1
Geologi kenozoik dari Cekungan Barito dan Asem-Asem (Supriatna dkk,1994)
2. Synrift
Tumbukan antara lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik bagian barat pada
Eosen Tengah menyebabkan proses rifting pada Cekungan Barito (Daly,
Hooper, dan Smith, 1987; Kusumam dan Darin 1989;Daly et al., 1991; van
de Weerd and Armin, 1992). Fase synrift pada cekungan terjadi Paleosen-
Eosen Tengah, yaitu pada pengendapan Formasi Tanjung bagian bawah.
Formasi ini diendapakan langsung pada permukaan basement yang tidak rata
akibat proses pemekaran.
3. Postrift
2
Subsidence regional setelah pemekaran terjadi secara luas dari miosen
tengah samapi awal miosen. Selama itu terjadi sedimentasu dari Fomasi
Tanjung bagian Bawah, Tanjung bagian atas, dan Berai. Ketiga sedimen ini
merupakan bagian dari transgressive system. Perubahan berbeda pada
karekter sedimenter muncul pada batas antara sekuen synrift dan postrift.
Pada section bawah, sedimentasi dibatasi oleh ketebalan yang cukup dan
perubahan fasies yang mengindikasikan pengisian cekungan pada saat
pemekaran. Sedangkan pada bagian atas sekuen, sedimen lebih dapat
dikorelasikan secra regional, mengindikasikan berkurangnya pengaruh dari
daerah horst dan graben yang tidak rata.
4. Syninversi
Pada pertengahan Miosen , fragmen benua Laut China Selatan bertumbukan
dengan Kalimantan Utara yang menghasilkan tinggian Kuching terangkat.
Pada saat yang sama, tumbukan pada lengan timur Sulawesi mengakhiri
pemekaran Sleat Makassar dan mengangkat proto-Meratus. Kedua event
tektonik mengawali inversi pada cekungan Barito. Inversi pada cekungan
lebih kuat tergambar pada saat Pasif Margin barat laut Australia berumbukan
dengan Sunda Trench dan Banda Firearc pada awal Pliosen dimana Inversi
diakomodasi oleh sistem sesar mendatar, melalui Sulawesi(Daly, Hooper, and
Smith, 1987; Letouzey, Werner, and Marty, 1990; Daly et al., 1991 dalam
Satyana 1994). Tinggian Kuching yang terangkat meberikan sedimen yang
mengisi cekungan, sedangkan Proto-Meratus Range memisahkan cekungan
Barito dari laut terbuka di sebelah Timur yang menghasilkan karakteristik
sedimen berganti dari siklus trangressive ke regressive.
3
Sayatan Sepanjang Cekungan Brito yang menunjukkan evolusi dari struktur
inversi (Satyana dan Silitonga,1994)
Stratigrafi dari Cekungan Barito terdiri dari batuan dasar yang diisi oleh sedimen
berumur Paleocen dan umur yang lebih tua (Sikumbang,1986 dalam Satyana dan
Silitonga 1994). Suksesi tersusun dari lima formasi yang merekam sebuah siklus
transgressive ke regressive, yakni sebagai berikut
1. Formasi Tanjung, berumur Eosen Tengah sampai Akhir Oligosen dan berumur
paling tua dan diendapan pada lingkungan fluvio-tidal coastal sampai
lingkungan tepi laut. Formasi ini menjadi banyak dipengaruhi oleh laut.
Ketebalan formasi Tanjung bertambah menuju utara (Hashimoto,1973;
Krol,1925; Siregar dan Sunaryo,1980 dalam Satyana 1994). Observasi ini
menyebutkan bagian paling tebal dari formasi ini berada di posisi Pegunungan
Meratus pada sekarang ini.
4
a) Fasies Batupasir Atas terdiri dari batupasir terpilah buruk, bermassa dasar
batupasir kuarsa berbutir kasar. Facies ini merupakan bagian paling bawah
dari Formasi Tanjung yang diendapkan tidak selaras diatas batuan alas Para-
Tersier. Di tepi barat Pegunungan Meratus, Facies Konglomerat lebih tebal
dari yang di tepi timurnya. Di beberapa tempat ditemukan sisipan batupasir
berbutir kasar dengan, yang memperlihatkan structure sedimen lapisan silang-
siur berskala menengah..
b) Facies Batupasir Bawah terdiri dari batupasir berbutir sedang sampai kasar
setempat konglomeratan. Batupasir ini disusun terutama oleh butiran kuarsa
dengan sedikit kepingan batuan vulkanik, rijang, dan feldspar Structure
sedimennya adalah lapisan sejajar, lapisan silang-siur dan lapisan tersusun.
c) Facies Batulempung Bawah terdiri dari batulempung berwarna kelabu
(kecoklatan sampai kehitaman), dengan sisipan batubara dan batupasir..
Structure sedimen di dalam batulempung, yang terlihat berupa lapisan pejal,
laminasi sejajar, setempat berlaminasi silang-siur. Batubara berwarna hitam
mengkilap
5
Kolom stratigrafi Cekungan Barito yang menunjukkan formasi paleofasies dan
kejadian tektonik (Satyana dan Silitonga,1994)
Potensi
Cekungan Barito memiliki potensi besar dalam hal penghasil Hidrokarbon yang secara
umum dibagi menjadi hal berikut :
a. Source Rock
Hidrokarbon dihasilkan oleh dua tipe batuan induk dari Formasi Tanjung dan Formasi
Warukin bagian bawah. Tipe kerogen formasi Warukin terdiri dari atulempung dan
serpih yang kaya akan organik serta lapisan batubara tipis.diantara vitrinite (III) dan
material organik amorph (I/II). Sedangkan batuan induk dari Formasi Tanjung terdiri
dari batuan yang mirip , yaitu batulempung dan serpih serta batubara, namun dengan
kerogen yang dodominasi vitrinite (III)
b. Reservoar
Reservoar utama dari Cekungan Barito adalah batupasir berumur Awal sampai Tengah
Eosen dan konglomerat dari Formasi Tanjung bagian bawah. Reservoar cekungan
barito umumnya adalah sedimen klastik yang diendapkan di pro-delta, endapan delta
pantai, shoreline barrier atau lingkungan channel. Batuan dasar pra tersier yang retak
juga resevoir minyak di Lapangan Tanjung.
c. Seal
Fase post-rifting dari trangressi regional setelah deposisi sedimen pengisi fase sagging
yang menghasilkan mudstone laut dangkal dar Formasi Tanjung Bagian atas. Batuan
ini menjadi seal yang sangat efektif dari Formasi Tanjung bagian atas.
d. Migrasi Hidrokarbon
Inversi struktural yang terjadi di Awal Miosen dan sangat mempengaruh cekungan
pada akhir Miosen sampai Pliosen telah menurunkan Batuan Induk dari Formasi
Tanjung bagian bawah ke kedalaman dimana hidrokarbon dapat dihasilkan.
6
Hidrokarbon yang bermigrasi terperangkap pada antiklin yang terbentuk selama inveri.
Inversi Plio-Pleistosen juga menghasilkan jebakan baru atau merusak akumulasi
hidrokarbon sebelumnya, sehingga hidrokarbon kembali bermigrasi dan terperangkap
pada stuktru inversi yang lebih baru.
7
Daftar Pustaka
Witts, Duncan, dkk. "A new depositional and provenance model for the Tanjung
Formation, Barito Basin, SE Kalimantan, Indonesia." Journal of Asian Earth
Sciences 56 (2012): 77-104.