Anda di halaman 1dari 138

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN

KEGAGALAN PERNAPASAN

A. PENGERTIAN
Hematotorak adalah adanya darah pada rongga pleura (Reksoprodjo S, 1995).
Torakotomi adalah tindakan life saving untuk menhentikan kelainan yang terjadi
karena pendarahan (Reksoprodjo, S, 1995).
Gagal pernapasan akut (GPA) adalah tidak berfungsinya pernapasan pada
derajat dimana pertukaran gas tidak adekuat untuk mempertahankan gas darah
secar adekuat (Hudak and Gallo, 1994).

B. PATOFISIOLOGI
Kecelakaan Lalulintas

Menyebabkan ruda paksa tumpul pada toraks dan abdoment.


Diikuti dengan patah tulang tertutup.

Trauma Torak Trauma Abdoment Patah Tulang


(Hematotorak)

Pendarahan jaringan Pecahnya usus sehingga Terputusnya / hilangnya


interstitium, Pendarahan terjadi pendarahan kontinuitas dari struktur
Intra alviolar, kolaps tulang.
arteri dan kapiler, kapiler
kecil, hingga tahanan Vs : T  , t , DN 
periver pembuluh darah Nyeri gerak, deformitas,
paru naik , aliran darah krepitase.
menurun. 4. Hipertermi
5. Resiko defisit volume
cairan Gerakan abnormal di
HB turun, sesak napas lokasi patah tulang
nyeri dada, pergerakan
napas pendek Nyeri tekanan +, defance
1. Gangguan pertukaran muskular +, suara bising 8. Gangguan mobilitas
gas. usus -, kembung.
2. Pola pernapasan
tidak efektif
6. Gangguan rasa
nyaman (nyeri).
Kompensasi untuk 7. Gangguan pola
mengurangi nyeri pasien pernapasan.
berbaring dan takut
bergerak, takut ngantuk.

Reflek batuk menurun.

3. Pembersihan jalan
nafas tidak efektif.

C. DATA FOKUS
1. Aktifitas/istirahat : adanya sesak nafas
2. Sirkulasi : adanya takhikardia, frekuensi denyut nadi tidak teratur, tekanan
darah menurun, didapatkan adanya S3 atau S4 /irama gallop
3. Integritas : ketakutan dan gelisah
4. Makanan/cairan : adanya pemasangan infus IV line
5. Nyeri/kenyamanan : Nyeri dada unilateral, meningkat bila bernapas dan
batuk, wajah berkerut karena menahan nyeri
6. Pernapasan : takipnea, peningkatan kerja napas, retraksi interkostal, perkusi
pekak, palpasi gerakan dada tidak simetri (paradoksal).
Kulit pucat, sianosis, berkeringat
Penggunaan ventilator mekanik
7. Keamanan : riwayat trauma

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Sinar x dada menyatakan adanya akumulasi cairan
2. Analisa gas darah : PaCO2 meningkat > 45, PaO2 menurun< 80, saturasi
oksigen menurun
3. Kadar Hb menurun < 10 gr %
4. Volume tidak menurun < 500 ml
5. Kapasital vital paru menurun
E. PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Meningkatkan ventilasi dan oksigenisasi secara adekuat
2. Mencegah komplikasi
3. Memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga
4. Memberikan informasi tentang proses penyakit dan kebutuhan pengobatan

F. RENCANA KEPERAWATAN
1. Diagnosa keperawatan : pola pernapasan tidak efektif berhubungan
dengan gangguan rasio O2 dan CO2.
Data : perubahan frekuensi nafas, retraksi interkostal, penurunan vital
kapasitas paru, takipnea atau henti nafas bila ventilator dihentikan,
sianosis, penurunan PO2 < 80, peningkatan CO2 > 45, peningkatan
saturasi oksigen, gelisah
Tujuan keperawatan : Pola pernapasan efektif melalui ventilator tanpa
adanya penggunaan otot bantu pernapasan
Kriteria hasil : Saturasi oksigen normal, tidak ada hipoksia, kapasital vital
normal, tidak ada sianosis
Rencana tindakan :
a. Selidiki penyebab gagal pernapasan, rasional pemahaman tentang
penyebab kegagalan pernapasan penting untuk memberikan
perawatan.
b. Observasi pola napas dan catat frekuensi pernapasan, jarak antara
pernapasan spontan dan napas ventilator, rasional pasien dengan
pemasanagn ventilator dapat mengalami hiperventilasi/hipoventilasi
dan pasien berupaya memperbaiki kekurangan oksigen dengan
peningkatan pola pernapasan sehingga frekuensi meningkat.
c. Auskultasi dada secara periodik, catat bila ada kelainan bunyi
pernapasan. Rasional : Memberikan informasi tentang adanya
obsturksi jalan nafas, perubahan simetrisitas dada menunjukkan tidak
tepatnya letak selang endotrakeal.
d. Jumlahkan pernapasan pasien selama 1 menit penuh dan bandingkan
untuk menyusun frekuensi yang diinginkan ventilator. Rasional :
Pernapasan pasien cepat menimbulkan alkalosis respiratorik,
sednagkan pernapasan pasien lambat menimbulkan asidosis
( peningkatan PaCO2)
e. Kembangkan balon selang endotrakeal dengan tepat menggunakan
tehnik hambatan minimal, periksa pengembangan tiap 4 jam.
Rasional : balon harus tepat mengembang untuk meyakinkan ventilasi
adekuat sesuai volume tidak yang diinginkan
f. Periksa selang bila ada sumbatan/lipatan. Rasional lipatan selang
menghambat aliran volume udara adekuat. Adanya air memungkinkan
tumbuhkan kuman sehingga pencetus terjadinya kolonisasi kuman.
g. Periksa fungsi alarm ventilator. Rasional : ventilator mempunyai
berbagai alarm sehingga kelainan dini bisa terdeteksi misalnya adanya
penurunan tekanan gas, saturasi oksigen, rasio inspirasi dan ekspirasi
dsb.
h. Bantu pasien dalam kontrol pernapasan bila penyapihan diupayakan.
Rasional melatih pasien untuk bernapas secara lambat denga cara
nafas abdomen dan penggunaan tehnik relaksasi sehingga fungsi
pernapasan bisa maksimal.
i. Kolaborasi untuk pemeriksaan analisa gas darah sesuai pesanan.
Rasional untuk mengetahui keberhasilan pemberian bantuan napas.
j. Kaji volume tidal. Rasional untuk menentukan jumlah udara inspirasi
dan ekspirasi
k. Awasi rasio inspirasi den ekspirasi. Rasional : fase ekspirasi biasanya
2 kali panjangnya dari kecepatan inspirasi.

2. Diagnosa keperawatan : tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan


dengan adanya sekret pada jalan nafas akibat ketidakmampuan batuk
efektif.
Data : Perubahan frekuensi nafas, sianosis, bunyi nafas tidak normal
(stridor), gelisah.
Tujuan keperawatan : Pasien mampu mempertahankan jalan nafas bersih
tanpa ada kelainan bunyi pernapasan.
Kriteria hasil : Tidak ada stridor, frekuensi napas normal.
Rencana keperawatan :
a. Observasi bunyi nafas. Rasional : obstruksi disebabkan adanya
akumulasi sekret, spasme bronkus, perlengketran muskosa, dan atau
adanya masalah terhadap endotrakeal.
b. Evaluasi gerakan dada. Rasional : gerakan dada simetris dengan bunyi
nafas menunjukkan letak selang tepat. Obstruksi jalan nafas bawah
menghasilkan perubahan bunyi nafas seperti ronkhi dan whezing.
c. Catat bial ada sesak mendadak, bunyi alarm tekanan tinggi ventilator,
adanya sekret pada selang. Rasional : pasien dengan intubasi biasanya
mengalami reflek batuk tidak efektif.
d. Hisap lendir, batasi penghisapan 15 detik atau kurang, pilih kateter
penghisap yang tepat, isikan cairan garam faali bila diindikasikan.
Gunakan oksigen 100 % bila ada. Rasional : penghisapan tidak harus
ruitn, dan lamanya harus dibatasi untuk mengurangi terjadinya
hipoksia. Diamter kateter < diameter endotrakel.
e. Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi. Rasional untuk
meningkatkan ventilasi pada semua segmen paru dan untuk drainage
sekret.
f. Berikan bronkodilator sesuai pesanan. Rasional untuk meningkatkan
ventilasi dan mengencerkan sekret dengan cara relaksasi otot polos
bronkus.

3. Diagnosa keperawatan : Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral


berhubungan dengan tidak efektifnya bersihan oral.
Tujuan keperawatan : Pasien mampu menunjukkan kesehatan mukosa
mulut dengan tepat tanpa adanya tanda peradangan.
Kriteria hasil : Tanda peradangan mukosa mulut tidak ada, mulut bersih
dan tidak berbau.
Rencana tindakan :
a. Observasi secara rutin rongga mulut, gigi, gusi terhadap adanya luka
atau pendarahan. Rasional : identifikasi dini memberikan kesempatan
untuk pencegahan secara tepat.
b. Berikan perawatan mulut secara rutin. Rasional : Mencegah adanya
luka membran mukosa mulut dan menurunkan media pertumbuhan
bakteri dan meningkatkan kenyamanan.
c. Ubah posisi selang endotrakeal sesuai jadual. Rasional : menurunkan
resiko luka pada bibir dan membran mukosa mulut.
d. Berikan minyak bibir. Rasional: mempertahankan kelembaban dan
mencegah kekeringan.

4. Diagnosa keperawatan : perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan gangguan kemampuan mencerna.
Data : penurunan berat badan, tonus otot lemah, peradangan pada mulut,
bunyi usus lemah.
Tujuan keperawatan : Kebutuhan nutrisi cukup
Kriteria hasil : berat badan naik, albumin serum normal, tonus otot kuat
Rencana keperawatan :
a. Evaluasi kemampuan makan. Rasional : pasien dengan selang
endotrakeal harus terpenuhi kebutuhan makannya melalui parenteral
atau selang makan.
b. Observai penurunan kekuatan otot dan kehilangan lemak subkutan.
Rasional : penurunan jumlah komponen gizi mengakibatkan
penurunan cadangan energi pada otot dan dapat menurunkan fungsi
otot pernapasan.
c. Timbang berat badan bila memungkinkan. Rasional untuk mengetahui
bahwa kehilangan berat badan 10 % merupakan abnormal.
d. Catat masukan oral bila memungkinkan
e. Berikan masukan cairan sedikitnya 2500 cc/ hari. Rasional : untuk
mencegah adanya dehidrasi.
f. Awasi pemeriksaan laboratorium : serum, glukosa, dan BUN/kreatinin.
Rasional : memberikan informasi tentang dukungan nutrisi adekuat
atau tidak.

5. Diagnosa keperawatan : resiko terhadap infeksi berhubungan dengan


penurunan daya tahan tubuh.
Tujuan keperawatan : pasien menunjukkan tidak terdapat adanya tanda
infeksi selama perawatan.
Kriteria hasil : daya tahan tubuh meningkat, diff. Count normal,
penurunan monosyt tidak ada, lekosit normal : >10.000/mm
Rencana keperawatan :
a. Catat faktor resiko terjadinya infeksi. Rasional : faktor yang
menyebabkan adanya infeksi antara lain; malnutrisi, usia, intubasi,
pemasangan ventilator lama, tindakan invasif. Faktor ini harus
dibatasi/diminimalkan.
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan. Rasional untuk
mengurangi sekunder infeksi
c. Pertahankan hidrasi adekuat dan nutrisi. Rasional, membantu
peningkatan daya tahan tubuh.
d. Kolaborasi dengan pemberian antibitika sesuai pesanan. Rasional :
untuk membunuh dan mengurangi adanya kuman.
6. Diagnosa keperawatan : resiko tinggi disfungsi respons penyapihan
ventilator berhubungan dengan ketidak mampuan untuk penyapihan.
Tujuan perawatan : pasien mampu aktip untuk berpartisipasi dalam proses
penyapihan.
Kriteria hasil : tanga gagal nafas tidak ada
Rencana keperawatan :
a. Kaji faktor fisik dalam proses penyapihan : vital sign. Rasional :
penyapihan adalah kerja keras, peningkatan suhu indikasi peningkatan
kebutuhan oksigen 7 %, takikardia dan hipertensi menandai jantung
kerja keras dalam bekerja sehingga penyapihan tidak diperbolehkan,
stres dalam penyapihan mengurangi stamina sehingga daya tahan
tubuh menurun.
b. Tentukan persipan psikologis. Rasional : penyapihan menimbulkan
stress.
c. Jelaskan tehnik penyapihan. Rasional : membantu pasien untuk siap
mengadapi penyapihan.
d. Berikan periode istirahat tanpa gangguan. Rasional : memaksimalkan
energi untuk proses penyapihan.
e. Catat kemajuan pasien. Rasonal : untuk mengetahui perkembangan
dalam proses penyapihan.
f. Awasi respons terhadap aktivitas. Rasional : kebutuhan oksigen
berlebih bila aktifitas berlebih.
g. Kaji foto dada dan analisa gas darah. Rasional : saturasi oksigen harus
memuaskan dengan cek analisa gas darah, FIO2 < 40 %
DAFTAR PUSTAKA

1. Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB


Lippincott company, Philadelpia.
2. Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien, EGC, Jakarta.
3. Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara,
Jakarta.
4. Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth
edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
INDIKASI VENTILASI MEKANIK

Parameter Nilai Tindakan


Frekuensi pernapasan < 10 x/mt Evaluasi dan hilangkan etio.
16-20 x/mt Normal
28-40 x/mt Rencanakan ventilator

Kapasitas vital < 10-20 ml Lihat AGD

Tekanan inspirasi < 20 cm H2O

Analisa gas darah :


Ph < 7.25 Evaluasi dan kombinasi
dengan peningkatan PaCO2

PaCo2 >50 mmHg Evaluasi dikombinasi


dengan penurunan Ph

Evaluasi dikombinasi
PaO2 <50 mmHg dengan Ph dan PCO2

Auskultasi paru tidak ada bunyi Beri oksigen 100 %

Irama dan frekuensi jantung 120 x/mt Monitor disritmia

Status mental delirium, somnolen Monitor kemungkinan


kejang hipoksia

Standar Pengesetan Ventilator :

9
1. Fraksi oksigen ( Fi O2) inspirasi 100 %
2. VT = 10-15 ml/Kg berat badan
3. Frekuensi pernapasan = 10-15 x/menit
4. Aliran inspirasi = 40-60 l/dt
5. Sensitivitas = -2 cm H2O
6. Tekanan ekspirasi akhir positif ( TEAP) = 0-5 cm

Pengesetan ditentukan oleh AGD


Jumlah oksigen yang diberikan dengan rumus :
CJ x ( 1,34. Hb.SaO2 + 0,003 . PaO2)

Kriteria Penyapihan :
1. Kapasitas vital = 10-15 cc/Kg
2. VT = 4-5 cc/Kg
3. Ventilasi per menit = 6-10 liter
4. Kekuatan inspirasi = 20 cm H2O
5. GDA normal
6. Selang endotrakeal
7. Di atas karina pada foto rongent, diameter 8,5 mm
8. Nutrisi 2000-2500 kal/hari
9. Kesiapan emosi baik
10. Tanda fisik stabil

Indikator Penyapihan :
Perbaikan penyebab kegagalan pernapasan, mempertahankan kekuatan otot, nutrisi
sesuai, persiapan psikologis.

10
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
CEDERA KEPALA

A. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi –
descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang
mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera
kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9
– 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada penderita yang
tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal
diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di
nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”,
sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka
reaksi verbal diberi nilai “T”.

Cedera Kepala Sedang :


1. GCS 9 – 12
2. Saturasi oksigen > 90 %
3. Tekanan darah systale > 100 mm Hg
4. Lama kejadian < 8 jam

11
B. PATOFISIOLOGI
Cidera Kepala TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi Hypoxemia

Kelainan Metabolisme
Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan Sel Otak 

Gangguan Autoregulasi  Rangsangan Simpatis Stress

Aliran Darah Keotak   Tahanan Vaskuler  Katekolamin


Sistemik & TD   Sekresi Asam Lambung

O2   Ggan Metabolisme  Tek. Pemb.Darah Mual, Muntah


Pulmonal

Asam Laktat   Tek. Hidrostatik Asupan Nutrisi Kurang

Oedem Otak Kebocoran Cairan Kapiler

Ggan Perfusi Jaringan Oedema Paru  Cardiac Out Put 


Cerebral
Difusi O2 Terhambat Ggan Perfusi Jaringan

Gangguan Pola Napas  Hipoksemia,


Hiperkapnea

12
Hubungan Cedera Kepala Terhadap Munculnya Masalah Keperawatan

Cedera Kepala Primer Cedera Kepala Sekunder


-Komotio, Kontutio, -Hipotensi, Infeksi General,
Laserasi Cerebral Syok, Hipertermi, Hipotermi,
Hipoglikemi

Gangguan vaskuler serebral dan produksi


prostaglanding dan peningkatan TIK

Nyeri
Intracerebral Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung

Kerusakan / Penurunan ADO2, VO2,


Penekanan Sel Otak Komotio Cerebri CO2,
Local / Difus Kontutio Cerebri Peningkatan Katekolamin,
Lateratio Cerebri Peningkatan Asam Laktat

Gangguan
kesadaran / Edema Cerebri
Penurunan GCS

Gangguan Seluruh Gangguan Sel Glia / Kejang


Kebutuhan Dasar Gangguan Polarisasi
(Oksigenasi, Makan,
Minum, Kebersihan
Diri, Rasa Aman, Resiko Trauma
Gerak, Aktivitas Dll

13
C. MEKANISME CEDERA KEPALA
Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala
manusia maka mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua:
1. Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat,
lebih dari 200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang terjadi tetapi
kerusakan yang terjadi sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai
pada kerusakan tulang kepala, jaringan dan pembuluh darah otak. (Bajamal A.H ,
1999).

2. Dynamic Loading
Gaya yang bekerja pada kepala secara cepat (kurang dari 50 milidetik).
Gaya yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (impact injury) ataupun
gaya tersebut bekerja tidak langsung (accelerated-decelerated injury). Mekanisme
cidera kepala dynamic loading ini paling sering terjadi (Bajamal A.H , 1999).
a. Impact Injury
Gaya langsung bekerja pada kepala. Gaya yang terjadi akan diteruskan
kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan
sebagian yang lain akan diteruskan, sedangkan jika mengenai jaringan yang
keras akan dipantulkan kembali. Tetapi gaya impact ini dapat juga
menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat dari impact injury akan
menimbulkan lesi :
Pada cidera kulit kepala (SCALP) meliputi Vulnus apertum, Excoriasi,
Hematom subcutan, Subgalea, Subperiosteum. Pada tulang atap kepala
meliputi Fraktur linier, Fraktur distase, Fraktur steallete, Fraktur depresi.
Fraktur basis cranii meliputi Hematom intracranial, Hematom epidural,
Hematom subdural, Hematom intraserebral, Hematom intrakranial. Kontusio
serebri terdiri dari Contra coup kontusio, Coup kontusio. Lesi difuse
intrakranial, Laserasi serebri yang meliputi Komosio serebri, Diffuse axonal
injury (Umar Kasan , 1998).

b. Lesi Akselerasi – Deselerasi


Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh
yang lain tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas
antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan

14
densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang
kepala akan bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap
berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan
otak mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-
tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang
kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa Hematom subdural,
Hematom intraserebral, Hematom intraventrikel, Contra coup kontusio.
Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya terikan
ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa Komosio serebri,
Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).

15
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
CEDERA OTAK PRIMER

Cedera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala baik
akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera otak primer ini
dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer tidak mendapat
penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder (Bajamal
A.H, Darmadipura : 1993).

1. Cedera pada SCALP


Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindungi
jaringan otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan melewati
jaringan otak. Cidera pada scalp dapat berupa Excoriasi, Vulnus, Hematom subcutan,
Hematom subgaleal, Hematom subperiosteal. Pada excoriasi dapat dilakukan wound
toilet. Sedangkan pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai
mengenai galea aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead
space sedangkan pada subcutan mengandung banyak pembuluh darah demikian juga
rambut banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan kuman
menyebabkan terjadinya infeksi).
Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka
waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan benang noabsorbsable tetapi
dengan simpul terbalik untuk menghindari terjadinya “druck necrosis”), pada kasus
terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya diberikan anti tetanus untuk
mencegah terjadinya tetanus yang akan berakibat sangat fatal. Pada kasus dengan
hematom subcutaan sampai hematom subperiosteum dapat dilakukan bebat tekan
kemudian berikan anlgesia, jika selama 2 minggu hematom tidak diabsorbsi dapat
dilakukan punksi steril. Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena
pendarahan begitu banyak dapat terjadi shock hipopolemik (Gennerellita ,1996).

16
2. Fraktur Linier Kalvaria
Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada
tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala “bending” dan
terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tetapi tidak ada
terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur
tersebut cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup
besar, dari penelitian di RS Dr. Soetomo Surabaya didaptkan 88% epidural hematom
disertai dengan fraktur linier kalvaria. Jika gambar fraktur tersebut kesegala arah
disebut “Steallete fracture”, jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur
(Bajamal AH, 1999).

3. Fraktur Depresi
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur masuk
rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan pernah
tidaknya fragmen berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi 2 yaitu
fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka (Bajamal AH, 1999).

a. Fraktur Depresi Tertutup


Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan operatip
kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-
kejang hemiparese/plegi, penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah
mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak,
setelah mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya, sedangkan
fraktur depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya gangguan neurologis
tidak perlu dilakukan operasi (Bajamal A.H ,1999).

b. Fraktur Depresi Terbuka


Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif
debridemant untuk mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis)
yaitu mengangkat fragmen yang masuk, membuang jaringan devitalized seperti
jaringan nekrosis benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit
durameter secara “water tight”/kedap air kemudian fragmen tulang dapat
dikembalikan ataupun dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika Tidak melebihi
“golden periode” (24 jam), durameter tidak tegang Jika fragmen tulang berupa

17
potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat secara “mozaik”
(Bajamal 1999).

4. Fraktur Basis Cranii


Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis
cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis
dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan
daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan
daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan
durameter klinis ditandai dengan Bloody otorrhea, Bloody rhinorrhea, Liquorrhea,
Brill Hematom, Batle’s sign, Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII dan
NVIII. Diagnose fraktur basis cranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan
dengan diagnose secara radiologis oleh karena foto basis cranii posisinya “hanging
foto”, dimana posisi ini sangat berbahaya terutama pada cidera kepala disertai
dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan
kesadaran yang dapat menyebabkan apnea. Adanya gambaran fraktur pada foto basis
cranii tidak akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis cranii, Pemborosan
biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis cranii (Umar Kasan , 2000).

Penanganan Dari Fraktur Basis Cranii :


1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk,
mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita
tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Umar
Kasan : 2000).

18
1) KOMOSIO SEREBRI
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya
kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan secara
klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15
menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi retrogrde ataupun
antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT scan tidak didapatkan adanya kelainan
(Bajamal AH : 1993).

2) KONTUSIO SEREBRI
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak
akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita pernah atau
sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan
neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia disertai
gejala mual-muntah, pusing sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade, pada
pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan
istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid
pada daerah yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut
“Pulp brain” (Bajamal A.H & Kasan H.U , 1993 ).

3) EPIDURAL HEMATOM (EDH = EPIDURAL HEMATOM)


Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara durameter dan
tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica media
(paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria,
Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran
yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri
dan kanan tubuh) yang dapat berupa Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek
patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari
EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi
EDH sedangkan hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH,
sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH
karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval
dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin
baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan
kompensasi). Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area
hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Terjadinya penurunan

19
kesadaran, Adanya lateralisasi, Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang
dengan pemberian anlgesia. Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari 20
CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift)
lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan
sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan. Jika saat operasi
tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika
saat operasi didapatkan duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea. Pada
penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnose
radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu “Burr hole
explorations” yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH biasanya dilakukan
pada titik- titik tertentu yaitu Pada tempat jejas/hematom, pada garis fratur, pada
daerah temporal, pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria), pada daerah
parietal, pada daerah occipital. Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan
GCS datang kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun (Bajamal
A.H , 1999).

4) SUBDURAL HEMATOM (SDH)


Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah
lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein
(paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya
perdarahan maka subdural hematom dibagi 3 meliputiSubdural hematom akut terjadi
kurang dari 3 hari dari kejadian, Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari – 3
minggu, Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai
adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Sedangkan pada
pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan
sabit (cresent). Indikasi operasi menurut EBIC (Europebraininjuy commition) pada
perdarahan subdural adalah Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM, Jika terdapat
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi
hematom, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebri biasanya tulang
tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea. Prognose dari penderita
SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita datang sampai
dilakukan operasi, lesi penyerta di jaringan otak serta usia penderita, pada penderita
dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek

20
prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan
memperjelek prognosenya.
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan
otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena /
jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan
sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa
bulan.
Gejala – gejalanya :
1. Nyeri kepala
2. Bingung
3. Mengantuk
4. Menarik diri
5. Berfikir lambat
6. Kejang
7. Udem pupil.

5) INTRACEREBRAL HEMATOM (ICH)


Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang
indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya
pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi
hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan
prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose
perdarahan subdural (Bajamal A.H , 1999).

21
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
CEDERA OTAK SEKUNDER

Cedera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak
mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses
metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka
cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi Edema serebri,
Infrark serebri, Peningkatan tekanan intra kranial (Bajamal A.H , 1999).

EDEMA SEREBRI
Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel – sel otak, pada kasus cidera
kepala terdapat 2 macam edema serebri Edema serebri vasogenik, Edema serebri
sitoststik (Sumarmo Markam et.al ,1999).

a. Edema Serebri Vasogenik


Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan dari “ blood brain
barrier” (sawar darah otak ) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk
dalam jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini
lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra seluler. Akibatnya terjadi reaksi
osmotik dimana cairan intraseluler, yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan
ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga
terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengosongan
(“shringkage”) (Sumarmo Markam et.al ,1999).

b. Edema Serebri Sitostatik


Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak
berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada
keadaan aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan
H2O). Sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah
menjadi 2 ATP dan H2O karena kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat
digunakan untuk menjalankan proses pompa Natrium Kalium untuk pertukaran
kation dan anion antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut
memerlukan ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipompa keluar dari sel
menjadi masuk kedalam sel bersama masuknya natrium. Maka air (H2O) ikut masuk
kedalam sel sehingga terjadi edema intra seluler (Sumarmo Markam et.al :1999).

22
Gambaran CT Scan dari edema serebri Ventrikel menyempit, Cysterna basalis
menghilang, Sulcus menyempit sedangkan girus melebar.

TEKANAN INTRA KRANIAL


Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang
terisi 3 komponen yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan liquor
serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah seberat 150 gram.
Menurut doktrin Monroe – kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala
adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor,
abses) maka sebagian dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang
mula – mula ataupun canalis centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada
klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat. Jika
kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan
massa masih terus berlangsung maka terjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari
pembuluh darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga intrakranial
dengan cara ialah Vaso konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat, Denyut
nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan
intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan ganguan pola napas disebut “trias
cushing”. Jika kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui
sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka jaringan otak akan
melakukan kompensasi yaitu berpindah ketempat yang kosong (“locus minoris”)
perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi cerebri. Tanda - tanda klinis
herniasi cerebri tergantung dari macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan
tekanan intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung (Sumarmo
Markam et.al ,1999).

D. PENANGANAN PERTAMA KASUS CEDERA KEPALA


Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart
yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang meliputi,
anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik
meliputi Airway, Breathing, Circulasi, Disability (ATLS ,1997).
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala
miring, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan
tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, Hiperfleksi ataupun rotasi,
Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera

23
vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang
collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas
90 %, jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan. Setelah
jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal
antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan
nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO
2 antara 28 – 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi
yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan
menyebabkan vaso konstruksi yang berakibat terjadinya iskemia, Periksa tekanan
oksigen (O2) 100 mm Hg jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit.
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi Periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak
ada) lakukan resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit
dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala
single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock
pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2x.
Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran pemeriksaan kesadaran
memakai Glasgow Coma Scale, Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat
reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya
hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar
baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia.
Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax,
foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan
seksama) (ATLS , 1997).

Glasgow Coma Scale (GCS)


Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara
kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis,
somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara
satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan
skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi
membuka mata, Reaksi verbal, Reaksi motorik.

24
1. Reaksi Membuka Mata

Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

2. Reaksi Verbal
Reaksi Verbal Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

3. Reaksi Motorik
Reaksi Motorik Nilai
Mengikuti perintah 6
Melokalisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu
cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila
GCS : 9 – 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada
penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka
reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga
tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai
“X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi
maka reaksi verbal diberi nilai “T”.

25
INDIKASI FOTO POLOS KEPALA
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi
indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus
alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap,
Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran (Bajamal A.H ,1999). Sebagai indikasi
foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut
tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto
polos posisi AP/lateral dan oblique.

INDIKASI CT SCAN
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat – obatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

E. CEDERA KEPALA YANG PERLU MASUK RUMAH SAKIT (MRS)


Cedera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS) meliputi :
1. Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15).
2. Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri).
3. Adanya gangguan fokal neorologis (Hemiparese/plegi, kejang - kejang, pupil
anisokor).
4. Nyeri kepala, muntah - mual yang menetap yang telah dilakukan observasi
di UGD dan telah diberikan obat analgesia dan anti muntah selama 2 jam
tidak ada perbaikan.

26
5. Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemerisaan foto kepala.
6. Klinis adanya tanda – tanda patah tulang dasar tengkorak.
7. Luka tusuk atau luka tembak
8. Adanya benda asing (corpus alienum).
9. Penderita disertai mabuk.
10. Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus,
gangguan faal pembekuan.

Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit
tidak ada yang mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat tinggal jauh dengan
rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan menyulitkan penderita. Pada saat
penderita di pulangkan harus di beri advice (lembaran penjelasan) apabila terdapat
gejala seperti ini harus segera ke rumah sakit misalnya : mual – muntah, sakit kepala
yang menetap, terjadi penurunan kesadaran, Penderita mengalami kejang – kejang,
Gelisah. Pengawasan dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih 2 x
24 jam dengan cara membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999).

1. Perawatan di Rumah Sakit


Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 – 15 meliputi :
a. Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose
cepat dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan
edema serebri) Di RS Dr Soetomo surabaya digunakan D5% ½ salin kira –
kira 1500 – 2000 cc/24 jam untuk orang dewasa.
b. Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah dicoba
minum sedikit – sedikit (pada penderita yang tetap sadar).
c. Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal
selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk
penuh dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15).
d. Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti : Citicholine,
dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.
e. Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari
cidera kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur –
angsur berkurang sampai 48 jam pertama.

2. Perawatan di Rumah Sakit Bila GCS < 13

27
Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
a. Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15°
– 30°) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra
kranial turun.
b. Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit.
c. Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak ada
perbaikan dapat diberikan vasopressor.
d. Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30
CC/KgBB/24jam.
e. Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan
perawatan yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran
kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan yang dimulai pada hari I
dihubungkan dengan 500 cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian sedini
mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus, menetralisasikan asam
lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi (stress ulcer), menambah
energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi metabolisme yang
negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan ditingkatkan
secara perlahan – lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24 jam dengan
kalori 2000 Kkal. Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih
cepat pada penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di
dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk
kedalam system portal.
f. Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari
terjadinya statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring
kekiri dan kanan setiap 2 jam.
g. Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh
langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat
menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi
pernapasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi karena nyeri oleh karena
fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat tidur yang kotor, Penderita mulai
sadar, Penurunan kesadaran, Shock, Febris.

TRANSPOR OKSIGEN
Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971,
Peitzman, 1987, Abrams, 1993 mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar yakni:

28
1. Sistem Pernafasan yang Membawa O2 Udara Alveoli, Kemudian Difusi
Masuk ke Dalam Darah.
Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen berkaitan dengan
hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma. Gangguan oksigenansi
menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah (hipoksemia) yang selanjutnya
akan menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya,
dibedakan 4 jenis hipoksia sesuai dengan proses penyebabnya :
1) Hipoksia – Hipoksik : gangguan ventilasi-difusi
2) Hipoksia – Stagnan : gangguan perfusi/sirkulasi
3) Hipoksia – Anemik : anemia
4) Hipoksia – Histotoksik : gangguan pengguanaan oksigen dalam sel (racun
HCN, sepsis).
Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik.
Kandungan oksigen dalam darah arterial (Ca O2) menurut rumus Nunn-Freeman
(MacLean, 1971, Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah :
Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003)
Hb = kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi O2 = saturasi oksigen dalam
hemoglobin (%)
1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut 1,36 atau 1,39
pO2 = tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg
0,003 = koefisien kelarutan oksigen dalam plasma.

2. Sistem Sirkulasi yang Membawa Darah Berisi O2 Ke Jaringan


Perubahan-perubahan hemodinamik sebagai kompensasi yaitu: nadi
meningkat (takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat, vasokonstriksi di
daerah arterial reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh puluh lima persen volume
sirkulasi berada di daerah vena. Vasokonstriksi memeras darah dari cadangan vena
kembali ke sirkulasi efektif. Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran
untuk organ prioritas (otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal,
hati, usus. Vasokonstriksi yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion
pressure) untuk otak dan jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih berat
mengatasi SVR, pada saat yang sama oksigenasi koroner sedang menurun.
Vasokonstriksi yang berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik
(iscemic injury), translokasi kuman menembus usus dan masuknya endotoksin ke
sirkulasi sistemik (Kreimeier 1990 dan 1992; Hartmann, 1991). Takikardia dan

29
vasokonstriksi sudah berjalan dengan cepat melalui respons baroreseptor dan
katekolamin. Takikardia yang berlebihan justru merugikan, karena menyebabkan
EDV menurun sehingga CO juga turun. Cardiac output atau curah jantung adalah
volume aliran darah yang membawa oksigen ke jaringan. Hubungan antara curah
jantung (CO), frekwensi denyut jantung (f) dan Stroke Volume (SV) adalah sebagai
berikut:
CO = f x SV
SV : dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR
EDV : volume ventrikel pada akhir diastole
C : contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)
SVR : Systemic Vascular Resistance
VR : Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan
normal VR = CO
Available O2 = CO x Ca O2
Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan)
Ca O2 : kandungan oksigen darah arterial.

3. Sistim O2-Hb Dalam Eritrosit dan Transpor ke Sel Jaringan


Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika
oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi oksigen-hemoglobin
(Lentner, 19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada organ
vital (otak, jantung) diisyaratkan bhwa kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila
kadar Hb kurang dari 9 gr % masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan
peningkatan curah jantung dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico,
1993; Rotondo, 1993).

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Hafid, M. Sajid Darmadiputra, Umar Kasan, (1989), Strategy Dasar


Penanganan Cidera Otak, Warta IKABI Cab. Surabaya.
2. American College of Surgeons, (1995), Advanced Trauma Life Support Course
for Physicians, ACS Chicago
3. Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya.
4. Becker DP, Gardner S, (1985), Intensive Management of Head Injury. In :
Wilkins RH, Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc. Grow Hill
Company, 1953.
5. Bouma GJ, Muizelaar JP, Choi Sc et.al, (1991), Cerebral Circulation and
Metabolism After Severe Traumatic Barin Injury : the elusive role of ischemia. J.
Neurosurg.
6. Bambang Wahyu Prajitno, (1990), Terapi Oksigen, Lab Anestesiologi F.K Unair
Surabaya.
7. Barzo MK, rau AM, Donaldson D et.al, (1997), Protective Effect of Ifenprodil on
Ishemic Injury Size, Blood Breakdown, and Edema Formation in Focal Cerebral
Ischemia.
8. Combs DJ, Dempsey RJ, Maley M et.al (1990), Relationship between plasma
glocose, brain lactate and intra cellular PH during cerebraal ischemia in gebrils
stroke.
9. Gennerelli TA and Meany DF ( 1996 ), Mechanism of Primary Head Injury,
Wilkins RH and Renfgachery SS ( eds ) Neurosurgery, New York
10. Ishige N, Pitts LH et.al (1987), Effect of Hypoxia on Traumatic brain Injury in
rats Neurosurgery
11. Jenkins N, Pitts LH et.al (1987), Increased vulnerability of the traumatized brain
to early ischemia in Baethment A, Go CK and Unterberg A ( eds ) Mecahnism of
Secondary brain demage.PC Worksho, Italy
12. Klatzo I. Chui E, Fujiware K (1980), Resulation of Vasogenic brain edema, Adv.
Neurol.
13. Klauber MF, Marshall LF et.al (1989), Determinants of Head Injury Mortality,
Importance of the Row Risk Patients.
14. Kraus JF (1993), Epidemiology of Head Injury in Cooper P ( ed ) Head Injury.
Baltimore, William and Wilkins.
15. Narayan RK (1989), Emergency Room Management of the Head Injury Patient.
In : Becker D.P, Gudeman S.K, eds Text Book of Head Injury Philadelphia : WB
Saunders
16. Zander, F. Mertzlufft (1990), The Oxygen Status of Arterial Blood, Saarstrabe
Germany.
17. Sumarmo Makam et.,al (1999), Cidera Kepala, Balai Penerbit FK UI Jakarta.
18. Umar kasan (1998), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala
Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press.
19. Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes
20. Vincent J. Collins, (1996), Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxia
Germany
21. Zainuddin M, (1988), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga Surabaya.

7
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
DIABETIK KETOACIDOSIS

I. PENGERTIAN
Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai
gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini terkadang
disebut “akselerasi puasa” dan merupakan gangguan metabolisme yang paling serius
pada diabetes ketergantungan insulin.

II. ETIOLOGI
Ketoasidosis diabetik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu akibat hiperglikemia
dan akibat ketosis, yang sering dicetuskan oleh faktor-faktor :
1. Infeksi
2. Stress fisik dan emosional; respons hormonal terhadap stress mendorong
peningkatan proses katabolik . Menolak terapi insulin

III. PENGKAJIAN
(Menurut pengumpulan data base oleh Doengoes)
1. Aktivitas / Istrahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan
Kram otot, tonus otot menurun, gangguan istrahat/tidur
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas
Letargi/disorientasi, koma
Penurunan kekuatan otot
2. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut
Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas
Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama
Takikardia
Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi
Nadi yang menurun/tidak ada
Disritmia
Krekels, Distensi vena jugularis
Kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung

8
3. Integritas/ Ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain
Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang
4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
Rasa nyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISSK
baru/berulang
Nyeri tekan abdomen, Diare
Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri (dapat berkembang menjadi
oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat)
Urin berkabut, bau busuk (infeksi)
Abdomen keras, adanya asites
Bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare)
5. Nutrisi/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan
Mual/muntah
Tidak mematuhi diet, peningkattan masukan glukosa/karbohidrat
Penurunan berat badan lebih dari beberapa hari/minggu
Haus, penggunaan diuretik (Thiazid)
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek
Kekakuan/distensi abdomen, muntah
Pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan
peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas
aseton)
6. Neurosensori
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala
Kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parestesia
Gangguan penglihatan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut).
Gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental
Refleks tendon dalam menurun (koma)
Aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA)
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati

9
8. Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen
(tergantung adanya infeksi/tidak)
Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen
Frekuensi pernapasan meningkat
9. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit
Tanda : Demam, diaforesis
Kulit rusak, lesi/ulserasi
Menurunnya kekuatan umum/rentang erak
Parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar
kalium menurun dengan cukup tajam)
10. Seksualitas
Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi)
Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita
11. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi.
Penyembuhan yang Lambat, penggunaan obat sepertii
steroid, diuretik (thiazid), dilantin dan fenobarbital
(dapat meningkatkan kadar glukosa darah). Mungkin
atau tidak memerlukan obat diabetik sesuai pesanan.
Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengatuan diet,
pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadap
glukosa darah.

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Glukosa darah : meningkat 200 – 100 mg/dl atau lebih
2. Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok
3. Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkaat
4. Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/l
5. Elektrolit : Natrium : mungkin normal , meningkat atau menurun
6. Kalium : normal atau peningkatan semu (perpindahan selular), selanjutnya
akan menurun
7. Fosfor : lebih sering menurun
8. Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang
mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir

10
9. Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada
HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik
10. Trombosit darah : Ht mungkin meningkat atau normal (dehidrasi),
leukositosis, hemokonsentrasi sebagai rrespons terhadap stress atau infeksi
11. Ureum/kreatinin: Mungkn meningkaatt atau normal(dehidrasi/penurunan
fungsi ginjal)
12. Amilase darah : mungkin meningkat yang mengindikasikan adanya
pankreatitis akut sebagai penyebab DKA
13. Urin : gula dan aseton positif , berat jenis dan osmolalitas mungkin
meningkat
14. Kultur dan sensitifitas : kemungkinan adanya infeksi saluran kemih,
pernafasan dan pada luka

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Defisit volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik akibat
hiperglikemia, pengeluaran cairan berlebihan : diare, muntah; pembatasan
intake akibat mual, kacau mental
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral, status hipermetabolisme
3. Resiko tinggi terhadap infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan
kadar glukosa, penurunan fungsi lekosit, perubahan pada sirkulasi
4. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori-perseptual berhubungan dengan
ketidkseimbangan glukosa/insulin dan/atau elektrolit
5. Kelelalahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik,
insufisiensi insulin, peningkatan kebtuhan energi : status
hipermetabolik/infeksi
6. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang,
ketergantungan pada orang lain
7. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis, dan pengoobatan
berhubungan dengan kesalahan menginterpretasi informasi, tidak mengenal
sumber informasi

F. RENCANA KEPERAWATAN
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik akibat
hiperglikemia, pengeluaran cairan berlebihan : diare, muntah; pembatasan
intake akibat mual

11
Batasan Karakteristik :
 Peningkatan urin output
 Kelemahan, rasa haus, penurunan BB secara tiba-tiba
 Kulit dan membran mukosa kering, turgor kulit jelek
 Hipotensi, takikardia, penurunan capillary refill
Kriteria Hasil :
 TTV dalam batas normal
 Pulse perifer dapat teraba
 Turgor kulit dan capillary refill baik
 Keseimbangan urin output
 Kadar elektrolit normal

Intervensi Rasional
1. Kaji riwayat durasi/intensitas mual, Membantu memperkirakan pengurangan
muntah dan berkemih berlebihan volume total. Proses infeksi yang
menyebabkan demam dan status
hipermetabolik meningkatkan
pengeluaran cairan insensibel.

2. Monitor vital sign dan Hypovolemia dapat dimanifestasikan


perubahan tekanan darah orthostatik oleh hipotensi dan takikardia.
Hipovolemia berlebihan dapat
ditunjukkan dengan penurunan TD lebih
dari 10 mmHg dari posisi berbaring ke
duduk atau berdiri.

3. Monitor perubahan respirasi: Pelepasan asam karbonat lewat respirasi


kussmaul, bau aceton menghasilkan alkalosis respiratorik
terkompensasi pada ketoasidosis. Napas
bau aceton disebabkan pemecahan asam
keton dan akan hilang bila sudah
terkoreksi

4. Observasi kulaitas nafas, Peningkatan beban nafas menunjukkan


penggunaan otot asesori dan cyanosis ketidakmampuan untuk berkompensasi
terhadap asidosis
5. Observasi ouput dan kualitas Menggambarkan kemampuan kerja

12
urin. ginjal dan keefektifan terapi.

Menunjukkan status cairan dan


6. Timbang BB keadekuatan rehidrasi.

Mempertahankan hidrasi dan sirkulasi


7. Pertahankan cairan 2500 volume.
ml/hari jika diindikasikan
Mengurangi peningkatan suhu yang
8. Ciptakan lingkungan yang menyebabkan pengurangan cairan,
nyaman, perhatikan perubahan perubahan emosional menunjukkan
emosional penurunan perfusi cerebral dan hipoksia.

Kekurangan cairan dan elektrolit


mengubah motilitas lambung, sering
9. Catat hal yang dilaporkan menimbulkan muntah dan potensial
seperti mual, nyeri abdomen, muntah menimbulkan kekurangan cairan &
dan distensi lambung elektrolit

Pemberian cairan untuk perbaikan yang


cepat mungkin sangat berpotensi
10. Obsevasi adanya perasaan menimbulkan beban cairan dan GJK
kelelahan yang meningkat, edema,
peningkatan BB, nadi tidak teratur dan
adanya distensi pada vaskuler Pemberian tergantung derajat
Kolaborasi: kekurangan cairan dan respons pasien
 Pemberian NS dengan atau tanpa secara individual
dextrosa
Plasma ekspander dibutuhkan saat
kondisi mengancam kehidupan atau TD
 Albumin, plasma, dextran sulit kembali normal

Memudahkan pengukuran haluaran urin

 Pertahankan kateter terpasang

 Pantau pemeriksaan lab : Mengkaji tingkat hidrasi akibat

13
hemokonsentrasi.
 Hematokrit
Peningkatan nilai mencerminkan
kerusakan sel karena dehidrasi atau
 BUN/Kreatinin awitan kegagalan ginjal.

Meningkat pada hiperglikemi dan


dehidrasi.
 Osmolalitas Darah
Menurun mencerminkan perpindahan
cairan dari intrasel (diuresis osmotik),
 Natrium tinggi berarti kehilangan cairan/dehidrasi
berat atau reabsorpsi natrium dalam
berespons terhadap sekresi aldosteron.

Kalium terjadi pada awal asidosis dan


selanjutnya hilang melalui urine, kadar
 Kalium absolut dalam tubuh berkurang. Bila
insulin diganti dan asidosis teratasi
kekurangan kalium terlihat.

Mencegah hipokalemia.

 Berikan Kalium sesuai indikasi Memperbaiki asidosis pada hipotensi


atau syok
 Berikan bikarbonat jika pH <7,0
Mendekompresi lambung dan dapat
menghilangkan muntah

 Pasang NGT dan lakukan


penghisapan sesuai dengan
indikasi

 Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidak


Cukupan insulin, penurunan masukan oral, status
hipermetabolisme.

14
Batasan karakteristik :
 Klien melaporkan masukan butrisi tidak adekuat, kurang nafsu makan
 Penurnan berat badan, kelemahan, tonus otot buruk
 Diare
Kriteria hasil :
 Klien mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat
 Menunjukkan tingkat energi biasanya
 Mendemonstrasikan berat badan stabil atau penambahan sesuai
rentang normal

Intervensi Rasional
1. Pantau berat badan setiap hari atau Mengkaji pemasukan makanan yang
sesuai indikasi adekuat termasuk absorpsi dan utilitasnya.

2. Tentukan program diet dan pola makan Mengidentifikasi kekurangan dan


pasien dan bandingkan dengan penyimpangan dari kebutuhan terapetik
makanan yang dihabiskan

3. Auskultasi bising usus, catat adanya Hiperglikemia dan ggn keseimbangan


nyeri abdomen/perut kembung, mual, cairan dan elektrolit dapat menurunkan
muntahan makanan yang belum motilitas/fungsi lambung (distensi atau
dicerna, pertahankan puasa sesuai ileus paralitik)yang akan mempengaruhi
indikasi pilihan intervensi.

4. Berikan makanan yang mengandung Pemberian makanan melalui oral lebih baik
nutrien kemudian upayakan pemberian jika pasien sadar dan fungsi gastrointestinal
yang lebih padat yang dapat ditoleransi baik.

5. Libatkan keluarga pasien pada Memberikan informasi pada keluarga untuk


perencanaan sesuai indikasi memahami kebutuhan nutrisi pasien.

6. Observasi tanda hipoglikemia Hipoglikemia dapat terjadi karena


terjadinya metabolisme karbohidrat yang
berkurang sementara tetap diberikan insulin
, hal ini secara potensial dapat mengancam
kehidupan sehingga harus dikenali.

15
7. Kolaborasi :
 Pemeriksaan GDA dengan finger Memantau gula darah lebih akurat daripada
stick reduksi urine untuk mendeteksi fluktuasi.

 Pantau pemeriksaan aseton, pH dan Memantau efektifitas kerja insulin agar


HCO3 tetap terkontrol.

 Berikan pengobatan insulin secara Mempermudah transisi pada metabolisme


teratur sesuai indikasi karbohidrat dan menurunkan insiden
hipoglikemia.

 Berikan larutan dekstrosa dan Larutan glukosa setelah insulim dan cairan
setengah salin normal membawa gula darah kira-kira 250 mg/dl.
Dengan mertabolisme karbohidrat
mendekati normal perawatan harus
diberikan untuk menhindari hipoglikemia.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,
Jakarta
2. Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis,
Philadelphia
3. Price, Sylvia (1990), Patofisiologi dan Konsep Dasar Penyakit , EGC, Jakarta

17
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM BASA

A. PENILAIAN KETIDAK SEIMBANGAN ASAM BASA


Penilaian Sistematik dalam Penilaian gangguan asam basa. Awali dengan kecurigaan
klinis yang tinggi
1. Teliti riwayat klinis dari perjalanan penyakit yang dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan asam basa.
 Ini membutuhkan pengetahuan tentang patogensis dari berbagai gangguan
asam basa.
 Contohnya, asidosis respiratorik mungkin dapat diperkirakan timbul pada
penderita penyakit paru obstruksi menahun.
2. Perhatikan tanda dan gejala klinis yang mengarah kepada gangguan asam basa.
 Sayang sekali, banyak tanda dan gejala dari gangguan asam basa tidak
jelas dan non spesifik.
 Contoh, pernafasan kussmaul pada pasien diabetes dapat merupakan
tanda kompensasi pernafasan terhadap asidosis metabolik.
3. Periksa hasil pemeriksaan laboratorium untuk elektrolit dan data lainnya yang
mengarah kepada proses penyakit yang berkaitan dengan gangguan asam basa.
 Contoh, hipokalemia sering berkaitan dengan alkalosis metabolik.
 Contoh, peningkatan kadar kreatinin serum menunjukkan insufesiensi
ginjal dan insufesiensi serta gagal ginjal sering disertai asidosis
metabolik.

Menilai Variabel-Variabel Asam Basa Untuk Mengetahui Tipe Gangguan.


1. Pertama, periksa PH darah arteri untuk menentukan arah dan besarnya gangguan
asam basa.
a. Jika menurun, pasien mengalami asidemia dengan dua sebab yang
mungkin : asidosis metabolik atau asidosis respiratorik.
b. Jika meningkat, pasien mengalami alkalemia dengan dua sebab yang
mungkin : alkalosis metabolik atau alkalosis respiratorik.
c. Ingatlah bahwa kampensasi ginjal dan pernafasan jarang memulihkan PH
kembali normal sehingga jika ditemukan PH yang normal meskipun ada
perubahan dalam PaCO2 dan HCO3 ,mungkin ada gangguan campuran ;
contohnya seorang pasien dengan asidosis respiratorik yang bercampur
dengan alkalosis metabolik mungkin akan mempunyai PH yang normal.

18
2. Perhatikan variabel pernafasan (PaCO2) dan metabolik HCO3, yang
berhubungan dengan PH untuk mencoba mengetahui apakah gangguan primer
bersifat respiratorik, metabolik atau campuran.
a. Apakah PaCO2 normal (40 mmHg), meningkat atau menurun ?
b. Apakah HCO3 normal (24 mEq/L), meningkat atau menurun ?
c. Tambahan : apakah ada kelebihan atau kekurangan basa ?
d. Pada gangguan asam basa sederhana, PaCO2 dan HCO3 selalu berubah
dalam arah yang sama.
e. Penyimpangan dari PaCO2 dan HCO3 dalam darah yang berlawanan
menunjukkan adanya gangguan asam basa campuran.
f. Cobalah untuk menduga campuran primer dengan menghubungkan hasil
pemeriksaan yang ditemukan dengan keadaan klinis.

3. Perkirakan respon kompensatorik yang bakal terjadi pada gangguan asam basa
primer.
a. Jika respon kompensatorik lebih berat atau ringan dari pada yang
diperkirakan, mungkin ada gangguan asam basa campuran (normogram
asam basa juga dapat digunakan untuk mengetahui gangguan asan basa
campuran)
b. Hitung selisih (gap) anion plasma. Jika meningkat ( >16 mEq/l ),
mungkin sekali terjadi acidosis metabolik.
c. Bandingkan besarnya penurunan HCO3 plasma dengan peningkatan
selisih anion : seharusnya sama besar.
 Jika peningkatan < dari selisih anion penurunan HCO3 , mungkin
komponen dari acidosis metabolik disebabkan oleh kehilangan
HCO3.
 Jika peningkatan selisih dari anion jauh lebih besar dari penurunan
HCO3 berarti ada alkalosis metabolik yang menyertainya.

4. Buat penafsiran tahap akhir.


a. gangguan asam-basa sederhana
 Akut (tidak terkompensasi) atau
 Kronik (sebagian atau sepenuhnya terkompensasi)
b. Gangguan asam-basa campuran
c. Asidosis metabolik dengan selisih anion normal atau lebar.

19
B. KELAINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESEIMBANGAN
ASAM BASA

1. Asidosis Metabolik (Kekurangan Bikarbonat = HCO3)


Penurunan primer kadar bikarbonat sehingga terjadi penurunan PH
(peningkatan ion H) . HCO3 di ECF =22 mEq/L dan PH =7,35.
Kompensasi pernafasan segera dimulai untuk menurunkan PaCO2 melalui
hiperventilasi sehinga asidosis metabolik jarang terjadi secara akut.

Sebab-sebab Asidosis Metabolik.

1. Selisih Anion Normal (Hiperkloremik)


1) Kehilangan bikarbonat
a. Kehilangan melalui saluran cerna :
 Diare
 Ilieotomi ; fistula pankreas, kantong empedu atau usus halus.
 Ureterosigmoidostomi
b. Kehilangan melalui ginjal :
 Asidosis tubulus proksimal ginjal (RTA)
 Inhibitor Karbonik Anhidrase (Asetazolamid)
 Hipoaldosteronisme
2) Peningkatan beban asam
a. Amonium klorida (NH4Cl NH3 + HCl)
b. Cairan-cairan hiperalimentasi
3) Lain-lain
Pemberian IV larutan garan secara cepat .

2. Selisih Anion Meningkat


1) Peningkatan produksi asam :
a. Asidosis laktat : laktat (perfusi jaringan atau aksigenasi yang tidak
memadai seperti pada syok atau henti kardiopulmonar)
b. Ketoasidosis diabetik : Beta-hidroksibutirat.
c. Kelaparan: peningkatan asam - asam keto
d. Intoksikasi alkohol : peningkatan asam-asam keto
2) Menelan substansi toksik
a. Kelebihan dosis salisilat : Salisilat, laktat, keton

20
b. Metanol atau formaldehid : formad
c. Etilglikol (antibeku) : oksilat, glikolat
3) Kegagalan ekskresi asam : tidak adanya ekskresi NH4 ; retensi asam
sulfat dan asam fosfat
a. gagal ginjal akut dan kronik

Keadaan Sebelum Terjadi Asidosis Metabolik

AK B

1 20

Keton dan peningkatan Cl menggganti ion bikarbonat.

Keadaan Asidosis Metabolik

AK

10

21
Usaha Kompensasi Tubuh

AK
10
0,75

Paru mengeluarkan banyak CO2. Ginjal menahan Bikarbonat , mengeluarkan H+,


dam anion lain urin asam. NaHCO3, larutan laktat diberikan I V.

Keadaan Sesudah Pengobatan

AK B

1 20

2. Alkalosis Metabolik (Kelebihan Bikarbonat)


Peningkatan primer kadar bikarbonat plasma, sehingga terjadi peningkatan Ph
(penurunan H ). HCO3 di ECF = 2,6 mEq/l dan PH = 7,45. Kompensasi
pernapasan berupa peningkatan Pa CO2 dengan hipoventilasi ; akan tetapi tingkat
hipoventilasi adalah terbatas karena parnapasan terus berjalan karena dorongan
hipoxia.

Sebab-Sebab Alkalosis Metabolik

1. Kehilangan H dari ECF.


1) Kehilangan melalui saluran cerna (berkurangnya volume ECF)
a. Muntah atau penyedotan nasogastrik
b. Diare dengan kehilangan klorida

22
2) Kehilangan melalui ginjal
a. Diuretik simpai atau tiazid (pembatasan NaCl + berkurangnya
ECF)
b. Kelebihan mineralokortikoid
 Hiperaldosteronisme
 Syndrom cushing ; terapi kortikosteroid eksogen )
 Makan licorice berlebihan
c. Karbenisillin atau penicillin dosis tinggi

2. Retensi HCO3
a. Pemberian Natrium Bikarbonat berlebihan
b. Sundrom susu alkali (antasid, susu, natrium bikarbonat)
c. Darah simpan (sitrat) yang banyak (>8unit)
d. Alkalosis metabolik hiperkapnia (setelah koreksi pada asidosis
respiratorik kronik)
 Ventilasi mekanis: penurunan yang cepat dari PCO2 tapi HCO
tetap tinggi sampai jinjal mengeksekresi kelebihannya.

3. Asidosis Metabilok yang Responsif Terhadap Klorida (Cl Kemih 10


Meq/L)
Biasanya disertai penurunan ECF
 Muntah atau penyeditan Nasogastrik
 Deuretik
 Pasca-hiperkapnea

4. Asidosis Metabolik yang Resisten Terhadap Klorida(Cl Kemih 20


Meq/L)
Biasanya tidak dirsertai penurunan Volume ECF
 Kelebihan mineralokortikoid
 Keadaan Edematosa (gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom
nefrotik).

23
Keseimbangan Sebelum Terjadi Alkalosis Metabolik

AK B

1 20

Keadaan Alkalosis Metabolik

AK
B

1,25 30

Bikarbinat meningkat karena kehilangan Cl atau karena makan banyak Na


bikarbonat

Usaha Kompensasi Tubuh

AK B

1
40

Paru menahan CO2 ginjal mengeluarkan ion bikarbonat dan menahan ion H + dan
ion-ion lain. Urin menjadi basa

24
Keseimbangan Setelah Pengobatan

AK B

1 20

Pemberian larutan yang mengandung Cl, atau NH4Cl

3. Asidosis Respiratorik (Kelebihan Asam Karbonat)


Ditandai dengan peningkatan primer dari PaCO2 (hiperkapnea), sehingga terjadi
penurunan PH; PaCO2 > 45 mmHg dan PH . 7,35.
Kompensasi ginjal mengakibatkan peningkatan HCO3 serum. Asidosis respirasi
dapat timbul secara akut maupun kronik. Hipoksemia (PaO2 rendah) selalu
menyertai asidosis respiratorik. Jika pasien bernafas dalam udara ruangan.

Sebab-Sebab Asidosis Respiratorik (Sebab Dasar = Hipoventilasi)

1. Hambatan pada Pusat Pernafasan di Medula Oblongata


a. Obat-obatan : Kelebihan dosis opiat, sedatif, anestetik (akut)
b. Terapi oksigen pada hiperkapnea kronik
c. Henti jantung (akut)
d. Apnea saat tidur

2. Gangguan Otot-Otot Pernafasan dan Dinding Dada


a. Penyakit neuromuskuler : miastenia gravis, sindrom guillain-Barre,
poliomielitis, sklerosis lateral amiotropik.
b. Deformitas rongga dada : kifoskoliosis
c. Obesitas yang berlebihan : sindrom pickwikian
d. Cedera dinding dada seperti patah tulang-tulang iga

3. Gangguan Pertukaran Gas


a. PPOM (emfisema dan bronkitis)
b. Tahap akhir penyakit paru intrinsik yang difus
c. Pneumona atau asama yang berat
d. Edema paru akut

25
e. Pneumotorak
4. Obstruksi Saluran Nafas Atas yang Akut
a. Aspirasi benda asing atau muntah
b. Laringospasme atau edema laring, bronkospasme berat

Keseimbangan Sebelum Asidosis

AK B

1 20

Keadaan Asidosis Paru Menahan CO2

B
AK
20

Usaha Kompensasi Tubuh

B
AK
30

Ginjal menahan bikarbonat mengeluarkan H+ dan Anion lain

26
Urin Menjadi Asam

AK B

2 40

4. Alkalosis respiratorik (kekurangan asam karbonat)


Penurunan primer dari PaCO2 (hipokapnea) sehinggan terjadi penurunan PH.
PaCO2 < 35 mmHG > 7,45. Kompensasi ginjal berupa penurunan ekskresi H+
dengan akibat lebih sedikit absorbsi HCO3 . Penurunan HCO3 serum berbeda-
beda, tergantung apakah keadaanya akut atau kronik.

Sebab-Sebab Alkalosis Respiratorik (Sebab Dasar =Hiperventilasi)

1. Perangsangan Sentral Terhadap Pernafasan


a. Hiperventilasi psikogenik yang disebabkan oleh stres emosional
b. Keadaan hipermetabolik : demam, tirotoksikosis
c. Gangguan SSP
d. Cedera kepala atau gangguan pembuluh darah otak
e. Tumor otak
f. Intoksikasi salisilat (awal)

2. Hipoksia
a. Pneumonia, asma, edema paru
b. Gagal jantung kongestif
c. Tinggal ditempat yang tinggi

3. Ventilasi Mekanik yang Berlebihan


4. Mekanisme yang Belum Jelas

27
Keseimbangan Sebelum Terjadi Alkalosis Respiratorik

AK B

1 20

Keadaan Alkalosis Respiratorik

AK
B

0,5
20

Paru mengeluarkan banyak CO2, pernafasan hiperaktif

Usaha Kompensasi Tubuh

AK
B
0,5

15

Ginjal mengeluarkan ion bikarbonat, menahan H+ dan anion lain, urin basa.

28
Keseimbangan Setelah Pengobatan

AK B

0,5 15

Larutan mengandung Cl

C. GANGGUAN ASAM BASA CAMPURAN


Gangguan asam basa campuran adalah keadaan dimana terdapat satu atau lebih
gangguan asam basa sederhana yang terjadi bersama-sama.

Gangguan Ganda Sebab-Sebab yang Sering

Efek Aditif pada Perubahan PH


Asidosi metabolik + asidosis respiratorik  Henti kardiopulmonar
PaCO2 terlalu tinggi HCO3 terlalu rendah  Pasien PPOM yang mengalami syok
pH sangat rendah  Gagal ginjal kronik dengan kelebihan
volume dan edema paru
 Pasien dengan ketoasidosis diabetik yang
mendapat narkotik kuat atau barbiturat.

Alkalosis metabolik + Alkalosis respiratirik  Pasien PPOM yang mendapat ventilasi


PaCO2 terlalu rendah HCO3 terlalu tinggi berlebuhan lewat respirator mekanik
pH sangat tinggi  Pasien hiperventilasi dengan gagal
jantung kongestif atau sirosis hati yang
munyah-muntah atau mendapat
pengobatan dengan deuretik kuat atau
penyedotan nasogastrik
 Pasien cidera kepala dengan hiper
ventilasi yang mendapat deuretik

29
Efek yang mengukuti perubahan pH
Asidosis metabolik + Alkalosis respiratorik  Asidosis laktat sebagai komplikasi syok
PCO2 terlalu rendah HCO3 terlalu rendah septik
pH mendekati normal  Sindrom hepato renal
 Intoksikasi salisilat

Alkalosis metabolik + Asidosis respiratorik  Pasien PPOM yang muntah atau yang
PaCO2 terlalu tinggi HCO3 terlalu tinggi pH menjalani penyedotan nasogastrik atau
mendekati normal deuretik kuat
 Sindrom distres paru dewasa

Tabel Gangguan Keseimbangan Asam Basa

Asidosis Respiratorik Alkalosis Metabolik


Penyebab : Hiperventiasi Penyebab : Muntah, pengeluaran cairan
Hasil : HCO3 24,0 mEq/L lambung, over dosis NaHCO3, terapi diuretik
H2CO3 2,7 mEq/L berlebihan dengan kehilangan asam
Rasio 8,8 : 1 Hasil : HCO3 38,0 mEq/L
PCO2 90,0 mmHg H2CO3 1,2 mEq/L
PH 7,2 Rasio 31,6 : 1
Mekanisme kompensasi : PCO2 40,0 mmHg
Meningkatkan respirasi, Amonia ginjal dan PH 7,6
ekskresi asam meningkat, penahanan ginjal ; Mekanisme kompensasi :
dominasi buffer basa Pernafasan lambat, dangkal , Peningkatan
Hasil : HCO3 38,1 mEq/L ekkresi bikarbonat pada ginjal, penahanan
H2CO3 2,5 mEq/L asam ; dominasi buffer asam
Rasio 15,2 : 1 Hasil : HCO3 34,5 mEq/L
PCO2 80,0 mmHg H2CO3 1,33 mEq/L
PH 7,3 Rasio 25,9 : 1
PCO2 45,0 mmHg
PH 7,5

NORMAL
HCO3 + : 24,0 mEq/L
H2CO3 : 1,2 mEq/L
Rasio : 20 : 1

30
PCO2 : 40,0 mmHg
PH : 7,4
Asidosis Metabolik Alkalosis Respiratorik
Penyebab : asidosis nefritis (penurunan Penyebab : Hiperpnea , demam
eksresi metabolisme asam ), asidosis diabetik Hasil : HCO3 24,0 mEq/L
(pengeluaran produksi metabolisme asam), H2CO3 0,6 mEq/L
diare, fistula pencernaan (kehilangan Rasio 40 : 1
bikarbonat utama) PCO2 20,0 mmHg
Hasil : HCO3 15.0 mEq/L PH 7,55
H2CO3 1,2 mEq/L Mekanisme kompensasi :
Rasio 12,5 : 1 Penurunan respirasi, peningkatan ekskresi
PCO2 40,0 mmHg bikarbonat diginjal, penahanan asam :
PH 7,2 dominasi buffer asam
Mekanisme kompensasi : Hasil : HCO3 20,0 mEq/l
Peningkatan respirasi, peningkatan amonia di H2CO3 0,8 mEq/L
ginjal, peningkatan ekskresi asam, penahanan Rasio 25 : 1
bikarbonat : dominasi buffer asam PCO2 25,0 mmHg
Hasil : HCO3 17,2 mEq/L PH 7,52
H2CO3 0,9 mEq/L
Rasio 19 : 1
PCO2 30,3 mmHg
PH 7,38 FIK UI B’ 95

31
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
INTERVENSI KEPERAWATAN

A. Asidosis Metabolik
1. Independen
a. Monitor tekanan darah, frekwensi nadi / ritme
b. Kaji tingkat kesadaran dan catat perubahan progresif, kondisi
neuromuskuler misalnya : kekuatan, tonus otot, pergerakan.
c. Bila terjadi koma, lakukan : tempat tidur direndahkan, gunakan
penghalang tempat tidur, observasi yang sering.
d. Observasi respirasi mengenai jumlah dan kedalamannya.
e. Kaji temperatur kulit : warna dan perfusi jaringan
f. Auskultasi bunyi bising usus
g. Monitor intake dan out put serta berat badan setiap hari
h. Tes atau monitor PH urine
i. Jaga kebersihan mulut dengan kumur cairan sodium bikarbona, lemon
atau boraks gliserin

2. Kolaborasi
a. Bantu dengan mengidentifikasi / mengobati sesuai penyebabnya
b. Monitor analisa gas darah
c. Monitor serum elektrolit dan potasium
d. Berikan cairan sesuai indikasi, tergantung pada etiologi antara lain Dekst. 5
%/saline solution
e. Berikan obat-obatan sesuai dengan indikasi antara lain :
 Sodium bikarbonat/laktat atau saline melalui intra vena (mengoreksi
defisit bikarbonat/mengoreksi asidosis dengan PH , 7,2)
 Potasium clorida (defisit serum)
 Phospat (kronik asidosis dengan hipophopatemia)
 Calsium (fungsi neuro muskuler)
f. Modifikasi diet sesuai dengan indikasi, contohnya : Diet rendah protein, tinggi
karbohidrat bila terdapat gagal ginjal atau diabetes.
g. Laksanakan terapi dralisil bila diindikasikan

32
B. Alkalosis Metabolik
1. Independen
a. Monitor jumlah pernafasan, ritme dan kedalamannya
b. Monitor jumlah nadi dan ritmenya
c. Monitor intake dan out put serta berat badan tiap hari
d. Batasi intake oral dan kurangi stimulus lingkungan, lakukan suction secara
intermiten bila terpasang NGT, irigasi/bilas lambung dengan cairan
isotonik
e. Anjurkan intak cairan dan makanan tinggi potasium dan kalsium sedapat
mungkin (tergantung pada tingkat kalsium dan potasium dalam darah),
contohnya : buah anggur dan buah apel, pisang, Cauli flower (kembang
kol), buah kering (manisan), kolang-kaling, biji gandum.
f. Lanjutkan pemberian terapi diuretik secara teratur, contoh lasik, etherynic
acid.
g. Instruksikan pasien untuk mencegah hilangnya, sejumlah bikarbonat
(anjurkan pasien untuk minum susu)
2. Kolaborasi
a. Bantu dengan mengidentifikasi/mengobati sesuai penyebabnya
b. Analisa gas darah, serum elektrolit, BUN
c. Berikan obat-obatan :
 Sodium clorida/cairan ringer laktat secara intra vena jika tidak ada
kontra indikasi.
 Amonium clorida atau arginin hidroklorida untuk mencegah
penurunan PH
 Potasium clorida untuk mengatsi hipokalemia
 Diamox
 Spironolakton
d. Cugah atau batasi pengguanan sedatif/penenang
e. Anjurkan/laksanakan pemberian cairan secara intra vena
f. Berikan oksigen sesuai indikasi dan obat-obatan respiratori untuk
mengatasi kondisi ventilasi
g. Bantu dengan dralisis jika diperlukan

C. Asidosis Respiratori
1. Independen
a. Monitor jumlah pernafasan, kedalaman dan kesulitan pasien bernafas
(cuping hidung)

33
b. Auskultasi suara nafas
c. Kaji penurunan tingkat kesadaran
d. Monitor denyut nadi dan ritmenya
e. Catat warna kulit dan kelembabannya
f. Anurkan pasien untuk batuk dan nafas dalam, tempatkan pada posisi
semifowler, lakukan suction jika perlu, berikan nafas tambahan/oksigen
sesuai indikasi
2. Kolaborasi
a. Bantu dengan mengidntifikasi/mengobati sesuai penyebabnya
b. Monitor analisa gas darah dan kadar serum elektrolit
c. Berikan oksigen sesuai indikasi melalui masker, kanule atau ventrilasi
mekanik/ventilator
d. Tingkatkan jumlah pernafasan atau tidal volume
e. Berikan obat sesuai indikasi antara lain :
 Naloxane hidroclorida (narcan) untuk menstimulasi fungsi pernafasan
dalam pasien menggunakan obat sedatif
 Sodium bikarbonat
 Cairan IV seperti RL atau 0,6 M cairan Na lactal
 Potasium clorida
f. Batasi pengguanan obat penenang atau tranquillizer
g. Jaga kelembaban dengan menggunakan humidikasi
h. Berikan chist terapi dada termasuk didalamnya postural drainage
i. Bantu dengan alat bantu ventilator jika perlu

D. Alkalosis Respiratori
1. Independen
a. Monitor jumlah pernafasan, kedalaman dan usahanya/kesulitan pasien
bernafas (cuping hidung dll)
b. Pastikan penyebab hiperventilasi jika mungkin seperti kecemasan, nyeri
c. kaji tingkat kesadaran dan catat status neuromuskuler
d. Ajarkan pasien cara bernafas yang benar dan bantu pasien jika
mengguanakan alat bantu pernafasan, misalnya masker
e. Bantu Pasien untuk bersikap tenang
f. Berikan pengaman bila perlu, misal tempat tidur direndahkan, penghalang
tempat tidur dan observasi yang sering
2. Kolaborasi
a. Bantu dengan mengidentifikasi/mengobati sesuai dengan penyebab

34
b. Monitor analisa gas darah
c. Monitor serum potasium
d. Berikan sedativ jika ada indikasi
e. Gunakan alat bantu pernafasan masker untuk
mempertahankan/mengembalikan CO2. Kurangi frekwensi nafas/tidal
volume dengan alat bantu ventilator

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur C, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, EGC Penerbitan


Buku Kedokteran, Jakarta, 1987.
2. Price Sylvia Anderson; Wilson Mc. Carty, Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-
proses Penyakit, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1993.
3. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, UI Press, Jakarta, 1991.
4. -------, Dasar-dasar Keperawatan Kardiotorasik, Rumah Sakit Jantung “Harapan
Kita”, Jakarta, 198

36
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
CVA / STROKE INFARK

A. PENDAHULUAN
CVA atau Cerebro Vaskuler Accident biasa di kenal oleh masyarakat dengan
istilah Stroke.Istilah ini lebih populer di banding CVA.Kelainan ini terjadi pada
organ otak.Lebih tepatnya adalah Gangguan Pembuluh Darah Otak.Berupa
penurunan kualitas pembuluh darah otak.Stroke menyebabkan angka kematian
yang tinggi.
Kejadian sebagian besar dialami oleh kaum lai-laki daripada wanita (selisih
19 % lebih tinggi)dan usia umumnya di atas 55 tahun.

B. PENYEBAB DAN KLASIFIKASI


Pecahnya pembuluh darah otak sebagian besar diakibatkan oleh rendahnya
kualitas pembuluh darah otak.Sehingga dengan adanya tekanan darah yang tinggi
pembuluh darah mudah pecah.
Faktor resiko terjadinya stroke ada 2 :
1. Faktor Resiko yang Dapat Diobati / Dicegah :
 Perokok.
 Penyakit jantung ( Fibrilasi Jantung )
 Tekanan darah tinggi.
 Peningkatan jumlah sel darah merah (Policitemia).
 Transient Ischemic Attack (TIAs)
2. Faktor resiko yang tak dapat di rubah :
 Usia di atas 65.
 Peningkatan tekanan karotis (indikasi terjadinya artheriosklerosis yang
meningkatkan resiko serangan stroke).
 DM.
 Keturunan (Keluarga ada stroke).
 Pernah terserang stroke.
 Race (Kulit hitam lebih tinggi)
 Sex (laki-laki lebih 30 % daripada wanita).
Secara patologik suatu infark dapat di bagi dalam :
1. Trombosis pembuluh darah ( trombosis serebri ).
2. Emboli a.l dari jantung (emboli serebri ).
3. Arteritis sebagai akibat lues / arteritis temporalis.

KLASIFIKASI :
Secara klinis stroke di bagi menjadi :
1. Serangan Ischemia Sepintas ( Transient Ischemia Attack / TIA ).
2. Stroke Ischemia ( Stroke non Hemoragik ).
3. Stroke Hemoragik.
4. Gangguan Pembuluh Darah Otak Lain.
Sumber : 2000, Harsono ED, Kapita Selekta Neurologi, Gajah Mada UP, hal : 84.

C. PATOFISIOLOGI
Faktor Penyebab :
Kualitas pembuluh darah tidak baik
Trombosis pembuluh darah ( trombosis serebri ).
Emboli a.l dari jantung (emboli serebri ).
Arteritis sebagai akibat lues / arteritis temporalis.

Penurunan Blood Flow ke otak

6. Kecemasan
Ischemia dan hipoksia jaringan otak
ancaman kematian.
7. Kurang
pengetahuan
Infark otak
prognosis dan

EDEMA JARINGAN OTAK

8. Resiko injury 1. Jalan nafas tak efektif.


9. Gangguan nutrisi Kematian sell otak 2. Resiko peningkatan TIK.
(kurang dari kebutuhan 3. Intoleransi aktifitas (ADL )
Kerusakan sistem motorik dan sensorik 4. Kerusakan mobilitas fisik.
tubuh )
10. Inkoninensia uri ( DEFICIT NEUROLOGIS ) 5. Defisit perawatan diri.
11. Inkontinensia alfi
 Kelumpuhan / hemiplegi
12. Resiko kerusakan
integritas kulit  Kelemahan / paralyse
13. Kerusakan komunikasi
 Penurunan kesadaran dan Dysphagia
verbal
14. Inefektif bersihan jalan
nafas
(Sumber : Susan C.dewit, ESSENTIALS OF MEDICAL SURGICAL NURSING,
W.B SOUNDERS COMPANY, 1998, hal.350 dan 363).

D. TANDA DAN GEJALA.


1. Jika terjadi peningkatan TIK maka dijumpai tanda dan gejala :
 Perubahan tingkat kesadaran : penurunan orientasi dan respons terhadap
stimulus.
 Perubahan kemampuan gerak ekstrimitas : kelemahan sampai paralysis.
 Perubahan ukuran pupil : bilateral atau unilateral dilatasi.Unilateral tanda
dari perdarahan cerebral.
 Perubahan tanda vital : nadi rendah, tekanan nadi melebar, nafas irreguler,
peningkatan suhu tubuh.
 Keluhan kepala pusing.
 Muntah projectile ( tanpa adanya rangsangan ).
2. Kelumpuhan dan kelemahan.
3. Penurunan penglihatan.
4. Deficit kognitif dan bahasa ( komunikasi ).
5. Pelo / disartria.
6. Kerusakan Nervus Kranialis.
7. Inkontinensia alvi dan uri.

E. PENATALAKSANAAN MEDIK.
1. Pemeriksaan Penunjang.
a. Laboratorium.
 Hitung darah lengkap.
 Kimia klinik.
 Masa protombin.
 Urinalisis.
b. Diagnostik.
 SCAN KEPALA
 Angiografi serebral.
 EEG.
 Pungsi lumbal.
 MRI.
 X ray tengkorak

2. Pengobatan
a. Konservatif.
1) Pemenuhan cairan dan elektrolit dengan pemasangan infus.
2) Mencegah peningkatan TIK.
 Antihipertensi.
 Deuritika.
 Vasodilator perifer.
 Antikoagulan.
 Diazepam bila kejang.
 Anti tukak misal cimetidine.
 Kortikosteroid : pada kasus ini tidak ada manfaatnya karena klien
akan mudah terkena infeksi, hiperglikemi dan stress
ulcer/perdarahan lambung.
 Manitol : mengurangi edema otak.
b. Operatif
Apabila upaya menurunkan TIK tidak berhasil maka perlu
dipertimbangkan evakuasi hematom karena hipertensi intrakranial yang
menetap akan membahayakan kehidupan klien.

3. Pada fase sub akut / pemulihan ( > 10 hari ) perlu :


a. Terapi wicara.
b. Terapi fisik.
c. Stoking anti embolisme.

F. KOMPLIKASI DAN PENCEGAHAN STROKE


1. Aspirasi.
2. Paralitic illeus.
3. Atrial fibrilasi.
4. Diabetus insipidus.
5. Peningkatan TIK.
6. Hidrochepalus.
Pencegahan :
1. Kontrol teratur tekanan darah.
2. Menghentikanmerokok.
3. Menurunkan konsumsi kholesterol dan kontrol cholesterol rutin.
4. Mempertahankan kadar gula normal.
5. Mencegah minum alkohol.
6. Latihan fisik teratur.
7. Cegah obesitas.
8. Mencegah penyakit jantung dapat mengurangi resiko stroke.

G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Biodata
Pengkajian biodata di fokuskan pada :
Umur : karena usia di atas 55 tahun merupakan resiko tinggi terjadinya serangan
stroke.Jenis kelamin : laki-laki lebih tinggi 30% di banding wanita.Ras : kulit hitam
lebih tinggi angka kejadiannya.

Keluhan Utama
Biasanya klien datang ke rumah sakit dalam kondisi : penurunan kesadaran atau
koma serta disertai kelumpuhan dan keluhan sakit kepala hebat bila masih sadar.

Upaya yang Telah Dilakukan.


Jenis CVA Bleeding memberikan gejala yang cepat memburuk.Oleh karena itu klien
biasanya langsung di bawa ke Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu.


Perlu di kaji adanya riwayat DM, Hipertensi, Kelainan Jantung, Pernah TIAs,
Policitemia karena hal ini berhubungan dengan penurunan kualitas pembuluh darah
otak menjadi menurun.
Riwayat Penyakit Sekarang
Kronologis peristiwa CVA Bleeding sering setelah melakukan aktifitas tiba-tiba
terjadi keluhan neurologis misal : sakit kepala hebat, penurunan kesadaran sampai
koma.

Riwayat Penyakit Keluarga


Perlu di kaji mungkin ada anggota keluarga sedarah yang pernah mengalami stroke.

Pemenuhan Kebutuhan Sehari-Hari.


Apabila telah mengalami kelumpuhan sampai terjadinya koma maka perlu klien
membutuhkan bantuan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dari bantuan
sebagaian sampai total.Meliputi :
 Mandi
 Makan/minum
 Bab / bak
 Berpakaian
 Berhias
 Aktifitas mobilisasi

Pemeriksaan Fisik dan Observasi.


1. BI ( Bright / pernafasan)
Perlu di kaji adanya :
 Sumbatan jalan nafas karena penumpukan sputum dan kehilangan refleks
batuk.
 Adakah tanda-tanda lidah jatuh ke belakang.
 Auskultasi suara nafas mungkin ada tanda stridor.
 Catat jumlah dan rama nafas
2. B2 ( Blood / sirkulasi )
Deteksi adanya : tanda-tanda peningkatan TIK yaitu peningkatan Tekanan
Darah disertai dengan pelebaran nadi dan penurunan jumlah nadi.
3. B3 ( Brain / Persyarafan, Otak )
Kaji adanya keluhan sakit kepala hebat.Periksa adanya pupil unilateral,
Observasi tingkat kesadaran.
4. B4 ( Bladder / Perkemihan )
Tanda-tanda inkontinensia uri.
5. B5 ( Bowel : Pencernaan )
Tanda-tanda inkontinensia alfi.
6. B6 ( Bone : Tulang dan Integumen ).
Kaji adanya kelumpuhan atau kelemahan.Tanda-tanda decubitus karena tirah
baring lama.Kekuatan otot.

Sosial Interaksi
Biasanya di jumpai tanda kecemasan karena ancaman kematian diekspresikan dengan
menangis, klien dan keluarga sering bertanya tentang pengobatan dan
kesembuhannya.

2. Diagnosa yang Muncul


1. Resiko peningkatan TIK berhubungan dengan penambahan isi otak
sekunder terhadap perdarahan otak .
2. Intoleransi aktifitas (ADL) berhubungan dengan kehilangan
kesadaran,kelumpuhan.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan
kelumpuhan.
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan dan kelumpuhan.
5. Kecemasan (ancaman kematian) berhubungan dengan kurang informasi
prognosis dan terapi.Kurang pengetahuan prognosis dan terapi
berhubungan dengan kurang informasi, salah interpretasi.
6. Resiko injury berhubungan dengan kelemahan dan kelumpuhan,
penurunan kesadaran.
7. Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan
dengankesulitan menelan (disfagia), hemiparese dan hemiplegi.
8. Inkoninensia uri berhubungan dengan defisit neurologis.
9. Inkontinensia alfi berhubungan dengan kerusakan mobilitas dan
kerusakan neurologis.
10. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
mobilitas, parise dan paralise.
11. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan
bicara verbal atau tidak mampu komunikasi.
12. Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan
penekanan pada saraf sensori.
13. Resiko terjadinya : kekeringan kornea, Pneumonia ortostatik sekunder
kehilangan kesadaran.

3. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan dari diagnosa keperawatan diatas adalah :
a. Resiko Peningkatan TIK Berhubungan Dengan Penambahan Isi Otak
Sekunder Terhadap Hipoksia, Edema Otak
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien tidak mengalami
peningkatan tekanan intra kranial .
Kriteria hasil :
Tidak terdapat tanda peningkatan tekanan intra kranial :
 Peningkatan tekanan darah.
 Nadi melebar.
 Pernafasan cheyne stokes
 Muntah projectile.
 Sakit kepala hebat.
Pencegahan TIK meningkat di laksanakan.

Intervensi
No Intervensi Rasional
1. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK Deteksi dini peningkatan
 tekanan darah TIK untuk melakukan
 nadi tindakan lebih lanjut.
 GCS
 Respirasi
 Keluhan sakit kepala hebat
 Muntah projectile
 Pupil unilateral
2. Tinggikan kepala tempat tidur 15-30 derajat kecuali Meninggikan kepala dapat
ada kontra indikasi.Hindari mengubah posisi membantu drainage vena
dengan cepat. untuk mengurangi kongesti
vena.
3. Hindari hal-hal berikut : Masase karotid
Masase karotid memperlambat frekuensi
jantung dan mengurangi
sirkulasi sistemik yang
diikuti peningkatan sirkulasi
secara tiba-tiba.

Fleksi leher atau rotasi > 45 derajat. Fleksi atau rotasi ekstrem
leher mengganggu cairan
cerebrospinal dan drainage
vena dari rongga intra
kranial.

Rangsangan anal dengan jari(boleh tapi dengan Aktifitas ini menimbulkan


hati-hati ) hindari mengedan, fleksi ekstrem panggul manuver valsalva yang
dan lutut. merusak aliran balik vena
dengan kontriksi vena
jugularis dan peningkatan
TIK.

4. Konsul dokter untuk mendapatkan pelunak feces Mencegah konstipasi dan


jika di perlukan. mengedan yang
menimbulkan manuver
valsalva.
5. Pertahankan lingkungan tenang, sunyi dan Meningkatkan istirahat dan
pencahayaan redup. menurunkan rangsangan
membantu menurunkan
TIK.
6. Berikan obat-obatan sesuai dengan pesanan:
 Anti hipertensi.  Menurunkan tekanan
darah.
 Anti koagulan.  Mencegah terjadinya
trombus.
 Terapi intra vena pengganti cairan dan elektrolit.  Mencegah defisit cairan.
 Pelunak feces.
 Anti tukak.  Mencegah obstipasi.
 Roborantia.  Mencegah stres ulcer.
 Meningkatkan daya
 Analgetika. tahan tubuh.
 Vasodilator perifer.  Mengurangi nyeri.
 Memperbaiki sirkulasi
darah otak.
b. Gangguan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Hemiparese /
Hemiplegia
Tujuan : Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya
Kriteria hasil :
1. Tidak terjadi kontraktur sendi bertambahnya kekuatan otot
2. Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas

Intervensi
Intervensi Rasional
1. Ubah posisi klien tiap 2 jam  Menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan
akibat sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang
tertekan
2. Ajarkan klien untuk melakukan  Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan
latihan gerak aktif pada kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan
ekstrimitas yang tidak sakit pernapasan
3. Lakukan gerak pasif pada  Otot volunter akan kehilangan tonus dan
ekstrimitas yang sakit kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakkan
4. Berikan papan kaki pada
ekstrimitas dalam posisi
fungsionalnya
5. Tinggikan kepala dan tangan
6. Kolaborasi dengan ahli
fisioterapi untuk latihan fisik
klien
c. Gangguan Persepsi Sensori : Perabaan Yang Berhubungan Dengan
Penekanan Pada Saraf Sensori.
Tujuan : Meningkatnya persepsi sensorik : perabaan secara optimal.
Kriteria hasil :
 Klien dapat mempertahankan tingakat kesadaran dan fungsi persepsi
 Klien mengakui perubahan dalam kemampuan untuk meraba dan merasa
 Klien dapat menunjukkan perilaku untuk mengkompensasi terhadap
perubahan sensori

Intervensi
Intervensi Rasional
1. Tentukan kondisi patologis klien 1. Untuk mengetahui tipe dan lokasi yang
mengalami gangguan, sebagai penetapan
rencana tindakan

2. Kaji kesadaran sensori, seperti 2. Penurunan kesadaran terhadap sensorik


membedakan panas/dingin, tajam/tumpul, dan perasaan kinetik berpengaruh
posisi bagian tubuh/otot, rasa persendian terhadap keseimbangan/posisi dan
kesesuaian dari gerakan yang
mengganggu ambulasi, meningkatkan
resiko terjadinya trauma.

3. Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan, 3. Melatih kembali jaras sensorik untuk
seperti memberikan klien suatu benda mengintegrasikan persepsi dan intepretasi
untuk menyentuh, meraba. Biarkan klien diri. Membantu klien untuk
menyentuh dinding atau batas-batas mengorientasikan bagian dirinya dan
lainnya. kekuatan dari daerah yang terpengaruh.

4. Lindungi klien dari suhu yang berlebihan, 4. Meningkatkan keamanan klien dan
kaji adanya lindungan yang berbahaya. menurunkan resiko terjadinya trauma.
Anjurkan pada klien dan keluarga untuk
melakukan pemeriksaan terhadap suhu air
dengan tangan yang normal

5. Anjurkan klien untuk mengamati kaki dan 5. Penggunaan stimulasi penglihatan dan
tangannya bila perlu dan menyadari posisi sentuhan membantu dalan
bagian tubuh yang sakit. Buatlah klien mengintegrasikan sisi yang sakit.
sadar akan semua bagian tubuh yang
terabaikan seperti stimulasi sensorik pada
daerah yang sakit, latihan yang membawa
area yang sakit melewati garis tengah,
ingatkan individu untuk merawata sisi yang
sakit.

6. Hilangkan kebisingan/stimulasi eksternal 6. Menurunkan ansietas dan respon emosi


yang berlebihan. yang berlebihan/kebingungan yang
berhubungan dengan sensori berlebih.

7. Lakukan validasi terhadap persepsi klien 7. Membantu klien untuk mengidentifikasi


ketidakkonsistenan dari persepsi dan
integrasi stimulus.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

49
TRAUMA THORAX (PENUMOTHORAX/HEMATOTORAX)

I. KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma
atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak
dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru
dapat terjadi kolaps.

B. ANATOMI
1. Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
 Depan : Sternum dan tulang iga.
 Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis).
 Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
 Bawah : Diafragma
 Atas : Dasar leher.
Isi :
a. Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta
pembungkus pleuranya.
b. Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya
meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta
desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan
frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).

Gambar Rongga Thoraks

50
Jantung Sternum
& perikardium Saraf frenikus
Vena Kava Superior
Trakea Left Right Oesophagus
Lung lung Saraf
vagus

Aorta Vertebra
Sal. Torasika

C. PATOFISIOLOGI

51
Trauma Thorax

Mengenai rongga toraks sampai Terjadi robekan Pemb. Darah intercostal,


rongga pleura, udara bisa pemb.darah jaringan paru-paru.
masuk (pneumothorax)

Terjadi perdarahan :
Karena tekanan negative intrapleura (perdarahan jaringan intersititium, perarahan
intraalveolar
Maka udara luar akan terhisap masukdiikuti kolaps kapiler kecil-kecil dan atelektasi)
ke rongga pleura (sucking wound)
tahanan perifer pembuluh paru naik
(aliran darah turun)
- Open penumothorax
- Close pneumotoraks = ringan kurang 300 cc  di punksi
- Tension pneumotoraks = sedang 300 - 800 cc  di pasang drain
= berat lebih 800 cc  torakotomi
Tek. Pleura meningkat terus
Tek. Pleura meningkat terus
mendesak paru-paru
(kompresi dan dekompresi)

pertukaran gas berkurang


- sesak napas yang progresif = sesak napas yang progresif
(sukar bernapas/bernapas berat) = nyeri bernapas / pernafsan
asimetris/adanya jejas atau trauma
- nyeri bernapas = pekak dengan batas jelas/tak jelas.
- bising napas berkurang/hilang = bising napas tak terdengar
- bunyi napas sonor/hipersonor = nadi cepat/lemah
- poto toraks gambaran udara lebih ¼ anemis / pucat
dari rongga torak = poto toraks 15 - 35 % tertutup
bayangan

WSD/Bullow Drainage

52
- terdapat luka pada WSD - Kerusakan integritas kulit
- nyeri pada luka bila untuk - Resiko terhadap infeksi
bergerak. - Perubahan kenyamanan : Nyeri
perawatan WSD harus di - Ketidak efektifan pola pernapasan
perhatikan. - Gangguan mobilitas fisik
- Inefektif bersihan jalan napas - Potensial Kolaboratif : Atelektasis dan
Pergeseran mediatinum

53
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Photo toraks (pengembangan paru-paru).
2. Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).

E. PENATALAKSANAAN
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga
dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita
jatuh dalam shock.
b. Terapi
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing"
dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" tetap baik.

2. Perawatan WSD dan Pedoman Latihanya


a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2
hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian
masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh
pasien.

b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang
hebat akan diberi analgetik oleh dokter.

c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :


- Penetapan slang
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan
tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di
bagian masuknya slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan

54
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal
kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan
pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan,
atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

d. Mendorong berkembangnya paru-paru.


 Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
 Latihan napas dalam.
 Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk
waktu slang diklem.
 Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.


Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan
torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga
secara bersamaan keadaan pernapasan.

f. Suction harus berjalan efektif :


Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap
1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
 Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna
muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
 Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika
suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2
terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah
atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah,
slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena
perlekatanan di dinding paru-paru.

g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.


1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang
keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya
gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.

55
3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu
meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol
dan slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri,
dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada,
misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.

h. Dinyatakan berhasil, bila :


a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Diagnosis fisik :
 Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap
simtomatik, observasi.
 Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase
cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase
dengan continues suction unit.
 Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan thorakotomi
 Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain
lebih dari 800 cc segera thorakotomi.

4. Terapi
a. Antibiotika..
b. Analgetika.

56
c. Expectorant.

5. Komplikasi
1. Tension penumototrax
2. Penumotoraks bilateral
3. Emfiema

57
II. KONSEP KEPERAWATAN
V. PENGKAJIAN
Point yang penting dalam riwayat keperawatan :
1. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.

VI. PEMERIKSAAN FISIK


1. Sistem Pernapasan :
 Sesak napas
 Nyeri, batuk-batuk.
 Terdapat retraksi klavikula/dada.
 Pengambangan paru tidak simetris.
 Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
 Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani,
hematotraks (redup)
 Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang
berkurang/menghilang.
 Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
 Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
 Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

2. Sistem Kardiovaskuler :
 Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
 Takhikardia, lemah
 Pucat, Hb turun /normal.
 Hipotensi.

3. Sistem Persyarafan :
 Tidak ada kelainan.

58
4. Sistem Perkemihan :
 Tidak ada kelainan.

5. Sistem Pencernaan :
 Tidak ada kelainan.

6. Sistem Muskuloskeletal – Integumen :


 Kemampuan sendi terbatas.
 Ada luka bekas tusukan benda tajam.
 Terdapat kelemahan.
 Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.

7. Sistem Endokrine :
 Terjadi peningkatan metabolisme.
 Kelemahan.

8. Sistem Sosial / Interaksi :


 Tidak ada hambatan.

9. Spiritual :
 Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

10. Pemeriksaan Diagnostik :


 Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
 Pa Co2 kadang-kadang menurun.
 Pa O2 normal / menurun.
 Saturasi O2 menurun (biasanya).
 Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
 Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang
tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi

59
sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan
dan reflek spasme otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan
dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder terhadap trauma.

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang
tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
a. Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
b. Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
c. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi :
a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat
tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak
mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan
ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
b. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai
akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock
sehubungan dengan hipoksia.
c. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin
keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

60
d. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau
kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
e. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
f. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam :
1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang
diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas
yang ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah
udara atmosfir masuk ke area pleural.
3) Observasi gelembung udara botol penempung.
R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari
penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun
seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak
adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal
atau slang buntu.
4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang
tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat
drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada
selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya
perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.
g. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
 Pemberian antibiotika.
 Pemberian analgetika.
 Fisioterapi dada.

61
 Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi


sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
 Menunjukkan batuk yang efektif.
 Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
 Klien nyaman.

Intervensi :
a. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
b. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
menyebabkan frustasi.
1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
2) Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan,
keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan
melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah
pengeluaran sekresi sekret.
c. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
d. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi :
mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan
1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.

62
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan
mukus, yang mengarah pada atelektasis.
e. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
 Pemberian expectoran.
 Pemberian antibiotika.
 Fisioterapi dada.
 Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi
perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan


dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
 Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
 Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan
nyeri.
 Pasien tidak gelisah.

Intervensi :
a. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi
dan non invasif.
R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh
jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.

63
b. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan
meningkatkan kenyamanan.
c. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan
menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya.
Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
teraupetik.
d. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
e. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah
pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2
jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif
untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang
tepat.

64
DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.


2. Depkes. RI. (1989). Perawatan Pasien Yang Merupakan Kasus-Kasus
Bedah. Jakarta : Pusdiknakes.
3. Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian
keperawatan. Jakarta : EGC.
4. Hudak, C.M. (1999) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
5. Pusponegoro, A.D.(1995). Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

65
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
PAYAH JANTUNG, ODEM PARU DAN GAGAL NAFAS

A. KONSEP DASAR
Gagal nafas yang terjadi pada klien dengan hard heart failure merupakan suatu
proses sistematis yang biasanya merupakan peristiwa yang panjang dan berakhir
dengan kegagalan fungsi jantung yang memicu terjadinya bendungan pada paru
sehingga terjadi "dead space" yang berakibat kegagalan ventilasi alveolar.(Paul
L.Marino 1991)

Hipermetabolisme,
Hipertensi pulmonal hipertensi, infeksi dll
Hiperfungsi kerja jantung

RVH (Pembesaran
Ventrikel kanan )
Kompensasi kerja jantung terutama ventrikel
kiri (Otot jantung menebal, mengeras,
elastisitas menu-run, kemampuan kontraksi
Terjadi odem paru turun, ukuran jantung membesar (LVH)
(Dahak warna putih berbuih) Rh +/+, Sesak nafas,
Asidosis respiratorik (Ggn pertukaran gas)/(Gagal nafas),
Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Penurunan ejeksi darah sistemik

Bendungan pada paru


Cardiac output menurun
(tubuh melakukan kompensasi dengan pengeluaran
katakolamin sehingga terjadi peningkatan
Bendungan pada Terjadi bendungan pada daerah frekwensi denyut jantung, peningkatan tahanan
atrium kiri proksimal ventrikel kiri perifer (Dx Payah jantung I/II/III/IV)

Terjadi gangguan perfusi pada jaringan


periper (Efek katakolamin di perifer
Dirawat di ruangan khusus, mengakibatkan pengeluaran keringat dingin
komunikasi dengan keluarga kurang,
memakai alat bantu nafas

Bila tak tertanggulangi timbul


dekompensasi (tekanan darah turun) (nadi
meningkat)

Kecemasan gelisah
Bisa terjadi trauma Syok Kardiogenik GGn perfusi jaringan

Gambar 1. Proses terjadinya berbagai masalah keperawatan pada klien dengan


HHF, Odem paru dan gagal nafas

66
B. PENGKAJIAN
1. Identitas
2. Keluhan utama : Jantung berdebar-debar dan nafas sesak
3. Riwayat keperawatan : Klien merasakan jantungnya sering berdebar-debar
dan nafas menjadi sesak dan terasa lelah jika beraktivitas.. Riwayat hipertensi,
DM, Asthma, Riwayat MRS.
4. Data keperawatan

a. Sistem Pernapasan
Data Etiologi Diagnose
S : Sesak nafas sejak, Dekompensasi ventrikel Resiko tinggi terjadi
pusing PaO2 < 95 % kiri ketidakefektifan bersihan
bertambah sesak jika jalan nafas
bergerak atau kepala Bendungan paru Resiko tinggi gangguan
agak rendah, batuk (+) (odem paru) pertukaran gas b.d adanya
sekret berbuih, AGD odem paru sekunder
tidak normal dekompensasi ventrikel
kiri
O : RR >20 X/mnt, Rh ,
Wh , Retraksi otot
pernafasan, produksi
sekret banyak

b. Sistem Kardiovaskuler
Data Etologi Diagnose
S : Kepala pusing, jantung
berdebar-debar, badan Dekompensasi kordis Ggn perfusi jaringan b.d
terasa lemah, kaki penurunan kotraktilitas
bengkak s penurunan kontraktilitas jantung
O : Bendungan vena jantung
jugularis (+), S1S2
ireguler S3 (+), Ictus penurunan tekanan darah
kordis pada pada iccs
5-6, bergeeser ke kiri, Syok
Acral dingin, keluar
keringat dingin, odem - Ggn perfusi ke jaringan
- Kap.refill > 1-2dt

67
+ +

c. Rasa Aman
Data Etiologi Diagnosis
S : Gelisah, mengeluh Persaan tidak enak kaena Resiko terjadi trauma b.d
nyeri dan rasa tidak terpasang alat ventilator, kegelisahan sebagai
enak dampak pemasangan alat
O : Tidak tenang, ingin aktivitas tak terkontrol bantu nafas
mencabut alat yang Cemas b.d ancaman
terpasang, terhadap kematian
Resiko terjadi trauma

S : Gelisah, Ruangan dengan berbagai Cemas b.d ancaman


O : Tidak tenang, ingin alat kematian, situasi
mencabut alat yang Suara monitor penyakit yg lingkungan perawatan dan
terpasang mengancam jiwa disorientasi tempat.

Lingkungan yang asing Gangguan komunikasi


verbal
cemas

C. RENCANA TINDAKAN

Dx : Gangguan Perfusi Jaringan b.d Penurunan Kontraktilitas Otot Jantung


Tujuan : Setelah dirawat selama 3X 24 jam T : 120/80, N : 88X/mnt, Urine 40-50
cc/jam, pusing hilang
Rencana Tindakan Rasional
- Berikan posisi syok - Memenuhi kebutuhan pefusi otak
- Observasi vital sign (N : T : S ) dan - Untuk mengetahui fungsi jantung
kapilarri refill setiap jam dalam upaya mengetahui lebih awal
jika terjadi gaguann perfusi

- Kolaborasi:
- Pemberian infus RL 28 tts/menit - RL untuk memenuhi kebutuhan cairan
intra vaskuler, mengatasi jika terjadi
asidosis mencegah kolaps vena.

68
- Foto thorak - Untuk memastikan anatomi jantung
dan melihat adanya edema paru.
- EKG - Untuk melihat gambaran fungai
jantung
- Lanoxin IV 1 ampul - Memperkuat kontraktilitas otot jantung
- Lasix 1 ampul - Meningkatkan perfusi ginjal dan
mengurangi odem
- Observasi produksi urin dan - Melihat tingkat perfusi dengan menilai
balance cairan optimalisasi fungsi ginjal.
- Periksan DL - Untuk melihat faktor-faktor
predisposisi peningkatan fungsi
metabolisme klien sehingga terjadi
peningkatan kerja jantung.

Dx : Resiko Ganguan Pertukaran Gas


Tujuan : Setelah dirawat selama 3X24 jam RR : 18 X/mnt, sesak (-), BGA
normal paO2 95-100 %
Rencana Tindakan Rasionalisasi
- Lapangkan jalan nafas dengan - Untuk meningkatkan aliran udara
mengektensikan kepala sehingga suply O2 optimal
- Lakukan auskultasi paru - Untuk mengetahui adanya sekret
- Lakukan suction jika ada sekret - Meningkatkan bersihan jalan nafas
- Berikan O2 per kanul 6-10lt/mnt atau - Untuk meningkatkan saturasi O2
bantuan nafas dengan ventilator sesuai jaringan
mode dan dosis yang telah ditetapkan.

- Kolaborasi pemeriksaan - Untuk mengetahui optimalisasi fungsi


- BGA dan SaO2 pertukaran gas pada paru

- Orbservasi pernafasan observasi seting - Untuk membantu fungsi pernafasan


ventilator yang terganggu

Dx : Resiko Terjadi Ketidak Efektifan Bersihan Jalan Nafas b.d Tidak


Adanya Reflek Batuk dan Produksi Sekret yang Banyak
Tujuan : Setelah dirawat tidak terjadi sumbatan jalan nafas, stridor (-), dyspnoe (-),
sekret bersih
Tindakan Rasionalisasi

69
- Auskultasi bunyi nafas tiap 2 - Memantau keefektifan jalan nafas
jam
- Lakukan suction jika terdengar - Jalan nafas bersih, sehingga mencegah
stridor/ ronchi sampai bersih. hipoksia, dan tidak terjadi infeksi nasokomial.
- Pertahankan suhu humidifier 35- - Membantu mengencerkan sekret
37,5 derajat
- Monitor status hidrasi klien - Mencegah sekret mengental
- Lakukan fisiotherapi nafas - Memudahkan pelepasan sekret
- Kaji tanda-tanda vital sebelum - Deteksi dini adanya kelainan
dan setelah tindakan

Dx : Ketidak Efektifan Pola Nafas b.d Dengan Kelelahan, Pengesetan


Ventilator Yang Tidak Tepat, Obstruksi ETT
Tujuan : Setelah dirawat nafas sesuai dengan irama ventilator, volume nafas
adekuat,alarm tidak berbunyi
Rencana Tindakan Rasionalisasi
- Lakukan pemeriksaan ventilator - Deteksi dini adanya kelainan pada ventilator
tiap 1-2 jam
- Evaluasi semua ventilator dan - Bunyi alarm pertanda ggn fungsi ventilator
tentukan penyebabnya
- Pertahankan alat resusitasi bag & - Mempermudah melakukan pertolongan jika
mask pada posisi TT sepanjang sewaktu[waktu ada gangguan fungsi
waktu ventilator
- Evaluasi tekanan atau kebocoran - Mencegah berkurangnya aliran udara nafas
balon cuff
- Masukka penahan gigi - Mencegah tergigitnya selang ETT
- Amankan selang ETT dengan - Mencegah selang ETT tercabut
fiksasi yg baik
- Monitor suara nafas dan - Evaluasi keefektifan pola nafas
pergerakan dada

Dx : Resiko Terjadi Trauma b.d Kegelisahan Sebagai Efek Pemasangan Alat


Bantu Nafas
Tujuan : Setelah dirawat klien tidak mengalami iritasi pd jalan nafas, idak terjadi
baro taruma, tidak terjadi keracunan O2, tidak terjadi infeksi saluran nafas, suhu
tubuh 36,5-37 derajat celcius.
Tindakan Rasionalisasi
- Orientasikan klien tentang alat - Agar klien memahami peran dan fungsi

70
perawatan yang digunakan serta sikap yang harus dilakukan klien
- Jika perlu lakukan fiksasi - Untuk mencegah trauma
- Rubah posisi setiap 2 jam - Untuk mencegah timbulnya trauma
akibat penekanan yang terus menerus
pada satu tempat.
- Yakinkan nafas klien sesuai dengan - Mencegah fighting sehingga trauma
irama vetilator bisa dicegah
- Obsevasi tanda dan gejala barotrauma - Untuk deteksi dini
- Kolaborasi penggunaan sedasi - Untuk mencegah fighting
- Evaluasi warna dan bau sputum - Monitor dini terjadini infeksi skunder
- Lakukan oral hygiene setiap hari - Mencegah infeksi skunder
- Ganti slang tubing setiap 24-72 jam - Menjamin selang ventilator steril
- Kolaborasi pemberian antibiotika - Sebagai profilaksis

Dx : Cemas b.d Disorientasi Ruangan dan Ancaman Akan Kematian


Tujuan : Setelah dirawat kien kooperatif, tidak gelisah dan tenang
Tindakan Rasional
- Lakukan komunikasi terapeutik - Membinan hubungan saling percaya
- Berikan orientasi ruangan - Mengurangi stress adaptasi
- Dorong klien agar mengepresikan - Menggali perasaan dan masalah klien
perasaannya
- Berikan suport mental - Mengurangi cemas dan meningkatkan
daya tahan klien
- Berikan keluarga mengunjungi pada - Untuk meningkatkan semangat dan
saat-saat tertentu motivasi
- Berikan informasi realistis sesuai - Agar klien memahami tujuan
dengan tingkat pemahaman klien perawatan yang dilakukan.

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Marini L. Paul (1991) ICU Book, Lea & Febriger, Philadelpia


2. Tabrani (1998), Agenda Gawat Darurat, Pembina Ilmu, Bandung
3. Carpenitto (1997) Nursing Diagnosis, J.B Lippincott, Philadelpia
4. Hudack & Galo (1996), Perawatan Kritis; Pendekatan Holistik, EGC , Jakarta

72
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
TETANUS

VII. PENGERTIAN
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium
tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti
kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot
masester dan otot rangka.

VIII. ETIOLOGI
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh
genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini
mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-
mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya
teteanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka
yang dalam dengan perawatan yang salah.

IX. PATOFISIOLOGI
Suasana yang memungkinkan organisme anaerob berploriferasi dapat disebabkan
berbagai keadaan antara lain :
a. luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng,
pisau, cangkul dan lain-lain.
b. Luka karena kecelakaan kerja (kena parang, kecelakaan lalu lintas)
c. Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga dan tonsil.

X. Cara Kerja Toksin


Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke
sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen ,
sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi
dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah
dinetralkan oleh antitoksin spesifik.

XI. Faktor Predisposisi


a. Umur tua atau anak-anak
b. Luka yang dalam dan kotor
c. Belum terimunisasi

73
XII. Tanda dan Gejala
a. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari
b. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
c. Kesukaran membuka mulut (trismus)
d. Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang
e. Saat kejang tonik tampak risus sardonikus

XIII. Gambaran Umum yang Khas Pada Tetanus


a. Badan kaku dengan epistotonus
b. Tungkai dalam ekstensi
c. Lengan kaku dan tangan mengepal
d. Biasanya keasadaran tetap baik
e. Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
1. Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan
2. Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine,
fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir.
Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis,
takikardia dan sulit menelan.

XIV. Prognosa
Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala.

XV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis kekakuan
otot rahang.
Laboratorium ; leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
Pemeriksaan Ecg dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler

Penatalaksanaan

XVI. Umum
Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan perawatan harus
segera diberikan :
Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar
luka tidak boleh diberikan IV)
Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV drip;
Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6

74
jam, paraldehyde 9panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam.
Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV tiap 3-4 jam,
dosis ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5 mg/kg BB/24 jam untuk
dewasa.
Beta-adrenergik bolcker; propanolol 9inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total dari 2
mg IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam intragastrik, digunakan untuk
pengobatan sindroma overaktivitas sempatis jantung.
Penanggulangan kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi
rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat penenang.
Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi dapat diganti dengan
tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh klostirida vegetatif.
Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Diit tKTP melalui oral/ sounde/parenteral
Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan kondisi klien.
Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.
Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali fungsi optot
dan ambulasi selama penyembuhan.

1. Pembedahan
Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu;
intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi.

75
Gambaran Patofisiologi

Individu terkena
Ekssotoksin
(masa inkubasi 2-21 hari)
Faktor penyebab : Faktor predisposisi :
- luka tusuk dalam
Kuman anaerob (Closteridium - luka karena kecelakaan kerja
- luka ringan seperti luka gores, lesi pada
tetani) mata, telinga dan tonsil

Neurotoksi

Absorbsi melalui ujung saraf sensorik dan motrik

Masuk pembulu arah dan sumbu limbik ke


Susunan Saraf Pusat (SSP) pada intraaaaksonal samapai ganglia/
Simpul saraf

Hilangnya ketidakseimbangan tonus otot

Kekakuan otot

Lokal Generalisata

-trismus Sistem Sistem pernafasan Susunan Saraf


- opistotonus pencernaan Pusat
-risus sardonikud kekakuan otot pernafasan
- kekakuan otot Tekanan intra
dinding perut Gangguan kranial meningkat
- ekstremitas metabolik dan Status konvulsi
(ekstremitas atas proses (kejang yang berlangsung lama
fleksi dan ekstremitas pencernaan lebih dari 10 menit) Kerusakan satu

76
bawah ekstensi) atau beberapa
hipoksia saraf pusat.
- Proses
supuratif : eliminasi BAB gagal nafas
- Tindakan A,B dan C terganggu
- Atur posisi semi - Gangguan keluampuhan
prone pemenuhan diperlukan alat bantu nafas
- Hentikan kejang nutrisi (Ventilator
- cari penyebab Mekanik/Respirator)
- atasi penyulit
- debridemment Masalah keperawatan :
- Netralisis tetani - ketidak efektifan jalan nafas,
- Nutiris dan cairan gangguan pertukaran gas dan
gangguan pola nafas
- Hipertermia, gangguan
komunikasi verbal, risiko
ketidakseimbangan cairan dan
elktrolit
- Pemenuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan,

77
DAFTAR PUSTAKA

1. Soeparman; 1990; Ilmu Penyakit Dalam; Universitas Indonesia Press; Jakarta


2. Deanna etc.: 1991; Infectious Diseases; St. Louis Mosby Year Book.
3. Theodore R.; 1993; Ilmu Bedah; EGC; Jakarta
4. Marlyn Doengoes; 1993; Nursing Care Plan; Edisi III, Philadelpia

78
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
CA PARU

A. PENGERTIAN
Merupakan tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran pernafasan

B. GEJALA KLINIS
Gejala yang muncul tergantung pada pasien dengan CA paru biasanya meliputi
berbagai gejala klienis diantaranya ;
a. Gejala intra pulmoner yang meliputi :
- Batuk . 2 mg ( 70 –90 % kasus )
- Batuk darah ( 6 –51 % )
- Nyeri dada/kemeng ( 42 – 67 % )
- Sesak nafas ( 58 % kasus )
b. Gejala intra torasik intrapulmoner yang meliputi penekanan-
penekanan ataupun pengrusakan struktur sekitar :
- Nervus phrenicus, akan menyebabkan lumpuhnya diafrgma
- Saraf simpatik
- Eshopagus (dispagia)
- Vena cafa superior yang dapat menyebabkan bengkak pada
wajah, leher dan pembuluh darah kontralteral
- Trachea / bronchus , yang menyebabkan sesak
- Jantung.dll
c. Gejala ektratorasik non metastase
d. Gejala ekstratorasik metastase yang akan menimbulkan manifestasi
klinik tergantung dari daerah yang terkena.

C. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Endoskopi : untuk mengetahui perubahan pada bronchus, permukaan
tumor dan pengambilan bahan untuk pemeriksaan sitologi
2. Bronchographi
3. Tomogram & CT scan
4. Biopsi
5. Immunologi
6. Pertanda biokomia

79
D. TERAPI
Penentuan modalitas terapi pada pasien Ca paru tergantung pada :
1. Tahapan (staging ) dari Ca
2. Jenis histopatologis
3. Penampilan/keadaan umum klien
Adapun terapi yang biasa dilakukan pada pasien Ca paru meliputi :
1. Bedah
2. Radiasi
3. Sitostatika
4. Hormonal
5. Immunologi

80
E. PATOFISIOLOGI
CA PARU

Gejala Klinis

Nyeri Dada Sesak Penekanan/


Nafas Rusaknya

N. Phrenicus Trachea/Bronchus Jantung

Lumpuh Diafragma Sesak S.Simpatis

Gangguan Otot Nafas Cardiac Arrest

Gagal Nafas Gagal Jantung

Indikasi Pemasangan Ventilator

Tekanan Positif Inspirasi

Detak Jantung Terhambat Kompresi Mikrovaskuler Paru Perfusi Otak Menurun

Venus Return Turun Darah Ke Atrium Kiri Turun TIK Meningkat

Volume Tidal Naik

Cardiac Output Turun Gangguan Oksigenasi Resiko Pneumothorak

Hipotensi Perfusi Jaringan Turun Anemi Resiko Infeksi

81
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi pada pasien yang mendapat bentuan
nafas mekanik/dipasang ventilator diantaranya adalah:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses
penyakitnya
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan
ventilator yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal
4. Cemas berhubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian
5. Gangguan pemenuhan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan
selang endotracheal
6. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan
pemasangan selang endotracheal
7. Resiko tinggi terjadinya trauma atau cedera berhubungan dengan ventilasi
mekanis, selang endotracheal, ansietas, stress
8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan ventilasi mekanis, letak selang
endotracheal

G. RENCANA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan peniingkatan
produksi sekret
Tujuan: Meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil:
 Bunyi napas terdengar bersih.
 Ronchi tidak terdengar.
 Tracheal tube bebas sumbatan.
Tindakan keperawatan:
INTERVENSI RASIONAL
1 Auskultasi bunyi napas tiap 2-4 jam 1 Mengevaluasi keefetifan jalan
dan kalau diperlukan. napas.

2 Lakukan pengisapan bila terdengar 2


ronchi dengan cara:
a. jelaskan pada pasien tentang a. Dengan mengertinya tujuan
tujuan dari tindakan pengisapan. tindakan yang akan dilakukan
pasien bisa berpartisipasi aktif.

82
b. Berikan oksigen dengan O2 100 % b. Memberi cadangan O2 untuk
sebelum dilakukan pengisapan, menghindari hipoksia.
minimal 4 - 5 X pernapasan.
c. Perhatikan teknik aseptik, gunakan c. Mencegah infeksi nosokomial.
sarung tangan steril, kateter
pengisap steril.
d. Masukan kateter kedalam selang d. Aspirasi lama dapat
ET dalam keadaan tidak mengisap menimbulkan hipoksia, karena
(ditekuk), lama pengisapan tidak tindakan pengisapan akan
lebih dari 10 detik. mengeluarkan sekret dan O2.
e. Atur tekanan isap tidak lebih dari e. Tindakan negatif yang
100 - 120 mmHg. berlebihan dapat merusak
mukosa jalan napas.
f. Lakukan oksigenasi lagi dengan f. Memberikan cadangan oksigen
O2 100 % sebelum melakukan dalam paru.
pengisapan berikutnya.
g. Lakukan pengisapan berulang- g. Menjamin keefektifan jalan
ulang sampai suara napas bersih. napas.

3 Pertahankan suhu humidifer tetap 3 Membantu mengencerkan skret.


hangat (35 - 37,8 o C
4 Monitor statur hidrasi pasien 4 Mencegah sekresi menjadi kental.

5 Melakukan fisioterapi napas / dada 5 Memudahkan pelepasan sekret.


sesuai indikasi dengan cara clapping,
fibrasi dan pustural drainage.

6 Berikan obat mukolitik sesuai 6 Mengencerkan sekret.


indikasi / program.

7 Kaji suara napas sebelum dan sesudah 7 Menentukan lokasi penumpukan


melakukan tindakan pengisapan. sekret, mengevaluasi kebersihan
tindakan
8 Observasi tanda-tanda vital sebelum 8 Deteksi dini adanya kelainan.
dan sesudah melakukan tindakan.

83
2. Cemas sehubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian
Tujuan: Cemas berkurang atau hilang
Kriteria hasil: Mampu mengekspresikan kecemasan, tidak gelisah, kooperatif.
Tindakan keperawatan:
INTERVENSI RASIONAL
1 Lakukan komunikasi terapiutik. 1 Membina hubungan saling
percaya.
2 Dorong pasien agar mampu 2 Menggali perasaan dan
mengekspresikan perasaannya. permasalahan yang sedang
dihadapi klien.
3 Berikan sentuhan kasih sayang. 3 Mengurangi cemas.
4 Berikan support mental. 4 Mengurangi cemas.
5 Berikan kesempatan pada 5 Kehadiran orang-orang yang
keluarga dan orang-orang yang dicintai meningkatkan
dekat dengan klien untuk semangat dan motivasi untuk
mengunjungi pada saat-saat sembuh.
tertentu.
6 Berikan informasi realistis pada 6 Memahami tujuan pemberian
tingkat pemahaman klien. atau pemasangan ventilator.

84
3. Gangguan rasa nyaman sehubungan dengan ventilasi mekanis, letak selang
endotracheal
Tujuan: Merasa nyaman selama dipasang ventilator.
Kriteria hasil:
 Klien tidak gelisah.
 Klien dapat istirahat dan tidur dengan tenang.
Tindakan keperawatan:
INTERVENSI RASIONAL
1 Atur posisi selang ETT dan 1 Mencegah penarikan dan
Tubing ventilator. penekanan.
2 Atur sensitivitas ventilator. 2 Menurunkan upaya pasien
melakukan pernapasan.
3 Atur posisi tidur dengan 3 Meningkatkan rasa nyaman.
menaikkan bagian kepala tempat
tidur, kecuali ada kontra
indikasi.
4 Kalau perlu kolaborasi dengan 4 Mengurangi rasa nyeri
kokter untuk memberi analgesik
dan sedasi.

85
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
RESPIRATOR

A. RIWAYAT KEPERAWATAN
Informasi tentang keperawatan yang dibutuhkan :
1. Persepsi pasien tentang kondisinya saat ini, termasuk harapannya tentang
terapi.
2. Peran dan hambatan peran.
3. Pola nutrisi (jumlah, diet khusus, kesukaan/intoleransi, alergi, perubahan
selera makan).
4. Pola istirahat (waktu, tidur, jumlah jam tidur, kebiasaan saat tidur).
5. Pola eliminasi (kebiasaan buang air besar/kecil, penggunaan laksantif,
perubahan pola eliminasi).
6. Pola koping (kemampuan koping individu, kemampuan koping
keluarga/dukungan keluarga, penerimaan pasien terhadap penyakitnya).
7. Pola pengambilan keputusan.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Hal-hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan fisik adalah :
1. Pemeriksaan fisik dilakukan pada saat pasien masuk, dan diulang kembali
dalam interval waktu tertentu sesuai kondisi pasien.
2. Setiap pemeriksaan harus dikomunikasikan kepada pasien.
3. Privacy pasien harus terus dipertahankan (walaupun pasien dalam keadaan
koma)
4. Tehnik yang digunakan adalah : inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
5. Pemeriksaan dilakukan secara “Head to toe”
6. Pemeriksaan dilakukan pada semua sistem tubuh.

Komponen-Komponen pada Pemeriksaan Fisik :

B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya atelektasis,
pnemotorak atau fibrosis pada pleura.

86
Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan bunyi yang
dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di dalam trakeobronkial dan
alveoli.
Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan peningkatan
usaha napas)
Bentuk dada : Perubahan diameter anterior - posterior (AP) menunjukan adanya
COPD
Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada paru,
obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau penempatan
endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-otot
interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu menggerakan dinding dada.

Sputum
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan konsistensinya. Mukoid
sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan astma bronkiale; sputum yang
purulen (kuning hijau) biasa terjadi pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis akut;
sputum yang mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru, TBC,
dan kanker paru.

Selang Oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube yang
berada di luar.

Parameter pada Ventilator


Volume Tidal Normal : 10 - 15 cc/kg BB.
Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan status ventilasi
penurunan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya penurunan
ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2. Sedangkan peningkatan volume
tidal secara mendadak menunjukan adanya peningkatan ventilasi alveolar yang
akan menurunkan PCO2.
Kapasitas Vital : Normal 50 - 60 cc / kg BB
Minute Ventilasi Forced expiratory volume
Peak inspiratory pressure

87
B 2 : Bleeding : Kardiovaskuler
1. Irama jantung : Frekuensi .........x/m, reguler atau irreguler
2. Distensi Vena Jugularis
3. Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan ventilator
4. Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
 S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup mitral dan trikuspid.
 S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan
katup pulmonal dan katup aorta.
 S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi
ventrikel.
 Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya
terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
5. Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
6. Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia dapat
terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
7. PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada interkostal ke
lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi menunjukan adanya
pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.
8. Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.

88
B 3 : Brain : Persyarafan/Neurologik
1. Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi akibat
penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan
menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran yang
disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap
lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon
motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari
ketiga komponen tersebut. Seperti terlihat pada tabel berikut.
RESPON KETERANGAN NILAI
Buka mata (Eye) Spontan E4
Terhadap panggilan E3

Terhadap nyeri E2

Tak berespon E1
Respon Motorik terbaik Sesuai perintah M6
Melokalisasi M5

Menarik M4

Fleksi abnormal M3
M2
Ekstensi
M1
Tak berespon
Respon Verbal Orientasi V5
Bingung V4

Pembicaraan kacau V3

Pengeluaran bunyi-
bunyian yang tidak V2

mengandung arti.
Tak berespon V1
2. Orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu
3. Sensorik- motorik pada ekstremitas.
4. Refleks pupil :
Reaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri)
Ukuran pupil (kanan dan kiri; 2-6mm)
Dilatasi pupil dapat disebabkan oleh : stress/takut, cedera neurologis penggunaan
atropta, adrenalin, dan kokain. Dilatasi pupil pada pasien yang menggunakan
respirator dapat terjadi akibat hipoksia cerebral.

89
Kontraksi pupil dapat disebabkan oleh kerusakan batang otak, penggunaan
narkotik, heroin.

B 4 : Bladder Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria


Kateter urin
Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal.
Distesi kandung kemih

B 5 : Bowel : Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal


Rongga Mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah
dapat menunjukan adanya dehidarsi.

Bising Usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi
abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan
observasi bising usus selama  2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat
tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.

Distensi Abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan memeriksa
adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat juga terjadi akibat
perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV. Penyebab lain perdarahan
saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah stres, hipersekresi gaster,
penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya terapi antasid, dan kurangnya
pemasukan makanan.

Nyeri
Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
Mual dan muntah.

B 6 : Bone : Tulang – Otot - Integumen


Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.

90
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya sianosis (ujung
kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat pada wajah
dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar haemoglobin atau
shok. Pucat, sianosis pada pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat
adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang menggunakan
respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan
FRC dalam jangka waktu lama.
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat,.
Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam, infeksi. Pada pasien
yang menggunkan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat gangguan pembersihan jalan
napas dan suktion yang tidak steril.
Integritas kulit
Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus

C. PSIKOSOSIAL
Tingkat kecemasan: Kecemasan pada pasien dengan menggunakan respirator
dapat terjadi akibat tindakan inkubasi, penggunaan respirator dan kebisingan yang
dihasilkan oleh alat-alat disekitar pasien.
Pola komunikasi (hambatan dalam komunikasi): gangguan komunikasi pada
pasien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat tindakan inkubasi.

D. SPIRITUAL
Kebutuhan dalam melakukan ibadah atau dukungan keluarga dalam doa kepada
Tuhan YME sangat dibutuhkan selama sakit / pemasangan ventilator dengan
tujuan mengurangi kecemasan atau rasa takut yang berlebihan.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Analisa Gas darah
Analisa gas darah (AGD / Astrup) adalah salah satu test diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa.
Komponen yang terdapat dalam pemeriksaan AGD adalah pH, PCO2, PO2,
saturasi O2, BB (Buffer Base), BE (Base Excess)
Komposisi yang terdapat dalam pemeriksaan AGD / Astrup dan nilai normalnya.

KOMPOSISI NILAI NORMAL


pH 7,40 (7,35 - 7,45)

91
P O2 80 - 100
Saturasi O2 95 %
P CO2 35 - 45
HCO3 22 - 26 m Eq / L
Base Excess (BE) -2 + 2

Untuk menilai hasil pemeriksaan AGD/Astrup, sebelumnya harus memahami arti dari
komponen tersebut.

pH menunjukan konsentrasi ion hidrogen yang terdapat dalam plasma darah.


pH = - log (HCO3) = 0103 x Pa CO2
(H2CO3)
Dari rumus dia atas dapat dilihat bahwa pH sangat dipengaruhi oleh kadar HCO3 dan
PCO2.

Pa CO2 adalah tekanan yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut dalam darah.
PaCO2 dapat digunakan sebagai parameter cukup atau tidaknya ventilator alveolar.
Pa CO2 rendah disebut dengan hipokapnia, berarti terjadi hiperventilasi akibat
rangsangan pernapasan. PaCO2 tinggi disebut hiperkapnia, berarti terjadi kegagalan
ventilasi alveolar (hipoventilasi). Pada awal peningkatan PaCO2 sistem pernapasan
akan terangsang untuk menurunkan Pa CO2 tersebut. Sebaliknya, jika PaCO2 sangat
tinggi justru akan menekan sistem pernapasan.

T CO2 = Total CO2


T CO2 adalah jumlah CO2 total yang terdapat dalam plasma.

Buffer Base (B.B)


Buffer Base adalah konsentrasi dapar anion yang terdapat dalam darah. Perlu diingat
bahwa perubahan BB, menunjukan adanya gangguan metabolik non-respirasi (bukan
respirasi). Dengan kata lain, nilai BB tidak dipengaruhi oleh P CO2 dan
perubahannya secara langsung menunjukan jumlah asam atau basa yang
menyebabkan perubahan tersebut.

Base Excess (BE)

92
Base Excess (BE) atau base deficit, menggambarkan secara langsung jumlah dalam
mEq/L. kelebihan basa (kekurangan asam) atau kekurangan basa (kelebihan asam).
Nilai positif menggambarkan kelebihan basa, sementara nilai negatif menggambarkan
kekurangan basa.

Tekanan Vena Central = CVP (Central Vena Pressure)


CVP merupakan suatu pengukuran terhadap tekanan pada atrium kanan dan vena
cava.
CVP dapat memberikan informasi tentang :
 Volume darah
 Keefektifan pompa jantung
 Tonus vaskuler

Tekanan pada atrium kanan biasanya berkisar antara 0 -4 cm H2O; sedangkan


tekanan pada vena cava berkisar antara 4 - 11 cm H2O.
CVP yang rendah dapat menunjukan adanya :
 Penurunan volume darah
 Gagal jantung

Hasil penilaian CVP harus selalu dikaitkan dengan keadaan klinis pasien seperti :
 Tekanan darah
 Nadi
 Respirasi
 Suara napas dan jantung
 Pemasukan cairan
 Pengeluaran urine

Pada pasien yang memiliki fungsi paru dan jantung yang normal, perubahan CVP
dapat menjadi petunjuk tentang volume darah. Pembacaan kurang dari 4 biasanya
menunjukan adanya hipovolemik, sedangkan pembacaan lebih dari 11 menunjukan
adanya overhidrasi (kelebihan cairan) atau gagal jantung.
Kesalahan pembacaan CVP dapat terjadi jika ada trombosis vena, perubahan tekanan
intra thorak dan peningkatan tekanan abdomen. “ Positif Pressure Breathing” dapat
meningkatkan CVP sebesar 2 cm H2O.

93
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada pasien yang menggunakan
respirator adalah :
1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,
kelemahan otot-otot pernapasan, penurunan ekspansi paru dan perubahan
perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
2. Tidak efektifnya pembersihan jalan napas berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
3. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
penggunaan alat bantu napas (respirator)
4. Gangguan komunikasi verbal, berhubungan dengan terpasangnya
endotrakeal / trakheostomy tube dan paralisis / kelemahan neuromuskuler.
5. Cemas / takut berhubungan dengan krisis situasional; ancaman terhadap
konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alat bantu/perubahan status
kesehatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan interpersonal/penularan
6. Resiko perubahan membran mukosa mulut berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan cairan melalui oral, adanya tube dalam mulut,
kurang/menurunnya salivasi, tidak efektifnya kebersihan mulut.
7. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem pertahanan primer
(cedera pada jaringan paru, penurunan aktifitas cilia), malnutrisi, tindakan
invasif.
9. Kurang pengetahuan berhubungan dengan misinterpretasi informasi, tidak
mengenal sumber-sumber informasi, ketegangan akibat krisis situasional.

94
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanifa Wiknjosastro, Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1992
2. Doengoes, M.E. Moorhouse, M.F. & Geissler A.C (1984), Nursing Care Plans -
Guidelines for Planning Patient Care (2nd Ed.) Philladelphia : Davis Co.
3. Potter, P.A., & Perry, A.G. (1993), Fundamental of Nursing; Concept, Proces, and
Practice (3 rd Ed.). St. Louis : Mosby Year Book.
4. Luckman, Sorensen, (1992), Medical Surgical Nursing; a Psychophysiologic
Aproach, ( 3 rd Ed). Philadelphia: W.B. Saunders Company.

95
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
KETIDAKEFEKTIFANNYA POLA NAPAS

A. TANDA DAN GEJALA


1. Takipnea / brandipnea pada saat dilepaskan dari ventilator
2. Perubahan kedalaman pernapasan
3. Dispnea
4. Penurunan kapasitas vital paru
5. Sianosis
6. Cemas, “restlessness”

B. TUJUAN
Pola napas kembali efektif

C. RENCANA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONALISASI
INDEPENDENT

Hindari selang dari penyumbatan, seperti; Lipatan pada selang mencegah dan
selang terlipat atau penunpukan cairan. meningkatkan tekanan jalan napas. Cairan
Selang drainage dapat diletakan didepan mencegah distribusi oksigen dan menjadi
pasien atau dibelakang ventilator. tempat berkembang biaknya bakteri.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum Ventilator yang memiliki alarm yang bisa
difungsikan. Jangan mematikan alarm. dilihat dan didengar, misalnya; alarm kadar
oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
Taruhlah kantung resusitasi disamping Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat
tempat tidur dan manual ventilasi untuk berguna untuk mempertahankan fungsi
sewakaktu-waktu dapat digunakan. pernapasan jika terjadi gangguan pada alat
ventilator secara mendadak.
Bantulah pasien untuk mengontrol Melatih pasien untuk mengatur napas
pernapasan jika ventilator tiba-tiba seperti napas dalam, napas pelan, napas
berhenti. perut, pengaturan posisi, dan tehnik
relaksasi dapat membantu memaksimalkan
fungsi dari sistem resopiratoria.
KOLABORASI
Perhatikan letak dan fungsi ventilator Memperhatikan letak dan fungsi ventilator
secara rutin. sebagai kesiapan perawat dalam
Pengecekan konsentrasi oksigen, memberikan tindakan pada penyakit

96
memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, primer, setelah menilai hasil diagnostik,
monitor manometer untuk menganalisa dan me- nyediakan sebagai cadangan.
batas / kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).
Periksa fungsi spirometer

97
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
KETIDAKEFEKTIFANNYA PEMBERSIHAN JALAN NAPAS

A. TANDA DAN GEJALA


1. Perubahan kecepatan atau kedalaman pernapasan
2. Sianosis
3. Bunyi napas abnormal
4. Cemas / “restlessness”

B. TUJUAN
1. Mempertahankan jalan napas tetap bersih dan mencegah aspirasi
2. Kriteria: Identifikasi kemungkinan terjadinya infeksi dan tentukan recana
tindakannya.

C. RENCANA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONALISASI
INDEPENDENT
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh
akumulasi sekret, sisa cairan muskus,
perdarahan, brochospasme, dan atau posisi
dari trakeostomy/endotrakeal tube yang
berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi Pergerakan dada yang simetris dengan
suara napas pada kedua paru (bilateral) suara napas yang keluar dari paru-paru
menandakan jalan napas tidak terganggu.
Saluran napas bagian bawah tersumbat
dapat terjadi pada pnemonia / atelektasis
akan menimbulkan perubahan suara napas
sepeti ronchi atau wheezing.
Monitor letak / posisi endotrakeal tube. Endotrakeal tube dapat saja masuk ke
Beri tanda batas bibir. dalam bronchus kanan, menyebabkan
Lekatkan tube secara hati-hati dengan obstruksi jalan napas ke paru-paru kanan
memakai perekat khusus. dan mengakibatkan pasien mengalami
Mohon bantuan perawat lain ketika pnemothorak
memasang dan mengatur posisi tube.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak Selama intubasi pasien mengalami refleks
napas, suara alarm dari ventilator karena batuk yang tidak efektif, atau pasien akan

98
tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret mengalami kelemahan otot-otot pernapasan
melalui endotrakeal / trakheostomy tube, (neuromuskuler / neurosensoris), keter-
bertambahnya bunyi ronchi. lambatan untuk batuk. Semua pasien
tergantung alternatif yang dilakukan seperti
mengisap lendir dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lendir jika Pengisapan lendir tidak selama dilakukan
diperlukan, batasi durasi pengisapan terus-menerus, dan durasinyapun dapat
dengan 15 detik atau lebih. Gunakan dikurangi untuk mencegah bahaya
cateter pengisap yang sesuai, cairan hipoksia.
fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih
sebelum dilakukan pengisapan dengan dari 50 % diameter endotrakeal /
ambubag (hiperventilasi) trakheostomy tube untuk mencegah
hipoksia
Dengan membuat hiperventilasi melalui
pemberian oksigen 100% dapat mencegah
terjadinya atelektasis dan mengurangi
terjadinya hipoksia.
Anjurkan pasien mengenai tehnik batuk Batuk yang effektif dapat mengeluarkan
selama pengisapan , seperti; waktu sekret dari saluran napas.
bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika
ada indikasi.

Atur / rubah posisi secara teratur (tiap 2 Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi
jam) segmen paru-paru, mengurangi resiko
atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran sekret, memper-
memungkinkan. mudah pengeluaran sekret.
KOLABORASI
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi, Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan
seperti ; postural drainage, perkusi / pengeluaran sekret.
penepukan.
Berikan obat-obat bronkhidilator sesuai Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret
indikasi, seperti; aminophilin, meta- karena relaksasi muscle / bronchospasme.
proterenol sulfat (alupent), adoetharine
hydrochloride (bronkosol).
Bantu pasien selama dilakukan fiberoptic Dapat dilakukan untuk mengeluarkan
bronchoscopy jika diperlukan. sekret atau sisa-sisa mukus.

99
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
RESIKO GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN
ELEKTROLIT

A. TANDA DAN GEJALA


Belum ada karena masih bersifat potensial

B. TUJUAN
Tidak ada tanda-tanda udema perifer / paru-paru

C. KRITERIA
Pasien dapat menunjukan tekanan darah, berat badan, nadi, intake dan output
dalam batas normal

D. RENCANA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONALISASI
INDEPENDENT
Pertahankan secara ketat intake dan output Untuk mencegah dan mengidentifikasi
secara dini terjadi kelebihan cairan
Hitunglah jumlah IWL melalui respirasi Untuk dapat menetapkan keakuratan dari
dan jumlah humidifikasi yang digunakan intake dan output
Timbang berat badan setiap hari Peningkatan berat badan merupakan
indikasi berkembangnya atau
bertambahnya edema sebagai manifestasi
dari kelebihan cairan.
Kaji dan observasi suara napas, vocal Adanya ronchi basah, vocal fremitus
fremitus, hasil thorak foto. menandakan adanya edema paru-paru.
Monitor tanda vital, seperti; Tekanan darah, Kekurangan cairan dapat menunjukan
nadi. gejala peningkatan nadi, dan tekanan darah
menurun.
Catatlah perubahan turgor kulit, kondisi Penurunan cardiak out put berpengaruh
mukosa mulut, dan karakter sputum. pada perfusi fungsi otak. Kekurangan
cairan selalu diidentifikasikan dengan
turgor kulit berkurang, mukosa mulut
kering, dan sekret yang kental.
Hitunglah jumlah cairan yang masuk dan Memberikan informasi tentang keadaan
keluar. cairan tubuh secara umum untuk

100
mempertahankannya tetap seimbang.
KOLABORASI
Berikan cairan perinfus jika diindikasikan Mempertahankan volume sirkulasi dan
tekanan osmotik.
Monitor kadar elektrolit jika diindikasikan Elektrolit, khususnya potasium dan sodium
dapat berkurang jika pasien mendapatkan
diuretika.

101
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
GANGGUAN KOMUNIKASI VERBAL

A. TANDA DAN GEJALA


Tidak mampu berbicara

B. TUJUAN
Membuat tehnik /metode komunikasi yang dapat dimengerti sesuai kebutuhan.

C. RENCANA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONALISASI
INDEPENDENT
Kaji kemampuan pasien untuk ber- Berbagai macam alasan untuk menunjang
komunikasi selama pemasangan ventilator sangat
bervariasi seperti; pasien dapat memberi
isarat dan menggunakan tulisan (misalnya:
pasien COPD dengan kemampuan yang
kurang) atau kelemahan, comatosa, atau
paralisis. Komunikasi dengan pasien ini
bersifat individual.

Menentukan cara-cara komunikasi, seperti; Mempertahankan kontak mata akan


mempertahankan kontak mata, pertanyaan membuat pasien interes selama
dengan jawaban ya atau tidak, komunikasi; Jika pasien dapat
menggunakan kertas dan pensil/bollpoin, menggerakkan kepala, mengedipkan mata,
gambar atau papan tulis; bahasa isarat, atau senang dengan isarat-isarat sederhana,
perjelas arti dari komunikasi yang lebih baik dengan menggunakan pertanyaan
disampaikan. ya / tidak.
Kemampuan menulis kadang-kadang me-
lelahkan pasien, selain itu dapat meng-
akibatkan frustasi dalam upaya memenuhi
kebutuhan komunikasi. Keluarga dapat
bekerja sama untuk membantu memenuhi
kebutuhan pasien.
Pertimbangkan bentuk komunikasi bila Intravenos cateter yang terpasang di tangan
terpasang intrvenus cateter akan mengurangi kebebasan menulis/me-

102
beri isarat.
Letakan bel/lampu panggilan ditempat Ketergantungan pasien pada ventilator akan
yang mudah dijangkau, dan berikan lebih baik dan rilek, perasaan aman, dan
penjelasan cara menggunakannya. Jawab mengerti bahwa selama menggunakan
panggilan tersebut dengan segera. Penuhi ventilator, perawat akan memenuhi segala
kebutuhan pasien. Katakan kepada pasien kebutuhannya.
bahwa perawatan siap membantu jika
dibutuhkan
Buatlah catatan di kantor perawatan Mengingatkan staff perawatan untuk
tentang keadaan pasien yang tak dapat berespon dengan pasien selama
berbicara. memberikan perawatan.
Anjurkan keluarga/orang lain yang dekat Keluarga/SO dapat merasakan akrab
dengan pasien untuk berbicara dengan dengan pasien berada dekat pasien selama
pasien, memberikan informasi tentang berbicara, dengan pengalaman ini dapat
keluarganya dan keadaan yang sedang membantu / mempertahankan kontak nyata
terjadi. seperti merasakan kehadiran anggota
keluarga yang dapat mengurangi perasaan
kaku / janggal.
KOLABORASI Pasein dengan pengetahuan dan
Evaluasi kebutuhan komunikasi (berbicara) ketrampilan yang adekuat memiliki
selama memakai trakheostomi tube. kemapuan untuk menggerakan trakeostomy
tube bila berbicara.

103
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
RASA CEMAS / TAKUT

A. TANDA DAN GEJALA


1. Ketegangan ekspresi wajah
2. Merasa tidak mampu
3. Berfokus pada diri sendiri/pandangan negatif tentang diri sendiri
4. Mengungkapkan kekawatirannya tentang perubahan
5. Insomania : “restlessness”

B. KRITERIA
1. Pasien mampu menggungkapkan perasaan yang kaku cara-cara yang sehat
kepada perawat
2. Pasien dapat mendemonstrasikan ketrampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi.
3. Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan dibawah standar
4. Pasien dapat rileks dan tidur /istirahat dengan baik.

C. RENCANA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONALISASI
INDEPENDENT
Identifikasi persepsi pasien untuk Menegaskan batasan masalah individu dan
menggambarkan tindakan sesuai situasi. pengaruhnya selama diberikan intervensi.
Monitor respon fisik, seperti; kelemahan. Digunakan dalam mengevaluasi derajat/
perubahan tanda vital, gerakan yang tingkat kesadaran / konsentrasi, khususnya
berulang-ulang, Catat kesesuaian respon ketika melakukan komunikasi verbal.
verbal dan nonverbal selama komunikasi
Anjurkan pasien atau SO untuk meng Memberikan kesempatan untuk
-ungkapkan dan mengekspresikan rasa berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut,
takutnya dan mengurangi cemas yang berlebihan.
Akuilah situasi yang membuat cemas dan Mengvalidasi situasi yang nayata tanpa
takut. mengurangi pengaruh emosional. Berikan
Hindari perasaan yang tak berarti seperti kesempatan bagi pasien/SO untuk
mengatakan semuanya akan menjadi baik. menerima apa yang tejadi pada dirinya
serta mengurangi kecemasan.
Identifikasi/kaji ulang bersama pasien/SO Membesarkan/menetramkan hati pasien
tindakan pengaman yang ada, seperti : untuk membantu menghilangkan cemas
kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan yang tak berguna, mengurangi konsentrasi

104
suction emergency. Diskusikan arti dari yang tidak jelas dan menyiapkan rencana
bunyi alarm. sebagai respon dalam keadaan darurat.
Catat reaksi dari SO. Berikan kesempatan Anggota keluarga dengan responnya pada
untuk mendiskusikan perasaannya/ apa yang terjadi, dan kecemasannya dapat
konsentrasinya, dan harapan masa depan disampaikan kepada pasien.
Identifikasi kemampuan koping pasien/SO Memfokuskan perhatian pada kemampuan
sebelumnya dan mengontrol sendiri dapat meningkatkan pengertian
penggunaannya. dalam penggunaan koping.
Demonstrasikan/anjurkan pasien untuk Pengaturan situasi yang aktif dapat me-
melakukan tehnik relaksasi, seperti; ngurangi perasaan tak berdaya.
mengatur pernapasan, menuntun dalam
berhayal, relaksasi progresif.
Anjurkan aktifitas pengalihan perhatian Sejumlah ketrampilan baik secara sendiri
sesuai kemampuan individu, seperti; maupun dibantu selama pemasangan
menulis, nonton TV dan ketrampilan ventilator dapat membuat pasien merasa
tangan. berkualitas dalam hidupnya.
KOLABORASI
Rujuk ke bagian lain guna penangan Mungkin dibutuhkan untuk membantu jika
selanjutnya. pasien /SO tidak dapat mengurangi cemas
atau ketika pasien membutuhkan alat yang
lebih canggih.

105
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
POTENSIAL PERUBAHAN MEMBRAN MUKOSA MULUT

A. TANDA DAN GEJALA


1. mukosa mulut kering
2. bibir pecah-pecah
3. lidah kotor

B. TUJUAN
1. Mencatat dan memperlihatkan adanya pengurangan gejala.
2. Mengidentifikasikan intervensi secara spesifik untuk menjaga kebersihan
mukosa mulut.

C. RENCANA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONALISASI
INDEPENDENT
Lakukan pengamatan rongga mulut, gigi, Identifikasi masalah dengan cepat dapat
luka pada gusi, perdarahan secara rutin. memberikan tindakan/pencegahan dengan
tepat.
Lakukan perawatan mulut secara rutin atau Mencegah kekeringan/lecet pada membran
jika diperlukan, khususnya pasien dengan mukosa dan mengurangi medium tempat
intubasi tube, seperti; menyikat gigi dengan perkembangan bakteri. Membuat perasaan
sikat gigi yang lembut, atau menyeka enak/nyaman.
dengan kain basah.
Berikan salep pelindung bibir dan minyak Mempertahankan kelembaban dan
pelumas mulut. mencegah kekeringan.
Rubah posisi endhotrakeal tube secara Mengurangi resiko perlukaan pada bibir
teratur sesaui jadwal dan mukosa mulut.

106
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
GANGGUAN NUTRISI

A. TANDA DAN GEJALA


1. Kehilangan berat nadan
2. Keengganan untuk makan
3. Mengeluh mengalami perubahan rasa
4. Penurunan tonus otot mulut
5. Peradangan pada rongga mulut
6. Hilangnya/hiperaktifnya bising usus

B. TUJUAN
Pasien dapat:
1. Mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh
2. Memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan hasil pemeriksaan
laboratorium

C. RENCANA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONALISASI
INDEPENDENT
Evaluasi kemampuan makan pasien Pasien dengan trakheostomy mungkin sulit
untuk makan, tetapi pasien dengan
endotrakeal tube dapat menggunakan mag
slang atau memberi makanan parenteral
Observasi / timbang berat badan jika Tanda kehilangan berat badan (7 - 10 %)
memungkinkan. dan kekurangan intake nutrisi menunjang
terjadinya masalah katabolisma, kandungan
glikogen dalam otot dan kepekaan terhadap
pemasangan ventilator.
Monitor keadaan otot yang menurun dan Menunjukan indikasi kekurangan energy
kehilangan lemak subkutan otot dan mengurangi fungsi otot-otot
pernapasan.
Catat pemasukan per oral jika Nafsu makan biasanya berkurang dan
diindikasikan. Anjurkan pasien untuk nutrisi yang masukpun berkurang.
makan. Menganjurkan pasien memilih makanan
yang disenangi dapat dimakan (bila sesuai
anjuran)
Berikan makanan kecil dan lunak Mencegah terjadinya kelelahan, memudah-

107
kan masuknya makanan, dan mencegah
gangguan pada lambung.
Kajilah fungsi sistem gatrointestinal, yang Fungsi sistem gastrointestinal sangat
melipitu; suara bising usus, catat terjadi pengting untuk memasukan makanan.
perubahan di dalam lambung seperti mual, Ventilator dapat memnyebabkan kembung
muntah. Observasi perubahan pergerakan pada lambung dan perdarahan lambung.
usus, misalnya ; diare, konstipasi.
Anjurkan pemberian cairan 2500 cc/ hari Mencegah terjadinya dehidrasi akibat
selama tidak terjadi gangguan jantung. penggunaan ventilator selama tidak sadar
dan mencegah terjadinya konstipasi.
KOLABORASI Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat
Aturlah diet yang diberikan sesuai keadaan sangat diperlukan selama pemasangan
pasien. ventilator untuk mempertahankan fungsi
otot-otot respirasi. Karbohidrat dapat
berkurang dan penggunaan lemak
meningkat untuk mencegah terjadinya
produksi CO2 dan pengaturan sisa
respirasi.
Lakukan pemeriksaan laboratorium yang Memberikan informasi yang tepat tentang
diindiksikan, seperti; serum, trnsferin, keadaan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
BUN/ Creatine dan glukosa

108
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
POTENSIAL INFEKSI

A. TANDA DAN GEJALA


Belum ada tanda dan gejala karena potensial

B. TUJUAN
1. Individu mengenal faktor-faktor resiko
2. Mengenal tindakan pencegahan/mengurangi faktor resiko infeksi
3. Menunjukan / mendemonstrasikan tehnik-tehnik untuk meningkatkan
lingkungan yang aman

C. RENCANA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONALISASI
INDEPENDENT
Catat faktor-faktor resiko untuk terjadinya Intubasi, penggunaan ventilator yang lama,
infeksi. kelemahan umum, malnutrisi merupakan
faktor-faktor yang memungkinkan
terjadinya infeksi dan penyembuhan yang
lama.
Observasi warna, bau, dan karakteristik Kuning / hijau, bau sputum yang purulen
sputum. Catat drainase disekitar daerah merupakan indikasi infeksi. Sputum yang
trakeostomy. kental dan sulit dikeluarkan menunjukan
Kurangi faktor resiko infeksi nokosomial adanya dehidrasi. Faktor-faktor ini nampak
seperti; cuci tangan sebelum dan seseudah sederhana, tetapi sangat penting sebagai
melaksanakan tindakan keperawatan. pencegahan terjadinya infeksi nokosomial.
Pertahankan tehnik suction secara steril
Bantu latihan napas dalam, batuk efektif Memaksimalkan ekspansi paru dan
dan ganti posisi secara berkala pengeluaran sekresi untuk mencegah
ateletaksis dan akumulasi dan kekentalan
sekret.
Auskultasi suara napas Adanya ronchi atau wheezing menunjukan
adanya sekresi yang tertahan, yang
memerlukan ekspsktoran / suction.
Monitor / batasi kunjungan. Menghindari Individu dengan infeksi saluran napas atas,
kontak dengan orang yang menderita meningkatkan resiko berkembangnya
infeksi saluran napas atas. infeksi.
Anjurkan pasien untuk membuang sputum Mengurangi penularan organisme melalui

109
dengan tepat seperti dengan tissue dan sekresi/sputum
ganti balutan trakeostomy yang kotor.
Lakukan tehnik isolasi sesuai indikasi Sesuai dengan diagnosa yang spesifik harus
memperoleh perlindungan infeksi orang
lain seperti TBC
Pertahankan hidrasi dan nutrisi yang Membantu meningkatkan daya tahan tubuh
adekuat. Berikan cairan 2500 cc sesuai dari penyakit dan mengurangi resiko
toleransi cardiak. infeksi akibat sekresi yang stasis.
Bantu perawatan diri dan keterbatasan Menunjukan kemampuan secara umum dan
aktifitas sesuai toleransi. Bantu program kekuatan otot dan merangsang
latihan. pengembalian sistem imun
KOLABORASI Mungkin dibutuhkan untuk
Periksa sputum kultur sesuai indikasi mengidentifikasi patogen dan pemberian
antimikroba yang sesuai
Berikan antibiotik sesuai indikasi Satu atau beberapa agent diberikan
tergantung dari sifat patogen dan infeksi
yang terjadi.

110
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
KURANG PENGETAHUAN

A. TANDA DAN GEJALA


1. Bertanya tentang perawatan
2. Meminta informasi
3. Menolak mempelajari ketrampilan-ketrampilan baru
4. Meningkatnya komplikasi yang dapat dicegah

B. TUJUAN
Partisipasi dalam proses belajar.

C. KRITERIA
1. Menunjukan peringatan interes yang ditunjukan isu verbal dan nonverbal.
2. Menunjukan respon dalam proses belajar mengajar dengan banyak bertanya
3. Mengerti tentang indikasi pemakaian ventilator
4. Mendemonstrasikan pemasangan ventilator sesuai keperluan individu

D. RENCANA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONAL
INDEPENDENT
Tentukan kemampuan dan kemauan belajar Kondisi fisik dapat mempengaruhi kondisi
belajar. Dengan kemauan yang kuat dapat
mengatasi perasaan takut terhadap mesin
dan mempunyai syarat--syarat dalam
kemampuan untuk belajar dalam semua
situasi.
Diskusikan tentang kondisi tertentu yang Dengan diskusi dapat meningkatkan
memerlukan ventilator, ukurannya, tujuan pengetahuan dasar pasien dan keluarga
pengobatan jangka panjang atau jangka sehingga dapat membuat keputusan sesuai
pendek. dengan informasi yang diberikan. Usaha ini
dapat ditruskan dalam beberapa minggu.
Bila tidak menggunakan ventilator dapat
meningkatkan PCO2, dispnea, cemas,
takikardia, berkeringat, sianosis.
Jelaskan tentang penggunaan respirator Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh
kepada pasien dan keluarga akibat pemakaian respirator, dimana perawat

111
pemakaian respirator dalam gaya hidup dan harus mengerti pemakaian vemtilator dalam
perubahan-perubahan kemauan dan waktu 24 jam.
ketidak- mauan untuk menggunakan
respirator.
Tingkatkan partisipasi perawatan mandiri Mengembalikan perhatian pada keadaan
dan sosialisasi. aktifitas normal, peningkatan daya tahan
dan membantu kemandirian pasien.
Ulangi informasi yang diberikan ; pola Mempertinggi penyembuhan dan
dalam nutiri, makanan tambahan. kepercaya- an, kebutuhan individu pada
pertemuan mendatang.
Rekomendasikan pada klien/keluarga Meningkatkan rasa aman tentang
tentang pelaksanaan resusitasi kemampuan untuk mengatasi keadaan
emergency.
Buatlah jadwal untuk memberikan latihan Pendekatan secara tim digunakan untuk
bagi perawat yang akan melaksanakan mengkoordinir perawat dan pasien serta
perawatan respirator pada pasien di rumah. memberikan pendidikan kesehatan sesuai
kebutuhan pasien.

112
DAFTAR PUSTAKA

1. Doengoes, M.E. Moorhouse, M.F. & Geissler A.C (1984), Nursing Care Plans -
Guidelines for Planning Patient Care (2nd Ed.) Philladelphia : Davis Co.
2. Potter, P.A., & Perry, A.G. (1993), Fundamental of Nursing; Concept, Proces, and
Practice (3 rd Ed.). St. Louis : Mosby Year Book.
3. Luckman, Sorensen, (1992), Medical Surgical Nursing; a Psychophysiologic
Aproach, ( 3 rd Ed). Philadelphia: W.B. Saunders Company.

113

Anda mungkin juga menyukai