Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium Leprae, penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi
dan dapat pula menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit
kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis
tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional. (Depkes RI, 2007). Penyakit kusta sampai saat ini
masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan.
Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang
keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkan oleh kusta.
Jumlah penderita lepra (kusta) di Indonesia masih tinggi. Selama
kurun waktu 10 terakhir data jumlah penderita lepra di Indonesia tidak
mengalami penurunan. Sekitar 17 ribu penderita lepra baru ditemukan di
seluruh Indonesia. Jumlah penderita lepra di Indonesia nomor tiga di dunia
setelah India dan Brazil. Jumlah penderita lepra yang masih tinggi
diantaranya Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus
Jawa Timur merupakan wilayah dengan jumlah penyandang kusta
terbanyak di Indonesia, Jawa Timur menjadi daerah endemis penyakit kusta.
Penyebaran penderita dan penyakit ini berada di 12 wilayah yakni Jember,
Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Pasuruan, Sampang, Sumenep,
Bojonegoro, Bangkalan, Pamekasan, Tuban dan Lamongan.
Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari
golongan ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila
tidak ditangani secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini
menjadi halangan bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat
untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat
berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Disamping cacat yang
timbul, pendapat yang keliru dari masyarakat terhadap kusta, rasa takut

1
yang berlebihan atau leprophobia akan memperkuat persoalan sosial
ekonomi penderita kusta.
Mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka di perlukan
program penanggulangan secara terpadu dan menyeluruh dalam hal
pemberantasan, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial ekonomi dan
permasyarakatan dari bekas penderita kusta. Dengan kemajuan teknologi di
bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di
bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan
seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

B. Metoda Penulisan
Metoda Penulisan dalam penyusunan makalah ini adalah studi literatur.

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini adalah dapat mengetahui konsep
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem integumen :
morbus hansen.
2. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus dari penulisan makalah ini adalah:
a. Dapat mengidentifikasi pengkajian pada pasien dengan gangguan
Sistem integumen : morbus hansen.
b. Dapat merumuskan diagnosis keperawatan pada pasien dengan
gangguan Sistem integumen : morbus hansen.
c. Dapat menentukan perencanaan pada pasien dengan gangguan
Sistem integumen : morbus hansen.
d. Dapat menentukan implementasi pada pasien dengan gangguan
Sistem integumen : morbus hansen.
e. Dapat mengidentifikasi evaluasi pada pasien dengan Sistem
integumen : morbus hansen.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kusta

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya


ialah mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratosius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda
Adhi, 2010)
Kusta (Lepra) adalah penyakit infeksi yang kronis yang disebabkan
oleh kuman mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer),
kulit, dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat. kuman
penyebabbnya adalah mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.
Hansen pada tahun 1871 di Norwegia. m. leprae berbentuk hasil dengan
ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol ( Arif Muttaqin dan
Kumala Sari, 2011)

B. Etiologi
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat
intraselular, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa,
saluran nafas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf
pusat. Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara
40 hari-40 tahun.
Kuman penyebabnya adalah mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang
belum juga dapat dibiakkan dalam media artificial. M. leprae bebentuk basil
dengan ukuran 3-8 μm x 0,5 μm, tahan asam dan alcohol, serta positif-Gram.

C. Patofisiologi
Setelah M. leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa

3
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular
mediated immune) pasien. Kalau system imunitas selular tinggi penyakit
berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang arah
lepromatosa. M. leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif lebih
dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respon imu pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding
dengan tingkat reaksi selular dari pada itensitas infeksi. Oleh karena itu,
penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologi.

4
1. Pathway

6
D. Macam-Macam Lepra
1. Lepra Tuberkuloid
Lepra tuberkuloid terjadi pada pasien yang memiliki respon sel T yang baik
terhadap bakteri. Organisme ini terletak ditempat masuk, jumlah lesi kecil, dan
penyebaran bakterimia jarang terjadi. Secara klinik, lesi kulit merupakan macula
anestetik hipopigmentasi. (macula adalah daerah datar, berbatas tegas yang
mengalami perubahan warna). Keterlibatan saraf perifer besar (ulnaris, peronealis
komunis, aurikularis magnus) menimbulkan penebalan dan palsi saraf yang dapat
diraba (lumpuh pada pada tangan atau Wristdrop dan kaki atau footdrop merupakan
gambaran yang sering. Lepra tuberkuloid memiliki perjalanan penyakit yang lambat
tanpa pengobatan. Lepra ini dapat sembuh bila diobati.
2. Lepra Lepromatosa
Lepra ini terjadi pada pasien pada pasien yang memiliki kadar imunitas
selular rendah. Pada keadaan tidak adanya respon sel T yang ektif, bakteri
berkembang tidak terkendali didalam makropag kulit, membentuk ‘sel lepra’ besar
yang berbusa yang banyak ditemukan pada bakteri tahan asam. Agregasi makropag
menyebabkan penebalan noduralitas kulit. Limposit ada tetapi tidak banyak.
Bakteri menyebar melalui aliran darah, menimbulkan lesi didalam kulit,
mata, saluran napas atas, dan testis. Bakteri lepra timbul terutama pada suhu
dibawah 370c, dan organ dalam (limpa dan hati) yang jarang terserang pada suhu
tubuh inti. Lepra lepromatosa merupakan penyakit serius yang menyebabkan
kerusakan luas pada jaringan. Terkenanya jari, hidung dan telinga menimbulkan
perubahan bentuk pengobatan tidak memuaskan.
3. Lepra Borderline
Lepra borderline memiliki gambaran antara lepra lepromatosa dan tuberkulosa.

E. Manisfestasi Klinis
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis.
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda cardinal
berikut:
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal
atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau
berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul,
atau nodul.

7
b. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan
kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas
dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
c. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila
ragu ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3
bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

F. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Test sensibilitas pada kulit yang mengalami kelainan
2. Laboratorium : basil tahan asam. Diagnose pasti apabila adanya mati rasa dan
kuman tahan asam pada kulit yang (+).
3. Pengobatan kusta/lepra lamanya pengobatan tergantung dari berbagai jenis kusta
lepromatus pengobatan minimal 10tahun, obat yang diberikan dapsone (DSS) (
dosis 2x seminggu )
H. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens
penyakit.
Program multy drug therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai
berikut :
1. Tipe B
Jenis obat dan dosis untuk dewasa :
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
b. DSS tablet 100 mg/hari diminum dirumah.

8
c. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT (released from treatment = berhenti minum obat kusta)
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi
dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah completion of treatment cure dan
pasien tidak lagi dalam pengawasan.

2. Tipe MB
Jenis obat dan dosis :
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum dirumah.
c. DSS 100 mg/hari diminum dirumah.
d. Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.

9
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN SISTEM INTEGUMEN
PADA MORBUS HANSEN / KUSTA

A. Pengkajian
1. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena
pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan
ekonomi lemah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya
komplikasi pada organ tubuh.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya
diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai
penyakit morbus hansen akan tertular.
5. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita
morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan
bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup
diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep
diri karena penurunan
6. Pola Aktivitas Sehari-hari

10
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang
lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
7. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena
adanya gangguan saraf tepi motorik.
a. Sistem penglihatan.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan,
dan saraf tepi motoric terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada
infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan
rontok.
b. Sistem pernafasan.
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
c. Sistem persarafan
1) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati
rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat
terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/
hilangnya reflek kedip.
2) Kerusakan fungsi motoric
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan
lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-
jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi
kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan
mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
3) Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

11
d. Sistem musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

e. Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan
pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan citra tubuh terhadap lesi
pada kulit.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot dan kaku sendi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
dan kerusakan integritas kulit.
4. Resiko trauma berhubungan dengan peningkatan resiko cidera jaringan karena
neuritis.
5. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.

C. INTERVENSI
No Diagnosa NOC / Tujuan NIC/ Intervensi
Keperawatan
1 Gangguan citra Tujuan:  Kaji secara verbal dan non
tubuh  Body image verbal respon klien
berhubungan  Self esteem terhadap tubuhnya
dengan Kriteria hasil:  Monitor frekuensi
perubahan citra  Body image positif mengkritik dirinya
tubuh terhadap  Mampu mengindetifikasi  Jelaskan tentang
lesi pada kulit. kekuatan personal pengobatan, perawatan,

12
 Mendriskripsikan secara kemajuan dan prognosis
faktual perubahan fungsi penyakit
tubuh  Dorong klien
 Mempertahankan interaksi mengungkapkan
sosial perasaannya
 Identifikasi arti
pengurangan melalui
pemakaian alat bantu.
2 Hambatan Tujuan :  Monitor TTV
mobilitas fisik  Joint movement : aktive sebelum/sesudah latihan
berhubungan  Mobility level dan lihat respon pasien saat
dengan  Self care : ADLs latihan
kontraktur otot  Tranfer performance  Konsultasikan dengan
dan kaku sendi. Kriteria hasil : terapi fisik tentang rencana
 Klien meningkat dalam ambulasi sesuai dengan
aktivitas fisik kebutuhan

 Mengerti tujuan dalam  Ajarkan pasien tentang


peningkatan mobilitas teknik ambulasi

 Mengungkapkan perasaan  Kaji kemampuan pasien


secara lisan dalam dalam mobilisasi
meningkatkan kekuatan dan  Latih pasien dalam
kemampuan berpindah. pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri sesuai
kemampuan
3 Resiko infeksi Tujuan:  Bersihkan lingkungan
berhubungan  Immune status setelah dipakai pasien lain
dengan  Knowledge : Infection  Pertahankan teknik isolasi
ketidakadekuatan control  Batasi pengunjung bila
pertahanan tubuh  Risk control perlu
primer dan Kriteria hasil:  Instruksikan pada
kerusakan  Klien bebas dari tanda dan pengunjung untuk mencuci
integritas kulit. gejala infeksi tangan saat berkunjung dan

13
 Mendiskripsikan proses setelah berkunjung
penularan penyakit, factor meninggalkan pasien
yang mempengaruhi  Gunakan sabun
penularan serta antimikrobia untuk cuci
penatalaksanaannya tangan
 Menunjukkan kemampuan  Cuci tangan sebelum dan
untuk mencegah timbulnya sesudah tindakan
infeksi keperawatan
 Jumlah leukosit dalam batas  Gunakan baju, sarung
normal tangan sebagai alat
 Menunjukkan perilaku pelindung
hidup sehat  Pertahankan lingkungan
aseptik selama pemasangan
alat
4 Resiko trauma Tujuan : NIC :
berhubungan  Knowledge: personal safety  Sediakan lingkungan yang
dengan  Safety behaviour: fall aman untuk pasien
peningkatan prevention  Identifikasi kebutuhan
resiko cidera  Safety behaviour: fall keamanan pasien sesuai
jaringan karena occurance dengan kondisi fisik dan
neuritis.  Safety behaviour: physical fungsi kognitif serta riwayat
injury penyakit terdahulu pasien
 Tissway intregity: skin and  berikan penjelasan pada
mucosa membrane pasien dan keluarga atau
Kriteria Hasil: pengunjung adanya

 Pasien terbebas dari trauma perubahan status kesehatan

fisik dan penyebab penyakit

 Lingkungan rumah aman


 Perilaku pencegaha jatuh
 Dapat mendeteksi resiko
 Pengendalian resiko :
pengetahuan personal
safety

14
5. Resiko cidera Tujuan : NIC :
berhubungan  Risk control  Sediakan lingkungan yang
dengan Kreteria hasil : nyaman untuk pasien
kerusakan  Pasien tebebas dari cidera  Identifikasi kebutuhan
integritas kulit.  Pasien mampu menjelaskan keamanan pasien sesuai
cara untuk mencegah cidera dengan kondisi fisik dan
 Mampu mengenali fungsi kognitif serta riwayat
perubahan status kesehatan penyakit terdahulu pasien
 Sediakan tempat tidur yang
nyaman dan bersih
 Hindarkan lingkungan yang
berbahaya
 Anjurkan keluarga untuk
menemani pasien

D. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang dilaksanakan sesuai
dengan prioritas diagnosa sesuai kebutuhan pasien. Tindakan dilaksanakan
berdasarkan intervensi keperawatan yang telah disusun dari hasil pengkajian dan
analisa data. Implementasi keperawatan berfokus pada pencapaian tujuan,
intervensi dengan batas waktu yang telah ditentukan

E. EVALUASI
Evaluasi mengidentifikasii kriteria hasil untuk mengukur keberhasilan,
mengumpulkan data sesuai dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan,
mengevaluasi pencapaian tujuan dengan membandingkan data yang dikumpulkan
dengan kriteria, lalu memodifikasi rencana keperawatan bila tujuan belum tercapai

15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan
tumbuh lainnya.Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta, yang berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2–0,5 mic biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA). Penyakit kusta
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tipe pausi basiler (PB), dan multi basiler (MB).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah tergantung dari beberapa
faktor antara lain faktor sumber penularan, faktor kuman kusta, dan faktor daya tahan
tubuh.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat kelainan
kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati rasa yang jelas,
kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan otot tangan,
kaki, atau muka, dan adanya kuman tahan asam di dalam kultur jaringan kulit (BTA
positif).
Pemerintah Indonesia telah membuat program dan kebijakan untuk mengatasi
penyebaran kusta dimasyarakat. Program-program tersebut terdiri dari berbagai
kegiatan, kegiatan tersebut diantaranya adalah penemuan penderita, pemberian obat,
pembinaan pengobatan, penyuluhan kesehatan serta pencatatan dan pelaporan
B. Saran
1. Makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam rangka
meningkatkan program pemerintah dalam usaha pemberantasan penderita kusta
sehingga penyakit kusta dapat dibasmi secara tuntas.
2. Makalah ini dapat digunakan sebagai masukan untuk mengetahui apa saja faktor-
faktor yang menyebabkan sulitnya pemberantasan penyakit kusta.
3. Perawat semakin memaksimalkan perannya untuk membantu upaya pemberantasan
penyakit kusta.

16
Daftar Pustaka

Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes
Jakarta.

Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan
Penyakit Kusta, Jakarta.

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.

Muttaqin Arif, Sari Kunala, 2011, Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen, Penerbit
Salemba Medika, Jakarta

Nurafif Huda A, Kusuma Hardhi, 2015, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Nanda Nic-Noc Jilid 2, Medication Publishing Jogjakarta, Jogjakarta

http://www.kabarmadura.com/jumlah-penderita-kusta-di-jatim-tertinggi.html.
http://www.hanyaberita.com/penderita-lepra-di-indonesia-terbesar-ke-3-di-dunia/1936/.
https://www.academia.edu/asuhan-keperawatan-kusta

17

Anda mungkin juga menyukai