Anda di halaman 1dari 20

A.

KONSEP TEORI ASMATIKUS

1. PENGERTIAN
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea
dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne.
2001).
Asmatikus adalah suatu serangan asma yang berat, berlangsung dalam beberapa
jam sampai beberapa hari, yang tidak memberikan perbaikan pada pengobatan yang lazim.
Status asmatikus merupakan kedaruratan yang dapat berakibat kematian, oleh
karena itu :
a. Apabila terjadi serangan, harus ditanggulangi secara tepat dan diutamakan terhadap
usaha menanggulangi sumbatan saluran pernapasan.
b. Keadaan tersebut harus dicegah dengan memperhatikan faktor-faktor yang
merangsang timbulnya serangan (debu, serbuk, makanan tertentu, infeksi saluran
napas, stress emosi, obat-obatan tertentu seperti aspirin dll).
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespons
terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Infeksi,
ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan nebulizer, dehidrasi,
peningkatan blok adrenergic, dan iritan nonspesifik dapat menunjang episode ini. Epidsode
akut mungkin dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap penisilin.
Status asmatikus adalah suatu keadaan darurat medic berupa seranganasam berat
kemudian bertambah berat yang refrakter bila serangan 1 2 jam pemberian obat untuk
serangan asma akut seperti adrenalin subkutan, aminofilin intravena, atau antagonis tidak
ada perbaikan atau malah memburuk.

2. ETIOLOGI
a. Faktor Ekstrinsik
Asma yang timbul karena reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh adanya IgE
yang bereaksi terhadap antigen yang terdapat di udara (antigeninhalasi ), seperti debu
rumah, serbuk-serbuk dan bulu binatang.
b. Faktor Intrinsik
1) Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar
anak dengan asma. Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga merupakan
factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan
dengan bahan alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi dan
anak kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan bertambahnya
umur makin banyak jenis alergen pencetusnya. Asma karena makanan biasanya
terjadi pada bayi dan anak kecil.
2) Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab
biasanya respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang
juga dapat disebabkan oleh bakteri, jamur dan parasite.
3) Cuaca
Perubahan tekanan udara suhu udara, angin dan kelembaban dihubungkan
dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
4) Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat,
SO2, dan polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air
dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat menimbulkan reflex. Udara kering mungkin
juga merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani.
5) Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak
dengan asma. Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada anak dengan
faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6) Infeksi saluran napas bagian atas
Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik
dapat mempermudah terjadinya asma pada anak. Rinitis alergi dapat memperberat
asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.
7) Refluks gastroesofagitis
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada
anak dan orang dewasa.
8) Psikis
Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang
berhubungan dengan asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat
atau menggagalkan usaha-usaha pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut
terhadap serangan asma atau hari depan anak juga tidak baik, karena dapat
memperberat serangan asma. Membatasi aktivitas anak, anak sering tidak masuk
sekolah, sering bangun malam, terganggunya irama kehidupan keluarga karena
anak sering mendapat serangan asma, pengeluaran uang untuk biaya pengobatan
dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma dan keluarganya. Serangan
asma sering timbul karena kerja sama berbagai pencetus. Dengan anak pencetus
alergen sering disertai pencetus non alergen yang dapat mempercepat dan
memperburuk serangan asma. Pada 38% kasus.Faktor pencetusnya adalah alergen
dan infeksi. Diduga infeksi virus memperkuat reaksi terhadap pencetus alergenik
maupun nonalergenik.
Berbagai pencetus serangan asma dan cara menghindarinya perlu diketahui
dan diajarkan pada si anak dan keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya
merupakan pencetus yang sering dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak dengan
asma yang berobat di poliklinik Subbagian Pulmonologi Anak Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI RSCM Jakarta, debu rumah diduga sebagai pencetusnya.
Serangan asma setelah makan atau minum zat yang tidak tahan, dapat terjadi
tidak lama setelah makan, tetapi dapat juga terjadi beberapa waktu setelahnya.
Anggota keluarga yang sedang menderita “flu” tidak boleh mendekati anak yang
asma atau kalau dekat anak yang asma lebih-lebih bila bicara, batuk atau bersin
perlu menutup mulut dan hidungnya. Hindarkan anak dari perubahan cuaca atau
udara yang mendadak, lebih-lebih perubahan ke arah dingin. Aktivitas fisik tidak
dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat ditempuh supaya
anakdapat tetap beraktivitas adalah :
a) Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan gerak yang
mendadak, Mengalihkan macam kegiatan, misalnya lari, naik kesepeda,
berenang.
b) Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan kemudian bila
batuk-batuk sudah mereda kegiatan dapat dimulai kembali.
c) Ada beberapa anak yang memerlukan makan obat atau menghirup obat aerosol
dahulu beberapa waktu sebelum kegiatan olahraga.

3. MANIFESTASI KLINIS
a. Wheezing
b. Dyspnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot- otot asesori pernapasan
c. Pernapasan cuping hidung
d. Batuk kering karena secret kental dan lumen jalan napas sempit
e. Diaphoresis
f. Sianosis
g. Nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam pernapasan
h. Kecemasan, labil dan penurunan tingkat kesadaran
i. Tidak toleran terhadap aktifitas : makan, bermain, berjalan, bahkan bicara

4. PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang
menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus
terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga
terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini
menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya, Pada asma, antibody
ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan
erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka
antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah
terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient),
factor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor - faktor ini
akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus
yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga
menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma, diameter
bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi dari pada selama inspirasi karena peningkatan
tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena
bronkiolus sudah tersumbat sebagian,maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari
tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada
penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-
kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan
volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran
mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
a. Pencetus serangan (alergen, emosi/stress, obat-obatan, infeksi)
b. Kontraksi otot polos
c. Edema mukusa
d. Hipersekresi
e. Penyempitan saluran pernapasan (obstruksi)
f. Hipoventilasi
g. Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru
h. Gangguan difusi gas di alveoli
i. Hipoksemia
j. Hiperkarpea

5. PATWAYS
Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respon IgE yang sensitive
berlebihan terhadap sesuatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami
degranulasi. Di manapun letak hipersensitivitas respon peradangan tersebut, hasil akhirnya
adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran udara.
FAKTOR
PENCETUS

ALERGI DAN
IDIOPATIK

EDEMA DINDING SPASME OTOT POLOS SEKRESI MUKUS KENTAL


BRONKIULUS BRONKIOLUS DIDALAM LUMEN BRONKIOLUS

EKSPIRASI MENEKAN SISI DIAMETER BRONKIOLUS BERSIHAN JALAN NAFAS


LUAR BRONKIOLUS MENGECIL TIDAK EFEKTIF

DISPNEA INTOLERANSI
AKTIVITAS

PERFUSI PARU TIDAK CUKUP


GANGGUAN
MENDAPAT VENTILASI
PERTUKARAN GAS
ALERGEN MASUK KEDALAM TUBUH

MERANGSANG SEL PLASMA

Ig E

SEJUMLAH MEDIATOR ( HISTAMINE, NEKOTRIEN, FAKTOR PENGAKTIFASI PLATELET, BRADIKININ, DLL )

PERMEABILITAS KAPILER MENINGKAT

PRODUKSI MUKUS MENINGKAT ( PEMBENGKAKAN MUKOSA BRANCHIAL DAN PENGENTALAN SEKRESI )

DIAMETER BRANCIAL MENURUN

ABNORMALITAS VENTILASI PERFUSI

HIPOKSEMIA DAN RESPIRASI ALKALOSIS

RESPIRASI AKSIDOSIS

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
 Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal
eosinophil
 Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
 Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
 Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.

2) Pemeriksaan darah
 Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
 Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
 Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

3) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
 Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
 Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen
akan semakin bertambah
 Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
 Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
 Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada
paru-paru.
4) Pemeriksaan tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yangdapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
 Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan
clock wise rotation.
 Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB
(Right bundle branch block).
 Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan
VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
6) Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi
udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
7) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang
paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan
dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis
asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk
menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpakeluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang ditimbulkan oleh status asmatikus adalah
a. Atelaktasis
b. Hipoksemia
c. Pneumothoraks Ventil
d. Emfisema
e. Gagal napas.
8. PENATALAKSANAAN

Semua penderita yang dirawat inap di rumah sakit memperlihatkan keadaan


obstruktif jalan napas yang berat. Perhatian khusus harus diberikan dalam perawatan,
sedapat mungkin dirawat oleh dokter dan perawat yang berpengalaman. Pemantauan
dilakukan secara tepat berpedoman secara klinis, uji faal paru ( APE ) untuk dapat menilai
respon pengobatan apakah membaik atau justru memburuk. Perburukan mungkin saja
terjadi oleh karena konstriksi bronkus yang lebih hebat lagi maupun sebagai akibat
terjadinya komplikasiseperti infeksi, pneumothoraks,
pneumomediastinum yang sudah tentu memerlukan pengobatan lainnya. Efek
samping obat yang berbahaya dapat terjadi pada pemberian drips aminofilin. Dokter yang
merawat harus mampu dengan akurat menentukan kapan penderita meski dikirim ke unit
perawatan intensif. Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah
dikirim dari UGD dilakukan penatalaksaanan sebagai berikut :
a. Pemberian terapi oksigen
Dilanjutkan Terapi oksigen dilakukan megnatasi dispena, sianosis, danhipoksemia.
Oksigen aliran rendah yang dilembabkan baik dengan masker Venturi atau kateter
hidung diberikan. Aliran oksigen yang diberikan didasarkan pada nilai-nilai gas
darah. PaO2 dipertahankan antara 65 dan 85 mmHg. Pemberian sedative merupakan
kontraindikasi.
Jika tidak terdapat respons terhadap pengobatan berulang, dibutuhkan perawatan di
rumah sakit.
b. Agonis β2
Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis tiap jam, kemudian dapat
diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada perbaikan yang jelas.
Sebagian alternative lain dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dengan nebuhaler /
volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi perburukan, diberikan drips salbutamol
atau terbutalin.
c. Aminofilin Diberikan melalui infuse / drip dengan dosis 0,5- 0,9 mg/kg BB / jam.
Pemberian per drip didahului dengan pemberian secara bolus apabila belum
diberikan. Dosis drip aminofilin direndahkan pada penderita dengan penyakit hati,
gagal jantung, atau bila penderita menggunakan simetidin, siprofloksasin atau
eritromisin. Dosis tinggi diberikan pada perokok. Gejala toksik pemberian
aminofilin perlu diperhatikan. Bila terjadi mual, muntah, atau anoreksia dosis harus
diturunkan. Bila terjadi konfulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera dihentikan
karena terjadi gejala toksik yang berbahaya.
d. Kortikosteroid Kortikosteroid dosis tinggi intraveni diberikan setiap 2-8 jam
tergantung beratnya keadaan serta kecepatan respon. Preparat pilihan adalah
hidrokortison 200-400 mg dengan dosis keseluruhan 1- 4 gr / 24 jam. Sediaan yang
lain dapat juga diberikan sebagai alternative adalah triamsiolon 40- 80 mg,
dexamethason / betamethason 5-10 mg. bila tidak tersedia kortikosteroid intravena
dapat diberikan kortikosteroid per oral yaitu predmison atau predmisolon 30-60 mg/
hari.
e. Antikolonergik Iptropium bromide dapt diberikan baik sendiri maupun dalam
kombinasi dengan agonis β2secara inhalasi nebulisasi terutama
penambahan - penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian
agonis β2 sudah memberikan hasil yang baik.
f. Pengobatan lainnya
1) Hidrasi dan keseimbangan elektrolit Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis,
perlu juga pemeriksaan elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis
metabolic. Ringer laktat dapat diberikan sebagai terapi awal untuk dehidrasi dan
pada keadaan asidosis metabolic diberikan Natrium Bikarbonat.
2) Mukolitik dan ekpetorans Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita
dengan obstruksi jalan berat ekspektorans seperti obat batuk hitam dan gliseril
guaikolat dapat diberikan, demikian juga mukolitik bromeksin maupun N-
asetilsistein.
3) Fisioterapi dada Drainase postural, fibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi
lainnya hanya dilakukan pada penderita hipersekresi mucus sebagai penyebab
utama eksaserbasi akut yang terjadi.
4) Antibiotic Diberikan kalau jelas ada tanda- tanda infeksi seperti demam, sputum
purulent dengan neutrofil leukositosis.
5) Sedasi dan antihistamin Obat - obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali
di ruang perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak terbukti bermanfaat
dalam pengobatan asma akut berat malahan dapat menyebabkan pengeringan
dahak yang mengakibatkan sumbatan bronkus.
g. Penatalaksanaan lanjutan Setelah diberikan terapi intensif awal, dilakukan monitor
yang ketat terhadap respon pengobatan dengan menilai parameter klinis seperti
sesak napas, bising mengi, frekuensi napas, frekuensi nadi, retraksi otot bantu
napas. APE, fotothoraks, AGD, kadar serum aminofilin, kadar kalium dan gula
darah diperiksa sebagai dasar tindakan selanjutnya. Indikasi perawatan intensif
Penderita yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi intensif yangdiberikan
perlu dipikirkan apakah penderita akan dikirim ke unit perawatan intensif. Adapun
penderita yang memerlukan perawatan intensif yaitu
1) Terdapat tanda- tanda kelelahan
2) Gelisah, bingung, kesadaran menurun
3) Terjadi henti napas ( PaO2 < 40 mmHg atau PaCO2 > 45 mmHg ) sesudah
pemberian oksigen.
h. Penatalaksanaan lanjutan diruangan Pada penderita yang telah menunjukkan respon
yang baik terhadap pengobatan, terapi intensif dilanjutkan paling sedikit 2 hari.
Pada 2-5 hari pertama semua pengobatan intravena diganti, diberikan steroid oral
dan aminofilin oral serta agonis β2 dengan inhaler dosis terukur 6 - 8 x/ hari atau
preparat oral 3- 4 x/hari. Pada hari 5-10, steroid oral ( predmison, predmisolon )
diturunkan, obat agonis β2 dan aminofilin diteruskan ( Nugroho, 2016 )

Konsep Asuhan Kegawatdaruratan Pada Asmatikus


A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan sputum pada
jalan nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga status
asmatikus ini memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan
oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh.
b. Breathing
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya usaha napas
pasien untuk memperoleh oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada status
asmatikus pasien mengalami nafas lemah hingga adanya henti napas. Sehingga ini
memungkinkan bahwa usaha ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya
bising mengi dan sesak napas berat sehingga pasien tidak mampu menyelesaikan
satu kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak. Pada pengkajian
ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit. Pantau adanya mengi.

c. Circulation
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk memperoleh oksgien
maka jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai
dengan adanya peningkatan denyut nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula
penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi. Pulsus paradoksus, lebih dari
10 mmHg. Arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai
tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan
oksigen ini dapat menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini.
d. Disability
Pada tahap pengkajian ini diperoleh hasil bahwa pasien dengan status asmatikus
mengalami penurunan kesadaran. Disamping itu pasien yang masih dapat berespon
hanya dapat mengeluarkan kalimat yang terbata-bata dan tidak mampu
menyelesaikan satu kalimat akibat usaha napas yang dilakukannya sehingga dapat
menimbulkan kelelahan .Namun pada penurunan kesadaran semua motorik
sensorik pasien unrespon.
2. Pengkajian sekunder
- Pemeriksaan fisik head to toe.
- Pemeriksaan keadaan umum dan kesadaran
- Eliminasi Kaji haluaran urin, diare/konstipasi.
- Makanan/cairan Penambahan BB yang signifikan, pembengkakan ekstrimitas
oedema pada bagian tubuh.
- Nyeri/kenyamanan Nyeri pada satu sisi, ekspres imeringis.
- Neurosensori Kelemahan :perubahankesadaran
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
2.Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
3.Ketidakefektian perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum Intervensi :
NOC :
a. Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif.
b. Mengeluarkan sekresi secara efektif
c. Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal.
d. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
NIC :
Airway suction
a. Pastikan kebutuhan oral/ tracheal suctioning
b. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
c. Informasikan kepada klien dan keluarga tentang suctioning
d. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction nasotrakeal
e. Anjurkan alat yang steril setiap melakukan tindakan
f. Monitor status oksigen pasien.
Airway management
a. Buka jalan nafas
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Indentifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
d. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
e. Berikan bronchodilator bila perlu
f. Monitor respirasi dan status O2 2.
2.Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
NOC :
a. Pertukaran gas dan ventilasi pasien tidak bermasalah
b. Tidak menggunakan pernafasan mulut
NIC :
Airway management
a. Buka jalan nafas
b. Posiskan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Pasang mayo bila perlu
d. Lakukan suction pada mayo
e. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
f. Monitor konsentrasidan status O2
g. Terapioksigen
h. Bersihkan mulut, hidung dan secret pada trakea
i. Pertahankan jalannafas yang paten
j. Atur peralatan oksigenasi
k. Monitor aliran oksigenasi
l. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi.

Vital sign management


a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
b. Catat adanya fluktasi tekanan darah
c. Ukur tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan
d. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
e. Monitor suhu,warna dan kelembaban kulit
f. Monitor adanya tekanana nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik.

3. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi


NOC :
a. Dapat memepertahankan Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar dalam keadaan normal
b. Tidak terdapat cyanosis pada pasien
c. Pasien tdk mengalami nafas dangkal atau ortopnea
NIC :
Airway management
a. Buka jalan nafas
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Pasang mayo bilaperlu
d. Lakukan suction pada mayo
e. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
f. Monitor konsentrasi dan status O2
Respiratory monitoring :
a. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
b. Catat pengerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot
c. tambahan , retraksi otot supraclavikular dan intercostatis
d. Monitor suara nafas, seperti dengkur
e. Monitor kelelahan otot diafragma ( gerakan paradoksis )
f. Tentukan kebutuhan suction dengan mengaukultasi pada jalan nafas utama
g. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
DAFTAR PUSTAKA

Amelia Kurniati, SKp, M., Yanny Trisyani, SKp, MN, P., & Siwi Ikaristi Maria Theresia, Ns, M.
(Eds.). (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy Edisi Indonesia 1.
Singapore: Elsevier.
Kowalak, J. p., Welsh, W., & Mayer, B. (Eds.). (2017). Buku Ajar PATOFISIOLOGI
(Professinal Guide to Pathophysiology ). Jakarta: EGC.
Maria, J., Strid, C., Gammelager, H., Johansen, M. B., Tønnesen, E., & Fynbo, C. (2013).
Hospitalization rate and 30-day mortality among patients with status asthmaticus in
Denmark : a 16-year nationwide population-based cohort study, 345–355.
Morton, P. G. (2011). Keperawatan Kritis :Pendekatan Asuhan Kep. Holistik (8th ed.). Jakarta:
EGC.
Sheehy. (2010). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana. (A. dkk Kurniati, Ed.) (1st ed.).
SINGAPORE: ELSEVIER.

Anda mungkin juga menyukai