Anda di halaman 1dari 83

0. MENGAPA MENJADI MAHASISWA?

Banyak orang menjadi mahasiswa hanya karena pendapat umum bahwa setelah lulus
dari SMA seseorang harus belajar di Perguruan Tinggi (PT). Karena itu mereka tidak
mengetahui apa kewajiban mereka yang sebenarnya sebagai mahasiswa di PT. Apalagi
karena kemerdekaan Indonesia direncanakan dan diperjuangkan oleh pemuda-pemuda
yang menjadi mahasiswa. Akibatnya orang yang lulus sebagai insinyur teknik sipil bercita-
cita menjadi nega-rawan karena Presiden pertama Republik Indonesia adalah seorang
negarawan. Sebenarnya, kalau semua mahasiswa teknik sipil bercita-cita seperti itu dan
mencapai cita-cita itu, Indonesia akan kekurangan ahli-ahli teknik sipil yang tangguh,
karena semua yang telah mengalami pendidikan menjadi sarjana teknik sipil akhirnya tidak
bekerja dalam bidang teknik sipil melainkan menduduki jabatan-jabatan politik. Yang susah
dipahami orang ialah bahwa seorang sarjana teknik sipil atau sarjana pertanian yang
benar-benar bekerja dalam bidang keahliannya, adalah juga manusia pejuang pembangunan
yang mengabdi kepada bangsa dan negara.
Tulisan ini bermaksud menerangkan kepada mahasiswa baru ilmu-ilmu pertanian dan
ilmu-ilmu pengetahuan alam apa yang diharapkan daripadanya setelah ia mendaftar
menjadi mahasiswa di PT. Untuk itu pada tahap pertama ia harus memahami apa beda
pendidikan di peringkat pendidikan dasar dan menengah dengan pendidikan tinggi di
Universitas. Perbadaan utama antara pendidikan dasar dan menengah terhadap pendidikan
tinggi ialah bahwa di pendidikan dasar dan menengah siswa diberi pelajaran tentang
pengetahuan yang sudah ditemukan, sedangkan di PT mahasiswa dilatih untuk
menemukan pengetahuan baru.
Pengetahuan baru hanya dapat ditemukan oleh orang yang menemukan keganjilan
pada berbagai kejadian yang terjadi di sekelilingnya. Oleh karena itu untuk mencari pe-
ngetahuan baru seorang mahasiswa harus melatih diri untuk mempertanyakan segala
sesuatunya. Sikap mempertanyakan segala sesuatunya disusul dengan upaya mendapatkan
jawaban atau penyelesaian dari kegiatan bertanya-tanyanya itu adalah sifat utama yang
harus dimiliki seorang mahasiswa apabila ia benar-benar ingin memiliki kreativitas atau
dayacipta yang tinggi sebagai lulusan perguruan tinggi.
Agar dapat mempertanyakan segala sesuatunya mengenai pengetahuan yang sudah
dianggap mapan di dalam bidang pertanian dan pengetahuan alam, mahasiswa pada tahap
pertama harus menguasai terlebih dahulu pengetahuan dasar dalam bidang-bidang itu,
yaitu ilmu hayat, ilmu kimia, fisika, matematika, dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengetahuan
dasar seperti ini di IPB disajikan di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dalam bentuk kuliah
dan praktikum. Praktikum yang diberikan sebagai pendamping kuliah dimaksudkan agar
mahasiswa dapat mengulangi usaha mempertanyakan berbagai permasalahan yang
dilakukan oleh ilmuwan terdahulu, agar dapat menguasai sikap itu apabila tiba gilirann ya
ia harus mempertanyakan sesuatu. Mempertanyakan sesuatu dan melakukan percobaan
untuk menguji berbagai pendapatnya mengenai permasalahan yang dihadapi itu
dinamakan penelitian.
Keterampilan dasar untuk meneliti yang diperoleh di TPB ini kemudian digunakan di
tingkat-tingkat berikutnya untuk mengulangi usaha penemuan pengetahuan yang lebih
rumit. Akhirnya, di tingkat akhir. apa yang sudah diterima sebagai latihan itu diterapkan
untuk mendapatkan pengetahuan baru yang belum pernah ditemukan orang sebelumnya.
Oleh karena itu seorang mahasiswa harus dapat memahami apa hakikat ilmu pengetahuan
itu, dan apa sikap yang harus dimilikinya agar ia dapat menjadi lulusan PT yang berhasil.
Untuk itu pula ia harus mampu memilih salah satu bidang kegiatan kerja dari bianglala
jenis-jenis ilmu-ilmu pertanian dan pengetahuan alam.
Apa hakikat ilmu pengetahuan atau sains itu, serta jenis bidang pengetahuan apa yang
dihadapi dalam ilmu-ilmu pertanian dan pengetahuan alam yang terkait, akan menjadi
pokok bahasan kita dalam bab-bab selanjutnya.

1. PETUALANG DI ALAM NALAR


Telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan belajar di Universitas kita akan
mengalami pelatihan menemukan pengetahuan baru. Penemuan pengetahuan baru adalah
ke¬giatan yang dinamakan penelitian. Pengetahuan baru itu kemudian akan ditambahkan
ke kumpulan pengetahuan yang sudah ditemukan sebelumnya yang telah ditata se¬hingga
tampak saling-hubungannya. Kumpulan pengetahuan yang telah mengalami penataan
seperti ini disebut ilmu pe¬ngetahuan atau sains. Akibatnya, orang yang melakukan
kegiatan mendapatkan pengetahuan baru itu disebut juga ilmuwan.
Sering sekali seorang ilmuwan digambarkan sebagai manusia pelupa yang kelakuannya
aneh. Misalnya ada cerita tentang gurubesar zoologi yang membawa sebungkus roti di
kantung jas kirinya dan bungkusan katak bahan praktikum di kantong kanannya. Sebelum
memasuki laboratorium untuk memulai praktikum pada siang hari sang gurubesar makan
roti untuk makan siangnya. Betapa terkejutnya ia sewaktu akan memulai praktikum, ketika
yang dikeluarkannya dari saku ternyata bukan katak melainkan roti. Rupanya yang
dimakannya untuk makan siang adalah katak bahan praktikum. Pasti cerita itu hanya
lelucon saja, tetapi yang benar kejadian di Bogor dengan dosen zoologi yang senang
merokok sewaktu memberi kuliah ialah bahwa pada suatu ketika kapur yang masuk ke
dalam mulut dan ujung rokok yang membara dituliskan ke papantulis. Hal itu membuat
semua mahasiswa tertawa dan sejak saat itu sang gurubesar tidak pernah lagi menyulut
rokok di dalam ruang kuliah.
Ilmuwan boleh jadi sering berperilaku pelupa, tetapi ketika ia sedang menghadapi
pekerjaan yang memerlukan perhatian penuh, ia pasti tidak pernah pelupa. Kalau saja ia
pelupa, umurnya tidak akan panjang karena tentu akan ada ledakan di laboratoriumnya
yang membuat nyawanya melayang. Bahwa perilakunya aneh sebenarnya tidak aneh
untuknya sendiri tetapi mungkin dapat dianggap aneh oleh orang yang tidak mengerti.
Karena itu sebelum kita berbincang-bincang mengenai perkembangan ilmu ada baiknya kita
mengikuti terlebih dahulu cerita-cerita tentang ilmuwan yang sekaligus dapat memberikan
gambaran kepada kita tentang perilaku mereka yang tidak lepas baik dari ke giatan mereka
sehari-hari maupun dari sifat mereka sebagai manusia.

1.1. Sekali Ilmuwan Tetap Ilmuwan


Seorang gurubesar matematika di Fakultas Pertanian Bogor pada pertengahan tahun-
tahun limapuluhan tersesat di Bandung dengan dua orang gurubesar lain. Ketiganya
bangsa Belanda dan tidak dapat berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa Sunda. Untuk
menanyakan arah yang benar kepada orang di tepi jalan dengan demikian bukanlah
pekerjaan yang mudah. Karena itu terdiam sebentar sang gurubesar matematika itu
bertanya kepada kedua orang rekannya, apakah mereka tahu bagaimana bentuk denah kota
Bandung. Kalau bentuknya memanjang, ada gunanya untuk mencoba-coba sendiri
menemukan jalan yang benar, sebab kalau setelah menempuh satu arah tempat yang dituju
tidak ditemukan juga, pasti arah yang benar adalah arah kebalikannya. Lain halnya kalau
bentuk Bandung bundar seperti lingkaran. Kalau diketahui kemudian bahwa arah yang
ditempuh salah, masih banyak lagi arah-arah yang lain yang harus dicoba. Dalam hal
seperti ini katanya lebih baik berusaha bertanya kepada orang di tepi jalan, walaupun harus
dengan menggunakan bahasa Tarzan, Sang Raja Semua Kera. Cerita itu pada tahun-tahun
limapuluhan menimbulkan gelak dan tawa baik di kalangan gurubesar lainnya, apalagi di
kalangan mahasiswa, akan tetapi sebenarnya sang gurubesar matematika telah berusaha
berpegang pada prinsip pengambilan keputusan secara kuantitatif dengan menggunakan
apa yang disebut sebagai fungsi kerugian. Kalau peluang menempuh arah yang salah sama
dengan setengah, seperti pada kasus kota yang bentuknya memanjang, lebih baik
mengambil risiko berbuat salah dengan menempuh arah yang salah daripada berusaha
menerangkan dengan bahasa Tarzan apa yang ingin diketahui dari orang di tepi jalan
tentang arah tujuan yang benar. Kebalikannya, kalau kota Bandung berbentuk melingkar,
peluang menemukan arah yang benar dengan cara coba-coba sangat kecil sehingga
kerugian karena kemubaziran membuang waktu menjadi besar. Pada keadaan seperti itu
lebih menguntungkan mencoba bertanya-tanya dengan bahasa Tarzan kepada orang yang
sedang duduk-duduk di tepi jalan. Yang dianggap aneh oleh orang awam itu dengan
demikian sebenarnya hanyalah ketaatazasannya menerapkan prinsip ilmiah yang dianutnya
terhadap permasalahan yang dihadapinya sehari-hari.
Dengan demikian di dalam kamus perilaku seorang ilmuwan sejati tidak akan ada
tindakannya yang akan dilakukannya bertentangan dengan pengetahuan yang telah
dihayatinya. Apabila ada misalnya seorang ilmuwan yang pernah mempelajari fisika, ia
tidak akan mengebut dengan kendaraannya di jalan lintas-cepat Jagorawi dengan kecepatan
140 km./jam membuntuti sebuah bus dua meter di belakang ekornya. Pengetahuannya
tentang kinematika akan mengatakan kepadanya bahwa pada kecepatan seperti itu ia tidak
mungkin mempunyai waktu yang cukup untuk melambatkan laju kendaraannya apabila
bus di depannya tiba-tiba menghadapi suatu hambatan.
Banyak orang yang mengemudi mobil yang bagus dan baru selalu mengekor di
belakang kendaraan lain dengan kecepatan setinggi itu di jalan lintas-cepat Jagorawi.
Banyak pula di antara mereka itu yang menguasai fisika dengan baik, tetapi tidak
menerapkannya sewaktu mengemudi. Orang awam tidak menganggap mereka aneh
bahkan menilai mereka itu sebagai pemberani. Akan tetapi dari segi perilaku mereka tidak
dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan sejati walaupun misalnya mereka itu bergelar
sarjana dalam bidang pengetahuan alam.
Seorang dosen Fakultas Kedokteran Hewan Bogor yang sedang melaksanakan tugas-
belajarnya di luar negeri ternyata tertulari penyakit Kusta. Penyakit itu mungkin sekali
diidapnya sebagai hasil infeksi sewaktu ia di Bogor sebelum berangkat ke luar negeri,
mengadakan penelitian tentang penyakit kusta itu pada hewan. Setelah ketahuan mengidap
tahap-tahap awal penyakit kusta, ia mendapatkan perawatan khusus dalam ruang terisolasi
di rumahsakit perguruan tingginya. Pada waktu itu juga ia mengambil keputusan untuk
memilih sebagai judul penelitiannya suatu permasalahan tentang penyakit kusta. Pada
suatu ketika dalam rangka memenuhi persyaratan seminarnya ia menyajikan pembahasan
tentang penyakit kusta. Setelah seminar selesai, yang hadir baru sadar bahwa apa yang
diceritakannya sebagai hasil penelitiannya tentang pengaruh langsung dan pengaruh
sampingan obat penyakit kusta sebagian besar telah dilakukannya dengan menggunakan
tubuhnya sebagai kelinci percobaan.
Cerita itu mirip apa yang telah dilakukan oleh Profesor Francis Weld Peabody dari
Sekolah Kedokteran Harvard. Pada bulan November tahun 1926 ia memberi kuliah tentang
“Perawatan Orang Sakit”. Kuliah ini dicetak-ulang berkali-kali karena jelasnya cara
menerangkannya tentang perawatan penderita penyakit kanker yang tidak mungkin
ditolong dengan operasi. Tidak ada orang yang sadar pada ketika itu bahwa apa yang
diceritakannya berdasarkan pengalamannya sendiri. Teman semasa kecilnya William James
bercerita tentang bulan-bulan terakhir kehidupannya, bahwa Peabody telah menulis
laporan rumahsakitnya yang terakhir satu hari sebelum ia meninggal dunia.
Cerita lain lagi yang serupa terjadi dengan Gertrude Mary Cox, ahli statistika dan
perancangan percobaan yang juga menjadi pendiri Departemen Statistika di Universitas
Negara Bagian Karolina Utara, Raleigh dan Universitas Karolina Utara, Chapel Hill. Pada
usia lewat 80 tahun ia diserang penyakit kanker darah leukemia dan dirawat di Rumah
Sakit Universitas Duke di Durham, Karolina Utara. Ia menawarkan dirinya menjadi
sukarelawan mencoba semua obat baru yang diperkirakan dapat menyembuhkan penderita
leukemia. Semua obat yang dicobanya dan apa yang dirasakannya setelah meminum obat
itu dicatatnya dengan teliti. Ia pun selaku ahli perancangan percobaan menasehati para
dokter tentang rancangan pengobatan yang harus dilakukan agar hasilnya dapat
disimpulkan secara sahih. Setiap kali dokter datang memeriksanya pada pagi hari, yang
pertama dimintanya ialah catatan pribadi Gertrude Cox, karena catatannya selaku ahli
perancangan percobaan jelas lebih rapi dan cermat dibandingkan dengan catatan dokter itu
sendiri. Setelah ia meninggal, keesokan harinya dokter datang lagi untuk mengambil buku
catatan Gertrude yang maksudnya akan disimpan di dalam arsip penelitian. Ketika dokter
itu membaca halaman terakhir buku catatan yang ditulis oleh Gertrude itu ia terkejut
bercampur haru. Kalimat terakhir yang ditulis Gertrude ialah: “Dan sekarang sayalah yang
menjadi petak percobaan!” Sampai akhir hayatnya Gertrude Cox adalah seorang ilmuwan
sejati.

1.2. Ilmuwan Tidak Pernah Putus Asa


Sering sekali orang menduga bahwa penemuan seorang ilmuwan timbul karena ilham
yang diperoleh secara tiba-tiba. Karena itu timbul pendapat bahwa keberhasilan seorang
ilmuwan hanyalah sebagian dari keberuntungannya saja. Yang benar adalah bahwa
memang ilmuwan memperoleh penemuan sering sekali karena mendapat ilham. Akan
tetapi ilham itu tidak akan menjadi ilham kalau ia tidak memiliki daya nalar yang kuat.
Misalnya saja Alastair Pilkington, kepala bagian teknik suatu pabrik kaca di Inggris
mendapatkan ilham bagaimana membuat lempeng kaca tanpa harus mengupamnya dari
pengamatannya tentang lapisan tipis sabun di permukaan air pencuci piring sewaktu
istrinya sedang bekerja di dapur. Ia meniru gejala fisika itu dengan mencoba menuangkan
bahan gelas cair ke atas permukaan timah yang cair. Baik batas permukaan sabun dengan
air yang lebih berat dari sabun, maupun batas permukaan lempeng gelas cair dengan timah
cair yang lebih berat dari gelas cair, di bawah pengaruh gravitasi bumi sama-sama me-
rupakan bidang datar. Untuk dapat menjadikan peristiwa terapungnya lapisan sabun di
atas air menjadi ilham, Pilkington harus mampu melihat adanya persamaan antara lapisan
sabun yang mengambang di atas permukaan air dengan lapisan gelas cair yang
mengambang di atas timah cair.
Tidak selamanya suatu ilham dapat diterapkan dengan segera menjadi suatu
pengetahuan yang berguna. Dari berbagai pengamatan, Raymond Damadian yang adalah
seorang dokter ahli penyakit-dalam berkesimpulan bahwa sel-sel sumber tumor di dalam
tubuh manusia mengandung kadar air dan kadar mineral terutama kalium dan natrium,
yang berbeda. Kalau selama ini penelusuran ada tidaknya tumor dilakukan dengan
menggunakan sinar-X yang membahayakan penderita, ia memimpikan suatu alat yang
dapat membedakan kedua jenis sel itu tanpa membahayakan penderita. Cita-citanya itu
sudah dimilikinya sejak ia masih seorang anak laki-laki remaja, ketika ia melihat sendiri
bagaimana bibinya yang sangat dicintainya harus mengalami penderitaan yang sangat berat
sebelum meninggal karena mengidap penyakit kanker payudara.
Pada tahun 1971 Damadian menerbitkan suatu makalah di dalam majalah Science yang
menyatakan bahwa prinsip resonansi inti magnetik (Nuclear Magnetic Resonance _ NMR)
dapat digunakan untuk membedakan sel jaringan yang sakit karena tumor dari sel jaringan
yang sehat. NMR itu sendiri ditemukan oleh dua orang Fisikawan Edward M. Purcell dari
Universitas Harvard dan Felix Bloch dari Universitas Stanford. Untuk penemuan itu yang
dipublikasikan pada tahun 1946 di majalah Physical Review, keduanya memenangkan
Hadiah Nobel Fisika pada tahun 1952. Pendapat Damadian itu setengah ditertawakan orang
karena untuk mendapatkan alat NMR yang dapat merekam perbedaan yang dikatakannya
itu harus dapat diciptakan magnet raksasa, sedangkan magnet raksasa yang digunakan
orang pada waktu itu untuk alat NMR yang hanya dapat dimasuki benda sebesar tabung
reaksi terdiri atas magnet buatan yang bersifat superkonduktor. Untuk itu perlu
pendinginan dengan helium cair yang sudah barang tentu sangat mahal. Selain itu teori
yang digunakan oleh Damadian mengenai susunan sel yang sehat dan sakit berasal dari ahli
Fisiologi Ling, yang diragukan kebenarannya oleh sebagian besar masyarakat ilmuwan
dalam bidang itu.
Akan tetapi Damadian tidak putus asa. Hanya semangat-nya yang membara saja yang
membuat beberapa pihak percaya kepadanya dan berani meminjamkan modal untuk
proyek penelitiannya itu. Akhirnya ia mampu membuat magnet raksasa permanen yang
tidak perlu harus diumpani helium cair dan listrik. Berkat kegigihannya meneliti itu
akhirnya terciptalah alat NMR yang cukup besar, yang dengan bantuan komputer mampu
membuat citra jaringan tubuh manusia yang dimasukkan seutuhnya ke dalam alat tersebut,
pada layar pemantau yang berwarna. Tetapi dari awal usahanya sampai ia berhasil ia
memerlukan 12 tahun dan menghadapi berbagai macam kecaman dan ejekan. Bahkan ia
pernah berusaha menghubungi Presiden Jimmy Carter untuk memohonkan bantuan dana
penelitian di kediaman pribadi Presiden itu di Plains, Georgia. Akan tetapi permohonan
bertemu saja tidak diperolehnya.

1.3. Ilmuwan adalah Penegak Kebenaran


Dalam usahanya menemukan pengetahuan yang baru, seorang ilmuwan selalu
berusaha atas dasar pengetahuan yang benar. Tanpa didasari pengetahuan yang benar, pe-
ngetahuan yang dikembangkannya kemudian akan menjadi goyah dan dalam waktu yang
singkat tidak dapat dipertahankan lagi sebagai pengetahuan yang sahih. Karena itu seorang
ilmuwan sejati selalu menghadapi risiko dianggap sebagai pembangkang oleh masyarakat,
apakah itu oleh orang awam, kelembagaan keagamaan, ataupun oleh suatu sistem
pemerintahan. Andrei Sakharov misalnya ialah contoh tentang seorang ilmuwan yang
bertaat-azas terhadap pendapatnya yang tidak disenangi pemerintah. Penderitaannya
dalam buangan dapat dibaca di antaranya dalam buku yang ditulis istrinya yang juga
ilmuwan, yaitu Elena Bonner.
Contoh klasik tentang pertentangan yang muncul antara ilmuwan dan agamawan ialah
tentang penghukuman Galileo Galilei, yang bertentangan dengan pendapat agamawan
mendukung pendapat Copernicus yang menyatakan bahwa bukan matahari yang beredar
mengitari bumi, melainkan bumi yang beredar mengitari matahari. Demikian pula dapat
dikemukakan larangan pemerintah Uni Soviet di bawah pimpinan Stalin untuk
mengembangkan genetika berdasarkan teori Mendel, yang pemukanya ialah T. D. Lyssenko.
Sebagai akibat diutamakannya pandangan Mitschurin yang mengatakan bahwa pengaruh
lingkungan dapat diwariskan dari tetua ke zuriat, program pemuliaan tanaman di Uni
Soviet mengalami hambatan karena dikembangkan atas dasar pengetahuan yang tidak
sahih.
T. D. Lyssenko bertindak mengucilkan genetika Mendel dari pengembangan ilmu di
Uni Soviet dengan alasan ingin menyesuaikan biologi dengan falsafah kenegaraan. Sebagai
akibatnya tokoh pemuliaan tanaman Rusia Vavilov, yang dihormati dalam kalangan
internasional tersingkir dan tersungkur, walaupun sesungguhnya hanya dialah yang dapat
menyelamatkan program pemuliaan tanaman gandum di Uni Soviet dari kehancuran.
Kejadian seperti itu tidak hanya mungkin terjadi di negara yang kurang bebas iklim
berpikirnya. Di Inggris pun terjadi suatu malapetaka ilmiah karena ada seorang ahli
psikologi kenamaan yang memalsu data penelitian agar orang percaya bahwa kemampuan
seorang anak terutama ditentukan oleh sifat-sifat keturunan yang diwariskan dari tetua ke
zuriat. Ahli psikologi itu adalah Cyril Burt yang di luar kekeliruannya yang fatal ini adalah
seorang ilmuwan terhormat. Dengan menganut pendapat ini dapat diterima pandangan
bahwa hanya anak orang yang pandai saja yang dapat menjadi orang yang pandai, sebab
kepandaian itu adalah suatu ciri yang diwariskan secara genetik dari tetua ke zuriat.
Akibatnya di Inggris sejak waktu yang dini telah diadakan pemisahan jalur pendidikan bagi
mereka yang berkecenderungan akademik yang tinggi dari mereka yang berkecenderungan
mekanis. Di Austria pun pendapat Burt ini pernah diterapkan. Akibatnya lebih banyak anak
laki-laki disalurkan ke pendidikan kejuruan sejak lepas dari sekolah dasar dan kebanyakan
mahasiswa perguruan tinggi yang tentunya bersifat akademik berjenis kelamin perempuan.
Hal tersebut adalah akibat bahwa pada usia lepas sekolah dasar seorang anak laki-laki
memiliki kecenderungan mekanistik yang lebih tinggi daripada seorang anak perempuan.

1.4. Ilmuwan Harus Berani Menyatakan Pendapat Secara Jujur


Dengan adanya contoh-contoh akibat ketidakjujuran akademis seperti ini, dapatlah
dipahami bahwa pendidikan menjadi ilmuwan penuh dengan rambu-rambu yang meng-
ingatkan orang agar selalu mempertahankan kebenaran dan berani mengemukakan
pendapat dengan jujur. Untuk itu saya ingin menampilkan beberapa pengalaman saya
tentang perlunya seorang penuntut ilmu mempunyai keberanian menyatakan apa yang
diyakininya secara jujur.
Pengalaman pertama saya yang selalu tidak dapat saya lupakan terjadi pada tahun
1950/1951. Ketika itu saya duduk di kelas dua Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA)
Bogor. Walaupun hanya sebuah sekolah kejuruan menengah atas, guru Limnologi saya itu
yang juga adalah guru Zoologi saya di kelas satu adalah seorang sarjana Biologi. Ketika
nyonya ahli Biologi itu memberi penjelasan mengenai peralihan energi hasil asimilasi
fitoplankton ke dalam tubuh ikan herbivora, ada beberapa hipotesis-kerjanya yang tidak
dapat saya pahami. Sewaktu kemudian guru itu bertanya pada akhir pelajaran apakah ada
murid yang tidak memahami pelajarannya, saya mengacungkan tangan saya dann
memohonkannya untuk menerangkan kembali mengapa hipotesis-kerja itu yang dipakai.
Menurut pendapat saya hipotesis-kerja itu belum tentu masuk akal.
Beliau pun mencoba menjelaskan lagi mengapa hipotesis-awal itu yang dipilih sebagai
landasan berpikir selanjutnya. Tiga kali beliau mencoba menjelaskannya kepada saya
dengan cara yang berbeda, akan tetapi tetap saja saya tidak dapat memahaminya. Akhirnya,
dengan setengah putus asa beliau menyatakan tidak mempunyai cara lain lagi untuk
menjelaskannya kepada saya. Tetapi beliau masih sempat menyatakan terima kasihnya
kepada saya atas keterusterangan saya untuk mengatakan bahwa saya masih tetap saja
belum memahami penjelasannya itu. Saya merasa telah banyak menyusahkan beliau dan
untuk mengobati hati beliau saya mengucapkan terima kasih juga. Saya katakan juga bahwa
hipotesis-kerja itu akan saya terima saja bulat-bulat sebagai suatu aksioma yang tidak lagi
dipermasalahkan lebih lanjut. Kalau beliau menanyakan hal itu di dalam ujian, akan saya
jawab sesuai dengan apa yang beliau terangkan, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa saya
mengerti apa yang beliau terangkan. Akan tetapi, saya juga mengharapkan, bahwa pada
suatu ketika kalau beliau menemukan jalan lain untuk menerangkan hal itu sekali lagi
kepada saya, beliau berkenan melakukan hal tersebut, walaupun pelajaran Limnologi itu
sudah selesai diujikan.
Di luar perkiraan saya, beberapa tahun kemudian, ketika saya sudah duduk di tingkat
tiga Fakultas Pertanian di Bogor, datanglah suratnya kepada saya dari Nederland. Di
dalamnya beliau berkata bahwa selama ini saya tidak memahami apa yang diterangkannya
itu tidak lain karena hipotesis-awal yang dipakai itu memang salah. Pertanyaan saya di
dalam kelas dahulu itu membuatnya selalu bertanya-tanya. Untuk memuaskan diri, beliau
sudah mengadakan penelitian mengenai hal itu dan hasil percobaan menunjukkan bahwa
hipotesis-kerja itu tidak dapat dipertahankan. Hasil penelitian sudah diterbitkan dan
makalahnya beliau kirimkan dengan pos laut. Pada akhir suratnya, beliau sekali lagi
mengucapkan terima kasih karena telah mendapatkan masalah untuk dijadikan bahan
penelitian. Beliau juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya mungkin maju kalau
kita bebas mempertanyakan bagian-bagian ilmu itu yang sudah dianggap sebagaii
kebenaran umum.
Sering saya bertanya-tanya dalam diri saya apa jadinya nasib saya kalau saja beliau itu
berperilaku sebagai guru yang marah kepada muridnya yang mempertanyakan kebenaran
pelajaran yang diberikan gurunya di depan kelas. Mungkin sekali saya akan dicap sebagai
seorang pembangkang yang ingin menguji kemampuan dan kedalaman pengetahuan
gurunya. Untunglah guru saya seorang ilmuwan yang pandangannya sangat terbuka. Hal
itu pula yang menyebabkan saya berpendapat bahwa untuk pendidikan sains di SMA
seorang guru harus lebih banyak bobot perilaku ilmuwannya.
Bahwa seorang ilmuwan itu diharapkan sekali kejujuran akademisnya saya alami juga
ketika menghadapi ujian akhir lisan mempertahankan disertasi yang telah saya tulis. ketika
itu promotor saya sudah hampir menutup sidang. Tiba-tiba salah seorang penguji kiriman
Sekolah Pascasarjana menginginkan untuk bertanya kembali. Ia bertanya kepada saya
apakah saya tahu ikan yang namanya Chanos chanos. Di dalam diri saya berpikir apa
urusannya ahli satwa liar itu bertanya mengenai ikan bandeng di dalam suatu ujian
disertasi mengenai statistika genetik. Tetapi saya jawab juga bahwa yang dimaksudkan
dengan Chanos chanos itu adalah ikan bandeng yang di dalam bahasa Inggris biasa juga di-
sebut milk-fish yang arti harfiahnya ialah ikan susu. Baru kemudian saya sadari bahwa per-
tanyaan yang diajukan dalam bidang ilmu yang samasekali di luar bidang ilmu calon
doktor yang diuji itu juga bertugas untuk meningkatkan kemampuannya menemukan
ilham yang dapat diterapkan dalam bidang ilmunya sendiri, seperti halnya Pilkington
menemukan ilham bagaimana caranya membuat lempeng kaca yang tidak perlu diupam
dari lapisan sabun yang mengambang di bak cucipiring di dapur istrinya.
Kemudian ia bertanya lagi bagaimana caranya petambak ikan di Jawa membiakkan ikan
bandeng agar mendapatkan nenernya. Dengan segera saya sadar bahwa ia ingin menjebak
saya. Saya katakan bahwa apabila kita mampu menyuruh ikan bandeng betina bertelur di
tambak dan ikan bandeng jantan menebarkan nutfah jantan ke atas telur itu, serta kemudian
kita mampu menjaga agar telur yang telah dibuahi itu dapat menetas di dalam tambak,
maka kita sebenarnya telah membuat terobosan atau revolusi di dalam ilmu pemeliharaan
ikan. Ia tertawa, karena hingga sekarang nener bandeng hanya kita peroleh dengan
menjaringnya di sepanjang pantai utara Jawa Timur pada musim tertentu. Akhir-akhir ini
memang mereka di Filipina telah berhasil membuahkan nener di dalam lingkungan
perairan tertutup. Sewaktu promotor saya hampir menutup sidang untuk kedua kalinya
ada lagi penguji lain yang ingin bertanya. Sekali ini yang bertanya ialah salah seorang
pembimbing disertasi saya yang adalah seorang ahli genetika. Ia bertanya apakah saya
dapat menerangkan apa yang dimaksudkan dengan istilah genetika tertentu. Saya katakan
bahwa istilah itu dipakai sebagai judul suatu buku yang baru saja diterbitkan oleh seorang
pakar genetika dari Universitas Kalifornia. Bukunya baru saja saya bolak-balik di rak buku
tempat memajang buku-buku baru di perpustakaan. Akan tetapi saya belum sempat
membacanya karena saya sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian disertasi ini. Kalau
saja saya tahu hal itu akan ditanyakan di sini, pasti buku itu saya pelajari dengan sungguh-
sungguh. Akan tetapi garis besar makna istilah itu disimak dari arti harfiahnya dalam
bahasa Latin ada sangkut-pautnya dengan kekenyalan suatu masyarakat makhluk hidup
menghadapi tantangan lingkungan yang disebabkan keragaman susunan genetik anggota
populasi makhluk hidup itu.
Ia mengangguk tanda setuju. Tetapi ia ingin menanyakan satu hal lagi. Pertanyaannya
yang penghabisan membuat saya terdiam karena ia menanyakan arti suatu istilah yang
belum pernah saya dengar. Setelah barangkali terdiam selama beberapa menit saya
menyerah kalah. Saya sangka saya akan kembali ke Indonesia dengan sia-sia. Paling untung
saya akan disuruh kembali tiga bulan kemudian sedangkan masa beasiswa saya sudah
hampir habis. Tetapi anehnya ia hanya tertawa saja dan kemudian mengatakan agar jangan
resah kalau saya tidak dapat menjawab pertanyaannya itu. Kemudian saya balik bertanya
apa sebenarnya arti istilah yang ditanyakannya itu. Ia tertawa lagi terbahak-bahak. “Saya
juga tidak tahu,” katanya. “Mengapa tuan tanyakan kepada saya?” tanya saya lagi. “Siapa
tahu kamu tahu!” katanya.
Rupanya gurubesar saya itu ingin menguji apakah saya memiliki kejujuran akademik
dan berani menyatakan ketidaktahuan saya kalau saya tidak tahu mengenai sesuatu.
Sampai sekarang, kalau peristiwa yang terjadi seperempat abad yang lalu itu saya kenang
kembali, timbul pertanyaan dalam diri saya, apakah gurubesar saya itu tahu sifat orang
Timur yang malu mengaku bahwa ia tidak tahu.

1.5. Ilmuwan Juga Manusia yang Tidak Sempurna


Dalam usaha memburu ilmu, seorang ilmuwan selalu berusaha mendapatkan nama
dengan berusaha menemukan pengetahuan baru. Oleh karena itu terhadap ilmuwan lain di
dalam bidangnya, selain menganggapnya sebagai rekan sejawat, ia juga menganggapnya
sebagai saingan. Adakalanya pengetahuan yang diperoleh seorang ilmuwan membantu
ilmuwan lain untuk mendapatkan penemuan baru yang lain jenisnya. Akan tetapi apabila
dua orang ilmuwan secara tidak sadar bekerja dan menemukan suatu pengetahuan baru
yang sama, tidak jarang antara kedua ilmuwan itu muncul sikap bermusuhan karena
merasa kurang dihargai. Demikianlah antara Raymond Damadian dengan Lauterbur terjadi
perang dingin karena mereka mempunyai pandangan yang mirip dalam hal penggunaan
NMR untuk bidang kedokteran.
Demikian pula antara Fisher dan Neyman terjadi permusuhan besar karena cara mereka
menangani suatu permasalahan statistika yang sama sangat berbeda prinsipnya.
Permusuhan besar itu makin menghebat lagi karena cara Neyman mendebat Fisher sangat
kaku, sedangkan sebenarnya yang mengusahakan sehingga Neyman mendapatkan
pekerjaan adalah Fisher sendiri.

1.6. Siapa Saja yang Berbakat Ilmuwan


Lepas dari persoalan apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan bakat itu, kita dapat
bertanya-tanya apa saja yang membuat seorang anak akhirnya berminat untuk menjadi
ilmuwan dalam bidang tertentu. Dari berbagai riwayat hidup ilmuwan yang dapat kita baca
dapat disimpulkan bahwa peranan lingkungan kekeluargaan sangat penting dalam
membangkitkan sikap ilmiah. Sikap ilmiah itu muncul karena lingkungan-didiknya itu
tidak mematikan sikap ingintahu yang dimilikinya sebagai seorang anak.
Sikap ingintahu itu mula-mula diterapkan oleh seorang anak terhadap dirinya sendiri,
dan sesudah menjadi manusia dewasa, sebagai peneliti ia sering menggunakan dirinya sen-
diri sebagai obyek penelitian. J. B. S. Haldane misalnya, yang ayahnya adalah seora ng ahli
oseanografi yang menciptakan alat penyelam untuk penyelidikan bawah-laut, secara
sukarela menjadi kelinci percobaan untuk menguji keampuhan alat penyelam ciptaan
ayahnya tersebut. Sifat pemberani J. B. S. Haldane itu mungkin sekali juga didorong oleh
rasa percaya-diri yang sangat kuat, yang sering-sering berubah menjadi perasaan anggap-
enteng terhadap kemampuan orang lain. Hal itu diungkapkan oleh John Maynard Smith,
seorang ilmuwan biologi ternama, dengan menyatakan bahwa sebagai teman sekolah ia
takut bergaul terlalu dekat dengan J. B. S. Haldane, yang selalu membuatnya merasa
rendah-diri.
Sekaligus juga dapat dikemukakan bahwa sering sekali seorang ilmuwan terkenal
berasal dari latar belakang keluarga ilmuwan juga, seperti halnya dengan J. B. S. Haldane,
serta banyak pemenang hadiah Nobel Amerika Serikat yang beragama Protestan dan
Katolik. Hanya pemenang hadiah Nobel Amerika Serikat yang berasal dari golongan etnik
Yahudi banyak juga yang berasal dari latar belakang bukan-ilmuwan. Alasan yang
ditemukan Harriet Zuckerman untuk hal itu ialah bahwa dalam suasana pendidikan Yahudi
prestasi akademik sangat dihargai lepas dari latar belakang keluarga. Hal itu juga dapat
disimpulkan dari riwayat hidup Feynman.
Pengaruh adanya guru sains yang memikat juga sangat jelas dalam pembentukan minat
dan kemampuan seseorang agar menjadi ilmuwan yang ternama. Kebanyakan pemenang
hadiah Nobel Amerika Serikat dalam bidang sains, dalam perjalanan hidupnya biasanya
pernah menjadi murid atau menjadi magang peneliti di bawah asuhan seorang ilmuwan
lain yang adalah pemenang hadiah Nobel atau pada suatu ketika di kemudian hari menjadi
pemenang hadiah Nobel. Selain itu terutama bagi ilmu-ilmu yang rumit seperti matematika
dan fisika, banyak sekali ilmuwan itu tertarik ke bidang ilmu itu karena mempunyai guru
bidang ilmu itu yang sangat mengagumkan sewaktu mereka belajar di sekolah menengah
atas. Tampaklah betapa pentingnya peran guru dalam mengembangkan minat muridnya
untuk menjadi ilmuwan sains, terutama apabila muridnya bukan berasal dari keluarga yang
latarbelakangnya bukan bercorak akademis.

1.7. Kesimpulan
Dari pembahasan pengalaman hidup ilmuwan seperti telah tersurat di atas dapat
disimpulkan bahwa pengetahuan baru sebagai sasaran perburuan seorang ilmuwan
diperoleh sebagai hasil petualangan para ilmuwan mengkhayal di alam nalar. Pengetahuan
baru itu hanya dapat diciptakan oleh para ilmuwan apabila mereka mempunyai daya-
khayal dan daya-cipta yang asli, diupam oleh pengamatan-pengamatan yang
kebenarannya selalu diuji berulang-ulang. Selain itu lingkungan sosial ilmuwan itu juga
harus dapat menenggang dan menerima ilmuwan itu sebagai orang yang harus dapat
berpikir dan bernalar tanpa kendala, apabila memang diharapkan dari ilmuwan itu bahwa
ia akan menghasilkan pengetahuan baru yang benar secara ilmiah.
Adakalanya pengetahuan baru itu kemudian ditambahkan ke kumpulan pengetahuan
lain yang sudah lebih dahulu ditemukan, akan tetapi adakalanya pula pengetahuan baru itu
menyebabkan ada beberapa butir pengetahuan lama yang akhirnya dinyatakan tidak benar.
Kumpulan pengetahuan yang butir pengetahuannya selalui diperbaharui itu oleh para
ilmuwan digolong-golongkan dan ditata sehingga menghasilkan pernyataan-pernyataan
yang berlaku secara umum. Kumpulan pengetahuan yang telah ditata dengan aturan
tertentu ini disebut sains atau ilmu pengetahuan. Karena butir pengetahuan yang menyusun
khazanah ilmu pengetahuan ini seperti telah dikatakan sebelumnya selalu berubah-ubah
dari masa ke masa, maka sebagai akibatnya ilmu pengetahuan selalu mengalami perubahan
dan perkembangan dari masa ke masa.
Tujuan kita dalam mempelajari Perkembangan Ilmu Pengetahuan ialah untuk meniti
sejarah. Dengan melihat ke belakang kita telusuri berbagai peradaban manusia di dunia ini
yang datang silih berganti membawa berbagai penemuan baru yang akhirnya berkembang
menjadi sains dan teknologi yang kita kenal sekarang. Setelah melihat ke belakang,
mudah-mudahan kita dapat memandang jauh ke muka dengan menggunakan pengalaman
masa lalu sebagai tuntunan agar dapat mempunyai pandangan terbuka meng-hadapi
tuntutan perubahan zaman yang pasti akan kita hadapi di masa depan.

2. DARI PENGALAMAN MENJADI PENGETAHUAN

2.1. Pengetahuan Membuat Api


Mari kita bayangkan kehidupan di zaman purba. Pada suatu ketika halilintar
menyambar pohon dan menyebab¬kan batangnya terbakar. Timbullah api dan kebakaran
hutan. Ada rusa yang terkepung api dan mati terbakar. Setelah api reda, datanglah manusia
dan ia menemukan rusa yang setengah terbakar itu. Karena bau daging terbakar itu
merangsang, dicobanya menggigit-gigit bagian yang belum menjadi arang. Diperolehnyalah
pengetahuan bahwa daging bakar lebih sedap rasanya.
Bukan saja hewan terbakar yang ditemukannya. Mungkin saja ada jagung yang
terpanggang api dan secara tidak sengaja ia pun menemukan bagaimana sedapnya rasa
jagung bakar. Timbullah pengetahuannya bahwa makanan yang biasanya dapat dimakan
mentah boleh jadi lebih enak rasanya apabila dibakar. Setelah ia mengetahui bagaimana
merebus air hingga mendidih, selain memasak makanan dengan membakar timbul pula
pengetahuannya tentang bertanak nasi atau merebus jagung dan sayuran. Makin penting
saja bagi manusia adanya api. Karena itu ia ber¬usaha menyimpan api dalam bentuk bara
kayu karena belum tahu bagaimana cara membuat api.
Ia juga menemukan bahwa api dapat digunakan dengan mudah untuk merambah
hutan agar dapat dijadikan lahan bercocoktanam. Muncullah kemudian usaha pertanian
pertama di atas ladang yang berpindah-pindah dengan menggunakan teknik pembakaran
hutan. Manusia juga mengamati bahwa permukaan tanah yang terbakar ada¬kalanya
menjadi keras. Muncullah pengetahuan membuat gerabah dan tembikar.
Selain itu juga secara tidak sengaja manusia mengamati bahwa pembenturan batu jenis
tertentu dapat menghasil¬kan percikan api. Ditemukannya pula bagian tumbuhan
berbentuk bulu atau rambut yang apabila dikeringkan dapat menampung percikan api itu
dan membuatnya menyala. Setelah pada suatu ketika manusia pandai me¬nuang besi,
dibuatnyalah pemantik api dari besi dan batu api. Demikian pula, sewaktu menggeser-geser
balok kayu, manusia menemukan bahwa bidang-gesek menjadi panas dan kemudian
berasap. Pengalaman ini membuatnya menemukan pengetahuan membuat api dengan
menggurdi lubang pada kayu yang lebih lunak menggunakan gurdi kayu yang lebih keras.
Pada lubang yang berisi serbuk kayu itu kemudian timbul asap karena serbuk kayu
me¬nyala. Timbullah pula pengetahuan baru manusia bagai¬mana caranya membuat api,
sehingga apabila kebetulan api simpanan dalam bentuk bara mati tersiram hujan, manusia
masih dapat membuat api tanpa harus menunggu ada pohon yang terbakar disambar petir

2.2. Dari Jampi-jampi Menjadi Ramuan Obat


Dari antara anggota suku manusia purba itu mungkin ada orang tertentu yang diberi
tugas mengobati orang yang sakit. Dukun obat ini mungkin sekali mula-mula mencoba
mengobati teman sesukunya dengan jampi-jampi sambil menggosok-gosokkan dedaunan
tumbuhan kepada penderita sakit. Untuk mendapatkan kekuatan yang lebih dari manusia,
mungkin sekali dia juga menggantungkan kalung taring harimau di lehernya lengkap
dengan topeng kepala harimau menutupi mukanya.
Tiba-tiba saja secara kebetulan dia menggunakan daun tertentu yang memang
mengandung zat pengobat penyakit itu dan sembuhlah si sakit. Sang dukun mulai merasa
bahwa jampi-jampinya itu hanya manjur untuk penyakit tertentu apabila daun-daunan
yang dipakainya sebagai ramuan obat ialah daun dari tumbuhan itu saja. Tentu saja dukun
itu percaya sekali bahwa yang manjur adalah jampi-jampinya, akan tetapi kemanjurannya
itu harus ditolong oleh ramuan daun tertentu tadi. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya
jampi-jampinya sama sekali tidak ada khasiatnya, tetapi ramuan obat itu saja yang manjur.
Mungkin dengan cara inilah kemudian ditemukan khasiat obat berbagai macam
tumbuhan seperti yang sekarang diterapkan pada pengetahuan obat-obatan tradisional ber-
bentuk jamu. Patut pula diamati bahwa banyak sekali tumbuhan yang baik untuk
mengobati penyakit ginjal misalnya, bentuknya pun mirip dengan ginjal. Demikian pula
obat untuk mengobati demam sering pula disusun dari ramuan tumbuhan yang rasanya
pahit, sama dengan rasa pahit dimulut yang dirasakan orang yang sedang demam. Hal ini
mungkin terjadi akibat suatu simbolik yang dipercayai para dukun. Untuk obat penyakit
ginjal ia mencobakan ramuan semua daun yang bentuknya seperti ginjal, karena naluri
primitifnya percaya bahwa ginjal yang sakit itu harus mendapatkan kekuatan dari suatu
benda lain yang bentuknya mirip dengan ginjal itu. Dari berbagai daun berbentuk ginjal itu
kebetulan memang ada satu dua yang berkhasiat obat sehingga daun itulah yang
dipakainya sebagai ramuan obat penyakit ginjal.

2.3. Bilamana Pengetahuan Berubah Menjadi Sains?


Setelah merenungkan bagaimana secara tidak sengaja manusia mendapatkan
pengetahuan dari pengalaman, kita dapat bertanya-tanya apakah pengetahuan itu sama
dengan ilmu. Kalau pengetahuan tidak sama dengan ilmu, kita pun dapat bertanya-tanya
bilamana pengetahuan itu berubah menjadi ilmu. Karena sering juga kita mendengar orang
berbicara mengenai sains, kita pun dapat bertanya-tanya apa persamaan atau perbedaan
antara ilmu dan sains.
Kata sains berasal dari kata Inggris science. Kata ini pun diturunkan dari kata Yunani
scire yang makna harfiahnya ialah mengetahui. Karena itu sains sebagai suatu kegiatan
dapat diartikan sebagai cara-cara untuk mengetahui. Selain itu sains juga dapat diartikan
sebagai kumpulan pengetahuan yang telah mengalami pemerian, penggolongan, dan
pendefinisian untuk menemukan berbagai keteraturan hubungan di antara berbagai butir
pengetahuan di dalamnya yang berlaku secara umum. Dalam makna seperti ini sains
sudah biasa kita sebut ilmu pengetahuan, walaupun makna asli ilmu di dalam bahasa Arab
sebenarnya sama saja dengan pengetahuan.

2.4. Ilmu Pengetahuan Sederhana


Dari catatan sejarah, tanda-tanda perkembangan pengetahuan menjadi sains atau ilmu
pengetahuan yang sederhana muncul di Timur Tengah sekurang-kurangnya sepuluh ribu
tahun yang lalu dalam Kurunmasa Zaman Batu Baru atau Neolitikum.
Selama beratusribu tahun dalam kurunmasa sebelumnya, yaitu Kurunmasa Zaman
Batu Lama atau Paleolitikum, kehidupan manusia yang sering sekali bermukim di dalam
gua-gua tidak banyak berbeda dengan kehidupan hewan primata. Beda utama antara
perilaku hidup manusia dengan hewan primata ialah bahwa manusia telah dapat
menggunakan suatu teknologi, yaitu pemanfaatan api bagi kehidupannya. Cara mencari
nafkahnya pun sudah lebih maju, yaitu melalui perburuan dan penagkapan ikan, serta dari
pengumpulan tumbuhan liar. Rekaman sejarah kehidupan mereka ini masih dapat dilihat
pada gambar-dinding di berbagai gua yang dapat ditemukan di dunia ini, misalnya di
Spanyol dan Perancis, serta di Amerika dan di Australia.
Pertanda bahwa sains mulai berkembang tampak dari usaha manusia berusaha
menemukan pengetahuan bukan saja untuk penggunaan sehari-hari, melainkan juga
sebagian untuk pemuas rasa keingintahuan. Rasa keingintahuan ini bersumber dari
keinginan untuk mempertanyakan sesuatu yang kebetulan teramati. Sasaran pengamatan
yang pertama tentu saja ialah semua hal yang dapat dilihat di lingkungan alam sekitar.
Karena itu tidak mengherankan bahwa sasaran pengamatan manusia yang pertama ialah
makhluk hidup di sekitarnya. Berbagai macam tumbuhan diperiksa bagaimana bentuk dan
susunannya. Tidak jarang tumbuhan itu diteliti bukan hanya untuk manfaatnya, melainkan
juga karena ada kekhasannya yang pada suatu ketika ternyata juga dapat dimanfaatkan
untuk keperluan yang belum terasa pada waktu itu. Demikian juga berbagai hewan
ditangkap dan diperiksa seperti mereka memeriksa tumbuhan.
Kalau kita menengok balik ke kehidupan berbagai masyarakat yang hidup dekat
dengan alam di negara kita ini, kita juga akan menemukan betapa banyaknya pengetahuan
masyarakat itu tentang pemanfaatan tumbuhan dan hewan yang hidup di alam
lingkungannya. Buku karangan Heyne misalnya memuat daftar tumbuhan berguna Indo-
nesia yang sebagian besar berasal dari pengetahuan penduduk setempat.
Namun pun demikian, pengetahuan manusia tentang ilmu-ilmu hayat yang dikenal
juga sebagai biologi lambat sekali berkembang menjadi ilmu pengetahuan. Pe ngetahuan
yang dikumpulkan itu lama sekali hanya merupakan kumpulan butir-butir pengetahuan
yang terputus-putus berkat demikian banyaknya keragaman jenis yang terdapat dalam
dunia tumbuhan dan hewan. Bahkan dalam satu jenis makhluk hidup saja dapat ditemukan
demikian banyaknya perbedaan bentuk sehingga pengumpulan pengetahuan tentang
kehidupan lama sekali hanya berbentuk penyusunan senarai jenis kehidupan.
Antara satu jenis dan jenis lainnya belum dapat ditemukan hubungan. Bahkan pada
permulaan usaha orang untuk menemukan pertalian antara satu jenis bentuk kehidupan
dengan bentuk lainnya bahkan terjadi tantangan dari berbagai pihak, seperti misalnya yang
terjadi dengan pengajuan teori evolusi.
Lain halnya yang terjadi dengan pengamatan manusia terhadap peristiwa-peristiwa
yang tidak menyangkut langsung dengan kehidupan. Butir-butir pengetahuan yang
terkumpul dengan mudah dapat diamati keteraturannya dan keberlakuannya secara umum.
Teladan yang mudah dipahami misalnya ialah tentang munculnya pengertian bilangan.
Manusia mempunyai satu ibujari di sebelah tangannya. Satu ibu jari itu sama banyaknya
dengan dirinya sendiri. Demikian pula manusia mempunyai dua tangan, dua kaki, dua
mata, dan dua telinga. Ia dengan cepat memahami bahwa mata, telinga, tangan, dan kaki
yang dimilikinya sama banyaknya.
Banyaknya itu dinamakan dua atau sepasang, sedangkan banyaknya ibujari di sebelah
tangannya dan banyaknya dirinya sendiri itu dinamakan satu, esa, atau tunggal.
Demikianlah juga ia dapat mengatakan bahwa tiga ialah nama bagi banyaknya mata padaa
batok kelapa, sedangkan empat ialah nama bagi banyaknya jari di sebelah tangan di luar
ibujari.

2.5. Pengetahuan Melambangkan dan Menamakan Bilangan


Munculnya pemahaman mengenai cara mencacah banyaknya benda-benda yang sejenis
bersamaan dengan berubahnya cara hidup manusia dari kegiatan mengumpulkan dan
berburu menjadi kegiatan menghasilkan bahan makanan, sewaktu manusia memasuki
Zaman Batu Baru. Dengan adanya keperluan menghitung berapa banyaknya sesuatu yang
dimiliki orang, timbul keperluan akan kegiatan mencacah. Hasil pencacahan itu dinamakan
bilangan, sedangkan bilangan itu tidak terhingga banyaknya dan selalu satu lebih besar dari
suatu bilangan lain, kecuali bilangan satu itu sendiri. Berkembanglah pemahaman tentang
berhitung atau aritmetika yang bahkan mendahului kemampuan orang untuk menuliskan
lambang bagi berbagai bilangan yang dimaksudkan itu. Bahkan nama bilangan pun
kadang-kadang hanya diketahui terbatas hingga dua. Lebih dari dua dikatakan banyak. Hal
ini masih nampak pada berbagai cara membedakan untuk menjamakkan bagi dua orang
dan bagi lebih dari dua orang, misalnya dalam tatabahasa Arab. Perilaku seperti ini pun
dapat ditemukan pada ayam yang sedang bertelur. Menurut kepercayaan, kalau kita
mengambil telur dari sarang, harus kita sisakan tidak kurang dari tiga butir, karena ayam
tidak dapat membedakan antara tiga butir atau lebih dari tiga butir.
Untuk tetap dapat memahami berapa bilangan yang dihadapi tanpa mengetahui apa
namanya, dan tanpa mengetahui bagaimana cara melambangkannya secara teratur,
manusia mula-mula menggunakan lambang-lambang yang terbuat dari bahan yang tersedia
di alam sekitar. Para gembala di sekitar Laut Tengah menggunakan batu kapur sebesar
kerikil untuk melambangkan seekor domba yang digembalakannya. Setiap pagi ketika
domba dilepas dari kandang ke padang penggembalaan, untuk setiap ekor yang keluar ia
masukkan sebutir batu kapur ke dalam sebuah uncang. Banyaknya domba yang keluar dari
kandang untuk digembalakan akan sama banyaknya dengan banyaknya batu kapur yang
dimasukkannya ke dalam uncang. Kalau tuannya menanyakan kepadanya berapa banyak
domba miliknya yang sedang digembalakannya, jawabannya kira-kira serupa dengan
jawaban Abu Nawas ketika menjawab pertanyaan Khalifah tentang berapa banyaknya
bintang di langit. Abu Nawas menjawab bahwa banyaknya sama dengan banyaknya
rambut yang tumbuh di kepalanya yang kebetulan belum menjadi botak, sedangkan
gembala itu akan menjawab bahwa banyaknya domba sama denga banyaknya batu kapur
yang terdapat di dalam uncang.
Kalau pada sore hari domba masuk kembali ke dalam kandang, untuk setiap domba ia
mengeluarkan sebutir batu dari dalam uncang sampai semua domba telah masuk. Kalau di
dalam uncang masih ada batu sedangkan semua domba sudah masuk, maka hal itu adalah
tanda bahwa ada domba yang hilang dan harus dicari. Kalau uncang sudah kosong
sedangkan domba masih ada yang akan masuk, maka hal itu adalah pertanda bahwa ada
domba orang lain yang ikut masuk, atau bahwa ada domba yang pada siang harinya telah
beranak. Batu kapur dalam bahasa Yunani disebut calculo. Karena batu ini dipakai untuk
menghitung, pekerjaan menghitung di dalam bahasa Inggris akhirnya juga disebut to
calculate. Dari kata ini pula diturunkan nama cabang matematika yang kita kenal sebagai
kalkulus.
Membawa batu kapur ke mana-mana sebagai alat pencatat sangat tidak praktis. Oleh
karena itu pada suatu ketika ada yang menggantikan batu kapur itu dengan tanda-tanda
torehan di atas sebilah kayu, lempeng tanah liat yang dibakar menjadi tembikar, atau apa
saja yang ada di lingkungannya, dengan benda-benda yang ditajamkan, seperti pisau dan
baji. Setiap torehan melambangkan satu hasil cacahan, sehingga tiga misalnya
dilambangkan dengan tiga torehan. Untuk mempermudah penghitungan torehan-torehan
itu dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok dengan banyaknya torehan yang tetap.
Yang lazim ialah torehan dalam kelompok lima-lima. Empat torehan tegak yang kita
namakan turus yang digabungkan oleh satu turus datar melambangkan bilangan lima.
Kadang-kadang lagi ada pengelompokan sepuluh-sepuluh, karena manusia mencoba
mengaitkannya dengan banyaknya jemari di kedua belah tangan. Di Sumatera ada
kebiasaan mencatat banyaknya lembu yang diserahkan peternak untuk dijual tengkulak ke
pasar pada sebilah bambu yang ditandai secara melintang dengan keratan-keratan sebanyak
lembu yang dititipkan. Setelah itu bambu itu dibelah memanjang sehingga setiap potong
mengandung keratan yang sama banyaknya. Satu potong dibawa oleh tengkulak dan pa-
sangan lainnya disimpan oleh peternak sebagai arsip. Peternak tidak mungkin menambah
keratan pada bilah bambunya karena kalau dicocokkan dengan pasangannya yang ada pada
tangan tengkulak, akan jelas tampak adanya keratan tambahan. Kebalikannya, tengkulak
pun tidak mungkin menghapus beberapa keratan dari bilah bambunya, karena akan jelas
kelihatan perubahan yang dibuatnya itu.
Pada suku-suku primitif pelambangan bilangan dapat juga dilakukan dengan menunjuk
anggota tubuh. Kita sudah terbiasa untuk mengangkat telunjuk untuk melambangkan
bilangan satu. Untuk melambangkan dua kita acungkan telunjuk dan jaritengah, sedangkan
untuk melambangkan tiga kita acungkan telunjuk, jaritengah, dan jarimanis. Untuk
menyatakan empat kita acungkan semua jari kecuali ibujari yang kita lipat ke bawah.
Kelima jari diacungkan keatas menandakan bilangan lima. Suatu suku di Irian Jaya
menunjuk dengan telunjuk kanannya ke kelingking kirinya untuk melambangkan bilangan
satu, jarimanis kirinya untuk menunjukkan dua, jaritengah kirinya untuk melambangkan
tiga, telunjuk kirinya untuk melambangkan empat, dan ibujari kirinya untuk menunjukkan
lima. Setelah itu ia berturut-turut menunjuk dengan telunjuk kanannya ke pergelangan kiri,
lengan kiri, sikut kiri, lengan atas kiri, sendi bahu kiri, bahu kiri, telinga kiri, danmata kiri
untuk menunjuk bilangan dari 6 hingga dengan 13. Hidung adalah perlambang bilangann
14. Kemudian, menggunakan telunjuk kirinya ia mulai dapat menunjuk dari mata kanan
sampai ke kelingking kanan untuk melambangkan bilangan dari 15 hingga dengan 27.
Cara menamakan bilangan pada suku-suku primitif juga erat hubungannya dengan
kemampuannya membedakan bilangan yang terbesar. Bagi yang hanya dapat membedakan
antara satu, dua, dan banyak, dapat dipahami bahwa mereka itu memberi nama yang
berbeda terhadap bilangan “satu”, dan “dua”. Bilangan selebihnya dinamakan atas dasar
kombinasi nama kedua bilangan “satu” dan “dua” itu.
Demikianlah pada suku Sungai Murray di Australia, sistem penamaan bilangannya
ialah sebagai berikut:
1 = enea,
2 = petcheval,
3 = petcheval-enea,
4 = petcheval-petcheval.
Andaikata sistem penamaan bilangan hendak diteruskan, maka untuk beberapa
bilangan berikutnya nama-namanya mungkin menjadi sebagai berikut:
5 = petcheval-petcheval-enea,
6 = petcheval-petcheval-petcheval,
7 = petcheval-petcheval-petcheval-enea,
8 = petcheval-petcheval-petcheval-petcheval,
dan seterusnya.
Suku Sungai Murray ini dalam mengembangkann penamaan bilangannya
menggunakan pengelompokan dua-dua. Suku Kamilaroi yang dapat membedakan antara
satu, dua, tiga, dan banyak, menggunakan pengelompokan tiga-tiga sebagai berikut:
1 = mal,
2 = bulan,
3 = guliba,
4 = bulan-bulan,
5 = bulan-guliba,
6 = guliba-guliba.
Andaikata diteruskan lagi maka nama-nama bilangannya mungkin menjadi sebagai
berikut:
7 = guliba-guliba-mal atau guliba-bulan-bulan,
8 = guliba-guliba-bulan,
dan seterusnya. Dengan tidak sengaja muncullah pemakaian bilangan dasar, digabung
dengan pemanfaatan operasi penjumlahan.
Setelah pengelompokan dengan memanfaatkan bilangan dasar ini menjadi kebiasaan,
penamaan bilangan mulai pula menggunakan prinsip operasi pengurangan. Pada sistem
penamaan bilangan bahasa rumpun Melayu dengan bilangan dasar sepuluh kita tahu
misalnya bahwa delapan ialah dua alapan (dari sepuluh) yang artinya sama dengan 10-2.
Demikian pula sembilan artinya sama dengan satu ambilan (dari sepuluh) yang tidak lain
ialah operasi pengurangan 10-1. Bilangan sebelas dan duabelas masing-masing bermakna
satu dibalas dan dua dibalas yang tidak lain maksudnya ialah satu dibalas atau ditambahkan
ke sepuluh dan dua ditambahkan ke sepuluh.

2.6. Mengukur Sudut untuk Menentukan Letak Benda Langit


Mencacah dan menghitung seperti telah dibahas sebelumnya timbul karena keperluan
manusia untuk mengetahui berapa banyak pemilikannya, atau lebih umum lagi, berapa
banyak sesuatu yang dihadapinya. Hal lain yang sering ingin diukurnya ialah letak suatu
benda langit tertentu, karena berdasar pengalaman ia mengetahui bahwa benda langit
tertentu secara teratur akan dapat dilihat pada ketinggian tertentu sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai pengukur waktu.
Selain itu, karena letaknya pada tempat tertentu, benda langit juga dapat digunakan
membantu menentukan arah di ruang terbuka seperti di tengah laut, di padang pasir, atau
di padang rumput.
Pengetahuan mengukur sudut ini kemudian akan berkembang melalui astronomi.
Tampaknya mengherankan bahwa setelah manusia mencoba memahami berbagai benda
yang ada di lingkungan terdekatnya ia kemudian mengalihkan perhatiannya ke benda -
benda langit yang begitu jauh letaknya dan tidak terjangkau dengan tangan. Akan tetapi
hal itu sebenarnya dapat dipahami karena di alam bebas tanpa adanya atap tempat
berteduh, langitlah yang menjadi atap di malam hari ketika manusia tiba waktunya untuk
beristirahat.
Dapat dibayangkan betapa di suatu tempat datar seperti padang pasir di Arab Saudi
yang pada malam hari tidak dicemari cahaya lampu buatan, yang ada di atas kepala
hanyalah berbagai benda langit yang masing-masing menyinarkan cahaya yang gemerlapan.
Hal yang sama juga dapat dialami di padang rumput luas yang datar seperti di Texas. Di
tempat-tempat terbuka seperti itu benda langit akhirnya ditemukan oleh manusia primitif
sebagai penunjuk jalan dan penunjuk waktu. Dengan segera mereka mengamati bahwa ada
bintang tertentu yang pada waktu tertentu selalu tampak di Utara, di Selatan, di Timur, atau
di Barat, sehingga itulah yang dijadikan petunjuk jalan di padang pasir atau di prairi yang
luas.
Demikian pula manusia purba dengan segera dapat menghitung bahwa bulan bukan
saja beredar di langit melainkan juga berubah bentuk, tumbuh dari bentuk sabit tipis
menjadi bundar, dan kemudian menciut lagi menjadi sabit yang tipis. Daur pertumbuhan
dan penciutan ini telah mereka hitung sama dengan 29.5 kali peredaran matahari menjalani
siang dan malam, yaitu 29.5 hari yang kemudian juga dinamakan satu bulan. Karena bulan
lebih mudah diamati peredarannya, maka perhitungan waktu manusia yang pertama
didasarkan pada peredaran bulan atau takwim kamariah.
Selain bermanfaat untuk menentukan arah dan letak, berbagai benda langit yang
tampak berkilauan pada malam hari di padang terbuka itu mungkin sekali memberikan
hiburan terindah yang tersedia pada zaman purba bagi manusia. Tidaklah mengherankan
bahwa ilmu perbintangan atau astronomi adalah salah satu ilmu yang berkembang paling
awal, sejalan dengan perkembangan berbagai kebudayaan manusia. Karena apa yang dilihat
itu tidak terjangkau, pengetahuan tentang berbagai bintang itu jauh lebih banyak
mengandung sifat spekulasi dibandingkan dengan kumpulan pengetahuan yang ditemukan
manusia berdasarkan pengalaman, dan yang untuk meyakininya dapat diperiksa tidak
hanya denngan mata, tetapi juga dengan menggunakan indera lainnya. Karena
pengetahuan tentang bintang jauh di langit selalu bersifat perkiraan, sewaktu manusia
belum mempunyai peralatan canggih untuk membantu mengamatinya, perkiraan itu sering
pula dikaitkan dengan berbagai macam kepercayaan. Demikianlah banyak rasi bintang
yang dinamakan menurut nama hewan karena bentuknya dari jauh seperti gambar hewan
tertentu. Seiringan dengan itu timbullah pula kepercayaan bahwa tampaknya rasi bintang
tertentu atau bintang berekor tertentu dapat membawa makna tertentu pula. Pada suatu
ketika mau tak mau pengetahuan tentang bintang di langit menjadi tercemar oleh
kepercayaan bahwa bintang tertentu itu membawa peruntungan tertentu pula. Ber-
kembanglah apa yang sekarang kita kenal dengan Astrologi.
Bagi petani, letak ketinggian rasi bintang bajak atau bintang waluku di atas ufuk timur
pada pagi hari telah dijadikan ukuran bilamana musim tanam harus dimulai. Pengetahuan
ini didapatkan atas dasar pengalaman turun-temurun berdasarkan pengalaman nenek-
moyangnya. Pengalaman seperti itu memang sangat bermanfaat bagi petani yang
bermukim di tempat itu. Akan tetapi kalau petani itu dipindahkan ke tempat lain, misalnya
ditransmigrasikan dari Kedung Ombo ke daerah Singkut di Jambi, ketinggian dari ufuk
yang didasarkan pada pengalaman di Kedung Ombo belum tentu berlaku di Singkut.
Hal ini dapat dijadikan contoh mengenai bagaimana suatu butir pengetahuan tidak
dapat diterapkan keberlakuannya di tempat lain. Butir-butir pengetahuan secara tersendiri
tidak berlaku secara umum. Baru kalau butir-butir pengetahuan itu dapat dirangkum
menjadi suatu kerangka yang berlaku secara umum, dapat diramalkan keberlakuannya
berbagai tempat. Butir-butir pengetahuan yang sudah dirangkum seperti itulah yang
kemudian dapat dianggap sebagai bagian ilmu pengetahuan.

3. SAINS DAN PERTANIAN

3.1. Pengetahuan dan Sains


Manusia dilahirkan ke dunia dengan dilengkapi otak sebagai alat untuk berpikir dan
bernalar. Itulah ciri yang membedakannya dari makhluk hidup yang lain. Walaupun
misalnya harimau juga mempunyai otak, otak itu hanya dapat digunakannya untuk
mengingat apa yang telah terjadi. Ingatan itu kemudian disimpan sebagai pengalaman.
Kalau hal serupa terjadi lagi harimau dapat menggunakan pengalaman itu untuk
memberikan tanggapan. Lain halnya dengan manusia karena pengalamannya itu kemudian
dapat dirangkai-rangkaikan untuk dijadikan suatu kumpulan pengetahuan yang saling
kait-mengait. Kumpulan penge¬tahuan ini yang kemudian dapat pula digunakan me-
ngembangkan pengetahuan baru berkat daya-ramalnya dinamakan sains atau ilmu
pengetahuan.

3.2. Ilmu-ilmu Pertanian Sebagai Ilmu Empirik


Dalam usaha bercocoktanam dan pemeliharaan hewan pun manusia mengumpulkan
pengalaman. Salah satu pengalaman pertama manusia mengenai bercocoktanam yang
tercatat dalam sejarah ialah mengenai ditemukannya pengetahuan tentang
perkembangbiakan pohon kurma yang terjadi secara seksual. Pada zaman peradaban
Babilonia telah diketahui bahwa satu pohon kurma tidak dapat berkembangbiak tanpa
adanya pohon kurma lain yang berlainan jenis kelaminnya. Bagaimana caranya mereka
mengetahui hal itu? Mungkin sekali dari pengalaman para petani menyingkirkan semua
pohon kurma yang mandul dan tidak menghasilkan kurma, karena dianggap mubazir
untuk dipelihara. Ternyata setelah semua pohon itu di¬singkirkan, pohon lainnya pun tidak
mampu berproduksi, karena pohon yang tadinya menghasilkan kurma itu adalah pohon
betina dan pohon yang disingkirkan itu adalah pohon jantan. Peristiwa tersebut tercatat
dalam sejarah terjadi pada zaman Babilonia (Ronan, 1982).
Tampaklah bahwa pengetahuan muncul karena penga¬laman. Bahwa dalam
pengembangan pengetahuan pengalaman itu diperlukan untuk mendukung atau menolak
kebenaran suatu pendapat tercatat dalam sejarah dalam bentuk suatu hadis yang sahih
(Muslim, Kitab 43 Bab 38, Hadis 140-141):
Melihat orang-orang yang sedang menyerbuki bunga kurma, Nabi bertanya: “Apa yang
sedang kamu perbuat?” Setelah diberi¬tahu apa yang mereka kerjakan, Nabi berkata lagi:
“Barangkali lebih baik jika tidak kamu lakukan itu.” Setelah ternyata kemu¬dian buah
kurma itu berguguran dan Nabi diberitahu, Nabi berkata: “Aku hanya seorang manusia. Jika
perintahku mengenai agama, ikutilah. Kalau yang kuperintahkan mengenai sesuatu itu dari
pendapatku sendiri, aku hanya seorang manusia juga.”
Dalam peristiwa yang sama tetapi sedikit berbeda redaksi-nya, Nabi berkata (Ibn Majah
IV:1259, Hadis 5830-5832): “Kamu lebih mengetahui soal duniamu.”
Hikmah yang dapat diperoleh dari kedua hadis ini ialah bahwa pendapat seseorang itu
gugur kalau kenyataan yang diamati tidak sesuai dengan pendapat tersebut. Dari pola
berpikir ini muncullah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman atau empirisme
(Yunani: empeira – pengalaman). Ilmu pengetahuan empirik ini pada mulanya adalah buah
pikiran Ibnu Khaldun dan kemudian diserap menjadi milik orang Eropa dalam Zaman
Kebangkitan Eropa serta dikembangkan menjadi tulang punggung sains modern oleh
Francis Bacon.
Dalam bidang kegiatan pertanian juga banyak sekali pengetahuan yang telah
dikumpulkan berdasarkan pengalaman dalam perjalanan sejarah. Pengalaman-pengalaman
itu kemudian dihimpun menjadi sekumpulan ilmu terapan yang dinamakan ilmu-ilmu
pertanian. Salah suatu ciri ilmu terapan ialah bahwa semua yang terdapat dalam ilmu itu
akhirnya dapat diterangkan dengan menggunakan ilmu dasar. Dalam hal ilmu-ilmu
pertanian, semua peristiwa yang menyangkut pengetahuan tentang alam dapat diterangkan
oleh biologi, dan semua peristiwa biologi dapat diterangkan oleh ilmu kimia yang akhirnya
dapat pula diterangkan dengan menggunakan ilmu fisika. Dalam hal ilmu pertanian yang
berkaitan dengan perilaku manusia, semuanya dapat diterangkan oleh ilmu ekonomi dan
ilmu sosial.
Yang akan kita bahas dalam rangkaian tulisan ini ialah apa yang dimaksudkan dengan
ilmu-ilmu pertanian itu. Maksudnya ialah agar barangsiapa yang ingin mempelajarinya
dapat memperoleh suatu gambaran menyeluruh mengenai ilmu-ilmu tersebut. Karena
ilmu-ilmu tersebut menyangkut permasalahan yang luas dan saling berhubungan, tidak
mungkin bagi orang yang ingin mempelajarinya untuk memahami semua aspek-aspeknya.
Pada akhirnya ia harus mengambil keputusan bagian ilmu-ilmu pertanian yang mana yang
akan dijadikannya menjadi keahliannya. Selain itu pula mungkin sekali yang menjadi
minatnya akhirnya bukanlah ilmu-ilmu pertaniannya sendiri melainkan ilmu-ilmu dasar
yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu pertanian itu sebagai ilmu terapan.

3.3. Tempat Mempelajari Ilmu-ilmu Pertanian


Di Indonesia Ilmu-ilmu Pertanian dapat dipelajari pada beberapa jenis peringkat
sekolah. Di Sekolah Pertanian Pembangunan seperti Sekolah Pertanian menengah Atas
(SPMA), Sekolah Peternakan Menengah Atas (SNAKMA), Sekolah Usaha Perikanan
Menengah (SUPM), dan Sekolah Perkebunan Menengah Atas (SPbMA) kita dapat mem-
pelajari butir-butir pengetahuan pertanian yang sudah diketahui dan kemudian langsung
dapat diterapkan. Tidak diberikan latihan untuk mengembangkan pengetahuan pertanian
baru. Di tempat-tempat seperti itu siswa dilatih dapat menerapkan berbagai usaha kegiatan
pertanian yang tatacaranya sudah diketahui sebelumnya.
Tempat untuk mempelajari cara-cara mengembangkan metode baru ilmu-ilmu
pertanian ialah di perguruan tinggi. Di perguruan tinggi pengajaran ilmu-ilmu pertanian
dapat ditawarkan dalam program Diploma peringkat S-0 pada Fakultas Politeknik
Pertanian, atau pada program Sarjana peringkat S-1 di berbagai fakultas ilmu-ilmu
pertanian. Perguruan tinggi yang mengkhususkan pada pendidikan tinggi peringkat S-1
dalam ilmu-ilmu pertanian di Indonesia ialah Institut Pertanian Bogor (IPB). Catatan kuliah
tentang pengantar ilmu pertanian ini ditujukan terutama bagi mahasiswa tingkat persiapan
bersama (TPB) yang akan mengikuti kuliah peringkat S-1. Dengan mengikuti kuliah ini para
mahasiswa diharapkan dapat memperoleh gambaran umum tentang apa permasalahan
ilmu-ilmu pertanian yang kita hadapi sebagai bangsa pada masakini dan di masadepan.
Setelah memahami hal ini diharapkan bahwa para mahasiswa sesuai dengan kemampuan
dan bakatnya dapat memilih cabang ilmu-ilmu pertanian mana atau ilmu-ilmu
pendukungnya yang akan dijadikannya bidang keahliannya. Di dalam lingkungan keahlian
seperti itulah ia kemudian diharapkan dapat menjadi pengembang ilmu, pengembang
teknologi, atau pengelola kegiatan.

3.4. Apa yang Dihadapi Dalam Kegiatan Pertanian?


Usaha pertanian pada dasarnya bersandar pada kegiatan menyadap energi surya agar
menjadi energi kimia melalui peristiwa fotosintesis. Hasil fotosintesis ini kemudian menjadi
bagian tumbuhan dan hewan yang dapat dijadikan manusia sebagai bahan makanan, bahan
sandang dan papan, sumber energi, dan bahan baku industri. Untuk dapat menghasilkan
bahan-bahan organik itu tumbuhan dan hewan harus dapat hidup di dalam suatu
lingkungan yang terdiri atas tanah, air, dan udara pada suatu iklim yang sesuai. Karena itu
ilmu-ilmu pertanian mencakup ilmu tanah, ilmu tataair, dan ilmu cuaca dan iklim yang
tergolong ke dalam kelompok ilmu-ilmu lingkungan kehidupan dan budidaya.
Tumbuhan yang dipelihara manusia dengan sengaja agar dapat memberikan manfaat
kita namakan tanaman, sedangkan hewan yang dipelihara untuk hal yang sama kita sebut
ternak. Setelah lingkungan kehidupan dan budidaya yang sesuai untuk tanaman dan ternak
tersedia, segala usaha pertanian belum dapat berjalan dengan baik tanpa adanya ilmu-ilmu
yang memecahkan persoalan pembudi-dayaannya. Ilmu-ilmu yang termasuk dalam
kelompok budi-daya ini ialah ilmu budidaya tanaman atau agronomi, hortikultura yang
menyangkut budi-daya sayuran, buah-buahan, dan tanaman-hias, budidaya hutan, ilmu
budi-daya ternak, ilmu budidaya perairan, proteksi tanaman, kedokteran hewan,
keteknikan kelautan dan keteknikan pertanian.
Sebagian hasil usaha pertanian digunakan langsung sebagai makanan manusia atau
pangan dan makanan ternak atau pakan. Penggunaannya sudah tentu haruslah dengan
menganut azas manfaat. Karena itu dipandang dari segi kepentingan manusia harus
diketahui cara menyajikan makanan yang baik dari segi kebersihan, kesehatan, dan dayabeli
masyarakat. Itulah sebabnya ilmu-ilmu pertanian juga mencakup ilmu gizi masyarakat dan
sumberdaya keluarga, sedangkan untuk permasalahan pakan diperlukan juga suatu ilmu
yang berkenaan dengan hal itu dan disebut ilmu makanan ternak atau ilmu pakan. Hasil
usaha pertanian itu sebagian juga tidak digunakan secara langsung tetapi diubah bentuknya
sehingga lebih tahan lama atau lebih mudah dicerna. Untuk hal itu ilmu-ilmu pertanian juga
mencakup teknologi pangan dan gizi, serta bioteknologi. Bioteknologi ini dapat dipelajari
sebagai bagian teknologi pangan dan gizi atau juga sebagai bagian dari biologi, yaitu di
dalam mikrobiologi.
Penggerak usaha pertanian adalah manusia. Karena itu kelancaran usaha pertanian
sangat bergantung pada sikap dan perilaku manusia penggeraknya. Perilaku dan sikap
manusia ini ditentukan oleh sikapnya dalam mencari nafkah bagi kehidupannya yang
dibahas dalam ilmu ekonomi pertanian. Selain itu sikap hidup ini juga tergantung sekali
pada caranya bermasyarakat. Oleh karena itu ilmu-ilmu pertanian juga mencakup sosiologi
pedesaan. Permasalahan penting yang mencakup sikap hidup manusia penggerak usaha
pertanian ini adalah juga bagaimana caranya mereka itu dapat dengan segera memahami
perkembangan baru dalam berbagai teknik budi-daya dan pemasaran. Untuk itu ilmu
komunikasi pertanian adalah faktor kunci yang penting yang menjembatani hasil penelitian
pertanian dengan pengusaha pertanian sebagai manusia penggerak usaha pertanian.

3.5. Sains Pertanian Bertumpu pada Ilmu-ilmu Dasar


Semua ilmu dan teknologi yang mencakup ilmu-ilmu pertanian yang telah disebutkan
tadi bertumpu pada ilmu-ilmu dasar fisika, kimia, dan biologi. Selain itu ilmu-ilmu ini
sangat tergantung pada matematika dan statistika sebagai bahasa komunikasi ilmiah.
Karena itu kesemua ilmu dasar ini dapat dianggap sebagai ilmu-ilmu penunjang ilmu-ilmu
pertanian. Itulah sebabnya bahwa Institut Pertanian Bogor selain mempunyai fakultas-
fakultas Pertanian, Kedokteran Hewan, Perikanan, Peternakan, Kehutanan, Teknologi
Pertanian, dan Politeknik Pertanian, juga mempunyai Fakultas Matematika dan Ilmu-ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA). Fakultas inilah yang mengasuh program studi Biologi,
Meteorologi Pertanian, dan Statistika. Program studi Kimia akan dibuka pada tahun kuliah
1989, disusul oleh program studi Matematika dan Fisika pada kesempatan berikutnya.

3.6. Program Studi Dipilih Atas Dasar Kemampuan Diri


Masing-masing program studi yang diasuh pada berbagai fakultas itu memintakan
perimbangan penguasaan ilmu-ilmu dasar yang berbeda-beda. Suatu penguasaan yang baik
tentang ilmu kimia misalnya diperlukan sekali oleh mereka yang akan memasuki program
studi Teknologi Pangan dan Gizi serta Ilmu Tanah, sedangkan penguasaan matematika
yang baik diperlukan untuk memasuki program studi Statistika, Keteknikan Pertanian, dan
Ekonomi. Penguasaan yang baik tentang ilmu kebahasaan serta kegemaran menulis sa-ngat
bermanfaat bagi mereka yang memasuki program studi Sosiologi Pedesaan dan Komunikasi
Pertanian, sedangkan pengetahuan dasar Biologi yang kuat diperlukan bagi mereka yang
memasuki berbagai program studi budidaya, proteksi tumbuhan, dan kedokteran hewan.
Selain itu ketrampilan seni menggambar dan melukis akan sangat membantu bagi
mahasiswa di program studi keteknikan pertanian dan arsitektur pertamanan. Selain itu
citarasa estetika yang tinggi juga akan sangat membantu bagi mahasiswa arsitektur
pertamanan, sedangkan citarasa sastra yang tinggi akan membantu bagi mereka yang men-
jadi mahasiswa penyuluhan pertanian. Dengan mengingat hal-hal ini, sebaiknya sejak
waktu yang sangat dini setiap mahasiswa tingkat pertama dalam suatu fakultas ilmu-ilmu
pertanian menilai kekuatan dirinya sendiri mengenai ilmu-ilmu dasar. Agar usaha
belajarnya di perguruan tinggi dapat berhasil dengan baik ia seharusnya lebih meng-
utamakan pemilihan program studi mana yang akan ditempuhnya berdasarkan pola
penguasaannya tentang ilmu-ilmu dasar, dan bukan atas dasar pasaran minat yang lebih
banyak ditentukan oleh faktor ikut-ikutan. Kalau kita menguasai dasar ilmunya dengan
baik, di cabang ilmu mana pun kita nantinya bekerja, kita akan berhasil karena sifat
manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lain juga ialah bahwa daya menyesuaikan
dirinya terhadap perubahan lingkungan hidup sangat besar. Tanpa daya menyesuaikan diri
yang sangat besar ini manusia sudah lama menjadi makhluk yang punah atau sekurang-
kurangnya langka di muka bumi ini.
Pola nilai mutu yang diperoleh seorang mahasiswa di tingkat persiapan bersama pun
dapat digunakan sebagai petunjuk program studi mana yang dapat ditempuh olehnya
dengan hasil yang baik. Matakuliah Matematika, Kimia, Fisika, dan Ekonomi yang
diberikan di TPB Institut Pertanian Bogor agaknya menjadi petunjuk akan kemampuan
nalar matematika seorang mahasiswa. Seseorang yang nalar matematikanya tinggi
cenderung lebih mudah menangkap pemikiran-pemikiran yang disajikan dalam bentuk
lambang-lambang yang merupakan abstraksi pemikiran itu, sedangkan yang nalar
verbalnya tinggi lebih trampil menggunakan kata-kata untuk mengungkapkan
pemikirannya dan menangkap pemikiran orang lain. Petunjuk akan nalar verbal yang tinggi
dapat diperoleh dari nilai mutu yang diperoleh dari matakuliah Biologi, Sosiologi, dan
Bahasa Inggris. Bahasa Indonesia tidak muncul sebagai penentu kemampuan verbal karena
kisaran nilai yang dicapai mahasiswa hampir seragam.
Karena jumlah bobot kredit Matematika, Kimia, Fisika, dan Ekonomi lebih besar
daripada jumlah bobot kredit Biologi, Sosiologi, dan Bahasa Inggris, keempat matakuliah
yang pertama itu lebih banyak pengaruhnya atas tingginya Nilai Mutu Rataan (NMR) di
TPB. Hal itu menyebabkan bahwa mahasiswa yang kuat dalam keempat matakuliah tadi
tetapi biasa saja dalam matakuliah lainnya akan mencapa NMR di sekitar 2.75 sampai 2.9,
sedangkan mereka yang kuat dalam semua matakuliah akan mencapai NMR yang
sekurang-kurangnya sama dengan 3.00. Sebagai akibatnya dapat dikatakan bahwa
mahasiswa dengan dayanalar verbal dan matematika yang keduanya sama kuatnya akan
mencapai NMR 3.00 atau lebih, yang dayanalar matematikanya saja yang kuat akan
mencapai NMR di sekitar 2.75, sedangkan yang dayanalar verbalnya yang kuat akan
mencapai NMR di sekitar 2.30-2.50. Tentu saja akan terjadi penyimpangan-penyimpangan
kecil. Akan tetapi hal itu dapat ditelusuri lebih lanjut dari nilai untuk matakuliah tertentu.
Demikianlah pada program studi Statistika dimintakan sebagai syarat bahwa untuk dua
matakuliah Matematika seorang pelamar ke program studi itu hanya dipertimbangkan
kalau nilai yang dicapainya untuk kedua matakuliah itu sekurang-kurangnya satu B dan
satu C, karena selain memerlukan nalar verbal, program studi itu juga banyak
menggunakan nalar matematika. Untuk program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga yang memerlukan nalar verbal yang kuat tidaklah mengherankan kalau pelamar
akan diperhatikan nilai Bahasa Inggrisnya.

3.7. Siap-Pakai ataukah Siap-Tempur?


Mungkin sekali khalayak ramai memperkirakan bahwa lulusan perguruan tinggi
pertanian harus menjadi petani di pedesaan. Tentu saja kemungkinan ada bagi seorang
sarjana pertanian untuk langsung berusaha dalam sektor pertanian produksi. Akan tetapi
agar penanaman modal yang dilakukannya dengan mengikuti pendidikan kesarjanaan
pulang pokok, kegiatan pertaniannya harus berupa pertanian-usaha yang dikelola secara
perusahaan. Untuk itu ia harus terlebih dahulu memiliki modal atau dapat dipercayai bank
untuk meminjam modal. Biasanya apabila kita dapat menemukan seorang sarjana dalam
bidang ilmu-ilmu pertanian berwirausaha, ia sebelumnya pernah mengumpulkan
pengalaman berwirausaha terlebih dahulu dengan bekerja sebagai karyawan pada suatu
perusahaan swasta. Setelah pengalamannya dan modal terkumpul, barulah ia berwirausaha.
Jarang sarjana ilmu-ilmu pertanian yang baru lulus dapat langsung berusaha sendiri, dan
memang bukan tujuan pendidikan akademis untuk terutama mendidik lulusannya
menjadi pengusaha tani. Pendidikan tinggi pertanian tujuan utamanya ialah menghasilkan
tenaga yang mampu menawarkan jasanya sebagai peneliti, sebagai komunikator dan
penyuluh, dan sebagai pengelola kegiatan usaha pertanian besar. Pekerjaan-pekerjaan
semacam itu memerlukan kemampuan mengolah pengalaman yang diketahui sebelumnya
menjadi pengetahuan baru untuk menangani permasalahan baru. Karena itu, walaupun
selama pendidikannya seorang mahasiswa di perguruan tinggi pertanian diberi latihan
praktek, tujuannya bukanlah menjadikannya menjadi “siap-pakai” melaksanakan tugas
rutin, melainkan menjadi “siap-tempur” menghadapi permasalahan baru yang sebelumnya
tidak ada.
Barangsiapa ingin dilatih menjadi ahli pertanian yang siap-pakai, maka langkahnya
salah apabila ia memilih belajar di suatu fakultas ilmu-ilmu pertanian. Seharusnya ia belajar
di suatu sekolah pertanian pembangunan atau di suatu fakultas politeknik pertanian.
Demikian pula apabila dikatakan oleh suatu perusahaan bahwa yang diperlukan di
perusahaan itu ialah ahli pertanian atau ahli teknologi pertanian yang siap-pakai, maka
salah langkahlah seorang lulusan fakultas ilmu-ilmu pertanian apabila ia memaksakan
dirinya bekerja mengisi lowongan pekerjaan di perusahaan tersebut. Apabila yang
diharapkan oleh perusahaan tersebut ialah orang yang dapat membersihkan lantai pabrik
dengan baik, terlalu tinggilah persyaratan yang diminta apabila yang diharapkan mengisi
lowongan pekerjaan itu ialah seorang sarjana yang telah menyiksa otaknya selama empat
tahun di perguruan tinggi. Walaupun demikian, seorang sarjana harus berani menggunakan
tangannya untuk melakukan pekerjaan yang memerlukan pencurahan tenaga secara fisik
bukan saja di pusat-pusat keramaian, melainkan juga di daerah yang terpencil. Bahkan di
daerah yang jauh dari keramaian inilah sebenarnya kegiatan pertanian itu terutama dapat
ditemukan.

4. MANUSIA DAN LINGKUNGANNYA

4.1. Manusia Pengelola Bumi dan Lingkungannya


Tuhan menjadikan manusia khalifah-Nya di bumi ini (QS 2:30). Untuk itu manusia
dilengkapi-Nya dengan bagian tubuh yang dapat dipakai berpikir dan bernalar. Bagian
tubuh ini adalah otaknya yang setelah mengalami berbagai macam kejadian sepanjang
hidupnya dapat mengumpulkan dan mengembangkan pengetahuan yang kemudian dapat
dimanfaatkannya bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakatnya.
Untuk mempertahankan hidupnya di dunia manusia harus dapat mencari makan dan
melindungi dirinya dari tantangan lingkungannya. Sebagai khalifah pewaris Tuhan di bumi,
pekerjaan ini harus dilakukan olehnya tanpa merusak lingkungan hidupnya itu yang selain
memberikan tantangan juga menjadi sumber bahan-bahan yang diperlukannya dalam
kehidupannya. Oleh karena itu manusia dalam mempertahankan kehidupannya di dunia
ini sebenarnya berinteraksi dengan berbagai macam makhluk yang ada di lingkungan
kehidupannya. Makhluk ini ada yang tidak bernyawa dan ada pula yang bernyawa seperti
manusia itu sendiri.
Saling pengaruh-mempengaruhi antara masyarakat makhluk hidup dengan
lingkungannya yang tidak hidup itu dinamakan suatu ekosistem. Suatu ekosistem dapat
memiliki cakupan yang sangat luas, seperti misalnya hutan jati di Jawa Timur, akan tetapi
dapat pula mempunyai ukuran yang sangat kecil, misalnya akuarium ikan hias yang
terdapat di sudut ruang tamu di rumah. Lebih kecil lagi adalah ekosistem permukaan tempe
yang ditumbuhi kapang dan jasad renik lainnya.
Ekosistem yang terluas tentu saja adalah permukaan bumi ini dengan angkasa di
atasnya dan tanah di bawahnya yang menampilkan hubungan saling mempengaruhi antara
manusia yang menghuninya dengan semua tumbuhan dan hewan serta semua benda tanpa
kehidupan yang terdapat di mana saja di bumi ini. Pada suatu ketika di masa depan kalau
manusia sudah berhasil hidup dengan layak di ruang angkasa, maka ekosistem itu akan
bertambah luas lagi.
4.2. Akuarium Sebagai Ekosistem
Kita tentu pernah melihat suatu akuarium. Mungkin pula kita pernah memilikinya. Di
dalam suatu akuarium yang baik, di dasarnya akan terdapat pasir dan kerikil. Di atasnya
ada selapis air dan di dalam air itu akan terdapat tumbuhan air dan hewan air seperti ikan,
udang, dan adakalanya kura-kura. Kadang-kadang akuarium itu dapat bertahan dengan air
yang bening, tanpa ada penambahan makanan ikan berupa cacing dan tanpa penambahan
udara yang dipompakan ke dasar akuarium dengan pompa listrik. Adakalanya juga
akuarium itu hanya dapat bertahan kebersihannya jika diadakan usaha tambahan melalui
pemompaan udara melalui suatu saringan yang menyedot air secara berkala melalui
saringan tersebut. Pada keadaan yang pertama seluruh kehidupan di dalam akuarium itu
ada dalam kesetimbangan, sedangkan pada keadaan kedua kesetimbangan hanya dapat
dicapai dengan masukan energi berupa aliran udara yang menimbulkan peredaran air dari
dasar akuarium ke permukaan dan sebaliknya, penempatan saringan penyerap zat beracun
seperti arang dan bubuk silika seperti zeolit, serta dengan penambahan pakan secara
berkala.
Air, pasir, dan garam serta gas yang terlarut di dalam air akuarium itu dapat kita
anggap sebagai komponen takhidup atau abiotik ekosistem itu. Ikan, tumbuhan air, udang,
dan kura-kura yang ada di dalam air itu dapat kita sebut sebagai komponen hidup atau
biotiknya. Dari komponen biotik tumbuhan hijau memainkan peranan sebagai pemanen
energi surya. Sinar matahari yang jatuh di permukaan daun hijau akan menyebabkan
karbondioksida dan air bersenyawa menghasilkan glukose dan oksigen menurut reaksi
kimia berikut:
6 CO2 + 12 H2O  C6H12O6 + 6 O2 + 6 H2O
atau kalau kita hanya mempersoalkan hasil akhirnya tanpa membedakan ada tidaknya air
baru yang terbentuk, reaksi itu dapat disederhanakan menjadi:
6 CO2 + 6 H2O  C6H12O6 + 6 O2 .
Dahulu, sebelum teknik radioisotop ditemukan, persamaan kedualah yang dianggap
orang sebagai penjelas bagaimana terjadinya fotosintesis. Akan tetapi setelah teknik
radioisotop berkembang sejak Perang Dunia Kedua berakhir, dapat dilacak bahwa sewaktu
proses fotosintesis berlangsung, selain telah digunakan 12 molekul air untuk setiap 6
molekul karbondioksida, telah terbentuk juga 6 molekul air baru. Hal ini adalah suatu
contoh tentang bagai-mana pengetahuan dapat berkembang karena tersedianya teknologi
atau peralatan baru.
Glukose yang terbentuk pada fotosintesis itu kemudian dapat diubah menjadi
karbohidrat yang bermolekul lebih besar. Karbohidrat inilah yang dapat digunakan oleh
tumbuhan itu sendiri dan makhluk hidup lain untuk dibakar kembali menjadi
karbondioksida dan air sambil menghasilkan energi bagi keperluan hidupnya, seperti yang
dicerminkan reaksi kimia berikut:
C6H12O6 + 6 O2  6 CO2 + 6 H2O + energi.
Energi itu di antaranya digunakan tumbuhan untuk membuat dari karbohidrat dan
garam nitrogen zat pembentuk tubuh berupa protein. Keseluruhan tumbuhan itu yang
dalam air dapat berupa tumbuhan berdaun hijau atau tumbuhan mikro seperti ganggang
merupakan sumber makanan hewan air pemakan tumbuhan atau herbivora.
Tumbuhan yang menghasilkan karbohidrat itu dinamakan produsen, sedangkan hewan
herbivora itu dinamakan konsumen primer. Konsumen primer ini misalnya berupa ikan
tawes dan nilem. Konsumen primer seperti ini dapat dimangsa oleh ikan karnivora. Ikan
karnivora ini adalah konsumen sekunder. Ikan karnivora yang kecil dapat dimangsa oleh
ikan karnivora lain yang lebih besar yang dapat kita golongkan ke dalam kelompok
konsumen tersier. Ikan seperti ini misalnya ialah gabus, belida, dan baung. Hubungan
sumber makanan ini kita sebut rantai makanan.
Selain ada ikan pemakan tumbuhan saja dan pemakan hewan saja, ada pula ikan yang
makan baik tumbuhan maupun hewan. Ikan seperti itu disebut ikan omnivora. Ikan
omnivora misalnya ialah ikan mas, gurami, dan mujair.

4.3. Ekosistem Keadaan Mantap


Suatu ekosistem telah kita ketahui terdiri atas berbagai jenis makhluk hidup yang saling
berinteraksi dengan sesamanya dan dengan lingkungannya yang bersifat takhidup.
Makhluk hidup itu membentuk suatu masyarakat atau komunitas. Susunan suatu
masyarakat makhluk hidup di dalam ekosistem dapat berubah dari waktu ke waktu, akan
tetapi pada suatu ketika dapat mencapai suatu keadaan yang mantap dan tidak mudah
berubah. Kalau keadaan seperti ini sudah tercapat dikatakanlah bahwa ekosistem itu sudah
mencapai suatu komunitas klimaks.
Misalnya saja suatu hutan tropik aslinya terdiri atas campuran berbagai tumbuhan. Ada
yang berbentuk pohon, ada pula yang berbentuk perdu, dan semak-semak. Kalau hutan
yang terdiri atas berbagai jenis pepohonan itu selalu saja mengalami kebakaran, apa yang
akan terjadi? Setelah suatu kebakaran pepohonan banyak yang mati. Akan tetapi satu jenis
misalnya mempunyai sifat dapat menumbuhkan tunas dengan mudah dari bagian-bagian
batang yang tidak rusak terbakar. Akibatnya tumbuhan itu akan tumbuh lebih mudah.
Kalau kebakaran terjadi berulang-ulang maka hutan kayu campuran itu akan berubah
menjadi hutan pohon jenis tungal dan tercapailah suatu masyarakat klimaks. Hutan Pinus
merkusii yang menyebar dari Takengon ke danau Toba adalah suatu komunitas klimaks
yang terjadi karena seringnya terjadi kebakaran beruntun. Demikian pula halnya dengan
hutan Acacia dan Eucalyptus di Australia.
Kembali ke ekosistem akuarium, apabila di akuarium itu tanpa penambahan udara dan
makanan ikan dan tumbuhan airnya dapat hidup berdampingan tanpa saling mengganggu,
maka dari segi ekosistem itu akuarium ada dalam kesetimbangan. Kalau sewaktu-waktu ke
dalam akuarium itu harus dipompakan udara dan ditambahkan makanan, maka hal itu
adalah suatu pertanda bahwa tumbuhan yang ada di dalam akuarium itu tidak mampu
menyediakan oksigen secukupnya bagi ikan dan tidak pula mampu meresap semua bahan
buangan ikan itu dengan cepat. Akhirnya bahan buangan yang berlebih itu akan menjadi
racun bagi kehidupan di dalam akuarium kalau saja tidak diadakan usaha pemberian aliran
udara, penyaringan kotoran sisa makanan, dan pemberian makanan.

4.4. Ekosistem yang Menyangkut Manusia


Untuk makannya manusia menggunakan bahan yang bersumber baik dari tumbuhan
maupun hewan. Oleh karena itu manusia termasuk omnivora. Apabila suatu ekosistem
berkaitan dengan adanya pengaruh manusia, maka interaksi manusia dengan ekosistemnya
itu memiliki sifat yang khas, yaitu bahwa ke mana kesetimbangan ekosistem bergeser
sangat dipengaruhi oleh usaha-usaha manusia mengendalikan lingkungan hidupnya itu.
Hal itu hanya manusia yang dapat melakukannya karena hanya manusia juga yang diberi
kemampuan berpikir dan bernalar. Dengan kemampuannya ini manusia dapat melakukan
pilihan tindakan mana saja dari sekian banyak tindakan yang akan dilakukannya agar
maksud tertentu dapat dicapai.
Maksud tertentu yang ingin dicapai manusia itu sangat tergantung pada tingkatan
perkembangan pemikirannya. Manusia sederhana hanya akan memikirkan masa kini,
sedangkan manusia yang sadar akan kepentingan anakcucunya akan selalu melihat segala
sesuatu pilihan tindakan-nya berdasar pada kepentingan masa depan. Demikianlah pada
tahap-tahap pertama perkembangan kebudayaan manusia, kehidupan manusia boleh
dikatakan disandarkan pada kemampuan para lelakinya untuk berburu dan mengumpulkan
hasil alam. Cara seperti ini masih dilakukan oleh saudara-saudara kita suku terasing seperti
suku Kubu dan Sakai di Sumatera, suku Toala di Sulawesi, suku Punan di Kalimantan, serta
berbagai suku di pedalaman Irian Jaya. Di Indonesia, yang paling gigih bertahan dalam
kehidupan berburu dan mengumpul itu adalah saudara-saudara kita dari suku-suku yang
terasing ini. Karena dalam usaha mengumpulkan hasil alam itu mau tidak mau hutan harus
dirambah, akan timbul kerusakan hutan sebagai akibatnya. Apalagi karena kayu hutan juga
dijadikan sumber energi keperluan rumah tangga. Oleh karena itu demi mengatasi
kerusakan lingkungan, Pemerintah berusaha keras mengubah perilaku hidup mereka
menjadi masyarakat yang hidup menetap.
Tidak saja pada sukubangsa yang masih hidup berkelana, melainkan juga pada
sukubangsa yang sudah lebih maju kebudayaannya pun masih dapat diamati sisa-sisa
pengandalan sumber energi langsung dari tenaga fisik manusia dan kayu hutan. Pada
upacara adat perkawinan di Tapanuli misalnya ada kebiasaan orangtua untuk mendoakan
keselamatan kedua mempelai dengan mengucapkan pantun berikut:
Lak-lak di ganjang pintu,
Singkoru digolom-golom,
Maranak sampulu-pitu,
Marboru sampulu-onom.
Artinya kira-kira ialah:
Kulit-kayu di atas pintu,
Biji jelai digenggam-genggam,
Beranak lelaki sepuluh-tujuh,
Beranak perempuan sepuluh-enam.
Doa ini pasti berasal dari zaman ketika masyarakat itu mengandalkan tenaga lelaki
untuk merambah hutan dan berburu, serta tenaga perempuan untuk menangani hasil
perburuan dan pengumpulan. Karena itu dianggaplah bahwa suatu keluarga akan
berbahagia apabila mempunyai anak tigapuluhtiga orang. Di antaranya diharapkan anak
lelaki lebih banyak karena tenaga mereka diperlukan untuk merambah hutan, berburu, dan
mempertahankan diri.
Lama-kelamaan kelompok pemburu dan pengumpul ini mengalami ledakan populasi
dan muncullah keinginan agar tumbuhan yang mereka perlukan hasilnya itu dapat tumbuh
dengan baik di dekat tempat tinggalnya. Maka muncullah kebudayaan bercocoktanam dan
beternak. Tumbuhan yang ditanam dan kemudian dipelihara agar menghasilkan dengan
baik disebut tanaman, sedangkan hewan yang dipelihara disebut hewan-piara atau ternak.
Muncullah apa yang sekarang disebut pertanian. Dengan melakukan bercocoktanam dan
pemeliharaan ternak manusia mulai mencoba mengadakan kesetimbangan keperluan
hidupnya dengan lingkungan menuju pencapaian suatu komunitas klimaks yang
menguntungkan dirinya. Akan tetapi di dalam kebudayaan yang mengandalkan pada
kegiatan bercocoktanam ini juga manusia masih tetap dianggap sebagai sumber utama
penghasil tenaga. Karena itu juga di dalam masyarakat pertanian primitif anak yang banyak
merupakan modal dasar untuk mengembangkan usaha pertanian.
4.5. Kemajuan Teknologi Ancaman Terhadap Kesetimbangan Ekosistem
Dengan majunya pengetahuan manusia, upaya kesehatan menjadi membaik dan
populasi penduduk pun bertambah. Sekarang, pada tahun 1990 ini penduduk Indonesia ada
di sekitar 180 juta orang sedangkan penduduk dunia mencapai hampir 5.3 milyar orang.
Hal ini berarti pengurangan lahan pertanian karena perlunya menambah tempat
pemukiman dan sarana perhubungan. Akibatnya perlu teknologi budidaya pertanian baru
agar dari suatu luasan lahan tertentu dapat dihasilkan produk yang lebih banyak. Karena
itu diperlukan masukan pupuk buatan, insektisida, dan pestisida. Sementara itu usaha
perluasan lahan pertanian pun dilakukan dengan menebang hutan, yang sekaligus juga
memenuhi keperluan manusia akan kayu.
Oleh karena itu pertambahan populasi selalu diiringi dengan erosi tanah, pencemaran
lahan, perairan, dan udara. Apalagi pembakaran hutan menggeser kesetimbangan
karbondioksida di udara karena pepohonan dengan dedaunan yang hijau berkurang dan
oleh karena itu pendaur-ulangan oksigen ke udara pun berkurang. Selain itu pembakaran
hutan dan kegiatan industri dan kendaraan perhubungan yang menggunakan motor-bakar
pun menambah banyaknya karbondioksida dan zarah debu yang masuk ke udara.
Penambahan lapisan debu dan karbondioksida di angkasa yang mengelilingi bumi
bekerja sebagai lapisan penyekat pemantulan gelombang panas matahari yang dipantulkan
dari bumi ke ruang angkasa. Hal ini dapat menimbulkan “efek rumahkaca”, yang akibatnya
adalah peningkatan suhu bumi. Peningkatan suhu bumi akan mencairkan lapisan es di
kedua kutub bumi dan akibatnya permukaan laut akan naik dan merendam bagian bumi
yang rendah, seperti pulau-pulau kecil dan daerah-daerah di tepi pantai.
Teknologi baru yang maksudnya menyamankan kehidupan di dunia berkat majunya
ilmu pengetahuan dapat pula mengakibatkan kerusakan pada bumi. Salah satu zat yang
mencemarkan udara ialah Kloro-Fluoro-Karbon atau CFC yang dipakai dalam berbagai
kaleng yang menyemprotkan isi kaleng itu secara otomatis, seperti pada insektisida dan
minyak wangi. Selain itu juga CFC dipakai sebagai bahan kimia pendingin pada mesin
penyejuk ruangan. Bocornya gas CFC ini ke udara dan berkumpulnya di angkasa di atas
kedua kutub bumi mengakibatkan bocornya lapisan Ozon di angkasa yang melindungi
bumi dari sinar Lewat-Ungu yang terdapat dalam spektrum sinar matahari. Sinar Lewat-
Ungu ini berbahaya bagi kesehatan manusia dan kehidupan lainnya di bumi.
Oleh karena itu, teknologi baru dalam bidang pertanian pun harus memperhitungkan
pengaruh sampingannya yang dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem bumi.

4.6. Latarbelakang Kehidupan Mahasiswa Pertanian


Barangsiapa masuk menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi pertanian sebenarnya
sudah berniat untuk bergerak dalam salah satu kegiatan yang ada hubungannya langsung
atau tidak langsung dengan bidang pertanian. Oleh karena itu setiap mahasiswa baru di
perguruan tinggi seperti itu harus berusaha memahami apa yang dimaksudkan dengan
pertanian itu, dari bentuknya yang tersederhana sampai bentuknya yang sangat canggih.
Dahulu kala di luar negeri mahasiswa ilmu-ilmu pertanian biasanya berasal dari daerah
pedesaan dengan latarbelakang kehidupan dalam bidang pertanian dalam arti yang luas.
Setelah selesai dari pendidikan tinggi mereka kembali lagi ke pertanian orangtua mereka
dan mulai menggarap pertanian itu dengan cara yang lebih efisien. Hal itu dimungkinkan
pula karena pertanian yang mereka miliki bukan seperempat hektar seperti yang lazim di
Indonesia, melainkan beratus hektar. Pertanian berukuran 300 hektar saja yang kira-kira
sebanding dengan luas Kampus Institut Pertanian Bogor di Darmaga, masih membuat
pemiliknya tergolong sebagai petani kecil di Amerika Serikat.
Sekarang pola keadaan latarbelakang mahasiswa baru yang memasuki perguruan tinggi
pertanian di Eropa dan Amerika Serikat sudah mulai berubah, karena bukan saja pemuda
pedesaan tetapi juga pemuda perkotaan mulai tertarik ke kegiatan dalam sektor pertanian
karena pertanian zaman sekarang dapat dilakukan secara intensif juga di daerah yang
sudah mulai bersifat perkotaan. Selain itu kegiatan pertanian itu sudah mulai bersifat
industri sehingga banyak terbuka kegiatan-kegiatan perekonomian yang tidak langsung
berupa kegiatan pertanian akan tetapi mendukung kegiatan-kegiatan pertanian itu. Karena
itu kepada mahasiswa perguruan tinggi pertanian di luar negeri sejak beberapa lamanya
diwajibkan mencari sendiri pengalaman praktek di suatu petanian. Di Jerman misalnya
seorang mahasiswa sebelum memulai kuliahnya di sekolah tinggi pertanian harus bekerja
lebih dahulu sebagai magang selama setahun di suatu perusahaan pertanian.
Di Indonesia sejak dahulu tidak banyak anak petani yang dapat memasuki perguruan
tinggi karena kebanyakan sudah akan putus sekolah di peringkat pendidikan dasar. Kalau
pun ada yang berhasil lulus dengan gemilang dari peringkat pendidikan lanjutan atas,
orangtuanya ingin agar anaknya yang pandai itu tidak lagi menjadi petani seperti bapaknya.
Karena itu sejak awal adanya pendidikan tinggi pertanian di Indonesia, mahasiswanya
biasanya berasal dari lingkungan keluarga yang matapencahariannya bukan dari pertanian.
Bahkan kalau mereka datang dari daerah perkotaan, kehidupan pedesaan dan masalah
pertanian hanyalah hal yang asing saja bagi mereka. Sayang sekali di Indonesia tidak
mungkin dimintakan kepada semua calon mahasiswa perguruan tinggi pertanian untuk
menjadi magang dahulu di perusahaan pertanian di pedesaan karena pertanian di pedesaan
bukanlah usahatani yang menguntungkan dan dapat menampung tenaga kerja tambahan.
Lagipula, kalau calon mahasiswa dimagangkan pada usaha pertanian primitif seperti itu
pengalaman pertaniannya adalah mengenai usaha pertanian primitif yang tujuannya hanya
mencukupi keperluan hidup sehari-hari keluarga petani itu. Yang diperlukan calon
mahasiswa pertanian sebenarnya bukanlah hal itu melainkan pengalaman yang dapat mem-
bukakan matanya akan cakrawala pertanian sebagai suatu usaha yang berusaha
mendapatkan laba.

4.7. Upaya Mengatasi Kekurangan Latarbelakang Pertanian


Adanya kekurangan latarbelakang pengalaman hidup dalam lingkungan petanian
menyebabkan diperlukannya suatu kuliah pengantar tentang apa sebenarnya yang di -
maksudkan dengan pertanian sangat penting bagi mahasiswa yang baru saja memasuki
perguruan tinggi pertanian. Kuliah-kuliah ini juga diharapkan dapat mengajak mereka
berpikir usaha pertanian macam apa yang harus dikembang-kan di masa depan di
Indonesia ini agar sektor pertanian dapat menjadi tulang punggung perekonomian bangsa
lagi setelah penghasilan negara dari sumberdaya minyak dan gas bumi menyusut.
Dalam kuliah-kuliah yang akan datang ini kita akan membahas perkembangan usaha
bercocoktanam dari bentuk yang paling primitif sampai ke bentuk yang kita harapkan dapat
menjadi awal perkembangan usaha pertanian industri. Dalam pembahasan itu juga kita
akan mencoba mencari-cari di bagian mana dari kegiatan sektor pertanian itu kita nanti
akan mencoba membaktikan diri sebagai lulusan suatu perguruan tinggi pertanian.
Belajar dari kuliah-kuliah saja pasti tidak memadai. Karena itu para mahasiswa diimbau
untuk secara swakarsa memperhatikan keadaan di lingkungannya. Di kota ia dapat
mempelajari apa saja yang terjadi di pasar-pasar dengan tataniaga hasil pertanian. Dari
perkenalan itu ia kemudian dapat mempelajari bagaimana proses produksinya berlangsung
di daerah pedesaan, yang tidak perlu harus terletak jauh dari kota, karena suasana
pertanian segera dapat dihayati begitu kita keluar dari batas kota. Yang perlu diamati juga
bukan hanya tumbuhan dan hewan yang ada, melainkan manusia yang ada di belakangnya,
yang memelihara tanaman dan ternak itu hingga menghasilkan, dan yang menjadi
perantara agar hasil pertanian itu sampai di tangan konsumen, baik dalam bentuk bahan
yang belum diolah, maupun dalam bentuk yang telah mengalami pengolahan. Dari
petanian hingga ke tangan konsumen, hasil pertanian itu akan beralih tangan berkali-kali.
Sangat mengesankan juga apabila dapat disempatkan mengkaji dari harga-beli konsumen,
berapa saja yang diterima oleh penghasilnya, dan berapa bagian yang diterima oleh para
perantara. Setelah menyadari hal itu, di dalam kalbu manusia yang bersemangat muda dan
suratan nasibnya adalah menjadi mahasiswa perguruan tinggi pertanian pasti akan timbul
kebanggaan menjadikan lapangan kerja di sektor pertanian sebagai panggilan hidupnya di
masa depan.

5. APAKAH PERTANIAN ITU?

5.1. Asal Mula Pertanian


Mungkin sekali secara kebetulan beberapa biji-bijian yang terbuang sewaktu kaum ibu
menyiapkan makanan mengecambah dan tumbuh menjadi tanaman yang meng¬hasilkan.
Kejadian seperti itu menimbulkan keinginan pada kaum ibu untuk menanam kembali
sebagian bebijian yang mereka kumpulkan dari lapangan dan muncullah usaha
bercocoktanam sebagai salah satu kegiatan pertama per¬tanian. Demikian pula sebagian
hewan yang tertangkap sebagai hasil perburuan mungkin sekali tidak dibunuh untuk
dimakan karena ada anggota keluarga yang menggunakan¬nya sebagai permainan.
Akhirnya hewan yang dipelihara itu berkembangbiak dan lahirlah usaha peternakan yang
pertama sebagai imbangan bercocoktanam dalam kegiatan pertanian.
Di dalam kepustakaan kuno terdapat cerita bahwa penemu kegiatan pertanian ialah
Kaisar Cina Shen Nung. Ketika ia melihat rakyatnya senang makan daging sapi dan ayam,
ia mencetuskan gagasan membuat suatu alat peng¬olah tanah dari sebilah kayu yang
ditajamkan dan di¬tempelkan pada suatu tongkat. Itulah model bajak yang pertama dan
dengan bajak itu ia menyuruh rakyatnya mengolah tanah dan bertanam jawawut. Jawawut
itu tidak hanya digunakan langsung sebagai makanan rakyatnya tetapi juga dapat
digunakan untuk makanan sapi dan ayam.
Usaha bercocoktanam buah-buahan pertama yang tercatat dalam sejarah mungkin ialah
seperti apa yang dikemukakan dalam Bab Pendahuluan mengenai orang Babilonia Kuno
yang telah mengetahui bahwa pohon kurma yang mampu berbuah akan lebih banyak
buahnya apabila semacam tepung yang dihasilkan bunga pohon yang “mandul” dipukul-
pukulkan ke tandan bunga pohon yang mampu berbuah. Pada ketika itu belum jelas bagi
petani kurma bahwa pohon yang “mandul” itu bukannya mandul, melainkan adalah
pohon yang berbunga jantan. Terungkapnya pengetahuan bahwa pohon kurma itu ada
dua jenis, yaitu peristiwa yang sekarang kita namakan “berumah dua”, mungkin sekali
terjadi karena pada mulanya mereka memusnakan semua tanaman yang tidak
menghasilkan buah. Sebagai akibatnya pohon-pohon yang biasanya berbuah, berluruhan
putiknya, dan tahulah mereka bahwa pohon yang mereka sangka tidak berguna karena
mandul itu memegang peranan penting dalam pembentukan buah. Hal itu menyebabkan
naluri petani bekerja dan berusaha membuat lebih banyak bunga pohon yang “subur” dapat
berubah menjadi buah dengan memukul-mukulkan tandan bunga dari pohon “mandul” ke
tandan bunga pohon “subur”. Pekerjaan yang dilakukan petani ini sekaligus mengubah
status pohon kurma dari sekumpulan tumbuhan yang hanya dimanfaatkan hasilnya
menjadi sekumpulan tanaman yang ditingkatkan pemanfaatan hasilnya melalui
pemeliharaan. Usaha pemeliharaan terhadap makhluk hidup lain yang dilakukan manusia
ini adalah ciri utama kegiatan pertanian.
Dari berbagai penggalian kepurbakalaan terungkapkan bahwa rakyat Kaisar Shen Nung
yang hidup 100 abad yang lalu di lembah sungai Kuning, pada mulanya hidup dari berburu
hewan dan mengumpulkan buah-buahan, bebijian, dan kekacangan. Akan tetapi setelah
rakyatnya bertambah banyak, lingkungannya tidak dapat memberikan hasil alam yang
cukup untuk mendukung kehidupan sehingga terjadilah kelaparan. Menurut cerita, Kaisar
Chen Ning kemudian menciptakan bajak dari kayu yang pipih untuk mengolah tanah dan
rakyatnya disuruhnya menanam jawawut. Itulah katanya permulaan adanya pertanian, dan
beralihlah kebudayaan dari Zaman Batu Lama atau Paleolitikum ke Zaman Batu Baru atau
Neolitikum yang ditandai oleh adanya pertanian yang menetap.
Di mana-mana di seluruh dunia pada suatu tahap dalam peradaban kuno orang akan
beralih dari usaha berburu dan mengumpulkan hasil alam ke usaha bercocoktanam. Dengan
usaha bercocoktanam ini keperluan akan bahan makanan dapat diperoleh sewaktu-waktu
dari tempat yang letaknya dekat ke tempat bermukim, sedangkan sebagai akibatnya juga
setiap hari selama keadaan cuaca mengizinkan, tersedia bahan makanan segar yang tidak
perlu diawetkan. Apalagi ketika itu cara-cara mengawetkan makanan belum banyak
diketahui orang selain barangkali cara-cara mengeringkan dan mengasap makanan. Akan
tetapi, atas dasar berbagai pengamatan kepurbakalaan, keras dugaan orang bahwa usaha
pertanian itu di berbagai masyarakat primitif diprakarsai oleh kaum wanita dengan maksud
untuk lebih mudah menyediakan makanan bagi keluarganya. Karena itu pertanian dapat
dianggap sebagai suatu usaha untuk mengadakan suatu ekosistem buatan yang bertugas
menyediakan bahan makanan bagi manusia.

5.2. Pertanian Ladang Menuju Ekosistem Lalang


Seperti telah diuraikan sebelumnya, suatu ekosistem terdiri atas suatu masyarakat
tumbuhan dan hewan yang berimbang, seperti yang dapat kita temukan di dalam danau,
hutan, padang rumput, atau bahkan rawa air payau. Ekosistem semacam ini bersifat mantap
susunan makhluk hidupnya karena adanya saling ketergantungan yang berimbang, yang
secara alami akan menjaga agar tidak ada satu jenis makhluk pun yang dapat mendominasi
makhluk hidup lain sehingga mengalami kepunahan. Di hutan tusam (Pinus merkusii) dari
Aceh Tengah hingga ke sekitar danau Toba, pohon tusam itu tidak akan menekan
kehidupan tumbuhan lainnya karena di sela-sela serasah daun tusam itu masih ada juga
tumbuhan semak yang bersaing dengan akar tusam sehingga tusam itu terhambat juga
tumbuhnya. Sekali-sekali terjadi kebakaran karena misalnya ada petir yang menyambar
pohon tusam. Sebagai akibatnya akan terjadi kebakaran dan seluruh semak juga ikut
terbakar dengan tajuk pohon tusam. Akan tetapi tidak lama kemudian pohon tusam itu
bertunas kembali. Sementara semak belukar belum tumbuh tunas-tunas tusam itu akan
membesar dan membentuk tajuk baru dengan cepat. Setelah itu biji-biji tumbuhan belukar
yang jatuh ke permukaan tanah mulai tumbuh kembali dan membentuk belukar yang
kembali menimbulkan persaingan dengan pohon tusam. Maka dengan cara ini hutan tusam
itu sebagai suatu ekosistem ada dalam keseimbangan.
Apabila manusia mengadakan usaha pertanian, maka ia memerlukan lahan usaha yang
biasanya diambil dari suatu ekosistem alam yang sudah ada dalam kesetimbangan. Kalau
lahan itu diambil dari hutan, maka yang dilakukannya ialah menebang pepohonan dari
hutan itu dan kemudian menanami lahan yang terbuka itu dengan bebijian, misalnya padi.
Terjadilah ladang padi. Seluruh permukaan lahan akan ditumbuhi padi dan padi itu akan
menghasilkan gabah. Mula-mula produksinya tinggi, akan tetapi setelah usaha yang kedua
dan seterusnya hasil padi akan sangat menurun karena persediaan hara tanah yang tadinya
berasal dari serasah hutan yang membawa mineral dari lapisan bawah tanah ke lapisan atas
mulai habis diserap oleh tanaman padi.
Lagipula hama dan penyakit tanaman padi semakin banyak saja mengganggu padi
ladang itu sehingga akhirnya padi tidak dapat tumbuh lagi di ladang itu. Petani primitif
zaman dahulu akan meninggalkan ladang itu dan membuka kembali hutan baru untuk
mendapatkan lahan yang dapat diladangkan kembali selama dua musim tanam. Lahan
ladang yang lama ditinggalkannya untuk diperbaiki sendiri oleh alam. Kalau ladang yang
sudah tandus itu dibiarkan selama delapan hingga sepuluh tahun maka pada lahan tadi
akan tumbuh kembali hutan baru yang disebut hutan sekunder yang sudah cukup matang
untuk diladangkan kembali. Akan tetapi dengan bertambahnya penduduk, lahan yang
tersedia menjadi berkurang dan orang terpaksa datang kembali ke bekas ladangnya yang
lama dalam waktu yang lebih cepat, sehingga sebelum tanah hutan itu sempat mengalami
kesetimbangan, sudah mulai kembali digarap sebagai lahan untuk bercocok tanam. Inilah
yang menimbulkan malapetaka karena di atas lahan itu tidak akan dapat ditumbuhkan padi
untuk menghasilkan gabah. Yang tumbuh malah tumbuhan lain yang lebih dapat bersaing
tumbuh di lahan yang sangat miskin. Tumbuhan itu adalah alang-alang atau lalang
(Imperata cylindrica) yang kemudian lebih merusak tanah lagi. Inilah yang terjadi di seluruh
Indonesia. Kalau kita misalnya menempuh jalan lintas Sumatera dari arah Sumatera Barat
ke Sumatera Utara, maka selepas Rimbo Panti menjelang masuk ke perbatasan Sumatera
Utara akan dapat kita amati di sebelah kiri kita bukit-bukit di dataran tinggi Pakantan yang
sudah tidak lagi tertutup hutan melainkan tertutup alang-alang. Keadaan yang serupa juga
dapat kita amati di pulau-pulau yang lain. Oleh karena itu bercocoktanam sistem ladang
yang menggunakan prinsip Pertanian Bergeser itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
karena hanya akan menciptakan ekosistem padang lalang.

5.3. Pertanian Menetap


Ekosistem padang lalang tercapai sebagai suatu klimaks karena dari dalam sistem itu
telah tercabut energi dan unsur hara jauh lebih banyak daripada yang dimasukkan kembali.
Karena itu makhluk hidup yang kemudian dapat menyusun suatu ekosistem yang mantap
di tempat itu adalah masyarakat makhluk hidup yang hanya memerlukan persyaratan
hidup yang sedikit saja, yaitu di antaranya alang-alang.
Kalau kita ingin mengadakan usaha bercocoktanam di atas suatu lahan dengan mantap,
maka hal itu berarti bahwa tanaman yang kita pelihara di atasnya harus kita usahakan agar
dapat menyusun suatu ekosistem yang mantap. Hal itu berarti pula bahwa setiap satuan
energi dan hara yang kita keluarkan dari tanah itu dalam usaha kita mendapatkan hasil
pertanian harus dikembalikan lagi ke dalam sistem dalam bentuk lain. Cara memilih jalan
memasukkan kembali energi dan hara yang kita cabut dari sistem itu termasuk sebagai
kepandaian kita untuk melaksanakan usaha pertanian yang menetap.
Di Indonesia salah satu cara untuk dapat menciptakan usaha pertanian menetap yang
lestari ialah dengan mengubah lahan itu menjadi sawah. Diharapkan bahwa dengan
membuat piringan-piringan yang datar tanah yang dijadikan lahan akan terhindar dari erosi
sedangkan air irigasi yang masuk akan mengembalikan mineral hara yang hilang diresap
tanaman melalui garam-garam yang terlarut di dalam air irigasi itu. Pada tahap kemajuan
teknologi berikutnya, pupuk buatan menjadi salah satu sarana produksi yang dapat
mengembalikan kesuburan lahan pertanian.
Pada umumnya ada dua cara utama pengusahaan lahan pertanian. Usaha pertama ialah
bercocoktanam, sedangkan usaha kedua ialah usaha peternakan. Akan tetapi usaha yang
terbaik kiranya ialah campuran kedua kegiatan itu yang berimbang dan dinamakan
pertanian campuran. Dalam sistem pertanian campuran ini sebagian hasil bercocoktanam
diberikan sebagai makanan ternak atau pakan kepada ternak untuk menghasilkan protein
hewani. Sebagian pakan itu akan tidak tercernakan dan sebagai pupuk kandang akan
memperkaya kembali lahan pertanian dengan mineral hara dan bahan organik yang
menggemburkan tanah. Selain itu tenaga hewan yang dipelihara pun dapat dimanfaa tkan
pada pengolahan tanah atau usaha pengangkutan hasil pertanian ke pasar.

5.4. Usahatani Gurem


Usahatani gurem bertujuan menghasilkan hasil pertanian untuk keperluan sendiri. Salah
satu usahatani gurem yang sudah dibahas ialah sistem berladang. Kita tahu bahwa kalau
penduduk mulai padat sehingga daur pemberaan lahan diperpendek, sistem itu akan
menghasilkan ekosistem alang-alang. Akan tetapi para tetua kita yang melakukan sistem
perladangan itu sebenarnya tidak salah menciptakan cara berladang itu. Dalam keadaan
hujan yang demikian derasnya di tanah air kita ini, apabila ladang itu ditanami berbagai
jenis tanaman yang berguna selain padi, maka sebagai hasilnya lahan itu sebenarnya telah
diusahakan tertutup kembali dengan dedaunan yang melindungi tanah yang sangat
berharga itu dari kikisan air hujan. Hanya saja apabila antara satu masa tanam dengan masa
tanam berikutnya tidak diberi tenggang waktu yang cukup lama, yang akhirnya tumbuh
bukanlah tanaman yang kita inginkan melainkan gulma yang tidak memerlukan lahan yang
subur, yang di antaranya ialah alang-alang.
Jenis usahatani gurem kedua yang juga penting di negara kita ialah sistem
bercocoktanam di atas lahan sawah, yaitu lahan yang diberi lapisan air yang mengalir pada
sawah yang diairi, dan lahan yang diberi lapisan air tergenang, seperti pada sawah tadah-
hujan. Tanaman yang dipelihara sudah tentu ialah padi yang menghasilkan beras sebagai
sumber karbohidrat yang menghasilkan kalori di dalam menu makanan kita. Selain
memiliki sawah itu, petani gurem biasanya memelihara berbagai macam tanaman
keperluan sehari-hari di pekarangan rumahnya. Pekarangan ini adalah lahan kering di
sekitar rumah yang ditanami. Bagian lahan di sekitar rumah yang tidak ditanami dan
dibiarkan bera dinamakan halaman dan gunanya ialah untuk tempat pertemuan, tempat
pengolahan pascapanen, lantai-jemur, dan tempat bermain anak-anak.
Hasil pertanian yang berasal dari pekarangan petani gurem juga digunakan untuk
keperluan sendiri. Karena petani itu kadang-kadang memerlukan uang tunai, misalnya
untuk membayar pajak, membeli obat, atau membayar uang sekolah, kadang-kadang hasil
pekarangan yang biasanya berupa buah-buahan tidak dimakan sendiri melainkan dijual ke
pasar. Kalau kita lihat seorang tua membawa setandan pisang saja ke pasar, besar sekali
kemungkinannya bahwa pisang itu berasal dari pekarangan dan ia pergi ke pasar untuk
menjualnya karena memerlukan uang tunai. Itu adalah salah satu gejala perbenturan antara
petani yang berstatus gurem dengan perekonomian uang. Kalau tadinya ia berusaha hidup
dari hasil usaha lahan pertaniannya sendiri tanpa merasakan perlunya memiliki uang tunai,
peradaban modern memaksanya untuk memikirkan bagaimana caranya ia sekali-sekali
harus mendapatkan uang tunai karena mulai ada keperluannya yang tidak dapat dipenuhi
oleh hasil lahannya dalam bentuk alami.
Budidaya sawah mungkin sekali dikembangkan pada mulanya di India di sepanjang
daerah pasang-surut tepi sungai-sungai besar seperti sekarang juga masih dapat dilihat di
Muang Thai, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan dengan padi mengambangnya. Padi
mengambang ini berkembang sebagai suatu penyesuaian di daerah pasang-surut seperti ini
sebagai penyesuaian terhadap keadaan lingkungan. Dalam satu hari padi seperti ini
batangnya mampu tumbuh satu sampai dua jengkal untuk mengimbangi naiknya air -
pasang.
Kemudian, kepandaian bersawah itu menyebar ke Asia Tenggara dan di daerah yang
berbukit-bukit dikembangkan menjadi pertanian sawah berteras yang sangat jelas dapat
dilihat di sekitar Garut, Bali, dan di luar negeri di Filipina. Pertanian padi sawah di Asia
Tenggara pada mulanya adalah suatu sistem bercocoktanam yang padat karya akan tetapi
tipis modal. Lahan diolah di dalam piringan sawah yang telah digenangi sehingga
berbentuk lumpur. Air penggenang dapat berasal dari air hujan yang ditadah dari langit
dan sawah seperti itu disebut sawah tadah-hujan. Air juga dapat berasal dari sungai dan
sawah demikian disebut sawah irigasi. Penggenangan tanah dan pengubahan bentuk tanah
menjadi lumpur adalah suatu usaha meniru kembali ekosistem mantap di daerah rawa di
tepi sungai. Air sungai itu menjadi sumber hara mineral bagi tanaman padi yang dengan
akarnya yang mencengkeram tanah juga meresap hara dari lumpur itu. Samasekali tidak
ada usaha mengadakan pemupukan tambahan.
Selama pertumbuhan tanaman padi itu semua gulma yang tumbuh di sekitar tanaman
padi itu dan hama serta penyakit yang mengganggu tanaman diberantas satu demi satu
dengan tangan. Yang dimaksudkan dengan hama ialah semua jenis hewan yang
mengganggu suatu pertanaman, seperti serangga, tikus, dan babi, sedangkan yang
dimaksud-kan dengan penyakit ialah semua jenis tumbuhan yang menganggu pertanaman,
seperti cendawan karat atau virus kerdil-rumput pada padi.
Pemanenan padi di beberapa daerah dilakukan dengan memotong satu demi satu
malai-malai yang sudah masak dengan pisau ketam yang dinamakan juga ani-ani. Dengan
cara ini juga benih padi untuk pertanaman berikutnya dipilih dari malai-malai yang bernas
yang tumbuh pada batang yang kekar dan tingginya sebatas pinggang para penuai padi itu.
Lama-kelamaan terbentuklah jenis padi yang rasanya sesuai dengan kesukaan lidah
setempat dan bentuknya juga cocok dengan kebiasaan bercocoktanam dan menuai para
petani di tempat itu. Secara tidak sengaja para petani zaman dahulu telah melakukan apa
yang disebut seleksi massa terhadap tanaman padinya sehingga terbentuklah jenis padi
yang rasanya enak, bentuknya mudah dituai, tidak mudah rontok, dan dapat tumbuh
dalam keadaan lingkungan yang tidak perlu diberi pemupukan tambahan.
Padi seperti itu memang sangat cocok bagi petani yang bercocoktanam padi dengan
maksud terutama menghasilkan padi untuk dimakan sendiri beserta keluarganya. Akan
tetapi apabila pertanian dilakukan dengan cara ini, yaitu dengan maksud terutama
menghasilkan hasil pertanian untuk keperluan sendiri saja, maka lahan yang diperlukan
untuk mengusahakan hasil pertanian yang mencukupi bagi seluruh penduduk dunia ini
menjadi sangat luas dan samasekali tidak tersedia. Oleh karena itu sistem pertanian yang
mantap dipandang dari segi kehidupan umat manusia secara keseluruhan seharusnya
bukanlah sistem pertanian gurem dengan tujuan utama menghasilkan untuk keperluan
sendiri melainkan sistem pertanian yang ditujukan menghasilkan komoditi niaga. Dengan
cara ini sistem bercocok-tanam dapat dilakukan dengan efisiensi penggunaan lahan dan
tenaga yang sangat tinggi. Kalau petani gurem hanya dapat menghasilkan pangan bagi
keperluan dirinya dan keluarga terdekatnya saja, maka petani pengusaha dengan cara
berusahatani yang bersifat bisnis akan dapat menutupi permintaan bahan makanan bagi
beratus orang.
Dengan masuknya perekonomian uang, petani gurem juga menghadapi tantangan.
Kalau dahulu ia mencukupi semua keperluan hidupnya dari bidang tanah yang di-
usahakannya, lambat laun keperluan hidupnya tidak lagi dapat dipenuhi dari hasil
produksi yang berasal dari ekonomi tertutup. Makin sering ia memerlukan uang untuk
menjadi alat penukar berbagai keperluan kehidupannya. Anaknya mungkin mulai
bersekolah dan pajak bumi tidak lagi dapat dilunasi dengan sebagian hasil lahannya melain-
kan dalam bentuk uang. Dalam hal seperti ini pekarangan rumahnya menjadi sumber
keperluan uang tunai yang mendadak. Kalau kita amati di jalan seseorang membawa
setandan pisang yang tidak keruan bentuknya ke pasar, besar sekali kemungkinannya
pisang yang dibawanya itu telah ditebang olehnya dari pekarangan rumahnya dan
dibawanya ke kota untuk dijual sebagai upaya mendapatkan uang tunai. Hasil
pekarangannya itu menjadi di luar jangkauannya untuk disajikan kepada anggota
keluarganya sendiri. Karena itu salah satu usaha untuk memajukan kehidupan para petani
adalah untuk mengupayakan agar mereka mengelola usaha pertanian mereka lebih
mendekati suatu bisnis. Itulah sebabnya di kesempatan berikutnya kita akan membahas
jenis pertanian yang mengarah ke bisnis.

6. PERTANIAN USAHA

6.1. Petani Gurem


Pada mulanya pertanian di tanah air kita ini dilaksana¬kan sebagai usaha menghasilkan
keperluan sehari-hari petani dari tanah tempatnya berpijak. Ketika itu setiap manusia pada
dasarnya juga adalah petani yang bersama-sama dengan orangtuanya, anaknya, dan
pasangan hidup¬nya, mengelola tanah untuk mendapatkan bahan makanan nabati maupun
hewani, serta keperluan hidup lain seperti bahan membuat rumah dan pakaian.
Petani seperti itu kita tahu adalah petani gurem dan hidup dalam suatu sistem
perekonomian tertutup. Lama-kelamaan keadaan seperti itu menekan berat di atas ke-
hidupan mereka, karena apabila lingkungannya sudah ber¬kembang, akan banyak hal-
hal yang tadinya tidak dianggap keperluan hidup berubah menjadi keperluan hidup yang
tidak dapat dihasilkan sendiri. Di dalam keadaan seperti itu petani gurem mencoba
menyesuaikan diri dengan per¬alihan suasana. Ia mulai melihat bahwa ada apa-apa yang
dihasilkan olehnya yang agaknya dapat dijual untuk dijadikan uang. Termasuk juga
tenaganya yang pada masa-masa tidak ada kegiatan di ladang atau sawah dapat
ditawarkan¬nya untuk melakukan pekerjaan kasar di daerah perkotaan.

6.2. Rumah dan Halaman


Pola pemukiman pada ketika itu terdiri atas kumpulan rumah yang didirikan
berdekatan dan membentuk suatu kampung yang biasanya dikelilingi oleh batas berupa
pagar hidup rumpun bambu. Di dalam kampung ini didirikan rumah-rumah yang masing-
masing mempunyai halaman tempat bermain dan mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang
berkenaan dengan pengolahan lanjutan hasil pertanian, seperti menjemur padi dan kayu
bakar serta menumbuk padi. Halaman itu kemudian dikitari oleh pekarangan.

6.3. Pekarangan
Pekarangan di sekitar rumah dan halaman ditanami dengan sangat tepat guna.
Tanaman yang besar terdiri atas pohon buah-buahan seperti manggis (Garcinia mangostana),
rambutan (Nephelium lappaceum), duku (Lansium domesticum), durian (Durio zibethinus),
bisbul (Diospyros discolor), gandaria (Bouca macrophylla), gowok (Eugenia polycephala), kecapi
(Sandorium koetjape), lobi-lobi (Flacourtia inermis), serta pohon lain yang dapat dijadikan
sumber sayuran teman nasi seperti nangka (Artocarpus integra), kelewih (Artocarpus
communis), dan melinjo (Gnetum gnemon). Dapat pula ditanam pepohonan yang
menghasilkan rempah-rempah seperti pala (Myristica fragrans) dan cengkih (Eugenia
aromatica). Di bawah tajuk pepohonan ini ditanam pepohonan dan perdu yang lebih kecil
yang dapat menghasilkan buah seperti berbagai jenis jeruk (Citrus sp.), berbagai jenis jambu
(Eugenia sp.), namnam (Cynometra cauliflora), dan salak (Salacca edulis); ramuan rempah-
rempah untuk memasak seperti jahe (Zingiber officinalis), lengkuas (Alpinia galanga), dan
lada (Piper nigrum). Sebagian rempah-rempah ini juga berperan sebagai bahan obat-obatan
sehingga pekarangan yang ditanami tanaman berkhasiat obat disebut juga apotek hidup.
Sebagai tanaman di lapisan terendah dapat juga ditanam bahan sayuran seperti pepaya
(Carica papaya), cabai (Capsicum sp.), bayam merah (Alternanthera amoena), bayam
(Amaranthus sp.) dan kangkung darat (Ipomoea reptans). Bagaimana susunan jenis tumbuhan
yang ditanam tentu saja berbeda-beda untuk setiap tempat bergantung pada keadaan iklim
dan tanahnya.
Tanaman pekarangan semacam yang disebutkan di atas itulah yang menjadi jembatan
bagi petani gurem untuk beralih menjadi petani usaha. Apa yang dihasilkannya di sawah
sebagian besar diperlukannya untuk keperluan hidupnya sendiri, akan tetapi apa ya ng
dihasilkannya dari pekarangan akhirnya menjadi sumber penghasil uang tunai. Apalagi
kalau tempat kediamannya dekat ke kota. Dengan cara demikianlah kemudian orang
mengenal apa yang disebut duku Condet, rambutan Binjai dan Stabat, durian Rancamaya,
serta apel Malang. Kalau kita berjalan-jalan di Batu misalnya, boleh dikatakan setiap jengkal
tanah di pekarangan rumah yang sempit sudah ditanami dengan dua tiga batang apel yang
berbuah dengan lebat.

6.4. Pekarangan Tempat Menjinakkan Tumbuhan dan Hewan


Semua tanaman yang ditanam di pekarangan itu asalnya tentu saja dari hutan dan
kemudian dijadikan tanaman peliharaan. Demikian pula halnya dengan hewan yang
dijadikan hewan piara dan dikandangkan di pekarangan, seperti kerbau, domba, dan
kambing. Di tempat-tempat yang mudah mendapatkan air mengalir, di antara halaman dan
pekarangan biasanya dibuat juga kolam tempat pemeliharaan ikan. Kalau di pekarangan
kotoran kandang ternak dijadikan pupuk penyubur tanaman pekarangan, maka ikan di
kolam mendapatkan sisa-sisa makanan manusia yang dibuang ke dalam kolam.
Satu hal yang dapat diamati dengan jelas ialah bahwa tanaman pangan seperti padi dan
jagung tidak pernah ditanam di pekarangan. Tempatnya ialah di sawah atau tegalan di luar
lingkungan pemukiman. Hanya di daerah transmigrasi baru saja hal itu dilanggar karena
misalnya di daerah Sitiung dan Subulussalam, padi, jagung, dan ubikayu justru ditanam di
pekarangan. Bahkan hampir tidak ada tersisa lahan untuk dijadikan halaman untuk melaku-
kan kegiatan pascapanen seperti menjemur hasil pertanian dan menumbuk padi, serta
mengadakan pertemuan bagi kegiatan ketetanggaan bagi orang dewasa dan kegiatan
bermain bagi anak-anak. Alasannya mudah sekali karena dengan menanam padi dan
tanaman pangan lainnya di sekitar rumah tugas menyelamatkannya dari hama babi menjadi
lebih ringan.

6.5. Rempah-rempah Awal Mula Pertanian Usaha


Beberapa dari antara tanaman pekarangan itu dahulu kala menjadi perhatian orang
Eropa, seperti misalnya buah pala dan bunga cengkih. Bahwa Columbus pada suatu ketika
berani menentang arus pendapat bahwa dunia ini datar dan berlayar ke arah barat untuk
mencari jalan lain ke nusa rempah-rempah berlandaskan perkiraan bahwa dunia ini bulat
adalah berkat adanya rempah-rempah yang dihasilkan kepulauan Maluku. Untung saja
setelah ia bertolak dari Palos di Spanyol pada tanggal 3 Agustus 1492 melalui kepulauan
Canary, ia terdampar di pulau karang Samana, di tenggara San Salvador dan di sebelah
timur Kuba. Untunglah ia tersesat dan menemukan Amerika Serikat. Kalau saja tidak
demikian halnya, Amerika Serikat mungkin ada di Indonesia, dan kita atau mungkin sekali
hanya sebagian dari kita sekarang ini bermukim di cagar-cagar budaya Indian.
Adanya rempah-rempah ini yang menjadi alasan untuk orang Belanda mendirikan
Serikat Hindia Timur (Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC) yang maksudnya
berdagang akan tetapi akhirnya berkat kekuatan armadanya dan berkat tiadanya rasa
persatuan di kalangan suku-suku bangsa di Indonesia ketika itu, menjadi penguasa mutlak
untuk beberapa lamanya di kepulauan Nusantara. Dari serikat dagang ini kemudian
berkembang pemerintahan jajahan yang mengubah Nusantara ini menjadi Hindia Belanda
yang menginduk ke negeri Belanda. Keuntungan dari perdagangan rempah-rempah itu
pula yang membuka kesempatan bagi Negeri Belanda untuk memupuk modal bagi
pembangunan kerajaannya. Hal yang sama juga terjadi dengan Inggris yang mempunyai
Serikat Hindia Inggris.

6.6. Tanaman Industri


Dalam rangka mendukung program kolonialisme ini untuk menyediakan sumber bahan
mentah bagi perindustrian di negeri Belanda didirikanlah perusahaan-perusahaan pertanian
di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Bibit teh telah dimasukkan
ke Jawa sebelum tahun 1700 oleh Gubernur Jenderal Camphuys hanya sebagai pekerjaan
iseng-iseng saja.
Kemudian barulah dimasukkan bibit teh dari Jepang pada akhir abad kedelapan belas
dan dalam awal abad kesembilan belas. Akan tetapi percobaan baru berhasil setelah
didatangkan bibit teh yang berasal dari India, yaitu dari daerah Assam, pada tahun 1878.
Inilah boleh dikatakan sumber semua perkebunan teh di Jawa, dan kemudian juga di
Sumatera.
Dataran rendah Jawa Barat terkenal sebagai tempat perkebunan karet, sedangkan
bagiannya yang lebih tinggi dijadikan perkebunan teh dan di tempat yang lebih tinggi lagi
selain teh juga ditanam kopi dan kina. Bahkan kina merupakan monopoli. Sampai sekarang
salah satu wilayah perkebunan teh yang terbaik letaknya di dataran tinggi Pengalengan. Di
daerah ini pula hingga sekarang masih ditemukan perkebunan kina. Selain di Jawa Barat
perkebunan teh juga dikembangkan juga di Jawa Tengah (Pekalongan, Semarang,
Banyumas, Kedu, dan Surakarta), serta di Jawa Timur (Madiun, Kediri, Malang, dan Besuki).
Sekarang sebagian besar perkebunan teh yang dapat bertahan hanyalah yang ada di dataran
tinggi, karena semakin tinggi letak perkebunan teh itu semakin baik mutunya walaupun
produksinya akan berkurang. Lagi pula sejak penyakit cacar teh (Exobasidium vexans) masuk
ke Indonesia pada awal tahun limapuluhan, bercocoktanam teh di dataran tinggi yang agak
rendah tidak menguntungkan lagi. Di Sumatera perkebunan teh masih bertahan di
Sumatera Utara di sekitar Pematang Siantar, di Sumatera Barat, dan di Bengkulu serta Jambi
(Kerinci).
Perkebunan lain yang penting ialah perkebunan kelapa sawit, kopi, tembakau, dan tebu.
Perkebunan kelapa sawit pusatnya di Sumatera Utara dan kini dikembangkan sampai ke
Kalimantan Barat, sedangkan perkebunan kopi yang penting di Jawa terutama ada di
sekitar Jember di Jawa Timur. Kopi juga dihasilkan oleh pengusaha swasta di Timor Timur,
Sumatera, Bali, dan Tana Toraja. Pada umumnya ada dua jenis kopi yang penting. Kopi
arabica ditanam di tempat-tempat di atas 1000 meter dari permukaan laut sedangkan kopi
robusta dapat ditanam di bawah ketinggian itu. Semakin tinggi tempat kopi arabica
ditanam, semakin baik mutunya. Dahulu kopi arabica juga ditanam di tempat-tempat di
bawah 1000 m. dari permukaan laut. Dengan datangnya penyakit daun kopi Hemileia
vastatrix yang terbawa dari daerah asal kopi di Amerika Selatan, kopi arabica tidak dapat
lagi ditanam di bawah 1000 m. dari muka laut.
Daerah kopi arabica yang penting di antaranya adalah dataran tinggi Sidikalang dan
Pakantan di Sumatera Utara, dataran tinggi Gayo di Daerah Istimewa Aceh, dan Tana
Toraja. Kopi arabica yang berasal dari dataran tinggi Pakantan dikenal di luar negeri sebagai
Mandheling coffee, akan tetapi sekarang ada dalam keadaan yang merana karena di
kampung itu penduduknya sebagian besar adalah orang yang berusia lanjut dan tidak
sanggup lagi mendaki ke kebun-kebun di ketinggian di atas 1000 m. Karena itu mereka
bertanam kopi di lahan yang dekat ke rumah, yaitu masih di dalam batas perkampungan
pada ketinggian 900 m. Karena itu yang ditanam pun adalah kopi robusta. Lampung dan
Bali adalah penghasil kopi robusta yang penting. Kopi jenis mana yang dianggap enak
tergantung pada cara kita hendak meminumnya. Kopi arabica sangat baik untuk keperluan
pembuatan kopi tersaring yang dibubuhi susu, sedangkan kopi robusta sangat cocok untuk
diminum sebagai kopi tubruk. Penjual kopi tertentu mempunyai rumus campuran masing-
masing bagi kopi yang mereka jual. Di Timor Timur dari kopi arabica dan robusta telah
terjadi persilangan yang kemudian dikenal sebagai kopi arabusta. Di pasaran juga dikenal
kopi yang diberi nama kopi luak. Pada mulanya kopi luak berasal dari biji kopi yang
dikeluarkan kembali dari sistem pencernaan luak pemakan kopi. Karena luak hanya mau
makan buah kopi yang sudah masak, dengan sendirinya biji kopi yang keluar lagi dari
sistem pencernaannya terdiri atas biji yang berasal dari buah masak yang terpilih.
Pemilihannya jauh lebih baik daripada pemilihan yang dapat dilakukan oleh para pemetik
buah kopi.
Tembakau pada mulanya merupakan komoditi sangat penting yang berasal dari
Indonesia. Tembakau Deli misalnya tadinya adalah bahan penyalut luar serutu yang terbaik
di dunia karena tipisnya dan kuatnya digulung tanpa mengalami keretakan. Tembakau
daerah kesultanan atau Vorstenland digunakan sebagai lapisan pembungkus di bawah
lapisan pembungkus luar, sedangkan tembakau Besuki terdiri atas dua macam. Tembakau
yang dipanen pada musim kemarau dinamakan tembakau panen-awal (Voor-oogst) yang
diselenggarakan oleh penduduk dan hasilnya terutama digunakan untuk membuat sigaret.
Jenis kedua adalah tembakau panen-akhir atau Naa-oogst yang diselenggarakan oleh
perkebunan dan yang hasilnya sangat baik untuk membuat cerutu.
Pelelangan tembakau biasanya dilakukan di Bremen. Usaha bercocoktanam tembakau
lambat-laun akan mengalami kemunduran karena di luar negeri semakin banyak diadakan
kampanye anti-merokok demi untuk menjaga kesehatan. Selain itu penanaman tembakau di
Deli untuk keperluan daun pembungkus luar cerutu mengalami persaingan yang keras
berkat kemajuan teknologi.
Dahulu kala penanaman tembakau Deli dilakukan pada lahan yang setelah dipanen
diberakan untuk menjadi hutan kembali selama delapan tahun. Setelah jangka waktu
selama itu barulah lahan boleh dibuka kembali untuk ditanami tembakau. Dengan cara ini
kualitas tembakau Deli dapat dipertahankan. Akan tetapi lama-kelamaan dengan pesatnya
pertambahan penduduk cara bercocoktanam seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi dan
pendaur-ulangan lahan dipersingkat dengan akibat menurunnya kualitas tembakau.
Kompleks kampus Universitas Sumatera Utara dan perkampungan di sekitarnya misalnya
dahulu adalah daerah perkebunan tembakau Deli. Merosotnya peranan tembakau Deli
sebagai komoditi pertanian disebabkan dua hal, yaitu berkurangnya orang yang gemar
merokok, dan terlambatnya upaya mencari cara lain untuk mempertahankan mutu
tembakau walaupun sudah diketahui bahwa pendaur-ulangan pemakaian lahan dengan
jangka waktu delapan tahun tidak dapat dipertahankan lagi karena merupakan pemborosan
pemanfaatan tanah.
Sementara itu dengan teknologi pasca-panen daun tembakau dapat dibuat menjadi tipis
dan kenyal sehingga dengan teknologi dapat diperoleh daun tembakau yang hampir sama
mutunya dengan daun tembakau Deli. Dengan demikian ada pihak-pihak yang sudah dapat
membuat daun tembakau salut-luar cerutu dengan proses yang lebih murah sehingga
pengusahaan tembakau salut-luar cerutu di Deli mendapat saingan yang sangat berat.
Karena itu sekarang ini banyak areal yang tadinya ditanami tembakau di Sumatera Timur
diubah menjadi perkebunan sawit.
Perluasan tanaman sawit di Indonesia sekarang dilakukan secara besar-besaran
menggunakan teknologi canggih, yaitu teknik kultur jaringan. Dari meristem daun atau
akar yang belum didiferensiasi, dengan menggunakan larutan hara tertentu dibiakkan
jaringan callus, yaitu jaringan seperti yang terbentuk pada tepi kulitbatang yang sudah
dikelupas pada cangkokan. Jaringan ini kemudian dipelihara dalam larutan hara lain untuk
menumbuhkan pucuk. Setelah pucuk tumbuh jaringan kemudian dipelihara dalam larutan
hara lain untuk menumbuhkan akar. Semuanya ini dilakukan dalam tabung-tabung yang
ditempatkan dalam lemari-lemari yang dipanasi secara buatan dan diberi cahaya matahari
buatan. Dengan cara ini dapat diperoleh bibit sawit dalam jumlah yang sangat besar dalam
waktu yang singkat. Akan tetapi akhir-akhir ini di beberapa pertanaman ternyata muncul
pohon-pohon yang menghasilkan tandan-tandan bunga yang hermafrodit. Seharusnya
tandan bunga itu atau jantan atau betina. Dengan munculnya tandan hermafrodit,
dayahasilnya menjadi sangat berkurang. Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan
seperti ini masih menjadi pertanyaan. Akan tetapi hal ini adalah suatu teladan tentang
teknologi yang berkembang jauh lebih cepat daripada sains yang mendukungnya. Dalam hal
teknik kultur jaringan ini agaknya para peneliti lebih terpesona untuk menemukan cara-cara
mendapatkan bibit dari meristem yang belum berdiferensiasi, tanpa mencoba memahami
apakah dengan cara itu tidak akan muncul penyimpangan-penyimpangan yang disebabkan
oleh adanya mutasi genetik di dalam sel-sel callus.
Di Indonesia gula dihasilkan dari tebu sedangkan di Eropa dihasilkan dari bit. Budidaya
tebu di Indonesia mula-mula diadakan di Jawa di dataran rendah yang mudah diairi.
Bahkan sistem pengairan yang baik yang terdapat di daerah pesawahan di Jawa dahulu
dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda terutama untuk mendukung perusahaan
perkebunan tebu yang menyewa sawah-sawah terbaik selama delapan belas bulan untuk
bercocoktanam tebu. Perkebunan itu sendiri tidak memiliki lahan melainkan hanya ber-
modalkan emplasemen yang menjadi tempat kegiatan peng-gilingan tebu untuk
mendapatkan niranya dan kemudian pembuatan gula dari nira tersebut.
Pengolahan tanah untuk ditanami tebu sangat bersifat padat karya karena di petak-
petak sawah dibuat alur-alur tempat stek batang tebu ditanamkan. Setelah tumbuh pada
suatu ketika alur itu ditutup dan dibumbun menjadi guludan. Setelah delapan belas bulan
tebu itu ditebas semuanya pada suatu saat ketika kadar niranya mencapai suatu
maksimum dan kemudian segera digiling dan diolah. Cara budidaya ini dinamakan sistem
Reynoso dan sangat berbeda dengan cara budidaya tebu yang dilakukan di Kuba dan di
Hawaii. Di kedua tempat itu tebu setelah ditebas dibiarkan tumbuh kembali tunas atau
ratoon-nya untuk ditebas kembali setelah cukup besar. Hal ini dilakukan berkali-kali sampai
produksinya mulai menurun. Baru diadakan pembongkaran dan penanaman kembali.
Metode ini dinamakan sistem ratooning dan tidak terlalu banyak memerlukan tenaga kerja.
Kekurangannya ialah bahwa produksinya memang tidak mencapai produksi setinggi yang
dapat dicapai dengan metode Reynoso.
Sistem pengusahaan perkebunan tebu seperti yang diwariskan oleh Belanda itu
mempunyai segi negatif karena terlalu berpihak pada pengusaha dengan merugikan petani
pemilik lahan. Karena itu sekarang ada pengaturan baru yang dikenal dengan metode TRI
(Tebu Rakyat Intensifikasi). Dengan cara ini rakyat sendiri bercocoktanam tebu di atas
lahannya sendiri dan kemudian menjualnya ke penggilingan tebu. Akan tetapi karena hasil
akhir sangat ditentukan oleh kadar nira tebu sewaktu ditebas dan oleh kecepatan mengolah
tebu itu di pabrik sebelum kadar nira turun karena fermentasi, tebu rakyat intensifikasi ini
banyak mengalami kerugian hasil yang disebabkan karena tidak dapat memanfaatkan saat
panen dan giling yang tepat.
Dari apa yang telah dibahas ini dapat kita simpulkan bahwa perusahaan pertanian
perkebunan yang bentuknya sebenarnya telah dimantapkan sejak lama, pada saat ini dan di
masa depan yang dekat ini tetap harus mengalami peninjauan dan penyesuaian terhadap
keadaan lingkungan sosial dan keadaan pasar. Perkebunan tebu misalnya sekarang ini
sedang diusahakan untuk dialihkan ke lahan-lahan di luar Jawa dengan menggunakan
sistem anakan atau ratooning.

6.7. Pengalihan Pertanian Gurem Menjadi Usahatani


Penghasilan hasil pertanian untuk bahan pangan seperti padi-padian sampai beberapa
waktu yang lalu lebih bersifat usaha untuk memenuhi keperluan sendiri yang dapat kita
juluki pertanian gurem. Dengan meningkatnya penduduk dunia cara menghasilkan bahan
pangan seperti ini tentu saja menimbulkan masalah kurang gizi karena muncul-nya
kelaparan di mana-mana. Sebenarnya di Indonesia sejak tahun tigapuluhan telah diadakan
usaha memperbaiki jenis padi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih tinggi. Usaha ini
dilakukan di kebun percobaan padi di Bogor oleh van der Meulen dan Hadrian Siregar.
Pemulia-pemulia padi yang sekarang bekerja di Bogor sebagian besar adalah didikan
Hadrian Siregar yang karena ketekunannya menemukan padi unggul baru dianugerahi
Bintang Mahaputera oleh Pemerintah dan Doctor Honoris Causa oleh Institut Pertanian
Bogor, dan oleh International Rice Research Institute (IRRI) diberi Piagam Penghargaan
selaku Peneliti Padi Utama secara anumerta.
Filsafat pemuliaan tanaman yang mula-mula dianut oleh van der Meulen dan Siregar
ialah menemukan jenis unggul baru yang dapat menghasilkan tinggi pada lingkungan yang
tidak perlu dipupuk. Filsafat ini diikuti dengan anggapan bahwa para petani tidak mampu
membeli pupuk untuk pemeliharaan sawah mereka. Filsafat ini masih menggunakan
pemikiran bahwa petani itu bukan usahawan. Akan tetapi di seberang lautan, di Meksiko
suatu satuan tugas pemulia tanaman yang berasal dari 17 bangsa di bawah pimpinan ahli
agronomi Amerika Serikat Norman Borlaug menggunakan suatu filsafat yang lain untuk
mengembangkan gandum dan jagung yang mampu menghasilkan tinggi dan tahan
serangan penyakit. Filsafat ini kemudian dikembangkan pula untuk padi dengan
didirikan-nya Lembaga Penelitian Padi Internasional di Los Banos, Filipina. Lembaga ini
dikenal dengan nama International Rice Research Institute atau IRRI. Semuanya ini mendapat
dukungan dana mula-mula dari Yayasan Rockefeller, dan kemudian juga dari sumber-
sumber lain. Sebenarnya IRRI tadinya dipertimbangkan untuk ditempatkan di Bogor, akan
tetapi karena keadaan politik ketika itu tidak menentu di Indonesia, akhirnya Filipina -lah
yang beruntung menjadi tuan rumah bagi IRRI. Adanya IRRI di Los Banos adalah juga
suatu keuntungan besar bagi perkembangan ilmu-ilmu pertanian di Universitas Filipina
Los Banos yang perhatian utamanya adalah ilmu-ilmu pertanian.
Filsafat pembuatan jenis unggul baru yang diikuti oleh mazhab pemulia tanaman
Norman Borlaug ialah mencari jenis tanaman yang bentuknya cocok untuk dapat
menangkap dan mengubah energi surya menjadi karbohidrat, pada keadaan tanah yang
dibuat sesubur-suburnya, dan tahan akan serangan hama dan penyakit. Umurnya pun
harus dipersingkat sehingga dalam setahun petani dapat memanen lebih dari sekali. Dalam
hal padi telah dikembangkan jenis padi yang dapat ditanam tiga kali dalam setahun asal
saja keadaan pengairan terjamin.
Hasil pemikiran Borlaug inilah yang mencetuskan apa yang dikenal sebagai Revolusi
Hijau yang dalam kurun waktu 1950-1980 membuat banyak negara dunia ketiga mampu
berusaha menjadi berswasembada pangan, termasuk Indonesia. Untuk itu Norman Borlaug
menjadi penerima anugerah Nobel pada tahun 1970.
Dengan adanya jenis unggul baru ini sistem budidaya pertanian berkembang sehingga
petani bukan saja dapat memenuhi keperluan dirinya sendiri akan tetapi juga mendapat
tambahan penghasilan yang dapat dipakai untuk pembentukan modal dan perbaikan mutu
kehidupan. Sudah tentu ada kekurangan-kekurangan yang terjadi karena misalnya petani
yang sangat gurem karena pemilikan lahannya sangat kecil, walaupun hasil pertaniannya
sudah meningkat, masih saja belum dapat mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari,
sedangkan petani kaya sebagai akibat-nya menjadi lebih kaya lagi. Dengan perkataan lain,
memang terjadi kenaikan hasil padi per satuan luas, akan tetapi tidak terjadi kenaikan
produktivitas diukur per satuan tenaga kerja. Hal ini termasuk gejala yang disebut involusi
pertanian oleh Clifford Geertz.

6.8. Hortikultura
Jauh sebelum para petani padi di Indonesia mengenal sarana produksi pertanian seperti
pupuk dan obat pemberantas hama dan penyakit, para petani sayuran dan buah-buahan
sebenarnya sudah lebih dahulu menggunakan sarana produksi seperti itu. Petani sayuran
dan buah-buahan pada mulanya hanya dapat berkembang usahanya di dekat kota-kota
besar yang padat penduduknya, karena untuk pemasaran sayuran dan buah-buahan itu
diperlukan pasar yang dekat. Hal itu disebabkan karena sayuran dan buah-buahan tidak
tahan lama. Sekarang ini pola itu mulai berubah karena teknologi pascapanen sudah mulai
berkembang sehingga cara mengemas dan cara menyimpan bahan kemasan di dalam ruang
yang disejukkan sangat membantu para petani sayuran dan buah-buahan untuk
memasarkan hasil pertaniannya ke tempat yang lebih jauh. Daerah produksi sayuran dan
buah-buahan penting di Indonesia ialah misalnya Tanah Karo untuk daerah pemasaran
Medan dan Singapura, Bukit Tinggi untuk Padang, Pengalengan untuk Bandung, Bogor,
dan Jakarta, Puncak/Sindanglaya untuk Bogor dan Jakarta, Batu untuk Malang dan
Surabaya.
Salah satu kelemahan dalam peningkatan mutu hasil pertanian sayuran dan buah-
buahan atau Hortikultura ialah bahwa jenis-jenis unggul baru belum cepat dapat
dimanfaatkan oleh para petani karena belum banyak pengusaha yang berani menanamkan
modalnya dalam bidang penangkaran bibit unggul tanaman buah-buahan. Memang untuk
buah-buahan diperlukan waktu yang lebih lama untuk menemukan bibit unggul baru dan
diperlukan waktu yang lebih lama lagi untuk memperbanyak bibit unggul itu karena sifat
tanaman yang umurnya lebih dari setahun.
Hal ini menjadi tantangan bagi kita, apalagi karena di Muang Thai pihak swastalah
yang berperan mengembangkan pertanaman sayuran dan buah-buahan. Anggur hijau yang
dihasilkan oleh Muang Thai misalnya tidak kalah mutunya dengan yang dihasilkan di
Eropa atau Australia. Kuncinya ialah penemuan bibit yang baik dan cara penggunaan
sarana produksi pertanian yang tepat. Bukan saja anggur yang telah mereka kembangkan
dengan baik. Buah-buahan asli Indonesia telah mereka perbaiki sehingga kita sekarang
tergila-gila akan durian Bangkok dan jambu Bangkok. Kalau kita di sini menggunakan kata
Bangkok sebagai penunjuk mutu buah yang baik, di Bangkok kebalikannya, mereka
menggunakan kata “Jawa” untuk menunjukkan suatu gulma yang membuat kepala mereka
pusing, yaitu Eceng gondok (Eichornia crassipes), yang memperdangkal saluran air di
seluruh kota Bangkok. Padahal yang membawa eceng gondok itu ke sana pada tahun
tigapuluhan dari Kebun Raya Bogor adalah Raja Rama V yang terpesona akan bunganya
yang berwarna ungu kebiru-biruan.
Boleh juga kita ketahui bahwa mangga Filipina yang sekarang menjadi komoditi ekspor
telah berhasil diatur pembungaannya sehingga musim mangga sekarang diadakan
bergiliran untuk berbagai propinsi. Dengan cara itu persediaan mangga untuk ekspor selalu
ada. Mangga Filipina ini sebenarnya dimasukkan ke Filipina oleh ahli botani Filipina Dr.
Valmayor pada tahun 1938 dari Jawa Timur. Di tempat aslinya ini mangga tersebut dikenal
dengan nama “Si Manalagi”.
Kalau kita mempunyai kesempatan berjalan-jalan di dataran tinggi Atherton di
Queensland Utara, Australia, kita akan terpesona melihat begitu banyaknya pohon mangga
yang mereka tanam dan sudah menjadi komoditi ekspor. Pagar rumah pun ditumbuhi
pohon markisa (Passiflora sp.), sehingga pada suatu ketika kalau kita tidak hati-hati,
bukanlah suatu kemustahilan kalau kita di Ujungpandang atau Medan terpaksa minum
sirop yang diimpor dari Australia. Mengapa? Karena markisa sudah punah di Indonesia
sebab tidak dipelihara. Bagi orang Australia hal itu bukan suatu kemustahilan, karena
mereka sudah mengirim kerbau ke Indonesia, mengekspor bir kembali ke Jerman, dan me -
masok unta bagi Saudi Arabia. Apakah kita akan membiarkan kekayaan alam kita punah di
Indonesia tetapi berkembang di tempat lain?

7. ENERGI BAGI MANUSIA

7.1. Pandangan Kuno Mengenai Kosmos


Sejak dahulu kala manusia sadar bahwa tanpa matahari kehidupan di dunia menjadi
suatu kemustahilan. Tiga ribu tahun yang lalu dalam zaman Mesir Purba misalnya, Firaun
Akhnaton menyuruh membuat gambar dirinya sebagai hiasan dinding di makamnya
(Gambar 7.1).
Gambar 7.1. Firaun Akhnaton dan istrinya Nefertiti sedang mempersembahkan sesajian yang kemudian dibalas
oleh Dewa Matahari Aten, dengan mengirimkan melalui sinar-sinar tangannya, makanan berupa buah-
buahan ke bumi. Perhatikan juga pohon teratai dan buahnya yang dapat dijadikan makanan di bagian
kanan-bawah gambar (Repro.: Science, Colin A. Ronan).
Dalam gambar itu Akhnaton dan permaisurinya dilukiskan sedang menengadahkan
kedua belah telapak tangan mereka untuk menangkap kiriman buah dari matahari melalui
sinarnya yang di ujungnya berbentuk tangan yang menggenggam buah-buahan. Naluri
Akhnaton bahwa matahari adalah sumber energi yang sangat penting untuk kehidupan
manusia memang benar. Itulah sebabnya matahari dianggapnya sebagai Dewa
Mahatunggal yang dinamakannya Aten, menggantikan lingkup kekuasaan Dewi Langit Nut,
Dewa Udara Syu, dan Dewa Bumi Qeb seperti yang lazimnya diterima dalam pandangan
mengenai alam-raya bangsa Mesir Kuno (Gambar 7.2).

Gambar 7.2. Citra bangsa Mesir-Kuno tentang alam-raya. Dewi Langit Nut ditopang oleh Dewa Udara Syu
membuat suatu cungkup yang melindungi Dewa Bumi Qeb yang sedang berbaring miring pada salah satu
sisinya (Repro.: Science, Colin A. Ronan).

Kalau para firaun sebelum Akhnaton mengikuti pandangan para pendeta bahwa bumi
tempat mereka berpijak adalah tubuh Dewa Bumi Qeb yang dipayungi oleh Dewi Langit
Nut yang ditopang oleh Dewa Udara Syu agar tidak mengimpit bumi, maka Firaun
Akhnaton pikirannya maju selangkah dan menganggap bahwa semua hal yang berkenaan
dengan kehidupan diatur oleh suatu Sumber Tenaga Tunggal yang memberikan makanan
kepada semua makhluk di bumi. Sumber itu menurut perkiraannya ialah matahari dan oleh
karena itu ia mencoba mengajari rakyatnya untuk menyembah hanya satu dewa yaitu Dewa
Matahari.
Perkiraan Akhnatun memang mengagumkan dan sangat maju bagi zamannya sehingga
ia dianggap firaun murtad oleh bangsanya. Akan tetapi cara kerja sinar surya tentu saja
tidak langsung seperti itu, melainkan melalui suatu kejadian yang mengubah energi surya
menjadi energi kimia melalui suatu proses yang dinamakan fotosintesis. Pada zamannya
tentu ia tidak dapat memahami hal itu semua karena ilmu kimia belum ditemukan dan
bahkan apa saja yang diketahui orang Mesir pada ketika itu belum lagi boleh dianggap
ilmu.

7.2. Fotosintesis
Dalam peristiwa fotosintesis, klorofil dalam tumbuhan hijau mengikat energi surya
yang sebenarnya adalah energi elektromagnetik melalui pembentukan karbohidrat dari
karbondioksida dan air. Karbohidrat ini menjadi dasar pembentukan bahan organik lainnya,
yang kemudian dapat dimanfaatkan manusia. Akan tetapi juga bahan organik ini dapat
berubah menjadi bahan organik fosil dan tersimpan beribu-ribu tahun lamanya serta
berubah menjadi minyak bumi, gas alam, dan batubara. Ketiga jenis bahan organik fosil ini
dihasilkan tumbuhan hijau dan hewan yang hidup dari tumbuhan hijau itu secara langsung
atau tak langsung berjuta-juta tahun yang lalu dan sekarang juga menjadi sumber energi
yang diperebutkan oleh manusia di dunia ini.*
Energi kimia yang diikat tumbuhan hijau melalui fotosintesis dalam bentuk karbohidrat
itu adalah sumber energi kehidupan makhluk hidup seperti manusia dan hewan. Akan
tetapi energi kimia yang tersimpan sebagai hasil fotosintesis dalam bentuk bahan bakar fosil
sampai saat ini adalah penggerak utama berbagai bentuk kerja yang dilakukan di bumi ini.
Minyak bumi yang diubah menjadi bensin, minyak tanah, dan minyak diesel misalnya
digunakan sebagai bahan bakar penggerak kendaraan bermotor di darat, laut, maupun
udara. Minyak diesel juga dapat digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik. Tenaga
listrik ini dapat dijadikan penggerak mesin-mesin industri dan mesin-mesin peralatan
perkantoran dan rumahtangga. Semuanya ini tidak langsung berasal dari energi surya.
Selain itu hasil fotosintesis yang telah dikonsumsi hewan dan manusia akan selalu
bersisa dan masih mengandung energi yang belum terbakar. Kumpulan bahan organik yang
tersisa seperti ini dapat digunakan membangkitkan energi melalui pembentukan gas-bio
yang dapat dijadikan pengganti bahan bakar.

7.3. Energi Surya Sebagai Sumber Energi Mekanik


Matahari juga dapat menghasilkan energi untuk kepentingan manusia melalui
perubahan bentuk energi elektro-magnetiknya menjadi energi fisik yang bersifat mekanik.
Hal itu dapat terjadi karena panas matahari dapat menggerakkan massa udara dan air.
Pergerakan massa udara terjadi dengan munculnya angin. Angin muncul karena di
permukaan bumi terjadi perbedaan tekanan udara. Seperti kita ketahui hal itu terjadi karena
daratan pada siang hari menjadi lebih cepat panas daripada perairan dan pada malam hari
lebih cepat mendingin daripada perairan. Perbedaan suhu di atas dua macam permukaan
bumi ini menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menimbulkan angin sebagai gerakan
udara. Energi kinetik angin ini dapat ditampung melalui baling-baling yang dihubungkan
ke suatu generator listrik untuk membangkitkan listrik. Dapat pula baling-baling itu
menimbulkan energi mekanik seperti misalnya pada kincir angin yang memompa air atau
menggiling gandum.
Hal yang sama juga dapat terjadi di lautan dan perpindahan massa air karena
perpindahan massa udara di permukaannya menimbulkan gelombang yang mengandung
energi kinetik. Sekarang ini telah diciptakan turbin-turbin yang dapat menyadap energi
gelombang menjadi energi listrik. Dengan demikian energi surya pun telah dapat disadap
melalui perubahan menjadi energi kinetik berupa arus gelombang laut.
Sinar matahari juga bekerja menguapkan air dari permukaan bumi yang kemudian
dikumpulkan menjadi awan. Awan ini dibawa angin naik menuju puncak gunung dan
dalam proses pengangkutan itu mengalami pendinginan dan pengembunan. Terjadilah
hujan. Dengan demikian sebagian air dari laut dipindahkan ke pegunungan sehingga energi
surya itu telah berubah menjadi energi potensial melalui air yang mengalir kembali ke laut
dan sebelum sampai di laut ditampung dahulu di danau-danau buatan yang telah
dilengkapi dengan turbin penggerak air. Turbin ini kemudian membangkitkan energi listrik.
Hal seperti itu kita lihat misalnya di Jatiluhur, Asahan, Karang Kates, dan Cirata.

7.4. Energi Panas Matahari


Energi elektromagnetik matahari dapat pula diubah menjadi energi termal. Hal itu
misalnya terjadi dengan usaha-usaha pengeringan hasil panen langsung di bawah sinar
matahari atau di dalam kotak-kotak hitam yang disuruh menyerap energi surya untuk
membangkitkan panas. Energi panas yang dapat dibangkitkan oleh matahari ini juga dapat
memanaskan permukaan lautan sehingga lapisan air laut di atas menjadi lebih panas
daripada lapisan di bawahnya. Dengan perkataan lain, ada suatu gradien termal antara
lapisan air laut di permukaan dengan lapisan air di bagian dalam laut. Lapisan air laut yang
panas itu dapat dipakai untuk menguapkan suatu cairan yang mudah menguap, misalnya
amoniak. Sewaktu menguap amoniak ini disalurkan melalui suatu turbin untuk
menggerakkan turbin itu. Setelah selesai menggerakkan turbin itu uap ammoniak itu
dicairkan kembali melalui pendinginan dengan air laut dingin yang dipompaka n ke
permukaan laut dari bagian laut yang dalam.
Turbin yang digerakkan oleh adanya gradien termal antara lapisan air laut di
permukaan dan di kedalaman menjadi perantara mengubah energi surya yang telah
disimpan sebagai gradien termal di dalam air laut menjadi energi listrik. Karena
pengubahan energi termal lautan memerlukan perbedaan suhu kira-kira 20oC, penyadapan
energi termal lautan ini hanya dapat dilakukan di sekitar katulistiwa, termasuk di wilayah
Nusantara ini.

7.5. Energi Geotermal atau Energi Panas Bumi


Selain melalui energi surya, kita dapat pula menyadap energi dari dalam bumi. Energi
geotermal ini membangkitkan panas yang memanaskan air dan batuan di dalam tubuh
bumi. Air yang panas ini kemudian dapat menimbulkan mataair panas yang energinya
dapat disadap melalui pembangkit listrik tenaga uap. Salah satu negara yang banyak
menggunakan energi termal seperti ini adalah Selandia Baru. Kita pun sudah mulai merintis
penggunaannya. Salah satu tempat yang memberi harapan adalah daerah sekitar Gunung
Salak.

7.6. Energi Gravitasi


Adanya dua massa yang besar akan menimbulkan saling tarik-menarik. Energi
gravitasi seperti ini menimbulkan peristiwa pasang-surut yang adalah suatu gerakan massa
air. Gerakan massa air ini adalah energi mekanik kinetik dan potensial yang dapat diubah
melalui suatu turbin menjadi energi listrik. Usaha pertama mengubah energi gelombang
pasang-surut ini telah dilakukan di Perancis pada tahun-tahun enampuluhan. Pembangkit
listrik tenaga gelombang pasang di St. Malo, Perancis ini menghasilkan listrik 500 MW
setahunnya. Tentu saja muncul persoalan pelestarian lingkungan hidup, karena pembangkit
listrik itu dibangun di sekitar muara sungai tempat bertelur dan menetasnya berbagai jenis
makhluk hidup. Hal ini adalah suatu contoh masalah terganggunya kesetimbangan ling-
kungan karena masuknya suatu teknologi baru.
7.7. Energi Nuklear
Bentuk energi lain yang dapat dimanfaatkan ialah energi nuklear atau energi inti yang
berasal dari energi yang terkandung dalam atom itu sendiri. Kita tahu bahwa suatu atom
tersusun atas suatu inti yang dikitari oleh elektron-elektron bermuatan negatif. Inti itu
terjadi atas perpaduan erat proton-proton bermuatan positif dengan neutron-neutron yang
tidak bermuatan. Muatan negatif elektron suatu atom biasa diimbangi oleh muatan positif
intinya sehingga atom itu sendiri bersifat netral. Sewaktu inti terbentuk dari dari kedua jenis
zarah pembentuk inti atau nukleon ini, haruslah sebagian kecil sekali dari massanya
dihilangkan, yaitu di sekitar beberapa peroktiliun (10-27) gram, yang diubah menjadi energi.
Energi ini setara dengan jumlah energi yang diperlukan untuk mengikat nukleon-nukleon
itu menjadi satu dalam bentuk inti, dan disebut energi pengikat. Energi pengikat nukleon ini
terkecil untuk atom yang ringan dan meningkat dengan bertambahnya ukuran inti.
Besarnya energi pengikat ini meningkat sampai mencapai ukuran inti besi yang
mengandung 56 zarrah di dalam intinya.
Setelah itu energi pengikat itu menurun lagi perlahan-lahan untuk atom-atom yang
lebih berat. Demikianlah energi pengikat zarrah-zarrah di dalam inti Uranium 235 lebih
rendah daripada energi pengikat unsur-unsur lain yang lebih ringan seperti besi dan timah.
Kalau suatu nukleus berat seperti Uranium 235 dipisah, akan terjadi dua buah inti baru
yang lebih kecil, akan tetapi yang masing-masing mempunyai energi pengikat yang lebih
besar daripada energi pengikat atom uranium yang semula. Oleh karena itu harus terjadi
pengubahan sedikit massa menjadi energi. Energi yang dilepaskan inilah yang
dimanfaatkan sebagai energi nuklear. Usaha pertama menghasilkan energi nuklear melalui
pemecahan atom secara terkendali dilakukan oleh ahli fisika Italia bernama Enrico Fermi di
Universitas Chicago pada tanggal 2 Desember 1941.
Prinsip pembangkitan energi nulear itu adalah melalui pemboman atom Uranium 235
dengan neutron. Pemboman ini mengubah atom Uranium 235 menjadi Uranium 236 yang
tidak stabil. Uranium 236 ini memecahdiri menjadi atom-atom yang intinya lebih kecil.
Dalam proses ini dilepaskan pula neutron yang tiba gilirannya membom atom Uranium 235
lainnya. Terjadilah reaksi berantai dan muncullah sejumlah besar energi. Reaksi berantai
inilah yang telah berhasil dikendalikan oleh Enrico Fermi. Penemuannya inilah kemudian
yang menjadi dasar pembuatan reaktor nuklear. Salah satu kegunaan reaktor nu klear ini
adalah untuk membangkitkan tenaga listrik. Salah satu pembangkit listrik tenaga nuklear
yang terkenal ialah PLTN Three Miles Island di Harrisburg, Pennsylvania, yang pada tahun
1979 menimbulkan musibah karena mengalami kebocoran sehingga mencemarkan atmosfer
dengan limbah radioaktif. Akan tetapi bagaimanapun juga berbahayanya penggunaan
tenaga nuklear ini, pada akhirnya kalau manusia sesudah kekurangan sumber energi, ia
akan menggunakannya juga. Yang diusahakannya sudah tentu ialah agar semua proses
pembangkitan tenaga nuklear ini diperbaiki sehingga lebih aman.
Karena sebelum mencapai ukuran inti besi 56 energi pengikat suatu atom meningkat
dengan bertambah besarnya nukleus, maka selain dari pemecahan atom juga dapat
dihasilkan energi dari pemaduan dua atom menjadi satu atom. Hal itu misalnya dapat
dilakukan apabila dua atom Hidrogen dipadukan dan diubah bentuknya menjadi inti
Helium. Pemaduan atom-atom Deuterium atau atom Deuterium dengan isotop hidrogen
yang lebih berat lagi, yaitu Tritium, dapat pula menghasilkan energi karena pembentukan
inti yang lebih besar dengan energi pengikat yang lebih besar daripada inti-inti
penyusunnya.

7.8. Sumber Energi Utama Berubah dengan Tingkat Peradaban


Dalam peradaban manusia primitif hanya ada satu sumber energi yang digunakannya
untuk keperluan hidupnya, apakah itu sumber energi untuk makan, untuk memasak, untuk
bekerja, ataukah untuk bepergian. Untuk makan, sumber energi yang dipakainya berupa
karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan. Selain itu ia juga memerlukan protein dalam
susunan makanannya. Protein itu sebagian besar dihasilkan oleh hewan, yang pada
gilirannya memerlukan energi untuk tumbuh dan berkembangbiak. Energi untuk keperluan
ini diambil oleh hewan dari tumbuhan atau hewan lain sebagai makanannya. Untuk bekerja
di ladang misalnya, manusia menggunakan tenaganya secara langsung. Kalaupun ia sudah
mendapat alatbantu seperti bajak, tenaga penarik bajak itu ialah hewan juga yang
mengambil energinya dari tumbuhan pula. Demikian pula halnya kalau manusia bepergian.
Kendaraan yang digunakannya ialah hewan-tunggang atau kereta yang ditarik hewan.
Dengan meningkatnya peradaban manusia ia mampu menciptakan alatbantu yang
menggunakan sumber energi yang bukan berasal dari energi matahari, misalnya kincir air,
kincir angin, dan perahu layar. Makin meningkat lagi peradabannya, energi dari sumber
yang lain pula dapat digunakannya, dan makin sedikit saja ia menggunakan energi
matahari secara langsung untuk keperluan kehidupannya selain untuk keperluan pangan.
Hal itu memang merupakan suatu keharusan, karena sementara itu populasi manusia yang
menghuni bumi ini meningkat dengan pesat, yang juga berarti bahwa keperluan bahan
makanan pun meningkat berlipat ganda.
Karena itulah telah diuraikan suatu ringkasan tentang berbagai sumber energi yang
dapat dimanfaatkan manusia. Sumber energi yang sangat penting bagi manusia karena
menyangkut sumber makanan ialah energi matahari yang melalui fotosintesis menghasilkan
energi kimia untuk sumber energi kehidupan manusia. Oleh karena itu peristiwa
fotosintesis ini akan kita telaah lebih lanjut, juga dalam hubungannya dengan berbagai
faktor alam yang dapat mempengaruhinya agar dapat berlangsung dengan lebih efisien
menghasilkan hasil pertanian yang tidak dapat digantikan peranannya oleh produk-produk
yang dibuat menggunakan bentuk energi lainnya.
Namunpun demikian, banyak sekali bentuk energi lainnya itu yang sifatnya tidak
terbarukan dan pada suatu ketika akan habis. Ada pula bentuk energi lainnya itu yang
sifatnya mencemarkan lingkungan hidup, seperti misalnya energi yang berasal dari minyak
bumi dan energi nuklear. Karena itu persoalan pemanfaatan berbagai jenis energi oleh
manusia untuk keperluan menunjang kehidupannya adalah masalah yang sangat penting
dibahas berdasar berbagai pandangan dan pertimbangan. Karena itulah apabila kita
berbicara mengenai pemanfaatan energi surya untuk kepentingan hidup manusia, kita tidak
dapat melepaskan diri dari permasalahan penggunaan bentuk energi lainnya sebagai
sumber energi pengganti maupun sebagai sumber energi yang dapat digantikan oleh energi
hasil panenan dari sinar surya, bergantung pada pilihan mana yang lebih menguntungkan
bagi manusia. Di dalam bab-bab berikut ini, walaupun kita akan berbicara mengenai
produksi pertanian, kita tidak dapat melepaskan diri dari permasalahan pemanfaatan energi
secara menyeluruh.

8. FOTOSINTESIS DAN ENERGI UNTUK KEHIDUPAN

8.1. Cikalbakal Energi Kehidupan


Kalau kita makan batagor, kita telah makan bahan makanan berasal dari tumbuhan dan
hewan. Nama batagor adalah singkatan baso tahu goreng. Baso berasal dari daging sapi
sedang tahu berasal dari kedelai. Minyak yang digunakan menggoreng batagor itu berasal
dari tumbuhan yang mungkin sekali adalah kelapa atau sawit. Batagor itu setelah kita
makan diubah sebagian oleh tubuh kita menjadi energi. Energi ini berasal terutama dari
karbohidrat yang berasal dari kedelai dan lemak yang berasal dari daging sapi. Protein
hewani yang berasal dari baso dan protein nabati yang berasal kedelai digunakan oleh
tubuh kita untuk mengganti bagian tubuh yang aus atau untuk pertumbuhan tubuh. Dari
mana asal energi yang terdapat di dalam bahan makanan kita itu. Daging yang berasal dari
sapi sebenarnya adalah hasil perubahan bentuk dari rumput yang dimakan oleh sapi
sedangkan tahu yang kita makan itu berasal dari tanaman kedelai. Dari mana tanaman
kedelai dan rumput mengambil energinya? Dari mana pula diperoleh bahan untuk
membuat protein dan lemak?
Jawaban akan pertanyaan ini mungkin sekali sudah kita ketahui semuanya, yaitu dari
energi elektromagnetik yang berasal dari matahari. Energi ini sampai ke permukaan bumi
dalam bentuk sinar matahari yang kemudian diubah oleh tumbuhan seperti rumput dan
kedelai melalui khlorofil yang ada di daunnya menjadi karbohidrat atau zat pati. Dengan
demikian fotosintesis dapat dianggap sebagai cikal-bakal energi untuk semua jenis
tumbuhan dan hewan. Secara langsung maupun tidak langsung proses pengikatan energi
elektromagnetik oleh hijau-daun atau khlorofil itulah yang menyediakan energi bagi setiap
makhluk hidup.

8.2. Energi Sintesis Kimia


Memang ada juga makhluk hidup yang mendapatkan energinya bukan dari fotosintesis,
melainkan dari sintesis kimia. Beberapa bakteria dan fungi misalnya mendapatkan energi
untuk kehidupan dari reaksi kimia yang mereka bantu menggerakkannya. Misalnya saja
reaksi nitrifikasi oleh bakteri yang mengubah amoniak di dalam tanah menjadi nitrit dan
kemudian nitrat, seperti dapat dijelaskan oleh reaksi berikut:
Bakteri nitrit varietas nitrosamine mendapatkan energi kehidupan mereka melalui
pengoksidan amoniak menjadi nitrit yang menghasilkan energi:
2 NH3 + 3 O2  2 HNO2 + 2 H2O + 158 kcal
Asam nitrit yang terjadi ini, atau garamnya kemudian dioksidkan menjadi nitrat oleh
bakteri nitrat untuk dimanfaatkan energi lepasannya berdasarkan reaksi:
2 HNO2 + O2  2 HNO3 + 36 kcal
Bakteri pengoksid belerang mendapatkan energi melalui sintesis kimia berdasar reaksi
berikut:
2 H2S + O2  S2 + 2 H2 + energi
sedangkan bakteri pengoksid besi mendapatkan energi sintesis kimianya dari reaksi berikut:
4 Fe++ + 4 H+ + O2  4 Fe+++ + 2 H2O + energi.
Ion ferri yang dihasilkan kemudian mengendap sebagai Fe(oh) 3. Itu adalah sebagian kecil
energi yang dimanfaatkan makhluk hidup dari energi kimia yang bukan dari sinar surya.

8.3. Fotosintesis Tumbuhan Hijau


Penghasil utama energi kimia melalui sinar surya ialah tumbuhan hijau. Proses-proses
kimia yang berlangsung ketika fotosintesis dapat dirumuskan seperti berikut: Bersamaan
dengan peresapan air melalui akar, karbondioksida yang diresap tumbuhan hijau melalui
mulutdaun atau stoma(ta) dari atmosfer, diubah dengan bantuan sinar surya dan khlorofil
menjadi glukose. Sebagai hasil reaksi ini dihasilkan oksigen dan air baru. Oksigen yang
dihasilkan dilepaskan kembali ke atmosfer sebagai pengganti karbondioksida yang diserap
tumbuhan.
Dengan perkataan lain, melalui fotosintesis energi diserap dari sinar surya dan diubah
bentuknya menjadi suatu zat kimia yang kaya akan energi, yaitu glukose. Dengan
melepaskan oksigen, hidrogen dilepaskan dari air dan dimasukkan menjadi bagian senyawa
karbon yang kaya akan energi tadi. Karena itu karbondioksida berperan sebagai penerima
hidrogen yang berasal dari air yang diresap dari akar. Dengan pemisahan hidrogen dari
oksigen, lebih banyak energi terpakai daripada energi yang dihasilkan oleh pembentukan
air dari hidrogen dan oksigen. Kekurangan energi ini diambilkan dari energi surya. Rumus
umum fotosintesis ialah sebagai berikut:
6 CO2 + 6 H2O  C6H12O6 + 6 O2 + 6 H2O.
energi
surya/khlorofil
Dapat kita simpulkan bahwa pentingnya fotosintesis ini bagi makhluk hidup di bumi ialah
pekerjaannya mengikat energi surya menjadi energi dalam bentuk bahan kimia kaya energi
yang dapat menjadi sumber makanan makhluk hidup termasuk kita.
Peran penting lainnya peristiwa fotosintesis yang sekarang sering dilupakan orang ialah
pekerjaannya menyegarkan udara yang kita hirup dengan menghasilkan kembali oksigen
yang dikembalikan ke dalam atmosfer. Setiap tahun tumbuhan hijau di dunia kita ini kira-
kira menghasilkan 400 000 juta ton oksigen bebas dari proses pengikatan 150 000 juta ton
karbon yang berasal dari karbondioksida dengan 25 000 juta ton hidrogen yang berasal
dari air. Tanpa adanya fotosintesis, oksigen di dalam atmosfer akan habis dalam beberapa
tahun dan membuat kita mati lemas karena dipenuhinya atmosfer dengan karbondioksida
yang telah kita hasilkan sendiri. Fotosintesis dengan demikian adalah penyegar udara kita
ini agar kehidupan dapat bertahan di dunia ini. Peran fotosintesis yang kedua ini sekarang
menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Di satu pihak banyak hutan yang menjadi gundul
karena kayunya telah dipanen untuk keperluan manusia. Akibatnya potensi tumbuhan di
dunia untuk mengubah karbondioksida menjadi oksigen sangat menurun. Kebalikannya,
peningkatan kegiatan industri dan penggunaan lebih banyak motor bakar yang
menggunakan minyak bumi sebagai bahan bakar meningkatkan laju pertambahan kadar
karbondioksida di atmosfer bumi. Akibatnya kadar karbondioksida bumi meningkat di
lapisan atas atmosfer. Lapisan karbondioksida ini menghambat pengembalian energi panas
dari permukaan bumi ke atmosfer seperti halnya yang juga terjadi di suatu rumah-kaca.
Karena itu gejala ini disebut “greenhouse effect” dalam bahasa Inggris. Akibat adanya
pengaruh rumah-kaca ini suhu atmosfer bumi dapat naik dengan segala dampak buruknya,
termasuk mencairnya sebagian lapisan es di kedua kutub bumi. Hal ini dapat menaikkan
permukaan air laut yang pada gilirannya dapat menimbulkan malapetaka seperti banjir.
Tapak fotosintesis berpusat pada kloroplast. Baru dalam pertengahan abad
kesembilanbelas orang mulai mengetahui bahwa tumbuhan mencampur air dan
karbondioksida untuk mendapatkan bahan pembentuk jaringannya. Dalam tahun 1865 ahli
botani Julius von Sachs menemukan bahwa proses ini tidak terjadi di semua bagian
tumbuhan, melainkan hanya dalam zarah-zarah kecil di dalam tumbuhan yang berwarna
hijau. Zarah hijau ini dinamakan kloroplast dan berbentuk elipsoid berukuran panjang 3 x
10–5 mm. pada tumbuhan berdaun. Pada berbagai tumbuhan hijau lain yang lebih primitif
seperti alga bentuk kloroplast beragam-ragam, dari yang berbentuk pilin pada Spirogyra,
berlipat-lipat seperti kipas pada Oedogonium, hingga berumbai-rumbai seperti pada
Zygnema.
Bagian dalam kloroplast itu disekat-sekat oleh dinding-dinding yang disebut lamella
yang memisahkan zat di dalam kloroplast yang disebut stroma. Kedua bagian kloroplast ini
menjadi tempat berlangsungnya dua macam reaksi yang berbeda yang secara bersamaan
menyusun seluruh proses fotosintesis.
Zat-zat tertentu di dalam lamella dan stroma ini menyabik-nyabik molekul air dan
karbondioksida, dan menggerak-gerakkan potongan-potongan molekul ini dalam gerakan-
gerakan yang memutar. Ada dua langkah utama dalam fotosintesis. Satu langkah
menggunakan cahaya atau disebut juga reaksi terang, sedangkan langkah kedua ber-
langsung dalam kegelapan, sehingga disebut reaksi gelap. Langkah pertama yang
memerlukan cahaya terjadi di dalam lamella, sedangkan yang terjadi dalam kegelapan
berlangsung di dalam stroma.
Pada lamella terdapat bagian-bagian yang mengandung klorofil. Klorofil adalah suatu
zat kimia yang mengandung Mg dikitari oleh empat ikatan cincin gugus karbon-hidrogen
yang dihubungkan ke molekul Mg oleh jembatan nitrigen. Klorofil inilah yang menjadi
katalisator menangkap energi elektromagnetik sinar surya untuk kemudian digunakan
memisahkan hidrogen dari air yang kemudian ditangkap dalam suatu zat penerima, yaitu
NADP+ (nikotinamide-adenine dinukleotide fosfat) yang kemudian berubah menjadi status
tereduksi, yaitu NADPH + H +. Zat ini diperlukan dalam reaksi gelap yang akan terjadi di
dalam stroma. Sewaktu pembentukan NADPH ini yang mengikat hidrogen, oksigen
dilepaskan ke atmosfer.
Di dalam stroma NADPH setelah mengantarkan hidrogen berubah menjadi NADP dan
dikembalikan ke dalam lamella untuk bertugas membawa energi kembali ke stroma.
Sementara itu reaksi terang menghasilkan juga ATP (adenosine trifosfat) yang ada pada
tingkat energi lebih tinggi dan berasal dari ADP (adenosine difosfat) yang ada pada tingkat
energi yang lebih rendah, yang dikembalikan dari stroma setelah energinya digunakan di
dalam reaksi gelap.
Di dalam stroma terjadi reaksi gelap yang menggabungkan hidrogen yang dibawa dari
lamella dengan karbondioksida menjadi glukose sambil melepaskan lagi molekul air baru.
Glukose ini adalah bentuk pertama karbo-hidrat yang kaya energi. Dalam bentuk denah
peristiwa fotosintesis itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 8.1. Denah proses fotosintesis.

Dalam keadaan yang sebenarnya, perjalanan reaksi gelap sehingga dari karbondioksida
dengan hidrogen dihasilkan karbohidrat itu sangat rumit dan panjang dan menyangkut
pembentukan banyak sekali senyawa antara. Daur pembentukan karbohidrat ini dikenal
dengan sebutan daur Calvin. Untuk penelitiannya yang menyangkut daur ini, Dr. Melvin
Calvin telah menerima hadiah Nobel pada tahun 1961.
Fotosintesis juga dapat terjadi bukan dengan memanfaatkan H2, melainkan H2S. Hal ini
terjadi dengan bakteri merah yang membuat dari karbondioksida dan gas dihidrogensulfida
glukose, belerang, dan air mengikuti reaksi kimia berikut:
6 CO2 + 12 H2S  C6H12O6 + 12 S + 6 H2O.
Energi surya
Belerang yang terbentuk disimpan di dalam sel bakteri tersebut. Karena bakteri ini
dapat menghasilkan energi untuk kehidupannya melalui penggunaan energi surya, maka
makhluk itu sama juga dengan tumbuhan hijau tergolong ke dalam makhluk hidup yang
foto-ototrofik. Bakteri lainnya yang dapat memanfaatkan energi yang dilepas dari energi
kimia, seperti bakteri besi, belerang, dan nitrit serta nitrat, disebut makhluk hidup yang
kemo-ototrofik.
8.4. Nisbah Pemanfaatan Energi Surya Oleh Makhluk Hidup
Berapa banyakkah energi surya yang dimanfaatkan untuk kehidupan di dunia ini?
Setiap tahun rata-rata energi surya yang sampai di tepi luar atmosfer bumi banyaknya 263
ribu langley ( 1 langley = 1 gcal/cm 2). Sebagian besar sebelum mencapai bumi sudah
dipantulkan kembali ke luar oleh awan, atau diresap oleh uap air dan debu, yaitu di sekitar
123 ribu langley/tahun. Hanya kira-kira 140 ribu langley yang mencapai permukaan bumi.
Dari energi yang sampai ke permukaan bumi ini hanya 1 hingga 2 % yang digunakan untuk
fotosintesis. Energi surya yang dimanfaatkan tumbuhan hanya berasal dari gelombang
dengan panjang di antara 0.4 hingga 0.7 mikron, yaitu bagian spektrum cahaya yang dapat
kita lihat.
Energi yang ditangkap tumbuhan ini melalui fotosintesis seperti telah dikemukakan
disimpan mula-mula dalam bentuk glukose. Kemudian glukose dapat diubah bentuknya
menjadi karbohidrat dengan tingkat kandungan energi yang berbeda-beda. Beberapa hasil
ubahan seperti selulosa sudah ada dalam bentuk akhir dan tidak akan banyak lagi berubah,
sedangkan zat pati, minyak, dan lemak bertugas sebagai bahan penyimpan energi yang
sewaktu-waktu dapat digunakan kembali. Berbagai jenis gula mengandung energi yang
segera dapat digunakan kembali dalam proses pernapasan. Itulah misalnya alasannya
mengapa orang yang bekerja keras harus mendapatkan lebih banyak makanan yang mudah
menghasilkan energi. Penggergaji kayu di hutan susunan makanannya sebagian besar
berupa nasi dalam jumlah yang besar pula. Pelari maraton yang ingin memulihkan
tenaganya setelah sampai di garis akhir akan mengunyah gula-aren atau gula-batu. Dapat
pula ia minum minuman yang berkadar gula tinggi.
Proses pernapasan dapat dianggap sebagai kebalikan proses fotosintesis. Dari
karbohidrat dan oksigen melalui penggunaan ensim-ensim dapat dihasilkan kembali
karbondioksida dan air di samping energi yang sebagian akan hilang sebagai panas dan
sebagian lagi dapat digunakan untuk membentuk bahan-bahan pertumbuhan atau
pengganti bahan yang aus. Penggunaan energi yang tersimpan dalam hasil fotosintesis itu
bukan saja dapat dilakukan oleh tumbuhan itu sendiri, melainkan oleh hewan dan manusia
yang memakannya. Pemanfaatan energi yang tersimpan dalam karbohidrat itu oleh
berbagai makhluk mempunyai tingkat efisiensi yang berbeda-beda. Tumbuhan menyerap
energi itu dengan keefisienan yang kecil, yaitu seperti pernah dikatakan sebelumnya, rata-
rata antara 1 hingga 2 %. Kalau tumbuhan itu dimakan oleh pemangsa, maka dari energi
yang dimakan itu yang dapat dimanfaatkan pun hanya sebagian kecil saja. Hal itu dapat
dilihat dalam bagan berikut:
1. Matahari menyampaikan 1.3 x 1023 kal/tahun
2. Tumbuhan memanfaatkan 1 x 1021 kal/tahun
3. Herbivora memanfaatkan 5 x 1020 kal/tahun
4. Karnivora memanfaatkan 1 x 1020 kal/tahun
5. Karnivora pemangsa kedua memanfaatkan 3 x 10 19 kal/tahun.
Dengan demikian akan terjadi kehilangan energi rata-rata 90 persen setiap kali bahan
yang memuat energi itu pindah dari satu matarantai rantai makanan ke matarantai
berikutnya. Karena itu salah satu cara yang terbaik untuk menghemat penggunaan bahan
hasil fotosintesis itu ialah apabila manusia lebih banyak berperilaku sebagai herbivora
daripada karnivora. Sebagai pemakan daging hewan manusia akan berperan sebagai
pemangsa tingkat pertama dan kadang-kadang juga sebagai pemangsa tingkat kedua, kalau
ia bukan makan daging sapi, melainkan menyantap ikan gabus atau daging harimau!
Perbedaan tingkat pendayagunaan energi sebagai herbi-vor dan karnivor itu
terungkapkan pula dalam pola makan bangsa-bangsa di dunia ini. Di negara yang sudah
maju kebanyakan bebijian yang dihasilkan sektor pertanian seperti jagung dan kekacangan
tidak langsung digunakan sebagai makanan manusia. Bebijian itu biasanya diubah menjadi
makanan ternak dan diumpankan terlebih dahulu untuk ternak. Manusia kemudian
memakan hasil pengubahan dari bahan nabati itu menjadi bahan hewani dalam bentuk
daging, susu, keju, atau mentega. Di negara yang sedang berkembang kebanyakan jagung
dan kedelai misalnya digunakan langsung sebagai bahan makanan manusia. Oleh karena
itu kekacangan seperti kedelai, kacang jogo, dan kacang hijau dalam peristilahan pangan
sering dijuluki sebagai “daging kaum miskin” atau dalam bahasa Inggrisnya “poor people’s
meat”. Akan tetapi akhir-akhir ini orang di negara maju mulai mencoba kembali lebih
banyak makan bahan pangan nabati, karena diet orang kaya berupa makanan yang lebih
banyak bagian bahan pangan hewaninya ternyata menyebabkan meningkatnya berbagai
penyakit pembuluh darah yang kemudian mengarah ke penyakit jantung koroner.

9. BAHAN PANGAN MANUSIA


9.1. Keanekaragaman Jenis Pangan Berkurang pada Manusia Modern
Manusia purba bergantung pada beraneka-ragam jenis tumbuhan dan hewan sebagai
sumber makanannya. Se¬waktu ia hidup mengembara pola makannya ditentukan oleh jenis
bahan makanan yang ditemukannya atau dapat diburu olehnya dalam pengembaraannya
itu. Begitu ia mulai menetap hanya sebagian saja tumbuhan dan hewan yang dijinakkannya.
Begitu ia mulai menjinakkan berbagai jenis tumbuhan dan hewan liar di sekitar tempat
pemukim¬annya, jenis makanannya mulai terbatas. Ia akan cenderung memilih macam
tumbuhan dan hewan yang mudah di¬pelihara, mudah diolah, mudah disimpan dan
diawetkan, serta mempunyai manfaat yang paling banyak.
Demikianlah ia cenderung memilih tumbuhan bebijian seperti serealia dan kekacangan
yang menghasilkan ter¬banyak pada keadaan tanah yang tersedia secara alami, dan yang
hasilnya itu paling mudah dan tahan disimpan. Ia hanya akan menanam tanaman umbi-
umbian kalau ke¬adaan terpaksa, karena masatanamnya mungkin lebih lama, sedangkan
hasilnya tidak tahan lama disimpan. Kalaupun hasil itu akan diolah menjadi makanan,
sering sekali harus dilakukan pengolahan pascapanen yang rumit, misalnya untuk
menghilangkan zat-zat beracun yang dikandung oleh umbi-umbian seperti uwi atau
gadung.
Faktor lain yang menentukan lagi ialah rasanya yang enak dan mudahnya cara
pengolahannya untuk disiapkan sebagai makanan. Nasi misalnya, apalagi yang rasanya
enak dan wangi, dapat dimakan dengan mudah hanya dengan tambahan sambal dan
sayuran mentah. Akan tetapi sagu hanya dapat dimakan apabila didampingi lauk-pauk
yang lezat. Untuk hewan piara ia akan mencari jenis yang mudah dijinakkan,
berkembangbiak dengan mudah, dan atau dapat dijadikan hewan penarik beban.
Pada kelompok masyarakat yang budidayanya berpola pemanfaatan lahan kering,
tumbuhan yang diandalkannya untuk menghasilkan sumber pati atau karbohidrat lebih
beragam dan sangat bergantung pada musim. Di bagian barat Indonesia dapat diharapkan
bahwa pada musim penghujan ia akan bertanam padi dan jagung di ladangnya, sedangkan
untuk menunggu sampai ladangnya berhasil ia juga bertanam umbi-umbian seperti ubijalar,
ubikayu, dan keladi. Makin ke timur jagung dan umbi-umbian makin menjadi penting
sedangkan di Indonesia bagian timur sagu yang diambil dari inti batang sagu ( Metroxylon
sago) merupakan sumber karbohidrat utama.
Kalau manusia primitif Indonesia dahulu mengandalkan sumber makanannya yang
berupa daging dari hewan perburuan, maka lambat laun mereka mulai mengurung
berbagai jenis hewan dalam keadaan setengah liar di dalam hutan yang berdekatan dengan
tempat pemukiman. Hewan yang diperlakukan seperti itu dan hingga sekarang masih
dapat ditemukan walaupun sudah semakin jarang ialah kawanan kerbau setengah liar, yang
misalnya dapat ditemukan di beberapa tempat di Sumatera, Nusa Tenggara Timur, dan
Sulawesi.
Pengkhususan sumber bahan makanan lebih berlanjut lagi di daerah-daerah yang
menerapkan budidaya persawahan. Makanan manusia di tempat-tempat seperti itu menjadi
makin terbatas jenisnya menjadi padi dan palawija, sedangkan hewan piara terutama ialah
kerbau, sapi, kambing, domba, dan unggas. Apabila suatu masyarakat makhluk hidup
makanannya bergantung dari berbagai macam sumber, masyarakat itu lebih luwes
menghadapi keperluan makanannya. Kebalikannya, apabila masyarakat itu makanannya
tergantung pada satu jenis sumber saja, maka kemampuannya untuk dapat bertahan
sebagai makhluk hidup hanya tergantung pada satu sumber. Ada saja timbul malapetaka
dengan sumber makanannya itu, masyarakat itu akan menghadapi kesulitan mencukupi
keperluan makanannya.
Karena itu juga pengkhususan sumber pangan yang terjadi dengan manusia Indonesia
yang hanya menganggap sudah makan hanya setelah makan nasi, membuat beras menjadi
faktor keperluan hidup yang sangat penting di Indonesia. Karena itulah pula sudah lama
diusahakan agar bangsa Indonesia dapat menganekaragamkan bahan pangan-nya, yang
sampai sekarang belum berhasil. Faktor-faktor yang menyebabkan hal itu di antaranya
ialah: rasa nasi yang enak sehingga hanya memerlukan lauk-pauk yang sederhana sebagai
makanan pendamping, cara mengolahnya yang mudah, dayatahannya terhadap
penyimpanan apakah berupa padi, gabah, atau beras, tingginya kadar proteinnya sehingga
lauk-pauk tambahan untuk mencukupi keperluan protein hanya sedikit, dan bentuknya
yang padat sehingga mudah dikemas dan diangkut.
Daftar 9.1
Tigapuluh Tanaman Utama Dunia
Macam Tanaman: Hasil Dalam Juta Ton/Tahun:
Gandum 360
Padi 320
Jagung 300
Kentang 300
Barli 170
Ubijalar 130
Ubikayu 100
Anggur 60
Kedelai 60
Oats (Haver) 50
Sorgum 50
Tebu (Gula) 50
Jawawut 45
Pisang 35
Tomat 35
Bit (gula) 30
Rai 30
Jeruk orange 30
Kelapa 30
Minyak Biji Kapas 25
Apel 20
Uwi 20
Kacang Tanah 20
Semangka 20
Kubis 15
Bawang 15
Buncis 10
Ercis 10
Biji Bunga Matahari 10
Mangga 10
Dikutip dari: Harlan, J. R. 1976. The Plants and Animals that Nourish Man. (Dalam Food and
Agriculture, A Scientific American Book).

9.2. Tanaman dan Ternak Utama di Dunia


Dengan adanya pengkhususan bahan pangan, maka ada beberapa jenis tumbuhan dan
hewan dihasilkan dalam jumlah yang besar di seluruh dunia ini. Tumbuhan yang sengaja
ditanam manusia untuk mendapatkan hasil dinamakan tanaman, sedangkan hewan yang
dipelihara manusia dengan sengaja untuk mendapatkan hasil dari tubuhnya disebut ternak.
Ada 30 jenis tanaman di dunia ini yang menghasilkan tidak kurang dari 10 juta ton,
yaitu seperti yang tercantum pada Daftar 9.1. Tampaklah bahwa dari 30 jenis tanaman itu
ada tujuh macam yang menghasilkan masing-masing tidak kurang dari 100 juta ton. Kalau
hasil ini dijumlahkan untuk ketujuh macam tanaman itu maka hasilnya akan melampaui
hasil keseluruhan 23 jenis tanaman lainnya. Data ini teliti hingga tahun 1976 akan tetapi
dapat mengalami perubahan pada masa ini, terutama untuk 23 jenis tanaman yang
menghasilkan kurang dari 100 juta ton.
Untuk ternak ada tujuh sumber utama penghasil daging, seperti dapat disimak dari
tabel yang tercantum pada Daftar 9.2.
Daftar 9.2
Tujuh Jenis Ternak Penghasil Utama Daging
Jenis Ternak: Hasil Daging Dalam Juta Ton/Tahun:
Babi 42.5
Sapi 42
Unggas 20.7
Domba 5.4
Kambing 1.4
Kuda .7

Dikutip dari: Harlan, J. R. 1976.

9.3. Asal-Usul Tanaman


Dari mana asal tanaman yang sekarang merajai dunia sebagai penghasil bahan
makanan bagi manusia? Seorang ahli genetika Rusia bernama Vavilov dari Leningrad,
selama duapuluh tahun dari tahun 1916 hingga tahun 1936 bekerja menelusuri kembali
karya Alphonse de Candolle yang diterbitkan pada tahun 1822 dengan judul Origin of
Cultivated Plants. De Candolle berkesimpulan bahwa iklim yang sesuai serta adanya
kerabat liar merupakan petunjuk tempat asal tanaman tertentu, apalagi jika ada petunjuk-
petunjuk sejarah. Vavilov dengan menggunakan teknik-teknik yang lebih baru dan atas
dasar koleksi tumbuhan yang lebih lengkap mencakup wilayah yang lebih luas, selama
dua puluh tahun itu memperbaiki kesimpulan de Candolle.
Vavilov, mengambil kesimpulan bahwa pusat-pusat asal suatu tanaman dicirikan oleh
adanya keragaman bentuk tanaman yang sangat luas. Ketika beberapa tumbuhan menyebar
keluar dari pusat asal itu sebagai tanaman yang dibudidayakan atau kultivar, beberapa
genotipe menjadi tanaman yang berhasil dan mendominasi populasi. Hal ini berarti bahwa
di daerah itu gen-gen milik kultivar itu menjadi yang terbanyak ditemukan dengan gen-gen
resesif hanya mungkin muncul di tepi daerah sebaran kultivar itu.
Menurut Vavilov penyebaran jenis tanaman ke seluruh muka bumi yang dapat
ditumbuhi tumbuhan tidaklah merata. Misalnya saja suatu wilayah sempit yang mencakup
dua negara kecil di Amerika Tengah, yaitu San Salvador dan Costa Rica, memiliki jumlah
spesies asli yang sama banyaknya dengan seluruh spesies asli yang dimiliki oleh Kanada
dan Amerika Serikat. Beberapa wilayah yang ditemukan kaya akan berbagai jenis
tumbuhan asli dijuluki sebagai Pusat Keragaman dan dianggap mencakup Pusat-pusat
Asal primer dan sekunder tanaman yang dibudidaya-kan pada masa kini. Pusat-pusat asal
berbagai tanaman budidaya itu, menurut pandangan Vavilov ialah sebagai berikut:
Dunia Lama:
I. Cina – Daerah pegunungan Cina Tengah dan Barat serta daerah dataran rendah di
dekatnya adalah pusat asal terbesar untuk tanaman budidaya dan tanaman pertanian dunia.
Tumbuhan asli mencakup jawawut, bukweit, kedelai, berbagai kekacangan, bambu, sayuran
krusifera, bawang, salada, terong, mentimun, per, ceri, jeruk, kesemek, tebu, kulit manis,
dan teh.
II. (A) Asia Selatan (Hindustan) – Wilayah ini dianggap sebagai pusat asal padi, tebu,
berbagai kekacangan, dan buah-buahan seperti mangga, jeruk orange, jeruk lemon, dan
jeruk keprok.
(B) Indo-Malaya – Wilayah ini dianggap sebagai daerah asal pisang, kelapa, tebu, cengkih,
pala, lada, dan sisal.
III. Asia Tengah – Daerah ini adalah pusat terpenting sebagai daerah asal terigu. Tumbuhan
asli lainnya ialah ercis, buncis, lentil, hennep, kapas, wortel, radis, bawang putih, bayam,
pistacio, aprikot, per, dan apel.
IV. Asia Kecil – Sekurang-kurangnya ada sembilan jenis gandum dan rai berasal dari daerah
ini. Daerah ini menjadi pusat asal banyak sekali buah-buahan daerah subtropik dan iklim
sedang, seperti ceri, delima, walnut, almond, tin, serta tumbuhan makanan ternak seperti
alfalfa, semanggi Parsi, dan vetch.
V. Mediteranean – Wilayah Laut Tengah ini adalah pusat asal zaitun dan banyak lagi sayuran
budidaya serta tanaman makanan ternak. Karena kebudayaan sudah berkembang sejak
lama, tanaman dari pusat asal ini sudah mengalami perbaikan yang sangat lanjut.
VI. Habsyi – Daerah ini kaya dengan berbagai jenis gandum dan barli. tumbuhan yang
berasal dari daerah ini juga ialah wijen, kacang kastor, kopi, dan okra.

Dunia Baru:
VII. Amerika Tengah – Berbagai macam tumbuhan berasal dari daerah ini seperti jagung,
buncis, ubijalar, cabai, kapas, papaya, agave, kakao, dan nangka belanda.
VIII. Amerika Selatan –
(A) Ekuador – Peru – Bolivia : Daerah asal berbagai jenis kentang, tomat, kacang lima,
labu, cabai, koka, kapas Mesir, dan tembakau.
(B) Pulau Chiloe di Cili Selatan dianggap sebagai daerah sumber kentang.
(C) Daerah semiarid Brazil di wilayah ini dianggap sebagai daerah asal kacangtanah
dan nenas, sedangkan ubikayu dan hevea dianggap berasal dari daerah tropik Amazon.
Kalau kita amati di peta, kesemua daerah asal ini hanya-lah sebagian kecil saja wilayah
keseluruhan dunia, yaitu antara 2 - 3 % dari seluruh luasan bumi, secara geografi berbeda
dengan jelas, dipisahkan oleh sempadan-sempadan alami seperti gurun pasir dan
pegunungan. Kekayaan flora di tempat-tempat ini bekerjasama dengan masyarakat manusia
yang menghuni daerah ini membentuk kantung-kantung perkembangan pertanian yang
bergantung pada pola budidaya setempat. Limaperenam dari semua spesies yang
disenaraikan oleh Vavilov berasal dari Dunia Lama, sedangkan sisanya, yaitu seperenam
bagian berasal dari Dunia Baru. Setelah penelitian dan pengalaman berkembang selama ini,
orang mulai percaya bahwa pusat-pusat itu sebenarnya saling berimpitan dan tidak
memiliki sempadan yang jelas.
Sekarang kita dapat bertanya-tanya di wilayah mana kah berbagai tumbuhan dan
hewan itu mengalami penjinakan. Hal itu dapat disimpulkan dalam bentuk suatu tabel
sebagai seperti yang dapat dilihat dalam Daftar 9.3.
Di Dunia Baru ada empat pusat penjinakan, yaitu:
1. Amerika Utara
2. Amerika Tengah
3. Dataran Tinggi Amerika Selatan
4. Dataran Rendah Amerika Selatan
Di Dunia Lama ada sembilan pusat penjinakan, yaitu:
1. Eropa
2. Eropa Utara
3. Afrika
4. Timur Tengah
5. Asia Tengah
6. Cina
7. India
8. Asia Tenggara
9. Pasifik Selatan
Pusat-pusat penjinakan ini sekaligus juga dikenal sebagai pusat munculnya berbagai
peradaban manusia.
Perincian makhluk hidup yang dijinakkan seperti telah dikatakan tadi dapat dirangkum
kembali seperti tercantum pada Daftar 9.3. Dari sejarah perkembangan pemanfaatan
berbagai jenis bahan makanan diketahui misalnya bahwa kentang tadinya hanya dikenal di
suatu daerah yang sangat sempit di pegunungan Andes. Baru setelah orang Eropa datang
ke pegunungan Andes dalam abad keenambelas, mereka membawa kembali tanaman itu ke
Eropa sehingga akhirnya menjadi salah satu penghasil utama karbohidrat di dunia. Sebelum
tanaman itu dapat diterima di Eropa, kentang harus mengalami penyesuaian terlebih
dahulu terhadap iklim setempat dan pandangan masyarakat.
Daftar 9.3
Daerah Perkembangan Tanaman Hewan
Eropa Oats,bitgula,rai Sapi,babi,
kubis,anggur,zaitun. angsa,itik.
Eropa Utara Rusa kutub.
Afrika Padi Afrika, sorgum, Keledai,unggas
jawawut, mutiara, itik,angsa.
jawawut jari,uwi,
semangka,kacang hi-
jau,kopi,kapas(?), wijen.
Timur Tengah Gandum,barli,bawang, Domba,kambing,
ercis,lentil,ercis,ayam, unta,sapi,babi.
tin,kurma,linen,per,
delima,anggur,zaitun,
apel(?)
Asia Tengah Jawawut,bukweit,al- Kuda, unta,yak.
falfa,hennep,jawawut,
anggur,buncis lebar.
Cina Kedelai,kubis,bawang Sapi,babi,itik.
per,jawawut,ekor-rubah.
India Kacang merpati, Sapi,kerbau,
terung,mentimun, ayam.
kapas(?),wijen(?)
Asia Tenggara Padi Asia Tenggara,pi- Mithan banteng,
sang,jeruk,uwi,mangga ayam,kerbau,
tebu,keladi,teh babi.
Pasifik Selatan Tebu,kelapa,klewih.
Amerika Utara Bunga matahari, Kalkun.
kacang tepari.
Amerika Tengah Jagung,tomat,kacang Itik muskovi,
sieva,kacang jogo,kapas, kalkun.
alpuket,pepaya,kakao,
ubikayu,ubijalar,buncis.
Amerika Selatan:
Dataran Tinggi Kentang,kacangtanah, Llama,alpaka,
buncis Lima,buncis, marmot.
kapas.
Dataran Rendah Uwi,nenas,ubikayu,
ubijalar,kapas.
Dari: Harlan (1976).
Begitulah terjadi penyesuaian iklim bagi kentang yang mula-mula ditanam di Eropa.
Setelah itu kentang masih saja dianggap sebagai bahan makanan kelas dua, sampai pada
suatu ketika Istana Inggris mengadakan jamuan makan yang bahan makanan pokoknya
ialah kentang. Tumbuhan lain seperti tebu, kedelai, jeruk, tomat, kacangtanah, ubijalar, dan
bunga matahari, semuanya adalah pendatang baru sebagai pemasok bahan makanan. Biji
kapas sebagai sumber utama minyak makan adalah penemuan yang terjadi di abad ini.
Sewaktu suatu tumbuhan menjalani proses peralihan mejadi tanaman budidaya tidak
jarang bentuk tumbuhan itu juga mengalami perubahan perlahan-lahan. Misalnya saja tiga
jenis gandum dijinakkan dari rumput liar. Salah satu dari ketiga jenis gandum itu bersifa t
diploid dengan tujuh pasang khromosom dan sekarang sudah dianggap sebagai jenis
gandum kuno. Namanya einkorn dan agaknya merupakan hasil penjinakan di Turki Timur.
Gandum kedua ialah suatu tetraploid dengan 14 pasang khromosom dan disebut emmer.
Gandum inilah yang bertahan terlama sebagai sumber bahan karbohidrat dalam masyarakat.
Gandum ini mungkin sekali dikembangkan mula-mula di Palestina dan Turki Timur.
Emmer ini menyebar melalui Eropa, Afrika Utara, Mesir, dan Arabia, dan akhirnya men-
capai Etiopia yang sekarang masih tetap memelihara gandum ini. Jenis gandum ketiga yang
telah dijinakkan orang ialah Triticum timopheevii yang berasal dari Transkaukasia dan telah
menyebar hanya sebagai sumber plasma nutfah untuk kajian genetika. Gandum yang
ditanam sekarang bukanlah salah satu dari ketiga gandum tadi. Ketiga jenis terdahulu
memiliki butir yang dibungkus gluma yang sangat keras. Sewaktu sudah masak, malai
hancur sewaktu gandum diinjak-injak dan meninggalkan gandum yang terbungkus dalam
glumae yang keras. Karena itu biji harus mengalami proses penumbukan agar
membebaskan butir gandum dari glumae yang menjadi pembungkusnya.
Spesies gandum utama di dunia sekarang ini dan yang memberikan saham hasil yang
terbesar terhadap jumlah total sebanyak 360 ton metrik itu ialah gandum roti. Tumbuhan ini
heksaploid dengan 21 pasang khromosom dan terjadi dengan penambahan satu gugus
khromosom dari suatu rumput oat liar Triticum tauschii sehingga sudah berbeda banyak
dengan jenis-jenis gandum pertama yang dijinakkan manusia. Di Asia Tenggara sudah lama
diadakan penjinakan jenis-jenis padi, akan tetapi penjinakan ini diadakan dengan tujuan
mengadakan penyesuaiam terhadap lingkungan alami. Baru beberapa waktu ini saja dalam
tahun-tahun enampuluhan terjadi usaha disengaja untuk menemukan jenis-jenis padi baru
yang dapat memanfaatkan energi surya dengan sebaik-baiknya didukung oleh usaha-usaha
mengubah keadaan lingkungan sehingga menjadi lebih baik. Muncullah varietas-varietas
baru padi yang kita kenal dengan nama yang bertanda IR untuk varietas yang dibuat di
IRRI, serta yang memiliki nama-nama Indonesia seperti Pelita, yang disusun di Indonesia.
Hewan yang dijinakkan menjadi ternak adakalanya lepas kembali dan menjadi liar. Hal
itu terjadi dengan kuda, sapi, dan unta di Amerika Utara bagian Barat. Demikian pula
kelinci yang dimasukkan di Australia menjadi liar kembali dan berubah menjadi hama
karena tidak ada pemangsa alaminya.
Suatu hal yang sangat menarik terjadi pada penjinak-an tumbuhan, yaitu pada Brassica
oleracea dari keluarga Cruciferae. Dari satu spesies terjadi enam macam sayuran. Pemuliaan
untuk pucuk daunnya menghasilkan kubis telur, sedangkan pemuliaan untuk bunganya
menghasilkan kubis bunga. Pemuliaan untuk batangnya menghasilkan kolrabi, sedangkan
pemuliaan untuk tunas-tunas samping menghasilkan kol tunas. Pemuliaan untuk bunga
dan batang serempak menghasilkan brokoli, sedangkan pemuliaan untuk sebanyak-
banyaknya daun menghasilkan kale. Kale ini yang paling dekat morfologinya dengan
tumbuhan aslinya.
Pemuliaan hewan liar di Indonesia misalnya juga menarik perhatian dan menghasilkan
ternak yang penting. Dari banteng yang dijinakkan telah muncul sapi madura dan sapi bali
yang masih memiliki ciri-ciri banteng, yaitu bagian paha belakang yang berwarna putih. Di
beberapa daerah tertentu kerbau biasanya dipelihara setengah liar. Kadang-kadang
demikian liarnya, sehingga untuk menangkapnya harus ditembak. Bedanya dengan kerbau
liar hanyalah bahwa kerbau setengah liar yang hidup di dalam padang penggembalaan
tertentu itu jelas ada pemiliknya.
Ayam ras seperti Leghorn putih, Australorp, dan Rhode Island Red adalah hasil
penjinakan dan pemuliaan dari berbagai macam ayam hutan. Tidak tertutup pula kemung-
kinan bahwa hewan lainnya seperti rusa akhirnya dapat dijinakkan dan diternakkan.
Bahkan apabila suatu hewan liar menjadi langka, salah satu cara untuk mengatasi ke-
punahannya ialah dengan mencoba menternakkannya. Salah satu masalah misalnya ialah
dengan hewan langka Babirusa yang oleh Linnaeus pada abad yang lalu diklasifikasikan
termasuk Keluarga Suidae bersama babi. Tetapi ada orang yang mengharamkan babi
ternyata makan daging babirusa.
Ternyata dari penelitian awal seorang mahasiswa pasca-sarjana IPB, bahwa babirusa itu
lebih memiliki ciri-ciri rusa. Puting susu betinanya hanya dua seperti pada rusa, Taringnya
yang melengkung bukanlah taring yang sebenarnya, melainkan caling, yang lebih mirip
dengan gading gajah dan tanduk rusa. Demikian pula sistem pencernaannya serupa dengan
kuda, yaitu yang usus buntunya membesar dan menjadi tempat mencernakan rumput yang
dimakan. Karena itu, apabila dapat dipastikan bahwa babirusa bukan-lah babi, melainkan
lebih dekat ke keluarga Cervidae atau rusa-rusaan, akan lebih mudah mengadakan usaha
menternakkannya. Kalau tadinya orang memburu secara gelap tanpa usaha
melestarikannya, dengan menternakkan seperti menternakkan buaya yang juga hampir
punah, populasi hewan itu akan dapat terpelihara.

10. MASALAH GIZI MANUSIA


10.1. Makanan dan Intensifikasi Usaha Pertanian
Kita tahu bahwa pada tahun 1990 ini penduduk dunia sudah mencapai jumlah 5.3
miliard. Pada akhir abad ini penduduk dunia akan mencapai jumlah 6 miliard. Padahal
pada tahun 1930 penduduk dunia hanya ada 2 miliard dan 30 tahun kemudian pada tahun
1960 baru mencapai 3 miliard. Kita dapat bertanya-tanya dari mana saja kita dapat
menyediakan makanan bagi seluruh penduduk dunia ini yang tidak henti-hentinya
meningkat?
Sejak tahun 1798 ketika Thomas Malthus memberi per¬ingatan bahwa jumlah manusia
meningkat secara ekspo¬nensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya
dapat meningkat secara aritmetika, selalu saja ada ulangan peringatan yang sama nadanya.
Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa kelaparan lokal yang kadang-
kadang meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah di berbagai negara.
Kelaparan yang meluas biasanya terjadi segera setelah suatu perang besar terjadi karena
selama perang orang tidak sempat meng¬urusi lahan pertaniannya.
Demikianlah awal tahun 1920, akhir dasawarsa empatpuluhan dan awal dasawarsa
limapuluhan adalah masa-masa kelaparan di berbagai tempat di dunia. Sementara itu masa
kekeringan yang berkepanjangan selama dua tahun menyebabkan ada kelaparan di India
pada pertengahan dasawarsa enampuluhan, dan kemudian juga pada tahun 1972 terjadi
kekurangan pangan yang gawat yang terasa di seluruh dunia. Walaupun kelaparan sudah
bertubi-tubi melanda dunia, baru pada awal tahun-tahun enampuluhan orang sadar bahwa
kelaparan yang berkepanjangan itu dapat berakibat gawat terhadap umat manusia.
Kesadaran itu muncul berkat tulisan seorang pegawai Departemen Pertanian Amerika
Serikat yang bernama Lester R. Brown. Di dalam tulisannya itu ia mengadakan ekstrapolasi
keperluan bahan pangan padi-padian dunia menuju tahun 2000. Ia membuat kesimpulan
bahwa walaupun misalnya semua negara berkembang dapat melipat-tigakan produksi
padi-padiannya pada tahun 2000, ekspor padi-padian dari negara maju ke negara
berkembang masih harus dilipat-empatkan agar dapat mencukupi keperluan penduduk
negara-negara itu. Ia mengatakan juga bahwa sebelum perang dunia kedua berkecamuk
negara-negara berkembang itu mengekspor padi-padian ke negara-negara maju, akan tetapi
keadaan itu berbalik seusai perang dunia kedua. Ia menyimpulkan bahwa “Dunia yang
terlambat berkembang itu kehilangan kemampuannya untuk menyediakan makanan bagi
dirinya sendiri”.
Ciri negara yang berkembang adalah bahwa perekonomiannya ditunjang sebagian
besar oleh usaha di sektor pertanian. Kita sering bangga bahwa Indonesia adalah negara
agraris. Yang tidak kita sadari ialah bahwa hal itu justru adalah pertanda bahwa kita masih
belum maju. Negara-negara yang sedang berkembang dan bersifat agraris itu biasanya
mengandalkan kehidupannya sebanyak 50 sampai 80 persen dari sektor pertanian. Bagi
kebanyakan orang sumber penghidupan ialah bercocoktanam tanaman pangan dan serat
atau beternak hewanpiara yang telah beradaptasi terhadap keadaan tanah dan iklim
setempat. Karena itu dayahasil tanaman dan ternak mereka ditentukan oleh keadaan
lingkungan itu sendiri sehingga hasilnya sangat sedikit. Di samping itu jumlah penduduk
bertambah sehingga peningkatan hasil pertanian dan peternakan melalui perluasan lahan
usaha tidak mungkin lagi dilakukan. Karena lahan pun diwariskan ke anakcucu, terjadi
pula pemercaan lahan sehingga pemilikan lahan menjadi sangat rendah, lebih rendah dari
0.25 ha per kepala keluarga.
Karena itu hasil pertanian yang sudah rendah itu makin sedikit lagi sehingga para
petani tidak dapat mengumpulkan modal untuk memperbaiki usahanya, apalagi untuk
memperbaiki keahlian anggota keluarganya melalui pendidikan dan kesehatan anggota
keluarganya melalui pemeliharaan dan penyehatan lingkungan yang baik. Ciri pend uduk
pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang dengan demikian ialah kurang
berpendidikan, kurang terpelihara kesehatannya sehingga berkurang pula kemampuan
kerjanya. Harapan hidup rendah sehingga mendorong mereka mempunyai banyak anak
yang kemudian dapat dipakai sebagai sumber tenaga bantuan kerja di pertanian.
Karena sedikitnya orang yang berpendidikan, maka kegiatan penelitian untuk
menunjang berkembangnya pengetahuan pertanian yang dapat meningkatkan hasil pun
kurang dapat dilakukan. Sebagai hasil akhirnya menjadi kenyataanlah pernyataan Lester
Brown bahwa negara berkembang kehilangan kemampuan menghidupi dirinya sendiri.
Setelah sadar akan bahaya kelaparan bagi perdamaian dunia, negara-negara maju berusaha
untuk membuat pusat-pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Untuk jagung
dan gandum pusatnya misalnya ialah di Meksiko (CIMMYT), dan untuk padi di Los Banos,
Filipina (IRRI).
Pada tahun 1963 warga Institut Pertanian Bogor sebenarnya sudah sadar bahwa harus
dilakukan sesuatu agar sistem becocoktanam padi di pedesaan dapat meningkat hasilnya
agar kita di Indonesia ini dapat berswasembada beras. Oleh karena itu pada tahun 1963 itu
seluruh mahasiswa Institut Pertanian Bogor diturunkan ke daerah pedesaan Karawang
untuk ikut aktif dalam Komando Operasi Gerakan Makmur yang menjadi cikal-bakal apa
yang kita kenal sekarang dengan nama BIMAS atau Bimbingan Massal. Dalam gerakan itu
para mahasiswa dimintakan ikut mengadakan penyuluhan kepada para petani agar para
petani mau mengikuti pancausaha, yaitu:
1. Menggunakan bibit unggul,
2. Mengadakan pemberantasan hama dan penyakit,
3. Menyelenggarakan pengairan yang teratur.
4. Mengadakan pemupukan,
5. Mengadakan pengolahan tanah yang baik.
Berkat usaha bimbingan secara massal agar mengikuti program intensifikasi pertanian
itu, para petani mulai menyadari apa pentingnya melaksanakan pancausaha itu. Akan tetapi
sebenarnya varietas yang digunakan masih belum sesuai untuk ditanam dengan
mengadakan pemupukan berat, karena varietas unggul nasional yang ada pada waktu itu
dibentuk dengan mengingat kemampuan petani yang kurang untuk menyediakan sarana
produksi pertanian seperti pupuk.
Baru setelah varietas-varietas unggul dari IRRI sampai di Indonesia dan diadakan
adaptasi, sistem pancausaha itu berjalan dengan lebih baik karena varietas unggul baru ini
yang salah satu induknya sebenarnya adalah varietas unggul nasional dari Indonesia,
memang sangat tanggap terhadap pemupukan berat. Umurnya pun pendek sehingga di
daerah-daerah yang baik pengairannya sepanjang tahun dapat diadakan penanaman padi 3
kali setahun.
Akibat penggunaan bibit unggul ini produksi padi melonjak. Dengan demikian teori
Malthus yang pesimis itu sebenarnya tidak seluruhnya benar. Pertambahan penduduk yang
eksponensial itu dalam batas-batas tertentu juga dapat diimbangi oleh pertambahan
produksi hasil pertanian yang eksponensial juga berkat ditemukannya teknologi baru.
Tentu saja hasil teknologi baru ada kekurangan-kekurangannya, karena bibit unggul
IRRI yang pertama tidak enak rasa padinya, dan bercocoktanam padi terus-menerus
menyebabkan adanya ledakan hama wereng. Sementara itu juga para ahli pemuliaan
tanaman padi Indonesia mendapatkan pendidikan tambahan di luar negeri dan sekembali
di tanah-air tidak tinggal diam dan menghasilkan terus-menerus padi unggul yang rasa
nasinya enak dan dayatahannya terhadap hama wereng cukup tinggi.
Selain itu juga berkat perubahan pola bercocoktanam padi dari suatu usaha mencukupi
keperluan sendiri menjadi suatu usaha untuk menghasilkan beras juga bagi keperluan
orang lain, petani-petani kaya cenderung menjadi lebih kaya. Kebalikannya, petani-petani
dengan lahan sempit atau yang bahkan tidak memiliki lahan dan bekerja selaku penyakap
tetap saja hidup tak berkecukupan. Karena itu akhirnya disadari juga bahwa usaha
peningkatan produksi pertanian harus didekati juga dari segi permasalahan sosial-ekonomi.
Masalah pembangunan pertanian yang merumitkan ini termasuk dalam kumpulan
permasalahan yang disebut involusi pertanian.
Berkat kerjakeras para peneliti ini dan para pekerja di lapangan, Indonesia beberapa
tahun yang lalu sudah dapat berswasembada beras. Yang harus kita jaga adalah agar
keadaan ini tetap terjaga dengan baik. Usaha lain yang diperlukan untuk membantu
keadaan ini ialah peningkatan usaha keluarga berencana dan usaha menganekaragamkan
sumber makanan pokok bangsa Indonesia untuk mencakup juga bahan makanan pokok lain
seperti jagung, umbi-umbian, dan sagu. Tantangan yang kita hadapi ialah kesimpulan
Lester Brown dan ramalan Malthus, karena apabila kita percaya seluruhnya akan kedua
pendapat ini mau tak mau penduduk dunia harus dikembalikan lagi ke jumlahnya pada
tahun-tahun tigapuluhan. Hal itu sama saja artinya dengan melakukan pemusnaan besar-
besaran banyak sekali manusia yang sudah kepalang dilahirkan ke muka bumi ini.

10.2. Berbagai Bentuk Malagizi pada Manusia


Kalau di suatu wilayah tidak cukup tersedia bahan pangan sehingga manusia di tempat
itu untuk sebagian besar tidak makan, terjadilah bencana kelaparan. Akan tetapi kelaparan
yang mendesak seperti itu dengan mudah dapat diatasi asal saja di daerah lain masih cukup
tersedia bahan makanan yang direlakan untuk dikirim ke tempat yang menderita kelaparan
itu. Kelaparan yang lebih berbahaya lagi ialah kelaparan menahun yang terjadi karena
penduduk mendapat makanan yang tidak cukup untuk memelihara kesehatan tubuhnya.
Terjadilah akibat kelaparan menahun itu apa yang disebut gizi-kurang. Dapat pula terjadi
sebaliknya, yaitu bahwa dalam waktu yang panjang manusia makan melebihi apa yang
diperlukan oleh tubuhnya. Terjadilah apa yang disebut gizi-lebih.
Baik gizi-kurang maupun gizi-lebih adalah suatu keadaan gizi tubuh yang tidak baik.
Oleh karena itu kedua hal tersebut digolongkan sebagai peristiwa malagizi. Malagizi dapat
terjadi melalui salah satu dari empat macam cara:
(1) Seseorang mungkin saja memang tidak mendapatkan makanan yang cukup. Maka ia
menderita gizi-kurang.
(2) Susunan makanan sehari-hari atau dietnya mungkin tidak mengandung suatu zat
makanan tertentu yang diperlukan tubuh. Akibatnya ia akan menderita penyakit seperti
pellagra, skorbut, rickets, atau anemia kehamilan karena kekurangan asam folat.
(3) Mungkin juga ia menderita suatu penyakit yang disebabkan secara genetik atau oleh
keadaan lingkungan, sehingga ia kehilangan kemampuan mencernakan makanannya
dengan baik dan menderita gizi-kurang sekunder karena ada bagian-bagian makanan
tertentu yang diperlukan tubuhnya tidak dapat diresap olehnya melalui lambungnya.
(4) Akhirnya, ia mungkin saja makan terlalu banyak kalori atau bagian zat makanan
lainnya sehingga ia menderita sakit. Hal itu misalnya dapat terjadi dengan makan terlalu
banyak makanan bergula, bergaram, atau berlemak. Malagizi seperti ini termasuk peristiwa
gizi-lebih dan muncul di kalangan orang-orang yang berpenghasilan tinggi. Pada kelompok
masyarakat begini dapat pula terjadi masalah gizi-kurang yang disebabkan usaha berpuasa
yang berlebihan karena tidak ingin menderita gizi-lebih.
Gizi-kurang yang terpenting ialah kekurangan kalori menahun yang terjadi pada anak
atau orang dewasa. Pada anak, kurang-kalori menahun menimbulkan kelesuan, tidak
adanya pembentukan otot, dan kegagalan pertumbuhan. Pada manusia dewasa kurang-
kalori mengakibatkan penurunan bobot-badan dan berkurangnya gairah dan ke-
mampuan untuk melakukan kegiatan fisik maupun mental. Penderita gizi-kurang semacam
ini dari anak hingga orang dewasa akan lebih peka terhadap serangan penyakit infeksi dan
penyakit-penyakit lainnya. Kalau diobati pun penyakitnya itu akan lebih sulit dan makan
waktu lebih lama menuju proses kesembuhan.
Anak yang menderita kurang protein menahun tumbuh lebih lambat dan dibandingkan
dengan teman sebayanya tubuhnya akan lebih kecil atau kerdil. Kalau kurang protein
terjadi dengan sangat hebat, pertumbuhan samasekali akan terhenti dan seluruh tubuh
penderita akan menunjukkan gejala-gejala yang khas: beruntus-beruntus merah pada kulit
diiringi kehilangan warna, penggembungan bagian tubuh karena pengumpulan cairan
tubuh disertai perubahan warna rambut dari hitam mejadi kemerah-merahan.
Kekurangan kalori dan kekurangan protein biasanya muncul bersamaan sehingga
kedua penyakit ini biasanya diperlakukan secara gabungan dan dikenal sebagai malagizi
protein-kalori (MPK). Penyebab MPK ini mungkin adalah suatu diet yang kaya kalori dan
sangat rendah akan protein, yang menghasilkan kwashiorkor atau suatu diet yang rendah
kalori mau pun rendah protein dan menghasilkan marasmus.
Di dalam tubuh kalori diperlukan sebagai sumber energi yang memberikan tenaga
kepada tubuh. Protein diperlukan tubuh sebagai pembuat sukucadang tubuh yang harus
diganti sewaktu-waktu karena terjadi keausan. Selain malagizi yang disebabkan protein dan
kalori, penyakit malagizi dapat pula timbul karena manusia kurang vitamin atau mineral di
dalam dietnya. Penyakit kurang vitamin yang ditemukan keterangannya di Indonesia oleh
Eyckman ialah penyakit beri-beri yang ternyata disebabkan oleh kekurangan vitamin B1
atau tiamine. Sekarang ini penyakit kekurangan yang disebabkan vitamine dan merupakan
masalah yang sangat penting di Indonesia ialah kekurangan vitamine A yang dapat
mengakibatkan xerophtalmia yang gejala-gejala pertamanya ialah buta-malam dan kalau
tidak diatasi akan berakhir dengan kebutaan melalui berbagai tahap kelainan pada mata. Di
antaranya munculnya bintik-bintik putih yang disebut becak putih Bitot. Setelah gejala ini
muncul, besar sekali kemungkinannya anak itu akan menjadi buta dan mengurangi
kesempatan baginya untuk menjadi tenaga kerja yang produktif. Akan bertambah pula
beban bagi masyarakat untuk menanggung kehidupannya.
Kekurangan vitamine D jarang terjadi dan kalau ada mungkin sekali akan muncul pada
manusia dewasa yang tidak banyak kesempatannya berjemur di panas matahari. Seperti
kita ketahui, tubuh manusia dapat membuat vitamine D-nya sendiri asal kulitnya kena sinar
matahari. Penyakit kekurangan vitamine D akan menimbulkan ricketsia dan di dunia ini
sering muncul di antara kaum muslimat yang tidak banyak kesempatan mendapat sinar
matahari yang cukup. Kekurangan vitamine C yang menyebabkan skorbut jarang terjadi di
Indonesia karena kita lebih banyak mendapat kesempatan makan sayuran dan buah-buahan
segar. Yang lebih sering muncul di Indonesia ialah kekurangan mineral yodium yang
membuat kelenjar tiroid membesar dan menimbulkan penyakit gondok. Penyakit seperti ini
kemungkinan besar akan muncul di daerah pegunungan yang tentu saja letaknya di
pedalaman, jauh dari laut. Untuk itulah Pemerintah mengadakan program penambahan
yod ke dalam garam dapur.
Kelompok manusia yang paling peka terhadap akibat-akibat buruk malagizi ialah bayi
dan anak yang berumur hingga lima tahun atau Balita, serta ibu-ibu hamil dan menyusui.
Bagi bayi protein sangat penting artinya sewaktu ia masih ada dalam kandungan untuk
pembentukan dan pertumbuhan tulang, otot, dan organ tubuh. Anak seorang ibu penderita
malagizi mungkin sekali akan lahir sebelum bulannya atau terlahir sangat kecil dan peluang
matinya akan membesar, atau juga lebih besar peluangnya mendapatkan cacat mental
karena perkembangan sistem syarafnya terhambat.
Perkembangan otak dimulai sejak bayi dikandung dan berakhir pada usia mendekati
dua tahun. Apabila pada masa ini terjadi malagizi ketika sel neuron dan sel sambungannya
sedang terbentuk, dapat menjadi sebab terjadinya keterbelakangan mental yang tidak lagi
dapat diperbaiki belakangan dengan usaha perbaikan gizi. Akibatnya sangat besar bukan
saja bagi pribadi yang menyandang kekurangan itu melainkan juga bagi seluruh
masyarakat dan perekonomian negara.

10.3. Keterbelakangan Usaha Perikanan


Untunglah sejak tahun 1972 usaha-usaha perbaikan varietas padi-padian telah
membuahkan hasil sehingga terjamin adanya persediaan pangan yang cukup bagi seluruh
dunia. Permasalahan baru yang timbul ialah bagaimana caranya menyebarluaskan hasil
produksi pertanian yang melimpah di suatu tempat ke tempat lain yang menderita
kekurangan, kalau tempat yang menderita kekurangan itu tidak mempunyai dayabeli
terhadap bahan pangan yang diperlukannya.
Bagi Indonesia, masalah intensifikasi pertanian yang memerlukan masukan sarana
produksi pertanian yang meningkat, di antaranya pupuk, sudah mendapat persiapan yang
baik, misalnya dengan didirikannya pabrik-pabrik pupuk urea sebagai hasil sampingan
industri petrokimia. Yang menjadi masalah adalah pupuk kalium dan fosfat karena kita
tidak memiliki deposit garam kalium dan fosfat yang cukup besar untuk ditambang secara
ekonomis. Kebanyakan pupuk kalium dan fosfat masih tetap harus diimport dari luar.
Permasalahan yang lebih besar lagi yang dihadapi manusia di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia yang menyangkut malagizi ialah kekurangan persediaan
bahan pangan sumber protein. Sudah menjadi kelaziman di negara-negara yang
berkembang bahwa sumber protein utama di dalam diet dilengkapi oleh protein yang
berasal dari ikan. Kenyataannya jumlah keseluruhan tangkapan ikan dunia mengalami
suatu keadaan yang stasionar. Pada tahun 1970 dan 1971 misalnya hasil tangkapan ikan
seluruh dunia diduga hanya mencapai 70 juta ton. Pada tahun 1972 jumlah itu menurun
dengan hebat sampai di bawah 55 juta ton. Kalau saja untuk bahan pangan telah berhasil
diadakan “revolusi hijau”, untuk masalah penyediaan sumber protein ikan masih harus
diciptakan di Indonesia ini suatu “revolusi biru”.
Selain mencoba mengusahakan peningkatan penangkapan ikan di perairan terbuka
Indonesia yang mencakup 75% seluruh wilayah Nusantara, kita harus berusaha men-
ciptakan cara-cara pemeliharaan ikan yang baru, yang dapat meningkatkan hasil ikan per
satuan luas kolam. Perikanan air deras adalah salah satu contoh usaha ke arah sana. Selain
itu juga hambatan perluasan perkolaman dan pertambakan ialah masalah penyediaan bibit
ikan seperti nener bandeng dan benur udang. Di Filipina mereka telah berhasil
mendapatkan nener udang dari bandeng yang dipelihara dalam tambak setelah bandeng itu
berumur lebih dari empat tahun. Kita pun telah berhasil memaksakan udang windu
menghasilkan benur dalam suasana pemeliharaan, sedangkan ikan karper rumput yang
daerah asalnya ialah sungai Mekong dan Irawadi telah pula berhasil berhasil dibibitkan di
Indonesia. Di masa depan ini kita perlukan pemusatan perhatian untuk mengadakan
terobosan-terobosan baru dalam bidang pemeliharaan dan penangkapan ikan.

10.4. Mengapa Manusia Harus Makan?


Tumbuhan dapat menyadap sinar matahari dan mengubah energi matahari itu menjadi
energi kimia. Mengapa manusia tidak dapat melakukannya? Manusia tidak dilengkapi
dengan kelengkapan tubuh untuk menghasilkan senyawa-senyawa karbon yang diperlukan
membentuk dan memelihara jaringan tubuh serta melangsungkan proses metabolisme
tubuh. Senyawa-senyawa seperti ini yang diperlukan oleh manusia dan hewan dalam
bentuk yang telah disediakan dari lingkungan hidupnya disebut zat gizi esensial. Apa saja
zat gizi yang esensial tergantung pada kelengkapan makhluk hidup itu sendiri. Vitamin C
misalnya tidak dapat dibuat sendiri oleh avertebrata, insekta, ikan, dan primata, akan tetapi
amfibia, reptil, dan burung dari tingkat evolusi yang lebih rendah dapat membuat vitamin
C di dalam ginjalnya, sedangkan beberapa jenis burung pada tingkat evolusi yang lebih
tinggi dan beberapa mammalia dapat membuatnya di dalam hatinya. Manusia, marmot,
kelelawar, dan beberapa jenis burung tidak dapat membuat vitamin C di dalam tubuhnya
sehingga vitamin C untuk makhluk seperti ini menjadi zat gizi esensial.
Apakah yang menjadi zat gizi esensial bagi manusia? Jelaslah bahwa karbohidrat adalah
zat gizi esensial bagi manusia, sedangkan dari protein yang esensial bukanlah proteinnya
secara umum, melainkan asam amino tertentu yang menyusun protein itu. Bagi manusia
ada sembilan asam amino yang bersifat esensial, yaitu : leusin, valin, fenilalanin, treonin,
isoleusin, lisin, metionin, sistin, dan triptofan. Hanya kalau kesembilan asam amino ini ada
secara lengkap dan dalam nisbah yang sesuai di dalam diet, dapat diadakan kembali sintesis
protein di dalam tubuh manusia.
Berbagai bahan makanan mengandung protein akan tetapi dengan susunan asam amino
yang berbeda-beda. Itu sebabnya bahan makanan manusia harus beragam agar campuran
itu menghasilkan susunan asam amino esensial yang serasi di dalam diet.
Beras misalnya mengandung cukup triptofan tetapi miskin lisin dan treonin, sedangkan
kacang-kacangan seperti buncis dan kedelai mengandung kadar lisin, isoleusin, dan
triptofan yang tinggi. Karena sumber lisin yang baik sebenarnya ialah protein hewani yang
berasal dari daging, telur, dan susu, barangsiapa tidak cukup makan daging sebaiknya
mencoba mengimbanginya dengan memasukkan kacang-kacangan di dalam dietnya.
Tampaklah betapa pentingnya peranan tempe di Indonesia dalam mengatasi kekurangan
asam amino esensial di dalam diet masyarakat.
Dari vitamin yang esensial bagi manusia ialah vitamin A, B1(tiamin), B2(riboflavin),
B6(piridoksin), B12, C, D, E, dan K. Vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan tulang dan
gigi, mata yang sehat, dan kulit yang sehat. Kekurangan vitamin A mengakibatkan buta
ayam, kebutaan, dan pertumbuhan yang terganggu. Tiamin diperlukan untuk pertumbuhan,
pemanfaatan karbohidrat yang normal, kesehatan jantung dan susunan syarat, serta
pembentukan otot. Kekurangan tiamin akan menimbulkan beri-beri berupa pencernaan
yang tidak sempurna dan kelainan syaraf, serta pertumbuhan yang terganggu. Riboflavin
diperlukan untuk kulit dan susunan syaraf yang sehat, sistem pencernaan yang baik, dan
penggunaan oksigen yang efisien oleh tubuh. Kekurangan riboflavin menyebabkan
timbulnya kelainan-kelainan kulit dan pertumbuhan yang terganggu. Vitamin B6
diperlukan untuk kulit dan susunan syaraf, sistem pencernaan yang bekerja baik, serta
pemanfaatan karbohidrat. Kekurangannya akan menyebabkan pellagra (kelainan mental,
gangguan pencernaan, serta kelainan pada kulit. Vitamin B12 diperlukan untuk membuat
butir darah merah. Kekurangannya akan menimbulkan anaemia. Vitamin C memperbaiki
dan memperkuat pembuluh darah, membuat gigi dan gusi tumbuh sehat. Kekurangannya
menyebabkan skorbut (mudah luka, perdarahan di sekitar tulang, gusi nyeri). Vitamin D
mengatur pertumbuhan dan penggunaan kalsium dan fosfat, membentuk tulang dan gigi
yang kuat. Kekurangannya akan membuat tulang-belulang yang lunak dan pertumbuhan
geligi yang tidak baik. Vitamin E diperlukan untuk proses pembiakan yang normal
sedangkan vitamin K diperlukan untuk pembekuan darah yang normal apabila terjadi luka,
dan peningkatan kerja hati.
Perlu diingat bahwa vitamin-vitamin tertentu dalam jumlah yang lebih akan menjadi
racun di dalam tubuh. Vitamin yang demikian ialah vitamin A, D, dan K.
Mineral yang esensial bagi tubuh manusia ialah kalsium, fosfor, magnesium, natrium,
kalium, mangan, besi,*) tembaga, kobalt, belerang, yodium, dan seng. Mineral yang
diperlukan dalam jumlah yang besar, yaitu pada kadar 100 g atau lebih dalam sehari, ialah
mineral makro seperti kalium, natrium, kalsium, fosfor, magnesium, dan klor. Selainnya
ialah mineral mikro yang diperlukan manusia dalam jumlah yang sangat sedikit.
Senyawa natrium misalnya diperlukan manusia untuk darah dan jaringan dan berasal
dari garam dapur dan sayuran. Senyawa kalsium diperlukan untuk pembentukan tulang-
belulang dan geligi, dan untuk kerja jantung dan syaraf yang baik, serta untuk pembekuan
darah. Asalnya di dalam diet ialah dari daging, sayuran, buah-buahan, susu, dan padi-
padian.
Senyawa fosfor diperlukan untuk pembentukan tulang-belulang dan geligi serta
pembuatan zat ATP. Di dalam diet berasal dari daging, sayuran, buah-buahan, susu, dan
padi-padian. Magnesium diperlukan untuk kerja otot dan syaraf yang baik dan berasal dari
sayuran, padi-padian, dan kacang-kacangan. Senyawa kalium diperlukan untuk kegiatan
darah dan sel serta untuk pertumbuhan dan berasal dari sayuran dan buah-buahan.
Senyawa besi ialah tulang-punggung pembuatan sel darah merah dan berasal dari hati,
daging kurus, udang, padi-padian, sayuran daun hijau-tua. Yod diperlukan untuk kerja
kelenjar gondok yang normal dan berasal dari garam beryod serta bahan makanan yang
berasal dari laut.

10.5. Pola Penyakit Gizi pada Masyarakat Berubah dengan Waktu


Sampai beberapa tahun yang lalu penyakit gizi masyarakat yang terparah ialah Kurang
Kalori dan Protein (KKP). Setelah itu penyakit gizi kedua yang terparah ialah Anemia
karena Kurang Besi. Penyakit kekurangan besi ini terutama disebabkan karena kurangnya
penyehatan lingkungan. Penyakit ini dahulu banyak terdapat pada karyawan perkebunan
yang bekerja memetik teh atau menyadap karet tanpa alas sepatu. Akan tetapi sekarang,
apabila kita berkunjung misalnya ke kawasan perkebunan teh di Pengalengan, akan kita
lihat semua karyawan dan karyawati yang bekerja di kebun menggunakan sepatu bot karet
hingga menutupi betis. Dengan cara ini infeksi telur cacing melalui telapak kaki dapat
dihindari. Penyakit gizi ketiga yang terutama dapat ditemukan di pegunungan yang tentu
saja jauh di pedalaman ialah penyakit gondok yang disebabkan oleh kekurangan yod di
dalam makanan. Selain itu juga yang penting ialah penyakit rabun senja yang disebabkan
kekurangan vitamin A di dalam makanan.
Penyakit-penyakit malagizi seperti itu dapat diatasi dengan upaya penyehatan yang
lebih baik dan perbaikan penghasilan keluarga sehingga susunan menu makanan sehari-
hari meningkat mutu gizinya. Erat hubungannya dengan ini ialah usaha memasyarakatkan
kegiatan Keluarga berencana.
Akan tetapi, meningkatnya keadaan perekonomian dan keadaan gizi masyarakat dapat
pula menimbulkan pengaruh sampingan berupa keadaan gizi lebih. Salah satu akibat
keadaan gizi lebih adalah meningkatnya kasus penyakit-penyakit peredaran darah
termasuk penyakit jantung koroner. Kalau pada mulanya penyakit jantung koroner adalah
penyakit nomor empat terpenting yang menyebabkan kematian di Indonesia, sekarang
penyakit itu menempati tempat nomor tiga dan sedang bergerak ke posisi nomor dua. Pada
akhir abad ini diperkirakan bahwa penyakit itu akan menempati tempat nomor satu.

11. DAUR HARA KEHIDUPAN (1)


11.1. Pelestarian Kehidupan Memerlukan Kesetimbangan
Keperluan makanan semua bentuk kehidupan ada dalam kesetimbangan. Energi surya
yang diresap oleh tumbuhan hijau yang berfotosintesis disalurkan ke berbagai macam
makhluk hidup lain. Penyalurannya ada yang melalu jalur yang sederhana, ada pula
melalui jalur yang rumit menelusuri berbagai macam kehidupan dalam biosfer. Akan tetapi
akhirnya semuanya akan diradiasikan kembali ke ruang angkasa. Andaikata tidak demikian,
suhu bumi akan meningkat. Sejalan dengan itu zat-zat anorganik dari dalam tanah, air, dan
udara diserap oleh tumbuhan hijau yang berfotosintesis dan dijadikan bagian penyusun
molekul organik yang menjadi makanan manusia dan pakan hewan. Adakalanya juga zat
itu kemudian menjadi bahan penyusun molekul organik tumbuhan lain seperti berbagai
benalu, dan jasad renik. Sebagian dari zat-zat ini akan tersimpan dalam bentuk molekul
organik untuk waktu yang cukup lama dan menjadi tidak bermanfaat bagi kehidupan
lainnya. Zat-zat yang tersisihkan dalam waktu yang cukup lama itu misalnya dapat
berbentuk kayu pada batang pohon-pohonan atau pada kosen pintu, dan minyak serta gas
bumi yang tersimpan di dalam perut bumi. Akan tetapi kalau sistem kehidupan itu mantap,
semuanya akhir¬nya harus kembali lagi ke khazanah zat-zat hara tumbuhan.
Demikianlah misalnya tumbuhan kedelai akan berfotosintesis dan menghasilkan
karbohidrat sebagai fotosintat atau hasil fotosintesis. Sementara itu juga tumbuhan itu
meresap air dan mineral dari tanah serta oksigen dari udara. Zat-zat ini kemudian dijadikan
bahan organik mengandung bukan saja karbon, melainkan juga nitrogen, belerang, dan
fosfor dalam bentuk protein, serta fosfolipida. Sebagian akan tersimpan di dalam biji kedelai
yang kemudian akan dijadikan makanan ternak dan makanan manusia. Sebagian lagi akan
dimakan serangga atau cendawan. Apa yang dimakan manusia dan hewan sebagian akan
tinggal di tubuh manusia dan hewan itu, akan tetapi sebagian lagi akan keluar dari
tubuhnya dan kembali lagi ke tanah sebagai bahan organik. Di dalam tanah bekerja bakteri
pembusuk yang menguraikan kembali bahan organik itu menjadi karbondioksida, air,
amoniak, dan garam-garam mineral. Setelah kembali ke tanah dalam bentuk ini semua
mineral itu sudah siap kembali untuk diresap oleh tumbuhan hijau lain yang berfotosintesis.
Sebagian akan tetap tinggal dalam bentuk bahan organik yang sukar dihancurkan,
antaranya dalam bentuk humus atau bunga tanah. Akan tetapi pada suatu ketika bunga
tanah itu pun akan hancur pula kembali menjadi bentuk mineral.

11.2. Tugas Pertanian bagi Manusia


Karena adanya persyaratan kesetimbangan antara berbagai kegiatan kehidupan itu agar
kehidupan dapat berlangsung secara lestari di alam ini, sistem biologi dalam keseluruhan
ini dapat dianggap sebagai suatu aliran energi dan zat hara yang kontinu melalui suatu
jaring-jaring berbagai daur atau siklus yang saling berkaitan. Tugas pertanian ialah untuk
menyalurkan arus ini melalui jalur-jalur yang menguntungkan bagi satu species tunggal,
yaitu manusia. Berbagai bentuk masyarakat tumbuhan diganti dengan varietas-varietas
yang dibudidayakan, yang disebut juga kultivar, yaitu akronim cultivated variety. Kultivar
ini telah dipilih manusia atas dasar keefisienannya menghasilkan bahan pangan, papan,
atau serat bagi kepentingan manusia. Hewanpiara pun dikembangkan manusia dengan
alasan yang sama. Walaupun demikian masih ada bahan pangan manusia yang masih
ditangkap dari alam, seperti ikan laut. Demikian juga sebagian besar bahan papan masih
dikumpulkan sebagai hasil hutan, seperti misalnya kayu dan rotan. Akan tetapi lambat laun
pengumpulan hasil alam ini akan berubah menjadi suatu proses budidaya. Sekarang saja
sudah tampak bahwa udang yang biasanya ditangkap dari laut mulai dibudidayakan di
dalam tambak, kayu jati adalah hasil hutan buatan, dan madu lebah walaupun masih
banyak yang dikumpulkan sebagai hasil hutan, sudah mulai banyak diternakkan di dalam
apiari.

11.3. Sasaran Teknologi Dalam Pertanian


Semua pemikiran manusia yang diterapkan untuk mem-bentuk sesuatu yang baru
dapat dikatakan suatu teknologi dalam makna yang luas. Tujuan berbagai teknologi
pertanian ialah untuk menyalurkan arus zat hara yang lewat melalui daur pangan untuk
sebesar-besarnya kepentingan manusia. Ciri utama pertanian modern ialah keberhasilan
meningkatkan penyediaan bahan pangan melalui percepatan arus zat hara melalui daur itu.
Hal ini dicapai dengan berbagai cara, tetapi salah satu cara yang terpenting ialah usaha
mempercepat pengembalian zat hara dari tumbuhan dan hewan ke dalam tanah, sehingga
dapat diresap kembali oleh tumbuhan baru. Karena itu agar seluruh umat manusia
mendapatkan makanan secukupnya, kita harus menjamin tersedianya zat hara bagi
beragam tumbuhan, hewan, dan jasadrenik.
Usaha mempercepat daur-ulang zat hara ini dari tumbuhan ke tanah dan dari tanah ke
tumbuhan dapat dilakukan dengan usaha-usaha pengolahan tanah, termasuk usaha
pengawetan tanah, pengairan lahan kering, dan pengeringan lahan terendam dan pasang-
surut. Semuanya ini dicakup dalam ilmu-ilmu tanah, pengolahan tanah, serta teknik tanah
dan air.

11.4. Perimbangan Pemanfaatan Energi Surya di Bumi


Bumi menyerap sejumlah besar energi surya, akan tetapi hanya suatu bagian yang
sangat kecil saja yang tersedia untuk keperluan kehidupan. Kira-kira 60 % sinar surya
dipantulkan kembali ke ruang angkasa tanpa berinteraksi, sedang sebagian besar dari
sisanya diserap oleh atmosfer, lautan, dan daratan, serta kemudian diradiasikan kembali
sebagai panas. Dibandingkan dengan catu energi planet bumi ini, banyaknya sinar surya
yang diresap oleh tumbuhan hijau dan kemudian disimpan dalam bentuk energi kimia
sangat tidak berarti. Jumlahnya kurang dari 1 % dari seluruh energi yang sampai ke
permukaan bumi, dan jumlah ini masih lebih kecil lagi dari galat perhitungan.
Di dalam tumbuhan, sinar surya diresap oleh pigmen atau zat warna. Zat warna ini
adalah molekul yang kecerahan warnanya menandakan kemampuan meresap dengan kuat
suatu bagian tertentu spektrum cahaya. Zat warna terpenting di dalam tumbuhan ialah
klorofil yang mampu meresap cahaya merah dan biru. Akan tetapi ada juga zat warna lain
yang terdapat di dalam tumbuhan. Secara bersama-sama ke semua zat warna atau pigmen
ini dapat memanfaatkan hampir semua panjang gelombang di dalam bagian spektrum yang
dapat dilihat mata.
Butir hijau-daun yang bernama klorofil itu ada beberapa jenis, yaitu jenis a dan b.
Masing-masing jenis lebih mampu memanfaatkan gelombang sinar matahari tertentu.
Walaupun demikian kedua jenis itu hanya mampu memanfaatkan sinar biru pada spektrum
berbeda. Pigmen lain seperti karoten dapat meresap sinar pada bagian spektrum yang
mendekati merah, serta kemudian mengalihkan energi resapannya ke khlorofil. Hal ini
penting sekali bagi tumbuhan yang mampu tumbuh di bawah naungan. Karena itu
perimbangan berbagai pigmen di dalam daun menentukan sekali mengenai tempat
tumbuhnya yang terbaik.
Energi yang diresap tumbuhan digunakan tumbuhan untuk menggerakkan suatu
rangkaian reaksi kimia yang rumit yang hasil akhirnya ialah pemindahan dua atom
hidrogen dari satu molekul air ke satu molekul karbondioksida. Hasil reaksi itu adalah
oksigen bebas yang dilepas ke atmosfer, dan senyawa karbohidrat yang terjadi dari karbon,
hidrogen, dan oksigen. Energi zat-zat baru ini lebih besar daripada energi yang dikandung
oleh karbondioksida dan air. Energi tambahan yang dikandung zat yang baru itu dapa t
disadap kembali dengan mengkombinasikan kembali oksigen dengan karbohidrat itu, yang
tidak lain ialah proses oksidasi yang terjadi sewaktu makhluk hidup bernafas. Proses
bernafas ini ialah cara utama makhluk hidup mendapatkan energi yang diperlukan.
Karbon yang telah diubah bentuknya oleh tumbuhan menjadi bahan organik seperti
karbohidrat melalui fotosintesis dinamakan karbon terikat. Sebagian digunakan segera
untuk keperluan metabolisme tumbuhan, termasuk untuk sintesis molekul-molekul esensial
lainnya seperti asam amino yang akan membentuk protein. Sisa karbon terikat lainnya
disimpan biasanya dalam bentuk polisakarida, molekul besar yang terjadi karena
bersatunya banyak sekali satuan molekul gula sederhana. Polisakarida terlazim di dalam
tumbuhan ialah selulose, yaitu bahan organik berbentuk serat yang membuat daun dan
batang mempunyai kekekaran bentuk. Cadangan energi untuk tumbuhan dan zuriatnya
biasanya disimpan dalam bentuk polisakarida lain yang bernama pati atau amilum. Zat pati
ini tersimpan dalam organ-organ khusus yang menjadi bagian tumbuhan, seperti umbi,
rizoma, umbi batang, dan kormus.
Hewan mendapatkan energinya hampir seluruhnya secara langsung mau pun tak
langsung dari penguraian dua jenis polisakarida ini. Selulose dan pati masih sangat dekat
hubungannya. Keduanya terdiri atas rantai glukose yang panjang. Perbedaannya hanyalah
dalam geometri bentuk ikatan antara molekul-molekul glukose yang menyusun rantai
polisakarida itu. Perbedaan ini membawa perbedaan pula dalam hal sifat-sifat fisika
keduanya sehingga kedua zat itu pun berbeda pula kesesuaiannya sebagai bagian pakan
ternak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keperluan hara tumbuhan dan hewan pada
dasarnya sangat berbeda. Keperluan hara tumbuhan dapat disusun sebagai suatu senarai
unusr-unsur kima, sedangkan keperluan hara hewan berupa senyawa-senyawa organik
dalam bentuk molekul organik yang rumit bentuknya.
Tumbuhan memerlukan unsur makro nitrogen, kalsium, fosfor, magnesium, kalium,
dan belerang, serta unsur mikro seperti tembaga, besi, mangan, seng, molibden, dan bor.
Tumbuhan hijau samasekali tidak memerlukan asam amino dan vitamin untuk
kehidupannya, karena zat-zat itu dapat dibuatnya sendiri. Hewan memerlukan nitrogen
dalam bentuk asam amino, kecuali hewan pemamahbiak atau ruminansia, sedangkan dari
unsur-unsur makro lain yang diperlukannya ialah kalsium, fosfor, magnesium, kalium,
natrium, klor, dan belerang. Hewan pemamahbiak dapat memanfaatkan jasadrenik di
dalam rumennya sebagai penghasil asam amino dan vitamin untuk keperluan hidupnya.
Hewan bukan pemamahbiak memerlukan vitamin A, D, E, K, asam askorbat, tiamin,
riboflavin, niasin, vitamin B-6, asam pantotenat, dan vitamin B-12. Unsur mikro yang
diperlukan hewan ialahtembaga, besi (dalam jumlah yang terbesar dari semua unsur mikro
karena diperlukan sebagai bahan pembentuk hemoglobin), mangan, seng, dan selenium.
Selain zat-zat hara tersebut, baik tumbuhan mau pun hewan seperti telah dikatakan
sebelumnya memerlukan karbon, hidrogen, dan oksigen dalam jumlah yang besar. Kalau
tumbuhan memerlukan ketiganya dalam bentuk gas karbondioksida, oksigen, dan air,
hewan memerlukan karbon dalam bentuk polisakarida. Tumbuhan hijau menangkap energi
surya dengan keefisienan yang berkisar dari 15 hingga 22 %. Hal ini melebihi keefisienan
peralihan energi dalam berbagai teknologi industri. Energi yang tersimpan dalam karbon
yang terikat disalurkan melalui rantai makanan sewaktu bahan nabati dimakan makhluk
hidup lain. Bersamaan dengan setiap peralihan energi dari satu makhluk ke makhluk
lainnya melalui proses makan, sebagian energi akan hilang. Kadang-kadang energi yang
hilang itu sangat banyak. Misalnya saja seratus ribu kg algae laut diperlukan sebagai
makanan ikan laut herbivor untuk menghasilkan satu kilogram ikan. Semua energi lainnya
yang tidak menjadi daging ikan hilang dalam bentuk panas. Ikan itu sendiri pun kalau
menjadi makanan segera akan habis terurai menjadi panas, dan beberapa zat kimia dengan
kandungan energi yang rendah, yaitu air, karbondioksida, dan mineral.
Tampaknya kehilangan energi ini sangat mengejutkan. Akan tetapi hal itu sebenarnya
tidak membawa masalah untuk usaha penyediaan makanan bagi manusia. Produksi
tahunan karbon terikat oleh tumbuhan hijau di daratan maupun di lautan kira-kira 150
miliard ton. Konsumsi manusia kira-kira 120 kg untuk setiap orang per tahun. Karena itu
energi yang ditangkap tumbuhan jauh melampaui keperluan manusia. Kalau semuanya
diarahkan untuk makanan manusia, maka jumlah yang dihasilkan dapat memenuhi
keperluan 1.15 triliun atau 1.15 x 10 12 orang. Sekarang kita di dunia ini ada kira-kira 5
miliard orang menuju ke 6 milyard di akhir abad ini. Karena itu penyediaan makanan tidak
dibatasi oleh kendala kekurangan energi surya.
Kendala yang mungkin muncul bukan dari ketersediaan energi, melainkan dari
kenyataan bahwa manusia untuk hidupnya bernafas dan menghasilkan karbondioksida dan
limbah lainnya sebagai akibat sampingan teknologi yang diciptakannya. Selain itu untuk
tapak kehidupannya ia perlu mengubah sebagian permukaan bumi menjadi kota, desa, dan
jalan. Semuanya ini mengurangi vegetasi tumbuhan hijau yang kita tahu merupakan paru-
paru bumi yang menyegarkan kembali udara dengan mengubah karbondioksida menjadi
oksigen. Hal-hal seperti inilah yang meningkatkan kadar selaput karbondioksida di
atmosfer yang meningkatkan suhu bumi. Peningkatan suhu bumi ini akan mengakibatkan
lapisan es di kedua kutub bumi menyusut dan menaikkan permukaan laut sampai lebih
dari sepuluh meter yang berarti bahwa banyak sekali daerah pantai di seluruh dunia ini
yang akan terendam. Bersamaan dengan munculnya lubang dalam lapisan ozon di kutub
selatan yang disebabkan oleh penggunaan berlebih gas fluorokarbon serta produksi
karbonmonoksida oleh pembakaran tak sempurna minyak dan gas bumi oleh motor bakar,
muncullah sekarang ketakutan bahwa pada suatu ketika tingkat keterhunian bumi ini akan
menurun di bawah suatu ambang yang kritis.
Banyaknya energi yang harus dipermasalahkan sebagai kendala dalam mengadakan
perhitungan keefisienan pertanian ialah energi yang perlu disediakan manusia untuk
mengumpulkan dan menyarikan bahan makanan. Dalam keadaan alami kehidupan
tumbuhan tersebar sangat jarang dan meluas. Hanya sedikit sekali bahan organik yang
dihasilkan tumbuhan itu dapat tersedia secara langsung bagi keperluan manusia. Menyuruh
ternak terlebih dahulu makan tumbuhan agar kemudian dapat menyediakan daging sebagai
manusia adalah suatu langkah pengalihan energi surya menjadi makanan manusia yang
tidak efisien. Akan tetapi di daerah padang rumput tidak subur yang hanya dapat
ditumbuhi rumput yang tumbuh tersebar dan berkadar serat selulose yang sangat tinggi,
ternak memanen rumput itu dengan kekuatannya sendiri, dengan hanya tambahan energi
yang sangat kecil dari manusia yang memelihara ternak itu. Karena itu daging yang
dihasilkan masih merupakan suatu keuntungan. Sedikit sekali lingkungan hidup atau
habitat yang sangat rawan sehingga boleh dikatakan tidak ada yang dapat tumbuh.
Mintakad artik dan alpin mempunyai bunga liar yang mungil ukuran bunganya. Pematang
jalan di daerah perkotaan ditumbuhi rumput yang keras karena penuh serat kasar. Dalam
keadaan seperti itu tumbuhan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya unsur hara yang
tersedia dalam jumlah yang sangat sedikit itu. Akan tetapi pertanian hanya menguntungkan
di tempat-tempat yang dapat menumbuhkan tanaman yang berharga dengan hasil yang
tinggi. Kalau kita ingin mendapatkan hasil tanaman yang berarti jumlahnya, harus kita
usahakan agar semua unsur hara yang diperlukan tanaman kita itu telah disediakan dalam
jumlah yang tepat.

11.5. Apa yang Diperlukan Tumbuhan untuk Pertumbuhannya?


Dibandingkan dengan persyaratan gizi manusia dan hewan yang sangat rumit, apa
yang diperlukan tumbuhan agar dapat tumbuh sangat lebih sederhana. Tumbuhan hanya
memerlukan zat hara untuk tumbuhnya dalam bentuk senyawa anorganik. Jenisnya pun
tidak terlalu bermacam-macam. Hal itu adalah pertanda bahwa tumbuhan dapat membuat
sendiri berbagai bahan organik yang diperlukan dalam pertumbuhan dengan bermodalkan
sejumlah terbatas zat-zat hara anorganik.
Zat hara utama yang diperlukan tumbuhan ialah karbon-dioksida, oksigen, dan air.
Ketiga jenis zat hara ini diperlukan tumbuhan dalam jumlah yang sangat banyak. Karena itu
dalam perhitungan perimbangan hara, ketiga zat hara ini sering disendirikan dari zat hara
lain yang juga diperlukan tumbuhan untuk hidupnya.
Karbondioksida dan air dapat diperoleh tumbuhan darat tanpa batas, dan dalam
keadaan biasa jarang sekali menjadi kendala pertumbuhan. Air juga merupakan
sumberdaya yang boleh dikatakan mudah diperoleh walaupun kadang-kadang
penyebarannya di muka bumi ini tidak merata. Kenyataan perlunya air bagi tumbuhnya
tumbuhan sudah diketahui jauh sebelum pertanian menjadi budaya manusia. Air sering
menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan untuk mengatasinya manusia sering
mengadakan usaha pengairan yang akhirnya membantu meningkatkan hasil tanaman.
Akhir-akhir ini manusia juga sudah mulai mengadakan hujan buatan untuk menyalurka n
uap air yang terdapat di udara agar jatuh di daerah aliran sungai tertentu.
Unsur-unsur makro yang diperlukan tumbuhan harus diresap tumbuhan dari tanah
tempatnya tumbuh melalui sistem perakarannya. Karena itu pertumbuhan tanaman sangat
tergantung pada kemampuan tanah menyimpan dan kemudian menyediakan unsur-unsur
makro yang diperlukan dalam bentuk yang dapat diserap oleh tanaman. Ada peristiwa-
peristiwa tertentu di dalam tanah yang membuat suatu unsur tertentu tidak dapat diresap
tumbuhan dan harus diatasi dengan cara-cara tertentu. Semua peristiwa penyerapan hara
oleh tumbuhan terjadi di dalam tanah sehingga dengan demikian tanah menempati peran
yang sangat penting dalam berbagai daur biologi.

11.6. Apakah Tanah Itu?


Tanah terbentuk dari pelapukan dan penghancuran batuan di permukaan bumi. Dari
hasil pelapukan dan penghancuran ini terbentuk mineral-mineral dalam bentuk kristal dan
amorf. Di samping itu sifat dan susunan tanah diubah oleh kegiatan kehidupan di dalamnya.
Proses pembentukan tanah berlangsung secara terus-menerus dan perlahan-lahan di bawah
pengaruh lingkungan fisik dan biologi. Kalau kita amati suatu irisan tegak tanah akan
tampak bahwa tanah itu menampilkan lapisan-lapisan datar. Lapisan-lapisan yang
menyusun tanah itu disebut horison tanah. Lapisan teratas permukaan tanah mungkin
terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan yang disebut serasah. Di bawah serasah ini ada
lapisan yang kaya akan bahan organik dan disebut pucuk tanah atau dalam bahasa
Inggrisnya topsoil. Di bawah pucuk tanah ini ada lapisan yang terdiri atas butir-butir halus
dan dinamakan tanah bawah atau subsolum. Di bawahnya lagi ada lapisan batuan yang
telah melapuk dalambentuk serpihan batu yang besar. Di bawah lapisan ini lagi terdapat
batuan yang masih belum lapuk dan disebut batuan induk. Lapisan-lapisan itu diberi lam-
bang huruf A hingga dengan D sebagai berikut:
HORIZON:
O Serasah
A Butir organik dan mineral
B Butir-butir halus
C Batuan lapuk
D Batuan induk

Jadi dapat dikatakan bahwa tanah adalah sumber utama penyedia zat hara bagi
tumbuhan. Tanah juga adalah tapak utama terjadinya berbagai peralihan bentuk zat di
dalam daur makanan. Bagian tak organik tanah yang terbentuk dari pelapukan dan
penghancuran batuan, disusul pembentukan mineral berbentuk kristal, digolongkan secara
fisik berdasarkan nisbah butir-butirnya yang berukuran tertentu. Butir-butir terhalus
disebut fraksi liat, butir-butir yang lebih besar dari liat disebut fraksi debu, dan fraksi yang
lebih besar lagi fraksi pasir. Di atas ukuran pasir ada ukuran kerikil. Bergantung pada
nisbah liat, debu, dan pasir tanah dapat digolongkan menjadi berbagai golongan, seperti
misalnya tanah liat, tanah liat berpasir, tanah lempung (nisbah liat, debu, dan pasir
berimbang), tanah lempung berpasir, dan sebagainya.
Komponen tanah yang sangat penting juga adalah bahan organiknya yang disebut
humus. Liat dan humus terdiri atas butir-butir berukuran koloid sehingga memiliki per-
mukaan yang luas dibandingkan dengan massanya. Bagian tanah yang berukuran koloid
inilah yang mudahmeresap zat hara dan kemudian menyediakannya dalam bentuk yang
dapat diresap sistem perakaran tumbuhan. Adanya komponen yang lebih kasar seperti
debu, pasir, dan kerikil di dalam tanah membuat tanah itu mempunyai kerangka yang tidak
padat melainkan berongga-rongga. Rongga-rongga ini penting karena menjamin peredaran
udara yang baik di dalam tanah untuk keperluan kehidupan perakaran tumbuhan dan
jasadrenik yang sehat. Tanpa adanya oksigen di dalam tanah yang dapat diperbaharui
melalui pertukaran gas dengan udara perakaran dan jasadrenik aerob tidak dapat hidup di
dalam tanah dan terhambatlah berbagai daur makanan yang akhirnya merugikan
kehidupan yang bergantung pada adanya tanah itu.
Bagaimana komposisi tanah dipandang dari susunan butir-butir yang membentuknya
disebut tekstur tanah seperti tadi telah disebut beberapa namanya, yaitu tanah lempung, liat
berpasir, dan sebagainya. Tanah bertekstur pasir memiliki rongga-rongga yang besar
sehingga bersifat sangat sarang. Air akan mematus dengan cepat dari tanah pasir sehingga
tidak sempat diresap perakaran. Juga akan terbawa berbagai unsur hara dalam proses
pematusan itu. Dalam tanah liat rongga-rongga tanah berukuran kapiler sehingga dapat
meresap air. Air ini menjadi sarana cair tempat melarutnya zat hara untuk diangkut melalui
sistem perakaran. Akan tetapi kalau tanah terlalu banyak mengandung butir liat, maka ada
kemungkinan terjadi kekurangan oksigen karena tanah seperti itu mudah tergenang air.
Tanah-tanah yang paling subur bagi pertanaman biasanya mempunyai struktur yang
remah. Tanah berstruktur remah terjadi apabila butir-butir berukuran koloid direkat oleh
bahan organik hasil buangan jasadrenik menjadi remah-remah yang berongga banyak dan
berlainan ukurannya. Di samping adanya rongga kapiler yang menahan air ada ron gga
berukuran lebih besar yang memuat udara. Tanah yang remah seperti itu akan cukup
menahan air tetapi juga cukup dilalui pertukaran udara yang menyediakan oksigen di
dalamnya.
Peranan penting butir berukuran koloid seperti telah dikatakan sebelumnya ialah
kemampuannya meresap ion. Kemampuan itu berdasar luas permukaan yang dimiliki butir
koloid itu diukur per satuan massa. Pada fraksi liat luas permukaan butir-butirnya dapat
mencapai 800 m2 per gram. Lagi pula butir-butir liat bermuatan negatif dan karena itu
menarik kation-kation ke permukaannya. Dengan cara ini zat hara tidak mudah terbasuh
dengan lalunya air pada proses pematusan. Humus sebagai butir koloid mempunyai
permukaan nisbi yang lebih luas lagi sehingga merupakan kompleks peresap ion yang lebih
penting lagi.
Apa yang diresap oleh butir koloid di dalam tanah dapat dilepas ke akar tumbuhan.
Lagi pula apabila ada ion lain yang ditambahkan, akan terjadi pertukaran ion yang diresap
sehingga adanya berbagai ion di dalam kompleks resapan dan di dalam larutan tanah
membentuk suatu kesetimbangan. Pemupukan dengan pupuk tak organik adalah suatu
cara yang dapat mengubah kesetimbangan ini untuk kepentingan peresapan zat hara yang
lebih menguntungkan bagi tanaman.
Di daerah tropik tanah biasanya cenderung rendah daya hasilnya. Butir liatnya
memiliki kemampuan meresap kation yang rendah sedangkan komponen humus di dalam
tanah sangat sedikit karena sebagian besar sudah terbakar karena adanya suhu tanah yang
tinggi. Masalah diperumit lagi karena adanya curah hujan yang tinggi pula yang
meningkatkan pematusan dan pembasuhan mineral. Kehijauan hutan tropik sering
menyesatkan kita untuk berpikir bahwa tanah daerah tropik itu sangat subur. Sebenarnya
kebalikannyalah yang benar.
Tumbuhan di dalam hutan hujan tropik hanya mungkin tumbuh dengan demikian
suburnya karena telah menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan. Caranya ialah
karena kemampuannya meresap dengan cepat unsur-unsur hara yang terbebaskan dari
pembusukan serasah, sebelum sempat terpatuskan oleh air hujan. Kesetimbangan seperti ini
sangat peka. Begitu tanah tidak sempat menyediakan serasah lagi, tumbuhan itu tidak dapat
bertahan dan yang kemudian mungkin bertahan ialah spesies yang dapat hidup dalam
keadaan yang sangat tidak subur seperti gulma alang-alang.
Derajat keasaman tanah atau pH juga sangat penting dan menentukan pertumbuhan di
atas tanah itu. Tanah yang sangat asam dapat melepas kation yang sangat berbahaya bagi
perakaran karena terjadi proses keracunan karena kation tertentu seperti aluminium. Selain
itu proses pengikatan nitrogen oleh jasad renik pun dapat terganggu. Tanah yang asam
dapat direklamasi dengan pengapuran.
Tanah yang bersifat lindi dapat ditemukan di daerah yang sangat kering. Garam yang
terbawa ke permukaan tanah karena penguapan air tanah membuat tanah itu berpH tinggi.
Demikian pula tanah di dekat pantai dapat bersifat seperti itu. Pemupukan dengan pupuk
yang bereaksi asam dapat menolong memperbaiki keadaan lahan seperti ini untuk
pertanian.
Komponen tanah yang penting lagi ialah jasadrenik yang membuat tanah itu hidup.
Tanah yang subur dapat mengandung jasadrenik hingga 6 ton untuk lahan seluas 1 ha. dan
setebal 30 cm. Jasadrenik ini dapat terdiri atas bakteri, fungi, protozoa, algae, nematoda,
cacing, dan serangga kecil. Makhluk hidup seperti inilah yang bekerja di dalam tanah
menguraikan kembali serasah dan bahan organik lainnya menjadi mineral yang dapat
diresap akar tumbuhan.
Jasad yang lebih besar seperti insekta dan cacing menghancurkan bahan organik
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Kotoran insekta dan cacing ini kemudian dimakan
jasadrenik yang lebih kecil dan sebagai hasilnya dilepas mineral yang menjadi hara
tumbuhan. Hewan tanah dan mikroorganisme juga berperan memperbaiki struktur tanah.
Hewan tanah mengaduk-aduk tanah itu sehingga berongga-rongga, sedangkan jasadrenik
mengikat butir-butir yang menyusun rongga itu dalam ikatan yang mantap melalui lendir
yang dikeluarkannya atau hifanya.

12. DAUR HARA KEHIDUPAN (2)


12.1. Hukum Minimum Justus von Liebig
Pada pertengahan abad kesembilanbelas ada seorang ahli kimia tanah Jerman yang
menampilkan suatu hukum baru mengenai kesuburan tanah. Nama ilmuwan itu ialah
Justus von Liebig. Ia membayangkan daya kemampuan menghasilkan tanah tertentu
sebagai kemampuan suatu tahang kayu memuat suatu cairan. Tahang kayu itu dinding-nya
seperti kita ketahui terbuat dari busur-busur kayu yang melengkung yang saling menempel
diikat dengan kuat oleh dua gelang pita besi. Setiap busur yang menyusun dinding tahang
itu dilambangkannya sebagai kadar unsur hara tertentu yang tersedia di dalam tanah.

Gambar 12.1. Model Hukum Minimum Justus von Liebig.

Di dalam tanah yang ideal bagi bercocoktanam kadar masing-masing unsur hara yang
diperlukan tanah berimbang. Tanah semacam ini dilambangkannya sebagai suatu tahang
yang dindingnya terdiri atas busur-busur yang sama tingginya. Tahang seperti itu akan
mampu memuat cairan hingga penuh ke tepi mulut tahang. Dengan perkataan lain, lahan
yang dilambangkan oleh tahang seperti itu kemampuan produksinya mencapai suatu
maksimum. Akan tetapi begitu tanah itu kekurangan satu zat hara tertentu, hal itu di
lambangkan pada tahang sebagai adanya salah satu busur tahang yang tingginya tidak
mencapai tinggi busur-busur lainnya. Volume cairan setinggi-tinginya yang dapat dimuat di
dalam tahang itu hanya tinggi busur yang terendah itu. Diucapkan dalam bentuk kesuburan
tanah dengan demikian dapat dikatakan bahwa daya menghasilkan suatu lahan tertentu
ditentukan oleh unsur hara di dalam tanah itu yang terendah kadarnya. Apa pun juga yang
dilakukan untuk meningkatkan hasil tanah itu, tanah itu tetap saja akan menghasilkan
seperti yang biasanya diperoleh petani itu, kecuali kalau petani itu dapat dibantu
menghilangkan kendala minimumnya itu dengan usaha menaikkan kadar unsur hara
tertentu tersebut di dalam tanah dengan mengadakan pemupukan. Demikianlah misalnya
percuma saja mengusahakan pemupukan fosfat pada tanaman kalau tanaman itu sendiri
sudah tumbuh kerdil karena kekurangan nitrogen.
Model keperluan tumbuhan akan pupuk berbentuk tahang ini dikenal sebagai hukum
minimum Justus von Liebig. Kelemahan hukum ini ialah bahwa modelnya tidak
memperhitungkan adanya interaksi antara berbagai unsur hara yang menyebabkan hasil
akan melonjak apabila berbagai unsur hara tanaman yang diperlukan itu tersedia dalam
nisbah tertentu. Kalau suatu pertanaman setelah diberi pupuk N satu satuan akan
bertambah hasilnya sebanyak satu satuan, sedangkan apabila pertanaman itu dipupuk
dengan satu satuan pupuk P akan bertambah hasilnya sebanyak satu satuan pula, maka
pemupukan serempak dengan satu satuan pupuk N dan satu satuan pupuk P apabila ada
interaksi positif akan menaikkan hasil bukan dengan dua satuan, melainkan dengan lebih
dari satuan hasil.
Setelah membahas prinsip hukum minimum Justus von Liebig ini pada diri kita akan
muncul pertanyaan, apakah unsur hara di dalam tanah atau di lingkungan tumbuhan dan
hewan itu tidak akan habis-habisnya? Kalau ada yang harus ditambah, dari mana
datangnya tambahan itu dan bagaimana caranya agar kita tidak harus terlalu sering
menambah. Kemudian pula kita dapat bertanya-tanya mengapa suatu unsur tertentu
diperlukan oleh tumbuhan atau hewan. Oleh karena itu kita akan membahas beberapa daur
unsur hara yang penting serta beberapa fungsi unsur hara di dalam tumbuhan.

12.2. Daur Karbon


Kita sudah tahu bahwa karbon diambil dari gas CO 2 di udara oleh tumbuhan untuk
digunakan pada proses fotosintesis. Akan tetapi juga kita ketahui bahwa gas yang sama
dihasilkan tumbuhan dan hewan sebagai hasil pernapasan. Karena itu daur karbon
melibatkan dua proses yang bersaingan, yaitu fotosintesis dan pernapasan.
Sewaktu berfotosintesis tumbuhan mengubah karbondioksida dan air menjadi
karbohidrat dan oksigen bebas. Karbohidrat itu adalah suatu bentuk zat yang menyimpan
suatu persediaan energi yang tinggi. Energi ini digunakan dalam pernapasan karena
karbohidrat dan oksigen digabung kembali untuk menghasilkan karbondioksida dan air
sambil melepas energi. Setiap makhluk hidup yang hidup dalam lingkungan beroksigen
selalu melakukan proses pernapasan dan karena itu berperan dalam menyediakan kembali
karbondioksida di dalam atmosfer. Sebagian karbon yang dihasilkan dalam fotosintesis
tidak langsung dikembalikan ke udara melalui pernapasan melainkan terikat dalam mineral
seperti batubara, intan, dan minyak bumi. Akan tetapi semuanya akan kembali ke udara
apabila mengalami pembakaran.
Hal ini pula yang menyebabkan bahwa walaupun persediaan energi untuk manusia
yang dapat diproduksi oleh sinar surya melalui fotosintesis jauh berlebih, pengembalian
karbon dari bentuk terikat dalam minyak dan gas bumi menjadi gas karbondioksida di
udara oleh manusia dapat berlangsung terlalu cepat dan merusak mutu keterhunian bumi
apabila banyaknya manusia di bumi menjadi lebih banyak lagi dari sekarang.
Gambar 12.2. Bagan Daur Karbon (Repro.: Book of Nature, Simon and Schuster).

12.3. Daur Nitrogen


Pada umumnya nitrogen adalah zat hara yang selalu menjadi unsur pembatas dalam
model tahang Justus von Liebig. Karena nitrogen menjadi penyusun utama protein dan
beberapa molekul biologik lainnya, nitrogen diperlukan baik oleh tumbuhan maupun
hewan dalam jumlah yang besar. Lagipula sejumlah besar nitrogen hilang dari dalam tanah
karena tanah mengalami proses pembasuhan oleh gerak aliran air dan oleh kegiatan
jasadrenik. Banyaknya nitrogen yang tersedia langsung bagi tumbuhan sangat sedikit.
Atmosfer mengandung nitrogen dalam jumlah yang besar, kira-kira 80% dari udara
terdiri atas nitrogen. Kolom udara di atas satu hektare tanah mengandung kira-kira 75 juta
kg nitrogen. Akan tetapi nitrogen dalam bentuk seperti ini tidak bermanfaat bagi tumbuhan.
Agar dapat dimanfaatkan tumbuhan, nitrogen harus ada dalam bentuk terikat, yang artinya
ada dalam bentuk senyawa dengan unsur lain. Di dalam alam pembentukan nitrogen dalam
bentuk terikat, yang juga disebut fiksasi nitrogen terjadi di dalam tanah, terutama oleh
bakteri. Jenis bakteri pengikat nitrogen yang terefisien bersifat simbiotik. Bakteri simbiotik
ini hanya dapat mengikat nitrogen kalau bekerjasama dengan akar tumbuhan polong dan
beberapa rumput tropik.

Gambar 12.3. Bagan Daur Nitrogen (Repro.: Book of Nature, Simon and Schuster).
Di dalam tanah nitrogen terutama terdapat di dalam bahan organik tanah dalam
berbagai tahap pembusukan, akan tetapi nitrogen yang terkandung di dalamnya tetap
belum dapat dimanfaatkan tumbuhan sebelum berubah bentuknya menjadi ion amonium
(NH4+) atau ion nitrat (NO3–). Jalur melingkar nitrogen dari bentuk unsur menjadi asam
amino kemudian menjadi protein dan kembali lagi ke dalam bentuk unsur adalah daur hara
yang telah dipelajari dengan sangat mendalam. Sebagian besar permasalahan gizi
tumbuhan dan hewan berputar di sekitar ketersediaan senyawa-senyawa yang
mengandung nitrogen.
Penguraian lebih lanjut asam amino menjadi senyawa nitrogen takorganik dicapai
dalam beberapa tahap. setiap tahap berlangsung dengan bantuan spesies bakteri tertentu.
Mula-mula dari asam amino dibebaskan ion ammonium yang kemudian diubah menjadi
ion nitrit (NO2–). Ion ini yang adalah suatu racun bagi kehidupan tumbuhan hijau dengan
segera diubah menjadi ion nitrat (NO 3–). Bakteri-bakteri yang menghasilkan ion nitrit dan
nitrat seperti telah kita bahas bersifat ototrof dan aerob, dengan perkataan lain tidak
memerlukan hara organik akan tetapi memerlukan oksigen. Karena itu kehidupan kedua
jenis bakteri ini sangat dipengaruhi oleh aerasi tanah dan juga oleh suhu tanah dan
kandungan airnya.
Perubahan nitrogen dari suatu bentuk yang tak dapat dimanfaatkan tumbuhan menjadi
bentuk yang dapat dimanfaatkan tumbuhan telah dilihat sebagian besar adalah suatu proses
biologi. Demikian juga halnya dengan proses pengambilan nitrogen dari tanah. Sebagian
besar pengambilan nitrogen dari tanah dilakukan oleh tumbuhan. Apabila tumbuhan itu
kemudian dipanen, kehilangan nitrogen dari tanah yang disebabkan pengambilan oleh
tumbuhan itu menjadi suatu kehilangan yang tetap. Nitrogen terikat juga hilang dari
khazanah zat hara di dalam tanah oleh bakteri-bakteri tanah tertentu yang mengubah nitrat
kembali menjadi nitrogen atmosfer. Proses ini bersifat anaerob, yaitu hanya berlangsung
dalam keadaan tidak tersedianya oksigen di dalam tanah. Jadi, dalam keadaan tanah yang
kurang mendapatkan aerasi akan terjadi kehilangan nitrogen-tersedia di dalam tanah.
Lagipula nitrat itu sangat mudah terlarut di dalam tanah sehingga kalau tidak dengan
segera dimanfaatkan tumbuhan hijau atau jasadrenik, akan dengan mudah hilang karena
pembasuhan. Dengan demikian taraf ketersediaan nitrogen-tersedia di dalam tanah
tergantung pada banyaknya bahan organik yang tersedia di dalam tanah, populasi
jasadrenik yang ada di dalam tanah, dan tingkat pembasuhan di dalam tanah.
Dalam keadaan alami akan terjadi suatu kesetimbangan antara laju pertumbuhan
tumbuhan dan gaya-gaya yang menentukan penyediaan nitrogen di dalam tanah. Akan
tetapi dalam berbagai sistem pertanian kesetimbangan ini menjadi terganggu. Pemanenan
suatu pertanaman cenderung akan menguras nitrogen tanah bukan saja karena
pengambilan bahan organik hasil panen tanpa pengembalian ke dalam tanah, melainkan
juga karena erosi dan penurunan kadar bahan organik tanah. Atas dasar alasan inilah
pertanian intensif sangat tergantung pada tambahan pupuk nitrogen.
Pada mulanya pupuk nitrogen berasal dari sumber-sumber organik, terutama dari
bahan sisa hewan seperti guano, yaitu kumpulan kotoran burung. Kemudian pupuk
nitrogen mencakup natrium nitrat yang ditambang di Cili, sesudah itu juga sulfat amonium
yang menjadi hasil sampingan tanur kokas. Sekarang ini pupuk nitrogen yang terbanyak
dibuat menurut proses Haber-Bosch yang mereaksikan nitrogen udara dengan hidrogen
sehingga terbentuk ammoniak. Ammoniak ini dapat dipupukkan secara langsung atau
dapat juga dijadikan bahan baku pembuatan pupuk buatan urea, nitrat, dan senyawa
nitrogen lainnya. Di Indonesia pupuk buatan nitrogen terutama dibuat dalam bentuk
senyawa urea.
Hidrogen yang diperlukan pada proses Haber-Bosch itu biasanya diambil dari gas alam,
dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan bahan bakar itu menentukan sebagian
besar biaya produksi pupuk buatan itu. Pembuatan satu ton ammoniak memerlukan kira-
kira 800 m3 gas alam sebagai bahan baku. Karena itu melalui pengikatan nitrogen melalui
proses industri kimia bahan bakar fosil masuk ke dalam daur nitrogen. Biaya mahal yang
diperlukan untuk membuat pupuk nitrogen ini tertutupi oleh nilai tambah yang diperoleh
melalui dayahasil tanaman yang meningkat.
Sebagai kesimpulan mengenai daur ulang nitrogen dapat dikemukakan bahwa nitrogen
sering sekali muncul sebagai unsur hara yang menjadi kendala dalam pertumbuhan
tumbuhan. Nitrogen dari atmosfer tidak ada manfaatnya bagi tumbuhan. Unsur itu harus
disediakan dalam bentuk terikat atau terkombinasi dengan unsur lain, misalnya dalam
bentuk ion ammonium atau nitrat. Ada sejumlah kecil nitrogen menjadi terikat oleh
kegiatan kilat di dalam atmosfer. Peranan yang lebih penting dijalani oleh bakteri, terutama
yang hidup dalam simbiosis di dalam bintil akar tumbuhan polongan. Namun pun
demikian persediaan nitrogen-tersedia di dalam tanah tetap rendah. Unsur itu hilang
melalui pembasuhan dan oleh kegiatan bakteri denitrifikasi yang mengembalikannya ke
udara. Nitrogen juga hilang dari tanah melalui pemanenan tumbuhan yang tumbuh di
tanah itu. Untuk mengatasi kehilangan-kehilangan semacam ini pada proses-proses
budidaya tanaman, nitrogen diikat secara industri menjadi pupukbuatan yang kemudian
digunakan menyuburkan tanah pertanian. Pengikatan nitrogen melalui industri dengan
demikian menjadi matarantai penting dalam daur nitrogen. Sekaligus juga dapat
disimpulkan bahwa pertanian intensif selain mulai menggunakan energi fosil untuk
keperluan mekanisasi sebagai pengganti energi fisik yang dihasilkan manusia, juga
menggunakan energi fosil untuk mengadakan unsur hara tambahan dalam bentuk pupuk.
Hal ini terutama berlaku untuk unsur hara nitrogen karena secara alami bagian takorganik
tanah sama sekali tidak mengandung garam-garam nitrogen. Kalaupun tanah mengandung
nitrogen yang dapat diserap akar tumbuhan, maka asalnya kalau bukan dari air hujan ialah
dari hasil pengikatan nitrogen udara oleh berbagai jasadrenik secara mandiri atau melalui
simbiosis dengan tumbuhan polongan.

12.4. Unsur Hara Lainnya


Unsur hara lainnya tidak begitu menimbulkan permasalahan kekurangan hara. Akan
tetapi hal itu tidak ber-arti bahwa unsur-unsur lain itu kurang penting peranannya dalam
fisiologi tumbuhan. Kadang-kadang jumlah yang diperlukan sangat rendah, akan tetapi
merupakan persyaratan mutlak agar tumbuhan dapat berkembang. Pada umumnya
unsur-unsur hara lainnya kecuali senyawa nitrogen itu ada di dalam tanah berbentuk
mineral yang melapuk dari batuan. Pengayaan alami tanah dengan mineral semacam ini
dapat terjadi secara berkala melalui kegiatan vulkanik. Letusan Gunung Galunggung
beberapa tahun yang lalu pada mulanya merupakan malapetaka, akan tetapi dipandang
dari segi lain debu vulkanik yang bertebaran ke mana-mana itu dapat dianggap sebagai
suatu pemupukan alami unsur hara yang menyebar sejauh debu gunungapi itu dapat
diterbangkan angin. Kemudian pula, kalau pada mulanya lereng Galunggung dianggap
sebagai daerah bencana alam yang tidak dapat lagi menghasilkan apa-apa karena sudah
tertutup pasir, pada waktu ini daerah itu sudah kembali lagi berubah menjadi lahan yang
subur berkat pelapukan bagian atas lapisan pasir menjadi tanah yang kaya akan unsur hara
tumbuhan. Unsur hara tumbuhan yang terpenting sesudah nitrogen ialah fosfor dan kalium.
Fosfor terdapat dalam asam nukleat dan di dalam berbagai molekul yang berperan
mengangkut energi, akan tetapi diperlukan dalam jumlah yang kecil. Bahan kering
tumbuhan rata-rata mengandung nitrogen 2 % tetapi hanya mengandung fosfor kira-kira
0.2 %. Namun pun demikian kebanyakan tanah tidak mampu menyediakan fosfor dalam
jumlah yang cukup guna mendukung pertumbuhan maksimum. Berlainan halnya dengan
nitrogen, di dalam tanah kedudukan fosfor lebih mantap dan pembasuhan oleh air dapat
diabaikan jumlahnya. Akan tetapi ketersediaan fosfor sangat tergantung pada pH tanah.
Pupuk fosfat sering digunakan, terutama dalam bentuk “superfosfat” yang diperoleh dari
perendaman batuan fosfat di dalam asam sulfat atau asam fosfat.
Kalium diperlukan dalam jumlah yang agak banyak, walaupun peranannya yang tepat
di dalam fisiologi tumbuhan belum dipahami dengan jelas. Kalium tersedia sebagai ion-
dapat-tukar teresap pada permukaan kolid tanah. Tanah-tanah yang mengandung humus
sedikit saja biasanya kaya akan kalium, akan tetapi dalam bentuk yang tak dapat larut, dan
dengan demikian tidak tersedia bagi tumbuhan. Karena itu juga tanah-tanah organik
biasanya menderita kekurangan kalium, sehingga pemupukan dengan kalium sering sekali
harus dilakukan. Pupuk Kalium yang terpenting ada dalam bentuk Kalium Khloride.
Setelah nitrogen, fosfor, dan kalium, kalsium memegang peranan terpenting keempat.
Kadar Kalsium di dalam tumbuhan bervariasi menurut spesies. Di dalam polongan
kadarnya tinggi sedangkan dalam rumputan rendah. Akan tetapi Kalsium jarang muncul
sebagai zat hara pembatas. Pengaruh sampingan Kalsium dengan adanya di dalam tanah
sangat penting dan beragam, sehingga kadar Kalsium di dalam tanah sering ditambah
melalui pemupukan. Unsur Kalsium berpengaruh terhadap kegiatan jasadrenik, pH tanah,
dan derajat ketersediaan unsur lain bagi tumbuhan. Kalsium tersedia di dalam tanah dalam
bentuk ion larut-air dan dapat-tukar, dalam kombinasi dengan senyawa organik, dan dalam
bentuk mineral taklarut seperti hornblende dan kalsit.
Magnesium ialah salah satu penyusun molekul klorofil. Tumbuhan mengambilnya dari
dalam tanah dalam bentuk ion yang diserap akar. Di dalam tanah magnesium terdapat
dalam bentuk kation dapat-tukar. Kekurangan akan Mg jarang terjadi, akan tetapi sekarang
ini dengan kebiasaan memupuk berat, tampaknya mulai muncul di sekitar kita. Kekurangan
Magnesium di dalam tumbuhan menampakkan diri sebagai klorosis pada daun. Di halaman
rumah pada daun tanaman hias hal ini sering dapat diamati.
Belerang adalah bahan penyusun dua buah asam amino, yaitu sistin dan metionin, serta
vitamin biotin dan tiamin. Kadarnya di dalam tanah tidak tinggi. Belerang di dalam tanah
terus-menerus terbasuh akan tetapi selalu ada penggantian karena hancurnya mineral yang
mengandung belerang, seperti pirit. Di sekitar daerah industri belerang juga ditambahkan
ke dalam tanah melalui hujan karena air hujan meresap sulfurdioksida dari pencemaran
industri. Akhir-akhir ini ada kekurangan belerang pada berbagai pertanaman padi sawah.
Mangan, bor, besi, seng, tembaga, molibden, dan klor diperlukan tumbuhan dalam
jumlah yang sangat kecil. Kekurangan akan unsur mikro seperti ini dapat menghambat
produktivitas tumbuhan. Kekurangan akan molibden diperkirakan merupakan penyebab
rendahnya fiksasi nitrogen oleh jasadrenik tanah di daerah-daerah pertanian tertentu.
Di samping perlunya cahaya dan air bagi tumbuhan, keperluan terbesar tumbuhan
terhadap lingkungannya agar dapat tumbuh dengan baik ialah tersedianya berbagai mi-
neral di atas dalam kadar yang cukup. Pada kesempatan berikutnya akan kita tinjau apa
yang diperlukan hewan untuk dapat hidup dan berkembang dengan baik. Karena
tumbuhan dapat membuat banyak zat organik di dalam tubuhnya sedangkan kemampuan
hewan mengenai pembuatan berbagai jenis molekul organik lebih terbatas, akan kita lihat
pula bahwa permasalahan hara bagi hewan lebih rumit dibandingkan dengan apa yang
diperlukan tumbuhan.
13. DAUR HARA KEHIDUPAN (3)

13.1. Hewan Sebagai Pemangsa


Untuk dapat hidup hewan harus makan bahan organik yang kemudian sebagian
dicernakan di dalam saluran pencernaan dengan bantuan enzim pencernaan. Setelah
dicernakan ini zat hara yang terkandung di dalam bahan organik itu dapat diserap oleh
hewan. Hewan yang satu dengan hewan yang lainnya mungkin saja berbeda sumber
makanannya. Pada hewan bertulangbelakang dalam garisbesarnya ada hewan yang
memerlukan makanan dalam bentuk selulose dan ada pula dalam bentuk karbohidrat yang
lain.
Pembedaan ini sangat penting dalam kaitannya dengan daur hara di alam ini. Sebagian
besar energi yang diubah oleh tumbuhan dari energi surya menjadi energi kimia disimpan
dalam bentuk selulose, sehingga selulose adalah bagian utama tumbuhan. Hal itu juga
berarti bahwa sumber energi utama dalam bentuk bahan organik ialah selulose. Apabila
mammalia makan bahan organik berupa selulose, penguraian selulose menjadi molekul-
molekul glukose tidak dilakukan oleh enzim-enzim yang dibuat oleh hewan itu sendiri.
Yang membuat enzim pengurai selulose menjadi glukose itu ialah bakteri yang terdapat
dalam saluran pencernaan hewan itu. Bakteria di dalam saluran pencernaan itu
menguraikan selulose melalui proses pengkhamiran atau fermentasi dan memanfaatkan
sebagian kecil energi yang dilepaskan untuk keperluan kehidupannya sendiri. Penguraian
selanjutnya dilakukan oleh hewan inang yang menguraikan glukose itu secara lengkap
menjadi karbondioksida dan air. Energi yang dilepaskan dimanfaatkan hewan itu untuk
kehidupannya. Selain itu bakteri yang mati di dalam saluran pencernaan juga menjadi
makanan bagi hewan inangnya.
Dipandang dari segi kemampuan mencernakan selulose, hewan dapat digolongkan
menjadi tiga jenis, yang sejalan pula dengan struktur alat pencernaannya. Jenis hewan itu
ialah karnivora atau “pemakan daging” seperti anjing, kucing, dan harimau, omnivora atau
pemakan daging dan tumbuhan seperti primata, serta herbivora atau pemakan tumbuhan
seperti sapi, kelinci, dan kerbau. Karnivora dan omnivora memiliki lambung sederhana dan
meng-alami kesulitan mencernakan selulose. Herbivora bukan pemamahbiak seperti kuda,
kelinci, dan marmot dapat memanfaatkan selulose untuk menutupi keperluan energinya,
akan tetapi kurang efisien jika dibandingkan dengan apa yang dapat dilakukan herbivora
pemamahbiak. Herbivora pemamahbiak seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan rusa,
dapat memanfaatkan energi yang terkandung di dalam selulose sewaktu selulose diuraikan
menjadi selulose.
Kalau kita perhatikan anatomi saluran pencernaan karnivora, herbivore bukan
pemamahbiak, dan herbivora pemamahbiak, akan dapat kita lihat bahwa sistem pencernaan
karnivora lebih sederhana. Pada karnivora makanan setelah melalui mulut dan esofagus
memasuki lambung atau abomasum, duodenum, usus halus, kolon, dan kemudian keluar
dari anus. Di antara usus halus dan kolon ada usus buntu atau sekum yang tidak
berkembang. Pada herbivora bukan pemamahbiak sekum berkembang menjadi hampir
sama besarnya dengan kolon. Pada herbivora pemamahbiak atau ruminansia, sebelum
abomasum ada rumen, retikulum, dan omasum.
Pada hewan karnivora dan omnivora yang lambungnya sederhana, bakteri penghancur
selulosa hanya terdapat di dalam sekum atau usus buntu dan kolon. Makanan lewat melalui
kedua bagian saluran pencernaan ini dalam waktu yang tidak terlalu lama sehingga
pencernaan selulosa oleh bakteri tidak besar manfaatnya. Pencernaan terutama terjadi
dengan bantuan enzim yang dibuat oleh hewan itu sendiri. Sebagian besar enzim itu dibuat
oleh hewan itu di pankreas dan sel-sel lendir di dinding abomasum dan di dalam usus halus.
Tempat utama terjadinya peresapan makanan ialah pada usus halus.
Pada herbivora bukan ruminansia yang sekum dan kolonnya lebih berkembang
makanan dapat tinggal lebih lama di dalamnya sehingga terjadi penguraian selulosa
menjadi glukosa, asam asetat, asam propionat, dan asam butirat yang cukup berarti. Asam-
asam ini adalah hasil buangan pencernaan bakteri akan tetapi dapat dimanfaatkan
energinya oleh herbivora itu sendiri. Akan tetapi waktu lewat melalui kedua bagian saluran
pencernaan itu masih tetap agak singkat sehingga pencernaannya kurang efisien. Di dalam
ruminansia penguraian selulosa oleh bakteria mulai terjadi sewaktu makanan memasuki
rumen. Sewaktu makanan memasuki usus halus, sebagian besar sudah ada dalam bentuk
yang dapat dimanfaatkan oleh hewan inang. Dengan demikian di sepanjang saluran pen -
cernaan, dari rumen, retikulum, omasum, usus halus, sekum, dan kolon, terjadi penguraian
selulose menjadi glukose dan asam-asam asetat, propionat, dan butirat oleh bakteria, dan
terjadi pula pemanfaatan sebagian besar energi yang lepas, termasuk penguraian bahan
buangan pencernaan bakteri menjadi karbondioksida dan air oleh herbivora.
Bukan saja pemanfaatan energi ini yang menguntungkan bagi herbivora. Bakteri itu
juga menghasilkan asam amino dan vitamin yang dapat dimanfaatkan oleh herbivora
sebagai hewan inang. Tentu saja sebagian asam amino dan vitamin itu digunakan oleh
bakteri itu sendiri dan untuk membuat asam amino diperlukan juga sumber nitrogen. Oleh
karena itu berbagai penelitian telah diusahakan di antaranya di IPB untuk memperkaya
kandungan nitrogen selulosa di dalam pakan dengan menambahi sumber nitrogen seperti
urea.

13.2. Keefisienan Ternak


Hewan yang diternakkan sebagian besar memanfaatkan rumputan dan biji-bijian
sebagai makanannya. Akan tetapi di samping itu juga berbagai hasil sampingan yang diper-
oleh dari pengolahan pascapanen dapat dijadikan sumber pakan ternak, seperti tepung
kedelai, ampas tahu, ampas kelapa, ampas kacang, yang diperoleh sewaktu menghasilkan
minyak kacang kedelai, minyak kacang, minyak kelapa dan yang sejenis. Demikian pula
sekam padi dan gandum serta tetes sisa pembuatan gula dari tebu adalah sumber pakan
tambahan bagi ternak. Sisa-sisa dari rumahpotong hewan seperti darah, tepung tulang, dan
bahkan juga kotoran hewan dapat dijadikan lagi makanan bagi hewan lain. Kita misalnya
dapat mengamati di beberapa tempat orang memelihara ayam di dalam kandang yang di
bawahnya dibuatkan kolam ikan. Ayam diberi makanan yang sebagian terdiri atas sekam
dan tepung ikan dan ikan di bawah kandang mendapatkan kotoran ayam sebagai pakan.
Di negara-negara yang kebanyakan penduduknya miskin, ternak dan manusia bersaing
untuk mendapatkan makanan berupa biji-bijian. Karena itu biji-bijian hanya diberikan
untuk ternak yang dapat mengubah kalori menjadi jaringan daging secara efisien. Hewan
seperti itu ialah unggas dan babi. Di negara-negara yang kaya persaingan seperti itu hanya
sangat terbatas sehingga pada keadaan yang demikian terbuka kemungkinan untuk
memberikan biji-bijian sebagai sebagian pakan bagi ternak. Dengan demikian terbuka
kesempatan untuk meningkatkan hasil daging melalui penambahan biji-bijian ke dalam
makanan ternak. Babi dan unggas dengan demikian selalu mendapatkan makanannya
dalam bentuk pakan berenergi tinggi atau yang dinamakan juga konsentrat. Induk sapi
yang menghasilkan anak sapi untuk digemukkan menjadi ternak pedaging, sepenuhnya
diternakkan di padang rumput tanpa mendapatkan makanan tambahan berupa konsentrat.
Akan tetapi anak-anaknya yang akan dibesarkan menjadi penghasil daging akan diberi
makanan yang sebagian besar berupa konsentrat agar terjadi penambahan bobot tubuh
yang lebih cepat dan agar karkasnya mengandung lebih banyak daging daripada tulang.
Kalau kita coba bandingkan keefisienan berbagai jenis ternak mengubah protein kasar
dan energi di dalam makanannya menjadi bahan makanan manusia, maka akan terdapat
bandingan sebagai berikut:
Jenis ternak: Keefisienan pengubahan (%):
protein energi
Unggas petelur 26 18
sapi perah 24.5 17
Unggas pedaging 22.5 11
Babi 14 14
Sapi pedaging 4 3
domba 4 2.25

Ternak yang keefisienannya tertinggi dengan demikian ialah unggas petelur dan sapi
perah. Kita sekarang dapat memahami mengapa perkembangan peternakan di Indonesia,
terutama di pulau Jawa yang tinggi kepadatan penduduknya terjadi pada peternakan
unggas petelur, sapi perah, dan unggas pedaging. Sapi pedaging dan domba pedaging
keefisienannya rendah, akan tetapi di tempat-tempat yang menghasilkan bahan organik
yang tidak dapat dimanfaatkan manusia secara langsung karena kadar selulosanya yang
tinggi, pemeliharaannya dapat membawa manfaat bagi manusia karena dapat mengubah
bahan organik yang tidak bergizi menjadi daging yang tinggi kadar gizinya. Hal itu
misalnya dapat terjadi di daerah-daerah kering yang vegetasi utamanya adalah padang
rumput seperti di Nusatenggara Timur, Aceh Selatan, Padang Lawas, Sulawesi Tengah, dan
sebagian Sulawesi Selatan.
Dapat pula diamati bahwa keefisienan pengubahan ternak yang berkenaan dengan
produksi dalam rangka pem-biakan seperti telur dan susu, lebih tinggi dibandingkan
dengan pengubahan yang berkenaan dengan pertumbuhan vegetatif, yaitu hasil dalam
bentuk daging. Agaknya hal itu ada kaitannya dengan kenyataan bahwa kalau yang di-
konsumsi adalah hasil produksi dalam proses reproduksi, ternak yang menghasilkannya
tetap utuh, sedangkan pada ternak pedaging, produksinya sekaligus menyisihkan ternak itu
dari kegiatan produksi selanjutnya.
Bahwa kefisienan pengubahan babi lebih tinggi daripada sapi pedaging kiranya dapat
pula dipahami karena untuk menhasilkan daging sapi harus mendapatkan rumput dan
makanan penguat, sedangkan babi dapat dengan mudah mengubah limbah yang
sebenarnya bermutu rendah menjadi protein hewani. Hal itu tidak dapat dilakukan oleh
sapi pedaging.

13.3. Pemintakadan Ekosistem


Dalam suatu ekosistem yang tidak diganggu akan ada kesetimbangan antara
sumberdaya yang terdapat di dalam tanah, kehidupan tumbuhan, dan semua makhluk
yang makan dari tumbuhan itu. Biomassa atau keseluruhan kehidupan yang dapat
ditunjang ditentukan oleh kombinasi berbagai faktor lingkungan. Faktor terpenting ialah
iklim.
Dalam sistem-sistem pertanian yang masih sederhana usaha pertanian terjadi dengan
mengganti begitu saja flora dan fauna alami dengan tanaman dan hewanpiara tanpa
mengadakan usaha-usaha pemeliharaan tambahan. Biomassa yang dapat ditunjang oleh
lingkungan tidak banyak mengalami perubahan karena keseluruhan kehidupan yang dapat
ditunjang tetap ditentukan oleh kemampuan tanaman di lingkungan yang sama itu untuk
menyediakan energi bagi seluruh kehidupan yang ada di situ. Perubahan yang terjadi untuk
keuntungan manusia hanyalah berupa bertambah banyaknya bahan organik nabati dan
hewani yang dapat dimanfaatkan manusia karena kebanyakan flora dan fauna yang ada
sebagai bagian biomassa telah dipilih sesuai dengan keperluan manusia.
Pertanian dalam bentuk yang sederhana ini dicirikan oleh sedikitnya terjadi
penambahan energi ke dalam sistem, rendahnya hasil, akan tetapi keefisienan
keseluruhannya tinggi. Ternak makan pakan, serat kasar, dan hasil buangan secara
berlebihan. Bahan buangan yang berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan, serta
bahan buangan yang berasal dari manusia didaurulangkan seluruhnya ke dalam tanah.
Semua keperluan akan tenaga dipenuhi oleh dayakerja manusia dan hewan. Tidak banyak
digunakan bahan bakar, mesin, pupuk, dan pestisida, akan tetapi juga tidak banyak bahan
makanan yang dihasilkan dari sistem pertanian itu walaupun orang bekerja keras. Apabila
dikelola dengan baik sistem pertanian sederhana ini akan ada dalam keseimbangan dan
mendukung kehidupan yang ada dalam sistem itu. Akan tetapi kalau ada salah urus karena
adanya pemanfaatan lahan yang berlebih, akan muncul masalah erosi yang kemudian
menghancurkan kesetimbangan dan merusak sistem pertanian itu.
Sistem pertanian modern mengutamakan daya produksi yang tinggi dan penggunaan
tenaga kerja yang efisien. Daur tumbuhan dan hewan alami diubah agar sesuai dengan
suatu teknologi yang menggunakan subsidi energi yang tinggi. Subsidi energi ke dalam
sistem itu sering sekali berupa mesin, minyak bakar, pupuk, dan pestisida. Untuk mencapai
dayaguna maksimum diadakan spesialisasi pertanian dan di tempat tertentu hanya akan
diusahakan tanaman dan ternak yang paling sesuai dengan keadaan lingkungan di tempat
itu. Muncullah mintakad-mintakad pertanian seperti mintakad jagung, mintakad daging,
mintakad kapas, dan sebagainya.
Di Indonesia yang sistem pertaniannya ada yang sudah maju dan ada pula yang masih
dalam keadaan sederhana, pewilayahan pertanian itu tampak mulai ada bagi pertanian
modern. Misalnya saja mintakad teh ada di dataran tinggi Priangan, Pematang Siantar, dan
Kerinci. Mintakad daging ada di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Akan tetapi di mana-mana orang bertanam tanaman pangan karena kebanyakan
dilaksanakan dalam bentuk sistem pertanian sederhana. Walaupun iklim juga dapat
memaksa adanya pemintakadan bagi sistem pertanian sederhana.
Segi pemintakadan ini juga membawa masalah. Karena lahan-lahan tersubur
mengundang kegiatan perusahaan pertanian industri serta kegiatan ekonomi lainnya, di
Indonesia ini kepadatan penduduk terkait erat dengan tingkat kesuburan tanah. Jawa
misalnya adalah pulau yang lahannya tersubur untuk digunakan berusahatani. Karena itu
juga kegiatan pertanaman industri terutama ada di Jawa di samping kegiatan usaha
pertanian tanaman pangan yang terpenting. Adanya kegiatan-kegiatan ini memaksakan
dibangunnya berbagai sarana pendukung seperti sarana perhubungan, sarana pemukiman,
dan sarana perkantoran dan pabrik. Karena itu banyak lahan yang subur di Jawa akhirnya
menjadi tempat mendirikan gedung dan tempat membangun pabrik dan jalan raya
lintascepat.
Harga lahan dengan demikian juga meningkat dengan cepat. Kalau harga lahan sudah
demikian tingginya seperti misalnya lahan-lahan kosong yang ada di kiri-kanan Jalan
Jenderal Soedirman di Jakarta, lahan itu sudah kurang menguntungkan untuk dijadikan
lahan usahatani. Lebih menguntungkan kalau lahan itu dijual mahal dan uangnya
digunakan untuk berniaga bahkan mungkin juga diinvestasikan melalui penanaman modal.
Akhirnya kalau tidak dijaga, kegiatan usahatani harus pindah ke lahan-lahan terpencil yang
kurang subur dan memerlukan masukan teknologi yang jauh lebih tinggi dan mahal agar
dapat menghasilkan sesuatu.

13.4. Pemintakadan dan Teknologi Pascapanen


Karena adanya pemintakadan ini hasil produksi sering sekali menjadi berjauhan dengan
konsumen. Oleh karena itu hasil produksi harus dapat diubah ke dalam bentuk yang lebih
tahan lama apabila disimpan. Sebagai akibatnya, pemintakadan itu dengan demikian
memintakan suatu kemajuan penguasaan teknologi pascapanen. Pengangkutan berbagai
produk pertanian tanpa penguasaan pascapanen akan dapat berakibat penyusutan hasil,
misalnya karena tercecer sewaktu dijemur atau busuk sewaktu disimpan. Lagipula
pengangkutan hasil pertanian dalam bentuk bahan mentah menyebabkan terjadinya
pengangkutan bagian-bagian produk pertanian itu ke daerah konsumen yang setelah
bahannya diolah tercecer menjadi limbah di daerah konsumen.
Limbah ini akhirnya akan menimbulkan masalah pencemaran. Kalau bahan pertanian
sebelum sampai ke tangan konsumen sempat diolah terlebih dahulu menjadi bahan niaga
setengah jadi atau menjadi bahan jadi, bahan limbah dapat terkumpul dengan banyak dan
kemudian dimanfaatkan sebagai hasil sampingan. Misalnya saja, batok kelapa yang
terkumpul dapat diubah menjadi arang bakar atau karbon-aktif yang dapat digunakan
sebagai obat atau bahan penyaring air dan udara. Sabut kelapa yang terkumpul secara
teratur di suatu tempat dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan tali dan karpet.
Dengan cara ini daerah pedesaan masih dapat memperoleh keuntungan tambahan dari
produk pertanian yang dihasilkannya sehingga membuka lapangan pekerjaan baru di
pedesaan. Oleh karena bab berikut akan kita cadangkan untuk membicarakan teknologi
pascapanen.

14. TEKNOLOGI PASCAPANEN


14.1. Teknologi Primitif
Di dalam pelajaran ilmu bumi atau geografi selalu dibangkitkan kebanggaan bahwa
Indonesia adalah negara agraris. Yang dimaksudkan dengan agraris ialah bahwa sebagian
besar penduduk mendapatkan penghasilannya dari kegiatan di sektor pertanian.
Sehubungan dengan itu juga selalu dikemukakan bahwa Indonesia menjadi peng¬ekspor
hasil pertanian seperti karet, kopi, teh, kina, tem¬bakau, coklat, sawit, dan kopra.
Kalau kita perhatikan bagaimana dahulu Singapura dikenal sebagai pengekspor karet
bermutu tinggi, padahal karet mentahnya berasal dari Sumatera, dapatlah dipahami bahwa
dari penanganan hasil pertanian setelah dipanen hingga menjadi hasil yang lebih baik orang
juga mampu mendapatkan nafkah yang sangat menguntungkan.
Sebenarnya sejak dahulu kala petani dan peternak sudah mengenal bagaimana cara
menangani hasil pertanian dan peternakan mereka agar menjadi lebih tahan disimpan. Bibit
padi dan ikan yang sudah dikeringkan biasanya disimpan di dapur di atas tungku masak
yang menggunakan bahan bakar kayu. Asap yang mengandung ter kemudian menyelaputi
dan mengawetkan apa yang tergantung di atas tungku itu hingga tidak busuk dan tidak
dimakan serangga atau kapang.
Pengolahan bahan pangan sehingga lebih tahan lama, mudah disimpan, dan mudah
dicerna dapat pula dilakukan melalui penumbukan atau penggilingan. Hal itu misalnya
terjadi dengan padi. Setelah ditumbuk, gabah padi terpisah menjadi beras, sekam, dan
menir. Dengan menyisihkan menir dan sekam ini butir beras yang terdiri atas karbohidrat
terpisah dari bagian-bagian gabah yang membuat gabah itu dapat cepat rusak karena
mengandung minyak.
Di samping itu pengkhamiran atau fermentasi menggunakan jasadrenik merupakan
cara membuat biji kehilangan zat-zat yang dapat membuatnya cepat rusak, serta menjadi
lebih mudah dicerna. Salah satu yang terkenal dan asli berasal dari Indonesia ialah
pembuatan tempe dari kedelai. Dalam hal ini, ternyata bahwa pada pembuatan tempe oleh
kapang itu terbentuk pula zat-zat anti-bakteri yang baik untuk menghilangkan infeksi
bakteri pada saluran pencernaan, serta zat-zat anti-oksidan yang dapat menghambat
pengendapan lemak pada dinding pembuluh darah. Pengawetan melalui pengkhamiran
lain yang dapat disebut ialah peragian karbohidrat menjadi tapai seperti tapai ketan dan
tapai singkong. Selain itu juga pembuatan yoghurt yang berasal dari Bulgaria dengan
menggunakan susu kuda, kefir yang berasal dari Pegunungan Kaukasus, serta dadih yang
berasal dari Sumatera Barat yang menggunakan susu kerbau, adalah proses pengawetan
susu melalui pengkhamiran dengan menggunakan bakteri tertentu. Setelah dikhamirkan ini,
kadar lemak susu akan turun. Dalam hal susu kerbau, kadar lemaknya sangat tinggi
sehingga apabila diminum langsung oleh manusia akan menimbulkan penyakit salah-cerna.
Setelah didadihkan, kadar lemaknya menurun dan dadih itu dapat dicerna lebih baik oleh
lambung manusia.
Sejak dahulu pula orang sudah tahu membuat dendeng, yaitu daging yang disayat
tipis-tipis, diberi gula, rempah-rempah dan garam, dan kemudian dijemur. Penyayatan
tipis-tipis dan penjemuran merupakan upaya menurunkan kadar air yang akan
menurunkan kegiatan bakteri pembusuk. Demikian pula halnya penambahan rempah-
rempah dan garam mempunyai maksud yang sama.
Penambahan gula, garam, rempah-rempah, dan sering pula cuka ke dalam makanan
seperti acar, adalah contoh penggunaan aditif bahan pangan yang paling lama sudah
diketahui orang. Maksudnya adalah untuk keperluan pengawetan, pengubahan warna agar
makanan menjadi lebih menarik, dan pengubahan rasa agar menjadi lebih lezat.

14.2. Teknologi Penyejukan Modern


Pada zaman dahulu penumbukan dan penampian bebijian, pengeringan, pengasapan,
pengkhamiran, pengacaran, pemanisan, serta perempahan merupakan cara pengawetan
makanan agar tahan lama dan tetap enak dimakan. Setelah itu timbul cara pengawetan
bahan pangan dengan membotolkan dan mengalengkan. Untuk proses ini diperlukan
pemanasan sampai suhu tinggi, sedangkan di samping itu perlu pula diberikan zat-zat aditif
ke dalam makanan yang dikalengkan ituu agar dayatahannya bertambah dan war na-nya
tidak terlalu berubah. Karena itu juga rasa makanan yang diawetkan semacam ini tidak
serasa bahan makanan yang segar.
Di zaman modern ini, dengan timbulnya kemampuan mendinginkan ruangan sampai
suhu rendah, pendinginan dan pembekuan merupakan cara mengawetkan yang membuat
bahan makanan tahan disimpan lebih lama tanpa kehilangan terlalu banyak rasa segarnya.
Misalnya saja, sayuran dan buah-buahan yang disimpan di dalam lemari pendingin dalam
kemasan plastik, agar tidak banyak cairan-nya yang menguap karena tekanan uap di
sekelilingnya lebih rendah, dapat tahan beberapa hari sampai beberapa minggu.
Sayuran aspersis yang dihasilkan di Nyalindung, Sukabumi Selatan oleh sarjana-sarjana
lulusan Institut Pertanian Bogor, setelah dipanen langsung dimasukkan dalam cairan
bersuhu 10o C dan diangkut ke Jakarta dan kemudian ke Nederland untuk menemui
konsumen. Sewaktu dahulu orang Belanda membeli aspersis yang ditanam di negerinya
sendiri, hal itu tidak perlu dilakukan, karena ketika panen suhu lingkungannya sudah di
sekitar 10o C.
Orang Jepang ingin makan udang yang dimasak dari udang segar yang masih hidup.
Oleh karena itu kelemahan pasaran ekspor udang windu dari Indonesia ke Jepang ialah
bahwa pengawetannya harus dilakukan melalui pembekuan, karena kalau penyimpanan
dilakukan dalam bentuk beku, bahan pangan akan tahan jauh lebih lama. Hanya saja
rasanya akan banyak mengalami perubahan. Sebagai kasus pengawetan daging yang paling
lama yang telah terjadi dalam sejarah misalnya dapat disebut penemuan gajah purba beku
di Siberia. Konon kabarnya dagingnya dimasak dan disajikan pada suatu kongres ilmu
pengetahuan di Rusia pada akhir abad yang lalu.
Oleh karena itu para ahli di Fakultas Perikanan IPB memikirkan permasalahan itu dan
berhasil membuat udang tidur di dalam kotak busa plastik berisi serbuk gergaji yang
suhunya diturunkan sampai 12 o C. Dengan cara ini udang yang tidur itu pernapasannya
sangat rendah dan hasil metabolismenya juga sangat rendah sehingga dapat ditampung
oleh serbuk gergaji. Dengan cara ini udang dapat tahan hidup disimpan di dalam kotak
selama 2 x 24 jam. Cukup lama untuk sampai di Tokyo dengan pesawat terbang dari
Cengkareng setelah ditangkap di tambak yang letaknya di sekitar Jakarta.
Kemudian juga, di dalam zaman modern ini penambahan bahan lain ke dalam bahan
pangan dapat dilakukan dengan maksud untuk membuat makanan itu mendapatkan mutu
gizi yang lebih baik, selain menimbulkan warna dan citarasa yang lebih baik. Akan tetapi
ternyata bahwa beberapa zat aditif itu dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan
konsumen.

14.3. Teknologi Zat Aditif


Pada umumnya, penambahan zat aditif ke dalam bahan pangan dilakukan dengan
berbagai tujuan:
1. Sebagai zat pengawet anti-mikroba.
2. Sebagai anti-oksidant.
3. Sebagai pengemulsi, pengstabilkan, dan pengental.
4. Sebagai peningkat citarasa.
5. Sebagai penyalut permukaan.
6. Sebagai penambah kadar mineral.
Penggunaan zat anti-mikroba untuk menambah awet bahan makanan dapat membantu
bahan makanan itu menembus jarak menemukan konsumen di tempat lain, bahkan di
negara lain. Tanpa zat pengawet seperti ini bahan makanan itu akan busuk karena kerja
jasadrenik, lama sebelum bahan makanan itu tiba di tangan konsumen. Ada dua cara kerja
zat aditif sebagai pengawet. Cara pertama ialah dengan mengambat pertumbuhan
jasadrenik itu. Cara kedua ialah dengan memperkuat bahan makanan itu sewaktu
mengalami pengolahan, agar tidak hancur dan menjadi lebih peka terhadap serangan
jasadrenik.
Gula memperlambat atau menghentikan pertumbuhan jasadrenik di dalam selai, jam,
dan manisan buah-buahan, seperti yang dijadikan kerajinan rakyat di Cianjur, Bandung,
dan Garut. Cuka dan garam sama pengaruhnya di dalam acar sayuran dan buah-buahan.
Penambahan alkohol ke dalam bahan makanan juga dimaksudkan untuk keperluan yang
sama.
Zat-zat seperti gula, garam, cuka, dan alkohol, yang semuanya terdapat secara alami di
dalam berbagai bahan pangan, sering digunakan sebagai zat pengawet alami. Asam
askorbat atau vitamin C yang banyak terdapat di dalam jeruk biasanya ditambahkan ke
dalam buah-buahan yang dibekukan agar warnaya tidak menjadi coklat. Dalam hal ini
vitamin C bekerja sebagai anti-oksidant yang menghentikan proses pengoksidan rantai-
rantai karbon tidak jenuh pada asam lemak tidak jenuh.
Sewaktu ahli teknologi pangan menemukan bahwa penyebab suatu buah buni yang
namanya cranberry tahan terhadap serangan kapang dan ragi adalah asam bensoat yang
terdapat di dalam buah buni itu, mereka mulai menambahkan asam bensoat sebagai
pengawet pada bahan makanan lain. Asam bensoat ini pun masih merupakan zat kimia
organik yang dapat ditemukan secara alami.
Kemudian para ilmuwan mulai mencari zat-zat sintetik yang dapat menghambat atau
menghentikan pembusukan bahan makanan. Zat-zat pengawet tak-organik ini misalnya
adalah sulfur dioksida dan garam sulfit yang digunakan pada buah-buahan dan sayuran
untuk menghambat pertumbuhan kapang. Demikian pula senyawa belerang digunakan
sebagai pengawet dalam jumlah yang sangat kecil pada pembuatan anggur. Penggunaan zat
ini dalam jumlah yang lebih banyak dapat mempengaruhi rasa anggur itu.
Sebagai anti-oksidant buatan digunakan butil hidroksi anisol atau BHA pada bahan
makanan jadi yang diperkirakan dapat tersimpan lama di rak-rak lemari pajangan pasar
swalayan. Emping serealia untuk sarapan pagi misalnya mengandung BHA sebagai bahan
pengawet. Demikian pula daging yang dikalengkan seperti corned beef, serta sosis
mengandung garam nitrat dan nitrit sebagai anti-oksidant.
Akhir-akhir ini ditemukan bahwa beberapa zat pengawet itu dapat menjadi penyebab
timbulnya kanker, apalagi setelah zat pengawet itu mengalami pemasakan bersama bahan
makanan yang diawetkannya. Demikianlah natrium nitrit yang ditambahkan ke dalam
daging-dagingan untuk menghindari timbulnya racun botulinus, di dalam lambung hewan
percobaan bergabung dengan asam amino membentuk nitrosamine yang dapat menjadi
penyebab kanker. Garam natrium nitrit ini misalnya dijadikan pengawet daging babi
berlemak. Daging babi berlemak atau ham yang diawetkan dengan natrium nitrit ini apabila
digoreng, akan mengalami reaksi kimia yang menghasilkan zat-zat penyebab kanker atau
karsinogen. Oleh karena itu pada saat ini banyak ahli yang mulai tidak setuju akan
penggunaan zat pengawet buatan di dalam bahan makanan. Namun pun demikian, ada
petunjuk bahwa BHA yang terdapat sebagai pengawet dalam emping serealia yang
dijadikan makanan sarapan pagi di Amerika Serikat, telah mengurangi kasus kanker
lambung di negara itu.
Agar mentega, margarin, dan susu tidak pecah, berbagai zat pengemulsi atau
pengstabilkan dapat ditambahkan ke dalamnya. Tanpa zat seperti ini mentega yang meleleh
di atas sepotong roti bakar tidak akan berwarna kuning atau meleleh secara merata dengan
merangsang selera, karena air dan minyak yang terdapat di dalamnya akan memisah.
Demikian pula susu yang dikemas dalam kotak akan lebih mudah pecah.
Pektin yang menjadi bagian dinding sel berbagai buah-buahan digunakan untuk
mengubah kekentalan berbagai makanan seperti yoghurt. Selain itu protein kedelai juga
dapat digunakan mengubah kekentalan dan kelekatan berbagai bahan makanan sehingga
rasanya menjadi lebih lezat. Dalam hal ini pengubahan kekentalan terjadi karena zat-zat
aditif itu telah melapisi permukaan bahan makanan sehingga mengubah sifat-sifat
permukaannya.
Monosodium glutamat atau MSG yang dikenal juga sebagai vetsin adalah contoh
tentang zat aditif makanan untuk meningkatkan citarasa. Demikian pula berbagai berbagai
zat kimia buatan dapat dipakai menggantikan rasa buah-buahan asli yang lebih mahal di
dalam es krim maupun gula-gula.
Seperti juga dengan natrium nitrit, MSG kini menjadi sorotan berbagai pihak. Ada yang
mengatakan bahwa MSG menimbulkan sindrom Rumah Makan Cina (RMC) yang dicirikan
oleh tengkuk yang kaku, rasa sesak di kepala bagian bawah dan di dada, dan rasa pusing.
Gejala semacam ini muncul pada orang yang peka setelah makan makanan yang banyak
menggunakan MSG. Masih belum diketahui apakah gejala yang berlangsung hanya
beberapa jam ini ada akibatnya yang lebih berbahaya. Akan tetapi juga ada orang yang
menemukan bahwa MSG dapat menimbulkan gejala-gejala kanker pada tikus percobaan.
Hasilnya belum pasti, akan tetapi sebagai kesimpulan umum kita harus berhati-hati
terhadap penggunaan berbagai zat aditif makanan.
Penambahan zat aditif untuk memperbaiki mutu gizi makanan misalnya terjadi pada
susu dengan penambahan vitamin A dan D. Penambahan vitamin D pada susu terutama
penting sekali artinya bagi anak-anak di negara-negara beriklim sedang, yang pada musim
dingin tidak pernah kena sinar matahari, karena matahari hanya terbit beberapa jam sehari
dan karena tubuhnya tersalut seluruhnya oleh pakaian musim dingin yang tebal. Akibatnya,
tubuh tidak dapat membuat sendiri vitamin D sehingga harus ada pengayaan vitamin D
pada bahan makanan. Bahan makanan utama anak-anak tentu saja susu sehingga susulah
yang dikayakan dengan vitamin D.
Di Indonesia garam biasanya dikayakan dengan yod untuk mengatasi permasalahan
gondok yang disebabkan karena makanan kurang mengandung garam yod. Pencampuran
biji kacang panjang ke dalam ketan yang akan dibuat lepat dapat dianggap suatu upaya
pengayaan bahan makanan berkarbohidrat tinggi dengan protein kekacangan, walaupun
ketika nenek moyang kita menemukan cara mem-buat lepat seperti itu pencampuran itu
hanya dimaksudkan untuk menambah lezat rasa lepat itu.
Bab-bab sebelumnya ini dimaksudkan sebagai pengantar untuk mahasiswa baru yang
masuk ke suatu perguruan tinggi, bidang permasalahan apa yang dapat dipilih olehnya
untuk ditekuni sebagai kegiatan keahliannya di masa depan. Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa kegiatan dalam bidang pertanian mencakup permasalahan-permasalahan
dalam ilmu-ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, sosial, ekonomi, dan komunikasi.
Berbagai bidang ini di Institut Pertanian Bogor misalnya, ditangani oleh jurusan-jurusan
khusus, yang masing-masing atau secara bersama mengasuh suatu program studi.
Dipandang dari segi jenis pekerjaan, keahlian seseorang nantinya dapat berupa peneliti,
pengelola, atau penyuluh. Dari segi tempat bekerjanya, ia dapat bekerja di laboratorium, di
kebun percobaan, di lapangan, atau di kantor-kantor. Sebagai seorang peneliti, seorang
lulusan akan bekerja di laboratorium atau di kebun percobaan. Sebagai seorang penyuluh ia
akan bekerja mula-mula di lapangan. Setelah ia cukup makan garam, ia pun akan menjadi
pengelola yang bekerja di suatu kantor pusat apakah pada tingkatan daerah atau tingkatan
pusat.
Selain itu, karena dalam ilmu-ilmu pertanian seorang mahasiswa juga belajar ilmu
komunikasi atau ilmu manajemen, tidak juga mengherankan bahwa lulusan perguruan
tinggi dalam bidang pertanian atau ilmu-ilmu pendukungnya akhirnya menjadi pekerja di
bidang komunikasi, seperti menjadi wartawan dan wartawati, atau menjadi anggota redaksi
suatu badan penerbitan. Tidak juga perlu diherankan bahwa banyak lulusan perguruan
tinggi dalam bidang pertanian bekerja di bank. Mula-mula sebagai penilai permintaan
kredit untuk proyek-proyek bersifat pertanian, dan kemudian sebagai pimpinan di bank itu.
Semuanya ini bukanlah suatu penyimpangan dari tujuan semula, melainkan adalah
pertanda bahwa ilmu itu bersifat semesta. Hal itu juga menjadi pertanda bahwa ilmu yang
diajarkan di perguruan tinggi itu telah diajarkan bukan sebagai fakta, melainkan sebagai
landasan pengetahuan yang diperlukan untuk belajar seumur hidup. Sebagai contoh dapat
kiranya disebut bahwa sarjana kehutanan pertama yang dihasilkan IPB dalam bidang
penggergajian akhirnya tidak bekerja di Industri Perkayuan melainkan menjadi ahli
penggergaji marmer di suatu perusahaan marmer yang besar di Indonesia. Seorang sarjana
pertanian IPB yang selama menjadi mahasiswa menjadi asisten pada Laboratorium Kimia
akhirnya bekerja sebagai ahli kimia pada Laboratorium Forensik Kepolisian.
Karena itu dapat disimpulkan, bahwa yang penting dalam memilih program studi apa
yang akan ditempuh, bukanlah semata-mata memilih bidang yang cocok dari segi ilmunya,
melainkan dari segi pola kerja yang nantinya akan dihadapi, yaitu sebagai orang
laboratorium, pekerja lapang, atau pengelola. Setelah itu yang perlu dipikirkan ialah apakah
kita sebagai pemilih memiliki pola kemampuan akademik yang sesuai untuk menuntut
ilmu dalam bidang itu.
KEPUSTAKAAN

Albers, D. J., G.L. Alexanderson (Eds.) 1985. Mathematical People. Profiles and Interviews. Birkhauser,
Boston.
Bonner, Elena. 1986. Alone Together. Alfred A. Knopf, New York.
Box, Joan F. 1978. R. A. Fisher. The Life of a Scientist. John Wiley & Sons, New York.
Clark, R. 1968. J.B.S. The Life and Work of J. B. S. Haldane. Quality Book Club and Hodder and
Stoughton, London.
Encyclopaedia Britannica, Inc. 1984. Science and Technology Illustrated (26):3226. Chicago.
Feynman, R. F. 1985. “Surely You’re Joking, Mr. Feynman!” Adventures of a Curious Character. W. W.
Norton and Company, New York.
.1988. “What Do You Care What Other People Think?” Further Adventures of a Curious
Character. W. W. Norton and Company, New York.
Gani, J. (Ed.). 1982. The Making of Statisticians. Springer-Verlag, New York.
Geertz, C. 1976. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Diterjemahkan oleh S. Supomo.
Lihat kata pengantar oleh Sajogyo. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Hearnshaw, L. S. 1979. Cyril Burt, Psychologist. Vintage Books, New York.
Joravsky, D. 1970. The Lyssenko Affair. The University of Chicago Press, Chicago. Kleinfield, S. 1985. A
Machine Called Indomitable. Times Books, New York.
Margenau, H., D. Bergamini. 1976. The Scientist. Time-Life Books, New York. (Edisi Indonesia:
Ilmuwan, Tira Pustaka Jakarta).
Ronan, C. A. 1982. Science. Its History and Development Among the World’s Cultures. Facts On File
Publications, New York, N. Y. 10016.
Nasoetion, A. H. 1988. Remaja, Rasa Ingin Tahu, dan Daya Cipta. (Dalam Utami Munandar, S. C. 1988.
Kreativitas Sepanjang Masa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta).
Ronan, C. A. 1982. Science. Its History and Development Among the World’s Cultures. Facts on File
Publications, New York, NY 10016.
Wolpert, L, A. Richards. 1988. A Passion for Science. Oxford University Press, Oxford. Zuckerman, H.
1977. Scientific Elite.
Zuckerman, H. 1977. Scientific Elite. Nobel Laureates in the United States. The Free Press, New York.
Catatan: Barangsiapa ingin mengetahui lebih lanjut tentang permasalahan ilmu-ilmu pertanian
secara global, dipersilakan menelusuri kepustakaan di bawah ini, yang juga telah digunakan untuk
menyusun tulisan ini.
Brown, J. C. (Penerjemah). 1980. The Way Things Work Book of Nature. Simon and Schuster, New York,
NY 10020
Janick, J, R. W. Schery, F. W. Woods, V. W. Ruttan. 1974. Plant Science. An Introduction to World Crops.
W. H. Freeman and Company, San Francisco.
Nasoetion, A. H. 1980. Arah Perkembangan IPB Menuju Tahun 2000. Kompas, Senin, 3 November 1980
(Dalam: Daun-daun Berserakan. 1985. hal. 463-473).
Readings from Scientific American. 1973. Food. 1976. Food and Agriculture. 1978. Human Nutrition. W.
H. Freeman and Company, San Francisco.
Stackman, E. C., R. Bradfield, P. C. Mangelsdorf. 1967. Campaigns against Hunger. The Belknap Press of
Harvard University, Cambridge, Massachusetts.
Tudge, C. 1988. Food Crops for the Future. Basil Blackwell, Oxford, UK.

Anda mungkin juga menyukai