Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK IKTERIK NEONATORUM

DISUSUN OLEH KELOMPOK II

DINI YULIAWATI

ELSA RAHMADI JANUASTUTI

ERWAN HADI

ERWIN

HUSNUL AINI

IMANSYAH

LINA AGUSTINA

WIDIA ROSA

PRODI SI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

T.A 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan
bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin
serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila
kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per
1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka
salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus,
dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran
hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati
bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan
komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas
yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada
tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
B. TUJUAN
a. Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui tentang kelainan neonates resiko tinggi yaitu mengenai
ikterus.

b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian ikterus
2. Untuk mengetahui penyebab dari ikterus neonates
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari ikterus noenatus
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan ikterus neonates
5. Untuk mengetahui jenis ikterus dan penatalaksanaannya

C. Manfaat
a. Memberitahukan kepada pembaca akan penyakit ikterus
b. Mengantisipasi jika ada tanda dan gejala ikterus pada bayi baru lahir
c. Memberitahukan kepada pembaca penatalaksanaan penyakit ikterus
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IKTERIK NEONATUS


Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena adanya
bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah
(Brooker,2001).

Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan
bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum
yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin
yang tidak dikendalikan (Markum, A.H 1991).

Ikterus adalah warna kekuningan pada kulit yang timbul pada hari ke 2-3 setelah lahir, yang
tidak mempunyai dasar patologis dan akan menghilang dengan sendirinya pada hari ke
10.(Nursalam,2005).

Ikterus adalah gejala kuning pada sclera kulit dan mata akibat bilirubin yang berlebihan di
dalam darah dan jaringan. Normalnya bilirubin serum kurang dari 9µmol/L (0,5 mg%).
Ikterus nyata secara klinis jika kadar bilirubin meningkat diatas 35 µmol/L (2 mg%) (Wim de
Jong et al. 2005).
B. ETIOLOGI IKTERIK NEONATUS
Peningkatan produksi Billirubin dapat menyebabkan:
1. Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
golongan darah ibu dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
2. Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
3. Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
4. Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
5. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol
(steroid).
6. Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek
meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
7. Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
9. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi,
Toksoplasmosis, Siphilis.
10. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
11. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

C. PATOFISIOLOGI IKTERIK NEONATUS


Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel darah
merah /RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, dimana hemoglobin
pecah menjadi heme dan globin. Globin (protein ) digunakan kembali oleh tubuh sedangkan
heme akan dirubah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.

Didalam liver bilirubin berikatan dengan protein plasma dan dengan bantuan ensim
glukoronil transferase dirubah menjadi bilirubin konjugata yang akan dikeluarkan lewat
saluran empedu ke saluran intestinal. Di Intestinal dengan bantuan bakteri saluran intestinal
akan ddirubah menjadi urobilinogen dan starcobilin yang akan memberi warna pada faeces.
Umumnya bilirubin akan diekskresi lewat faeces dalam bentuk stakobilin dan sedikit melalui
urine dalam bentuk urobilinogen.
Pada BBL bbilirubin direk dapat dirubah menjadi bilirubin indirek didalam usus karena
terdapat beta –glukoronidase yang berperan penting terhadap perubahan tersebut. Bilirubin
inddirek diserap lagi oleh usus kemudian masuk kembali ke hati .
Keadaan ikterus di pengaruhi oleh :
1) Faktor produksi yng berlebihan melampaui pengeluaran : hemolitik yang meningkat
2) Gangguan uptake dan konjugasi hepar karena imaturasi hepar.
3) Gangguan transportasi ikatan bilirubin + albumin menuju hepar , defiiensi albumin
menyebabkan semakin banyak bilirubin bebas ddalam darah yang mudah melewati
sawar otak sehingga terjadi kernicterus
4) Gangguan ekskresi akibat sumbatan ddalam hepar atau diluar hepar, karena kelainan
bawaan/infeksi atau kerusakan hepar karena penyakit lain.
D. MANIFESTASI KLINIS IKTERIK NEONATUS
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat
pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi: Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
2. Pucat : Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan
darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
3. Trauma lahir: Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup
lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah): Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan
memotong tali pusat, bayi KMK
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit) . Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis
atau eritroblastosis
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) . Sering berkaitan dengan anemia
hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat Pikirkan ke arah ikterus obstruktif,
selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.

E. KLASIFIKASI IKTERIK NEONATUS


Ikterus pada neonatorum dapat dibagi dua :
1. Ikterus fisiologi
Ikterus muncul pada hari ke 2 atau ke 3, dan tampak jelas pada hari 5-6 dan menghilang
hari ke 10. Bayi tampak biasa , minum baik , BB naik biasa. Kadar bilirubin pada bayi
aterm tidak lebih dari 12 mg /dl, pada BBLR 10 mg/dl, dan akan hilang pada hari ke-14.
Penyebab ikterus fisiologis diantaranya karena kekurang protein Y dan , enzim
glukoronil transferase yang cukup jumlahnya
2. Ikterus Patologis
 Ikterus yang muncul dalam 24 jam kehidupan ,, serum bilirubin total lebih dari 12
mg/dl.

 Peningkatan bilirubin 5 mg persen atau lebih dalam 24 jam

 Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg/dl pada bayi premature atau 12 mg/dl
pada bayi aterm.

 Ikterus yang disertai proses hemolisis

 Bilirubin Direk lebih dari mg/dl, atau kenaikan bilirubin serum mg/dl/jam atau 5
mg/dl/hari.

 Ikterus menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi aterm dan 14 hari pada
BBLR.

 Keadaan yang menyebabkan ikterus patologis adalah


 Penyakit hemolitik

 Kelainan sel darah merah

 Hemolisis : hematoma, Polisitemia, perdarahan karena trauma jalan lahir.

 Infeksi

 Kelainan metabolic : hipoglikemia, galaktosemia

 Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti :


sulfonaamida, salisilat, sodium bensoat, gentamisin,

 Pirau enterohepatik yang meninggi : obstruksi usus letak tinggi, hirschsprung.


F. PEMERIKSAAN PENUNJANG IKTERIK NEONATUS

1) Kadar bilirubin serum (total)


2) Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
3) Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
4) Pemeriksaan kadar enzim G6PD
5) Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap
galaktosemia.
6) Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT
rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP).

G. PENATALAKSANAAN IKTERIK NEONATUS


1. Fototherapi
 Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti
untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas
yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum)
akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin
dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika
cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua
isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh
darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan
diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi
oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar
mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
 Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin,
tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat
menyebabkan Anemia.
 Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl.
Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi
dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk
memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi
dan Berat Badan Lahir Rendah.
2. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
 Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
 Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
 Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
 Tes Coombs Positif
 Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
 Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
 Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
 Bayi dengan Hidrops saat lahir.
 Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
 Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah
merah terhadap Antibodi Maternal.
 Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
 Menghilangkan Serum Bilirubin
 Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan
Bilirubin

H. KOMPLIKASI IKTERIK NEONATUS


Komplikasi Terjadi kernicterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin
indirek pada otak dengan gambaran klinik:
1. Letargi/lemas
2. Kejang
3. Tak mau menghisap
4. Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus
5. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus,
kejang
6. Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental.
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATA

1. Pengkajian
a. Anamnese orang tua/keluarga
 Ibu dengan rhesus ( - ) atau golongan darah O dan anak yang mengalami
neonatal ikterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis ( Rh,
ABO, incompatibilitas lain golongan darah). Ada sudara yang menderita
penyakit hemolitik bawaan atau ikterus, kemungkinan suspec
spherochytosis herediter kelainan enzim darah merah. Minum air susu ibu ,
ikterus kemungkinan kaena pengaruh pregnanediol
b. Riwayat kelahiran:
 Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi berlebihan
merupakn predisposisi terjadinya infeksi
c. Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan
 akan mengakibatkan gangguan nafas (hypoksia) , acidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubn.
d. Bayi dengan apgar score rendah
 memungkinkan terjadinya (hypoksia) , acidosis yang akan menghambat
konjugasi bilirubin.
e. Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ tubuh (hepar).
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas menurun
b. Kepala leher
 Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput / mukosa pada mulut. Dapat
juga diidentifikasi ikterus dengan melakukan Tekanan langsung pada daerah
menonjol untuk bayi dengan kulit bersih ( kuning)
c. Dapat juga dijumpai cianosis pada bayi yang hypoksia
d. Dada : Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda peningkatan
frekuensi nafas.
e. Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, kususnya ikterus yang disebabkan
oleh adanya infeksi
f. Perut
1. Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati. Hal ni
berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan photo terapi.
2. Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan photo terapi. Perut membuncit,
muntah , mencret merupakan akibat gangguan metabolisme bilirubun
enterohepatik
g. Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan Sepsis bacterial,
tixoplasmosis, rubella
h. Urogenital : Urine kuning dan pekat, adanya faeces yang pucat / acholis / seperti
dempul atau kapur merupakan akibat dari gangguan / atresia saluran empedu
i. Ekstremitas: Menunjukkan tonus otot yang lemah
j. Kulit : Tanda dehidrasi titunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas menurun,
perdarahan baah kulit ditunjukkan dengan ptechia, echimosis.
k. Pemeriksaan Neurologis adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain – lain
menunjukkan adanya tanda – tanda kern – ikterus
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan intake tidak adekuat dan
kemapuan menghisap turun

Tujuan: Meningkatkan dan menjaga asupan kalori dan status gizi bayi

Kriteria hasil :
1. Menerima nutrisi yang adekuat untuk pertumbuhan sesuai dengan umur dan
kebutuhan
2. Mendemonstrasikan peningkatan ketrampilan dalam cara makan yang sesuai
dengan kemampuan perkembangannya

INTERVENSI RASIONAL
1. Mulai pemberian makan sementara 1. Pemberian makan perselang mungkin
dengan menggunakan selang sesuai indikasi perlu untuk memberikan nutrisi adekuat
pada bayi yang telah mengalami koordinasi,
menghisap yang buruk dan reflek menelan
atau yang menjadi lelah selama pemberian
makan
2. Pemasukan makanan ke dalam lambung
2. Masukkan ASI atau formula dengan yang terlalu cepat dapat menyebabkan
perlahan selama 10 menit pada kecepatan 1 respons balik cepat dengan regurgitasi
ml/mnt peningkatan resiko aspirasi dan distensi
abdomen, semua ini menurunkan status
pernafasan
3. Stress dingin hypoxia, dan penanganan
yang berlebih meningkatkan laju
3. Pertahankan termonetral lingkungan dan metabolisme dan kebutuhan kalori bayi,
oksigenasi jaringan dengan tepat.Gangguan kemungkinan memperlambar pertumbuhan
pada bayi harus seminimal mungkin dan peningkatan berat badan
4. Pertumbuhan dan peningkatan BB adalah
kriteria untuk penentuan kebutuhan kalori
4. Catat pertumbuhan dengan membuat untuk menyesuaikan formula dan untuk
pengukuran BB setiap hari dan setiap menentukan frekuensi pemberian
minggu dari panjang badan dan lingkar makan. Pertumbuhan
kepala mendorong peningkatan kebutuhan kalori
dan kebutuhan energy
5. Bayi kurang dari 1250 gr (2 bl 12 OZ)
diberi makan setiap jam, bayi antara 1500
dan 1800 (3 bulan OZ sampai 4 bl) diberi
makan setiap 3 jam
5. Beri makan sesering mungkin sesuai
indikasi berdasarkan BB bayi dan perkiraan
kapasitas lambung

b. Resiko infeksi berhubungan dengan defisiensi immunologi

Tujuan : pasien tidak menunjukan adanya tanda-tanda peradangan

Kriteria hasil:
1) Pasien bebas dari tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolesa)
2) Orang tua akan mengidentifikasi faktor yang tepat

INTERVENSI RASIONAL
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah 1. Meminimalkan introduksi bakteri dan
merawat bayi penyebaran infeksi
2. Observasi bayi terhadap abnormalitas 2. Abnormaliotas ini mungkin merupakan
kulit (misal : lepuh, pethiciae, pustule, tanda-tanda infeksi
pucat)
3. Pakai sarung tangan saat bersentuhan 3. Membantu mencegah kontaminasi silang
dengan secret terhadap bayi
4. Mencegah terjadi penularan infeksi pada
4. Jauhkan bayi dari sumber infeksi bayi
5. Lakukan perawatan tali pusat secara 5. Menjaga tidak terjadi infeksi
aseptik dan mempertahankan tetap bersih
dan kering

c. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan bilirubin

Tujuan: Pertukaran gas kembali adekuat setelah dilakukan tindakan keperawatan.

Kriteria Hasil :
1) bayi tidak sesak napas
2) Leukosit dalam batas normal.
3) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat.

INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam. 1. Untuk mengetahui perubahan tanda-tanda
2. Monitor kedalaman dan frekuensi vital
pernapasan 2. Untuk evaluasi derajat distress
3. Observasi kulit dan membran mukosa
3. Untuk mengetahui sianosis perifer ( pada
kuku) dan sianosis sentral ( pada sekitar
4. Atur posisi tidur semi fowler/ nyaman bibir)
menurut pasien 4. Menurunkan tekanan diafragma dan
5. Kolaborasikan dengan dokter dalam melancarkan O2
pemberian O2 5. Memperbaiki / mencegah memburuknya
6. Kolaborasi dengan dokter dalam hipoksia
pemberian terapi TBC 6. Mencegah perkembangbiakan dan
mematikan mikrobakterium tuberkulosis

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake


cairan,

Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat.


Kriteria hasil :
1) Turgor kulit baik.
2) Mukosa lembab.
3) Mata tidak cekung
4) Tidak ada penurunan urine out put ( 1-3 cc/kg/BB/jam).
5) Penurunan BB dalam batas normal.
6) Tidak ada perubahan kadar elektrolit tubuh.

INTERVENSI RASIONAL
1. Pemberian cairan dan elektolit sesuai 1. Memenuhi kebutuhan cairan sehingga
protokol. tubuh akan terpenuhi untuk menjamin
keadekuatan
2. Kaji status hidrasi, ubun-ubun, mata, 2. Dapat menentukan tanda-tanda dehidrasi
turgor, membran mukosa. dengan tepat
3. Kaji pemasukan dan pengeluaran cairan 3. Mengetahui keseimbangan antara
masukan dan pengeluaran
4. Monitor TTV 4. Mengetahui status perkembangan pasien
5. Perpindahan cairan atau elektrolit,
5. Kaji hasil test elektrolit penurunan fungsi ginjal dapat
meluas mempengaruhi penyembuhan
pasien

e. Risiko tinggi hipotermia dan hipertermia berhubungan dengan sistem pengaturan


suhu tubuh yang belum matang

Tujuan: Menjaga suhu tubuh dalam batas normal yaitu 36 – 37,5 oC

Kriteria hasil :
1) Mempertahankan suhu tubuh normal 36 – 37,5 oC
2) Akral hangat
3) Tidak sianosis
4) Badan berwarna merah
INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi suhu dengan sering, ulangi 1. Hipotermia membuat bayi cenderung pada
setiap 5 menit selama penghatan ulang stress dingin, penggunaan simpanan lemak
coklat yang tidak dapat diperbaiki bila ada
dan penurunan sensitivitas untuk
meningaktkan kadarCO2 (hiperkapnea dan
penurunan kadar O2 (hipoksia)
2. Tanda-tanda ini menandakan stress dingin
yang meningkatkan O2dan kalori serta
2. Perhatikan adanya takipnea atau apnea, membuat bayi cenderung pada asidosis
cyanosis, umum, akrosianosi atau kulit berkenaan dengan metabolic anaerobic
belang, bradikardia, menangis buruk, letargi,3. Mempertahankan lingkungan
evaluasi derajat dan lokasi icterik termometral, membantu mencegah stress
3. Tempatkan bayi pada penghangat, dingin
isolette, incubator, tempat tidur terbuka
dengan penyebar hangat, atau tempat tidur
bayi terbuka dengan pakaian tepat untuk
bayi yang lebih besar atau lebih tua
4. Gunakan lampu pemanas selama 4. Menjaga suhu tubuh bayi dalam batas
prosedur. Tutup penyebar hangat atau bayi normal
dengan penutup plastic atau kersta
aluminum bila tepat. Objek panas berkontak
dengan tubuh bayi seperti stetoskop
5. Ganti pakaian atau linen tempat tidur bila
basah. Pertahankan kepala bayi tetap
tertutup 5. Menurunkan kehilangan panas melalui
evaporasi
DAFTAR PUSTAKA

Wong. 1999. Nursing Care of Infants Children. Mosby Year Boodc Philadelphia.

Markum, A.H. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. JiliI. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI. Jakarta.

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Terjemahan Tim
PSIK Unpad. Jakarta: EGC.

Klaus and Forotaff. 1998. Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Wim de Jong et al. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi NANDA dan NIC-NOC: Jilid 2.
Yogyakarta : Media Action

Anda mungkin juga menyukai