Anda di halaman 1dari 42

RESUME SESI – 4

PROGRAM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


1. Pemeriksaan Kesehatan

Permenakertrans No. Per.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam


Penyelenggaraan Keselamatan Kerja

Keputusan Dirjenbinawasnaker No Kep.22/DJPPK/V/2008 tentang Petunjuk Teknis


Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja.
A. Jenis-Jenis Pemeriksaan Kesehatan

No Item Jenis Pemeriksaan Kesehatan


Sebelum Kerja Berkala Khusus
1 Definisi (No. Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Per.02/MEN/1980 Kesehatan sebelum kesehatan berkala Kesehatan Khusus
Pasal 1) kerja adalah adalah pemeriksaan adalah pemeriksaan
pemeriksaan kesehatan pada kesehatan yang
kesehatan yang waktu-waktu dilakukan oleh
dilakukan oleh dokter tertentu terhadap dokter secara khusus
sebelum seorang tenaga kerja yang terhadap tenaga kerja
tenaga kerja diterima dilakukan oleh tertentu. 

untuk melakukan dokter. 

pekerjaan. 


2 Tujuan Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan


Kesehatan sebelum Kesehatan Berkala Kesehatan khusus
bekerja ditujukan agar dimaksudkan untuk dimaksudkan untuk
tenaga kerja yang mempertahankan menilai adanya
diterima berada dalam derajat kesehatan pengaruh-pengaruh
kondisi kesehatan tenaga kerja sesudah dari pekerjaan
yang setinggi- berada dalam tertentu terhadap
tingginya, tidak pekerjaannya, serta tenaga kerja atau
mempunyai penyakit menilai golongan-golongan
menular yang akan kemungkinan tenaga kerja tertentu.
mengenai tenaga kerja adanya pengaruh-
lainnya, dan cocok pengaruh dari 

untuk pekerjaan yang pekerjaan seawal
akan dilakukan mungkin yang perlu
sehingga keselamatan dikendalikan dengan
dan kesehatan tenaga usaha-usaha
kerja yang pencegahan.
bersangkutan dan
tenaga kerja yang lain-
lainnya dapat dijamin.

3 Ruang Lingkup - Semua perusahaan - Semua perusahaan Dilakukan


sebagaimana tersebut sebagaimana terhadap:
dalam pasal 2 ayat (2) dimaksud pasal 2 a. Tenaga kerja
Undang-undang No. 1 ayat (2) tersebut di yang telah
tahun 1970 harus atas harus mengalami
mengadakan melakukan kecelakaan atau
Pemeriksaan pemeriksaan penyakit yang
Kesehatan Sebelum kesehatan berkala memerlukan
Kerja bagi tenaga kerja perawatan yang
sekurang-kurangnya lebih dari 2 (dua
- Pemeriksaan
1 tahun sekali minggu)
Kesehatan Sebelum
kecuali ditentukan b. Tenaga kerja
Kerja meliputi
lain oleh Direktur yang berusia
pemeriksaan fisik
Jenderal Pembinaan diatas 40
lengkap, kesegaran
Hubungan (empat puluh)
jasmani, rontgen paru-
Perburuhan dan tahun atau
paru (bilamana
Perlindungan tenaga kerja
mungkin) dan
Tenaga Kerja. wanita dan
laboratorium rutin,
tenaga kerja
serta pemeriksaan lain - Pemeriksaan
cacat, serta
yang dianggap perlu. Kesehatan Berkala
tenaga kerja

 meliputi
muda yang
pemeriksaan fisik
melakukan
lengkap, kesegaran
pekerjaan
jasmani, rontgen
tertentu.
paru-paru (bilamana c. Tenaga kerja
mungkin) dan yang terdapat
laboratorium rutin dugaan-dugaan
serta pemeriksaan tertentu
lain yang dianggap mengenai
perlu. 
 gangguan-
gangguan
kesehatannya
perlu dilakukan
pemeriksaan
khusus sesuai
dengan
kebutuhan.
d. Pemeriksaan
Kesehatan
Khusus
diadakan pula
apabila terdapat
keluhan-
keluhan
diantara tenaga
kerja, atau atas
pengamatan
pegawai
pengawas
keselamatan
dan kesehatan
kerja, atau atas
penilaian Pusat
Bina Hyperkes
dan
Keselamatan
dan
Balaibalainya
atau atas
pendapat umum
dimasyarakat.
Terhadap kelainan-
kelainan dan
gangguan-gangguan
kesehatan yang
disebabkan akibat
pekerjaan khusus ini
berlaku ketentuan-
ketentuan Asuransi
Sosial Tenaga Kerja
sesuai dengan
peraturan perundang-
undangan yang
berlaku.

B. Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja

1. Pelayanan kesehatan kerja wajib melaksanaakan tugas pokok pelayanan kesehatan kerja
secara menyeluruh dan terpadu (komprehensif) yang meliputi upaya kesehatan :
1. pencegahan (preventif)
2. pembinaan/peningkatan (promotif),
3. pengobatan (kuratif) dan

4. pemulihan (rehabilitatif),

dengan lebih menitik beratkan pada upaya kesehatan pencegahan dan
pembinaan/peningkatan (promotif dan preventif).
2. Penanggung jawab pelayanan kesehatan kerja adalah dokter pemeriksa kesehatan tenaga
kerja, sedangkan tenaga pelaksananya dapat terdiri dari :

1. dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja (penanggung jawab merangkap pelaksana),

2. dokter perusahaan dan atau
3. paramedic perusahaan.
3. Teknis penyelenggaraan program/kegiatan pelayanan kesehatan kerja mengacu pada prinsip-
prinsip :
1. Program/kegiatan kesehatan kerja berupa upaya kesehatan secara menyeluruh 
dan
terpadu, dengan lebih menitik beratkan pada upaya kesehatan preventif dan 
promotif
tanpa mengurangi upaya kesehatan kuratif dan rehabilitatif.
2. Upaya kesehatan yang bersifat preventif dan promotif disesuaikan dengan hasil

penilaian risiko potensi bahaya yang ada di perusahaan. 

3. Upaya kesehatan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif minimal berupa pelayanan
kesehatan kerja yang bersifat dasar yaitu :

a. pemberian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dan
b. pengobatan (rawat jalan tingkat pertama); 

4. Perencanaan program dan kegiatan pelayanan kesehatan kerja dibuat dengan skala
prioritas dan mempertimbangkan kondisi perusahaan, permasalahan kesehatan di
perusahaan maupun masalah kesehatan umum lainnya. 

5. Program/kegiatan pelayanan kesehatan kerja terutama ditujukan untuk pencegahan
penyakit akibat kerja (PAK), peningkatan derajat kesehatan tenaga kerja dan
peningkatan kapasitas kerja melaui program/kegiatan :
a. Pemeriksaaan kesehatan tenaga kerja; 

b. Penempatan tenaga kerja disesuaikan dengan status kesehatannya; 

c. Promosi/peningkatan kesehatan tenaga kerja; 

d. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja (PAK) melalui perbaikan lingkungan kerja

(program higiene industri); 

e. Pencegahan PAK melalui perbaikan kondisi kerja (program ergonomi kerja); 

f. P3K, medical emergency respon, pengobatan, rehabilitasi, rujukan kesehatan,

pemberian kompensasi akibat kecelakaan dan PAK.; 

g. Pengembangan organisasi, program dan budaya kesehatan kerja. 

4. Pelaksanaan program dan kegiatan kesehatan kerja diintegrasikan/dikoordinasikan dengan
program Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) serta melibatkan ahli
K3, Ahli K3 Kimia, Hygienis Industri, petugas K3 dan personil K3 lainnya yang ada di
perusahaan yang bersangkutan.

A. Syarat Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja


No Syarat Penyelenggaraan Ketentuan
Pelayanan Kesehatan Kerja
1 Syarat Lembaga (1) Memiliki personil kesehatan kerja yang
yang meliputi :
a. Dokter penanggung jawab pelayanan
kesehatan kerja,
b. Tenaga pelaksanan kesehatan kerja
berupa dokter perusahaan dan atau
paramedis perusahaan,
c. Petugas administrasi atau pencatatan
dan pelaporan pelayanan kesehatan
kerja.
(2) Memiliki sarana dan prasarana pelayanan
kesehatan kerja,
(3) Pelayanan kesehatan kerja yang ada di
perusahaan mendapat pengesahan dari

instansi di bidang ketenagakerjaan sesuai
wilayah kewenangannya,
(4) Pelayanan kesehatan kerja yang
dilaksanakan oleh pihak di luar perusahaan
wajib dilengkapi dengan Nota
Kesepahaman (MoU) penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja antara pengusaha
dengan kepala unit pelayanan kesehatan
yang bersangkutan dan dilaporkan ke
instansi di bidang ketenagakerjaan sesuai
wilayah 
kewenangannya. 


2 Syarat Personil (1) Syarat dokter penanggung jawab pelayanan


kesehatan kerja :
a. Ditunjuk oleh pimpinan perusahaan atau
kepala unit/instansi yang

bersangkutan dan dilaporkan ke
instansi ketenagakerjaan sesuai wilayah

kewenangannya;
b. Telah mendapatkan Surat Keputusan
Penunjukan (SKP) sebagai dokter

pemeriksa kesehatan tenaga kerja dari
Direktur Jenderal Pembinaan

Pengawasan Ketenagakerjaan,
Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi; 

(2) Syarat tenaga pelaksana pelayanan
kesehatan kerja (dokter perusahaan dan atau

paramedis perusahaan) :
a. Memiliki sertifikat pelatihan hiperkes
dan keselamatan kerja (atau sertifikat

lainnya) sesuai peraturan
perundangan yang berlaku; 

b. Mematuhi etika profesi dokter dan
tenaga kesehatan lainnya sesuai kode
etik 
profesi dan peraturan
perundangan yang berlaku; 

(3) Syarat dokter perusahaan :
a. Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
dokter, atau sejenisnya sesuai peraturan
perundangan yang berlaku;
b. Surat ijin praktek (SIP) dokter yang
masih berlaku dari instansi yang
berwenang. 


3 Syarat Sarana Jumlah dan jenis sarana dalam penyelenggaraan


pelayanan kesehatan kerja 
dapat disesuaikan
dengan jumlah tenaga kerja dan tingkat risiko
yang ada di perusahaan. Jenis sarana pelayanan
kesehatan kerja minimal terdiri dari sarana
dasar dan dapat dilengkapi dengan sarana
penunjang sesuai kebutuhan 


4 Rujukan Pelayanan Kesehatan Rujukan pelayanan kesehatan kerja dilakukan


Kerja dengan tujuan agar tenaga kerja yang
membutuhkan pelayanan kesehatan tetapi tidak
dapat diberikan sepenuhnya di tingkat
pelayanan kesehatan kerja awal, dapat
memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih
lengkap. Rujukan yang dilakukan antara lain
meliputi :

a. Pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan


perawatan yang lebih lengkap;
b. Konsultasi kepada dokter spesialis
terkait, untuk keperluan penentuan
diagnosis 
dan penilaian tingkat
kecacatan akibat kecelakaan dan
penyakit akibat kerja; 

c. Pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya;
d. Tindakan operatif, rehabilitatif dan lain-
lain. 


5 Manajemen kesehatan kerja Program Kesehatan Kerja merupakan bagian


yang tidak terpisahkan dari program K3 pada
umumnya. Dengan demikian penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Kerja dirintegrasikan
dalam Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3). Elemen-elemen audit
SMK3 untuk penerapan norma kesehatan kerja
harus dipenuhi sebagaimana elemen-elemen
audit norma keselamatan dan kesehatan kerja
lainnya.

B. Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja


Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dapat dilakukan sendiri oleh perusahaan, dalam
bentuk rumah sakit perusahaan atau klinik perusahaan atau dilakukan dengan cara kerjasama
melalui unit/lembaga pelayanan kesehatan di luar perusahaan baik milik pemerintah maupun
swasta, seperti : rumah sakit, puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, Perusahaan Jasa K3
(PJK3) bidang Kesehatan Kerja dan pelayanan kesehatan lainnya yang telah memiliki
perijinan sesuai ketentuan yang berlaku.
A) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dilaksanakan sendiri oleh perusahaan :
1) Dilaksanakan bagi perusahaan dengan :
a. Jumlah tenaga kerja 1000 orang atau lebih

b. Jumlah tenaga kerja 500 orang sd 1000 orang tetapi memiliki tingkat risiko tinggi
(penentuan tingkat risiko suatu perusahaan/tempat kerja mengacu pada standar
atau peraturan perundangan yang berlaku).

2) Perusahaan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan kerja sendiri di perusahaan
melaksanakan program pelayanan kesehatan kerja yang bersifat komprehensif meliputi
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi tenaga kerja sebagaimana tabel 2;

Tabel 2.
Cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja yang dilaksanakan sendiri oleh
perusahaan

3) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dilaksanakan melalui pihak di luar


perusahaan :
1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja melalui kerja sama dengan pihak di luar
perusahaan dapat dilaksanakan untuk perusahaan yang memiliki tenaga kerja kurang
dari 1000 orang;
2) Program/kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak di luar perusahaan harus meliputi
upaya kesehatan secara komprehensif (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif)
dengan cara sebagai berikut :
a. Upaya kesehatan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif kecuali tindakan

Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dapat dilaksanakan di

unit/lembaga pelayanan kesehatan di luar perusahaan; 

b. Tindakan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dilaksanakan di dalam

perusahaan, oleh oleh tenaga medis dan tenaga kerja yang telah dilatih menjadi

petugas P3K sesuai ketentuan yang berlaku ; 

c. Upaya kesehatan yang bersifat preventif dan promotif dilaksanakan di dalam

perusahaan. 

d. Cara penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja disesuaikan dengan jumlah

tenaga kerja dan tingkat risiko perusahaan (lihat tabel 3). 


B. Jenis-Jenis Program/Kegiatan dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja

No Upaya Contoh jenis kegiatan


1 Promotif 1) Pembinaan kesehatan kerja
2) Pendidikan dan pelatihan bidang kesehatan kerja

3) Perbaikan gizi kerja
4) Program Olahraga ditempat kerja

5) Penerapan ergonomic kerja

6) Pembinaan cara hidup sehat

7) Program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan Narkoba
ditempat kerja

8) Penyebarluasan informasi kesehatan kerja melalui penyuluhan dan
media KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), dengan topik yang
relevan.

2 Preventif 1) Melakukan penilaian terhadap faktor risiko kesehatan di tempat kerja


(health hazard risk assesment) yang meliputi:
a. Identifikasi faktor bahaya kesehatan kerja melalui : pengamatan,
walk through 
survey, pencatatan/pengumpulan data dan
informasi
b. Penilaian/pengukuran potensi bahaya kesehatan kerja
c. Penetapan tindakan pengendalian faktor bahaya kesehatan pekerja
2) Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja (awal, berkala dan khusus)
3) Survailans dan analisis PAK dan penyakit umum lainnya
4) Pencegahan keracunan makanan bagi tenaga kerja 

5) Penempatan tenaga kerja sesuai kondisi/status kesehatannya
6) Pengendalian bahaya lingkungan kerja 

7) Penerapan ergonomi kerja 

8) Penetapan prosedur kerja aman atau Standard Operating Procedure
(SOP)
9) Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai
10) Pengaturan waktu kerja (rotasi, mutasi, pengurangan jam kerja
terpapar faktor risiko dll);
11) Program imunisasi
12) Program pengendalian binatang penular (vektor) penyakit.

3 Kuratif 1) Pengobatan dan perawatan



2) Tindakan P3K dan kasus gawat darurat lainnya
3) Respon tanggap darurat

4) Tindakan operatif,
5) Merujuk pasien dll.


4 Rehabilitatif a. Fisio therapi 



b. Konsultasi psikologis (rehabilitasi mental)
c. Orthose dan prothese (pemberian alat bantu misalnya : alat bant
dengar, 
tangan/kaki palsu dll) 

d. Penempatan kembali dan optimalisasi tenaga kerja yang mengalami
cacat akibat 
kerja disesuaikan dengan kemampuannya. 

e. Rehabilitasi kerja. 


C. Tindak Lanjut Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja

No Tindak Lanjut Ketentuan Pelaksanaannya


1 Monitoring Monitoring penyelenggaraan pelayanan kesehatan
kerja antara lain meliputi pemantauan hasil
pelaksanan pelayanan kesehatan kerja, kegiatan
pencatatan dan pelaporan serta kegiatan
pendukung lainnya.


1) Pemantauan hasil pelaksanan pelayanan


kesehatan kerja

Teknis Penyelenggaraan pelayanan kesehatan


kerja dapat dipantau secara langsung dan tidak
langsung. Pemantauan secara langsung dapat
dilakukan dengan cara melakukan observasi,
wawancara, dan pengukuran kondisi kesehatan
tenaga kerja maupun lingkungan kerjaPemantauan
secara tidak langsung dilakukan dengan cara
melihat data dan pelaporan yang sudah ada.

2) Kegiatan pencatatan dan pelaporan.


Pencatatan dan pelaporan sangat penting


dilakukan untuk mendapatkan data hasil
pelaksanakan kegiatan dari waktu ke waktu.
Pencatatan dan pelaporan juga dapat digunakan
untuk umpan balik (feed back) dalam beberapa
kasus/masalah kesehatan kerja, baik yang bersifat
individu maupun kelompok. Pencatatan yang
diperlukan antara lain meliputi hasil pemantauan,
prevalensi, insidens penyakit dan angka
kecelakaan akibat kerja.

2 Evaluasi 1) Data hasil monitoring pencatatan tersebut di


atas dilakukan analisa dan evaluasi terhadap
kasus-kasus penyakit dan kecelakaan yang
sering terjadi dikaitkan dengan faktor-faktor
bahaya di tempat kerja dan data-data lainnya.
2) Hasil analisa dan evaluasi tersebut digunakan
sebagai dasar untuk penyusunan program
pengendalian terhadap faktor bahaya
kesehatan serta penetapan metode/cara kerja
yang lebih sehat dan aman, sehingga
produktifitas perusahaan tetap
tinggi/meningkat.

3) Analisa dan evaluasi data kesehatan kerja
dapat dilakukan dengan cara membuat
matriks/tabel.

3 Pelaporan Pelayanan Semua hasil penyelenggaraan pelayanan


Kesehatan Kerja kesehatan kerja dibuat laporan sesuai format yang
berlaku dan setiap tiga (3) bulan sekali
disampaikan kepada instansi yang berwenang di
bidang ketenagakerjaan. Pelaporan hasil
pelaksanaan program dan kegiatan dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja
merupakan hal yang sangat penting untuk
mengetahui kondisi kesehatan kerja di suatu
perusahaan. Fungsi dan manfaat pelaporan hasil
penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja antara
lain yaitu :
1) Bagi perusahaan, data laporan pelayanan
kesehatan kerja menjadi masukan yang sangat
berharga untuk mengevaluasi upaya dan
program kesehatan kerja yang sudah
dilakukan dan kaitannya dengan produktifitas
kerja. 

2) Bagi pemerintah, data dari laporan tersebut
akan menjadi masukan dalam membuat
kebijakan nasional dalam pengawasan
ketenagakerjaan umumnya dan kesehatan
kerja khususnya. Bentuk dan tata cara
pelaporan penyelengaraan pelayanan
kesehatan kerja mengacu pada pedoman dan
peraturan perundangan yang berlaku. 


4 Pengawasan 1) Pengawasan terhadap Penyelenggaraan


Pelayanan Kesehatan Kerja dilakukan oleh
pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai
wilayah kewenangannya dengan cara :
a. Pengawasan pertama : pengawasan pada
saat pegawai pengawas melakukan

pengawasan awal dalam rangka menilai
persyaratan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kerja yang akan dkeluarkan
pengesahaannya oleh instansi yang
menangani bidang ketenagakerjaan; 

b. Pengawasan berkala : pengawasan
ketenagakerjaan yang dilakukan secara
rutin oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan terhadap penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja yang sudah
disyahkan; 

c. Pengawasan khusus : pengawasan yang
dilakukan berdasarkan hasil monitoring,
evaluasi dan pelaporan perusahaan dan
pengaduan kasus dari pekerja atau
masyarakat berkaitan dengan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan
kerja.

2) Dalam melaksanakan pengawasan, pegawai
pengawas menggunakan daftar periksa atau
check list yang sudah ditentukan (Lampiran
5);

3) Apabila dalam pengawasan tersebut
ditemukan hal – hal yang belum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku, maka pegawai pengawas melakukan
pembinaan dan membuat nota pemeriksaan
dan tindakan lain sesuai ketentuan yang
berlaku;
4) Hasil pengawasan yang dituangkan dalam
nota pemeriksaan wajib ditindaklanjuti oleh
pengusaha dalam waktu sesuai yang telah
ditetapkan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan

II. APD
Permenakertrans No. PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri.

A. Kewajiban Pengurus dalam Manajemen APD (Pasal 2)


1) PengusahawajibmenyediakanAPDbagipekerja/buruhditempatkerja. 

2) APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI) atau standar yang berlaku. 

3) APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh pengusaha secara
cuma-cuma. 

B. Kewajiban Pekerja dalam APD (Pasal 6)
1) Pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib memakai atau
menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko. 

2) Pekerja/buruh berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan apabila APD
yang disediakan tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan. 


C. Ruang Lingkup Manajemen APD (Pasal 7, ayat 2)


Manajemen APD sebagaimana dimaksud pada ayat(1),meliputi:

a. identifikasi kebutuhan dan syarat APD;


b. pemilihan APD yang sesuai dengan jenis bahaya dan kebutuhan/kenyamanan

pekerja/buruh; 

c. pelatihan;
d. penggunaan, perawatan, dan penyimpanan; 

e. penatalaksanaan pembuangan atau pemusnahan; 

f. pembinaan; 

g. inspeksi; dan 

h. evaluasi dan pelaporan. 


D. Kriteria Penanganan, Pembuangan dan Pemusnahan APD (Pasal 8)


1) APD yang rusak, retak atau tidak dapat berfungsi dengan baik harus dibuang dan/atau
dimusnahkan. 

2) APD yang habis masa pakainya/kadaluarsa serta mengandung bahan berbahaya, harus
dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. 

3) Pemusnahan APD yang mengandung bahan berbahaya harus dilengkapi dengan berita
acara pemusnahan. 


E. Fungsi dan Jenis APD


No Jenis APD Fungsi Jenis*)
1 Alat Pelindung Alat pelindung kepala Helm pengaman (safety helmet), topi atau
Kepala adalah alat pelindung yang tudung kepala, penutup atau pengaman
berfungsi untuk melindungi rambut, dan lain-lain.
kepala dari benturan,
terantuk, kejatuhan atau
terpukul benda tajam atau
benda keras yang melayang
atau meluncur di udara,
terpapar oleh radiasi panas,
api, percikan bahan-bahan
kimia, jasad renik (mikro
organisme) dan suhu yang
ekstrim.
2 Alat Pelindung Alat pelindung mata dan Kacamata pengaman (spectacles),
Mata dan Muka muka adalah alat pelindung goggles, tameng muka (face shield),
yang berfungsi untuk masker selam, tameng muka dan
melindungi mata dan muka kacamata pengaman dalam kesatuan (full
dari paparan bahan kimia face masker).
berbahaya, paparan partikel-
partikel yang melayang di
udara dan di badan air,
percikan benda-benda kecil,
panas, atau uap panas,
radiasi gelombang
elektromagnetik yang
mengion maupun yang tidak
mengion, pancaran cahaya,
benturan atau pukulan
benda keras atau benda
tajam.
3 Alat Pelindung Alat pelindung telinga Sumbat telinga (ear plug) dan penutup
Telinga adalah alat pelindung yang telinga (ear muff).
berfungsi untuk melindungi
alat pendengaran terhadap
kebisingan atau tekanan.
4 Alat Pelindung Alat pelindung pernapasan Masker, respirator, katrit, kanister, Re-
Pernafasan beserta beserta perlengkapannya breather, Airline respirator, Continues Air
perlengkapannya adalah alat pelindung yang Supply Machine=Air Hose Mask
berfungsi untuk melindungi Respirator, tangki selam dan regulator
organ pernapasan dengan (Self-Contained Underwater Breathing
cara menyalurkan udara Apparatus /SCUBA), Self-Contained
bersih dan sehat dan/atau Breathing Apparatus (SCBA), dan
menyaring cemaran bahan emergency breathing apparatus.
kimia, mikro-organisme,
partikel yang berupa debu,
kabut (aerosol), uap, asap,
gas/ fume, dan sebagainya.

5 Alat Pelindung Pelindung tangan (sarung Sarung tangan yang terbuat dari logam,
Tangan tangan) adalah alat kulit, kain kanvas, kain atau kain
pelindung yang berfungsi berpelapis, karet, dan sarung tangan yang
untuk melindungi tangan tahan bahan kimia.
dan jari-jari tangan dari
pajanan api, suhu panas,
suhu dingin, radiasi
elektromagnetik, radiasi
mengion, arus listrik, bahan
kimia, benturan, pukulan
dan tergores, terinfeksi zat
patogen (virus, bakteri) dan
jasad renik.
6 Alat Pelindung Alat pelindung kaki Sepatu keselamatan pada pekerjaan
Kaki berfungsi untuk melindungi peleburan, pengecoran logam, industri,
kaki dari tertimpa atau kontruksi bangunan, pekerjaan yang
berbenturan dengan benda- berpotensi bahaya peledakan, bahaya
benda berat, tertusuk benda listrik, tempat kerja yang basah atau licin,
tajam, terkena cairan panas bahan kimia dan jasad renik, dan/atau
atau dingin, uap panas, bahaya binatang dan lain-lain.
terpajan suhu yang ekstrim,
terkena bahan kimia
berbahaya dan jasad renik,
tergelincir.

7 Pakaian Pelindung Pakaian pelindung Rompi (Vests), celemek


berfungsi untuk melindungi (Apron/Coveralls), Jacket, dan pakaian
badan sebagian atau seluruh pelindung yang menutupi sebagian atau
bagian badan dari bahaya seluruh bagian badan.
temperatur panas atau
dingin yang ekstrim,
pajanan api dan benda-
benda panas, percikan
bahan-bahan kimia, cairan
dan logam panas, uap
panas, benturan (impact)
dengan mesin, peralatan dan
bahan, tergores, radiasi,
binatang, mikro-organisme
patogen dari manusia,
binatang, tumbuhan dan
lingkungan seperti virus,
bakteri dan jamur.
8 Alat Pelindung Alat pelindung jatuh Sabuk pengaman tubuh (harness),
Jatuh Perorangan perorangan berfungsi karabiner, tali koneksi (lanyard), tali
membatasi gerak pekerja pengaman (safety rope), alat penjepit tali
agar tidak masuk ke tempat (rope clamp), alat penurun (decender),
yang mempunyai potensi alat penahan jatuh bergerak (mobile fall
jatuh atau menjaga pekerja arrester), dan lain-lain.
berada pada posisi kerja
yang diinginkan dalam
keadaan miring maupun
tergantung dan menahan
serta membatasi pekerja
jatuh sehingga tidak
membentur lantai dasar.
9 Pelampung Pelampung berfungsi Jaket keselamatan (life jacket), rompi
melindungi pengguna yang keselamatan ( life vest), rompi pengatur
bekerja di atas air atau keterapungan (Bouyancy Control Device)
dipermukaan air agar
terhindar dari bahaya
tenggelam dan atau
mengatur keterapungan
(buoyancy) pengguna agar
dapat berada pada posisi
tenggelam (negative
buoyant) atau melayang
(neutral buoyant) di dalam
air.
*) lengkapi gambar untuk masing-masing jenis APD

III. P3K
Permenakertrans No. PER.15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama pada Kecelakaan di
Tempat Kerja.

Perusahaan dalam melaksanakan P3K di tempat kerja harus menyediakan petugas P3K dan
Fasilitas P3K.

A. Petugas P3K
a. Syarat untuk mendapatkan lisensi sebagai Petugas P3K di tempat kerja
Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K;
d. memiliki pengetahuan dan ketrampilan dasar di bidang P3K di tempat kerja yang
dibuktikan dengan sertifikat pelatihan.

b. Penentuan jumlah petugas P3K di tempat kerja


Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditentukan
berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja, dengan rasio
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

c. Penentuan jumlah petugas P3K di tempat kerja

Klasifikasi Tempat Kerja Jumlah Pekerja/Buruh Jumlah petugas P3K


Tempat kerja dengan 25 – 150 1 orang
potensi bahaya rendah > 150 1 orang untuk setiap 150
orang atau kurang
Tempat kerja dengan < 100 1 orang
potensi bahaya tinggi. > 100 1 orang untuk setiap 100
d. K
orang atau kurang
a
rakteristik tempat kerja yang harus menyediakan petugas P3K
Karakteristik tempat kerja yang harus menyediakan petugas P3K
Pengurus wajib mengatur tersedianya Petugas P3K pada :
a. tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter lebih sesuai jumlah pekerja/buruh
dan potensi bahaya di tempat kerja;
b. Tempat kerja di setiap lantai yang berbeda di gedung bertingkat sesuai jumlah
pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja;
c. Tempat kerja dengan jadwal kerja shift sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi
bahaya di tempat kerja.

a. Tugas Petugas P3K


Petugas P3K di tempat kerja mempunyai tugas :
a. Melaksanakan tindakan P3K di tempat kerja;
b. Merawat fasilitas P3K di tempat kerja
c. Mencatat setiap kegiatan P3K dalam buku kegiatan; dan
d. Melaporkan kegiatan P3K kepada pengurus.

B. Fasilitas P3K
a. Fasilitas P3K terdiri dari
(1) Fasilitas P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi :
 Ruang P3K;
 Kotak P3K dan isi;
 Alat evakuasi dan alat transportasi; dan
 Fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan khusus di
tempat kerja yang memiliki potensi bahaya yang bersifat khusus.
(2) Alat pelindung diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan
peralatan yang disesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja
yang digunakan dalam keadaan darurat.
(3) Peralatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa alat
untuk pembasahan tubuh cepat (shower) dan pembilasan/pencucian mata.

b. Persyaratan Ruang P3K


 Pengusaha wajib menyediakan ruang P3K sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf a dalam hal :
a) Mempekerjakan pekerja/buruh 100 orang atau lebih;
b) Mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 100 orang dengan potensi
bahaya tinggi.
 Persyaratan ruang P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a) Lokasi ruang P3K :
 Dekat dengan toilet/kamar mandi;
 Dekat jalan keluar;
 Mudah dijangkau dari area kerja; dan
 Dekat dengan tempat parkir kendaraan.
b) Mempunyai luas minimal cukup unruk menampung satu tempat tidur
pasien dan masih terdapat ruang gerak bagi seorang petugas P3K serta
penempatan fasilitas P3K lainnya;
c) Bersih dan terang, ventilasi baik, memiliki pintu dan jalan yang cukup
lebar untuk memindahkan korban;
d) Diberi tanda dengan papan nama yang jelas dan mudah dilihat;
e) Sekurang-kurangnya dilengkapi dengan :
1. Wastafel dengan air mengalir;
2. Kertas tissue/lap;
3. Usungan/tandu;
4. Bidai/spalk;
5. Kotak P3K dan isi;
6. Tempat tidur dengan bantal dan selimut;
7. Tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti : tandu dan/atau kursi roda;
8. Sabun dan sikat;
9. Pakaian bersih untuk penolong;
10. Tempat sampah;
11. Kursi tunggu bila diperlukan.

c. Persyaratan Kotak P3K


Kotak P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibawa, berwarna dasar
putih dengan lambang P3K berwarna hijau;
2) Isi kotak P3K sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan
Menteri ini dan tidak boleh diisi bahan atau alat selain yang
dibutuhkan untuk pelaksanaan P3K di tempat kerja;
3) Penempatan kotak P3K :
- Pada tempat yang mudah dilihat dan dijangkau, diberi tanda arah
yang jelas, cukup cahaya serta mudah diangkat apabila digunakan;
- Disesuaikan dengan jumlah pekerja/buruh, jenis dan jumlah kotak
P3K sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan
Menteri ini;
- Dalam hal tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau
lebih masing-masng unit kerja harus menyediakan kotak P3K
sesuai jumlah pekerja/buruh;
- Dalam hal tempat kerja pada lantai yang berbeda di gedung
bertingkat, maka masing-masing unit kerja harus menyediakan
kotak P3K sesuai jumlah pekerja/buruh.
d. Perhitungan Kebutuhan Petugas P3K dan Kotak P3K
PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT
KERJA
ISI KOTAK P3K
IV. Bebas NAPZA
Permenakertrans No PER.11/MEN/VI/2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya di
Tempat Kerja

Jelaskan kewajiban perusahan dalam pencegahan dan penanggulangan HAPZA di tempat


kerja!
(1) Pengusaha wajib melakukan upaya aktif pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di
tempat kerja. 

(2) Upaya aktif pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah
a. penetapan kebijakan;

b. penyusunan dan pelaksanaan program. 

(3) Dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh, pihak ketiga atau ahli di bidang narkotika, psikotropika
dan zat adiktif lainnya. 


V. HIV/AIDS
Keputusan Dirjenbinawasnaker No Kep.20/DJPPK/VI/2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja

Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja meliputi*):


No Bentuk Kegiatan Ketentuan
Pencegahan dan
Penanggulangan
HIV/AIDS di tempat
kerja
1 Kebijakan 1. Bentuk Kebijakan

Kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja


dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja
atau secara tersendiri.

2. Isi Kebijakan

a. Pernyataan komitmen pengusaha/pengurus untuk mendidik


pekerja/buruh tentang HIV/AIDS. 

b. Menembangkan strategi dan promosi program pencegahan
HIV/AIDS untuk di selenggarakan di tempat kerja.
c. Memberikan pendidikan kepada pekerja/buruh untuk meningkatkan
pemahaman akan HIV/AIDS, termasuk cara pencegahan. 

d. Memberikaninformasikepadaparapekerja/buruhh\ mengenai di
mana pekerja/buruh dapat memperoleh pelayanan testing,
konseling dan pelayananan yang dibutuhkan.
e. Dilarang mewajibkan tes HIV/AIDS sebagai bagian dari skrining
untuk rekrutmen, promosi, kesempatan mendapatkan pendidikan
dan kelangsungan status kerja.
f. Melarang segala bentuk stigmatisasi dan terhadap pekerja/buruh
dengan HIV/AIDS. 

g. Menjaga kerahasiaan identitas pekerja/buruh dengan HIV/ AIDS.

3. Penerapan Kebijakan Program HIV/AIDS di Tempat Kerja

a. Membuat kebijakan tertulis untuk menerapkan program


pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. 

b. Mengkomunikasikan kebijakan kepada seluruh pekerja/buruh. 

c. Menyusun rencana pelaksanaan pendidikan pencegahan HIV/
AIDS di tempat kerja melalui program Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau Pelayanan Kesehatan Kerja
yang sudah ada. 

d. Melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di tempat kerja. 

e. Mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. 

4. Contoh Kebijakan Pencegahan Dan Penanggulangan HIV/AIDS

a. Judul Kebijakan 

— Kebijakan Pencegahan dan Penaggulangan HIV/AIDS di
Tempat Kerja PT.XXX— 

b. Isi Kebijakan
1) Menyediakan program pendidikan HIV/AIDS bagi semua
pekerja/buruh melalui Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. 

2) Tidak mewajibkan tes HIV/AIDS bagi calon pekerja/ buruh
sebagai prasyarat penerimaan pekerja/buruh, promosi dan
kelanjutan status kerja.
3) Perusahaan akan memperlakukan sama dan tidak akan
membedakan pekerja/buruh dengan HIV/AIDS dalam hal
mendapatkan kesempatan kerja, hak untuk mendapatkan
promosi, hak untuk mendapatkan pelatihan ataupun kondisi
dan perlakuan khusus lainnya.
4) Perusahaan akan mengizinkan pekerja/buruh dengan HIV/ AIDS
untuk terus bekerja selama pekerja/buruh tersebut secara medis
mampu memenuhi standar kerja yang di tentukan (termasuk
kondisi dan kehadiran pekerja/buruh tersebut di tempat kerja
dan tidak mempengaruhi prestasi kerjanya serta prestasi rekan
kerja lainnya).
5) Perusahaan akan merahasiakan semua informasi medis, catatan
kesehatan atau informasi lain yang terkait. 

6) Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS tidak diharuskan
menginformasikan status HIV/AIDS-nya kepada perusahaan,
kecuali atas keinginan sendiri.
c. Ditanda tangani oleh pengusaha/pengurus.

2 Pendidikan 1) Strategi pendidikan


a. Menyusun program pendidikan HIV/AIDS.
b. Melaksanakan pendidikan pekerja/buruh secara
berkesinambungan.
c. MemanfaatkanPanitiaPembinaKeselamatandanKesehatan Kerja
dan atau Pelayanan Kesehatan Kerja dalam pelaksanaan
program pendidikan pencegahan dan penanggulangan HIV/
AIDS di tempat kerja. 


2) Cakupan Pendidikan
a. Penjelasan tentang HIV/AIDS, cara penularan dan cara
pencegahannya.
b. Penjelasan tentang Infeksi Menular Seksual(IMS)sebagaisalah
satu faktor risiko terinfeksi HIV/AIDS.
c. Pemberian informasi tentang layanan pengobatan IMS, testing
dan konseling sukarela HIV/AIDS melalui Dinas Kesehatan
dan pengobatan HIV/AIDS melalui rujukan rumah sakit
setempat.
d. Penjelasaan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan
program HIV/AIDS di tempat keja dan kaidah ILO tentang
HIV/AIDS di dunia kerja
e. Metode pendidikan yang digunakan bersifat interaktif dan
partisipatif. 


3) Pelaksanaan Pendidikan
a. Pengusaha/pengurus dapat membentuk subkomite dalam
Kepengurusan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan
Kerja atau Pelayanan Kesehatan Kerja yang ada di perusahaan
untuk bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan
pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja
bagi pekerja/buruh.
b. Pengusaha/pengurus mempersiapkan dan membekali anggota
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan atau
personil Pelayanan Kesehatan Kerja serta pekerja/buruh yang
dipilih sebagai penyuluh sesuai dengan pendidikan yang
dibutuhkan.
c. Anggota Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dan atau Personil Pelayanan Kesehatan Kerja serta pekerja /
buruh yamg dipilih dan sudah mendapatkan pendidikan wajib
menyelenggarakan pendidikan bagi pekerja/buruh. 

d. Pekerja/buruh yang dipilih dan sudah mendapatkan pendidikan
ditugaskan untuk menyebarluaskan informasi, mempengaruhi
dan memantau perilaku pekerja/buruh yang berisiko terhadap
HIV/AIDS.

4) Peserta, Materi, Metode dan Kualifikasi Instruktur


Pendidikan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di
Tempat Kerja
a. Peserta
 Manajer 

 Supervisor 

 Pengurus dan Anggota P2K3 

 Dokter Perusahaan 

 Paramedis Perusahaan 

 Pengurus dan Anggota Serikat Pekerja 

b. Materi :
Materi yang dipersyaratkan minimal
 Materi pendidikan bagi Manajer, Supervisor, Pengurus,
dan Anggota P2K3, Paramedis, Dokter Perusahaan,
Pengurus Serikat Pekerja/Buruh. Materi pendidikan
dapat di kembangkan sesuai dengan kebutuhan tempat
kerja

c. Metode
 Ceramah
 Diskusi
 Stimulasi
 Studi Kasus
d. Kualifikasi Instruktur
Sudah mengikuti pendidikan pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di tempat kerja

3 Perlindungan hak 1) Perjanjian Kerja Bersama


pekerja/buruh yang a. Dalam menyusun dan menetapkan kebijakan tentang
berkaitan dengan pencegahan dan penaggulangan HIV/AIDS di tempat kerja,
HIV/AIDS**) pengusaha/pengurus harus berkonsultasi dengan wakil pekerja/
buruh dan/atau serikat pekerja/buruh.
b. Wakil pekerja/buruh dan atau serikat pekerja dengan
pengusaha/pengurus bersama-sama memasukan prinsip-
prinsip tentang perlindungan dan pencegahan HIV/AIDS
dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama
2) Konseling dan Testing Sukarela (Voluntary Counseling and Testing)
a. Pengusaha/pengurus di larang melakukan tes HIV untuk
digunakan sebagai prasyarat suatu proses rekrutmen atau
kelanjutan status pekerja/buruh atau kewajiban pemeriksaan
kesehatan tenaga kerja serta untuk tujuan asuransi.
b. Tes HIV hanya dapat di lakukan terhadap pekerja/buruh atas
dasar kesukarelaan dengan persetujuan tertulis dari pekerja/
buruh yang bersangkutan, dengan ketentuan bukan untuk
digunakan sebagaimana di maksud dalam butir a. 

c. Testing dapat dilakukan bagi pekerja yang dipekerjakan pada
lingkungan kerja yang mungkin menimbulkan pajanan
terhadap HIV seperti; laboratorium, fasilitas kesehatan dan
terhadap pasien yang akan dilakukan tindakan medis oleh
tenaga medis dan yang dicurigai ada indikasi terinfeksi HIV.

d. Testing dapat di lakukan untuk tujuan survei pemantauan
epidemiologi dengan memenuhi berbagai syarat yaitu anonim,
mematuhi prinsip-prinsip etika riset, ilmiah serta profesi dan
tetap melindungi kerahasiaan dan hak-hak seseorang. 

e. Dalam hal tes sebagaimana di maksud butir a, b, c di atas
dilaksanakan maka pekerja harus di berikan :
1) Pra-konseling (konseling sebelum tes di lakukan).
2) Persetujuan secara tertulis (informed consent).
3) Pemberitahuan hasil tes langsung kepada si pekerja.
4) Pasca konseling (konseling setelah hasil tes diberikan
kepada 
yang bersangkutan). 

f. Bantuan konseling dapat diberikan oleh pelayanan kesehatan kerja
yang ada di perusahaan dan atau pelayanan kesehatan lainnya. 

g. Tes HIV hanya boleh dilakukan oleh dokter yang mempunyai
keahlian khusus sesuai peraturan perundang-undangan. 

3) Diskriminasi dan Stigmatisasi
a. Pengusaha/pengurus dan pekerja/buruh tidak dibolehkan
melakukan tindak dan sikap diskriminasi terhadap pekerja/ buruh
dengan HIV/AIDS. 

b. Pengusaha/pengurus dan pekerja/buruh harus melakukan upaya–
upaya untuk meniadakan stigma terhadap pekerja/buruh dengan
HIV/AIDS. 

c. Pengusaha/pengurus dan pekerja/buruh harus menghormati hak
asasi dan menjaga martabat pekerja/buruh dengan HIV/ AIDS.
d. Pengusaha/pengurus dapat memberikan tindakan disiplin bagi
pengusaha/pengurus lain dan pekerja/buruh yang
mendiskriminasikan dan menstigma pekerja/buruh dengan
HIV/AIDS atau diduga sebagai pekerja/buruh dengan HIV/ AIDS.

e. Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS berhak untuk terus bekerja
selama mereka mampu bekerja dan tidak menimbulkan bahaya
terhadap diri sendiri, pekerja/buruh lainnya dan orang lain di
tempat kerja. 

f. Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS hendaknya bertindak secara
bertanggung jawab dengan mengambil langkah-langkah
sewajarnya untuk mencegah penularan HIV kepada rekan
sekerjanya.
g. Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS hendaknya didorong untuk
menginformasikan kepada pengusaha/pengurus terhadap 
 status
HIV mereka jika pekerjaan yang akan dilakukan menimbulkan
potensi risiko terhadap penularan HIV.
4) Pelayanan Kesehatan Kerja Bagi Pekerja/Buruh dengan
HIV/AIDS.
a. Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan kerja sama dengan pekerja/buruh lainnya sesuai
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku dengan
ketentuan:
1. Pekerja/buruh yang telah tertular HIV tetapi belum masuk pada
stadium AIDS yang mempunyai gejala penyakit umum berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan baik di sarana kesehatan
perusahaan maupun jaminan pemeliharaan kesehatan tenaga
kerja Jamsostek.
2. Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS yang dikategorikan sebagai
penyakit akibat kerja berhak mendapatkan jaminan kecelakaan
kerja sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pekerja/buruh yang telah tertular HIV pada stadium AIDS dan
bukan termasuk kategori penyakit akibat kerja, tidak berhak
mendapatkan jaminan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja
maupun jaminan kecelakaan kerja sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. 

4. Pelayanan kesehatan kerja terhadap pekerja/buruh dengan
HIV/AIDS tidak wajib menyediakan obat-obatan anti virus
HIV. 

b. Penetapan stadium HIV/AIDS dilakukan oleh dokter yang
mempunyai keahlian khusus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan standar yang berlaku.

4 Prosedur K3 khusus 1) Langkah-langkah Pencegahan Dan Pengendalian


a. Pengusaha/pengurus berkewajiban untuk memastikan keselamatan
dan kesehatan lingkungan kerja, termasuk penerapan persyaratan
dan ketentuan-ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja seperti
ketentuan penyediaan dan penggunaan alat pelindung diri dan
perlengkapan pelindung lainnya serta dan pertolongan pertama
pada kecelakaan.
b. Pengusaha/pengurus harus menunjukkan pekerja-pekerja atau
aktivitas kerja di tempat kerjanya yang menempatkan pekerja/
buruh pada tempat kerja yang berisiko terhadap penularan HIV.
Jika terdapat risiko penularan HIV, pengurus-pengurus harus
menetapkan program-program untuk pencegahan dan
penanggulangan dalam mengurangi risiko penularan.
c. Setiap pekerja/buruh harus mematuhi semua instruksi dan prosedur
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang ditetapkan oleh
pengusaha/pengurus termasuk pemakaian dan penggunaan APD
untuk tujuan pencegahan penularan HIV.
d. Pada pekerja atau aktivitas kerja dimana terdapat risiko penularan
HIV/AIDS pengusaha/pengurus harus menyelenggarakan program
pendidikan dan pelatihan yang bersifat khusus disamping
menyediakan perlengkapan dan menjamin penerapannya.
2) Pengawasan Terhadap Infeksi di Tempat Kerja
a. Kewaspadaan Universal Terhadap Darah dan Cairan Tubuh.
Kewaspadaan Universal terhadap darah atau cairan tubuh dikenal
juga sebagai Kewaspadaan Universal atau Kewaspadaan Baku.
Pendekatan ini muncul sebagai reaksi terhadap merebaknya wabah
HIV/AIDS dan kesadaran akan pentingnya strategi baru untuk
melindungi pegawai rumah sakit dari berbagai infeksi melalui
darah. Untuk pertama kalinya, pendekatan ini menekankan
penerapan kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh dan
dilaksanakan secara universal terhadap semua orang tanpa
memandang status infeksi. Kewaspadaan Universal merupakan
praktek pengawasan baku dan sederhana terhadap infeksi yang
diterapkan dalam perawatan semua pasien, setiap saat, untuk
mengurangi risiko terhadap berbagai penyakit yang dibawa atau
berkaitan dengan darah.

5 Program Program Gawat darurat dan Pertolongan pertama


pengendalian
(1) Seorang pengusaha/pengurus, berkonsultansi dengan tenaga medis
yang professional yang ahli dalam HIV/AIDS, hendaknya
mengembangkan program untuk menangani pekerja/buruh yang
kemungkinan terpajan oleh darah atau cairan tubuh yang lain
selama bekerja. Program ini meliputi prosedur untuk:
1) Melaporkan kepada orang yang diberi tanggung jawab untuk
melaksanakan investigasi dan orang yang diberi tanggung
jawab untuk menyimpan data kecelakaan yang disebabkan
karena terpajan oleh darah atau cairan tubuh.
2) Segera merujuk kepada dokter bagi pekerja/buruh yang
terpajan HIV supaya dapat dilakukan penilaian terhadap risiko
penularan dan membahas pilihan untuyk melakukan konseling
dan testing sukarela serta pengobatan.

(2) Pengusaha/pengurus hendaklah menjamin prosedur Gawat Darurat


dan Pertolongan pertama serta memasukan persyaratan
pencegahan untuk menghindarkan risiko penularan HIV dalam
menangani korban kecelakan di tempat kerja yang menimbulkan
perdarahan dan atau memerlukan cardio pulmonary resuscitation
(CPR)

*) buatlah resume hal-hal terpenting pada masing-masing bentuk kegiatan pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja
**) untuk kegiatan konseling dan testing sukarela (voluntary counseling and testing), tolong
dibaca juga regulasi KMK N0. 1057/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan
Konseling dan Testing HIV/AIDS secara Sukarela (Voluntary Counseling and Testing).

VI. Pekerja Perempuan


Kepmenakertrans No. KEP 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan
Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00.

Jelaskan kewajiban pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul


23.00 – 07.00!
No Kewajiban Pengusaha Ketentuan-nya
1 Memberikan makanan Pasal 3
dan minuman bergizi
(1) Makanan dan minuman yang bergizi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf a harus sekurang-kurangnya memenuhi
1.400 kalori dan diberikan pada waktu istirahat
antara jam kerja. 

(2) Makanan dan minuman tidak dapat diganti
dengan uang. 


Pasal 4

(1) Penyediaan makanan dan minuman, peralatan,


dan ruangan makan harus layak serta memenuhi
syarat higiene dan sanitasi. 

(2) Penyajian menu makanan dan minuman yang
diberikan kepada pekerja/buruh harus secara
bervariasi. 


2 Menjaga kesusilaan dan Pasal 5


keamanan selama di Pengusaha wajib menjaga keamanan dan kesusilaan
tempat kerja pekerja/buruh perempuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b dengan :

(1) menyediakan petugas keamanan di tempat kerja;


(2) menyediakan kamar mandi/wc yang layak
dengan penerangan yang memadai serta terpisah
antara pekerja/buruh perempuan dan laki- laki.

3 Menyediakan angkutan Pasal 6


antar jemput bagi pekerja (1) Pengusaha wajib menyediakan antar jemput
perempuan yang dimulai dari tempat penjemputan ke tempat
berangkat dan pulang kerja dan sebaliknya; 

kerja antara pukul 23.00- (2) Penjemputan dilakukan dari tempat
05.00 penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

Pasal 7

(1) Pengusaha harus menetapkan tempat


penjemputan dan pengantaran pada lokasi yang
mudah dijangkau dan aman bagi pekerja/buruh
perempuan.
(2) Kendaraan antar jemput harus dalam kondisi
yang layak dan harus terdaftar di perusahaan.

Peraturan Bersama Menteri Pemberdayagunaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi dan Menteri Kesehatan No. 1178/Menkes/PB/XII/2008 tentang Peningkatan
Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja.

- Latar belakang keluarnya peraturan bersama ketiga menteri tersebut adalah:


b. bahwa setiap ibu berkewajiban memberikan air susu ibu kepada anaknya;
c. bahwa setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental
spiritual maupun kecerdasan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak;
d. bahwa 80% (delapan puluh persen) perkembangan otak anak dimulai sejak dalam kandungan
sampai usia 3 (tiga) tahun (periode emas), sehingga diperlukan pemberian air susu ibu eksklusif 6
(enam) bulan dan diteruskan sampai anak berusia 2 (dua) tahun;
e. bahwa belum optimalnya pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender dan perlindungan fungsi
reproduksi (maternal) mengakibatkan perempuan bekerja mengalami kesulitan dalam pemberian
air susu ibu;
f. bahwa karena masa istirahat sebelum dan sesudah melahirkan hanya ditentukan selama 3 (tiga)
bulan, maka pekerja/buruh perempuan setelah melahirkan anak harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk memberikan air susu ibu kepada anaknya atau memerah air susu ibu selama
waktu kerja di tempat kerja;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian
Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja;

- Tujuan dikeluarkannya peraturan bersama ketiga menteri tersebut antara lain


 Tujuan Peraturan Bersama ini adalah :
a. memberi kesempatan kepada pekerja/buruh perempuan untuk memberikan atau
memerah ASI selama waktu kerja dan menyimpan ASI perah untuk diberikan kepada
anaknya;
b. memenuhi hak pekerja/buruh perempuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
anaknya;
c. memenuhi hak anak untuk mendapatkan ASI guna meningkatkan gizi dan kekebalan
anak; dan
d. meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini.

Permenkes No 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau
Memerah Air Susu Ibu.

Pengurus tempat kerja harus mendukung program ASI Eksklusif, yang dapat dilakukan
melalui:
No Bentuk dukungan Ketentuan
1 Penyediaan fasilitas khusus - Ruang ASI
untuk menyusui dan/atau Pasal 6
memerah ASI
a. Setiap Pengurus Tempat Kerja dan
Penyelenggara Tempat Sarana Umum
harus memberikan kesempatan bagi ibu
yang bekerja di dalam ruangan dan/atau di
luar ruangan untuk menyusui dan/atau
memerah ASI pada waktu kerja di tempat
kerja. 

b. Pemberian kesempatan bagi ibu yang
bekerja di dalam dan di luar ruangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa penyediaan ruang ASI sesuai
standar.

Pasal 9 


 Ruang ASI diselenggarakan pada bangunan


yang permanen, dapat merupakan ruang
tersendiri atau merupakan bagian dari
tempat pelayanan kesehatan yang ada di
Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum.

 Ruang ASI sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan
kesehatan. 

 Setiap Tempat Kerja dan Tempat Sarana
Tempat Umum harus menyediakan sarana
dan prasarana Ruang ASI sesuai dengan
standar minimal dan sesuai kebutuhan. 


Pasal 10 


Persyaratan kesehatan Ruang ASI sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) paling sedikit
meliputi:

e. tersedianya ruangan khusus dengan ukuran

minimal 3x4 m2 dan/atau 
disesuaikan


dengan jumlah pekerja perempuan yang
sedang menyusui; 

f. ada pintu yang dapat dikunci, yang mudah
dibuka/ditutup; 

g. lantai keramik/semen/karpet; 

h. memiliki ventilasi dan sirkulasi udara yang
cukup; 

i. bebas potensi bahaya di tempat kerja
termasuk bebas polusi;
j. lingkungan cukup tenang jauh dari
kebisingan; 

k. penerangan dalam ruangan cukup dan tidak
menyilaukan;
l. kelembapan berkisar antara 30-50%,
maksimum 60%; dan tersedia wastafel
dengan air mengalir untuk cuci tangan dan
mencuci 
peralatan. 


- Peralatan Ruang ASI


(1) Peralatan Ruang ASI di Tempat Kerja
sekurang-kurangnya terdiri dari peralatan
menyimpan ASI dan peralatan pendukung
lainnya sesuai standar. 

(2) Peralatan menyimpan ASI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi:
 lemari pendingin (refrigerator) untuk
menyimpan ASI; 

 gel pendingin (ice pack);
 tas untuk membawa ASI perahan
(cooler bag); dan 

 sterilizer botol ASI. 

(3) peralatan pendukung lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi:
 meja tulis; 

 kursi dengan sandaran untuk ibu
memerah ASI;
 konseling menyusui kit yang terdiri
dari model payudara, boneka,
cangkir minum ASI, spuit 5cc, spuit
10 cc, dan spuit 20 cc; 

 media KIE tentang ASI dan inisiasi
menyusui dini yang terdiri dari
poster, foto, leaflet, booklet, dan
buku konseling menyusui);
 lemari penyimpan alat; 

 dispenser dingin dan panas; 

 alat cuci botol;
 tempat sampah dan penutup; 

 penyejuk ruangan (AC/Kipas
angin);

 nursing apron/kain pembatas/ pakai
krey untuk memerah ASI;
 waslap untuk kompres payudara;
 tisu/lap tangan; dan
 bantal untuk menopang saat
menyusui. 

-
2 Pemberian kesempatan Pasal 6
kepada ibu yang bekerja (1) Setiap Pengurus Tempat Kerja dan
untuk memberikan ASI Penyelenggara Tempat Sarana Umum harus
eksklusif kepada bayi dan memberikan kesempatan bagi ibu yang
atau memerah ASI selama bekerja di dalam ruangan dan/atau di luar
waktu kerja di tempat kerja ruangan untuk menyusui dan/atau memerah
ASI pada waktu kerja di tempat kerja.
(2) Pemberian kesempatan bagi ibu yang
bekerja di dalam dan di luar ruangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa penyediaan ruang ASI sesuai
standar. 


3 Pembuatan peraturan internal Pasal 3


yang mendukung
(1) Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara
keberhasilan program
Tempat Sarana Umum harus mendukung program
pemberian ASI Eksklusif
ASI Eksklusif. 


(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan melalui:

a. penyediaan fasilitas khusus untuk


menyusui dan/atau memerah 
ASI;
b. pemberian kesempatan kepada ibu yang
bekerja untuk 
memberikan ASI
Eksklusif kepada bayi atau memerah ASI
selama 
waktu kerja di Tempat Kerja; 

c. pembuatan peraturan internal yang
mendukung keberhasilan 
program
pemberian ASI Eksklusif; dan 

d. penyediaan Tenaga Terlatih Pemberian
ASI. 

4 Penyediaan tenaga terlatih Pasal 13
pemberian ASI
(1) Setiap Pengurus Tempat Kerja dan
Penyelenggara Tempat Sarana Umum dapat
menyediakan Tenaga Terlatih Pemberian ASI
untuk memberikan konseling menyusui kepada
pekerja/buruh di Ruang ASI. 

(2) Tenaga Terlatih Pemberian ASI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus telah mengikuti
pelatihan konseling menyusui yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat.
(3) Pelatihan konseling menyusui sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus telah
tersertifikasi mengenai modul maupun tenaga
pengajarnya. 


Pasal 15

(1) Setiap Ruang ASI harus memiliki penanggung


jawab yang dapat merangkap sebagai konselor
menyusui. 

(2) Penanggung jawab Ruang ASI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh Pengurus
Tempat Kerja dan Penyelenggara Tempat
Sarana Umum. 


Pasal 16

(1) Tenaga Terlatih Pemberian ASI


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
harus memahami pengelolaan pemberian
ASI dan mampu memotivasi pekerja agar
tetap memberikan ASI kepada anaknya
walaupun bekerja. 

(2) Dalam hal Ruang ASI belum memiliki
konselor menyusui, Pengurus Tempat Kerja
dan Penyelenggara Tempat Sarana Umum
dapat bekerja sama dengan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan atau berkoordinasi
dengan dinas kesehatan
provinsi/kabupaten/kota untuk memberikan
pelatihan konseling menyusui. 


Anda mungkin juga menyukai