Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian tentang perbedaan derajat astigmatisma pasca operasi

katarak dengan metode fakoemulsifikasi ini dilakukan pada 36 mata yang

terbagi dalam 2 (dua) jenis teknik insisi yaitu 18 menggunakan teknik insisi

korneal dan 18 teknik insisi limbal. Derajat astigmatisma diukur 1 (satu)

minggu pasca operasi. Karakteristik pasien katarak yang menjadi sampel

dalam penelitian ini sebagai berikut:

Tabel 4.1 Deskripsi karakteristik pasien katarak

Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin
- Laki-laki 21 58,3
- Perempuan 15 41,7
Kelompok umur
- 41-50 tahun 2 5,6
- 51-60 tahun 2 5,6
- 61-70 tahun 12 33,3
- 71-80 tahun 19 52,8
- ≥ 81 tahun 1 2,8
Derajat katarak
- I 4 11,1
- II 21 58,3
- III 11 30,6
Teknik insisi
- Limbus 18 50,0
- Korneal 18 50,0

Berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa pasien katarak lebih

banyak pada laki-laki (58,3%) daripada perempuan (41,7%). Berdasarkan

kelompok umur, katarak lebih banyak ditemukan pada pasien umur 71-80
tahun (52,8%), dan derajat katarak yang paling banyak adalah katarak derajat

II (58,3%), sedangkan untuk bedah katarak teknik fakoemulsifikasi antara

insisi limbus dan korneal berjumlah sama (masing-masing 50%).

Deskripsi derajat astigmatisma berdasarkan karakteristik pasien

katarak yang terlibat dalam penelitian ini ditunjukkan pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Deskripsi derajat astigmatisma (d) berdasarkan karakteristik


pasien katarak
Karakteristik Mean ± SD Median (Min – Maks) p
Jenis kelamin
- Laki-laki -0,11 ± 0,27 0,00 (-1,00 – 0,00) 0,378*
- Perempuan -0,43 ± 0,77 0,00 (-1,00 – 0,00)
Kelompok umur
- 41-50 tahun -1,50 ± 0,71 -1,50 (-2,00 – -1,00) 0,063^
- 51-60 tahun 0,00 ± 0,00 0,00 (0,00 – 0,00)
- 61-70 tahun -0,27 ± 0,65 0,00 (-2,00 – 0,00)
- 71-80 tahun -0,13 ± 0,33 0,00 (-1,25 – 0,00)
- ≥ 81 tahun -0,00 ± 0,00 0,00 (0,00 – 0,00)
Derajat katarak
- I -1,06 ± 1,09 1,12 (-2,00 – 0,00) 0,006^
- II -0,21 ± 0,43 0,00 (-0,12 – 0,00)
- III 0,00 ± 0,00 0,00 (0,00 – 0,00)
Keterangan: * = uji mann whitney, ^ = uji kruskal wallis

Deskripsi derajat astigmatisma berdasarkan karakteristik pasien

katarak pada tabel 4.2 memperlihatkan bahwa derajat astigmatisma terkait

dengan derajat katarak, yang ditunjukkan dari nilai p dari uji Kruskal Wallis

sebesar 0,006 (p<0,05). Derajat astigmatisma pada katarak derajat I secara

signifikan lebih tinggi daripada derajat astigmatisma pada katarak derajat II

dan III (p<0,05) (Lampiran 3), sedangkan derajat astigmatisma pada katarak

derajat II dan III secara statistik relatif sama (p>0,05).

Berikutnya untuk mengetahui apakah derajat astigmatisma pasca

operasi katarak menggunakan teknik fakoemulsifikasi tersebut menunjukkan


perbedaan yang signifikan atau tidak berdasarkan teknik insisi limbus dan

korneal dilakukan uji mann whitney dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.3 Perbedaan derajat astigmatisma (d) berdasarkan jenis insisi


teknik fakoemulsifikasi bedah katarak
Jenis insisi Mean ± SD Median (Min – Maks) p
- Limbus -0,22 ± 0,65 0,00 (-2,00 – 0,00) 0,192
- Korneal -0,26 ± 0,46 0,00 (-1,25 – 0,00)

Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan

derajat astigmatisma pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi

antara teknik insisi limbus dan insisi korneal (p>0,05), dengan demikian

hipotesis dalam penelitian ini yang menyatakan ada perbedaan derajat

astigmatisma pasca operasi katarak dengan metode fakoemulsifikasi dengan

teknik insisi korneal dan insisi limbus ditolak.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan deskripsi karakteristik pasien, penderita katarak yang

menjalani operasi dalam penelitian ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki

(58,3%) daripada perempuan (41,7%), sementara banyak sumber yang

menyebutkan bahwa kejadian katarak pada perempuan lebih tinggi daripada

laki-laki. Penelitian Hutasoit (2010) di Kabupaten Tapanuli Selatan bahwa

sebagian besar penderita katarak adalah perempuan (71,11%). Penelitian

Erman dkk (2014) yang dilakukan di instalasi rawat jalan (Poli Mata) Rumah

Sakit dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas juga melaporkan bahwa katarak

lebih banyak ditemukan pada perempuan (56,3%) daripada laki-laki (43,7%).

Laporan Statistik Indonesia (2011) juga menyebutkan bahwa prevalensi

penderita katarak didominasi oleh perempuan karena usia harapan hidup


perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Perbedaan kejadian katarak dalam

penelitian ini dengan yang dilaporkan sebelumnya bisa disebabkan karena

laki-laki lebih banyak bekerja di luar rumah dan berpeluang lebih banyak

terpapar sinar matahari dibandingkan dengan perempuan. Hutasoit (2010)

melaporkan petani lebih berisiko mengalami kebutaan akibat katarak pada

dua mata (82,86%) daripada perempuan (7,14%). Jenis kelamin dalam

penelitian ini tidak terkait dengan besar astigmatisma 1 minggu pasca operasi

katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.

Umur pasien katarak dalam penelitian ini berkisar antara 41-85 tahun

dan penderita katarak yang menjalani operasi lebih banyak ditemukan pada

usia 71-80 tahun (52,8%), sedangkan yang dioperasi pada usia 41-60 tahun

sebanyak 11,2%. Laporan Infodatin (2014) juga menunjukkan bahwa

kesediaan penderita katarak yang berusia dibawah 55 tahun untuk melakukan

operasi katarak juga rendah yaitu sekitar 16-22%. Kesediaan penderita

katarak untuk menjalani operasi terkait dengan berbagai faktor meskipun saat

ini layanan operasi katarak secara gratis telah banyak ditawarkan.

Pengetahuan, sikap, dan dukungan keluarga berhubungan terhadap tindakan

untuk melakukan operasi katarak (Fitria, 2015). Umur dalam penelitian ini

juga tidak terkait dengan besar astigmatisma 1 minggu pasca operasi katarak

dengan teknik fakoemulsifikasi.

Berdasarkan derajat katarak, operasi katarak dalam penelitian ini lebih

banyak ditemukan pada katarak derajat II (58,3%). Pemilihan operasi katarak

terkait dengan kesadaran pada diri penderita katarak sehingga penderita


katarak tidak menunggu kataraknya menjadi lebih parah, karena ketajaman

visual tidak akan meningkat jika pasien memiliki fungsi retinal dan makular

yang buruk sebelum dilakukan operasi (An, dkk., 2015). Derajat katarak

dalam penelitian ini juga terbukti berhubungan dengan besar astigmatisma

pasca operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.

Berdasarkan teknik insisi, derajat astigmatisma pada teknik insisi

korneal adalah sebesar -0,26 ± 0,46 D sedangkan pada teknik insisi limbus

sebesar -0,22 ± 0,65 D namun secara statistik perbedaan derajat astigmatisma

tersebut tidak signifikan. Derajat astigmatisma satu minggu pasca operasi

katarak dengan teknik fakoemulsifikasi dengan insisi korneal dan limbal

sama-sama menghasilkan astigmatisma di tingkatan rendah berkisar antara

0,00 - 0,50 dioptri (Buratto, 2006).

Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Goggin

(2000) bahwa kejadian astigmatisme pascabedah katarak metode insisi

skleral dengan flap sklera lebih rendah dibandingkan dengan insisi limbal

dan proporsi stabilisasi astigmatisme lebih tinggi pada kelompok insisi

skleral dibanding dengan kelompok insisi limbal, yaitu pada minggu ke-8.

Teknik insisi korneal dan limbal dalam penelitian ini tidak mempengaruhi

besar astigmatisma karena masing-masing teknik memiliki keunggulan dan

kelebihan tersendiri. Teknik insisi korneal pada metode fakoemulsifikasi

dibuat pada bagian kornea sebelah perifer, sehingga insisi ini sama sekali

tidak menyebabkan perdarahan. Insisi limbus dilakukan dari arah superior

menuju bagian posterior limbus yaitu 1-2mm, membuat penyembuhan luka


di lokasi tersebut dapat lebih cepat sehingga memberikan kestabilan refraksi

yang lebih cepat (Henderson, 2014). Teknik insisi limbus memiliki beberapa

kelebihan, yaitu tahan terhadap trauma panas dan tidak mengakibatkan

perubahan kelengkungan kornea, sehingga astigmatisma pasca bedah sangat

minimal (Soekardi, 2004). Penelitian sebelumnya didapatkan lokasi insisi

korneal dengan panjang sayatan yang sama dan grade katarak yang berbeda

akan menginduksi astigmatisma lebih besar dibandingkan dengan lokasi

insisi sklera (Steinert, 2010). Penelitian ini dilakukan pada pasien dengan

derajat katarak yang berbeda, dan terbukti terdapat perbedaan derajat

astigmatisma berdasarkan derajat katarak.

Arsitektur insisi kornea yang digunakan dalam penelitian ini tidak

diketahui, karena data tersebut tidak tersedia pada catatan medis pasien

sehingga tidak diketahui apakah jenis arsitektur yang digunakan

menyebabkan derajat astigmatisma berdasarkan insisi korneal dan limbal

menjadi tidak berbeda. Menurut Buratno (2006) terdapat 3 jenis arsitektur

insisi korneal, dari ketiga tersebut yang menginduksi astigmatisma paling

besar adalah arsitektur 3 sudut karena menyebabkan flattening kornea pada

lokasi insisi hingga sebesar 0,75-1,50 dioptri. Arsitektur 1 sudut (single

plane) menginduksi astigmatisma terkecil karena menyebabkan flattening

kornea sebesar 0 sampai 0,50 dioptri, dan arsitektur 2 sudut (two-plane

incision) menghasilkan induksi astigmatisme moderat yaitu antara 0,25-0,75

dioptri. Derajat astigmatisma pasca bedah katarak dalam penelitian

menggunakan metode fakoemulsifikasi berada pada tingkatan rendah.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini antara lain yaitu:

5.1.1. Tidak ada perbedaan derajat astigmatisma pada penderita pasca operasi

katarak dengan metode fakoemulsifikasi teknik insisi korneal dan

insisi limbus.

5.1.2. Derajat astigmatisme pasca operasi katarak dengan metode

fakoemulsifikasi teknik insisi limbus adalah sebesar -0,22 ± 0,65 D.

5.1.3. Derajat astigmatisme pasca operasi katarak dengan metode

fakoemulsifikasi teknik insisi korneal adalah sebesar -0,26 ± 0,46 D.

5.2. Saran

Saran yang dapat penulis kemukakan terkait dengan keterbatasan

penelitian ini adalah:

5.2.1. Meneliti perbedaan derajat astigmatisma pada pasien dengan derajat

katarak yang sama berdasarkan insisi korneal dan limbus pada metode

fakoemulsifikasi.

5.2.2. Meneliti derajat astigmatisma pada pasien dengan mempertimbangkan

arsitektur insisi kornea yang digunakan dan membandingkannya

dengan derajat astigmatisma pada insisi limbus.


Lampiran 2. Distribusi frekuensi karakteristik pasien katarak

Frequencies

Statistics
Jenis Kelamin kel.usia Derajat Katarak Jenis Insisi
N Valid 36 36 36 36
Missing 0 0 0 0

Frequency Table

Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 21 58.3 58.3 58.3
Perempuan 15 41.7 41.7 100.0
Total 36 100.0 100.0

kel.usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 41-50 thn 2 5.6 5.6 5.6
51-60 thn 2 5.6 5.6 11.1
61-70 thn 12 33.3 33.3 44.4
71-80 thn 19 52.8 52.8 97.2
>= 81 thn 1 2.8 2.8 100.0
Total 36 100.0 100.0

Derajat Katarak
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid I 4 11.1 11.1 11.1
II 21 58.3 58.3 69.4
III 11 30.6 30.6 100.0
Total 36 100.0 100.0

Jenis Insisi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid limbal 18 50.0 50.0 50.0
korneal 18 50.0 50.0 100.0
Total 36 100.0 100.0
Lampiran 3. Besar Astigmatisma berdasarkan karakteristik pasien katarak dan
jenis insisi

Means

Case Processing Summary


Cases
Included Excluded Total
N Percent N Percent N Percent
Besar Astigmatisma *
36 100.0% 0 0.0% 36 100.0%
Jenis Kelamin
Besar Astigmatisma *
36 100.0% 0 0.0% 36 100.0%
kel.usia
Besar Astigmatisma *
36 100.0% 0 0.0% 36 100.0%
Derajat Katarak
Besar Astigmatisma *
36 100.0% 0 0.0% 36 100.0%
Jenis Insisi

Besar Astigmatisma * Jenis Kelamin


Besar Astigmatisma
Jenis Kelamin Mean N Std. Deviation Median Minimum Maximum
Laki-laki -.1071 21 .26893 .0000 -1.00 .00
Perempuan -.4333 15 .77036 .0000 -2.00 .00
Total -.2431 36 .55255 .0000 -2.00 .00

Besar Astigmatisma * kel.usia


Besar Astigmatisma
kel.usia Mean N Std. Deviation Median Minimum Maximum
41-50 thn -1.5000 2 .70711 -1.5000 -2.00 -1.00
51-60 thn .0000 2 .00000 .0000 .00 .00
61-70 thn -.2708 12 .65243 .0000 -2.00 .00
71-80 thn -.1316 19 .32669 .0000 -1.25 .00
>= 81 thn .0000 1 . .0000 .00 .00
Total -.2431 36 .55255 .0000 -2.00 .00

Besar Astigmatisma * Derajat Katarak


Besar Astigmatisma
Derajat Katarak Mean N Std. Deviation Median Minimum Maximum
I -1.0625 4 1.08733 -1.1250 -2.00 .00
II -.2143 21 .43507 .0000 -1.25 .00
III .0000 11 .00000 .0000 .00 .00
Total -.2431 36 .55255 .0000 -2.00 .00
Besar Astigmatisma * Jenis Insisi
Besar Astigmatisma
Jenis Insisi Mean N Std. Deviation Median Minimum Maximum
limbal -.2222 18 .64676 .0000 -2.00 .00
korneal -.2639 18 .45755 .0000 -1.25 .00
Total -.2431 36 .55255 .0000 -2.00 .00
Lampiran 4. Hasil analisis normalitas data dan homogenitas varian derajat
astigmatisma berdasarkan karakteristik pasien dan jenis insisi

1. Berdasarkan jenis kelamin

Tests of Normality
Jenis Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Kelamin Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Besar Laki-laki .464 21 .000 .468 21 .000
Astigmatisma Perempuan .446 15 .000 .603 15 .000
a. Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variance


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Besar Astigmatisma Based on Mean 20.733 1 34 .000
Based on Median 3.245 1 34 .081
Based on Median and
3.245 1 18.898 .088
with adjusted df
Based on trimmed mean 16.141 1 34 .000

2. Berdasarkan kelompok usia

Tests of Normalityb,c
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
kel.usia Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Besar 41-50 thn .260 2 .
Astigmatisma
61-70 thn .494 12 .000 .487 12 .000
71-80 thn .446 19 .000 .479 19 .000
a. Lilliefors Significance Correction
b. Besar Astigmatisma is constant when kel.usia = 51-60 thn. It has been omitted.
c. Besar Astigmatisma is constant when kel.usia = >= 81 thn. It has been omitted.

Test of Homogeneity of Variancea,b


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Besar Astigmatisma Based on Mean 2.292 2 30 .118
Based on Median .746 2 30 .483
Based on Median and
.746 2 19.837 .487
with adjusted df
Based on trimmed mean 1.646 2 30 .210
a. Besar Astigmatisma is constant when kel.usia = 51-60 thn. It has been omitted.
b. Besar Astigmatisma is constant when kel.usia = >= 81 thn. It has been omitted.
3. Berdasarkan Derajat Katarak

Tests of Normalityb
Derajat Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Katarak Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Besar I .306 4 . .782 4 .074
Astigmatisma II .451 21 .000 .547 21 .000
a. Lilliefors Significance Correction
b. Besar Astigmatisma is constant when Derajat Katarak = III. It has been omitted.

Test of Homogeneity of Variancea


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Besar Astigmatisma Based on Mean 18.282 1 23 .000
Based on Median 10.547 1 23 .004
Based on Median and
10.547 1 20.477 .004
with adjusted df
Based on trimmed mean 16.076 1 23 .001
a. Besar Astigmatisma is constant when Derajat Katarak = III. It has been omitted.

4. Berdasarkan jenis insisi

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Jenis Insisi Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Besar limbal .523 18 .000 .373 18 .000
Astigmatisma korneal .385 18 .000 .627 18 .000
a. Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variance


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Besar Astigmatisma Based on Mean .088 1 34 .768
Based on Median .050 1 34 .825
Based on Median and
.050 1 30.608 .825
with adjusted df
Based on trimmed mean .005 1 34 .944
Lampiran 5. Perbedaan derajat astigmatisma berdasarkan karakteristik pasien dan
jenis insisi

1. Berdasarkan jenis kelamin

Mann-Whitney Test
Ranks
Jenis Kelamin N Mean Rank Sum of Ranks
Besar Astigmatisma Laki-laki 21 19.45 408.50
Perempuan 15 17.17 257.50
Total 36

Test Statisticsa
Besar
Astigmatisma
Mann-Whitney U 137.500
Wilcoxon W 257.500
Z -.882
Asymp. Sig. (2-tailed) .378
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .526b
a. Grouping Variable: Jenis Kelamin
b. Not corrected for ties.

2. Berdasarkan kelompok usia

NPar Tests
Kruskal-Wallis Test

Ranks
kel.usia N Mean Rank
Besar Astigmatisma 41-50 thn 2 3.25
51-60 thn 2 22.50
61-70 thn 12 19.17
71-80 thn 19 19.05
>= 81 thn 1 22.50
Total 36

Test Statisticsa,b
Besar
Astigmatisma
Chi-Square 8.923
df 4
Asymp. Sig. .063
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: kel.usia
3. Berdasarkan derajat katarak

NPar Tests
Kruskal-Wallis Test

Ranks
Derajat Katarak N Mean Rank
Besar Astigmatisma I 4 8.25
II 21 18.36
III 11 22.50
Total 36

Test Statisticsa,b
Besar
Astigmatisma
Chi-Square 10.155
df 2
Asymp. Sig. .006
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Derajat
Katarak

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks
Derajat Katarak N Mean Rank Sum of Ranks
Besar Astigmatisma I 4 6.88 27.50
II 21 14.17 297.50
Total 25

Test Statisticsa
Besar
Astigmatisma
Mann-Whitney U 17.500
Wilcoxon W 27.500
Z -2.194
Asymp. Sig. (2-tailed) .028
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .068b
a. Grouping Variable: Derajat Katarak
b. Not corrected for ties.
NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks
Derajat Katarak N Mean Rank Sum of Ranks
Besar Astigmatisma I 4 3.88 15.50
III 11 9.50 104.50
Total 15

Test Statisticsa
Besar
Astigmatisma
Mann-Whitney U 5.500
Wilcoxon W 15.500
Z -3.085
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .026b
a. Grouping Variable: Derajat Katarak
b. Not corrected for ties.

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks
Derajat Katarak N Mean Rank Sum of Ranks
Besar Astigmatisma II 21 15.19 319.00
III 11 19.00 209.00
Total 32

Test Statisticsa
Besar
Astigmatisma
Mann-Whitney U 88.000
Wilcoxon W 319.000
Z -1.727
Asymp. Sig. (2-tailed) .084
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .289b
a. Grouping Variable: Derajat Katarak
b. Not corrected for ties.
4. Berdasarkan jenis insisi

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks
Jenis Insisi N Mean Rank Sum of Ranks
Besar Astigmatisma limbal 18 20.17 363.00
korneal 18 16.83 303.00
Total 36

Test Statisticsa
Besar
Astigmatisma
Mann-Whitney U 132.000
Wilcoxon W 303.000
Z -1.305
Asymp. Sig. (2-tailed) .192
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .355b
a. Grouping Variable: Jenis Insisi
b. Not corrected for ties.

Anda mungkin juga menyukai