Anda di halaman 1dari 6

Agregat Tanah

Oleh Tohir
Agregat Tanah – Tanah secara umum tersusun oleh senyawa anorganik,
senyawa organik, udara, dan air serta mengandung bagian yang terbentuk
jasad hidup yang secara umum terdiri dari mikroorganisme. Mikroba tanah
terdiri dari bakteri, jamur dan mikroalgae. Sifat-sifat tanah bergantung pada
besar kecilnya partikel-partikel yang merupakan komponen-komponen tanah
tersebut; misalnya, tanah pasir berbeda dengan tanah liat dalam hal
kemampuan menahan air, kemampuan mengurung udara, dan karenanya juga
berbeda dalam hal menahan panas. Komponen-komponen anorganik maupun
organik tanah merupakan substrat ataupun medium yang baik bagi kehidupan
mikroorganisme ( Dwidjoseputro, 2003).
Tanah terdiri atas beberapa lapisan, lapisan pertama yang merupakan lapisan
teratas disebut sebagai lapisan O, yaitu lapisan yang kaya akan bahan organik.
Di bawah lapisan O terdapat lapisan A. Lapisan A terdiri dari komposisi mineral
dan bahan organik terdekomposisi. faktor-faktor lingkungan dan aktivitas
organisme, memiliki sifat kaya akan nutrien dan cukup oksigen sehingga
lapisan ini selalu mengalami pelapukan. Lapisan dibawah lapisan A adalah
lapisan E, yaitu lapisan ini mengalami pengkayaan mineral yang berasal dari
penindihan mineral. Di bawahnya disebut lapisan B yang memiliki cukup
mineral, senyawa organik dan karbonat sebagai akibat dari pencucian dan
pelapukan lapisan di atasnya. Lapisan selanjutnya adalah lapisan C. Lapisan ini
dicirikan dengan mineral-mineral yang tidak mengalami pelapukan dan
terletak di atas batuan induk (Irianto,2002).

Agregat merupakan kumpulan pasir, pasir halus, tanah liat serta partikel
organik seperti sel mikroba sendiri yang menggumpal karena adanya gum,
polisakarida atau metabolit lainnya yang disekresi mikroba. Agregat yang
dibentuk sangat ditentukan oleh batuan induk penyusunnya, iklim dan
aktivitas biologis yang berlangsung dilingkungan tersebut. Agregat tanah
yang terbentuk ditentukan oleh batuan induk penyusunnya, iklim, dan aktivitas
biologi yang langsung di lingkungan tersebut. Distribusi materi pasir, pasir
halus (slit) dan tanah liat merupakan tekstur tanah, sedangkan tekstur tanah
menunjukkan sifat agregat (Irianto, 2002).

Menurut Tate (1995), agregat tanah dihasilkan dari interaksi komunitas


mikrobial tanah, mineral tanah, tumbuh-tumbuhan alami yang jatuh ke tanah,
dan ekosistem yang terkombinasi acak pada organik tanah dan komponen
mineral yang berkumpul ke dalam mikroagregat (diameter < 50 μm) dan
makroagregat (diameter > 50 μm). Menurut Lawton (1955), peranan agregat
bagi ekosistem tanah adalah untuk mikroba sendiri, mikroagregat tanah dapat
melindungi mikroba terutama bakteri dari protozoa pemangsa, selain itu
interaksi yang menguntungkan (simbiosis mutualisme) diantara
mikroorganisme. Budiyanto (2002), menambahkan agregat tanah juga
berperan dalam pengontrol kandungan unsur hara tanah, menjaga stabilitas
tanah dan aerasi. Beberapa contoh jamur yang berperan penting dalam proses
pembentukan agregat tanah adalah Aspergillus sp., Fusarium sp., Phytium dan
Actinomycetes. Sedangkan beberapa bakteri yang berperan dalam proses
agregat tanah yaitu Bacillus sp., Clostridium sp., dan Pseudomonas sp.

Penambahan suspensi jamur menghasilkan tekstur tanah yang cukup padat,


keras dan mampu membentuk agregat yang lebih luas dibandingkan
penambahan suspensi bakteri. Buckman dan Brady (1982), menyatakan bahwa
peranan jamur berfilamen dalam tanah lebih penting dibanding bakteri. Jamur
berfilamen ini berperan dalam pembentukan humus, kemantapan agregat dan
aerasi tanah. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Pelczar and Chan (1988),
menyatakan bahwa suspensi jamur menghasilkan tekstur tanah yang lebih
keras dibandingkan penambahan suspensi bakteri, hal ini dikarenakan jamur
memiliki filamen dan mampu menghasilkan enzim ekstraseluler atau metabolit
lain, sehingga tekstur tanah menjadi keras. Tate (1995) menambahkan bahwa
jamur mempunyai kemampuan mensintesis eksopolisakarida dan humus.

Sotedjo et al., (1991), menyatakan bahwa konsorsia mikroba dalam


membentuk agregat tanah melibatkan jamur. Jamur merupakan golongan
terpenting dalam populasi tanah, tersebar secara luas, bentuk-bentuk tertentu
merupakan karakteristik dari suatu tipe tanah sebagai medium alami bagi
perkembangannya. Keberadaan jamur dalam tanah merupakan miselium
vegetatif dan spora-spora. Buckman dan Brady (1982), jamur paling cepat
menyesuaikan diri dengan keadaan, dan paling tahan dibanding golongan lain
karena selulosa, tepung getah, lignin, maupun protein dan gula mudah
tersedia baginya.

Menurut Irianto (2002), mikroba yang dapat membentuk agregat tanah terdiri
dari kelompok jamur dan bakteri gram positif dan gram negatif, diantaranya
yaitu Azotobacter chroococcum (penghasil polisakarida) dan Mucor hiemalis.
Sedangkan golongan jamur yang dapat membentuk agregat tanah adalah
penicillium dan Aspergillus terutama dalam komposisi bahan organik,
beberapa spesies Peicillium mampu memproduksi antibiotik, serta beberapa
mikoriza berinteraksi mutualistik denagna tumbuhan. Caesar dan Cochran
(2001), menambahkan golongan jamur Basidiomycetes yang bersifat sabroba
juga memberikan peranan penting dalam meningkatkan stabilitas
pembentukan agregat tanah.

Proses pembentukan agregat tanah melibatkan organisme seperti benang-


benang hifa pada jamur yang mampu mengikat partikel tanah dengan partikel
lain. Organisme juga memproduksi sejumlah bahan kimia/asam-asam yang
dapat merekatkan tanah. Pertumbuhan struktur miselium akan semakin
meningkat apabila semakin lama waktu inkubasi. Hal ini akan berdampak pada
semakin mantapnya pembentukan agregat tanah. Struktur miselium yang
terdapat pada jamur serta polisakarida memiliki pengaruh dalam
memantapkan agregat tanah.

Polisakarida ternyata mengandung gkukosa, rhamnosa, manosa, glukosamin


dan asam 4-0-metil-glukoronat sebagi komponen utama. Diantara karbohidrat
yang diisolasi dari tanah, diketahui bahwa dekstran yang mengandung adam
uronat dalam jumlah yang besar dan resisten terhadap degradasi mikroba
ternyata memiliki kualitas tertinggi dalam membentuk agregrat tanah (Rao,
1994).

Bakteri mampu mengeluarkan suatu polisakarida berupa lendir yang berfungsi


sebagai gum (perekat) dan metabolit lain untuk membentuk agregat tanah.
Sedangkan jamur/kapang dari struktur tubuhnya berupa hifa mampu
mengikat partikel tanah untuk membentuk agregat tanah (Anas, 1989). Bakteri
gram positif dan negatif memiliki perilaku berbeda dalam menghuni agregat.
Bakteri gram positif cenderung menempati bagian luar mikroagregat karena
lebih kering, sedangkan bakteri gram negatif cenderung berada pada bagian
dalam karena lebih lembab (Irianto, 2002).

Agregat tanah dalam proses pembentukannya tidak lepas dari proses organik
yang bersifat tidak spesifik (zat yang dihasilkan umum). Komponen biotik
berperan dalam menjalankan proses dan menghasilkan zat yang tidak spesifik
(Schnitzer, 1978). Pembentukan agregat tanah disebabkan oleh partikel koloid
bermuatan listrik negatif, sehingga molekul-molekul air dipolar akan
terabsorbsi ke permukaan liat.

Rantai molekul air secara otomatis dapat merangkai koloid liat bersama-nama
dengan kation. Kelompok bahan koloid tanah (bahan perekat) dalam proses
pembentukan agregat tanah yaitu: mineral-mineral liat, oksida-oksida besi,
dan mangan yang bersifat koloid dan bahan organik koloidal, termasuk gum
yang dihasilkan oleh aktivitas-aktivitas jasad renik. Agregasi hakekatnya
dipengaruhi oleh kegiatan mikroba-mikroba dalam tanah dan juga dibantu
oleh sejumlah bahan organik (Hakim, 1986). Kemampuan suatu organisme
tanah dalam membentuk agregat tanah menurut Irianto (2002) spesifik sesuai
jenis dan organismenya. Faktor-faktor yang menentukan terbentuknya agregat
tanah misalnya batuan induk penyusun tanah, iklim dan aktivitas biologi dalam
tanah (Hakim, 1986).

Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah,


yang disebabkan akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan
permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah akan berakibat terhadap
penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan
mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah
tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah dan
menyebabkan terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil crusting) yang
mempunyai sifat padat dan keras bila kering (Suprayogo et al., 2005).

Menurut Reichert & Norton (1994) menyatakan bahwa pembasahan lambat


menghasilkan pengrusakan agregat yang kecil, dan menggambarkan kondisi
pembasahan alami melalui proses kapilaritas air tanah. Lebih lanjut dikatakan
bahwa semakin lebar selisih dari kedua pembasahan mencerminkan kepekaan
tanah terhadap erosi permukaan. Menurut Yusmandhany (2001), untuk
meningkatkan stabilitas agregat tanah dan memperbaiki kemantapan agregat
tanah, perlu ditambahkan aktivitas biologis tanah dan biofertilizer seperti
unsur N, P, dan K dalam tanah. Seperti bakteri Azotobacter beijerinckii sebagai
pemantap agregat tanah, Aeromonas punctata pelarut P dan K, Aspergillus
niger untuk pelarut P, dan Azospirillum lipoverum sebagai penambat N dari
udara.

Menurut Handayani dan Sunarminto (2002), menyatakan penentuan


stabilitas agregat dengan metode penyaringan pembasahan dilakukan
dengan 3 metode yaitu:

1. Pembasahan lambat. Agregat kering diletakkan di atas kertas saring


kemudian ditaruh diatas bed pasir basah samapi diperoleh kondisi jenuh
(15-30 menit).
2. Pembasahan cepat. Agregat kering langsung diletakkan dalam air dan
dibiarkan ± 10-15 menit.
3. Pembasahan alkohol, agregat kering dibuat kondisi jenuh dengan
alkohol secara perlahan-lahan. Pembasahan dapat melalui kertas saring.
Anas, I. 1988. Biologi Tanah dalam Praktek. Pusat Antar Universitas Biotek IPB,
Bogor.

Buckman, H. O. dan N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara,


Jakarta.

Loading...
Budiyanto, M. A. 2002. Mikrobiologi Terapan. UMM, Madang.

Caesar T. C. dan V. L. Cochron. 2008. Role of Sabrophytic Basidiomycete Soil


Fungus in Agrégate Stabilization. Agricultural Research Laboratory, Sydney.

Dwidjoseputro, D. 1993. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan, Jakarta.

Hakim, N. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung Press,


Lampung.

Handayani, S dan Sunarminto, B. H. 2002. Kajian Sruktural Tanah Lapis oleh


Agihan ukuran dan Disperditas Agregat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, 3
(1) : 10-17.

Irianto, A. 2002. Mikrobiologi Lingkungan. Pusat Penerbitan Universitas


Terbuka, Jakarta.

Lawton, K. 1955. Chemical Composition of Soil. Reinhold Pulb, N. Y.

Pelczar, M. J., dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. UI Press,


Jakarta.

Rao, N. S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press,


Jakarta.

Reichert, J.M. & L.D. Norton. 1994. Aggregate stability and rain-impacted sheet
erosion of air-dried and prewetted clayey surface soils under intense rain. Soil
Sci. 158: 159-169.

Schnitzer, M. 1978. Soil Organic Matter. Elsevier Scientific publishing Company,


Amsterdam.
Sutedjo, M. M. dan Kartasaputro, A. G. 1988. Pengantar Ilmu Tanah. PT Bima
Aksara, Jakarta.

Suprayogo, D., Widianto, P. Purnomosidi, R. H. Widodo, F. Rusiana, Z. Z. Aini,


N. Khasanah, dan Z. Kusuma. 2005. Degradasi Sifat Fisik Tanah Sebagai Akibat
Alih Guna Lahan Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya,
Malang.

Tate, R. L. 1995. Soil Microbiology. John Wiley and Sons,Inc, New Jersey.

Yusmandhany, E. S. 2001. Teknik Pemberian Biofertilizer Emas pada Tanah


Podsolik (Ultisols) Rangkasbitung. Buletin Teknik Pertanian Vol. 7, Nomor 1,
2001.

Anda mungkin juga menyukai