Seiring perkembangan teknologi saat ini,pengguna internet setiap tahun nya meningkat.Hal ini
membuat perubahan dalam hal persaingan ekonomi termasuk dalam persaingan di bidang
perhotelan.Didukung oleh perkembangan pengguna internet dan smartphone membuat semakin
meningkat pengguna online travel agent.Untuk online travel agent sendiri melakukan persaingan
harga yang ketat dengan persaingan popularitas antar online travel agent lain nya merupakan hal
yang wajar.
Internet sebagai sumber informasi utama dalam industri pariwisata turut mempengaruhi business
model dari aspek parisiwata terutama dalam hal industri perhotelan. Dalam industry, bisnis.com
menyebut kan jumlah tour travel agent pada tahun 2013 sudah mencapai 4000 perusahaan dan
sebagian besar bisa diakses melalui online, pada jumlah tersebut terjadi fluktuasi yang disebab
kan oleh pola prilaku konsumen yang ingin mendapatkan kebutuhan nya dengan mudah,efesien
dan akurat.
Persaingan yang kompetetif dalam pangsa pasar membuat para perusahaan menggunakan
website untuk mencari keuntungan.persaingan bisnis saat ini mendorong para pelaku usaha di
bidang ini harus bergarak cepat, inovatif,kreatif dan antisipatif. Hal ini disebab kan oleh
perubahan yang terjadi dalam bisnis ini yang melibatkan teknologi dan prilaku konsumen.
Ada beberapa perusahaan yang menjadi inisiator dalam pengembangan online travel agent
menjadi dalam bentuk applikasi dalam smart phonecontoh nya :
traveloka,pegipegi.com,tiket.com, fitur yang diberikan applikasi ini hampir serupa, antara lain
reservasi tiket pesawat dan booking hotel.
Dengan beragam nya applikasi yang ada tentu membuat persaingan antar travel agent. Mulai dari
memberikan iklan yang menrik, keunggulan applikasi hingga permainan harga hotel. Dalam
permainan harga hotel ini dengan cara memberikan diskon ataupun menjual dibawah harga rata
rata di hotel tersebut dan hal ini tentu memberikan dampak tertentu baik di pihak hotel, maupun
pengusaha travel agent lain nya. Berdasarkan latar belakang ini lah penulis membuat makalah
tentang “DAMPAK PERKEMBANGAN ONLINE TRAVEL AGENT TERHADAP
PERSAINGAN HARGA KAMAR”
RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan sebelum nya maka dapat dirumuskan
masalah penelitian ini sebaga berikut.
TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai
berikut:
1. Mengetahui alasan peningkatan baik pengusaha online travel agent maupun konsumen
nya
2. Mengetahui apa dampak yang diberikan baik untuk pihak online travel agent atau offline
travel agent.
3. Mengetahui dampak apa yang diberikan oleh persaingan harga ini terhadap pihak hotel
MANFAAT PENELITIAN
1.Bagi Teoristis,
2. Bagi Praktisi
Online travel agency ini pada dasarnya terbagi dalam tiga jenis,
yaitu booking online, travel review, dan online aggregator. Booking onlinemenyediakan
layanan untuk memesan akomodasi perjalanan, sementara travel review merupakan penyedia
ulasan kualitas/pengalaman menggunakan akomodasi dari para traveller. Online
Aggregator menggabungkan konsep keduanya dan berperan menjadi agen travel yang serba
lengkap. Online aggregatormemudahkan Anda untuk mencari informasi berbagai pilihan
akomodasi (hotel dan pesawat), membandingkan antarharga, dan secara langsung melakukan
pemesanan tiket/kamar.
Industri OTA, terutama jenis online aggregator dipandang memiliki potensi sangat bersinar
di Tanah Air. Apalagi didukung dengan jumlah pengguna internet yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun, termasuk akibat booming-nya ponsel pintar murah. Tahun 2014 saja
pengguna internet di Indonesia sudah tercatat mencapai 83,7 juta jiwa (peringkat 6 di dunia).
Ketua Umum Association of Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA), Asnawi
Bahar, menyatakan bahwa keberadaan OTA yang secara harga lebih bersaing dan efisien
mengancam perusahaan biro perjalanan konvensional. Contoh yang masih sangat, keputusan
Kementerian Keuangan yang menggandeng Traveloka untuk perjalanan dinas pegawai
negeri sipil.
Tekanan dari OTA makin terasa tatkala biro perjalanan wisata konvensional harus bersaing
di level harga hotel dan pesawat. AirBnB, Agoda, dan Traveloka biasanyanya melak ukan
sistem blocking room night, yakni mem-booking 1.000 hotel untuk satu tahun dan dibayar
dimuka sehingga secara otomatis akan mendapat special rate. Perusahaan konvensional sulit
bersaing karena kurang kuatnya modal. Alhasil, pangsa pasar ASITA (yang sa at ini
beranggotakan 7.000 perusahaan) di subsektor hotel hanya tinggal 10%. Kondisi serupa juga
terjadi di subsektor airlines. Dengan margin yang makin menipis, kira-kira hanya 2—3%,
praktis membuat kebanyakan anggota ASITA tidak menjual tiket pesawat lagi.
Secara umum, anggota ASITA saat ini fokus ke paket tur wisata saja. Anggota ASITA kini
memiliki pangsa pasar inbound sekitar 60% dan domestik sekitar 20%. Mereka tidak
memaksakan bermain di komponen (tiket pesawat, tiket kapal, tiket kereta, tiket bis, tiket
hotel, dan sebagainya) karena ini akan meningkatkan overhead cost. Komponen-komponen
tersebut sangat besar cost-nya, sementara perusahaan konvensional belum memiliki efisiensi
operasi yang tinggi.
"Secara rata-rata kenaikan margin (CAGR) tidak terlalu besar, kecuali grup-grup besar yang
memilik paket khusus seperti surfing. Kami juga tidak bisa berbuat banyak, kalau kami
meminta nego harga ke mitra (airlines dan hotel), tapi karena secara kuantitas kami belum
besar, mereka pasti memilih ke OTA,” kata dia.
Deputi Bidang Industri dan Kelembagaan Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani
Mustafa, menyatakan bahwa pemerintah dalam posisi membantu perusahaan konvensional,
mulai dari fasilitasi pelatihan tour guide, pendampingan sertifikasi profesi, hingga akreditasi
usaha pariwisata. Namun, ini saja memang tidak cukup.
Jika ingin tetap bertahan, industri harus mau beradaptasi dan mengikuti perubahan pola
perilaku konsumen dan berorientasi pasar. Ada baiknya perusahaan konvensional
mempertimbangkan pembuatan divisi digital, digital platform, atau produk dan paket baru
yang bisa bersaing. Salah satu caranya dengan berkolaborasi (sharing economy) dan
memanfaatkan kapasitas-kapasitas yang tidak terpakai .Yang paling penting adalah inisiatif
dan kreativitas.
"Saya lihat fungsi asosiasi penting untuk menjadi lead karena mereka paling memahami isu
di industri yang mereka jalani. Jangan pasif menunggu pemerintah. Kami pun mengapresiasi
langkah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) membuat Bookingina.com.
Terbayangkah kalau asosiasi (ASITA) sepakat untuk tidak masuk ke salah satu perusahaan
digital (OTA) yang sudah ada, namun mereka justru membuat platform digital sendiri?” kata
dia.
Ia juga menyarankan agar biro konvensional tidak takut membuka destinasi baru. Seperti
halnya investor asing yang berani berinvestasi di Wakatobi dan Raja Ampat, meski saat itu
akses dan infrastruktur penunjang masih sangat terbatas. Hal itu mereka lakukan karena
memiliki passion dan memahami bahwa tindakan seperti itu penting dilakukan mengingat
industri ini bersifat jangka panjang.
Di sisi lain, pemerintah membantu mempromosikan ke inbound lewat program Visit
Indonesia Wonderful Indonesia (VIWI). Kemudian, pemerintah juga menginventarisasikan
regulasi apa atau deregulasi apa yang dibutuhkan agar eksistensi bisnis konvensional dapat
terjaga. Kemenpar bersama Kemenkominfo dan Kemenkeu secara intensif terus mengkaji
skema pengenaan pajak atau insentif kepada OTA agar industri ini bisa sustainable bagi
semua pihak.
Menurut Asnawi, setidaknya ada 2 isu krusial yang dihadapi ASITA. Pertama, belum ada
level playing fieldyang sama antara biro domestik dan asing. Dengan adanya pemain digital
apalagi ditambah adanya biro asing—contohnya dari Singapura dan Thailand yang masuk
secara bebas ke dalam negeri membawa tamu sendiri— menimbulkan ketidakadilan
(unfairness). Sementara, biro perjalanan wisata nasional ketika membawa tamu ke luar
negeri diharuskan bermitra dengan perusahaan lokal sana. Untuk itu, perlu ada kontrol dari
pemerintah dan peningkatan regulasi agar minimal ada prinsip reciprocallity.
Kedua, perlu ada aturan tata niaga (tarif) yang pro pengusaha lokal. Meski di satu sisi
pemerintah punya kepentingan menarik investasi dan meningkatkan wisatawan mancanegara
(wisman) demi meningkatkan devisa, bukan berarti perusahaan lokal dikesampingkan.
Apalagi mereka kebanyakan menyasar segmen wisatawan nusantara (wisnus) yang notabene
menggerakan perekonomian per daerah dan menciptakan lapangan kerja. Misalnya, saat ini
saja ada 8.000 agen perjalanan wisata yang akan segera menjadi anggota ASITA.
Apalagi, kalau melihat kontribusi perhotelan dan restoran yang baru sekitar 5% dari PDB
Indonesia, sementara negara-negara lain sudah di atas 10%, artinya masih banyak potensi
yang harus “dilindungi” dari dominasi asing. “Oleh karenanya, ini perlu diatur dengan
regulasi yang ketat agar tidak lebih banyak dimanfaatkan asing.
Pasalnya, kami sekarang punya saingan dari Thailand dengan destinasi pantai Puket dan
Pattaya. Tak ketinggalan juga China yang akan membuat destinasi Hainan layaknya
Maldives. Hal ini tentu bisa mengurangi wisatawan ke Bali,” tutur Asnawi.
Meski kehadiran OTA menggerogoti pendapatan biro perjalanan wisata konvensional,
bukan berarti pangsa pasar paket wisata meredup. Seperti apa yang dialami PT Panorama
Sentrawisata Tbk yang berhasil mempertahankan pertumbuhan rata-rata gross margin
(sales) sebesar 14% dalam 5 tahun belakangan, di tengah massive-nya kehadiran OTA.
Tahun 2017 saja, perusahaan membukukan kenaikan penjualan sebesar 9,4% dari Rp4,7
triliun pada 2016 menjadi Rp5,2 triliun pada 2017.
VP Brand & Communication Panorama Group, AB Sadewa, menilai bahwa kuncinya ada
pada fokus ke core business. Pada tahun 2015, perusahaan menyadari bahwa margin mulai
tergerus perusahaan OTA. Namun, perusahaan memutuskan untuk fokus ke program paket
tur yang bermargin tinggi dan memang pasarnya ada.
“Kami harus membenarkan posisi duduk. Kami bukanlah OTA sehingga sampai kapan pun
tidak akan dapat mengejar mereka. Beberapa ceruk mungkin diambil, tetapi kalau bicara
segmen corporate, kami masih kuat,”
KESIMPULAN
Dari materi diatas dapat kita simpulkan bahwa perkembangan online travel agent berasal dari
cara prilaku konsumen yang semakin melek akan teknologi, hal ini juga di sebab kan oleh
meningkat nya penggunaan smartphone saat ini, meskipun demikian perkembangan OTA juga
mempengaruhi bidang perhotelan dan pariwisata, dan memberikan dampak positif maupun
negative di industri pariwisata. Walaupun demikian daripada menyalahkan perkembangan
teknologi yang di manfaatkan OTA, pihak hotel juga memanfaatkan nya sebagai salah satu cara
marketing untuk meningkatkan penjualan, sedangkan dari pihak pariwisata memilih daripada
bersaing di satu pasaran, mereka lebih mengincar ke sector yang tidak bisa diambil oleh OTA