Anda di halaman 1dari 4

Dilema UMP

Apakah penerapan mekanisme pasar harus selalu dipandang sebagai sikap ketidakberpihakan
terhadap rakyat kecil ?

NAMA : I Gede Bagus Weda Anggaditya


NIM : 51811420
TUGAS : Business Economics
DOSEN : Dr. I G.N. Putra Suryanata , Drs., M.S.

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


UNDIKNAS GRADUATE SCHOOL
DENPASAR
2018
Analisis dan opini

Kabar gembira bagi para pekerja. Upah Minimum Provinsi (UMP) naik sebesar 8,03 persen untuk 2019
mendatang. Hal ini tercantum di dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor B.240/M-
NAKER/PH185K-UPAH/X/2018 pada 15 Oktober 2018. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri
mengatakan kenaikan ini mengacu pada pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015. Dalam beleid
tercantum, kenaikan UMP didasarkan atas inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai asumsi kenaikan upah
tahun depan, pemerintah menggunakan asumsi inflasi sebesar 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,15
persen. Kedua angka itu tentu tidak didapat secara tiba-tiba, melainkan diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS). Data inflasi yang digunakan adalah kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari September 2017
hingga September 2018. Sedangkan, data pertumbuhan yang dipakai adalah Produk Domestik Bruto (PDB)
kuartal III 2017 hingga kuartal II 2018. Angka ini merupakan kondisi yang menguntungkan, baik bagi
pekerja maupun pelaku usaha. Di satu sisi, pekerja mendapatkan kepastian kenaikan upah tahun depan. Di
sisi lain, dunia usaha juga bisa menghitung dan menyiapkan biaya Sumber Daya Manusia (SDM) tahun
depan, sehingga tidak mengganggu produktivitas. Namun tak banyak yang tahu, kenaikan UMP tahun ini
lebih rendah dibanding beberapa tahun terakhir. Dengan perhitungan di PP Nomor 78 Tahun 2015, UMP
2016 silam naik 11,5 persen. Sementara itu, UMP tahun 2017 tercatat naik 8,91 persen dan menurun lagi
pada tahun ini yakni 8,71 persen. Padahal, sebelum PP Nomor 78 Tahun 2015 berlaku, kenaikan UMP
terbilang cukup drastis. Di tahun 2012, contohnya, rata-rata kenaikan UMP tercatat 10,27 persen. Di tahun
berikutnya, kenaikannya lebih besar lagi, yakni 18,32 persen. Kenaikan UMP cukup tinggi lantaran
penetapan upah minimum dihitung sesuai survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Penetapan KHL terakhir
kali dimuat di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2012, ketika 60 barang dianggap
sebagai komponen KHL.

UMP Naik Tipis Bikin Buruh Teriak

Kenaikan UMP yang makin menipis setiap tahun bikin buruh teriak. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan kenaikan UMP yang tipis tahun depan membuat daya beli buruh
kian tertekan. Terlebih, biaya kebutuhan hidup kini ikut terkerek seiring depresiasi nilai tukar rupiah dan
kenaikan harga minyak dunia. Hal itu tergambar dari harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax
yang naik Rp900 per liter baru-baru ini. Maka itu, KSPI menyebut seharusnya kenaikan UMP tahun depan
berada di kisaran 20 persen hingga 25 persen. "Dengan demikian, kenaikan upah yang hanya 8,03 persen
tidak akan memberi manfaat bagi kaum buruh dan rakyat kecil di tengah kenaikan harga-harga barang
tadi," . Perhitungan UMP berbasis PP Nomor 78 Tahun 2015 membuka pintu rezim upah murah bagi
buruh. Terlebih, perhitungan UMP menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi menyebabkan buruh
tak punya lagi hak berunding untuk menentukan kesejahteraannya. Oleh karenanya, Said meminta kepala
daerah untuk tidak lagi memakai perhitungan UMP berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015. "Secara
hukum PP itu melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan,"

Buruh Harus Realistis

Meski ada penolakan habis-habisan, pekerja dianggap tetap perlu realistis dengan kondisi yang terjadi saat
ini. Apalagi, iklim dunia usaha tengah terpantau mendung. Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh
Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan angka 8,03 persen sebenarnya adalah angka yang sudah tepat.
Sebab, kenaikan upah minimum yang terlalu drastis akan menimbulkan kondisi yang sama-sama merugikan
bagi dunia usaha dan pekerja dalam jangka panjang. Di satu sisi, dunia usaha sedang mengalami tekanan
eksternal. Salah satunya dari pelemahan nilai tukar rupiah yang membuat biaya produksi semakin mahal,
khususnya biaya bahan baku impor. Tak hanya itu, dunia usaha juga tengah mengalami tekanan dari sisi
pembayaran bunga pembiayaan (cost of fund) seiring suku bunga acuan Bank Indonesia 7 Days Reverse
Repo Rate (7DRRR) yang sudah naik 150 basis poin dalam setahun. Tak terkecuali situasi proteksionisme
dagang di beberapa negara yang bikin ekspor terhambat. Jika UMP naik terlalu signifikan, maka beban
produksi juga ikut terkerek. Pada akhirnya, pelaku usaha melakukan efisiensi dengan memangkas jumlah
karyawan. Secara umum, kondisi itu akan menambah jumlah pengangguran yang sekarang sudah terjaga
baik. Data BPS per Februari lalu menunjukkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat 5,13 persen
atau turun dari angka Agustus 2017 yakni 5,5 persen. "Dengan kondisi yang penuh ketidakpastian, kenaikan
angka ini sebetulnya sudah pas. Kalau ada yang minta UMP dinaikkan 25 persen, nanti bisa-bisa ada
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal," . Dengan kondisi tersebut, pekerja diimbau lebih memikirkan
keberlanjutan usaha agar kesejahteraannya tetap terjaga .Namun, pemerintah juga perlu menyiapkan
bantalan bagi pekerja jika nantinya dunia usaha melakukan efisiensi dengan menyunat jumlah pekerja.
Solusi bisa berasal dari program bantuan pekerja yang baru terkena PHK (unemployment benefit) dan dana
pengembangan keahlian calon pekerja (skills development fund) yang digagas Kementerian
Ketenagakerjaan. Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi. Jika ditinjau dari segi akademis,
kenaikan UMP sebesar 8,03 persen ini justru relatif tinggi dibandingkan produktivitas sektor manufaktur
yang selalu ada di kisaran 3 persen per tahunnya. Sebab, sesuai teorinya, kenaikan UMP harus berkaca dari
tingkat produktivitas. Percuma jika upah minimum selalu bergerak naik namun produktivitasnya stagnan.
Hanya saja, saat ini belum ditemukan formulasi yang tepat dalam menghitung kontribusi buruh tehadap
produktivitas manufaktur. Sehingga, harus digunakan variabel pengganti (proxy) yang mencerminkan
produktivitas, yakni pertumbuhan ekonomi. Selain itu, faktor inflasi pun tidak boleh dikesampingkan, karena
itu mempengaruhi daya beli pekerja.". Jadi seharusnya kenaikan UMP 8,03 persen ini sudah lebih dari cukup
karena memasukkan dua unsur itu. Saya rasa kenaikan ini sudah cukup win-win meski bagi pelaku usaha,
kenaikan 8,03 persen ini cukup menambah biaya produksi,"
Permintaan Rumah di Indonesia

Berdasarkan data perkembangan realisasi pembangunan dan penyaluran kredit perumahan oleh perumnas
dan non perumnas menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat.

Bagaimana mungkin pertambahan permintaan perumahan di Indonesia begitu tinggi ? mengingat bahwa
angka PDB per kapita selama periode tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan dana yang dibutuhkan
untuk membangun rumah. Misalnya PDB per kapita pada tahun 1995 hanya sekitar 2 juta . jika satu keluarga
di Indonesia terdiri dari 5 jiwa maka pendapatan per keluarga pada tahun 1995 adalah 10 juta atau masih
kecil di bandikna dana yang dibutuhkan untuk membangun rumah yang mencapai puluhan juta per unit.

Jawabannya adalah tingginya pertambahan permintaan rumah di Indonesia distimulir atau di dorong adanya
kredit perumahan. Selama perode 1980-1990 tingkat pertumbuhan kredit perumahan mencapai 17,5 % per
tahun yang kemudian meningkat pesat menjadi 36,8 % per tahun selama periode 1990-1995. Krisis ekonomi
telah menurunkan pertumbuhan kredit perumahan menjadi -29 % selama 1995-2000.

Bagaimana kredit perumahaan dapat menstimulir permintaan perumahaan ? jawabannya adalah yang
pertama kredit perumahaan akan meningkatkan pendapatan , yang kedua elastisitas pendapatan dari
permintaan perumahaan yang lebih besar dari satu telah menyebabkan efek pendapatan yang besar . artinya
pertambahan permintaan perumahaan akan melebihi 1 % jika pendapatan akibat pemberian kredit meningkat
1%.

Anda mungkin juga menyukai