Anda di halaman 1dari 61

Nama : Kintan Aulia Renata

Kelas : X IPS 3
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata pelajaran sejarah wajib dengan tepat
waktu.

Terimakasih

Wassalamu’alaikum, Wr. Wb

Bekasi, 17 Oktober 2020

Penulis

Kintan Aulia Renata


KERAJAAN SAMUDRA PASAI

Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah
kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.Belum begitu banyak bukti
arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun
beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari
Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin
berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya. Kerajaan ini didirikan oleh Marah
Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga
tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah
ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
• PEMBENTUKAN AWAL

Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu,
setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.
Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga
kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau
1267 M.[5] Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan
Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, tetapi dalam catatan
Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam
lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatra
waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara
(Samudera).

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad
Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan
Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di
Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan
sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia
meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan
memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn
Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera)
menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi’i.
• RELASI DAN PERSAINGAN

Kesultanan Pasai kembali bangkit di bawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir
tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Tiongkok ia juga dikenal
dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya
pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut
dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat
oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai
dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan
timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan
laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus
ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu
berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga
menyampaikan hadiah dari Kaisar Tiongkok, Lonceng Cakra Donya.

Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han
namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai
untuk menyampaikan berita tersebut.
• PEMERINTAHAN

Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu
Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang
menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak
memiliki benteng pertahanan dari batu, tetapi telah memagari kotanya dengan kayu, yang
berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat
masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan
menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah
mengakibatkan kapal terbalik.[10] Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat
bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.

Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara
anak-anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa
petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya
juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi
bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu
Sultan Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan
Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat
di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir)
disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan
memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan
mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
• PEREKONOMIAN

Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditas andalannya, dalam
catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam
perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada
masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni
dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.

Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali
setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah
penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik,
dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan
rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.

• AGAMA DAN BUDAYA

Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan
Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,[14]
telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip
dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan
kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan
hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja
Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
• AKHIR PEMERINTAHAN

Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di


Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin[15] menceritakan Sultan Pasai
meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun
Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang
sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai
sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.

• WARISAN SEJARAH

Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1267 M, dirujuk oleh
sejarawan sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13.
Walau ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat
Raja-raja Pasai memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya telah
membantu dalam mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini. Kejayaan
masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali menggunakan
nama pendiri kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh, Bandara Malikussaleh dan
Museum Islam Samudera Pasai di Aceh Utara.
KESULTANAN ACEH DARUSALLAM

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di
provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota
Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam
sejarahnya yang panjang itu (1496 – 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem
pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki
sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
• SEJARAH

Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya
kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan
beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada
tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama
Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan
oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.

Masa Kejayaan

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan
oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh[diragukan – diskusikan][butuh rujukan]
menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada
1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta
kerajaan pada pengikutnya.

Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena


kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan
orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari
Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan
menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai
penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[3]
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.[4]

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku
Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke
Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan
untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

Masa Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta
Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya
perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat
kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda)
yang melatar-belakangi pengangkatan ratu. Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para
Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan
di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh
sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa
elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah
seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan
tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar,
kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini,
Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan
berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga
sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya
berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata. Perang saudara dalam
hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada
masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang
terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya
menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles
dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu
berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang
saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan
Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870). Sultan Mansyur Syah
berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia
berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya
tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur,
sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen
dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap
Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu
dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai
pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana
bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa
alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi
dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[3]

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah
ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku
Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal.
Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja
Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum
moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang
yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, dimana
disebutkan dengan jelas “Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan
Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan.” Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu
Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang
Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki.
Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang
dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika
namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga
tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibu
kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal
invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut wilayah
yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-lagi gagal, dan pada 1892
dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden
yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan
saran kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan
kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus
van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-
habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.

Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk
memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan
Belanda. Namun, permintaan sultan ditolak Rusia.[6]

Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada
Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul
pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama
keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal
Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.

Restorasi

Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada


tahun 1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-
abad lamanya. Di akhir tahun 1930an, berkembang gagasan untuk menghidupkan monarki
dengan memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang
secara terbuka gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah
untuk duduk di singgasana kembali. Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung
gagasan tersebut mengusulkan Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai
pribumi aceh tertinggi di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.

Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar di
masa pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh
posisi mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa
ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku
Muhammad Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah
Teungku Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan,
melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu Tuanku
Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik
sedangkan Tuanku Mahmud meski cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.

Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung ide ini. Hal
ini dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan hidup di bawah
kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan Belanda dan banyak dari
uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak mempunyai tempat untuk mengadukan
nasib, karena Belanda senantiasa berpihak kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi
jika ada pemerintahan Sultan, setidaknya Sultan berada di bawah bayang-bayang ulama.

• PEMERINTAHAN
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan
awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke
Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga
tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat
Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe
dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar
“Jiname Aceh” (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus
ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung
berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah
adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée,
Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[9]

Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu
keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan
perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[10]

Perangkat Pemerintahan

Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah
badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:

 Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang aggotanya
terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat
rencana dan penelitian.
 Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul Adil,
yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan
Rakyat sekarang.
 Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu’adhdham Orang Kaya
Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau
sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
 Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh
seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen
Perdagangan.
 Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira
Departemen Pertahanan.
 Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja
Panglima Wazir Mizan; kira-kira Departemen Kehakiman.
 Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan
perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya
Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
 Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya

 Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan


 Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
 Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang;
kira-kira Menteri Dalam Negeri.
 Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan
pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
 Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat
negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir
Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara yg

Ulèëbalang & Pembagian Wilayah


Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie,
Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah
bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua
daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe,
disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Setiap daerah
dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 – 1098 H =
1678 – 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily
dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah
otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut
pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):

 Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem
Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud
Daulah (Menteri Negara).
 Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul
‘Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis
Ulama Kerajaan.
 Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima
Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul
Harb (Menteri Urusan Peperangan).

Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah.
Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Masjid untuk melakukan
shalat jumat sesuai mazhab Syafi’ie. Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki
hak otonom yang luas.

Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah
pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta
di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua
Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini
sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan.
Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-
saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya
kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.

• PEREKONOMIAN

Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah
barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi
kesultanan.[16] Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor
adalah lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta
diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan
Meulaboh.

• KEBUDAYAAN

Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana
Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh – Belanda. Kini, bagian inti dari
Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah
menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan “asrama keraton” TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada
masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan
Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya
dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh – Belanda. Peninggalan
arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng
Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga
Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman
Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.

Kesusasteraan

Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam
bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang
berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut
Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh
Ulee, Cham Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib
Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.Salah satu karya kesusateraan yang
paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-
Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-
1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan
karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin
(Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang
Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair
Dagang dan Syair Perahu.

Karya Agama

Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia
Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur’an Anwaarut Tanzil
wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke
dalam bahasa jawi.

Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil
Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-
Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal
adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.

Militer

Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat
senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu
memproduksi meriam sendiri dari Kuningan
KERAJAAN ISLAM DI JAMBI

• GEOGRAFI

Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatra. Sungai
ini, dan anak-anak sungainya, seperti Tembesi, Tabir dan Merangin, merupakan tulang
punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki
cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi utama
Jambi.

• KEPENDUDUKAN

Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak
60.000 jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu Jambi berdiam di
pinggiran sungai Batang Hari dan Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan
orang Batin mendiami wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagi
orang Penghulu, yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.
• SEJARAH

Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Malayu, dan kemudian menjadi bagian
dari pendudukan wilayah Sriwijaya yang berpusat di palembang. Pada akhir abad ke-14
Jambi merupakan vasal Majapahit, dan pengaruh Jawa masih terus mewarnai kesultanan
Jambi selama abad ke-17 dan ke-18.

Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah itu. Pada 1616
Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh,[butuh rujukan] dan
pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan
Palembang.[butuh rujukan] Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Tahun 1680-an
Jambi kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan lada utama, setelah perang dengan Johor
dan konflik internal.

Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir,
menyerah Belanda. Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang. Tahun 1906
kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
• PEMERINTAHAN

Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan
empat keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh.
Selain memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang
mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam menjalankan
pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang
anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan
mewakili negara bagi dunia luar.

• Raden Abdurrahman Dinobat Sebagai Sultan Jambi

Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi kini telah memiliki seorang sultan. Setelah sekian puluh
tahun lamanya, pelestarian Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi sejak wafatnya Sultan Thaha
Syaifuddin, saat penyerangan penjajah Belanda yang dipimpin oleh Leutenant G. Badings ke
tempat terakhir pelarian Sultan Thaha Syaifuddin di Tanah Garo, dan wafat dalam
pertempuran di Desa Betung Bedarah, Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo pada 1904.
Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi hingga awal tahun 2012 ini, sebagai bagian pelestarian
aset sejarah dan budaya Melayu Nusantara, malahan belum berdiri tegak. Namun kejayaan
dan kemasyuran Kesultanan Jambi di era Sultan Thaha Syaifuddin tempo dulu bakal
terwujud dengan digelarnya prosesi adat agung penobatan penerus Sultan Thaha Syaifuddin
kepada Raden Abdurrachman Bin Raden Djak’far Kertopati gelar Pangeran Mudo, sebagai
Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi (pelestarian) yang baru, beserta permaisuri Ratu
Mas Siti Aisah Bin Raden Haji Usman Yasin gelar Ratu Aisah Kusumo Ningrat. Penobatan
yang digelar di Ball Room Hotel Novita pada Minggu, 18 Maret 2012.

Acara Penobatan ini dilaksanakan oleh DYMM Tuanku Ratu Saripah Murliani Cahaya Kyasa
Alam Nan Sakti Bahtuah Ibn Syed Al Atif Al Qadiri Ibn DYMM Raja M Jamil ibn DYMM Rajo
Saudagar Nan sakti Bahtuah Ibn DYMM Rajo Tiang Bongkok, Sultan Alam Kerinci Nan Sakti.
Ini kerana untuk mengembalikan sejarah asal penobatan Sultan Jambi adalah yang
diperkenankan oleh keturunan Kerajaan Alam Kerinci Nan Sakti.

Penobatan ini berdasarkan penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Kelas I Jambi
Nomor.18/Pdt.P/2008/PA.Jb, tertanggal 19 Mei 2008. Yang diketuai oleh Mahmuddin Rasyid
MH, serta dua orang hakim anggota lainnya, yaitu Muhammad DJ dan Mahmud Fauzi,
ditambah seorang panitera pengganti, Yusran Marpaung.

Majelis Hakim Pengadilan Agama Jambi menetapkan bahwa Raden Abdurrachman Bin
Raden Dja’far Kertopati gelar Pangeran Mudo, adalah keturunan sah dari garis keturunan
Raja Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, dari garis lurus keturunan Sultan Thaha Syaifuddin
Gelar Pangeran Jayaningrat dengan Permaisuri Ratu Chalijah gelar Ratu Anom Kesumo
Ningrat sebagai Ahli Waris dan Penerima Waris tahta pelestarian Kerajaan Melayu
Kesultanan Jambi sekarang.

Posisi Raden Abdurrachman Bin Raden Dja’far Kertopati gelar Pangeran Mudo diperkuat lagi
berdasarkan dokumen ‘Surat Wasiat’ milik ayah kandung Raden Iskandar HK gelar Pangeran
Prabu yaitu Raden Hasan Basri Bin Raden Inu Kertopati Bin Sultan Thaha Syaifuddin pada
1989. Yakni satu tahun, sebelum Raden Hasan Basri wafat pada 1990 lalu,

Surat wasiat tersebut menyatakan bahwa apabila kelak seluruh keluarga besar dan
keturunan Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, yaitu Sultan Thaha Syaifuddin, yang
juga telah ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat
Keputusan Presiden RI Nomor.079/TK/1977 ini, serta segenap unsur pemerintah daerah
Provinsi Jambi di dalam memutuskan dan menentukan sikap, siapa yang berhak sebagai ahli
waris dan penerima waris tahta Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi sebagai Sultan Jambi,
untuk meneruskan tongkat estafet kesultanan maupun Sultan Jambi Pelestarian, yaitu
Raden Abdurrachman bin Raden Ja’far Kertopati gelar Pangeran Mudo.

Riwayat sosok Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi pelestarian ini, yakni Sultan
Abdurrachman Thaha Syaifuddin, dia adalah putra mahkota dari Raden Dja’far Kertopati Bin
Raden Inu Kertopati, dan ibunya bernama Ratu Mas Maimunah gelar Ratu Kecik Binti RA.
Rahman gelar Pangeran Ratu Martoningrat Bin Sultan Thaha Syaifuddin.

Secara langsung mempunyai anak tunggal selaku pewaris tahta sekaligus putra mahkota
Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, yaitu Raden Abdurrachman alias Raden Guntur bergelar
Pangeran Mudo.

Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin yang
lahir di salah satu kamar bagian tengah Rumah Dinas Residen Jambi yang pertama (sekarang
Rumah Dinas Gubernur Jambi), Raden Inu Kertopati di Tanah Putih, Kecamatan Pasar, Kota
Jambi sekarang, pada Jum’at, 16 Juni 1950.

Menanamatkan pendidikan terakhirnya di SMA Negeri 1 Kota Jambi dan bekerja sebagai
PNS (Pegawai Negeri Sipil) dilingkungan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Pemerintah Provinsi Jambi hingga diai pensiun pada 2006.

Dari pernikahan dirinya dengan Ratu Mas Siti Aisyah gelar Ratu Aisyah Kesumo Ningrat,
dikaruniai dua orang putra dan seorang putri, masing-masing yaitu Raden Rano Dwi Anggoro
gelar Pangeran Ratu sebagai pewaris tahta sekaligus putra mahkota Kerajaan Melayu
Kesultanan Jambi pelestarian, Raden Wawan Pitrah Nugraha dan Ratu Mas Nora Fitria Ulfah.
Gelar kesultanan yang melekat pada dirinya, yaitu Pangeran Mudo dan Ratu Ngurah Sultan
Abdurrachman Thaha Syaifuddin. Gelar Ratu Ngurah tersebut merupakan gelar kekerabatan
yang diperolehnya dari Raja Bali, DR. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta
Wedasteraputra Suyasa III ketika acara peresmian Museum Soekarno pada 11 November
2011 di Tampak Siring, Gianyar, Bali. Disamping itu, dirinya juga terlibat aktif di beberapa
organisasi sultan dan raja se-Nusantara, seperti anggota AKKI (Asosiasi Kerajaan Kesultanan
Indonesia), dan anggota Yayasan Raja Sultan Nusantara (YARASUTRA)

KERAJAAN ISLAM DI RIU

Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di
Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kesultanan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil
dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat
dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai
sebuah kerajaan bahari yang kuat[2] dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir
timur Sumatra dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan
terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus
mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatra dan Kalimantan.[3][4][5] Pasang surut
kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur
perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak
terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik
Indonesia.

• ETIMOLOGI

Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat
beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” dan indera atau indra dapat
bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan “kota” atau “kerajaan”. Siak
dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak
ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat
dikatakan sebagai Orang Siak.

Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag
atau Asiagh yang bermaksud pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,
masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai
Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani.[10] Berkaitan dengan ini pada
sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan
sebagai Orang Sakai.

• AGAMA

Setelah itu perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu
pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas
di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat
menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman
Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu
sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara di Semenanjung
Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan
urusan agama Islam.

Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, namun sedikit pengaruh
Minangkabau dengan identitas matrilinealnyamasih mewarnai tradisi masyarakat Siak.
Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana
berlaku dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa
untuk warisan dalam bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.

• MASA AWAL

Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak
merupakan kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai
kawasan pelabuhan raja Minangkabau,[15] kemudian menjadi vasal Malaka sebelum
ditaklukan oleh Portugal. Sejak jatuhnya Malaka ke tangan VOC, Kesultanan Johor telah
mengklaim Siak sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Hal ini berlangsung hingga
kedatangan Raja Kecil yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak.[3]

Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas
mufakat masyarakat di Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan Siak dari pengaruh
Kesultanan Johor.[5] Sementara dalam Hikayat Siak, Raja Kecil disebut juga dengan sang
pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan.[16] Berdasarkan
korespondensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal
Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya
yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.[17] Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam
suratnya tersendiri yang ditujukan kepada pihak Belanda, menyebut dirinya sebagai Raja
Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.[18]
Sebelumnya dari catatan Belanda, dikatakan bahwa pada tahun 1674 telah datang utusan
dari Johor meminta bantuan raja Minangkabau untuk berperang melawan raja Jambi.[19]
Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin, juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya
serangan Jambi ke Johor (1673),[20] yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan
Johor, yang sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh.[21][22] Kemudian
berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694,
menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan
mereka.

Pada tahun 1718, Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus
mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor.
Namun pada tahun 1722, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak
Bendahara Johor, yang juga menuntut hak atas tahta Johor. Atas bantuan pasukan bayaran
dari Bugis, Raja Sulaiman kemudian berhasil mengkudeta tahta Johor, dan mengukuhkan
dirinya menjadi penguasa Johor di Semenanjung Malaysia. Sementara Sultan Abdul Jalil,
pindah ke Bintan dan pada tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran
Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura. Sementara pusat pemerintahan Johor yang
sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, dan menjadi status
quo dari masing-masing penguasa yang bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil
sebagai pewaris sah tahta Johor, diakui oleh komunitas Orang Laut. Orang Laut merupakan
kelompok masyarakat yang bermukim pada kawasan Kepulauan Riau yang membentang
dari timur Sumatra sampai ke Laut Tiongkok Selatan, dan loyalitas ini terus bertahan sampai
kepada beberapa keturunan Raja Kecil berikutnya.

• MASA KEEMASAN

Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,[4] pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil
melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukkan Rokan ke dalam wilayah
Kesultanan Siak dan kemudian membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun pada
tahun 1728, atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya,
Raja Kecil diusir keluar dari Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan
sebagai pusat pemerintahannya. Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda diberi
kedudukan di Pulau Penyengat.[24]

Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya di Kepulauan Riau dan mulai
membangun kekuatan baru di kawasan sepanjang pesisir timur Sumatra. Antara tahun
1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung
Malaya.[25] Karena mendapat ancaman dari Siak, dan pada saat yang bersamaan orang-
orang Bugis juga meminta balas atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan
kepada Belanda di Malaka. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1746 itu,
Johor menjanjikan akan memberikan Bengkalis kepada Belanda. Perjanjian itu kemudian
direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.[26][27]

Sepeninggal Raja Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor memudar. Dan pengantinya Sultan
Mahmud berfokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatra dan daerah
vassal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan
Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas
kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan.[28] Setelah Raja
Mahmud wafat, muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini. Raja Muhammad Ali yang
lebih disukai Belanda kemudian menjadi Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang
tidak disukai Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatra sampai
ke Laut Tiongkok Selatan, dan membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.[29]

Sekitar tahun 1767, Raja Ismail telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil. Didukung oleh Orang
Laut, ia terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatra, dengan mulai
mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di
Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan
Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja
Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan
Melayu sangat signifikan, mulai dari Terengganu, Jambi, dan Palembang. Laporan Belanda
menyebutkan, Palembang telah membayar 3.000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur
pelayarannya aman dari gangguan. Sementara Hikayat Siak menceritakan tentang
kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke
Palembang.[29]

Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur
Sumatra. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan
wilayah tersebut dalam pengawasannya,[30] termasuk wilayah Deli dan Serdang.[31] Di
bawah ikatan perjanjian kerja sama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak
membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor.[32] Sebelumnya mereka telah
bekerja sama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.

• PERDAGANGAN

Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan


melalui Selat Melaka, serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan
tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan
pada tahun 1783 ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka.[33] Siak menjadi
kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang.[34]
Namun disisi lain, kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan
Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap
ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dalam Tuhfat al-Nafis,[35] di
mana dalam deskripsi ceritanya mereka menggambarkan Sultan Siak sebagai “orang yang
rakus akan kekayaan dunia”.[butuh rujukan]

Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini, berpengaruh besar
terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan
pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar, timah, dan
emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu
yang utama di Selat Malaka, serta salah satu kawasan industri kayu untuk pembuatan kapal
maupun bangunan. Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda
mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras dan garam di
Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC. Namun tentu dengan syarat
Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut
sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung.[36]

Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatra dan Semenanjung
Malaya cukup signifikan. Mereka mampu menggantikan pengaruh Johor sebelumnya atas
penguasaan jalur perdagangan. Selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang
kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan
Kuantan, yang mana sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun
demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di
pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.

• PENURUNAN

Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatra tidak mampu dihadang oleh
Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan, Kesultanan
Langkat, dan kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri.[37] Begitu juga di Johor,
di mana seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor kembali didudukkan, dan berada
dalam perlindungan Inggris di Singapura.[38][39] Sementara Belanda memulihkan
kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat, dan kemudian mendirikan Kesultanan
Lingga di Pulau Lingga. Selain itu Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak,
dengan mendirikan Residentie Riouw yang merupakan bagian dari pemerintahan Hindia
Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.[40][41][42]
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk
menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat
sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin
kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari
Inggris.[43] Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu
bagian dari pemerintahan Hindia Belanda,[44] setelah memaksa Sultan Siak
menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858.[28][45] Dari perjanjian tersebut Siak Sri
Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja, Siak
mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda
mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan
pihak asing tanpa persetujuan pemerintahan Hindia Belanda.[28]

Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian
internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda, melemahkan pengaruh hegemoni
Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya.[46] Tarik ulur kepentingan
kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatra antara pihak Inggris dan Belanda,
menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah.
[47] Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia Belanda
memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau.[48]
Namun di tengah tekanan tersebut, Kesultanan Siak masih tetap bertahan sampai
kemerdekaan Indonesia,[6] walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar
kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.[butuh rujukan]

Potret Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II dan istrinya (1910-1939)

Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki putra. Seiring
dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung
dengan negara Republik Indonesia.[6]

• STRUKTUR PEMERINTAH
Sebagai bagian dari rantau Minangkabau, sistem pemerintahan Kesultanan Siak mengikuti
model Kerajaan Pagaruyung. Setelah posisi Sultan, terdapat Dewan Menteri yang mirip
dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Pagaruyung. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan
untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri
Sembilan.[49] Dewan Menteri bersama dengan Sultan, menetapkan undang-undang serta
peraturan bagi masyarakatnya.[14][50] Dewan menteri ini terdiri dari:

1. Datuk Tanah Datar


2. Datuk Limapuluh
3. Datuk Pesisir
4. Datuk Kampar

Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan pembenahan
sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh model birokrasi
pemerintahan yang berlaku di Eropa maupun yang diterapkan pada kawasan kolonial
Belanda dan Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada
naskah Ingat Jabatan yang diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33 halaman yang
panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi atau tulisan Arab-Melayu. Ingat Jabatan merupakan
dokumen resmi Siak Sri Inderapura yang dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab
dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan
di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para
birokrat tersebut, ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tidak khianat kepada
sultan dan nagari.[51]

Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum
atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa’id.[52] Kitab ini dicetak di Siak
tahun 1901, menguraikan hukum yang dikenakan kepada masyarakat Melayu dan
masyarakat lain yang terlibat perkara dengan masyarakat Melayu. Namun tidak mengikat
orang Melayu yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia Belanda, di mana jika terjadi
permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah
Hindia Belanda.[14]
Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai
Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Siak
serta Controleur Siak sebagai anggota. Selanjutnya beberapa nama jabatan lainnya dalam
pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda
Perkasa, Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dalam yang bertanggung jawab
terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendahari Sriwa Raja yang
bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan.[51]

Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu dan
hilir, masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dalam bentuk distrik[48] yang dipimpin
oleh seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan
bertanggungjawab kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh
Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak,[53] salah satunya keturunan Al-Jufri
yang bergelar Bendahara Patapahan.[54]

Pada kawasan tertentu, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko
Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin,
dengan kedudukan yang sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil
hutan yang tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan
Antan-antan. Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan
Siak, sama halnya dengan pengertian ‘’Rangkayo’’ atau ‘’Urang Kayo’’ di Minangkabau
terutama pada kawasan pesisir.
KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA SELATAN

Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi
di sekitar kota Palembang, Sumatra Selatan sekarang. Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri
Susuhunan Abdurrahman, seorang bangsawan Palembang pada tahun 1659,[1] dan
dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.Malthe
Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Prancis
mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh
masyarakat yang heterogen terdiri dari Tiongkok, Siam, Melayu dan Jawa serta juga
disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana
kerajaan.
• PENDIRIAN

Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan[2] disebutkan seorang
tokoh Anak brawijaya sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama
dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C. Berg
menganggapnya identik dengan Adityawarman.[3] Begitu juga dalam Nagarakretagama,
nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada
dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton juga telah menyebutkan Palembang
sebagai sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.
Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-
fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan
kemudian sekitar tahun 1513, Tomé Pires seorang petualang dari Portugis menyebutkan
Palembang, telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian
dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah
dikuasai oleh Portugis. Kemudian pada tahun 1596, Palembang juga ditaklukan oleh VOC
Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin kesultanan Palembang dari awal adalah Sri
Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau sejak tahun 1601 telah memiliki hubungan
dengan VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.

KUTO GAWANG

Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa
Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak
akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat
pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan
kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara
teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara
Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi.
Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya
empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30
cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang
ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya.
Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis
berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana
dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke
selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan
dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam
gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak
terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara
adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri
megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton
mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing
ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara
sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).

BERINGIN JANGGUT

Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman
pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan
Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai
keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar
Keraton Beringin Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan
keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai
Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai
Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai
Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk
yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus
keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas
sehari-hari pada masa itu telah berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.
EKONOMI

Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang
terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa
atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah
diperdagangankan sejak abad ke-18.

PEPERANGAN

Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang
berada di Palembang, tetapi ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga Thomas
Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud
Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat
Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun
1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan
berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad
Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.
[6]

Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan
menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan
mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan
perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada
tahun 1819, Sultan mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal sebagai
Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan
pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil
menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate.[6]
Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad
Najamuddin II sebagai raja berikutnya, tetapi pada tahun 1823 Belanda menjadikan
kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan
ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, tetapi
dapat dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin
III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.

KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA BARAT


Islam di Sumatra Barat adalah agama yang dipeluk oleh sekitar 98% penduduk Sumatra
Barat.[1] Persentase pemeluk Islam di Sumatra Barat akan meningkat menjadi 99,6% jika
kabupaten Kepulauan Mentawai tidak dimasukkan karena 1,4% dari 2% yang tidak
menganut Islam merupakan penghuni kabupaten tersebut.

• SEJARAH

Masuknya Islam

Agama Islam pertama kali memasuki Sumatra Barat pada abad ke-7, dimana pada tahun 674
telah didapati masyarakat Arab di pesisir timur pulau Sumatra. Selain berdagang, secara
perlahan mereka membawa masuk agama Islam ke dataran tinggi Minangkabau atau
Sumatra Barat sekarang melalui aliran sungai yang bermuara di timur pulau Sumatra, seperti
Batang Hari.

PERKEMBANGAN

Perkembangan agama Islam di Sumatra Barat menjadi sangat pesat setelah kesultanan Aceh
diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, yang berhasil meluaskan wilayahnya
hampir ke seluruh pantai barat Sumatra. Sehingga pada abad ke-13, Islam mulai memasuki
Tiku, Pariaman, Air Bangis, dan daerah pesisir Sumatra Barat lainnya. Islam kemudian juga
masuk ke daerah pedalaman atau dataran tinggi Minangkabau yang disebut “darek”. Di
kawasan darek pada saat itu berdiri kerajaan Pagaruyung, dimana kerajaan tersebut mulai
mendapat pengaruh Islam sekitar abad ke-14. Sebelum Islam diterima secara luas,
masyarakat yang ada di sekitar pusat kerajaan dari beberapa bukti arkeologis menunjukan
pernah memeluk agama Buddha dan Hindu terutama sebelum memasuki abad ke-7.

PERANG PADRI
Sejak abad ke-16, agama Islam telah dianut oleh seluruh masyarakat Minangkabau baik yang
menetap di Sumatra Barat maupun di luar Sumatra Barat. Jika ada masyarakatnya keluar
dari agama Islam atau murtad, secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari
masyarakat Minangkabau. Namun hingga akhir abad ke-17, sebagian dari mereka terutama
yang ada di lingkungan kerajaan, belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam dengan
sempurna dan bahkan masih melakukan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Mengetahui
hal tersebut, ulama-ulama Minangkabau yang saat itu disebut Kaum Padri dalam suatu
perundingan mengajak masyarakat di sekitar kerajaan Pagaruyung terutama Raja
Pagaruyung untuk kembali ke ajaran Islam. Namun perundingan tersebut pada tahun 1803
berujung kepada konflik yang dikenal sebagai Perang Padri.

Perang Padri melibatkan sesama masyarakat Minang, yaitu antara Kaum Padri dan Kaum
Adat. Setelah 20 tahun konflik belangsung, pada tahun 1833 terjadi penyesalan di Kaum
Adat[2] karena telah mengundang Belanda 12 tahun sebelumnya,[3] yang selain
mengakibatkan kerugian harta dan mengorbankan jiwa raga, juga meruntuhkan kekuasaan
Pagaruyung. Saat itu, Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol mulai merangkul
Kaum Adat, dan terjadilah suatu kesepakatan di antara kedua pihak untuk bersatu melawan
Belanda. Tidak hanya itu, Kaum Adat dan Kaum Padri juga mewujudkan konsesus bersama,
yaitu “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (Adat berlandaskan ajaran Islam,
ajaran Islam berlandaskan Al-Qur’an).

KERAJAAN DEMAK
Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di
pantai utara Jawa (“Pasisir”). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan
kadipaten dari kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi
legitimasi dari kebesaran Majapahit.

Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia
pada umumnya, Walaupun tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran
karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1560,
kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir/Hadiwijaya.
Salah satu peninggalan bersejarah Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi
didirikan oleh Wali Songo.

Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara
(dibaca “Bintoro” dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi bagian kota Demak di Jawa
Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribu kota di sana dikenal sebagai Demak
Bintara. Pada masa raja ke-4 (Sunan Prawoto), keraton dipindahkan ke Prawata (dibaca
“Prawoto”) dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata. Sepeninggal Sunan
Prawoto, Arya Penangsang memerintah kesultanan yang sudah lemah ini dari Kadipaten
Jipang (sekarang dekat Cepu). Kotaraja Demak dipindahkan ke Jipang dan untuk periode ini
dikenal dengan sebutan Demak Jipang.

Hadiwijaya dari Pajang mewarisi wilayah Demak yang tersisa setelah ia, bersama-sama
dengan Ki Gede Pamanahan dan Ki Penjawi, membunuh Arya Penangsang. Demak kemudian
menjadi vasal dari Pajang.

• MASA AWAL
Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemunduran Majapahit, secara praktis
beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang
tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris takhta
Majapahit.

Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang
mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari
Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit
terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim
bernama Cek Ko-po.[2] Kemungkinan besar putranya adalah orang yang oleh Tomé Pires
dalam Suma Oriental-nya dijuluki “Pate Rodim”, mungkin dimaksudkan “Badruddin” atau
“Kamaruddin” dan meninggal sekitar tahun 1504. Putra atau adik Rodim, yang bernama
Trenggana bertakhta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546.
Di antara kedua masa ini yang bertakhta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara.
Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak
berhasil menundukkan Majapahit.

Berdasarkan Babad Tanah Jawi, pendiri Kerajaan Demak adalah Raden Fatah atau Praba
atau Raden Bagus Kasan (Hasan) memiliki gelar Jin Bun (gelar Tiongkok) sering disebut juga
Senapati Jinbun atau Panembahan Jinbun bergelar Sultan Syah Alam Akbar Al-Fatah. (1455-
1518) Memerintah Kerajaan Demak tahun 1500 – 1518.

Raden Fatah merupakan anak Raja Wilwatikta (Majapahit versi orientalis Belanda) bernama
Brawijaya V yang lahir di Kota Palembang dari istri (selir) bernama Siu Ban Ci (menurut
Purwaka Caruban Nagari) Brawijaya V berdarah Tionghoa putri dari Kyai Batong (Tan Go
Hwat), Karena istri Brawijaya V Ratu Dwarawati cemburu maka Siu Ban Ci hijrah ke
Palembang bersama Ario Damar yang merupakan anak dari Brawijaya III, yang akhirnya
dinikahi oleh Ario Damar dan melahirkan anak Raden Kusen. Saat Ciu Ban Ci hijrah ke
Palembang sedang hamil anak dari Brawijaya V dan melahirkan Raden Fatah di Kota
Palembang. Gelar lengkap Raden Fatah Senapati Jimbun Abdurahman Penembahan
Palembang Sayidin Panatagama Sultan Syah Alam Akbar Al-Fatah.

• PELABUHAN

Kerajaan Demak Bintoro memiliki dua pelabuhan, yaitu:

 Pelabuhan niaga = di sekitar Bonang (Demak)


 Pelabuhan militer = di sekitar Teluk Wetan (Jepara)

• MASA KEEMASAN

Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa,
tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam
memperluas kekuasaannya dengan menundukkan beberapa kawasan pelabuhan dan
pedalaman di Nusantara.

DIBAWAH PATI UNUS

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah
menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya,
Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali
ia mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di Malaka.

DIBAWAH TRENGGANA

Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya,
Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari
Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), juga
menaklukkan hampir seluruh Pasundan/Jawa Barat (1528 – 1540) serta wilayah-wilayah
bekas Majapahit di Jawa Timur seperti Tuban (1527), Madura (1528), Madiun (1529),
Surabaya dan Pasuruan (1527 – 1529), Kediri (1529), Malang (1529 – 1545), dan
Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1529 – 1546). Trenggana
meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan
kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu
adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatra), yang juga menjadi menantu raja Trenggana.
Sementara Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati[4] diperintah oleh Trenggana
untuk menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin
menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di
Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke
Kudus.[1]

Kemunduran Sunting

Suksesi raja Demak ketiga tidak berlangsung mulus, terjadi persaingan panas antara P.
Surowiyoto (Pangeran Sekar) dan Trenggana yang berlanjut dengan di bunuhnya P.
Surowiyoto oleh Sunan Prawoto (anak Trenggana), peristiwa ini terjadi di tepi sungai saat
Surowiyoto pulang dari Masjid sehabis sholat Jum’at. Sejak peristiwa itu Surowiyoto (Sekar)
dikenal dengan sebutan Sekar Sedo Lepen yang artinya sekar gugur di sungai. Pada tahun
1546 Trenggana wafat dan tampuk kekuasaan dipegang oleh Sunan Prawoto, anak
Trenggana, sebagai raja Demak keempat, akan tetapi pada tahun 1547 Sunan Prawoto dan
isterinya dibunuh oleh pengikut P. Arya Penangsang, putra Pangeran Surowiyoto (Sekar). P.
Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa takhta Demak sebagai raja Demak kelima.
Pengikut Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri,penguasa Jepara / Kalinyamat
(Suami Ratu Kalinyamat). Hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi
P. Arya Penangsang, salah satunya adalah Adipati Pajang Jaka Tingkir (Hadiwijaya).

Pada tahun 1554 terjadilah pemberontakan dilakukan oleh Adipati Pajang Jaka Tingkir
(Hadiwijaya) untuk merebut kekuasaan Demak dari Arya Penangsang. Dalam peristiwa ini
Arya Penangsang dibunuh oleh Sutawijaya, anak angkat Jaka Tingkir. Dengan terbunuhnya
Arya Penangsang sebagai raja Demak kelima, maka berakhirlah era Kesultanan Demak. Jaka
Tingkir (Hadiwijaya) memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang dan mendirikan Kerajaan
Pajang.

KERAJAAN MATARAM
Kesultanan Mataram (bahasa Jawa:
ꦤ na ꦒ ga ꦫꦶri ꦏ ka ꦱꦸsu ꦭ꧀l ꦠ ta ꦤ na ꦤ꧀n ꦩ ma ꦠ ta ꦫ ra ꦩ꧀m, translit.
Nagari Kasultanan Mataram; bahasa Indonesia: Negara Kesultanan Mataram; bahasa
Arab: ‫ دولة نوبل ماتارام‬Dawlat Nubil Mataram, har. ‘Negeri Mataram yang Luhur’)
adalah negara berbentuk kesultanan di Jawa pada abad ke-16. Kesultanan ini
didirikan sejak pertengahan abad ke-16, namun baru menjadi negara berdaulat di
akhir abad ke-16 yang dipimpin oleh dinasti yang bernama wangsa Mataram.
Sepanjang abad ke-16, tepatnya pada puncak kejayaannya di bawah pemerintahan
Hanyakrakusuma, Mataram adalah salah satu negara terkuat di Jawa, kesultanan
yang menyatukan sebagian besar pulau Jawa, Madura, dan Sukadana (Kalimantan
Barat). Kesultanan ini terdiri dari wilayah kutagara, nagaragung, mancagara,
pasisiran dan sejumlah kerajaan vasal, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam
teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi.

Kesultanan ini secara de facto merupakan negara merdeka yang menjalin hubungan
perdagangan dengan Kerajaan Belanda. Kedua pihak saling mengirim duta besar.
Hanyakrakusuma di bawah kepemimpinannya tidak mengizinkan Serikat Dagang
Hindia Timur (VOC) untuk mendirikan loji-loji dagang di pantai utara. Hal ini ditolak
karena bila diizinkan maka ekonomi di pantai utara akan dikuasai dan melemah.
Penolakan ini membuat hubungan keduanya sejak saat itu merenggang.

Pada masa akhir menjelang keruntuhannya, terjadi palihan nagari (bedah negara),
Kesultanan Mataram secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari
pada Koninkrijk der Nederlanden, dengan status pzelfbestuurende landschappen.

Sebagai hasil dari perjanjian Giyanti membuahkan kesepakatan bahwa Kesultanan


Mataram dibagi dalam dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasunanan Surakarta dan Nagari
Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian yang ditandatangani dan diratifikasi pada
tanggal 13 Februari 1755 di Giyanti ini secara de jure menandai berakhirnya Nagari
Kasultanan Mataram yang sepenuhnya independen.
KERAJAAN BANTEN

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan,
Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan
menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan
militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi terealisasinya perjanjian antara
kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m.

Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati[6] berperan dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mengembangkan benteng pertahanan
yang dinamakan Surosowan (dibangun 1600 M) menjadi kawasan kota pesisir yang
kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri
sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang
luar biasa, yang di waktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan
menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan
politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana
Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir
pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan
kolonial di Hindia Belanda.

KERAJAAN CIREBON

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15
dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran
antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan” antara
kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati sebagai pusat pemerintahan


negara islam kesultanan Cirebon, letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi keraton
kasepuhan Cirebon.
KERAJAAN PONTIANAK

Kesultanan Kadryiah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun
1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Ibni Alhabib Husein bin Ahmad Alkadrie, keturunan
Rasulullah dari Sayidina Husin di daerah muara simpang tiga Sungai Kapuas kecil dan sungai
landak yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia
melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan
Mempawah, Utin Chandramidi, dan kedua pada tahun 1768 dengan Ratu Syahranum (Ratoe
Sjerip) dari Kesultanan Banjar (putri dari Sultan Tamjidillah I), sehingga ia dianugerahi gelar
Pangeran Nur Alam.[1][2][3] Setelah Habib Husein, ayah Syarif Abdurrahman, wafat di
Mempawah pada tahun 1771, mereka memutuskan mencari wilayah baru dan
mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan
pengesahan sebagai Sultan Pontianak pada tahun 1778.
KERAJAAN BANJAR

Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin[8][9][10][11][12][13][14][15][16] (berdiri


pada Tahun 1520, dihapuskan sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat
Banjar tetap mengakui ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24
Januari 1905. Namun sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup kembali dengan
dilantiknya Sultan Khairul Saleh.
KERAJAAN GOA TALLO

Gowa (juga dieja Goa) merupakan sebuah kerajaan dan kesultanan yang berpusat di daerah
Sulawesi Selatan, tepatnya di ujung selatan dan pesisir barat semenanjung yang
mayoritasnya didiami oleh suku Makassar. Wilayah inti bekas kerajaan ini sekarang berada
di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya.

Berawal dari chiefdom atau banua yang didirikan pada awal abad ke-14, Gowa mencapai
puncak kejayaannya bersama Tallo pada abad ke-17, ketika kerajaan kembar ini memegang
hegemoni militer dan perdagangan atas wilayah timur Nusantara, termasuk di antaranya
sebagian besar Sulawesi, beberapa bagian dari Maluku dan Nusa Tenggara, serta pesisir
timur Kalimantan. Dalam prosesnya menjadi kekaisaran maritim, Gowa dan Tallo
mengembangkan berbagai inovasi dalam bidang pemerintahan, ekonomi dan militer.
Perubahan sosial budaya yang drastis juga terjadi seiring mengeratnya hubungan antara
Gowa dan dunia luar, terutama setelah Gowa mengadopsi Islam sebagai agama resmi pada
awal 1600.

Kekalahan Gowa dalam Perang Makassar yang terjadi pada akhir 1660-an mengakibatkan
lepasnya wilayah kekuasaan Gowa di luar Sulawesi Selatan, sementara sebagian kecil
wilayahnya diberikan kepada VOC. Meski begitu, Gowa tetap bertahan sebagai negeri
merdeka hingga awal abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Belanda mengalahkan Gowa
dalam Ekspedisi Sulawesi Selatan dan menjadikannya daerah jajahan.

KERAJAAN WAJO
Wajo, juga dieja Wajoʼ, Wajok, atau Wajoq,[a] merupakan sebuah kerajaan elektif bersuku
Bugis yang berkembang di sisi timur semenanjung Sulawesi Selatan. Wajo didirikan pada
abad ke-15 Masehi, dan mencapai puncaknya pada abad ke-18, ketika kerajaan ini menjadi
hegemon selama beberapa waktu di Sulawesi Selatan, menggantikan Bone. Wajo
mempertahankan kemerdekaannya hingga dipaksa bergabung dengan Hindia Belanda
setelah Ekspedisi Sulawesi Selatan pada awal abad ke-20. Kerajaan ini terus bertahan dalam
beragam bentuk hingga pertengahan abad ke-20, ketika daerah swapraja Wajo diubah
menjadi Kabupaten Wajo yang merupakan bagian dari Republik Indonesia.

Pemimpin tertinggi Wajo dipilih melalui musyawarah para perwakilan dari daerah-daerah
bawahannya. Bersama dengan enam orang pejabat tinggi lainnya, ia bertugas untuk
mengurus pemerintahan sehari-hari di Wajo. Dewan tertinggi ini masih disokong lagi oleh 33
orang pejabat dari tiga wilayah utama Wajo, yang mencakup banyak daerah-daerah
bawahan dengan penguasa dan adat masing-masing. Jabatan-jabatan pemerintahan ini
biasanya dipegang oleh kalangan ningrat; selain mereka, terdapat pula golongan orang
merdeka dan budak dengan hak-hak yang lebih sedikit.

Sebagian besar masyarakat diaspora Bugis pada abad ke-18 dan 19 berasal dari Wajo.
Perniagaan Wajo maju pesat pada masa ini, hingga mampu mencapai tempat-tempat yang
jauh di berbagai pelosok Asia Tenggara Maritim. Kemajuan dalam bidang perdagangan ini
disebabkan oleh dukungan politik, legal, dan finansial yang diberikan oleh sesama
masyarakat diaspora maupun oleh pemerintah Wajo di tanah air.

KERAJAAN TERNATE

Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4
kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di
Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate
memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-19.
Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan
rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang
mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan
kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik. Saat ini takhta kesultanan
dijabat oleh Sultan Syarifuddin Bin Iskandar Muhammad Djabir Sjah yang menjabat sejak
tahun 2016 menggantikan Sultan Mudaffar Syah II.

KERAJAAN LOMBOK DAN SUMBAWA

Kesultanan Sumbawa atau juga dikenal dengan Kerajaan Samawa[1] adalah salah satu dari
tiga kerajaan Islam besar di Pulau Sumbawa. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir 2/3
dari luas pulau Sumbawa.[2] Keberadaan Tana Samawa atau wilayah Sumbawa, mulai
dicatat oleh sejarah sejak zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber
tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada
waktu itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih
menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja
terakhir dari Dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang
kegiatan pemerintahan kerajaan, antara lain bahwa Dewa Maja Purwa telah
menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Gowa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas
perdagangan antara kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling
menjaga keamanan dan ketertiban. Kerajaan Gowa yang pengaruhnya lebih besar saat itu
menjadi pelindung Kerajaan Samawa.

KERAJAAN BIMA

Kesultanan Bima adalah kerajaan Islam yang didirikan pada tanggal 7 Februari 1621 Masehi.
Sultan pertamanya adalah raja ke-27 dari Kerajaan Bima yang bernama La Kai. Wilayah
Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan.
Sultan terakhirnya adalah Sultan Muhammad Salahuddin.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bima

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ternate

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Samudera_Pasai

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Jambi

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Siak_Sri_Inderapura

Anda mungkin juga menyukai