Anda di halaman 1dari 14

TUBA OVARIUM ABSES

Disusun Oleh :

Leo Suganda

Pembimbing :

dr. Ahmad Khuwalid, Sp.OG

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan

Rumah Sakit Haji Medan

Universitas Islam Sumatera Utara

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat Nya, saya dapat menyelesaikan Tugas Paper yang berjudul “Tuba

Ovarium Abses” dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di

bagian Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Rumah Sakit Haji Medan.

Pada Kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. H.

Ahmad Khuwalid, Sp.OG atas segala bimbingan dan arahan sehingga paper ini

dapat terselesaikan dengan baik.

Saya menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua

pihak demi perbaikan dan kelengkapan dikemudian hari agar bermanfaat bagi kita

semua.

Medan, 2018

Penulis

Leo Suganda
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................................1


KATA PENGANTAR ........................................................................................2
DAFTAR ISI .......................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................4


1.1 Latar Belakang .................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................5


2.1 Definisi tuba ovarium abses .............................................................5
2.2 Gambaran Klinis serta Tanda dan Gejala .........................................6
2.3 Etiologi .............................................................................................7
2.4 patofisiologi ......................................................................................8
2.5 pemeriksaan dan diagnosa ................................................................8
2.6 komplikasi ........................................................................................10
2.7 penatalaksanaan ................................................................................11
2.8 prognosis ..........................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................13


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


TOA (tubo-ovarian abscess) merupakan salah satu komplikasi akut dari
PID (Pelvic inflammatory disease). Abses ini pada umumnya terjadi pada wanita
usia produktif dan biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi saluran genital
bagian bawah. TOA berhubungan erat dengan PID (Pelvic inflammatory disease).
PID disebabkan oleh mikroorganisme yang menghuni endoserviks kemudian naik
ke endometrium dan tuba fallopi. TOA merupakan end-stage process dari PID
akut (Tohya et al., 2003). TOA terjadi sekitar 18-34% pada pasien dengan PID
(De Witt et al., 2010) dan 22% dengan salpingitis di Nairobi, Kenya (Cohen,
2003).

Abses ini dapat terjadi pada pasien yang post histerektomi supraservikal.
TOA dapat juga terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami servitis dan
parametritis (Tohya et al., 2003).
TOA umumnya disebabkan oleh mikroorganisme umum yang menjadi
penyebab STD (sexually transmitted diseases), berhubungan seks dengan partner
yang memiliki agen infeksius ini merupakan faktor risiko yang sangat penting
dalam terjadinya TOA. Selain itu, operasi ginekologi, kanker organ genital
(genital malignancy), IVF treatment, dan apendisitis yang mengalami perforasi
juga diketahui menjadi penyebab TOA (Protopapas et al., 2004; Canas et al.,
2004; Vyas et al., 2008).

Diagnosis TOA sering sulit ditegakkan dan sulit dibedakan dengan


peradangan pelvis oleh sebab-sebab yang lain, sehingga dibutuhkan anamnesa,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat untuk dapat
menegakkan diagnosis pasti dan memberikan terapi yang tepat pula. Dan bila
tidak ditangani dengan baik, komplikasinya dapat menyebabkan kematian,
kemandulan dan kehamilan ektopik yang merupakan masalah medik, sosial dan
ekonomi.
Dalam laporan ini akan disajikan beberapa aspek penting dari TOA,
diantaranya : definisi, etiologi, patofisiologi, pemeriksaan dan diagnosa,
komplikasi, penatalaksanaan, dan prognosis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
2.1.1 Tuba, Ovarium, dan abses (abscess)
- Tuba fallopii adalah saluran ovum yang memiliki panjang bervariasi antara
8 hingga 14 cm dan ditutup oleh peritonium serta lumennya dilapisi oleh
membran mukosa. Tuba terbagi menjadi 3 bagian, yakni pars interstitial,
ismus, ampula, dan infundibulum (Cunningham et al., 2006). Tuba
berfungsi untuk menyalurkan ovum dari ovarium menuju uterus.
- Ovarium merupakan bagian dari organ reproduksi wanita bagian dalam.
Ovarium berjumlah dua buah dan terletak di kiri dan kanan. Ovarium ke
arah uterus bergantung pada ligamentum infundibulo pelvikum dan
melekat pada ligamentum latum melalui mesovarium.
- Abses adalah ronga yang terbentuk karena adanya kerusakan
jaringan/bengkak karena proses infeksi.

Gambar 2.1 Organ Reproduksi Internal Wanita


Ket: Tampak tuba fallopi dan ovarium yang normal
2.1.2 TOA (tubo-ovarian abscess)
Tubo-ovarian abscess (TOA) adalah pembengkakan yang terjadi pada
tuba-ovarium yang ditandai dengan radang bernanah, baik di salah satu tuba-
ovarium, maupun keduanya (Granberg, 2009). TOA Merupakan komplikasi
termasuk efek jangka panjang dari salfingitis akut tetapi biasanya akan muncul
dengan infeksi berulang atau kerusakan kronis dari jaringan adnexa. Biasanya
dibedakan dengan ada tidaknya ruptur. Dapat terjadi bilateral walaupun 60% dari
kasus abses yang dilaporkan merupakan kejadian unilateral dengan atau tanpa
penggunaan IUD. Abses biasanya polimikroba.

Gambar 2.2 TOA yang mengalami ruptur di sisi kiri

2.2 Gambaran Klinis serta Tanda dan Gejala


Pada semua kasus TOA, termasuk yang disebabkan oleh Pneumococcus,
menunjukkan gejala-gejala berikut: nyeri (88%), demam (35%), massa adneksa
(35%), diare (24%), mual dan muntah (18%), haid tidak teratur (12%).
Pada pemeriksaan touching : nyeri goyang portio, nyeri kiri dan kanan
uterus atau salah satunya, kadang-kadang terdapat penebalan tuba (tuba yang
normal, tidak teraba), seta nyeri pada ovarium karena meradang.
Gejala dapat sangat bervariasi dari asimptomatis sampai terjadinya akut
abdomen sampai syok septik. Karateristik pasien biasanya yang muda serta
paritasnya rendah dengan riwayat infeksi pelvis. Durasi dari gejala pada wanita
biasanya kurang lebih 1 minggu dan onsetnya biasanya terjadi 2 minggu atau
lebih setelah siklus menstruasi.
2.3 Etiologi
TOA biasanya disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob, seperti
Escherichia coli, Hemolytic streptococci and Gonococci, Bacteroides species dan
Peptococcus (Seshadri et al., 2004). Pada beberapa kasus, Hemophilus influenzae,
Salmonella, actinomyces, dan Staphylococcus aureus juga dilaporkan menjadi
penyebab TOA. Sekitar 92% penyebab TOA adalah Streptococci (Cohen et al.,
2003).

Dikatakan bahwa nekrosis tuba fallopi dan kerusakan epitel terjadi


dikarenakan bakteri patogen menciptakan lingkungan yang diperlukan untuk
invasi anaerob dan pertumbuhan. Terdapat salfingitis yang melibatkan ovarium
dan ada juga yang tidak. Proses inflamasi ini dapat terjadi spontan atau merupakan
respon dari terapi. Hasilnya dapat terjadi kelainan anatomis yang disertai denagn
perlengketan ke organ sekitar. Keterlibatan ovarium biasanya terjadi di tempat
terjadinya ovulasi yang sering menjadi tempat masuk infeksi yang luas dan
pembentukan abses. Apabila eksudat purulen itu ditekan maka akan menyebabkan
ruptur dari abses yang dapat disertai oleh peritonitis berat serta tindakan
laparotomi. Perlengketan yang lambat dari abses akan menyebabkan abses cul de
sac. Biasanya abses ini muncul ketika penggunaan IUD, atau munculnya infeksi
granulomatous ( TBC, aktinomikosis).

Adapun faktor risiko adalah sebagai berikut ,(Tuncer et al., 2012) :


a. Multiple partner
b. Status ekonomi rendah.
c. Riwayat PID
d. Menggunakan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
e. Adanya riwayat STD
2.4 Patofisiologi
Adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau
parametrium, terjadilah salpingitis dengan atau tanpa ooforitis. Keadaan ini bisa
terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan atau setelah tindakan genekologi
sebelumnya (Mudgil, 2009). Mekanisme pembentukan TOA secara pasti masih
sulit ditentukan, tergantung sampai dimana keterlibatan tuba infeksinya sendiri.
Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka mengeluarkan eksudat
yang purulent dari febriae dan menyebabkan peritonitis, ovarium sebagaimana
struktur lain dalam pelvis mengalami inflamasi, tempat ovulasi dapat sebagai
tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tempat masuk infeksi.
Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula melibatkan
struktur pelvis yang lain seperti usus besar,buli-buli atau adneksa yang lain.
Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon pengobatan,
keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan fibrin
terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya menghebat dapat terjadi pecahnya
abses (Mudgil, 2009).

2.5 Pemeriksaan dan Diagnosa


a. Pemeriksaan laboratorium: Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari
laboratorium kurang bermakna. Hitung jenis sel darah putih bervariasi dari
leukopeni sampai leukositosis. Hasil urinalisis memperlihatkan adanya
pyuria tanpa bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64 mm/h serta
nilai akut C-reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah
diagnosa TOA.

b. USG
Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya progressi.
regresi, ruptur atau pembentukan pus. Ultrasound adalah modalitas
pencitraan pilihan pertama untuk diagnosis dan evaluasi TOA. USG
menawarkan akurasi, siap ketersediaan, biaya rendah dan kurangnya
radiasi pengion. Namun, tetap memerlukan keahlian teknis untuk
mencapai potensi diagnostik yang akurat. Ini dapat dilakukan baik
transvaginal atau transabdominal: pencitraan yang transvaginal
memberikan gambaran lebih detail, dimana transduser berada di dalam
dekat dengan daerah pemeriksaan, sedangkan pencitraan pelvis yang
transabdominal menawarkan keuntungan imaging dalam satu tampilan
organ

besar seperti rahim. Habitus tubuh besar dan adanya loop dari usus di
pelvis dapat menimbulkan kesulitan dalam pencitraan dengan US
transabdominal.

c. CT (computed tomography)
Computed tomography telah digunakan, sejak perkembagan dari US dan
MRI, peran terbatas dalam evaluasi radiologi dari PID. Penggunaan radiasi
pengion yang membatasi faktor lainnya, karena mayoritas pasien tersebut
dalam usia reproduksi (Tukeva et al., 1999). Kinerja CT dengan
penggunaan media kontras oral dan intravena meningkatkan metode dari
akurasi diagnostik karena karakterisasi jaringan yang lebih baik. Sejumlah
kecil cairan dalam cul de sac bisa dideteksi oleh CT. Suatu abses Tubo-
ovarium mungkin tergambar sebagai massa peradangan dengan komponen
padat dan kistik, dengan peningkatan semua atau bagian dari komponen
padat. Tampilan paling sering dari Tubo-ovarium abcess adalah adanya
cairan yang mengandung massa dengan dinding tebal. Septations mungkin
juga ada. Salah satu tanda yang lebih spesifik dari abses Tubo-ovarium,
yang tidak umum pada PID, adalah munculnya gelembung gas pada
massa. Limfadenopati biasanya ada di daerah paraaortic pada tingkatan
dari hila ginjal (limfatik ovarium dan limfatik salpingial sejajar dengan
vena gonad) (Hricak et al., 2000). Kadang-kadang ovarium dapat dideteksi
dalam massa. Dalam kasus seperti diagnosis abses Tubo-ovarium tidak
sulit, jika tidak, massa yang mengalami inflamasi bisa dibedakan dari
proses peradangan yang timbul dari appendiks (abses appendiceal) atau
divertikula (Abses divertikular) atau bahkan keganasan kandung kemih.

d. Kuldosentesis
Cairan kuldosentesis pada wanita denagn TOA yang tidak ruptur
memperlihatkan gambaran reaction fluid yang sama seperti di salpingitis
akut. Apabila terjadi ruptur TOA maka akan ditemukan cairan yang
purulen.

Penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang telah didapatkan dan


dapat disertai adanya :
- Riwayat infeksi pelvis
- Adanya massa adnexa, biasanya lunak
- Produksi pus dari kuldesintesis pada ruptur

Diagnosa banding :
a. TOA utuh dan belum memberikan keluhan
- Kistoma ovari, tumor ovari
- KET
- Abses peri, apendikuler
- Mioma uteri
- Hidrosalping
b. TOA utuh dengan keluhan
- Perforasi apendik
- Perforasi divertikel/abses divertikel
- Perforasi ulkus peptikum
- Kelainan sistematis yang memberi distres akut abdominal
- Kista ovari terinfeksi atau terpuntir
2.6 Komplikasi
a. TOA yang utuh: pecah sampai sepsis reinfeksi di kemudian hari,
infertilitas
b. TOA yang pecah: syok sepsis, abses intraabdominal, abses subkronik,
abses paru/otak.

2.7 Penatalaksanaan
a. Curiga TOA utuh tanpa gejala
- Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan :
doksiklin 2x / 100 mg / hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x
500 mg / hari, selama 1 minggu.
- Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau
mungkin membesar adalah indikasi untuk penanganan lebih lanjut
dengan kemungkinan untuk laparatomi

b. TOA utuh dengan gejala


- Masuk rumah sakit, tirah baring posisi “semi fowler”, observasi
ketat tanda vital dan produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika
perlu pasang infuse P2 - Antibiotika massif (bila mungkin gol beta
lactar) minimal 48-72 jam Gol ampisilin 4 x 1-2 gram selama /
hari, IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg BB / hari, IV/im terbagi
dalam 2x1 hari selama 5-7 hari dan metronida xole 1 gr reksup 2x /
hari atau kloramfinekol 50 mg / kb BB / hari, IV selama 5 hari
metronidazol atau sefaloosporin generasi III 2-3 x /1 gr / sehari dan
metronidazol 2 x1 gr selama 5-7 hari
- Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi
- Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan
seluruh organ genetalia interna.
c. TOA yang pecah
TOA yang pecah merupakan kasus darurat: dilakukan laparotomi pasang
drain kultur nanah. Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin
generasi III dan metronidazol 2 x 1 gr selama 7 hari (1 minggu).

2.8 Prognosis
a. TOA yang utuh
Pada umumnya prognosa baik, apabila dengan pengobatan medidinaslis
tidak ada perbaikan keluhan dan gejalanya maupun pengecilan tumornya
lebih baik dikerjakan laparatomi jangan ditunggu abses menjadi pecah
yang mungkin perlu tindakan lebih luas. Kemampuan fertilitas jelas
menurun kemungkinan reinfeksi harus diperhitungan apabila terapi
pembedahan tak dikerjakan

b. TOA yang pecah


Kemungkinan septisemia besar oleh karenanya perlu penanganan dini dan
tindakan pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya.
Daftar Pustaka

1. Effendi hasjim Dr,dkk. 1981. Fisiologa Dan Patofisiologi Ginjal.


Bandung : alumni

2. Price. Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Psroses


Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC

3. Rabbins, Stanley C. Buku Ajar Patologi II . Jakarta :EGC

4. Rn. Sweringen. 2000. Keperawatan Medical Bedah, Edisi 2. Jakarta :


EGC

5. Smeltzer, Suzanne c. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah


Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2. Jakarta :EGC

Anda mungkin juga menyukai