Anda di halaman 1dari 55

PERSEPSI ANAK REMAJA SUKU BAJO DI PESISIR PANTAI

SOROPIA, KABUPATEN KONAWE TERHADAP PENTINGNYA


PENDIDIKAN

PENELITIAN DAN OBSERVASI


Diajukan sebagai syarat tugas akhir perkuliahan
Dalam mata kuliah Psikologi Kemaritiman

DWI SRI PURWANINGSIH A1R1 15 044

EGI SAPUTRA A1Q1 16 107

LUBER A1Q1 16 127

SUCI FAUZIAH S. A1R1 17 027

VANNY INESSARY A1R1 17 028

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
serta karunianya yang tiada batas sehingga penyusunan tugas ini dapat
terselesaikan sebagai tugas akhir perkuliahan pada mata kuliah Psikologi
Kemaritiman dengan judul “Persepsi Anak Remaja Suku Bajo di Pesisir Pantai
Soropia, Kabupaten Konawe terhadap Pentingnya Pendidikan”, yang mungkin
masih banyak terdapat kekurangan karena terbatasnya ilmu, skill peneliti, dan
waktu penelitian.
Seiring dengan selesainya tugas akhir perkuliahan ini, tidak lupa penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan tanpa batas kepada semua pihak
yang telah membantu memberikan arahan, bimbingan, petunjuk, serta narasumber-
narasumber yang terlibat, dalam proses penelitian ini, diantanya:
1. Ibu Linda Fajriah, S. Psi., MA, sebagai dosen mata kuliah Psikologi
Maritim
2. Kepala Desa Leppe beserta Ibu Desa yang telah membantu memberikan
data dan izin kepada kami untuk melakukan penelitian di Desa Leppe.
3. Kepala sekolah MA Bahrul Mubarak beserta staf dan para guru yang telah
membantu kami dalam penelitian ini.
4. Warga masyarakat pesisir suku Bajo di Kecamatan Soropia, khususnya
Desa Leppe , yang telah berkenan menjadi narasumber dalam penelitian
ini.
5. Adik-adik siswa dan siswi MA Bahrul Mubarak yang telah bersedia
menjadi responden dalam penelitian kami.
6. Teman-teman sebangku perkuliahan serta senior-senior jurusan yang telah
mendukung dan memberikan arahan dan petunjuk dalam penelitian ini.
Kendari, November 2018

PENULIS
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL……………………………………………………………
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….
DAFTAR ISI………………………………………………………………………
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….
DAFTAR TABEL………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………….…………………………………
B. Rumusan Masalah……………………………………………………...
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………
D. Manfaat Peneliltian…………………………………………………….
1. Manfaat Teoritis………………………………………………..
2. Manfaat Praktis…………………………………………………….

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Persepsi………………………………………………………………...
1. Pengertian persepsi………………………………………….
2. Syarat terjadinya persepsi………………………………..
3. Faktor yang mempengaruhi persepsi………………………….
4. Proses persepsi……………………………………………..
B. Remaja
1. Definisi remaja…………………………………….
2. Aspek-aspek perkembangan remaja…………………….
C. Suku bajo…………………………………………………………..…
1. Sejarah suku bajo…………………………………………..
2. Suku bajo di sulawesi………………………………………
3. Kearifan lokal masyarakat pesisir………………………………..
D. Pendidikan…………………………………………………
1. Definisi pendidikan…………………………………….
2. Tujuan pendidikan……………………………………..
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian……………………………………………
B. …
C. ………..
D. ……….
E. ………..
F. ……….
G. ……………

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………….
B. Saran……………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
LAMPIRAN……………………………………………………………………….
DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan Negara maritim. Sumber daya alam


yang melimpah dan letak geografis yang baik seharusnya menjadi
kesadaran bersama bahwa dibalik semua itu ada sebuah upaya dalam
mewujudkan sumber daya alam yang ada di laut. Wilayah pesisir dan lautan
merupakan bagian dari lingkungan hidup kita yang berpotensi besar dalam
menyediakan ruang hidup dan sumber daya kehidupan. Oleh sebab itu,
ketika potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal, maka akan
mendapatkan hasil pendapatan yang luar biasa (Romimohtarto &
Soemodjhardjo, 1998). Faktanya masih banyak sekali daerah pesisir pantai
yang jauh dari akses diberbagai bidang, baik infrastruktur, kesehatan,
maupun pendidikan.

Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum


dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk mendapatkan bangsa yang cerdas, salah satunya ditempuh melalui
pendidikan. Sebagai faktor penting dalam pengembangan sumber daya
manusia, penyelenggaraan pendidikan tidak hanya dituntut bermutu, tetapi
juga harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa
diskrimisasi. Pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan akan
membuat warga negara memiliki kecakapan hidup (life skills) dan lebih
berperan dalam pelaksanaan pembangunan.
Layanan pendidikan bermutu merupakan hak setiap orang,
sebagaimana diakui pemerintah melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu” (Pasal 5 Ayat (1). Untuk itu,
pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Selain itu, pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menyediakan dana guna terselenggaranya
pendidikan bermutu tersebut (Pasal 11).

Dengan adanya pendidikan, anak-anak diasah melalui seperangkat


pengetahuan untuk memiliki kesadaran dan kemauan yang positif dalam
menemukan tujuan untuk dirinya di masa yang akan datang. Pendidikan
amatlah penting bagi semua kalangan tak terkecuali anak–anak nelayan.
Pentingnya pendidikan bagi anak nelayan terletak pada kemampuan untuk
meningkatkan kecerdasan anak, serta menjadikan anak-anak mereka
menjadi anak yang lebih maju dibidang ilmu pengetahuan.

Pendidikan bagi para nelayan khususnya anak-anak nelayan sampai


saat ini masih memprihatinkan. Mayoritas hanya lulusan SMP saja dan juga
sebagian tidak melanjutkan ke jenjang SMA bahkan ke pendidikan tinggi.
Anak-anak yang ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini
adalah hal yang biasa, mereka beralasan bahwa penghasilan orang tuanya
tidak mencukupi. Meraka biasanya bekerja ketika pulang sekolah atau
liburan sekolah sehingga jangan kaget jika anak mereka pun rata-rata tidak
sempat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang tinggi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh I Ketut Suardika dalam


bukunya Problematika Pendidikan Suku Bajo, mensinyalir bahwa
lemahnya akses pendidikan masyarakat merupakan bentuk keterpinggiran
yang sangat dirasakan, akan tetapi semua ini karena perhatian pemerintah
yang kurang, juga dari masyarakat sendiri. Ada kesan bahwa orang tua
mereka kurang memotivasi anak-anaknya untuk sekolah. Ketersediaan SD
dan SMP SATAP menunjukkan telah ada sarana pendidikan yang
diharapkan dapat menampung anak-anak usia pendidikan dasar sembilan
tahun, walaupun memang kondisinya belum memadai, akan tetapi jika
mereka memiliki keinginan dan kesadaran, maka seharusnya dapat
mengarahkan anak-anak mereka untuk tetap bersekolah mulai dari SD
sampai SMP. Kondisi ini menunjukan bahwa terdapat beberapa bentuk
keterpinggiran yang berpengaruh terhadap akses pendidikan pada
Masyarakat Suku Bajo yang kurang dalam pendidikan dasar, yaitu masalah
sarana; baik ketersediaan guru maupun fasilitas lainnya. Bentuk dari
keterbatasan berbagai kebutuhan pendidikan ini membuat beberapa orang
tua siswa kurang begitu berminat untuk mendorong anak-anak mereka
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik dalam
menamatkan pendidikan dasar 9 tahun maupun ke jenjang SMA. Bila
dukungan lingkungan masyarakat sudah tidak berjalan dengan baik, maka
keberlangsungan pendidikan tidak akan berjalan dengan lancar. (Suardika,
2014:43-44 dalam Ali, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Herman dan Rijal (2016) tentang


Pendidikan Kecakapan Hidup pada Remaja Masyarakat Bajo Desa
Soropia, Konawe, menyimpulkan bahwa masyarakat Desa Bokori
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe pada umumnya sangat antusias
terhadap pendidikan kecakapan hidup pada remaja. Menurut mereka,
pendidikan kecapan hidup adalah hal sangat penting untuk dimiliki oleh
para remaja di Desa Bokori, pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup pada
para remaja Desa Bokori cukup baik, hal ini terlihat dari upaya yang
dilakukan oleh orang tua remaja dalam menanamkan kecakapan hidup pada
para remaja yakni sejak kecil remaja dibiasakan untuk bekerja, diajarakan
teori dan praktek kerja dan diberikan motivasi. Sayangnya, sebagian besar
para remaja di Desa Bokori tidak memanfaatkan kecakapan hidup yang
dimilikinya dengan baik, mereka lebih memilih menjadi seorang nelayan.
Hal ini disebabkan adanya sudut pandang yang berbeda, bahwa nelayan
jauh lebih besar penghasilannya daripada menjadi tukang kursi, meja dan
lemari.

Cara pandang dan kesadaran masyarakat pesisir pantai terhadap


pentingnya pendidikan yang masih rendah, serta diperparah lagi dengan
banyaknya orang tua dengan berbagi macam alasan baik karena masalah
ketidak mampuan dibidang ekonomi maupun alasan lainya, yang enggan
menyekolahkan anak-anaknya ketingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Sehingga hal inilah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya sumber
daya manusia di daerah pesisir dan menimbulkan permasalahan-
permasalahan sosial masyarakat, ditambah lagi dengan adanya anggapan
bahwa keahlian dalam melaut atau mengelola tambak tidak diperlukan
melalui pendidikan melainkan melalui pengalaman langsung terjun
kelapangan.

Namun dibalik semua label negatif tentang pandangan masyarakat


suku Bajo terhadap dunia pendidikan tersebut, peneliti masih terbuka
dengan segala kemungkinan bahwa saat ini pandangan masyarakat Bajo
telah terbuka mengenai dunia pendikan. Banyak hal yang dapat
mempengaruhinya, mungkin modernisasi telah menggerus hal tersebut,
interaksi dengan lingkungan luar mungkin juga bisa menjadi alasan sebab
masyarakat Bajo sekarang telah menetap dalam suatu wilayah dan tidak
lagi hidup nomaden seperti dulu, kebutuhan yang semakin kompleks,
semakin berkurangnya ketersediaan sumber daya dilaut yang menjadi mata
pencaharian utama suku Bajo dan juga mungkin faktor-faktor lainnya.

Berangkat dari kenyataan-kenyataan diatas, maka peneliti tertarik


untuk melakukan penelitian di daerah pesisir pantai yang berpenduduk
suku Bajo di wilayah Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi
Sulawesi Tenggara, berkaitan dengan persepsi anak remaja suku Bajo di
wilayah tersebut terhadap pentingnya pendidikan untuk pengembangan
sumber daya manusia didaerahnya serta untuk memajukan taraf kehidupan
suku Bajo. Hal lain juga yang menjadi salah satu alasan peneliti memilih
daerah pesisir pantai yang berpenduduk suku Bajo, dikarenakan suku Bajo
masih kental dengan kulturnya sebagai pelaut ulung, sehingga peneliti juga
ingin menggali dan mengkaji faktor budaya/ nilai budaya tersebut
kaitannya pada pandangan dan persepsi masyarakat khususnya remaja suku
Bajo terhadap pentingnya pendidikan.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

a) Bagaimana Persepsi Anak Remaja di Pesisir Pantai Soropia,


Kabupaten Konawe terhadap Pentingnya Pendidikan?
b) Apa Saja Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Anak Remaja
di Pesisir Pantai Soropia, Kabupaten Konawe terhadap Pentingnya
Pendidikan?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:

a) Mengetahui Persepsi Anak Remaja di Pesisir Pantai Soropia,


Kabupaten Konawe terhadap Pentingnya Pendidikan.
b) Mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Persepsi
Anak Remaja di Pesisir Pantai Soropia, Kabupaten Konawe
terhadap Pentingnya Pendidikan?

D. Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis
a) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan untuk ilmu pengetahuan khususnya mengenai
kajian pendidikan mengenai suku Bajo di Kecamatan Soropia,
Kabupaten Konawe.
b) Menambah dan memperluas wawasan dan pengetahuan
masyarakat pada umumnya dan mahasiswa psikologi pada
khususnya mengenai pendidikan pada suku bajo terutama dalam
Psikologi perndidikan dan Psikologi sosial.

2) Manfaat Praktis
a) Memberikan kesempatan bagi penulis untuk lebih mengenal sisi
lain dari kehidupan sehari-hari masyarakat suku Bajo,
khususnya yang bermukim di lokasi penelitian.
b) Memberikan informasi baru khususnya kepada mahasiswa yang
mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan bidang penelitian ini
dan juga bagi masyarakat pada umumnya.
c) Sebagai bahan referensi bagi para remaja dalam mengambil
keputusan untuk pendidikannya.
d) Sebagai tambahan referensi kepada para orang tua baik itu di
pemukiman suku Bajo maupun di tempat-tempat lainnya agar
lebih memperhatikan pendidikan anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Persepsi

1) Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi


manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di
sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas,
menyangkut intern dan ekstern. Berbagai ahli telah memberikan
definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya
mengandung makna yang sama.
Sugihartono, dkk (2007: 8) mengemukakan bahwa persepsi adalah
kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk
menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia.
Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam
penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi
yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi
tindakan manusia yang tampak atau nyata.
Bimo Walgito (2004: 70) mengungkapkan bahwa persepsi
merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap
stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi
sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam
diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh
individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan
mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu
yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan
berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama,
maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin
akan berbeda antar individu satu dengan individu lain.
Jalaludin Rakhmat (2007: 51) menyatakan persepsi adalah
pengamatan tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Berdasarkan uraian mengenai macam definisi atau
pengertian mengenai persepsi diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan persepsi adalah daya berpikir seseorang terhadap
sesuatu melaui alat-alat indra yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor pengalaman, proses pengetahuan yang berpengaruh
pada suatu penafsiran individu pada suatu objek yang akan
memberikan makna pada dirinya, persepsi yang dimiliki seseorang
akan tergantung pada faktor personal dan faktor situasional. karena
itu, persepsi masing-masing individu akan beraneka ragam antara
satu individu dengan individu lainya.

2) Syarat Terjadinya Persepsi

Menurut Sunaryo (2004: 98) syarat-syarat terjadinya persepsi


adalah sebagai berikut:
a) Adanya objek yang dipersepsi
b) Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai
suatu persiapan dalam mengadakan persepsi.
c) Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus
d) Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak,
yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.
3) Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Miftah Toha (2003: 154), faktor-faktor yang


mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut :

a) Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu,


prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses
belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan
juga minat, dan motivasi.
b) Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang
diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas,
ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan
familiar atau ketidak asingan suatu objek.

Menurut Bimo Walgito (2004: 70) faktor-faktor yang berperan


dalam persepsi dapat dikemukakan beberapa faktor, yaitu:
a) Objek yang dipersepsi Objek menimbulkan stimulus yang
mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari
luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari
dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai
syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.
b) Alat indera, syaraf dan susunan syaraf Alat indera atau reseptor
merupakan alat untuk menerima stimulus, di samping itu juga
harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan
stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu
otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan
respon diperlukan motoris yang dapat membentuk persepsi
seseorang.
c) Perhatian Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi
diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah utama
sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi.
Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh
aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu sekumpulan
objek.

Faktor-faktor tersebut menjadikan persepsi individu berbeda satu


sama lain dan akan berpengaruh pada individu dalam mempersepsi
suatu objek, stimulus, meskipun objek tersebut benar-benar sama.
Persepsi seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi
orang atau kelompok lain sekalipun situasinya sama. Perbedaan
persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan individu,
perbedaanperbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap atau
perbedaan dalam motivasi. Pada dasarnya proses terbentuknya
persepsi ini terjadi dalam diri seseorang, namun persepsi juga
dipengaruhi oleh pengalaman, proses belajar, dan pengetahuannya.

4) Proses Persepsi

Menurut Miftah Toha (2003: 145), proses terbentuknya persepsi


didasari pada beberapa tahapan, yaitu:
a) Stimulus atau Rangsangan Terjadinya persepsi diawali ketika
seseorang dihadapkan pada suatu stimulus/rangsangan yang
hadir dari lingkungannya.
b) Registrasi Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak
adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syarat
seseorang berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya.
Seseorang dapat mendengarkan atau melihat informasi yang
terkirim kepadanya, kemudian mendaftar semua informasi yang
terkirim kepadanya tersebut.
c) Interpretasi Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari
persepsi yang sangat penting yaitu proses memberikan arti
kepada stimulus yang diterimanya. Proses interpretasi tersebut
bergantung pada cara pendalaman, motivasi, dan kepribadian
seseorang.

B. Remaja
1) Definisi Remaja

Remaja Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere


yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice,
1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti
DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode
pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia
dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent)
secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa
remaja (adolescence).

Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada
umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia
akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa


remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16
atau 17 tahun hingga 20 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan
oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai
transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.

Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa


pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-
perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan
juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita
mereka. Pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan
orientasi masa depan. Transisi perkembangan pada masa remaja berarti
sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun
sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990).

2) Aspek-Aspek Perkembangan

Aspek-aspek perkembangan pada masa remaja dapat dibagi


menjadi dua yaitu :

a) Perkembangan fisik Yang dimaksud dengan perkembangan


fisik adalah perubahan perubahan pada tubuh, otak, kapasitas
sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001).
Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan
berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan
organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai
beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah
pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah
kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya
semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget
dalam Papalia dan Olds, 2001).
b) Perkembangan Kognitif Menurut Piaget (dalam Santrock,
2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia
karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam
pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia
kognitif mereka. Informasi yang didapatkan tidak langsung
diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja
sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang
lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga
menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja
mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi
remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga
memunculkan suatu ide baru.
C. Suku Bajo

1) Sejarah Suku Bajo

“Orang laut” dikenal sebagai orang yang mengembangkan suatu


cara hidup yang unik dan bersifat maritim. Lingkungan hidup
mereka begitu dekat dengan laut menyebabkan penghuni
memanfaatkan laut bagi kelangsungan hidupnya. Mereka bertempat
tinggal di perahu, senang berlayar dan mengembara di perairan propinsi
Riau dan pantai Johor Selatan, sehingga disebut juga orang Bajau
(Lapian, 2009). Orang Bajau (sering dinamai orang Bajo) ditemukan
di perairan Selat Makassar (pulau Laut, pantai timur Kalimantan),
teluk Bone (pulau Bajoe), Nusa Tenggara Timur (pulau Alor dan
sekitarnya), di kepulauan Banggai, teluk Tomini, kepulauan Bacan
dan Halmahera Maluku Utara, perairan laut Sulawesi baik di pantai
Sulawesi Utara, Kalimantan Timur maupun kepulauan Sulu Filipina
Selatan. Desa pantai Labuanbajau di pulau Simeulue Aceh,
Labuhanbajo Sulawesi Tengah dan Labuhanbajo Manggarai Flores
merupakan bukti jangkauan pelayaran orang Bajau. Disamping itu
Bajau atau Bajo juga ditemukan sebagai nama tempat di kepulauan
Anambas laut Cina Selatan, di bagian timur pulau Sumbawa dan
pantai timur Kalimantan hingga kini tetap lestari (Oppenheimer,2010).
Saat ini terdapat ± 90.000 (kurang lebih sembilan puluh ribu)
populasi suku Bajo di Indonesia, dan 40.000 (empat puluh ribu)
diantaranya hidup dan menetap di pesisir pantai Sulawesi Tenggara
(Mead dan Lee, 2007). Ada beberapa pendapat mengenai asal usul
suku Bajo antara lain keturunan pelaut Johor, budak bajak laut Moro
serta berasal dari orang laut di kepulauan Sulu Filipina Selatan
(Peribadi, 2000), dan di Luwu-Malili Sulawesi Selatan (Hafid et al,
1996). Ciri kehidupan komunitas suku Bajo, yaitu menempati suatu
kepulauan yang dikelilingi laut, menangkap ikan sebagai pencaharian
utama yang dilakukan secara turun temurun; serta memiliki dialek
bahasa yang sama (Hamid, 1986; Mattulada, 1977; Peribadi, 2000;
Oppenheimer, 2010).
Suku Bajo dikenal mempunyai sikap statis, suka hidup di
laut, kurang berinovasi, bersikap tertutup dan tidak mampu beradaptasi
secara fisik geografis, sosial dan budaya dengan penduduk yang
hidup di darat. Akibatnya suku Bajo kurang terlibat didalam proses
dan menikmati hasil pembangunan. Nenek moyang suku Bajo dikenal
sebagai masyarakat laut, hidup secara nomaden (berpindah-pindah)
atau manusia perahu (seanomedic) (Sopher, 1971) atau sea gypsies
(Brown, 1993).
Sebutan Bajo dipakai untuk orang-orang yang menggunakan
perahu (orang juga menyebutnya bido‟ atau palema) sebagai tempat
tinggal. Umumnya, tempat tinggal mereka dinamai “Negeri di Atas
Karang”, yaitu permukiman yang terletak di atas laut. Suku Bajo
merupakan komunitas atau masyarakat di Indonesia, dan meyebar
ke berbagai pulau-pulau. Mereka menempati lahan di sepanjang
pesisir pantai bahkan hingga ke arah lautan bebas, sehingga
permukimannya pun berada diatas air,tempat mereka mencari dan
menjalani penghidupan(Alena, 1975; Bettarini, 1991; Haris, 1991;
Nasruddin, 1996; Sembiring, 1993; Zacot, 1979). Orang Bajo
menyebut dirinya sebagai orang “Sama”, karena mempunyai cara
hidup dan nilai-nilai yang sama (Zacot, 2007: hal ini ditemukan di
Teluk Tomini, pulau Nain dan di pulau Laut Kalimantan).
Orang “Sama” telah mengenal permukiman setelah “menetap”
pada suatu tempat, tempat tinggal-tempat tinggal dibangun
menggunakan tiang-tiang di air, sedang perahu mereka ditempatkan
di bawah tempat tinggal. Suku Bajo menyebut tempat tinggalnya
“palemana” atau tempat tinggal yang berada di atas perahu, mereka
dikenal sebagai pelaut ulung, sehingga hidup dan matinya berada di atas
lautan. Perkampungan berada jauh menjorok ke arah laut bebas,karena
berfungsi sebagai tempat mencari penghidupan. Laut adalah
tempat utama dalam kehidupannya, dan hasil laut diperoleh secara
tradisional. Penghuni menempati daratan pantai tidak lagi menyebut
kelompoknya sebagai “sama laut” (tetapi masyarakat “bagai” karena
berbagai-bagai), berbeda dengan suku sama yang masih tinggal di
perahu (Alena, 1975; Haris, 1991; Nasruddin, 1996; Zacot, 1979).
Meskipun mempunyai cara hidup yang khas yakni bermukim di perahu
dan mudah berpindah-pindah tempat, mereka tidak terisolasi dari
penduduk daratan, sehingga muncul berbagai dialek Bajau sesuai
dialek masyarakat sekitar tempat bermukimnya (Suyuti, 2011).
Proses peralihan dari laut ke darat berjalan terus, dimulai abad ke-
XVI (Lapian, 2009) dengan mendirikan tempat tinggal panggung diatas
permukaan laut sampai permukiman darat dantelah meninggalkan
identitasnya sebagai orang Bajau atau orang Sama atau orang Laut.
Penamaan ini juga berkaitan erat dengan korelasi antara tahap proses
pendaratan dengan tingkat islamisasi, yaitu makin “mendarat” makin
tinggi pula tingkat pengIslaman mereka. Selain itu masyarakat Bagai
menganggap lebih beradab (superior) dibanding suku Sama, karena
telah mengenal susunan kemasyarakatan sebagaimana masyarakat
yang hidup di daratan dengan norma dan nilai-nilai
peradaban(Ahimsa-Putra, 2001).

2) Suku Bajo di Sulawesi


Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajolari ke laut karena
menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan
manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku
Bajo diberikan oleh warga masyarakat sebagai masyarakat “Same”
atau “Sama” dan warga di luar kelompoknya sebagai masyarakat
“Bagai”. Permukiman suku Bajo banyak tersebar di perairan Sulawesi
dan kepulauan sekitarnya. Populasinya menyebar dari Sabah Malaysia,
kepulauan Filipina dan laut Cina Selatan, antara lain di perairan
Menado, Kendari dan kepulauan yang ada di Sulawesi Tenggara,
kabupaten Bone dan kepulauan Selayar di Sulawesi Selatan. Suku
Bajodi Sulawesi Tengah ditemui di kepulauan Togian Tojo Una-Una,
Banggai Kepulauan, kabupaten Morowali, kabupaten Buol, pesisir
kabupaten Toli-toli, Parigi Moutong dan Poso Pesisir(Lebar, 1975;
Sather, 1995; Spillet, 1993; Soesangobeng, 1977; Suyuti, 2011; Zada
Ua,1996).

Berikut adalah tabel persebaran penduduk suku bajo di provinsi


Sulawesi Tenggara, Kabupaten Konawe (Mead & Lee, 2007:13):

3) Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir

Manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan


yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan, mempunyai
nilai positif dalam usaha pelestarian lingkungan dan konsep
pembangunan berkelanjutan (Gadgill,et al dalam Mitchel,et al, 2000).
Masyarakat mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi
dimana mereka bertempat tinggal. Eksploitasi lingkungan biofisik
diatur oleh manusia berdasarkan pengalaman empirik. Berdasarkan
peraturan tersebut, dapat dihindari eksploitasi berlebihan terhadap
lingkungan biofisik seperti eksploitasi sumberdaya laut.
Pengaturan ini menumbuhkan kearifan ekologi, sebagai pilar utama
kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan.
Kearifan lokal merupakan sistem nilai dan norma, dianut,
dipahami dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan
pemahaman, pengalaman mereka dalam berinteraksi dan
berinterrelasi dengan lingkungan (Tjahyono et al,1999; Prijono,
2000). Bentuk-bentuk budaya baik yang “tangible”(bentuk
permukiman, cara penataan tempat tinggaldan halaman, acara-acara
perkawinan, perayaan keagamaan, dan lain-lain) maupun
“intangible” (cerita rakyat, mitos, lagu, tarian, dan lain-lain) dapat
dipelajari, karena bentuk-bentuk budaya ini tidak statis, tetapi
mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu nilai-
nilai kearifan lokal hendaknya dipelajari kemudian dikembangkan
untuk membentuk sebuah budaya baru. Bentuk budaya akan
selalu dikembangkan dengan baik jika memperhatikan geografis
lokasi, sehingga mampu menciptakan sebuah pola baru yang peka
terhadap lingkungan lokal yaitu budaya dan iklim (Arifin, 2009).

Bagi masyarakat Bajo, kehidupan sangat dinamis mulai dari pikiran


yang bisa tiba-tiba berubah saat melaut, peran khusus anak-anak,
jadwal yang menentukan kegiatan, rute-rute laut yang harus
diperhatikan sampai tempat-tempat bermukim baru yang mesti
ditemukan. Kebanggaan atas kehidupan dilaut inilah yang membentuk
kepercayaan diri yang tinggi suku Bajo terhadap kearifan lokal mereka
tentang laut. Mereka telah belajar mengenai laut dalam caracara unik
(Burgos, 2013) dalam Musi, et al (2015:43).

Hubungan antara manusia dan laut memperlihatkan adanya


hubungan saling ketergantungan sejak awal peradaban, karena laut
menyediakan kebutuhan dasar yang diperlukan manusia untuk
kehidupan seperti energi, makanan, protein, udara bersih dan
perlindungan. Laut merupakan sumber inspirasi budaya (Sudiyono dan
Tambunan, 1995) karena lingkungan biofisik laut sebagai sumber
kehidupan (Suparlan, 1995), ketahanan pangan dan bermakna religius
(Mulyaningsih, 1999).
Laut tidak saja menjadi sumberdaya kehidupan, tetapi mengandung
nilai sakral yang berpengaruh terhadap sistem budaya dan sosial.
Selain itu, laut akan memberikan reaksi yang dapat memberi
bencana jika diperlakukan secara tidak baik (Tjahyono, et al,2000).
Pola hubungan manusia di kawasan pesisir dan laut masih berpegang
teguh pada norma adat serta tradisi yang diwarisi secara turun
temurun (Sumardi, 1997). Walaupun ketergantungan terhadap laut
sangat besar, mereka tidak mengeksploitasi laut secara besar-besaran
untuk tujuan komersil.
Upaya yang dilakukan masyarakat nelayan tradisional untuk
mengurangi konflik pemanfaatan sumberdaya laut yaitu
menetapkan laut sebagai milik bersama yang dikenal dengan hak
ulayat laut (HUL) atau sea nature. Sejalan dengan perkembangan
kehidupan manusiayang penuh dinamika kearah proses transformasi
struktural yang lebih maju, sangat menarik karena HUL (hak ulayat
laut) sebagai suatu pranata masih tetap dipertahankan oleh sebagian
masyarakat khususnya di Indonesia Timur.

D. PENDIDIKAN
1) Definisi Pendidikan

Manusia tidak bisa lepas dari pendidikan. Pendidikan merupakan


salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dalam
pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta
didik melalui proses pembelajaran.

Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa peserta didik adalah anggota


masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
tertentu. Dengan demikian pendidikan adalah segala daya upaya dan
semua usaha untuk membuat masyarakat dapat mengembangkan
potensi peserta didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak
mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota
masyarakat dan warga negara.

Bendara Raden Tumenggung Harya Suwardi Soerjaningrat yang


lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara (1961: 2) mengatakan
dalam bukunya bahwa usaha-usaha pendidikan ditujukan pada (a)
halusnya budi, (b) cerdasnya otak dan (c) sehatnya badan. Ketiga usaha
itu akan menjadikan lengkap dan laras bagi manusia. Dengan demikian
pendidikan merupakan usaha untuk membentuk manusia yang utuh
lahir dan batin, yaitu cerdas, sehat, dan berbudi pekerti luhur.

Ki Hadjar Dewantara juga menegaskan bahwa pendidik harus


memiliki konsep 3 kesatuan sikap yang utuh, yakni ing ngarsa sung
tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Pengertiannya, bahwa sebagai pendidik harus mampu menjadi tauladan
bagi peserta didiknya, pendidik juga mampu menjaga keseimbangan,
juga dapat mendorong, dan memberikan motivasi bagi peserta
didiknya. Trilogi pendidikan ini diserap sebagai konsep
“kepemimpinan Pancasila”.
Menurut Syah dalam Chandra (2009: 33) dikatakan bahwa
pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang mempunyai arti
memelihara dan memberi latihan. Kedua hal tersebut memerlukan
adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan tentang kecerdasan pikiran.
Pengertian pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan perilaku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Dengan melihat definisi tersebut, sebagian orang mengartikan


bahwa pendidikan adalah pengajaran karena pendidikan pada
umumnya membutuhkan pengajaran dan setiap orang berkewajiban
mendidik. Secara sempit mengajar adalah kegiatan secara formal
menyampaikan materi pelajaran sehingga peserta didik menguasai
materi ajar.

2) Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan itu juga ditanamkan sejak manusia masih dalam


kandungan, lahir, hingga dewasa yang sesuai dengan perkembangan
dirinya. Ketika masih kecil pun pendidikan sudah dituangkan dalam
UU 20 Sisdiknas 2003, yaitu disebutkan bahwa pada pendidikan anak
usia dini bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri
sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik (Depdiknas 2003: 11).

Dengan demikian tujuan pendidikan juga mengalami perubahan


menyesuaikan dengan perkembangan manusia. Oleh karena pendidikan
dialami sejak manusia lahir hingga dewasa, maka tujuan pendidikan
juga merupaka suatu proses. Proses “memanusiakan dirinya sebagai
manusia” merupakan makna yang hakiki di dalam pendidikan.
Keberhasilan pendidikan merupakan “cita-cita pendidikan hidup di
dunia” (Dalam agama ditegaskan juga bahwa cita-cita “hidup” manusia
adalah di akherat). Akan tetapi tidak selamanya manusia menuai hasil
dari proses yang diupayakan tersebut. Oleh karena itu, kadang proses
itu berhasil atau kadang pun tidak. Jadi dengan demikian dapat
dikatakan bahwa “keberhasilan” dari proses pendidikan secara makro
tersebut merupakan tujuan. Keberhasilan itu jug dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Hal ini mengingat bahwa pendidikan itu ada tiga pilar
yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan
masyarakat.

Dalam pembentukan dan tujuan pendidikan yang berkaitan dengan


pembentukan watak, maka faktor keluarga sangat penting. Faktor orang
tua sangat berpengaruh pada pendidikan manusia sebagai peserta didik.
Kesadaran orang tua makin meningkat mengenai pentingnya
pendidikan sebagai persiapan awal untuk membantu pencapaian
keberhasilan pendidikan selanjutnya. Persiapan awal tersebut
menyangkut pencapaian perkembangan sehat secara mental, emosi, dan
sosial. Namun orang tua juga tidak sama, seperti yang dikemukakan
berikut ini bahwa kadang orang tua belum memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai untuk membantu kesiapan anak untuk
mengikuti pendidikan selanjutnya atau perkembangan sehat mental,
emosi, sosial, dan fisik anak (Sodiq A. Kuntoro, 1988: 1).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode mixed


methods. Penelitian ini merupakan suatu langkah penelitian dengan
menggabungkan dua bentuk penelitian yang telah ada sebelumnya yaitu
penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Menurut Creswell dalam
Komariah (2015: 160), penelitian campuran merupakan pendekatan
penelitian yang mengkombinasikan antara penelitian kualitatif dengan
penelitian kuantitatif. Menurut pendapat Sugiyono dalam Komariah (2015:
160) menyatakan bahwa metode penelitian kombinasi (mixed methods)
adalah suatu metode penelitian yang mengkombinasikan atau
menggabungkan antara metode kuantitatif dengan metode kualitatif untuk
digunakan secara bersama-sama dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga
diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliable dan obyektif.
Munculnya metode mixed methods ini mulanya hanya mencari
usaha penggabungan antara data kualitatif dengan data kuantitaif (Creswell
dalam Komariah, 2015: 160 ). Diperjelas lagi oleh Tashakkori dan Teddi
dalam bukunya yang berjudul Mixed Methodology, bahwa
mengombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif ini muncul setelah
adanya debat yang berkepanjangan antara dua paradigma yang menjadi
pedoman dari peneliti, kedua paradigma tersebut adalah positivis/empiris
yang menjadi dasar konseptual dari metode kuantitatif dan paradigm
konstruktivis/fenomenologi yang menjadi dasar dari metode kualitatif
(Komariah, 2015: 160).

B. Desain Peneltian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Sequential Exploratory, yaitu mengumpulkan dan menganalisis data
kualitatif kemudian mengumpulkan dan menganalisis data kuantitatif.
Dalam penelitian ini lebih menekankan pada metode kualitatif (McMillan,
dalam Komariah, 2015: 160). Sependapat dengan yang dikatakan oleh
McMillan dalam Creswell yang dikutip oleh Komariah (2015: 160) yaitu
pada tahap pertama akan diisi dengan pengumpulan dan analisis data
kualitatif, kemudian pengumpulan dan menganalisis data kuantitatif. Pada
tahapan kualitatif penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
persepsi remaja dan masyarakat suku bajo terhadap pentingnya pendidikan,
sedangkan pada tahap kuantitatif adalah mendesain alat ukur berdasarkan
temuan pada kualitatif agar hasil penelitian mencakup popolasi yang luas,
sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi ke dalam jumlah populasi
yang besar.

Interpretation
Qualitative Quantitative Base on
qualitativequan
titative result

Gambar Alur exploratory sequential design

Pada pendekatan kualitatif peneliti menggunakan kualitatif


deskriptif, sebab penelitian ini diarahkan untuk mendiskripsikan
keadaan atau fenomena mengenai persepsi atau sudut pandang
masyarakat nelayan ditinjau dari stratifikasi sosialnya terhadap
pendidikan tinggi tanpa suatu maksud menguji hipotesis. Pertimbangan
lain dipilihnya penelitian deskriptif dalam penelitian ini adalah bertolak
pada karakteristik metode deskriptif itu sendiri, sebagaimana dikemukakan
oleh Arikunto bahwa penelitian deskriptif adalah jenis penelitian
yang menjelaskan atau menerangkan peristiwa. Penelitian deskriptif
dimaksudkan untuk mengetahui keadaan mengenai apa dan
bagaimana, berapa banyak, sejauh mana dan lain sebagainya (Arikunto,
2002: 140).
Pada pendekatan kuantitatif peneliti menggunakan Metode Survey
yaitu menggambarkan secara sistematik dan faktual mengenai fenomena
yang ada sekarang dan juga menerangkan hubungan antar fenomena,
melakukan pengujian hipotesis serta membuat “interpretasi” dan
meperoleh makna dari fenomena yang diteliti (Nazir, 2003). Maksud
“metode survey” adalah mengambil sampel dari suatu populasi dengan
menggunakan “kuesioner” sebagai alat bantu dalam pengambilan data
primer yang diambil dari responden terpilih, sedangkan data sekunder
didapatkan dari instansi serta stake holder yang terkait dengan penelitian
yang dimaksud (Singarimbun dan Effendi, 1989). Pada penelitian ini,
data kuantitatif digunakan untuk menjelaskan data kualitatif pada
jumlah sampel yang lebih besar.

C. Lokasi Penelitian

Pada tahap penelitian kualitatif dan tahap pengumpulan data awal


penelitian dilaksanakan di Desa Leppe, Kecamatan Soropia yang berada di
Kabupaten Konawe. Kemudian pada tahap kuantitatif/ pengumpulan data
tahap selanjutnya di lakukan di MA Bahrul Mubarak Toronipa, dimana
sekolah tersebut merupakan tempat sekolah tingkat menengah atas remaja
suku bajo di Desa Leppe, karena alasan jarak yang dekat, maka MA Bahrul
Mubarak menjadi pilihan anak-anak suku bajo untuk sekolah di tempat
tersebut.

D. Sampel Penelitian
1. Tahap Kualitatif

Dalam penelitian kualitatif, sampel disebut sebagai narasumber,


partisipan atau informan (Sugiyono, 2015).

a. Partisipan

Partisipan dalam tahap kualitatif ini adalah remaja-remaja


suku bajo dan masyarakat suku bajo di Desa Leppe. Teknik
pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposif sampling, dimana sampel dipilih bergantung pada tujuan
penelitian tanpa memperhatikan kemampuan generalisasinya,
selain teknik purposif sampling peneliti juga menggunakan teknik
snowbal sampling yang merupakan teknik pengambilan sampel
dengan bantuan key-informan (rekomendasi dari informan kunci/
stakeholder), dan dari key informan inilah akan berkembang sesuai
petunjuknya. Dalam hal ini peneliti hanya mengungkapkan kriteria
sebagai persyaratan untuk dijadikan sampel.
Adapun kriteria untuk pemilihan subjek dalam penelitian
ini, yaitu:
1) Anak Remaja yang yang masuk kategori remaja awal (13-17
tahun) dan remaja akhir (16-20 tahun) menurut Hurlock, 1990.
2) Remaja yang berada di daerah pesisir pantai Kecamatan
Soropia, Kabupaten Konawe.
3) Remaja yang berstatus sedang sekolah, putus sekolah, dan
remaja yang tidak pernah sekolah.

b. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah stakeholder dimasing-
masing lokasi peneltian beserta masyarakat suku bajo pada
umumnya. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini,
yaitu:

1) Kepala Desa Leppe, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe.


2) Tokoh-tokoh masyarakat Desa Leppe.
3) Guru-guru di sekolah MA Bahrul Mubarak.

2. Tahap Kuantitatif

Sampel pada tahap penelitian kuantitatif ini adalah remaja suku


bajo, perbedaannya dengan tahap kualitatif adalah jumlah sampel
dalam tahap kualitatif ini adalah lebih besar yaitu sebanyak 30 sampel,
agar data penelitian dapat digeneralisasikan kedalam populasi yang
besar.
Adapun kriteria untuk pemilihan subjek dalam penelitian ini,
yaitu:
1) Anak Remaja yang yang masuk kategori remaja awal (13-17
tahun) dan remaja akhir (16-20 tahun) menurut Hurlock, 1990.
2) Remaja yang berada di daerah pesisir pantai Kecamatan
Soropia, Kabupaten Konawe.
3) Remaja yang berstatus sedang sekolah.

E. Definisi Operasional

Persepsi adalah daya berpikir seseorang terhadap sesuatu melaui


alat-alat indra yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman,
proses pengetahuan yang berpengaruh pada suatu penafsiran individu
pada suatu objek yang akan memberikan makna pada dirinya, persepsi
yang dimiliki seseorang akan tergantung pada faktor personal dan
faktor situasional. karena itu, persepsi masing-masing individu akan
beraneka ragam antara satu individu dengan individu lainya.

F. Fokus Penelitian

Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yakni:


1) Faktor-faktor apa yang mendasari persepsi anak remaja pada suku
bajo terhadap pentingnya pendidikan, termasuk bagaimana
pandangan orang tua suku bajo tentang pendidikan anaknya.
2) Dampak dari cara pandang masyarakat suku bajo terhadap dunia
pendidikan dalam kehidupannya.
3) Peran sosial kultur masyarakat suku bajo yang masih kuat sebagai
pelaut ulung, dalam memaknai pendidikan.

G. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi:
1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung oleh peneliti dari
lokasi penelitian. Data primer dalam penelitian ini yaitu berupa
dokumen dan hasil wawancara langsung dengan partisipan
penelitian dan informan.
2) Data Sekunder, yaitu data yang diperlukan dalam penelitian untuk
melengkapi informasi yang diperoleh dari data primer. Data
sekunder dalam penelitian ini berupa jurnal, artikel-artikel di media
cetak seperti koran, surat kabar online dan sumber-sumber lainnya
yang relevan dengan penelitian ini.

H. Teknik Pengumpulan Data


Teknik yang digunakan dalam desain penelitian Sequential
Exploratory ini untuk pengumpulan data dilakukan secara berurutan dalam
pengumpulan datanya. Data yang diambil baik data kualitatif maupun
data kuantitatif akan saling menunnjang satu sama lain. Dalam
penelitian ini pengumpulan datanya menggunakan:

1. Observasi

Menurut Nawawi dan Martini (1992:74), “Observsi adalah


pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur
yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala pada objek
penelitian. Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
secara sistematis dan disengaja melalui pengamatan dan pencatatan
terhadap gejala yang diselidiki.

Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan bertujuan untuk


melakukan pengamatan mengenai kehidupan subjek sehari-hari di
daerah pesisir, yang mencakup perilaku subjek dan interaksi dengan
lingkungannya.

2. Wawancara

Menurut Sugiyono (2010:194), Wawancara digunakan sebagai


teknik pengumpulan data apabila peneliti akan melaksanakan studi
pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan
juga peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih
mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil. Wawancara atau
interview adalah bentuk komunikasi verbal/ percakapan yang bertujuan
memperoleh informasi atau dapat diartikan suatu teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan tanya jawab antara peneliti dengan subjek
dalam penelitian.

Wawancara dilakukan dangan cara terbuka, diawali dengan


peneliti mengajukan pertanyaan yang tidak berstruktur (karena pada
tahap awal si peneliti sendiri tidak tahu apa yang tidak diketahuinya).
Artinya subjek mendapat kebebasan dan kesempatan untuk
mengeluarkan buah pikiran, pandangan, dan perasaannya tanpa diatur
ketat oleh peneliti. Setelah peneliti memperoleh sejumlah keterangan
maka peneliti dapat mengadakan wawancara yang lebih terstruktur
berdasarkan apa yang telah disampaikan subjek/ informan tersebut.

3. Dokumentasi
Dalam penelitian kualitatif terdapat sumber data yang berasal
dari bukan manusia seperti dokumen, foto-foto dan bahan statistik.
Metode dokumentasi ini merupakan salah satu bentuk pengumpulan
data yang paling mudah, karena peneliti hanya mengamati benda mati
dan apabila mengalami kekeliruan mudah untuk merevisinya karena
sumber datanya tetap dan tidak berubah. Menurut Hamidi (2004:72),
Metode dokumentasi adalah informasi yang berasal dari catatan penting
baik dari lembaga atau organisasi maupun dari perorangan.
Dokumentasi penelitian ini merupakan pengambilan gambar oleh
peneliti untuk memperkuat hasil penelitian. Menurut Sugiyono
(2013:240), dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-
karya monumentel dari seseorang.
Alat dokumentasi yang digunakan untuk pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah berupa alat perekam (yang ada di
handphone). Penggunaan alat bantu ini dilakukan dengan
sepengetahuan dan persetujuan subjek penelitian. Sebelum wawancara
dilakukan, peneliti terlebih dahulu akan menjelaskan mengenai
perlunya penggunaan alat perekam agar subjek tidak merasa keberatan
dan dirugikan.
4. Angket/ Kuesioner
Kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian
pertanyaan/ pernyataan mengenai sesuatu masalah atau bidang yang
akan diteliti (Narbuko dalam Sirnayatin, 2013). Menurut Suharsimi
Arikunto dalam Sirnayatin (2013), kuesioner adalah sejumlah
pertanyaan/ pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh
informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau
hal-hal yang ia ketahui. Dari pernyataan di atas, jadi kuesioner adalah
suatu daftar pertanyaan/ pernyatan tertulis yang diberikan kepada
sekelompok orang mengenai suatu masalah sehingga mendapatkan
informasi tentang masalah tersebut.
Pada tahap ini peneliti mengembangkan alat ukur persepsi
terhadap pentingnya pendidikan berdasarkan temuan pada tahap
kualitatif. Instrumen yang telah dikembangkan diberikan kepada subjek
untuk dilakukan penilaian terhadap item yang dikembangkan. Alat ukur
dinyatakan relevan oleh lalu dilakukan ujicoba untuk mendapatkan alat
ukur yang valid dan reliabel. Adapun tabel persebaran aitem kuesioner
dalam penelitian ini dapat dilahat pada tabel berikut:

Aitem
Aspek No Indikator
F UF
1, 2, 3, 5, 7

1 Pentingnya Pendidikan 4, 6, 8,
9

10, 11, 12, 13,


Faktor-faktor yang
2 14, 16, 17
mendasari
Persepsi terhadap 24

pentingnya pendidikan 18, 20, 19, 21,


22, 23, 26
3 Manfaat
25, 27

28, 29, 30, 33


Peran sosio kultur/ nilai
4 31, 32
budaya
I. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data dilakukan setelah tahap pengumpulan data
diperoleh. Adapun teknik pengolahan data yang digunakan dalam
penelitian ini, meliputi:
1. Tahapan Editing
Editing yaitu teknik mengolah data dengan cara meneliti kembali
data yang diperoleh untuk menjamin validitasnya serta dapat segera
diproses lebih lanjut. Tahapan editing yang dilakukan peneliti dalam
penelitian ini, yakni menyajikan hasil wawancara dan dokumentasi
yang disajikan dengan menggunakan kalimat yang baku dan mudah
dimengerti.
2. Tahapan Interprestasi
Interprestasi adalah upaya untuk memeroleh arti dan makna lebih
mendalam terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan. Adapun
proses interprestasi data dalam penelitian ini yaitu dengan
menghubungkan hasil wawancara kepada informan dan meninjau hasil
penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat
yang diperoleh di lapangan.
Pada pengolahan data kuantitatif peneliti menggunakan beberapa
langkah teknik pengolahan data, antara lain:
1. Ceking data
Peneliti memeriksa pengisian tiap butir pertanyaan kuesioner yang
telah dijawab responden, dicek apakah pengisiannya telah lengkap
sesuai dengan petunjuk pengisian. Apabila ditemukan pertanyaan yang
belum terjawab, maka responden harus melengkapinya sehingga semua
item pertanyaan telah diisi dengan benar.
2. Editing data
Data yang telah dicek lengkap tidaknya, peneliti membaca sekali
lagi dan memperbaiki, bila ada jawaban butir pertanyaan yang diisi
responden yang tidak sesuai dengan petunjuk pengisian kuesioner.
3. Koding data
Pada tahap ini peneliti memberikan kode pada tiap kuesioner yang
dibagikan, yaitu kode nomor responden 01 hingga kode nomor 30.
4. Tabulasi data

Pada tahap ini peneliti menyusun data dalam tabel-tabel agar dapat
memudahkan peneliti untuk membaca dan menganalisis data. Tabel-
tabel yang digunakan peneliti seperti tabel karakteristik responden dan
tabel distribusi jawaban responden.

J. Teknik Analisis Data


1. Analisis Data Kualitatif
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis interaktif. Model ini ada 4 komponen analisis yaitu:
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan. Menurut Moleong (2004:280-281), “Analisis data adalah
proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
tempat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.
Langkah-langkah analisis data menurut Miles dan Huberman
(1992:15-19), adalah sebagai berikut:
1) Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data di lokasi penelitian
dengan melakukan observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan
menentukan strategi pengumpulan data yang dipandang tepat dan
untuk menentukan fokus serta pendalaman data pada proses
pengumpulan data berikutnya.
2) Reduksi data, yaitu sebagai proses seleksi, pemfokusan,
pengabstrakan, transformasi data kasar yang ada di lapangan
langsung, dan diteruskan pada waktu pengumpulan data, dengan
demikian reduksi data dimulai sejak peneliti memfokuskan wilayah
penelitian.
3) Penyajian data, yaitu rangkaian organisasi informasi yang
memungkinkan penelitian dilakukan. Penyajian data diperoleh
berbagai jenis, jaringan kerja, keterkaitan kegiatan atau tabel.
4) Penarikan kesimpulan, yaitu dalam pengumpulan data, peneliti
harus mengerti dan tanggap terhadap sesuatu yang diteliti langsung
di lapangan dengan menyusun pola-pola pengarahan dan sebab
akibat.

2. Analisis Data Kuantitatif


Pada analisis kuantitatif dalam penelitian ini peneliti menggunakan
statistik deskriptif, dengan analisis ini dapat dihitung seberapa tinggi
kualitas persepsi remaja suku bajo, di daerah soropia. Kuesioner yang
diberikan kepada responden, berupa pernyataan tertutup mengenai
Perepsi terhadap pentingnya Pendidikan. Setiap pernyataan yang
diajukan, responden hanya perlu menjawab satu pilihan jawaban yang
tersedia. Butir-butir pernyataan yang diajukan mengacu pada tolak ukur
yang telah ditetapkan sebelumnya. Jawaban-jawabannyang tercantum
dalam kuesioner mengacu pada skala likert. Pernyataan yang ada
dalam kuesioner pada masing-masing jawaban diberi skor sebagai
berikut.
Tabel 1 Alternatif Jawaban Responden dan Skor Penilaian
Skor Masing-Masing Pernyataan
Pilihan Jawaban
Favorable Unfavorable
Sangat Setuju 5 1
Setuju 4 2
Netral 3 3
Tidak Setuju 2 4
Sangat Tidak
1 5
Setuju
Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, selanjutnya adalah
menganalisis data yang telah didapatkan dengan mengggunakan model
analisis deskriptif. Model analisis ini menjelaskan pernyataan
responden dengan mendeskripsikannya melalui penggunaan tabel dan
pengukurannya menggunakan skala likert. Berdasarkan hal tersebut,
maka jumlah skor dari seluruh responden adalah:
Tabel 2 Jumlah Skor Seluruh Responden
Maksimal 30 responden x 5 = 150
Minimal 30 responden x 1 = 30
Median 30 responden x 3 = 90
Kuartil I 30 responden x 2 = 60
Kuartil III 30 responden x 4 = 120
Jumlah skor tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan
beberapa pendekatan (Sugiyono, 2008), untuk menentukan seberapa
tinggi tingkat Persepsi remaja suku Bajo, sebagai berikut:

1) Jika Kuartil III < Skor < Maksimal; artinya sangat positif
(Literasi informasi masyarakatdinilai aktif).
2) Jika Median < Skor < Kuartil III; artinya positif (Literasi
informasi masyarakat dinilai cukup aktif).
3) Jika Kuartil I < Skor < Median; artinya negatif (Literasi
informasi masyarakat dinilai kurang aktif).
4) Jika Minimal < Skor < Kuartil I; artinya sangat negatif (Literasi
informasi masyarakat dinilai tidak aktif).

Pada bagian ini akan diukur mengenai tingkat Persepsi remaja suku
Bajo di daerah Soropia. Untuk mempermudah pengolahan data dan
analisis data , data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis
dengan menggunakan program aplikasi SPSS 16.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian


Penelitaian ini mengambil latar seting penelitian di Desa Leppe
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, sebuah desa pesisir yang sebagian
berpenghuni suku Bajo, dengan karakteristik masyarakat pesisir pantai yang
memiliki berbagai macam ciri dan keunikan dan dinamika kehidupan yang
terjadi dalam berbagai aspek tarutama aspek pendidikan yang menjadi inti
dari penelitaian yang dilakukan. Penelitaian ini dimulai dengan mencari
sumber informasi berupa profil daerah Kecamatan Soropia, khususnya daerah
pesisir tempat masyarakat suku bajo bermukim. Dimana salah satu desa dia
daerah pesisir Soropia tempat masyarakat suku Bajo bermukim adalah Desa
Leppe, alasan peneliti memilih Desa Leppe sebagai tempat penelitian, sebab
Desa ini memenuhi karakteristik tema penelitian menurut peneliti dan akses
dalam melakukan penelitian yang mudah.

1. Sejarah Desa Leppe


Desa Leppe merupakan salah satu desa dari 19 Desa, 1 kelurahan
yang berada di wilayah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. Desa
Leppe merupakan pemekaran dari Desa Bajo Indah pada tahun 2007 dan
definitif pada tahun 2010 dengan luas luas wilayah 51.08 Ha yang terdiri
atas tiga dusun dan enam RT serta dapat dijangkau oleh kendaraan roda dua
dan roda empat.
Desa Leppe dan beberapa desa lainnya seperi Desa Bajo Indah,
Desa Samajaya, Desa Mekar, Desa Bajoe dan beberapa desa lainnya
merupakan desa pemekaran dari Desa Bokori yang berada di Pulau Bokori,
dimana pulau tersebut merupakan tempat mereka memulai sejarah dan
entitasnya sendiri, sejarah tentang siapa dan bagaimana mereka menjalani
hidup. Awalnya, desa sekarang adalah lahan persinggahan warga desa
Tapulaga, yang berkebun di sekitar hutan lindung Nipa Nipa. Lalu pada
tahun 1980an beberapa warga pulau Bokori mulai berdiam tapi masih satu
dua orang. Lalu pada awal tahun 90an pemerintah setempat meminta
mereka untuk berpindah dari pulau Bokori ke pesisir daratan utama
Sulawesi Tenggara tepatnya di pesisir Soropia. Menurut warga, salah satu
alasan mereka dipindahkan adalah susahnya memperoleh air tawar atau air
bersih.
Beberapa warga awalnya menolak namun kemudian menyetujui
untuk pindah setelah diberikan ganti rugi rumah sesuai dengan ukuran dan
kualitas rumahnya. Tahun 1991, terdapat 91 unit rumah yang disiapkan
oleh pemerintah setempat untuk warga dari Bokori dan hingga kini sudah
ada beberapa desa pemekaran yang bermukim di pesisir pantai soropia
khususnya warga masyarakat dari suku Bajo, dimana salah satunya adalah
Desa Leppe.
Banyak warga Bajo mengakui bahwa mereka juga mempunyai
cerita sejarah dan budaya lokal. Namun yang tahu persis asat-adat dulu
sudah meninggal. Dayung-dayung, majjoge, bendera merah dan putih,
bendera ula ula adalah beberapa bagian dari ritual mereka. Mereka
mengakui bahwa tanah leluhurnya berasal dari salah satu wilayah di daerah
Selatan. Mereka kemudian berpencar menuju wilayah tenggara dan tengah
Sulawesi (Azis, 2009).

Beberapa hasil wawancara membenarkan kutipan diatas, salah


satunya menurut Kepala Desa Leppe, Bapak Hajar. Ia menjelaskan bahwa
masyarkat suku Bajo di Desa Leppe dan beberapa desa lainnya sudah
sangat jarang yang merupakan suku Bajo asli, sebab terjadinya perkawinan
antar etnis, serta kebanyakan suku bajo yang berada di pesisir pantai
Soropia merupakan warga suku Bajo yang berasal dari Sulawesi Tengah
(Wawancara Pada Tanggal 28 November 2018).
2. Letak Geografis Desa Leppe
Secara geografis Desa Leppe merupakan daerah yang berada di
garis pantai Soropia yang berbatasan langsung dengan laut Banda,
sebagimana karakteristis suku bajo yang tidak bisa hidup jauh dari lautan
karena merupakan mata pencaharian utama mereka yaitu nelayan. Desa
Leppe terletak ± 4 Km dari Pusat pemerintahan Kecamatan dan ± 85 Km
dari pusat pemerintahan Kabupaten. Dilihat dari sudut geografis Desa
Leppe memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
1) Sebelah Utara berbatas dengan Desa Bajo Indah
2) Sebelah Selatan berbetas dengan Desa Tapulaga
3) Sebelah Timur berbatas dengan Laut Banda
4) Sebelah Barat berbatas dengan Hutan Tahura.
Berikut adalah Peta dan Denah Desa Leppe Kecamatan Soropia
Kabupaten Konawe:

Gambar Peta lokasi Desa Leppe (sumber data primer: Google


Maps, 2018)
Gambar Denah wilayah Desa Leppe (sumber data sekunder:
laporan praktek klinik kebidanan komunitas Desa Leppe Kecamatan
Soropia Kabupaten Konawe: Poltekes Kendari, 2018)

3. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Leppe

Sumber: data primer


4. Demografi Desa Leppe

a. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia

No Umur (Tahun) Jumlah


1 <1 11
2 1–3 26
3 3–6 32
4 6 – 12 88
5 12 – 19 70
6 20 – 24 39
7 25 – 35 84
8 36 – 59 115
9 60 > 20
JUMLAH 485
Sumber data sekunder: Laporan Kegiatan Asuhan Keperawatan
Komunitas Desa Leppe Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe:
STIKES Avicena, 2018

Berdasarkan tabel diatas, Desa Leppe memiliki jumlah penduduk


sebanyak 485 jiwa dengan jumlah penduduk paling banyak yaitu usia
penduduk antara 21 – 60 tahun yaitu 258 orang (48%) dan jumlah
penduduk paling sedikit yaitu penduduk dengan usia < 1 bayi yaitu
sebanyak 11 orang (2%).
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala Desa Leppe Bapak
Hajar, mengatakan bahwa saat ini data penduduk Desa Leppe masih
dalam tahap pembaharuan, sebab ada beberapa tambahan warga baru di
Desa Leppe, penambahan jumlah penduduk ini terkait dengan bantuan
yang akan diluncurkan oleh pemerintah berupa bantuan rumah semi
permanen kepada warga yang belum memiliki rumah/ warga yang
rumahnya sudah tidak layak huni lagi, oleh karena itu banyak
masyarakat dari luar yang mendaftarkan dirinya sebagai warga baru di
Desa Lepppe. Untuk sementara ini data yang masuk jumlah penduduk
Desa Leppe telah meningkat mencapai 560 jiwa, namun data tersebut
belum final dan masih dilakukan pendataan lagi, sehingga saat ini
peneliti baru bisa mengakses data yang tersedia saja dan yang sudah
dirincikan berdasarkan kategori-kategori tertentu.

b. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis kelamin Jumlah


1 Laki-laki 258
2 Perempuan 227
JUMLAH 485
Sumber data sekunder: Laporan Kegiatan Asuhan Keperawatan
Komunitas Desa Leppe Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe:
STIKES Avicena, 2018

Berdasarkan tabel diatas Desa Leppe memiliki jumlah Penduduk


sebanyak 485 jiwa dengan jumlah penduduk paling banyak berjenis
kelamin laki-laki yaitu sebanyak 258 orang (54%) dan jumlah
penduduk berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 227 orang
(46%).

c. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah
1 Islam 482
2 Lainnya 3
Jumlah 485
Sumber data sekunder: Laporan Kegiatan Asuhan Keperawatan
Komunitas Desa Leppe Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe:
STIKES Avicena, 2018

Berdasarkan tabel diatas mayoritas penduduk Desa Leppe


beragama Islam yaitu 482 orang (99%).

d. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku/ Ras

No Suku/ ras Jumlah


1 Bugis 82
2 Tolaki 16
3 Jawa 9
4 Bajo 365
5 Muna 6
6 Lainnya 7
JUMLAH 485
Sumber data sekunder: Laporan Kegiatan Asuhan Keperawatan
Komunitas Desa Leppe Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe:
STIKES Avicena, 2018

Berdasarkan tabel diatas, Desa Leppe memiliki jumlah penduduk


sebanyak 485 jiwa dengan jumlah penduduk suku Bajo yaitu sebanyak
365 orang (75%), suku Bugis sebanyak 82 orang (17%), suku Muna
sebanyak 6 orang (1%), suku Tolaki sebanyak 16 orang (3%), suku
Jawa sebanyak 9 orang (2%), lainnya sebanyak 7 orang (2%).
e. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah
1 TK 12
2 SD 241
3 SMP 99
4 SMA 60
5 DIII 3
6 S1 4
7 Tidak Sekolah 66
Jumlah 485
Sumber data sekunder: Laporan Kegiatan Asuhan Keperawatan
Komunitas Desa Leppe Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe:
STIKES Avicena, 2018

Berdasarkan tabel diatas status pendidikan penduduk Desa Leppe


sebagian besar tamat TK sebanyak 12 orang (2%), SD yaitu sebanyak
241 orang (50%), kemudian disusul oleh tamat SMA sebanyak 99 orang
atau (20%), tamat SMA 60 orang (12%), tamat DIII 3 orang (1%), dan
tamat SI 4 orang (1%), tidak sekolah 66 orang (14%).

f. Komposisi Penduduk berdasarkan Pekerjaan

No Pekerjaan Jumlah
1 PNS 3
2 Wiraswasta 32
3 Nelayan 120
4 IRT 98
5 Pelajar 133
6 Bidan 0
7 Lainnya 99
JUMLAH 485
Sumber data sekunder: Laporan Kegiatan Asuhan Keperawatan
Komunitas Desa Leppe Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe:
STIKES Avicena, 2018

Berdasarkan tabel diatas pekerjaan penduduk Desa Leppe yaitu


yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sebanyak 98 orang (20%),
nelayan sebanyak 120 orang (25%), wiraswasta sebanyak 32 orang
(7%), PNS sebanyak 3 orang (1%), dan pelajar sebanyak 133 orang
(27%) dan lainnya sebanyak 99 orang (20%).

B. Gambaran Keadaan Masyarakat Suku Bajo di Desa Leppe

1. Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal Masyarakat Suku Bajo

Masyarakat suku Bajo Desa Leppe daerah Soropia tinggal


menempati daerah dengan luas kurang lebih 51.08 hektar yang
merupakan daerah yang berada di garis pantai atau pesisir pantai
Soropia Kabupaten Konawe. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
peneliti, dapat digambarkan bahwa lingkungan tempat masyarakat
Desa Leppe tinggal memang terlihat masih sederhana dan merupakan
daerah pedesaan yang tradisional dan minim sarana prasarana. Awalnya
daerah tempat bermukim masyarakat saat ini dulunya adalah daerah
hutan Mangrove yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman warga
ketika pemerintah merelokasi penduduk yang berasal dari pulai Bokori.
Bentuk rumah penduduk sebagian besar adalah semi permanen
berbentuk panggung yang berdiri langsung diatas air (bekas hutan
bakau).
Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai mengalami beragai
masalah yang cukup berat yaitu masalah dimana masyarakat harus
tinggal di daerah pinggiran pantai yang sering mengalami banjir ROB
atau banjir karena pasangnya air laut. Selain itu juga masalah keruhnya
dan tercemarnya air laut yang diakibatkan oleh limbah-limbah rumah
tangga yang mengotori dan mencemari laut disekitar pemukiman warga
sehingga membuat air laut yang harusnya terlihat bening dan biru
menjadi terlihat keruh sehingga rusaknya ekosistem laut, sebab
kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan masih kurang
sehingga banyak terlihat sampah yang berserakan dibawah kolong-
kolong rumah warga, belum lagi masalah sulitnya mencari air bersih
untuk kebutuhan sehari hari, kebutuhan memasak karena air di desa
Leppe berasal dari pegunungan yang digunakan oleh banyak warga,
sehingga ketersediaan air bersih masih terbatas. Kondisi lingkungan
lainnya yang juga menjadi perhatian adalah sanitasi lingkungan
penduduk yang masih sangat kurang, sebagian besar warga tidak
memiliki jamban.

2. Kondisi Sosial Masyarakat Suku Bajo Desa Leppe

Kehidupan sosial masyarakat Bajo Desa Leppe, Memang tidak jauh


berbeda seperti halnya masyarakat yang tinggal di daerah pesisir
pantai lainya terutama yang tinggal didesa nelayan yang masih
tradisonal dengan berbagai aspek sosial yang ada di dalamnya.
Masyarakat yang tradisional dan masih tertinggal dalam hal
teknologi apalagi orang-orang tua yang sudah usia lanjut,
masyarakat pesisir yang memang cenderung sedikit agak keras
dengan berbagai macam karakter dan sifat yang dimiliki yang
dilatar belakangi oleh adat dan istiadat, kebiasaan, dan cara hidup
yang membentuk kepribadian setaiap individu masyarakat di Desa
Leppe.
Ada masyarakat yang relgius, ada yang terbuka, ada yang tertutup
ada yang tenang, ada yang terkesan emosional dan karakter lainya,
namun yang sangat terlihat adalah karekter seorang pelaut yang
sangat sederhana dan pekerja keras pantang menyerah, humoris,
sikap kebersamaan walaupun tidak sekuat dulu. Masih bisa terlihat
warga sering berkumpul di suatu tempat pada siang dan sore hari,
berbincang-bicang dan bercakap-cakap tentang kelautan bahkan
isu-isu kemasyarakatan yang sedang berkembang, ibu-ibu atau anak-
anak yang berkumpul sambari mengupas kulit kerang atau
mengolah membuat ikan asin yang terlihat berbincang-bincang yang
kadang juga dihiasi gelak tawa khas masyarakat pesisir, atau para
nelayan yang sedang mengosok atau membenarkan merawat perahu-
perahunya yang rusak atau orang tua usia lanjut yang sedang
membenarkan jaring-jaring penangkap ikan, atau para pemuda
karang taruna yang berkumpul sambil bermain musik dan
memamerkan motor yang bisa disebut anak-anak deker.

3. Kondisi Ekonomi Masyarakat Suku Bajo Desa Leppe

Kondisi perekonomian di desa Leppe menurut data yang


disediakan oleh pihak Desa dalam hal ini adalah Sekdes Desa Leppe
yang berupa data mata pencaharian Penduduk, dari sebagain yang
disaksikan langsung oleh peneliti dapat di sampaikan bahwa,
sebagain besar/ mayoritas pemasukan ekonomi masyarakat Desa
Leppe adalah nelayan, mereka yang berkerja guna memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, memiliki penghasilan yang berbeda-
beda dan cara mendapatkanya yang berbeda-beda pula.
Kondisi ekonomi masyarakat Leppe memiliki kondisi yang
beragam, ada yang hidup pada kondisi ekonomi yang cukup,
namun tidak sedikit pula hidup pada kondisi ekonomi yang rendah,
walaupun potensi yang ada terlihat sangat luas namun terdapat
masalah ekonomi yang terjadi pada masyarakat, tingkat sumber
daya manusia yang rendah dan sarana prasarana penunjang
ekonomi serta biaya pemodalan yang juga masih sangat terbatas
menyebabkan masyarakat suku Bajo di Desa Leppe tidak mampu
secara maksimal dan secara efektif mendapatkan hasil dari potensi alam
yang ada.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala Desa Leppe, ia
mengatakan bahwa pada dasarnya warga yang berprofesi sebagai
nelayan mempunyai penghasilan yang cukup menjanjikan. Ia memberi
contoh, adiknya yang merupakan pemiliki kapal penangkap ikan yang
besar, ketika satu kali turun adiknya membayar pekerja dikapalnya
hingga sepuluh juta per satu kali turun. Namun bapak Hajar
menjelaskan bahwa masyakat belum bisa memanajemen dan
mengalokasikan uang dengan baik, misalnya ketika mendapatkan
seratus ribu maka uang itu langsung habis dibelanjakan entah untuk
memnuhi kebutuhan atay hanya sekedar mewah-mewahan
menghilangkan penat, tidak ada uang yang disisihkan untuk tabungan
baik untuk tabungan pendidikan anak atau untuk kesehatan, sehingga
tak jarang beberapa warga ketika jatuh sakit harus mondar-mandir
berutang ke tetangga atau juragan penampung ikan (Wawancara pada
tanggal 28 November 2018).
Potensi ekonomi di Desa Leppe sesuai data penelitian yang di
dapatkan dari hasil wawancara dan pengamatan adalah sebagai berikut:
1) Perikanan, seperti bagang-bagang dan tambak ikan. Selain itu
potensi laut yang masih banyak menyediakan stok kebutuhan
kepada masyarakat merupakan potensi yang tidak terelakkan
yang berada di daerah ini. Jika saja masyakat mampu
memanajemen dengan baik tentang tata cara pengelolaan
potensi ini serta pemerintah menyediakan sarana dan prasarana,
maka hasil yang menjanjikan pasti bisa di dapatkan oleh para
nelayan di Desa Leppe daerah Soropia.
2) Pariwisata menjadi salah satu kegiatan ekomi yang dilakukan
juga oleh masyarakat desa Soropia, jenis kegiatan pariwisata
yang dilakukan masyarakat antara lain adalah dengan
menyediakan sarana transportasi menuju Pulau Bokori yang
merupakan maskos wisata daerah Kota Kendari, selain itu
beberapa warga terutama perempuan biasanya menjual
beberapa aneka macam keluner khas Kendari seperti sate pokea
dan gogoso di tempat wisata Pulau Bokori. Desa Leppe juga
telah menjadi salah satu dari beberapa Desa sebagai Desa
Wisata Bokori yang berikan oleh Dinas Pariwisata, namun hal
ini bisa mendongkrak dari satu sisi perekonomian Desa Leppe.

Karena keterbatasan sumber daya manusia dan rendahnya


tingkat pendidikan serta kemampuan untuk berkerja dan minimnya
lapangan pekerjaan, memaksa beberapa orang yang masuk dalam usia
produktif akhirnya menjadi seorang pengangguran. Potensi-potensi
alam yang tadinya diharapkan oleh pemeritah Desa maupun warga
masyarakat Desa Leppe dapat meningkatkan tingkat kesejaterean
warga masyarakat, dianggap kurang mampu tergali secara
maksimal, dikarenakan rendahnya sumber daya manusia dan
sarana prasarana pendukung juga pemodalan, hingga besar
harapan warga Desa Leppe agar adanya bantuan dan campur tangan
pemerintah daerah Kabupatan, Provinsi ataupun Pusat dalam
membantu mengembangkan potensi yang ada di Desa Leppe agar
lebih dapat dikembangkan serta ditingkatkatkan kearah yang lebih
baik demi perbaikan dibidang perekonomian warga serta
kesejahteraan dan keadailan sosial yang ada.

4. Keadaan Pendidikan Masyarakat Bajo Desa Leppe

Pendidikan orangtua sangat berpengaruh terhadap pola pola


perkembangan anak. Fenomena yang terjadi kebanyakan orangtua
menginginkan anaknya menjadi orang yang sukses dalam
pendidikan maupun karirnya, sehingga masa yang akan datang
mereka dapat memperbaiki kualitas hidupnya menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
Tinggi rendahnya pendidikan seseorang terkadang sangat
mempengaruhi pola pemikiran seseorang. Cara menyikapi sebuah
masalah antara orang yang berpendidikan tinggi jelas terlihat
perbedaanya dibanding orang yang berpendidikan rendah, terkadang
orang yang berpendidikan tinggi dalam memutuskan masalah lebih
bijak dan lebih mempertimbangkan masa depan dibandingkan dengan
yang berpendidikan rendah.
Tingkat pendidikan Desa Leppe yaitu tamat TK sebanyak 12 orang
(2%), SD yaitu sebanyak 241 orang (50%), kemudian disusul oleh
tamat SMA sebanyak 99 orang atau (20%), tamat SMA 60 orang (12%),
tamat DIII 3 orang (1%), dan tamat SI 4 orang (1%), tidak sekolah 66
orang (14%).
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu warga Desa Leppe,
mengatakan bahwa:
“Tante, disini rata-rata sekolah semua ka anak-anaknya? Sekolah
semua ji disini, banyakmi juga beasiswa, jadi apalagi alasan mau
nda sekolah. Tapi kalau yang sudah selesai SMA biasanya yang
mampu lanjut, tapi kalau yang nda mampu biasanya ikut melaut
atau kerja di pabrik udang yang disitu (sambil menunjukkan tempat
pabriknya), kalau yang nda mampu ya,,kaya saya ini nda lanjut,
sayakan dulu alumni Aliyah mubarak, Cuma karena nda ada uang
jadi nda lanjut”.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut rata-rata anak suku Bajo


sudah bersekolah semua karena sudah banyak bantuan pemerintah
berupa beasiswa, selain itu juga akses sekolah yang sudah tidak sejauh
dulu lagi ketika masyarakat masih bermukim di Pulau Bokori yang
harus menyebarang laut untuk menempuh pendidikan. Namun lain
cerita ketika anak-anak remaja suku Bajo yang telah tamat SMA dan
akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya yang
mampu secara ekonomi dan mempunyai tekad dan kesadaran saja yang
bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, karena ada beberapa
anak di Desa Bajo ini yang tidak mampu secara ekonomi namun dengan
tekad dan kesadarannya terhadap pendidikan, ia mampu melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi.

Hasil wawancara dengan salah satu warga Desa Leppe tersebut juga
di konfirmasi oleh Bapak Hajar selaku Kepala Desa Leppe, ia
mengatakan bahwa saat ini pandangan warga dan anak-anak terhadap
pentingnya pendidikan telah meningkat dan tidak seperti dulu lagi,
beberapa telah ada yang menjadi lulusan sarjana, menjadi pendakwah
dan rata-rata anak-anak remaja suku Bajo bersekolah semua. Namun
memang masih ada beberapa yang pemikirannya tetap begitu-begitu
saja, lebih memilih ikut kapal mencari ikan dibandingkan bersekolah,
dikarenakan hasil dari melaut langsung diterima dan hasilnya terlihat
(Wawancara Pada Tanggal 28 November 2018).

Anda mungkin juga menyukai