Anda di halaman 1dari 6

Alasan Pergantian Anti Depresan

22:08 anti depresan, kesehatan, obat-obatan No comments

Pergantian antidepresan biasanya dilakuan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan
yang signifikan atau terlihat dalam pemeriksaan klinis tidak menunjukkan perkembangan
yang berarti. Sebenarnya, hal ini merupakan hal yang biasa di dalam praktek sehari-hari.
Kurang atau tidaknya responsif pasien terhadap suatu antidepresan tertentu bukan berarti
menjadi terteutup harapan sembuh pasien dengan menggunakan antidepresan.

Memilih Antidepresan

Setelah diagnosis ditegakkan, biasanya dokter mulai memilih obat yang paling dianggap
cocok untuk pasien . Pilihan antidepresan sangat beragam dari kelas dan jenis masing-
masing kelas. Di dalam praktek sehari-hari beberapa kelas antidepresan yang sering
digunakan adalah seperti di bawah ini
1. Antidepresan Golongan Trisiklik, contohnya adalah Amitripiline, Imipramine,
Clomipramine
2. Antidepresan Golongan SSRI, contohnya : Fluoxetine (Prozac), Sertraline (Zoloft),
Paroxetine (Paxil), Fluvoxamine (Luvox), Escitalopram (Cipralex)
3. Antidepresan Golongan SNRI, contohnya : Duloxetine (Cymbalta), Venlafaxine (Efexor)
4. Antidepresan Golongan Agomelatine, contohnya : Agomelatine (Valdoxan)

Pemilihan obat antidepresan berdasarkan diagnosis pasien dan pedoman tata laksana
untuk gangguan tertentu yang sudah disepakati oleh para ahli di tingkat internasional atau
nasional. Selain itu, pemilihan obat juga lebih bersifat individual dalam artian setiap pasien
mempunyai karakteristik yang berbeda yang membedakan juga pengobatannya.

Obat yang dipilih biasanya adalah obat yang mempunyai tolerabilitas atau kemampuan
obat itu diterima oleh individu yang paling tinggi. Hal ini biasanya karena disebabkan
penggunaan obat antidepresan yang cukup lama harus mendapatkan obat yang biasanya juga
mempunyai tolerabilitas terhadap pasien yang lebih baik. Selain itu sebenarnya yang paling
penting adalah bahwa obat itu efektif terhadap pasien dan mampu menghilangkan gejalanya.

PENGEN COBA BISNIS PULSA GRATIS KLIK DISINI


AYO DAPAT UANG GRATIS KLIK DISINI
PENGEN HP ANDROID MURAH KLIK DISINI
CARI MOBIL BEKAS KLIK DISINI
PASANG IKLAN PROPERTI KLIK DISINI

Pengobatan tak berespon baik

Ketika memutuskan untuk memulai pengobatan, pasien biasanya akan dilihat respon
pengobatannya di awal-awal minggu pertama. Minggu pertama adalah masa "pengenalan"
obat tersebut di otak dan tubuh pasien. Beberapa pasien mengalami efek samping karena
pengenalan ini. Efek samping yang timbul biasanya akan menghilang dengan sendirinya
dalam beberapa hari tanpa memerlukan penanganan khusus.

Beberapa efek samping yang sering timbul misalnya keluhan lambung (maag), lebih cemas
daripada biasanya, sulit tidur, mengantuk, kepala tegang dan mulut kering. Salah satu cara
menguranginya adalah dengan memulai dosis lebih kecil di awal minggu pertama. Jika sudah
dilewati maka akan masuk ke minggu berikutnya di mana obat sudah mulai mencapai
tahapan stabilisasi di otak tetapi belum berespon maksimal. Pada minggu kedua, ada
beberapa pasien yang sudah mulai merasakan perubahan dalam gangguan atau keluhan yang
dialami tetapi ada juga pasien yang mengalami kondisi yang sama dengan sebelumnya. Hal
ini masih dianggap sebagi suatu proses yang belum memerlukan penanganan khusus.

Memasuki minggu ketiga dan keempat obat antidepresan sudah mulai mencapai
keseimbangan di dalam otak pasien. Pada minggu ketiga dan keempat ini, biasanya keluhan
sudah jauh lebih berkurang jika pasien cocok dengan obat-obatan yang diberikan. Namun
demikian, ada sebagian pasien yang merasa belum banyak perubahan berarti. Pada kondisi
ini, biasanya saya tetap meneruskan pengobatan dan memilih untuk tetap mempertahankan
dosis terakhir. Minggu kelima dan keenam adalah saat keseimbangan sudah mulai stabil dan
biasanya pasien sudah hampir merasakan kesembuhan (remisi) yang baik.

Jika respon pengobatan baik, pasien hampir merasa lupa akan gangguan yang dialaminya.
Namun demikian ada juga pasien yang masih kadang mengalami gejala-gejala keluhannya
tapi sangat minimal atau kalau pun ada misalnya perasaan kecemasan, masih bisa ditangani
dengan baik oleh pasien. Pada minggu ini jika ada pasien yang tidak responsif terhadap
pengobatan maka biasanya kita memperhitungkan apakah akan mengganti obat atau akan
meningkatkan dosis.

Pilihan itu tentunya akan diperhitungkan dengan kondisi klinis, keluhan yang masih
dialami dan preferensi pasien. Pada beberapa obat peningkatan dosis ada yang membuat efek
sampingnya lebih banyak. Hal-hal seperti ini perlu dipertimbangkan sebelum melakukan
keputusan berdasarkan hasil pengobatan sampai minggu keenam ini.

Memilih Obat Pengganti

Memilih obat pengganti tentunya perlu memperhatikan berbagai macam hal termasuk juga
harga obat. Pasien biasanya yang pertama kali memakai antidepresan golongan SSRI bisa
dicoba untuk ditingkatkan dosisnya terlebih dahulu lalu kemudian jika tidak ada respon atau
pasien tidak tahan dengan efek samping akibat dosis yang besar maka obat bisa diganti ke
golongan lain misalnya SNRI. Pengobatan dengan antidepresan biasanya memakan waktu
cukup lama antara 4-12 bulan tergantung kondisi pasien. Penggunaan obat antidepresan
dalam jangka waktu tertentu ini untuk mencegah kekambuhan pasien. Inilah yang perlu
dipahami oleh pasien.
Read more: http://anak-kalimantan.blogspot.com/2012/07/alasan-pergantian-anti-
depresan.html#ixzz28TyOrmAw

Peranan Antidepresan pada Aksis HPA dan Atrofi Hipokampus


FERDIAN E. PRATAMA

Pendahuluan

Sejarah antidepresan dimulai pada 1957 ketika sifat antidepresan dari imipramine pertama kali
ditemukan. Imipramine bersamaan dengan amitriptyline dan clomipramine kemudian dimasukkan ke
dalam golongan antidepresan trisiklik. Tidak lama sesudah itu, ditemukan mono amine oxidase
inhibitors (MAOIs). Kedua golongan ini adalah antidepresan yang sangat efektif, tetapi memiliki efek
samping yang tidak menguntungkan. Antidepresan trisiklik memiliki insidens kardiotoksisitas dan efek
samping antikolinergik yang tinggi serta dosis letal yang rendah. MAOIs dapat menyebabkan
terjadinya krisis hipertensi jika dikonsumsi bersamaan dengan agen-agen simpatomimetik, baik dari
obat-obatan lain ataupun makanan yang mengandung tiramin1.

Mengingat efek samping yang tinggi dari kedua macam antidepresan ini, dirasakan perlu adanya
antidepresan baru yang lebih efektif dengan akseptabilitas yang baik. Pada dekade 80-an, ditemukan
antidepresan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dan reversible inhibitors of
monoamine oxidase tipe A (RIMAs) yang memberikan efek samping antikolinergik serta toksisitas
yang lebih minimal dibandingkan antidepresan terdahulu1. Meskipun begitu, ditemukan efek samping
lain pada golongan SSRIs seperti terganggunya libido, interaksi dengan cytochrome P 450, dan
akumulasi pada paru-paru2.

Klasifikasi Antidepresan

Klasifikasi antidepresan berdasarkan kerja pada tingkat neurotransmiter:

1. Heterocyclics (Serotonin/norepinephrine-Reuptake Inhibitors):


Tertiary Amine Tricyclics (misalnya amitriptyline, clomipramine, doxepin, imipramine, dan
trimipramine).
Secondary Amine Tricyclics (misalnya amoxapine, desipramine, maprotiline,nortriptyline, dan
protriotyline).
2. Monoamin Oxidase Inhibitors (misalnya phenelzine, tranylcypromin, dan selegiline).
3. Atypical Antidepressants (misalnya bupropion, nefazodone, dan trazodone).
4. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (misalnya fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, dan
sertraline).
5. Reversible Inhibitor of Mono Amin oxidase (misalnya moclobemide)
6. Dopamine-Reuptake Inhibitors (misalnya amineptine).
7. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor (misalnya venlafaxine)
8. Selective Serotonin Reuptake Enhancer (misalnya tianeptine (STABLON))

Antidepresan dan Hipotesis Neurotransmiter

Berdasarkan kerja antidepresan trisiklik yang menghambat reuptake dari neurotransmiter monoamin
(terutama norepinephrine dan serotonin), berkembang hipotesis mengenai mekanisme kerja
antidepresan dan patofisiologi depresi, yang terfokus pada peningkatan kadar neurotransmiter
monoamin atau kerjanya pada reseptor3.
Meskipun demikian, ternyata hipotesis neurotransmiter monoamin tidaklah sesederhana seperti
tersebut di atas. Berbagai studi yang dilakukan hingga saat ini telah gagal menjelaskan mekanisme
dari patofisiologi depresi maupun kerja antidepresan yang sesungguhnya3:

1. Banyak tipe antidepresan yang ada saat ini (SSRIs, RIMA, SNRI, SSRE dll). Antidepresan
mana yang sesungguhnya paling bertanggung jawab di sini, sulit dijelaskan.
2. Meskipun pada pemberian obat-obatan level monoamin meningkat dengan cepat, waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan efek terapeutik antidepresan sangat lama (beberapa
minggu).

Antidepresan seperti tianeptine (STABLON) yang kerjanya meningkatkan reuptake serotonin (SSRE),
berlawanan dengan antidepresan terdahulu seperti SSRIs ataupun golongan trisiklik4,5.

Peranan Antidepresan pada HPA Aksis dan Atrofi Hipokampus

Ada beberapa macam obat yang berpengaruh terhadap sekresi CRF pada PVN.

Dalam kaitannya dengan antidepresan, neurotransmiter yang dibahas di sini terutama adalah
neurotransmiter serotonin. Ditemukan bukti-bukti eksperimental bahwa 5-HT memegang peranan
penting dalam regulasi aktivitas dari aksis HPA pada saat stres. Serotonin dapat mempengaruhi
neuron-neuron yang memproduksi CRF di hypothalamus (Delbende et al., 1992), baik secara
langsung maupun melalui pusat-pusat saraf yang lain yang mengatur aksis HPA seperti
hipokampus4,7.

Peran 5-HT dalam meningkatkan aktivitas aksis HPA berasal dari reseptor serotonin. Baik reseptor 5-
HT1A maupun 5-HT2 meningkatkan sekresi kortisol pada manusia. Reseptor 5-HT1A banyak
ditemukan di PVN hipotalamus dan hipokampus, berdekatan dengan reseptor glukokortikoid serta
mineralokortikoid. Diduga, akibat stres terjadi peningkatan release serotonin dan kegiatan aksis HPA.
Bila ini berlangsung berkepanjangan, akan menyebabkan penurunan jumlah reseptor dari
mineralokortikoid, glukokortikoid, maupun 5-HT1A di PVN dan hipokampus. Pemeriksaan
elektrofisiologis dan PET Scan menunjukkan adanya korelasi yang positif dari penurunan jumlah
ketiga macam reseptor tersebut6.

Berbagai macam obat yang bekerja dengan meningkatkan serotonin (seperti serotonin agonist, SSRI,
dan 5-HT releasers), merangsang aktivitas aksis HPA (Bruni et al., 1982; Petralgia et al., 1984;
Koenig et al., 1987; Bagdy et al., 1989; Fuller and Snoddy., 1990). Obat-obat trisiklik konvensional
biasanya juga meningkatkan kadar glukokortikoid pada hewan (Fuxe et al., 1978; Armario and Garcia
Marquez, 1987) dan manusia (Laakmann et al., 1984;1985)4.

Tianeptine antidepresan yang mempercepat reuptake 5-HT (selective serotonin reuptake enhancer)
terbukti mampu menekan aktivasi aksis HPA pada hewan percobaan yang diinduksi oleh restraint
stress. Tianeptine mampu menekan kadar CRF pada hypothalamus hingga 12%, kadar ACTH pada
plasma hingga 43%, dan kadar kortikosteroid hingga 16%4,7.

Tianeptine Antidepresan SSRE

Efek antidepresan dari tianeptine telah dibuktikan dengan uji double-blind pada 206 pasien dengan
depresi mayor dan distimia dengan keluhan somatik. Tianeptine memperlihatkan efek antidepresan
yang sama baiknya dengan fluoxetine, namun mampu menekan kopreskripsi dari ansiolitik hingga
50%10.

Efek ansiolitik tianeptine juga dibuktikan dengan uji double blind dibandingkan dengan alprazolam
dan memperlihatkan efek ansiolitik yang sama baiknya dengan alprazolam11.

Tianeptine juga terbukti memiliki efek pencegahan relaps dan rekurens yang sangat baik. Pada studi
yang dilakukan selama 18 bulan, tianeptine memiliki angka relaps yang hanya 6%, plasebo 22%, dan
angka rekurens 12%12.
Akseptabilitas yang ditunjukkan juga sangat prima. Pada percobaan yang dilakukan terhadap 3300
pasien selama 1 tahun, tianeptine tidak menampakkan perubahan yang signifikan dari ritme jantung,
denyut jantung, dan tekanan darah13.

Tianeptine juga terbukti bebas efek samping antikolinergik dibandingkan dengan antidepresan trisiklik
seperti amitriptyline, imipramine, ataupun maprotiline14-17. Tianeptine bersifat non-sedatif karena
lemahnya ikatan dengan reseptor alfa adrenergik dan histaminik. Semua ini membuat tianeptine
memiliki kepatuhan pasien yang lebih baik dengan angka dropout yang sangat minim, yaitu hanya 2%
dari 1251 pasien yang diterapi selama satu tahun17.

Keuntungan pemakaian tianeptine juga terletak pada interaksi obatnya. Tianeptine tidak
dimetabolisme melalui sitokrom P450 sehingga aman dikombinasikan dengan obat-obatan lain dan
dapat diberikan pada pasien dengan sirosis hepatis ataupun dengan hepatoselular insufisiensi. Hal ini
berbeda dengan golongan antidepresan lain seperti trisiklik ataupun SSRI18-20.

Keuntungan lain dari tianeptine adalah pada daya ingat (memori). Tianeptine memperbaiki gangguan
memori yang terdapat pada pasien-pasien depresi21-22. Suatu studi yang membandingkan
tianeptine dengan mianserine juga memperlihatkan perbaikan kualitas hidup, khususnya pada
aktivitas intelektual dan konsentrasi, pada pasien-pasien di atas 70 tahun yang diterapi dengan
tianeptine23.

Daftar Pustaka

1. Moller H.J., Volz H.P. Drug treatment of depression in the 1990s. Drugs 1996;52(5): 625-638
2. Suhara T, Sudo Y, Yoshida K et al. Lung as reservoir for antidepressants in pharmacokinetic
drug interactions. The Lancet, 1998; 351: 332 - 335.
3. Duman R. S., Heninger G. R., Nestler E. J., A Molecular and Cellular Theory of Depression.
Arch Gen Psychiatry. 1997;54:597-606.
4. Delbende C, Contesse V, Mocaer E, et al. The novel antidepressant, tianeptine, reduces
stress-evoked stimulation of the hypothalamo-pituitary-adrenal axis, European Journal of
Pharmacology 1991; 202: 391-396
5. Murphy D. L., Mitchell P. B., Potter W. Z. Novel Pharmacological Approaches to the
Treatment of Depression. In: Bloom F. E., Kupfer D.J. (ed) Psychopharmacology: The Fourth
Generation of Progress. Raven Press: New York, 1995, pp:1143-1153.
6. Maes M, Meltzer HY. The Serotonin Hypothesis of Major Depression. In: Bloom F. E., Kupfer
D.J. (ed) Psychopharmacology: The Fourth Generation of Progress. Raven Press: New York,
1995, pp:933-944.
7. Delbende C, Mocaer E, Rettori M., Kamoun A., Vaudry H., Effect of the antidepressant
tianeptine on the activity of the hypothalamo-pituitary-adrenal axis, European Psychiatry
1993;8(2), 49s - 54s.
8. Watanabe Y, Gould E, Daniels DC, Cameron H, McEwen BS. Tianeptine attenuates stress-
induced morphological changes in the hippocampus, European Journal of Pharmacology,
1992;222:157-162
9. McEwen BS, Possible mechanism for atrophy of the human hippocampus, Molecular
Psychiatry 1997; 2, 252-262
10. Alby J.M., Ferreri M., Cabane J., de Bodinat C., Dagens V., Efficacy of tianeptine
(STABLON() in the treatment of major depression and dysthimia, with somatic complaints.
Comparative trial versus fluoxetine (Prozac(). Ann Psychiatr. 1993;8(2):136-144.
11. Ansseau M., Bataille M., et al. Controlled comparison of tianeptine, alprazolam and mianserin
in the treatment of adjusment disorders with anxiety and depression. Human
Psychopharmacology. 1996;11:296-298.
12. Dalery J.,Dagens-lafont V., deBodinat C., Efficacy of tianeptine vs placebo in the long term
treatment (16.5 months) of unipolar major recurrent depression. L'encephale 1997; 23:56-64
13. Lasnier C., Marey C., Laprey G., Delalleau B., Ganry H., Cardiovascular acceptability of
tianeptine. Presse Med 1991;20(37): 1858-1863
14. Guelfi JD, Pichot P, Dreyfus JF. Efficacy of tianeptine in anxious depressed patients. Result
of a controlled multicentre trial versus amitriptyline. Neuropsychobiology 1989;22:41-48.
15. Loo H., Malka R.,Defrance R.,et al. Tianeptine and amitriptyline: controlled double blind trial in
depressed alcoholic patients. Neuropsychobiology 1989;19:79-85.
16. Chaby L, Grinztein A, Weitzman JJ, de Bodinat C, Dagens V. Tianeptine vs maprotiline in
menopausal dan premenopausal anxiety and depression: a double blind efficacy and
acceptability study. Presse Med 1993;22:1133-1138.
17. Guelfi JD, Lemoine P et al. Clinical safety and efficacy of tianeptine in 1858 depressed
patients treated in general practice. Neuropsychobiology 1992;25:140-148.
18. Greenbalt DJ, von Moltke LL, Harmatz JS, Shader RI. Drug interactions with newer
antidepressants: Role of Human Cytochromes P450. J Clin Psychiatry 1998;59(15): 19-27.
19. Royer RJ, Royer-Morrot MJ, Paille F et al. Tianeptine and its main metabolite.
Pharmacokinetics in chronic alcoholism and cirrhosis. Clin Pharmacol, 1991;20(37):1837-
1843.
20. Mocquard MT, Proust L, Deslandes A, Chezaubernard C, Bertrand M. Identification of the
enzymes involved in the primary metabolic pathways of tianeptine using in vitro models.
21. Loo H., Ganry H., Marey C. et Coll. Acceptability and therapeutic efficacy in 510 depressed
patients treated for one year. JAMA, Actualitis thirapeutiques, French edition - November
1990 : 44-53
22. Chapuy P., Cuny G., Delomier Y., Galley P., Michel J.P., pareaud M. One year open study of
tianeptine in 140 elderly depressed patients with depression. Presse Medicale 1991 ; 20 (37)
1844-1852
23. Brion S., Audrain S., de Bodinat C. Major depressive episodes in subjects over 70 years of
age. Efficacy and acceptability of tianeptine vs mianserin. La Presse Midicale 1996; 25(9):
461-468

Anda mungkin juga menyukai