Anda di halaman 1dari 32

ANEMIA DEFISIENSI BESI

I. Pendahuluan
Besi merupakan unsur penting yang ada di dalam tubuh dan memegang
peranan dalam berbagai fungsi tubuh, seperti perkembangan dan diferensiasi
sel, transport oksigen, transfer elektron, dan kofaktor berbagai enzim (Misal
peroxidase-generating enzymes, nitrous oxide generating enzymes). Status
besi di dalam tubuh bisa berupa kelebihan besi, defisiensi besi tanpa
manifestasi klinis, dan anemia defisiensi besi (Bhattacharya dan Satya, 2017).
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia yang
menyerang hampir 2 milyar orang di dunia. Anemia menempati peringkat
keempat di dunia atau sekitar 8,8% kejadian dari penyakit secara global.
Negara dengan prevalensi tertinggi adalah Afrika dan Asia Selatan. Penelitian
menyebutkan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh
rendahnya asupan besi menyerang hampir 40% balita, 30% pada wanita
menstruasi, dan 38% pada wanita hamil (Kassebaum et al., 2014). Menurut
World Health Organization (WHO), 30% anak usia 0-4 tahun menderita
anemia dan sekitar 48% anak usia 5-14 tahun menderita anemia. Pada negara
berkembang, prevalensi anemia defisiensi besi pada anak sekitar 15,2%-
62,5% 9 (Ozdemir, 2015).
Penyebab terbanyak anemia defisiensi besi pada negara berkembang di
antaranya disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang dan kehilangan darah
akibat infestasi parasit. Sedangkan pada negara maju, anemia defisiensi besi
disebabkan oleh kebiasaan makan (konsumsi vegetarian dan kurangnya
konsumsi daging merah), kondisi patologis seperti kehilangan darah karena
penyakit kronik atau pun malabsorbsi) (Pasricha et al., 2013).

II. Definisi
Defisiensi besi (Iron deficiency) merupakan penurunan penyimpanan besi
yang dapat berkembang menjadi anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi
besi merupakan kondisi yang lebih parah akibat rendahnya besi di dalam
tubuh yang berhubungan dengan anemia dan ditemukan sel darah merah
mikrositik hipokromik. Berikut merupakan terminologi yang digunakan
dalam memahami anemia defisiensi besi (Camaschella, 2015; Ozdemir,
2015),
A. Anemia karena penyakit kronik atau anemia karena inflamasi
Anemia yang berhubungan dengan peningkatan sitokin pro
inflamasi, peningkatan regulasi hepsidin, dan abnormalitas homeostasis
besi.
B. Functional Iron Deficiency
Insufisiensi erythroid iron yang diakibatkan oleh kebutuhan yang
meningkat setelah pemberian erythropoiesis-stimulating agents.
C. Iron Deficiency
Penurunan kadar besi di dalam tubuh, terutama pada penyimpanan
besi, dengan eryhroid iron yang normal. Defisiensi besi berkembang
tanpa adanya anemia, namun sudah terjadi perubahan pada jaringan. Jika
asupan besi turun, cadangan besi akan turun. Setelah cadangan besi turun,
kadar hemoglobin masih normal untuk sementara waktu, sehingga
dikategorikan sebagai defisiensi besi tanpa disertai dengan anemia. Pada
saat ini, hanya kadar ferritin dan transferrin saturation (TfS) yang
menurun.
D. Iron Deficiency Anemia
Penurunan cadangan besi di dalam tubuh yang menyebabkan
penurunan hemoglobin sehingga menimbulkan anemia.
E. Iron Refractory Iron Deficiency Anemia (IRIDA)
Anemia defisiensi besi yang tidak respon terhadap pemberian
terapi besi secara oral. Penyebab tersering disebabkan oleh mutasi
TMPRSS6, yakni gen yang mengkode protease transmemberan, serine 6
(matriptase-2).

III. Etiologi
Etiologi anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh peningkatan
kebutuhan besi yang meningkat, penurunan pengambilan besi, kehilangan
darah, obat-obatan, dan faktor genetik yang dapat dilihat pada Tabel 1. dan
Pada anak, etiologi anemia defisiensi besi dapat berupa permasalahan
gastrointestinal seperti ulkus peptikum, divertikulum meckel, polip,
hemangioma, inflammatory bowel disease, celiac disease, diare kronik,
infestasi parasit, dan pulmonary hemosiderosis. Penyebab anemia defisiensi
besi terbanyak pada anak adalah defisiensi nutrisi atau asupan nutrisi yang
rendah. Pada remaja, anemia defisiensi besi sering disebabkan oleh
pertumbuhan yang cepat dan penyakit Von-Willebrand. Pada wanita usia
reproduksi, penyebab anemia defsiensi besi terbanyak adalah karena
menstruasi. Sedangkan, penyebab anemia defisiensi besi pada pria dan wanita
post menopause adalah perdarahan pada sistem gastrointestinal (Camaschella,
2015; Jimenez et al, 2015).
Tabel 1. Etiologi Anemia Defisiensi Besi
Etiologi Keterangan
Peningkatan kebutuhan 1. Bayi
(Increased Demand) 2. Pertumbuhan yang cepat saat remaja,
3. Masa kehamilan (trimester 2 dan 3)
4. Wanita menyusui (laktasi)
5. Donor darah.
6. Iron-restricted erythropoietic, yakni
pemberian erythropoiesis stimulating agents
pada anemia karena penyakit kronik, chronic
kidney disease (CKD)

Penurunan Malabsorbsi:
Pengambilan Besi 1. Gastrectomy
(Diminished Iron 2. Duodenal bypass
Uptake) 3. Operasi bariatric,
4. Inflammatory bowel disease (Kolitis ulseratif
dan penyakit Chron)
5. Celiac disease
6. Infeksi Helicobacter pylori
7. Gastritis atrofi

Penyebab dietary:
1. Insufisiensi nutrisi (vegetarian, vegan,
kurangnya diet asupan besi)
2. Malnutrisi
3. Intake tinggi phytates, polyphenols
Kehilangan Darah Penyebab ginekologi, seperti,
(Blood Loss) 1. Menstruasi hebat
2. Meno(metro)ragia
Misalnya: pada mioma uteri, endometriosis,
gangguan perdarahan
3. Ca cerviks

Penyakit pada traktus gastrointestinal, seperti


1. Malignansi
2. Upper gastrointestinal
a. Esofagitis
b. Gastritis erosif
c. Varises esofagus
d. Ulkus gaster
e. Ulkus duodenal
f. Mallory-Weiss Syndrome
g. Angiodysplasia, vascular ectasia
h. Diulafoy lesions
i. Divertikulum Meckel
j. Cameron lesions
3. Lower gastrointestinal
a. Divertikulitis
b. Inflammatory bowel disease
c. Angiodysplasia
d. Hemoroid
e. Fissura analis
f. Infestasi cacing parasit

Penyebab karena hemolisis intravaskular


1. AIHA
2. Penyakit katup jantung
3. Hemolisis mikroangiopati

Penyebab karena systemic bleeding, seperti


1. Hereditary hemorrhagic telangiectasia
2. Schostosomiasis
3. Malaria
4. Munchausens’s Syndrome

Obat-obatan 1. Glukokortikoid
2. Asam salisilat
3. NSAID jangka panjang
4. Proton-pump inhibitor

Genetik 1. Iron refractory iron deficiency anemia


(IRIDA)
2. Idiopathic Pulmonary Hemosiderosis
(Camaschella, 2015; Jimenez et al, 2015).
IV. Patogenesis
Pria dan wanita dewasa mengandung 4.000 mg besi di dalam tubuhnya,
2.500 mg besi di dalam eritrosit, 1.000 mg tersimpan di dalam lien dan hepar,
sedangkan sisanya terdistribusi dalam mioglobin, sitokrom, dan ferroportin.
Namun, hanya sekitar 3 mg besi yang berikatan dengan protein transferrin
dan sekitar 1-2 mg besi diekskresikan setiap harinya melalui kulit, enterosit,
dan kehilangan darah (Camaschella, 2015). Pada saat periode intrauterine,
besi fetus bersumber dari plasenta. Pada akhir kehamilan, jumlah total besi
fetus sekitar 75 mg/kgBB.
Gambar 1 menggambarkan proses absorbsi besi yang terjadi pada
intestinum. Absorbsi besi merupakan suatu proses kompleks yang terjadi
pada intestinum yakni pada duodenum dan jejunum. Absorbsi besi pada
brush border enterosit melibatkan dua bentuk besi heme dan non heme (Fe2+
dan Fe3+). Pada pH asam di lambung, besi heme berdisosiasi dari
hemoprotein, sedangkan besi non heme tereduksi menjadi Fe2+ (Abramowski
et al., 2014).

Gambar 1. Proses Absorbsi Besi

Besi heme lebih mudah diabsorbsi dibandingkan dengan besi non heme.
Mayoritas besi heme diabsorbsi di intestinum bagian proksimal dan
kapasitasnya menurun pada intestinum bagian distal. Proses absorbsi besi
heme dan non heme ke enterosit terletak di membran apikal enterosit. Protein
spesifik yang membawa besi heme adalah hephaestin heme carrier protein
(HCP1). Besi non heme yang akan masuk ke dalam enterosit harus berupa
Fe2+, sehingga Fe3+ (ferric) akan tereduksi menjadi Fe2+ (ferrous) dengan
bantuan enzim ferric reductase melalui aktivitas sitokrom B dan STEAPS
(six transmembrane epithelial antigen of prostate protein). Fe2+ masuk ke
dalam enterosit melalui protein transporter divalent metal transporter
(DMT1) + (Abramowski et al., 2014).
Besi yang sudah masuk ke enterosit akan dibawa ke sirkulasi
menggunakan protein spesifik, yakni ferroportin (FPN1) yang terletak pada
membran basolateral enterosit. Ekspresi ferroportin diinduksi oleh besi dan
disupresi oleh hepsidin. Hepsidin yang berikatan dengan ferroportin akan
menyebabkan internalisasi yang diikuti dengan degradasi lisosom. Hal ini
tentunya mensupresi efluks besi dari enterosit atau pun makrofag sehingga
menyebabkan penurunan absorbsi besi pada enterosit. Setelah besi berikatan
dengan ferroportin, besi harus bertransformasi dari ferrous (Fe2+) menjadi
ferric (Fe3+) kembali dengan bantuan enzim ferroxidase, agar besi dapat
berikatan dengan protein transferrin (transferrin hanya dapat berikatan dengan
Fe3+). Transferrin merupakan suatu protein transporter besi di plasma. Besi-
transferin kemudian berikatan dengan transferrin receptor (Tfr1). Ikatan
tersebut menyebabkan internalisasi membentuk vesikel endosomal sehingga
terjadi pengeluaran besi dan kompleks Tf-Tfr1 pada permukaan sel. Pada pH
yang netral, Tf berdiosiasi dengan Tfr1 untuk memulai kembali siklus besi,
sedangkan Tfr1 berubah menjadi soluble form Tfr1 (sTfr1) menuju spatium
ekstraselular dan intraselular. Transferin dan sTfr1 dapat dijadikan indikator
diagnosis untuk iron-depleted eythropoiesis (Abramowski et al., 2014).
Kelebihan besi di dalam tubuh dalam menyebabkan toksisitas, sehingga
kelebihan besi akan disimpan di dalam sitoplasma dalam bentuk molekul
ferritin dengan bantuan protein polyRC binding protein 1. Setiap molekul
ferritin dapat mengikat hingga 4.500 atom besi. Ferritin juga memiliki sifat
enzimatik, yakni mengubah ferric menjadi ferrous. Serum ferritin juga dapat
dijadikan salah satu marker terhadap gangguan besi di dalam tubuh
(Abramowski et al., 2014).
Prekursor erythroid membutuhkan besi lebih banyak dibandingkan sel
mana pun di dalam tubuh. Transport besi ke dalam mitokondria difasilitasi
oleh mitoferrin-1 (mitochondrial iron transporter 1 of eythroid transporter).
Mitoferrin berinteraksi dengan ATP-binding transporter dan berikatan
dengan ferrochelatase untuk membentuk kompleks oligomeric, sehingga
terjadi peningkatan pengambilan besi dan biosintesis heme. Sel erythroid
mengandung mekanisme adaptasi saat terjadi defisiensi besi dan stres sel.
Saat terjadi defisiensi besi dan konsentrasi heme menurun, heme berdisosiasi
dari heme-regulated inhibitor kinase (HR1), menginduksi terjadinya
autofosforilasi dan fosforilasi alfa subunit pada translasi (Camashella, 2015).
Delesi gen ferroportin dapat menyebabkan blokade dalam absorbsi besi
sehingga menyebabkan akumulasi logam besi pada enterosit dan makrofag.
Selain itu, pada pasien dengan aceruloplasminemia juga terjadi anemia yang
berhubungan dengan gangguan pengangkutan besi. Pada gangguan neurologis
spesifik dapat terjadi gangguan pada gen ferritin (Camashella, 2015).

V. Patofisiologi
Defisiensi besi merupakan hasil jangka panjang akibat ketidakseimbangan
besi di dalam tubuh. Berbagai penyebab, seperti kebutuhan besi yang
meningkat, penurunan pengambilan besi, kehilangan darah, obat-obatan, dan
faktor genetik menyebabkan cadangan besi di dalam tubuh menurun. Hal ini
pada awalnya dikompensasi oleh supply besi melalui protein transport
apotransferin. Seiring berjalannya waktu, saturasi transferrin menurun dan
meningkatnya reseptor transferrin di dalam sirkulasi dan pada permukaan sel
(Bhattacharya dan Satya, 2017).
Efek anemia defisiensi besi bergantung pada keparahan anemia dan
penurunan kemampuan hemoglobin dalam mengikat oksigen, hal ini
digambarkan pada ilustrasi Gambar 2. Besi merupakan unsur yang esensial
untuk perkembangan dan maturasi sel. Saat terjadi defisiensi besi, maka
menginduksi terjadinya penurunan supply oksigen ke jaringan, sehingga
timbul gejala anemia seperti pucat, konjungtiva anemis, mudah lelah, lesu,
malaise, restless leg syndrome. Selain itu, efek anemia defisiensi besi terjadi
pada mukosa, seperti penurunan ketebalan epitel, atrofi dan penipisan
laminan propria, abnormalitas keratin, dan penurunan fungsi koenzim. Hal
tersebut dapat menyebabkan beberapa manifestasi klinis seperti koilonikia,
glossitis, angular stomatitis, Plummer Vinson Syndrome. Saat terjadi atrofil
epitel maka dapat terjadi perubahan pada gaya kinetik sel dan menurunkan
motilitas sel, seperti menurunkan motilitas pada gaster. Selain itu, besi
memiliki peran yang penting dalam pertahanan sel imun, membantu proses
perkembangan dan diferensiasi sel leukosit. Ribonucleotide reductase
merupakan enzim yang dependent terhadap besi, digunakan untuk sintesis
DNA pembentuk sel limfosit T. Oleh karena itu, saat terjadi anemia defisiensi
besi maka dapat menurunkan sistem imun di dalam tubuh sehingga
menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap infeksi patogen (Bhattacharya dan
Satya, 2017). Menurut penelitian, pada anemia defisiensi besi terjadi
penurunan reseptor dopamin dan mengganggu enzim-enzim yang berada pada
sistem saraf, sehingga manifestasi klinis yang ditimbulkan seperti gangguan
kognitif, gangguan motorik, gangguan mood, bahkan dapat menyebabkan
retardasi mental pada anak (Ozdemir, 2015).

Gambar 2. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi


VI. Penegakan Diagnosis
A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Tabel 2 menggambarkan manifestasi klinis yang terjadi pada
anemia defisiensi besi yang dapat mengenai berbagai sistem organ
(Ozdemir, 2015).
Tabel 2. Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi
Sistem Organ Keterangan
Kulit Pucat

Kuku Koilonychia (kuku sendok)

Sistem Muskuloskeletal Mudah lelah jika beraktivitas

Sistem Kardiovaskular Peningkatan cardiac output


Takikardia
Kardiomegali
Gagal jantung

Sistem Gastrointestinal Angular stomatitis

Atrofic glossitis

Penurunan berat badan


Pica
Disfagia
Gluten sensitive enteropathy
Plummer-Vinson Syndrome
Sistem Saraf Iritabilitas
Malaise
Papiledema
Paresis nervus 6
Restless leg syndrome
Gangguan tidur
Gangguan tumbuh kembang
Penurunan fungsi kognitif
Retardasi mental
(Ozdemir, 2015).
Selain itu, anamnesis dapat dibedakan menurut kategori usia, seperti
pada masa bayi dan anak-anak, wanita usia reproduksi, lelaki dewasa dan
wanita usia non reproduktif.
1. Bayi dan anak-anak
a. Riwayat antenatal care, intranatal, dan postnatal
b. Riwayat ASI, riwayat makanan pendamping ASI, riwayat
penggunaan susu formula
c. Riwayat imunisasi
d. Riwayat transfusi
e. Riwayat penyakit genetik
2. Wanita usia reproduksi
a. Riwayat menstruasi
b. Riwayat keputihan
c. Riwayat menikah
d. Riwayat penggunaan kontrasepsi
e. Riwayat laktasi
3. Dewasa
a. Riwayat nyeri pada perut
b. Riwayat BAB hitam, BAB berdarah
c. Riwayat muntah darah
d. Riwayat komorbid penyakit, misal hipertensi, DM, penyakit
jantung, penyakit ginjal
e. Riwayat penggunaan obat-obatan jangka panjang, Misal: NSAID,
proton pump inhibitor, asam salisilat
f. Riwayat pekerjaan
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Lab Darah
Gambar 3 menggambarkan algoritma pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk mendiagnosis anemia mikrositik. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan seperti darah lengkap (hemoglobin, mean corpuscular
hemoglobin, mean corpuscular volume, red blood cell distribution
width), serum iron, total iron binding capacity, transferrin saturation,
ferritin, gambaran darah tepi, dan bone marrow biopsy (Jimenez et al,
2015; Vranken, 2010).

Gambar 3. Algoritma Diagnosis Anemia Mikrositik


a. Hemoglobin
Menurut World Health Organization (WHO), anemia
dikategorikan saat Hb <13 g/dL pada pria dewasa, <12 g/dL pada
wanita dewasa yang tidak hamil, dan <11 g/dL pada wanita hamil
(Jimenez et al, 2015). Sedangkan, pada anak-anak kriteria anemia
dikategorikan berdasarkan usia dan jenis kelamin yang dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria Anemia pada Anak berdasarkan WHO
Kelompok berdasarkan usia dan Hemoglobin Hematokrit
jenis kelamin (g/dL) (%)
Anak usia 6-59 bulan 11 33
Anak usia 5-11 tahun 11,5 34
Anak usia 12-14 tahun 12 36
Anak perempuan usia >15 tahun 12 36
Anak laki-laki usia >15 tahun 13 39
(Ozdemir, 2015).
b. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpuscular
Volume (MCV)
Pada anemia defisiensi besi, MCV dan MCH turun,
sehingga menyebabkan gambaran anemia mikrositik hipokromik
(Thomas et al, 2013). Defisiensi nutrisi (Misal: Malabsorbi) atau
penggunaan thiopurine (Misal azathioprine pada IBD) dapat
menyebabkan kombinasi anemia defisiensi besi dan anemia
makrositik, sehingga menyebabkan anemia normositik (Jimenez et
al, 2015).
c. Red blood cell distribution width (RDW)
Red blood cell distribution width mengukur variasi ukuran
sel darah merah. Pada anemia defisiensi besi terjadi peningkatan
RDW >14. Namun, RDW normal pada anemia karena penyakit
kronik (Vranken, 2010).
d. Serum Iron
Serum iron menurun pada anemia defisiensi besi. Anemia
defisiensi besi dikategorikan jika serum iron <30 mcg/dL. Serum
iron memiliki variasi diurnal, di mana kadar serum iron memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi pada malam hari. Peningkatan serum
iron secara sementara dapat terjadi akibat ingesti daging merah
atau pun sumplementasi besi (Vranken, 2010).
e. Total Iron Binding Capacity (TIBC)
TIBC merupakan kemampuan unsaturated transferrin,
dalam mengikat besi. Pada anemia defisiensi besi, TIBC
meningkat, sedangkan pada anemia karena penyakit kronik TIBC
menurun. Pada anemia defisiensi besi TIBC meningkat >480
mcg/dL (Vranken, 2010).
f. Transferrin saturation (TfS)
Transferrin saturation adalah persentase serum iron/TIBC x
100. TfS di bawah 20% mengindikasikan terjadinya anemia
defisiensi besi, namun pada penelitian lain <16% (Vranken, 2010;
Ozlemir, 2015).
g. Ferritin
Ferritin merupakan kompleks besi yang berikatan dengan
protein apoferritin, Ferritin menggambarkan penyimpanan besi.
Kadar ferritin 15 ng/mL (15 mcg/L) pada orang sehat
mengindikasikan terjadinya anemia defisiensi besi, sedangkan
pada pasien dengan inflamasi kronik kadar ferritin 50 ng mL (50
mcg per L) baru menggambarkan anemia defisiensi besi. Kadar
ferritin dapat meningkat pada keadaan inflamasi kronik, CHF,
CKD, dan keganasan. Kadar ferritin >100 ng/mL tidak
menggambarkan anemia defisiensi besi (Vranken, 2010).

2. Gambaran Darah Tepi


Gambar 4 menunjukkan gambaran anemia mikrositik hipokromik
pada gambaran darah tepi. Gambar 5, 6, 7 menunjukkan gambaran
khas anemia defisiensi besi berupa sel mikrositik hipokromik dan
gambaran sel target, sel tear drop, dan sel pensil (Adewoyin dan
Nwogoh, 2014).
Gambar 4.
Anemia Mikrositik Hipokromik pada Gambaran Darah Tepi

Gambar 5 Gambar 6
Gambaran Darah Tepi Sel Target pada Gambaran Darah Tepi Sel Tear Drop
pada Anemia Defisiensi Besi pada Anemia Defisiensi Besi

Gambar 7.
Gambaran Darah Tepi Sel Pensil pada Anemia Defisiensi Besi
Tabel 4 menunjukkan abnormalitas bentuk sel berdasarkan
penyakit yang ditimbulkan. Gambaran khas pada anemia defisiensi
besi berupa sel target, sel tear drop, sel pensil (Adewoyin dan
Nwogoh, 2014).
Tabel 4. Abnormalitas Bentuk Sel pada Gambaran Darah Tepi
Bentuk Sel Differential Diagnosis
Sickled red cells Sickle cell syndrome
(drepanocytes)

Sel target (codocytes, Sickle cell disease, thalassemia, anemia


mexican hat cells) defisiensi besi, kolestasis, asplenia

Sel fragmentosit Thrombotic micro-angiopathic haemolytic,


(schistosit, sel helmet, misal disseminated intravascular
keratosit) coagulopathy (DIC), idiopathic
trombositopenia purpura, haemolytic
uraemic syndrome

Sel burr (echinocytes, Uraemia, malnutrisi


crenated red cells)

Sel spurr (acanthocytes) Penyakit hati, renal failure,


abetalipoproteinemia, spurr cell anemia,
defisiensi piruvat kinase

Sel tear drop Myelofibrosis, extramedullary


haemopoiesis, anemia defisiensi berat,
anemia megaloblastik, thalassemia,
myelodisplastic syndrome (MDS)

Sel bites (dacrocytes) Defisiensi enzim G6PD, stres oksidatif,


congenital heinz body anemia

Sel pensil Anemia defisiensi besi

Stomatosit Penyakit hati, alkoholism, penyakit paru


obstruktif

Elliptosit Hereditary elliptocytes

Sel basket (half ghost Stres oksidatif, defisiensi enzim G6PD,


cells, blister cells) unstable hemoglobin

Sferosit Hereditary spherocytes, inkompatibilitas


ABO, AIHA (warm antibody type)
(Adewoyin dan Nwogoh, 2014).
3. Bone Marrow Biopsy
Bone marrow biopsy digunakan untuk mengidentifikasi anemia
sideroblastik. Anemia sideroblastik didiagnosis menggunakan biopsi
sumsum tulang (bone marrow biopsy) ketika ≥15% sumsum tulang
berisi cincin sideroblastik (Bhandari et al, 2016).
.
4. Pemeriksaan Penunjang untuk mengetahui underlying disease
a. Pemeriksaan Coomb Test
b. Pemeriksaan Hb elektroforesis
c. Pemeriksaan Feses
d. Pemeriksaan Urinalisis
e. Pemeriksaan Ureum, Kreatinin
f. Pemeriksaan Fungsi Hati
g. Pemeriksaan Foto thoraks
h. Pemeriksaan Ultrasonography
i. Pemeriksaan Endoskopi
j. Pemeriksaan Kolonoskopi
k. Pemeriksaan CT scan
l. Pemeriksaan Ekokardiografi

VII. Differential Diagnosis


Anemia mikrositik didefinisikan saat mean corpuscular volume (MCV)
<80 µm3 (80 fL). Penyebab anemia mikrositik berdasarkan kategori usia
dapat dilihat pada Tabel 5 (Vranken, 2010).
Tabel 5. Differential Diagnosis Penyebab Anemia Mikrositik berdasarkan
Kategori Usia
Anak-anak Wanita Usia Pria dan Wanita
Reproduksi Non-Menstruasi
1. Anemia defisiensi 1. Anemia defisiensi 1. Anemia defisiensi
besi besi besi
2. Thalassemia 2. Thalassemia 2. Anemia karena
3. Hemoglobinopathy 3. Kehamilan penyakit kronik
4. Tokisistas Timbal 4. Anemia karena 3. Thalassemia
5. Inflamasi kronik penyakit kronik
6. Anemia sideroblastik 5. Anemia sideroblastik
(Vranken, 2010).
Tabel 6 menggambarkan pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk mendiagnosis anemia mikrositik. Penyebab anemia
mikrositik antara lain adalah anemia defisiensi besi, anemia karena
penyakit kronik, toksisitas timbal, anemia sideroblastik, dan thalassemia.
Tabel 6. Pemeriksaan Penunjang sebagai Indikator Penyebab
Anemia Mikrositik
Diagnosis
Test Anemia Anemia karena Anemia
Thalassemia
defisiensi besi penyakit kronik sideroblastik
Serum ferritin Menurun Meningkat Normal - Normal -
Meningkat Meningkat
RDW Meningkat Normal - Normal Meningkat
Meningkat
Serum iron Menurun Normal - Normal - Normal –
Meningkat Menurun Meningkat
TIBC Meningkat Normal Menurun Normal
Saturasi Menurun Normal - Normal - Normal -
Trasnferrin Meningkat Menurun Meningkat
(Vranken, 2010).

Thalassemia β merupakan penyakit genetik autosomal resesif yang


ditandai dengan berkurangnya produksi rantai β globin. Pasien dengan
thalassemia β memiliki anemia sedang (Hb <9,3 g/dL). Kadar MCV biasanya
lebih rendah dibandingkan anemia defisiensi besi. Pemeriksaan Hb
elektroforesis perlu dilakukan. Pada pasien dengan thalassemia terjadi
peningkatan HbA2. Thalassemia α disebabkan oleh berkurangnya produksi
rantai α globin. Produksi rantai α globin dikontrol oleh 4 gene pada kedua
kromosom, delese sebuah gen menghasilkan status silent carrier pada pasien.
Namun, delesi kedua gen dapat menimbulkan manifestasi klinis mikrositosis
tanpa anemia. Pada pemeriksaan Hb elektroforesis seringkali hasil normal
(Vranken, 2010).
Anemia karena penyakit kronik dapat disebabkan oleh inflamasi atau pun
infeksi kronik. Peningkatan sitokin pro inflamasi menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin, penurunan respon terhadap eritropoietin, dan
mempengaruhi metabolisme besi. Walaupun anemia karena penyakit kronik
biasanya menimbulkan anemia normositik, namun hampir 1/3 kasus
menggambarkan anemia mikrositik. Pada anemia karena penyakit kronik
ditandai oleh penurunan serum besi, peningkatan ferritin, dan penurunan
TIBC (Vranken, 2010).
Anemia sideroblastik merupakan anemia yang ditandai oleh cincin
sideroblast pada sumsum tulang, eritropoiesis yang tidak efektif, dan
peningkatan besi pada jaringan. Anemia sideroblastik ditandai oleh gambaran
eritrosit hipokromik pada pemeriksaan gambaran darah tepi. Anemia
sideroblastik didiagnosis menggunakan biopsi sumsum tulang (bone marrow
biopsy) ketika ≥15% sumsum tulang berisi cincin sideroblastik (Bhandari et
al, 2016).

VIII. Tatalaksana
A. Farmakologis
1. Oral Iron Therapy
Pemberian dosis besi elemental pada dewasa sebesar 100-
200 mg per hari, sedangkan pada anak dosis pemberian besi
elemental 3-6 mg/kgBB. Besi elemental yang diberikan dapat
berupa ferrous sulfate, ferrous gluconate, dan ferrous fumarat.
Preparat besi elemental dapat dilihat pada tabel (Jimenez et al,
2015; Sharma dan Meenakshi, 2010). Terapi oral diberikan selama
3-6 bulan untuk mengganti penyimpanan besi dan menormalkan
kadar ferritin serum (Camaschella, 2015). Preparat besi yang
paling sering digunakan adalah ferrous sulphate karena memiliki
bioavaibilitas yang tinggi (Ozlemir, 2015).
Tabel 7. Preparat Besi Secara Oral
Preparat Besi Elemental Iron (mg)
Ferrous fumarate 65 mg
Ferrous gluconate 35 mg
Ferrous glycine sulphate 45 mg
Ferrous succinate 35 mg
Ferrous sulphate 60 mg
Ferrous sulphate dried 65 mg
(Sharma dan Meenakshi, 2010).
Pemberian suplementasi besi secara oral efektif bila
pengambilan besi pada intestinal baik. Efikasi pemberian besi
secara oral berkurang ketika terjadi permasalahan pada absorbsi
besi di intestinal (Misal, celiac disease, autoimmune gastritis,
anemia karena penyakit kronik, post gastric atau pun duodenal
resection), kehilangan darah yang banyak (Misal: menorhagia,
perdarahan gastrointestinal, atau pun post-surgery). Tabel 8
menggambarkan keuntungan dan kerugian pemakaian
suplementasi besi secara oral (Jimenez et al, 2015).
Tabel 8. Keuntungan dan Kerugian Suplementasi Besi secara Oral
Keuntungan Kerugian
1. Mudah untuk diberikan 1. Efikasi obat berkurang saat
2. Tidak mahal terdapat gangguan pada
3. Pemberian efektif jika absorbsi besi di intestinal
absorbsi besi pada 2. Efek samping gastrointestinal
intestinal tidak mengalami yang ditimbulkan dapat
gangguan mempengaruhi dosis obat yang
diberikan (Misal, mual, muntah,
nyeri perut, konstipasi)
3. Iritasi pada lapisan mukosa
(Jimenez et al, 2015).
Pemberian suplementasi besi dibatasi pada pasien dengan
anemia ringan (Hb 11,0-11,9 g/dL pada wanita tidak hamil dan Hb
11,0-11,9 g/dL pada pria) karena penggantian besi berjalan lambat.
Ketika penggantian besi dibutuhkan dalam waktu yang cepat, maka
suplementasi besi secara parenteral lebih dianjurkan. Respon
pemberian terapi dimonitoring melalui peningkatan kadar Hb 2
g/dL selama 4-8 minggu. Jika kadar Hb tidak respon dalam rentang
waktu pemberian terapi, modifikasi terapi perlu dilakukan (Misal:
pemberian suplementasi besi secara parenteral) dan identifikasi
etiologi utamanya (Jimenez et al, 2015).
Efek jangka panjang pemberian besi di antaraya mual,
muntah, konstipasi, dan BAB hitam. Penelitian menujukkan bahwa
salah beberapa parameter evaluasi terapi pemberian besi secara
oral adalah dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, retikulosit, dan
hepsidin serum. Jika terapi besi oral berhasil maka terjadi
penurunan kadar hepsidin serum, namun jika pasien tidak respon
terhadap pemberian besi secara oral, kadar hepsidin serum
cenderung normal atau meningkat (Camaschella, 2015).

2. Parenteral Iron Therapy


Pemberian suplementasi besi secara parenteral merupakan terapi
efektif pada anemia defisiensi besi dan dapat diberikan ketika
terapi besi secara oral tidak respond. Indikasi pemberian terapi besi
secara parenteral dapat dilihat pada Tabel 9 (Camaschella, 2015).
.
Tabel 9. Indikasi Parenteral Iron Therapy
Indikasi Keterangan
Established Terapi besi secara oral tidak respon.
Indication Iron Refractory Iron Deficiency Anemia (IRIDA),
misalnya pasca gastrectomy atau pun duodenal bypass,
infeksi Helicobacter pylori, celiac disease, gastritis
atrofi, inflammatory bowel disease, atau pun IRIDA
secara genetik.
Pasien membutuhkan koreksi anemia secara cepat,
misalnya anemia defisiensi besi berat saat kehamilan
trimester dua dan tiga, perdarahan kronik yang tidak
membaik dengan terapi besi secara oral, dan pada
pasien dengan kelainan koagulasi kongenital (Misal:
hereditary hemorrhagic telangiectasia).
Pasien dengan pemberian erythropoiesis-stimulating
agents pada chronic kidney disease

Potential Anemia pada chronic kidney disease (tanpa pemberian


Indication erythropoiesis-stimulating agents dan menerima
hemodialisa)

Anemia persisten setelah pemberian erythropoiesis-


stimulating agents pada pasien kanker yang melakukan
kemoterapi atau pun pada pasien dengan low risk
myelodisplastic syndrome (MDS)
Anemia karena penyakit kronik yang tidak respon
terhadap pemberian erythropoiesis-stimulating agents
Potential
Indication with Defisiensi besi pada pasien dengan gagal jantung
Insufficient Strategi transfusion-sparing pada pasien dengan
Supporting tindakan pembedahan
Data
(Camaschella, 2015).
Dosis pemberian besi parenteral dahulu menggunakan formula
Ganzoni, yakni total iron deficit in mg = (berat badan dalam
kilogram x (targer Hb – actual Hb dalam g/dL) x 0,24) + 500.
Namun, formula ini dinilai kurang representatif, sehingga
FERGICOR (FER Inject in GI Disorder to Correct Iron
Deficiency) merekomendasikan dosis pemberian besi parenteral
menggunakan parameter hemoglobin dan berat badan yang dapat
dilihat pada Tabel 10 (Jimenez et al, 2015).
Tabel 10. Estimasi Kebutuhan Total Besi
Dosis untuk Dosis untuk
Derajat Kadar Hb
berat badan berat badan
Anemia (g/dL)
<70kg (mg) >70kg (mg)
Tidak Normal 500 1.000
anemia
Sedang 10-12 (wanita) 1.000 1.500
10-13 (pria)
Berat 7-10 1.500 2.000
Krisis <7 2.000 2.500
(Jimenez et al, 2015).
Ketika besi yang dibutuhkan banyak maka preparat ferric
carbocymaltose dan low-molecular iron dextra dapat digunakan.
Preparat lain yang dapat digunakan dapat dilihat pada Tabel 11.
Evaluasi kadar ferritin dilihat setelah 8-12 minggu pemberian terapi.
TfS >50% merupakan indikator iron overload. Oleh karena itu, terapi
kemudian dapat dimodifikasi kembali. Kadar Hb seharusnya naik 2
g/dL dalam 4-8 minggu setelah diberikan terapi suplementasi besi
parenteral. Pasien yang tidak respon terhadap pemberian besi secara
parenteral (Misal pada pasien anemia karena penyakit kronik)
sebaiknya ditambahkan pemberian erythropoiesis stimulating agent.
Ketika pemberian erythropoiesis stimulating agent digunakan, maka
target Hb ≥12 g/dL (Jimenez et al, 2015).
Tabel 11. Preparat Besi Parenteral
Formulasi Besi Dosis Test Dosis Per Sesi Pemberian
High-molecular- 25 mg (0,5 mL) 100 mg besi secara IV, ≤50
weight iron dextran selama 5 menit, mg/menit
monitoring 1 jam
Low-molecular- 25 mg (0,5 mL) 100 mg besi secara IV, ≤50
weight iron dextran selama 30 detik, mg/menit
monitoring 1 jam
Ferric Tidak 750 mg besi secara IV, 100
carboxymaltose mg/menit atau pemberian melalui
infus selama 15 menit.
Ferumoxytol Tidak 510 mg besi secara IV, 30
mg/detik atau melalui infus
selama 15 menit
Iron Sucrose Tidak 100-200 mg secara IV selama 205
menit atau melalui infus selama
15 menit
Sodium ferric Tidak 62,5-125 mg secara IV, 12,5
gluconate complex mg/menit melalui infus selama 1
jam

(Jimenez et al, 2015).


Efek samping suplementasi besi parenteral antara lain mual, muntah,
pruritus, flushing, mialgia, atralgia, nyeri dada, nyeri punggung. Reaksi
hipersensitivitas jarang terjadi. Efek samping yang serius ditimbulkan saat
pemberian suplementasi besi parenteral menggunakan dextran yang
disebabkan oleh high-molecular-weight iron dextran (HMWID) (Jimenez
et al, 2015). Faktor predisposisi terjadinya reaksi hipersensitivitas antara
lain infus secara cepat, riwayat atopi, dan alergi terhadap obat.
Penggunaan premedikasi dengan antihistamin tidak dianjurkan
dikarenakan dapat memicu terjadinya hipotensi dan takikardia. Tabel 12
menggambarkan keuntungan dan kerugian suplementasi besi secara
parenteral (Camaschella, 2015).
Tabel 12. Keuntungan dan Kerugian Suplementasi Besi secara Parenteral
Keuntungan Kerugian
Penggantian besi secara cepat Memerlukan petugas kesehatan
Aman jika dosis yang digunakan Dapat menimbulkan kadar besi
sesuai dan penggunaan dextran yang terlalu banyak dan
dengan berat molekul tinggi meningkatkan stres oksidatif
dihindarkan Potensial menimbulkan reaksi syok
Pemberian masih efektif bila anafilaktik saat menggunakan
terdapat gangguan pada absorbsi preparat dextran
besi di intestinal
(Camaschella, 2015).
3. Iron Amino Acid Chelates
Penelitian terbaru menemukan preparat besi dengan asama
amino, seperti iron polymaltose complex (IPC) dan iron
hydroxidase. IPC dan iron hydroxidase merupakan kompleks non-
ionic iron yang stabil. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan
dan susu. Pemberian bisa diberikan bersamaan dengan makanan
(Sharma dan Meenakshi, 2010).

4. Transfusi Darah
Transfusi darah sebaiknya diminimalisir pada kasus anemia
defisiensi besi karena penyakit kronik. Transfusi darah diberikan
pada pasien dengan perdarahan aktif, hemodinamik tidak stabil,
pasien dengan anemia gravis (Hb <7 g/dL), acute myocardial
ischemia, atau pun jika terapi yang diberikan gagal untuk
mengkoreksi anemia. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
cut off Hb adalah <8 g/dL. Transfusi darah merupakan solusi yang
sementara dan perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut dalam
memberikan tatalaksana sesuai dengan etiologi yang terjadi.
Pemberian besi secara parenteral dan erythropoiesis agent dapat
ditambahkan secara bersamaan untuk mengkoreksi dan menjaga
kadar Hb (Jimenez et al, 2015).
.
5. Pemberian Erythropoietin Stimulating Agents (Epover)
Pemberian erythropoietin stimulating agents (Epover) dapat
diberikan secara subkutan atau pun intravena dengan dosis
pemberian 100-150 IU/kgBB. Obat-obatan seperti adrenalin,
hidrokortison, dan oksigen harus disiapkan untuk mengantisipasi
efek samping yang ditimbulkan (Sharma dan Meenakshi, 2010).

6. Identifikasi dan Tatalaksana berdasarkan Etiologi


Algoritma tatalaksana anemia defisiensi besi dapat dilihat pada
Gambar 8.

Gambar 8. Algoritma Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi

Beberapa tatalaksana Anemia Defisiensi Besi berdasarkan etiologi:


a. Kehamilan
Saat kehamilan, sekitar 1.000 mg besi dibutuhkan. 500-
600 mg untuk pembentukan sel darah merah, 300 mg untuk
fetus dan plasenta, dan sisanya untuk perkembangan uterus
(Sharma dan Meenakshi, 2010). Suplementasi besi secara
adekuat pada saat kehamilan dapat mencegah komplikasi
kehamilan bagi maternal dan fetal. Komplikasi pada maternal
seperti lemah, letih, lesu, takikardia, gagal jantung,
preekelampsia, sepsis, partus prematurus imminens, dan
abortus spontan. Sedangkan komplikasi pada fetal kelahiran
prematur dan kecil masa kehamilan (Jimenez et al, 2015;
Sharma dan Meenakshi, 2010).
Pemberian suplementasi besi pada ibu hamil semenjak
trimester kedua dan diberikan selama 3 bulan. Dosis besi
diberikan 60 mg per hari untuk terapi profilaksis. Namun, saat
wanita hamil sudah didiagnosis anemia, maka dosis ferrous
sulfat dapat diberikan 120-180 mg per hari. Jika pemberian
suplementasi besi oral pada kehamilan menimbulkan efek
samping seperti mual dan muntah, maka dapat diberikan
suplementasi besi secara parenteral (Jimenez et al, 2015).
Selain pemberian suplementasi besi pada ibu hamil, maka
diperbikan juga suplementasi asam folat 500 mg per hari. Asam
folat berfungsi untuk mencegah defek pada neural tube
(Sharma dan Meenakshi, 2010).

b. Anak-anak
Dosis pemberian suplementasi pada anak 3-6 mg/kgBB.
Beberapa buku dan literatur menyebutkan dosis yang berbeda,
seperti pada Nathan and Oski’s hematology textbook
menyebutkan dosis 3 mg/kgBB. Lanzkowsky’s Pediatric
Hematology Oncology textbook 4,56 mg/kgBB/hari, dan
William’s hematology textbook 6 mg/kgBB/hari. Sediaan
preparat besi yang tersedia bagi anak, yakni bentuk drop dan
suspensi, misalnya Ferrosanol 1 drop=1 mg, 1 sendok
mengandung 20 mg besi elemental. Selain itu, tersedia dalam
bentuk pil yang mengandung 40 mg besi elemental, dan kapsul
yang mengandung 100 mg besi elemental (Ozlemir, 2015).
Terapi pemberian besi intravena pada anak diberikan
saat pemberian terapi besi oral tidak respon, membutuhkan
penggantian besi secara cepat, dan terdapat gangguan pada
penyerapan besi di dalam tubuh. Pemberian yang sering
digunakan adalah iron sucrose. Dosis minimal yang diberikan
0,15 mL/kgBB = 3 mg/kgBB, dosis maksimal yang diberikan
0,35 mL/kg BB = 7 mg/kgBB (Ozlemir, 2015).

c. Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal merupakan penyebab
terbanyak terjadinya anemia defisiensi besi pada pria dan
wanita post-menopausal, sedangkan pada wanita
premenopausal merupakan penyebab kedua setelah penyebab
menstrual blood loss. Pada pasien yang memenuhi kriteria high
risk terhadap terjadinya perdarahan gastrointestinal (>50 tahun,
riwayat keluarga mengalami keganasan gastrointestinal, gejala
gastrointestinal, Hb <10 g/dL), maka dapat diberikan
suplementasi besi secara oral. Jika perdarahan lebih berat,
maka dapat diberikan terapi besi secara parenteral dan
dilakukan pemeriksaan penunjang non invasif (Misal skrining
untuk penyakit celiac disease, infeksi Helicobacter pylori,
autoimmune atrophic gastritis) atau pun pemeriksaan
penunjang seperti esophagogastroduodenoscopy (EGD),
endoskopi, atau pun kolonoskopi. Jika tidak ada kriteria yang
memenuhi perdarahan gastrointestinal maka diperlukan
evaluasi ulang 4-8 minggu setelah pemberian terapi. Pemberian
suplementasi besi secara parenteral dapat diberikan jika terapi
inisasi tidak menunjukan respon yang baik (Jimenez et al,
2015).
d. Perdarahan Menorrhagia (Heavy Menstrual Bleeding)
Menorrhagia menyerang sekitar 30% wanita usia
reproduksi. Anamnesis terkait permasalahan ginekologi harus
digali, seperti lama waktu haid, banyaknya darah haid,
frekuensi haid dalam tiap bulan, adakah perdarahan di luar
masa haid, serta faktor predisposisi yang mendukung (Jimenez
et al, 2015).

e. Infestasi Parasit
Infestasi cacing parasit dapat diobati dengan
memberikan albendazol 400 mg atau pun mebendazol 100 mg
(Sharma dan Meenakshi, 2010).

f. Karsinogenesis
Homeostasis besi diregulasi secara ketat untuk
mencegah terjadinya kerusakan redox oleh free ion. Fe2+ yang
bebas dapat berikatan dengan hydrogen peroxide (H2O2) untuk
membentuk reactive hydroxyl radicals (Reaksi Fenton).
Hydroxyl radicals dapat bereaksi dengan berbagai molekul dan
merusakan nukleotida dan rantai DNA. Menurut penelitian,
tingginya kadar TfS dan intake iron dapat meningkatkan risiko
terjadinya kanker.penelitian lain juga menunjukkam terhadap
hubungan tingginya konsumsi daging merah dengan kejadian
kanker colorectal. Pemakaian suplementasi besi secara oral
(terutama ferrous sulfate) dan suplementasi besi secara
parenteral (terutama iron sucrose dan irone gluconate) dapat
meningkatkan stres oksidatif. Namun, beberapa penelitian lain
juga menunjukan bahwa pemakaian suplementasi besi jangka
panjang dengan peningkatan risiko kejadian karsinogenesis
masih belum jelas. Walau bagaimana pun, pemakaian
suplementasi besi sebaiknya dibatasi untuk mencegah iron
oversupply (Jimenez et al, 2015)..
B. Non Farmakologis
1. Diet yang mengandung komponen besi.
Sumber besi heme dapat didapatkan pada daging merah,
ikan, telur. Sedangkan sumber besi non heme dapat didapatkan
pada sayuran, seperti bayam, daun mustard, tauge, dan lobak.
Saat memasak, hindari memasak yang terlalu lama (Sharma dan
Meenakshi, 2010; Ozlemir, 2015).
2. Diet yang mengandung asam askorbat (Ascorbic acid)
Asam ascorbat dapat meningkatkan absorbsi besi lama
(Sharma dan Meenakshi, 2010; Ozlemir, 2015).
3. Mengoptimalkan ASI
Mengoptimalkan ASI untuk bayi pada usia 6 bulan
pertama. Menurut penelitian, pemberian makanan pendamping
ASI pada bayi di usia 6 bulan pertama dapat menurunkan proses
absorbsi besi. Menurut WHO, makanan pendamping ASI
(MPASI) sebaiknya diberikan pada saat usia di atas 6 bulan,
dengan memberikan makanan yang mengandung besi, zink,
fosfor, magnesium, kalsium, vitamin B6, vitamin C, seperti
daging, ikan, telur. Selain itu, pemberian susu sapi pada bayi
pada awal kelahiran berhubungan dengan heat-sensitive
terhadap susu sapi dan dapat menurunkan kadar besi.
Penyerapan besi pada susu sapi lebih lambat dibandingkan
dengan ASI (Ozlemir, 2015)..
4. Iron Biofortification
Iron biofortification yang dilakukan antara lain high-iron
rice menggunakan pendekatan transgenik. High iron rice
dengan menambahkan gen soybean ferritin di bawah kontrol
endosperm-spesific glutelin untuk meningkatkan kandungan
besi (Sharma dan Meenakshi, 2010).
5. Kurangi diet yang mengandung plant-derived phytates dan
tannin.
Sereal yang mengandung phytates dan teh yang
mengandung tannin dapat menurunkan absorbsi besi (Sharma
dan Meenakshi, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Abramowski, S.W., Gerard, W., Christoph, G., Andreas, B., Beat, M,F., Bernand,
F., et al. 2014. Physiology of Iron Metabolism. Transfusion Medicine and
Hemotheraphy. Volume: 213-221.
Bhandari, P., Hamal, R., Shrestha, A., Shrivastav, S. 2016. Sideroblastic Anemia.
Journal of Pathology of Nepal. Volume 6: 959-961.
Bhattacjarya, P.T., Satya, R.M. 2017. Effects of Iron Deficiency on the
Oropharyngeal Rehion: Signs, Symptomps, and Biological Changes.
Research Gate.
Adewoyin, A.S. Nwogoh. 2014. Peripheral Blood Film – a Review. Annals of
Ibadan Postgraduate Medicine. Volume 12(2).
Camashella, C. 2015. Iron Deficiency Anemia. The New England Journal of
Medicine. Volume 372: 1832-1843.
Jimenez, K., Stefanie, K.D., Christoph, G. 2015. Management of Iron Deficiency
Anemia. Gastroenterology and Hepatology. Volume 11(4).
Kassebaum.N.J, Jasrasaria, R., Naghavi M., Wulf, S.K., Johns, N., Lozano, R., et
al. 2014. A Sytematic Analysis of Global Anemia Burden from 1990-2010.
Pubmed. Volume 123(5): 615-624.
Ozdemir, N. 2015. Iron Deficiency Anemia from Diagnosis to Treatment in
Children. Turk Pediatri Arsivi. Volume 50: 11-19.
Pasricha, S.R., Drakesmith, H., Black, J., Hipgrave, D., Biggs, B.A. 2013. Control
of Iron Deficiency Anemia in Low and Middle Income Countries. Pubmed.
Volume 121(14): 2607-2617.
Sharma, J.B., Meenakshi, S. 2010. Anemia in Pregnancy. Journal of India
Institute of Medical Science. Volume 23(4).
Thomas, D.W., Rod, F.H., Carol, B., Iain, C.M., Tim, L., Ivor, C. 2013. Guideline
for the Laboratory Diagnosis of Functional Iron Deficiency. British Journal
of Haematology. Volume 161(5): 639-648.
Vranken, M.V. 2010. Evaluation of Microcytosis. American Family Physician.
82(9).
PRESENTASI KASUS BESAR

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Diajukan kepada:
dr. Wahyu Djatmiko, Sp.Pd (K) HOM

Disusun oleh:
Rahmatika Gita Pratiwi
G4A017057

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS BESAR


ANEMIA DEFISIENSI BESI

Disusun oleh:
Rahmatika Gita Pratiwi
G4A017057

Telah dipresentasikan pada tanggal


20 Oktober 2018

Pembimbing,

dr. Wahyu Djatmiko, Sp.Pd (K) HOM


NIP. 19700419 200801 1 006

Anda mungkin juga menyukai