Anda di halaman 1dari 3

Berdasarkan deskripsi karakteristik pasien, penderita katarak yang

menjalani operasi dalam penelitian ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki

(58,3%) daripada perempuan (41,7%), sementara banyak sumber yang

menyebutkan bahwa kejadian katarak pada perempuan lebih tinggi daripada

laki-laki. Penelitian Hutasoit (2010) di Kabupaten Tapanuli Selatan bahwa

sebagian besar penderita katarak adalah perempuan (71,11%). Penelitian

Erman dkk (2014) yang dilakukan di instalasi rawat jalan (Poli Mata) Rumah

Sakit dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas juga melaporkan bahwa katarak

lebih banyak ditemukan pada perempuan (56,3%) daripada laki-laki (43,7%).

Laporan Statistik Indonesia (2011) juga menyebutkan bahwa prevalensi

penderita katarak didominasi oleh perempuan karena usia harapan hidup

perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Perbedaan kejadian katarak dalam

penelitian ini dengan yang dilaporkan sebelumnya bisa disebabkan karena

laki-laki lebih banyak bekerja di luar rumah dan berpeluang lebih banyak

terpapar sinar matahari dibandingkan dengan perempuan. Hutasoit (2010)

melaporkan petani lebih berisiko mengalami kebutaan akibat katarak pada

dua mata (82,86%) daripada perempuan (7,14%). Jenis kelamin dalam

penelitian ini terkait dengan besar astigmatisma 1 minggu pasca operasi

katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.

Umur pasien katarak dalam penelitian ini berkisar antara 41-85 tahun

dan penderita katarak yang menjalani operasi lebih banyak ditemukan pada

usia 71-80 tahun (52,8%), sedangkan yang dioperasi pada usia 41-60 tahun

sebanyak 11,2%. Laporan Infodatin (2014) juga menunjukkan bahwa


kesediaan penderita katarak yang berusia dibawah 55 tahun untuk melakukan

operasi katarak juga rendah yaitu sekitar 16-22%. Kesediaan penderita

katarak untuk menjalani operasi terkait dengan berbagai faktor meskipun saat

ini layanan operasi katarak secara gratis telah banyak ditawarkan.

Pengetahuan, sikap, dan dukungan keluarga berhubungan terhadap tindakan

untuk melakukan operasi katarak (Fitria, 2015). Umur dalam penelitian ini

juga tidak terkait dengan besar astigmatisma 1 minggu pasca operasi katarak

dengan teknik fakoemulsifikasi.

Berdasarkan derajat katarak, operasi katarak dalam penelitian ini lebih

banyak ditemukan pada katarak derajat II (58,3%). Pemilihan operasi katarak

terkait dengan kesadaran pada diri penderita katarak sehingga penderita

katarak tidak menunggu kataraknya menjadi lebih parah, karena ketajaman

visual tidak akan meningkat jika pasien memiliki fungsi retinal dan makular

yang buruk sebelum dilakukan operasi (An, dkk., 2015). Derajat katarak

dalam penelitian ini juga terbukti berhubungan dengan besar astigmatisma

pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.

Berdasarkan teknik insisi, derajat astigmatisma pada teknik insisi

korneal adalah sebesar -0,26 ± 0,46 D sedangkan pada teknik insisi limbus

sebesar -0,22 ± 0,65 D namun secara statistik perbedaan derajat astigmatisma

tersebut tidak signifikan. Derajat astigmatisma satu minggu pasca operasi

katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dengan insisi korneal dan limbal

sama-sama menghasilkan astigmatisma di tingkatan moderat berkisar antara

0,25-0,75 dioptri (Buratto, 2006).


Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Goggin

(2000) bahwa kejadian astigmatisme pascabedah katarak metode insisi

skleral dengan flap sklera lebih rendah dibandingkan dengan insisi limbal

dan proporsi stabilisasi astigmatisme lebih tinggi pada kelompok insisi

skleral dibanding dengan kelompok insisi limbal, yaitu pada minggu ke-8.

Teknik insisi korneal dan limbal dalam penelitian ini tidak mempengaruhi

besar astigmatisma karena masing-masing teknik memiliki keunggulan dan

kelebihan tersendiri. Teknik insisi korneal pada metode fakoemulsifikasi

dibuat pada bagian kornea sebelah perifer, sehingga insisi ini sama sekali

tidak menyebabkan perdarahan. Insisi limbus dilakukan dari arah superior

menuju bagian posterior limbus yaitu 1-2mm, membuat penyembuhan luka

di lokasi tersebut dapat lebih cepat sehingga memberikan kestabilan refraksi

yang lebih cepat (Henderson, 2014). Teknik insisi limbus memiliki beberapa

kelebihan, yaitu tahan terhadap trauma panas dan tidak mengakibatkan

perubahan kelengkungan kornea, sehingga astigmatisma pasca bedah sangat

minimal (Soekardi, 2004).

Tekanan intraokular juga merupakan faktor yang berperan penting

dalam terjadinya astigmatisme pascabedah katarak, dan tekanan intraokular

dalam penelitian ini tampaknya belum dapat dikendalikan.

Anda mungkin juga menyukai