Anda di halaman 1dari 10

IDENTITAS GRUP CONGROCK 17 SEMARANG: KAJIAN

POSKOLONIAL

Giza Abel Annisa Furi (penulis), Udi Utomo (pembimbing 1), Sunarto
(pembimbing 2)
e-mail: giza_abel@yahoo.com
udiutomo@mail.unnes.ac.id
sunarto@mail.unnes.ac.id

Abstrak

Pembentukan identitas di tengah tingginya kemajemukan budaya merupakan


permasalahan bangsa bekas terjajah, seperti Indonesia. Krisis identitas yang melanda
tersebut disebabkan oleh faktor politik identitas yang digunakan untuk menyelidiki latar
belakang serta perdebatan dalam suatu pembentukan identitas. Sebagai bangsa bekas
terjajah, Indonesia masuk ke dalam penjajahan baru yang tidak lagi bersifat fisik
melainkan mental. Teori poskolonial digunakan untuk mengkritisi kekuasaan budaya
dominan yang membantu untuk mengurai serta membangun kesadaran akan situasi krisis
ini yaitu melalui konsep hibriditas dan mimikri yang dijadikan sebagai suatu bentuk
identitas. Grup congrock 17 Semarang membawa musik keroncong rock sebagai sebagai
bentuk identitasnya yang kemudian memberikan ruang ketiga untuk mendeskripsikan
posisi grup Congrock 17 Semarang. Tujuan penelitian ini yaitu guna memahami faktor
yang mempengaruhi pemilihan genre keroncong rock pada identitas grup congrock 17
semarang serta menganalisis identitas grup Congrock 17 Semarang dalam kajian
poskolonial. Metode penelitian kualitatif menggunakan teknik pengumpulan data
observasi, wawancara dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1)
Keroncong rock sebagai identitas musik grup congrock 17 salah satunya terbentuk akibat
faktor hegemoni media dalam melakukan strategi globalisasi yang kemudian menjadi
salah satu faktor kuat dalam pembentukan identitasnya. (2) Identitas keroncong rock
terbentuk melalui mimikri dan hibriditas dalam sebuah kesepakatan yang memunculkan
perilaku ambivalensi. Performance dan karya musik congrock 17 yang ditampilkan di
atas panggung menunjukan kesepakatan identitas budaya antara keroncong rock yang
terbentuk dalam ruang ketiga. Implikasi yang diberikan penelitian mengenai grup
congrock 17 Semarang, dapat menunjukan kepada masyarakat, musisi sekitar dan
pemerintah daerah bahwa identitas hybrid keroncong rock juga mampu terlibat serta
menjadi juru bicara grupnya dalam konteks kesenian daerah khususnya di kota Semarang.

Kata Kunci : Identitas, Keroncong, Poskolonial, Grup Congrock 17 Semarang

1
PENDAHULUAN satunya seperti yang dilakukan oleh grup
Musik keroncong merupakan seni Congrock 17 di Semarang.
budaya yang mencerminkan identitas Congrock berasal dari kata
Indonesia dimana merupakan bangsa bekas keroncong dan rock. Aliran musik
terjajah dan sampai saat ini masih eksis campuran antara irama keroncong dan rock
khususnya di Kota Semarang. ini lahir menjadi identitas dari sebuah
Diungkapkan dalam buku Indonesia komunitas mahasiswa Universitas 17
Heritage: Seni Pertunjukan (Sedyawati, Agustus 1945, tepatnya tanggal 17 Maret
2002), Kota Semarang masuk dalam peta 1983. Ada kesepakatan dan misi bersama
persebaran musik keroncong di Indonesia, untuk melakukan perubahan berupa inovasi
dan dapat dikatakan Kota Semarang - inovasi baru terhadap musik keroncong
sebagai salah satu barometer bagi guna mempertahankan eksistensi
perkembangan musik keroncong di tanah keroncong sebagai budaya lokal. Inovasi –
air, hal ini dibuktikan dengan keberadaan inovasi tersebut terlihat dari beberapa
beberapa grup keroncong Semarang yang variasi alat, nada, tempo, serta harmonisasi
masih bertahan. Namun akibat yang dimainkan oleh grup Congrock 17.
konsumerisme budaya barat dan kekuasaan Musik Congrock adalah musik keroncong
budaya dominan yang menyebabkan suatu yang bebas. Bukan soal pilihan jenis musik.
krisis identitas, kesenian keroncong Namun, lebih kepada kreativitas dalam
mengalami suatu pengembangan. Seni mengolah musik keroncongnya.
dapat digolongkan sesuai Grup Congrock 17 Semarang dalam
pengembangannya, diantaranya: (1) Seni perjalanannya telah memperoleh banyak
tradisional; (2) Seni modern; dan (3) Seni prestasi salah satunya rekor muri atas
kontemporer (Dudung dalam Lucky inovasi dan konsistensi terhadap
Rachmawati, 2016). Dampak keadaan identitasnya. Dari awal terbentuk hingga
politik identitas tersebut, menggungah saat ini, grup congrock 17 masih menjadi
semangat seniman daerah melakukan suatu pelopor terbentuknya grup keroncong baru
pembaruan yang unik untuk dengan inovasi keroncongnya namun
mengembangkan musik keroncong dalam dengan konsep yang berbeda. Di tengah
upaya pembentukan identitasnya. Salah melesatnya pencapaian Congrock 17,
munculah pendapat pro dan kontra

1
terhadap grup aliran musik ini. Grup adalah Kemudian penelitian yang
congrock 17 dianggap keluar dari standar dilakukan oleh (Laksono, Purba, &
musik keroncong yang pakem. Hapsari, 2015) dan (Widiastuti, 2015) yang
Atas dasar tersebut, Purwanto menunjukan studi mendalam dalam
(2015) berpendapat bahwa pergeseran melihat persoalan kemajemukan nilai-nilai
identitas dalam suatu politik kebudayaan, pada proses pembentukan seni melalui
disebabkan karena krisis identitas, akibat percampuran, pembauran, dan intepretasi
hegemoni golongan yang mendominasi. ulang atas sebuah kebudayaan. Hasil
Hingga muncul kesepakatan dari golongan penelitian tersebut menunjukkan bahwa
minoritas yang termarjinalkan untuk tradisional dan modern adalah dua sisi yang
menunjukan / membentuk identitasnya. sama, hampir mustahil membicarakannya
Pembentukan identitas dalam keberagaman tanpa mengikutsertakan Barat dan Timur,
budaya merupakan suatu masalah yang khususnya untuk negara yang memiliki
terjadi pada bangsa bekas terjajah seperti sejarah kolonialisme. Salah satu strategi
Indonesia. Inilah penanda penjajahan di menghadapi dominasi budaya kolonial atas
zaman modern yang kemudian dalam budaya koloninya yaitu lewat hibriditas dan
kesepakatannya memunculkan sikap mimikri yang biasa disebut proses meniru
ambivalensi dan keadaan ini disebut dan mencampur budaya. Tidak hanya itu
sebagai fenomena politik identitas. tentunya ada berbagai strategi yang dapat
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini digunakan dalam dunia media yang
politik identitas digunakan untuk melihat mencari inovasi untuk menyuarakan
faktor-faktor yang mempengaruhi grup kesetaraan dan identitas diri dalam
congrock 17 dalam pemilihan genre rock dominasi kepentingan perusahaan-
baik yang disadari maupun tidak. perusahaan ala Barat. Inovasi yang
Kemudian dilakukan analisis pada karya dimaksud antara lain menggali budaya
dan performance grup Congrock 17 lokal khas Indonesia sebagai suatu ikon.
Semarang yang akan digunakan untuk Kontribusi yang diberikan berupa
menjawab perdebatan atas identitas gambaran tentang proses pembentukan
keroncong rock pada grup Congrock 17 hybrid seni pada masyarakat poskolonial.
Semarang dalam kajian poskolonial. Kemudian terkait dengan kajian
Beberapa penelitian yang berkaitan poskolonial, terdapat penelitian oleh
dengan tulisan ini dan menjadi rujukan (Sardo, 2010) yang berjudul “Proud to be a
2
goan : colonial memories, post-colonial, grupnya dalam konteks kesenian daerah
identities, and music”. dan (Widiastuti, khususnya kota Semarang sehingga
2015) dengan judul “wacana poskolonial menjadi suatu kesenian daerah yang tetap
dalam desain komunikasi visual kemasan lestari .
jamu tradisional indonesia” yang METODE
memberikan gambaran tentang kajian teori Metode penelitian yang digunakan
poskolonial terhadap seni kontemporer dalam penelitian ini menggunakan metode
yang menjadi suatu identitas masyarakat penelitian kualitatif (Moleong, 2012).
marjinal akibat kolonial yang terjadi. Kedua Desain penelitian yang digunakan adalah
penelitian tersebut membahas tentang suatu Studi Kasus (Ratna, 2010) Pengambilan
usaha konsiliasi guna memperoleh status data penelitian dilaksanakan mulai tanggal
yang diakui oleh masyarakat dominan 16 Maret 2019 di Taman Indonesia Kaya
dalam proses identifikasi pascakolonial Semarang. Sasaran penelitian adalah
yang dilakukan oleh masyarakat dengan pembentukan identitas keroncong rock
menggunakan seni sebagai mediator pada grup congrock 17 Semarang dan
negosiasi identitas. bentuk identitasnya dalam kajian
Berdasarkan penjelasan dari latar poskolonial.
belakang dan penelitian sebelumnya, Teknik pengumpulan data
tujuan dari penelitian ini adalah untuk dilakukan melalui teknik observasi,
memahami faktor – faktor yang wawancara dan studi dokumen (Hadi,
mempengaruhi pemilihan genre rock 2006). Observasi dilakukan untuk
sebagai identitas Congrock 17 Semarang mengetahui kondisi lokasi penelitian dan
dalam fenomena politik identitas serta melihat aktivitas dari grup congrock 17
menganalisis bentuk identitas Congrock 17 Semarang secara langsung.
Semarang dalam kajian poskolonial. Wawancara dilakukan
Penelitian ini akan bermanfaat secara teori menggunakan teknik wawancara bebas
dalam penemuan bentuk identitas dalam terstruktur dengan anggota grup congrock
kajian poskolonial dan secara Praktis untuk 17, Ketua dan manajer grup congrock 17,
menunjukan kepada masyarakat, musisi masyarakat serta pemerintah setempat.
sekitar dan pemerintah daerah bahwa Teknik pengumpulan data
identitas hybrid keroncong rock juga dokumen dilakukan untuk mendapatkan
mampu terlibat serta menjadi juru bicara arsip dan foto-foto yang berhubungan
3
dengan data dalam performance dan karya pembentukan identitas grup congrock 17
grup congrock 17 Semarang. Selain itu Semarang dalam kajian poskolonial.
digunakan teknik ini untuk memperoleh Pengaruh Media dalam Pembentukan
buku-buku, jurnal, serta penelitian- Identitas Keroncong Rock
penelitian sebelumnya yang relevan dan Pembentukan identitas keroncong
memiliki konribusi dalam penelitian yang rock pada grup congrock 17 semarang
dilakukan oleh peneliti. Dokumentasi akan dapat dilihat dari dua pendekatan teoritis,
digunakan untuk memperoleh data yaitu primordialisme dan konstruktivisme.
mengenai identitas keroncong rock grup (Susanto, 2003) Perspektif primordialisme
congrock 17 berupa rekaman video pada yang menerangkan bahwa identitas
saat performance di atas panggung terbentuk secara alamiah dan turun-
berlangsung, gambar dan rekaman temurun yang secara personal juga
wawancara yang memuat identitas grup diturunkan oleh beberapa dari orang tua
congrock 17. anggota grup congrock 17 Semarang. Hal
Teknik validitas data dilakukan tersebut menjadi faktor kuat yang
dengan teknik triangulasi sumber. Ini menyebabkan beberapa anggotanya sangat
berarti bahwa proses pemeriksaan akrab dengan genre keroncong sejak kecil
reliabilitas dapat dilakukan dengan dan merasa memiliki ikatan lebih secara
memeriksa data melalui berbagai sumber. personal. Pendekatan konstruktivisme yang
Selanjutnya, sumber tersebut dijelaskan, memandang identitas sebagai produk yang
dikategorikan, dan dianalisis sehingga dihasilkan melalui proses sosial yang
sampai pada suatu simpulan. Sedangkan menyeluruh terlihat pada pemilihan genre
Menurut Lincoln dan Guba (dalam rock pada grup congrock 17 semarang.
Sumaryanto, 2007) teknik analisis data Pemilihan genre rock dihasilkan melalui
dapat dilakukan dengan menggunakan interaksi sosial dengan masyarakat yang
teknik analisis data yang dimulai dari terjadi secara terus menerus, dan terpaan
pengumpulan data, reduksi data, penyajian media secara gencar atau besar - besaran
data, dan verifikasi data. dalam mempopulerkan musik rock pada
HASIL DAN PEMBAHASAN saat itu.
Berikut ini adalah hasil terkait dengan Pengaruh media dalam
masalah dalam penelitian, yaitu tentang pembentukan identitas rock pada grup
congrock 17 semarang tidak berlangsung
4
dalam kurun waktu sesaat, namun artifisialitas dari seluruh bentuk ekspresi
berlangsung dalam waktu yang cukup simbolik kekuasaan.
panjang. Terpaan media secara terus- Grup congrock 17 semarang
menerus dalam menyebarkan keroncong menunjukan sikap ambivalensi karena di
pada kurun waktu yang panjang menjadi satu sisi ia ingin membangun identitas
salah satu faktor kuat dalam pembentukan persamaan dengan mempertahankan
rock pada grup congrock 17 semarang. keroncong, namun di sisi lain ia juga ingin
Interaksi sosial yang terjadi antara anggota menunjukan perbedaannya dengan
grup congrock 17 dan masyarakat di memasukan musik rock. Penjajahan pada
lingkungannya yang juga menggemari rock konteks ini diartikan sebagai peran
turut berperan besar dalam pembentukan kelompok dominan yang melakukan
identitas rock hingga mencapai popularitas strategi globalisasi untuk menyebarkan
pada saat ini. sebuah bentuk kebudayaan, dalam hal ini
Identitas Keroncong Rock Kajian rock. Ketimpangan atau
Poskolonial ketidakseimbangan dalam menyebarkan
Melalui konsep teori poskolonial informasi atau wacana yang dilakukan oleh
oleh Homi Bhabha mengenai hibriditas media pada saat itu mempengaruhi posisi
budaya dan mimikri, produk-produk budaya lokal, dalam hal ini musik
kontemporer memberikan dan keroncong menjadi termarginalkan.
menciptakan ruang “antara” / “ketiga” Berbeda halnya dengan yang terjadi pada
untuk mengaktualisasikan kebudayaan jenis musik yang dibawa oleh kelompok
daerah yang terpinggirkan. (Wirawan, dominan, yaitu musik rock yang disebarkan
2017) oleh media secara bersar – besaran pada
Mimikri dan Hibriditas kurun waktu yang panjang hingga
Tindakan yang dilakukan oleh grup berdampak besar pada masyarakat. Tindak
congrock 17 semarang dalam proses mimikri yang dilakukan oleh grup
penciptakan musik dengan genre keroncong congrock 17 semarang salah satunya ialah
rock dapat dipandang sebagai bentuk dengan mengadopsi pola ritme yang
perilaku mimikri. Mimikri dalam hal ini terdapat pada rock, yang kemudian diberi
dipandang sebagai sebuah tindakan isi irama keroncong sebagai budaya lokal
(performance) yang memperlihatkan hingga melahirkan apa yang disebut
dengan keroncong rock.
5
Grup congrock 17 semarang hibriditas yang terbentuk salah satunya
melakukan mimikri dalam proses meniru karena hegemoni media yang terjadi di
gaya musik rock yang disebarkan oleh Indonesia. Keroncong rock sebagai musik
media, khususnya dalam hal pola irama hibrid tidak terlepas dari politik identitas
nge-rock. Namun dengan melakukan yang memiliki pengaruh besar dalam
mimikri, grup congrock 17 semarang penciptaan karya-karya grup congrock 17
sebenarnya juga mengolok-olok (mocking) Semarang. Pada proses hibridisasi
/ memparodikan tren musik rock saat itu. keroncong rock, juga terdapat proses imitasi
Meskipun saat ini grup congrock 17 dan mimikri dalam keberlangsungannya.
semarang menjadi olokan bagi beberapa Hibriditas dalam keroncong rock dapat
kelompok keroncong, namun keroncong dengan jelas dilihat dari performance serta
rock yang ia bawa juga menjadi sindiran bentuk musik dalam karya-karya grup
untuk tren musik global yang tidak congrock 17 semarang.
sepenuhnya mampu menaklukan sikap Namun hibriditas dalam hal ini bukan
bermusik musisi lokal. Grup congrock 17 sekedar percampuran antara yang lokal
semarang juga menunjukan bahwa ia dengan yang modern. Hal yang tampak
mampu dalam menciptakan ‘pasar’ baru. pada subjek yang telah dibentuk oleh
Keroncong rock yang dibawakan oleh grup kelompok dominan melalui media yang
congrock 17 semarang secara samar telah ternyata bisa menerapkan sekaligus
menghapus batas-batas kultural antara rock memainkan modernitas dalam wacana
sebagai budaya global, dan keroncong maupun kehidupan sehari-hari, tanpa harus
sebagai budaya lokal. Tindakan mimikri kehilangan budaya atau tradisi mereka
atau peniruan pada identitas keroncong sepenuhnya. Pada saat kelompok subordinat
rock yang dilakukan oleh grup congrock 17 tampak sudah menjadi manusia-manusia
semarang kemudian melahirkan apa yang modern, kenyataannya mereka tidak
disebut dengan hibriditas. mengambil, mengadopsi, dan menerapkan
Pemahaman tentang hibriditas bukan sepenuhnya kebenaran ideologi pengetahun
sekedar wacana tentang percampuran modern yang disebarluaskan secara besar -
budaya, namun lebih dari itu konsep besaran melalui program-program maupun
hibriditas memiliki persoalan politik pembacaan dalam media populer. (Bhabha,
kultural yang mendasari kelahirannya. 1984)
Identitas genre keroncong rock adalah
6
Grup congrock 17 semarang dalam 17 semarang juga melakukan mimikri
hal ini juga muncul dengan realita yang dengan cara mengadopsi rock, khususnya
berbeda hingga menciptakan zona abu-abu pada aspek penampilan dan performance di
(grey zone) yang terdapat dalam keroncong atas panggung, Pilihan grup congrock 17
rock. Zona antara eksotisme dan semarang untuk tetap mempertahankan
modernitas, bentuk peniruan dan kelihaian sebagian budaya lokal, khususnya musik
memadukan musik lintas budaya, kesadaran keroncong, dapat menjadi strategi kultural
diri membawa kearifan lokal dan yang bisa membalik tujuan yang
menciptakan hiburan lintas budaya muncul dikehendaki kapitalis dalam melakukan
dalam keroncong rock grup congrock 17 strategi globalisasi melalui media.
semarang. Grup congrock 17 semarang Identitas keroncong rock grup
tidak memposisikan rock sebagai simbol congrock 17 semarang kemudian dapat
dari kekuasaan kapitalis, tetapi sekedar dipahami sebagai ruang ketiga atau ruang
sebagai tanda dimana ia bisa secara bebas ‘antara’ dimana terdapat negosiasi dalam
menegosiasikan lokalitas sembari hibriditas rock keroncong. Sikap grup
mengartikulasikan modernitas tetapi tidak congrock 17 semarang menunjukan bahwa
sepenuhnya. ia tidak menolak identitas atau budaya yang
Ruang ketiga keroncong rock grup dibawa oleh kelompok dominan melalui
congrock 17 media, melainkan justru menunjukan
Rock merupakan produk budaya dinamika pembentukan identitas yang terus
yang dipopulerkan oleh media milik berubah serta strategi ‘bertahan’ dari
kelompok dominan dalam kurun waktu terpaan budaya dominan, dalam hal ini
yang panjang. Grup congrock 17 semarang rock. Keroncong rock grup congrock 17
sebagai subjek pada penelitian ini tanpa semarang merupakan bentuk negosiasi
disadari juga menerima akibat dari terpaan identitas kultural dalam mediasi ruang
media yang menyebarkan rock secara terus ketiga.
menerus. Rock yang menjadi tren di Negosiasi antara rock dan keroncong
kalangan anak muda dan remaja kemudian adalah wacana hibriditas yang berlangsung
mempengaruhi grup congrock 17 semarang dalam perilaku ambivalensi, yaitu meniru
dalam melakukan imitasi pada pakaian, sekaligus mengejek, serta tidak sepenuhnya
style, dan gesture yang ditampilkan di atas ditundukkan dalam diskriminasi kultural
panggung hingga saat ini. Grup congrock yang terjadi dalam strategi globalisasi, yang
7
dilakukan media. Performance dan karya genre rock adalah akibat dari pengaruh
musik grup congrock 17 semarang yang media dalam melakukan strategi
ditampilkan di atas panggung menunjukan globalisasi.
negosiasi identitas kultural antara rock dan Pembentukan keroncong rock ini
keroncong yang meliputi lintas pertukaran dianalisis menggunakan konsep mimikri
dan pertemuan tampilan budaya secara terus dan hibriditas untuk melihat celah pada
menerus. ruang ‘antara’ atau ruang ketiga yang dapat
SIMPULAN mendeskripsikan posisi keroncong rock
Berdasarkan hasil dan diskusi yang dibawa oleh grup grup congrock 17
tentang Identitas dalam grup congrock 17 semarang. Keroncong rock grup congrock
kajian poskolonial, Keroncong rock 17 semarang ialah bentuk percampuran,
merupakan sebuah perilaku mimikri dan pembauran, dan interpretasi ulang atas
hibriditas yang terbentuk dalam politik sebuah kebudayaan. Tindakan grup
identitas budaya. Politik identitas pada congrock 17 semarang yang ingin tampil
keroncong rock grup congrock 17 berbeda dalam karya musiknya
semarang dipahami sebagai pembentukan menunjukan bahwa ia tidak sepenuhnya
serta penggabungan lintas genre musik tunduk pada arus global yang dibawa oleh
yang dikemas oleh grup congrock 17 media, yang saat itu menjadi tren di
semarang. Keterkaitan fenomena tersebut kalangan anak muda dan remaja. Grup
dalam keroncong rock grup congrock 17 congrock 17 semarang juga menunjukan
semarang terlihat pada besarnya dampak sikap ambivalensi karena di satu sisi ia
hegemoni media yang sangat berpengaruh ingin membangun identitas persamaan
pada pemilihan genre rock oleh grup dengan keroncong, namun di sisi lain ia
congrock 17 semarang. Perpaduan antara juga ingin mempertahankan perbedaannya
genre keroncong dan rock dalam karya dengan memasukan musik rock sebagai
grup congrock 17 semarang terjadi karena musik pengiring. Berdasarkan hal tersebut,
pembentukan identitas dalam konsep maka dapat dipahami bahwa tindakan grup
primordialisme serta hegemoni media congrock 17 semarang merupakan bentuk
sebagai faktor utama dalam pemilihan aktualisasi keroncong yang dimunculkan
genrenya. Namun grup congrock 17 dengan makna-makna baru. Grup congrock
semarang tidak sepenuhnya menyadari 17 semarang menunjukan sebuah
bahwa faktor-faktor dibalik pemilihan ambivalensi antara meniru gaya
8
performance serta pola irama pada rock Tinjauan Estetika, 16(2), 75–83.
Moleong, L. J. (2012). Metodologi
dan ketidakpatuhan untuk memainkan
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
musik pengiring keroncong yang sejenis. Remaja Rosdakarya.
Purwanto. (2015). Politik Identitas Dan
Pemilihan identitas keroncong rock
Resolusi Konflik Transformatif.
sebagai genre musik grup congrock 17 Jurnal Review Politik, 5(01).
Rachmawati, L., Rohidi, T., & Tarwiyah, T.
semarang adalah bentuk negosiasi budaya
(2016). Yen Ing Tawang Ana Lintang
lokal yang tampak jelas dalam karya- Kasus Bentuk Musik Keroncong
Group Congrock 17 Di Semarang.
karyanya. Penampilan grup congrock 17
CATHARSIS, 5(2).
semarang di atas panggung menjadi wujud Ratna, N. K. (2010). Metodologi Penelitian
Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
kamuflase yang melintasi batas-batas
Humaniora pada Umumnya.
kultural antara keroncong dan rock. Sikap Metodologi Penelitian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
grup congrock 17 semarang menunjukan
Sardo, S. (2010). Proud to be a Goan :
bahwa ia tidak menolak identitas atau colonial memories , post-colonial
identities and music Proud to be a
budaya yang dibawa oleh kelompok
Goan : colonial memories , post-
dominan melalui media, melainkan justru colonial identities and music. Jurnal
International Migracoes, 7, 57–72.
menunjukan dinamika pembentukan
Sedyawati, E. (2002). Indonesia Heritage
identitas yang terus berubah serta strategi Seni Pertunjukan. Jakarta: Buku Antar
Bangsa.
‘bertahan’ dari terpaan budaya dominan.
Sumaryanto, T. (2007). Pendekatan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah Kuantitatif dan Kualitatif. Semarang:
UNNES PRESS.
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
Susanto, B. (2003). Identitas dan
keroncong rock grup congrock 17 Poskolonialitas di Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
semarang merupakan negosiasi identitas
Widiastuti, T. (2015). Wacana Poskolonial
kultural yang terbentuk dalam ruang ketiga dalam Desain Komunikasi Visual
Kemasan Jamu Tradisional Indonesia.
serta mencakup pertemuan dan pertukaran
Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(1), 1–15.
budaya secara terus menerus. Wirawan, S. (2017). Krisis Identitas
Budaya: Studi Poskolonial Pada
DAFTAR PUSTAKA
Produk Desain Kontemporer. Jurnal
Bhabha, H. (1984). Of Mimicry and Man: Desain, 04(03), 311–324.
The Ambivalence of Colonial
Discourse. Spring, 28, 125–133.
https://doi.org/10.2307/778467
Hadi, S. (2006). Analisis Regresi.
Yogyakarta: Andi Offset.
Laksono, K., Purba, S. A., & Hapsari, D.
(2015). Musik Hip-Hop sebagai
Bentuk Hybrid Culture dalam
9

Anda mungkin juga menyukai