Anda di halaman 1dari 19

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum

(Dosen Pengampu : Ibu Hj. Yeyet Solihat, SH.,MKN)

Kelompok 5

Nama Anggota :
1. Akhadi Wira Satria ( 1810631030054 )
2. Dela Nadia Alfiani ( 1810631030201 )
3. Irma ( 1810631030055 )
4. Gita Indah Cahyani ( 1810631030048 )
5. Marsha Caesarani ( 1810631030045 )
6. Risma Zaharani ( 1810631030033 )
7. Vera Monika Ayu Arista ( 1810631030038 )
8. Saffanah Julita (1810631030202)

Kelas : AK - 2

PRODI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI dan BISNIIS

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

Jl. HS.Ronggo Waluyo, Puseurjaya, Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat 41361

2018
Daftar Isi
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................
1.3 Tujuan...........................................................................................................
1.4 Manfaat.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Arti dan Makna Pancasila............................................................................


2.2 Pengertian Paradigma..................................................................................
2.3 Pancasila Dalam Konteks Negara Hukum..................................................
2.4 Pancasila sebagai Paradigma pembangunan di bidang hukum.................
2.5 Implementasi atau Pelaksanaan Pancasila dalam
Pembangunan Hukum.................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan yang sedang digalakkan perlu sebuah paradigma, yaitu sebuah kerangka berpikir atau
sebuah model mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakuka.

Pembangunan itu meliputi beberapa aspek, salah satunya adalah pembangunan hukum. Pancasila
merupakan hasil berfikir secara kefilsafatan, suatu hasil pemikiran yang mendalam dari para pendiri
Negara Indonesia, yang disyahkan sebagai dasar filsafat negara pada tanggal 18 Agustus 1945. Dengan
demikian, pancasila merupakan konsensus filsafat yang akan melandasi dan memberikan arah bagi sikap
dan cara hidup bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai ideologi negara berisikan ajaran mengenai Ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan bagi
permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh warga Indonesia. Nilai-nilai itu berpangkal
dari pangkal alam pikiran budaya Indonesia dan terkait dengan perjuangan bangsa (Pranarka, 1985).

Pancasila sebagai ideologi berarti suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita
mengenai sejarah manusia, masyarakat dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
Oleh karena itu pengertian ideologi ini sama artinya dengan pandangan hidup bangsa atau biasa disebut
falsafah hidup bangsa.

Jika dilihat dari nilai-nilai dasarnya, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka. Dalam
ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai yang mendasar,bersifat tetap dan tidak berubah. Hal tersebut
menunjukka bahwa Pancasila layak menjadi paradigma atau kerangka berpikir untuk pembangunan
hukum.

Sebuah kerangka berpikir harus disertai sebuah pelaksanaan atau implementasi karena pada dasarnya
kerangka berpikir digunakan sebagai perencanaan sebuah pelaksanaan untuk mencapai sebuah tujuan.

Oleh karena itu, maka kami menyusun makalah yang berjudul “Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Hukum dan Implementasinya.”
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah arti dan makna Pancasila sebagai dasar negara dalam konteks negara hukum ?
2. Bagaimana peran Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum?
3. Bagaimanakah konsep Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara ?
4. Bagaimana implementasi Pancasila dalam pembangunan hukum?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui peran Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum.


2. Untuk mengetahui implementasi Pancasila dalam pembangunan hukum.

1.4 Manfaat

1. Mengetahui peran Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum.


2. Mengetahui implementasi Pancasila dalam pembangunan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Arti dan Makna Pancasila

Kata Pancasila sebagai pandangan hidup serta dasar negara bangsa Indonesia,
secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta. Menurut Muh. Yamin, dalam
bahasa Sansekerta kata Pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal, yaitu
panca yang berarti lima dan syila yang berarti batu sendi, alas atau dasar. Kata syila
juga bisa berarti peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh.
Kata tersebut dalam bahasa Indonesia diartikan sama dengan kata susila yang
berhubungan dengan moralitas. Oleh sebab itu secara etimologis Pancasila berarti
berbatu sendi lima atau peraturan tingkah laku yang penting.

Dalam sejarah Indonesia kuno, perkataan Pancasila terdapat dalam buku


Negarakertagama, suatu catatan sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit yang
ditulis oleh Empu Prapanca, penulis dan penyair istana.Seokarno mengambil alih
tema ini tetapi memberinya isi dan makna baru. Menurut Muh. Yamin, Pancasila
adalah hasil galian Soekarno yang mendalam dari jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia. Soekarno bahkan mengatakan bahwa ia telah menggalinya dari masa
jauh sebelum Islam. Menurut jalan pikirannya, Pancasila adalah refleksi
kontemplatif dari warisan sosiohistoris Indonesia yang oleh Soekarno dirumuskan
dalam lima prinsip.

Istilah Pancasila yang berasal dari bahasa Sansekerta lalu menjadi bahasa
Jawa Kuno ini pada akhirnya dijadikan istilah untuk memberi nama filsafat dasar
negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai dasar dan idiologi negara, Pancasila
yang digali dari budaya bangsa Indonesia memiliki peran dan fungsi yang sangat
luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fungsi dan peran Pancasila terus
berkembang sesuai dengan tuntunan perubahan jaman.

2.2 Pengertian Paradigma

Istilah paradigma berasal dari bahasa Latin yaitu paradeigma yang berarti
pola. Istilah paradigma pertama kali dikemukakan oleh Thomas Khun dalam karya
monumentalnya, Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan. Ia mengartikan paradigma
sebagai pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject
matter). Gagasan utama Khun adalah memberikan alternatif baru sebagai upaya
menghadapi asumsi yang berlaku umum di kalangan ilmuwan tentang
perkembangan ilmu pengetahuan, yang pada umumnya berpendapat bahwa
perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan tersebut terjadi secara kumulatif.
Pandangan demikian sebagai mitos yang harus dihilangkan. Sedangkan Khun
berpendirian bahwa ilmu pengetahuan berkembang tidak secara kumulatif
melainkan secara revolusi. Dengan pengertian revolusi, Khun menjelaskan bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan akan terjadi melalui pergantian paradigma:
paradigma yang lama diganti, baik secara menyeluruh maupun sebagian, dengan
paradigma baru.

Sofian Effendi dalam Lili Rasjidi menjelaskan bahwa istilah paradigma oleh
Khun dipergunakan untuk menunjuk dua pengertian utama. Pertama, sebagai
totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan, nilai persepsi, dan teknik yang dianut oleh
akademisi maupun praktisi disiplin ilmu tertentu yang mempengaruhi cara pandang
realitas mereka. Kedua, sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu
pengetahuan yang mampu mengjungkirbalikkan semua asumsi maupun aturan yang
ada. Lebih lanjut Lili Rasjidi memaparkan bahwa pengertian paradigma
sebagaimana yang diintrodusi Scott mengandung beberapa aspek penekanan yaitu
bahwa paradigma merupakan, pertama, sebagai pencapaian yang baru yang
kemudian diterima sebagai cara untuk memecahkan masalah dan pola pemecahan
masalah masa depan. Hal menarik dari pengertian ini adalah bahwa paradigma
adalah cara pemecahan masalah yang seharusnya memiliki daya prediksi masa
depan. Kedua, sebagai kesatuan nilai, metode, ukuran dan pandangan umum yang
oleh kalangan ilmuwan tertentu digunakan sebagai cara kerja ilmiah pada
paradigma itu. Dengan demikian istilah Paradigma sesungguhnya merupakan cara
pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar untuk memecahkan suatu
masalah yang dihadapi oleh suatu bangsa ke masa depan.

2.3 Pancasila Dalam Konteks Negara Hukum

Dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan


negara hukum, bukan negara kekuasaan. Eksistensi Indonesia sebagai negara
hukum ditandai dengan dengan beberapa unsur pokok seperti adanya pengakuan
prinsip-prinsip supremasi hukum dan konstitusi, adanya prinsip pemisahan dan
pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam UUD 1945,
adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan
setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang
termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
Titik Mulyadi menjelaskan bahwa pemerintahan berdasarkan hukum
merupakan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan tidak
berorientasi kepada kekuasaan. Pada negara berdasarkan atas hukum, hukum
ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahannya (supremasi hukum) sehingga dianut tentang “ajaran kedaulatan
hukum” yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi.Secara teoritis konsep
negara hukum yang dianut Indonesia tidak dari dimensi formal, melainkan dalam
arti materiil atau lazim dipergunakan terminologi Negara Kesejahteraan (Welfare
State) atau “Negara Kemakmuran”. Oleh karena itu, tujuan yang hendak dicapai
negara Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual
maupun materiil berdasarkan Pancasila, sehingga disebut juga sebagai negara
hukum yang memiliki karakteristik mandiri. Konkritnya, kemandirian tersebut
dikaji dari perspektif penerapan konsep dan pola negara hukum pada umumnya
sesuai kondisi bangsa Indonesia dengan tolak ukur berupa Pancasila. Oleh karena
itu, negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain,
negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila
diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, negara hukum Indonesia bisa
juga dinamakan negara hukum Pancasila.

Pancasila dalam konteks negara hukum pada dasarnya memiliki beberapa


karakteristik yang memberikan pengaruh pada tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Pertama, Pancasila menghendaki keserasian hubungan
antara pemerintah dan rakyat dengan mengedepankan asas kerukunan. Asas
kerukunan dalam negara hukum Pancasila dapat dirumuskan maknanya baik secara
positif maupun negatif. Dalam makna positif, kerukunan berarti terjalinnya
hubungan yang serasi dan harmonis, sedangkan dalam makna negatif berarti tidak
konfrontatif, tidak saling bermusuhan. Dengan makna demikian, pemerintah dalam
segala tingkah lakunya senantiasa berusaha menjalin hubungan yang serasi dengan
rakyat.
Kedua, Pancasila menjamin adanya kebebasan beragama. Hal ini menunjukkan
adanya komitmen yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya untuk
mengimplementasikan kekebasan dalam memeluk dan beribadat menurut agamanya
tanpa khawatir terhadap ancaman dan gangguan dari pihak lain. Ketiga, Pancasila
mengedepankan asas kekeluargaan sebagai bagian fundamental dalam
penyelenggaraan pemerintah. Menguatnya asas kekeluargaan ini memberikan
kesempatan atau peluang kepada rakyat banyak untuk tetap survive guna
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya, sejauh tidak mengganggu hajat
hidup orang banyak.
Keempat, Pancasila mengedepankan prinsip persamaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Secara konstutusional UUD 1945 Pasal 28D memberikan landasan
untuk lebih menghargai dan menghayati prinsip persamaan ini dalam kehidupan
negara hukum Pancasila, yakni antara lain :

1. setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian


hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum;
2. setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
3. setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. Penegakan prinsip persamaan ini menjadi prasyarat dalam
rangka mendukung eksistensi negara hukum Pancasila untuk
mengaktualisasikan atau mengimplementasikan komitmennya dalam
mensejahterahkan kehidupan lapisan masyarakatnya sebagai misi dari
penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri.

2.4 Pancasila sebagai Paradigma pembangunan di bidang hukum


Negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang diikutinya
adalah hukum yang baik dan adil. Begitu juga dengan Indonesia. Negara Indonesia
adalah negara hukum, seperti yang tertuang dalam UUD’45 BAB 1 Pasal 1 ayat 3.
Pancasila pantas dijadikan sebagai landasan hukum karena Pancasila
merupakan konsensus filsafat yang akan melandasi dan memberikan arah bagi sikap
dan cara hidup bangsa Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia menurut wawasan Pancasila merupakan bagian
integral dari keseluruhan sistem kehidupan masyarakat sebagai satu keutuhan
melalui berbagai pengaruh dan interaksinya dengan sistem-sistem lainnya.
Menurut Soerjanto Poespowardojo (1898) Pancasila sebagai ideologi nasional
memberikan ketentuan mendasar, yakni:
1. Sistem hukum dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai
sumbernya,
2. Sistem hukum menunjukkan maknanya, yaitu mewujudkan keadilan,
3. Sistem hukum mempunyai fungsi untuk menjaga dinamika kehidupan
bangsa,
4. Sistem hukum menjamin proses realisasi diri bagi warga Indonesia dalam
proses pembangunan.
Dilihat dari arti dan makna sila Pancasila yang berkaitan dengan hukum adalah
sebagai berikut:
1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu:
a. Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi diwajibkan memeluk
agama sesuai dengan hukum yang berlaku.
b. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh suburnya agama, iman warga
negara dan menjadi mediator ketika terjadi konflik agama.
c. Dalam konteks bernegara, maka dalam masyarakat yang berdasarkan
Pancasila, dengan sendirinya dijamin kebebasan memeluk agama masing-
masing.
2. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yaitu:
a. Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah, hal ini berarti
bahwa yang dituju masyarakat Indonesia adalah keadilan dan peradaban
yang tidak pasif, yaitu perlu pelurusan dan penegakan (hukum) yang kuat
jika terjadi penyimpangan-penyimpangan.
b. Keadilan diwujudkan berdasarkan hukum.
c. Prinsip keadilan dikaitkan dengan hukum, karena keadilan harus
direalisasikan dalam kehidupan masyarakat.
d. Manusia mempunyai derajat yang sama dihadapan hukum.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, yaitu:
a. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa.
4. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan, yaitu:
a. Hukum di Indonesia menganut asas demokrasi, dalam arti umum, yaitu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
b. Perbedaan secara umum, demokrasi di barat dan di Indonesia terletak pada
permusyawaratan, yaitu mengusahakan keputusan bersama secara bulat
untuk mencapai mufakat, kemudian mengambil tindakan bersama.
5. Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yaitu:
a. Keadilan dalam hukum yang berarti adanya persamaan, penyetaraan dari
berbagai kalangan.
b. Perlindungan negara terhadap kelompok yang lemah agar masyarakat dapat
bekerja sesuai dengan bidangnya
Dari kelima sila tersebut, terdapat beberapa point yang merupakan acuan paradigma
pembangunan hukum.

Pembangunan nasional yang dilancarkan negara pada hakikatnya merupakan


usaha modernisasi dalam berbagai bidang kehidupan. Kondisi ini dapat diartikan
sebagai suatu usaha transformasi total dari pola kehidupan tradisional kepada pola
kehidupan modern sesuai dengan kemajuan jaman serta didukung oleh ilmu
pengetahun dan teknologi. Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan tersebut,
hukum harus menampakkan perannya. Dalam Pandangan Prof. Mochtar
Kusumaatmadja hukum harus mampu tampil ke depan dalam memberikan arah
pembaharuan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa hukum merupakan sarana
pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau
ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu yang
diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) diperlukan. Baik perubahan maupun
ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang
sedang membangun, maka hukum menjadi suatu yang tidak dapat diabaikan dalam
proses pembangunan.

Lebih lanjut Yusuf Anwar berpendapat bahwa segala pemikiran tentang hukum
harus dikaitkan dengan kerangka dasar pembangunan nasional. Dalam negara yang
sedang membangun seperti Indonesia, hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya-
upaya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada yang telah dicapai
sebelumnya. Peranan hukum menjadi semakin penting dalam rangka mewujudkan
tujuan pembangunan. Fungsi hukum dalam pembangunan tidak sekedar sebagai alat
pengendali sosial (social control) saja, melainkan lebih dari itu, yaitu melakukan
upaya-upaya untuk menggerakkan masyarakat agar berprilaku sesuai dengan cara-
cara baru dalam rangka mencapai suatu keadaan masyarakat yang dicita-citakan.

Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, berarti hukum


digunakan untuk mengarahkan masyarakat pada pola-pola tertentu sesuai yang
dikehendaki dengan menciptakan pola-pola baru. Hal ini berarti pula mengubah
atau bahkan menghapus kekuasaan lama yang tidak sesuai dengan perkembangan
jaman. Seharusnyalah fungsi hukum tersebut serasi dengan perkembangan
masyarakat yang sedang membangun. Dalam pembangunan terdapat hal-hal yang
harus dipelihara dan dilindungi, di lain pihak hukum diperlukan untuk menciptakan
pola-pola yang sesuai dengan pembangunan dan agar perubahan yang diakibatkan
oleh pembangunan berjalan dengan tertib dan teratur. Dengan demikian,
pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional harus dilakukan atas
dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut merupakan hasil
konsensus bersama dari masyarakat yang menjadi sumber dan motivasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dalam konteks Indonesia disebut dengan
Pancasila. Karena itu, secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai
paradigma pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional
mengandung suatu konsekuensi bahwa segala aspek pembangunan hukum dalam
kerangka pembangunan nasional harus mendasarkan kepada hakikat nilai-nilai
Pancasila.

Untuk itu, Pancasila secara utuh harus dilihat sebagai suatu national guidelines,
sebagai national standard, norm and principles yang sekaligus memuat human
rightsand human responsibility. Pancasila juga harus dilihat sebagai margin of
appreciation sebagai batas atau garis tepi penghargaan terhadap hukum yang hidup
dalam masyarakat yang pluralistik (the living law) sehingga dapat dibenarkan dalam
kehidupan hukum nasional. Tolak ukur dengan mengacu pada kandungan nilai-nilai
Pancasila untuk membentuk hukum, dengan tetap berbasis pada nilai-nilai yang
tertuang dalam 5 (lima) sila tersebut.
Oleh karena itu, menurut Prof. Muladi dalam Endang Sutrisno24 pelaksanaan
pembangunan hukum harus mampu mendayagunakan Pancasila sebagai paradigma
yang menekankan bahwa pembangunan itu harus bertumpu pada etika universal
yang terkandung pada sila-sila Pancasila seperti :

1. Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa


yang menghormati ketertiban hidup beragama, rasa keagamaan dan agama
sebagai kepentingan yang besar;
2. Menghormati nilai-nilai Hak Asasi Manusia baik hak-hak sipil dan politik
maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan dalam kerangka hubungan
antar bangsa harus menghormati “the right to development“;
3. Harus mendasarkan persatuan nasional pada penghargaan terhadap konsep
“civic nationalism“ yang mengapresiasi pluralisme;
4. Harus menghormati indeks atau “core values of democrasy“ sebagai alat
“audit democrasy“; dan
5. Harus menempatkan “legal justice“ dalam kerangka “social justice“ dan
dalam hubungan antara bangsa berupa prinsip-prinsip “global justice“.

Sementara itu harus diakui bahwa sebagai negara bekas jajahan, masih banyak
produk hukum yang digunakan merupakan warisan kolonial. Produk hukum buatan
penjajah tentunya mengandung muatan nilai-nilai kepentingan kolonialisme dan
kurang dan bahkan tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam
masyarakat. Oleh karena itu menurut Prof. Djuhaendah Hasan pembaharuan dan
pembentukan hukum nasional untuk menggantikan hukum kolonial memang mutlak
diperlukan bagi masyarakat Indonesia yang sedang membangun. Dalam pandangan
Prof. Laica Marzuki, pembinaan sistem hukum nasional seyogyanya mengacu terus
kepada upaya pengikisan sisa-sisa produk hukum kolonial Belanda yang sudah
usang (verouder) serta tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.

Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa setiap negara yang merdeka dan
berdaulat harus mempunyai suatu hukum nasional yang baik dalam bidang politik
maupun dalam bidang perdata yang mencerminkan kepribadian jiwa maupun
pandangan hidup bangsa. Pertimbangan ini pada dasarnya ditujukan dalam rangka
usaha pembinaan hukum nasional yang terus menerus dilaksanakan dalam rangka
mencapai tujuan bangsa dan negara yang telah diamanatkan dalam Pembukaan
UUD 1945, dimana sila-sila Pancasila sebagai nilai-nilai universal yang
melingkupinya.

Indonesia sebagai negara merdeka, berkepentingan untuk meninggalkan sistem


hukum kolonial dengan upaya membangun kembali sistem hukum yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai suatu paradigma yang memberikan dasar dan
arah pembangunan hukum, upaya-upaya tersebut sesungguhnya merupakan tugas
yang berat sebab membangun sistem hukum ke-Indonesia-an dengan kosmologi
Pancasila bukan sekedar mengubah secara fundamental struktur dan substansi
hukum peninggalan kolonial saja melainkan termasuk pembangunan budaya
hukum. Tentunya budaya yang sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat
Indonesia yang berlandaskan Pancasila.

Sebagai suatu paradigma dalam pembangunan hukum, Pancasila menghendaki


bahwa perkembangan dalam masyarakat memang menjadi titik tolak dari
keberadaan suatu peraturan. Karena itu hukum diarahkan untuk menjawab nilai-
nilai kebutuhan masyarakat yang berubah dan hasilnya berisikan kemajuan dan
pembaruan serta peningkatan hukum terhadap masalah yang diaturnya. Proses ini
ditujukan untuk memelihara hubungan esensial antara hukum dan kebutuhan
masyarakat dengan maksud agar hukum menjadi efektif, pasti, mudah dicari dan di
mengerti oleh setiap anggota masyarakat, yang tentunya dalam bingkai Negara
Hukum Pancasila.
Albert Hasibuan mengemukakan bahwa reformasi yang demokratis berdasarkan
Pancasila selalu mendorong lahirnya politik pembaruan hukum yang bertujuan agar
reformasi hukum berlangsung secara lebih baik (law reform for the better). Kenapa?
Sebab, didorong oleh dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Karena
itu, harus dipahami bahwa reformasi hukum untuk yang lebih baik sangat erat
dengan dinamika kebutuhan masyarakat. Bagaimana caranya politik pembaruan
hukum itu dilaksanakan? Salah satunya dilaksanakan melalui evaluasi hukum dan
perundang-undangan (evaluatie van wetgeving).

Terkait hal tersebut, Albert Hasibuan menguraikan lebih lanjut bahwa evaluasi
hukum, berdasarkan pembaruan hukum untuk yang lebih baik, tujuannya agar
hukum itu menjadi efektif. Seperti diketahui, efektivitas hukum berkaitan dengan
peranan hukum sebagai alat atau instrument untuk tujuan politik reformasi yang
demokratis berdasarkan UUD 1945 dengan melaksanakan nilai-nilai atau waarborg
dari prinsip negara hukum. Dengan mengambil dan melaksanakan nilai-nilai hukum
yang hidup di tengah rakyat (living law of the people), maka evaluasi hukum dan
perundang-undangan akan menghasilkan politik pembaruan hukum untuk yang
lebih baik, sesuai keadilan dan HAM, persamaan, pluralisme, dan sebagainya yang
merupakan pengejewantahan nilai-nilai Pancasila. Berdasarkan ini semua, Pancasila
sebagai suatu paradigma memberikan dasar dan arah di mana dengan dilaksanakan
politik pembaruan hukum tersebut, setiap hukum atau undang-undang yang tidak
relevan dan bertentangan perasaan dan kesadaran hukum masyarakat dibaharui
untuk dinamika kemajuan masyarakat yang Pancasilais.

2.5 Implementasi atau Pelaksanaan Pancasila dalam Pembangunan Hukum


Implementasi atau pelaksanaan Pancasila dalam pembangunan hukum diawali dari
sebuah paradigma yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah tindakan, yang
disebut implementasi, pelaksanaan atau penerapan dari sebuah kerangka berpikir.
Implementasi atau pelaksanaan Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum
terbagi menjadi dua bentuk implementasi, yaitu implementasi positif dan negatif.
Adapun maksud dari implementasi positif adalah wujud pelaksanaan nilai-nilai
dalam sila Pancasila yang berada dalam ruang lingkup tindakan positif. Salah satu
bentuk implementasi tersebut adalah pembentukan UUD’ 45 sebagai dasar
pembangunan hukum di Indonesia.
Dilihat dari nilai-nilai pada sila pancasila yang berkaitan dengan hukum, maka
bentuk implementasi tersebut terdapat dalam UUD’ 45, antara lain sebagai berikut:
1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, terdapat dalam:
a. BAB X A pasal 28 E:
1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
dst.
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
b. BAB XI pasal 29:
1) Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.

2. Sila Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, terdapat dalam:


a. BAB X Pasal 27, ayat 2, yaitu Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
b. BAB XA Pasal 28A, 28B, 28C, 28D,28G, 28H, 28J,
c. BAB XIII Pasal 31 ayat 1, yaitu Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan.

3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, terdapat dalam:


a. BAB 1 Pasal 1 ayat 1 yaitu Negara Indonesia ialah negara Kesatuan yang
berbentuk Republik
b. BAB X Pasal 27 ayat 5, yaitu Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serat
dalam upaya pembelaan negara.
c. BAB XA Pasal 28I ayat 1 dan 3
d. BAB XII Pertahanan negara dan keamanan negara
e. BAB XV Bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan

4. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan


dalam permusyawaratan perwakilan, terdapat dalam:
a. BAB II Majelis Permusyawaratan Rakyat
b. BAB V Kementerian Negara
c. BAB VI Pemerintahan Daerah
d. BAB VII Dewan Perwakilan Rakyat
e. BAB VIIA Dewan Perwakilan Daerah
f. BAB VIIB Pemilihan Umum
g. BAB X Pasal 28, yaitu Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang.
h. BAB XA Pasal 28E ayat 3, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
i. BAB XA Pasal 28F

5. Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruuh rakyat Indonesia, terdapat


dalam:
a. BAB VII Hal keuangan
b. BAB VIII Badan Pemeriksa Keuangan
c. BAB XIII Pasal 31 butir keempat
d. BAB XIV Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial
Sedangkan maksud dari implementasi negatif adalah wujud penyimpangan dalam
pelaksanaan UUD’45, yang merupakan dasar pembangunan hukum di Indonesia.
Bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan UUD’ 45 antara lain sebagai berikut:
1. Sila pertama
Penyerangan terhadap Ahmadiyah, yang menimbulkan banyak kontroversi
maupun pertentangan. Ahmadiyah memiliki sebuah keyakinan bahwasanya Nabi
terakhir mereka adalah Mirza Ghulam Ahmad, hingga mereka mengganti syahadat
yang seharusnya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad
adalah utusan Allah, diganti menjadi Mirza Ghulam Ahmad adalah utusan Allah.
Wujud penyerangan tersebut sudah menyalahi UUD’45 BAB XI Pasal 29 ayat 2,
yaitu Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Sila kedua
Adanya kriminalisasi KPK dan rekayasa kasus pembunuhan dengan terdakwa
Antasari Azhar. Terkuaknya fakta kedua kasus tersebut benar-benar membuktikan
jika hukum tidaklah berlaku di Indonesia. Yang kaya menang ataupun bebas, yang
miskin teraniaya. Hal tersebut telah menyalahi UUD’45 Bab XA Pasal 28D ayat 1
yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
3. Sila ketiga
Adanya mitos di Papua akan datangnya orang-orang kuat dari luar yang akan
menjadi pemimpin mereka, sehingga mitos tersebut akhirnya melembaga dalam
kehidupan politik yang diungkapkan oleh para aktivis Papua, bahwasanya Papua
hendak berpisah dengan Indonesia. Hal tersebut menyalahi UUD’45 Bab XII Pasal
30 ayat 1 yaitu Tiap-tiap warga negara verhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.
4. Sila keempat
Adanya penyelewengan keuangan di lingkungan Kotamadya Jakarta Barat
berupa uang kas sebesar Rp. 8,2 miliar. Uang kas tersebut digunakan untuk
kepentingan pribadi oleh bendahara pengeluaran. Hal tersebut menyalahi UUD’45
BAB VI Pasal 16 ayat 2 yaitu Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan
Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
5. Sila kelima
Papua kaya akan tambang emas. Namun kenyataan yang ada, banyak rakyat
mereka yang hidup susah. Mereka benar-benar tidak mendapatkan hasil dari bumi
mereka sendiri. Jika dibandingkan dengan kota Jakarta. Jakarta tidak mampu
menghasilkan emas seperti halnya Papua. Tetapi dibalik semua kekurangannya
tersebut, Jakarta mampu melakukan pembangunan secara besar-besaran hanya
karena disebut sebagai ibukota negara. Sedangkan daerah yang menjadi sumber
penghasilan negara yang ada ditempat jauh, diabaikan layaknya anak tiri oleh
ibunya. Pelaksanan pembangunan tidak mampu dilakukan secara adil dan merata.
Daerah yang kaya akan hasil bumi ternyata tidaklah mendapatkan apa-apa dari apa
yang mereka miliki. Hal tersebut menyalahi UUD’45 BAB XIV Pasal 33 ayat 3
yaitu Perekonomian nasonal diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajaun dan
kesatuan ekonomi nasional.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa nila-nilai, arti atau
makna yang terdapat dalam sila Pancasila merupakan landasan kerangka berpikir
untuk mencapai tujuan bersama, sehingga layak disebut sebagai paradigma dalam
pembangunan, lebih khususnya adalah pembangunan hukum. Pelaksaanaan atau
implementasi dari paradigma tersebut sudah diimplementasikan dalam
pembentukan UUD’45.

3.2 Kritik dan Saran


Adanya penyelewengan terhadap pembentukan UUD’45 yang merupakan
dasar pembangunan hukum di Indonesia, yang berdasarkan kerangka pikir nilai-
nilai, arti atau makan sila Pancasila, baik pemerintah, maupun masyarakat Indonesia
harus menjunjung tinggi keberadaan pacasila sebagai ideologi bangsa yang haus
ditegakkan demi berlangsungnya penghidupan yang layak untuk bangsa, karena
pada dasarnya, Pancasila merupakan hasil pemikiran dan visi bangsa yang harus
ditempuh bersama.
DAFTAR PUSTAKA

http://bachtiar-bachtiarfadhil.blogspot.com/2009/05/hukum.html

http://cintamenulis-cintamenulis.blogspot.com/2011/09/tugas-kelompok-pendidikan-pancasila.html
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan
makalah ini dengan judul “Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum”
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pancasiila
dan CitizenShip. Dalam makalah ini membahas tentang pancasila sebagai asas atau
dasar pembangunan dalam hukum. Akhirnya saya sampaikan terima kasih atas
perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi diri saya sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak ada
gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat
saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas
yang lain dan pada waktu mendatang.

Karawang, 20 Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai