Anda di halaman 1dari 48

Abstrak

Penelitian ini bertujuan: (1) Ingin mengetahui tentang kantong kemiskinan warga tuna aksara di
kawasan marjinal dalam proses pembelajarannya; (2) Ingin mengetahui apa penyebab kemiskinan
itu sampai terjadi; dan (3) Ingin mengetahui kegagalan pendidikan formal sehingga angka Tuna
Aksara tak kunjung habis.

Penelitian ini, menetapkan sebuah pendekatan penelitian kualitatif, kualitatif teradap sejumlah
kawasan marjinal di Kalimantan Tengah dengan alasan pemilihan pendekatan kualitatif adalah:
penelitian ini dilakukan pada kondisi yang alamiah dengan langsung ke sumber data peneliti, dimana
peneliti instrument kunci. Subjek dalam penelitian ini adalah: warga masyarakat marjinal yang ada di
dalam beberapa wilayah penelitian. Alat penelitian dalam pengumpulan data berupa: pedoman
wawancara dan observasi serta dokumentasi.

Adapun hasil dari penelitian ini adalah: (1) kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan
marjinal ini, diperlukan proses pembelajarannya bagi mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak
tuntas belajarnya sehingga perlu diberikan pertolongan; (2) penyebab kemiskinan itu sampai terjadi,
karena nasib yang membelenggu dalam kehidupan mereka; dan (3) kegagalan pendidikan formal
dalam merangkul mereka untuk proses belajar selama usia sekolah, sehingga angka Tuna Aksara tak
kunjung habis.

Kata Kunci: Tuna Aksara, Kantong Kemiskinan.

Pendahuluan

Sungguh banyak yang mempertanyakan bahwa kenapai kantong kemiskinan selalu ada di kalangan
masyarakat miskin. Hal ini tidak selamanya hanya di tanah air kita, melainkan di negara-negara
tertentupun menemukan kasus yang sama. Namun terdapat beda dalam penanganan mereka lebih
cepat dibanding negeri kita tercinta ini.

Tuna aksara sebenarnya tidak terjadi di kalangan miskin, dan kenapa hal itu harus terjadi. Bila kita
mengkaji dalam Surah pertama yang diterima Nabi Besar Muhammad SAW tentang: ”Al-Iqra”, yang
secara jelas menyebutkan agar umat-Nya dapat membaca. Walau kita ketahui bersama bahwa: Rasul
Terakhir itu, betul-betul juga seorang tuna aksara.

Kenapa hal itu bisa terjadi?, karena kalau beliau sebagai seorang cerdik pandai atau orang yang
dapat membaca dan menulis dengan istilah sekarang dapat membaca, menulis dan berhitung
(calistung), maka dugaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an itu, dibuat oleh manusia. Tapi karena si
penerima wahyu tersebut seorang yang betul-betul tuna aksara. Maka dugaan bahwa Al-Qur’an
buatan manusia oleh mereka yang belum percaya itu, dapat dipatahkan. Dan Al-Qur’an tentu saja
”...murni wahyu Allah...”. Karena banyak bukti yang setelah dipelajari secara ilmiah terbukti betul-
betul berasal dari Yang Maha Besar Allah SWT.

Apakah hal itu benar? Kita pelajari saja, salah satu dari surah pertama Al-Alaq yang diturunkan dari
ayat 1. Sudah memerintahkan kepada umatnya untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan-mu
yang menciptakan. Kemudian dalam ayat 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; 3.
Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha pemurah; Ayat 4 Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam dan ayat 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Ayat pertama sangat memerintahkan kepada Nabi Muhammad disini, tidak sebatas hanya sekedar
agar membaca menulis dan berhitung (Calistung), tapi juga kalau kita membaca suasana apa yang
telah, sedang dan akan terjadi. Baik kondisi alam maupun hal-hal lainnya. Tapi mari kita bersama
mengajak agar semua warga negara Indonesia tuntas dalam calistung. Tentu saja sulit. Kenapa?
Mungkin kesadaran untuk belajar masih belum dijadikan prioritas utama dalam hidupnya.

Dalam ayat Kedua bahwa manusia dijadikan dari segumpal darah. Kalimat tersebut di atas,
membuat manusia khususnya mereka kalangan kedokteran yang berpikir memperdalam berbagai
cabang ilmu itu. Ternyata dari surah di atas, setelah dipelajari secara ilmiah oleh kalangan ahlinya
maka ayat di atas, telah terbukti kebenarannya.

Dalam akhir tahun 2006 tepatnya bulan Nopember - Desember, penulis berkunjung ke desa-desa
pesisir selatan di pedelaman Kalimantan Tengah, ternyata Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor: 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasonal Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar Sembilan Tahun memang dirasakan warga walau masih sebatas persiapan. Kenapa hal itu
terjadi, dalam mewujudkan pendidikan dasar sembilan tahun ini, tidak semudah membalik telapak
tangan. Demikian juga tidak semua Bupati mengerti, apa sebenarnya wajar sembilan tahun
tersebut. Padahal Insrtuksi sudah sampai kepada mereka. Ditambah dengan kewenangan otonomi
daerah, ”...Kepala Dinas Pendidikan ada kalanya di tempatkan tenaga yang bukan sarjana
pendidikan...”, atau ka-Subdin PLS bukan sarjan PLS, melainkan kealiannya sangat berbeda. Dan
Dikmas di Kecamatan yang di tempatkan ada kalanya mantan guru yang sudah 15 – 20 tahun
bergulat dalam pendidikan formal.

Dengan demikian ala berpikirnyapun sudah keformal-formalan. Namun karena ingin bekerja di
sturuktural apakah alasan ingin merubah nasib ataukah ada faktor KKN-nya, maka duduklah mantan
guru tersebut. Sehingga secara realita Diknas kecamatan tersebut akan berwarna formal. Karena ia
tidak tahu sama sekali terhadap, teori dan pendekatan di jalur nonformal. Sementara dipihak lain
para sarjana PLS tertutup krannya untuk bekerja di Diknas karena kran yang tersedia hanya
disalurkan pada pendidikan formal alias jadi guru. Seperti diangkat jadi guru SLA/SLP. Memang
sarjana PLS di Indonesia dipersiapkan untuk 2 pekerjaan Kalau Kran PLS dibuka, ia siap menempati
Dikmas subdin PLS dan berbagai instansi terkait. Tapi kalau tertutup kran PLS, maka ia dipersilahkan
melamar guru, karena punya akta mengajar IV. Karena ia dididik dalam keguruan dan ilmu
pendidikan.

Adapun yang jadi masalah kenapa ditahun 80-an kran PLS digembar-gemburkan ditutup. Hal itu,
berdampak negatif hingga masa sekarang. Angka tuna aksara semakin tahun semakin membengkak.
Siapa yang berdosa terhadap negeri tercinta ini?. Sementara para sarjana PLS yang masuk di kran
guru, ia tidak masalah di jalur formal. Namun ia enggan untuk turun pada jalur PLS, karena sudah
terlena dengan pekerjaannya di jalur formal. Tempat kerjanya sudah serba ada. Seperti dalam hal:
ruang belajar, muridnya sudah ada, bahan belajarnya tersedia. Sangat beda dengan di kelompok
belajar atau PKBM.
Salah satu contoh dan berkesan bagi penulis warga masyarakat yang didukung oleh kepada desa
Satiruk Kecamatan Pulau Hanaut Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah membuat
kelompok belajar Paket B di desanya, bagi anak usia sekolah. Karena dari 3 buah sekolah dasar yang
berdekatan setiap tahun meluluskan murid antara 15 -18 orang dari setiap sekolah Dasar. Namun
karena belum mendapat jatah gedung/guru SMP maka anak usia 12-15 tahun diikut sertakan dalam
kelompok Belajar paket B. Sementara pemuda dan orang dewasa karena belum ada tenaga
berpendidikan PLS maka itulah yang dapat mereka perbuat. Namun karena atas inisiatif kepala desa
dan dibantu para guru yang peduli terhadap nasib bangsa hal itu mereka lakukan.

Sebaiknya mereka ini, dimasukkan pada sekolah formal seperti SMP/MTs. Karena Faktor usia yang
masih muda belia. Dan sebaiknya bagi mereka yang di atas 18 tahun, baru diikutsertakan dalam
kelompok belajar paket B tersebut. Dan mereka ini, dimasukkan pada SD/SMP satu atap
(terpadu/atau apalah istilahnya). Dan sementara gedung sekolah dasar yang ada dapat untuk
dijadikan ruang/kelas SLP di desa itu.

Dipihak lain, orang tua masih enggan memberangkatkan anaknya yang berusia 12 tahun ini
urbanisasi ke kota atau ke desa lain, untuk melanjutkan pendidikan seperti: SMP/MTS ke kota
kecamatan/Kabupaten karena jarak desa dengan kota kecamatan sangat jauh, transportasi yang
dapat menjangkau ke lokasi itu, hanya dengan klotok (perahu bermesin di Kalimantan Tengah).
Itupun tidak ada angkutan tetap setiap hari. Sehingga menjadi kendala besar dalam penuntasan
Wajar sembilan tahun ini.

Tujuan

Dalam tulisan ini, tujuan yang akan diuraikan bergai hal sebagai berikut:

1. Ingin mengetahui tentang kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal dalam
proses pembelajarannya;

2. Ingin mengetahui apa penyebab kemiskinan itu sampai terjadi;

3. Ingin mengetahui kegagalan pendidikan formal sehingga angka Tuna Aksara tak kunjung habis.

Metoda Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menetapkan sebuah pendekatan penelitian kualitatif, kualitatif teradap
sejumlah kawasan marjinal di Kalimantan Tengah dengan alasan pemilihan pendekatan kualitatif
adalah: (1) penelitian ini dilakukan pada kondisi yang alamiah dengan langsung ke sumber data
peneliti, dimana peneliti instrument kunci; (2) lebih bersipat deskriptif data yang terkumpul
berbentuk kata-kata, gambar atau tulisan tidak menekankan pada angka; (3) menekankan pada
proses dari pada produk; (4) analisis data secara induktif; dan (5) lebih menekankan makna dibalik
data yang tampak tentang permasalahan yang telah dirumuskan yang telah dirumuskan dalam
penelitian ini.

Subjek Penelitian
Adapun subjek dalam penelitian ini adalah: warga masyarakat marjinal yang ada di dalam beberapa
wilayah penelitian. Dan yang dijadikan subjek dalam penelitian ini, adalah mereka yang hidup dalam
segala kekurangan.

Alat Penelitian

Dalam pengumpulan data tentu menyesuaikan terhadap obyek yang dijadikan sasaran penelitian.
Dalam penelitian ini digunakan alat penelitian berupa: pedoman wawancara dan observasi.

Untuk pedoman wawancara digunakan untuk menggali data sedalam mungkin dalam wawancara
terhadap subyek penelitian seperti telah diuraikan di atas. Pedoman wawancara berfungsi ganda
yaitu dapat juga sebagai angket. Hanya saja dalam penelitian ini, tidak menjadikan pedoman
wawancara sebagai angket. Karena pedoman wawancara ini, menyesuaikan terhadap jenis
penelitian yang digunakan.

Pedoman observasi digunakan terhadap obyek yang bersifat diam menbisu seribu bahasa. Artinya
pada obyek fisik PKBM yang memang betul-betul tidak dapat diwawancarai, maka pedoman
wawancara digunakan sebagai alat untuk menggali data hal itu.

Waktu penelitian

Sedangkan waktu penelitian menggunakan waktu 3 bulan dengan pembagian waktu penyusunan
proposal 3 minggu, penelitian lapangan 7 minggu dan analisis 2 minggu dan seminar hasil dan
perbaikan laporan 1 minggu.

Hasil Penelitian

Adapun hasil dari penelitian tuna aksarana dan kantong kemiskinan adalah sebagai berikut:

Kantong kemiskinan

Bicara tentang: apa istilah kantong kemiskinan ini, ”tidak lain adalah tempat-tempat tinggal, mereka
bermukim dengan segala kekurangan. Mereka ini miskin ilmu dan miskin harta”, lokasinya begitu
jauh dengan kawasan marjinal di mana saja hal ini selalu ada. Baik dipedesaan ataupun perkotaan.
Namun yang paling menyolok adalah di perkotaan. Sebab mereka ini memilih tempat area itu, tidak
lain karena tidak punya tempat lain lagi untuk apaberteduh. Sementara mereka yang terkumpul di
lokasi itu, cenderung pada mereka yang berpenghasilan tidak tetap dan sangat rendah.

Kehidupan merekapun juga tidak dapat dikatakan baik. Karena mereka ini umumnya belum
mendapatkan pekerjaan yang layak. Sementara tuntutan hidup dengan jumlah keluarga biasanya
lebih dari kebanyakan orang. Karena bagai mana untuk mengendalikan hal itu, sementara mencari
sesuap nasipun terkadang tidak terjadwal seperti kebanyak orang. Minta pelayanan kesehatan dan
KB tidak tersedia waktu dan biaya. Apalagi pendidikan yang memakan waktu lama. Namun dalam
aspek pendidikan dan kesehatan yang selama ini mendapat perhatian pemerintah, dalam kurun
waktu mendatang, makin lama makin membaik. Tinggal kesadaran mereka untuk belajar dan
mendapatkan pelayanan kesehatan/KB itu menuntut kesadaran yang tinggi.

Kantong kemiskinan sangat terlihat dari jarak dekat pada tempat-tempat kumuh di perkotaan.
Sementara dari kejauhan bisa kita lihat di mana-mana. Makin banyak kalangan miskin, makin besar
juga jumlahnya peminta-minta di jalanan. Tujuan mereka meminta itu, tidak lain adalah mencari
rejeki untuk makan dirinya dan keluarganya. Sehingga belajar membaca dan menulispun sungguh
sulit diberikan. Karena mereka ini, belum ada tersedia waktu untuk belajar karena yang utama tidak
lain mencari sesuap nasi.

Menilik Penyebab Tuna Aksara

Meneliti Tuna Aksara adalah: ”mereka yang belum tuntas membaca, menulis dan berhitung dalam
hidupnya” yang ada di pedesaan salah satu contoh di Kalimantan Tengah ada 2 kelompok berbeda
masing-masing masyarakat pesisir dan pedalaman. Masyarakat pesisir berada di kawasan selatan
Kalimantan Tengah. Karena Kalimantan Tengah pesisir selatannya berada di Laut Jawa sepanjang +
800 Km yang memanjang dari perbatasan dari arah timur adalah wilayah di perbatasan dengan
Kalimantan Selatan dan ke arah barat yang berbatasan dengan Kalimantan Barat. Sedangkan
kawasan pedalaman yakni kawasan utara Kalimantan Tengah sebelah timur berbatas dengan
Kalimantan Timur dan Barat serta Utara dengan Kalimntan Barat.

Bicara tentang tuna aksara di kawasan pesisir tahun 1991, memang tidak seluruhnya buta huruf. Hal
ini, dalam penelitian yang pernah dilakukan pada anak usia sekolah dan orang dewasa. Ternyata
yang buta huruf di sana adalah sudah dapat membaca dan tulisan Arab. Karena mereka juga dapat
membaca Al-Qur’an. Sedangkan kawasan pedalaman 1999, ada warga masyarakat yang belum
dapat membaca tulis baik latin maupun Arab.

Pelaksanaan

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya buta aksara di Indonesia, diantaranya
yaitu: putus sekolah dasar. Sebab dengan masih banyak anak Indonesia, yang belum medapat
kesempatan untuk masuk sekolah dasar menurut Ace Suryadi (2005) adalah dikarenakan faktor:

Pertama: karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk
mempekerjakan anak-anak mereka, terutama dimusim pertanian yaitu waktu mengolah sawah,
menanam, mengetam dan lain lain.

Kedua: kondisi daerah yang terisolasi atau daerah transmigrasi yang jauh dari sekolah, daerah yang
terkena bencana alam atau konflik, seperti Aceh, Nabire, Poso, Atambua, dan sebagainya.

Kedua faktor penyebab ini, tidak menutup kemungkinan akan menambah buta aksara jumlah buta
aksara di Indonesia.
Penuntasan Wajar

Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan Wajr sembilan tahun, sebuah
pertemuan di kota Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) Kalimantan Tengah terungkap dalam
salah satu saran untuk penuntasan di masyarakat, agar wajar sembilan tahun dapat dituntaskan
adalah:”...Departemen Tenaga Kerja untuk membuat peraturan baru, yakni setiap calon tenaga kerja
baik sektor formal maupun informal adalah harus memiliki ijazah minimal SLP...”. Seperti mereka
mau mencari kerja sebagai buruh pekerja perkebunan, pertokoan dan sebagainya. Selama ini,
mereka bekerja tanpa melihat latar belakang pendidikan. Pihak pengusaha semata-mata ingin
mencari tenaga kerja sebanyak mungkin. Sementara pendidikan formal ataupun pendidikan
nonformal seperti paket A atau B tidaklah diperhatikan. Yang penting bagaimana usahanya maju
dan keuntungan dapat segera diwujudkan.

Anak usia sekolah antara 12 – 15 tahun di kawasan itu, muncul pikiran baru. Selama sekolah tidak
mendapatkan uang. Bahkan selalu meminta pada orang tua. Tidak sekolah hanya dengan
membersihkan rotan yang diambil dari kebun bekerjan 4 – 5 jam sehari, sudah dapat mengantungi
uang untuk makan dan jajan untuk 1 – 2 hari. Akhirnya sekolah ditinggalkan begitu saja. Oleh sebab
itu, perlu ada kerjasama dengan pihak Depnaker dalam menetapkan calon pekerja, dengan
memperhatikan latar belakang pendidikan mereka sebagai persyaratan berpendidikan SLP atau
paket B. Sehingga wajar sembilan tahun dapat segera dituntaskan.

Penyaradaran Hidup

Dalam rangka penyadaran bahwa masalah tuna aksaran ini, belum menjadikan tuluk ukur warga
masyarakan dalam suatu kebutuhan hidupnya. Sementara pihak pemerintah, perlu mencari jalan
agar warga masyarakat yang masih tuna aksara agar kurang mendapat kesempatan dalam hal-hal
tertentu. Sehingga bila suatu saat mereka yang karena sesuatu dan lain hal, dalam hidupnya. Tidak
dapat berbuat banyak dalam mencari pekerjaan, kalau ia masih tuna aksara. Misal saja warga tuna
aksara karena kesulitan membaca setingga membuat KTP tak mudah diterbitkan. Karena sebagai
prasyarat mutlat misalnya. Isi sebuah konsep penyadaran hidup mereka yang tuna aksara.

Jika sebagai salah satu contoh di atas diterapkan. Maka warga masyarakat yang tuna aksara akan
berusaha belajar ikut paket A dan B. Seperti saran masyarakat di atas, dalam lapangan pekerjaan,
jika mereka tidak memiliki Ijazah SLTP ia tidak akan dapat bekerja di perusahaan perkebunan dsb.
Sehingga pada saatnya itu mereka akan sadar dalam hidupnya suatu kebutuhan dalam pendidikan
dasar 9 tahun ini. Apakah dengan mengikuti jalur pendidikan formal ataukah luar sekolah seperti
paket A dan B.

Tapi pemerintah perlu bertindak tegas, misalnya agar PKBM diantara sekian dari penyelenggara
paket A dan B untuk wajar 9 tahun tidak terlalu mudah mengikut sertakan mereka dalam ujian
negara. Kalau mereka tidak mengikuti pelajaran secara rutin selama beberapa semester. Agar
mereka yang sering menuding pendidikan nonformal (PLS) kualitasnya belum seperti mereka
harapkan. Bagaimana para penuding ini, jadi terperanjat bahwa pendidikan nonformal juga punya
aturan yang jelas.
Terdapat keluhan tokoh formal Ichwanuddin (2006) bahwa:”... pernah menyulitkan pihak Diknas
(Dikjar) bila bakal terjadi Pemilu dan Pilkada, ada orang-orang tertentu, yang mendesak agar ikut
serta dalam program paket C. Tidak itu saja, kepala Dikjar (Dinas pendidikan dan pengajaran)
Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah ini, agar diikutsertakan ujian paket C. Hal
tersebuat ia pernah juga diperiksa oleh pihak kejaksaan, karena ada indikasi bahwa lulusan paket C
diperoleh tanpa melalui kegiatan pendidikan luar sekolah yang wajar...”. Hal seperti ini, fungsi PKBM
perlu dijaga, bukan hanya sekedar kasihan. Tapi dengan terbitnya Undang-Undang nomor: 20/2003
dalam Bab XX ada pula sanksi yang berat.

Kebanggaan kita semua memang lulusan paket C sudah ada yang berhasil menjadi Bupati. Tidak
terhitung yang menjadi anggota DPR. Dalam kegagalan pendidikan formal tahun 2006 lalu, bisa kita
ingat 15-20 tahun mendatang, lulusan paket C akan bermunculan menjadi pejabat di negeri ini.
Dengan demikian fungsi PKBM setara juga dengan pendidikan formal. Hanya yang kita jaga
kualitasnya.

Mutu dan Relevansi

Untuk melihat bagaimana mutu dan relevansi menurut Ace Suryadi (2005) adalah:

a. Melakukan hasil pengujian terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan standar yang telah
dibakukan sehingga program pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini dapat diketahui
sejauh mana tingkat penguasaan peserta didik.

b. Berusaha melakukan peningkatan pelayanan pendidikan keaksaraan melalui kegiatan


pembelajaran yang berkelanjutan dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melalui program life skills.

Kegagalan Sekolah Formal

Berbicara tentang kegagalan sekolah formal selama ini, menurut Kepala Sub Direktorat Pendidikan
Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional RI, Ella Yulaelawati (2006) bahwa :“…perlu dilakukan
pengkajian yang sangat mendasar tentang kegagalan sekolah formal yang selama ini…”. Karena
sekolah formal sebagai jalur pertama ternyata tidak seluruhnya menemukan cara efektif dalam
penyelenggaraan pendidikan formalnya. Padahal pendidikan formal ini telah disiapkan dengan
segala fasiltas, guru dan materi belajar yang cukup. Tapi kenapa setelah diserahkan tugas lewat
pendidikan formal selalu kandas dalam penuntasan pendidikan dasar 9 tahun.

Sementara kegagalan dalam menekan angka tuna aksara ini menurut: Singarasa (2006) adalah: ”…
masa lalu, pihak pemerintah betul-betul membina masyarakat yang diikuti dengan kesadaran dan
ketaatan masyarakat terhadap program yang dilancarkan pemerintah. Dan turut mendukung upaya
menurunkan angka tuna aksara. Namun sekarang kita sadari bersama dengan kurangnya partisipasi
masyarakat akan turut meninggikan angka buta huruf….”. Dengan demikian, berarti perlu
penyadaran dan ketaatan warga untuk belajar.
Menurut Darlan (2006) Bahwa:”... dalam wajar 9 tahun, bangsa kita di era pembangunan sekarang
terjadi peningkatan angka tuna aksara selalu tinggi. Walau pemerintah sudah secara gencar
melakukannya. Namun angka tuna aksara makin tahun masih bertambah. Hal ini perlu kita cari
sebab akibatnya...”.

Seorang dosen pendidikan luar sekolah (PLS) Universitas Palangka Raya: Ringkin (2006) bahwa ia: “…
mengkritisi rumusan hasil pertemuan sarjana di Palangka Raya beberapa waktu lalu bahwa kalangan
pendidikan sendiri yang duduk dalam komisinya masih terlupakan tentang pendidikan luar sekolah.
Padahal jika menguasai terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor: 20/2003
secara jelas ada 3 jalur pendidikan yakni: (a) Pendidikan Formal, (b) Pendidikan non formal dan (c)
Pendidikan informal…”. PLS berada pada pendidikan non formal. Sementara dalam butir 2
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan
kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesataraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik. Ini juga memasuki pada jalur pendidikan informal kita.

Kegagalan yang dikritik dosen senior PLS FKIP Unpar itu, tidak lain karena ketidak mengertian banyak
orang tentang jalur pendidikan kita, baik dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 maupun
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku dan ada di
negeri kita cintai ini.

Belajar Dari Sebuah Pengalaman

Dalam mengakhiri tahun 2006, ada sebuah pekerjaan yang ditugasi oleh LPPM Universitas Palangka
Raya untuk asistensi Wajib bejalar 9 tahun di Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah,
mendampingi para Camat, Diknas Kecamatan, Depag Kecamatan dan Kepala Desa serta tokoh
masyarakat dalam membicarakan SD/SMP satu atap.

Sebuah desa di tepi Laut Jawa tepatnya Desa Satiruk, kecamatan Pulau Hanaut ada 3 gedung sekolah
dasar yang berdekatan setiap tahun meluluskan antara 18-20 orang/sekolah. Namun tidak ada
SMP/MTs baik negeri maupun swasta di sekitar itu. sehingga kepala desanya berinisiatif membentuk
kelompok belajar paket B. Namun dalam segi usia 12-14 tahun. Sementara yang berusia 18 – 40
tahun tak pernah dapat sentuhan pendidikan baik formal SMP/MTs maupun nonformal paket B.
Padahal negara kita sedang gigihnya menuntaskan wajar 9 tahun. Termasuk merealisasikan Instruksi
Presiden nomor: 5 tahun 2006 tertenggal 9 Juni 2006. Tentang Gerakan Nasional Percepatan
Penuntasan Wajar pendidikan dasar 9 tahun dan pemberantasan buta aksara.

Pengalaman lain tahun 1992 penulis penelitian di kawasan pantai, menemukan sebuah bangunan
beratapkan daun nipah, dinding daun nipah dan berlantaikan tanah, ukuran 6 x 4 m dengan 10 orang
murid 4 diantaranya duduk di kelas 2.

Saat bertemu dengan penulis penduduk di kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat
Kalimantan Tengah ini, diajak membaca huruf latin dan angka belum sempurna. Tapi dituliskan huruf
Arab mereka lancar membaca. Berarti penduduk pesisir tidak seluruhnya buta aksara, kecuali latin.
Sedangkan huruf Arab mereka sudah bisa, karena setiap orang tua melatih anaknya untuk membaca
Al-Qur’an. Kasus ini berada di kawasan selatan Kalimantan Tengah. Tepatnya di utara Laut Jawa.
Perlu Perubahan

Dalam bagian akhir tulisan ini perlu suatu upaya merubah konsep yang selama ini, ternyata terjadi
kesalahan dalam dunia pendidikan luar sekolah. Memang selama ini, pendidikan luar sekolah
terlupakan. Bahkan jika pendidikan luar sekolah bagi pekerjanya seperti tutor misalnya mendapat
imbalan lebih banyak dengan ucapan terima kasih. Sementara jika tersedia dana, untuk tenaga tutor
hanya dengan imbalan yang jauh dari cukup. Padahal, petugas PLS jauh lebih sulit dibanding mereka
yang bekerja di jalur pendidikan formal. Misal dalam pendidikan formal gedung sekolah, guru dan
murid serta buku bacaan tersedia, semuanya serba ada. Sementara dalam jalur pendidikan luar
sekolah terjadi sebaliknya. Ruang belajar terkadang di rumah penduduk, di balai desa dll. Murid
dirayu agar mau belajar. Karena mereka dalam kondisi belajar tidak penting baginya. Hal itu perlu
diberikan penyadaran diri individu yang masih belum tuntas wajar 9 tahun. Materinya elastisitas
yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama.

Dengan melihat hal di atas, saran dari penulis agar mulai sekarang kita adakan perubahan. Artinya
dalam hal pendanaan, tidak selalu pada pendidikan formal yang besar. Tapi bagaimana jika kalau
PKBM, yang tak punya gedung yang memadai. Pihak Diknas turut membantu mereka yang
mendirikan pusat kegiatan belajar masyarakat ini, pada gedung mereka, buku bacaan dan honor
tutor yang cukup. Sebab kita sangat bersyukur kepada segelintir warga masyarakat yang peduli dunia
pendidikan. Kenapa yang peduli pendidikan ini, tidak kita bantu dalam rehab atau perluasan tempat
belajar mereka di PKBM itu. Sehingga motivasi mereka dalam membantu proses percepatan
penuntasan pendidikan dasar 9 tahun segera terwujud.

Jika hal ini direalisasikan, Insyaa Allah kegairahan belajar mesyarakat akan meningkat. Dan angka
tuna aksara akan dapat ditekan.

Dalam Proses Pendidikan Pendewasaan

Dari hasil penelitian di lapangan terjadi kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk
proses belajar selama usia sekolah, ada kalanya mereka di saat ujian sekolah karena ketidak
mampuan ekonomi orang tua, atau anak tersebut bermasalah di sekolah seperti jarang turun, sering
bertindak yang aneh-aneh atau mengganggu temannya di sekolah. Sehingga yan bersangkutan tidak
sempat tuntas dalam belajarnya. Atau karena faktor geografis antara tempat tinggal dengan sekolah.
Sehingga anak tidak dapat bersekolah seperti kebanyakan orang.

Jika hal di atas pada jalur pendidikan formal seperti guru, kepala sekolah tidak proaktif melacak
murid-murid atau pemuda usia sekolah, yang tidak mau bersekolah supaya pendidikan warga betul-
betul bisa dituntaskan. sehingga angka Tuna Aksara yang selama ini tak kunjung habis. Dapat
diselesaikan. Kalau tidak tentu saja seperti masa-masa lalu dan sekarang ini.

Kesimpulan
1.Bahwa kantong kemiskinan warga tuna aksara di kawasan marjinal ini, diperlukan proses
pembelajarannya bagi mereka yang karena sesuatu dan lain hal tidak tuntas belajarnya sehingga
perlu diberikan pertolongan;

2.bahwa penyebab kemiskinan itu sampai terjadi, karena nasib yang membelenggu dalam kehidupan
mereka;

3.Bahwa kegagalan pendidikan formal dalam merangkul mereka untuk proses belajar selama usia
sekolah, sehingga angka Tuna Aksara tak kunjung habis.
Melek Aksara Menjadi Berdaya (Pendidikan Keaksaraan) - Menarik sekali apa yang disampaikan Dr.
Wartanto, Direktur Pembinaan dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan Nasional
(Radar, 24/12/2013), bahwa upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia terus dilakukan oleh
pemerintah dengan melalui berbagai program agar masyarakat terbebas dari buta aksara dan dapat
meningkatkan kemampuan mengenai aksara dan pengetahuan dasar. Memang tak dapat kita
pungkiri kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pegunungan dann lautan di samping
merupakan berkah juga menjadi tantangan dan persoalan tersendiri dalam penyebaran dan
pemerataan sarana pendidikan.

Hal ini hanyalah salah satu yang menjadi faktor masih adanya warga masyarakat yang menyandang
buta aksara di Negara kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik bahwa pada tahun 2013
penduduk yang berusia 15-59 tahun buta aksara masih cukup tinggi terutama di daerah Papua
sebanyak 35,98%, adapun di Jawa Tengah sendiri masih terdapat 4,85% penduduk buta aksara.
Upaya pemerintah yang terus menerus dengan melalui berbagai program memberikan hasil yang
signifikan. Seperti pada tahun 2005-2009 jumlah penyandang tuna aksara turun secara signifikan
sampai 50% dengan adanya Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara Intensif (GNPBAI),
sebuah program yang dilakukan untuk mempercepat peningkatan angka melek aksara yang
dilakukan secara intensif. Pemerintah berusaha keras memberantas buta aksara karena menyadari
sepenuhnya bahwa melek aksara adalah jantung pembelajaran sepanjang hayat, hal ini terdapat
dalam Deklarasi Dunia tentang pendidikan untuk semua pada kerangka kerja Dakkar 2003-2012.

Pendidikan Keaksaraan di Indonesia

Pendidikan keaksaraan di Indonesia dapat dijadikan sebagai salah satu program yang bertujuan
untuk meningkatkan human development index Indonesia yang cenderung rendah. Hal ini karena di
Indonesia masih terdapat permasalahan yang berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan
penduduk. Indikatornya dapat dilihat dari tingginya jumlah tuna aksara di Indonesia. Oleh karena itu,
peningkatan melek aksara sangat diperlukan untuk meningkatkan index pembangunan SDM
Indonesia.

Pendidikan keaksaraan yang digalakkan pemerintah adalah pendidikan keaksaraan fungsional yang
terdiri dari dua program yakni keaksaraan dasar dan keaksaraan usaha mandiri. Dengan mengusung
lima kompetensi dasar berbicara, mendengarkan, membaca, menulis, dan berhitung diharapkan
penduduk buta aksara dapat berdaya, mampu meningkatkan taraf hidupnya dan dapat survive
secara layak di tengah persaingan hidup yang semakin ketat. Hal ini selaras dengan apa yang
diajarkan oleh agama Islam, sebagaimana terdapat pada wahyu yang pertama kali turun yakni “Iqra
bismi Rabbika alladzi khalaq” yang kurang lebih artinya bacalah dengan nama Tuhanmu yang
mencipta.

Advertiser
Baca: Kewajiban Belajar Mengajar dalam Perspektif al-Quran Surat al-'Alaq ayat 1-5

Menurut Quraish Shihab bahwa ayat ini mengandung makna bacalah wahyu ilahi yang telah kamu
terima dan baca juga alam dan masyarakatmu, bacalah agar engkau membekali dirimu dengan
kekuatan pengetahuan. Bacalah semua itu dengan satu syarat engkau lakukan dengan atau demi
nama Tuhan yang selalu memelihara dan membimbingmu dan yang mencipta semua makhluk kapan
dan dimana pun. Pendapat ini dapat dipahami bahwa membaca yang diperintahkan oleh Allah
adalah membaca ayat-ayat qauliyah (firman Tuhan) dan ayat-ayat kauniyah (alam semesta)
lingkungan sekitar kita. Lebih jauh Syekh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi al-Azhar
Mesir dalam bukunya “Al-Qur’an fi Syarh Al-Qur’an” mengatakan bahwa dengan kalimat Iqra, al-
Qur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tetapi membaca adalah lambing dari segala
apa yang dilakukan manusia baik aktif maupun pasif.

Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan Bacalah! Demi Tuhanmu,
bergeraklah demi Tuhanmu, dan bekerjalah demi Tuhanmu. Demikian juga jika anda berhenti
bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, hendaklah hal tersebut didasarkan pada “bismi
Rabbika”, sehingga pada akhirnya ayat tersebut berarti “jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu
dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah”.

Dari pendapat di atas maka program pendidikan keaksaraan merupakan upaya strategis bagi
seseorang agar tetap eksis. Dengan mengenal aksara maka ia mampu membaca, memahami
lingkungan di sekitarnya dan dapat mengakses segala sesuatu yang dibutuhkannya. Maka hal yang
dikedepankan dalam pendidikan keaksaraan adalah kebutuhan warga belajar dan potensi lokal
dimana warga belajar itu tinggal.

Maka tidak berlebihan jika dengan melek aksara seorang warga belajar dapat berdaya, karena tidak
hanya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang ia kuasai namun ia juga dapat belajar
berbagai keterampilan yang dapat dijadikan modal kerja atau berwirausaha. Dengan ini maka tidak
mustahil mata rantai kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang masih melilit bangsa kita
tercinta sedikit demi sedikit sakit dapat terputus.

Baca: Potret Pendidikan: Hentikan Tes Calistung di SD

Mari kita jadikan melek aksara sebagai pintu pengetahuan dan kehidupan. Sukses untuk warga
belajar dan tutor Keaksaraan Fungsional.
Judul: KEAKSARAAN FUNGSIONAL DALAM MEMBERANTAS BUTA AKSARA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional telah dipaparkan secara gamblang tentang
keseluruhan mengenai pendidikan. Salah satu yang paling pokok di dalamnya adalah bahwa setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.[1] Hal inilah
yang menjadi dasar acuan kita dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, dalam ranah pendidikan
tidak ada yang mesti dikesampingkan orang miskin atau orang kaya semua berhak mendapatkan
pendidikan.

Pendidikan keaksaraan merupakan salah satu pendidikan nonformal, ini sesuai dengan peraturan
Pemerintah R.I bahwa program pendidikan nonformal meliputi, pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja serta pendidikan kesetaraan.
[2]1

Masalah pendidikan orang tua dan pemberantasan buta aksara merupakan masalah dunia. Seluruh
negara di dunia dan lembaga-lembaga internasional dan berbagai lembaga pendidikan di berbagai
masyarakat, kini sedang memperhatikan masalah tersebut, dengan langkah awal mempelajari
permasalahannya maupun bebagai usaha mengatasinya. Karena itu kemudian banyak negara baik
secara individual maupun kelompok di berbagai kalangan masyarakatnya, berusaha sekeras mungkin
untuk menyelesaikan persoalan tersebut.[3]

Pendidikan keaksaraan merupakan salah satu perioritas nasional dengan target menurunkan jumlah
orang dewasa buta huruf sebesar 50% pada tahun 2009. Tujuan utama pendidikan Keaksaraan
Fungsional adalah membelajarkan warga belajar agar dapat memanfaatkan kemampuan dasar baca,
tulis, hitung dan kemampuan fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari.[4]

Pada ranah pendidikan, masyarakat dari kalangan apapun, baik kalangan terendah sampai ke tingkat
yang tinggi berhak memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan demikian, pendidikan dalam arti
luas memang dapat dikatakan sebagai usaha makro, membangun masyarakat baik mengenai
perekonomian, kemasyarakatan, kesehatan, dan kejiwaan di samping juga membangun
kebudayaannya. Pendidikan yang memiliki arti tersebut berarti menyentuh manusia secara umum,
tanpa terikat oleh umur dan pekerjaanya. Oleh karena itu, tentu saja terdapat pemikiran tentang
pendidikan orang tua dan pemberantasan tuna aksara di kalangan mereka.

Telah diakui bersama bahwa meratanya tuna aksara di kalangan orang tua yang dianggap sebagai
kelompok masyarakat yang sangat berperan di dalam masyarakat, jelas hal itu akan mempengaruhi
pendapatan nasional dan kemajuan ekonomi. Hal itu benar-benar telah dipahami oleh orang-orang
yang bertanggung jawab mengenai pendidikan ekonomi. Mereka berpendapat bahwa modal
manusia yang bependidikan itu, lebih tinggi nilainya dari pada modal-modal lainnya. Terbukti
beberapa negara yang memperhatikan pendidikan orang-orang dewasa, ternyata dampak mereka
sangat besar dalam pengembangan ekonomi. Sebaliknya, sangat jelas perbedaannya dengan orang-
orang yang telah kehilangan kesempatan belajar, pada umumnya penghasilan mereka lebih rendah
dibandingkan dengan penghasilan orang-orang yang telah menempuh pendidikan.

Pada masa ini, pendidikan dituntut dan bertanggung jawab untuk membina masyarakat. Kita rasanya
tidak dapat memanfaatkan sesuatu tanpa dengan bantuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
siapapun yang menerima pendapat tersebut, konsekuensinya bahwa dalam hidup ini yang
terpenting bagi setiap orang adalah mencari ilmu pengetahuan atau menjadi orang yang
berpendidikan. Sebab tanpa ilmu pengetahuan, seseorang tidak akan mempu menggunakan sarana-
sarana kehidupan yang merupakan hasil ilmu pengetahuan itu dengan sebaik-baiknya. Kemajuan
apapun bagi Negara atau masyarakat, tentu akan memberikan dampak terhadap kemajuan
pendidikan dan pengajaran pada masyarakat.

Memang dilematis dan cukup sulit pada zaman sekarang ini, berbagai bidang kehidupan, baik
industri, perdagangan, pertanian dan lain sebagainya senantiasa banyak menggunakan peralatan
moderen. Dan kita mengetahui bersama, bahwa untuk menggunakan berbagai peralatan tersebut
ternyata harus membutuhkan berbagai kemampuan ilmu pengetahuan, baik teori maupun praktek.
Lantas bagaimana mungkin orang yang menyandang tuna aksara dapat mendambakan hidup yang
moderen seperti sekarang ini.

Di sisi lain, penyandang buta aksara khusunya di Sulawesi Selatan di tahun 2010 kurang lebih
sebanyak 688.561 dari jumlah penduduk 5.618.744 dan di antaranya terdapat 519.203 penduduk
usia 46 s/d 61 tahun ke atas.[5] Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya tindakan-tindakan
perubahan agar angka yang cukup menyesakkan dada itu menjadi berkurang dan dapat
ditanggulangi.

Dewasa ini pendidikan diartikan sebagai proses belajar seumur hidup dalam situasi informal,
nonformal, dan formal. Belajar tidak hanya berlangsung semata-mata di dalam kelas, tetapi juga di
luar kelas/ sekolah, di rumah, di masyarakat, di organisasi-organisasi, di tempat-tempat ibadah, di
tempat-tempat bekerja, di taman-taman bacaan, dan sebagainya. Para pelajarnya bukan hanya
anak-anak tetapi orang dewasa dalam masyarakat.[6]

Pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan bagi siapa saja yang menyandang buta aksara, baik
anak-anak maupun orang tua atau lansia sekalipun. Hal ini mengacu pada Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat”.[7]

Pendidikan keaksaraan bukan hanya tanggung jawab suatu lembaga tertentu atau departemen
tertentu saja, akan tetapi tanggung jawab tersebut merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, maka seluruh lembaga, departemen, kelompok-kelompok sosial, perniagaan, dan
seluruh anggota masyarakat harus bertanggung jawab untuk selalu berperan serta dalam
menghadapi masalah pendidikan dan pemberantasan buta aksara.

Dari berbagai pihak yang memiliki peran dalam pemberantasan buta aksara, banyak di antara
mereka yang berhasil dan tidak sedikit pula yang gagal dalam memberantas buta aksara. Peran serta
dan partisipasi masyarakat penyandang tuna aksara sangat dibutuhkan jika tidak, maka hal ini tentu
akan menimbulkan kegagalan.

Begitu juga dengan Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten
Wajo tentu akan mengharapkan peran serta masyarakat dalam mengentaskan buta aksara sebagai
salah satu penanggung jawab pendidikan keaksaraan. Terbukti dengan adanya lembaga masyarakat
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ibu-ibu PKK, serta berbagai kelompok-kelompok
masyarakat lainnya yang tergabung dalam Keaksaraan Fungsional demi mewujudkan melek aksara.

Dengan adanya berbagai pihak, pemerintah, masyarakat maupun pihak yang ingin berpartisipasi
dalam pemberantasan buta aksara ini, sudah mampu secara perlahan mengentaskan buta aksara.
Namun yang menjadi persoalan pokok adalah masih banyak warga belajar yang ikut serta dalam
program Keaksaraan Fungsional.

Yang harus diperhatikan dalam persoalan ini adalah pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan
yang sangat sensitif, sikap yang terkesan menggurui cenderung ditanggapi negatif. Mereka
cenderung menghindar, menolak dan merasa tersinggung apabila diperlakukan seperti anak-anak.
Mereka akan menolak situasi belajar yang bertentangan dengan konsep dirinya sebagai individu
yang mandiri.

Karena sebagian besar peserta didiknya adalah orang dewasa yang cenderung menganggap dirinya
mampu untuk membuat keputusan dan mampu menghadapi segala resiko atas keputusannya, serta
mengatur hidupnya lebih mandiri. Harga diri sangat penting bagi orang dewasa.[8] Terlebih lagi
ketika menghadapi masyarakat suku bugis di pedesaan seperti Desa Tonralipue. Mereka memiliki
prinsip hidup yang kuat dan akan sulit untuk dirubah.

Misalnya, “maloppo mua tedongnge na de’mato nassikola” yang berarti “toh juga kerbau mampu
tumbuh dewasa walaupun ia tidak sekolah” dari pepatah inilah kadang seseorang tejebak sehingga
mereka tidak lagi memiliki semangat untuk sekolah. Mereka tidak tahu bahwa kaedah sederhana
bahwa binatang itu tidak memiliki akal, hanya memiliki insting yang kemudian digunakan untuk
mencari makan dan segala hal yang menyangkut dengan dirinya. Sedangkan manusia memiliki akal,
budi pekerti dan hasrat untuk melakukan sesuatu. Manusia perlu bekerja dan melakukan segala
sesuatu yang menyangkut kehidupannya. Manusia adalah makhluk sosial, mereka saling tolong
menolong dan sudah tentu manusia membutuhkan akal serta ilmu yang dimilikinya untuk mendapat
kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu kita berikan pengarahan kepada orang-orang yang
memiliki perinsip tesebut agar mereka mampu meningkatkan kecakapan hidup mereka menjadi
lebih baik.

Selain dari prinsip di atas, berbagai macam alasan yang diungkapkan masyarakat mengenai tentang
pendidikan keaksaraan. Alasan ketidak mampuan melihat huruf, faktor umur yang sudah lansia,
faktor tidak adanya waktu luang untuk belajar karena sibuk pada pekerjaan dan berbagai faktor
lainnya. Itulah sebabnya mengapa pendidikan keaksaraan begitu sulit dibandingkan dengan
pendidikan lainnya.

Walau persoalan-persoalan dalam masyarakat sangat kental, pendidikan keaksaraan tetap


dilaksanakan dan direncanakan dengan perancanaan yang matang seperti menerapkan metode-
metode pembelajaran keaksaraan dan media-media yang digunakan. Dengan harapan, masyarakat
menjadi semangat dan termotivasi ikut serta dalam program keaksaraan untuk mengembangkan
sumber daya manusianya kearah yang lebih baik.

Berdasarkan permasalahan pemberantasan buta aksara di atas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji hal tersebut dalam sebuah penelitian yang berjudul “Keaksaraan Fungsional dalam
Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis bermaksud merumuskan beberapa masalah yang
akan menjadi titik fokus dalam penelitian ini, yakni:

1. Bagaimana Media Pembelajaran Pengentasan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan


Tanasitolo Kabupaten Wajo?

2. Bagaimana Metode Keaksaraan Fungsional dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa


Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo?

C. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis mengemukakan hipotesa sebagai jawaban
sementara yang masih membutuhkan pembuktian melalui data emperis yang diperoleh dari
penelitian lapangan dan beberapa literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam
skripsi ini sebagai berikut:

1. Diduga bahwa media yang digunakan untuk mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo adalah media-media sederhana yang terdapat di sekitar
lingkungan belajar agar warga belajar lebih mampu menyesuaikan diri dengan media yang
digunakan oleh para Tutor.

2. Diduga bahwa Metode yang digunakan Keaksaraan Fungsional dalam Mengentaskan Buta
Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo adalah metode ceramah dan
metode demonstrasi.

D. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian

Guna memahami secara utuh uraian penulis dalam penelitian yang berjudul “Keaksaraan Fungsional
dalam Memberantas Buta Aksara Di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo”, maka
penulis terlebih dahulu menjelaskan beberapa hal yang dianggap memiliki peranan penting dalam
membangun teori konsep tersebut, yakni:

1. Keaksaraan Fungsional adalah suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan
belajar dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir,
mengamati, mendengar, dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan
sekitar warga belajar.[9]

2. Aksara adalah huruf-huruf yang dibaca atau ditulis.[10]

3. Fungsional adalah kegunaannya, kewajibannya, sesuai dengan fungsi.[11]

4. Buta dapat diartikan sebagai tidak dapat melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk dan warna
dengan cara melihat. Sedangkan aksara adalah Huruf.[12] Jadi, dapat disimpulkan bahwa buta
aksara adalah orang yang tidak mampu untuk membaca dan menulis kalimat sederhana dalam
bahasa apapun.[13]

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan mengamati media-media yang digunakan Keaksaraan Fungsional dalam
memberantas buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo.

b. Untuk mengetahui metode-metode yang digunakan Tutor Keaksaraan Fungsional dalam


mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo.

2. Kegunaan Penelitian

a. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat menjadi sebuah referensi untuk lebih memusatkan
perhatian terhadap pemberantasan buta aksara sebagai salah satu pendidikan Keaksaraan
Fungsional.

b. Bagi Tutor/ guru, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memantapkan pembelajaran
Keaksaraan Fungsional terhadap penyandang buta aksara agar program pemberantasan buta aksara
akan cepat terselesaikan.

c. Bagi warga belajar penyandang buta aksara, akan mendapatkan pembelajaran Keaksaraan
Fungsional dengan kualitas pendidikan yang baik.

d. Bagi peneliti, dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selannjutnya.

F. Garis Besar Isis Skripsi

Untu mengetahui secara rinci dan sistematis tentang isi pokok skripsi ini, penulis menyusunnya
menjadi lima bab. Setiap bab dibagi menjadi sub bab, maksudnya adalah untuk memudahkan dan
mengarahkan pembahasan serta mempertajam wacana dalam masalah pembahasan tersebut. Garis
besar isi skripsi disusun secara sistematis sebagai berikut:

Bab I, merupakan pendahuluan yang meliputi (a) Latar belakang masalah. (b) Rumusan masalah yang
berisi permasalahan pokok dan sub pokok masalah. (c) Hipotesis, jawaban sementara dari rumusan
masalah dan selanjutnya disesuaikan dengan hasil penelitian. (d) Definisi operasional dan ruang
lingkup penelitian yang menguraikan pengertian secara operasional tentang judul skripsi yang
dibahas. (e) Tujuan dan kegunaan penelitian yang menguraikan tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian baik secara ilmiah maupun secara praktis. (f) Garis besar isi skripsi yang berisi kerangka
pokok pembahasan yang ada dalam skripsi.

Bab II, berisi kajian pustaka yang meliputi kajian teoritis mengenai konsep keaksaraan fungsional,
perencanaan dan pengaplikasian pendidikan keaksaraan fungsional, buta asara, pendidikan orang
dewasa (Andragogi) sebagai objek keaksaraan fungsional, dan media pendidikan.

Bab III, membahas metodologi penelitian yang meliputi populasi dan sampel, jenis penelitian ,
metode pendekatan, metode pengumpulan data, serta teknik analisis data.

Bab IV, menguraikan tentang hasil penelitian yang meliputi gambaran umum lokasi penelitian, media
yang digunakan keaksaraan fungsional dalam mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo serta metode yang digunakan keaksaraan fungsional dalam
mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo.

Bab V, merupakan bab penutup. Dalam bab ini, penulis mengemukakan beberapa kesimpulan
dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dan saran-saran, kemudian dilanjutkan dengan daftar
pustaka.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Keaksaraan Fungsional

Dalam undang-undang Republik Indonesia telah menjelaskan bahwa pendidikan keaksaraan


merupakan pendidikan bagi warga masyarakat yang buta aksara latin agar mereka dapat membaca,
menulis, berhitung, berbahasa Indonesia dan berpengetahuan dasar, yang memberikan peluang
untuk aktualisasi potensi diri.[14]

Istilah Keaksaraan Fungsional telah lama dikenal, yakni sejak pertengahan tahun 1960-an, dan
merupakan konsep yang sangat berpengaruh dalam membangun pendidikan melalui program
keaksaraan. Pesona ide tersebut tersebar luas. Banyak pihak yang sangat peduli terhadap ide
tersebut, antara lain pendidikan orang dewasa, para ahli pembangunan ekonomi, pekerja
pembangunan desa, lembaga-lembaga penyebar inovasi, para perencana dan pelaksana pada
lembaga-lembaga internasional. Ide dibalik itu sepertinya adalah bahwa Keaksaraan Fungsional
dapat mempunyai fungsi atau peran membangkitkan pembangunan sosial ekonomi suatu
masyarakat.[15]12
Untuk memahami konsep Keaksaraan Fungsional, kita perlu kembali melihat ketika ia dilahirkan,
yaitu pada tanggal 8-18 september 1965 dalam suatu konferensi materi pendidikan sedunia tentang
pemberantasan buta aksara (eradication of illiteracy) di Teheran, Iran. Selanjutnya, UNESCO (1966)
meringkas dan memperjelas konsep tersebut dengan elemen-elemen sebagai berikut:[16]

a. Program keaksaraan hendaknya tergabung dan terhubung dengan perencanaan ekonomi dan
sosial.

b. Pemberantasan buta aksara hendaknya dimulai dari penduduk yang memiliki motivasi tinggi
dan yang bermanfaat bagi pengembangan daerahnya.

c. Program keaksaraan hendaknya dikaitkan dengan prioritas ekonomi, dan dilaksanakan di


daerah yang menjadi prioritas pengembangan ekonomi.

d. Program keaksaraan seharusnya tidak hanya mengajar membaca dan menulis, tetapi juga
pengetahuan profesional dan teknis sehingga menimbulkan partisipasi pembelajar orang dewasa
secara penuh dalam kehidupan ekonomi dan civiv atau kewarganegaraan.

e. Program keaksaraan merupakan bagian integral dari perencanaan pendidikan menyeluruh dan
sistem pendidikan yang berlaku.

f. Kebutuhan pendanaan fungsional hendaknya berasal dari berbagai sumber pemerintahan dan
swasta maupun berasal dari investasi ekonomi.

g. Program keaksaraan hendaknya membantu mencapai tujuan ekonomi, seperti: meningkatkan


produktifitas tenaga kerja, produksi bahan makanan, industrialisasi, mobilisasi sosial dan profesional,
kriteria tenaga kerja baru, dan beragamnya aktifitas ekonomi.

Ciri-ciri tersebut mempunyai implikasi penting tehadap beberapa hal, yakni:[17]

a. Terhadap pengorganisasian program keaksaraan.

b. Implikasi terhadap perencanaan menyeluruh, yaitu bahwa perencanaan Keaksaraan Fungsional


di satu sisi harus terpadu dengan perencanaan pendidikan, dan dilain pihak dengan pengembangan
sosial ekonomi.

c. Implikasi terhadap metodologi mengajar; di sini timbul pertanyaan tentang keterpaduan


karena keaksaraan harus diajarkan bersamaan dengan pengetahuan profesional dan teknikal.

d. Implikasi terhadap isi program, yakni ketika faktor ekonomi harus ditekankan pada
pengembangan sosial dan partisipasi sosial, dan tidak boleh dipisahkan.

Untuk lebih memperjelas persoalan ini maka perlu dijelaskan pengertian Keaksaraan Fungsional.
Keaksaraan Fungsional adalah suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan
belajar dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir,
mengamati, mendengar dan berbicara pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan warga belajar.

Keaksaraan Fungsional bertujuan membantu warga belajar dalam menguasai dan menggunakan
bahan CALISTUNG sendiri untuk membantu mengembangkan kemampuan dan keterampilan
membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia yang dilengkapi dengan keterampilan
fungsional sesuai dengan kehidupan sehari-hari.[18] Untuk mewujudkan upaya tersebut, Tutor tidak
hanya membantu warga belajar membaca, menulis dan berhitung saja, juga diberikan pembelajaran
mengenai keterampilan-keterampilan yang mendukung kecakapan hidupnya.

Untuk menyelenggarakan program Keaksaraan Fungsional dibutuhkan delapan prinsip utama


pemahaman penyelenggaraan program ini (Depdiknas, 2006), yaitu:[19]

a. Konteks lokal, program dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu pada konteks
sosial lokal dan kebutuhan khusus pada setiap warga belajar dan masyarakat sekitarnya.

b. Desain lokal, merupakan rancangan kegiatan belajar yang dirancang oleh Tutor dan warga
belajar berdasarkan minat, kebutuhan, masalah, kenyataan dan potensi/ sumber-sumber setempat.

c. Proses partisipatif adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan program


Keaksaraan Fungsional harus dilakukan berdasarkan strategi partisipatif.

d. Fungsionalisasi hasil belajar. Hasil belajar diharapkan warga belajar dapat memfungsikan
keaksaraannya untuk menganalisis dan memecahkan masalah keaksaraan yang dihadapi warga
belajar.

e. Kesadaran. Proses pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat meningkatkan kesadaran dan


kepedulian warga belajar terhadap keadaan dan permasalahan lingkungan untuk melakukan
aktivitas kehidupannya.

f. Fleksibilitas, program Keaksaraan Fungsional harus fleksibel, agar memungkinkan untuk


dimodifikasi sehingga responsif terhadap minat dan kebutuhan belajar serta kondisi lingkungan
warga belajar yang berubah dari waktu ke waktu.

g. Keanekaragaman, hendaknya bervariasi dilihat dari segi materi, metode, maupun strategi
pembelajaran sehingga mampu memenuhi minat dan kebutuhan belajar warga belajar disetiap
daerah yang berbeda-beda.

h. Kesesuaian hubungan belajar, dimulai dari hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan
oleh warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat dan kebutuhan belajar menjadi dasar
dalam menjalin hubungan yang harmonis dan dinamis antara Tutor dan warga belajar.

B. Perencanaan dan Pengaplikasian Pendidikan Keaksaraan Fungsional

Perencanaan pemberantasan buta aksara hendaknya mempunyai sistem yang jelas yakni dimulai
dengan mempersiapkan berbagai data kependudukan yang benar-benar mampu menjelaskan
seberapa besar dan bagaimana gambaran yang ada mengenai penduduk buta aksara. Dapat pula
melakukan berbagai studi, penelitian-penelitian maupun percobaan-percobaan yang baik, untuk
mengklasifikasikan beberapa kategori tuna aksara tersebut. Sebab penentuan data-data
kependudukan inilah yang nantinya akan menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai pendidikan
dan pemberantasan buta aksra dikalangan mereka. Namun semua itu belumlah cukup karena harus
diikuti dengan suatu perencanaan yang baik untuk menentukan berbagai sarana serta
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut baik mengenai bangunan-bangunan sekolah, tenaga-tenaga
pengajar/ guru/ Tutor, buku-buku pelajaran, fasilitas-fasilitas maupun sarana dan prasarana lainnya
untuk pusat bimbingan, di dalam kelas maupun untuk pelaksanaannya.[20]

Perencanaan pendidikan orang tua dan pemberantasan tuna aksara itu sebaiknya berkaitan erat
dengan perencanaan lengkap pendidikan dan pemerintah, sehingga pemerintah dapat memberikan
berbagai prioritas kepada masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Untuk melatih para guru
mengenai sistem pendidikan orang tua juga memerlukan suatu perhatian besar dalam rangka
merumuskan perencanaan pendidikan tersebut. Di antara beberapa masalah yang sangat sulit yaitu
usaha untuk menciptakan kalangan orang-orang yang buta aksara itu, untuk menerima pendidikan
tersebut. Begitu pula, sangat sulit untuk merekrut berbagai kekuatan sosial yang ada secara sukarela
untuk ikut menangani masalah pemberantasan buta aksara atau pendidikan orang tua.

Dalam pembelajaran pemberantasan buta aksara, maka diperlukan langkah-langkah perencanaan


program pendidikan Keaksaraan Fungsional sebagai berikut:[21]

a. Membentuk struktur dan memperkuat unsur-unsur kelompok

Hal pertama yang perlu dilakukan oleh Tutor dan penyelenggara adalah membentuk kelompok
belajar. Kelompok belajar bukanlah kumpulan orang, melainkan harus terjalin suatu interaksi di
antara mereka sehingga terbentuk sebuah kesatuan kelompok belajar.

Hal paling sederhana yang perlu dibentuk adalah memperjelas tujuan-tujuan kelompok belajar,
membentuk struktur (kepengurusan) kelompok, merumuskan norma/ tujuan kelompok, memberi
nama kelompok, menetapkan simbol atau lambang kelompok, dan menyusun program kerja
kelompok

b. Melakukan pengukuran awal kemampuan keaksaraan dan kebutuhan belajar

Mengidentifikasi kemampuan awal warga belajar merupakan kegiatan mengumpulkan informasi


tentang kemampuan awal dalam hal membaca, menulis, berhitung dan pengetahuan dasar yang
mereka miliki. Hasil pengukuran kemampuan awal itu sebaiknya direkam/ dicatat dengan baik dan
digunakan sebagai titik awal dalam mengembangkan program belajar. Bersama dengan itu, sempat
dilakukan identifikasi kebutuhan belajar keterampilan. Kegiatan ini dilaksanakan untuk mengetahui
kebutuhan belajar keterampilan yang diinginkan dan memiliki oleh warga belajar, maka Tutor
bersama warga belajar menentukan prioritas kebutuhan belajar yang akan dilaksanakan setelah
melakukan identifikasi.

c. Mengidentifikasi tema-tema lokal dan sumber daya belajar setempat

Seiring dengan pendekatan kemampuan awal dan kebutuhan belajar atau masalah sosial di sekitar
warga belajar, penting pula Tutor melakukan identifikasi terutama yang berguna untuk mendukung
penyelenggraan pembelajaran. Termasuk juga sumber daya lokal yang perlu diidentifikasi adalah
perorangan, badan usaha, toko, pasar dan tempat-tempat yang dijadikan sebagai sumber belajar.

d. Melakukan kontrak belajar

Agar dalam pelaksanaan kegiatan belajar mangajar dapat berjalan dengan lancar maka, Tutor
dengan warga belajar membuat kesepakatan kapan kegiatan belajar mengajar itu dilaksankan.
e. Menyusun program belajar

Berdasarkan kontrak belajar dan berbagai data dasar yang dimiliki selanjutnya Tutor membuat
rencana pembelajaran. Rencana pembelajaran ini dapat juga disebut sebagai agenda kegiatan
pembelajaran. Langkah- langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

1) Buat topik-topik pembelajaran berdasarkan minat dan kebutuhan warga belajar.

2) Buat jadwal pertemuan untuk mengembangkan proses KBM.

3) Tutor bersama warga belajar mencari bahan bacaan yang berkaitan dengan topik tersebut.

f. Memilih pendekatan pembelajaran

Pendekatan pembelajaran merupakan prosedur/ langkah atau cara yang berisikan serangkaian
komponen pembelajaran keaksaraan (prinsip, kompetensi, tema, materi pokok, langkah-langkah,
metode, sumber belajar, media, monitoring evaluasi, tindak lanjut) yang digunakan untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Contoh pendekatan pembelajaran berbasis pada bahasa ibu, pembelajaran
berbasis pada seni jiwa, pembelajaran terpadu seni musik jalanan, peer learning, peer konseling,
dsb.

g. Memilih metode pembelajaran

Berdasarkan kemampuan awal, jenis kebutuhan belajar, dan sumberdaya belajar yang terdata, maka
Tutor dapat memilih dan menyusun metode pembelajaran yang sesuai. Terdapat beberapa metode
pembelajran yang dapat dipilih oleh Tutor dalam menfasilitasi pembelajaran keaksaraan. Metode
pembelajaran itu misalnya dengan menggunakan metode abjad, metode SAS (Structure- Analytic-
Shytetic), metode PPB (Pendekatan Pengalaman Bahasa), metode kata kunci (key words), metode
abjad/ huruf, metode asosiasi, dan metode miqro.

h. Menyiapkan sumber belajar

Sumber belajar merupakan segala benda/ barang, aktifitas, kejadian/ peristiwa, lingkungan, manusia
dan kondisi yang menghasilkan sumber informasi yang diperlukan dalam proses pembelajaran
keaksaraan. Misal: buku, koran, bercocok tanam, lingkungan sekitar (pasar, sawah, rumah, ternak,
dsb), Tutor, internet, dsb.

i. Menyiapkan media dan alat pembelajaran

Media dan alat-alat pembelajaran yang disiapkan sebaiknya yang bersifat lokal, murah serta
fungsional dalam mendukung ketercapaian tujuan belajar. Bahan dan media belajar pendidikan
keaksaraan dapat juga memanfaatkan bahan-bahan cetak yang ada di masayarakat, seperti buku-
buku, koran, majalah, resep makanan, etiket obat, kartu tanda penduduk (KTP), dan sebagainya.
Bahkan uang kertas maupun uang logam dapat dimanfaatkan sebagai media dan bahan belajar.

j. Menyiapkan instrumen administrasi, monitoring dan evaluasi.

Sebagaimana lazimnya program pembelajaran, maka tata usaha yang perlu dilakukan Tutor adalah
membuat pencatatan pada berbagai buku administrasi yang sesuai. Berbagai buku yang perlu dibuat
oleh Tutor misalnya buku induk warga belajar, buku persiapan belajar, dan lain-lain. Berdasarkan
pencatatan yang baik itu maka, kebutuhan data untuk kepentingan monitoring dan evaluasi program
pendidikan keaksaraan yang diselenggarakan akan lebih mudah.

k. Menentukan alokasi waktu

Alokasi waktu tergambar dalam format rencana pembelajaran adalah jumlah pertemuan dan lama
waktu setiap pertemuan, misalnya 2 kali pertemuan @ 120 menit.

l. Melaksanakan kegiatan pembelajaran

Sebenarnya tidak ada prosedur baku yang harus dilakukan oleh Tutor dalam melakukan kesepakatan
pembelajaran. Bagaimana kesepakatan pembelajaran yang baik sangat tergantung pada kreativitas
dan kemampuan para Tutor itu sendiri.

C. Buta Aksara

Buta aksara terdiri dari dua kata yakni buta dan aksara. Buta diartikan sebagai diartikan sebagai tidak
dapat melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk dan warna dengan cara melihat.[22] Sedangkan
aksara adalah sistem tanda grafis atau sistem tulisan yang digunakan manusia untuk berkomunikasi.
Dengan sistem tulisan ini, manusia dapat menyimpan kekayaan akal budinya serta mengingat
berbagai peristiwa. Karena daya ingat manusia terbatas, dapat dikatakan bahwa tulisan memberikan
sumbangan yang sangat berarti dalam pencatatan sejarah dan berbagai macam peristiwa dalam
kehidupan manusia. Tanda-tanda grafis yang digunakan untuk pencatatan tersebut adalah huruf.[23]

Aksara dapat terdiri dari huruf-huruf, angka dan aksara khusus. Aksara yang meliputi huruf-huruf
adalah:[24]

ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ

Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz

Aksara yang meliputi angka-angka ialah:0123456789

Dan aksara khusus yakni +:-*/()=,.’[]<>;{}

UNESCO mendefinisikan buta aksara

“ability to identify, understand, interpret, create, communicate and compute, using printed and
written materials associated with varying contexts. Literacy involves a continuum of learning in
enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to
participate fully in their community and wider society”.[25]
Maksudnya adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat,
berkomunikasi dan menghitung, menggunakan material tercetak dan tertulis terkait dengan konteks
yang bervariasi. Literasi melibatkan kontinum belajar dalam memungkinkan individu untuk mencapai
tujuan mereka, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, dan untuk berpartisipasi
sepenuhnya dalam komunitas mereka dan masyarakat yang lebih luas.

Kemampuan baca tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh
seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung
bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh
dalam masyarakat yang lebih luas.

Banyak analis kebijakan menganggap angka melek aksara adalah tolak ukur penting dalam
mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada
pemikiran yang berdalih bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih murah dari pada
melatih orang yang buta aksara, dan umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status
sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para
analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca tulis juga berarti peningkatan peluang kerja
dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih tinggi.

D. Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi) sebagai Objek Keaksaraan Fungsional

a. Pengertian Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi)

Perlu diketahui bersama bahwa pemberantasan buta aksara adalah hal yang tidak mudah, apalagi
kebanyakan dari mereka adalah orang dewasa mulai dari umur 40 sampai 60 tahun ke atas.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penyandang buta aksara khusunya di Sulawesi
Selatan di tahun 2010 kurang lebih sebanyak 688.561 dari jumlah penduduk 5.618.744 Dan
diantaranya terdapat 519.203 penduduk usia 46 s/d 61 tahun ke atas Oleh karena itu, maka
pendidikan keaksaraan biasaa juga disebut dengan pendidikan orang dewasa. Hal inilah yang
menjadi pokok persoalan dalam pemberantasan buta aksara.

Andragogi berasal dari kata andros atau aner yang berarti orang dewasa. Kemudian agogos berarti
memimpin. Andragogi berarti memimpin orang dewasa. Jadi adragogi dapat didefinisikan sebagai
seni dan ilmu mengajar orang dewasa.[26]

Untuk memahami secara mendasar tentang konsep teori dan prinsip andragogi, pada bagian ini akan
diuraikan secara tuntas tentang beberapa definisi andragogi dari berbagai ahli:

“Dugan (1995) mendefinisikan andragogi lebih kepada asal katanya, andragogi berasal dari Bahasa
Yunani. Andra berarti manusia dewasa, bukan anak-anak, menurut istilah, andragogi berarti ilmu
yang mempelajari bagaimana orang tua belajar. Definisi tersebut sejalan dengan apa yang diartikan
Sudjana dalam Bukunya Pendidikan Non-Formal Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori
Pendukung Azas (2005), disebutkan bahwa, andragogi berasal dari bahasa Yunani ”andra dan
agogos”. Andra berarti orang dewasa dan Agogos berarti memimpin atau membimbing, sehingga
andragogi dapat diartikan ilmu tentang cara membimbing orang dewasa dalam proses belajar. Atau
sering diartikan sebagai seni dan ilmu yang membantu orang dewasa untuk belajar (the art and
science of helping adult learn). Definisi tersebut sejalan dengan pemikiran Knowles dalam Srinivasan
(1977) menyatakan bahwa: andragogi as the art and science to helping adult a learner”.[27]

Selain itu, UNESCO (Townsed Coles, 1977 dalam Lanundi, 1982) mendefinisikan pendidikan orang
dewasa sebagai berikut:

“Keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, apa pun isi, tingkatan, metodenya, baik
formal atau tidak, yang melanjutkan maupun menggantikan pendidikan semula di sekolah, akademi
dan universitas serta latihan kerja, yang membuat orang dianggap dewasa oleh masyarakat
mengembangkan kemampuannya, memperkaya pengetahuannya, dan mengakibatkan perubahan
pada sikap dan perilakuny dalam perspektif rangkap perkembangan pribadi secara utuh dan
patisipasi dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang seimbang dan bebas”.[28]

Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan orang dewasa adalah suatu
pendidikan yang berusaha untuk membantu orang dewasa dalam mendapatkan ilmu pengetahuan
demi untuk kecakapan hidupnya di masa sekarang dan masa yang akan datang.

b. Konsep belajar keaksaraan bagi orang dewasa

Belajar merupakan usaha memperoleh kepandaian atau ilmu seperti membaca dan berlatih.[29]
Dalam perspektif yang berbeda, belajar adalah suatu tahapan perubahan seluruh tingkah laku
individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif.[30] Oleh karena itu, definisi belajar dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan usaha sadar untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang keilmuan maupun untuk
memperbaiki tingkah laku menjadi lebih baik.

Perlu diketahui bahwa penekanan dalam proses pembelajaran semakin lama semakin diarahkan
pada pembelajar, pemberdayaan meraka, serta manfaat bagi mereka, sehingga belajar dikatakan
sebagai usaha untuk membangun pemahaman yang mengarah pada tindakan.[31]

Pendidikan orang dewasa tentu sangat berbeda dengan pendidikan anak-anak atau remaja. Hal itu
terjadi karena orang dewasa lebih cenderung mempertimbangkan segala hal yang akan dihadapinya,
mengingat mereka memiliki tanggung jawab dan kepentingan di setiap kegiatan. Oleh karena itu,
Malcolm Knowles mengemukakan beberapa asumsi model pembelajaran orang dewasa yang
berbeda dengan pembelajaran anak/ remaja, yaitu: kebutuhan untuk mengetahui, konsep diri,
peranan pengelaman, kesiapan belajar, orientasi belajarnya, dan motivasi.[32]

Penjelasan asumsi-asumsi tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:

a) Kebutuhan untuk mengetahui.

Orang dewasa perlu mengetahui mengapa mereka harus mempelajari sesuatu. Oleh karena itu,
tugas utama fasilotator adalah membantu warga belajar menjadi sadar akan perlunya mengetahui
atau paling tidak fasilotator dapat memaparkan kasus yang bersifat intelektual untuk menunjukkan
nilai dari pembelajaran yang akan dijalaninya guna meningkatkan efektifitas kinerjanya atau kualitas
hidupnya.

Sarana yang cukup ampuh untuk menyadarkan akan perlunya mengetahui adalah pengalaman
sesungguhnya, dimana peserta belajar dapat mengemukakan kesenjangan antara kemampuan yang
dimiliki saat ini dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki/ diinginkan.

b) Konsep diri peserta belajar (pembelajar)

Secara umum orang dewasa memiliki konsep diri bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab atas
keputusan yang dibuat sendiri atas kehidupannya. Jika mereka telah mempunyai konsep diri
tersebut maka:

1) Mereka akan mengembangkan kebutuhan psikologi yang mendalam untuk diperhatikan orang
lain;

2) Mereka akan diperlakukan oleh orang lain sebagai individu yang mampu bersikap mengatur
orang lain;

3) Mereka akan menolak dan menentang situasi ketika ada orang lain yang memaksakan
kehendaknya.

Kosep diri orang dewasa kadang-kadang tidak selamanya konsisten dalam proses kegiatan
pembelajaran, misalnya begitu mereka mengikuti sesuatu kegiatan pembelajaran, kadang-kadang
mereka kembali lagi ke kondisi seperti pada pengalaman masa lalu ketika mereka sekolah, yaitu
mengembangkan konsep ketergantungan. Hal tersebut menjadi tugas fasilitator untuk
mengembalikan atau mengembangkan kembali konsep diri warga belajar sebagai orang dewasa
sesungguhnya.

c) Peranan pengalaman peserta belajar

Orang dewasa memasuki kegiatan pembelajaran membawa pengalaman-pengalaman yang berbeda


setiap individu. Hal tersebut memberikan implikasi bahwa mereka adalah heterogen dari segi latar
belakang, gaya belajar, motivasi, kebutuhan, minat, sasaran, dan lain-lain. Untuk itu penekanan
dalam pembelajaran orang dewasa adalah strategi pembelajaran individu yang mengutamakan
teknik menggali pengalaman para peserta belajar melalui diskusi kasus, simulasi, studi banding, dan
lain-lain.

d) Kesiapan belajar

Penentuan waktu belajar (kapan, berapa lama) hendaknya disesuaikan dengan tahap perkembangan
orang dewasa. Hal yang lebih penting adalah perlu ada rangsangan terjadinya kesiapan belajar
melalui pengenalan terhadap model-model pembelajaran orang dewasa.

e) Orientasi belajar

Orientasi belajar untuk orang dewasa adalah terpusat pada masalah kehidupan/ tugas yang
dihadapi. Orang dewasa akan menjadi termotivasi menggunakan energi untuk mempelajari sesuau
asalkan mereka merasa bahwa sesuatu yang dipelajari tersebut akan menolong dirinya dalam
melaksanakan tugas atau menghadapi dan menyelesaikan masalah yang mereka temui dalam
kehidupannya. Mereka akan mempelajari pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai baru
dengan cara yang paling efektif, yaitu jika hal-hal baru tersebut ditampilkan dalam konteks
penerapannya pada situasi kehidupan yang sebenarnya.

f) Motivasi

Motivasi orang dewasa untuk belajar, antara lain tanggapan terhadap beberapa dorongan eksternal
(posisi kerja yang lebih baik, kenali pangkar, kenaikan gaji, dan lain-lain). Namun dorongan yang
paling kuat adalah dorongan internal (keinginan untuk meningkatkan kepuasan kerja, kebanggaan
diri, mutu hidup, dan lain-lain). Semua orang dewasa normal akan termotivasi untuk tetap tumbuh
dan berkembang, tetapi kadang-kadang terhambat oleh halangan seperti kosep diri negatif, tidak
terjangkaunya peluang atau sumber daya, batasan waktu, dan lain-lain.

c. Faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran orang dewasa

Secara garis besar, faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran orang dewasa, yakni
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah segala faktor yang bersumber dari dalam
diri warga belajar, seperti faktor fisiologis yang mencakup pendengaran, penglihatan, kondisi
fisiologis, serta faktor psikologis yang mencakup kebutuhan, kecerdasan, motivasi, perhatian,
berfikir, serta ingat dan lupa. Sedangkan eksternal adalah segala faktor yang bersumber dari luar diri
warga belajar, seperti faktor lingkungan belajar yang mencakup lingkungan alam, fisik, dan sosial
serta faktor sistem penyajian mencakup kurikulum, bahan ajar, dan metode penyajian.[33]

Uraian lebih lanjut mengenai setiap faktor yang mempengaruhi interaksi belajar dikemukakan dalam
uraian berikut:

1) Faktor Fisiologis (Pendengaran, penglihatan dan kondisi fisiologis)

Segala kegiatan belajar mengajar akan sangat dipengaruhi oleh pendengar, penglihatan dan konsisi
fisiologis warga belajar. Faktor umur yang sudah dewasa/ tua akan membuat kondisi ketiga hal
tersebut tidak lagi berfungsi secara maksimal. Selain itu, kesegaran jasmani, keletihan, kurang gizi
kurang tidur, atau sakit yang diderita bisa saja terjadi terhadap setiap warga belajar.

Oleh karena itu, pada jam pertemuan siang atau sore hari pada saat warga belajar telah letih fisik
dan mental, kita harus menggunakan strategi belajar membelajarkan yang sesuai, yaitu yang
berkadar CBSA (Cara Belajar Warga belajar Aktif), seperti tugas perseorangan, diskusi kelompok
kecil, main peran, permainan belajar (game), atau strategi belajar membelajarkan yang ada unsur
menghibur seperti pertunjukan film, video, slide.[34]

2) Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang mempengaruhi proses interaksi belajar warga belajar pada garis besarnya
dikelompokkan atas aspek kecerdasan/ bakat, motivasi, perhatian, berfikir, ingatan/ lupa dan
sebagainya.
3) Faktor Lingkungan Belajar

Lingkungan belajar merupakan faktor yang juga sama pentingnya dengan faktor-faktor yang telah
disebutkan sebelumnya. Faktor lingkungan akan sangat berpengaruh tehadap proses pembelajaran.
Lingkungan yang tidak baik seperti kondisi dan letak gedung yang buruk seperti dekat pasar, kondisi
guru, dan alat belajar yang berkualitas rendah.

4) Sistem Penyajian

Agar proses pembelajaran bisa mencapai tujuan yang diinginkan, maka perlu kita memperhatikan
sistem penyajian. Seperti kurikulum, bahan ajar maupun metode penyajian. Oleh karena itu, patut
bagi setiap guru memperhatikan hal tersebut dan menggunakan strategi dengan penyajian yang baik
pada saat proses belajar mengajar berlangsung.

E. Media Pendidikan

Di dalam pendidikan kita mengenal berbagai istilah peragaan atau keperagaan. Ada yang lebih
senang menggunakan istilah peragaan. Tetapi ada pula yang menggunakan istilah komunikasi
peragaan. Dewasa ini telah mulai dipopulerkan istilah baku yakni media pendidikan.

Ciri-ciri umum media pendidikan adalah sebagai berikut:[35]

a. Media pendidikan identik artinya dengan pengertian keperagaan yang berasal dari kata “raga”,
artinya suatu benda yang diraba, dilihat, didengar, dan yang dapat dinikmati melalui pancaindra kita.

b. Tekanan utama terletak pada benda atau hal-hal yang bisa dilihat dan didengar.

c. Media pendidikan digunakan dalam rangka hubungan komunikasi dalam pengajaran, antara
guru dan peserta didik.

d. Media pendidikan adalah semacam alat bantu belajar mengajar, baik diluar kelas.

e. Berdasarkan c dan d, maka pada dasarnya media pendidikan merupakan suatu perantara
(medium, media) dan digunakan dalam rangka pendidikan.

f. Media pendidikan mengendung aspek; sebagai alat dan sebagai teknik, yang sangat erat
pertaliannya dengan metode mengajar.

Jadi, yang dimaksud dengan media pendidikan adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan
dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan peserta didik dalam
proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.[36]
Memilih media yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran tidaklah mudah. Selain
memerlukan analisis mendalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek juga dibutuhkan
prinsip-prinsip tertentu agar memilih media bisa lebih tepat.

Ada tiga prinsip utama yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi guru dalam memilih media
pembelajaran/ pendidikan, yaitu: (1) prinsip efektifitas dan efesiensi, (2) prinsip relevansi, dan (3)
prinsip produktifitas.[37] Berikut ini diuraikan mengapa prinsip ini penting dan bagaimana memilih
media pembelajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.

a. Prinsip efektifitas dan efisiensi

Dalam konsep pembelajaran, efektifitas adalah keberhasilan pembelajaran yang diukur tingkat
ketercapaian tujuan setelah pembelajaran selesai dilaksanakan. Jika semua tujuan pembelajaran
telah tercapai maka pembelajaran tersebut efektif. Sedangkan efisiensi adalah tujuan pembelajaran
dengan menggunkan biaya, waktu, sumber daya lain seminimal mungkin.

b. Prinsip relevansi

Relevansi ini ada dua macam, yaitu relevansi ke dalam dan relevansi ke luar. Relevansi ke dalam
adalah pemilihan media pembelajaran yang mempertimbangkan kesesuaian dan singkronisasi antara
tujuan, isi, strategi, dan evaluasi materi pembelajaran. Selain itu, relevansi ke dalam ini juga
mempertimbangkan pesan, guru, warga belajar, dan media yang digunakan sesuai dengan
kebutuhan guru, kebutuhan warga belajar, serta sesuai dengan materi yang disampaikan.

Sedangakan relevansi ke luar adalah pemilihan media yang disesuaikan dengan kondisi
perkembangan masyarakat. media yang dipilih disesuaikan dengan apa yang biasaa digunakan
masyarakat secara luas. Oleh karena itu, media pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan
problem yang dihadapi peserta didik artinya media yang digunakan sesuai dengan konteks
kehidupan peserta didik yang sehari-hari dilihat, didengar, dan dialami.

c. Prinsip produktifitas

Produktifitas dapat dipahami sebagai pencapaian tujuan pembelajaran secara optimal dengan
menggunakan sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.

Dalam memilih media pembelajaran, guru dituntut untuk bisa menganalisis apakah media yang akan
digunakan bisa meningkatkan pencapaian tujuan pembelajaran atau tidak. Jika media yang
digunakan bisa menghasilkan dan mencapai target serta tujuan pembelajaran lebih bagus, maka
media tersebut dikategorikan sebagai media produktif.

Dalam memilih media perlu menganalisis kriteria-kriteria media pembelajaran. Oleh karena itu, para
pakar media pembelajaran telah merumuskan kriteria-kriteria tersebut dan kriteria pemilihan media
ini didasarkan pada aspek kesesuaian, mutu media serta keterampilan guru dalam menggunakan
media.

Berikut ini penjelasan mengenai kriteria-kriteria pemilihan media yang perlu diperhatikan, yakni:[38]

a. Kesesuaian dengan tujuan


Pembelajaran dilaksanakan dengan mengacu pada tujuan yang telah dirumuskan. Maka pemilihan
media hendaknya menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan tersebut. Media
dipilih berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan yang secara umum mengacu kepada
salah satu atau gabungan dari dua atau tiga rana kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tujuan yang
dirumuskan ini adalah kriteria yang paling pokok, sedangkan tujuan pembelajaran yang lain
merupakan kelengkapan dari keriteria utama ini.

b. Ketepatgunaan

Tepat guna dalam konteks media pembelajaran diartikan pemilihan media telah didasarkan pada
kegunaan. Jika media itu dirasa belum tepat dan belum berguna maka tidak perlu dipilih dan
digunakan dalam pembelajaran.

c. Keadaan peserta didik

Kriteria pemilihan media yang baik adalah disesuaikan dengan keadaan peserta didik, baik keadaan
psikologis, filosofis, maupun sosiologis warga belajar. Sebab media yang tidak sesuai dengan
keadaan peserta didik tidak dapat membantu banyak dalam memahami materi pembelajaran.

Media yang efektif adalah media yang penggunaanya tidak tergantung dari perbedaan individual
peserta didik. Misalnya, jika peserta didik tergolong tipe audtif-visual maka media yang kita gunakan
seharusnya juga media berbasis audio-visual. Begitu juga dengan keadaan peserta didik yang
kinestetik, maka media yang digunakan juga berbasis kinestetik.

Oleh karena itu, agar media sesuai dengan bekal awal maka sesuaikanlah media itu dengan apa yang
telah dipahami peserta didik. Agar media yang digunakan sesuai perkembangan peserta didik maka
pilihlah media yang sesuai dengan jenjang perkembagan psikologis mereka.

d. Ketersediaan

Walaupun suatu media dinilai sangat tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran, media tersebut
tidak dapat digunakan jika tidak tersedia. Menurut Wilkonson, media merupakan alat mengajar dan
belajar, peralatan tersebut harus tersedia ketika dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan peserta
didik dan guru.

Jangan sampai seorang guru menentukan dan memilih media yang tidak tersedia di sekolah. Jika
guru tidak mampu menyiapkan atau membuat/ memproduksi media yang diperlukan maka
hendaknya memilih media yang tersedia saja di sekolah tersebut untuk menjelaskan materi
pembelajaran.

e. Biaya kecil

Faktor biaya seringkali menjadi pertimbangan utama dalam memilih media pembelajaran. Seorang
guru tidak diperkenankan memilih media yang biayanya mahal namun hasil pembelajaran tidak
memuaskan. Oleh karena itu, pilihlah media yang murah dan sederhana dengan hasil yang bagus.
Kalaupun harus memilih media yang mahal, maka hasil yang dicapai harus lebih baik dan bagus.

f. Keterampilan guru
Aspek keterampilan guru ini seringkali menjadi kendala tersendiri dalam proses pemilihan media.
Banyak guru yang memilih media sederhana dengan alasan tidak bisa mengoperasionalkan media
yang lebih canggih atau modern. Padahal dari sisi hasil media yang lebih canggih dan modern bisa
menghasilkan pembelajaran optimal.

Apapun media yang dipilih, guru harus mampu menggunakannya dalam proses pembelajaran. Nilai
dan manfaat media amat ditentukan oleh guru yang menggunakannya. Jangan sampai guru memilih
media yang dia sendiri tidak mampu mengoperasionalkan secara baik.

Media yang lebih bagus, misalnya proyektor transparansi (OHP), proyektor slide dan film, komputer,
dan peralatan canggih lainnya tidak akan mempunyai arti apa-apa jika guru belum dapat
menggunkaannya dalam proses pembelajaran sebagai upaya mempertinggi mutu dan hasil belajar.
[39]

g. Mutu teknis

Kualitas media jelas mempengaruhi tingkat ketersampaian pesan atau materi pembelajaran kepada
peserta didik. Untuk itu, media yang dipilih harus memiliki mutu teknis yang bagus.

Misalnya, media visual yang dipilih, baik gambar maupun fotografi, harus memenuhi persyaratan
teknis tertentu. Visual pada slide harus jelas dan informasi atau pesan yang ditonjolkan dan ingin
disampaikan tidak boleh terganggu oleh elemen lain yang berupa latar belakang.

Selain itu, ada empat hal yang perlu juga kita ketahui dalam menggunakan dan memilih media
pembelajaran yakni produksi, peserta didik, isi, dan guru.[40]

a. Pertimbangan produksi

1) Availability (tersedianya bahan); media yang akan efektif dalam mencapai tujuan, bila bahan
dan berada pada sistem yang tepat.

2) Cost (biaya); harga yang tinggi tidak menjamin penyusunan menjadi tepat, demikian sebaliknya
tanpa biaya juga tidak akan berhasil, artinya tujuan belum tentu dapat dicapai.

3) Pysical cindotion (kondisi fisik); misalnya dengan warna yang buram, akan mengganggu
kelancaran belajar mengajar.

4) Accessibility to student (mudah dicapai); maksudnya, pembelian bahan/ peralatan hendaknya


yang dwifungsi, yaitu guru dapat menggunkaannya, peserta didik juga semakin mudah mencerna
pelajaran.

5) Emotional impact (dampak emosional); pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan


media harus mempunyai nilai estetika sehingga akan lebih menarik dan dapat menumbuhkan
motivasi belajar.
b. Pertimbangan peserta didik

1) Student characteristics (watak warga belajar); guru harus mampu memahami tingkat
kematangan latar belakang peserta didik. Dengan demikian, agar dapat menentukan pilihan-pilihan
media yang sesuai dengan karakter peserta didik.

2) Student relevance (kesesuaian dengan peserta didik); bahan yang relevan akan memberi nilai
positif dalam mencapai tujuan belajar, pengarunya akan meningkatkan pengalaman peserta didik,
pengembangan pola pikir, analisis pelajaran, sehingga dapat menceritakan kembali pelajaran yang
telah diajarkan dengan baik.

3) Student invovement (keterlibatan warga belajar); bahan yang disajikan akan memberikan
kemampuan peserta didik dan keterlibatan peserta didik secara fisik dan mental (peran aktif warga
belajar) untuk meningkatkan potensi belajar.

c. Pertimbangan isi

1) Penggunaan media harus sesuai dengan isi kurikulum, tujuan harus jelas, perlu direncanakan
dengan baik.

2) Banyak bahan yang sudah diprogram (software) siap pakai/ bahan jadi, tapi kemungkinan
bahan jadi tersebut belum tentu cocok dan mungkin sudah ketinggalan zaman hingga tidak sesuai
lagi.

3) Perlu penyajian yang baik dan benar.

d. Petimbangan guru

1) Guru harus mempertimbangkan dari segi kemanfaatan media yang akan digunakan sebagai
bahan pertimbangan.

2) Media yang digunakan mampu memcahkan permasalahan, jangan malah menimbulkan


masalah baru. Maka perlu observasi dan review bahan-bahan tersebut sebelum disajikan.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel


a. Populasi

Dalam mengadakan penelitian, diharapkan dapat memberikan informasi atau daya yang dibutuhkan
dan dapat pula dilakukan dengan sebagian objek saja. Penelitian yang dilakukan pada objek yang
diharapkan dapat memberikan informasi atau data yang dibutuhkan dinamakan populasi.

Untuk lebih jelasnya pengetian populasi, berikut dikutip dari pendapat Suharsini Arikunto, yang
mengatakan bahwa “populasi adalah keseluruhan objek penelitian apabila ingin meneliti semua
elemen yang ada dalam wilayah penelitian ini, maka penelitian merupakan penelitian populasi”.[41]

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka populasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah jumlah keseluruhan orang yang terlibat dalam Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue
Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo yakni para Tutor sebanyak 4 orang dan warga belajar
sebanyak 39 orang. Jadi total keseluruhannya adalah 43 orang.

43

b. Sampel

Sampel adalah sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.[42]
Dalam suatu penelitian lapangan kerapkali orang tidak bisa menyelidiki secara keseluruhan atau
individu objek yang ada. Karena dengan beberapa alasan, misalnya: keterbatasan waktu, biaya, atau
dana dan tenaga. Adapun sampel yang dikemukakan oleh Sutrisno Hadi mengatakan bahwa sampel
adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi, jumlah sampel paling sedikit atau
sifat yang sama, baik kodrat maupun sifat pengkhususan.[43]

Pemilihan sampel didasarkan kepada jumlah yang sudah ditentukan, sebagai wakil penelitian untuk
menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran yang akan dijadikan sumber data
sebenarnya, dengan memperhatikan sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang
sebenar-benar mewakili populasi.

Dari pengertian di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian dari
populasi yang dijadikan sebagai sumber data. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini
adalah 8 warga belajar keaksaraan dan 4 Tutor, maka jumlah keseluruhan adalah 12 orang.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu studi yang
betujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa atau kejadian yang sedang berlangsung
pada saat penelitian tanpa menghiraukan sebelum dan sesudahnya.[44] Data yang diperoleh
kemudian diolah, ditafsirkan, dan disimpulkan.
C. Metode Pendekatan

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik
mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia.[45]

D. Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data.[46] Dalam pengumpulan data-data yang diperlukan dalam penelitian, maka
diperlukan beberapa instrumen penelitian sebagai berikut:

a. Obeservasi

Kegiatan obeservasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku,


obyek-obyek, yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan. Pada tahap awal observasi dilakukan
secara umum, peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin. Tahap selanjutnya
peneliti harus melakukan obsevasi yang terfokus, yaitu mulai menyempitkan data atau informasi
yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus
menerus terjadi. Jika hal itu sudah ditemukan, maka peneliti dapat menemukan tema-tema yang
akan diteliti.[47]

b. Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau
pendapatnya mengenai suatu hal.[48] Oleh karena itu, dengan menggunakan metode wawancara,
peneliti mengadakan tanya jawab kepada responden atau sampel yang diteliti untuk memperoleh
informasi yang behubungan dalam penelitian ini.

c. Kajian Dokumen

Kajian dokumen merupakan sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi
dengan cara membaca surat-surat, pengumuman, ikhtisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan
tertentu dan bahan-bahan tulisan lainnya.[49]

E. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul melalui prosedur pengumpulan data, maka langkah-langkah yang dilakukan
oleh peneliti adalah menganalisa data. Teknik yang dilakukan sangat tergantung pada pokok
persoalan dan jenis data yang berhasil dikumpulkan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data yang bersifat deskriptif
kualitatif, ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan akan berdasarkan pada faktor atau
fenomena yang ditemukan di lokasi penelitian.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Tonralipue berada dalam wilayah Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. Desa ini berada
tepat di sebelah Utara Desa Mannagae dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Anabbanua.
Jumlah penduduknya berkisar 365 orang dari 112 Kepala Rumah Tangga. Mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai petani dan sebahagian lainnya berdagang dan sebahagian lagi berprofesi sebagai
pengrajin atau penenun.

Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo sekarang dipimpin oleh bapak Drs. Abdul Malik sebagai
kepala desa sejak tahun 2008 sampai sekarang.

Pendidikan keaksaraan di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo pada awalnya
diprakarsai oleh Kepala Desa dan pemerintah setempat atas keprihatinan mereka terhadap
masyarakat tuna aksara, terlebih lagi sekitar 70 % diantara penyandang buta aksara itu adalah kaum
lansia yang berkisar 45-70 tahun bahkan beberapa di antaranya sudah berusia 90 tahun.48
Program Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue mulai dilaksanakan pada 03 Juni 2005 sampai
sekarang masih berlangsung. Pada awal pelaksanaanya, tentuk tidak semudah membalikkan talapak
tangan. Karena menyadarkan masyarakat tentang pentingnya belajar keaksaraan menjadi tantangan
tersendiri dalam melaksanakan program Keaksaraan Fungsional. Kondisi masyarakat yang notabene
petani lebih mementingkan untuk menggarap lahan-lahan mereka dibandingkan untuk belajar
keaksaraan. Namun, dengan susah payah dan berbagai penyuluhan yang dilaksanakan pemerintah
setempat akhirnya masyarakat mengerti akan pentingnya belajar keaksaraan.

Pelaksana program keaksaraan awalnya dipercayakan kepada para guru yang ingin berpartisipasi
dalam pemberantasan buta aksara. Namun seiring berjalannya waktu, program Keaksaraan
Fungsional kemudian diambil alih oleh ibu-ibu yang tergabung dalam Pemberdayaan dan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk kemudian dikelolah dengan baik disertai dengan manajemen
yang baik.

Pengurus PKK membentuk kelompok-kelompok belajar dan menempatkan beberapa anggotanya di


setiap kelompok yang dibentuk. Pembentukan kelompok tersebut berdasarkan kondisi rumah-
rumah warga yang beberapa di antara mereka saling berjauhan. Oleh karena itu, pengurus PKK
menunjuk beberapa rumah warga untuk berkumpul dan belajar keaksaraan. Sehingga, setiap
kelompok belajar menempati rumah warga yang telah di tentukan sebelumnya oleh pengurus PKK.

Selain dari lingkungan belajar yang ditetapkan, pengurus PKK juga sesekali meminta rumah warga
agar sesekali diacak untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar keaksaraan. Hal ini dilakukan
agar warga belajar tidak bosan dengan lingkungan belajar yang statis. Selain itu, dengan cara ini
warga dapat menyambung silaturahmi antara sesama warga belajar.Ketua PKK

Adapun struktur anggota Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tahun 2012, sebagai
berikut:

Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tahun 2012

1. Keadaan Warga Belajar

Adapun keadaan warga belajar Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo
Kabupaten Wajo sebanyak 39 warga. Usia rata-rata warga belajar mulai dari 15 s/d 30 tahun
sebanyak 9 orang dan umur 31 s/d 90 tahun sebanyak 30 Orang.
Dengan melihat dan mempertahtikan usia rata-rata warga belajar, dapat disimpulkan 80 % warga
belajar di atas usia 30 tahun. Oleh karena itu, perlu adanya konsep dan perencanaan media
pembelajaran yang baik dan efisien serta metode yang efektif digunakan dalam membelajarkan
warga belajar dan membebaskannya dari buta aksara.

Berikut keadaan warga belajar di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo, Sebagai
berikut:

Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tahun 2012

2. Keadaan Tutor

Keadaan Tutor pemberantasan buta aksara dalam program Keaksaraan Fungsional di Desa
Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo berasal dari anggota PKK yang berjumlah 4 orang
sebagai berikut:

Tabel 2

Keadaan Turor Keaksaraan Fungsional Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo
Tahun 2012No Nama Jenjang Pendidikan Umur Alamat

1 Indo Ake SMA 25 Tahun Dusun Pollappo

2 Kecceng SMA 29 Tahun Dusun Pollappo

3 Hasnawati HS SMA 27 Tahun Dusun Pollappo

4 Suruani SMA 21 Tahun Dusun Pollappo

Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tahun 2012

B. Media yang Digunakan Keaksaraan Fungsional dalam Mengentaskan Buta Aksara Di Desa
Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo

Media merupakan alat peraga yang sangat membantu proses belajar mengajar di setiap
pembelajaran. Baik dalam pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Media membuat
materi ajar lebih menarik dan mudah dimengerti oleh warga belajar, namun hal ini juga bergantung
pada Tutor atau guru yang membawakan materi ajar dengan menggunakan media.

Ketergantungan proses pembelajaran terhadap media tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lain. Keduanya harus bersinergi dalam setiap proses pembelajaran yang berlangsung. Jika tidak,
maka dapat dipastikan bahwa proses pendidikan akan menjadi membosankan dan tidak dapat
memberikan proses yang baik dalam setiap pembelajaran.
Oleh karena itu, dibutuhkan keterampilan penguasaan media dan materi ajar oleh Tutor. Banyak hal
yang mesti diperhatikan dalam pemilihan media, salah satunya memiliki daya tarik bagi warga
belajar agar mereka tertarik dan fokus pada pelajaran yang akan dibawakan.

Menurut Kecceng, dalam memilih media, saya sebagai salah satu Tutor buta aksara selalu
mengkondisikan media yang digunakan dengan warga belajar. Misalnya saya selalu menggunakan
media yang sesuai dengan visi misi materi pembelajaran. Selain itu, saya juga menggunakan media
yang bisa digunakan oleh masyarakat.[50]

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Kecceng di atas, maka hal ini sangat sesuai dengan
perinsip relevansi yang di ungkapkan oleh Dr. HM. Musfiqon, M.Pd, bahwa prinsip relevansi itu ada
dua macam yakni prinsip relevansi ke dalam dan prinsip relevansi keluar. Prinsip relevansi ke dalam
adalah mempertimbangkan antara kesesuaian dan sinkronisasi antara tujuan, isi, strategi dan
evaluasi materi pembelajaran. Sehingga media yang digunakan sesuai dengan kebutuhan guru,
kebutuhan warga belajar serta sesuai dengan materi yang di sampaikan. Dan relevansi keluar adalah
memilih media pembelajaran yang disesuaikan dengan apa yang bisa digunakan dan dimengerti oleh
masyarakat luas. Artinya, media yang digunakan harus sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari
peserta didik.[51]

Adapun macam-macam media yang digunakan dalam proses belajar mengajar buta aksara di desa
Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo:

1. Media ATK

Media ini merupakan media yang paling dominan digunakan dalam setiap proses pembelajaran, baik
para warga belajar pemula maupun yang sudah bisa mengenal huruf. Adapun jenis ATK yang
dimaksud adalah papan tulis, spidol, penghapus dan observasi yang kami lakukan bahwa media ini
dinilai efektif digunakan karena secara teknis Tutor dan para warga belajar bisa lebih berkomunikasi
dengan baik.

Cara menggunakannyapun cukup gampang. Tutor menuliskan beberapa materi ajar di papan tulis
kemudian warga belajar menuliskannya di buku mereka masing-masing kemudian Tutor
menjelaskan dan menyebutkan hurufnya kemudian warga menyimak lalu ikut menyebut hurufnya.

Setelah itu Tutor mencoba menghubungkan media ATK dengan materi yang diajarkan. Tutor
menuliskan huruf-huruf yang terkandung dalam media ATK sebagai contohnya spidol, lalu Tutor
menyebutkan hurufnya satu-satu, warga belajar mengulangi. Setelah itu disebutkan perkata oleh
Tutor, lalu diulangi oleh warga belajar.

Mare, salah satu warga belajar mengatakan bahwa “saya sangat senang ikut belajar keaksaraan
dengan menggunakan media ATK, karena saya senang menulis dan ingin segera pintar menulis agar
saya biasa menulis nama saya di karung gabah supaya karung saya tidak tertukar dengan milik orang
lain”.[52]

2. Poster Abjad dan Flash Card

Poster abjad dan flash card tidak jauh berbeda dari segi materinya. Poster abjad terdiri dari selembar
kertas karton yang berisikan huruf-huruf dan angka-angka. Media ini digunakan untuk mengenalkan
lebih jauh tentang huruf dan angka-angka. Sedangkan flash card terdiri dari lembaran-lembaran yang
berisikan huruf-huruf dan angka-angka. Setiap lembarnya hanya berisikan satu huruf saja. Dalam
menggunakannya, setiap warga belajar di ajak untuk menyebutkan satu kata, kemudian menyusun
flash card sesuai kata yang telah disebutkan sebelumnya.

Hasnawati HS, adalah satu Tutor Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue mengatakan “kami setiap
saat menggunakan kedua media tersebut, namun media flash card yang sering digunakan dalam
proses pembelajaran. Ini disebabkan karena banyaknya warga belajar yang sangat meminati media
ini”.[53]

Secara teknis, media ini dapat digunakan sesuai dengan kreatifitas Tutor, dari observasi terlihat
bahwa Tutor mengarahkan warga belajar untuk mencari bahan ajar dari lingkungan sekitar, seperti
meja, kursi, buku dan lain-lain, kemudian Tutor mengarahkan warga belajar untuk menyusun huruf-
huruf atau angka-angka dari lembaran-lembaran flash card menjadi sebuah kata sesuai dengan
bahan ajar yang sebelumnya dipilih oleh warga belajar. Hj. Sini, salah satu warga belajar
mengemukakan bahwa “saya sangat senang dengan media flash card di bandingkan dengan media
poster abjad. Kalau flash card, saya bisa lebih aktif dan semangat dalam belajar abjad, saya juga
biasa lebih leluasa untuk mencari sebuah kata yang saya inginkan seperti nama saya, nama suami
saya, dan nama-nama benda di rumah saya untuk kemudian saya susun menjadi sebuah kata yang
sesuai dengan benda yang saya maksud. Sedangkan poster abjad, sangat membosankan, karena
Tutor hanya menunjuk huruf dari poster abjad yang tertempel di dinding dan kami
mengucapkannya, terlebih akan sangat didominasi oleh warga lain yang lebih mampu mengenali
huruf dengan cepat ketimbang kami yang lambat”.[54]

3. Media dari bahan-bahan cetak

Media seperti ini seringkali kita temukan di sekitar pemukiman warga belajar, seperti buku-buku,
Koran, majalah, resep makanan, etiket obat, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi
(SIM) dan sebagainya, bahkan uang kertas maupun uang logam dapat dimanfaatkan sebagai media
dan bahan belajar. Menurut Suriani, Tutor Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue mengatakan
bahwa “media ini sangat simple dan sangat mudah ditemui di lingkungan warga belajar. Bahkan di
setiap rumah-rumah warga banyak yang memiliki media-media semacam ini. Disamping itu,
harganyapun terjangkau dan sering dibeli oleh warga belajar”.[55]

Dr. HM. Musfiqon, M.Pd dalam bukunya Pengembangan Media dan Sumber Belajar mengemukakan
bahwa dalam pemilihan media pembelajaran, seorang Tutor tidak diperkenankan memilih media
yang biayanya mahal namun hasil pembelajarannya tidak sebanding dengan biaya yang harus
dikeluarkan untuk mendapatkan media tersebut. Dalam bahasa orang ekonomi akan
dikategorisasikan bangkrut jika kita menggunakan modal dasar tetapi hasilnya sedikit. Oleh karena
itu, pilihlah media yang murah dan sederhana tetapi hasilnya banyak dan bagus. Kalaupun harus
memilih media yang mahal maka hasilnya harus lebih besar dan lebih bagus.[56]

Dalam penggunaan media ini, warga belajar diarahkan oleh Tutor untuk mengeja huruf atau
membaca kata pertaka pada setiap media, kemudian Tutor akan mebenarkan yang salah. Diman
mengatakan “dulu saya benar-benar tidak tahu membaca, menulis dan berhitung tetapi sekarang ini
saya sedikit demi sedikit sudah mampu membaca. Ini karena kami selalu dibimbing dan di ajarkan
membaca oleh Tutor dengan menggunakan Koran, majalah, pembungkus Rinso dan lain-lain
sebagainya. Sehingga saya juga bisa belajar membaca di rumah menggunakan media tersebut.”[57]

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media yang digunakan dalam proses
pembelajaran Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo
meliputi 3 jenis kelompok media, yakni media ATK (Alat Tulis Kantor), media Poster Abjad, dan
Media dari bahan-bahan cetak. Media-media tersebut dapat menunjang pembelajaran dengan baik
dan mempercepat pengentasan buta aksara di Desa Tonralipue. Namun, secara teknis menurut
Ketua PKK ibu Hj. Sudarmi Malik mengatakan “dalam memilih media kita harus kreatif dan
senantiasa melihat keadaan warga belajar agar media yang Tutor gunakan biasa benar-benar secara
efektif menyampaikan bahan ajar dengan sebaik-baiknya kepada warga belajar”.[58]

C. Metode Keaksaraan Fungsional dalam Mengentaskan Buta Aksara Di Desa Tonralipue


Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo

Metode sangat memegang peranan penting dalam pengajaran. Apaupun pendekatan dan model
yang digunakan dalam mengajar, maka harus difasilitasi oleh metode mengajar. Menurut Nana
Sudjana metode mengajar ialah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan
peserta didik/ warga belajar pada saat berlangsungnya sebuah pengajaran.[59]

Dalam membelajarkan warga belajar, diperluakan suatu usaha yang keras demi mendapatkan hasil
yang lebih baik. Tentu tujuan utamanya adalah memberantas masyarakat yang tuna aksara. oleh
karena itu, di butuhkan keterampilan dan pertimbangan yang matang dalam memilih metode
pembelajaran yang baik pada setiap proses pembelajaran keaksaraan. Menurut kecceng, Tutor
Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue, mengatakatakan bahwa: “Setidaknya ada lima hal yang
selalu kami pertimbangkan dalam memilih metode mengajar buta aksara di Desa Tonralipue”[60],
yakni:

1. Tujuan Pembelajaran

Pertimbangan ini merupakan syarat mutlak dalam pemilihan metode yang akan digunakan. karena
dengan menentukan tujuan pembelajaran maka kita sebagai Tutor mampu memilih metode dengan
baik dan efisien pada setiap pembelajaran. Kecceng menambahkan bahwa “setiap kami telah
menentukan tujuan pembelajaran, maka kami akan menggunakan metode yang paling cocok pada
proses pembelajaran tersebut. Contohnya, kita akan mengajarkan kepada warga tentang
pengenalan huruf abjad (A-Z) dengan baik dan benar. Dalam hal ini metode yang kami gunakan
adalah metode ceramah. Dimana diterangkan nama masing-masing huruf abjad. Kemudian metode
demonstrasi, warga dapat mendemonstrasikan untuk menyebutkan abjad satu persatu lalu
menuliskannya di papan tulis. Selanjutnya metode peberian tugas, dan bagaimana mereka dapat
menuliskannya di buku tulis mereka masing-masing”[61]

2. Pengetahuan awal warga belajar


Metode yang digunakan tergantung pada pengetehuan awal para warga belajar. Dalam data yang
ada, dari jumlah keseluruhan warga belajar sebanyak 39 orang, hanya 5 orang yang pernah ikut
Sekolah Dasar dan 2 diantaranya sudah berusia kurang lebih 60 tahun. Tentu ingatan mereka
tentang pelajaran sebelumnya sudah memudar. Sebagaiamana dikatakan Hj. Nafi, warga belajar
Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue, mengatakan bahwa “saya pernah sekolah di SD namun
sebelum saya tamat, saya ikut merantau bersama kedua orang tua saya untuk bekerja di Sumatra.
Pada waktu itu saya baru kelas 3 SD dan sekarang saya sudah tidak ingat sedikitpun mengenai
pelajaran saya dulu”.[62]

Oleh karena itu, kita harus memulai kembali dari awal dan menggunakan metode ceramah untuk
pengenalan abjad, metode demonstrasi untuk melatih cara menulis abjad, dan menggunakan
metode peberian tugas untuk melatih dan membiasakan menulis abjad.

3. Alokasi waktu dan sarana penunjang

Waktu merupakan hal yang harus diperhatikan agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Panjang
waktu yang digunakan Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue sebanyak dua jam setiap kali
pertemuan dan 2 kali pertemuan dalam setiap minggunya. Menurut ibu Hj. Sudarmi Malik, Ketua
PKK menjelaskan bahwa “kami menyusun jadwal pembelajaran Keaksaraan Fungsional dengan
sangat rumit, hal ini terjadi karena jadwal pembelajaran sulit disesuaikan dengan jadwal para warga
yang mayoritas petani. Kami telah menggunakan berbagai cara untuk mengatasi hal tersebut namun
hasilnya nihil, dan tetap saja warga lebih mementingkan pekerjaannya menggarap sawah
dibandingkan dengan belajar CALISTUNG (Membaca, Menulis dan Berhitung).[63]

Oleh karena data yang ada menunjukkan bahwa persentase dari keseluruhan warga tuna aksara
sekitar 70% orang dewasa maka hal ini menjadi persoalan yang mesti mendapatkan perhatian serius
dari pelaksana Keaksaraan Fungsional. Setidaknya ada 3 hal pokok yang dapat kita simak dari
Malcolm Knowles dalam Hamzah B Uno bahwa pendidikan orang dewasa tidak bisa terlepas dari
Pertama, Kebutuhan untuk mengetahui mengapa harus belajar sesuatu?. Kedua, konsep diri warga
belajar bahwa meraka akan menolak dan menentang situasi jika ada orang yang memaksakan
kehendaknya. Dan Ketiga, Orientasi belajar orang dewasa terpusat pada masalah kehidupan/ tugas
yang dihadapi. Orang dewasa akan termotivasi untuk belajar asalkan meraka merasa bahwa sesuatu
yang dipelajari tersebut akan menolong dirinya dalam melaksanakan tugas, menghadapi dan
menyelesaikan masalah yang mereka temui dalam kehidupannya.[64]

Oleh sebab itu, pengelolah dan pelaksana Keaksaraan Fungsional senantiasa menggunakan
pendekatan-pendekatan persuasif dalam menyampaikan dan memotivasi warga bahwa pendidikan
itu penting dari segalanya. Dan dengan memiliki kemampuan CALITUNG maka kehidupan warga
akan lebih bermakna dan bermutu serta akan menunjang dan memudahkan segala aktifitasnya
sesuai dengan konsep kehidupan kesehariannya.

4. Jumlah warga

Dari 39 warga belajar, Tutor kemudian membaginya 4 kelompok dan setiap kelompok
beranggotakan maksimal 10 orang dan masing-masing kelompok ditangani oleh 1 Tutor. Oleh
karena itu, untuk mengefektifkan proses pembelajaran, Tutor tetap menggunakan metode ceramah
sebagai langkah awal untuk memperkenalkan jenis-jenis huruf abjad kepada warga belajar
keaksaraan Desa Tonralipue.

Berikut nama-nama kelompok beserta Tutor yang menanganinya, sebagai berikut:

Sumber: Data Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tahun 2012

5. Pengalaman dan kewibawaan pengajar.

Kewibawaan merupakan kelengkapan mutlak yang bersifat abstrak karena Tutor akan berhadapan
dan mengelola warga belajar dengan latar belakang yang berbeda beda. Kecceng mengatakan
bahwa “dalam membelajarkan warga belajar, kami selalu hati-hati dan mengedepankan kearifan
kami apalagi dalam memilih metode pembelajaran, pengalaman dan kewibawaan Tutor sangat
berpengaruh dalam kondisi pembelajaran yang dihadapi oleh Tutor”.[65]

Berdasarkan kemampuan awal, jenis kebutuhan belajar, dan sumber daya belajar yang terdata,
maka Tutor dapat memilih dan menyusun metode pembelajaran yang sesuai. Terdapat beberapa
metode pembelajaran yang dapat dipilih oleh Tutor dalam memfasilitasi pembelajaran keaksaraan.
Metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran adalah:

1. Metode Abjad/ Huruf

Metode abjad merupakan metode pembelajaran yang menggunakan media “Poster Abjad” dan
“Kamus Abjad”. Poster abjad digunakan sebagai media pembelajaran untuk membantu warga
belajar mengerti bagaimana cara mengingat huruf, ejaan, dan kata-kata baru. Poster abjad juga bisa
memudahkan warga bealajar untuk membuat kamus abjad. “Kamus Abjad” adalah media
pembelajaran untuk membantu warga belajar dalam menyusun kata-kata yang dipelajari melalui
poster abjad, metode PPB, SAS dan kegiatan.

Indo Ake, salah satu Tutor yang sangat aktif dalam membelajarkan warga belajar keaksaraan,
mengatakan bahwa “pada langkah awal pembelajaran pengenalan huruf kepada warga belajar
pemula, metode abjadlah yang paling efektif”.[66] Observasi di lapangan menguatkan statement
Indo Ake. Terlihat warga belajar yang baru saja ikut serta dalam pembelajaran keaksaraan begitu
antusias untuk belajar, peserta juga dengan penuh semangat untuk mengenal dan menuliskan huruf-
huruf yang diajarkan oleh para Tutor.

2. Metode Suku Kata

Metode ini diawali dengan pengenalan dan pemahaman terhadap suku-suku kata tertentu yang
mudah dibentuk, ditulis, dilafalkan dan yang paling banyak digunakan dalam pengucapan.
Selanjutnya suku kata tersebut diurai menjadi huruf, dan huruf-huruf tersebut menjadi suku kata
baru.

Contoh:Suku Kata Makna

KU-KU Bagian ujung jari tangan dan kaki

PI-PI Bagian dari wajah


SA-SA Bumbu Masakan

RO-TI Makanan Ringan

DE-DE Sebutan untuk adik

RU-MAH Tempat tinggal

Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional (Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan


Informal), Buku Panduan Cepat Tuntas Buta Aksara 2010.

Metode ini digunakan agar warga belajar dapat dengan cepat mengenali dan mengetahui huruf-
huruf yang terkandung dalam sebuah kata. Seperti halnya contoh di atas, setiap kata diambil dari
sesuatu yang berhubungan dekat dengan warga belajar lalu kemudian Tutor menjelaskan dan
selanjutnya warga belajar mencari benda atau organ tubuh mereka untuk di urai menjadi huruf-
huruf.

3. Metode SAS (Strukturan Analitik Sintetik)

Metode SAS (Struktur Analisis Sintesis) adalah suatu cara atau teknik membelajarkan masyarakat
buta aksara dengan membaca dan menulis yang menekankan pada struktur kalimat (SPO) terlebih
dahulu dengan mengurai menjadi bagian-bagian kata, suku kata dan huruf serta merangkai kembali
menjadi suku kata, kata, dan kalimat.

Metode SAS menekankan bahwa warga belajar membaca dan menulis akan bermanfaat serta
menarik minat warga belajar, jika menggunakan informasi yang dekat dengan diri mereka.
Ketertarikan semacam itu akan bertambah jika apa yang dipelajarinya memang diperlukan oleh
warga belajar dan fungsional bagi kehidupannya. Adapun tahapan yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut:

a. Tahap 1 : (Struktur)

Tutor menyusun struktur kalimat lengkap yang terdiri dari subyek-predikat-obyek dan keterangan
(SPOK).

b. Tahap 2 : (Analisis)

Memberikan pembelajaran tentang bagaimana memahami suatu arti kalimat, kemudian diuraikan
menjadi kata, suku kata, dengan huruf (analisis). Disamping itu, warga belajar menghafal dan
melafalkan huruf-huruf yang membangun kata dan kalimat tersebut.

c. Tahap 3 : (Sintesis)

Warga belajar diminta untuk menyusun huruf-huruf menjadi suku kata, kata dan kalimat semula
(sintesis). Tahap ini bertujuan untuk memberikan penguatan terhadap hafalan dan struktur dari hasil
proses pada tahap selanjutnya.

Sebagai contoh:
SAYA MENANAM PADI DI SAWAH

SAYA – MENANAM – PADI – DI – SAWAH

SA-YA ME - NA – NAM PA - DI DI SA – WAH

S A Y A M E N A N A M P A D I D I S A W A H

SA-YA ME - NA – NAM PA - DI DI SA – WAH

SAYA – MENANAM – PADI – DI – SAWAH

SAYA MENANAM PADI DI SAWAH

Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional (Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan


Informal), Buku Panduan Cepat Tuntas Buta Aksara 2010.

Dengan menerapkan metode ini, proses pembelajaran menjadi lebih mudah. Kecceng mengatakan
bahwa “metode ini sangat luwes dalam penerapannya, Tutor menuliskan bahan ajarnya di papan
tulis lalu kemudian dijelaskan dan disebutkan lalu warga belajar ikut menyebutkan huruf, kata serta
kalimatnya”.[67] Warga belajar sendiri sangat antusias dan semangat dalam belajar sebagaimana
diungkapkan oleh salah satu warga belajar, Jumadi mengatakan bahwa “saya menjadi lebih bisa
belajar dengan metode SAS ini, karena kami diajarkan membaca dengan cara yang berbeda yakni
dengan menyebutkan satu buah kalimat lalu menuraikannya perkata kemudian diuraikan lagi
menjadi bagian-bagian huruf secara terpisah”[68]

4. Metode Kata Kunci (Key Words)

Dalam penggunaan metode ini, Tutor membelajarkan warga belajar untuk membaca dan menulis
berdasarkan permasalahan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata kunci tersebut
dipilih dari berbagai alternatif kata yang diajukan oleh warga belajar untuk dipilih digunakan
memancing pikiran kritis warga belajar sejak awal sampai pada akhir pembelajaran.

Contoh:

BAJU DASTER

BA JU DAS TER

BALI JUAL DASI TERI

Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional (Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan


Informal), Buku Panduan Cepat Tuntas Buta Aksara 2010.

Penerapan metode ini dianggap yang paling rumit dari metode-metode sebelumnya. Hasanawati HS
mengatakan bahwa “metode ini tidak terlalu berpengaruh bagi warga belajar terlebih lagi warga
belajar yang tergolong masih peserta baru. Oleh karena itu, sebaiknya metode ini digunakan bagi
warga belajar yang sudah dianggap mampu tapi tidak lancar karena tentu akan lebih mudah
dipahami dan dimengerti oleh mereka”.[69]
Berbagai macam metode di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam mengentaskan buta aksara di
Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo tidak terlepas dari ke empat metode yang
digunakan oleh para Tutor Keaksaraan Fungsional. Metode-metode tersebut dilaksanakan dan
disesuaikan dalam berbagai situasi belajar para warga belajar serta kemampuan warga belajar.
Menurut kecceng “kesemua metode itu dapat kita gunakan sewaktu-waktu. Bisa saja hari ini kita
menggunakan metode abjad dan besok kita berpindah menggunakan metode suku kata. Ini
dilakukan agar suasana belajar tetap kondusif dan para warga belajar tidak bosan dengan metode
yang statis”[70] Keberhasilan dalam menggunakan metode-metode pembelajaran di atas tentu
dititik beratkan pada keterampilan Tutor dalam mengolah lingkungan belajar dengan baik dan benar.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, tentang Keaksaraan Fungsional dalam Mengentaskan Buta Aksara di
Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo. Peneliti menemukan bahwa:

1. Media pembelajaran yang digunakan Keaksaraan Fungsional dalam mengentaskan buta aksara
di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni
media ATK, Media Poster abjad/ Flash Card dan Media dari bahan-bahan cetak. Ketiga media inilah
yang dinilai sangat efektif dan mampu mengentaskan buta aksara walaupun secara perlahan namun
berkesinambungan.

2. Metode yang digunakan Keaksaraan Fungsional dalam mengentaskan buta aksara di Desa
Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo, yakni metode abjad atau huruf, metode suku
kata, metode SAS (Strukturan Analitik Sintetik), dan metode kata kunci (Key Words). Beberapa
metode memang tidak secara langsung mendapatkan hasil yang memuaskan, sangat diperlukan
ketelitian dalam memilih metode yang di sesuaikan dengan kondisi warga belajar. Selain itu,
dipelukan kesabaran agar hasil yang diinginkan bisa tercapai dengan baik.

73

B. Saran-Saran

Sebagaimana hasil penelitian di atas, maka peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Hendaknya dalam memilih media pembelajaran, Tutor senantiasa mengamati kondisi dan hasil
belajar warganya, sehingga dengan begitu Tutor dapat memilih media yang baik serta efesien dalam
setiap proses pembelajaran keaksaraan.
2. Dalam memilih metode pembelajaran, Tutor hendaknya selalu berfikir serta menganalisa
metode-metode yang baik serta efektif dalam setiap proses pembelajaran agar warga belajar
menunjukkan peningkatan-peningkatan kemampuan belajar seperti yang kita harapkan.

3. Diharapkan kepada para pengelolah Keaksaraan Fungsional di Desa Tonralipue untuk lebih
memperhatikan dan mendukung penuh kegiatan Keaksaraan Fungsional serta selalu berfikir kreatif
menciptakan media yang baik dan menjaga kualitas pembelajaran dengan metode-metode yang
efesien dan efektif

4. Diharapkan setiap daerah yang memiliki buta aksara terbanyak agar biasa manggunakan media
yang berfariasi dan metode yang efektif agar percepatan pengentasan buta aksara dapat dicapai
dengan segera.

1. SANGAT disayangkan, di zaman yang sudah merdeka selama 70 tahun dan sudah serba modern
ini, di Kabupaten Cirebon masih terdapat ribuan orang penyandang buta huruf atau tuna aksara.

Karenanya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari segi pendidikan yang ada di Kabupaten Cirebon
ini masih terbilang belum berhasil, sebab penyandang tuna aksara tercatat sebanyak 22 ribu orang.

Salah seorang di antaranya, Tiun (45 tahun), perempuan asal Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan,
Kabupaten Cirebon ini tak tahu huruf-huruf yang mampu dihafal seumuran anak taman kanak-kanak.
Sebab, dulu sewaktu dirinya masih kecil dan pernah mengenyam Sekolah Rakyat (sekarang SD)
namun hanya kelas dua, sehingga belum bisa membaca.

“Huruf-huruf saja banyak yang tidak tahu, apalagi disuruh membaca. Setelah saya besar malu juga
tidak bisa membaca, mau belajar juga seumuran gini, jadi ya sudahlah,” ujar Tiun kepada KC, Selasa
(8/9/2015).

Apa yang dirasakan Tiun, sama juga seperti ribuan orang lainnya yang ada di Kabupaten Cirebon.
Mereka ini tidak mengenal huruf, apalagi membaca. Sebab kebanyakan penyandang tuna aksara
orang-orang yang telah berumur tua dan enggan untuk berusaha belajar mengenal huruf-huruf
sebagai awal untuk mampu membaca.

minimnya sarana infrastruktur, dan lemahnya SDM menjadi salah satu penyebab lambatnya
pengentasan tunaaksara

Selain persoalan infrastruktur,utamanya di Papua, sebagian besar masyarakatnya masih kental


menggunakan bahasa daerah. Kondisi inilah yang menyebabkan kurangnya bahan ajar dan tenaga
pengajar dalam bahasa daerah,” ujarnya.

tingginya angka tuna aksara jika mencapai 30 persen dari jumlah penduduk maka hal itu sangat
berbahaya karena bisa menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat yang berujung pada konflik.
“Hal paling penting untuk meningkatkan keaksaraan adalah komitmen,”.
Komitmen yang tinggi disertai dengan kesadaran bersinergi antara pemerintah, pemerintah daerah
dan masyarakat setempat dengan memperhatikan isu lokal, kekhasan tradisi, bahasa, budaya, SDM
dan kondisi geografi akan mewujudkan strategi pengentasan yang sesuai untuk bumi Papua.

sulitnya kondisi geografis

Program pemberantasan buta aksara selama ini sering berjalan pasang surut. Hal ini disebabkan
karena berbagai hal diantaranya[6]:

1. Kesadaran akan pentingnya tingkat keaksaraan penduduk belum menjadi kesadaran kolektif

2. Rendahnya tingkat perekonomian keluarga.

3. Sosial budaya yang masih bias gender (budaya patriarchi).

4. Rendahnya political will dari penyelenggara Negara (pemerintah dan DPR).

5. Rendahnya anggaran yang disediakan untuk program pendidikan keaksaraan, jika dibandingkan
dengan program-program dalam satu faktor (faktor pendidikan) maupun luar faktor yang sangat
terkait dengan program ini seperti faktor kesehatan, keluarga berencana, ketenagakerjaan, dan lain-
lain[7].

Buta huruf bukan sekadar tidak mampu membaca dan menulis, melainkan berpotensi menimbulkan
serangkaian dampak yang sangat luas. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada Hari Pemberantasan
Buta Huruf tahun 2005 mengungkapkan, kemampuan membaca dan menulis merupakan alat
penting untuk memberantas kemiskinan. Selain itu, juga untuk perluasan kesempatan kerja,
peningkatan kesetaraan pria dan wanita, peningkatan kesehatan keluarga, perlindungan lingkungan
hidup, serta penggalakan peran serta dalam demokratisasi.

Kedua, sosialisasi program pendidikan keaksaraan kepada masyarakat luas, terutama pada
masyarakat pedesaan agar jumlah penduduk buta aksara menurun melalui berbagai media.

Ketiga, memperbesar alokasi dana penuntasan buta aksara pada APBN dan APBD yang saat ini
terkesan sangat kecil.

Keempat, mempersiapkan, menyediakan dan meningkatkan kapasitas penye-lenggaraan pendidikan


keaksaraan fungsional seperti ketenagaan, baik tenaga pelaksana maupun tutor, meningkatkan
insentif atau kesejahteraan bagi pelaksana, tutor dan penyelenggara pendidikan keaksaraan
fungsional lainnya, menyediakan sarana dan prasana pendidikan keaksaraan.

Ketujuh, menyelenggarakan proses pembelajaran bagi orang dewasa (andragogi) secara efektif,
partisipatif dan tematik.

Anda mungkin juga menyukai