Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif
pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica
atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara klinis,
mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan
memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku.
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan
gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan
operasi. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum
diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, olehkarena ini sangat menentukan terapi dan
prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau,
bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada
pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia).1,2,4
Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini
lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan
pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di
negara sedang berkembang.1,2,3
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke
II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.5

TINJAUAN PUSTAKA

Batasan
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif
pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica
atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Karakteristiknya
ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis,
disertai adanya crustae yang berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret
yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini
lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.1,2,6
Kekerapan
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk
mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3
pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi
umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara
26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49
tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik
dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2
pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke
II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.5

Etiologi
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai
teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis
menekankan faktor herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan
dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,5
 Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini
menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan
Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus,
Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid
bacilli,Cocobacillus foetidus ozaena.
 Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.
 Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
 Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
 Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
 Teori mekanik dari Zaufal.
 Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh
darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
 Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
 Herediter.
 Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
 Golongan darah.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi primer
yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi
besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis,
lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera merusak
pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik.
Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah
diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan
juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi
rendah.1,5

Patologi dan Patogenesis


Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel
skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar
baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole
terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1
a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik;
membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di
submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali
yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar
seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan
saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie
mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan
merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan
yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh
kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang
sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi
(Ozaena), yaitu : 3
 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
 Siliahidung. Silia akan menghilang.
 Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau
epitel gepeng berlapis.
 Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya
berkurang.

Gejala Klinis dan Pemeriksaan


Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan
penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit
kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada
pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita
sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak
bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi
semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung,
terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan
impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari
gambaran.1,2,4,5,6
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung
dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga
hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami
hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. 1,3 Bisa
juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi
ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar,
krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga
hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang
jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan
yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung
tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah
kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan
dan pendarahan.5
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun
terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke
segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang,
sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa
hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya
kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring,
hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi
telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus
lakrimalis termasuk keratitis sicca.
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara
3,4
lain :
 Transiluminasi.
 Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
 Pemeriksaan mikroorganisme.
 Uji resistensi kuman.
 Pemeriksaan darah tepi.
 Pemeriksaan Fe serum.
 Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi
tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis,
kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.
 Pemeriksaan serologi darah.

Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan
histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.1

Diagnosis Banding
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :
1. Rinitis kronik TBC
2. rinitis kronik lepra
3. rinitis kronik sifilis
4. rinitis sika

Komplikasi
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana

Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk
dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan
endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti
alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha
langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah
mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan operasi.1,3

Konservatif
Pengobatan eliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik.
konservatif ozaena m

1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda
infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan
Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :
 NaCl
 NH4Cl
 NaHCO3 aaa 9
 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan garam dapur
d. Campuran :
 Na bikarbonat 28,4 g
 Na diborat 28,4 g
 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan
kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali
sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian
preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin
untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti
ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing
tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan
ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan
injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode
waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam
laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat,
cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali
untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci
hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6
dari 7 penderita.

Operasi
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan
mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. 1 Teknik bedah dibedakan menjadi dua
kategori utama : 5
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan
ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon,
campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung.Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana
menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,
pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan
mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun.
Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.4

Daftar Pustaka
1. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, April
12. Sumber :Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.
2. Soedarjatni. 1977. Foetor   Ex   Nasi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008,
April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.
3. Al-Fatih, M. 2007. Rinitis   Atrofi (Ozaena). Available
from : http://hennykartika.wordpress.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
4. Arif, M., et al. 2006. Rinitis   Atrofi (Ozaena). Available
from : http://www.geocities.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Kapita Selekta
Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
5. Adams, L. G. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
6. Endang, M. & Nusjirwan, R. 2006. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai