Anda di halaman 1dari 31

Nama: Mersi Mohamad

1. Kerajaan islam di sumatera

a) Kesultanan Samudera Pasai

Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah
kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.

Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan
kajian sejarah.[1] Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini
bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai,[2] dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja
serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.[3]

Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267.
Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke
Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri
ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan ihsan Portugal pada
tahun 1521.

Pembentukan awal

Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu,
setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. [2] Marah
Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian
setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1267 M.[4]
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah
dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, tetapi dalam catatan Tiongkok nama-nama
tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat
beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatra waktu itu, dari selatan ke utara
terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad
Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring
dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat
pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan
digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345.
Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa
sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan
penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.[5]
"Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini,
mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah
oleh Majapahit itu".

— Gambaran penaklukan Pasai oleh Majapahit, kutipan dari Hikayat Raja-raja Pasai[2].

Relasi dan persaingan

Kesultanan Pasai kembali bangkit di bawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir
tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Tiongkok ia juga dikenal dengan
nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya
pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam
tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para
pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan
memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke
arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan
dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan
kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam
kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Tiongkok, Lonceng Cakra
Donya.[6]

Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun
wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk
menyampaikan berita tersebut.[6]

Pemerintahan

Lonceng Cakra Donya

Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air)
dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan
waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng
pertahanan dari batu, tetapi telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa
kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta
dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar
namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik. [6] Sehingga penamaan
Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan
dengan ini.

Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-
anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi
kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar
sultan.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi
bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan
Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera
sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada
masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan
menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan
yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan
Pasai terbunuh.

Perekonomian

Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan
Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan
Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang
ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter
10 mm, mutu 17 karat.

Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali
setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya
memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat
dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya
dihamparkan tikar rotan atau pandan.[6]

Agama dan budaya

Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha
juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,[7] telah
membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka,
seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan
kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat
oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam
Sulalatus Salatin.
Akhir pemerintahan

Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai
yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin[8] menceritakan Sultan Pasai meminta
bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan
Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya
telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi
bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.

Daftar penguasa Pasai\

Berikut adalah daftar para sultan yang memerintah Kesultana Samudera Pasai[9]:

No Periode Nama Sultan atau Gelar Catatan dan peristiwa penting

1267 -
1 Sultan Malik as-Saleh (Meurah Silu) Pendiri Samudra Pasai
1297

1297 - Sultan Al-Malik azh-Zhahir I /


2 Koin emas mulai diperkenalkan
1326 Muhammad I

1326 - Penyerangan ke Kerajaan Karang Baru,


3 Sultan Ahmad I
133? Tamiang

133? -
4 Sultan Al-Malik azh-Zhahir II Dikunjungi Ibnu Batutah
1349

1349 -
5 Sultan Zainal Abidin I Diserang Majapahit
1406

1406 -
6 Ratu Nahrasyiyah Masa kejayaan Samudra Pasai
1428

1428 -
7 Sultan Zainal Abidin II
1438

1438 -
8 Sultan Shalahuddin
1462

1462 -
9 Sultan Ahmad II
1464

1464 -
10 Sultan Abu Zaid Ahmad III
1466

1466 -
11 Sultan Ahmad IV
1466
1466 -
12 Sultan Mahmud
1468

1468 -
13 Sultan Zainal Abidin III Digulingkan oleh saudaranya
1474

1474 -
14 Sultan Muhammad Syah II
1495

1495 -
15 Sultan Al-Kamil
1495

1495 -
16 Sultan Adlullah
1506

1506 -
17 Sultan Muhammad Syah III Memiliki 2 makam
1507

1507 -
18 Sultan Abdullah
1509

1509 -
19 Sultan Ahmad V Malaka jatuh ke tangan Portugis
1514

1514 -
20 Sultan Zainal Abidin IV
1517

Warisan sejarah

Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1267 M, dirujuk oleh
sejarahwan sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau
ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai
memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam
mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini
telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri kerajaan ini
untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.

b) Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam

Kesultanan Aceh Darussalam adalah sebuah kerajaan bercorak agama Islam yang berada
di provinsi Aceh, Republik Indonesia. Kesultanan Aceh berlokasi di utara dari
pulau Sumatera dengan ibu kota kerajaan di Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya
yaitu Sultan Ali Mughayat Syah yang naik takhta pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada
tanggal 8 September 1507. Dalam sejarah kerajaan yang panjang itu dari tahun 1496 – 1903,
Aceh mengembangkan sebuah pola dan sistem terhadap pendidikan militer negaranya, dengan
komitmen kerajaan dalam menentang imperialisme dari bangsa Eropa, memiliki sebuah sistem
pemerintahan kerajaan yang teratur dan sistematik, mewujudkan adanya pusat-pusat pengkajian
ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Beberapa kerajaan di
pulau sumatra lainnya seperti Sejarah Kerajaan Samudera Pasai.
Awal Mula Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh dibuat oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan
Aceh ini berdiri diatas wilayah dari Kerajaan Lamuri, kemudian Kerajaan Aceh berhasil
menundukan dan menyatukan beberapa wilayah disekitar kerajaannya mencakup
daerah Daya, Pedir, Lidie, Nakur.

Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Kesultanan Samudra Pasai sudah menjadi bagian dari
Kesultanan Aceh diikuti dengan wilayah Aru. Pada tahun 1528, Sultan Ali Mughayat Syah
digantikan oleh anaknya yang bernama Salahuddin, yang kemudian memerintah hingga
tahun 1537. Kemudian Sultan Salahuddin digantikan oleh saudaranya yang bernama Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar melalui sebuah kudeta, sultan ini memerintah hingga tahun 1571.

Setelah wafatnya Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar terus melanjutkan perjuangan. Beberapa
kali melakukan serangan kejohor dan terus menjalin persahabatan dengan sejarah kerajaan islam
di indonesia lainnya terutama yang berada di pulau jawa.
Masa Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam
Meskipun kedudukan Sultan dianggap sebagai penguasa paling tinggi di kerajaan itu, tetapi pada
kenyataannya selalu dikendalikan oleh para orangkaya atau hulubalang. Sebuah Hikayat
Aceh mengatakan bahwa Sultan yang dikudeta secara paksa adalah Sultan Sri Alam yang
dikudeta pada tahun 1579 karena sikapnya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan
harta dari kerajaan kepada para pengikutnya. Penggantinya yaitu Sultan Zainal Abidin dibunuh
beberapa bulan kemudian karena sikapnya kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan
gemar melakukan adu binatang.

Raja-raja dan para orangkaya menawarkan mahkota kerajaan kepada Alaiddin Riayat Syah
Sayyid al-Mukamil dari anggota Dinasti Darul Kamal pada tahun 1589. Ia mengakhiri periode
ketidak-stabilan terhadap kerajaannya dengan membrantas para orangkaya yang berlawanan
dengannya sambil memperkuat kedudukannya sebagai penguasa absolut di Kesultanan Aceh
yang dampaknya dapat dirasakan pada sultan sesudah dia. Kesultanan Aceh melakukan ekspansi
dan pengaruh perluasan wilayah pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (tahun
1607 – 1636) atau dikenal juga sebagai Sultan Meukuta Alam.
Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh menaklukkan wilayah Pahang yang merupakan
penghasil sumber utama dari timah. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melaksanakan
penyerangan terhadap tentara Portugis yang berada di Melaka dengan armada yang mencapai
500 buah kapal perang dan 60.000 tentara angkatan laut. Serangan ini dilakukan dalam upaya
memperluas dominasi Kesultanan Aceh atas daerah Selat Malaka dan semenanjung Melayu.
Sayangnya ekspedisi yang dilakukan Kesutanan Aceh mengalami kegagalan, meskipun pada
tahun yang sama Kesultanan Aceh berhasil menduduki daerah Kedah dan banyak membawa
penduduk Kedah ke Aceh.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek dari Sultan
Iskandar Muda) mengirim utusan diplomatik ke negara Belanda pada tahun 1602 dengan
pimpinan diplomatik yaitu bernama Tuanku Abdul Hamid. Sultan ini juga banyak mengirim
surat ke berbagai pemimpin negara di dunia seperti ke Sultan Turki yang bernama Selim II,
Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I pemimpin Kerajaan Inggris. Semua ini
dilakukan bertujuan untuk memperkuat posisi dari Kesultanan Aceh.
Masa Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam
Kemunduran dari Kesultanan Aceh disebabkan karena beberapa faktor, di antaranya adalah :

1. Menguatnya Negara Penjajah


Makin menguatnya kekuasaan dari negara penjajah yaitu Belanda di pulau Sumatera dan Selat
Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah lain disekitarnya yaitu Minangkabau, Siak, Tiku,
Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (tahun 1840) serta Bengkulu kedalam kekuasaan dari
penjajahan Kerajaan Belanda.

2. Perebutan Kekuasan Pewaris Tahta Aceh


Faktor penting lainnya yaitu terjadinya perebutan kekuasaan di antara para pewaris tahta dari
kesultanan Aceh. Hal ini bisa dibuktikan kerana setelah kemangkatan Sultan Iskandar
Tsani hingga berbagai serangkaian peristiwa lainnya, dimana para bangsawan ingin
menghilangkan kontrol ketat dari kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda dari Sultan
Iskandar Tsani menjadi seorang Sultanah. Beberapa sumber mengatakan bahwa ketakutan akan
adanya lagi Raja yang bersikap tirani yaitu (Sultan Iskandar Muda) yang melatarbelakangi ada
pengangkatan ratu atau sultanah ini.

Sejak itu masa damai terjadi di wilayah Kesultanan Aceh, para Uleebalang bebas melakukan
perdagangan dengan para pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota
Kesultanan. Lada yang merupakan tanaman utama yang dibudidayakan oleh warga Aceh
diseantero pesisir Aceh sehingga menjadikan lada sebagai pemasok utama di dunia hingga pada
akhir abad 19. Namun beberapa masyarakat Aceh terutama dari kaum para wujudiyah
menginginkan pemiminnya nanti seorang laki-laki yang bergelar Sultan.

Mereka mengatakan bahwa pewaris sah dari Kesultanan Aceh masih hidup dan tinggal bersama
kaum ini di pedalaman Aceh. Terjadi perang saudara, sehingga menyebabkan masjid raya
terbaka dan ibu kota Kesultanan yaitu Bandar Aceh mengalami kegaduhan dan ketidaktentraman
dimana-mana. Menindaklanjuti dari perang saudara ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti
agung) yang bernama Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melaksanan berbagai reformasi terutama
dalam hal pembagian kekuasaan sehingga terbentuknya tiga sagoe. Oleh karena ini
mengakibatkan kekuasaan dari sultanah atau sultan menjadi sangat lemah dengan hanya
berkuasa penuh pada beberapa daerah saja yaitu daerah Bibeueh (kekuasaan langsung).
3. Perang Saudara
Perang saudara terjadi dalam hal perebutan terhadap kekuasaan turut andil dalam melemahnya
dari Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Jauhar
Alamsyah (tahun 1795-1824), seorang keturunan dari Sultan yang dibuang bernama Sayyid
Hussain mengklaim mahkota kesultanan Aceh dengan mengangkat putranya menjadi Sultan
tandingan yang bernama Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali terjadi namun berkat
bantuan dari Thomas Raffles dan Koh Lay Huan yaitu seorang pedagang dari Penang kedudukan
dari Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan kembali. Tak sampai disitu, terjadi perang saudara lagi yang kembali merebutan
mahkota Kesultanan Aceh antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak akan
bergelar Sultan Mansur Syah (tahun 1857-1870).

4. Adanya Pembayaran Upeti ke Sultan


Sultan Mansyur Syah berusaha untuk memperkuat kembali kesultanan Aceh yang sudah
melemah. Dia berhasil mengalahkan para raja lada untuk memberikan upeti kepada sultan, hal
ini sebelumnya tak pernah dilakukan oleh sultan sebelumnya. Untuk memperkuat pertahanan di
wilayah timur, sultan ini mengirimkan sebuah armada pada tahun 1854 yang dipimpin oleh
Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan armada mencapai 200 perahu. Ekspedisi ini
dilakukan untuk meyakinkan kekuasaan dari Kesultanan Aceh terhadap
daerah Deli, Langkat dan Serdang. Namun naasnya, pada tahun 1865 Kesultanan Aceh harus
angkat kaki dari daerah itu karena ditaklukkannya di benteng Pulau Kampai.
5. Ditolaknya Persekutuan dengan Perancis
Sultan ini juga berusaha melakukan persekutuan dengan pihak luar yang bertujuan untuk
membendung agresi dari Kerajaan Belanda. Dikirimkannya sebuah utusan kembali
ke Istanbul sebagai pemertegas dari status Kesultanan Aceh sebagai negara vassal dari
Kesultanan Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah uang dana bantuan untuk Perang
Krimea. Sebagai balasannya, Sultan Abdul Majid I dari Kesultanan Turki Utsmaniyah
mengirimkan beberapa alat tempur untuk Kesultanan Aceh. Tak hanya dengan Kerajaan Turki,
sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Kerajaan Perancis dengan mengirim sebuah
surat kepada Raja Perancis saat itu yaitu Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II
(tahun 1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi serius oleh Perancis.
6. Sultan Mahmudsyah yang Masih Muda dan Lemah menjadi Penguasa
Kemunduran dari Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam terus terjadi karena naik tahktanya dari
Sultan Mahmudsyah yang sangat muda dan lemah menjadi penguasa di Kesultanan Aceh.
Serangkaian upaya dilakukan dengan cara diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya
Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi dari Kerajaan Belanda
mengalami kegagalan. Setelah kembali ke ibukota Banda Aceh, Habib Abdurrahman Az-zahier
bersaing dengan seorang keturunan India yang bernama Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh kekuasaannya dalam pemerintahan Kesultanan Aceh.
Kaum moderat cenderung mendukung seorang Habib Abdurrahman tapi sultan ini lebih
mendukung Panglima Tibang yang dicurigai melakukan persekongkolan dengan Kerajaan
Belanda ketika melakukan perundingan di Riau.
Pada akhir November 1871, lahirlah sebuah perjanjian yang disebut dengan sebagai Traktat
Sumatera, dimana dikatakan bahwa “negara Inggris wajib melepaskan diri dari segala perluasan
kekuasaan yang dilakukan negara Belanda di bagian daerah manapun yang ada di pulau
Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London tahun 1824 mengenai wilayah Aceh juga
dibatalkan.” Sejak itu, usaha-usaha dilakukan untuk menyerbu wilayah Aceh makin santer
disuarakan, baik dari negera Belanda maupun di Batavia.

Para UleeBalang dari Kesultanan Aceh dan utusan khusus dari Sultan diberi tugas untuk mencari
bantuan ke sekutu lama mereka yaitu Kesultanan Turki. Namun kondisiini tidak dimungkinkan
karena saat itu Kesultanan Turki baru saja berperang dengan negara Rusia di Krimea. Usaha
meminta bantuan juga dikirim ke negara Italia, Perancis hingga Amerika namun tidak
membuahkan hasil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang bertujuan untuk meraih simpati
dari negara Inggris tidak juga menghasilkan apa-apa. Dengan alasan inilah, negara Belanda
memantapkan diri untuk menyerah ibukota Banda Aceh. Maret 1873, pasukan negara Belanda
mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal dilakukannya invasi Belanda ke Kesultanan
Aceh.

Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak negara Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh pada
tanggal 26 Maret 1873 setelah melakukan berbagai ancaman diplomatik, namun Belanda belum
berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali dikobarkan pada tahun 1883, namun lagi-
lagi mengalami kegagalan, dan pada tahun 1892 dan tahun 1893, pihak negara Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut wilayah Aceh.

Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas


Leiden telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin di Kesultanan Aceh,
memberikan masukan kepada negara Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumat
habis-habisan para kaum ulama. Masukan ini baru dilaksanan ketika Gubernur Jenderal Joannes
Benedictus van Heutsz memimpin. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus
oleh Belanda untuk mengejar habis-habisan para pejuang Aceh hingga masuk pedalaman.

Pada tahun 1879 dan tahun 1898, Sultan Kesultanan Aceh pada masa itu, yaitu Sultan
Muhammad Daud Syah II, meminta negara Rusia untuk diberikan status protektorat kepada
Kesultanan Aceh dan meminta bantuan melawan Belanda. Namun, permintaan dari sultan ini
ditolak Rusia. 
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada
negara Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya ditawan oleh tentara
Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud
menyusul menyerahkan diri pada tahun 1903 pada bulan September. Perjuangan Aceh di
lanjutkan oleh ulama keturunan dari Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro
atau Teungku Mayed tewas ketika perang pada tahun 1910 di Gunung Halimun.

c) Sejarah kerajaan islam di jambi

Kesultanan Jambi adalah Kerajaan Islam yang berkedudukan


di Provinsi Jambi sekarang. Kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan -
Kerajaan Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota dii utara. Di selatan kerajaan ini
berbatasan dengan Kesultanan Palembang (kemudian Keresidenan Palembang). Kesultanan
Jambi juga mengendalikan Lembah Kerinci, meskipun pada masa akhir kekuasaannya,
kekuasaan nominal tidak lagi diperdulikan. Ibukota Kesultanan Jambi terletak di Kota Jambi,
yang terletak di pinggir sungai Batanghari.
        Temuan Prasasti persumpahan kedatuan Sriwijaya di desa Karangberahi kecamatan
Pemenang kabupaten merangin yang diindikasikan sama tarihnya dengan tiga batu persumpahan
Sriwijaya yaitu Prasasti kota kapur di Bangka, Prasasti Palas Pasemah di Lampung Selatan
maupun Prasasti kedukan bukit di Palembang Sumatera selatan bertahun saka 608 atau 686
Masehi. Pada Prasasti itu tertera pahatan huruf Palawa dalam bahasa Melayu kuno. Tanpa
adanya perkaitan hubungan asal huruf Palawa atau adanya kesepahaman penggunaan huruf yang
berasal dari India itu tak kan mungkin masyarakatnya dapat membaca. Jelasnya apakah
Sriwijaya atau Melayu kala itu sudah ada hubungan dengan belahan anak benua India tersebut.       

1. sejarah masuknya islam di jambi

 Ungkap Hasan Mu`arif Ambary17 ada tahapan proses Islamisasi di Indonesia yaitu fase
kehadiran para pedagang Muslim yang juga da`i di abad ke 1-4 Hijriah atau abad ke 7-11 M
yang ditandai oleh kegiatan hubungan perdagangan dan bisa terjadi juga adanya hubungan
perkawinan dengan penduduk setempat. Proses ini terjadi terutama di daerah pesisr Selat
Malaka, bagian Pesisir Barat pulau Sumatera, sesuai fungsi selat Malaka sebagai tempat lalu
lintas pelayaran dan perdagangan Ramainya kontak itu bisa juga terjadi dengan perkaitan
kompetisi pelayaran dan perdagangan dari tiga kerajaan besar yaitu Bani Umayah di Asia bagian
Barat, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Dinasti T`ang di Asia Bagian Timur sehingga terbentang
hubungan jalur pelayaran dan perdagangan antara negeri-negeri Arab, Persia, India (Gujarat),
Nusantara dan Cina. Untuk sampai ke fase kedua terbentuknya kerajaan Islam(abad ke 13-16 M)
terjadi proses yang lama baik secara Simbiois maupun Akulturasi, Faktor Geografis yang terletak
paling jauh dari tempat kelahiran agama Islam maka dapat di mengerti kalau Nusantara termasuk
kawasan yang paling akhir mendapat pengaruh kebudayaan Islam. Penyeberanyapun
berlangsung damai di kalangan penduduk yang sebelumnya telah memeluk agama Hindu atau
Budha. Banyak pedagang dari Gujarat yang karena tingkah laku ketauladanan dan ketaatan
mereka beragama diangkat menjadi pemimpin seperti di Aceh dan Gersik Pada fase ketiga,
agama Islam yang berpusat di Pasai tersebar luas menyusuri Pesisir Sumatera, Semenanjung
Malaka, Jawa, Kalimantan, Lombok, Sulawesi dan Maluku.
               Para penyebar Islam banyak menduduki berbagai Jabatan di kerajaan dan di antaranya
ada yang kawin dengan penduduk setempat. Banyak mesjid yang di bangun para penyebar
agama Islam. Beberapa elemen kebudayaan lokal bernuansa Islami semakin menyebar. ada Raja
dan keluarganya yang di Islamkan, banyak rakyat yang tertarik karena sosialisasi yang
menyentuh hati tanpa pembongkaran akar budaya setempat. Fase ini berlangsung pada akhir
abad ke 16,17 dan abad ke-18 M, dan awal abad ke 19 M. Ketiga fase ini menurut penulis terjadi
dan di alami oleh Jambi. 
Seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia di Medan tanggal 17-20 Maret 1963
menyimpulkan12 :
1.    Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam pertama sekali masuk ke Indonesia adalah pada abad
pertama hijrah atau abad ketujuh dan kedelapan Masehi langsung dari Arab
2.    Wilayah pertama masuk Islam adalah Pesisir Sumatera (Samudra Pasai atau Peureulak),
setelah terbentuknya masyarakat Islam maka Raja Islam pertama berada di Aceh.
Dr. Hamka juga membuat Rangkuman bahwa :
1.    Agama Islam telah datang ketanah air sejak abad pertama Hijrah (abad ke 7 M) yang di
bawa oleh saudagar-saudagar Islam dari Arab sebagai pelopor dan di ikuti oleh orang-orang
Persia serta Gujarat.
2.    Karena penyebaran Islam itu tanpa kekerasan dan tidak ada penaklukan negeri, maka
penyebarannya berjalan secara berangsur-angsur.

Muhammad Said juga menyimpulkan hasil seminar itu :


1.    Sumber-sumber sejarah Arab menegaskan bahwa di berbagai Bandar di Sumatera sejak abad
ke 9 (catatan Mas`udi) sudah banyak pendatang Arab yang beragama Islam mendatangani
tempat-tempat di maksud.
2.    Berdasarkan sumber-sumber orang luar (Arab dan Tionghoa) maka besar kemungkinan
bahwa islam telah masuk ke Indonesia pada Abad pertama Hijriah.

2.Senarai (silsilah) Sultan Jambi

Berikut adalah daftar Sultan Jambi.

Nama atau gelar Tahun

PANGERAN DIPATI CAKRANINGRAT bin SULTAN ABDUL MUHYI 1687 –


[ SULTAN KYAI GEDE ] Hilir Jambi 1696

Pangeran Ratu Raden Kholid( Chulit ) / Sultan Abdul Rahman I bin SULTAN 1690 -
ABDUL MUHYI [ Sultan Sri Maharaja Batu ] Hulu Jambi 1721

Sultan Ahmad Zainuddin / Sultan Anom Sri Ingalaga 1770-1790

1790 –
Mas’ud Badruddin bin Ahmad / Sultan Ratu Seri Ingalaga
1812

1812 –
Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
1833

1833 –
Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
1841
Nama atau gelar Tahun

1841 –
Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
1855

1855 –
Thaha Safiuddin bin Muhammad (pertama kali)
1858

1858 –
Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
1881

1881 –
Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
1885

1885 –
Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
1899

1900 –
Thaha Safiuddin bin Muhammad (kedua kali)
1904

Dihancurkan Belanda 1904

Abdurrachman Thaha Safiuddin (Dinobatkan pada Tanggal 18 Maret 2012) 2012

3.Kependudukan 

Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000
jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu berdiam di pinggiran sungai
Batang Hari dan Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang Batin mendiami
wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagi orang Penghulu, yang
menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.

4.Pemerintahan
Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat
keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain
memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan
pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh
para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan
berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.

5..Bangunan sejarah di jambi 

1. Bunker Jepang

Bunker adalah sejenis bangunan pertahanan militer. Bunker biasanya dibangun di bawah tanah.
Banyak bunker dibangun pada Perang Dunia I dan II.
2. Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin

Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin merupakan Istana kerajaan bekas peninggalan raja Sultan
Thaha Saifuddin. Istana ini terletak di Tanah Garo Muara Tabir Jambi.
3. Jembatan Betrix
Jembatan Beatrix atau yang kerap di sebut masyarakat sebagai Beatrix Brug,  terletak di
Kabupaten Sarolangun. Membentang di atas Sub-DAS Batanghari, Sungai Batang Tembesi
Sarolangun.
4. Kawasan Cagar Budaya Jambi Seberan

Kawasan cagar budaya Jambi Seberang terletak di tepian Sungai Batanghari, tepatnya di
seberang kawasan perniagaan modern Kota Jambi. Sungai Batanghari yang membelah Kota
Jambi secara alamiah, seolah menjadi pembatas kedua kawasan ini. 
5.  Kawasan Kota Lama Kolonial Belanda (Kota Tua Batang Hari)
Kawasan Kota Lama / Kota Tua Batang Hari merupakan tempata yang menjadi cikal bakal Kota
Tembesi, berada di Jalan Lintas Sumatera Jalur Tengah (Jalinteng) Batang Hari Jambi.
d) Sejarah kerajaan islam di riau
Kerajaan Riau Lingga adalah sebuah kerajaan Islam di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar
tahun 1828 M hingga 1911 M. Kerajaan ini mencapai puncak keemasannya pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV,
memerintah dari tahun 1857 hingga 1883 M.Wilayahnya meliputi Provinsi Kepulauan Riau
sekarang, tetapi tidak termasuk Provinsi Riau yang didominasi oleh Kerajaan Siak yang
sebelumnya telah memisahkan diri dari Kerajaan Johor-Riau. Kerajaan Riau Lingga memiliki
peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai
bahasa Indonesia. Pada masa Kerajaan Riau Lingga, bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang
sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan sastra dan memiliki kamus
ekabahasa.
Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang
pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis. Sebelumnya Riau Lingga merupakan wilayah
dari Kerajaan Johor-Riau atau juga dikenal Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berdiri
sekitar tahun 1528-1824 M yang merupakan penerusan dari Kerajaan Malaka, terbentuknya
Kerajaan Riau Lingga diakibatkan perebutan kekuasaan antara kedua putra Raja Johor-Riau dan
pengaruh Belanda-Inggris, pada tahun 1824 Belanda dan Inggris menyetujui Perjanjian Traktat
London, yang isinya bahwa semenanjung Malaya merupakan dalam pengaruh Inggris dan
Sumatra serta pulau-pulau disekitarnya merupakan dalam pengaruh Belanda. Hal ini
memperparah situasi Kerajaan Johor-Riau, dan akhirnya pada tahun 1824 Kerajaan Johor-Riau
terbagi menjadi 2 Kerajaan, Kerajaan Johor dengan raja pertamanya Tengku Hussain bergelar
Sultan Hussain Syah (1819-1835) putra tertua Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar
Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl (1761-1812), sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam
Syah Yang Dipertuan besar Johor Pahang Riau Lingga ke XVll yang merupakan adik Tengku
Hussain, menjadi Sultan pertama Kerajaan Riau Lingga bergelar Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l (1812-1832). Sesudah Malaka sebagai
ibu kota kerajaan Malaka diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque
pada tanggal 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511, Sultan Mahmud Syah
(Sultan terakhir Malaka dan Sultan pertama Johor-Riau) beserta pengikutnya melarikan diri ke
Johor, kemudian ke Bintan dan mendirikan ibukota baru. Tetapi pada tahun 1526 Portugis
berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Mahmud Syah kemudian mundur ke Kampar,
tempat dia wafat dua tahun kemudian dan digelar Marhum Kampar, kemudian digantikan oleh
putranya bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II sebagai Sultan Johor-Riau ke ll. Putra Sultan
Mahmud Syah yang lainnya Muzaffar Syah, kemudian menjadi Sultan Perak. Pada puncak
kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor,
Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.
Kerajaan Johor-Riau mulai mengalami kemunduran pada tahun 1812 setelah wafatnya Sultan
Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl, hal ini disebabkan
oleh perebutan kekuasaan antara dua putra sultan, Yaitu Tengku Hussain/ Tengku Long dan
Tengku Abdul Rahman. Ketika putra tertua Sultan Mahmud Syah lll yaitu Tengku
Hussain/Tengku Long sedang berada di Pahang, dengan tidak diduga pada tanggal 12 januari
1812 Sultan Mahmud Syah lll mangkat. Menurut adat istiadat di Istana, seseorang pangeran Raja
hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat, oleh karena
itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke
XVll meneruskan Sultan Mahmud Syah lll menggantikan saudara tertuanya Tengku
Hussain/Tengku Long yang ketika Sultan Mahmud Syah mangkat dan dimakamkan di Daik
Lingga, Tengku Hussain masih berada di Pahang. Sekembalinya Tengku Hussain dari Pahang
menuntut haknya sebagai putra tertua untuk menjadi Sultan menggantikan Sultan Mahmud Syah
lll. Tengku Hussain merasa lebih berhak menjadi Sultan, daripada adiknya Tengku Abdul
Rahman. Sebelum meninggal Sultan Mahmud Syah lll pernah berwasiat, yaitu menunjuk Tengku
Hussain/Tengku Long sebagai Sultan Johor-Riau dan Tengku Abdul Rahman, agar berangkat ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji. Berdasarkan wasiat Sultan mahmud Syah lll, Tengku
Hussain tetap menuntut haknya. Sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah tetap
mengikuti adat dan istiadat Pelantikan Sultan. Pengganti Sultan, yaitu Tengku Hussain harus
hadir ketika upacara pemakaman dijalankan, lagipula tidak boleh ditangguhkan lebih lama lagi,
namun Tengku Hussain masih tidak ada di tempat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman
dilantik menjadi pengganti Sultan Mahmud Syah lll.Dalam sengketa yang timbul, Inggris
mendukung putra tertua Tengku Hussain, sedangkan Belanda mendukung Sultan Abdul Rahman.
Traktat London yang telah disepakati Belanda-Inggris pada tahun 1824, yang menyatakan bahwa
Semenanjung Malaya dibawah pengaruh Inggris dan Sumatera dibawah pengaruh Belanda, hal
ini mengakibatkan Kerajaan Johor-Riau terpecah menjadi dua, yaitu Johor berada di bawah
pengaruh Inggris dan Tengku Hussain sebagai Sultan pertama Kerajaan Johor bergelar Sultan
Hussain Syah (1819-1835) dan berkedudukan di Singapura, sedangkan Riau Lingga berada di
dalam pengaruh Belanda, dan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ditabalkan menjadi Sultan
Kerajaan Riau Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar
Riau Lingga ke I, dan berkedudukan di Daik Lingga. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll adalah
putra almarhum Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Cek Nora
(keturunan Belanda). Memerintah di Daik Lingga pada tahun 1857 hingga 1883. Pada masa
pemerintahannya Kerajaan Riau Lingga mencapai puncak kejayaannya, Yang Dipertuan Muda
saat itu adalah Yamtuan lX Raja Haji Abdullah (1857-1858). Memerintah di pulau Penyengat.
Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV,
dan Yamtuan X Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi (1858-1899) juga Memerintah di pulau
Penyengat, digelar Marhum Damnah, mangkat di Daik Lingga dan pada masa pemerintahan
Tengku Embung Fatimah (1883-1885) menggantikan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll,
Daik Lingga semakin berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan dengan
banyaknya pendatang-pendatang dari Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka, Belitung,
Cina, Padang dan sebagainya ke Daik. Keadaan ini menyebabkan Belanda kuatir jika Kerajaan
Riau Lingga menyusun kekuatan baru untuk menantang Belanda, oleh karena itu Belanda
menetapkan Asisten Residen di Tanjung Buton (sebuah pelabuhan berhadapan dengan pulau
Mepar, sekitar 6 Km dari pusat Kerajaan Riau Lingga). Pada tanggal 18 Mei 1905 Belanda
membuat perjanjian baru yang antara lain berisikan bahwa Belanda membatasi kekuasaan
Kerajaan Riau Lingga dan mewajibkan Bendera Belanda harus dipasangkan lebih tinggi daripada
Bendera Kerajaan Riau Lingga. Perjanjian ini dibuat Karena Sultan Abdul Rahman Muazzam
Syah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke Vl (1885-1911) saat itu terang-terangan
menantang Belanda.
Belanda memaksa Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll untuk menandatangani perjanjian
tersebut, tetapi atas mufakat pembesar-pembesar Kerajaan seperti Engku Kelana, Raja Ali, Raja
Hitam dan beberapa kerabat Sultan, maka Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll menolak
menandatangani perjanjian tersebut. Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll membuat persiapan
dengan membentuk Pasukan dibawah pimpinan Putra Mahkota, yaitu Tengku Umar/Tengku
Besar. Sikap tegas Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll dan pembesar Kerajaan menantang
Belanda menimbulkan amarah Belanda, maka pada bulan Febuari 1911, kapal-kapal Belanda
mendekati pulau Penyengat pada pagi hari dan menurunkan ratusan orang serdadu untuk
mengepung Istana dan datang Kontlir H.N Voematra dari Tanjung Pinang mengumumkan
pemakzulan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll. Atas pertimbangan agar tidak terbunuhnya
rakyat di pulau Penyengat, maka Sultan Abdul Rahman Syah ll beserta pembesar-pembesar
Kerajaan Riau Lingga tidak melakukan perlawanan. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Riau
Lingga dan dimulailah kekuasaan Belanda di Riau Lingga. Pada tahun 1913 Belanda resmi
memerintah langsung di Riau Lingga. Kerajaan Melayu Riau–Lingga, tetapi juga tempat
kedudukan Sultan dengan segala macam bangunan fisiknya: istana, mahkamah, rumah sakit,
listrik yang tersedia sebelum abad ke-20.Muncul dalam sejarah Melayu pada awal abad ke-18
ketika meletus perang saudara di Kerajaan Johor-Riau yang kemudian melahirkan Kerajaan Siak
di daratan Sumatera. Pulau ini menjadi penting ketika perang Riau berkobar pada akhir abad ke-
18 yang dipimpin Raja Haji Fisabilillah. Ia menjadikan pulau ini sebagai kubu penting yang
dijaga oleh orang-orang asal Siantan dari kawasan Pulau Tujuh di Laut Cina Selatan. Raja Haji
Abdurahman Djantan, tokoh masyarakat Penyengat, menerangkan bahwa banyak cerita beredar
bahwa nama pulau tersebut diambil dari nama binatang yakni penyengat (sebangsa lebah).
Semula dikenal sebagai tempat orang mengambil air bersih dalam pelayaran. Suatu hari para
saudagar yang mengambil air di situ diserang binatang itu.Pihak Belanda sendiri menjuluki pulau
ini dengan dua nama yakni Pulau Indera dan Pulau Mars. Kini Pulau Penyengat lebih dikenal
dengan nama Penyengat Inderasakti. Pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar
dibanding,sebelumnya yaitu pada 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada
istrinya, Engku Puteri Raja Hamidah, sebagai mas kawin," ungkapnya, Jumat (16/5). Beberapa
tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar (1806-1832)N memindahkan tempat
kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat sehingga,namanya semakin menjadi
perhatian khalayak ramai. Sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik Lingga. Dengan
pengalamannya sebagai pengusaha timah di Semenanjung Malaya dan selalu bepergian ke
berbagai tempat, Raja Jaafar membangun pulau ini dengan cita rasa pemukiman yang indah.
Penyengat ditata sedemikian rupa dengan penyusunan pemukiman, keberadaan tembok-tembok,
saluran air, dan jalan-jalan.Hingga pada akhirnya, giliran Sultan Abdurahman Muazamsyah,
pada 1900 memindahkan tempat kedudukannya .
Setelah menolak menandatangani politik kontrak dengan Belanda dan melakukan berbagai
macam bentuk perlawanan, Sultan Abdurahman Muazamsyah diturunkan dari tahta oleh
penjajah."Tak seorang pun orang Melayu yang bersedia menjadi sultan setelah itu, Abdurahman
Muazamsyah bahkan mengilhami orang-orang Riau meninggalkan Penyengat menuju Singapura
dan Johor pada 1911. Hanya beberapa ratus orang penduduk dari 6.000 orang penduduk waktu
itu yang menetap di Penyengat setelah peristiwa itu," ujar Abdurahman menambahkan.Dengan
demikian, bangunan-bangunan kerajaan terbiarkan bahkan dijarah. Menurut informasi yang
diperoleh, diantara para bangsawan mengharapkan agar bangunan-bangunan yang ada
dirobohkan ketimbang diambil oleh Belanda. Tindakan ini tidak berlaku pada Mesjid
Sultan.Keunikan yang terdapat di dalam masjid ialah mushaf Al Quran yang ditulis tangan dan
diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Sitambul
pada 1867. Ia adalah putra Riau yang dikirim kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di
Istambul, Turki. Disebabkan tempat belajarnya penulisan mushaf Alquran bergaya Istambul yang
dikerjakan sambil mengajar agama Islam di Penyengat. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an
kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan mesjid. Kitab-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab
yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, Kutub Khanah, Marhum
Ahmadi yang tidak terbawa bersama eksodusnya masyarakat Riau awal abad ke-20 ke Singapura
dan Johor. Engku Putri Sejarah Riau mencatat, Engku Putri Raja Hamidah adalah Putri Raja
Syahid Marhum Teluk Ketapang Yang Dipertuan Muda Riau ke-IV yang termashur sebagai
pahlawan Riau dalam menantang penjajahan Belanda. Sebagai putri tokoh ternama, Engku Putri
besar peranannya dalam pemerintahan kerajaan Riau sebab selain memegang regalia (alat-alat
kebesaran kerajaan). Beliau juga seorang permaisuri Sultan Mahmud. Sebagai pemegang regalia
kerajaan, beliau sangat menentukan dalam penobatan sultan karena penobatan haruslah dengan
regalia kerajaan. Engku Putri pernah pula melakukan perjalanan ke beberapa daerah lain seperti
Sukadan, Mempawah, dan lain-lain untuk mempererat tali persaudaraan antara kerajaan Riau
dengan kerajaan yang dikunjunginya. Engku Putri mangkat di Pulau Penyengat pada Juli 1884.
Makamnya terletak di Pulau Penyengat, terbuat dari beton, dan dikelilingi pagar tembok. Dahulu
atap bangunan makam dibuat bertingkat-tingkat dengan hiasan yang indah. Di kompleks ini
terdapat pula makam tokoh terkemuka kerajaan Riau seperti makam Raja Haji Abdullah
( Marhum Mursyid), Yang dipertuan muda Riau IX, makam Raja Ali Haji, pujangga Riau yang
terkenal dengan Gurindam 12, makam Raja Haji Abdullah, makam-mahkamah Syariah Kerajaan
Riau-Lingga, makam Tengku Aisyah Putri Yang Dipertuan Muda Riau IX dan kerabat-kerabat
Engku Putri yang lain. Selain makam Engku Putri terdapat juga makam-makam pembesar istana
kerajaan yang lain terletak menyebar di Pulau Penyengat seperti makam Raja Jaafar, makam
Raja Abdurrahman, bekas istana Sultan Abdurahman Muazzamsyah, istana Raja Ali Marhum
Kantor, dan sebagainya. Kompleks makam Raja Jaafar adalah komplek makam yang baik
diantara makam lainnya. Dinding-dindingnya dilapisi dengan pilar dan kubah kecil di
sampingnya terdapat kolam tempat berwudhu. Raja Jaafar adalah anak Raja Haji Fisabilillah
merupakan Yang Dipertuan Muda VI. Dalam kompleks makam Raja Jaafar juga terdapat makam
Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII. Merupakan figur yang taat beribadah. Pada masa
pemerintahannya, ia mewajibkan kaum laki-laki melaksanakan shalat Jumat dan mewajibkan
kaum wanita menggunakan busana muslim. Raja AbdurrahmanRaja Abdurrahman adalah Yang
Dipertuan Muda ke VII Kerajaan Riau Lingga, ia yang membangun mesjid. Pada masa
pemerintahannya terjadi pengacauan oleh bajak laut dan campur tangan pihak Inggris yang
mempersulit kedudukan Raja Abdurrahman. Beliau wafat pada 1843 dengan gelar Post Humous
adalah Marhum Kampung Bulang. Makamnya terletak di atas sebuah bukit yang memaparkan
pemandangan pada mesjid yang dibangunnya.Bangunan bekas istana Sultan Abdurrahman
Muazamsyah yang terakhir ini hanya berupa puing-puing belaka, istana ini disebut Kedaton
dengan lapangan luas disekitarnya. Istana ini mulai rusak sejak Sultan Abdurrahman (1833-
1911). Meninggalkan penyengat karena dimusuhi Belanda akibat sikap beliau menentang
pemerintahan Belanda tahun 1911. Beliau pindah ke Daik, kemudian meninggalkan Daik,
selanjutnya bermukim di Singapura. Sejak itulah istana ini terlantar dan akhirnya runtuh. Istana
Kantor adalah istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VIII (1844-1857) disebut juga
Marhum Kantor. Istana ini berada di bagian tengah Pulau Penyengat, sekitar 150 m sebelah barat
daya Mesjid Raya Sultan Riau Penyengat. Istana ini sebagian sudah hancur yang tersisa hanya
bangunan induknya. Bangunan utama merupakan bangunan bertingkat dua yang pada mulanya
merupakan kantor Raja Ali Haji. Seluruh area bangunan dibatasi dengan tembok keliling yang
mempunyai tiga buah pintu masuk dari afrah barat, utara, dan timur. Pintu gapura berupa gapura
yang sekaligus berfungsi sebagai penjagaan dan pengintaian. Pintu gerbang utara merupakan
pintu gerbang untuk menuju tempat pemandian. Sedangkan pintu gerbang timur -berupa pintu
gerbang biasa yang seolah-olah hanya merupakan pintu darurat. Di halaman bagian dalam
tembok keliling masih terdapat bekas sisa-sisa pantai bangunan.
e) Kerajaan Islam di Sumatra selatan
Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad ke-14, mulailah
proses Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang.
Palembang pada akhir abad ke-16 sudah merupakan daerah kantong Islam terpenting atau
bahkan pusat Islam di bagian selatan “Pulau Emas”. Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat
perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya,
tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya dengan
Palembang sebagai tanah asalnya.

Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak
masa pemerintahan Pate Rodim seperti diberitakan Tome Pires (1512-1515). Mereka berdagang
dengan Malaka dan Pahang. Komoditi yang diperdagangkan adalah beras dan bahan makanan,
katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, kapur barus, dan lain-lainnya.

Meskipun kedudukan Palembang sebagai pusat penguasa Muslim sudah ada sejak 1550, namun
nama tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah Susuhunan Sultan
Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/ Kiai Mas
Endi sejak 1659 sampai 1706. Palembang berturut-turut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan
sultan yang terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).

Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610. Pada 4 November 1659
terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana
Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang dibakar. Kota Palembang
dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan pembangunan-
pembangunan, kecuali Masjid Agung yang hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah
ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei
1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758).

Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama
Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-
tokoh, antara lain, Abdussamad al- Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn
Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan
lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789),
telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap
tentang riwayatnya, ajaran serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya. Dalam
perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan Mahmud Badar II
mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal sebagai
Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe).

Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi pada
Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Kesultanan Palembang. Tetapi
pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melakukan penyerangan dengan banyak armada di
bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian
dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan kekuasaan daerah
Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen
Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom karena
memberontak akhirnya ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan
ke Menado.

f) Sejarah kerajaan islam di sumatera barat

Awal masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatera Barat masih sukar dipastikan. Berita
dari Cina dari dinasti T’ang menyebutkan bahwa pada sekitar abad ke-7 M (674 M) ada
kelompok orang Arab (Ta-shih) dan yang oleh W.P. Goeneveldt perkampungan mereka ada di
pesisir barat Sumatera. Selain pendapat tersebut, ada juga yang berpendapat bahwa Islam datang
dan berkembang di daerah Sumatera Barat baru sekitar akhir abad ke-14 M atau abad ke-15 M
dan Islam sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau.

Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar akhir abad ke-15 mungkin dapat
dihubungkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lengih
Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa
dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya
berada di daerah Kerinci. 

Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat seperti Pariaman, Tiku,
bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang perdagangan, seperti emas, sutra,
damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga
didatangi dua atau tiga kapal dari Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain
pakaian.
Sejak awal abad ke-19 timbul pembaruan Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa
pengaruh Wahabiyah dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, Perang Padri adalah
peperangan yang berlangsung di kawasan Kerajaan Pagaruyung. Perang ini merupakan
peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama.

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803,
yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang
belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku
Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama
dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.

Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa
kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada
kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan
Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan
ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota
kerajaan. 

Perjuangan kaum Padri itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk
keuntungan politik dan ekonominya. Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok
sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia
terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda dengan adanya celah
pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama dalam Perang Padri, memakai kesempatan
demi keuntungan politik dan ekonominya. 

Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda
secara besar-besaran. Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin
Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837.
Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada akhir 1838 berhasil mengukuhkan
kekuasaan politik dan ekonominya di daerah Minangkabau atau di Sumatra Barat. Tuanku Imam
Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta
pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.

2. Sejarah kerajaan islam di Maluku utara

Islam masuk ke Maluku pada abad ke 15 sekitar tahun 1460, raja Ternate memeluk agama
islam yaitu Fongi Tidore. Namun, menurut Taufik dalam Yatim berpendapat raja pertama yang
muslim yaitu Zainal‘Abidin, pada masa itu perdagangan muslim meningkat dan para pedagang
ingin belajar tentang islam pada madrasah giri. Di Giri, ia dikenal dengan raja cengkeh. Selain
itu ia juga dikenal sebagai penyebar utama Islam di Maluku. Berita Portugis juga
mengungkapkan hubungan antara Jawa dan Maluku. Menurut Pires dalam daliman raja-raja
Maluku mulai masuk Islam sekitar 1460-1465, sedangkan menurut Antonio Galfao Islam masuk
sekitar 1540-1545.
Kedudukan raja Islam di Maluku semakin tinggi dan penting berkat perdagangan rempah-
rempah yang menyebabkan rasa semangat untuk memperluas wilayah kekuasaannya dalam
menguasai jalur perdagangan. Kerajaan-kerajaan yang berada di Maluku meliputi:
1.      Kerajaan Jailolo
Kerajaan Jailolo merupakan kerajaan tertua di Maluku. Namun, karena penduduk ternate,
tidore dan bacan lebih banyak maka ketiga daerah itu lebih menonjol. Kerajaan ini berdiri sejak
1321. Wilayahnya meliputi; sebagian Halmahera dan pesisir utara Pulau Seram. Masuknya Islam
di kerajaan ini, tidak lepas dari jasa-jasa para mubaligh; Datuk Mulia Husin, Patih Putah dan
Syekh Mansur.
2.      Kerajaan Bacan
   Raja pertama dari Kerajaan Bacan adalah Sultan Zainul Abidin yang memeluk agama Islam
sejak 1521. Dalam kerajaan Bacan, seorang raja dalam pemerintahannya didampingi oleh
seorang Mangkubumi. Wilayah kekuasaanya meliputi; Kepulauan Bacan, Obi, Waigeo, Solawati
dan Irian Barat (Papua).
   Raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Jailolo yaitu; Sultan Darajati, Fataruba, Tarakabun,
Nyiru, Yusuf, Dias, Bantari, Sagi dan Sultan Hasanuddin (memeluk Islam).
3.      Kerajaan Ternate
Pada awalnya penduduk Ternate (Pulau Gapi) merupakan warga eksodus dari Halmahera.
Awalnya, di Ternate, terdapat empat kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang
momole (kepala marga). Mereka itulah yang mengadakan hubungan dengan para pedagang yang
datang dari segala penjuru untuk mencari rempah-rempah. Mereka jugalah yang mendirikan
kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Penduduk ternate semakin ramai sebab banyaknya
para pedagang yang bermukim disana, mulai dari pedagang arab, jawa, melayu dan tionghoa.
Dengan hal ini, menyebabkan datangnya para perampok sehingga muncullah ide para momole
untuk mengangkat seorang raja tunggal.
Raja terpilih yaitu Baab Mashur Malamo beliau menjadikan kerajaan gapi berpusat di
kampung ternate sehingga orang-orang lebih suka mengatakan kerajaan ternate. Berkembangnya
kerajaan Ternate menimbulkan iri hati terhadap kerajaan di sekelilingnya. Timbullah sengketa
antara Ternate dan Tidore., Bacan dan Jailolo. Dengan hal ini,maka diadakan sebuah persetujuan
yaitu Persetujuan Motir. Persetujuan ini menyatakan bahwa Raja Jailolo akan menjadi raja
utama, sebab ialah raja tertua, diikuti raja Ternate, Tidore dan Bacan. Hal ini tidak berlangsung
lama, sebab Ternate berhasil menempatkan diri sebagai raja utama. Pada akhir abad ke-16,
Ternate berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya. 
Islam masuk di kerajaan Ternate pada waktu masa Raja Zainal Abidin yang sempat belajar di
Giri. Kemudian, setelah ia kembali di Maluku, ia bertemu dengan Patih Puta yang sudah
menganut agama Islam. Kemudian, mereka bekerja sama dengan Mubaligh Datuk Mulia Husin
untuk mengembangkan Islam sampai ke Kerajaan Jailolo. Tak lama kemudian, Portugis datang
ke Maluku. Hal ini membangkitkan pertentangan di Ternate, baik dari segi perdagangan maupun
persaingan agama. Portugis membawa agama Kristen yang ditanamkan oleh Franciscus Xaverius
kepada rakyat Maluku. Dengan hal ini, mengakibatkan orang-orang Tidore bisa bersatu dengan
Ternate untuk melawan Portugis sehingga jatuhlah Benteng Portugis pada tahun 1575.
4.      Kerajaan Tidore
Tidore dikenal dengan nama Kie Duko, yang diartikan sebagai pulau bergunung api.
Kerajaan tidore berpusat pada wilayah kota tidore (mauku utara). Pendiri pertama kerajaan tidore
yaitu jou kolano sahjati. Menurut catatan Portugis, Tidore berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik
tahta. Namun tidak diketahui pusat kerajaannya ada dimana. Sejak awal berdirinya Tidore
sampai raja ke-4, pusat Kerajaan Tidore belum bisa dipastikan keberadaannya. Barulah pada
masa raja Kolano Balibunga pusat kerajaan diketahui yaitu di Balibunga. Di kerajaan Tidore
sempat beberapa kali terjadi perpindahan ibu kota atau pusat kerajaan, banyak sekali faktor yang
mempengaruhinya mulai dari pergantiannya seorang raja, wilayahnya yang luas bahkan
menjauhi dari serangan para musuh serta untuk tujuan dakwah.
Pada tahun 1521, Sultan Mansur di Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk
mengimbangi Ternate yang bersekutu dengan Portugis. Kedatangan Spanyol diprotes oleh
Portugis karena dianggap telah melanggar Perjanjian Tordesillas pada 1494. Pertikaian Portugis 
dan Spanyo memperlemah kedudukan Tidore dan Ternate, misalnya perebutan Benteng Spanyol
di Tidore. Akhirnya, pertikaian ini di akhiri dengan adanya pembaharuan Perjanjian Tordesillas
yang mempertegas bahwa kepulauan Maluku menjadi kekuasaan Portugis.
Setelah Spanyol mundur dari Maluku, Tidore menjadi kerajaan yang paling terkemuka di
wilayah Maluku. Sebab, Tidore berhasil menolak penguasaan VOC terhadap wilayahnya dan
Tidore menjadi merdeka hingga akhir abad ke-18. Selain kedatangan Spanyol, Belanda juga
datang untuk menguasai Maluku. Inggris pun ikut campur dalam masalah ini dengan membantu
mengusir Belanda. Hal ini,terjadi pada masa raja Sultan Nuku. Sultan Nuku memberi kebebasan
kepada Inggris untuk menguasai Ambon dan Banda serta mengadakan perjanjian damai
dengannya.
B.     Raja-Raja  di Kerajaan Maluku
Adapun raja-raja di kerajaan Ternate sebagai berikut:
1.      Baab Mashur Malamo
2.      Jamin Qadrat
3.      Komala Abu Said
4.      Bakuku (Kalabata)
5.      Ngara Malamo (Komala)
6.      Patsaranga Malamo
7.      Cili Aiya (Siding Arif Malamo)
8.      Panji Malamo
9.      Syah Alam
10.  Tulu Malamo, Dll.
Adapun raja-raja di Kerajaan Tidore sebagai berikut:
1.      Sultan Nuruddin
2.      Sultan Hasan Syah
3.      Sultan Cirililiat Alias Jamluddin
4.      Sultan Mansyur
5.      Sultan Aminuddin Iskandar Zulkarnain
6.      Sultan Rijali Mansur
7.      Sultan Iskandar Isani Alias Amiril Mathlan Syah
8.      Sultan Gapi Babuna Alias Bifadlil Siradjuddin Arifin
9.      Sultan Fola Madjino Alias Zainuddin
10.   Sultan Ngora Malamo Alias Alaudin, Dll.
C.     Masa Kejayaan Ternate dan Tidore
1.      Masa Kejayaan Kerajaan Ternate
Kerajaan Ternate berada pada masa kejayaan saat dipimpin oleh Sultan Baabullah yang dapat
meluaskan wilayah kekuasaanTernate yaitu meliputi; batas-batas di utara sampai Mindanao, di
Selatan sampai Bima, di Timur sampai Irian Barat (Irian Jaya) dan di sebelah Barat sampai
Makassar.
2.      Masa kejayaan kerajaan Tidore
            Pada masa Sultan Nuku, Kerajaan Tidore berkembang dengan pesat. Mulai dari wilayah
kekuasaannya yang mencapai Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku
yang member nama pulau-pulau wilayah kekuasannya, adapun nama-nama pulau yang hingga
saat ini masih memakai nama Nuku yaitu; Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau,
Nuku Lae-Lae, Nuku Fetau dan Nuku Nono
3. Sejarah kerajaan islam di papua
. Kerajaan Waigeo, Kerajaan Misool, Kerajaan Salawati dan Kerajaan Sailolof.
Pembahasan mengenai 4 (Empat) kerjaan Islam di Papua tersebut karena sumber-sumber
yang kami baca dan pelajari bahwa keempat kerajaan Islam tersebut merupakan adalah :
1. Merupakan wilayah kekuasaan kerjaan-kerajaan Islam dari Maluku
2. Merupakan kerajaan-kerajaan yang memperoleh pengaruh dari kerajaan-kerajaan yang berada di
Maluku.
Penjelasan tentang keempat kerajaan tersebut kami temui secara kolektif tanpa terpisah-
pisah atau dibahas satu-persatu, baik latar belakang lahirnya setiap kerajaan tersebut maupun
proses keislamannya.
1. Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Waigeo, Kerajaan Misool, Kerajaan Salawati dan
Kerajaan Sailolof.
Sejak abad ke-16, selain di Kepulauan Raja Ampat yang termasuk wilayah kekuasaan Sultan
Bacan dan Sultan Ternate, kawasan lain di Papua yaitu daerah pesisir Papua dari pulau Biak
(serta daerah sebaran orang Biak) sampai Mimika merupakan bagian dari wilayah mandala
Kesultanan Tidore, sebuah kerajaan besar yang berdekatan dengan wilayah Papua. Tidore
menganut adat Uli-Siwa (Persekutuan Sembilan), sehingga propinsi-propinsi Tidore seperti Biak,
Fakfak dan sebagainya juga dibagi dalam sembilan distrik (pertuanan).
Berdasarkan sejarah, di Kepulauan Raja Ampat terdapat empat kerajaan tradisional, masing-
masing adalah kerajaan Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai, pulau Waigeo;
kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaan di Samate, pulau Salawati Utara; kerajaan Sailolof
dengan pusat kekuasaan di Sailolof, pulau Salawati Selatan, dan kerajaan Misool, dengan pusat
kekuasaan di Lilinta, pulau Misol. Penguasa Kerajaan Lilinta/Misol (sejak abad ke-16 bawahan
kerajaan Bacan).
2. Proses Masuknya Islam di Kerajaan Waigeo, Kerajaan Misool, Kerajaan Salawati dan
Kerajaan Sailolof.
Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembangkan oleh pedagang-pedagang Bugis
melalui Banda dan Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi
yang telah lama menetap di Ambon. Proses pengislamannya dilakukan dengan cara khitanan. Di
bawah ancaman penduduk setempat jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh akan dibunuh,
namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian penduduk setempat
berduyun-duyun masuk agama Islam.
Islam di Papua berasal dari Bacan. Pada masa pemerintahan Sultan Mohammad al-Bakir,
Kesultanan Bacan mencanangkan syiar Islam ke seluruh penjuru negeri, seperti Sulawesi,
Fiilipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa dan Papua. Menurut Thomas Arnold, Raja Bacan
yang pertama kali masuk Islam adalah Zainal Abidin yang memerintah tahun 1521.
Pada masa ini Bacan telah menguasai suku-suku di Papua serta pulaupulau di sebelah barat
lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati. Sultan Bacan kemudian meluaskan
kekuasaannya hingga ke semenanjung Onin Fakfak, di barat laut Papua tahun 1606. Melalui
pengaruhnya dan para pedagang muslim, para pemuka masyarakat di pulau-pulau kecil itu lalu
memeluk agama Islam. Meskipun pesisir menganut agama Islam, sebagian besar penduduk asli
di pedalaman masih tetap menganut animisme.
Secara geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan dengan
Maluku. Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan Maluku Tengah, Tenggara dan
Selatan, sedangkan dengan Raja Ampat memiliki kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena
itu, dalam membahas sejarah masuknya Islam ke Fakfak kedua alur komunikasi dan relasi ini
perlu ditelusuri mengingat warga masyarakat baik di Semenanjung Onim Fakfak maupun Raja
Ampat di Sorong, keduanya telah lama menjadi wilayah ajang perebutan pengaruh kekuasaan
antara dua buah kesultanan atau kerajaan besar di Maluku Utara (Kesultanan Ternate dan
Tidore). Nampaknya historiografi Papua memperlihatkan bahwa yang terakhir inilah (Kesultanan
Tidore) yang lebih besar dominasinya di pesisir pantai kepulauan Raja Ampat dan Semenajung
Onim Fakfak.
Di Kepulauan Raja Empat sendiri terdapat beberapa Distrik Kerajaan-Kerajaan Islam yaitu :
a.        Kerajaan Namatota
Dari silsilah Raja Namatota diketahui bahwa Raja Namatota pertama yakni Ulan
Tua, telah memeluk Islam hingga sekarang diketahui merupakan generasi kelima. Lamarora
merupakan raja kedua kerajaan Namatota diperkirakan hidup pada tahun 1778-1884. Raja
Lamarora selanjutnya datang ke daerah Kokas dan disana beliau telah menyebarkan agama Islam
dan kawin dengan perempuan bernama Kofiah Batta, selanjutnya pasangan ini merupakan cikal-
bakal Raja-raja Wertuar. Salah seorang Raja Wertual (Kokas) bernama M. Rumandeng al-Amin
Umar Sekar 1934, dengan gigih pernah menentang pemerintah Belanda dengan tidak mau
menyetor uang tambang minyak kepada mereka. Akibatnya dia dipenjara di Hollandia (Jayapura)
sebelum kemudian dibebaskan.
b.        Kerajaan Komisi
Seorang Putera Mahkota Raja Komisi bernama Hakim Achmad Aituararauw
.menyebutkan bahwa kerajaan Islam pertama didirikan di Pulau Adi pada tahun 1626 dengan
nama Eraam Moon, yang diambil dari bahasa Adi Jaya yang artinya “Tanah Haram”. Raja
pertamanya bernama Woran. Namun jauh sebelumnya pada abad ke XV (1460-1541) penguasa
pertama di pulau Adi, Ade Aria Way, telah menerima Islam yang dibawa oleh Syarif Muaz yang
mendapat gelar Syekh Jubah Biru, yang menyebarkan Islam di utara dan kawasan itu. Namun
sambutan positif lebih banyak diterima di pulau Adi dalam hal ini di daerah kekuasaan Ade Aria
Way. Setelah masuk Islam Ade Aria Way berganti nama menjadi Samai. Kemudian Samai
mencatat bahwa pada tahun 1760 Ndovin yang merupakan generasi kelima dari Samai
mendirikan kerajaan Kaimana dan bertahta di sana dengan gelar Rat Umis As Tuararauw yang
kemudian dikenal dengan nama Raja Komisi
c.         Kerajaan Fatagar
Keterangan yang diperoleh dari Raja Fatagar, Arpobi Uswanas 1997, menceritakan
bahwa Fatagar I yaitu Tewal, diperkirakan hidup pada tahun 1724-1814. Raja Tewal bertahta di
daerah Tubir Seram, yang hijrah dari Rumbati (daerah Was). Pada saat kerajaan Fatagar masih di
Rumbati, disana Islam sudah ada dan berkembang dengan ditemukannya puing-puing bekas
reruntuhan masjid. Itu berarti Islam sudah masuk di daerah Rumbati sebelum tahun 1724.
Sementara itu, berdasarkan keterangan Raja Rumbati ke 16, H. Ibrahim Bauw 1986, bahwa
Islam masuk di Was pada tahun 1506 melalui perang besar antara Armada Kesultanan Tidore
yang dipimpin Arfan dengan Kerajaan Rumbati.
d.        Kerajaan Ati-Ati
Di Kabupaten Fakfak pada masa awal masuknya agama Islam ada empat raja yang
berkuasa diantaranya Raja Ati-ati, Ugar, Kapiar dan Namatota (sekarang masuk dalam wilayah
kabupaten Kaimana). Masing-masing raja tersebut mendirikan mesjid dan mesjid tersebut yang
digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi mesjid yang didirikan
oleh raja Ati-ati pada saat itu pada umumnya terbuat dari kayu sehingga tidak bisa lagi
ditemukan wujud maupun sisa-sisanya. Satu-satunya mesjid yang ditunjukkan oleh keturunan
Raja Ati-ati adalah mesjid Werpigan yang dibangun pada tahun 1931 oleh Raja ke-9.
e. Kerajaan Rumbati
Salah satu raja mantan raja dari kerajaan Rumbati adalah Patipi. Beliau sudah
memerintah sejak lama. Beliau dikenal karena keinginannya memperkenalkan dan membawa
Islam kepada orang-orang disekitarnya. Keberadaan dinasti raja ini adalah dinasti kedua yang
mana pernah memerintah di Patipi
f. Kerajaan Pattipi
Masuknya Islam di Papua, khususnya di Teluk Patipi, memiliki keterkaitan dengan
masuknya agama Islam di Papua. Masuknya Islam di tanah Papua terdiri dari tujuh versi, yaitu
versi orang Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta versi Tidore dan Ternate. Masing
masing dengan argumentasinya yang berbeda-beda. Menurut orang asli Papua Fakfak, yang
masih kuat dengan adat dan legendanya, Islam bukan dibawa dan disebarkan oleh Kerajaan
Tidore, Arab, Jawa, atau Sulawesi. Akan tetapi, Islam sudah berada di Pulau Papua sejak pulau
ini diciptakan oleh Tuhan.
g. Kerajaan Sekar
Informasi atau tentang situs-situs khusus Kerajaan Sekar sulit diperoleh, namun
dapat diyakini bahwa Kerajaan Sekar merupakan salah satu kerajaan dari 9 kerajaan Islam yang
berada di Kepulauan Raja Empat.
h. KerajaanWertuar
Raja Wetuar ke X yakni Musa Haremba, bahwa Raja pertama Wertuar adalah
Vijao. Penduduk meyakini bahwa asal muasal Raja Vijao ini dari cahaya, sedang Raja kedua
bernama Ukir. Selanjutnya Raja ketiga bernama Winey yang beristrikan Boko Kopao dari
Namatoria. Dari susunan Raja-raja Wertuar, yang dilantik Sultan Tidore adalah Raja ketujuh
yakni Lakate pada tahun 1886. Namun pendapat lain mengatakan bahwa yang dilantik adalah
Raja Wertuar keenam, yakni Sanempe. Hubungan Lakate dengan Sanempe adalah hubungan
saudara dan bukan hubungan bapak anak, yang berarti mereka hidup dalam satu zaman. •
Terlepas dari siapa yang dilantik dari kedua raja tersebut, kedua sumber tadi menjelaskan bahwa
Raja Wertuar tersebut dilantik oleh Sultan Tidore yang bernama Muhammamd taher Alting pada
tahun 1886 di Karek, Sekar Lama. Turut hadir dalam peristiwa pelantikan adalah Raja Rumbati,
Abdul Jalil, dan Raja Misool Abdul Majid.
i.Kerajaan Arguni.
Di Semenanjung Onin terdapat tiga kerajaan tradisional, yaitu kerajaan
Rumbatikerajaan Fatagar, dan kerajaan Atiati.Di samping tiga kerajaan tersebut di atas ada pula
beberapa kerajaan lain yaitu kerajaan-kerajaan yang pada mulanya berada di bawah kekuasaan
kerajaan Rumbati, tetapi kemudian berhasil memperoleh pengakuan sebagai kerajaan tersendiri
terutama pada masa awai pax neerlandica (1898).
1.        Kerajaan Patipi,
2.        Kerajaan Sekar,
3.        Kerajaan Wertuar dan
4.        Kerajaan Arguni.
Seperti halnya Kerajaan Sekar, informasi ataupun data lengkap dari kerajaan ini sulit
ditemukan.
3. Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Waigeo, Kerajaan Misool, Kerajaan Salawati
dan Kerajaan Sailolof.
Pengaruh Agama Islam Dalam Kehidupan Potret suasana keagamaan di daerah
Papua sangat unik, karena di satu sisi agama Islam telah merupakan ”agama resmi” bagi
kerajaan-kerajaan di kepulauan Raja Ampat, Semenanjung Onin dan di daerah Kowiai
(Kaimana). Hal ini ditandai dengan raja dan keluarganya telah memeluk agama Islam, serta
adanya institusi resmi yang berkaitan pengaturan kehidupan masyarakat. Pengaruh raja
umumnya sangat besar dalam membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Akan tetapi di sisi lain
tampak pengamalan ajaran Islam sebagian penduduk Papua masih kurang mendalam sehingga
terjadi keadaan yang kontradiktif. Diterimanya Islam sebagai agama dan jalan hidup masyarakat
Papua, maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya memperoleh warna baru. Keadaan ini
terjadi karena penerimaan mereka kepada Islam sebagai agama, tidak terlalu banyak mengubah
nilai-nilai, kaidah-kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Apa yang
dibawa oleh Islam pada mulanya datangnya, hanyalah urusan-uruasan ‘ubudiyah (ibadat) dan
tidak mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada. Islam mengisi sesuatu
dari aspek kultural mereka, karena sasaran utama dari pada penyebaran awal Islam hanya tertuju
kepada soal iman dan kebenaran tauhid.
B. TEORI MASUKNYA ISLAM DI PAPUA
1. Teori Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagaian rakyat asli
Papua, khususnya yang berdiam di wilayah Fakfak, Kaimana, Manokwari dan Raja Ampat
(Sorong). Teori ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan di bawa dan
disebarkan oleh Kerajaan Ternate dan Tidore atau pedagang Muslim dan da’I dari Arab,
Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun Islam berasal dari Papua itu sendiri sejak pulau
Papua diciptakan oleh Allah Swt. mereka juga mengatakan bahwa agama Islam telah terdapat di
Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri, dan mereka meyakini kisah bahwa dahulu
tempat turunya Nabi Adam dan Hawa berada di daratan Papua.
2. Teori Aceh
Studi sejarah masukanya Islam di Fakfak yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten Fakfak
pada tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam datang pada tanggal 8 Agustus 1360 M, yang
ditandai dengan hadirnya mubaligh Abdul Ghafar asal Aceh di Fatagar Lama, kampong Rumbati
Fakfak. Penetapan tanggal awal masuknya Islam tersebut berdasarkan tradisi lisan yang
disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati XVI (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati
XVII (H. Ismail Samali Bauw), mubaligh Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374
M) di Rumbati dan sekitarnya, kemudian ia wafat dan di makamkan di belakang masjid
kampong Rumbati pada tahun 1374 M.
3. Teori Arab
Menurut sejarah lisan Fakfak, bahwa agama Islam mulai diperkenalkan di tanah Papua,
yaitu pertamakali di Wilayah jazirah onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif
Muaz al-Qathan dengan gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab, yang di perkirakan terjadi pada
abad pertengahan abad XVI, sesuai bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitat 400
tahun atau di bangun sekitar tahun 1587. Selain dari sejarah lisan tadi, dilihat dalam catatan hasil
Rumusan Seminar Sejarah Masuknya Islam dan Perkembanganya di Papua, yang dilaksanakan di
Fakfak tanggal 23 Juni 1997, dirumuskan bahwa :
a.         Islam dibawa oleh sultan abdul qadir pada sekitar tahun 1500-an (abad XVI), dan diterima
oleh masyarakat di pesisir pantai selatan Papua (Fakfak, Sorong dan sekitarnya)
b.        Agama Islam datang ke Papua dibawa oleh orang Arab (Mekkah).
4. Teori Jawa
Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan pada tanggal 15 Juni 1946, menceritakan
bahwa orang Papua yang pertama masuk Islam adalah Kalawen yang kemudian menikah dengan
siti hawa farouk yakni seorang mublighat asal Cirebon. Kalawen setelah masuk Islam berganti
nama menjadi Bayajid, diperkirakan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1600. Jika dilihat dari
silsilah keluarga tersebut, maka Kalawen merupakan nenek moyang dari keluarga Arfan yang
pertama masuk Islam.
5. Teori Banda
Menurut Halwany Michrob bahwa Islamisasi di Papua, khusunya di Fakfak dikembagkan
oleh pedagang-pedagang Bugis melalui banda yang diteruskan ke fakfak melalui seram timur
oleh seorang pedagang dari Arab bernama haweten attamimi yang telah lama menetap di ambon.
Microb juga mengatakan bahwa cara atau proses Islamisasi yang pernah dilakuka oleh dua orang
mubaligh dari banda yang bernama salahuddin dan jainun, yaitu proses pengIslamanya dilakukan
dengan cara khitanan, tetapi dibawah ancaman penduduk setempat yaitu jika orang yang disunat
mati, kedua mubaligh tadi akan dibunuh, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan
tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
6. Teori Bacan
Kesultanan bacan dimasa sultan mohammad al-bakir lewat piagam kesiratan yang
dicanangkan oleh peletak dasar mamlakatul mulukiyah atau moloku kie raha (empat kerajaan
Maluku: ternate, tidore, bacan, dan jailolo) lewat walinya ja’far as-shadiq (1250 M), melalui
keturunannya keseluruh penjuru negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, philipina,
Kalimantan, nusa tenggara, Jawa dan Papua.
Menurut Arnold, raja bacan yang pertama masuk Islam bernama zainal abiding yang
memerintah tahun 1521 M, telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau disebelah
barat lautnya, seperti waigeo, misool, waigama dan salawati. Kemudian sultan bacan meluaskan
kekuasaannya sampai ke semenanjung onin fakfak, di barat laut Papua pada tahun 1606 M,
melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau – pulau
tadi memeluk agama Islam. Meskipun masyarakat pedalaman masih tetap menganut animisme,
tetapi rakyat pesisir menganut agama Islam.
Dari sumber – sumber tertulis maupun lisan serta bukti – bukti peninggalan nama – nama
tempat dan keturunan raja bacan yang menjadi raja – raja Islam di kepulauan raja ampat. Maka
diduga kuat bahwa yang pertama menyebarkan Islam di Papua adalah kesultanan bacan sekitar
pertengahan abad XV. Dan kemudian pada abad XVI barulah terbentuk kerajaan – kerajaan kecil
di kepulauan raja ampat itu.
7. Teori Maluku Utara (Ternate-Tidore)
Dalam sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore yang menyebutkan bahwa pada tahun 1443
M Sultan Ibnu Mansur ( Sultan Tidore X atau sultan Papua I ) memimpin ekspedisi ke daratan
tanah besar ( Papua ). Setelah tiba di wilayah pulau Misool, raja ampat, maka sultan ibnu Mansur
mengangkat Kaicil Patrawar putra sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi ( Kapita
Gurabesi ). Kapita Gurabesi kemudian di kawinkan dengan putri sultan Ibnu Mansur bernama
Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan dikepulauan Raja Ampat tersebut adalah
kerajaan Salawati, kerajaan Misool/kerajaan Sailolof, kerajaan Batanta dan kerajaan Waigeo.
Dari Arab, Aceh, Jawa, Bugis, Makasar, Buton, Banda, Seram, Goram, dan lain – lain.
Di peluknya Islam oleh masyarakat Papua terutama didaerah pesisir barat pada abad
pertengahan XV tidak lepas dari pengaruh kerajaan – kerajaan Islam di Maluku ( Bacan, Ternate
dan Tidore ) yang semakin kuat dan sekaligus kawasan tersebut merupakan jalur perdagangan
rempah – rempah ( silk road ) di dunia. Sebagaimana ditulis sumber – sumber barat, Tomé Pires
yang pernah mengunjungi nusantara antara tahun 1512-1515 M. dan Antonio Pegafetta yang tiba
di tidore pada tahun 1521 M. mengatakan bahwa Islam telah berada di Maluku dan raja yang
pertama masuk Islam 50 tahun yang lalu, berarti antara tahun 1460-1465. Berita tersebut sejalan
pula dengan berita Antonio Galvao yang pernah menjadi kepala orang – orang Portugis di
Ternate (1540-1545 M). mengatakan bahwa Islam telah masuk di daerah Maluku dimulai 80 atau
90 tahun yang lalu.
Proses masuknya Islam ke Indonesia tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan
militer. Penyebaran Islam tersebut dilakukan secara damai dan berangsur-angsur melalui
beberapa jalur, diantaranya jalur perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan
pesantren dan lain sebagainya, akan tetapi jalur yang paling utama dalam proses Islamisasi di
nusantara ini melalui jalur perdagangan, dan pada akhirnya melalui jalur damai perdagangan
itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam
masih relatif terbatas hanya di sekitar kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi
guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru itu.
Bukti-bukti peninggalan sejarah mengenai agama Islam yang ada di pulau Papua ini, sebagai
berikut:
a.         Terdapat living monument yang berupa makanan Islam yang dikenal dimasa lampau yang
masih bertahan sampai hari ini di daerah Papua kuno di desa Saonek, Lapintol, dan Beo di distrik
Waigeo.
b.        Tradisi lisan masih tetap terjaga sampai hari ini yang berupa cerita dari mulut ke mulut tentang
kehadiran Islam di Bumi Cendrawasih.
c.         Naskah-naskah dari masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya yang berada di beberapa masjid
kuno.
d.        Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip kuno brhuruf Arab. Lima
manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran yang berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang
lebih 50 x 40 cm, yang berupa mushaf Al Quran yang ditulis dengan tulisan tangan di atas kulit
kayu dan dirangkai menjadi kitab. Sedangkan keempat kitab lainnya, yang salah satunya
bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa. Kelima kitab
tersebut diyakini masuk pada tahun 1214 dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari kerajaan
Samudra Pasai yang datang menyertai ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk
melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun
koba-koba, Pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan
ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip dengan manuskrip yang
ditulis di atas daun lontar yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur.
e.         Masjid Patimburak yang didirikan di tepi teluk Kokas, distrik Kokas, Fakfak yang dibangun
oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama kecil Semempe

Anda mungkin juga menyukai