Anda di halaman 1dari 45

Nama : Dimas Triyatna

NIM : 11161010000038

RESUME SESI – 4
PROGRAM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

a. Pemeriksaan Kesehatan
Permenakertrans No. Per.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam
Penyelenggaraan Keselamatan Kerja
Keputusan Dirjenbinawasnaker No Kep.22/DJPPK/V/2008 tentang Petunjuk Teknis
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja.

A. Jenis-Jenis Pemeriksaan Kesehatan

No Item Jenis Pemeriksaan Kesehatan


Sebelum Kerja Berkala Khusus
1 Definisi Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
kesehatan yang kesehatan pada kesehatan yang
dilakukan oleh waktu-waktu dilakukan oleh
dokter sebelum tertentu terhadap dokter secara
seorang tenaga tenaga kerja yang khusus terhadap
kerja diterima dilakukan oleh tenaga kerja
untuk melakukan dokter. tertentu.
pekerjaan.
2 Tujuan agar tenaga kerja mempertahankan menilai adanya
yang diterima derajat pengaruh-
berada dalam kesehatan tenaga pengaruh
kondisi kesehatan kerja sesudah dari pekerjaan
yang setinggi- berada dalam tertentu terhadap
tingginya, tidak pekerjaannya, tenaga kerja atau
mempunyai serta menilai golongan-
penyakit kemungkinan golongan tenaga
menular yang adanya pengaruh- kerja
akan mengenai pengaruh dari tertentu.
tenaga kerja pekerjaan seawal
lainnya, dan mungkin yang
cocok untuk perlu
pekerjaan yang dikendalikan
akan dilakukan dengan usaha-
sehingga usaha
keselamatan dan pencegahan.
kesehatan tenaga
kerja yang
bersangkutan
dan tenaga kerja
yang lain-lainnya
dapat dijamin.
3 Ruang Lingkup pemeriksaan fisik pemeriksaan fisik terdapat keluhan-
lengkap, lengkap, keluhan diantara
kesegaran kesegaran tenaga kerja, atau
jasmani, rontgen jasmani, rontgen atas pengamatan
paru-paru paru-paru pegawai
(bilamana (bilamana pengawas
mungkin) dan mungkin) dan keselamatan dan
laboratorium laboratoriuin rutin kesehatan kerja,
rutin, serta serta pemeriksaan atau atas
pemeriksaan lain lain yang penilaian Pusat
yang dianggap dianggap perlu. Bina Hyperkes
perlu. dan Keselamatan
dan Balaibalainya
atau atas
pendapat umum
dimasyarakat.

B. Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja


a. Pelayanan kesehatan kerja wajib melaksanaakan tugas pokok pelayanan kesehatan kerja secara
menyeluruh dan terpadu (komprehensif) yang meliputi upaya kesehatan :
1. pencegahan (preventif),
2. pembinaan/peningkatan (promotif),
3. pengobatan (kuratif) dan
4. pemulihan (rehabilitatif),

dengan lebih menitik beratkan pada upaya kesehatan pencegahan dan pembinaan/peningkatan
(promotif dan preventif)
b. Penanggung jawab pelayanan kesehatan kerja adalah dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja,
sedangkan tenaga pelaksananya dapat terdiri dari :
 dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja (penanggung jawab merangkap pelaksana),
 dokter perusahaan dan atau
 paramedis perusahaan.
c. Teknis penyelenggaraan program/kegiatan pelayanan kesehatan kerja mengacu pada prinsip-
prinsip :
 Program/kegiatan kesehatan kerja berupa upaya kesehatan secara menyeluruh dan
terpadu, dengan lebih menitik beratkan pada upaya kesehatan preventif dan promotif
tanpa mengurangi upaya kesehatan kuratif dan rehabilitatif.
 Upaya kesehatan yang bersifat preventif dan promotif disesuaikan dengan hasil penilaian
risiko potensi bahaya yang ada di perusahaan.
 Upaya kesehatan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif minimal berupa pelayanan
kesehatan kerja yang bersifat dasar yaitu :
a) pemberian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
b) pengobatan (rawat jalan tingkat pertama)
 Perencanaan program dan kegiatan pelayanan kesehatan kerja dibuat dengan skala
prioritas dan mempertimbangkan kondisi perusahaan, permasalahan kesehatan di
perusahaan maupun masalah kesehatan umum lainnya.
 Program/kegiatan pelayanan kesehatan kerja terutama ditujukan untuk pencegahan
penyakit akibat kerja (PAK), peningkatan derajat kesehatan tenaga kerja dan
peningkatan kapasitas kerja melaui program/kegiatan :
a) Pemeriksaaan kesehatan tenaga kerja;
b) Penempatan tenaga kerja disesuaikan dengan status kesehatannya;
c) Promosi/peningkatan kesehatan tenaga kerja;
d) Pencegahan Penyakit Akibat Kerja (PAK) melalui perbaikan lingkungan kerja (program
higiene industri);
e) Pencegahan PAK melalui perbaikan kondisi kerja (program ergonomi kerja);
f) P3K, medical emergency respon, pengobatan, rehabilitasi, rujukan kesehatan, pemberian
kompensasi akibat kecelakaan dan PAK.;
g) Pengembangan organisasi, program dan budaya kesehatan kerja.
d. Pelaksanaan program dan kegiatan kesehatan kerja diintegrasikan/dikoordinasikan dengan
program Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) serta melibatkan ahli K3,
Ahli K3 Kimia, Hygienis Industri, petugas K3 dan personil K3 lainnya yang ada di perusahaan
yang bersangkutan.

Syarat Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja


No Syarat Penyelenggaraan Ketentuan
Pelayanan Kesehatan
Kerja
1 Syarat Lembaga 1. Memiliki personil kesehatan kerja yang
meliputi:
 Dokter penanggung jawab pelayanan
kesehatan kerja
 Tenaga pelaksanaan kesehatan kerja
berupa dokter perusahaan dan atau
paramedic perusahaan
 Petugas administrasi atau pencatatan
dan pelaporan pelayanan kesehatan
kerja
2. Memiliki sarana dan prasarana pelayanan
kesehatan kerja
3. Mendapat pengesahan dari instansi di bidang
ketenagakerjaan sesuai wilayah
kewenangannya
4. Pelayanan kesehatan kerja yang dilaksanakan
oleh pihak di luar perusahaan wajib dilengkapi
dengan Nota Kesepahaman (MoU)
penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja
antara pengusaha dengan kepala unit pelayanan
kesehatan yang bersangkutan dan dilaporkan ke
instansi di bidang ketenagakerjaan sesuai
wilayah kewenangannya
2 Syarat Personil 1. Syarat dokter penanggung jawab pelayanan
kesehatan kerja:
 Ditunjuk oleh pimpinan perusahaan atau
kepala unit/instansi yang bersangkutan
dan dilaporkan ke instansi
ketenagakerjaan sesuai wilayah
kewenangannya
 Telah mendapatkan Surat Keputusan
Penunjukan (SKP) sebagai dokter
pemeriksa kesehatan tenaga kerja dari
Dirjen Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga
Kerja dan Treansmigrasi
2. Syarat tenaga pelaksana pelayanan kesehatan
kerja (dokter perusahaan dan atau paramedic
perusahaan):
 Memiliki sertifikat pelatihan hiperkes
dan kesealamtan kerja (atau sertifikat
lainnya) sesuai peraturan perundangan
yang berlaku
 Mematuhi etika profesi dokter dan
tenaga kesehatan lainnya sesuai kode
etik profesi dan peraturan perundangan
yang berlaku
3. Syarat dokter perusahaan:
 Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
dokter, atau sejenisnya sesuai peraturan
perundangan yang berlaku
 Surat Ijin Prakterk (SIP) dokter yang
masih berlaku dari instansi yang
berwenang
3 Syarat Sarana Jumlah dan jenis sarana dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja dapat disesuaikan dengan
jumlah tenaga kerja dan tingkat risiko yang ada di
perusahaan.
Sarana Dasar
1. Perlengkapan Umum
 Meja dan kursi
 Tempat tidur pasien
 Westafel
 Timbangan badan
 Meteran/pengukur tinggi badan
 Kartu status
 Register pasien berobat
2. Ruangan
 Ruang tunggu
 Ruang periksa
 Ruang/almari obat
 Kamar mandi dan WC
3. Peralatan Medis
 Tensimeter dan stetoskop
 Thermometer
 Sarung tangan
 Alat bedah ringan (minor set)
 Lampu set
 Obat-obatan
 Sarana/perlengkapan P3K
 Tabung oksigen dan isinya
Saranan Penunjang
a. Alat Pelindung Diri (APD)
b. Alat evakuasi
 Tandu
 Ambulance/kendaraan pengangkut
korban dll
c. Peralatan penunjang diagnose
 Spirometer
 Audiometer, dll
d. Peralatan pemantau/pengukur lingkungan kerja
 Sound level meter
 Lux meter
 Gas detector, dll
4 Rujukan Pelayanan
Kesehatan Kerja

Tenaga kerja yang sakit diupayakan agar dapat


ditangani di pelayanan kesehatan kerja secara tuntas
atau sampai sembuh. Apabila terdapat tenaga kerja
yang belum dapat ditangani secara tuntas atau belum
sembuh, dokter perusahaan harus merujuk ke
pelayanan kesehatan yang lebih lengkap. Melalui
mekanisme rujukan dalam pelayanan kesehatan kerja,
pasien yang perlu dirujuk antara lain adalah pasien yang
perlu mendapatkan pengobatan, perawatan,
pemeriksaan laboratorium dan diagnosis pasti termasuk
diagnosis & penilaian tingkat kecacatan akibat
kecelakaan dan penyakit akibat kerja. dengan demikian
rujukan pasien dapat ditujukan ke rumah sakit atau unit
pelayanan kesehatan yang lebih lengkap, laboratorium
klinik maupun praktek dokter spesialis. Data-data hasil
rujukan pasien harus menjadi dokumen di pelayanan
kesehatan kerja agar dokter perusahaan dapat
mengevaluasi dan menindaklanjuti pasien yang
bersangkutan.
5 Manajemen kesehatan Elemen-elemen audit SMK3 untuk penerapan norma
kerja kesehatan kerja harus dipenuhi sebagaimana elemen-
elemen audit norma keselamatan dan kesehatan kerja
lainnya.

C. Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja


A. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dilaksanakan sendiri oleh perusahaan:

1. Dilaksanakan bagi perusahaan dengan :

a. Jumlah tenaga kerja 1000 orang atau lebih


b. Jumlah tenaga kerja 500 orang sd 1000 orang tetapi memiliki tingkat
risiko tinggi (penentuan tingkat risiko suatu perusahaan/tempat kerja
mengacu pada standar atau peraturan perundangan yang berlaku).

2. Perusahaan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan kerja sendiri di


perusahaan melaksanakan program pelayanan kesehatan kerja yang bersifat
komprehensif meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi tenaga
kerja

sebagaimana tabel 2;

B. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dilaksanakan melalui pihak di luar


perusahaan :
1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja melalui kerja sama dengan pihak di
luar perusahaan dapat dilaksanakan untuk perusahaan yang memiliki tenaga kerja
kurang dari 1000 orang;

2. Program/kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak di luar perusahaan harus meliputi


upaya kesehatan secara komprehensif (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif)

dengan cara sebagai berikut :

a. Upaya kesehatan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif kecuali tindakan Pertolongan
Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dapat dilaksanakan di unit/lembaga pelayanan
kesehatan di luar perusahaan;

b. Tindakan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dilaksanakan di dalam


perusahaan, oleh oleh tenaga medis dan tenaga kerja yang telah dilatih menjadi
petugas P3K sesuai ketentuan yang berlaku ;

c. Upaya kesehatan yang bersifat preventif dan promotif dilaksanakan di dalam


perusahaan.

d. Cara penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja disesuaikan dengan jumlah


tenaga kerja dan tingkat risiko perusahaan (lihat tabel 3).
D. Jenis-Jenis Program/Kegiatan dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Kerja
No Upaya Contoh jenis kegiatan
1 Promotif a. Pembinaan kesehatan kerja
b. Pendidikan dan pelatihan bidang
kesehatan kerja
c. Perbaikan gizi kerja
d. Program olah raga di tempat kerja
e. Penerapan ergonomi kerja
f. Pembinaan cara hidup sehat
g. Program pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS dan Narkoba di tempat kerja
h. Penyebarluasan informasi kesehatan kerja
melalui penyuluhan dan media KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi),
dengan topik yang relevan.
2 Preventif a. Melakukan penilaian terhadap faktor
risiko kesehatan di tempat kerja (health
hazard risk assesment) yang meliputi :
 Identifikasi faktor bahaya
kesehatan kerja melalui :
pengamatan, walk through
 survey, pencatatan/pengumpulan
data dan informasi
 Penilaian/pengukuran potensi
bahaya kesehatan kerja
 Penetapan tindakan pengendalian
faktor bahaya kesehatan pekerja
b. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja (awal,
berkala dan khusus)
c. Survailans dan analisis PAK dan penyakit
umum lainnya
d. Pencegahan keracunan makanan bagi
tenaga kerja
e. Penempatan tenaga kerja sesuai
kondisi/status kesehatannya
f. Pengendalian bahaya lingkungan kerja
g. Penerapan ergonomi kerja
h. Penetapan prosedur kerja aman atau
Standard Operating Procedure (SOP)
i. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
yang sesuai
j. Pengaturan waktu kerja (rotasi, mutasi,
pengurangan jam kerja terpapar factor
risiko dll);
k. Program imunisasi
l. Program pengendalian binatang penular
(vektor) penyakit.
3 Kuratif a. Pengobatan dan perawatan
b. Tindakan P3K dan kasus gawat darurat
lainnya
c. Respon tanggap darurat
d. Tindakan operatif,
e. Merujuk pasien dll.
4 Rehabilitatif a. Fisio therapy
b. Konsultasi psikologis (rehabilitasi mental)
c. Orthose dan prothese (pemberian alat
bantu misalnya : alat bantu dengar,
tangan/kaki palsu dll)
d. Penempatan kembali dan optimalisasi
tenaga kerja yang mengalami cacat akibat
kerja disesuaikan dengan kemampuannya.
e. Rehabilitasi kerja.

E. Tindak Lanjut Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja


No Tindak Lanjut Ketentuan Pelaksanaannya
1 Monitoring Monitoring penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kerja antara lain meliputi
pemantauan hasil pelaksanan pelayanan
kesehatan kerja, kegiatan pencatatan dan
pelaporan serta kegiatan pendukung lainnya.
I. Pemantauan hasil pelaksanan pelayanan
kesehatan kerja
Teknis Penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kerja dapat dipantau secara
langsung dan tidak langsung. Pemantauan
secara langsung dapat dilakukan dengan
cara melakukan observasi, wawancara,
dan pengukuran kondisi kesehatan tenaga
kerja maupun lingkungan kerja.
Pemantauan secara tidak langsung
dilakukan dengan cara melihat data dan
pelaporan yang sudah ada.
II. Kegiatan pencatatan dan pelaporan.
Pencatatan dan pelaporan sangat penting
dilakukan untuk mendapatkan data hasil
pelaksanakan kegiatan dari waktu ke
waktu. Pencatatan dan pelaporan juga
dapat digunakan untuk umpan balik (feed
back) dalam beberapa kasus/masalah
kesehatan kerja, baik yang bersifat
individu maupun kelompok. Pencatatan
yang diperlukan antara lain meliputi hasil
pemantauan, prevalensi, insidens penyakit
dan angka kecelakaan akibat kerja.
2 Evaluasi  Data hasil monitoring pencatatan tersebut
di atas dilakukan analisa dan evaluasi
terhadap kasus-kasus penyakit dan
kecelakaan yang sering terjadi dikaitkan
dengan faktor-faktor bahaya di tempat
kerja dan data-data lainnya.
 Hasil analisa dan evaluasi tersebut
digunakan sebagai dasar untuk
penyusunan program pengendalian
terhadap faktor bahaya kesehatan serta
penetapan metode/cara kerja yang lebih
sehat dan aman, sehingga produktifitas
perusahaan tetap tinggi/meningkat.
 Analisa dan evaluasi data kesehatan kerja
dapat dilakukan dengan cara membuat
matriks/tabel.
3 Pelaporan Pelayanan Semua hasil penyelenggaraan pelayanan
Kesehatan Kerja kesehatan kerja dibuat laporan sesuai
format yang berlaku (Lampiran 4) dan setiap tiga
(3) bulan sekali disampaikan kepada
instansi yang berwenang di bidang
ketenagakerjaan. Pelaporan hasil pelaksanaan
program dan kegiatan dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja merupakan
hal yang sangat penting untuk mengetahui kondisi
kesehatan kerja di suatu perusahaan.
Fungsi dan manfaat pelaporan hasil
penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja
antara lain yaitu :
a. Bagi perusahaan, data laporan pelayanan
kesehatan kerja menjadi masukan yang
sangat berharga untuk mengevaluasi
upaya dan program kesehatan kerja yang
sudah dilakukan dan kaitannya dengan
produktifitas kerja.
b. Bagi pemerintah, data dari laporan
tersebut akan menjadi masukan dalam
membuat kebijakan nasional dalam
pengawasan ketenagakerjaan umumnya
dan kesehatan kerja khususnya. Bentuk
dan tata cara pelaporan penyelengaraan
pelayanan kesehatan kerja mengacu pada
pedoman dan peraturan perundangan yang
berlaku.
4 Pengawasan a. Pengawasan terhadap Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Kerja dilakukan
oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan
sesuai wilayah kewenangannya dengan
cara :
 Pengawasan pertama :
pengawasan pada saat pegawai
pengawas melakukan pengawasan
awal dalam rangka menilai
persyaratan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja yang
akan dkeluarkan pengesahaannya
oleh instansi yang menangani
bidang ketenagakerjaan;
 Pengawasan berkala : pengawasan
ketenagakerjaan yang dilakukan
secara rutin oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan
terhadap penyelenggaraan
pelayanan kesehatan kerja yang
sudah disyahkan;
 Pengawasan khusus : pengawasan
yang dilakukan berdasarkan hasil
monitoring, evaluasi dan
pelaporan perusahaan dan
pengaduan kasus dari pekerja atau
masyarakat berkaitan dengan
penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kerja.
 Dalam melaksanakan
pengawasan, pegawai pengawas
menggunakan daftar periksa atau
check list yang sudah ditentukan
(Lampiran 5);
 Apabila dalam pengawasan
tersebut ditemukan hal – hal yang
belum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan yang
berlaku, maka pegawai pengawas
melakukan pembinaan dan
membuat nota pemeriksaan dan
tindakan lain sesuai ketentuan
yang berlaku;
 Hasil pengawasan yang
dituangkan dalam nota
pemeriksaan wajib ditindaklanjuti
oleh pengusaha dalam waktu
sesuai yang telah ditetapkan oleh
pegawai pengawas
ketenagakerjaan.

b. APD
Permenakertrans No. PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri.

A. Kewajiban Pengurus dalam Manajemen APD


Pengusaha atau Pengurus wajib mengumumkan secara tertulis dan memasang rambu-rambu
mengenai kewajiban penggunaan APD di tempat kerja.

B. Kewajiban Pekerja dalam APD

a) Pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib memakai atau
menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko.

b) Pekerja/buruh berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan apabila APD yang
disediakan tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan.

C. Ruang Lingkup Manajemen APD


 identifikasi kebutuhan dan syarat APD
 pemilihan APD yang sesuai dengan jenis bahaya dan kebutuhan/kenyamanan pekerja/buruh
 pelatihan
 penggunaan, perawatan, dan penyimpanan
 penatalaksanaan pembuangan atau pemusnahan
 pembinaan
 inspeksi
 evaluasi dan pelaporan.

D. Kriteria Penanganan, Pembuangan dan Pemusnahan APD

a) APD yang rusak, retak atau tidak dapat berfungsi dengan baik harus dibuang dan/atau
dimusnahkan.

b) APD yang habis masa pakainya/kadaluarsa serta mengandung bahan berbahaya, harus
dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

c) Pemusnahan APD yang mengandung bahan berbahaya harus dilengkapi dengan berita acara
pemusnahan.
E. Fungsi dan Jenis APD
No Jenis APD Fungsi Jenis*)
1 Alat Pelindung Kepala Alat pelindung Jenis alat pelindung kepala terdiri dari
kepala adalah alat helm pengaman (safety helmet), topi atau
pelindung yang tudung kepala, penutup atau pengaman
berfungsi untuk rambut, dan lain-lain.
melindungi kepala
dari benturan,
terantuk, kejatuhan
atau terpukul benda
tajam atau benda
keras yang melayang
atau meluncur di
udara, terpapar oleh
radiasi panas, api,
percikan bahan-
bahan kimia, jasad
renik (mikro
organisme) dan suhu
yang ekstrim.
2 Alat Pelindung Mata dan Alat pelindung mata Jenis alat pelindung mata dan muka terdiri
Muka dan muka adalah alat dari kacamata pengaman (spectacles),
pelindung yang goggles, tameng muka (face shield),
berfungsi untuk masker selam, tameng muka dan
melindungi mata dan kacamata pengaman dalam kesatuan (full
muka dari paparan face masker).
bahan kimia
berbahaya, paparan
partikel-partikel
yang melayang di
udara dan di badan
air, percikan benda-
benda kecil, panas,
atau uap panas,
radiasi gelombang
elektromagnetik
yang mengion
maupun yang tidak
mengion, pancaran
cahaya, benturan
atau pukulan benda
keras atau benda
tajam.

3 Alat Pelindung Telinga Alat pelindung Jenis alat pelindung telinga terdiri dari
telinga adalah alat sumbat telinga (ear plug) dan penutup
pelindung yang telinga (ear muff).
berfungsi untuk
melindungi alat
pendengaran
terhadap kebisingan
atau tekanan.

4 Alat Pelindung Alat pelindung Jenis alat pelindung pernapasan dan


Pernafasan beserta pernapasan beserta perlengkapannya terdiri dari masker,
perlengkapannya perlengkapannya respirator, katrit, kanister, Re-breather,
adalah alat Airline respirator, Continues Air Supply
pelindung yang Machine=Air Hose Mask Respirator,
berfungsi untuk tangki selam dan regulator (Self-
melindungi organ Contained Underwater Breathing
pernapasan dengan Apparatus /SCUBA), Self-Contained
cara menyalurkan Breathing Apparatus (SCBA), dan
udara bersih dan emergency breathing apparatus.
sehat dan/atau
menyaring cemaran
bahan kimia, mikro-
organisme, partikel
yang berupa debu,
kabut (aerosol), uap,
asap, gas/ fume, dan
sebagainya.

5 Alat Pelindung Tangan Pelindung tangan Jenis pelindung tangan terdiri dari sarung
(sarung tangan) tangan yang terbuat dari logam, kulit, kain
adalah alat kanvas, kain atau kain berpelapis, karet,
pelindung yang dan sarung tangan yang tahan bahan
berfungsi untuk kimia.
melindungi tangan
dan jari-jari tangan
dari pajanan api,
suhu panas, suhu
dingin, radiasi
elektromagnetik,
radiasi mengion,
arus listrik, bahan
kimia, benturan,
pukulan dan
tergores, terinfeksi
zat patogen (virus,
bakteri) dan jasad
renik.
6 Alat Pelindung Kaki Alat pelindung kaki Jenis Pelindung kaki berupa sepatu
berfungsi untuk keselamatan pada pekerjaan peleburan,
melindungi kaki dari pengecoran logam, industri, kontruksi
tertimpa atau bangunan, pekerjaan yang berpotensi
berbenturan dengan bahaya peledakan, bahaya listrik, tempat
benda-benda berat, kerja yang basah atau licin, bahan kimia
tertusuk benda
tajam, terkena cairan dan jasad renik, dan/atau bahaya binatang
panas atau dingin, dan lain-lain.
uap panas, terpajan
suhu yang ekstrim,
terkena bahan kimia
berbahaya dan jasad
renik, tergelincir.
7 Pakaian Pelindung Pakaian pelindung Jenis pakaian pelindung terdiri dari rompi
berfungsi untuk (Vests), celemek (Apron/Coveralls),
melindungi badan Jacket, dan pakaian pelindung yang
sebagian atau menutupi sebagian atau seluruh bagian
seluruh bagian badan badan.
dari bahaya
temperatur panas
atau dingin yang
ekstrim, pajanan api
dan benda-benda
panas, percikan
bahan-bahan kimia,
cairan dan logam
panas, uap panas,
benturan (impact)
dengan mesin,
peralatan dan bahan,
tergores, radiasi,
binatang, mikro-
organisme patogen
dari manusia,
binatang, tumbuhan
dan lingkungan
seperti virus, bakteri
dan jamur.
8 Alat Pelindung Jatuh Alat pelindung jatuh Jenis alat pelindung jatuh perorangan
Perorangan perorangan terdiri dari sabuk pengaman tubuh
berfungsi membatasi (harness), karabiner, tali koneksi
gerak pekerja agar (lanyard), tali pengaman (safety rope),
tidak masuk ke alat penjepit tali (rope clamp), alat
tempat yang penurun (decender), alat penahan jatuh
mempunyai potensi bergerak (mobile fall arrester), dan lain-
jatuh atau menjaga lain.
pekerja berada pada
posisi kerja yang
diinginkan dalam
keadaan miring
maupun tergantung
dan menahan serta
membatasi pekerja
jatuh sehingga tidak
membentur lantai
dasar.

9 Pelampung Pelampung Jenis pelampung terdiri dari jaket


berfungsi keselamatan (life jacket), rompi
melindungi keselamatan ( life vest), rompi pengatur
pengguna yang keterapungan (Bouyancy Control
bekerja di atas air Device).
atau dipermukaan air
agar terhindar dari
bahaya tenggelam
dan atau mengatur
keterapungan
(buoyancy)
pengguna agar dapat
berada pada posisi
tenggelam (negative
buoyant) atau
melayang (neutral
buoyant) di dalam
air.
*) lengkapi gambar untuk masing-masing jenis APD
c. P3K
Permenakertrans No. PER.15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama pada Kecelakaan di
Tempat Kerja.

Perusahaan dalam melaksanakan P3K di tempat kerja harus menyediakan petugas P3K dan
Fasilitas P3K.

A. Petugas P3K
a. Syarat untuk mendapatkan lisensi sebagai Petugas P3K di tempat kerja
 Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan;
 Sehat jasmani dan rohani;
 Bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K;
 memiliki pengetahuan dan ketrampilan dasar di bidang P3K di tempat kerja
yang dibuktikan dengan sertifikat pelatihan.
b. Penentuan jumlah petugas P3K di tempat kerja
Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
ditentukan berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja,
dengan rasio sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

c. Karakteristik tempat kerja yang harus menyediakan petugas P3K


 Tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter lebih sesuai jumlah
pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja;
 Tempat kerja di setiap lantai yang berbeda di gedung bertingkat sesuai
jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja;
 Tempat kerja dengan jadwal kerja shift sesuai jumlah pekerja/buruh dan
potensi bahaya di tempat kerja
d. Tugas Petugas P3K
 Melaksanakan tindakan P3K di tempat kerja
 Merawat fasilitas P3K di tempat kerja
 Mencatat setiap kegiatan P3K dalam buku kegiatan; dan
 Melaporkan kegiatan P3K kepada pengurus

B. Fasilitas P3K
a. Fasilitas P3K terdiri dari
 Ruang P3K;
 Kotak P3K dan isi;
 Alat evakuasi dan alat transportasi; dan
 Fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan khusus di
tempat kerja yang memiliki potensi bahaya yang bersifat khusus
b. Persyaratan Ruang P3K
1. Lokasi ruang P3K :
 Dekat dengan toilet/kamar mandi;
 Dekat jalan keluar;
 Mudah dijangkau dari area kerja; dan
 Dekat dengan tempat parkir kendaraan.
2. Mempunyai luas minimal cukup unruk menampung satu tempat tidur pasien dan
masih terdapat ruang gerak bagi seorang petugas P3K serta penempatan fasilitas
P3K lainnya;
3. Bersih dan terang, ventilasi baik, memiliki pintu dan jalan yang cukup lebar
untuk memindahkan korban;
4. Diberi tanda dengan papan nama yang jelas dan mudah dilihat;
5. Sekurang-kurangnya dilengkapi dengan :
 Wastafel dengan air mengalir;
 Kertas tissue/lap;
 Usungan/tandu;
 Bidai/spalk;
 Kotak P3K dan isi;
 Tempat tidur dengan bantal dan selimut;
 Tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti : tandu dan/atau kursi roda;
 Sabun dan sikat;
 Pakaian bersih untuk penolong;
 Tempat sampah;Kursi tunggu bila diperlukan.
c. Persyaratan Kotak P3K
1. Terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibawa, berwarna dasar putih dengan
lambang P3K berwarna hijau;
2. Isi kotak P3K sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Menteri ini
dan tidak boleh diisi bahan atau alat selain yang dibutuhkan untuk pelaksanaan
P3K di tempat kerja;
3. Penempatan kotak P3K :
 Pada tempat yang mudah dilihat dan dijangkau, diberi tanda arah yang
jelas, cukup cahaya serta mudah diangkat apabila digunakan;
 Disesuaikan dengan jumlah pekerja/buruh, jenis dan jumlah kotak P3K
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini;
 Dalam hal tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau lebih
masing-masng unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai jumlah
pekerja/buruh;
 Dalam hal tempat kerja pada lantai yang berbeda di gedung bertingkat,
maka masing-masing unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai
jumlah pekerja/buruh.
d. Perhitungan Kebutuhan Petugas P3K dan Kotak P3K
Kebutuhan petugas P3K

Isi kotak P3K


d. Bebas NAPZA
Permenakertrans No PER.11/MEN/VI/2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya di
Tempat Kerja

Jelaskan kewajiban perusahan dalam pencegahan dan penanggulangan HAPZA di tempat


kerja!

a. Pengusaha wajib melakukan upaya aktif pencegahan dan penanggulangan


penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya di tempat kerja Pengusaha wajib melakukan upaya aktif pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan
zat adiktif lainnya di tempat kerja.
b. Upaya aktif pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah :
 penetapan kebijakan;
 penyusunan dan pelaksanaan program.
c. Dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh, pihak ketiga atau ahli di bidang narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja, pengusaha,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dapat berkonsultasi dengan instansi
pemerintah yang terkait.

e. HIV/AIDS
Keputusan Dirjenbinawasnaker No Kep.20/DJPPK/VI/2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja

Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja meliputi*):


N Bentuk Ketentuan
o Kegiatan
Pencegahan
dan
Penanggulanga
n HIV/AIDS di
tempat kerja
1 Kebijakan a. Bentuk Kebijakan
Kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di
tempat kerja dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja atau secara tersendiri
b. Isi Kebijakan
 Pernyataan komitmen pengusaha/pengurus untuk
mendidik pekerja/buruh tentang HIV/AIDS.
 Menembangkan strategi dan promosi program
pencegahan HIV/AIDS untuk di selenggarakan di
tempat kerja.
 Memberikan pendidikan kepada pekerja/buruh untuk
meningkatkan pemahaman akan HIV/AIDS, termasuk
cara pencegahan.
 Memberikan informasi kepada para pekerja/buruh
mengenai di mana pekerja/buruh dapat memperoleh
pelayanan testing, konseling dan pelayananan yang
dibutuhkan.
 Dilarang mewajibkan tes HIV/AIDS sebagai bagian dari
skrining untuk rekrutmen, promosi, kesempatan
mendapatkan pendidikan dan kelangsungan status kerja.
 Melarang segala bentuk stigmatisasi dan terhadap
pekerja/buruh dengan HIV/AIDS.
 Menjaga kerahasiaan identitas pekerja/buruh dengan
HIV/AIDS.
c. Penerapan Kebijakan Program HIV/AIDS di Tempat Kerja
 Membuat kebijakan tertulis untuk menerapkan program
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat
kerja.
 Mengkomunikasikan kebijakan kepada seluruh
pekerja/buruh.
 Menyusun rencana pelaksanaan pendidikan pencegahan
HIV/AIDS di tempat kerja melalui program Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau Pelayanan
Kesehatan Kerja yang sudah ada.
 Melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di tempat kerja.
 kebijakan dan pelaksanaan program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
d. Contoh Kebijakan Pencegahan Dan Penanggulangan
HIV/AIDS
 Judul Kebijakan
— Kebijakan Pencegahan dan Penaggulangan HIV/AIDS di
Tempat Kerja PT.XXX—
Isi Kebijakan
a) Menyediakan program pendidikan HIV/AIDS bagi
semua pekerja/buruh melalui Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
b) Tidak mewajibkan tes HIV/AIDS bagi calon
pekerja/buruh sebagai prasyarat penerimaan
pekerja/buruh,promosi dan kelanjutan status kerja.
c) Perusahaan akan memperlakukan sama dan tidak
akan membedakan pekerja/buruh dengan HIV/AIDS
dalam hal mendapatkan kesempatan kerja, hak untuk
mendapatkan promosi, hak untuk mendapatkan
pelatihan ataupun kondisi dan perlakuan khusus
lainnya.
d) Perusahaan akan mengizinkan pekerja/buruh dengan
HIV/ AIDS untuk terus bekerja selama
pekerja/buruh tersebut secara medis mampu
memenuhi standar kerja yang di tentukan (termasuk
kondisi dan kehadiran pekerja/buruh tersebut di
tempat kerja dan tidak mempengaruhi prestasi
kerjanya serta prestasi rekan kerja lainnya).
e) Perusahaan akan merahasiakan semua informasi
medis, catatan kesehatan atau informasi lain yang
terkait.
f) Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS tidak diharuskan
menginformasikan status HIV/AIDS-nya kepada
perusahaan, kecuali atas keinginan sendiri.
e. Ditanda tangani oleh pengusaha/pengurus.

2 Pendidikan a. Strategi pendidikan


 Menyusun program pendidikan HIV/AIDS.
 Melaksanakan pendidikan pekerja/buruh secara
berkesinambungan.
 Memanfaatkan Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja dan atau Pelayanan Kesehatan Kerja dalam
pelaksanaan program pendidikan pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
b. Cakupan Pendidikan
 Penjelasan tentang HIV/AIDS, cara penularan dan cara
pencegahannya.
 Penjelasan tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) sebagai
salah satu faktor risiko terinfeksi HIV/AIDS.
 Pemberian informasi tentang layanan pengobatan IMS,
testing dan konseling sukarela HIV/AIDS melalui Dinas
Kesehatan dan pengobatan HIV/AIDS melalui rujukan
rumah sakit setempat.
 Penjelasaan peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan program HIV/AIDS di tempat keja dan kaidah ILO
tentang HIV/AIDS di dunia kerja.
 Metode pendidikan yang digunakan bersifat interaktif dan
partisipatif.
c. Pelaksanaan Pendidikan
 Pengusaha/pengurus dapat membentuk subkomite dalam
Kepengurusan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan
Kerja atau Pelayanan Kesehatan Kerja yang ada di
perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pendidikan pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di
tempat kerja bagi pekerja/buruh.
 Pengusaha/pengurus mempersiapkan dan membekali
anggota Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dan atau personil Pelayanan Kesehatan Kerja serta
pekerja/buruh yang dipilih sebagai penyuluh sesuai dengan
pendidikan yang dibutuhkan.
 Anggota Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dan atau Personil Pelayanan Kesehatan Kerja serta pekerja /
buruh yamg dipilih dan sudah mendapatkan pendidikan
wajib menyelenggarakan pendidikan bagi pekerja/buruh.
 Pekerja/buruh yang dipilih dan sudah mendapatkan
pendidikan ditugaskan untuk menyebarluaskan informasi,
mempengaruhi dan memantau perilaku pekerja/buruh yang
berisiko terhadap HIV/AIDS
d. Peserta, Materi, Metode dan Kualifikasi Instruktur Pendidikan
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja
 Peserta
a) Manajer
b) Supervisor
c) Pengurus dan Anggota P2K3
d) Dokter Perusahaan
e) Paramedis Perusahaan
f) Pengurus dan Anggota Serikat Pekerja
 Materi :
Materi yang dipersyaratkan minimal
a) Materi pendidikan bagi Manajer, Supervisor, Pengurus, dan
Anggota P2K3, Paramedis, Dokter Perusahaan, Pengurus
Serikat Pekerja/Buruh adalah sebagai berikut:
b) Materi Pendidikan bagi Pekerja/Buruh adalah sebagai
berikut:
Materi pendidikan dapat di kembangkan sesuai dengan
kebutuhan tempat kerja:
 Metode
a) Ceramah
b) Diskusi
c) Stimulasi
d) Studi Kasus
 Kualifikasi Instruktur
Sudah mengikuti pendidikan pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di tempat kerja
3 Perlindungan a. Perjanjian Kerja Bersama
hak  Dalam menyusun dan menetapkan kebijakan tentang
pekerja/buruh pencegahan dan penaggulangan HIV/AIDS di tempat kerja,
yang berkaitan pengusaha/pengurus harus berkonsultasi dengan wakil
dengan pekerja/ buruh dan/atau serikat pekerja/buruh.
HIV/AIDS**)  Wakil pekerja/buruh dan atau serikat pekerja dengan
pengusaha/pengurus bersama-sama memasukan prinsip
prinsip tentang perlindungan dan pencegahan HIV/AIDS
dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
b. Konseling dan Testing Sukarela (Voluntary Counseling and
Testing)
a) Pengusaha/pengurus di larang melakukan tes HIV untuk
digunakan sebagai prasyarat suatu proses rekrutmen atau
kelanjutan status pekerja/buruh atau kewajiban pemeriksaan
kesehatan tenaga kerja serta untuk tujuan asuransi.
b) Tes HIV hanya dapat di lakukan terhadap pekerja/buruh atas
dasar kesukarelaan dengan persetujuan tertulis dari pekerja/
buruh yang bersangkutan, dengan ketentuan bukan untuk
digunakan sebagaimana di maksud dalam butir a.
c) Testing dapat dilakukan bagi pekerja yang dipekerjakan
pada lingkungan kerja yang mungkin menimbulkan pajanan
terhadap HIV seperti; laboratorium, fasilitas kesehatan dan
terhadap pasien yang akan dilakukan tindakan medis oleh
tenaga medis dan yang dicurigai ada indikasi terinfeksi HIV.
d) Testing dapat di lakukan untuk tujuan survei pemantauan
epidemiologi dengan memenuhi berbagai syarat yaitu
anonim, mematuhi prinsip-prinsip etika riset, ilmiah serta
profesi dan tetap melindungi kerahasiaan dan hak-hak
seseorang.
e) Dalam hal tes sebagaimana di maksud butir a, b, c di atas
dilaksanakan maka pekerja harus di berikan :
1) Pra-konseling (konseling sebelum tes di lakukan).
2) Persetujuan secara tertulis (informed consent).
3) Pemberitahuan hasil tes langsung kepada si pekerja.
4) Pasca konseling (konseling setelah hasil tes diberikan kepada
yang bersangkutan).
f) Bantuan konseling dapat diberikan oleh pelayanan
kesehatan kerja yang ada di perusahaan dan atau pelayanan
kesehatan lainnya.
g) Tes HIV hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
mempunyai keahlian khusus sesuai peraturan perundang-
undangan.
c. Diskriminasi dan Stigmatisasi
a) Pengusaha/pengurus dan pekerja/buruh tidak dibolehkan
melakukan tindak dan sikap diskriminasi terhadap pekerja/
buruh dengan HIV/AIDS.
b) Pengusaha/pengurus dan pekerja/buruh harus melakukan
upaya–upaya untuk meniadakan stigma terhadap
pekerja/buruh dengan HIV/AIDS.
c) Pengusaha/pengurus dan pekerja/buruh harus menghormati
hak asasi dan menjaga martabat pekerja/buruh dengan HIV/
AIDS.
d) Pengusaha/pengurus dapat memberikan tindakan disiplin
bagi pengusaha/pengurus lain dan pekerja/buruh yang
mendiskriminasikan dan menstigma pekerja/buruh dengan
HIV/AIDS atau diduga sebagai pekerja/buruh dengan
HIV/AIDS.
e) Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS berhak untuk terus bekerja
selama mereka mampu bekerja dan tidak menimbulkan
bahaya terhadap diri sendiri, pekerja/buruh lainnya dan
orang lain di tempat kerja.
f) Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS hendaknya bertindak
secara bertanggung jawab dengan mengambil langkah-
langkah sewajarnya untuk mencegah penularan HIV kepada
rekan sekerjanya.
g) Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS hendaknya didorong
untuk menginformasikan kepada pengusaha/pengurus
terhadap status HIV mereka jika pekerjaan yang akan
dilakukan menimbulkan potensi risiko terhadap penularan
HIV.
d. Pelayanan Kesehatan Kerja Bagi Pekerja/Buruh dengan
HIV/AIDS.
a) Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan kerja sama dengan pekerja/buruh
lainnya sesuai denganperaturan perundang-undangan yang
berlaku dengan ketentuan:
 Pekerja/buruh yang telah tertular HIV tetapi belum
masuk pada stadium AIDS yang mempunyai gejala
penyakit umum berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan baik di sarana kesehatan perusahaan maupun
jaminan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja
Jamsostek.
 Pekerja/buruh dengan HIV/AIDS yang dikategorikan
sebagai penyakit akibat kerja berhak mendapatkan
jaminan kecelakaan kerja sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
 Pekerja/buruh yang telah tertular HIV pada stadium
AIDS dan bukan termasuk kategori penyakit akibat
kerja, tidak berhak mendapatkan jaminan pemeliharaan
kesehatan tenaga kerja maupun jaminan kecelakaan
kerja sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
 Pelayanan kesehatan kerja terhadap pekerja/buruh
dengan HIV/AIDS tidak wajib menyediakan obat-
obatan anti virus HIV.
b) Penetapan stadium HIV/AIDS dilakukan oleh dokter yang
mempunyai keahlian khusus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan standar yang berlaku.
4 Prosedur K3 Langkah-langkah Pencegahan Dan Pengendalian
khusus a. Pengusaha/pengurus berkewajiban untuk memastikan
keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja, termasuk
penerapan persyaratan dan ketentuan-ketentuan keselamatan
dan kesehatan kerja seperti ketentuan penyediaan dan
penggunaan alat pelindung diri dan perlengkapan pelindung
lainnya serta dan pertolongan pertama pada kecelakaan.
b. Pengusaha/pengurus harus menunjukkan pekerja-pekerja atau
aktivitas kerja di tempat kerjanya yang menempatkan pekerja/
buruh pada tempat kerja yang berisiko terhadap penularan HIV.
Jika terdapat risiko penularan HIV, pengurus-pengurus harus
menetapkan program-program untuk pencegahan dan
penanggulangan dalam mengurangi risiko penularan.
Programprogram tersebut bersifat selektif dari beberapa metode
sebagai berikut:
 Meniadakan pekerjaan-pekerjaan yang dapat menimbulkan
risiko penularan.
 Mengurangi risiko dengan mengganti, desain ulang proses
atau memperbaiki metode kerja misalnya: sistem intravena
bebas jarum.
 Pemisahan proses untuk mengurangi jumlah pekerja/buruh
yang tertular, contohnya: penanganan darah, system
pembuangan limbah klinik.
 Penerapan cara-cara kerja yang aman.
 Pendidikan, pelatihan dan penyebarluasan informasi kepada
pekerja/buruh.
 Ketatarumahtanggaan tempat kerja yang baik (good
housekeeping).
 Manajemen pembuangan limbah.
 Alat perlindungan diri.
c. Setiap pekerja/buruh harus mematuhi semua instruksi dan
prosedur pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang
ditetapkan oleh pengusaha/pengurus termasuk pemakaian dan
penggunaan APD untuk tujuan pencegahan penularan HIV.
d. Pada pekerja atau aktivitas kerja dimana terdapat risiko
penularan HIV/AIDS pengusaha/pengurus harus
menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang
bersifat khusus disamping menyediakan perlengkapan dan
menjamin penerapannya. Secara lebih rinci pengendalian
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Identifikasi bahaya
a) Tujuan adalah untuk mengenal dan menentukan
semua aktivitas kerja dan tugas pekerja/buruh di
tempat kerja yang kemungkinannya dapat tertular
HIV/AIDS.
b) Identifikasi bahaya dapat dilakukan melalui:
 Konsultasi dengan pekerja/buruh.
 Pengamatan secara langsung di tempat kerja.
 Analisa laporan pemajanan.
c) Proses identifikasi bahaya merupakan upaya
pengenalan dan penyusunan prioritas terhadap
kegiatan kerja dan tugas yang memerlukan tindakan
untuk mengurangi risiko penularan. Jika terdapat
risiko terhadap keselamatan dan kesehatan
pekerja/buruh teridentifikasi, selanjutnya dilakukan
penilaian risiko.
b. Penilaian risiko
a) Tujuannya adalah untuk mengevaluasi risiko
keselamatan dan kesehatan pekerja/buruh sebagai
akibat dari pemajanan darah di tempat kerja dan untuk
menentukan kebutuhan pengukuran untuk
meminimalkan risiko penularan.
b) Penilaian risiko harus meliputi pertimbangan sebagai
berikut:
 Sumber risiko dimana harus
mempertimbangkan cara-cara penularan
HIV/AIDS yang terdapat di tempat kerja.
 Frekwensi pajanan terhadap darah.
 Bagaimana pekerja/buruh dapat terpajan.
 Risiko pajanan terkait dengan tata letak dan
kegiatan kerja.
 Potensi efek kesehatan dari tiap risiko.
 Penilaian terhadap pengetahuan dan pelatihan
untuk pekerja /buruh tentang HIV/AIDS.
 Pemeriksaan Kesehatan.
 Kecukupan dan keperluan persyaratan
pengendalian.
 Penilaian kesesuaian terhadap tugas yang akan
dilakukan, apakah penggunaan peralatan dapat
menyebabkan pemajanan darah. Penilaian
diperlukan untuk persyaratan pengendalian.
c. Pengendalian risiko
a) Tujuan pengendalian risiko adalah untuk mencegah
penularan HIV/AIDS di tempat kerja.
b) Pengendalian risiko dapat dicapai dengan hirarki
pengendalian risiko yang meliputi beberapa hal
sebagai berikut:
 Eliminasi
Pelaksanaan kegiatan yang berpotensi
menyebabkan pajanan terhadap HIV/AIDS
yang telah dilakukan penilaian harus
dihilangkan
 Substitusi
Dalam kondisi di mana eliminasi tidak dapat
dilaksanakan, maka pengurus/pengusaha
hendaklah menggantikan pelaksanaan kerja
dengan yang berisiko rendah terhadap
penularan HIV/AIDS, misalnya pemberian
obat-obatan melalui suntik diganti dengan
obat-obatan yang diminum.
 Pengendalian teknis (engineering control)
Pengendalian teknis dapat berupa isolasi
proses, proses tertutup, penggunaan peralatan
mekanis atau otomatisasi serta modifikasi
alat kerja dan perlengkapan kerja.
 Penerapan cara-cara kerja yang aman
Pengusaha/pengurus harus menjamin
penerapan cara-cara kerja yang aman di
tempat kerja untuk meminimumkan pajanan
terhadap darah, misalkan higiene perorangan,
tindakan steril (universal precaution) dan
program pengendalian infeksi. Jika
kecelakaan terjadi di tempat kerja pengurus/
pengusaha harus menetapkan prosedur
Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Kerja
(P3K).
 Pendidikan, pelatihan dan penyebarluasan
informasi kepada pekerja/buruh
 Alat Pelindung Diri
Alat Pelindung Diri yang sesuai wajib
disediakan untuk melindungi pekerja/buruh
dari pajanan HIV/AIDS pada pekerjaan yang
berisiko terpajan HIV/AIDS, misalnya
pekerjaan yang berhubungan dengan darah
atau pada pemberian Pertolongan Pertama
Pada Kecelakaan.
d. Monitoring dan evaluasi
a) Pengusaha secara reguler harus melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap upaya
pengendalian yang telah dilakukan dan mengambil
tindakan penyempurnaan apabila diperlukan.
b) Dalam melakukan monitoring dan evaluasi perlu
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
 Efektivitas kebijakan dan prosedur di tempat
kerja.
 Tingkat pemenuhan persyaratan dan
ketentuan ketentuan yang berlaku.
 Efektivitas program penyebarluasan
informasi dan program pendidikan.
 Sebab-sebab pemajanan terhadap risiko HIV/
AIDS.
 Evaluasi terhadap kasus kejadian yang
berpotensi penularan HIV/AIDS.
 Efektivitas penanganan tindak lanjut setelah
pemajanan
c) Harus ada seorang/sekelompok orang di tempat
kerja yang ditunjuk untuk melakukan monitoring
dan evaluasi.
d) Identitas orang atau kelompok orang yang ditunjuk
harus diberitahukan kepada semua pekerja/buruh.

5 Program a. Seorang pengusaha/pengurus, berkonsultansi dengan tenaga


pengendalian medis yang professional yang ahli dalam HIV/AIDS, hendaknya
mengembangkan program untuk menangani pekerja/buruh yang
kemungkinan terpajan oleh darah atau cairan tubuh yang lain
selama bekerja. Program ini meliputi prosedur untuk:
 Melaporkan kepada orang yang diberi tanggung jawab untuk
melaksanakan investigasi dan orang yang diberi tanggung
jawab untuk menyimpan data kecelakaan yang disebabkan
karena terpajan oleh darah atau cairan tubuh.
 Segera merujuk kepada dokter bagi pekerja/buruh yang
terpajan HIV supaya dapat dilakukan penilaian terhadap
risiko penularan dan membahas pilihan untuyk melakukan
konseling dan testing sukarela serta pengobatan.
b. Pengusaha/pengurus hendaklah menjamin prosedur Gawat
Darurat dan Pertolongan pertama serta memasukan persyaratan
pencegahan untuk menghindarkan risiko penularan HIV dalam
menangani korban kecelakan di tempat kerja yang menimbulkan
perdarahan dan atau memerlukan cardio pulmonary
resuscitation (CPR)
*) buatlah resume hal-hal terpenting pada masing-masing bentuk kegiatan pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja
**) untuk kegiatan konseling dan testing sukarela (voluntary counseling and testing), tolong
dibaca juga regulasi KMK N0. 1057/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan
Konseling dan Testing HIV/AIDS secara Sukarela (Voluntary Counseling and Testing).

f. Pekerja Perempuan
Kepmenakertrans No. KEP 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan
Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00.

Jelaskan kewajiban pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul


23.00 – 07.00!
No Kewajiban Pengusaha Ketentuan-nya
1 Memberikan makanan 1. Makanan dan minuman yang bergizi
dan minuman bergizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf a harus sekurang-kurangnya memenuhi
1.400 kalori dan diberikan pada waktu istirahat
antara jam kerja.
2. Makanan dan minuman tidak dapat diganti
dengan uang.
2 Menjaga kesusilaan dan a. menyediakan petugas keamanan di tempat kerja;
keamanan selama di b. menyediakan kamar mandi/wc yang layak dengan
tempat kerja penerangan yang memadai serta terpisah antara
pekerja/buruh perempuan dan laki-laki.
3 Menyediakan angkutan a. Pengusaha wajib menyediakan antar jemput
antar jemput bagi pekerja dimulai dari tempat penjemputan ke tempat
perempuan yang kerja dan sebaliknya;
berangkat dan pulang b. Penjemputan dilakukan dari tempat
kerja antara pukul 23.00- penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya
05.00 antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
c. Pengusaha harus menetapkan tempat
penjemputan dan pengantaran pada lokasi yang
mudah dijangkau dan aman bagi pekerja/buruh
perempuan.
d. Kendaraan antar jemput harus dalam kondisi
yang layak dan harus terdaftar di perusahaan.

Peraturan Bersama Menteri Pemberdayagunaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi dan Menteri Kesehatan No. 1178/Menkes/PB/XII/2008 tentang Peningkatan
Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja.

- Latar belakang keluarnya peraturan bersama ketiga menteri tersebut adalah:


a. bahwa setiap ibu berkewajiban memberikan air susu ibu kepada anaknya;
b. bahwa setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik,
mental spiritual maupun kecerdasan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi
anak;
c. bahwa 80% (delapan puluh persen) perkembangan otak anak dimulai sejak dalam
kandungan sampai usia 3 (tiga) tahun (periode emas), sehingga diperlukan
pemberian air susu ibu eksklusif 6 (enam) bulan dan diteruskan sampai anak
berusia 2 (dua) tahun;
d. bahwa belum optimalnya pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender dan
perlindungan fungsi reproduksi (maternal) mengakibatkan perempuan bekerja
mengalami kesulitan dalam pemberian air susu ibu;
e. bahwa karena masa istirahat sebelum dan sesudah melahirkan hanya ditentukan
selama 3 (tiga) bulan, maka pekerja/buruh perempuan setelah melahirkan anak
harus diberi kesempatan sepatutnya untuk memberikan air susu ibu kepada
anaknya atau memerah air susu ibu selama waktu kerja di tempat kerja;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri
Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di
Tempat Kerja;

- Tujuan dikeluarkannya peraturan bersama ketiga menteri tersebut antara lain:


Tujuan Peraturan Bersama ini adalah :
a. memberi kesempatan kepada pekerja/buruh perempuan untuk memberikan atau
memerah ASI selama waktu kerja dan menyimpan ASI perah untuk diberikan
kepada anaknya;
b. memenuhi hak pekerja/buruh perempuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
anaknya;
c. memenuhi hak anak untuk mendapatkan ASI guna meningkatkan gizi dan
kekebalan anak; dan
d. meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini.

Permenkes No 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau
Memerah Air Susu Ibu.

Pengurus tempat kerja harus mendukung program ASI Eksklusif, yang dapat dilakukan
melalui:
No Bentuk dukungan Ketentuan
1 Penyediaan fasilitas khusus - Ruang ASI
untuk menyusui dan/atau
memerah ASI
2 Pemberian kesempatan a. tersedianya ruangan khusus dengan ukuran
kepada ibu yang bekerja minimal 3x4 m2 dan/atau disesuaikan
untuk memberikan ASI dengan jumlah pekerja perempuan yang
eksklusif kepada bayi dan sedang menyusui;
atau memerah ASI selama b. ada pintu yang dapat dikunci, yang mudah
waktu kerja di tempat kerja dibuka/ditutup;
c. lantai keramik/semen/karpet;
d. memiliki ventilasi dan sirkulasi udara yang
cukup;
e. bebas potensi bahaya di tempat kerja
termasuk bebas polusi;
f. lingkungan cukup tenang jauh dari
kebisingan;
g. penerangan dalam ruangan cukup dan tidak
menyilaukan;
h. kelembapan berkisar antara 30-50%,
maksimum 60%; dan
i. tersedia wastafel dengan air mengalir untuk
cuci tangan dan mencuci peralatan.
- Peralatan Ruang ASI
Peralatan menyimpan ASI
a. lemari pendingin (refrigerator) untuk
menyimpan ASI;
b. gel pendingin (ice pack);
c. tas untuk membawa ASI perahan (cooler
bag); dan
d. sterilizer botol ASI.
Peralatan pendukung lainnya
a. meja tulis;
b. kursi dengan sandaran untuk ibu memerah
ASI;
c. konseling menyusui kit yang terdiri dari
model payudara, boneka, cangkir minum
ASI, spuit 5cc, spuit 10 cc, dan spuit 20 cc;
d. media KIE tentang ASI dan inisiasi
menyusui dini yang terdiri dari poster, foto,
leaflet, booklet, dan buku konseling
menyusui);
e. lemari penyimpan alat;
f. dispenser dingin dan panas;
g. alat cuci botol;
h. tempat sampah dan penutup;
i. penyejuk ruangan (AC/Kipas angin);
j. nursing apron/kain pembatas/ pakai krey
untuk memerah ASI;
k. waslap untuk kompres payudara;
l. tisu/lap tangan; dan
m. bantal untuk menopang saat menyusui.

3 Pembuatan peraturan internal a. Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum


yang mendukung menyediakan dana untuk mendukung
keberhasilan program peningkatan pemberian ASI Eksklusif.
pemberian ASI Eksklusif b. Pendanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersumber dari Tempat Kerja,
Tempat Sarana Umum dan sumber lain yang
tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
c. Pendanaan untuk pengelolaan ruang ASI di
Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang bersumber dari produsen atau
distributor susu formula bayi dan/atau
produk bayi lainnya.
4 Penyediaan tenaga terlatih a. Tenaga Terlatih Pemberian ASI
pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
telah mengikuti pelatihan konseling
menyusui yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.
b. Pelatihan konseling menyusui sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus telah
tersertifikasi mengenai modul maupun
tenaga pengajarnya.
Dalam memberikan konseling menyusui
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Tenaga
Terlatih Pemberian ASI juga menyampaikan
manfaat pemberian ASI Eksklusif antara lain
berupa:
a. peningkatan kesehatan ibu dan anak
b. peningkatan produktivitas kerja
c. peningkatan rasa percaya diri ibu
d. keuntungan ekonomis dan higienis
e. penundaan kehamilan.

Anda mungkin juga menyukai