Anda di halaman 1dari 32

TERM PAPER

BAGAIMANA PENDIDIKAN KRISTEN MENYIKAPI

DUALISME PARADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA?

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik


guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Strata Satu

Oleh:
NAMA : Lany Isaura Febriana Gultom
NPM : 00000027975

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2019

1
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TUGAS

AKHIR

Saya mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Pendidikan,

Universitas Pelita Harapan,

Nama : Lany Isaura Febriana Gultom


Nomor Pokok Mahasiswa : 00000027975
Program Studi : Pendidikan Matematika

Dengan ini menyatakan bahwa karya tugas akhir yang saya buat dengan judul

“BAGAIMANA PENDIDIKAN KRISTEN MENYIKAPI DUALISME

PARADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA?” adalah :

1. Dibuat dan diselesaikan sendiri dengan menggunakan hasil kuliah, tinjauan


lapangan, buku-buku dan jurnal acuan yang tertera di dalam referensi pada
karya tugas akhir saya.
2. Bukan merupakan duplikasi karya tulis yang sudah dipublikasikan atau
yang pernah dipakai untuk mendapatkan gelar sarjana di universitas lain,
kecuali pada bagian-bagian sumber informasi yang dicantumkan dengan
cara referensi yang semestinya.
3. Bukan merupakan karya terjemahan dari kumpulan buku atau jurnal acuan
yang tertera di dalam referensi pada tugas akhir saya.

Kalau terbukti saya tidak memenuhi apa yang dinyatakan di atas, maka karya tugas
akhir ini dianggap batal.
Tangerang, Click here to enter text.

Click here to enter text.


UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR

BAGAIMANA PENDIDIKAN KRISTEN MENYIKAPI


DUALISME PARADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA?
Oleh:

Nama : Lany Isaura Febriana Gultom


NPM : 00000027975
Program Studi : Pendidikan Matematika

telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dan dipertahankan dalam Sidang Tugas
Akhir guna mencapai gelar Strata Satu pada Program Studi Pendidikan Biologi,
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten.
Tangerang, Click here to enter text.
Menyetujui:
Pembimbing

( )

Ketua Program Studi Dekan

( ) (Connie Rasilim, S.S., B.Ed., M.Pd.)

ii
ABSTRAK

Lany Isaura Febriana Gultom (00000027975)

BAGAIMANA PENDIDIKAN KRISTEN MENYIKAPI DUALISME


PARADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA?
(viii + 22 halaman: 0 gambar; 0 tabel; 0 lampiran)

Sistem pendidikan nasional di Indonesia kini dipengaruhi oleh paham dualisme yang mengakibatkan
ada pengelompokkan antara pendidikan umum dan pendidikian agama. Pada akhirnya membuat kita
memandang antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang lainnya sebagai sesuatu yang terpisah.
Dualisme merupakan wujud dari pengingkaran akan eksistensi Allah yang transenden. Alkitab
mengajarkan kita bahwa segala ilmu pengetahuan berasal dari Allah. Ini berarti bahwa keseluruhan
pengetahuan pada akhirnya harus membawa kita kepada pengenalan akan Allah. Sekolah Kristen
bertanggung jawab menjadi garam dan terang guna membantu mengembalikan pemahaman kita
tentang pendidikan yang Allah mau. Untuk mengetahui apa yang Allah mau tidaklah mudah, kita
perlu melandaskan segala pemahaman kita pada Alkitab dan perlu karunia dari Roh Kudus. Maka
dari itu, pendidikan Kristen mendidik siswa berdasarkan pada prinsip Alkitabiah. Oleh sebab itu,
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji bagaimana pendidikan Kristen menyikapi
dualisme pendidikan. Solusi yang diberikan adalah mengubah landasan berpikir yang sebelumnya
dualisme menjadi monoisme. Data yang diperoleh berdasarkan mata kuliah teologi yang sudah
diterima sepanjang perkuliahan beserta didukung sumber-sumber buku para ahli. Penelitian ini
dilakukan dengan metode kajian literatur, dimana penulis mensintesiskan hasil teori dari sumber-
sumber buku, jurnal, dan pengalaman belajar sistematika teologi.

Referensi: 30 (1976 - 2019).

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah

diberikan-Nya, sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.

Tugas Akhir dengan judul “BAGAIMANA PENDIDIKAN

KRISTEN MENYIKAPI DUALISME PARADIGMA

PENDIDIKAN DI INDONESIA?” ini ditujukan untuk memenuhi sebagian

persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Fakultas Ilmu Pendidikan

Strata Satu Universitas Pelita Harapan, Tangerang.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai

pihak, Tugas Akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan Tugas Akhir ini, yaitu kepada:

1. Connie Rasilim, S.S., B.Ed., M.Pd, selaku Dekan Fakultas Ilmu

Pendidikan.

2. Dr. Dylmoon Hidayat, selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Matematika.

3. Melda Jaya Saragih, M.Pd, selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan banyak memberikan masukan kepada

penulis.

4. Orang Tua, Adik saya dan teman-teman 16IMM1A serta teman kamar

yang sudah mendukung saya dengan bertukarpikiran.

iv
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan

dalam Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat

bermanfaat bagi penulis. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak yang membacanya.

Tangerang, September 2019

Lany Isaura Febriana Gultom

v
DAFTAR ISI

halaman
HALAMAN JUDUL

ABSTRAK ............................................................................................................ iii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi

LATAR BELAKANG ........................................................................................... 8

LANDASAN TEORITIS ...................................................................................... 9

PEMBAHASAN .................................................................................................. 23

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 29

vi
BAGAIMANA PENDIDIKAN KRISTEN MENYIKAPI DUALISME
PARADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA?

Lany Isaura Febriana Gultom


lg7975@student.uph.edu
Fakultas Ilmu Pendidikan Teachers College
Program Studi Pendidikan Matematika

ABSTRAK

Sistem pendidikan nasional di Indonesia kini dipengaruhi oleh paham dualisme yang mengakibatkan
ada pengelompokkan antara pendidikan umum dan pendidikian agama. Pada akhirnya membuat kita
memandang antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang lainnya sebagai sesuatu yang terpisah.
Dualisme merupakan wujud dari pengingkaran akan eksistensi Allah yang transenden. Alkitab
mengajarkan kita bahwa segala ilmu pengetahuan berasal dari Allah. Ini berarti bahwa keseluruhan
pengetahuan pada akhirnya harus membawa kita kepada pengenalan akan Allah. Sekolah Kristen
bertanggung jawab menjadi garam dan terang guna membantu mengembalikan pemahaman kita
tentang pendidikan yang Allah mau. Untuk mengetahui apa yang Allah mau tidaklah mudah, kita
perlu melandaskan segala pemahaman kita pada Alkitab dan perlu karunia dari Roh Kudus. Maka
dari itu, pendidikan Kristen mendidik siswa berdasarkan pada prinsip Alkitabiah. Oleh sebab itu,
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji bagaimana pendidikan Kristen menyikapi
dualisme pendidikan. Solusi yang diberikan adalah mengubah landasan berpikir yang sebelumnya
dualisme menjadi monoisme. Data yang diperoleh berdasarkan mata kuliah teologi yang sudah
diterima sepanjang perkuliahan beserta didukung sumber-sumber buku para ahli. Penelitian ini
dilakukan dengan metode kajian literatur, dimana penulis mensintesiskan hasil teori dari sumber-
sumber buku, jurnal, dan pengalaman belajar sistematika teologi.

Kata Kunci: Dualisme, Pendidikan Kristen, Prinsip Alkitabiah

ABSTRACT

The national education system in Indonesia is now influenced by dualism, which results in a
grouping between general education and religious education. In the end, it makes us see religion and
other sciences as something separated. Dualism is a manifestation of transcendent God. The Bible
teaches us that all knowledge comes from God, This means that the overall knowledge must
ultimately lead us to the knowledge of God. Christian schools are responsible for being the salt and
light to help restoring our understanding of education that God wants. To know what God wants is
not easy, we need to base our understanding on the Bible and need a gift from the Holy Spirit.
Therefore, Christian education educates students based on biblical principles. Thus, this research
aims to examine how Christian education addresses the dualism of education. The solution given is
to change the foundation of thinking that previously was dualism into monoism. Data obtained is
based on the theological courses that have been accepted throughout the lectures and are supported
by expert sources. This research was conducted with the literature review method, where the authors
synthesized the theoritical results from the sources of books, journals, and theological learning
experiences.

Keywords: Dualism, Christian Education, Biblical Principle

vii
LATAR BELAKANG

Menurut Hasbullah, pendidikan merupakan bimbingan terhadap perkembangan

manusia kepada sebuah tujuan pendidikan (2017). Sebuah sistem pendidikan selalu

bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan filsafat tertentu.

Sistem pendidikan Nasional di Indonesia dijiwai, didasari, dan mencerminkan identitas

Pancasila, cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tersimpul dalam UUD 1945

(Jalaluddin & Abdullah, 2016). Sama halnya dengan tujuan pendidikan Indonesia, pasti

berakar pada pancasila sila pertama yang berasas pada Ketuhanan yang Maha Esa.

Lamatenggo & Uno berpendapat bahwa pendidikan merupakan aktivitas sadar

berupa bimbingan agar manusia dapat memerankan dirinya sebagai pengabdi Allah

yang bertanggung jawab (2017). Dengan demikian, berarti idealnya proses pendidikan

adalah membimbing peserta didik untuk melakukan tanggung jawabnya kepada Allah.

Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa paradigma sistem pendidikan di Indonesia

mencerminkan adanya dualisme pendidikan dimana pendidikan menjadi terkotak-

kotak (Wahab, 2016).

Paham dualisme ini mengarahkan kita kepada pemisahan antara pendidikan

umum dan pendidikan agama. Pada UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 Bab II pasal 3

dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

8
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab.” Sedangkan, dalam UU SISDIKNAS No.

20 Tahun 2003 Bab VI Bagian Kesatu pasal 15 dinyatakan bahwa “Jenis pendidikan

mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan

khusus.” Kedua pasal ini menunjukkan adanya dikotomi pendidikan, yaitu dengan

adanya pendidikan agama dan pendidikan umum. Seperti selama ini, kegiatan

pendidikan agama berlangsung dengan menyendiri, kurang diintegrasikan dengan

pendidikan lainnya. Akibatnya, ilmu-ilmu agama terpisahkan dengan ilmu-ilmu dunia

(Siswanto, 2019). Padahal, untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, kita tidak bisa mengkotak-kotakannya ke dalam aspek-aspek

tertentu. Kita tidak bisa menjadi manusia saleh jika hanya paruh waktu saja.

Agama adalah hal yang fundamental dalam keseluruhan hidup manusia. Kita

tidak bisa membagi hidup kita menjadi bagian rohani dan bagian sekuler, karena kita

dipanggil Dia untuk melayani dalam semua perbuatan kita, dengan hati yang tidak

terbagi-bagi (Brummelen, 2009). Oleh sebab itu, paper ini ditulis dengan tujuan

mengkaji bagaimana pendidikan Kristen menyikapi dualisme paradigma pendidikan di

Indonesia.

LANDASAN TEORITIS

BAGAIMANA IDEALNYA PELAKSANAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA?

Sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan di Indonesia, berikut ini

beberapa pendapat para ahli mengenai definisi pendidikan (Hasbullah, 2017).

9
1. Menurut Langeveld, pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan

bantuan yang diberikan kepada anak dengan tujuan sebagai pendewasaan, atau

membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.

Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (diciptakan orang dewasa seperti

sekolah, buku, melalui pengalaman hidup, dan sebagainya) dan ditujukan

kepada orang yang belum dewasa (anak).

2. Menurut John Dewey, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-

kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan

sesama manusia.

3. Menurut J.J. Rousseau, pendidikan memberi kita perbekalan yang tidak ada

pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.

4. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup

tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala

kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan

sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan

yang setinggi-tingginya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan diperoleh melalui pengalaman yang

dimiliki seseorang, tujuannya adalah agar kita cakap dalam aspek sosial, emosional,

spiritual, fisikal, maupun intelektual. Namun, yang tak kalah penting adalah pendidikan

berlangsung seumur hidup (setiap saat selama ada pengaruh lingkungan), dalam segala

lingkungan hidup, baik yang khusus diciptakan untuk kepentingan pendidikan maupun

10
yang ada dengan sendirinya, bentuk kegiatan dari pendidikan bisa tidak disengaja

maupun dengan yang terprogram (Mudyahardjo, 2012).

Sistem pendidikan di Indonesia merupakan pendidikan yang dalam

pelaksanaannya bertumpu dan dijiwai oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut UU RI tentang SISDIKNAS No. 20

Bab II pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ini menunjukkan bahwa pendidikan

di Indonesia harus mengarahkan siswa untuk mengabdi kepada Tuhan dengan

menggunakan segala potensinya.

Menurut UU RI No 20 tahun 2003, jalur pendidikan yang ada di Indonesia

dibagi menjadi 3 jenis, yaitu pendidikan formal, informal dan nonformal. Pada pasal

13-Pasal 25 disebutkan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang

terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar yang mencakup SD/MI,

pendidikan menengah yang mencakup SMP/M.Ts dan SMA/SMK/MA, perguruan

tinggi yang mencakup sekolah tinggi, akademi, dan universitas. Lembaga formal

tersebut bisa disebut sebagai satu organisasi, karena terikat kepada tata aturan formal,

berprogram, dan bertarget atau bersasaran yang jelas, serta memiliki struktur

kepemimpinan penyelenggaraan atau pengelolaan yang pasti atau resmi.

11
Pendidikan informal adalah pendidikan yang tidak terstruktur, karena

berkenaan dengan pengalaman yang tidak terencana dan tidak terorganisasi (Ahmadi,

2017). Pada pasal 27 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan informal

adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal yang

dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri dan

hasil pendidikannya diakui setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan Standar

Nasional Pendidikan, sebagaimana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pada pasal 26, menjelaskan bahwa pendidikan nonformal adalah jalur

pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan

berjenjang. Pendidikan nonformal dilakukan sebagai usaha untuk mengembangkan

potensi peserta didik, misalnya dengan mengikuti bimbel, kursus atau pelatihan

tertentu. Hasil pendidikan ini dapat dihargai setara dengan pendidikan formal jika telah

melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah

dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Beberapa karakteristik yang hendaknya dimiliki guru yaitu kematangan diri

yang stabil, kematangan sosial yang stabil, dan kematangan profesional (kemampuan

mendidik) (Tanlain, et al., 1992). Contoh kematangan diri yang stabil adalah

memahami diri sendiri dan memiliki prinsip hidup serta bertindak sesuai dengan

prinsip itu (berintegritas), sehingga ia bertanggung jawab sendiri atas hidupnya, tidak

menggantungkan diri atau menjadi beban orang lain. Contoh kematangan sosial adalah

mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masyarakatnya dan mampu membina

kerja sama dengan orang lain. Contoh kematangan profesional adalah menaruh

12
perhatian, mampu memahami latar belakang peserta didik dan perkembangannya, serta

terampil dalam menggunakan cara-cara mendidik. Sedangkan, karakteristik dari

peserta didik yaitu: belum dewasa susila, masih menyempurnakan aspek tertentu dari

kedewasaannya, dan memiliki sifat-sifat dasar yang masih perlu ia kembangkan secara

terpadu, seperti kebutuhan biologis, rohani, sosial, inteligensi, emosi, kemampuan

berbicara, perbedaan individual, dan sebagainya (Meichati, 1976).

DUALISME DALAM SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Dualisme berasal dari dua kata dalam bahasa Latin yaitu “dualis” atau “duo”

dan “ismus” atau “isme”. “Duo” artinya dua, sedangkan “ismus” merujuk kepada satu

buah kata kerja. Dualisme berarti dua prinsip yang saling bertentangan. Dualisme

adalah satu sistem yang dipisahkan menjadi dua buah substansi yang berbeda, yaitu

antara hal-hal yang sekuler dan rohani. Menurut dualisme, kehidupan ritual (budi-

nonjasmani) dan hidup sekuler (badan-jasmani) adalah sesuatu yang tidak saling

berhubungan dan membawa sifatnya masing-masing (Yuana, 2010).

Paham dualisme ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles.

Saat berbicara mengenai eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan intelek, Plato

dan Aristoteles berpendapat bahwa tubuh dan jiwa, budi dan indera merupakan dua

substansi yang berbeda (Snijders, 2009). Menurut mereka, pengetahuan merupakan

bagian dari budi yang tidak ada hubungannya dengan fisik. Oleh karena itu, paham

dualisme ini melihat fakta secara mendua. Akal dan materi menjadi dua substansi yang

terpisah.

13
Dualisme pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari persoalan sejarah

bangsa Indonesia sendiri. Paham dualisme ini sudah ada sejak zaman penjajahan

Belanda, yakni satu sisi terdapat sistem pendidikan pemerintah Belanda dan di sisi lain

terdapat sistem pendidikan tradisional Islam (pesantren). Kedua jenis sistem

pendidikan tersebut dibedakan pula dari sudut tujuan. Sekolah Pemerintah Belanda

dimaksudkan untuk menghasilkan pekerja administrasi rendah untuk dipekerjakan di

Pemerintahan Belanda.Sedangkan, pesantren dimaksudkan sebagai tempat belajar dan

latihan bagi para siswa (santri) dengan berbasis pada kitab berbahasa Arab (Kurniyati,

2018). Institusi pendidikan lokal Indonesia (pesantren, meunasah, rangkang, dayah,

dan surau) inilah yang menjadi pada masa awal islamisasi.

Dalam praktek pendidikan saat ini, adanya dualisme tampak dalam UU

SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Bab VI Bagian Kesatu pasal 15, dinyatakan bahwa

“Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,

keagamaan, dan khusus.” Dualisme dalam pendidikan yaitu adanya pemisahan antara

sistem pendidikan agama dan pendidikan umum. Akibatnya, kesadaran akan

keagamaan dan ilmu pengetahuan menjadi hal yang terpisah-pisah. Dalam

operasionalnya, yakni memisahkan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran

agama, sekolah umum dengan madrasah yang pengelolaannya memiliki kebijakan

masing-masing (Wahab, 2016). Pada akhirnya, yang mampu mencapai tujuan

pendidikan nasional yang berkaitan dengan takwa kepada Tuhan dan berakhlak mulia,

hanya mereka yang menekuni pembelajaran atau pendidikan bercorak keagamaan saja.

14
APA DAMPAK YANG TERJADI AKIBAT DUALISME PENDIDIKAN?

1. Munculnya paham sekularisme. Sekularisme merupakan sebuah paham yang

hanya mengedepankan pada kebendaan semata dan memisahkan antara

kehidupan dunia dengan akhirat, bahkan paham ini selalu memperjuangkan hak

untuk bebas dari berbagai aturan-aturan dari ajaran agama, mereka

berkeyakinan bahwa semua kegiatan keputusan yang keseluruhannya berada

dan dibuat oleh manusia, tidak boleh ada peran dan campur tangan agama di

dalamnya (Jamaluddin, 2013). Tujuan utama dari paham ini adalah untuk

memisahkan antara urusan manusia dengan urusan Tuhan dalam semua aspek

kehidupan, termasuk dalam konteks pendidikan.

2. Adanya pemisahan antara pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Agama

dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemenag RI mengelola

pendidikan Islam seperti madrasah, institut agama, dan pesantren, sedangkan

Kemendikbud mengelola pendidikan yang umum seperti sekolah dasar, sekolah

menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh. Padahal,

pendidikan Islam tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam, tetapi

juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku seperti yang diajarkan

pendidikan lainnya guna membentuk manusia islamis (Wahab, 2016).

3. Penyempitan ruang lingkup agama, sehingga meninggalkan kesan bahwa

kehidupan rohani kita hanya separuh waktu. Agama menjadi tidak lagi

ditafsirkan dan didudukkan sebagai sistem norma yang mengatur segalanya,

15
melainkan, agama hanya ditempatkan pada posisi tertentu dengan tugas dan

fungsi yang teramat sempit (Yusuf, 2013).

4. Ideologi-ideologi manusia semakin bersifat humanistik. Terbukti dalam

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 Tentang

Standar Isi, semakin terlihat bahwa posisi pendidikan agama bukan diletakkan

sebagai pusat dari semua mata pelajaran yang ada. Agama memiliki ruang

tersendiri, sementara pelajaran lain berada di tempat yang lain lagi.

Keterpisahan ini semakin menegaskan ada paradigma keliru yang melandasi

struktur kurikulum dan proses penyelenggaraannya dalam sistem pendidikan

nasional di negeri ini.

5. Manusia menjadi kehilangan jati dirinya yang dipanggil sebagai penatalayan

Allah yang holistis dalam setiap aspek kehidupan.

PENDIDIKAN KRISTEN

Dalam pendidikan Kristen, Kristus adalah pusat dalam pengajaran dan

pembelajarannya. Jika pendidikan lain dalam pengajarannya mengutamakan kognitif,

afektif, dan psikomotorik siswa yang baik, pendidikan Kristen tidak sekedar pada tahap

tersebut. Pendidikan Kristen memiliki tujuan agar siswanya memperoleh transformasi

hidup dari yang sebelumnya hanya berpusat pada dunia dan hal-hal material, menuju

kepada pengenalan akan Kristus. Tak hanya itu, dalam proses pembelajarannya juga

dilandaskan atas pandangan Alkitabiah. Seorang pengajar Kristen harus percaya

sepenuhnya bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Alkitab adalah kunci dan filsafat

16
kehidupan dan pendidikan Kristen. Jika ia tidak percaya Alkitab, maka sang pengajar

akan kehilangan kunci dan tidak memiliki kebenaran untuk ditawarkan pada para murid

(Lowrie, 1978, dikutip dalam Black, 2012).

Titik berangkat dalam pendidikan Kristen yaitu didasari pada sejarah dunia

yang dijelaskan dalam empat epos utama berikut ini (Brummelen, 2012).

1. Penciptaan dunia oleh Tuhan, termasuk manusia dalam RupaNya. Tuhan

memberikan Mandat Budaya (Kejadian 1:28), memampukan kita untuk belajar

dan menggunakan pengetahuan kita di dalam kemajuan peradaban yang sesuai

norma Alkitab, dan membantu siswa untuk menjawab pertanyaan, “Apa

maksud Tuhan terhadap bidang tertentu atau budaya yang kita selidiki?”.

2. Kejatuhan manusia dalam dosa. Manusia telah jatuh ke dalam dosa dan hidup

sangat berpusat pada dunia. Akibatnya, walaupun ia baru dilahirkan, manusia

tidak terlahir baik adanya (Kejadian 1:31). Namun, Allah berjanji akan

memberikan penyelamat dari dosa. Sebelum Adam dan Hawa jatuh ke dalam

dosa, memberikan perintah untuk mengasihi Tuhan Allah di atas segalanya dan

sesama seperti diri kita sendiri (Matius 22:37-39). Oleh sebab itu, pendidikan

Kristen dirancang untuk membantu kita menyadari dan menyesali kekuatan

dosa, agar kita menjadi shalom kapan saja dan dimana saja.

3. Penebusan Allah dalam Yesus Kristus. Setelah kebangkitanNya, Ia

menambahkan pada kita Amanat Agung (Matius 28:18-20). Pendidikan Kristen

membantu siswa untuk menyelidiki apa artinya menjadi utusan Tuhan dengan

17
memakai pemikiran (pengetahuan) dan kemampuan mereka untuk

memberitakan kebaikan Allah bagi kita.

4. Pemenuhan janji Allah. Disini tugas sekolah Kristen adalah membantu siswa

untuk menanamkan pengharapan dalam menanti hidup bersama dengan Dia di

langit dan bumi yang baru.

Dalam mengajar, guru Kristen harus memperhatikan tanggungjawabnya

sebagai pelaksana visi kerajaan Allah, yakni dalam kaitannya dengan Mandat

Penciptaan, Perintah Agung, dan Amanat Agung (2008).

1. Mandat Penciptaan memanggil orang Kristen untuk terlibat dalam

pembentukan kebudayaan.

2. Perintah Agung berarti para guru seharusnya berusaha untuk menciptakan

suasana kelas yang penuh kasih satu sama lain dan menggunakan karunia-

karunia kita untuk orang lain.

3. Amanat Agung mengharuskan kita untuk menceritakan keselamatan dari Allah.

Berikut ini adalah beberapa metafora guru Kristen yang harus kita pahami

(Brummelen, 2009).

1. Sebagai seniman dan sebagai teknisi. Guru perlu mempertimbangkan strategi

mengajar yang kreatif dan respon dari siswa yang berupa keterampilan dan daya

cipta. Guru sebagai teknisi menekankan keefisienan dan pembelajaran tentang

ketepatan. Mereka menggunakan pendekatan yang sudah terstruktur untuk

mengajarkan konsep dan kemampuan secara tepat.

18
2. Sebagai fasilitator, yaitu menyediakan lingkungan dan motivasi yang tepat

untuk belajar.

3. Sebagai pembawa cerita, metafora ini dikhususkan bagi pengajar di tingkat

sekolah dasar yang menggunakan teknik membaca cerita dalam penyampaian

materi pembelajarannya.

4. Sebagai pengrajin, bila mereka menggunakan pendekatan yang reflektif, tekun

dan terampil dalam cara mengajar mereka (Tom, 1984, dikutip dalam

Brummelen, 2009).

5. Sebagai pelayan, adalah perumpamaan tentang talenta. Perumpamaan ini

menggambarkan pelayan sebagai orang yang diberikan tanggung jawab atas

pertumbuhan dan perkembangan kekayaan orang lain (Parker, 1995, dikutip

dalam Brummelen, 2009).

6. Sebagai imam, kita harus membangun komunitas belajar yang saling mengasihi

dan menyayangi di dalam kelas kita. Kita menerima semua siswa sebagaimana

adanya, dengan selalu berdoa dan mencoba memulihkan hubungan kita yang

retak akibat dosa (1 Petrus 2:9).

7. Sebagai penuntun, yaitu untuk menuntun anak muda dalam pengetahuan dan

kepekaan yang kemudian memimpin mereka untuk melayani Tuhan dan sesama

manusia melalui bakat mereka.

Beberapa karakteristik dari pendidikan Kristen yaitu (Brummelen, 2009) :

1. Pembelajaran harus terjadi dalam ketergantungan yang sungguh kepada Tuhan

(Amsal 3:5; 14:27; 1:7; Mazmur 111:10; 119:34).

19
2. Pembelajaran Kristiani bertujuan untuk mengungkapkan Hukum Tuhan dan

menerapkannya dalam ketaatan kepada Tuhan (Amsal 3:19-20; Ayub 38-41).

Sebagaimana misi sekolah Kristen tersebut maksudkan, keseluruhan dari tujuan

dari pendidikan Kristiani adalah untuk membantu dan membimbing para siswa

menjadi murid Yesus Kristus yang bertanggung jawab, yaitu sebagai pembawa

damai dan kerukunan seperti apa yang diajarkan Kristus. Mengasihi orang yang

teraniaya dan orang-orang yang memusuhi mereka, bersukacita

mempraktekkan kemurnian moral, menjauhi cinta akan harta duniawi, menjadi

pelayan yang menggunakan otoritas Tuhan untuk melayani orang lain dengan

rendah hati, dan memaksimalkan kemampuan mereka untuk melayani orang-

orang di sekeliling mereka.

Untuk memahami tujuan pendidikan Kristen, setiap tenaga pendidik Kristen

harus memahami bagaimana natur pengetahuan, natur siswa dan natur guru yang sesuai

dengan prinsip Alkitab (Zendrato & Putra, 2017).

1. Segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan ciptaan dan ide Allah. Oleh

sebab itu, ketika manusia mengeksplor, menyelidiki, dan meneliti dunia ini, ia

akan dapat menemukan Allah dalam penelitiannya, yaitu Allah yang

mahakuasa dengan segala atributNya.

2. Natur guru adalah seseorang yang memiliki panggilan dari Tuhan untuk

mengajar manusia mengenai kebenaran Firman Tuhan melalui pembelajaran di

dalam kelas.

20
3. Natur siswa adalah ciptaan Allah yang diciptakan menurut gambar dan rupa

Allah, sehingga memiliki karakter Kristus, seperti aktif, rasional, kreatif, setia,

dan bertanggung jawab. Murid juga dikaruniai pengetahuan oleh Allah,

sehingga memiliki potensi untuk memahamiNya, termasuk seluruh dunia

ciptaanNya melalui pembelajaran di kelas. Manusia merupakan gambar Allah

yang mencerminkan kemuliaan Allah (Calvin, 2013).

BAGAIMANA PENDIDIKAN KRISTEN MEMANDANG DUALISME

PENDIDIKAN?

Kurikulum Kristen mempengaruhi bagaimana cara kita memandang alam

semesta dan ide-ide yang merupakan ciptaan Allah (Brummelen, 2008). Seperti halnya

dalam implementasi kurikulum Kristen, yakni bagaimana pendidikan memandang

pengetahuan, natur guru, natur siswa dan peran guru sebagai pengajar itu sendiri.

Seorang pendidik akan gagal dalam pengajarannya jika ia tidak benar-benar

menegaskan bahwa pengetahuan berasal dari Allah. Allah menciptakan manusia

dengan rasio untuk berpikir sehat dan memiliki nilai-nilai moral dalam dirinya.

Pengetahuan dalam arti Alkitabiah menyatakan tindakan Allah yang terpuji,

menyatakan berbagai kebenaran Allah, melibatkan seluruh eksistensi manusia tidak

hanya pikiran, tetapi mencakup pelayanan yang berkomitmen (Brummelen, 2009).

Oleh sebab itu, ketika kita memisahkan pengetahuan ke dalam aspek spiritual dan fisik,

itu sama halnya dengan menyangkali kebenaran akan Allah. Dalam Alkitab, Allah

tidak pernah menunjukkan bahwa adanya pengelompokkan pengetahuan tertentu.

21
Alkitab hanya menjelaskan bahwa segala pengertian dan pengetahuan kita hendaknya

kita gunakan untuk pekerjaan yang diperintahkan Tuhan (Keluaran 36:1). Ini berarti

bahwa tidak ada pengetahuan atau pendidikan yang terpisah-pisah, karena hakikat

pengetahuan adalah satu, yaitu untuk memuliakan Allah.

Paham dualisme merupakan efek dari keberdosaan manusia. Akibat dosa,

manusia cenderung melakukan hal yang mendukakan hati Tuhan. Mereka melakukan

tindakan yang seolah-olah mereka penuh hikmat. Padahal, hati mereka yang bodoh

sudah digelapkan (Hadiwijono, 2009). Ini adalah akibat jika mereka tidak melandaskan

segala pengetahuan mereka dengan takut akan Tuhan (Amsal 1:7). Dengan

mengelompokkan pengetahuan menjadi sesuatu yang terpisah-pisah berarti kita

mengabaikan eksistensi Allah. Terutama jika kita memisahkan antara pengetahuan

tentang agama dan pengetahuan yang lainnya. Allah tidak pernah absen hadir saat kita

memakai pengetahuan-pengetahuan tertentu.

Kondisi dualisme ini diakibatkan oleh bentuk pendidikan yang pembinaannya

berdasarkan anthroposentris. Asas theosentris, masalah-masalah spiritual manusia,

hubungan yang ada antara realisasi spiritual dan esensi nilai-nilai moral, dan hubungan-

hubungan yang integral antara nilai-nilai moral dan tindakan manusia, semuanya

terkucil dari persoalan pendidikan. Padahal, hakikatnya, Allah menciptakan kita

sebagai makhluk spiritual dengan sebuah tujuan untuk memuliakan Allah (Grudem,

Bible Doctrine: Essential Teachings of the Christian Faith, 1999). Kita adalah makhluk

(berjasad), sekaligus makhluk spiritual, tidak mungkin jika hal-hal rohani terpisah dari

22
materi terpisah dari hidup seseorang. Jika demikian, kita tidak diciptakan sebagai

gambar dan rupa Allah.

Dalam konteks penatalayanan, Allah memberi tanggung jawab atas alam

ciptaanNya. Ia juga memberikan sumber-sumber berkat kepada manusia, seperti uang,

waktu, talenta, tenaga, pekerjaan dan kepandaian. Dengan mengenali bahwa Allah

adalah Pemilik atas semua karunia yang baik, maka kita sebagai orang Kristen berusaha

keras agar menjadi pelayan yang bertanggung jawab terhadap sumber-sumber yang

dipercayakan kepada kita (Gangel, 2012). Allah tidak mengelompokkan berkatnya ke

dalam aspek materi atau spiritual. Dia hanya mengatakan bahwa semuanya itu baik. Ini

mengindikasikan bahwa setiap apa yang diciptakanNya hakikatnya adalah sama.

PEMBAHASAN

Sistem pendidikan nasional di Indonesia berakar pada Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini berarti pendidikan nasional

di Indonesia juga berakar pada pancasila sila pertama yang berasas pada Ketuhanan

yang Maha Esa. Idealnya, tujuan pendidikan di Indonesia berarti membimbing siswa

memiliki pengenalan yang kemudian mengarahkan peserta didik menjadi pengabdi

Allah. Disini dikatakan berakar pada Ketuhanan Yang Maha “Esa”, berarti seharusnya

tidak ada pemisahan substansi-substansi pengetahuan atau pendidikan di dalam

pelaksanaannya. Namun, sangat disayangkan paham dualisme menjadi paradigma

sistem pendidikan di Indonesia. Bahkan, paham dualisme menjadi dasar dari Undang-

Undang RI yang mengatur sistem pendidikan nasional itu sendiri. Akibatnya, sistem

23
pendidikan tidak menjadi satu kesatuan yang utuh. Kini, paham sekularisme

bermunculan, pendidikan agama terpisah dari pendidikan umum, sehingga

mengakibatkan penyempitan ruang lingkup agama, ideologi-ideologi manusia semakin

bersifat humanistik, pada akhirnya manusia menjadi kehilangan jati dirinya yang

dipanggil sebagai penatalayan Allah yang holistis dalam setiap aspek kehidupan.

Ditengah problema ini, pendidikan Kristen menggiring kita kembali kepada

pemahaman yang holistis bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisahkan menjadi

beberapa substansi. Pazmino mengatakan bahwa pendidikan Kristen adalah upaya

sinergi ilahi dan manusiawi yang disengaja, sistematis, dan berkesinambungan untuk

membagikan atau menyesuaikan pengetahuan, nilai, sikap, keterampilan, kepekaan,

dan perilaku yang konsisten dengan iman Kristen (2016). Jadi, natur pengetahuan tidak

terpisahkan dalam roh maupun fisik manusia. Semuanya satu kesatuan, terutama tujuan

kita adalah melaksanakan tanggung jawab sebagai pengabdi Allah, atau dalam

perspektif Kristen, kita dikenal sebagai pelaksana visi kerajaan Allah. Kita

bertanggung jawab akan Mandat Penciptaan, Perintah Agung, dan Amanat Agung.

Allah memiliki tujuan saat menciptakan manusia, yaitu untuk menyembah, memuji,

dan memuliakan Allah (Hwang, 2016).

Sekolah Kristen bertanggung jawab mendidik anak agar menjadi garam dan

terang guna membantu mengembalikan pemahaman kita tentang pendidikan yang

Allah mau. Untuk mengetahui apa yang Allah mau tidaklah mudah, kita perlu

memusatkan segala pemahaman kita pada Alkitab dan perlu karunia dari Roh Kudus.

Mengapakah harus berpusat pada Alkitab? Grudem memaparkan bahwa meskipun

24
ditulis oleh manusia, semua kata-kata di Alkitab adalah perkataan Allah melaui

perantara Roh Kudus kepada para nabi, yang kemudian dituliskan ke dalam Alkitab,

dan barangsiapa tidak percaya atau tidak menaati kata-kata dalam Alkitab adalah sama

dengan tidak percaya atau tidak menaati kata-kata Tuhan (Bilangan 22:38, 2 Petrus

1:19-21, Ulangan 18:19, 1 Raja-raja 20:35,36) (1994). Sebagai bukti, dalam Perjanjian

Lama banyak frasa yang menggunakan kata: “demikianlah kata Tuhan” atau

“demikianlah kata Raja”. Ini menunjukkan bahwa perkataan yang tertulis datangnya

dari Allah. Berikutnya, dalam Perjanjian Baru, tertulis dalam 2 Timotius 3:15-17

bahwa Alkitab merupakan tuliskan yang diilhamkan Allah yang fungsinya untuk

mengajar, menyatakan kesalahan, dan mendidik orang dalam kebenaran. Dengan

demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah (yang hidup sesuai Firman Allah) akan

diperlengkapi untuk melakukan perbuatan baik. Alkitab juga tidak mungkin berdusta,

karena Allah tidak akan pernah berdusta (Titus 1:2, Ibrani 6:18). Selain itu, hal yang

terpenting adalah dalam Alkitab tertulis kisah Agung Allah mengenai empat epos

utama yang membantu kita untuk memiliki pemahaman metafisika yang utuh.

Pendidikan Kristen memiliki tujuan agar siswanya memperoleh transformasi

hidup dari yang sebelumnya hanya berpusat pada dunia atau diri sendiri, menuju

kepada pengenalan akan Kristus. Banyaknya suguhan teori-teori yang menyangkali

keberadaan Allah menjadi tantangan pendidikan di Indonesia. Demikian juga,

pendidikan Kristen memandang paham idealisme sebagai wujud dari keberpusatan

manusia yang bergantung pada pengetahuannya sendiri. Ini adalah natur dosa yang kita

miliki, bahwa menetapkan ide sendiri di atas kata-kata Tuhan yang diwahyukan

25
merupakan penolakan untuk mempercayai bahwa itu benar adalah bentuk

penyangkalan diri kita kepada Tuhan (Erickson, 1990). Disinilah tanggung jawab

utama dari pengajar Kristen untuk memimpin iman dan akademik. Pengajar yang tidak

merangkul Alkitab tidak akan mampu mengajar secara holistis antara iman dan

pengetahuan (Black, 2012).

Di sekolah Kristen kecil kemungkinan kita menghadapi orang-orang yang

menganut paham dualisme. Namun, itu menjadi tantangan bagi masyarakat pendidikan

Kristen. Terutama dalam menyatakan kasih kita kepada sesama manusia. Kita dapat

menjadi teladan dengan merangkul mereka, menawarkan sukacita, penghiburan, dan

stabilitas yang bersumber dari ketenangan di dalam Tuhan. Tak perlu buru-buru

berkomunikasi dengan menggunakan komunikasi bahasa yang agamawi, agar kita

tidak menyinggung mereka atau membuat cerminan teladan Allah dalam diri kita rusak

(Dyk, 2013). Gunakan kesempata kita untuk menunjukkan segala perpektif yang sesuai

dengan prinsip Alkitabiah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Tujuan lembaga pendidikan umum tidaklah jauh berbeda dengan pendidikan

Kristen. Hal yang membedakan yaitu pendidikan kristen dalam pembelajarannya

bersifat teosentris yang berlandaskan pada Alkitab. Mendidik yang Alkitabiah yaitu

mengarahkan siswa menjadi pelaksana visi kerajaan Allah, yakni memiliki tanggung

jawab akan Mandat Penciptaan, Perintah Agung, dan Amanat Agung. Di sekolah

Kristen peserta didik tidak hanya dididik sebagai pribadi yang bertanggung jawab dan

26
berpotensi secara akademik, melainkan dewasa secara iman Kristiani, berpartisipasi

aktif menjadi pelayan Kerajaan Allah, dan mengetahui kalau segala sesuatu yang

berasal dari Allah adalah sesuatu yang baik dan sifatnya tidak terpecah-pecah menjadi

beberapa substansi. Natur pengetahuan adalah satu kesatuan, karena sumbernya adalah

Allah yang Esa. Sebagai contoh, kita tidak pernah meninggalkan pengetahuan sains

yang kita punya ketika kita pergi ke gereja. Benar bukan? Paham dualisme lah yang

membelokkan natur pengetahuan yang Allah berikan.

Kita harus ingat bahwa semua ilmu pengetahuan pada akhirnya mengarahkan

kita untuk mengenali bagaimana Allah kita. Mungkin tujuan pemerintah

mengelompokkan jalur pendidikan agama dan pendidikan umum menjadi terpisah

dilatarbelakangi oleh maksud yang baik. Mari kita hargai hasil kerja keras mereka.

Menghormati Allah bisa juga dengan menghormati otoritas pemerintah yang

memerintah di negara kita. Oleh sebab itu, mari kita disiplinkan cara pandang kita

mengenai pendidikan dan pengetahuan sebagai satu kesatuan yang tak terpecah-pecah.

Semula dualisme kini menjadi monisme, yaitu dengan menanamkan dalam diri kita

bahwa natur pengetahuan adalah sebagai sarana yang Allah pakai untuk kita

memuliakanNya.

Saya menyadari bahwa hasil kajian yang saya tuangkan belum komprehensif

karena hanya melihat dari segi fenomena yang terjadi pada sistem pendidikan nasional

dan mengkaji dari hasil penelitian para ahli. Oleh sebab itu, saya menyarankan bagi

para calon pendidik atau pendidik Kristen untuk melakukan riset ke sekolah-sekolah

Kristen agar dapat meninjau kekontrasan antara pendidikan nasional dengan

27
pendidikan Kristen. Tujuannya agar kita sama-sama bisa mempertahankan nilai-nilai

dalam pendidikan Kristen tetap pada karakteristik sejatinya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, R. (2017). Pengantar Pendidikan: Asas & Filsafat Pendidikan. Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media.

Black, E. L. (2012). Guru. Dalam Dasar-Dasar Pendidikan Sekolah Kristen. Surabaya:

ACSI-Indonesia.

Brummelen, H. V. (2008). Batu Loncatan Kurikulum: Berdasarkan Alkitab. Jakarta:

Universitas Pelita Harapan Press.

Brummelen, H. V. (2009). Walking with God in the Classroom. Colorado Springs:

Purposeful Design Publications.

Brummelen, H. V. (2012). Memahami Rancangan Kurikulum. Dalam Dasar-Dasar

Pendidikan Sekolah Kristen. Surabaya: ACSI-Indonesia.

Calvin, Y. (2013). Institutio. Jakarta: Gunung Mulia.

Dyk, J. V. (2013). Surat-Surat untuk Lisa: Percakapan dengan Seorang Guru Kristen.

(S. Tangka, Penyunt.) Tangerang: Universitas Peita Harapan Press.

Erickson, M. J. (1990). Christian Theology. Grand Rapids: Baker Book House.

Gangel, K. O. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Alkitab. Dalam Dasar-Dasar

Pendidikan Sekolah Kristen. Surabaya: ACSI-Indonesia.

Grudem, W. (1994). Systematic Theology. Grand Rapids: Zondervan.

Grudem, W. (1999). Bible Doctrine: Essential Teachings of the Christian Faith. (J.

Purswell, Penyunt.) Grand Rapids: Zondervan.

Hadiwijono, H. (2009). Kebatinan dan Injil. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

29
Hasbullah. (2017). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Depok: Rajawali Pers.

Hwang, T. (2016). Apa Tujuan Dari Penciptaan. Korea: AMI.

Jalaluddin, H., & Abdullah, H. (2016). Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan

Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Jamaluddin. (2013). SEKULARISME: AJARAN DAN PENGARUHNYA. Jurnal

Mudarrisuna, 3(2), 309-327. doi:10.22373/jm.v3i2.273

Kurniyati, E. (2018). Memahami Dikotomi dan Dualisme Pendidikan di Indonesia.

Rausyan Fikr: Jurnal Pemikiran dan Pencerahan(1), 1-17.

Lamatenggo, N., & Uno, H. B. (2017). Landasan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Meichati, S. (1976). Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: FIP-IKIP.

Mudyahardjo, R. (2012). Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-

Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta:

RajaGrafindo Persada.

Pazmino, R. (2016). Fondasi Pendidikan Kristen: Sebuah Pengantar dalam Perspektif

Injili. Jakarta: Gunung Mulia.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi.

Siswanto. (2019). Paradigma Pendidikan Terpadu: Strategi Penguatan Pendidikan

Agama di Sekolah. Karsa: Journal of Social and Islamic Culture, 73-83.

doi:10.19105/karsa.v19i1.77

Snijders, A. (2009). Seluas Segala Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.

Tanlain, W., Kurnia, I., Samana, A., Hardjanto, G., Kusdarwati, & Niron, J. (1992).

Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia.

30
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wahab, A. (2016). DUALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA. Lentera

Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan(2), 220-229.

doi:10.24252/lp.2013v16n2a9

Yuana, K. A. (2010). The Greatest Philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6

SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Yogyakarta: ANDI.

Yusuf, K. F. (2013). Kajian Teks Kontemporer dan Klasik. Jakarta: Puslitbang Lektur

dan Khazanah Keagamaan.

Zendrato, J., & Putra, J. S. (2017). Studi Kurikulum. Tangerang: Universitas Pelita

Harapan Press.

31

Anda mungkin juga menyukai