Anda di halaman 1dari 9

Hari/Tanggal : Rabu, 06 Februari 2019

Waktu : 14.30 – 17.00 WIB


Dosen Pembimbing : drh. Huda S. Darusman, MSi, PhD.

ANAESTHESI PERINHALASI DAN ANAESTHESI PERINJEKSI

Kelompok 4

1. Hania Rahmadhanty (B04160100)


2. Natasya C Tambunan (B04160111)
3. Syahrul Habibie (B04160118)
4. Maria yohana (B04160138)
5. Elvina Nurfadhilah (B04160139)
6. Desi Amalia (B04160150)

Depatemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi


Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
2019
PENDAHULUAN

Anestesi adalah suatu keadaan mematikan rasa sehingga pasien menjadi rileks.
Anestesi dibagi menjadi tiga kelas yaitu anestesi umum, anestesi regional dan anestesi lokal.
Anestesi terdiri dari beberapa bentuk, salah satu di antaranya adalah anestesi inhalasi yang
saat ini sudah banyak dipakai. Hal yang perlu di monitoring adalah perubahan hemodinamik
salah satunya yaitu perubahan frekuensi nadi. Teknik yang sering digunakan pada anestesi
umum ialah anestesi inhalasi, dan teknik intravena sebagai alternatif. Umumnya, agen intra-
vena digunakan untuk induksi dan agen inhalasi digunakan untuk pemeliharaan.
Anestesi perenteral termasuk ke dalam anaestesikum per-injeksi, yaitu senyawa yang
dapat menimbulkan efek anestesi dan diberikan melalui suntikan. Efek samping dari anestesi
tersebut yaitu mendepres sistem pernafasan, aritmia jantung, hipotensi, spasmus otot pada
bronko dan laryng, mual dan rasa pusing setelah operasi. Anaestesi inhalasi adalah senyawa
yang dapat menimbulkan efek anaestesi dan diberikan secara inhalasi dengan oksigen sebagai
pelarut. Anestesi ini mudah menguap karena pada umumnya berupa gas atau cairan yang
mudah menguap.
Tujuan praktikum ini adalah mengetahui cara aplikasi obat khususnya anaesthesi
perinhalasi, mengetahui pengaruh pemberian atropine bagi premedikasi pada anaesthesi
inhalasi dan melihat efek anaesthesi inhalasi pada setiap stadium. Praktikum ini juga
bertujuan mengetahui efek anaesthesi perinjeksi pada mencit dan katak.

METODE

Tempat dan waktu

Praktikum Farmakologi II ini dilakukan di Ruang Praktikum FIFARM FIFARM 3


pada hari Rabu, 06 Februari 2019.

Bahan dan alat

Alat dan bahan yang digunakan adalah syringe berukuran 1 ml, glass chamber
berbentuk kotak, gelas ukur, wadah obat anestesi inhalasi dalam bentuk cairan, kapas, dan
timbangan kandang restrain, stopwatch, lap tangan, talenan, tikus, Kloralhidrat, MgSO4,
alcohol 70%, eter, atropin sulfat, pentobarbital dan katak.

Prosedur

Cara anaesthesi perinhalasi


Sebanyak dua ekor kucing domestik diukur berat badannya menggunakan timbangan,
kemudian salah satu kucing diberikan obat premedikasi berupa atropine sulfat sejumlah 0,1
mg/kgBB melalui injeksi subkutan. Area injeksi subkutan dihapushamakan menggunakan
kapas beralkohol (alkohol 70%) kemudian dilakukan injeksi obat premedikasi. Setelah itu,
kucing dibiarkan selama 10 menit kemudian kedua kucing dimasukkan ke dalam dua glass
chamber berbentuk kotak berbeda yang sudah terdapat wadah terbuka berisi kapas di
dalamnya. Eter diukur di dalam gelas ukur, kemudian dituang ke masing-masing kapas yang
berada dalam glass chamber. Dosis eter yang digunakan adalah 0,25 ml/kgBB (dalam
ampule). Gejala klinis yang tampak saat fase anestesi diamati, kemudian hasil dibandingkan
antara kucing yang diberikan obat premedikasi dengan yang tidak.

Cara anaesthesi perinjeksi


1. Mencit
Kulit di daerah tengkuk diangkat dan ke bagian bawah kulit dimasukkan obat dengan
menggunakan alat suntik 1 ml & jarum ukuran 27G/ 0,4 mm. Selain itu juga bisa di
daerah belakang tikus.
2. Katak
Pegang katak pada daerah leher atau punggung, hati hati permukaan kulit katak licin.
gunakan syringe 1ml dan tusuk melalui paha sampai menembus ke rongga abdomen
tetapi masih dalam subkutan, sehingga syringe terlihat melalui permukaan

PEMBAHASAN

Obat premedikasi yang digunakan dalam percobaan adalah atropine sulfat. Atropin
(Atropin belladona) merupakan salah satu obat yang memiliki efek kerja sebagai antagonis
muskarinik. Antagonis muskarinik beraksi secara selektif dalam menghambat aktivitas saraf
parasimpatik sehingga sering juga disebut sebagai obat parasimpatolitik. Atropin bekerja
pada organ saluran pernafasan sehingga menyebabkan bronkhodilatasi (Nugroho 2012).
Hambatan yang dilakukan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian
asetilkolin dalam jumlah banyak ataupun dengan pemberian antikolinesterase (Zunilda 2007).
Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar organ.
Penggunaan atropin dalam dosis kecil hanya mampu menekan sekresi air liur dan mucus
yang dihasilkan di bronchus. Penggunaan dosis yang lebih besar menyebabkan daya
akomodasi pupil terganggu sehingga pupil berdilatasi. Selain itu, kerja nervus vagus juga
dihambat sehingga terjadi takikardia (peningkatan frekuensi jantung) (Ganiswara 2007).
Atropin bekerja dengan menghambat aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara
reversible (tergantung jumlahnya) karena terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat
ikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah aksi seperti pelepasan IP3 dan
hambatan adenilil siklase yang di akibatkan oleh asetilkolin atau antagonis muskarinik
lainnya (Raharja et al. 2007). Penggunaan atropine mempercepat onset kerja dari obat
anestesi yang akan digunakan, serta memperpanjang durasi anestesi. Penggunaan atropine
dapat menekan produksi saliva yang berlebihan sehingga tidak terjadi hipersalivasi pada
kucing.
Gejala Klinis
Waktu (Menit ke-) Keterangan
Kucing 1 Kucing 2
Masih sadar, tubuh berdiri Masih sadar, tubuh berdiri
tegak, palpebrae sering tegak, palpebrae sering
0 berkedip, nafas teratur, tidak berkedip, tidak terlalu -
terlalu panjang/pendek dan panjang/pendek dan
cepat/lambat cepat/lambat
Mulai salivasi (saliva agak
Kehilangan keseimbangan
kental), mulai kehilangan
tubuh, palpebrae semakin
kontrol untuk menelan, tubuh Kucing 1: Stadium Analgesia
5 sering berkedip, sedikit
berdiri tegak, palpebrae semakin (Voluntary Movement)
kehilangan kesadaran, nafas
sering berkedip, nafas
agak cepat
bertambah cepat
Kucing 1: Stadium eksitasi /
Tingkat kesadaran semakin
Mata berair, salivasi meningkat, delirium (involuntary
menurun, mata berair, posisi
6 posisi tubuh masih berdiri, nafas movement)
tubuh istirahat (duduk),
semakin cepat dan pendek Kucing 2: Stadium Analgesia
nafas semakin cepat
(Voluntary Movement)
Mata semakin berair, kondisi
Hipersalivasi hingga terlihat
semakin tenang, tonus otot
seperti busa, mulai kehilangan
mulai menghilang, reflex Kucing 1&2:
keseimbangan tubuh namun
9 tubuh masih ada (palpebrae Stadium eksitasi / delirium
tetap memaksakan diri untuk
masih berkedip-kedip), nafas (involuntary movement)
berdiri, nafas cepat dan tidak
cepat dan tidak teratur
teratur
(pendek)
Kehilangan keseimbangan tubuh
kehilangan kesadaran, reflex (tubuh menempel pada dinding
tubuh tidak, mata masih kaca dengan posisi terbalik), Kucing 1: Stadium Anestesi
berair, posisi tubuh seperti tonus otot berkurang, nafas (Surgical Anesthesia)
15 tidur, nafas secara perlahan terlihat semakin cepat dan tidak Kucing 2: stadium eksitasi /
kembali teratur namun teratur, reflex tubuh mulai delirium (involuntary
lambat, kehilangan tonus berkurang, hipersalivasi movement)
otot (gerakan tubuh membuat saliva
menempel di dinding kaca)
Nafas terlihat cepat dan pendek,
Kehilangan kesadaran, Kucing 1: Stadium Anestesi
sikap tenang, reflex tubuh
kehilangan reflex tubuh (Surgical Anesthesia)
20 semakin berkurang,
seperti palpebrae, nafas Kucing 2: Stadium Anestesi
hipersalivasi, tidak ada tonus
teratur, tidak ada tonus otot Plana 1
otot
Kehilangan kesadaran, Kehilangan kesadaran, nafas
21
kehilangan reflex tubuh teratur hipersalivasi, tidak ada Stadium Anestesi (Surgical
seperti palpebrae, nafas reflex palpebrae, tidak ada tonus Anesthesia)
teratur, tidak ada tonus otot otot
Tabel 1 anaesthesi perinhalasi

Atropin bekerja dengan cara menghambat kerja dari asetilkolin di sistem saraf pusat
dalam tubuh. Atropin biasa digunakan pada hewan ketika hewan tersebut akan dianestesi
karena dapat mengurangi efek yang tidak diinginkan dari obat anestesi tersebut, seperti
mengurangi sekresi dari traktus respiratorius, mengurangi salivasi, dan mencegah muntah.
Atropin sebagai obat parasimpatolitik bekerja dengan mencegah penurunan frekuensi denyut
jantung yang berlebihan, menurunkan tekanan darah, dan mencegah stimulasi fungsi
gastrointestinal, salivasi, dan digesti (Ruben 2015).Penggunaan atropine dapat mengurangi
produksi air mata sehingga mata tidak berair berlebihan (Arnett et al. 1984).
Eter atau dietil eter merupakan cairan yang tidak berwarna, sangat volatil (mudah
menguap), dan mudah terbakar. Eter dalam dosis anestesi berperan untuk mendepres aktivitas
serebral. Senyawa ini menjadi agen anestetik yang sangat poten dan sangat mudah terlarut di
dalam jaringan tubuh, namun dapat memperpanjang waktu setiap stadium anestesi general.
Eter bekerja sebagai relaksan pada otot sehingga terjadi efek anestesi yang cukup dalam. Eter
bersifat iritan pada saluran pernafasan bagian atas, dan bersifat bronchodilatator sehingga
banyak digunakan untuk mengatasi bronchospamus ketika hewan telah resisten terhadap obat
tersebut. Eter tidak menyebabkan efek ketidakteraturan akibat agen simpatomimetik seperti
anestesi inhalasi lainnya.Premedikasi menggunakan atropine ketika penggunaan eter sangat
diperlukan untuk menghindari sekresi saliva yang berlebihan. Spasmus pada laring juga dapat
terjadi ketika dilakukan induksi dan intubasi anestesi inhalasi dengan eter. Eter juga dapat
menyebabkan perdarahan lokal pada kapiler-kapiler darah. Selain itu, waktu pemulihan
setelah penggunaan eter sangat panjang (WHO 1989).
Berdasarkan hasil praktikum kucing yang diberikan premedikasi berupa atropin
mengeluarkan saliva yang lebih sedikit dibandingkan kucing yang tidak diberikan
premedikasi. kucing yang diberikan premedikasi juga mengalami stadium anaesthesi lebih
cepat dibandingkan yang tidak diberikan premedikasi. Hal ini sesuai dengan fungsi atropin
yaitu mempercepat onset kerja dari obat anestesi yang akan digunakan, serta memperpanjang
durasi anestesi. Penggunaan atropine dapat menekan produksi saliva yang berlebihan
sehingga tidak terjadi hipersalivasi pada kucing.
Anaesthesi perinjeksi

Terdapat dua perlakuan pada percobaan 2 katak. Katak 1 di injeksi dengan


kloralhidrat 1% dan katak 2 diinjeksi dengan MgSO4. Dosis masing-masing 0,05ml dengan
skala bertingkat. Pada katak 2 Injeksi MgSO4. Magnesium sulfat merupakan senyawa
MgSO4 yang merupakan kristal berbentuk prisma dingin, pahit dan larut dalam air. Ion
magnesium pada MgSO4 dapat menekan saraf pusat sehingga menimbulkan anestesi dan
mengakibatkan penurunan reflek fisiologis. Pengaruhnya terhadap system syaraf perifer mirip
dengan ion kalium, yaitu menyebabkan kelemahan otot. Hal ini disebabkan karena adanya
hambatan pada neuromuskular perifer. MgSO4 menghambat pelepasan asetilkolin dan
menurunkan kepekaan motor endplate maka MgSO4 mempunyai pengaruh potensial, sinergis
dan memperpanjang pengaruh dari obat-obat pelemas otot non depolarisasi dan depolarisasi
sehingga kerja obat-obat tersebut akan lebih kuat dan lebih lama .Selain itu ion magnesium
menimbulkan efek pada susunan saraf pusat yang spesifik. Pemberian magnesium sulfat akan
menekan timbulnya letupan neuron. Derajat penekanan akan bertambah seiring dengan
meningkatnya kadar magnesium plasma dan akan berkurang dengan menurunnya kadar
magnesium ( Elvan & Gulden 2003) .
Perubahan Fisiologis Normal 0’ 5’ 10’ 15’
Frekuensi Jantung 80 96 96 72 44
(x/menit)
Frekuensi Nafas 26 32 80 56 8
(x/menit)
Posisi Tubuh (⁰) 45 35 35 10 0
Tonus Otot +++ +++ ++ + -
Refleks +++ +++ ++ ++ +
Konvulsi - - - - -
Rasa Nyeri +++ +++ +++ ++ +
Tabel 2 Katak yang diberikan MgSO4

Katak rana (Buffo melanostictus) diamati terlebih dahulu kondisi fisiologis normalnya seperti
posisi tegak tubuh, frekuensi jantung, frekuensi nafas, tonus otot, adanya refleks, adanya
konvulsi, serta rasa nyeri. Katak diberikan perlakuan berupa injeksi MgSO4 melalui subkutan
menggunakan syringe 1 ml. MgSO4 yang diberikan pada awal injeksi sebesar 0,05 ml dan
dosis tersebut diberikan secara bertingkat (0,1 ml, 0,2 ml, dan 0,4 ml) setiap lima menit
sekali. Perubahan fisiologis yang terjadi pada katak selama pemberian dosis bertingkat.
Katak tersebut dalam kondisi normal memiliki posisi tubuh dengan kemiringan 45⁰,
kemudian terus menurun sampai 0⁰ ketika terus diberikan MgSO4 sampai dosis 0,4 ml pada
menit ke-15. Katak tersebut juga perlahan-lahan kehilangan tonus otot dan juga refleks yang
terlihat dari kakinya. Hilangnya tonus otot terlihat dari ketidakmampuan katak untuk berdiri
dengan posisi kemiringan yang normal. Ketika kaki katak ditarik, refleks untuk
mengembalikan posisi kaki katak yang menekuk semakin lemah seiring dengan pemberian
dosis bertingkat dari MgSO4. Kejadian konvulsi pada katak tidak terlihat selama pemberian
MgSO4. Katak juga semakin tidak merasakan nyeri ketika pemberian MgSO4 pada dosis 0,4
ml. Frekuensi jantung pada katak terus menurun hingga 44 kali/menit, namun frekuensi nafas
cenderung fluktuatif namun sangat menurun drastis ketika pemberian dosis 0,4 ml yaitu
hanya 8 kali/menit.
MgSO4 bekerja sebagai obat depresan yang dapat meningkatkan relaksasi isovolumik
ventrikel kiri. MgSO4 juga menurunkan tekanan perfusi koroner, dan konsumsi oksigen pada
miokardial (otot jantung) (Nakaigawa et al. 1997). MgSO4 menyebabkan relaksasi arteri
sehingga menurunkan resistensi vaskular perifer dan serebral, meringankan vaspospasmus,
dan menurunkan tekanan darah arteri. MgSO4 berperan sebagai antagonis dari kalsium dan
antikonvulsan karena dapat merelaksasikan otot polos dan vasodilatasi (Euser
2009).Pemberian MgSO4 pada katak menyebabkan katak kehilangan tonus otot namun masih
berada dalam keadaan yang sadar. Bola mata katak masih dapat bergerak dan masih terdapat
refleks palpebrae.
Perubahan Fisiologis Normal 0’ 5’ 10’ 15’
Frekuensi Jantung 80 84 100 80 60
(x/menit)
Frekuensi Nafas 26 88 108 88 48
(x/menit)
Posisi Tubuh (⁰) 45 35 35 10 0
Tonus Otot +++ +++ ++ + -
Refleks +++ +++ ++ + +
Konvulsi - - - - -
Rasa Nyeri +++ +++ ++ - -
Tabel 3 Katak yang diberikan Kloralhidrat

Kloralhidrat merupakan salah satu obat sedativa dan obat hipnotik yang banyak
digunakan untuk menganestesi hewan laboratorium. Kloralhidrat ini bersifat iritan dan sangat
tidak dianjurkan untuk pemberian secara intraperitoneal. Kloralhidrat tidak digunakan
sebagai obat analgesik dan menyebabkan penurunan frekuensi nafas pada dosis untuk
anestesi dalam prosedur bedah (Baxter et al. 2009). Induksi dan pemulihan terhadap efek
kloralhidrat ini dapat membuat hewan mengalami stress (Silverman 1993).
Katak dalam praktikum berdiri dalam kondisi normal dengan kemiringan posisi tubuh
sebesar 45⁰, kemudian terus menurun sampai 0⁰ ketika terus diberikan kloralhidrat sampai
dosis 0,4 ml pada menit ke-15. Katak kehilangan tonus otot pada menit ke-15 pada dosis 0,4
ml, namun sebelumnya tonus otot pada katak masih cukup besar. Refleks yang terlihat dari
kaki katak masih ada hingga pemberian dosis 0,4 ml walaupun semakin melemah. Katak
masih merasakan rasa nyeri pada menit ke-5 saat pemberian dosis bertingkat yang kedua
yaitu 0,1 ml, kemudian rasa nyeri pada katak menghilang. Kejadian konvulsi pada katak tidak
terlihat selama pemberian MgSO4. Frekuensi jantung pada katak yang diberikan kloralhidrat
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian MgSO4.
Frekuensi jantung tersebut mencapai nilai tertinggi pada menit ke-5 kemudian turun hingga
60 kali/menit pada menit ke 15. Frekuensi nafas mengalami peningkatan yang cukup drastic
pada awal pemberian kloralhidrat, yaitu mencapai 88 kali/menit, kemudian meningkat
kembali pada menit ke 5 mencapai 108 kali/menit. Selanjutnya frekuensi nafas turun sampai
48 kali/menit pada pemberian dosis 0,4 ml.

Percobaan terhadap mencit dalam praktikum ini menggunakan satu perlakuan yaitu
dengan menggunakan hexobarbital. Hexobarbital atau hexobarbitone, dijual dalam bentuk
asam dan garam natrium seperti Citopan , Evipan , dan Tobinal , merupakan turunan
barbiturat yang memiliki efek hipnotis dan sedatif (dalam praktikum ini menggunakan
sediaan Evipan natrium 2%). Dosis awal yang diberikan yaitu sebesar 0.05 ml, kemudian
ditingkatkan dua kali lipat setiap 5 menit secara berkala. Hexobarbital mempunyai banyak
kegunaan, salah satunya yaitu penggunaan secara intravena untuk anastetik maupun hipnotik.
Hexobarbital mempunyai efek sedatif, hipnotik dan pada dosis tinggi mempunyai efek
anastesi. Heksobarbital menyebabkan depresi fungsi system syaraf pusat. Hexobarbital
berinteraksi dengan reseptor barbiturate dan menjadi benzodiazepin reseptor kompleks.
Heksobarbital seperti barbiturat lain memudahkan GABA menginduksi, menginhibisi, dan
menambah pengikatan dari benzodiazepine ke reseptornya. Waktu tidur hexobarbital
meningkat ketika diberikan 12 jam atau kurang setelah 200 mg / kg piperonyl butoksida
diberikan, dan diperpendek ketika hexobarbital diberikan 24-72 jam setelah pemberian
piperonyl butoxide (Kamienski dan Murphy 1971). Durasi anastesi hexobarbital pada mencit
tidak dipengaruhi oleh akumulasi hexobarbital dalam lemak (Noordhoek 1968).
Hexobarbital di metabolisme di hati dengan sedikit perubahan zat berkhasiat (Rahanra 2003).

Normal 0’ 5’ 10’
RR(x/menit) 132 156 168 148
HR(x/menit) 220 160 200 180
Aktivitastubuh +++ +++ ++ -
Tonusotot +++ +++ ++ -
Reflex ++ +++ ++ -
Kovulsi - - - -
Rasanyeri +++ ++ + -
Salivasi/defekasi/urinasi + - - -
Tabel 4 Mencit yang diberikan hexobartbital

Pemberian hexobarbital diberikan secara subkutan. Secara umum, pemberian obat


secara subkutan proses absorpsinya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efek obat
bertahan lama. Dari hasil perlakuan menggunakan hexobarbital didapatkan bahwah frekuensi
jantung cenderung mengalami ketidakstabilan yaitu pada keadaan normal sebanyak 220
kali/menit kemudian setelah pemberian hexobarbital menurun menjadi 160 kali/menit, lalu
pada menit ke 5 meningkat menjadi 200 kali/menit, dan pada menit ke 10 menurun kembali
menjadi 180 kali/menit. Frekuensi napas dalam keadaan normal yaitu 132 kali/menit.
Frekuensi napas terus meningkat setelah pemberian obat, dan kemudian menurun ketika efek
anastesi muncul. Penurunan frekuensi napas ini sesuai dengan kerja hexobarbital sebagai
depresor sistem saraf pusat. Terdapat kontraksi pada tonus otot di menit 1 sampai menit ke 5,
namun pada menit ke 10 kontraksi tonus otot mulai menghilang. Hilangnya tonus otot juga
merupakan efek dari hexobarbital sebagai obat depressor sistem saraf pusat. Pada menit ke 1
sampai menit ke 10 tidak terjadi konvulsi. Defekasi, urinasi, maupun salivasi tidak terjadi
setelah pemberian obat. Aktivitas tubuh, refleks, dan rasa nyeri pada mencit perlahan-lahan
menurun seiring bertambahnya dosis yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Rahanra (2003) bahwa efek farmakologi suatu obat akan muncul setelah obat itu dalam
jumlah yang memadai dapat mencapai tempat kerjanya.

SIMPULAN

Anaestesi perinhalasi yang dilakukan pada kedua ekor kucing, menunjukkan bahwa
premedikasi membantu hewan agar lebih cepat mengalami anestesi. Anaestesi perinjeksi
melalui subkutan dilakukan pada dua ekor katak. katak yang diinjeksi MgS04 lebih cepat
teranestesi dibandingkan katak yang diinjeksi kloralhidrat. Tikus diinjeksi dengan
hexobarbital melalui subkutan. Butuh waktu 10 menit untuk tikus mengalami fase anestesi.
DAFTAR PUSTAKA

Arnett BD, Brightman AH 2nd, Musselman EE. 1984. Effect of atropine sulfate on tear
production in the cat when used with ketamine hydrochloride and acetylpromazine
maleate. J Am Vet Med Assoc. 185(2): 214-5.
Baxter MG, Murphy KL, Taylor PM, Wolfensohn SE. 2009. Chloral hydrate is not
acceptable for anesthesia or euthanasia of small animals. Anesthesiology 7. 111 (209):
775-781.
Elvan MD dan Gulden U MD.2003. Propofol Not Thiopenton or etomidatewith remifentanil
provides adequate intubatin condition the absenceof euromuscular blockade. Can J
Anesthesia 50 : 108-15.
Euser AG, Cipolla MJ. 2009. Magnesium sulfate treatment for the prevention of eclampsia: a
brief review. Stroke. 40(4): 1169-75.
Ganiswara S. 2007. Obat Otonom. dalam Farmakologi dan Terapi ed.5. editor: Sulistia
ganiswara. Jakarta (ID): Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Kamienski FX, Murphy SD. 1971. Biphasic effects of methylenedioxyphenyl synergists on
the action of hexobarbital and organophosphate insecticides in mice. Toxicology and
Applied Pharmacology. 18(4): 883-894.
Nakaigawa Y, Akazawa S, Shimizu R, Ishii R, Ikeno S, Inoue S, Yamato R. 1997. Effects of
magnesium sulphate on the cardiovascular system, coronary circulation and
myocardial metabolism in anaesthetized dogs. Br J Anaest. 79(3): 363-368.
Noordhoek J. 1968. Pharmacokinetics and dose-sleeping time lines of hexobarbital in mice.
European Journal of Pharmacology. 3(3): 242-250.
Nugroho AE. 2012. Farmakologi Obat-Obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan
Dunia Kesehatan. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
Rahanra IO. 2003. Pengaruh malnutrisi terhadap onset dan durasi efek heksobarbital pada
mencit jantan secara in vivo. [Skripsi]. Yogyakarta (ID) : Universitas Sanata Dharma.
Ruben D. 2015. Atropine for Dogs and Cats [artikel]. New York (USA): Pet Place.WHO.
1989. Model Prescribing Information: Drugs Used in Anaesthesia. Geneva (CH):
World Health Organization.
Silverman J, Muir WW. A review of laboratory animal anesthesia with chloral hydrate and
cholared. Lab Anim Sci. 43 (3): 210-216
Zunilda DS. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta (ID): Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai