Anda di halaman 1dari 34

TUGAS :

HIPERTENSI PADA LANSIA

OLEH :

ANDI ERDIANA
ELISA AMANDA SARI
NUR EDA
WA ODE NORMA

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Hipertensi Pada Lansia “

tepat pada waktunya.

Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat dijadikan motivasi dan

panduan bagi pembaca agar tetap dapat menghindari penyakit – penyakit yang

sagat berbahaya seperti penyakit jantung, stroke, asam urat, diabetes mellitus dan

peyakit mematikan lainnya terutama penyakit hipertensi sehingga terhindar dari

penyakit – penyakit tersebut baik di masa sekarang maupun masa yang akan

datang.

Terima kasih yang sebesar – besarnya kepada orang tuaku yang sudah

momotivasi penulis serta terima kasih kepada teman seperjuangan yang sudah

memberikan ide – idenya kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Kendari, April 2012

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Tujuan ............................................................................................ 2
C. Kegunaan ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hipertensi .................................................................... 3
B. Kriteria Dan Klasifikasi ................................................................. 4
C. Etiologi .......................................................................................... 6
D. Faktor Resiko Tidak Terkontrol .................................................... 7
E. Patofisiologi ................................................................................... 18
F. Gejala ............................................................................................. 20
G. Komplikasi .................................................................................... 20
H. Diagnosa ........................................................................................ 22
I. Penatalaksanaan Hipertensi ........................................................... 22
J. Pencegahan .................................................................................... 24
K. Diet Hipertensi............................................................................... 24
BAB IV PENUTUP
4.1.Kesimpulan ..................................................................................... 26
4.2.Saran ................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 29
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak

secara tiba-tiba manjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa

dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah

laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka

mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan

suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang

akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup

manusia yang terakhir. Dimana seseorang mengalami kemunduran fisik,

mental dan sosial scara bertahap (Lilik Ma’rifatul azizah, 2011).

Bila seseorang mulai menua, maka segala sel-sel tubuhnya dapat

dipastikan sedang mengalami proses degenerasi secara fisiologik. Proses ini

umumnya ditandai dengan semakin menurunnya kemampuan sel-sel tubuh

untuk memperbaiki diri dari kerusakan dan efisiensi kerja yang berkurang

dari kelenjar-kelenjar tubuh (Astawan&Wahyuni 1987).

Perubahan sistem kardiovaskular pada lansia meliputi massa jantung

bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi, dan kemampuan

perenggangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat.

Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal berkurang sehingga kapasitas paru

menurun. Latihan berguna untuk meningkatkan VO2 maksimum, mengurangi

tekanan darah, dan berat badan.


Menurut UU No.13 Th.1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang

dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60

tahun ke atas (Tilarso dkk 2000 dalam Nadhira 2006). Hal ini sejalan dengan

pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menilai bahwa usia 60

tahun adalah awal usia peralihan menuju ke arah segmen penduduk tua.

Sedangkan untuk di Indonesia, menurut Widya Karya Pangan dan Gizi (1988)

yang digolongkan manula adalah mereka yang berumur di atas 60 tahun.

Dalam cakupan yang lebih luas, WHO menggunakan patokan pembagian

umur lansia sebagai berikut : usia pertengahan (middle age) ialah kelompok

usia 45 – 59 tahun; lansia (elderly) usia 60 – 74 tahun; tua (old) usia 75 – 90

tahun; dan sangat tua (every old) di atas 90 tahun (Koswara 2003).

Mnurut WHO, dijawa tengah penderita hipertensi pada lansia terdapat

15,2% dan perempuan lebih banyak ditemui menderita hipertensi dari pada

laki-laki.

B. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mempelajari pengertian,

kriteria dan klasifikasi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, gejala,

komplikasi, diagnosa, penatalaksanaan, pencegahan, dan diet hipertensi

khususnya pada lansia.

C. Kegunaan

Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan

kepada pembaca mengenai hipertensi pada lansia. Bagi kelompok lansia,

makalah ini dapat digunakan sebagai masukan untuk memperhatikan

kebiasaan makan serta gaya hidup mereka yang merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi. Sedangkan bagi pemerintah, makalah ini sebagai bahan

masukan dalam penanggulangan dan pencegahan kejadiaan hipertensi pada

lansia sebagai wujud kepedulian dalam menekan angka morbiditas dan

mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hipertensi

Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu

gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan

nutrisi, yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang

membutuhkan. Hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent

Killer), karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan

gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny S

dkk 2004).

Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di negara

maju maupun negara berkembang. Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa

gejala, dimana tekanan yang abnormal tingggi di dalam arteri menyebabkan

meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisme, gagal jantung, serangan

jantung, dan kerusakan ginjal (Armilawati 2007). Seseorang dikatakan

mengalami hipertensi jika memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau

tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg atau keduanya.

Hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan darah menjadi naik

dan bertahan pada tekanan tersebut meskipun sudah relaks (Iman S 2002).

Menurut Allison Hull (1996), hipertensi adalah desakan darah yang

berlebihan dan hampir tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh

kekuatan jantung ketika memompa darah.

Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa

hipertensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena
gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan

nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang

membutuhkannya.

B. Kriteria dan Klasifikasi

Menurut WHO (World Health Organization) batas normal tekanan

darah adalah 120–140 mmHg sistolik dan 80–90 mmHg diastolik. Dan

seseorang dinyatakan mengidap hipertensi bila tekanan darahnya > 140

mmHg tekanan sistolik dan 90 mmHg tekanan diastoliknya.

Tabel 1 Klasifikasi hipertensi menurut WHO/ISH

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal < 140 < 90
Hipertensi Ringan 140-180 90-105
Hipertensi perbatasan 140-160 90-95
Hipertensi sedang dan >180 >105
berat
Hipertensi sistolik >140 <90
terisolasi
Hipertensi sistolik 140-160 <90
perbatasan
Sumber: Arif Mansjoer dkk 2000

Peninggian tekanan sistolik tanpa diikuti oleh peninggian tekanan

diastolik disebut hipertensi sistolik terisolasi (isolated sytolic hypertension).

Hipertensi sistolik terisolasi umumnya dijumpai pada usia lanjut, jika keadaan

ini dijumpai pada masa dewasa muda lebih banyak dihubungkan sirkulasi

hiperkinetik dan diramalkan dikemudian hari tekanan diastoliknya juga ikut

meningkat. Batasan ini untuk individu dewasa diatas umur 18 tahun, tidak

dalam keadaan sakit mendadak. Dikatakan hipertensi jika pada dua kali atau

lebih kunjungan yang berbeda didapatkan tekanan darah rata-rata dari dua
atau lebih pengukuran setiap kunjungan, diastoliknya 90 mmHg atau lebih,

atau sistoliknya 140 mmHg atau lebih (Robin & Kumar 1995).

Tabel 2 Klasifikasi pengukuran tekanan darah orang dewasa dengan

usia diatas 18 tahun menurut The Sixth Report Of The Joint National

Committee On Prevention Detection, Evaluation And Treatment Of High

Blood Pressure

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Sistolik dan Diastolik


(mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stadium I 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stadium II >160 atau >100
Hipertensi Stadium III >180 atau >110
Sumber: Arif Mansjoer dkk 2000

Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu hipertensi

sistolik dan hipertensi diastolik (Smith & Tom 1986). Pertama yaitu

hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut terlalu kuat sehingga dapat

meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya

tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Ini adalah

tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan tercermin pada hasil

pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.

Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil

menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap

aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya.

Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung

berada dalam keadaan relaksasi diantara dua denyutan. Sedangkan menurut

Arjatmo T dan Hendra U (2001) faktor yang mempengaruhi prevalensi


hipertensi antara lain ras, umur, obesitas, asupan garam yang tinggi, adanya

riwayat hipertensi dalam keluarga.

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu

sekunder dan primer. Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui

penyebabnya namun ada beberapa faktor yang diduga menyebabkan

terjadinya hipertensi tersebut antara lain: faktor keturunan, ciri perseorangan,

dan kebiasaan hidup (Puspita WR 2009). Hipertensi sekunder merupakan

jenis yang penyebab spesifiknya dapat diketahui (Lanny S dkk 2004).

Penderita hipertensi sekunder ada 5%-10% kasus. Pada hipertensi penyebab

dan patofisiologinya sudah diketahui sehingga dapat dikendalikan dengan

obat-obatan atau pembedahan (Arjatmo T & Hendra U 2001).

Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu

hipertensi Benigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah

keadaan hipertensi yang tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya

ditemukan pada saat penderita dicek up. Hipertensi Maligna adalah keadaan

hipertensi yang membahayakan biasanya disertai dengan keadaan kegawatan

yang merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti otak, jantung dan

ginjal (Mahalul 2005 dalam Suheni Y 2007).

C. Etiologi

Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya

perubahan-perubahan pada: Elastisitas dinding aorta menurun, Katup jantung

menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun

1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, kemampuan jantung memompa

darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.


Kehilangan elastisitas pembuluh darah, hal ini terjadi karena kurangnya

efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, serta meningkatnya

resistensi pembuluh darah perifer (Anonim 2009).

Selain itu, faktor genetik dianggap penting sebagai sebab timbulnya

hipertensi. Anggapan ini didukung oleh banyak penelitian pada hewan

percobaan dan tentunya pada manusia itu sendiri. Faktor genetik tampaknya

bersifat mulifaktorial akibat defek pada beberapa gen yang berperan pada

pengaturan tekanan darah. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling

berperan dalam perjalanan munculnya penyakit hipertensi. Semakin banyak

seseorang terpapar faktor-faktor tersebut maka semakin besar kemungkinan

seseorang menderita hipertensi, juga seiring bertambahnya umur seseorang

(Fauci AS et al 1998).

D. Faktor Risiko Tidak Terkontrol

Hipertensi dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang secara

alami telah ada pada seseorang. Faktor risiko tidak terkontrol (mayor)

tersebut antara lain adalah kondisi fisiologis tubuh, umur, dan jenis kelamin.

Karakteristik umur dan jenis kelamin tersebut pada akhirnya juga

berpengaruh terhadap kondisi fisiologis tubuh (Asep Pajario 2002).

Kondisi fisiologi tubuh

Munculnya hipertensi, tidak hanya disebabkan oleh tingginya

tekanan darah, akan tetapi juga karena adanya faktor risiko lain, seperti

keturunan/genetik, komplikasi penyakit, dan kelainan pada organ target,

yaitu jantung, otak, ginjal, dan pembuluh darah. Hipertensi sering muncul

dengan faktor risiko lain yang timbul sebagai sindrom metabolik, yaitu
hipertensi dengan gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus (DM),

dislipidemia (tingginya kolesterol darah) dan obesitas (Krummel 2004

dalam Asyiyah 2009). Kondisi fisiologis lainnya dapat menyebabkan

hipertensi diantaranya adalah aterosklerosis (penebalan pada dinding ateri

yang menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh darah), bertambahnya

jumlah darah yang dipompa ke jantung, penyakit ginjal, kelenjar adrenal,

dan system saraf simpatis (Ganong 1998). Kelebihan berat badan, tekanan

psikologis, stress, dan ketegangan pada ibu hamil bisa menyebabkan

hipertensi (Khomsan 2004)

Umur

Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang

mengalami kenaikan tekanan darah. Tekanan darah sistolik terus

meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat

sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan

menurun drastis. Penyakit hipertensi paling banyak dialami oleh kelompok

umur 31-55 tahun pada umumya berkembang pada saat umur seseorang

mencapai paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia

lebih dari 40 tahun bahkan pada usia lebih dari 60 tahun keatas (Krummel

2004 dalam Asyiyah 2009).

Kejadian hipertensi meningkat pada usia 55-64 dan IMT kuantil

ke-5 (Tesfaye et al. 2007). Williams (1991) menyatakan bahwa umur, ras,

jenis kelamin, merokok, kolesterol darah, intoleransi glukosa, dan berat

badan dapat mempengaruhi kejadian hipertensi.


Jenis kelamin

Penyakit hipertensi cenderung lebih rendah pada jenis kelamin

perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Namun demikian, perempuan

yang mengalami masa premenopause cenderung memiliki tekanan darah

lebih tinggi daripada laki-laki. Hal tersebut disebabkan oleh hormon

estrogen yang dapat melindungi wanita dari penyakit kardiovaskuler.

Hormon esterogen ini kadarnya akan semakin menurun setelah menopause

(Armilawati 2007). Prevelensi hipertensi pada wanita (25%) lebih besar

daripada pria (Tesfaye et al. 2007).

Selain sebagai hormon pada wanita, esterogen juga berfungsi

sebagai antioksidan. Kolesterol LDL lebih mudah menembus plak di

dalam dinding nadi pembuluh darah apabila dalam kondisi teroksidasi.

Peranan estrogen sebagai antioksidan adalah mencegah peranan oksidasi

LDL, sehingga kemampuan LDL untuk menembus plak akan berkurang.

Peranan estrogen yang lain adalah sebagai pelebar pembuluh darah

jantung, sehingga aliran darah menjadi lancar dan jantung memperoleh

suplai oksigen yang cukup (Khomsan 2004).

Faktor Risiko Terkontrol

Kejadian hipertensi juga ditentukan oleh faktor risiko yang

terkontrol (minor). Modifikasi kebiasaan makan dan perilaku/gaya hidup

melalui pengetahuan gizi dapat dilakukan untuk meminimalisir faktor yang

dapat memicu dan meningkatkan faktor yang dapat mencegah hipertensi.

Faktor risiko yang bisa diubah antara lain adalah gaya hidup dan

kebiasaan makan.
Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan disposisi atau watak yang

melatarbelakangi perilaku, reaksi atau respon seseorang terhadap diri dan

lingkungan yang mempengaruhinya (Mulyono 1984 dalam Andiyani

2007). Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari sejumlah interaksi

sosial, budaya, keadaan dan hasil pengaruh beragam variable bebas yang

terjadi di dalam keluarga atau rumah tangga (Suhardjo 1989).

Gaya hidup yang diduga berhubungan dengan kejadian hipertensi

antara lain meliputi aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan stres.

 Aktivitas fisik

Tekanan darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Tekanan

darah akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas fisik dan lebih

rendah ketika beristirahat (Armilawati 2007). Aktivitas fisik adalah

gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya.

Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar

metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru

memerlukan tambahan energi untuk meningkatkan zat-zat gizi dan

oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh

(Supariasa 2001).

Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang memiliki

kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada mereka yang

masih aktif. Penelitian dari Farmingharm Study menyatakan bahwa

aktivitas fisik sedang dan berat dapat dapat mencegah terjadinya

stoke. Selain itu, dua meta-analisis yang telah dilakukan juga


menyebutkan hal yang sama. Hasil analisis pertama menyebutkan

bahwa berjalan kaki dapat menurunkan tekanan darah pada orang

dewasa sekitar 2% (Kelley 2001). Analisis kedua pada 54 randomized

controlled trial (RCT), aktivitas aerobik menurunkan tekanan darah

rata-rata 4 mmHg TDS dan 2 mmHg TDD pada pasien dengan tanpa

hipertensi. Peningkatan intesitas aktivitas fisik, 30-45 menit per hari,

penting dilakukan sebagai strategi pencegahan dan pengelolaan

hipertensi. Olahraga atau aktivitas fisik yang mampu membakar 800-

1000 kalori akan meningkatkan high density lipoprotein (HDL)

sebesar 4mmHg (Khomsan 2004).

 Kebiasaan merokok

Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah

merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen, sehingga dapat

menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke jantung

dan jaringan lainnya. Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan

bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu

10 tahun dapat menurunkan insiden penyakit jantung koroner (PJK)

sekitar 24.4% (Karyadi 2002)

Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu

sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan

oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin

juga meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan

kebutuhan oksigen jantung, meransang pelepasan adrenalin, serta


menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu

saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya.

Framingham Heart Study yang meneliti pria dan wanita

sekitar 20-49 tahun dilaporkan bahwa kadar kolesterol HDL lebih

rendah 4.5-6.5% pada perokok, dan pada studi lain dilaporkan bahwa

pria yang merokok ebih dari 20 batang sehari akan mengalami

penurunan HDL hingga 11% dibandingkan bukan perokok (Karyadi

2002). Selain itu, merokok juga dapat meningkatkan pengaktifan

platelet (sel-sel penggumpal darah).

 Stres

Stres dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang

mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan

denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan

retensi air dan garam (Syaifuddin 2006). Pada saat stres, sekresi

katekolamin akan semakin meningkat sehingga renin, angiotensin, dan

aldosteron yang dihasilkan juga semakin meningkat (Klabunde 2007

dalam Asiyiyah 2009). Peningkatan sekresi hormon tersebut

berdampak pada peningkatan tekanan darah. Selain itu, faktor

psikososial dari waktu terdesak/tidak sabar, prestasi kerja, kompetisi,

permusuhan, depresi dan rasa gelisah berhubungan dengan kejadian

hipertensi (Asiyiyah 2009).

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan yang diduga berhubungan dengan kejadian

hipertensi adalah pola konsumsi buah dan sayur, makanan manis, makanan
asin, makanan berlemak, jeroan, makanan awetan, minuman beralkohol,

dan minuman berkafein.

 Konsumsi buah dan sayur

Penelitian yang dilakukan oleh Dauchet et al. (2007)

menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi sayur dan buah serta

penurunan konsumsi lemak pangan, disertai dengan penurunan

konsumsi lemak total dan lemak jenuh, dapat menurunkan tekanan

darah. Penemuan ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya, The

Nurse’s Health Study and the health Professionals Follow up Study

groups, yang menemukan bahwa penurunan risiko jantung koroner

dan stroke berhubungan dengan tingginya pola konsumsi buah, sayur,

kacang-kacangan, ikan, dan padi-padian tumbuk.

Konsumsi buah dan sayur >400 gram per hari dapat

menurunkan risiko hipertensi dengan semakin bertambahnya umur.

Hal ini tidak saja disebabkan oleh aktivitas antioksidan dalam buah

dan sayur, tetapi juga karena adanya komponen lain seperti serat,

mineral kalsium, dan magnesium. Orang yang mengonsumsi buah dan

sayur biasanya memiliki kebiasaan yang lebih sehat, seperti:

melakukan aktivitas fisik lebih banyak, tidak merokok, dan tidak

mengonsumsi alkohol, yang secara keseluruhan dapat menurunkan

risiko hipertensi (TDS:-1.6 mmHg, P<0.02; TDD:-1 mmHg, P<0.005)

(Dauchet et al. 2007). Pasien hipertensi dianjurkan mengonsumsi buah

dan sayur yang mengandung serat pangan minimal 30 mg/hari

(Hartono 2006).
Konsumsi tinggi sayur dan buah serta rendah karbohidrat dan

lemak dapat digunakan sebagai pola makan untuk penurunan berat

badan. Penelitian yang dilakukan oleh Ledikwe et al. (2007) pada 810

orang penderita prehipertensi dan hipertensi ringan, menemukan

hubungan nyata antara konsumsi pangan yang memiliki densitas

energi rendah dengan penurunan berat badan (p<0.001).

Serat pangan dapat membantu meningkatkan pengeluaran

kolesterol melalui feces dengan jalan meningkatkan waktu transit

bahan makanan melalui usus kecil. Selain itu, konsumsi serat sayur

dan buah akan mempercepat rasa kenyang. Keadaan ini

menguntungkan karena dapat mengurangi pemasukan energi dan

obesitas, dan akhirnya akan menurunkan risiko hipertensi

(Krisnatuti&Yenrina 2005).

 Konsumsi makanan manis dan tinggi energi

Menurut penelitian Jhonson et al. (2007), dosis fruktosa yang

tinggi (10% air menghasilkan ½ asupan energi dibandingkan dengan

jumlah fruktosa yang biasa dikonsumsi 60%) dapat meningkatkan

tekanan darah dan perubahan mikrovaskuler.

Seseorang yang mengonsumsi makanan/minuman manis tidak

akan merasa puas dan akan makan terus menerus. Konsumsi yang

berlebihan akan meningkatkan asupan energi yang selanjutnya

disimpan dalam tubuh sebagai cadangan lemak. Penumpukan lemak

tubuh pada perut akan menyebabkan obesitas sentral, sedangkan

penumpukan pada pembuluh darah akan menyumbat peredarah darah


akan membentuk plak (arterosklerosis) yang dapat berdampak pada

hipertensi dan jantung koroner (Jhonson et al. 2007).

 Konsumsi makanan asin dan awetan

Makanan asin dan makanan yang diawetkan adalah makanan

dengan kadar natrium tinggi. Natrium adalah mineral yang sangat

berpengaruh pada mekanisme timbulnya hipertensi. Krisnatuti dan

Yenrina (2005) menyatakan bahwa makanan asin dan awetan biasanya

memiliki rasa gurih (umami) sehingga dapat meningkatkan nafsu

makan. Pengaruh asupan natrium terhadap hipertensi terjadi melalui

peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah.

Williams (1991) menjelaskan bahwa mekanisme yang

mendasari sensitivitas garam pada beberapa pasien mungkin

disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: ketidakmampuan ginjal

untuk mensekresikan natrium, pengaturan sirkulasi ginjal yang tidak

normal dan sekresi aldosteron. Konsumsi natrium akan mengatur

reaksi adrenal dan renal vascular terhadap angiostensin II. Reaksi

adrenal akan meningkat dan reaksi renal vascular akan menurun

dengan adanya pembatasan konsumsi natrium (Williams 1991).

 Konsumsi makanan berlemak dan jeroan

Konsumsi jenis pangan yang digoreng (deep frying)

berpengaruh meningkatnya asupan energi dari lipid. Makanan yang

digoreng memiliki rasa gurih, renyah, enak, dan kaya lemak. Hal ini

menyebabkan seseorang ingin makan terus menerus, sehingga

memiliki densitas energi yang tinggi dan tingkat kepuasan yang


rendah. Rendahnya tingkat kepuasaan dapat berpengaruh tehadap

kemampuan respon insulin dan leptin, hormon yang menstimulasi

respon lapar-kenyang (Guallar&Castillon et al 2007).

Konsumsi pangan tinggi lemak juga dapat menyebabkan

penyumbatan pembuluh darah yang dikenal dengan arterosklerosis.

Lemak yang berasal dari minyak goreng tersusun dari asam lemak

jenuh rantai panjang (long-saturated fatty acid). Keberadaannya yang

berlebih di dalam tubuh akan menyebabkan penumpukan dan

pembentukan plak di pembuluh darah. Pembuluh darah menjadi

semakin sempit dan elastisitasnya berkurang. Kandungan lemak atau

minyak yang dapat menggangu kesehatan jika jumlahnya berlebih

lainnya adalah : kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein (LDL)

(Almatsier 2003).

Jeroan (usus, hati, babat, lidah, jantung, dan otak, paru) banyak

mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid SFA). Jeroan

mengandung kolesterol 4-15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

daging. Secara umum, asam lemak jenuh cenderung meningkatkan

kolesterol darah, 25-60% lemak yang berasal dari hewani dan

produknya merupakan asam lemak jenuh. Setiap peningkatan 1%

energi dari asam lemak jenuh, diperkirakan akan meningkatkan 2.7

mg /dL kolesterol darah, akan tetapi hal ini tidak terjadi pada semua

orang. Lemak jenuh terutama berasal dari minyak kelapa, santan, dan

semua minyak lain seperti minyak jagung, minyak kedelai yang

mendapat pemanasan tinggi atau dipanaskan berulang-ulang.


Kelebihan lemak jenuh akan menyebabkan peningkatan kadar LDL

kolesterol (Almatsier 2003).

 Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol diakui sebagai faktor penting yang

berhubungan dengan tekanan darah. Kebiasaan konsumsi alkohol

harus dihilangkan untuk menghindari peningkatan tekanan darah

(Hartono 2006). Jika dibandingkan dengan orang yang bukan

peminum alkohol, maka terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal

tingginya tekanan darah. Konsumsi alkohol 3 kali lipat per hari dapat

menjadi pencetus meningkatnya tekanan darah dan berhubungan

dengan peningkatan 3 mmHg. Konsumsi alkohol seharusnya kurang

dari 2 kali per hari (24 oz bir, 10 oz wine, atau 2 oz whiskey murni)

pada laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi

perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih,

direkomendasikan tidak lebih dari 1 kali minum per hari (Krummel

2004 dalam Asyiyah 2009). Namun akan lebih baik jika konsumsi

alkohol tidak dilakukan.

 Konsumsi kafein

Penelitian mengenai pengaruh kafein terhadap kejadian

hipertensi belum menunjukkan hasil yang konsisten. Beberapa

penelitian menunjukkan adanya pengaruh negatif antara konsumsi

kafein dengan kejadian hipertensi. Dua studi kohort yang dilakukan

selama 15 tahun pada 155.594 wanita berusia 30-35 tahun dari Nurses

Health Studies (NHSs), keduanya tidak menunjukkan hubungan linear


antara konsumsi kafein dengan risiko kejadian hipertensi. Namun

ditemukan adanya hubungan dengan pola invers U antara konsumsi

kopi dengan kejadian hipertensi (Whinkelmayer et al. 2005).

Kafein mempunyai sifat antagonis endogenous adenosin,

sehingga dapat menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan resistensi

pembuluh darah tepi. Namun, dosis yang digunakan dapat

mempengaruhi efek peningkatan tekanan darah. Seseorang yang biasa

minum kopi dengan dosis kecil mempunyai adaptasi yang rendah

terhadap efek kafein daripada orang yang biasa mengonsumsinya

dengan dosis besar (Uiterwaal et al. 2007).

E. Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan

keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak

ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,

neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut

saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya

norepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor

seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh

darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat

sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas

mengapa hal tersebut bisa terjadi (Brunner & Suddarth 2002).


Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang

pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga

terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla

adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks

adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat

respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan

penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin

merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi

angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang

sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi

natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra

vaskuler (Brunner & Suddarth 2002).

Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi. Untuk

pertimbangan gerontology. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem

pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang

terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya

elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh

darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya

regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang

kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh

jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curang jantung dan

peningkatan tahanan perifer (Brunner & Suddarth 2002).


F. Gejala Hipertensi

Menurut Lanny Sustrani (2004) gejala–gejala hipertensi antara lain

sakit kepala, Jantung berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau

mengangkat beban kerja, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah,

hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di malam hari telingga

berdering (tinnitus) dan dunia terasa berputar. Cara yang tepat untuk

meyakinkan seseorang memiliki tekanan darah tinggi adalah dengan

mengukur tekanan darahnya. Hipertensi yang sudah mencapai taraf lanjut,

yang berarti telah berlangsung beberapa tahun dapat menyebabkan sakit

kepala, pusing, napas pendek, pandangan mata kabur, dan gangguan tidur

(Puspita WR 2009).

G. Komplikasi Hipertensi

Menurut Tabrani (1995) dalam Puspita WR (2009) komplikasi

hipertensi antara lain:

Penyakit jantung

Darah tinggi dapat menimbulkan penyakit jantung karena jantung

harus memompa darah lebih kuat untuk mengatasi tekanan yang harus

dihadapi pada pemompaan jantung. Ada dua kelainan yang dapat terjadi

pada jantung yaitu: 1) kelainan pembuluh darah jantung, yaitu timbulnya

penyempitan pembuluh darah jantung yang disebut dengan penyakit

jantung koroner, 2) payah jantung, yaitu penyakit jantung yang

diakibatkan karena beban yang terlalu berat suatu waktu akan mengalami

kepayahan sehingga darah harus dipompakan oleh jantung terkumpul di


paru-paru dan menimbulkan sesak nafas yang hebat. Penyakit ini disebut

dengan kelemahan jantung sisi kiri.

Tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak (stroke)

Tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh

darah otak dapat menyebabkan terjadinya setengah lumpuh. Stroke dapat

timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embulus yang

terlepas dari pembuluh non- otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke

dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang

memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran

darah ke daerah–daerah yang diperdarahi berkurang.

Gagal ginjal

Kegagalan yang ditimbulkan terhadap ginjal adalah

tergangguanya pekerjaan pembuluh darah yang terdiri dari berjuta-juta

pembuluh darah halus. Bila terjadi kegagalan ginjal tidak dapat

mengeluarkan zat-zat yang harus dikeluarkan oleh tubuh misalnya ureum.

Kelainan mata

Darah tinggi juga dapat menimbulkan kelainan pada mata berupa

penyempitan pembuluh darah mata atau berkumpulnya cairan di sekitar

saraf mata. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan.

Diabetes mellitus

Diabetes melitus atau yang sering dikenal dengan penyakit

kencing manis merupakan gangguan pengolahan gula (glukosa) oleh tubuh

karena kekurangan insulin.


H. Diagnosa Hipertensi

Gofir (2002) dalam Puspita WR (2009) menyatakan bahwa tekanan

darah diukur setelah seseorang duduk atau berbaring selama lima menit.

Misalnya diperoleh angka 140/90 mmHg atau lebih dapat diartikan sebagai

hipertensi, tetapi diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu

kali pengukuran. Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang

tinggi maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak

dua kali pada dua hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi.

Tekanan darah diukur dengan menggunakan alat sphygmomanometer

(termometer) dan stetoskop.

Hasil pengukuran bukan hanya menentukan adanya tekanan darah

tinggi tetapi digunakan juga untuk menggolongkan beratnya hipertensi.

Setelah diagnosis ditegakkan dilakukan pemeriksaan terhadap organ utama

terutama pembuluh darah, jantung, otak dan ginjal. Pemeriksaan untuk

menentukan penyebab dari hipertensi terutama dilakukan pada penderita usia

muda. Pemeriksaan ini bisanya berupa rongent dan radioisotope ginjal,

rongent dada, serta pemeriksaan darah dan air kemih untuk hormon tertentu

(Gofir 2002 dalam Puspita WR 2009).

I. Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah

secara cepat dan seaman mungkin untuk menyelamatkan jiwa penderita.

Menurut Susialit (1995) dalam Puspita WR (2009), penatalaksanaan

hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis yaitu:

Penatalaksanaan non-farmakologis atau perubahan gaya hidup


Penatalaksanaan non-farmakologis berupa perubahan gaya hidup

yang menghindari faktor risiko terhadap timbulnya suatu penyakit seperti

merokok, minum alkohol, konsumsi garam berlebihan, hiperlipidema,

obesitas, olahraga yang tidak teratur dan stres.

Penatalaksanaan farmakologis atau dengan obat

Pada sebagian besar pasien pengobatan dimulai dengan dosis

kecil obat antihipertensi kemudian jika tidak ada kemajuan secara perlahan

dosisnya dinaikkan namun disesuaikan juga dengan umur, kebutuhan, dan

hasil pengobatan. Obat antihipertensi yang dipilih harus mempunyai efek

penurunan tekanan darah selama 24 jam dengan dosis sekali sehari.

Sebagai pengelompokan faktor risiko penyakit hipertensi berikut dengan

pengobatannya dalam tabel 3 berikut ini dipaparkan mengenai stratifikasi

risiko dan pengobatan hipertensi.

Tabel 3 Stratifikasi risiko dan pengobatan hipertensi

berdasarkan The Joint National Committee on Detection, Evaluation and

Treatment of High Blood Pressure (1997)

Derajat Hipertensi Kelompok Risiko Kelompok Risiko Kelompok Risiko


(mmHg) A (tidak ada faktor B (minimal 1 C
risiko, tidak ada faktor risiko, tidak (kerusakan organ
kerusakan organ termasuk diabetes, target dan atau
target) tidak ada diabetes, dengan
kerusakan organ atau tanpa faktor
target) risiko lain)
Normaltinggi Perubahan gaya Perubahan gaya Terapi obat
(130- Hidup Hidup
139/85-89)
Derajat 1 Perubahan gaya Perubahan gaya Terapi obat
(140- hidup (sampai 12 hidup (sampai 6
159/90-99) bulan) bulan)
Derajat 2 Terapi obat Terapi obat Terapi obat
dan 3 (≥
160/≥100)
Sumber: Gofir dkk (2002) dalam Puspita WR (2009)

J. Pencegahan Hipertensi

Hipertensi dapat dicegah dengan mengubah pola hidup terutama pada

lansia menjadi pola hidup sehat untuk memperbaiki derajat kesehatan.

Perubahan pola hidup sehat ini merupakan pengobatan non farmakologis

yang bertujuan menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang dapat

memperberat penyakitnya (Marlian L & S Tantan 2007).

Perubahan ini mencakup hal-hal berikut, yaitu: mengurangi asupan

garam, mengurangi berat badan pada penderita yang obesitas, melakukan

aktivitas fisik dan olahraga, mengurangi konsumsi makanan berlemak,

mengurangi/menghentikan kebiasaan merokok, menghindari/mengurangi

minuman beralkohol dan kafein, menghindari stres, menghindari pemakaian

obat-obatan yang dapat meningkatkan tekanan darah, mengontrol kadar gula

darah dan kolesterol bagi penderita hipertensi yang disertai dengan penyakit

kencing manis dan hiperkolestrolemia (Marlian L & S Tantan 2007).

K. Diet Hipertensi

Diet yang diberikan bagi pasien hipertensi adalah diet rendah garam

yang terbagi menjadi tiga yaitu: pertama, rendah garam I (200-400 mg Na)

untuk hipertensi berat dengan edema, dan asites. Kedua, rendah garam II

(600-800 mg Na) untuk hipertensi tidak terlalu berat dengan edema dan

asites. Ketiga, rendah garam III (1000-1200 mg Na) untuk hipertensi ringan

dengan edema. Makanan yang dianjurkan adalah sumber karbohidrat, sumber

protein nabati, sayuran, buah-buahan, lemak, dan bumbu yang diolah tanpa
garam dapur, sumber protein hewani seperti daging, ikan maksimal 100 g

sehari, dan telur maksimal 1 butir sehari, serta dilarang mengkonsumsi

minuman ringan (Almatsier 2005).


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hipertensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik

karena gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen

dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang

membutuhkannya. Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu

hipertensi sistolik dan hipertensi diastolik. Klasifikasi hipertensi menurut

sebabnya dibagi menjadi dua yaitu sekunder dan primer. Klasifikasi

hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi Benigna

dan hipertensi Maligna. Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia

adalah terjadinya perubahan-perubahan pada: Elastisitas dinding aorta

menurun. Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung

memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun,

kemampuan jantung memompa darah menurun, Kehilangan elastisitas

pembuluh darah, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

Faktor risiko hipertensi ada dua yaitu pertama, faktor risiko tidak

terkontrol (mayor) tersebut antara lain adalah kondisi fisiologis tubuh,

genetik, umur, dan jenis kelamin. Kedua, faktor risiko yang terkontrol

(minor) yaitu gaya hidup dan kebiasaan makan. Gaya hidup meliputi aktivitas

fisik, kebiasaan makan, kebiasaan merokok, dan stress. Sedangkan kebiasaan

makan antara lain adalah kebiasaan konsumsi buah dan sayur, makanan

manis, asin, berlemak, jeroan, makanan yang diawetkan, minuman

beralkohol, dan minuman berkafein.


Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan

keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.

Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan

vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang

dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi

yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan

rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian

diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada

gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini

menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

peningkatan volume intra vaskuler.

Gejala–gejala hipertensi antara lain sakit kepala, Jantung berdebar-

debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja,

mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering

buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus) dan dunia

terasa berputar. Komplikasi hipertensi antara lain penyakit jantung,

tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak (stroke), gagal ginjal, kelainan

mata, dan diabetes mellitus. Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan

hanya berdasarkan satu kali pengukuran. Pemeriksaan yang dilakukan


bisanya berupa rongent dan radioisotope ginjal, rongent dada, serta

pemeriksaan darah dan air kemih untuk hormon tertentu.

Penatalaksanaan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis

yaitu: penatalaksanaan non-farmakologis atau perubahan gaya hidup dan

Penatalaksanaan farmakologis atau dengan obat. Hipertensi dapat dicegah

dengan mengubah pola hidup terutama pada lansia menjadi pola hidup sehat

untuk memperbaiki derajat kesehatan. Diet yang diberikan bagi pasien

hipertensi adalah diet rendah garam yang terbagi menjadi tiga yaitu rendah

garam I, rendah garam II, dan rendah garam III. Makanan yang dianjurkan

adalah makanan tanpa garam dapur.

B. Saran

Untuk mengurangi risiko hipertensi pada lansia, hendaknya

mengurangi asupan garam, makanan berlemak, jeroan, makanan yang

diawetkan, minuman beralkohol dan berkafein, konsumsi rokok,

meningkatkan aktifitas olahraga, konsumsi sayur dan buah, serta memiliki

pola hidup sehat dengan sesekali menyempatkan diri untuk melakukan

refreshing. Upaya sosialisasi kepada masyarakat, terkait dengan faktor-faktor

risiko hipertensi hendaknya dilakukan secara terus-menerus baik oleh

pemerintah maupun instansi terkait untuk menurunkan kejadian hipertensi

yang merupakan salah satu penyakit yang memiliki risiko kematian tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2009. Empat belas masalah kesehatan utama pada lansia.


www.nurse87.wordpress.com [ 5 Oktober 2012].

Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Almatsier S. 2005. Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Arif Mansjoer dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius.

Arjatmo T, Hendra U. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit


FKUI.

Armilawati dkk. 2007. Hipertensi dan Faktor Risikonya dalam Kajian


Epidemiologi. Makassar: Bagian Epidemioogi FKM UNHAS.

Asep Pajario. 2002. Modifikasi gaya hidup. www. angelnet.info/index [14 Sep
2010].

Astawan M, Wahyuni M. 1987. Gizi dan Kesehatan Manula (Manusia Lansia).


Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.

[BPS]. 2004. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2004. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

Brunner, Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta: EGC.

[Depkes RI]. 2003. Pedoman Tata Laksana Gizi Lansia Untuk Tenaga Kesehatan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Hartono A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Ed-2. Jakarta: EGC.

Hull Alison. 1996. Penyakit Jantung, Hipertensi, dan Nutrisi. Jakarta : Bumi
Aksara.

Iman Soeharto. 2001. Kolesterol Dan Lemak Jahat, Kolesterol Dan Lemak Baik,
Dan Proses Terjadinya Serangan Jantung Dan Stroke. Jakarta:
Gramedia Pustaka utama.

Karyadi et al. 2002. Hidup Bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat, Jantung
Koroner. Jakarta: Intisari Mediatama.
Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi Untuk Kualitas Hidup. Jakarta: PT.
Grasindo.

Krisnatuti D, Yenrina R. 2005. Perencanaan Menu Bagi Penderita Jantung


Koroner. Jakarta: Trubus Agriwidya.

Lanny Sustrani dkk. 2004. Hipertensi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Purwati, Selimar, Rahayu S. 2002. Perencanaan Menu untuk Penderita Tekanan


Darah Tinggi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Robbin, Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II. Jakarta: EGC.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi-Institut Pertanian Bogor.

Supariasa et al.. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Smith, Tom. 1986. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Arcan

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Ed-3.


Monica Ester, editor. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai