Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-
Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum
dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu
Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke
Ibu kota Pasai
negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah
serangan ihsan Portugal pada tahun 1521. Bahasa Melayu
Agama Islam
Bentuk Monarki
Daftar isi pemerintahan
Pembentukan awal
Sejarah
- Didirikan 1267
Relasi dan persaingan
- Invasi Portugis 1521
Pemerintahan
Mata uang Koin emas dan
Perekonomian
perak
Agama dan budaya
Akhir pemerintahan Pengganti
Daftar penguasa Pasai Imperium Portugis
Warisan sejarah Kesultanan Aceh
Rujukan
Kepustakaan
Pranala luar
Pembentukan awal
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia
menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.[2] Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang
disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1267
M.[4] Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua
kawasan yang berbeda, tetapi dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo
dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatra waktu itu, dari selatan ke utara
terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya
dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah
diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat
pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan
Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah,
kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan
penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.[5]
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande
dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk menyampaikan berita tersebut.[6]
Pemerintahan
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng
Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai
Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan
waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa
kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, tetapi
telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa
kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini
terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang
bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya
besar namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan
kapal terbalik.[6] Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat
bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan
Lonceng Cakra Donya
berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan baik lelaki maupun
perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan,
dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai,
kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad
Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada
masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai.
Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan
mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
Perekonomian
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati
lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada
masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10
mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah
untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa
bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan
tikar rotan atau pandan.[6]
Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang
saudara. Sulalatus Salatin[8] menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan
tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah
menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh.
Warisan sejarah
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1267 M, dirujuk oleh sejarahwan sebagai tanda telah
masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal
dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam
mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan
masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.
Rujukan
1. ^ Ricklefs, M.C., (1991), A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition, Stanford: Stanford University
Press, hlm. 15, ISBN 0-333-57690-X.
2. ^ a b c Hill, A. H., (1960), Hikayat Raja-raja Pasai, Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, London.
Library, MBRAS.
3. ^ Wicks, R. S., (1992), Money, markets, and trade in early Southeast Asia: the development of indigenous
monetary systems to AD 1400, SEAP Publications, ISBN 0-87727-710-9.
4. ^ Moquette, Jean Pierre, (1913), De Oudste Vorsten van Samudra-Pase, Rapporten van den Oudheidkundigen
Dienst, Batavia, hlm. 1-12.
5. ^ Ferrand, Gabriel, (1914), Relations de voyages et textes geographiques: Arabes, Persan et Turks relatifs a
l'Extreme-Orient du VIIIe au XVIIIe siecles, traduits, II, hlm. 440-450.
6. ^ a b c d Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan
Obor Indonesia, ISBN 979-461-361-4.
7. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
8. ^ Ahmad Rizal Rahim, (2000), Sulalatus Salatin, Jade Green Publications, ISBN 983-9293-77-X.
9. ^ Muhammad, Taqiyuddin: "Daulah Shalihiyyah di Sumatra", hal. 115-186. CISAH, 2011.
Kepustakaan
T. Ibrahim Alfian, (1979), Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Proyek Rehabilitasi dan Perluasan
Museum, Aceh.
Pranala luar
(Indonesia) Pusat Informasi Kesultanan Samudra Pasai (http://misykah.com)
(Indonesia) Sejarah Kerajaan Samudera Pasai di MelayuOnline.com (http://history.melayuonline.com/?a=b28va
0xRL1lYcXRCeDdraQ%3D%3D=)
Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku.
Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.