Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Penatalaksanaan jalan nafas merupakan langkah awal stabilisasi penderita yang


memerlukan penanganan gawat darurat pada keadaan yang mengancam jiwa. Intubasi
endotrakeal sering menjadi andalan untuk penanganan jalan nafas. Indikasi untuk melakukan
intubasi endotrakeal termasuk gagal jantung, apnu, gangguan nafas, sumbatan jalan nafas,
depresi pernafasan, trauma multipel berat, trauma kepala berat, peningkatan tekanan intrakranial,
penurunan kesadaran, dan hilangnya refleks perlindungan jalan nafas normal.1
Intubasi endotrakeal yang aman dan tanpa trauma memerlukan keahlian dan pengalaman
mengenai farmakologi anestesi sedatif yang dipakai. Banyak risiko yang dapat terjadi pada
prosedur intubasi walau cara ini dapat menyelamatkan jiwa pasien, teknik yang salah dapat
menyebabkan trauma bahkan kematian. Waktu yang digunakan sebaiknya diperhatikan sejak
awal dalam melakukan teknik intubasi endotrakea.1
Beberapa pasien mengalami perlawanan (combating) pada saat intubasi. Keadaan yang
menyulitkan intubasi seperti edema supraglotis dapat tidak terdeteksi saat melakukan intubasi.
Selain itu tidak semua tenaga kesehatan, perawat, maupun dokter punya pengalaman dan
keahlian yang baik dalam intubasi. Hal ini dapat membuang waktu yang diperlukan dan
merugikan keadaan pasien. Keadaan di atas dapat diperbaiki dengan teknik yang disebut Rapid
Sequense Intubation (RSI). 2
RSI melibatkan penggunaan obat-obatan untuk mempercepat penurunan kesadaran dan
paralisis, juga obat-obatan yang mencegah respons fisiologi terhadap RSI termasuk rasa sakit,
gangguan jantung, dan peningkatan tekanan intrakranial. Pasien-pasien yang memerlukan RSI
adalah pasien unit gawat darurat yang diperkirakan berisiko untuk mengalami aspirasi dan
lambung dalam keadaan penuh.2

1
BAB II
ISI

2.1 RAPID SEQUENSE INDUCTION (RSI)

2.1.1 Definisi

Rapid Sequense Induction (RSI) adalah prosedur medis yang melibatkan induksi cepat
dengan anestesi umum dan dilanjutkan dengan intubasi trakea. RSI umumnya digunakan dalam
keadaan darurat atau untuk pasien yang memiliki peningkatan risiko terjadinya aspirasi isi
lambung ke dalam paru-paru.1

2.1.2 Indikasi

Pemahaman prisip RSI adalah hal terbaik untuk menentukan kapan saat RSI diindikasikan.
Penelitian Reid C, dkk menunjukkan indikasi mayor untuk dilakukannya RSI adalah GCS <8
dan hipoksia (67%), sementara gagal nafas sekitar 40% dari kasus yang ada. Studi observasi oleh
Butler, dkk menunjukkan indikasi terbanyak dilakukan RSI adalah pasien dengan GCS < 8
(32%).3
Secara garis besar indikasi dilakukannya RSI adalah:3
a. Pasien yang mengalami trauma dengan GCS 9 atau kurang dengan refleks muntah (gag)
b. Pasien yang mengalami trauma pada wajah dengan kontrol jalan nafas yang jelek
c. Trauma kepala tertutup atau struk berat dengan penurunan kesadaran
d. Pasien dengan luka bakar yang melibatkan jalan nafas
e. Kelelahan respirasi seperti pada asma, CHF dan COPD dengan hipoksia
f. Keadaan overdosis dengan gangguan mental dimana gangguan nafas tidak dapat terelakkan.
g. Dan pasien yang beresiko tinggi mengalami aspirasi, seperti:
Kelainan pada abdomen, terutama obstruksi atau ileus
Pengosongan lambung yang lambat, misalnya pada nyeri, trauma, pasien dengan
penggunaan opioid atau alkohol, dan vagotomi

2
Inkompetensi sfingter esofageal, hiatus hernia, dan adanya penyakit gastro-
oesophageal reflux disease
Perubahan tingkat kesadaran yang mengakibatkan gangguan refleks laring
Penyakit neurologis atau neuromuskular
Kehamilan

2.1.3 Persiapan Intubasi

Diperlukan persiapan yang baik sebelum dilakukan RSI, persiapan termasuk penilaian
keadaan pasien, alat-alat yang tersedia untuk penatalaksanaan RSI, dan juga pemeriksaan fisik
untuk menilai kemungkinan gangguan dan komplikasi yang mungkin terjadi sebelum dan pada
saat dilakukan RSI.3
Pemeriksaan fisik difokuskan pada faktor-faktor yang dapat menyulitkan RSI . Faktor
anatomi dan fungsional lainnya juga dapat menyulitkan penatalaksanaan RSI, faktor anatomi
termasuk abnormalitas pada wajah, saluran nafas atas dan bawah serta torakoabdominal. Anak-
anak yang obesitas, kelainan kongenital pada anatomi jalan nafas seperti labiopalatoschizis dapat
menyulitkan proses RSI.4
Alat-alat yang dipakai sebaiknya mudah untuk diperoleh dan diperiksa lagi sebelum
melakukan intubasi. Dua alat penghisap (sunction) harus tersedia dan diatur dalam pengaturan
yang maksimal. Suatu pulse oximeter sangat diperlukan selama proses RSI.4
Adapun alat-alat yang dipakai untuk RSI:4
1. Pulse oximeter
2. End tidal CO2 monitor atau detector
3. monitor EKG
4. ETT tanpa cuff, ukuran 2,5 6,0
5. ETT dengan cuff, ukuran 6,0 8,5
6. ETT stylets
7. Laryngoscopes ( Blade lurus ukuran 0-3, Blade lengkung ukuran 2-4)
8. Oral airways
9. Oxygen masks
10. Berbagai ukuran masker ventilisasi untuk bag-valve-mask ventilation

3
11. Self-inflating ventilation bag ukuran besar dan kecil dengan oxygen reservoir tail dan
positive end-expiratory pressure (PEEP) valve attachment
12. LMA (Laryngeal mask airways) dengan berbagai ukuran
13. Sumber Oksigen
14. Sumber penghisap ( sunction)
15. Kateter penghisap fleksibel
16. Tuba nasogastrik
17. Tuba trakeostomi
18. Alat-alat operasi trakeostomi
19. Jarum kateter no 12 dan 14 untuk jarum cricothyrotomy
20. Preassembled transtracheal ventilation setup

2.1.4 Obat-Obat Yang Digunakan

Pada RSI digunakan berbagai obat-obat anestesi dalam penatalaksanaan intubasi. Suatu
rangkaian RSI yang tipikal terdiri dari penyediaan atropine untuk memblok stimulasi vagal,
sedatif untuk merangsang penurunan kesadaran, dan relaksan otot untuk merangsang paralisis.5

2.1.4.1 Obat Premedikasi

Manipulasi laringoskopi langsung pada RSI dapat menyebabkan bahaya. Stimulasi laring
dengan blade pada pemasangan ETT meyebabkan peningkatan aktifitas parasimpatis, dengan
peningkatan mean arterial pressure 25-58 mmHg dan peningkatan frekuensi jantung 11-28
x/menit. Selain itu dapat meningkatkan tekanan intraokular, intragastrik, dan intrakranial.
Tujuan dari pemberian obat premedikasi dalam penatalaksanaan RSI adalah untuk mengatasi dan
menimalkan komplikasi. Obat premedikasi yang biasanya dipakai adalah atropine, selain itu
dapat diberikan juga lidocaine dan fentanyl. Berikut adalah tabel dosis dan indikasi obat-obat
premedikasi yang dapat diberikan saat penatalaksanaan RSI :5

4
Tabel 1. Obat-obat premedikasi pada RSI.5
Medikasi Dosis IV Indikasi
Atropine 0,02 mg/Kg Umur < 5 tahun
Min: 0,1 mg Dibutuhkan jika
Max: 0,5 mg pada anak Ketamine atau
1 mg pada remaja Succinylcholine
dipakai
Lidocaine 1-3 mg/kg Cedera Kepala
Sangkaan peningkatan
intracranial

Fentanyl 2-5 g/kg Sangkaan peningkatan


intrakranial
Cedera Kepala

2.1.4.2 Sedasi
Pada fase induksi RSI, dipakai obat yang menyebabkan sedasi dan anestesi. Terdapat
berbagai jenis obat yang dapat dipakai dengan segala keuntungan dan kerugiannya. Pemilihan
obat ini khususnya tergantung pada status hemodinamik dan adanya kecurigaan peningkatan
tekanan intrakranial.5

Tabel 2. Obat-obat sedasi pada RSI.5


Dosis IV Onset Efek Pada
(mg/kg) (min) TD TIK
Midazolam 0,2 0,4 12 Minimal Minimal
Etomidate 0,2 0,4 <1 Minimal/meningkat Menurun
Thiopental 25 <1 Menurun Menurun
Ketamine 12 1 Minimal Meningkat
Propofol 23 <1 Menurun Menurun

5
2.1.4.3 Muscle Relaxan
Penggunaan obat relaksan otot masih menjadi kontroversi dalam penatalaksanaan jalan
nafas. Kontraindikasi absolut pemakaian obat relaksan otot hanya pada keadaan
ketidakmampuan mengatur jalan nafas setelah pasien dalam keadaan apnu.6,7
Terdapat 2 jenis relaksan otot yang digunakan untuk intubasi ETT. Pemilihannya biasanya
tergantung pada keadaan saat intubasi dan proses yang mendasari penyakit pada pasien-pasien
gawat darurat.1-4,14 Relaksan otot depolarisasi (yang umum dipakai adalah Succinylcholine)
memiliki onset cepat dan lama kerja yang pendek, menjadikannya populer untuk dipakai pada
keadaan gawat darurat.1-4,11 Relaksan otot non depolarisasi, dengan efek samping yang minimal,
digunakan pada keadaan dimana masalah jalan nafas mudah diatasi dan adanya kontraindikasi
terhadap succinylcholine. Onsetnya lebih lambat dan lama kerja jauh lebih panjang.6,7

Tabel 3. Obat-obatan muscle relaxan pada RSI.6

6
2.1.5 Teknik/Prosedur

Setelah indikasi diketahui dan alat-alat yang diperlukan telah dipersiapkan, yang perlu
diingat adalah bahwa semua pasien gawat darurat yang memerlukan RSI dianggap sedang penuh
lambungnya (kenyang) dan berisiko untuk terjadinya aspirasi. Segera dilakukan stabilisasi dan
akses intravena, selain itu pasien juga harus diperkirakan mempunyai kontraindikasi terhadap
RSI ataupun obat-obatan yang akan dipakai.3
Selama RSI, dilakukan preoksigenasi (dengan masker ventilisasi oksigen 100% selama 2 5
menit) untuk cadangan oksigen. Tekanan positif pada masker ventilisasi dapat mempengaruhi
lambung dan meningkatkan regurgitasi asam lambung, oleh karena itu hanya dilakukan jika
diperlukan untuk oksigenasi dan ventilisasi pasien secara adekuat. Pulse oximeter dan monitor
EKG harus selalu dipasang selama melakukan prosedur RSI.4
Premedikasi yaitu atropine secara rutin diberikan pada pasien anak, obat ini dapat mencegah
bradikardi dan mengurangi sekresi oral. Pada orang dewasa ketamine menjadi pilihan. Lidocaine
dapat menurunkan TIK dan menekan refleks batuk, lebih menguntungkan pada pasien-pasien
dengan kelainan TIK.11,12,14 Harus dipastikan bahwa penutup masker dalam keadaan baik dan
jalan udara yang terbuka dapat dipertahankan. Prosedur ini harus dilakukan oleh 2 atau lebih
tenaga medis.4
Sebagaimana disebut diatas, Sellick maneuver dapat mengurangi kemungkinan regurgitasi
pasif asam lambung dan aspirasi serta harus dipertahankan hingga intubasi trakea berhasil. Selain
itu juga dapat mengurangi kemungkinan distensi lambung akibat ventilisasi masker dan harus
dilakukan sebelum timbul tekanan positif ventilisasi masker.4
Setelah pemilihan yang sesuai, sedasi dan relaksan otot dapat diberikan secara bersamaan
atau dengan tahapan yang cepat. Pemberian awal relaksan otot memberikan kesempatan obat
sedasi diberikan secara berangsur-ansur sementara menunggu onset penuh dari relaksan otot.
Beberapa ahli anestesi lain beranggapan sebaliknya, tetapi hal ini tidak mempengaruhi tahapan
intubasi jika pemberian obat telah sesuai pilihan.4
Intubasi dilakukan saat terjadi relaksasi penuh otot-otot pernafasan, biasanya 45 detik setelah
pemberian rocuronium dan 90 menit setelah pemberian vecuronium. Setelah intubasi lengkap,
penempatan ETT harus dipastikan benar dengan konfirmasi melalui auskultasi, terlihat suara

7
nafas bilateral, naiknya dinding dada, deteksi end-tidal CO2, dan oksigenasi yang bertahan dan
terlihat melalui pulse oximeter.3,4
Evakuasi asam lambung dapat dilakukan dengan tuba nasogastrik atau orogastrik. Sedasi
dengan masa kerja panjang dan relaksan otot non depolarisasi harus diberikan untuk
mempertahankan keadaan tidak sadar dan paralisis selama yang dibutuhkan. Jika rocuronium
kembali dibutuhkan, edrophronium bersama atropine dapat diberikan untuk mempercepat
pemulihan.3,4

2.2 Suxamethonium untuk rapid sequence induction (RSI)

2.2.1 obat- obat yang tergolong muscle relaxant

Muscle Relaxant atau pelumpuh otot adalah salah satu obat yang penting dalam anestesi.
Indikasi penggunaannya adalah untuk intubasi endotrakeal, memfasilitasi pembedahan dan
immobilisasi dari pasien.6
Muscle relaxant atau dikenal sebagai neuromuscular blocking agents ini dikelompokkan
menjadi 2, yaitu depolarisasi dan non-depolarisasi. Pembagian ini dibagi berdasarkan aksi
atau mekanisme kerja dan stimulasi saraf perifer. Tempat kerja utama dari Muscle Relaxant
ini adalah pada nicotinic cholinergic reseptor pada endplate dari otot dan pada presynaptic
reseptor dari nervus terminal. Depolarisasi agent atau suxamethonium (succynilcholine)
menghasilkan depolarisasi pada endplate dan berikatan dengan extrajunctional reseptor. Non-
depolarisasi agent berkompetisi dengan acetylcholine dalam berikatan dengan reseptor.
Penggunaan muscle relaxant ini menghasilkan paralisis bukan anesthesia. Dalam kata lain,
muscle relaxant ini tidak berfungsi sebagai sedatif, amnesia atau analgesia.7,8
Hambatan depolarisasi terjadi karena serabut saraf otot mendapat rangsangan depolarisasi
yang menetap sehingga akhirnya kehilangan respon berkontraksi yang menyebabkan
kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot
bergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterase. Hambatan non-depolarisasi
atau kompetisi terjadi karena reseptor asetilkolin diduduki oleh molekul-molekul obat pelumpuh
otot non depolarisasi sehingga proses depolarisasi membran otot tidak terjadi dan otot menjadi
lumpuh (lemas). Pemulihan fungsi saraf otot terjadi kembali jika jumlah obat yang menduduki

8
reseptor asetilkolin telah berkurang antara lain terjadi karena proses eliminasi dan atau distribusi.
Pemulihan juga dapat dibantu lebih cepat dengan memberi obat antikolinesterase (neostigmin)
yang menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.5

Table 4. Klasifikasi Obat Golongan Muscle Relaxant.7,8


Depolarisasi Non depolarisasi
Short acting Short acting
Suxamethonium (succinylcholine) Mivakurium
Intermediate acting
Atrakurium
Cisatrakurium
Vekuronium
Rocuronium
Long acting
Doxacurium
Pancuronium
Pipecuronium

Obat-obat Muscle Relaxant memiliki kemiripan dengan Ach. Muscle Relaxant


depolarisasi sangat mirip dengan Ach dan berikatan dengan reseptor Ach. Tidak seperti Ach,
obat ini tidak dimetabolisme oleh acetylcholinesterase dan konsentrasinya pada celah sinaps
tidak cepat menurun sehingga menghasilkan depolarisasi prolong pada end-plate dari otot.
Depolarisasi yang terus-menerus menyebabkan relaksasi dari otot karena pembukaan gerbang
bawah pada natrium channel di perijunctional terbatas waktunya. Setelah inisiasi awal dan
pembukaan, natrium channel tertutup dan tidak bisa dibuka lagi sampai terjadi repolarisasi.
End-plate tidak berepolarisasi selama muscle relaxant terus mengikat Ach reseptor, ini disebut
dengan fase block I. Setelah itu, depolarisasi yang prolong ini menyebabkan ionic dan perubahan
pada Ach reseptor yang disebut dengan fase block II. Diikuti dengan relaksasi. Non depolarisasi
muscle relaxant mengikat Ach reseptor sehingga Ach tidak berikatan dengan reseptornya
dan tidak terjadi potensial aksi pada end-plate. Ini disebut juga Ach reseptor antagonist atau
kompetitif. 7

9
2.2.2 Suxamethonium

Suxamethonium (succinylcholine) merupakan obat muscle relaxant depolarisasi yang


tergolong short acting. Suxamethonium (succinylcholine) memiliki onset kerjanya cepat (30-60
detik) dan durasi pendek <10 menit serta kelarutan dalam lemak rendah. Ketika succinylcholine
masuk ke sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudocholinesterase menjadi
succinylmonocholine. Hanya sebagian kecil yang diinjeksikan yang mencapai neuromuscular
junction. Saat kadar dalam serum menurun, succinylcholine difusi keluar dari neuromuscular
junction.7
Durasi kerja dari suxamethonium akan bertambah jika dosis tinggi atau metabolisme
yang abnormal. Hal ini bisa disebabkan karena hipotermia,kadar pseudocholinesterase yang
rendah atau karena genetik pada enzim.7
Transmisi neuromuskular terhambat selama konsentrasi suxamethonium yang tinggi tetap
berada pada reseptor. Suxamethonium tidak bekerja langsung pada struktur otot polos, termasuk
rahim. Suxamethonium dapat menghasilkan perlambatan denyut jantung dengan stimulasi vagal.
Bila suxamethonium diberikan dalam jangka waktu lama, karakteristik blok neuromuskular
dapat berubah dari karakteristik depolarisasi menjadi non depolarisasi.5

Gambar 3. Struktur suxamethonium dan asetilkolin.5

10
2.2.2.1 Mekanisme kerja

Suxamethonium (suksinilkolin) terdiri dari dua molekul yang secara fisik mirip asetilkolin
sehingga akan berikatan dengan reseptor asetilkolin dicelah sinap dan membangkitkan potensial
aksi sehingga terjadi depolarisasi neuromuscular junction. Tidak seperti asetilkolin, obat ini
tidak dimetabolisme secara local oleh asetilkolinesterase sehingga konsentrasinya dicelah sinap
tidak cepat menurun dan depolarisasi yang terjadi akan berlanjut. Depolarisasi motor end plate
yang berkelanjutan akan menyebabkan relaksasi otot.9

Durasi kerja suxamethonium yang sangat pendek (5-10 menit) terjadi akibat hidrolisis
suksinilkolin yang cepat oleh kolinesterase (butirilkolinesterase dan pseudokolinesterase) dalam
hati dan plasma. Kolinesterase plasma lebih cepat memetabolisme suksinilkolin dibanding
mivakurium sehingga durasi kerjanya lebih pendek dari mivakurium. Suxamethonium bereaksi
dengan reseptor nikotinik untuk membuka kanan dan menyebabkan depolarisasi lempeng
motoric yang akan menyebar ke membrane di sekitarnya, menimbulkan kontraksi unit motor
otot. Karean siksinilkolin tidak dimetabolisasi secara efektif di sinaps, membrane yang
mengalami depolarisasi tetap dalam keadaan terdepolarisasi dan tidak responsive terhadap
impuls berikutnya.9
Suxamethonium melintasi plasenta, umumnya dalam jumlah kecil. Sekitar 10% obat tersebut
diekskresikan dalam urin. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal terkadang mengalami apnea
berkepanjangan karena akumulasi suksinlmonocholine.9

2.2.2.2 Indikasi

Suxamethonium digunakan untuk fasilitas intubasi cepat terutama pada psien dengan
risik aspirasi, untuk membuat relaksasi otot skeletal dalam anestesi. Selain itu, cocok untuk
prosedur yang hanya memerlukan relaksasi singkat seperti intubasi endotrakeal, pemeriksaan
endoskopi, manipulasi ortopedi, tindakan pembedahan yang singkat dan terapi electro-
convulsif.7,8

11
2.2.2.3 Kontraindikasi

Pasien dengan riwayat pribadi atau riwayat keluarga yang memiliki penyakit maligna
hipertermia, penyakit kelainan genetik terkait pseudokolineasterase, miopati yang berhubungan
dengan peningkatan kadar kreatinin fosfokinase, distrofi muskular duchenne, hipersensitivitas
terhadap suxamethonium, hiperkalemia berat, glaucoma dengan sudut sempit, dan adanya luka
tembus pada mata. Selain itu obat ini tidak dianjurkan digunakan pada pasien luka bakar, trauma
massif, infeksi intra abdomen berat, cedera korda spinalis, encephalitis, stroke, sindrom Guillain-
Barre, Parkinson, tetanus. kerusakan ginjal dengan plasma potassium yang meningkat
konsentrasinya, atau pada mereka dengan degenerasi otot yang luas seperti baru-baru ini
paraplegia dan sepsis berat yang lama karena pasien tersebut mungkin menjadi sangat
hiperkalemia saat diberi suxamethonium, mengakibatkan aritmia jantung. 7,8

2.2.2.4 Dosis

Dosis Suxamethonium untuk intubasi trakea adalah 1mg/kgbb IV. Pernafasan


spontan terjadi setelah paralisis akibat pemberian Suxamethonium. Durasi rata-rata sebelum
mencapai 90% adalah lebih kurang 10 menit. Dengan demikian, pada orang dewasa yang sudah
dioksigenasi sebelumnya dapat mengalami apnea sebelum saturasi oksigen turun ke 90%.8
Dosis dapat bervariasi antara 0,5-0,15mg/kgBB , dosis kurang 1mg/kgBB tidak
mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau pernapasan spontan. Selain itu
padakeadaan dimana blokade saraf otot penuh diperlukan, diberikan dosis 1,5mg/kgBB.7

2.2.2.5 Efek samping

a. Fasikulasi

Merupakan keadaan yang sering dijumpai, fasikulasi terjadi bila seluruh unit motor
berkontraksi karena adanya impuls yang tidak normal pada serabut saraf motoric.
Suxamethonium menyebabkan kontraksi yang tidak sinkron terhadap serabut otot. Kontraksi
otot yang tidak sinkron dan tidak terkoordinasi dapat menyebabkan robeknya serabut otot
sehingga keratin fosfokinase akan keluar dari sel otot mengikuti aliran darah, apabila

12
faskulasi sangat hebat maka selain peningkatan keratin fosfokinase darah dan kalium juga
terjadi peningkatan myoglobin dalam darah.6
b. kardiovaskular

Stimulasi pada reseptor nikotinik pada parasimpatetik dan simpatetik ganglia dan reseptor
muskarinik di nodus SA pada jantung bisa meningkatkan atau menurunkan tekanan darah
atau denyut jantung. Dosis rendah dapat menyebabkan chronotropik negatif dan efek
inotropik, tetapi dosis tinggi umumnya menyebabkan peningkatan denyut jantung dan
kontraksi dan peningkatan kadar katekolamin.6
c. Hiperkalemia

Konsentrasi kalium serum naik 0,5 1 mEq/L. Normalnya otot melepaskan kalium
selama depolarisasi dan menaikkan kadar kalium serum 0,5meq/L. Peninggian kalium bisa
menyebabkan cardiac arrest dan kondisi lainnya.6,8
d. Nyeri Otot

Nyeri otot dapat dikurangi dengan pemberian pelumpuh otot non depolarisasi dosis kecil
sebelumnya. Mialgia terjadi 90% , selain itu dapat terjadi mioglobinuria, terutama otot
leher,punggung dan abdomen.8
e. Peningkatan tekanan intragastrik

Fasikulasi otot abdomen menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan juga tonus
sfingter bawah esophagus.8
f. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Suxamethonium pada beberapa pasien meningkatkan aliran darah serta tekanan


intrakranial. Ini bisa dikontrol dengan menjaga airway serta hiperventilasi. Bisa dicegah
sebelumnya dengan non depolarisasi agent dan lidocain (1,5-2mg/kgBB) 2-3 menit sebelum
intubasi.8
selain itu, dapat terjadi peningkatan tekanan intraokuler, kekakuan otot masseter,
hipertermia Maligna, kontraksi generalisasi pada pasien dengan myotonia, prolonged
paralisis, dan pelepasan histamine.8

13
2.2.3 Perbandingan Muscle Relaxan Depolarisasi (Suxamethonium/ Succinylcholin) dan
Non-Depolarisasi (Rocuronium dan Vecuronium) pada Rapid Sequense Induction (RSI)
Dari penelitian yang dilakukan Tran DTT, et al. Disimpulkan bahwa Suxamethonium
merupakan first line muscle relaxan yang digunakan untuk Rapid Sequense Induction
dikarenakan onset of action dari suxamethonium merupakan yang paling cepat. Rocuronium
dapat digunakan untuk second line muscle relaxan yang dapat digunakan pada Rapid Sequense
Induction jika terdapat kontraindikaasi pemberian suxamethonium pada pasien, karena paralisis
yang terjadi akan jauh lebih memanjang.10
Penggunaan suxamethonium memang cepat mencapai onset of action dari obat tersebut,
namun jika dilihat dari efek samping rocuronium memberikan efek samping jauh lebih sedikit
dibanding suxamethonium. an dikontraindikasikan pada pasien tertentu. Oleh sebab itu, mulai
dikembangkan berbagai teknik menggunakan pelumpuh otot non-depolarisasi untuk
menghasilkan kondisi intubasi yang sama dengan succinylcholine tetapi dengan efek samping
lebih minimal. Salah satu teknik yang baik adalah menggunakan prinsip waktu atau timing
principle.11
Pemberian pelumpuh otot non-depolarisasi dengan prinsip waktu dilakukan dengan
terlebih dahulu memberikan pelumpuh otot (non-depolarisasi) hingga terjadi relaksasi otot
kemudian dilanjutkan dengan induksi (obat untuk membuat pasien tidak sadar) dan tindakan
intubasi endotrakeal. Hal ini berbeda dengan intubasi menggunakan succinylcholine yaitu pasien
diinduksi terlebih dahulu kemudian diberi pelumpuh otot succinylcholine dan dilanjutkan dengan
intubasi endotrakeal.11
Studi Sang Kyu Lee dkk. (2010) dilakukan terhadap 67 pasien anak yang secara acak
mendapatkan pelumpuh otot rocuronium 0,6 mg/kg dan propofol 2,5 mg/kg 20 detik setelah
pemberian rocuronium (kelompok A) atau propofol 2,5 mg/kg diikuti dengan rocuronium
0,6 mg/kg 10-20 detik setelah pemberian propofol (kelompok B); disimpulkan bahwa kondisi
intubasi sangat baik ditemukan pada 87% pasien kelompok A dan pada 61% pasien kelompok B.
Hal ini membuktikan pemberian pelumpuh otot non-depolarisasi dengan prinsip waktu
memberikan efek yang lebih baik dibandingkan teknik konvensional.11

14
Chatrath dkk. (2010) membandingkan intubasi dengan pelumpuh otot non-depolarisasi
rocuronium dan vecuronium menggunakan prinsip waktu dengan intubasi dengan
succinylcholine. Sebanyak 75 pasien yang menjalani operasi secara acak dibagi menjadi tiga
kelompok:12
Kelompok A:
Rocuronium 0,6 mg/kg dan induksi propofol 2,5 mg/kg setelah muncul tanda
kelumpuhan otot (dilihat dari menutupnya kelompak mata).
Kelompok B:
Vecuronium 0,6 mg/kg dan induksi propofol 2,5 mg/kg setelah muncul tanda
kelumpuhan otot (dilihat dari menutupnya kelopak mata).
Kelompok C:
Induksi propofol 2,5 mg/kg dilanjutkan dengan pemberian succinylcholine 2 mg/kg

Kondisi intubasi sangat baik ditemukan secara bermakna lebih tinggi pada kelompok A
dan C dibandingkan kelompok B. Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok A dan C.12

15
Sebagai simpulan, intubasi menggunakan rocuronium dengan prinsip waktu dapat
membe-rikan kondisi intubasi yang sama dengan intubasi menggunakan succinylcholine dengan
efek samping hemodinamik lebih minimal.12

16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Rapid Sequence Intubation (RSI) didefenisikan sebagai suatu tahapan pemberian secara
cepat (secara spontan) obat-obat relaksan otot dan sedasi poten untuk memudahkan intubasi
sambil mengurangi risiko aspirasi, perlawanan tubuh, dan kerusakan potensial pada tubuh.
Dengan melakukan penatalaksanaan RSI dengan baik dan benar dapat mengurangi waktu
yang dibutuhkan pada pasien gawat darurat yang memerlukan pertolongan segera dan
mengurangi kerusakan tubuh yang dapat timbul pada pasien.
Suxamethonium merupakan first line muscle relaxan yang digunakan untuk Rapid Sequense
Induction dikarenakan onset of action dari suxamethonium merupakan yang paling cepat. Akan
tetapi efek samping dari Suxamethonium lebih berat dibanding Muscle relaxan yang lainnya.
Namun pada kasus kegawat daruratan, onset of action lebih diutamakan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Ross W.,Ellard L.. Rapid Sequence Induction. Anaesthesia tutorial o the week.
2016.
2. Mohammad EO., Connoly LA.. Rapid Sequence Induction and Intubation:
Current Controversy. CME. 2010.
3. Sajayan A., Wicker J., Ungureanu N.,Mendonca C., Kimani PK.. Current practice
of rapid sequence induction of anaesthesia in the UK - a national survey. British
Journal of Anaesthesia, 117 (S1): i69i74 (2016)
4. Difficult Airway Society. DAS guidelines for management of unanticipated
difficult intubation in adult. 2015. accessed [November 4th, 2017] available at:
https://www.das.uk.com/guidelines/das_intubation_guidelines
5. Soerasdi E, Satriyanto DM.Obat-Obat Anesthesia sehari-hari.Bandung.2010
6. Booij,L. Appropriate use of muscle relaxantsin anaesthesia, intensive an
emergency care.136-144. 2011.
7. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds.Neuromuscular blocking agents.In :
Clinical Anesthesiology 4th edition.McGraw Hills Company.2006
8. Francois D, Bevan DR.Pharmacology of muscle relaxants and their
antagonists.In:Barash PG, Cullen BF,Stoelting RK,eds.Clinical Anesthesia.6th
edition. Lippincolt William Wilkins.2006.
9. Bertram G.Katzung. Farmakologi dasar dan klinik. 10th ed.Jakarta. EGC; 2010.
10. Tran DTT, Newton EK, Mount VAH. Rocuronium versus succinylcholine for
rapid sequence induction intubation. Cochrane Library. 2015
11. Lee SK, Hong JH, Kim AR. Is the rapid sequence induction possible with 0.6
mg/kg rocuronium in pediatric patient. Korean J Aneshesiol. 2010;58(1):20-4
12. Chatrath V, Singh I, Chatrath R, Arora N. Comparison of intubating conditions of
rocuronium bromide and vecuronium bromide with succinylcholine using timing
principle. J Anaesth Clin Pharmacol. 2010;26(4):493-7.

18

Anda mungkin juga menyukai