunjukkan hitung sel
darah putih tipikal meningkat dengan pergeseran ke kiri. Fungsi ginjal dapat
memburuk progresif ditandai peningkatan nitrogen urea darah dan kreatinin.
Transaminase hepatik dapat meningkat akibat hipoperfusi liver. Perfusi jaringan
yang buruk mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi dan
peningkatan laktat. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan asidosis
metabolik yang dapat dikompensasi dengna alkalosis respiratorik. Marker jantung
seperti Ck dan CKMB, Troponin cenderung meningkat
Untuk EKG, pada syok kardiogenik karena infark miokard akut dengan gagal
ventrikel kiri, gelombang Q dan atau ST elevasi pada lead multipel atau LBBB
biasanya ditemukan. Lebih dari setengah dari semua infark yang berhubungan
dengan syok berlokasi di anterior. Iskemia global karena stenosis left main berat
biasanya disertai dengan depresi ST di lead multipel.
Foto toraks biasanya menunjukkan kongesti vaskuar paru dan seringkali edema
paru, walaupun hal ini dapat tidak ditemukan pada sekitar sepertiga kasus. Ukuran
jantung biasanya normal bila terjadi syok kardiogenik terjadi akibat infark miokard
pertama dan membesar bila sebelumnya pernah ada kejadian infark miokard
Gambaran Ekokardiografi 2 dimensi dengan colow flow Doppler seharusnya
dilakukan pada pasien dengan kecurigaan syok kardiogenik untuk menentukan
etiologinya. Aplikasi dopler dapat menemukan shunt kiri ke kanan pada pasien
dengan ruptur septum ventrikel dan derajat beratnua mitral regurgitasi bila ada.
Diseksi aorta proksimal dengan regurgitasi aorta atau tamponade atau bukti yang
mendukung emboli paru dapat dilihat.

Gambar 3. Beberapa penyebab Syok Kardiogenik

Syok Sepsis

175
Sepsis adalah sindrom inflammasi respon sistemik dengan bukti infeksi.
Sindrom inflammasi respon sistemik adalah bila ditemukan dua dari kondisi

- Demam (Suhu oral > 38 ̊C) atau hipotermia (<36 ̊C)


- Takipneu (> 24x/menit)
- Takikardia (denyut nadi >90x/menit)
- Leukositosis (>12.000/L), Leukopenia (<4000/L) atau > 10% neutrofil
batang
- Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah arterial < 90 mmHg sistolik, atau 40
mmHg menurun dari tekanan darah norlam yang bersangkutan) selama
setidaknya 1 jam walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat
- Atau, membutuhkan vasopressor untuk menjaga tekanan darah sistolik ≥ 90
mmHg atau tekkanan arterial rata-rata ≥ 70 mmHg

Manifestasi tanda dan gejala selain respon inflammasi sistemik itu, tumpang
tindih dengan tanda dan gejala penyakit dari infeksi primer yang mendasari Untuk
pemeriksaan laboratorium, kelainan yang terjadi pada awal respon sepsis mencakup
leukositosis dengan pergeseran ke kiri, tormbositopenia, hiperbilirubinemia, dan
proteinuria. Leukopenia dapat ditemukan, ketika respon septik makin berat,
trombositopenia dapat memburuk (seringkali dengan pemanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan peningkatan D-dimer (yang menunjukkan suatu keadaan
koagulasi intravaskular diseminata), azotemia dan hiperbilirubinemia makin jelas,
dan dapat ditemukan peningkatan enzim aminotransfease.
Hiperventilasi pada awal sepsis dapat mencetuskan alkalosis respiratorik.
Ketika otot pernafasan mulai fatique dan akumulasi laktat makin tinggi, asidosis
metabolik dengan anion gap meningkat dapat ditemukan. Analaisa gas darah dapat
menjumpai adanya hipoksemia yang pada awalnya dapat dikoreksi dengan
suuplementasi oksigen tapi pada keadaan yang berat dapat refrakter terhadap
pemberian oksigen 100%. Foto thorax mungkin normal atau dapat menunjukkan
butki adanya pnemonia sebagai penyebab sepsis atau infiltrat yang difus pada kasus
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndomr). EKG biasanya menunjukkan sinus

176
takikardia atau kelainan gelombang ST-T yang non spesifik, kecuali ada penyakit
jantung yang mendasari.
Kebanyakan pasien diabetes dengan spesis akan mengalami hiperglikemia dan
infeksi yang berat dapat mencetuskan ketoasidosis diabetikum. Albulin akan
menurun seiring perjalanan penyakit dan derajat sepsis.
Diagnosis etiologi membutuhkan isolasi mikroorganisme dari darah atau dari
tempat infeksi lokal. Setidaknya 2 sampel darah (masing-masing 10 cc) seharusnya
diambil dari tempat punksi vena yang berbeda untuk kultur. Marker inflammasi
seperti CRP dan Prokalsionin dapat membantu menegakkan diagnosis sepsis.

Syok Neurogenik
Adanya interupsi pada input vasomotor simpatis setelah cedera medulla spinalis
cervical, cedera kepala hebat atau migrasi chepalad anestesi spinal dapat
menyebabkan syok neurogenik. Sebagai tambahan pada keadaan dilatasi arteriolar,
venodilasi menyebabkan pooling darah pada sistem vena, yang mengakibatkan
penurunan aliran balik vena dan cardiac output. Ekstremitas seringkali hangat,
berbeda dengan ekstremitas dingin akibat vasokontriksi pada syok hipovolemia.

Diagnosis Banding

- Diagnosis banding diantara 4 jenis syok tersebut penting untuk


membedakan jenis syok dan menentukan etiologinya
- Pada syok kardiogenik perlu dibedakan dari syok kardiogenik karena
kompresi misalnya pada kasus tamponade jantung dan tension
pneumothorax.

Penatalaksanaan Umum
Tujuan utama tatalaksana syok adalah mengembalikan oksigenasi dan suplai
substrat yang adekuat ke sel secepat mungkin dan meningkatkan utiliasi oksigen
dan metabolisme sel

177
- Nilai keadaan ABCDE pasien
- Lakukan look, listen, and feel tidak lebih dari 10 detik, bila terdapat henti
jantung atau pasien tidak bernafas normal segera lakukan basic life support
dimulai dengan kompresi dada yang kemudian dikombinasikan dengna
bantuan pernafasan termasuk intervensi pada proses pernafasan dengan
menggunakan intubuasi endotrakeal
- Segera dapatkan akeses vaskular, paling baik dilakukan dengna
memasukkan dua kateter intravena ukuran besar (minimal 16 G) sebelum
mempertimbangkan jalur intravena central
- Loading cairan dcepat disesuaikan dengan penilaian awal jenis syok. Pada
Syok hipovolemik dapat diberikan 2-3 liter cairan kristaloid dalam 20-30
menit
- Nilai segera tanda vital setelah loading cairan. Bila tanda vita stabil, lakukan
definite workup. Bila tanda vital belum stabil (tekanand arah sistolik < 90
mmHg dan frekuensi masih > 120 x/menit), sebaiknya dilakukan
pemasangan jalur vena central
- Bila tekanan vena central < 15 dan tanda vital belum stabil, resusitasi cairan
dapat dilakukan dengan kristaloid ± darah/komponennya untuk mencapai
hematokrit ≥ 30 dan tekanan vena central ≥ 15. Bila target tercapai dan tanda
vital membaik, lakukan definite workup.
- Bila tanda vital tidak membaik atau bahkan terjadi perburukan asidosis
setelah melanjutkan resusitasi cairan, dianjurkan untuk memasang kateter
arteri pulmonaris untuk tatalaksana selanjutnnya
- Kateter kandung kencing dipasang untuk memudahkan penilaian produksi
urin. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan urine
sekitar 0.5-1 cc/kgBB/jam. Dekompresi lambung dengan NGT dapat
mengurangi resiko aspirasi dan komplikasi akibat dilatasi lambung lainnya
- Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis
dan crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang diperlukan, pemeriksaan
toksikologi, dan tes kehamilan pada wanita subur. Analisa gas darah arteri
juga harus dilakukan pada saat itu. Foto toraks juga harus diambil setelah

178
pemasangan kateter vena central pada vena subklavia atau vena jugularis
interna untuk mengetahui posisinya dan penialaian kemungkinan terjadinya
pneumothorax dan hematothorax
- Definite workup mencakup tatalaksana lanjutan sesuai etiologi syok

Gambar . Parameter pencapaian terapi resusitasi syok

Syok Hipovolemik

Etiologi

- Perdarahan (syok hemoragik), misalnya taruma.


- Kehilangan plasma, misalnya luka bakar, peritonitis.
- Kehilangan air dan elektrolit, misalnya muntah, diare.

Patogenesis dan Patofisiologi


Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
salurancerna dan trauma berat.Secara klinis syok hipovolemik ditandai oleh volume
cairan intra vaskular yangberkurang bersama-sama penurunan tekanan vena sentral,

179
hipotensi arterial, dan peningkatantahanan vaskular sistemik. Respon jantung yang
umum adalah berupa takikardia, respon inidapat minimal pada orang tua atau
karena pengaruh obat-obatan. Gejala yang ditimbulkanbergantung pada tingkat
kegawatan syok, mungkin tekanan darah dan diuresis tidak banyakterganggu pada
syok hipovolemik yang ringan.

Pendekatan Diagnosis
- Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)
1. Bila ada komplikasi, harus dilakukan intervensi minimal
2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi, atau frekuensi
nafas.
3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3 detik sebanding
dengan kehilangan volume 10%
- Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)
1. Gejala klinik mecakup takikardia (>100x/menit), takipneu, penurunan,
kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler terlambat dan sedikit cemas
2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar
katekolamin yang menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah
tepi yang disusul dengan peningkatan TD sistolik

- Perdarahan kelas III (kehilangan 30-40%


1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipneu, dan takikardia yang
mencolok, TD sistolik menurun, oliguria, perubahan status mental yang
bermakna, misalnya bingung dan gelisah
2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40%
adalah jumlah terkecil dari kehilangan darah yang selalu menyebabkan
penurunan TD sistolik
3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah namun
keputusan memberikan darah harus didasarkan atas respons awal
terhadap pemberian cairan

180
- Perdarahan kelas IV (kehlangan >40%)
1. Gejala mencakup: takikardia dan penurunan TD sistolik mencolok,
tekanan nadi mengecil (atau tekanan diastolik tidak terukur), jumlah
urine sedikit atau tidak ada (atau kehilangan kesadaran), kulit dingin dan
pucat
2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa
3. Pada pasien trauma perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab
syok. Walaupun demikian, ini harus dibedakan dari sebab syok lainnya,
antara lain: tamponade jantung (bunyi jantung halus, distensi vena
leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, bunyi nafas berkurang
pada satu sisi(, dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, takikardia
tidak sebesar yang diduga, defisit neurologis)
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan awal harus mencakup hitung darah lengkap, kadar elektrolit
(misal Na, K, Cl, HCO3 , BUN, kreatinin, glukosa), waktu protrombin,
activated partial thromboplastin time. Gas darah arteri dan urinalisis )pada
pasien dengan trauma). Golongan darah dan cross match.
Perawatan pra rumah sakit: Tatalaksana pasien dengan syok hipovolemik
sering dimulai di tempat kejadian atau di rumah. Perawatan pra rumah sakit
harus diupayakan mencegah trauma lebih lanjut, transpor pasien ke RS
secepat mungkin dan mulai tatalaksana awal yang sesuai di tempat kejadian

Penatalaksanaan
Perawatan di UGD: Tiga tujuan tatalaksana pasien syok hipovolemik di
Unit Gawat Darurat adalah sebagai berikut:
1. Memaksimalkan hantaran oksigen-dikerjakan dengan memastikan
kecukupan ventilasi, meningkatkan saturasi oksigen darah, dan
memulihkan aliran darah.
2. Mengendalikan kehilangan darah lebih lanjut
3. Resusitasi cairan
a. Maksimalisasi hantaran oksigen

181
b. Jalan nafas harus dinilai segera saat pasien tiba dan distabilkan
jika perlu. Kedalaman dan frekuensi nafas, serta bunyi nafas
harus dinilai. Jika ditemukan patologi yang mengganggu
pernafasan (misal, pneumothorax, hemothorax, flail chest) harus
ditangani segera
c. Suplemen oksigen aliran tinggi harus diberikan kepada semua
pasien, dan dukungan ventilasi harus diberikan jika dibutuhkan.
d. Dua infus jaga dengan kaliber besar harus dimulai. Hukum
Poiseulle menyatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan
panjang kateter IV, dan berbanding langsung dengan panjang
kateter IV, dan berbanding langsung dengan radiusnya. Jadi,
kateter besar dan pendek adalah ideal; kaliber jauh lebih
bermakna daripada panjangnya
e. Akses IV bisa dicapai melalui perkutan pada vena antecubiti,
sayatan ke vena saphena atau vena lengan, atau akses ke vena
sentral dengan teknik Seldinger technique. Jika digunakan akses
vena sentral, harus digunakan kateter monolumen yang besar.
f. Segera setelah didapat akses, resusitasi cairan dimulai dengan
kristaloid isotonik, misal Ringer Lactate atau NaCl 0.9%. Bolus
awal 1-2 L diberikan pada dewasa (20 mL/Kg pada pasien anak).
Pemberian infus dengan cairan kristaloid atau koloid. Bertujuan
untuk memulihkan curah jantung dan perfusi jaringan secepat
mungkin. Jenis cairan kristaloid antara lain garam fisiologi
(garam normal), NaCl hipertonik atau larutan garam berimbang
seperti ringer’s laktat, ringer’s asetat. Jenis cairan koloid antara
lain darah, plasma, dan komponen darah (plasma beku segar,
albumin, plasmanat) atau pengganti plasma (plasma substitutes).
g. Jika tanda vital kembali normal, pasien harus dipantau untuk
memastikan kestabilannya, dan golongan darah harus diperiksa
dan diuji silang. Jika respons sedikit atau tidak ada, infus
kristaloid harus diteruskan dan koloid harus diberikan.

182
h. Posisi pasien bisa digunakan untuk memperbaiki sirkulasi.
Sebagai contoh, posisi Trendelenburg meningkatkan aliran
darah ke otak. Juga memutar pasien hamil yang hipotensif
(dengan trauma) ke sisi kiri akan menggeser janin dari vena cava
inferior sehingga dapat meningkatkan sirkulasi.

o Monitor Resusitasi
Tanda- tanda dan gejala dari perfusi yng tidak adekuat yang digunakan
untuk mendiagnosis syok juga berguna untuk menetukan respon pasien.
Pulihnya tekanan darah, tekanan nadi, dan denyut nadi merupakan tanda
yang mendukung perfusi organ menjadi normal. Perbaikan CVP dan
sirkulasi kulit merupakan bukti penting dari perfusi yang baik namun sulit
diukur secara kuantitatif.
Produksi urin merupakan salah satu monitor utama resusitasi dan respon
pasien. Pemasangan CVP harus diambil pada kasusyang sulit/ kompleks.

 Diuresis
Merupakan indeks aliran darah viseral yang baik terutama aliran darah
ginjal. Diuresis harus dipertahankan minimal 0,5 ml.kg/jampada orang
dewasa, 1ml/kg/jam untuk anak-anak, dan pada bayi ( kurang 1 tahun) 2
ml/kg/jam.
 Keseimbangan Asma/Basa
Pasien dalam syok hipovolemik dini akan mengalami alkalosis respiratorik
karena takipnea. Alkalosis respiratorik seringakali diikuti oleh asidosis
metabolik ringan pada fase awal syok dan tidak membutuhkan terapi.
Asidosis yang parah dapat terjadi pada syok yang berkepanjangan atau syok
berat. Asidosis yang persisten umunya disebabakan oleh resusitasi yang
tidak memadai atau kehilangan darah yang berlanjut. Keberhasilan
resusitasi juga dapat ditunjukkan dengan perbaikan tingkat kesadaran dan
perfusi perifer. Untuk itu umumnya digunakan indikator klinis termasuk
AGD, pengukuran curah jantung, dan konsumsi oksigen.

183
Syok Kardiogenik
Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantungsistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
mengakibatkan hipoksiajaringan.

Etiologi
Disfungsi miokardium (gagal pompa), terutama karena komplikasi infark
miokardium akut. Kekerapan syo kardiogenik karena infark miokard diperkirakan
5%.
- Pengisian diastolik ventrikel yang tidak adekuat, antara lain takiaritmia,
tamponade jantung, tension pneumotoraks, embolus paru, dan infark
ventrikel kanan.
- Curah jantung yang tidak adekuat, antara lain bradiaritmia, regurgitasi
mitral atau ruptur septum interventrikel.

Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas
miokardyang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan
darah rendah,insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas
dan curah jantung.Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel
kiri, yangmengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan dan penghantaran
oksigen ke jaringan.Yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark
miokardium akut adalahhilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri.
Selain dari kehilangan masifjaringan otot pada ventrikel kiri. Selain dari kehilangan
masif jaringan otot ventrikel kiri jugaditemukan daerah-daerah nekrosis fokal di
seluruh ventrikel.
Nekrosis fokal didugamerupakan akibat dari ketidak seimbangan yang terus-
menerus antara kebutuhan dan suplaioksigen miokardium. Pembuluh koroner yang
terserang juga tidak mampu meningkatkanalira darah secara memadai sebagai

184
respon terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhanoksigen jantung oleh
aktivitas respon kompensatorik seperti perangsangan simpatik.Sebagai akibat dari
proses infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadisangat terganggu.
Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakancurah
jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Maka
dimulailahsiklus berulang. Siklus dimulai dengan terjadinya infark yang berlanjut
dengan gangguanfungsi miokardium. Gangguan fungsi miokardium yang berat
akan menyebabkanmenurunnya curah jantung dan hipotensi arteria. Akibatnya
terjadinya asidosis metabolik danmenurunnya perfusi koroner, yang lebih lanjut
mengganggu fungsi ventrikel danmenyebabkan terjadinya aritmia.

Diagnosis
Kriteria diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan oleh Myocardial
Infarctiion research Units of the National Heart, Lung, and blood institude.
1. Tekanan arteria sistolik 90 mmHg atau sampai 30 sampai 60 mmHg
dibawah batas sebelumnya.
2. Adanya penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama:
a. Keluhan kemih <20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar
natrium dalam kemih.
b. Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingin, lembab.
c. Terganggunya fungsi mental.
3. Indeks jantung <2,1 L/(menit/m2)
4. Bukti gagal jantung kiri dengan LVEDP/tekanan baji kapiler paru-paru
(PCWP) 18 sampai 21 mmHg.
Tanda karakteristik syok kardiogenik adalah penurunan curah jantung dengan
kenaikan tekanan vena sentral yang nyata dan takikardia. Tahanan vaskular

185
sistemik umumnya juga meningkat. Bila perangsangan vagus meningkat misalnya
pada infark miokard inferior, dapat terjadi bradikardia.
Diagnosis gagal pompa (pump failure) : Gambaran klinik gagal pompa
miokardium adalah sesuai dengan penyakit jantung seperti nfark miokard. Sering
dijumpai tanda disfungsi ventrikel kiri yang hebat, yaitu distensi vena leher, refleks
hepatojugular (+), dan tanda-tanda udem paru (dispnu, batuk, dan ronki).

Terapi
Pada keadaan syok kardiogenik perlu dinilai masalah utamanya volume,
pompa atau irama.
Bila masalah utama pada volumecairan maka pemberian caian atau darah/
komponennya adalah langkah pertama yang harus diambil. Setelah volume
diyakini cukup maka seperti halnya bila masalah utama pad pompa jantung,
perhatikan keadaan tekanan darah.
- Bila tekanan darah sistolik lebih dari 100 mmHg , apalagi bila terdapat kondisi
edema paru, vasodilator seperti nitrogliserin (10-20 mcg/ menit IV) dapat
digunakan.
- Bila tekanan darah sistolik 70-100 mmHg tanpa disertai tanda dan gejala syok,
dapat diberikan inotrofik seperti dobutamin ( 2-20 mcg /kg/menit IV).
- Bila tekanan darah sistolik 70-100 mmHg disertai tanda dan gejala syok, dapat
diberikan vasopressor seperti dopamin (5-15 mcg/kg/menit IV).
- Bila tekanan darah sistolik kurang dari 70 mmHg disertai tanda dan gejala
syok, dapat diberikan norepineprin (0,5- 30 mcg/menit IV).
Bila masalah utamanya pada irama jantung dapat diklasifikasikan atas
bradiaritmia dan takiaritmia yang tatalaksananya disesuaikan dengan diagnosis
gangguan irama tersebut.
Pada keadaan syok yang berhasil teratasi, tatalaksana lanjutan dapat
mencakup :
 Identifikasi dan tatalaksana penyebab reversibel
 Kateterisasi arteri pulmonal bila diperlukan
 Pompa balon intra-aorta bila diperlukan

186
 Angiografi dan intervensi kardiovaskular perkutan
 Intervensi bedah
 Pemeriksaan penunjang tambahan
 Terapi obat tambahan

Prognosis
Secara keseluruhan prognosis syok kardiogenik buruk.

Syok Septik
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif yang
beradadalam darah (endotoksin). Jamur dan jenis bakteri lain juag dapat menjadi
penyebabseptisemia.Syok septik sering diikuti dengan hipovolemia dan hipotensi.
Hal ini dapatdisebabkan karena penimbunan cairan di sirkulasi mikro,
pembentukan pintasan arteriovenusdan penurunan tahapan vaskuler sistemik,
kebocoran kapiler menyeluruh, depresi fungsimiokardium.Beberapa faktor
predisposisi syok septik adalah trauma, diabetes, leukimia,granulositopenia berat,
penyakit saluran kemih, terapi kortikosteroid jangka panjang,imunosupresan atau
radiasi.

Etiologi
Syok septik terjadi akibat toksin yang dihasilkan oleh bakteri tertentu dan
akibatsitokinesis (zat yang dibuat oleh sistem kekebalan untuk melawan suatu
infeksi). Racun yang dilepaskan oleh bakteri bisa menyebabkan kerusakan jaringan
dan gangguan peredaran darah.

Gejala
Pertanda awal dari syok septik sering berupa penurunan kesiagaan mental dan
kebingungan, yang timbul dalam waktu 24 jam atau lebih sebelum tekanan darah
turun. Gejala ini terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak. Curahan darah
dari jantung memang meningkat, tetapi pembuluh darah melebar sehingga tekanan

187
darah turun. Pernafasan menjadi cepat, sehingga paru-paru mengeluarkan
karbondioksida yang berlebihan dan kadarnya di dalam darah menurun.
Gejala awal berupa menggigil hebat, suhu tubuh yang naik sangat cepat, kulit
hangat dan kemerahan, denyut nadi yang lemah dan tekanan darah yang turun-naik.
Produksi air kemih berkurang meskipun curahan darah dari jantung meningkat.
Pada stadium lanjut, suhu tubuh sering turun sampai dibawah normal. Bila syok
memburuk, beberapa organ mengalami kegagalan:
o ginjal : produksi air kemih berkurang
o paru-paru : gangguan pernafasan dan penurunan kadar oksigen dalam darah
o jantung : penimbunan cairan dan pembengkakan.
Diagnosis
Syok septik ditandai dengan gambaran syok dan infeksi. Setiap syok yang
tidakdiketahui penyebabnya harus dicurigai adanya kemungkinan septisemia.
o Tanda-tanda sistemik; febris dan kekauan, hipotermia, leukopenia,
leukositosis.
o Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah arterial <90 mmHg sistolik, atau 40
mmHg menurun dari tekanan darah normal yang bersangkutan) selama
setidaknya 1 jam walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat.
o Atau membutuhkan vasopressor untuk menjaga tekanan darah sistolik >90
mmHg atau tekanan arterial rata-rata <70 mmHg.
Tatalaksana
A. Tindakan medis
Terapi cairan :tujuan resusitasi pasien sepsis berat atau yang mengalami
hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah tekanan vena sentral 8-12
mmHg. Tkanan arteria rata-rata >65 mmHg, produksi urin >0,5
ml/kg/jam dan saturasi oksigen vena sentral >70%. Setelah rersusitasi
cairan dan tekanan vena sentral sudah mencapai 8-12 mmHg manun
MAP <60, dapat diberikan agen vasoaktif seperti dopamin. Bila saturasi
tidak mencapai 70% denga resusitasi cairan denga CVP 8-12 mmHg
maka transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/ pemberian
dobutamin (maksimal 20mcg/ kg/menit).

188
- Terapi antibiotik
Sebaiknya terapi antibiotik di sesuaikan dengan hasil kultur dan
resistensi. Hal ini mungkin tidak dapat dilakukan pada keadaan darurat
karena pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama.
B. Tindakan bedah
Jaringan nekrotik, abses harus segera dieksisi, dievakuasi dan dipasang
drainase. Terapi cairan dan antibiotik tidak banyak menolong bila sumber
infeksi belum disingkirkan. Hal ini sangat penting pada abses intra
abdomen, sumbatan empedu dengan kolangitis yang segera membutuhkan
pembedahan akut

C. Tindakan lain

- Terapi kortikosteroid:
Manfaat kortikosteroid pada syok septik masih kontoversi dan
nampaknya terapi kortikosteroid hanya merupakan ajuvan terhadap
terapi suportif dan antibiotik. Ada pendapat yang menyatakan bahwa
sebaiknya terapi kortikosteroid pada syok septik ditinggalkan.

- Terapi heparin:
Pada syok septik dengan komplikasi koagulasi intravaskular tersebar
(DIC) dan perdarahan yang bermakna, terapi heparin harus segera
dimulai. Dosis awal heparin adalah 100 unit/kg dan dilanjutkan IV tiap
jam 1000-3000 unit. Respon terapi berupa pemanjangan waktu
perdarahan dan kenaikan kadar faktor pembekuan V, VIII dan
fibrinogen dalam waktu 12 jam. Kenaikan jumlah trombosit mungkin
terjadi lebih lambat. Terapi heparin dapat dihentikan apabila penyebab
koagulasi intravaskular telah terkoreksi dan faktorfaktor koagulasi telah
normal kembali.

Syok Neurogenik

189
Definisi
Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok
distributif. Syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena
hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.sehingga terjadi
hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels).
Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini diakibatkan oleh cidera
pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang
dalam).
Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi
vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di
daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal
umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri
hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien
dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. 10
Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok
pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis
akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari
syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.

Etiologi

- Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok


spinal).

- Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat


pada fraktur tulang.

- Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi


spinal/lumbal.

- Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).

- Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.

Manifestasi Klinis

190
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat
tandatekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat
(bradikardi)kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia
atau paraplegia.Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak
sadar, barulah nadi bertambahcepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di
dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulitterasa agak hangat dan cepat berwarna
kemerahan.

Tatalaksana
Konsep dasar untuk syok distributif adalah mengurangi daerah vaskuler dengan
penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah
yang berkumpul ditempat tersebut.
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi
yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat
dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang
darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga
dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan
penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi
cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya
diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang
cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk
menilai respon terhadap terapi.
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat
vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan
seperti ruptur lien)
a. Dopamin

191
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit,
berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
b. Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah.
Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika
norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat.
Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya
diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena
pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh
terhadap jantung (palpitasi).
c. Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan
dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama
kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat
ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok
hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan
vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok
neurogenik
d. Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh
menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan
darah melalui vasodilatasi perifer. Pasien-pasien yang
diketahui/diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai
hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena
sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang
meragukan.
Syok Anafilaktik
Definisi
Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efekpada beberapa sistem organ
terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinalyang merupakan
reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yangsebelumnya

192
sudah tersensitisasi. Syok anafilaktik(= shock anafilactic ) adalah reaksianafilaksis
yang disertai hipotensi dengan atau tanpa penurunan kesadaran. ReaksiAnafilaktoid
adalah suatu reaksi anafilaksis yang terjadi tanpa melibatkan antigen-
antibodikompleks. Karena kemiripan gejala dan tanda biasanya diterapi sebagai
anafilaksis.

Patofisiologi
Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipesegera (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
1. Fase Sensitisasi Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresen-tasikan
antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin
(IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel
Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E)
spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
2. Fase Aktivasi yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa
granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang . Pada kesempatan
lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan
diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
Preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin
(PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly
formed mediators. Fase Efektor Adalah waktu terjadinya respon yang

193
kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau
basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler
yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi,
demikian juga dengan Leukotrien.
Gejala Klinis

- Reaksi lokal: biasanya hanya urtikaria dan edema stempat, tidak fatal.

- Reaksi sistemik: biasanya mengenai saluran napas bagian atas, sistem


kardiovaskular, gastrointestinal, dan kulit. Teaksi tersebut timbul segera
atau 30 menit setelah terpapar antigen.
o Ringan: mata bengkak, hidung tersumbat, gatal-gatal dikulit dan
mukosa, bersinbersin, biasanya timbul 2 jam setelah terpapar
alergen.
o Sedang : gejalanya lebih berat selain gejala di atas didapatkan
bronkospasme, edema laring, mual, muntah, biasanya erjadi dalam
2 jam setelah terpapar antigen.
o Berat: terjadi langsung setelah terpapar dengan alergen, gejala
seperti reaksi tersebut diatas hanya lebih berat yaitu bronkospasme,
edema laring, stridor, napas sesak, sianosis, henti jantung, disfagia,
nyeri perut, diare, muntah-muntah, kejang, hipotensi, aritmia
jantung, syok dan koma. Kematian disebabkan oleh edema laring
dan aritmia jantung.
Diagnosis
Anamnesis Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat,
disengat hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit ) Timbul biduran mendadak,

194
gatal dikulit, suara parau sesak ,sekarnafas, lemas, pusing, mual,muntah sakit perut
setelah terpapar sesuatu.
Fisik diagnostik Keadaan umum : baik sampai buruk Kesadaran Composmentis
sampai Koma, tensi : hipotensi, Nadi: takikardi, Nafas : Kepala dan leher : cyanosis,
dispneu, conjunctivitis, lacrimasi, edema periorbita, perioral, rhinitis Thorax
aritmia sampai arrest Pulmo Bronkospasme, stridor, rhonki dan wheezing,
Abdomen : Nyeri tekan, BU meningkat Ekstremitas : Urticaria, Edema ekstremitas
Pemeriksaan Tambahan Hematologi : Hitung sel meningkat Hemokonsentrasi,
trombositopenia eosinophilia naik/ normal / turun. X foto : Hiperinflasi dengan atau
tanpa atelektasis karena mukus plug, EKG : Gangguan konduksi, atrial dan
ventrikular disritmia, Kimia meningkat, sereum triptaase meningkat
Penatalaksanaan
1. Pemberian epinefrin
2. Jika Stabil berikan Epinefrin 0.3-0.5 ml dengan pengenceran 1:1000
subkutan (0.01 ml/KgBB pada anak). Hal ini boleh diulang setiap 10-15
menit hingga 3x
3. Jika hipotensif atau tidak stabil dapat diberikan epinefrin 0.1 mg atau
lebih IV sebagai injeksi bolus atau bisa diinfus dengan kecepatan 1-4
ug/menit (pada dewasa) atau 0.1 ug/kg/menit pada anak
4. Difenhidramin (Anti-Histamin) 25-50 mg diberikan PO untuk reaksi
ringan atau sampai 2 mg/kg IV untuk reaksi serius (1-1.5 mg/kg/dosis
pada anak setiap 6 jam).
5. Simetidin 300 mg IV (5-10 mg/KgBB setiap 6-12 jam pada anak,
maksimum 300 mg/dosis), atau ranitidin 50 mg IV (0.33 sampai 0.66
mg/kg IV setiap 8 jam pada anak, maksimum 50 mg/dosis
a. Telah diperlihatkan lebih efektif daripada difenhidramin dan
rasa kantuk lebih sedikit
b. Merupakan anti H2
6. Sebaiknya digunakan bersamaan dengan difenhidramin
7. Kortikosteroid tidak membantu menstabilkan pasien syok anafilaktik.
Steroid berguna dalam mencegah rekurensi dan dalam menghambat

195
reaktan fase lanjut. Berikan hidrokortison suksinat 100 mg IV untuk
menghambat reaktan fase lanjut. Pilihan lain adalah metilprednisolone
60-125 mg IV (1-2 mg/kg pada anak) atau prednison oral
8. Untuk pulang. Perlu dilanjutkan difenhidramin atau hidroksizin 25-50
mg PO setiap 6 jam dan simetidin 300 mg/6 jam atau ranitidin 150 mg
PO BID untuk 72 jam. Bisa juga dilanjutkan dengan prednison 40 mg
sekali sehari jika diinginkan untuk 5-7 hari. Ini akan mengurangi gatal
dan urtikaria.
9. Aminofilin
Untuk bronkospasme yang tidak dapat diatasi oleh adrenalin. Dosis awal
5 mg/kgBB diberikan selama 15-20 menit (diencerkan dalam 20 ml
dekstrosa 5%). Dosis pemerilaharaan 0,6 mg/kgBB/jam. Adrenalin
intrakardial, bila jelas bendungan vena Pertimbangkan kompresi jantung
terbuka sebagai upaya terakhir.
10. Observasi pasien minimal 4 jam sesudah anafilaksis.
11. Selama 24 jam berikutnya, hindari vasodilator seperti alkohol, mandi air
hangat, dsb.

196
Gambar . Tatalaksana syok anafilatik

197

Anda mungkin juga menyukai