Anda di halaman 1dari 15

HADIST TENTANG JUAL BELI YANG

JUJUR
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
KEOMPOK 2

ANGGOTA : HARIS MUNANDAR


MUHAMMAD FADIL
BADION ZAMAN
KALKAUSAR
PRODI : HES
UNIT/SEM : 1/4
PENGASUH : BPK. AHMAD SYARBAINI,M.Ag

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH


PERGURUAN TINGGI ISLAM
AL-HILAL SIGLI
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan
kesempatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam
kepada junjungan Rasulullah SAW yang telah menuntun umat manusia ke jalan
kebenaran dan keselamatan.
Penyusunan makalah yang berjudul “Hadist tentang jual beli yang jujur“
disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Hadist ahkam Muamalah.
Penyusun banyak mendapat kesulitan baik karena keterbatasan kemampuan,
sempitnya waktu yang dapat dipergunakan untuk melakukan kegiatan penyusunan
makalah ini dan kurangnya sumber atau buku rujukan yang dipergunakan. Akan
tetapi, berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak serta usaha penulis akhirnya
makalah ini dapat diselesaikan. Atas bantuan dan arahan yang telah diberikan kepada
penulis, maka penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah berperan dalam penyusunan makalah ini.
Demi kesempurnaan makalah ini penyusun mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca. Akhirnya penulis dengan penuh harapan agar kiranya makalah ini dapat
bermanfaat bagi penyusun khususnya, bagi para pembaca pada umumnya.

SIGLI, 14 Maret 2017

Penyusun
KELOMPOK 2

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar belakang .................................................................. 1
1.2 Rumusan masalah ............................................................. 1
1.3 Tujuan Pembahasan ......................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................ 2


2.1 Pengertian, syarat dan rukun tentang jual beli. ................. 2
2.2 Hadist-hadist tentang jual beli yang jujur,
Beserta penjelasannya. ...................................................... 4
2.3 Ayat alQuran yang menjelaskan tentang jual beli. ............. 9
2.4 Hukum jual beli.. .............................................................. 10

BAB III : PENUTUP................................................................................ 11


3.1 Kesimpulan ....................................................................... 11
3.2 Saran................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah Agama yang paling diridhoi di sisi Allah SWT. Nabi Muhammad SAW
sebagai utusan Allah datang untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dalam Islam terdapat
ajaran-ajaran yang harus dipelajari dan dimengerti oleh pemeluk agama Islam seperti, haram,
halal, mubah, subhat, dan lain-lain. Kita sebagai mahluk social tentu saja sering
berkomunikasi dengan yang lainnya. Dalam kehidupan makhluk sosial terdapat jual beli
yang harus saling menguntungkan antara penjual dan pembeli. Jual beli merupakan sarana
tolong menolong antar sesama manusia. Jadi, orang yang melakukan transaksi jual beli tidak
dilihat sebagai orang yang mencari keuntungan semata, akan tetapi juga dipandang sebagai
orang yang sedang membantu saudaranya. Bagi penjual, ia sedang memenuhi kebutuhan
barang yang dibutuhkan pembeli. Sedang bagi pembeli, ia sedang memenuhi kebutuhan akan
keuntungan yang sedang dicari oleh penjual.
Dalam proses jual beli ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh penjual dan
pembeli sehingga, jika proses jual beli sudah selesai tidak ada yang dirugikan. Bagaimana
pandangan Islam dalam jual beli dan apa saja dalil-dalilnya sehingga jual beli itu merupakan
sesuatu yang halal bukan sesuatu yang haram atau syubhat. Dalam makalah ini akan
diuraiakan beberapa hadist yang menjelaskan tentang jual beli.

1.2 Rumusan Masalah


 Apa pengertian, syarat dan rukun tentang jual beli ?
 Apa saja hadist-hadist yang berkaitan tentang jual beli yang jujur, beserta
penjelasannya?
 Apa ayat alQuran yang menjelaskan tentang jual beli ?
 Bagaimana hukum jual beli?
1.3 Tujuan Pembahasan
 Agar mahasiswa mengetahui pengertian, syarat dan rukun tentang jual beli.
 Agar mahasiswa memahami hadist—hadist yang berkaitan dengan jual beli yang jujur
dan penjelasannya.
 Agar mahasiswa mengetahui ayat alQuran yang bersangkutan dengan jual beli.
 Untuk memberitahukan kepada mahasiswa tentang hukum yang berkaitan dengan jual
beli.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Jual Beli

Jual beli berasal dari kata Al-Buyu’ jama’ dari al-bai’. Kata ini merupakan mashdar,
padahal mashdar tidak dapat di jama’kan. Tapi kata ini tetap di jama’kan karena jenisnya
yang berbeda-beda. Maknanya menurut bahasa ialah mengambil sesuatu dan memberi
sesuatu. Mereka juga mengambil kata ini dari al-ba’u, satu depan, entah dimaksudkan untuk
tepukan atau untuk ikatan harga dan barang yang dihargai menurut persrtujuannnya. Lafazh
al-ba’i juga dapat diartikan membeli,yang termasuk makna kebalikan. Tapi jika diucapkan
kata al-ba’i, maka makna yang langsung bisa ditangkap darinya ialah orang yang
mengeluarkan barang dagangan atau penjual.
Adapun definisinya menurut syariat ialah tukar-menukar harta dengan harta yang
dimaksudkan untuk suatu kepemilikan, yang ditunjukkan dengan perkataan dan perbuatan.
Pembolehan jual-beli ditetapkan dalam empat sumber dalil, yaitu:
1. Kitab Allah, dalam firman-Nya, “Dan, Allah menghalalkan jual-beli” (Al-Baqarah:275).
2. As-Sunnah, dalam sabda beliau, “Orang yang berjual-beli menurut pilihannya selagi
belum saling berpisah. “Banyak disebutkan nash Al-kitab dan As-sunnah.
3. Ijma’ orang-orang Muslim yang membolehkannya.
4. Berdasarkan qiyas, karena kebutuhan kepadanya. Seseorang tidak bisa mendapatkan
apa yang dia butuhkan, jika apa yang dia butuhkan itu ada di tangan orang lain, kecuali
dengan cara tertentu.1

Syarat Jual Beli adalah Sebagai Berikut:


1. Keadaan bendanya suci.
2. Bendanya dapat diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
3. Bendanya dapat diterimakan atau diserahkan kepada pihak pembeli.
Rukun Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1. Barang yang dijual belikan.
2. Orang yang membeli dan menjual barang.
3. Ijab qobul.2

1
Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul
Falah, 2002), Hal. 57

2
Imron Abu Amar, Edisi Indonesia: Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), Hal. 229

2
Adapun shighat untuk mengikatnya, yang benar ialah seperti yang dikatakan
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, bahwa hal itu dapat dilakukan dengan perkataan atau
perbuatan macam apa pun, yang memang dianggap manusia sebagai jual-beli, baik secara
langsung maupun tidak langsung, karena Allah tidak bermaksud menjadikan kita sebagai
hamba yang melaksanakan ibadah dengan lafazh-lafazh tertentu, tapi yang dimaksudkan
adalah apa yang menunjukkan maknanya. Lafazh apa pun yang menunjukkannya, maka
tujuan sudah tercapai.
Manusia saling berbeda-beda dalam dialog dan istilah yang mereka pergunakan,
tergantung kepada perbedaan tempat dan waktu. Setiap zaman dan tempat memiliki bahasa
dan istilah-istilah tersendiri, dan yang dimaksudkan dari hal itu adalah makna.
Manfaat yang dapat kita ambil dari bab-bab muamalah ini ialah agar kita bisa
memahami kaidah yang sangat penting, yang memberi batasan muamalah-muamalah yang
diperbolehkan, di samping kita dapat memahami batasan-batasan muamalah yang
diharamkan, yang semua bagian-bagiannya kembali kesana. Kaidah itu ialah: Dasar hukum
dalam muamalah, berbagai jenis perniagaan dan mata pencaharian ialah halal dan
diperbolehkan, tidak ada yang mencegahnya kecuali apa yang telah diharamkan Allah dan
Rasul-Nya.
Ini merupakan dasar hukum yang besar, menjadi sandaran dalam muamalah dan
tradisi. Siapa yang mengharamkan sesuatu dari hal itu, maka dia dituntut untuk menunjukkan
dalil, karena dia berseberang dengan dasar hukum ini.
Dengan begitu dapat diketahui keluwesan syariat dan keluasannya, relevansinya untuk
setiap waktu dan tempat serta segala perkembangannya, sesuai dengan tuntutan manusia dan
kemaslahatannya.
Ini merupakan kaidah di tengah-tengah, yang pijakannya adalah keadilan dan
memperhatikan kemaslahatan kedua sisi. Berdasarkan prinsip yang agung ini, muamalah
tidak dapat dikeluarkan dari mubah kepada haram kecuali jika ada sesuatu yang memang
diperingatkan, seperti karena menjurus kepada kezhaliman terhadap salah satu pihak, seperti
riba, kedustaan, penipuan, ketidaktahuan dan pengecohan. Inilah beberapa jenis muamalah,
yang jika kita perhatikan, hal itu menjurus kepada kezhaliman terhadap salah satu pihak.
Muamalah-muamalah yang diharamkan kembali kepada batasan ini, yang tidak diharamkan
melainkan karena kerusakan dan kezhalimannya. Pembuat syariat yang Maha bijaksana lagi
Maha Pengasih mendatangkan segala sesuatu yang di dalamnya ada kemaslahatan dan
memperingatkan segala hal di dalamnya ada kerusakan.

3
Alhasil, muamalah-muamalah yang diharamkan kembali kepada beberapa batasan,
yang paling besar adalah tiga perkara berikut:
1. Riba dengan tiga macamnya, yaitu riba al-fadhl, an-nasi’ah dan al-qardhu.
2. Ketidaktahuan dan penipuan dengan berbagai macam ragam dan jenisnya.
3. Membohongi dan memperdayai dengan segala ragam dan jenisnya.3

2.2 Hadits-hadits Tentang Jual Beli dan Penjelasannya


‫نن فَ ُك ُّل‬ َّ ‫سلَّ َم أَنَّهُ قَا َل إِذَا ت َبَايَ َع‬
ِ َ‫الر ُجال‬ َ ‫عل ْي ِه َو‬
َ ُ‫ى هللا‬
َّ ‫صل‬
َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ َ ‫ع ْن ُه َما‬
ُ ‫ع ْن َر‬ َ ُ‫ضي هللا‬
َ ‫ع َم َر َر‬
ُ ‫ع ْب ِد هللاِ ب ِْن‬
َ ‫ع ِن‬
َ
‫ب ْالبَ ْي ُع َوإِ ْن‬ ِ َ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما بِ ْال ِخي‬
َ ‫ار َمالَ ْم يَتَفَ َّرقَا َو َكانَا َج ِم ْيعًا أ َ ْو يُخَيِ ُر أ َ َحد ُ ُه َما اآلخ ََرفَتَبَايَعَا‬
َ ‫علَى ذَلِكَ فَقَ ْد َو َج‬ ِ ‫َو‬
ُُ‫ب ْالبَيْع‬ َ ‫احدٌ ِم ْن ُه َما ْالبَ ْي َع َف َق ْد َو َج‬
ِ ‫تَفَ َّر َقا بَ ْعدَ أ َ ْن يَتَبَايَعَا َو َل ْم يَتْ ُر ْك َو‬
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda, jika dua orang saling berjual-beli, maka masing-masing di antara keduannya
mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai
hak, atau salah seorang di antara keduanya membei pilihan kepada yang lain, lalu keduanya
menetapkan jual-beli atas dasar pilihan itu, maka jual-beli menjadi wajib.”

‫ار َمال ْم يَتفَ َّرقَا أ َ ْو قَا َل َحتتى‬


ِ َ‫الخي‬ ِ َ‫سلَّ َم ْالبَيِع‬
ِ ِ‫ان ب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ع ْنهُ قَا َل َر‬
َ ‫س ْو ُل هللا‬ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫ع ْن َح ِكي ِْم ب ِْن ِحزَ ٍام َر‬
َ ‫اض‬ َ
‫ت بَ َر َكةُ بَ ْي ِع ِه َما‬
ْ َ‫ُوركَ لَ ُه َما فِي بَ ْي ِع ِه َما َوإِ ْن َكت َ َما َو َكذَبَا ُم ِحق‬ َ ‫يَتَفَرقَا فَا ِْن‬
ِ ‫صدَقَ َوبَينَا ب‬
“Ada hadist yang semakna dari hadist Hakim bin Hizam, dia berkata, Rasulullah
SAW bersabda, Dua orang yang berjual beli mempunyai hak pilih selagi belum berpisah,
atau beliau bersabda, Hingga keduanya saling berpisah, jika keduannya saling jujur dan
menjelaskan, maka keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barokah jual beli
itu dihapuskan.4
Sebab-sebab Turunnya Hadist
Hadist ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, dan hadist ini shahih. Hadist
tersebut dari Ibnu Umar Ra. Dari Rasulullah Saw yang menjelaskan apabila ada dua orang
melakukan jual beli maka masing-masing keduanya mempunyai hak khiyar, selama mereka
belum berpisah. Dan hadist tersebut ditunjukkan dengan perbuatan Ibnu Umar yang terkenal.
Bila kedua pihak semuanya berdiri dan pergi bersama-sama, maka hak khiyar tetap ada.

3
Kathur Suhardi, Op. Cit., h. 579.
4
Ibit, h 580.

4
Kemudian Rasulullah SAW menyebutkan sebagian dari sebab-sebab keberkahan dan
pertumbuhan, sebagian dari sebab-sebab kerugian dan kerusakan.
Sebab-sebab barakah, keuntungan dan pertumbuhan adalah kejujuran dalam
muamalah, menjelaskan aib, cacat, dan kekurangan atau sejenisnya dalam barang yang dijual.
Adapun sebab-sebab kerugian dan ketiadaan barakah ialah yang menyembunyikan cacat,
dusta dan memalsukan barang dagangan. Yang demikian itu merupakan sebab-sebab yang
hakiki tentang keberkahan di dunia, yang memberikan nilai tambah dan ketenaran bagi
dirinya, karena dia bermuamalah dengan cara yang baik, sedangkan di akhirat dia
mendapatkan pahala dan balasan yang baik. Sementara sifat kedua merupakan hakikat
hilangnya mata pencaharian, karena pelakunya bermuamalah dengan cara yang buruk,
sehingga orang lain menghindar darinya dan mencari orang yang lebih dapat dipercaya,
sedangkan di akhirat dia mendapatkan kerugian yang lebih besar, karena dia telah menipu
manusia. Rasulullah SAW, “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan termasuk golongan
kami.”
Penjelasan lafazh
1. Bil-Khiyar merupakan masdhar dari ikhtara, dari al-ikhtiyar, berarti meminta yang
terbaik dari dua hal, entah berupa pengesahan atau penolakan.
2. Al-Bayyi’ani, artinya penjual dan pembeli. Makna ini diberikan kepada keduanya, yamg
termasuk masalah kebiasaan. Seperti yang sudah dijelaskan, masing-masing dari dua
lafazh ini dapat diartikan pula bagi yang lainnya.
3. Muhiqat merupakan mabny lil-majhul, yang artinya, tambahan mata pencaharian dan laba
keduanya dihilangkan.
4. Yukhayyiru ahadahuma al-akhara, seperti ucapan, “Pilihlah pengesahan jual-beli.”
Makna Global
Karena biasanya jual-beli terjadi tanpa berpikir lebih jauh, maka tiapkali
menimbulkan penyesalan bagi penjual maupun pembeli, karena itulah pembuat syariat yang
bijaksana memberi tempo itu, yang memungkinkan terjadinya pembatalan akad selama tempo
itu. Tempo ini ialah selama masih berada di tempat pelaksanaan akad.
Jika kedua belah pihak (penjual dan pembeli) masih berada di tempat pelaksanaan jual
beli, maka masing-masing mempunyai hak pilih untuk mengesahkan atau membatalkan jual
beli. Jika keduanya saling berpisah, sesuai dengan perpisahan yang dikenal manusia, atau jual
beli disepakati tanpa ketetapan hak pilih di antara keduanya, maka akad jual beli dianggap
sah, sehingga salah seorang diantara keduanya tidak boleh membatalkannya secara sepihak,
kecuali dengan cara pembatalan perjanjian yang disepakati.
5
Kesimpulan Hadits:
1. Penetapan hak pilih di tempat bagi penjual dan pembeli, untuk dilakukan pengesahana
jual-beli atau pembatalannya.
2. Temponya ialah semenjak jual beli dilaksanakan hingga keduanya saling berpisahdari
tempat itu.
3. Jual-beli mengharuskan pisah badan dari tempat dilaksanakan akad jual-beli.
4. Jika penjual dan pembeli sepakat untuk membatalkan akad setelah akaddisepakati
sebelum berpisah, atau keduanya saling melakukan jual-beli tanpa menetapkan hak pilih
bagi keduanya, maka akad itu dianggap sah, karena hak itu menjadi milik mereka berdua,
bagaimana keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada keduanya.
5. Perbedaan antara hak Allah dan yang semata merupakan hak anak Adam, bahwa apa
yang menjadi hak Allah, pembolehannya tidak cukup dengan keridhaan anak Adam,
seperti akad riba. Sedangkan yang menjadi hak anak Adam diperbolehkan menurut
keridhaannya yang diungkapkan, karena hak itu tidak melanggarnya.
6. Pembuat syariat tidak menetapkan batasan untuk perpisahan. Dasarnya adalah tradisi.
Apa yang dikenal manusia sebagai perpisahan, maka itulah ketetapan jual-beli.
7. Para ulama’ mengharamkan penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad di
tetapkan), karena dikhawatirkan akan terjadi pembatalan.
8. Jujur dalam muamalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab
barakah di dunia dan akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup-nutupi cacat
merupakan sebab hilangnya barakah.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama:
Para ulama saling berbeda pendapat tentang penetapan hak pilih di tempat. Jumhur
ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in serta imam menetapkan hak pilih di tempat. Dia
antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abas, Abu Hurairah, Abu Barzah, thawus,
Sa’id bin Al-Musayyab, Atha’, Al-Hasan Al Bashry, Asy-Sya’by, Az-Zuhry, Al-Auza’y, Al-
Laits, sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi’y, Ahmad bin hambal, Ishaq, Abu Tsaur, Al-Bukhary
dan para muhaqqiq lainnya. Dalil mereka adalah hadist-hadist shahih dan jelas maknanya.
Menurut Ibnu Abdil-Barr, hadist Abdullah bin Umar merupakan hadist yang paling kuat dari
hadist-hadist ahad.
Sedangkan Abu Hanifah, Malik dan mayoritas rekan mereka berdua tidak menetapkan
hak pilih di tempat. Mereka beralasan dengan beberapa hujjah yang bertentangan dengan
pengalaman hadist-hadist ini, namun hujjah-hujjah itu lemah, yang kemudian di sanggah
jumhu. Di antara hujjah-hujjah yang lemah itu sebagai berikut:
6
1. Hadist ini bertentangan dengan pengalaman penduduk Madinah, dan amal mereka dapat
di jadikan hujjah.
2. Yang dimaksudkan al-mutabayi’any dalam hadist di atas ialah dua orang (penjual dan
pembeli) yang saling tawar-menawar.
3. Yang dimaksudkan perpisahan itu ialah perpisahan perkataan antara penjual dan pembeli
ketika dilakukan serah terima.

Hadits lain:
Hukum ‘Araya dan Menjual Buah dengan Buah
‫ع ْن َبيْعِ الث َّ ْم َرةِ َحتى َي ْبدُ َو‬ ُ ‫ع َم َر أ َ َّن َر‬
َ ‫س ْو َل هللا صلى هللا عليه وسلم نَ َهى‬ ُ ‫ع ْن اب ِْن‬ َ ‫ي َو ُم ْس ِل ٌم‬ ِ ‫أ َ ْخ َر َج ْالبُخ‬
ُّ ‫َار‬
‫ي‬َ ‫ص َال ُح َها َو نَ َهى ْال َبائِ َع َو ْال ُم ْشت َِر‬
َ
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW.
Malarang menjual buah sehingga tampak kalayakanya, Rasulullah saw. Melarang menjual
dan pembelinya.
‫ار َحتَّي يَ ْبد َُو‬ ُ ‫قَا َل َر‬: ‫ع ْن أَبِي ُه َري َْرة َ قَا َل‬
ُ ‫ الَت َ ْبت َا‬:‫س ْو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم‬
َ ‫ع ْوا الث َم‬ َ ‫َوأ َ ْخ َر َج ٌم ْس ِل ٌم‬
ُ ‫ص َال‬
.‫ح َها‬ َ
Diriwayatkam oleh Muslim dan Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah SAW.
Bersabda: ‘Janganlah kalian menjual Buah-buahan sehingga tampak kelayakannya.’”5
Asbabul Wurud
Hadits Pertama:
Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit, ia berkata:
“Rasulullah SAW. Tiba di Madinah, sedang (kabiasaan) kami adalah saling menjual buah-
buahan sebelum tampak kelayakannya, hingga Rasulullah SAW. Mendengarkan suara orang
bertengkar. Beliau berkata: “Ada apa ini?” lalu dilaporkan pada beliau:”Mereka membeli
buah-buahan, mereka berkata buah-buahan itu terkena ad-daman (buahnya membusuk) dan
at-tasyam (berguguran). Rasulullah SAW. Bersabda: “janganlah kalian saling menjualnya
sehingga tampak kelayakannya.”

5
Hadits Bukhari Muslim

7
Hadits Kedua:
a) Hadist tersebut lafazh milik Ahmad 5/190.b) Diriwayatkan juga al-Bukhari dalam
kitab:al-Buyu’ bab: Bai’ ats-Tsimar qabl an Yabduwa Shalahuhan (menjual buah-buahan
sebelum nampak kelayakannya).
c) Dan Abu Dawud dalam kitab: al-Buyu’, bab: an-Nahyu ‘an Bai’ ats-Tsimar qabl an
Yabduwa Shalahuha (tentang menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya,
(2/227)) dengan maknanya.
Ditinjau dari Konteks Kebahasaan:
Ad-Daman (dengan memfathahkan dal): adalah ad-damal: rusak dan binasanya. At-
Tasyam: gugur sebelum menjadi balakh (kurma yang masih mengkal). Ada yang
berpendapat: serangga pemakan buah yang terdapat pada buah, terambil dari kata iltasyama
yang bermakna makanan. Lihat al-faiq fi Gharibil hadist oleh az-Zamahsyari 1/439.
Keterangan:
Hadist Pertama:
1. Hadis pertama lafadznya milik Abu Dawud dalam kitab: al-Buyu’, bab: Fi Bai’ ats-
Tsimar qobla an Yabduwa Shalahuha (tentang menjual buah-buahan sebelum nampak
kelayakannya, (2/227)).
2. Bagian pertama dari hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: az-Zakah,
bab: Man Ba’a Tsimarhu (barang siapa menjual buah-buahannya), dari jalan. Dan ia juga
meriwayatkan dari jalan anas, bab: Bai’u an-Nahl qabla an yabduwa Shalahuha
(menjual kurma sebelum tampak kelayakanya,(2/156)), dan dari hadist Ibnu Umar dan
hadist Jabir, bab: idza ba’a ats-Tsimar qobla an Yabduwa Shalahuha (apabila menjual
buah-buahan sebelum nampak kelayakannya, (8/101)) dengan lafadz-lafadz yang saling
berdekatan.
3. Hadis ini juga adalah satu bagian dari hadis al-Bukhari yang ia riwayatkan dalam kitab:
al-Musaqat, bab: ar-Rajul yakunu lahu Mamarrun fi Ha’ith (seseorang yang memiliki
tempat lewat di kebun, (3/151)) dari hadis Jabir.
4. Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab: al-Buyu’, bab: an-Nahyu ‘an al-Muhaqalah
wa la-Muzabanah wa ‘an al-Mukhabarah wa bai’ ats-Tsamar qobla an Yabduwa
Shalahuha (larangan al-Mukhabarah: (menjual buah-buahan yang belum layak
dikonsumsi), la-Muzabanah (menjual sesuatu yang belum diketahui ukuran, jumlah atau
timbangannya), al-Mukhabarah, dan menjual buah sebelum manpak buahnya,(4/40)). Dan
8
ini juga adalah bagian hadist miliknya,selain itu ia juga meriwayatkan dari hadist Jabir
bab: an-Nahyu ‘an Bai’ qobla Bidduwi Shalahuha bi Ghoiri Syarth al-Qath’i (larangan
menjual buah-buahan sebelum nampak kelayakannya tanpa ada syarat yang pasti),
dengan lafazh-lafazh yang berdekatan
Hadist Kedua:
1. Diriwayakan oleh Muslim dalam kitab: al-Buyu’, bab: an-Nahyu ‘an Bai’ ats-Tsamir
qabla Bidduwi Shalahuha (larangan menjual buah-buahan sebelum nampak
kelayakannya, (4/29)).
2. At-Tirmidzi dalam kitab: al-Buyu’, bab: Ma Ja’a fi karahiyyati Bai’ ats-Tsamarah qabl
an Yabduwa Shalahuha (hadis-hadis tentang makruhnya menjual buah sebelum nampak
kelayakannya, (2/348)) dengan maknanya, ia berkata: “Hasan Sahih”.
3. Ibnu Majah dalm kitab: at-Tijarat, bab: an-Nahyu ‘an Bai’ ats-Tsamar qabla an Yabduwa
Shalahuha (larangan menjual buah-buahan sebelum manpak kelayakannya, (2/747)),
dengan lafazh-lafazh yang berdekatan. Dan ia juga meriwayatkan pada bagian awal dari
hadist tersebut dari hadist Ibnu Umar dengan lafazh-lafazh yang beragam.
4. Dan diriwayatka oleh Ahmad 2/46,77, dengan lafazh-lafzh yang berdekatan.6

2.3 Ayat Al-Quran yang Berkaitan dengan Jual Beli


Jual beli adalah perbuatan yang dihalalkan oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah
berfirman dalam al-qur’an:
‫ان ِمنَ ْال َم ِس ۚ َٰذَلِكَ ِبأَنَّ ُه ْم قَالُوا ِإنَّ َما ْال َب ْي ُع ِمثْ ُل‬
ُ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ ُ َّ‫الر َبا َال َيقُو ُمونَ ِإ َّال َك َما َيقُو ُم الَّذِي يَت َ َخب‬
َّ ‫طهُ ال‬ ِ َ‫الَّذِينَ َيأ ْ ُكلُون‬
ُۚ ‫الر َبا‬ ِ ‫َّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬
َّ ‫الر َبا ۗ َوأ َ َح َّل‬
ِ
Artinya:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
(QS.Al baqarah ayat 275).7

6
Yahya Ismail, Edisi Indonesia: Asbab Wurud Al-Hadist, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009),
Hal. 243
7
AlQur’an dan Terjemahannya

9
2.4 Hukum Jual Beli
Dari kandungan ayat-ayat dan hadist-hadist yang dikemukakan diatas sebagai dasar
jual-bali, para ulama fiqih mengambil suatau kesimpulan, bahwa jual beli itu hukumnya
mubah (boleh). Namun, menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih Madzhab Imam Maliki),
hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu.
Sebagai contoh dikemukakannya, bila suatu waktu terjadi praktek ihtikar, yaitu
penimbunan barang,sehingga persediaan hilang dari pasar dan harga melonjak naik. Apabila
terjadi praktek semacam itu, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual
barang-barang sesuai dengan harga pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang itu.para
pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah di dalam menentukan harga di pasaran.8

8
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), Hal. 117

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Jual beli adalah tukar-menukar harta dengan harta yang dimaksudkan untuk suatu
kepemilikan, yang ditunjukkan dengan perkataan dan perbuatan. Rasulullah
menjelaskan bahwa hukum jual beli adalah perbuatan yang dihalalkan selama penjual
dan pembeli tidak ada yang dirugikan dan tidak ada penipuan dalam jual beli.
2. Para ulama’ mengharamkan penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad
di tetapkan), karena dikhawatirkan akan terjadi pembatalan.
3. Jujur dalam muamalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab
barakah di dunia dan akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup-nutupi cacat
merupakan sebab hilangnya barakah.
4. bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh). Namun, menurut Imam asy-Syatibi (ahli
fiqih Madzhab Imam Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi
tertentu.

3.2 Saran
Makalah ini hanya sebagian kecil saja menguraikan tentang ‘WAKALAH’.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna banyak sekali kesalahan dan
kekurangan, baik dari segi penulisan maupun dari penyusunan. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun dari para pembaca. Akhirnya penyusun mengucapkan
Alhamdulillah atas terselesaikannya makalah ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdulllah Abu Ahmad, Umdatul Ahkam, (Jogjakarta: Media Hidayah, 2006)


Abu Amar Imron, Edisi Indonesia: Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus, 1983)
AlQur’an dan Terjemahannya
Hadist Bukhari Muslim
Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004)
Ismail Yahya, Edisi Indonesia: Asbab Wurud Al-Hadist,
(Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009)
Suhardi Kathur, Edisi Indonesia: Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta:
Darul Falah, 2002)

12

Anda mungkin juga menyukai