Nama Kelompok :
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, nikmat serta karunia-Nya yang tak
ternilai dan tak dapat dihitung sehingga kami bisa menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Makalah
yang berjudul “Persoalan Sosial di Sekitar Objek Wisata Kota Tua” ini disusun untuk memenuhi tugas
pelajaran Sosiologi Kelas XI.
Makalah ini berisikan mengenai lika-liku persoalan sosial yang terjadi di sekitar objek wisata yang ada di
Kota Tua, Jakarta. Masalah yang diangkat mulai dari masalah kemiskinan hingga kesenjangan sosial yang
telah menjadi pemandangan sehari-hari di lokasi objek wisata tersebut.
Adapun, penyusunan makalah ini kiranya masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami menghaturkan
permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini. Kamu pun berharap pembaca makalah
ini dapat memberikan kritik dan sarannya kepada kami agar di kemudian hari kami bisa membuat
makalah yang lebih sempurna lagi.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada segala pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu atas
bantuannya dalam penyusunan makalah ini.
Tim Penyusun
Syaja'ah
A. Pengertian Syaja'ah
Menurut bahasa Syaja'ah merupakan bahasa Arab yang berasal dari syaju'a-yasju'u-syaja'atan ( شجع- يشجع
- )شجاعةyang artinya berani.
Sedangkan secara istilah pengertian Syaja'ah adalah keteguhan hati, kekuatan pendirian, untuk membela
dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji.
Dalil naqli adalah dalil yang dinukil (diambil/bersumber) dari Al-Quran dan Al-Hadits (As-Sunnah).
Banyak ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan untuk bersifat Syaja'ah. Diantaranya adalah dalam QS.
Ali Imron: 139
ُمؤْ مِ نِينَ ُك ْنت ُ ْم ِإ ْن ْاْل َ ْعلَ ْونَ َوأ َ ْنت ُ ُم تَحْ زَ نُوا َو َل ت َ ِهنُوا َو َل
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." (QS. Ali Imron 3: 139)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya telah memberikan contoh syaja'ah dalam
jihad fi sabilillah. Diantaranya keberanian yang diperlihatkan ketika perang Badar. Dengan kekuatan 300
orang, mereka dengan ikhlas dan gagah berani menghadapi kekuatan kafir Quraisy yang jumlahnya tiga
kali lipat (kurang lebih 1000 orang). Dengan izin Allah, kaum muslimin memperoleh kemenangan gilang
gemilang.
"Qulil haqqa walau kaana murran" (Katakanlah yang benar/haq, meskipun pahit (akibatnya)!. Kita harus
sentiasa berani dalam mengatakan kebenaran, meskipun di hadapan penguasa zhalim. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َ عدْل َك ِل َمة ُ ْال ِج َها ِد أ َ ْف
ض ُل َ س ْل
َ َطان ِع ْند ُ َجائِر
"Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan penguasa yang zhalim" (HR. Abu
Dawud dan At-Tirmidzi)
Dalam mengatakan kebenaran membutuhkan sikap amar ma'ruf nahyi munkar. Amar ma'ruf artinya
perintah kepada kebaikan dan nahyi munkar artinya melarang/mencegah keburukan. (Amar ma'ruf nahyi
munkar: memerintah kepada kebaikan dan mencegah/melarang berbuat keburukan).Amar ma'ruf nahyi
munkar merupakan cita-cita dan nilai luhur dari umat manusia. Apabila tidak ada amar ma'ruf nahyi
munkar maka tidak akan ada ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Apabila tidak ada ketaatan
kepada Allah T'ala maka azab Allah akan datang menghampiri. Jika tidak taat kepada Allah masih aman-
aman saja tida ada adzab, maka mereka sedang diberi istidraj (dilulu). Diberikan kenikmatan, justru biar
semakin jauh dari Allah.
Dalam sebuah hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim (Muttafaq 'alaih) diriwayatkan:
Artinya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah bersabda: "Bukanlah yang dinamakan pemberani
itu orang yang kuat bergulat. Sesungguhnya pemberani itu adalah orang yang sanggup menguasai dirinya
di waktu marah". (Muttafaq 'alaihi)
- Tidak ragu-ragu
Macam-Macam Syaja'ah.
1) Syaja’ah harbiyyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian dalam medan
tempur di waktu perang.
2) Syaja’ah nafsiyyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan menegakkan kebenaran.
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut:
3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa. Dari dua macam syaja’ah (keberanian)
tersebut di atas, maka syaja’ah dapat dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni:
a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya
dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah Swt.
b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan. Kemampuan
merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah
merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.
d) Berani mengakui kesalahan salah satu orang yang memiliki sifat pengecut yang tidak mau mengakui
kesalahan dan mencari kambing hitam, bersikap ”lempar batu sembunyi tangan” Orang yang memiliki
sifat syajā’ah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan
bertanggung jawab.
e) Bersikap obyektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang cenderung bersikap “over confidence”
terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta
kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap “under estimate” terhadap dirinya yakni menganggap dirinya
bodoh, tidak mampu berbuat apaapa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas
tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif, dalam mengenali
dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
f) Menahan nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li an-nafs,
melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal
ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.
Hikmah Syaja’ah.
Dalam ajaran agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan untuk di miliki setiap muslim, sebab selain
merupakan sifat terpuji juga dapat mendatangkan berbagai kebaikan bagi kehidupan beragama berbangsa
dan bernegara. Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat mulia, cepat, tanggap,
perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai. Akan tetapi apabila seorang terlalu
dominan keberaniannya, apabila tidak dikontrol dengan kecerdasan dan keikhlasan akan dapat
memunculkan sifat ceroboh, takabur, meremehkan orang lain, unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika
seorang mukmin kurang syaja’ah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa, kecil
hati dan sebagainya
Berperilaku jujur sehari - hari penting, karena jujur adalah sifat ahlakul karimah, yaitu sifat terpuji. Jika
jujur sudah menjadi kebiasaan sehari-hari kita, maka semua pekerjaan akan terasa lebih tenang, semua
masalah akan mudah terselesaikan. Perilaku jujur bisa mendatangkan ketenangan dalam hati karena tidak
ada beban masalah. Jika kita suka berperilaku tidak jujur maka hidup kita akan senantiasa resah dan
gelisah.
Membisakan berperilaku jujur harus dari kecil agar tidak susah melakukannya. Cara membiasakan
berperilaku jujur sejak kacil misalnya diajarkan untuk tidak mengambil barang orang lain tanpa seijin
pemiliknya, mengembalikan kembalian yang terlalu banyak, mengatakan apapun sesuai dengan kenyataan,
dan lain-lain.
Kita harus menanamkan kesadaran untuk selalu berperilaku jujur dan menyadari apa akibat dari
kebohongan. Jika kita sudah bisa membiasakan berperilaku jujur maka kita mudah mendapat teman,
mudah mendapat pekerjaan, mudah mendapat kesuksesan, dipercaya oleh orang lain, dan lain - lain.
Kita harus menyadari akibat dari kebohongan, sehingga kita bisa menjauhi sifat buruk tersebut. Contoh
akibat dari kebohongan adalah hilangnnya kepercayaan orang lain terhadap kita, susah mendapatkan
teman bahkan tidak memiliki teman, susah mendapat pekerjaan karena tidak dipercaya.
1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan
kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta,
sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan
seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat
dan maksud mereka.
2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar
dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara
macam-macam kejujuran.
3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah
memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini
adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman
Allah: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-
nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal
lahir dengan amal batin,
5. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa
takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang
kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan
kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)