Anda di halaman 1dari 124

‘de Putri & Ko~Ha

U ntuk
C inta

Ko_Izzy Publ.
Untuk Cinta
‘de Putri dan Ko~Ha
Copyright © 2013 by (‘de Putri & Ko~Ha)

Ko_Izzy Publ.

Desain Sampul:
_Ka_

Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
We Thanks To . . .

Alhamdulillahirabbil‘alamin. Puji dan syukur kami panjatkan


kehadirat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas
rahmat dan karunia-Nya lah buku ini dapat menjadi sebuah buku
yang menjadi bacaan kita semua. Kami ucapkan terimakasih kepada
anda yang telah mau membaca, baik sekedar melihat, membaca,
menghayati, sampai yang mengapresiasi dan mengkritisi, kami
ucapkan terimakasih setulus-tulusnya. Semoga Allah membalas
kebaikan anda dengan pahala yang berlipat ganda, amin! Dan
kepada anda yang sedang mencintai dan dicintai, terimakasih telah
menginspirasi kami.

Dari rasa kami untuk jiwa anda,


Kami goreskan kata demi kata di dalam buku ini
untuk semua hati yang pernah jatuh cinta, terluka,
atau menyimpan harapan atas cinta..

‘de Putri Words . . .


Diperlukan keyakinan besar bagi hati ini untuk kembali
menulis, bercerita, dan membaginya kepada sang waktu. Terkadang
berjalan melambat, hingga akhirnya saya dibangunkan oleh rekan
saya yang paling kukuh mengajak saya bersama-sama
menggoreskan semua rasa saya di buku ini, Ko~Ha, yang dengan
semangat dan teguran-teguran kecilnya mampu mengingatkan saya
bahwa saya pernah hidup untuk menulis meski hanya sebuah kata
saja.
Kepada Ayah dan Mama, yang selama hidupnya tidak pernah
kehabisan limit untuk mencintai saya. Entah harus bagaimana saya
mampu menggambarkan rasa cinta mereka yang semakin hari
makin jelas nyata terlihat kesyahduannya. Ayah, Mama, Kalian
adalah sajak terindah yang pernah hadir dan digoreskan oleh tangan
Tuhan untuk hidupku. Juga kepada adik perempuan saya, Anggun
Melati yang paling cantik, yang dengan jarak yang dibuat olehnya
menciptakan kerinduan yang sangat manis di hati saya.
Adis Hendriatna, Inspirasi terindah saya dalam menuliskan rasa
cinta, kesedihan, kerinduan dan seluruh yang pernah tercipta di hati
saya. Terimakasih honey, karena telah mendampingi dan
memegangiku menjalani rahasia kehidupan Tuhan hingga saat ini
hingga akhirnya aku mampu menciptakan sebuah ruang yang terisi
penuh dengan warna-warna cintamu. Karena engkaulah, setiap kata
yang kutuliskan memiliki nyawa.
Dini Suci Islami, Bedah Komariah, dan Nur Hikmah, sahabat-
sahabat terbaik yang tak pernah bertanya untuk apa saat saya
membutuhkan bantuan. Terimakasih sayang, karena selalu menjadi
sumber keceriaan yang tulus selama ini dan selalu memiliki waktu
yang tak terhitung saat aku membutuhkannya. Kalian adalah
sahabat yang tak pernah memiliki masa akhir bagiku. Juga kepada
seluruh guru dan teman-teman almamater SMAN 1 Ciampea yang
pernah menjadi tempat saya bagkit dan berdiri saat langkah saya
pernah terhenti. Dengan kalian, aku mampu menemukan kembali
rasa yang pernah hilang
Vera Linda Purba, Sindi Nursiamdini, Nurhamidah, Tintin
Gigih Widiyastuti, Nidya Nanda Harahap, Fauzia Khaerani dan
Gusti Dianda Sari yang dengan banyaknya cerita yang pernah kami
lewati bersama, suka dan duka, mampu menghadirkan kematangan
hati di hidup saya.Serta dukungan dan kekuatan yang tidak pernah
berhenti mengalir saat tengah kehilangan kendali. I love you and all
of our story guys!! Ever.
Pada teman-teman kecil saya, Andriansyah, Tika Ardini,
Rahmat Jayanto, Liza Tunnupus, dan Bilqist yang pernah dan selalu
memberi senyum dan kebahagiaan di hidup saya.
Terakhir, ucapan terimakasih tanpa henti saya ucapakan kepada
tangan-tangan yang dengan penuh perhatian dan persahabatan yang
tulus ikut menuliskan cerita bagi kehidupan saya, Sahabat-sahabat
Evergreen terbaik saya, Departemen Silvikultur angkatan 46
Fakultas Kehutanan IPB, tanpa kalian, cerita yang tergoreskan ini
tidak akan sempurna. Really Love your heart guys, Thankyou for all
support. Salam evergreen!!

“Kita masing-masing adalah malaikat bersayap satu dan hanya


bisa terbang bila saling berpelukan.” [Luciano de Crescenzo]
Ko ~ Ha Words . . .
Tidak mudah untuk bangkit dari keterpurukan. Tulisan ini saya
hadirkan kepada anda yang menyelami makna cinta dari berbagai
sudut pandang. Semoga anda dapat menikmati suguhan kata-kata
yang naif ini.
Saya berterimakasih setulusnya kepada ‘de Putri yang telah
menyambut baik niat saya untuk berkarya. Tanpanya, hidangan
puisi ini akan hambar bagai hidangan tak bergaram. Darinya saya
belajar bahasa kelembutan, yang identik dengan cinta.
Saya juga berterimakasih kepada Ibu dan Ayah saya yang telah
mengajari saya untuk kali pertama : apa itu puisi. Serta guru-guru
saya yang berjasa membuka tabir diri ini dalam berkelana di dunia
kesusastraan.
Kepada kalian yang sempat tercuri pandangannya untuk melihat
untaian huruf-huruf di dalam buku ini ... Terimakasih.
Dan tentunya kepada rekan-rekan yang tak dapat saya sebutkan
satu-satu, my beloved soulmate, my six pack, SASCOL-ers, Ya Oke-
ers, Oni-ers, Kribondings ... you’re my everything ... ever!
Terakhir, saya berharap semoga tulisan ini dapat memberi
inspirasi dan bermanfaat untuk pengembara cinta yang terus
berkelana memahami maknanya yang tak terejawantah dengan kata
apapun. Selamat menikmati ...

“Kuasailah bahasa yang sesungguhnya, karena dengan bahasa,


kita bisa menguasai dunia” [Ko~Ha]
Chrono Clime
~Kemarau

Terpa Cinta di Kemarau Senja 1


Cintaku 3
Biasa 4
Kutunggu 5
Curahanku (Cinta) 6
Demi Kebaikanmu 8
Rindu (I) 9
Kurindu Mentari 10
Riak Hati 11
Dalam Keesaan 12
Kutitipkan Rindu 13
Sepucuk Surat untuk Bunda 14
Hikmah Cinta Alam PadaNya 16
Seorang Ayah dan Anaknya 19
Kau (Sahabatku) 22
Tentang Aku, Kami dan Cinta-Mu 24
Untukmu 29
Antara Cinta dan Nafsu 31
Cahaya 35
Dialog Aku dan Matahari : Arti Sebuah Kehadiran 37
Dalam Hening 43
Bersamaku 44
Rindu (II) 46
Kembali 47
Ini Cintaku 49
~Mendung

Untuk Cinta 53
Wahai Maha Cinta 57
Cinta Dimana, Cinta Kembali Bicara,
Cinta Bukan Cinta 62

~Hujan

Mungkin Cinta yang Paling Mungkin 71


Langkah Cinta di Atas Bumi Merah Putih 73
Suara 75
Ketidaksempurnaan yang Menyempurnakan 77
Sahabat di Setiap Musim 79
Karena Aku di Sini 81
Tiga Masa, Kau Akan Datang (Lagi) 82
Senja 83
Sajak Kau dan Aku 85
Rindu Pada Waktu 87
Nafas Rindu 89
Khusus Untukmu 90
Jiwa 92
Hilang 93
Dia Berkata Padaku 94
Fase 96
Laki-Laki Pertamaku 98
Pesan 100
Sajak Terindah 101
Sebuah Tiga dalam Bahagia 103
Seperti Biasa, Sebelumnya... 104

BONUS : Cinta Monyet 105


KEMARAU
1

Terpa Cinta di Kemarau Senja

Bumi kini kering kerontang ...


Darah mengalir hingga ke langit
Tak ada telaga, embun, oase, hanya emosi dan
kebengisan
Semua lupa, dulu satu ...
Semua lupa, bersama-lah segala
Tapi di kemarau senja
Dahaga terus menggigit
Darah mengalir hingga ke langit

Oh hijau dulu mengapa menyala kini?


Hijau dulu merah bata menjelma
Ada yang terlupa dari kamus ingatan dunia
terkembang :
Cinta ...
Sederhana,
tapi tak ada yang mampu menemukannya
semua luluh lantak diterpa nafsu dan dosa
Ego-ego dan keserakahan, merenggut cinta hijau
merah menyala

Oh siapa dia ... pemuda cahaya pembawa pelita


Di sekelilingnya peri peri menari ceria
Tak deras arus samudera rupanya, kemarau tak
merenggutnya nestapa

“Mari kita kenali; sekali lagi! Cinta yang pernah


bersemi di taman sari pertiwi” teriaknya lantang
2

Semua bertanya ... kenapa kembali lagi cinta? Karena


lupa, memahami nya pun tiada

“Ingatlah semua! Kita lupa, hidup dengan harta hanya


merenggut nyawa tak berdosa ... hidup dengan tahta
hanya membuat kita semakin lupa : kita siapa”

Semua kembali geming gamang


Apalah lagi maksud pemuda ini?

“Mari kita ciptakan hujan dengan membakar laut


dunia dengan cinta. Kita titipkan rintiknya pada
kemarau yang menyiksa. Agar larut-haru semua yang
berhati. Syukur senantiasa memagut jiwa. Dan pada
akhirnya kembali kita tersadar pada ruang yang kita
tanam dengan cinta :
Hidup”

Semua kembali geming gamang


Tapi kali ini gemilang gemirang bergetar rasuk
perlahan
Simfoni mulai beralun ... lembut

Di waktu kemarau kala senja penuh lara dan hilang


harap
Cinta kembali menerpa dan menitip pesan tanpa
bahasa
Hanya diam-diam merasuk ke dalam sukma yang
mulia
Untuk kembali menggenggam asa ... memberi makna
pada ruang :
Kehidupan
3

Cintaku

Bila hutan itu masih berseri


Itulah cintaku

Bila gurun masih membentang


Itulah cintaku

Semua berbicara tentang pujangga


Dan bidadari kahyangan pada hikayat
Tapi aku dan cintaku padamu
Sesederhana pohon yang menjulang ...
Menatap dunia dengan senyum berseri setiap hari,
bernapas untukmu: meski harus punah demi
kesejahteraan
Cintaku sebesar jari jari tangan
Yang menggenggammu
Mendekapmu

Cintaku memang tak sebanyak bilangan waktu


Yang menyelimuti hidupmu
Dan cintaku padamu ...
Sesederhana tanah ...
Yang terhujam: demi membuatmu berdiri
kokoh
4

Biasa

Tak lebih
Tak kurang
Tak elok
Tak buruk
Itu yang kumau

Semua yang tampak


Tak semua terungkap

Aku tak ingin jadi teristimewa


Aku tak ingin jadi terhina
Biasa ... Di antara

Karena semua yang tersurat


Tak selalu mengartikan yang tersirat
5

Kutunggu

Senyummu sehangat mentari di kala pagi


Senyummu ... mentariku
Mentariku berubah malam
Kau tinggalkan hariku menjemput senja
Aku tak peduli
Karena mentariku, mentari pagi
Dan malamku, kan menjadi pagi ... pasti
Dan aku akan terus menunggu
Mentariku, pagiku, dan kau, pengusir malamku
6

Curahanku (Cinta)

Berulang aku mengamati manusia menyebut namaku


Aku termangu, terkejut dengan berbagai ungkapan
mereka tentangku
Manusia membuatku sibuk membenahi hakikatku

Wahai manusia, usahlah menyebutku jika kau hanya


mengatas namakan ku
Kau menyebut diriku seakan aku tuhanmu yang akan
membela dan membenarkanmu
Sekali-kali tidak!
Aku adalah hakiki yang diciptakan Tuhanku bersama
ruh kehidupan

Aku bukan tentang materi yang dapat dijual beli


Aku juga bukan tentang aliran ilmu tertentu yang
perlu dipelajari
Apalagi aku bukanlah apa yang ada pada
kemaluanmu!
Sungguh tega engkau mencoreng namaku atas
kehendak nafsumu!

Aku selalu bersanding dengan kehidupan


Menyelinap di hatimu, untuk memberi makna pada
perjuangan
Aku adalah sahabat waktu
Yang terus ada, sepanjang kehidupan semesta
7

Aku adalah semesta yang tak pernah kenal kata „lelah‟


dan „menyerah‟
Aku sesederhana tulus dan ikhlas, ketika perjuangan
tak mengharap balas
Usahlah kau sebut namaku, jika tak mengenal
hakikatku!

Hakikatku,
Pengejawantahanku
Hati seorang ibu,

Aku ada pada kaki-kaki lebah dan kupu-kupu


Ketika tak lelahnya berjuang menemukan kembang
untuk memperjuangkan kehidupan

Aku ada pada gelombang ombak dan ujung lidah


pantai
Ketika keduanya tidak menggempur untuk saling
memusnahkan,
Hanya memberi arti pada kehidupan

Aku ada pada air unsur kehidupan


Yang tak pernah ber‟demo‟ menjadi kotoran

Sudah kukatakan, aku bersanding dengan kehidupan

Wahai manusia
usahlah kau menyebut namaku
Jika kau hanya tahu aku ada,
Tapi tidak pada hakikatku
8

Demi Kebaikanmu

Kepakkan sayapmu sayang


Dan terbanglah
Usahlah kau ragu sayang
Aku disisimu
Jangan sayang
Jangan kau menyesal
Pada mustika abu-abu

Jangan sayang
Jangan kau menyesal kelak
Demi kebaikanmu sayang
Terbanglah bebas
Dan aku selalu di sisimu
9

Rindu (I)

Cintaku . . .
Kau berjalan di ujung pulau, di bibir pantai
Menatap sendu cakrawala
Berbisik lembut pada bayu, memberi pesan
Air matamu menyatu samudera yang menderu redam

Bila pada waktu aku bertanya


Akankah tiba saat kita jumpa
Kita tahu, pada awan ada jawaban

Cintaku . . .
Bernapas tanpamu susah sungguh
Berjalan tanpamu
Laksana luka terbasuh garam, seketika pilu menggigit

Sabar, kita selalu


Kita harus selalu
Pada waktunya
Kembali ke peraduan jua
10

Kurindu Mentari

Kilau gemilau mentari


Daun daun merindu

Kilau gemilau mentari


Di sungai ikan ikan merindu

Kilau gemilau mentari


Pada hujan semua merindu

Kilau gemilau mentariku


Kurindu, kurindu, kurindu
11

Riak Hati

Bumi
Air
Biru
Beriak ombak dimainkan bayu

Inginku teriak,
Tapi tak mampu

Pantaskah kutrima rayumu?


Hinakah aku? Padahal insan kita sesama

Pantaskah kutrima rayumu?


Sedang hidupku jadi kelabu?
Sekali kali tidak!
Aku tak mau

Beri aku waktu!


Tuk kupikirkan jernih bersama embun
Tuk heningkan riak hati nan menderu
Tuk hentikan hempasan ombak luapan hasrat
Yang memaksaku

Biarkan aku
Berdiam sejenak
Untuk kupastikan
Menolakmu!
12

Dalam Keesaan

Manusia bukan Tuhan


Yang mampu hidup dalam keesaan

Sendiri . . . memuji
Sendiri . . . mencaci
Sendiri . . . bahagia
Sendiri . . . tersiksa
Sendiri . . . berisalah

Bingung, hendak berbagi


Sedang jadi bangkaipun
Tak ada yang peduli

Hambar rasanya
Sebatangkara
13

Kutitipkan Rindu

Semua berlalu bersama angin lalu


Secepat waktu yang terus melaju

Kita dan kisah–akhirnya berakhir sejarah


Dan semua kembali terungkap pada suatu kehidupan
kelak
Ketika dipertemukan–bukan untuk bertegur-sapa

dan sebelum waktu itu tiba,


Kutitipkan rindu ini pada-Mu,
Ya Rabbi
14

Sepucuk Surat untuk Bunda

Bunda
Saat raga kita satu
Kau titipkan cinta pada keabadian
Menanam harapan pada waktu
Bibirmu bergetar mengucap syukur
Memuji asma-Nya
Tubuhmu rapuh pada ketegaranmu menyala

Bunda
Saat raga kita satu
Aku hanya memandang kelam perjuangan
Aku tahu cintamu menghidupkan
Mengajarkanku bahasa kehidupan
Melalui matamu
Melalui lindunganmu
Dalam gelap menggeliatku

Bunda
Sekalipun niat tak pernah kau khianat
Dalam buaian kau kenalkan aku bahagia
Sedang dalam tangisan hanya kutahu segala ingin
Aku ingin lebih, Bunda
Tapi kau sekali lagi ajarkanku bahasa cinta
Bahwa hidup tentang perjuangan
Dengan syukur dan sabar
15

Bunda
Sekalipun aku keliling dunia
Tak kutemukan cinta sebesar cintamu
Pada matahari engkau rela terbakar
Pada bulan engkau rela terjaga

Bunda
Sekarang kita ada pada waktu yang beda
Dimensi kehidupan yang tak sama
Tapi do‟amu senantiasa meliputi
Sedang Dia Maha Tahu
Tak ada daya untukku membalas cintamu

Bunda
Pada kelam malam aku menghadap-Nya
Berharap engkau bahagia dalam lindungan-Nya

Bunda
Inikah kehidupan?
Yang dulu kau beri pesan
Untukku perjuangkan?
16

Hikmah Cinta Alam PadaNya

Ada cinta pada lebah


Ketika usahanya tak pernah sia-sia
Bukan untuk kaumya, tapi umat manusia
Bukti cintanya pada Pencipta

Ada cinta pada laba-laba jantan


Ketika raga harus hilang, dimakan sang belahan jiwa
Demi kemaslahatan keturunannya
Demi cintanya, kepada Sang Maha Pengasih

Ada cinta di sela debur ombak


Hantamannya penuh cinta pada pulau
Pulau ingin berlayar, layak engkau
Engkau yang tak pernah tahu,
Betapa besar cintanya padamu, demi Dia yang Agung

Ada cinta pada gunung yang menjulang


Ketika getarannya menakutkan
Bukan untuk menakutimu
Tapi untuk berjalan,
Yang tak bernada
Tanpa langkah berirama
Untuk sampai padaNya, mengharapkan cintaNya
17

Ada cinta pada sulur sulur pencekik


Pohon itu pun menerimanya
Bukan saling menjatuhkan
Tapi bersama menjulang
Menuju cahaya
Menuju kasih sayangNya

Ada cinta pada awan yang musnah


Demi kehidupan di bawah sana
Banyak yang menengadah
Banyak yang menganga
Dan masih ada yang bersujud
Kemusnahan untuk mendapatkan cinta
Demi cinta, kepadaNya

Ada cinta pada api yang membakar habis


Bukan untuk menyombongkan diri
Bukan untuk menghina manusia
Tapi untuk mendapatkan cintaNya
Mengejawantah keangkuhan kita

Ada cinta pada laut yang setia


Meski tiap detiknya sengsara,
Meski beban dunia ditelannya
Disimpan rapat-rapat agar engkau tenang senantiasa
18

Tapi bukan untuk engkau


Atas nama cintaNya Yang Agung

Ada cinta pada bulan


Yang merayumu pada kegelapan
Membawamu ke alam lain pandangan
Demi memberimu secercah cahaya,
Dari mega membara, pada kesunyian
Senantiasa tersenyum karena cintanya
Bukan padamu, tapi padaNya

Kita berkata cinta


Tapi seringnya bertanya cinta
Di manakah gerangan?
Wahai yang tak pernah menyaksikan
Cinta memang bukan untukmu
Tapi hanya untukNya
Sedang Dia mencintaimu
Adakah kau cinta padaNya?
19

Seorang Ayah dan Anaknya

Sembilu luka ternganga


Pada seorang renta yang tak mampu meniup dupa
Sesekali menyeka air mata
Terngiang di telinga pada kalimat anaknya :
“Meski bapak sudah tua, tapi Bapak tetaplah tulang
punggung keluarga. . .
Tak pantas bapak biarkan ibu bekerja”

Wahai tirus wajahnya kelabu sudah


Sedang luka tetap menganga
Sekali bertanya pada hatinya
Adakah luka ini terbalutkan cinta?

Dengan lemah ia mendekat


Memandang wajah anaknya lekat
Dalam tidurnya begitu mirip rupanya
Tak jauh memang buah jatuh dari pohonnya
Dengan terbata : khawatir mencuri mimpi anaknya
Berkatalah ia pada kehampaan kesadarannya

---------------------------------------------------------------

“Anakku, kau sudah besar sekarang


Rupamu tak lepas dariku dan ibumu
Bahagiaku membuncah saat kutahu:
20

Kau anakku yang hebat


Di seluruh padang telah kau jejaki
Di seluruh langit kau jelajahi
Di semua warta, namamu tertulis abadi
Kau memang hebat, nak
Aku bangga padamu
... Tapi ...
Kekhilafanku itu ... kini memagut menyelimuti jiwaku
Nak, jangan biarkan lidahmu menyayat batu
Aku lupa ...
bahasa kelembutan tak pernah kuejakan padamu
Maafkan ayahmu, nak ...
Ayah hanya mementaskan panggung kekuatan
Otot otot para pahlawan dan pejuang
Untuk menggenggam dunia dengan tangan sendiri
Tapi pada yang tak bertulang ...
Tajamnya bagai duri mawar yang semerbak ...
Salah lindung hilang bijak wibawa
Tak pernah ayah ingatkan hati-hati
Bermain api bisa terbakar sendiri
Maafkan ayahmu, nak ...”

----------------------------------------------------------------

Pada hikayat terungkap duka


Pada indahnya mawar durinya melukai pula
Setetes air mata terlupa disekanya
Detik perlahan berubah air mata
21

Waktu menjadi samudera . . .


Kembali kesadaran
Mimpinya ditelan gulita,
Raga enggan memberi tanda pada hidup
Ia teringat

Pada bilangan waktu dimensi berbeda


Pada kemarau hujan tak kunjung datang jua
Sang anak memeluk ayahnya dengan mesra
Dengan penuh tanda tanya ayah hanya tersenyum
menyambutnya
Suara angin anaknya
Jelas membelai
“Ayah adalah yang terhebat di dunia”

Seketika itu luka berubah warna


Duri mawar mekar jua
Luka kembali terbuka mengalirkan cinta
Paradoks . . . inilah kehidupan
Pada cinta tersayat luka
Pada luka terbalut cinta
22

Kau (Sahabat-ku)

Kau
Yang tak pernah terukir di hatiku
Kau yang terlupakan oleh waktu

Dan kau
Kau yang mengukir namaku di hatimu
Kau yang terus terhujam busur panahku

Berulang aku menghitung waktu


Menatanya satu demi satu dalam ingatanku
Tak kutemukan namamu

Tapi kau
Yang tak lekang oleh waktu
Membawa secercah cahaya untuk berbagi denganku

Ah! Betapa aku malu!


Tapi kau tetap tersenyum

Kau ceritakan pada batu dan debu di jalan setapak


Kau ceritakan pada daun – daun di dahan yang rendah
Kau ceritakan pada beriak sungai yang berlomba ke
muara
Kau bahkan ceritakan pada tiap bulan dan matahari di
tiap pergantiannya

Kau tak pernah ada bagiku


Sedang kau selalu ada untukku

Ah! Betapa aku malu!


23

Kau tulis di prasasti kerajaan kita


Akulah raja, dan kau perdana menteri
Kau tulis di lembaran papyrus
Aku tempat kau berbagi tapi tak kusadari

Berulang aku mengeja kenangan


Aku tenggelam dalam kolam cinta
Aku melayang ke negeri atas awan
Aku menari bersama bulan bintang

Tapi kau hanya tersenyum padaku


Kau hanya membawa secercah cahaya untukku

Tapi sekali lagi aku tak menyadari

Hatimu rela menjadi abu


Terlalu bening bagi kaca
Sedang hatiku memang kelabu

Kau
Dan aku menyadari
Ternyata memang kau
Sang pembawa cahaya tanpa angan
Yang slalu ada bahkan pada saat aku tiada

Kau . . .

Sahabatku
24

Tentang Aku, Kami dan Cinta-Mu

(1)
Wahai Dzat yang Maha Cinta
Aku bersimpuh mengetuk langit
Berharap bertemu dengan-Mu

Wahai Dzat yang Maha Pengasih


Masih angkuh diri ini menghadap-Mu
Sedangkan dengan waktu aku berhutang dosa
Tapi wahai . . .
Aku tahu betapa Maha Pemaafnya Engkau
Wahai Dzat yang Maha Penyayang

Pada rumput pun aku masih tergoda


Pada piala dan tinta emas masih kudamba
Pada sebatang tembakau kulupakan semua
Pada mimpi aku kadang entah memuja
Pada mutiara ciptaanMu tak hentinya kuterlena
Wahai hinanya diri ini Tuhanku

Bahkan dengan hati aku enggan mengakui


(2)
Pada seberang pulau telah Kau ingatkan
Di depanku Engkau bahasakan . . .
Nikmat yang Kau anugerahkan
Manatah lagi yang dapat kudustakan?
25

Tapi aku masih berpaling


Ya Allah . . .
Pada bumi mana lagi kami akan aman?
Sedang dalam keamanan negri ini masih kami risaukan

(3)
Elegi Banda belum membukakan mata
Elegi Jogja hanya memenjarakan hati

Jelaskanlah pada kami . . .


Padaku
Kemenangan abadi

Dalam lembaran-lembaran telah dilafalkan


Bahkan menara menara ditinggikan
Seruan kepada-Mu hingga ke bulan
Tapi aku manusia ya Allah, masih dalam kelalaian

Jika bukan cintaMu yang Agung


Niscaya hilang ditelan bumi

Pada pantun pun adat patuh


Pada rangkaian kalimat pendusta dianggap Dewa

Wahai, yang mana lagi hendak kucari?


26

(1)
Dalam gelap aku mengingat nama-Mu
Terbata-bata kueja per huruf
Terlunta dalam kekurangan
Masih hina, ya Allah

Sedang dalam bayangan rumah-Mu terlihat


Hitam kelambunya bertakhta emas
Putih berbaris, berduyun-duyun
Sesak, napas hanya menyebut asma-Mu
Pelita menembus cakrawala
Pada cahaya yang berlapis-lapis

Tentang cinta-Mu ya Allah


Kau jadikan kami sama
Kau jadikan kami saudara

Tapi apa yang lebih sakit


Selain melukai hati orang yang dicintai
Selain melihat penderitaan orang yang dicintai

Tentang cinta-Mu ya Allah


Betapa aku selalu ingkar
Betapa aku selalu dahaga akan kenikmatan semu
Betapa aku selalu berulang kembali ke sekutu
27

(2)
Bahasa kami sarat dusta
Bunga dimana-mana harum kiranya, busuk baunya
Kami hebat bukan?
Punya cinta pada antah berantah
Sedang hijau disulap kuning
Pada akhirnya gigit jari
Kau ulangi ingatkan kami
Pada Merapi Kau titip didik
Pada Krakatau Kau pinta balik
Dan Kau pernah berbisik pada Bengkulu, Jogja dan
Tasik

Sedang dari ujung-ujung zamrud


Yang dinikmati hanyalah fatamorgana
Kembali berkumandang pada „kebenaran‟
Kebenaran kami Tuhan, sudah benarkah?
Aku kelu pada setiap aliran darah
Sedang berulang kali aku tahu
Tapi aku tak mau tahu

(3)
Kembali pada-Mu, aku
Kembali aku pada-Mu
Dan aku kembali pada-Mu
28

Tapi aku kembali ke aku

Demi nama-Mu nan Suci lagi Agung


Lindungilah aku dan namaku

Aku tak kuasa melawan badan


Sedang pikiran berkelana ke ujung terbenam
Cermin jiwa terkungkung penjara rayu

Demi nama-Mu nan Suci lagi Agung


Lindungilah aku dan namaku
Lindungi keluargaku dan kerabatku
Lindungilah mereka yang taat pada-Mu
Berikanlah petunjuk kepada para pencari kebenaran

Dan lindungi, segenap untaian zamrud-Mu


29

Untukmu

Hai Nona manis


Kemanakah „kan kau tuju?
Di sinikah kita bisa bersatu?
Bukankah demikian maumu?
Apatah lagi mauku?

Hai Nona manis


Pada rayuku tak kutambah gula
Sekedar garam pecita rasa
Bukan janji biasa, tapi tak jua luar biasa
Padaku kau berlari, padaku kau berserah . . . bukankah
demikian?
Apatah lagi mauku?

Hai Nona manis


Nona manis lagi
Yang manakah lagi?

Hai Nona manis


Kita terbujuk rayu
Pada redup remang mayangda
Menari berputar pada segala sisi
Menari tarik seruduk ke segala penjuru
Di sana tanya, kembali sesal pikir hati
Menyesal?
Mayangda . . . ini alamin, gula-gula nista
30

Hai Nona manis


Nona manis lagi
Ini lain lagi
Juga yang ke lain
Kita kecap manisnya di lidah
Rasa-rasanya gula-gula kapas empuk lembut
menggumpal
Kita bicara dengan gula-gula kata
Maniskah gula?
Gula-gula Jawa
Hitam manis . . . ya!
Hai si hitam manis
Ah, manis lagi
Banyak manis
Lidahku pahit

Kembali lagi . . . ah

Hai nona manis


Kita dan redup remang mayangda
Nikmati saja

Ini gaya kita


Kata orang-orang „gaya kota‟ . . . percaya tidak,
engkau sedang dihina? Cinta? Untukmu? Iyakah?
Maaf, tidak ada

Kupersembahkan
Gula-gula
31

Antara Cinta dan Nafsu

Kau berkata cinta


Aku pun mengatakan kata yang sama
Tapi cintaku dan cintamu
Bagaikan madu dan racun
Aku dan kau sama tahu
Pada kebebasan berbatas yang tak bersekat
Kita sama memahami
Pada cinta ada perpaduan
Yang membuat pribadi kita jadi satu: sang buah hati
Tapi cintaku dan cintamu, bagaikan madu dan racun
Madu beracun, racun madu
Kita sama mematikan, pada jiwa pengelana pencari
kebenaran
Tapi kita mematikan perbedaan
Mematikan jiwa pelita benderang menjadi gelap dalam
ruang kelam
Membunuh pengganggu jiwa yang menggelapkan
untuk kembali terang bercahaya

Pada dimensi semua tersulap


Mata . . . telinga . . . pada semua gerbang semu jiwa
dan asal buah karya
Kita terserang dalam diam
Dimensi yang hanya terbaca hati

Kita bicara cinta pada Tuhan yang Menciptakan


32

Tapi dalam kesucian,


kita pula yang menghujatNya
Aku dan kau tentu beda

Kita sama pada semua indrawi


Tapi kita beda pada hati

Kini antara madu dan racun sudah sama

Tapi akibat meriam yang ditembakkan ke mata

Kini madu dibilang racun


Racunlah sebenar-benar madu

Akibat semua bom rakitan ke telinga

Dan madu tetaplah madu


Racun tetaplah racun
Hanya kita mengatakan sama

---------------

Kita lagi-lagi membahas keduanya


Pada demikian ada api di tangan
Jika besar dan membahana, habislah kita
Tapi api itulah pembakar sajianmu, mengusir jiwa
yang menggelapkan temaram
33

Pada demikian ada air di awan


Jika diturunkan padamu ia kan laksana surga nikmat
yang menyejukkan
Jika air bah tak disangka maka terhanyutlah kita

----------------

Kau berkata cinta


Aku pun mengatakan kata yang sama
Tapi cintaku dan cintamu
Bagaikan madu dan racun
Aku dan kau sama tahu
Kita sama memahami
Pada cinta ada perpaduan
Kau madu dan racun
Aku air dan api

Kau madu aku madu


Kau racun aku racun
Kau air aku air
Kau api aku api
Tidak semudah itu
Bila terbilang, akan ada pelangi
Bila tak terbilang, semua binasa, kau dan aku

----------------

Mari sekali lagi, kita membahasnya sekali lagi


34

Pada antara tanpa sekat


Pada kebebasan berbatas yang telah tak berbatas
Kita tembakkan meriam kita ke mata dan mata
Kita ledakkan bom rakitan kita ke telinga
Dan semua kembali melihat
Dan semua mendengarkan kembali

Pada antara tak bersekat


Pada kebebasan tak berbatas
Ada nurani yang memberi sekat dan batas, itulah
berkat
35

Cahaya

Aku melihat temaram di sini


Di sana temara sekali . . . ah, lagi-lagi di sana
Di mana dapat kau lihat yang lebih baik?
Jawabannya hanya di sini, temara meski temaram

Temara di sana itu temaram


Bayang-bayang lorong-lorong tersembunyi
Pekat, tertutup rapat
Di sini abu-abu memang,
Temaram tetap temaram, tak berubah ataupun diubah

Apalah lagi arti damai yang kau embarai?


Mereka di sana menjajah demi sepetak tapak seleret
Di sinilah cahaya kita
Tempat damai tanpa cela
Apalagi yang ditanya?
Kau lihat ke belakang, mandi cahaya
Angin riuh rendah sepoi-sepoi

Mereka wajar berkelana


Mereka pantas mengembara
Karena menaranya tak berair mata–sepi tandus tak
berirama
Di sini hujan hijau menari-nari memanggil kilat dan
api
36

Apalah lagi istana yang kau impikan?

Temaram di sini kau yang nyalakan


Agar dalam kelam bercengkerama segala misteri
Bukankah pelita itu tak ingin kau jadikan benderang?
Lihatlah, pelita itu hanya kau simpan dalam dada dan
pikiran
Tak kau bagi pada alam dan tetangga, apalagi mereka
di sana

Lihatlah pada cahaya


Tak pamrih ke segala
Menjuru menyeluruh dunia
Pada kau yang merasa suci atau berdosa
Kembalilah pada fana dunia–Perhatikan temaram jiwa
Kita, dengan tangan-kaki seluruh indra
Sekali lagi di tanah ini, titisan surga
Kembali kita menjelma cahaya
Berpendar ke segala penjuru dunia
Sebagai pelita . . .

Menari bersama hijau tua dan kuning muda


Bersimpuh bersama rindang hujan dan nyanyian
samudera

Sadarilah, temara sebenarnya


Di mana tempat kau berada
Karena cahaya, ada di dalam dada jua
37

Dialog Aku dan Matahari:


Arti Sebuah Kehadiran

Aku bertanya pada bulan dan bintang


Tentang arti sebuah kehadiran
Bulan dan bintang hanya terkikik geli
Lalu aku bertanya pada matahari
Tentang arti sebuah kehadiran
Sedangkan mentari mengerutkan kening: heran

Berulang aku mengeja waktu: tahun, bulan, hari, jam,


menit, detik dan saat
Tak kutemukan arti hadir dalam bilangan waktu
Ah, mungkin memang banyak yang berlalu, tanpa aku

Matahari bertanya kembali padaku


: Apakah gerangan dunia ini bila tanpa kehadirannya?
Semua juga tahu, rumput-rumput itu pasti lebih
mengerti
Betapa gelap kehidupan ini,
Tentu hutan itu akan menyanyikan lagu rindu
Atau sejenak kehidupan akan rehat
Tanpa ada yang berani melangkah, ke arah mana
Mataharipun tersenyum: dan kembali bertanya padaku
: Lalu apakah gerangan dunia ini bila tanpa bulan dan
bintang?
38

Mungkin tidak ada bilangan waktu yang dua belas


Tak akan ada yang berjalan kala malam
Tak akan ada pengarung samudera
Tak akan ada yang berpuasa, karena tak ada
Ramadhan
Tak ada istilah hari raya dan haji karena tak ada
Syawal dan Dzulhijjah
Tak ada yang menahan diri untuk berperang pada
empat yang haram

: Apakah kau mengerti?

Aku tidak mengerti

: Lalu apa gerangan tanpa ibu dan ayahmu?


Akupun tidak ada
: Lalu apa arti hadirnya mereka?
Karena mereka aku mengenal namamu matahari,
bulan dan bintang

: Apakah kau mengerti?

Belum, aku tidak mengerti

Kau matahari, bulan, dan bintang punya tugas mulia


39

Kau dituliskan Tuhan untuk selalu ada


Sehingga siang dan malam menjadi nyata
Ibu dan ayahku memiliki aku
Sehingga mereka berkewajiban mengurusku
Sedangkan aku . . .
Pada anginpun aku tak tahu arti hadirku
Dalam bilangan waktu
Aku hanya bersama mimpiku

: Bukankah telah kau baca Firman-Nya?


Bukankah ada dalam firman-Nya untuk apa kau
diciptakan?
: Bukankah ada nenek (bumi) yang perlu kau urus?
Ah, apalagi yang tidak kau pahami?

Kuperingatkan kau:
Tugasmu lebih banyak dariku

Lalu apa arti hadirku?


Bila aku tidak melakukan tugasku sebagai manusia?

Matahari itu temaram


Ada luka pada roman

Itulah dirimu: angkuh dan tak peduli!


40

Dadamu sesak dipenuhi tentangmu


Tentang angan-anganmu
Tentang kekurangan keadaan
: Dan segala yang membuatmu nyaman

Lalu apa yang harus kulakukan?

: Lakukanlah apa yang dikehendaki-Nya untukmu


dan jauhkanlah apa yang dibenci-Nya
: Hanya itu

Itu?

: Terdengar mudah memang,


Tapi percayalah bahwa semua butuh perjuangan
Tak ada yang mudah ketika kau melaksanakannya
Setengah berbisik berkata:
Tapi menjadi mudah bila dengan cinta

Cinta?
Apa itu?

: Hanya kalian, manusialah yang lebih memahami apa


itu cinta
41

Lalu apa artinya dengan kehadiranku?

: Hadirmu menghadirkannya
Cinta . . . ya
Kau yang bisa menyebutnya,
mengubahnya,
menyelami hakikatnya

Tapi aku tidak mau, bukan?

: Jangan kau tanya arti hadirmu

Wahai apa lagi jawabmu


Aku hanya ingin tahu aku apa ada

: Ada
Dan sekali ada, selalu ada
Hingga pada yang beda, tetap ada
Karena kau ditetapkan ada

Arti hadir?

: Apalah beda pada ada


Hanya kau yang mampu memberi arti
42

Karena waktu tak lebih dari garis namamu


Ingat itu!

Arti hadir?

: Baiklah, lihatlah di sana


Suara-suara menggema, semua berkumpul
Mungkin kau patut di sana
Bayangkan bila merah menyala
Lalu kembang gula menguning menyisakan darah dan
pekat raga
Bayangkan kau yang telah kaku dan berhenti
menyapaku
Masihkah kau ingin bertanya?
Ini sudah banyak makan waktu

Baiklah, nanti kusimpulkan


Izinkan aku baca Firman-Nya sekali lagi
43

Dalam Hening

Kupu-kupu . . .
di manakah kupu-kupu itu?
Ah, pelangi di imaji lagi . . .
Kembali emas terburai berai menjadi manik-manik . . .
dan aku hanya tersenyum
Sekali lagi, menikmati dalam hening . . .
di sini sepi, di sini rindu itu
Padamu?
mungkin, tapi api itu kembali merayu,
Ah ... air itu ...
Penyejuk dahaga masa silam, kapankah mengalir lagi?
semua tanya itulah harap ...
pada yang terjawab itulah ilmu, dan aku tersenyum
lagi ...
lagi ...
dalam hening,
di sini sepi,
di sini rindu
44

Bersamaku

Kemarilah bersamaku
Bersamaku berarti sunyi
Menikmati simponi sepi

Hiduplah bersamaku
Bersamaku berarti diam
Bergerak mengendap dalam gelap malam

Jika kau ragu, usahlah merayu


Karena pada hatiku
Tak terbuka jendela dan pintu

Tapi di hatiku,
Kau bergelayut manja di ufuk cakrawala
Diam-diam menyelinap mencuri logika

Ketika waktu bicara, kelak


Terungkaplah segala
Tapi sesal takkan kumiliki
Karena bukan ragu memagut juwita malamku
Tapi kuatnya hasrat yang membuncah, „ingin bersama‟
Sedangkan kau tahu,
Bersamaku nestapa
45

Baiklah, mari kita mainkan drama kehidupan


Kita tulis skenarionya
Kita dendangkan lagu cinta, endless love? Bisa jadi
Menganyam mimpi menjadi permadani impian
Sedikit demi sedikit membangun astana

Kembali bergeming pada cahaya


Astana
Cahaya
Pada-Nya lah segala bermuara

Bersamaku kita kembali


Lupakan sajak syair tak bertepi
Kita tulis skenarionya lagi
Harus kali ini!
Kali ini kita harus kembali
Karena bersamaku, kita kembali ... sepi
46

Rindu (II)

Rindu itu sementara, datang dan pergi membaur


melebur air menjadi larutan asam-basa
Rindu itu sementara, indah seketika menyisakan luka
dan tanya
Berulang aku mengoreksi rindu itu pada hak dan
hakikatnya
Tapi rindu ini mengikat tanpa mengenal waktuku
bersahaja
Merenggut, mencekik, mengancam jiwa yang dahaga
Rindu ini ... rindu itu ... pada bulan yang beda
ditatapnya
47

Kembali

Ini tulisan berapi


Goresan luka dan tinta darah tak bertepi
Memagut sendiri jiwa yang sepi

Ini tulisan berapi


Sekali lagi tanya cinta penuh misteri
Tapi apalagi selain kehendak Ilahi?

Berenanglah ke samudera, kembali ke tepian


Luasnya cakrawala sehebat deburan ombak yang
kembali menari
Tapi cakrawala dan ombak bertemu pada horizon tepi
merah jingga ungu mega
Tarian tulisan yang kembali berapi

Suara bisu hati


Siapa mengerti selain kembali menari
Jangan tanyakan di mana cinta
Karena lama sekali ia bersembunyi
Hadirnya khawatir membawa tarian goresan salah arti

Sekali salah arti


Sesal yang menghampiri
Bumi tempat hati-hati
48

Tapi ucapan hampa bak melodi tanpa nada


Sekali ketuk dua tiga tak berpaut
Pautan abadi
Hanya ikatan suci
Atas nama cinta
Cinta pada Maha Lembut nan Pengasih

Sekali lagi api memberi arti bagi yang berusaha


memahami
Panasnya bukan untuk sekedar menguji
Tapi menyaksikan sesal pada yang mengkhianati
Kembali berbahasa, melodi terberai tanpa isyarat : cinta
kembali ke peraduan,
Takkan kau temukan lagi, meski sejuta tahun mencari;
menanti

Berenanglah kembali, cari lagi


Sekali menari pada api dan berharap cinta kembali
Bisa jadi, jika berharap pada yang memiliki
Tulisan ini kembali berapi
Nyalanya penuh misteri
Sajak cinta yang mencuat di dahan-dahan
Nanti . . .
Kita percayakan saja
Kembali kita,
pada malam horizon mega akan kembali
49

Ini Cintaku

Ini cinta bukan sembarang cinta


Karena ia tak pernah terbagi

Ini cinta bukan sembarang cinta


Karena sucinya masih terjaga

Ini cinta bukan sembarang cinta


Karena cinta ini jawaban sang Ilahi Rabbi

Ini cinta bukan sembarang cinta


Karena cinta ini menembus segala dimensi

Ini cinta bukan sembarang cinta


Bukan janji-janji, tapi pasti atas kehendak Ilahi

Karena kesetiaan abadi


Itu yang kupersembahkan untukmu
Atas nama Tuhan kita yang satu
MENDUNG
53

Untuk Cinta

Kekasihku ...
Samudera ini mencari asalnya, setelah lelah alir liar
bermuara
Angin ini peluk titip gunung yang menjulang
Langit satu menyaksikan kita
Aku dan kamu ...
Abadi dalam ikatan suci

:Kekasihku ...
Bukankah langit yang kita lihat adalah langit
yang sama?
Lalu mengapa aku merasa begitu dingin ketika
menatapnya
Datangkanlah padaku sebuah angin ...
Angin yang kau titipkan pada langit untuk
menciumku

Riuh rendah sepoi angin itu ... Baikkah kau di sana?


Ingatkanku pada astana tempat peraduan
Surga cinta yang kita bangun bersama

:Bukan tentang airmataku yang jatuh saat


menggambarkan hatiku atau tentang bibir yang
tiba-tiba terasa kelu melihat wajahmu di
kedinginan malam
54

Tapi, ini tentang aku yang ingin memelukmu,


di sini ... denganku ...
Pulanglah sayang ...
Angin ini tak semerdu dulu
Dalam riuh yang bertubi-tubi ...
Ia telah rindu pada lapang hijau yang bergerak
lembut menyambut
Pulanglah..
Sertakan aku pada detak dan ingatanmu

Teringatku pada tinta emas ...


Buhul buhul kokoh tak telerai berai oleh badai
Selayang semua janji kembali ke pandangan
Aku harus kembali ... tapi di sini cinta itu
Yang pernah kita bangun dalam mimpi ... wacana
putih dalam lembar ingatan

Jiwa ini buncah remuk redam meronta


Selayang simalakama dilema
Di sini suara-suara memanggil
Darah dilukis sana-sini ... Aku ingin abadi kekasihku ...
Dengan cintamu ... Bersama kembali kepada hidup

Air mata di sini air minumnya, sayangku


55

Tangannya hilang, dimakan serakah ego dan nafsu


buta mereka ... Tak ada kisah, sejarah terbang
melayang antah berantah ... Ingatan lenyap dengan
candu halusinasi

: Aku terus mencoba sayang, saat duduk di


bawah patahan malam, beku cuaca ini
menuliskan, “kau”
Tapi tak bisakah peri di balik pepohonan itu
menceritakan padaku, bagaimana lukisan para
bintang yang temaram menorehkan senyummu
itu, berhenti ...
Warna tinta itu telah terlalu pucat dimataku..
sudah terasa lelah ...
Bukankah di sana engkau telah terlalu lama
berlari bersama angin, yang menerbangkan
pelurumu, sayang?
Tidurlah sebentar... aku akan menemanimu ...
Akan ku tuliskan petisi pada kejauhanku agar ia
mampu membiaskan sinarnya dan
menyuguhkan padamu ...
Segelas teh manis yang ruapnya begitu lembut,
menemanimu
Hingga aku akan mendapati pagi saat kau
tersenyum padaku
56

Kau yang bukan berupa ingatan saja, tapi kau


yang mampu kupeluk,
Dan kucium dengan tergesa

Ya, sayang...
Aku akan disini... tetap
Menghitungi hujan yang jelas tak mampu ku
hitung karena begitulah, Aku merindukanmu
Rindu yang tak mampu ku sampaikan betapa
rindu ... Aku pada rinduku, kau jauh dan
dekatku...
Pulanglah sayang...
57

Wahai Maha Cinta

Tuhan, lelah sepiku menyadungkan lagu sunyi


Peri-peri terkikik geli pada lemah hamba-Mu
Sedang mencapai damai-Mu aku masih jauh

Wahai Firman yang memberikan jalan terang


Cinta yang meliputi dunia menembus angkasa raya
Dengan siapa lagi dapat kucurahkan isi hati?
Sedang inang melihatku acuh masih, hanya penolakan
pasti
Karena aku yang memuja-Mu dalam tiga rangkai harus
berbagi cinta dengannya yang memuja-Mu yang tak
berangkai
Kau yang ajarkanku untuk sebarkan kasih-Mu ke
ujung dunia
Kau yang ajarkanku untuk dengan sesiapa cinta
senantiasa
Aku mencintainya ...
Tapi aku tak ingin mengkhianati-Mu

Bilakah dewa-dewa berperang mulai melegenda?


Haruskah kutulis kembali kisah-kisah para penghuni
benua Utara?
Lebur dalam segala pertentangan yang selama ini
terkesan khayalan?
Bukan inginku, tapi inilah anugerah-Mu
58

Cinta yang tak pernah kupertanyakan


Hanya kusyukuri adanya dari-Mu
Tapi aku tak ingin mengkhianati-Mu
Sedang dia bersamaku nestapa dalam yakinnya
Kami sama menghujat
„Kafir‟ kocar-kacir dalam dekapan waktu
Tapi belum ada tanda
Siapa harus berubah
Karena kami sama
Tak ingin melukai hakikat-Mu
Yang beda di benak

Wahai Maha Cinta

Wahai Maha Cinta

Dalam setiap kumpulan peristiwa kudapati diriku


berjalan di langitMu
Ku lewati detik demi detik lumuran usiaku dengan
cintaMu
Segala puja dan puji ku sujudkan pada keagunganMu,
Satu.
untukMu, Yang Terkasih..
59

Lalu aku harus bagaimana bila ternyata aku beradu


pada pertemuan malam
Sesak pada sebuah mimpi yang menyapuku dengan
sangat lembut
Aku masih tak mampu menemukan jawabannya,
Mengapa aku?
Mengapa dia?
Mengapa kita, Engkau Yang Maha Esa dan miliknya
yang tentu tak ku ketahui siapa
Bukankah seorang malaikat yang melahirkanku
mencintaiku dengan cintaMu?
Lalu siapa yang memberinya cinta yang seharusnya tak
kujamah sebagai sebuah surga
Jika memang, kami berbeda.. Mengapa aku merasa
kami berada pada lorong putih yang sama..
Jika memang, kami tak sama.. Mengapa Engkau
mengizikan aku memiliki cinta yang tentu saja tak
berhak mengkhianati cintaku kepadaMu.....
padaMu, Wahai Zat Yang Maha Suci...
padaMu saja.. Engkau nan Esa..

Sejak Kau tiupkan ruh kedalam tubuhku,


Aku tau Kau sertakan pula takdir yang harus
kunyanyikan keindahannya
Sekiranya..
60

Jelaskanlah kepadaku sedikit saja tentang binar yang


begitu terang ini..
Yang menyakitkan mataku karena pendarnya yang
bertumpuk-tumpuk

Ya Aziz..
Sajadah ini akan terus menemani airmata..
Entah aku harus memulai darimana, nyatanya aku
telah sampai pada piluku
Aku mencintai ia yang tak pernah mengenalMu..
Aku mencintai ia yang tak pernah menundukkan
kepalanya untuk menyembah Ke-Esa-anMu
Aku, selalu mencintaiMu dan akan tetap seperti itu..
Tapi, aku jelas tak mengerti..

Subuh kini mulai mendekati peraduannya,


Dan aku belum juga habis bertanya kepadaMu, ya
Rabb..
Matikan rasaku bila memang cintaku kepadanya
melebihi rasa cintaku kepadaMu
Cintanya terasa begitu halus dan lembut hingga aku
tak mamu melepas ikatannya
Bunuh cintaku bila memang cintanya membuatku
mengkhianatiMu..
61

Tapi.. izinkan aku tetap mencintainya, bila ini


kehendakMu..
Meski aku tak tahu mengapa, dan aku tak berhak tau
mengapa..
aku begitu mencintainya.. itu saja..
62

Cinta Dimana, Cinta Kembali


Bicara, Cinta Bukan Cinta

Kembalikan! Dia benihku yang sempurna kutitip


padamu
Kembalikan! Aku menginginkannya kembali
Kau dulu yang mengatakannya : “aku cinta padamu”
Kini aku ingin buktikan
Manakah kata, dimanakah adanya, jika bukan ...

Langit telah berubah warnanya.


Kau lihat? Nyata jelas kemerahan bercampur amis
noda
Tak perlu kau bawakan aku ingatan tentang dosaku
Karena aku terus membawa dosa ini bergerak pada
kesakitannya
Kau bahkan tak pernah tahu, ketika aku tergelincir di
satu purnama
Hidup namun tak hidup hingga kuciumi nadi di
tanganku dengan ani berlumur amarah dan rasa
maluku!
Tapi kau masih mampu melihatku beridiri tegak hari
ini
Kau pikir untuk siapa? Kau? Laki-laki yang
membawaku pada sebuah dosa dan pengkhianatan?
63

Oh.. Bukan!! Bukan untuk kau dan ingatanku padamu..


Tapi untuk cinta yang kubawa dengan rasa sakit
selama 9 bulan di dalam tubuhku.. Dia, malaikat
kecilku.. bidadari milikku..
Pergi! Jangan bawakan aku dan bahagiaku kenangan
tentang rasa sakit itu

Pergi!!
Pergi. Pergi. Pergi. Pergi.
Pergi !!!!!!!

Aku selalu membenci diriku ketika aku melihatnya di


bola matamu, seperti ini!
Berkali-kali aku meyakinkan langkahku sendiri „tuk
tak membenci bagian dirimu yang menyatu di tubuhku
selama lebih dari 9 bulan ini..
Berkali-kali, aku terus dicekik oleh tangan-tangan dosa
yang tak terlihat
Berkali-kali.. aku, berdiri kaku menatap tubuhku
dicermin dan mengingat bahwa tubuh ini pernah
disentuh oleh raga menjijikan sepertimu..
Berkali-kali!!!

Sejarah terungkap „tuk kita baca, hikmah di sana perlu


dikecap agar manisnya terasa diujung lidah
64

Aku tak banyak membawamu bunga, durinya


kutusukkan pula!
Tapi semua hanya lembaran yang bercerita
Hikayat yang dapat di kubur dalam
Dapat terbang melayang setelah mengabu terbakar
Dapat tenggelam hilang setelah bermuara
Dapat memudar bersama cahya tak sampai dan sayup
suara
Lupakan tentang kita!
Lupakan tentang hitam-abu-abu waktu yang termakan
musim tertelan zaman!
Harusnya hutan kembali berseri setelah penambang itu
pergi

Hahaha..
Kau ingin, pagi berpura-pura tak melihat malam? Atau
... kau ingin, mawar tak melihat duri yang tumbuh
ditubuhnya?
Bagaimana? Bagaimana mungkin kau bisa meminta,
Langit seolah tak melihat warna birunya? Duniaku
pernah mati oleh kau yang menawarkan aku bahagia
atas rasa cinta yang ternyata itu dosa...
65

Nafasku pernah mengelu sesaat setelah kau meminta


aku membunuh nyawa yang hidup di ragaku.. dan
nyawa itu, juga adalah nyawamu..
Lalu sekarang kau taburkan kelopak bunga diatas
kubur yang kau gali sendiri..
Jangan berharap abu yang kau sulut api dapat kembali
menjadi sebuah rumah megah..
Tidak! Tidak saat ini dan tidak pula sampai batas
umurku!

Kita adalah kita ...


Bedebah dengan cahaya baru dan bunga mawar!
Kita adalah kita ...
Telah terejawantah persatuan kita, di jiwa raga yang
rapuh itu
Dia bukan milikmu semata ... aku ingin bagianku juga!
Meski kau penuh luka, tapi benihnya dariku jua
Biarkan waktu ini kulewati dengan kau: yang baru
Sedangkan kau berbahagialah dengannya: yang baru
Meski luluh lantak, segala perih dan luka kembali
menggigit
Biarkan aku dengan kenangan kita dan biarkan dia
bersamaku!
Mana dia ... ? Diriku yang menjelma ...
66

Biarkan aku sekali lagi merangkai kisah, menghapus


noda sejarah
dengan detik-detik subuh, kembali bercahaya, hingga
gemilang

Bisakah kau kembalikan dulu tahun-tahun yang


kulewati dengan menginjak onak? Bisakah kau
hapuskan masa-masa di saat tanganku terpasung dari
hidupku? Bisakah kau enyahkan wajah mereka yang
pernah meludahi aku dengan rasa malu bertubi-tubi
dari ingatanku? Bisakah kau!?
Harus! Setelah itu ... Setelah kau bisa ...
Kembalilah padaku untuk meminta bunga mawarmu
... dariku ...

-----------------------
Jahannam!!!
-----------------------

Neraka itu menyala di mata, di tangan merah-bukan


mawar merekah
Senyum indah perlahan redup dijemput maut
Suara-suara tertahan, mata kembali membelalak
Kejut dan kalut : kekhilafan pertama anak Adam
kembali tertulis
67

Sejarah berputar memang, pada waktu yang tak dapat


direka
Setan dan Iblis kembali bersorak-sorai: pesta pora
mendapat teman baru di kediamannya kelak

Petir itu datang tanpa suara


Ia mengeram tanpa melalui udara
Rambut hitam panjang itu kini terjuntai tanpa nyawa :
Hilang sudah
Lalu bagaimana, cerita ini mampu menuliskan
akhirnya
Peri kecil itu menangis di antara rerumputan dan
kuntum bunga
Karena itulah yang terjadi ketika rasa manusia di
penghujung akal sehatnya
Tubuh anak hawa itu kini kaku diatas sapuan langit
yang mulai memerah, terenggut oleh sebuah mata
pisau yang tak mampu melihat
Oleh orang yang pernah sangat dicintai dan
mencintainya..
Padanya tanpa tanya: Entah ini takdir atau akhir dari
jalan yang terpaksa dipilih
Bahkan dunia pun seolah menutup mata
ketika detik demi detik menyanyikan lagu kebencian
Jangan...Jangan seperti ini...Jangan lagi...
68

Cinta ... Cinta dimana? Akankah kembali bicara?


Cinta! Cinta dimana?
Ah, jikalau sudah begini ...
Cinta bukan cinta, hanya dendang semu yang sekali
lagi : mengatas namakannya : Cinta ...
HUJAN
71

Mungkin Cinta yang Paling


Mungkin

2013 :

Matahari tak lagi bersahabat, bukan?


Kira-kira itulah yang banyak kita perbincangkan di
kalender merah ini
Hujan datang lalu pergi tanpa tanda di mula,
menemani gemuruh yang bergertak melewati
kesadaran raga
dan kita, terpaksa melangkah dengan peluh,
jenuh dan keluh

Tahun yang begitu lama dimasa lalu :

Matahari masih tersenyum pelan,


melangkah mundur digantikan senja dengan gaun
berhias permata ruby
Pelan saja,
hingga angin terasa malu bergerak keras dan justru ia
datang,
begitu lembut dan membisikkan wangi rumput
disetiap harinya
72

.................
Mungkinkah waktu yang menggali kuburnya sendiri?
.................

Kurasa tidak,
Mungkin yang paling mungkin, adalah
matahari, hujan, angin, dan gemuruh menyayangi kita
dengan caranya masing-masing
Bukankah sebuah obat yang paling pahit merupakan
penyembuh yang ampuh untuk rasa sakit
Mungkin yang paling mungkin, adalah
Tuhan mengingatkan manusia melalui tangan-
tanganNya di alam semesta itu
agar kita berhenti menarik rasa sakit ke dalam diri kita
sendiri
dan mungkin yang paling mungkin, adalah
Semua peluh, jenuh, dan keluh sengaja Tuhan
ciptakan
agar kita membalikkan badan dan berlari ke arah-Nya

Berhenti bersikap serakah,


Berhenti memberikan rasa sakit kepada dunia,
Lalu berhenti, untuk berhenti mencintai alam semesta
Karena mungkin yang paling mungkin dari semua
yang terjadi adalah Cinta Tuhan pada manusia
73

Langkah Cinta di Atas Bumi Merah


Putih

Pagi buta saat kantukmu belum selesai lenyap


: melipat sajadah
Aku mengerling mengantar angin
Kau ambil kain lusuh tergantung
Pada bilik yang menitipkan nada tanpa kata lalu
Berjalan mencari harap ke padang kebenderangan

Ketika bulan semakin pucat terbias


Anakmu berjalan tanpa dentang menghampiri ibunya
Mencium lekat tangan keriput yang tergores keras
nasib
Tak ada sambutan nasi dan lauk pauk
Anakmu,
tetap bergerak dalam terang pagi yang bisu
Berseragam merah putih : lusuh yang bersekutu
dengan harapan
Menapak batu
Gerisik pasir
Menuju tirai tebaran harap

Istrimu melangkah mengusik tanah lantai yang tenang


tertidur
74

Membawa sekarung mimpi yang masih kosong di


punggungnya
Tanpa alas berjalan
Tanpa kemewahan
Tanpa keluhan
membuka pintu yang berdiri renta tanpa kunci
mengantarnya ke luas kehidupan nasib
mimpi harap
: di pusat kota yang menjulangkan tugu emas
tinggi

Lalu apa?
Ratusan gunung tinggi tetap tak mampu memangku
sedih itu
Banyaknya air di laut pula tak mampu hentikan
dahaga
Tetumbuhan rindang tak mampu juga mengeringkan
luka di perutmu
Lalu bagaimana?
Kau dan jutaan kau
Tak pernah berhenti melangkah
Kau dan jutaan kau
Tetap menari dalam nada putih temaram
Karena kau dan jutaan kau
Percaya pada harapanmu yang merah menyala
Hidup dan membiarkannya hidup
Mencari, dalam kesunyian di atas tanah merah putih
: untuk sebulir cinta dalam harap doa
75

Suara

Pernah satu kali aku bermimpi,


mimpi saja,
tentang sebuah sakura
Dan ia tak berwarna..
Ku tunggu, tetap saja tak berubah
Masih menunggu, ia justru semakin pucat dan lemah

Pernah sekali waktu aku bercerita,


tentang sebuah istana,
megah,
Tapi ia adalah istana yang begitu kosong
Tak ada nada, bahkan suara debu saja
Aku masih ingin bercerita,
Tapi istana itu hilang sudah, sekedip mata

Pernah pula,
di satu sudut aku menari
Langkah tariku tanpa bunyi
Meskipun gelang kaki gemerincing, seharusnya
Tetap saja, suara itu tak kunjung jua..

Aku ingin berdiri nyata suatu masa


Bukan berdiri sebagai sebuah bayangan saja,
Tapi mendengar dengan jelas suara kaki saat
melangkah
76

Hingga mampu menikmati setiap iramanya, satu


persatu
Untuk kemudian berlari,
Mengejar mimpi,
yang bukan hanya sebuah ingin saja
..dan akan aku mulai denting gelang kakiku, hari ini
untuk kedua pasang tangan yang menemaniku belajar
berjalan
Untuk kedua pasang tangan yang memegangiku saat
aku takut terjatuh
Untuk kedua pasang tangan yang menepuk
punggungku saat aku membutuhkan ketenangan
Untuk kedua pasang tangan yang selama hidupnya tak
pernah melepaskanku,

Meskipun disaat aku terkadang berlari dalam ruangan


tanpa suara
77

Ketidak Sempurnaan yang


Menyempurnakan

Kita terkadang hanya mampu melihat sisi samping


dari orang yang berada di sekeliling kita.
Hanya melihat sisi belakang dari masalah yang ada
Hanya mampu menerjemahkan sedikit raut wajah
yang melihat kita
Tapi tak mampu meraba dengan halus ke dalam
kalbunya...

Jika langit diciptakan untuk melindungi, maka Bumi


tercipta untuk mengadu

Jika bahagia tercipta untuk membuatmu


tersenyum,maka LUKA tercipta untuk memberi kita
ruang merindukan bahagia..
Disana akan tergores pilu yang menganga.. kecil
namun terkadang melebar..
Semakin sakit Luka itu, maka semakin besar lubang
pilunya..
Dari lubang pilu itu maka akan datang ribuan bahkan
jutaan kasih sayang masuk kedalamnya..
membalutnya dengan halus, mengecupnya hingga
airmata itu menjadi obat terakhir untuk meneguk
manisnya..
78

Bagiku, tak pernah ada kata SALAH dalam sebuah


persahabatan.
Tak ada kata MAAF pula di dalamnya..
karena Sahabat diciptakan bukan untuk menerima
kesalahan dan memaafkan..
Namun lebih dalam dari itu, Sahabat disandingkan
dalam hatimu untuk membuatmu mengerti bahwa kita
adalah manusia yang tak sempurna..
Yang diciptakan untuk melengkapi
ketidaksempurnaan itu..
Untuk membuat kita memahami bahwa Tuhan begitu
Indah, bahkan Teramat Indah
hingga mampu menciptakan cinta dan ruang Indah
Bagi Sahabat sepertimu..
79

Sahabat di Setiap Musim

Aku berjalan pada lorong yang memendarkan uap


bayanganmu
menemui lipatan-lipatan waktu yang renta,
menemuimu
membawa secawan do‟a dan bahagia berharap kau
meminumnya
di bawah langit yang melengkungkan misteri tak
terjawab
“Aku akan datang dan membahagiakanmu”

Pernah sekali waktu di musim hujan,


saat kau tumbuh cantik nan gemulai
berselimut nektar manis yang dikawini lebah
Seketika,
Kau menelanjangi aku
menyayat Arteriku dengan duri kecilmu
Dalam. Banyak. Berkali-kali
Bergulung-gulung debu menyusup lemah, perih!
Kenangan yang menyakitkan
melenggangkan bayangan duka di ruang jantung yang
palsu
namun tak menghentikan langkahku
“Aku tetap datang dan membahagiakanmu”

Senja mulai memucat ketika kusadari di musim


kemarau
80

jari gerimis meletakkan keabadian


detik terus menggali kuburnya sendiri
kalender menghitam ketika sang lebah pergi ke
rimbanya
Habis sudah nektarmu,
tersisa kotor dan menjijikan
selongsong nadi yang berdetak di tangkaimu,
mendingin
Lihat!
Mereka akan secepatnya menyingkirkanmu dari
taman, kawan
karena sungguh buruk rupamu
begitu bisu irama yang pernah kau dendangkan
Tapi tidak!
Aku tak peduli!
“Aku segera datang dan membahagiakanmu”
Memberimu makan meski di atas kulit tanah yang
retak
Memandikanmu agar harum kembali menaburkan
senyum
Menunggu kelopak merahmu hadir untuk
menyelipkan titik embun
Meski telah kau sakiti aku di musim kemarau
Aku tak peduli.
“Aku telah datang untuk membahagiakanmu”, kini
Di musim hujan
Dan di sepanjang musim hidup kita
81

Karena Aku di Sini

Aku akan melihatmu saat kau membutuhkan


ketulusan...
aku akan mengelus rambutmu saat kau menginginkan
ketenangan..
dan aku akan tersenyum saat kau meminta keikhlasan..
Bukan tentang aku..
bukan pula tentang riak jemari langit..
tapi ini tentang TITIK
yang menghubungkan setiap patahan menjadi garis
mengikat nya menjadi simpul berwarna..
Aku tersimpuh di atas nyala debu
tak akan beranjak sampai kau kembali tenang..
Aku menyimpan tanganku di bawah putih cuaca
untuk menyimpan semua gelisahmu
agar tak ada lagi patahan patahan kalender hitam
yang mengubur senyummu

karena aku ada disini, untukmu


karena aku ada disini..
82

Tiga Masa, Kau Akan Datang


(Lagi)

Mata,
Kutitipkan engkau di akhir bandara Soekarno Hatta
Saat tas punggung itu terakhir kali melambai
membawa serta
Melangkah tegap karena ia tau apa yang ia tuju
Disana, cita-cita pengembaraannya

Ah, jemari ini..


Sudahlah jangan membuat ini semakin terasa berat
dia pun akan pulang
nanti, dimasa dia telah selesai mencari mimpinya

Aku tahu ini sulit,


Terlebih untukmu kedua kaki..
Ayo, Bawalah aku berbalik arah dan biarkan
punggung ini yang menatapnya saja
Jangan membiarkan ketidakinginanmu untuk pergi,
memaksa

Disini, tiga waktu yang akan datang..


Kita akan menjemputnya..
Lalu, jangan biarkan lagi ia pergi..
Maka biarkan saja kita titip kerapuhan ini pada
sebuah rindu,
dan pada airmata yang menemani doa
untuknya..
hingga tiga masa itu datang
83

Senja

Kau senja,
Disanalah kau memelukku disaat aku telah lelah pada
waktu siangku
Siang yang memaksaku berlari ditengah terik dan
peluh nyala debu
Debu yang pucat dan memutih meski pantulan sang
surya perkasa menderu

Ah senja,
Kau datang tepat pada masanya
Masa dimana aku telah ringkih termakan waktuku
sendiri yang menggali kuburnya
Kubur yang terasing dan terangkat nisannya oleh
sebuah tiupan angin saja

Senja..
Senjaku, rupanya kau telah merindukanku..
Lantas, apa yang perlu kau tunggu?
Bawalah aku pada sebuah lapang yang hijau oleh
rerumputan dan harum segar aromanya
Biarkan aku menari dengan bunga di tangan kananku
dan jemarimu di tangan kiriku
Hingga sentuhan malam menjemput dengan perlahan
tanpa suara
84

Lantas, apa lagi yang masih kau tunggu?


Aku telah melepaskan semua yang kumiliki di siang
hari
Karena malam tak membutuhkannya
dan selama malam belum tiba, maka biarkan aku
berada di dekapanmu
Senja
Masa tercintaku..
85

Sajak Kau dan Aku

Suara :
Hei pengelana gila!
Jangan kau syairkan lagi kata demi kata hanya untuk
meruntuhkanku
Bicaralah apa adanya
karena aku mencintaimu.. bukan syairmu!
Aku berdiri disini bukan tanpa nyali. Aku sengaja
datang untuk memberitahumu tentang cintaku.
Aku tidak bekerja di senayan. Aku tak membawa
mobil ferrari. Aku juga tidak memiliki deposito.
Tapi apa salahnya jika aku mencintaimu? Ah, mungkin
rasanya sombong sekali aku bisa mencintaimu

Pena :
Kuburu angin yang menyentuh wajahmu di sudut
temaram ruangan ini
aku tak mampu meskipun hanya membayangkan jika
ada sehembus angin pun yang menyentuhmu
aku adalah kesunyian
maka kau menghidupkan aku
tapi aku juga ingin mempersembahkan diriku sebagai
puisi yang bisa kau sentuh
Benar. Kau bukan permata. Bukan harta, atau juga
tahta.
86

Kau adalah kehidupanku, oksigen yang menggetarkan


darah dan nadiku
Tapi hidupku,
kali ini, izinkan aku yang memelukmu dalam
kediaman nada
Biarkan hanya angin yang mencapai seisi ruangan
tanpa menyentuhmu
Sudah,
Terasa putih temaram ini..

Biarkan kita berdansa pada sebuah sajak cinta


87

Rindu Pada Waktu

Aku :
Angin tipis datang mengetuk lembah.
Patahan-patahan memori tercerai dan melompat tanpa
kendali, terlalu jauh dan dalam ke dasar
Engkau datang serupa nyala rindu di perapian. Membawa
segelas teh hangat di tangan dan sebaris lengkung indah di
wajahmu. Mungkin saja, nyala rindu itu menjelma dirimu.
Menyentuh pipi dengan kelembutan pikselisasi tinggi.
Wajah itu mengingatkanku pada laut Green Sands di pantai
Papakolea yang menyimpan pesona lekukan yang begitu
indah dan hamparan pasir hijau surealis bagai padang
rumput yang menawarkanku keteduhan tanpa batas.
Namun angin,
kini terpaksa menghembus meninggalkan lembah
tanpa jejak dedaunan
Ah sudahlah.
Mungkin saja di lembah itu masih tersisa sedikit aliran
sungai, atau juga tidak.
Aku hanya tidak ingin angin itu berputar arah dan
meninggalkan lembah tanpa kelembutan, lagi

Dia :
Tanggal merah itu kini tiba pada garis tepinya.
Perlahan saja, namun tetap kunjung tiba.
Mengabadikan kegelisahan yang berteriak tanpa suara.
88

Kukirimkan surat ini pada wanita yang mencintaiku


serupa embun yang begitu bening :
“Damaikan hati dalam ketidakinginan aku berpisah
denganmu. Jalan yang harus kutuju membutuhkan sedikit
waktu dan kesabaran juga baris doa yang begitu tajam kau
lafadzkan dari bibir lembut dan hatimu. Aku pergi bukan
untuk pergi, tapi untuk membawakanmu kebahagiaan di
tepian waktu yang lain. Waktu dimana kita akan
menyatukan hidup sebagai satu.”
Aku selalu mencintaimu

Waktu :
Sudahlah.
Jangan kau benamkan aku pada sebuah kuburan yang
gelap. Karena setiap detik, memiliki masa terang meski
tak akan abadi.
Akan tiba saatnya dimana aku akan
mempertemukanmu pada sebuah hamparan sutra
indah berhias bunga yang mengantarkanmu pada
tawa.
Engkau hanya perlu menunggu aku. Sambil sesekali
berjalan dengan cerita-ceritamu. Percayalah.
Hujan menitipkan bingkisan putih bertuliskan
“untukmu”
Ia tak ingin membuatmu menangis, namun pada
kenyataannya ia membuatmu terjaga pada sebuah
malam yang dingin
89

Nafas Rindu

Ku mohon jangan,
Jangan lepaskan aku sendiri melangkah pada setapak
kepalsuan
Rasanya aku belum mampu menantang keegoisan
Aku masih perlu menamatkan kesadaranku

Coba lihat,
Tanganku belum selesai menuliskan sebuah abjad
Mataku masih berputar tak tentu arah
Apa yang kupunya?
ketidakmengertian

Kemarilah, dengarkan aku..


Aku hanya ingin menceritakan kisah gerimis pagi
Tidak perlu terlalu dekat, tapi ku mohon datanglah..
Aku sengaja membohongi cuaca untuk sekedar
mengisahkanmu
Aku hanya perlu kau disini,
Mungkin aku salah
Atau juga tidak
“Datanglah.. Aku mohon..”
Biarkan aku menyatukan patahan–patahan embun
menjadi sebuah pelangi
“Ku mohon, datanglah..”

Aku masih bisa bernafas karena kerinduanku


90

Khusus Untukmu

Cinta itu bukan saja


Malaikat pun tidak tahu bagaimana
Dia melekat seolah kulit pada dagingnya
Hidup berarti dan tak berarti karena cinta, dan bukan
saja
Ada yang kusimpan dan tak terbagi pada ilalang di
hamparan sana, bukan getaran angin saja
Maka biarkan nyala gerimis yang mengabarkannya
pada kerajaan langit sana

Ah,

Bukankah rahasia itu tetap milik para penyair


Yang pada datang dan kepergiannya tak terendus
suara
Dan ia ucapkan cintanya pada sebuah lekukan jemari
di atas kerinduan putih kertas itu
Maka biarkan saja, rahasia itu tetap milik
kesunyiannya

Separuh jalan merah itu ditapaki bulir cinta


Atau kerikil yang seharusnya tak ada
Puja dan puji sebuah pena merenda lembut kobaran
sajak tak berdosa
91

Menjadi cahaya, yang tak terkibas hujan ketika


melewati dedaunan

Mungkin saja kudapati ilham halus ini meremajaiku


Mengajak aku pada sebuah kefanaan yang nyata
berkelana

Ah,

kusemburatkan cinta pada kecintaan yang lebih sepi


Cinta yang tak bersuara, hanya untuk cinta di hatimu
Cinta yang kupinjam dari pemilik Surga,
untuk mu
92

Jiwa

Dalam raga tak terbentuk cerita,


Ia raga saja dan ada..
Tapi cerita hidup dalam jiwa,
Jiwa saja, bukan..
Jiwa itu tentang cinta dimana ia pernah
melihat pasir putih di istana tenggara
Bermusik minor dengan seruap pendar
kenangan
Jelas saja,
Karena jiwa itu hidup sebagai raga yang berjalan di
sepanjang koridor batas
Hidup bersekat meski tak terlihat
Terjaga meski sudah renta
Terang saja,
Karena jiwa itu akan abadi
Selama jarak antara ia dan kenangan sedekat antara
darah dan nadinya..
93

Hilang

Persemayaman sebuah nada tak bertepi pada satu


tebing pendakian
Abadi pada ketidakmengertian yang terasa seolah
mengerti
Seperti sealun kasih yang tak sengaja dihadirkan dalam
gerisik mata temaram
Menepuk lembut seperti angin pada embunnya
Lalu, seroja ini menggoda hari dengan wewangian
Tak ada yang salah dan tak pula tersalahkan
Karena wewangian itu datang dengan tanpa kepastian
masa
Luruh hanya pada angin yang datang membawa
aroma ilalang
Lalu,
berlalu
94

Dia Berkata Padaku

Dia disana..
Lalu, datang dan menatapku dengan sebuah daun
ditangan kirinya..
Dia berkata padaku
“Kamu adalah perempuan yang baik”
Tak ada yang perlu kutanyakan lagi, benar
Aku mencintainya

Dia disana..
Pergi dan membiarkan aku menatapi punggungnya
yang begitu hangat bila ku sentuh
“Kamu adalah perempuan yang baik” ku dengar itu
ketika dia berkata padaku

Tapi dia disana..

Aku adalah perempuan yang baik, dan itu saja


Mungkin karena itulah dia disana..

Tak ada bunga, tak ada wewangian, dan gemerlap


kelembutan..
95

Aku adalah perempuan yang baik, dan itu saja


Karena itulah dia disana..
Tak ada yang lain yang kumiliki
Yang mampu menahannya untuk tetap menggenggam
kerapuhanku

Mungkin karena itulah,


Dia disana...
96

Fase

Dalam pagi yang menjagaku


Aku pernah melepaskan pegangannya
Terlepas dan hilang.

Lalu datang sepi menggigilku, pada rasa sakit yang


tersentuh
Nafas sesak penuh seluruh
Airmata hingga luruh
Maka ku coba biarkan paru-paruku menggapai penuh
oksigen
Dan yang ku hirup,
Tak kutahu ia terus melarutkan aku pada rasa perih di
paru-paru

Siang
Mengajarkan aku untuk perlahan membuka mataku
Diantara banyak debu yang sengaja ditiupkan angin,
Perih, biarkan saja perih..
Nafasku yang sesak, biarkan saja tetap sesak
Setidaknya aku masih mampu membuka mata dan
menghirup udara
Dan kubiarkan seluruh sel-sel ditubuhku menjerit , tak
apa
Aku ingin bertahan
97

Hingga aku akan sampai pada senjaku,


Dimana mataku yang telah basah mampu melumerkan
debu-debu itu
Dan paru-paruku telah menjelma sebuah ruang dengan
sirkulasi yang teradaptasi dengan udara yang
menyakitkan, mengubahnya menjadi sebuah tempat
untuk lebih banyak oksigen bersih masuk
Lalu, setiap desiran darahku direnangi oleh sel-sel
paling tangguh yang tak pernah lagi mengeluh

Untuk fase inilah aku bertahan..


Sebuah “saat” dimana aku mampu tersenyum dan
membuamu tersenyum,
Malaikatku
98

Laki-Laki Pertamaku

Mata yang telah menyipit lelah


Memberikan aku arti gamblang bagaimana kau
berjuang menawarkanku senyuman
Atau lipatan dahi yang membuatku mengerti betapa
kau ingin selalu menjagaku

Aku, tak lebih dari seorang anak


Tapi kau menjelmakan aku sebagai sebuah hadiah
yang paling berharga dalam hidupmu

Aku ingat,
Saat tanganmu yang dulu tak sekaku itu mengangkat
tubuh kecilku
Lalu menepuk pundakku dan menyenandungkan puji-
pujian bagi Nabi hingga terlelap
Katamu : agar kelak aku menjadi pribadi yang lembut
seperti lantunan nada pada puji-pujian itu

Pernah disatu masa, kau membuat kesalahan fatal


Yang membuat kita, kau dan kami..
Terpisah

Tapi bukankah setiap manusia pernah melakukan


kesalahan
Dan darisanalah aku menemukan banyak cinta
99

Cinta yang tak pernah kutemui sebelumnya


Cinta yang sebelumnya pernah aku abaikan karena
keangkuhanku
Cinta yang tak ingin kujamah sebelum ini

Kau, bukan hanya seorang ayah


Kau adalah kaki yang menopang tubuhku hingga aku
mampu berjalan
Kau adalah tangan yang akan selalu menggenggam
ketidakmampuanku
Kau,
Adalah laki-laki yang akan selalu menjadi cinta
pertamaku
Dan tak akan berubah, hingga waktu yang tak mampu
kusentuh
Ayah
100

Pesan

Kutuliskan pesan ini diatas sebuah lembar angin


Aku terlalu takjub hingga terkadang kuimpikan kau
sebagai sebuah angin yang beradu
Sesekali kubayangi dirimu pada sebuah malam yang
penuh harum wewangian
Lalu, kudapati matamu pada sebuah bulan bertahta

Jadi,

Jangan biarkan pesan ini terurai tanpa muaranya


Biarkan ia teraruskan pada sebuah sungai bening di
senyummu
Lalu larungkan ia ke luasnya cinta yang berombak
merdu di hatimu
Maka, ia akan mendeburkan rindu dan
menamatkannya untuk kisahku

Datangkan kembali padaku, pesanmu


Hingga nanti aku mampu berenang pada sebuah cerita,
yang baru saja kita mulai
101

Sajak Terindah

Seruap manis serupa uraian senyum


Menjelma putih bukan tak berwarna-warni
Dari ujung rambut hingga ujung kaki, tertuliskan
keindahan surgawi
Lalu bagaimana mungkin mampu ku goreskan lukisan
keindahan itu
Secangkir ikhlas tak tersentuh di atas meja
Maka air itu menggetar aliran sukmawi
Tangan kecil yang menggenggam cangkir
membawakan sebanyak cinta yang tak
terpatah
Membelai pada kelembutan yang
mengalahkan rintik hujan

Engkau serupa sajak yang tak patut ditulis


Karena bagaimana mungkin pena mampu
menggambar kecintaanmu,
Padaku...
Dari ujung kaki hingga atas rambutmu mengisahkan
sebuah cerita tentang cinta dan kasih sayang

Engkau serupa sajak pada hembusan angin yang


tenang
Tempat dimana sajak itu seakan tak pernah terlihat
namun begitu kuat menjelma
102

Maka tak akan kusangsikan bagaimana dunia


menundukkan wajahnya padamu,
Ibu

Iya,
Engkau Ibu
Engkau, cinta dan pengorbanan
Engkau, doa dan kasih sayang
Dan engkau,
sajak yang tak mampu tertuliskan
103

Sebuah Tiga dalam Bahagia

18 Agustus
Katamu :
Sesekali aku ingin mengajakmu pada sebuah tempat
dimana hanya kita saja bertiga disana
Pada musim yang abadi tersenyum
Biar saja hujan, biar saja kemarau.. namun tetap
tersenyum
Disana,
Pantai putih pun menjelma menjadi sebuah lapisan
awan bening yang halus dan lembut
Disana, kita akan menaburkan jutaan benih bunga dan
setiap bunga akan kembali menjadi ribuan bunga
Hanya kita bertiga,
Berlayar dari satu hamparan menuju hamparan lainnya
Mendaki dari satu bahagia ke bahagia lainnya
Hanya kita saja, bertiga
Maukah kau, pergi bersamaku dan cinta kita?
104

Seperti Biasa, Sebelumnya..

Pucat matahari sore ini


Memercikkan ketidakinginan awan menari dalam
rintik gerimis
Lembaran musim yang terbelah mengabarkan dirimu

Tak perlu nada untuk suaramu


Tak perlu aroma untuk wangimu
Dirimu saja, satu

Pulanglah..

Tak inginkah kau bercumbu dengan bunga-bungan di


taman kita?
Seperti biasa, sebelumnya
Ajak aku menadahkan titik embun yang jatuh dari
lembut dedaunan
Diantara sebuah siang dan malam yang menebarkan
wewangian,
Seperti biasa, sebelumnya
Pulanglah..
Karena bunga-bunga kita sudah gugur kelopak
indahnya
Akarnya kau bawa pergi..
Pulanglah, sayang..
Matahari sudah semakin pucat sore ini..
Sudah waktunya kita beristirahat dalam malam yang
lembut,
Seperti biasa, sebelumnya..
105

BONUS

Cinta Monyet

1
Pada selembar kertas terbakar
Disulam pada selembar lain
Pada puisi,,, menjadi racik meracik
Seperti cinta monyet

2
Cintaku pada mu-onyet-monyet bergelantungan di
dahan-dahan
Berteriak lembut di rimba-hati seorang pujangga
Wahai wanita
Kutulis rupamu pada selembar daun
Keindahanmu tiada tara
Kau-dan monyet sama saja

Oh cinta
Betapa bahagia ketika ku melihat mu-onyet-monyet di
dahan-dahan
Berlompatan kesana kemari
Melambai indah pada-pujangga yang mabuk cinta

Oh cinta
Betapa indah ketika kau memelukku
106

Dunia serasa milik berdua


Sedang-monyet-monyet itu kembali ke dahan
Dan-kau yang begitu cantik
Menatapku dalam penuh cinta-monyet

3
Oh monyet
Tak henti-hentinya mencuri-cintaku
Cinta kita abadi
Bersama kita-monyet yang bergelantungan
Di rimba bercengkerama
TENTANG PENULIS:

Ko~Ha . Seorang petualang imajinasi yang terlahir di


jazirah Arab. Berusaha mempelajari kesusastraan dan
bermimpi menjadi pujangga sejak menginjak usia remaja.
Saat itu, tulisan prosanya hanya untuk konsumsi pribadi.
Namun, setelah ingin mencoba berkiprah di dunia sastra
akhirnya ia mencoba menulis sebuah buku (antologi)
kumpulan puisi bersama temannya „de Putri. Gaya
berpuisi yang sarat pesan di lembar Kemarau banyak
dipengaruhi oleh sajak-sajak lama seperti pantun, seloka,
gurindam dan sajak-sajak karya Kahlil Gibran. Adapun
sajak-sajak kontemporer yang mempengaruhinya yaitu
sajak-sajak karya Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono,
WS Rendra, dan Taufik Ismail.

‘de Putri . Seorang perempuan berdarah Sunda yang


lembut dan penyayang. Anak sulung dari dua
bersaudara ini mengenal puisi sejak belia, mencoba
menuliskan sebuah puisi untuk ibunda tercinta di hari
ulang tahunnya. Hobi menulis puisi sejak remaja dan
menyukai kesederhanaan dan kelembutan dalam
sajaknya. Puisi-puisi karyanya di lembaran Hujan banyak
dipengaruhi oleh Kahlil Gibran, Amal Hamzah, dan
Lailatul Kiptiyah.

Anda mungkin juga menyukai