Nama Kelompok :
2) Konflik / Permasalahan
3) Komplikasi / Peruntutan
4) Klimaks
5) Anti Klimaks
6) Konklusi / Penyelesaian
Di tahap ini, masalah yang tersaji di dalam cerita dapat
diselesaikan. Di tahap ini, pembaca atau penonton bisa
menyimpulkan kesan yang mereka dapat dari cerita
tersebut, sekaligus pesan atau amanat di balik cerita
tersebut.
Penyelesaian yaitu
4. Setting / Latar :
Jenis-jenis / macam Setting :
a) Tempat
Di tepi kampung, Kutipan : “Di tepi kampung, tiga anak
laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang
singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk
mengalihkan cengkeraman akar ketela yang terpendam
dalam tanah kapur.”
Di dalam rumah Kartareja, Kutipan : “Di dalam rumah,
Nyai Kartareja sedang merias Srintil. Tubuhnya yang kecil
dan masih lurus tertutup kain sampai ke dada. Angkinnya
kuning. Di pinggang kiri kanan ada sampur berwarna merah
saga. Srintil didandani seperti laiknya seorang ronggeng
dewasa.”
Di halaman rumah Kertareja, Kutipan : “warga desa
beserat anak-anak berada di halaman rumah Kertareja untuk
melihat kasur yang akan digunakan Srintil pada ritual
Mbukak Kllmbu”
Makam Ki Secamenggala, Kutipan :“Srin, ini tanah
pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pula.
Kita bisa kualat nanti.”
Dukuh Paruk, Kutipan :“Dukuh Paruk masih diam
meskipun beberapa jenis satwanya sudah terjaga oleh
pertanda datangnya pagi.”
Pasar Dawuan, Kutipan :“Orang-orang di Pasar Dawuan
asyik terlena. Segala sesuatu lepas dari perhatian mereka,
tak terkecuali sebuah subjek yang sedang terdampar di atas
lincak pedagang lontong. Musik Wirster mengantarkan
Srintil ke alam jaga yang paling santun.”
Poliklinik, Kutipan : “emak bersama 5 orang lainnya
dibawa ke poliklinik di sebuah kota Kawedanan”
Kota Kawedanan, Kutipan : “emak bersama 5 orang
lainnya dibawa ke poliklinik di sebuah kota Kawedanan”
Di Hutan, Kutipan : “Sampai di hutan, perburuan langsung
dimulai. Dalam hal ini aku kecewa karena tiga orang tentara
yang kuiringkan sama sekali tak berpengalaman dalam hal
berburu”
Di Rumah Sakarya, Kutipan : “sebelum meninggalkan
Rumah Sakarya, para perampok membuat orang tua itu
pingsan”
Rumah nenek Rasus, Kutipan : “Rasus pun masuk
kedalam rumah neneknya”
b) Waktu
Jum’at malam, Kutipan : “Sudah Jum’at malam.
Seorang pemudapun belum juga datang menemui
harapannya, menyerahkan sekeping ringgit emas bagi
keperawanan Srintil. “Alangkah malu bila
sayembara bukak klambu yang kuselenggarakan tidak
berhasil. Sia-sialah tiga ekor kambing yang telah ku
jual,” pikir Kartareja seorang diri. Tetapi lamunan
dukun ronggeng itu terhenti ketika pintu depan berderit
Tahun 1946, Kutipan : “Seandainya ada seorang di
Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat
mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah
malam, tahun 1946. Semua penghuni pendukuh itu telah
tidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil”
Tahun 1960, Kutipan : “Tahun 1960 wilayah
kecamatan Dawuan tidak aman”
Sore hari, Kutipan : “Demikian, sore itu Srintil menari
dengan mata setengah tertutup, jari tangannya melentik
kenes. Ketiga anak laki-laki yang mengiringinya
menyaksikan betapa Srintil telah mampu menyanyikan
banyak lagu-lagu ronggeng.”
Tengah malam, Kutipan : “Menjelang tengah malam
barangkali hanya Sakarya yang masih termangu di
bawah lampu minyak yang bersinar redup.”
Siang hari, Kutipan : “Matahari naik. Panasnya mulai
menyengat. Panas yang telah mengubah warna rambut
orang dan anak Dukuh Paruk menjadi merah. Kulit
kehitaman bersisik. Dukuh Paruk yang tadi malam
basah kuyup kini terjerang. Panas dan lembab.”
Pagi, Kutipan : “Pagi itu Kartareja mendapat kabar
gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu
kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya.”
Malam hari, Kutipan : “Selesai dengan pekerjaan
malam itu, Santayib berangkat tidur. Sepi. Dukuh Paruk
dengan semua penghuninya larut bersama malam yang
dingin dan lembab. Srintil yang masih bayi acap kali
terjaga bila popoknya basah. Bila kainnya sudah diganti
Srintil lelap kembali di ketiak ibunya.
Hari Sabtu, Kutipan : “Hari Sabtu tiba. Hari yang
sangat mengesankan karena nistaku ternista”
11 Tahun yang lalu, Kutipan : “11 tahun yang lalu
ketika Srintil masih Bayi. Dukuh Paruk yang kecil
basah kuyup tersiram hujan lebat.”
c) Suasana :
Lengang, Kutipan : “Dalam kegelapan yang pekat,
pemukiman terpencil itu lengang, amat lengang”
Ramai, Kutipan : “Detik berikutnya bergemalah irama
calung yang di kembari tepuk tangan hampir semua
warga Dukuh Paruk”
Sunyi, Kutipan : “…. , seorang bromocorahyang
sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat
menghabiskan riwayat keberandalannya”
Hening, Kutipan : “Hening, Tanggapan hanya berupa
bisik-bisik lirih”
Panik, Kutipan : “Santayib tidak peduli atas kepanikan
luar biasa yang sedang melanda para tetangga”
Menegangkan, Kutipan : “Pada malam ke-9 , ada 5
orang yang sedang beriringan berjalan di pematang,
mereka adalah perampok”
d) Alat / Benda :
Cungkil, Kutipan “cari sebatang cungkil, kata Rasus
kepada temannya”
Linggis, Kutipan : “percuma, hanya sebatang linggis
dapat menembus tanah sekeras ini”
Calung, Kutipan : “… Sakum, laki-laki dengan
sepasang mata keropos namun punya keahlian istimewa
dalam memukul calung besar”
Gong, Kutipan : “sebuah gendang, dua calung dan
sebuah gong di tiup yang terbuat dari seruas bamboo
besar”
Gendang, Kutipan : “sebuah gendang, dua calung dan
sebuah gong di tiup yang terbuat dari seruas bamboo
besar”
Dupa, Kutipan : “Kertajaya muncul dengan pendupaan
yang dibawanya berkeliling arena tempat Srintil
menari”
Arang, Kutipan : “mereka memadikannya dan
menyediakan arang gagang padi buat keramas ”
Botol, Kutipan : “Kertareja mengeluarkan botol-botol
dari lemari”
Keris, Kutipan : “lama aku berfikir tentang keris itu.
Ada keraguan untuk menyerahkannya kepada Srintil”
Bedil, Kutipan : Selesai mengenakan seragam,
kusambar bedil yang tergantung diatas balai-balai di
bilik.
e) Peristiwa :
Kematian massal akibat tempe bongkrek buatan
Santayib
Saat Srintil menari di bawah pohon nangka yang mana
dia menari serasa telah di masuki Indang Ronggeng
Saat menjalankan ritual memandikan Srintil di Kuburan
sebagai syarat sah menjadi Ronggeng, tiba-tiba
Kertareja kerasukan arwah Ki Secamenggala
Rasus diangkat menjadi tentara oleh Sersan Selamet
Karena berhasil membuhun 2 perampok yang akan
mencuri di rumah Kertareja
Srintil kembali tampil menari saat dia diminta mengisi
acara Agustusan
Srintil masuk penjara karena dia di tuduh ikut terlibat
dalam kegiatan PKI
Kebakaran di Desa Dukuh Paruk
Setelah 2 tahun mendekam di penjara akhirnya Srintil
bisa bebas dan kembali ke Desa Dukuh Paruk
Pada akhirnya Srintil menjadi gila karena lagi-lagi ia
telah di kecewakan oleh seseorang yang dia anggap baik
Fungsi Setting :
a) Fungsi Fisikal :
Pohon nangka, Kutipan : “Di pelataran yang membatu
di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup
dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di
musim kemarau.
Batang Singkong, Kutipan “… , namun batang
singkong itu tetap tegak di tempatnya”
Pohon Bacang, Kutipan : “maka dia berbalik, menoleh
kanan-kiri mencari sebatang pohon Bacang.”
Sawah, Kutipan : “Karena letak Dukuh Paruk ditengah
amparan sawah yang sangat luas, tenggelamnya
matahari tampak jelas dari sana ”
Pohon Semboja, Kutipan “pohn –pohon puring di
pekuburan melayu, tetapi pohon semboja malah
berbunga ”
b) Fungsi Psikologis
Ceria, Kutipan : Ceria di bawah pohon nangka itu
berlanjutsampai matahari menyentuh garis cakrawala.
Sesungguhnya Srintil belum hendak berhenti menari.
Namun Rasus berkeberatan karena ia harus menggiring
tiga ekor kambingnya pulang ke kandang.
Cemas, Kutipan : “Rasus cemas tidak bisa lagi bermain
sepuasnya dengan Srintil di bawah pohon nangka.
Tetapi Rasus tak berkata apa pun. Dia tetap terpaku di
tempatnya sampai pentas itu berakhir hampir tengah
malam.
Terkesima, Kutipan : “kettika Srintil muncul di tuntun
Nyai Kertareja, semua mata terarah kepadanya. Rasus
yang berdiri di depan lapisan penonton paling depan
ternganga”
Panik, Kutipan : “Dalam haru-biru kepanikan itu kata-
kata “wuru bongkrek” mulai diteriakkan orang.
Keracunantempe bongkrek. Santayib, pembuattempe
bongkrek itu, sudah mendengar teriakan demikian.
Hatinya ingin dengan sengit membantahnya.”
Senang, Kutipan : “Pagi itu Kertareja mendapat kabar
gembira. Dia pun suda bertahun-tahun menunggu
kedatangan seorang Ronggeng untuk diasuhnya.”
Sedih, saat Srintil sadar bahwa Rasus telah pergi
meninggalkan Dukuh Paruk, dan saat itu Srintil hanya
bisa menangis.
Termenung, saat Srintil berada diujung Kampung
Dukuh Paruk, dia hanya bisa termenung atas kepergian
Rasus
Bingung, ketika Srintil mendapat tawaran untuk tampil
di acara Agustusan , sebenarnya Srintil tidak mau
namun di sisi lain ia merasa kasian kepada Sakum yang
kehilangan mata pencarian akibat Srintil tidak lagi
menari.
Kecewa, saat Srintil mulai berharap pada Bajus dan
mengira Bajus adalah pria baik, namun ternyata Bajus
malah menghianati dirinya dengan menjual dirinya pada
Bos Bajus.
Terharu, Kutipan : “banyak orang terharu dan kagum
bagiaman Srintil menari”
Malu, Kutipan : “aku diam karena kecewa dan sedikit
malu”
Ragu, Kutipan : “lama aku berfikir tentang keris itu.
Ada keraguan untuk menyerahkannya kepada Srintil”
6. Amanat / Misi :
Sebagai seorang wanita harus dapat menjaga kesuciannya atau
keperawanannya sebelum menikah.
Manusia hendaknya percaya akan adanya Tuhan dan jangan percaya
pada hal-hal yang negatif atau tahayul.
Keterbatasan hanya pada satu pemahaman tidak akan membuat
kemajuan yang lebih pada kehidupan.
Jangan menyia-nyiakan orang yang telah sepenuh hati mencintai kita,
karena belum tentu suatu saat nanti kita dapat menemukan orang yang
mencintai kita seperti itu.
Adat bagaimanapun tetap harus berlaku dalam kehidupan yang
meyakininya, karena jika memang suatu daerah mempercayai adat
yang berlaku, maka harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Karena
pada setiap keyakinan pasti ada suatu hal yang akan terjadi jika suatu
adat kebiasaan tidak dilaksanakan.
Hati-hati dalam bertindak / jangan mudah percaya pada orang lain
9. Sinopsis
Srintil adalah gadis Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah desa
kecil yang terpencil dan miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu
kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa
menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah
keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk
sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat.
Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah
gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya
sebagai calon ronggeng ketika bermain-main di tegalan bersama kawan-kawan
sebayanya (Rasus, Warta, Darsun).
Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang
kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang
ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada
dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang
ronggeng yang diakui oleh masyarakat.
Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari
disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus
gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng,
Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah
menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada
siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun
Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk
menolaknya.
Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain,
Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil
resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu,
Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati
Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang
berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk
menuju pasar Dawuan, dan kelak dari tempat itulah Rasus mengalami
perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin
dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah
terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian
Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh
Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang
berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng
Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati
kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak
menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya
yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa
berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.
Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan
Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang
ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap
Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya.
Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab
mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh
Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari
sebagai ronggeng, bahkan senang mengasuh bayi Goder (anaknya Tampi,
seorang tetangga) dengan gaya asuhan seorang ibu kandung.
Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang
tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas
kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh
dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai
seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor
Kecamatan.
Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan
kekuasaan. Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari
penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964
sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI).
Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang
menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.
Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang
PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI
di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil
yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya,
terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi
secara menyeluruh.
Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan
tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya.
Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak
berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk
suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering
berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar.
Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang
sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai
ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap baik.
Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi
penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya
merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa
lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal
itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak
hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga
meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya
dengan sikap bersahaja.
Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan
miskin. Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian
kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan
cungkup makam Ki Secamenggala.
Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati,
tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping
bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca
simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah
penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan
Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa
pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga
kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-
orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara
penyelesaiannya.
Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga
kampung dengan ronda setiap saat. Keesokan harinya orang-orang Dukuh
Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta
perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada
polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan
catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang
mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam
tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji
menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas
predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang
utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui
sedikitpun keberadaan Rasus.
Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi.
Akibatnya, Srintil mengumpat kebodohan neneknya dan meratapi nasibnya
sebagai perempuan yang terlanjur dikenal sebagai ronggeng. Untungah Srintil
masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari perangkap Marsusi,
Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi
kehendak Pak Bajus.Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha
mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki
impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat
proyek.
Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila
sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.